PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK
Transcript of PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK
“COST-BENEFIT ANALYSIS
PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK :
RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ?”
Studi Polres Metro Bekasi
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Awalia Nugrahaini – 017201605001
FACULTY OF HUMANITIES
LAW STUDY PROGRAM
CIKARANG
JUNI, 2020
COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA
BAIK : RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi Polres Metro Bekasi
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Mendapatkan Gelar Sarjana
Program S1 Studi Ilmu Hukum Universitas Presiden
Oleh :
AWALIA NUGRAHAINI
017201605001
FACULTY OF HUMANITIES
LAW STUDY PROGRAM
CIKARANG
JUNI, 2020
i
LEMBAR REKOMENDASI DOSEN PEMBIMBING
Saya selaku pembimbing dari Skripsi yang berjudul “COST-BENEFIT ANALYSIS
PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK : RETRIBUTIF ATAU
RESTORATIF ? Studi Polres Metro Bekasi” yang ditulis oleh Mahasiswa atas nama
Awalia Nugrahaini sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan Gelar Sarjana
Hukum dari Fakultas Humaniora, Program Studi Hukum Universitas Presiden, telah
memeriksa dan menyatakan bahwa Skripsi ini layak untuk disajikan dan dipertahankan
dalam Sidang Skripsi.
Cikarang, 05 Mei 2020
Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn
Dosen Pembimbing
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
Kami, Penguji dengan judul Skripsi “COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN
PENCEMARAN NAMA BAIK : RETRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi
Polres Metro Bekasi” yang diajukan oleh Awalia Nugrahaini telah diterima dan dapat
dipertahankan dengan benar pada tanggal 09 Mei 2020.
Dr. Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.H., M.A., M.Kn.
Penguji I
Zenny Rezania Dewantary, S.H., M. Hum.
Penguji II
Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn
Penguji III
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Skripsi dengan judul Analisa Yuridis Cost-Benefit Analysis Pemidanaan
Pencemaran Nama Baik : Restributif atau Restoratif ? Studi Polres Metro Bekasi
adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan
atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai tata etika ilmiah yang
berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut playgiarisme.
2. Hak Intelektual atas karya ilmiah ini penulis serahkan sepenuhnya kepada
Universitas Presiden.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari adanya ketidak benaran, saya bersedia
menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya, saya bersedia di proses sesuai
hukum yang berlaku.
Bekasi, 16 Maret 2020
Pembuat Pernyataan
Awalia Nugrahaini
iv
ABSTRAK
Nama : Awalia Nugrahaini
Judul : Cost-Benefit Analysis Pemidanaan Pencemaran Nama Baik : Restributif atau
Restoratif ? Studi Polres Metro Bekasi
Sanctions against the criminal defamation set out in the Criminal Code have been
strengthened by the provisions of the Electronic Information and Transaction Act which
sanctioned the heavier crime which became one of the traits of the retributive justice.
However, in the process, the retributive justice that should give a deterrent effect does
not suppress the occurrence of criminal defamation. Then there is no balance between
the costs incurred and the benefits gained from the retributive justice. Meanwhile, Polres
Metro Bekasi in practice better forward a restorative (pseudo-restorative) settlement in
the case of defamation. Thus, the study uses cost-benefit analysis to find out what is more
appropriate for defamation. The results showed that the implementation of restorative
justice is the main alternative to the resolution of defamation, in addition to providing
justice to the disputing parties also suppress the social cost that will be incurred from the
retributive justice.
Keywords: Cost-Benefit Analysis, Retributive, Restorative, Defamation.
Sanksi terhadap delik pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP telah
diperkuat dengan ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang memiki sanksi pidana lebih berat yang menjadi salah satu ciri dari retributive justice.
Namun dalam prosesnya, retributive justice yang seharusnya memberikan efek deterrent
justru tidak menekan terjadinya jumlah tindak pidana pencemaran nama baik. Maka tidak
terjadinya keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang didapat dari
retributive justice. Sementara itu, Polres Metro Bekasi dalam prakteknya lebih
mengedepankan penyelesaian secara restoratif (pseudo-restorative) dalam perkara
pencemaran nama baik. Maka, penelitian ini menggunakan cost-benefit analysis untuk
menemukan pemidanaan apa yang lebih tepat untuk pencemaran nama baik saat ini. Hasil
penelitian menunjukan bahwa, pelaksanaan restorative justice merupakan alternatif
utama penyelesaian perkara pencemaran nama baik, di samping memberikan keadilan
bagi pihak yang bersengketa juga menekan social cost yang akan ditimbulkan dari
retributive justice.
Kata Kunci : Cost-Benefit Analysis, Retributif, Restoratif, Pencemaran nama Baik.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanawataa’la yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-NYA, sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas akhir dengan judul “COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN
PENCEMARAN NAMA BAIK : RESTRIBUTIF ATAU RESTORATIF ? Studi Polres
Metro Bekasi ”
Skripsi ini merupakan dedikasi yang tulus dari Penulis sebagai wujud terimakasih
dan rasa syukur dan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada Penulis atas
kesempatan yang diberikan untuk belajar, serta wujud terimakasih kepada semua pihak
yang telah mendukung Penulis, sehingga skripsi ini dibuat dengan sepenuh hati dan
semaksimal mungkin pada setiap bagian dalam skripsi ini. Dalam penyusunan tugas ini,
penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak seperti bimbingan, arahan
serta do’a. Begitu besar pengaruhnya kepada Penulis sehingga tak ada kata yang dapat
menggambarkan betapa besar rasa syukur dan terimakasih kepada pihak yang
mendukung Penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah rela menjadi
narasumber. Tulisan ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan berupa pengarahan,
bimbingan, dan kerja sama semua pihak yang turut membantu dalam proses
menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah mendukung saya di antaranya :
1. Teristimewa untuk Ayahku Rudy Darwis, Ibuku Mei Indriyani, Adikku Ratu
Faqih Seruni Alam, Baath Thariq, dan Raudhatul Aisy terima kasih telah menjadi
orang tua serta adik-adik terhebat yang tak pernah berhenti mendoakan setiap
vi
detiknya dan hembusan nafasnya, serta selalu mendukung Penulis untuk
senantiasa tegar dalam menghadapi kendala dalam proses pembuatan skipsi ini.
2. Ibu Dr. Maria Francisca M, S.H., S.E., M.Kn. selaku Dosen Pembimbing atas
kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan
motivasi dalam proses penyelesaian skripsis ini;
3. Bpk. Ariehta Eleison Sembiring S.H., LL.M. selaku Dosen yang telah berkorban
waktu dan tenaga untuk memberikan begitu banyak arahan, bimbingan, motivasi
kepada Penulis sejak awal proses pembelajaran di kelas hingga proses penulisan
skripsi ini selesai;
4. Seluruh Dosen dan karyawan yang berada dalam akademik lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Presiden yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas ilmu
dan nasehat yang beliau berikan selama penulis duduk dibangku kuliah;
5. Komandan-komandan yang senantiasa mendukung saya untuk terus belajar,
memberikan dukungan moril maupun materil kepada Penulis sehingga Penulis
dapat menyelesaikan proses belajar selama 10 semester di Universitas Presiden
dengan lancar dan memperoleh hasil yang memuaskan, Kombes Pol Asep Adi
Saputra, AKBP Rizal Marito, AKP Widodo Saputro S.H., M.H, AKP M. Ichwan
Nugraha S.IK, IPTU Abysena Jala W.P. STK, IPDA Trisno S.H., M.H, serta
seluruh komandan dan senior serta rekan-rekan Polwan yang selalu mendukung
Penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu;
6. Sahabat-sahabat Fakultas Hukum Universitas Presiden angkatan 2016 terkhusus
untuk Sri Mulyani Hasan, Laurensia Irma Kusumo, Upik Puspita Sari, Drivadi
Rabesa, Brian Aditama, Sinta Aulia Dewi, Lintang Banyu,Adi Jati, Frengky
vii
Perian, Pak Timbul terima kasih atas tawa, canda, motivasi, semangat, dan
pengalaman serta dukungan yang selalu diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
7. Untuk sahabat-sahabat Fakultas Hukum Universitas Presiden angkatan 2017,
2018, serta teman-teman dari Fakultas lain yang selalu mendukung Penulis. See
you on top guys, all the best for us;
8. Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu semoga Allah
SWT membalas doa dan kebaikan kalian semua;
Mohon maaf apabila proposal penelitian ini jauh dari kata sempurna, karena
semua kesempurnaan itu milik ALLAH SWT. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita
semua yang membutuhkan terutama bagi penulis. Akhir kata penulis ucapkan terima
kasih banyak. Semoga Allah senantiasa memberkan rahmat dan balasan kebaikan
terhadap kita semua, Amin.
Bekasi, 16 Maret 2020
Penulis
Awalia Nugrahani
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR REKOMENDASI DOSEN PEMBIMBING i
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI DOSEN PEMBIMBING ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 12
1.3 Metodologi Penelitian 12
1.4 Tujuan Penelitian 14
1.5 Kerangka Pemikiran 14
BAB II KEADILAN
2.1 Keadilan Retributif 17
2.2 Perbandingan Keadilan Restoratif dengan Keadilan Retributif 21
2.3 Keadilan Retributif dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik 25
2.4 Keadilan Restoratif dalam Pemindanaan Pencemaran Nama Baik 29
2.5 Keadilan dalam KUHP 32
BAB III COST-BENEFIT ANALYSIS DALAM HUKUM PIDANA
3.1. Costs-Benefits Analysis 34
3.1.1. Costs-Benefits Analysis dan Pendekatan Utilitarianisme Bentham 36
ix
3.2. Implementasi Costs-Benefits Analysis dalam Efektifitas Pemidananan 40
BAB IV COST-BENEFIT ANALYSIS PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK
4.1. Justifikasi Tujuan Pemidanaan Retributif dan Tujuan Pemidanaan
Restoratif Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik 47
4.2. Tujuan Pemidanaan Menggunakan Cost-Benefit Analysis Dengan Studi
Polres Metro Bekasi ……51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN 63
5.2. SARAN 65
DAFTAR PUSTAKA 66
x
DAFTAR TABEL
The Restorative Practices Typology 24
Hand’s Rule Theory 46
Tabel Perhitungan Perhitungan Probabilitas Tahun 2017-2019 54
Grafik Perbandingan Probabilitas dengan Jumlah Putusan 55
Grafik Laporan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Polres Metro Bekasi 58
Penyelesaian Perkara Pencemaran nama Baik Periode Tahun 2016-2018 59
Statistik Hubungan Pelapor Dengan Terlapor Perkara Pencemaran Nama Baik Periode
Tahun 2016-2018 59
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Eksistensi terhadap aturan mengenai pencemaran nama baik di berbagai
negara semakin dipertanyakan, dalam hal definisi pencemaran nama baik yang
dipandang tidak jelas bahkan cenderung sangat multitafsir hingga rationale sanksi
pidananya. Tidak terbatas hanya pada produk legislasi, melainkan kebijakan-
kebijakan pemerintah di beberapa negara terhadap perusahaan seperti Facebook,
Twitter, Youtube dan Instagram dalam hal penghapusan konten yang dinilai
secara sepihak telah melakukan pencemaran nama baik, penghinaan atau ujaran
kebencian, maka munculnya berbagai kampanye untuk terus menekan upaya
dekriminalisasi mengenai pencemaran nama baik senantiasa digaungkan di
negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa, dan upaya
tersebut telah membuat angka dekriminalisasi mengalami peningkatan.1
Walaupun dinamika akan perubahan paradigma pemidanaan pencemaran
nama baik masih senantiasa bergerak, masih banyak negara-negara yang
mempertahankan eksistensi pemidanaan pencemaran nama baik.2 Sebagai contoh,
Belanda, yang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) (1881), menggolongkan
perbuatan pencemaran nama baik menjadi dua berdasarkan media yang digunakan
1 UNESCO (2018). World Trends in Freedom of Expression and Media Development:2017/2018. Global
Report. Paris. hlm 38-39.
2 Ibid. hlm.38. Pada tahun 2017 masih terdapat 130 Negara yang mempertahankan delik pencemaran nama
baik.
2
serta dampak yang timbul atas perbuatan tersebut, yaitu, penghinaan secara
tertulis (schrift), dan penghinaan ringan (eenvoudige belediging), 3 dengan
pemidanaan berupa sanksi ancaman pidana enam bulan penjara hingga di atas dua
tahun penjara.
Kemudian di Inggris, perbuatan pencemaran nama baik dibagi menjadi
dua golongan, yaitu penghinaan yang bersifat permanen (tertulis, siaran), baik
dalam bentuknya maupun dampaknya (libel) yang digolongkan sebagai perbuatan
pidana (criminal offense), serta penghinaan yang bersifat tidak permanen,
misalnya secara lisan (slander), digolongkan sebagai suatu pelanggaran (tort).
Keduanya memiliki sanksi berupa kewajiban permintaaan maaf dan klarifikasi
serta restitusi atas kerugian materil yang dialami oleh korban. 4 Dalam hal
mengkonversi bentuk bentuk kerugian material atau immaterial ke dalam suatu
penggantian kerugian berbentuk materiil (restitusi) sebagaimana diterapkan oleh
Inggris, senada dengan salah satu aturan perundang-undangan yang saat ini masih
diterapkan di Indonesia yaitu pasal 1365 KUH Perdata Indonesia yang berbunyi :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya menggantikan kerugian.”
Hal tersebut menitikberatkan pada “pemulihan” kerugian korban dalam
bentuk ganti rugi.5
3 F. Janssens. “".. IK ZAL JELUI WEL DONDEREN! .. " Het begrip 'belediging' in de Code Pénal,
vergeleken met het huidige Wetboek van Strafrecht.” Grom, Vol. 9 No. 9, 1992, hlm.53.
4 Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Defamation Act 1996.
5 Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut.”
3
Indonesia sebagai negara yang masih mempertahankan eksistensi pidana
pencemaran nama baik, yang sumber hukum pidananya berasal dari kodifikasi
hukum Belanda telah memuat definisi dan aturan mengenai pencemaran nama
baik yang disebutkan dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan, tepatnya dalam
Pasal 310 KUHP yang mengatur mengenai penyerangan (pencemaran)
kehormatan atau nama baik seseorang, dan Pasal 311 KUHP yang mengatur
mengenai fitnah.
Definisi dari pencemaran dalam Pasal 310 KUHP adalah penyerangan
kehormatan atau nama baik seseorang dengan tuduhan yang disampaikan di depan
umum atau secara tertulis. Tidak ada tolak ukur mengenai sejauh apa dapat
diketahui kehormatan atau nama baik seseorang telah “diserang” atau telah
“tercemar”, sehingga dapat dikatakan bahwa unsur pasal tersebut bersifat
subjektif dari sudut pandang korban. Yang kemudian jika tuduhan tersebut tidak
dapat dibuktikan oleh penuduh, maka akan dikenakan Pasal 311 KUHP tentang
fitnah.
Dalam perkembangannya, dibentuklah peraturan perundang-undang baru
yang dianggap relevan dengan era digitalisasi, yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal
45 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) maupun perubahannya yaitu Undang-undang No. 19 Tahun
2016. Dalam pasal tersebut tidak terjadi pemisahan pemidanaan antara
pencemaran nama baik dan fitnah, yang diatur dalam satu pasal serta memiliki
sanksi pidana penjara dan denda yang lebih berat dari pasal pencemaran nama
baik dalam KUHP. Namun, definisi dari pencemaran nama baik dan fitnah, dalam
4
penjelasan UU ITE merujuk pada KUHP, pencemaran nama baik dan fitnah
adalah perbuatan yang berbeda dan memiliki sanksi pemidanaan yang berbeda
pula. Hal ini tentunya menyebabkan timbulnya kerancuan dalam hal penegakan
hukum.
Sebagaimana dijelaskan oleh Beccaria, kumpulan potongan sebagian hak-
hak setiap orang atau disebut sebagai kepentingan umum, yang dikuasakan pada
sekelompok orang, menimbulkan hak untuk menghukum suatu tindakan yang
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan setiap individu atau keadilan.
Namun suatu penghukuman yang tidak sesuai kebutuhan dapat dikatakan tidak
adil.6 Efektif atau tidaknya suatu pemidanaan dapat dilihat dari respon masyarakat
saat hukum tersebut diterapkan.
Dalam mencapai tujuan dari sebuah kebijakan legislasi, harus melalui
serangkaian “paksaan” yang menyebabkan terjadinya peluang untuk
penyalahgunaan wewenang, salah satunya adalah bentuk pemidanaan yang
kurang tepat, ditambah dengan sistem yang bersifat terbuka, menjadikan mudah
terpengaruh oleh faktor lingkungan masyarakat berdasarkan ekonomi, politik,
pendidikan dan teknologi yang justru dapat menjadikan tujuan tersebut tidak
tercapai.7 Tujuan pemidanaanpun dapat berorientasi untuk memberi pembalasan
atas perbuatannya atau memperbaiki perilaku terpidana.8
6 Prabowo, M. Nur, “Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman”, CV. Lintas Nalar,
2015, hlm. 8.
7 Gunarto, Markus Priyo, “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan”, Mimbar
Hukum, Vol.21 No. 1, 2009, hlm. 95.
8 Ibid., hlm.100.
5
Pemidanaan yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia bersumber
dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyediakan berbagai alternatif
dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa.9 Pemidanaan tentang pencemaran
nama baik dalam pasal 310 KUHP yaitu sembilan bulan penjara, dan maksimal
empat tahun penjara untuk pasal 311 tentang fitnah. Namun, dengan melihat
ancaman pidana pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik sebelum dan sesudah revisi, maka peningkatan ancaman
pidana serta denda dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pencemaran nama baik atau fitnah, dapat menggambarkan
“kekhawatiran” dari pemerintah selaku pembentuk Undang-undang akan keadaan
dalam masyarakat di era digital saat ini, yang secara tidak langsung digambarkan
sebagai upaya pencegahan dan efek jera terhadap pelaku tindak pidana
pencemaran nama baik.
Menarik mengetahui bahwa terjadi keunikan dalam penanganan laporan
tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik di Polres Metro
Bekasi, yang dalam periode tahun 2016-2018 senantiasa mengalami peningkatan
jumlah laporan polisi khususnya dalam laporan mengenai tindak pidana
pencemaran nama baik. Namun, dari total perkara sebanyak 96 perkara dalam
periode tahun 2016-2018, hanya ada satu perkara yang P21 atau maju ke tahap
penuntutan dan persidangan, sedangkan masyoritas lainnya diselesaikan dengan
cara musyawarah atau kesepakatan antara pelapor dan terlapor
9 Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. “Pidana pokok terdiri atas : …”
6
Tujuan pemidanaan merupakan unsur absolut yang wajib ada dan menjadi
tolak ukur dalam pemidanaan. 10 Sebagaimana diketahui, bahwa banyak jenis
pidana atau sanksi dalam peraturan perundang-undangan tidak berlandaskan pada
pemikiran yang kuat. Akibatnya, muncul ketidakjelasan terhadap tujuan suatu
pemidanaan yang tidak hanya dapat membuat kacau perumusan Undang-undang
namun juga dalam hal penegakkan hukumnya.11
Umumnya, stigma para legislator serta penegak hukum masih berpegang
pada filosofi mengenai pemidanaan merupakan suatu pembalasan atau efek jera
sebagai bentuk perwujudan keadilan. Namun kenyataannya, cara mewujudkan
keadilan tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan korban maupun
masyarakat. 12 Hal tersebut dapat dilihat dari mayoritas tindak pidana yang
ditangani oleh sistem peradilan pidana Indonesia bermuara pada sanksi penjara.13
Nyatanya tidak semua perbuatan pidana tersebut sepadan dengan pidana
penjara, beberapa tindak pidana memiliki kerugian materil dan immaterial pada
korban, dan masih dapat diperbaiki kembali seperti semula tanpa harus
menerapkan pidana penjara sebagai efek jera. Dengan kata lain, tujuannya adalah
orientasi pada perbaikan tingkah laku masyarakat terutama terpidana atau yang
disebut tujuan restoratif.14
10 Zulfa, Eva Achjani. “Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia. Jurnal Hukum dan
Pembangunan”. Vol.36 No. 6, 2006, hlm. 390.
11 Ibid., hlm. 329-391.
12 Ibid. hlm.393.
13 Prayitno, Kuat Puji. “Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis
dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum, 2012, hlm. 409.
14 Ibid., hlm.409.
7
Dalam sejarah perkembangannya, pemidanaan dalam tindak pidana
pencemaran nama baik mengalami peningkatan sanksi pidana15 yang tujuannya
untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika bermasyarakat.
Namun dalam revisi peraturan perundang-undangan tersebut, terjadi penurunan
sanksi pidana walaupun intisari dari unsur pasal tidak mengalami perubahan.16
Berdasarkan pola pemidanaannya, dapat dikatakan bahwa legislator bertujuan
untuk memberikan efek jera dan pencegahan, namun tetap saja tujuan pemidaan
tindak pidana pencemaran nama baik tidak secara jelas diterangkan.
Sejatinya, hukum pidana merupakan gambaran pola pikir suatu
masyarakat dalam menyikapi suatu permasalahan.17 Sanksi pidana merupakan
alat untuk mencapai tujuan. Namun pandangan tersebut kembali kepada
masyarakat, selaku objek dari suatu pemidanaan yang akan memandang mengenai
tujuan pemidanaan dalam suatu peraturan perundang-undangan.18
Menurut Beccaria, suatu penghukuman atau pemidanaan sejatinya
merupakan perlindungan terhadap kepentingan umum yang merupakan kumpulan
potongan kecil hak-hak setiap orang yang diamanatkan pada sekelompok orang
untuk menciptakan keadilan.19 Definisi keadilan merupakan hal yang senantiasa
15 Lihat Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
16 Lihat Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
17 Zulfa, Eva Achjani, op.cit., hlm. 398.
18 Ibid., hlm. 392.
19 Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. D.I Yogyakarta . CV.
Lintas Nalar, 2015, hlm. 8.
8
diperdebatkan. Menurut John Rawls, justice as fairness, keadilan hanya akan
diperoleh jika memenuhi prinsip-prinsip keadilan yaitu, hak setiap orang atas
kebebasan dasar, serta pengaturan atas ketidaksetaraan ekonomi, dalam hal
pendistribusian atas keuntungan ekonomi.20
Untuk mencapai suatu keadilan yang hakiki, memerlukan penerapan suatu
konsep yang tepat. Menurut Daniel dan Karen, bahwa keadilan restoratif memiliki
konsep restorasi yaitu pelibatan korban, pelaku, komunitas (masyarakat), untuk
aktif berpartisipasi dalam menentukan penyelesaian terbaik yang memberikan
keadilan untuk semua pihak. 21 Dengan pelibatan tersebut,selain diharapkan
memperbaiki kerusakan yang timbul sesaat akibat tindak pidana, juga sebagai
upaya pencegahan kejahatan.22
Dalam penerapannya, keadilan restoratif tidak dapat dilepaskan dari
prinsip serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Prinsip dari keadilan
restoratif yaitu pemulihan korban, pelaku dan komunitas yang terdampak atas
suatu tindak pidana,23 kesempatan bagi korban, pelaku, serta komunitas untuk
turut serta berperan dalam proses keadilan restoratif,24 serta kewajiban antara
pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keamanan (public safety). 25
Sedangkan nilai-nilai keadilan restoratif yang utama yaitu pertemuan korban,
20 Rawls, John. A Theory of Justice. United States of America, Harvard University Press, 1971, hlm. 53.
21 Van Ness. W.Daniel dan Heetderks S. Karen, Restoring Justice: An Introduction to Restorative Justice.
Matthew Bender & Company, 1997, Hlm. 42-43.
22 Ibid. hlm. 44
23 Ibid. hlm. 43.
24 Ibid. hlm .45.
25 Ibid. hlm. 47.
9
pelaku, dan komunitas dalam wadah yang aman untuk melakukan diskusi
mengenai respon atas suatu tindak pidana (encounter),26 kewajiban pelaku untuk
bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana
(amends),27 pelibatan pihak yang terdampak secara langsung atas suatu tindak
pidana dalam proses restoratif (inclusion),28 serta membantu korban dan pelaku
untuk dapat bergabung kembali dalam komunitasnya dengan bantuan masyarakat
yaitu keamanan, penghormatan, materil, dan dukungan moral (reintragation).29
Tolak ukur dari suatu kejahatan adalah kerugian yang ditimbulkan dan
telah dirasakan oleh masyarakat, bukan didasari dari niat atau maksud pelaku
yang sifatnya masih abstrak dan belum terwujud.30
Pemidanaan kontemporer yang bertujuan untuk efek jera, dalam
pelaksanaannya, sebenarnya hanya melibatkan negara (mewakili korban) dan
pelaku, sehingga dapat dikatakan tidak semua pihak benar-benar terlibat untuk
menentukan bagaimana penyelesaian terbaik,31 sehingga out put yang dihasilkan
dari suatu proses pemidanaan belum tentu berdampak signifikan terhadap korban,
pelaku bahkan komunitas yang terdampak.32
Penekanan dalam pemidanaan yang bertujuan restoratif bermaksud untuk
menghindari terjadinya proses pemidanaan lebih lanjut diantaranya penahanan
26 Ibid. hlm. 63-81.
27 Ibid. hlm. 82-93.
28 Ibid. hlm. 117-119.
29 Ibid. hlm. 94-96.
30 Prabowo, M. Nur, op.cit., hlm. 22-24.
31 Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, op.cit., hlm. 45-49
32 Prayitno, Kuat Puji. op.cit., hlm. 411.
10
atau persidangan yang belum tentu memberikan “keadilan” bagi pihak yang
berselisih sebagaimana dimaksudkan oleh negara.33
Beberapa jenis perbuatan yang “digolongkan” sebagai perbuatan pidana,
memiliki dampak kerugian terhadap korban yang masih dapat dilakukan
perbaikan, baik secara materil maupun immaterial, dengan cara kesepakatan yang
diperoleh dari hasil pertemuan semua pihak, yaitu korban, pelaku serta
masyarakat. Seyogianya, keadilan dan perdamaian merupakan kunci dari suatu
penyelesaian perkara pidana yang memiliki tujuan untuk memperbaiki hubungan
antara pihak yang berselisih.34
Berbeda dengan pemidanaan dengan tujuan retributif, sanksi pidana
dianggap cara mendapatkan suatu keadilan, namun masih banyak terdapat
perdebatan mengenai rationale sanksi pidana yang dinilai seimbang dengan
kejahatan pelaku tindak pidana.35 Ataupun dengan tujuan restitutif, yaitu sanksi
pidana berupa denda atau membayar sejumlah uang kepada korban, dengan tujuan
historis yaitu menghurangi hukuman yang tidak adil, atau tidak manuasiawi.36
Penyelesaian perkara secara restoratif adalah bentuk perubahan paradigma
pemidanaan yang lahir dari inisiatif masyarakat untuk bertindak di luar dari
ketentuan pemidanaan dalam perundang-undangan yang dianggap kurang tepat.37
33 Herlina, Apong. “Restorative Justice.” Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.3. No.3, 2004, hlm. 25-26.
34 Prayitno, Kuat Puji, op.cit., hlm. 408.
35 Sterba, James.P, “Retributive Justice.” Political Theory, Vol. 5 No. 3, 1977, hlm. 358-361.
36 Galaway, Burt, “The Use of Restitution”, Crime & Delinquency, 1977, hlm.63-65.
37 Daniels, Griff, “Restorative Justice : Changing The Paradigm”, Probation Journal. Vol.60 No.3 2013,
hlm.306-307.
11
Melihat kembali bahwa tujuan pemidanaan, menurut Herbert L. Packer
dikutip oleh Setiawan, pendekatan pemidanaan digolongkan menjadi retribution,
ultilitarian prevention, maupun behavioral prevention, memiliki tujuan yang
serupa, yaitu pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka mendidik
pelaku agar mengetahui bahwa perbuatan tersebut adalah salah dan menjadikan
pelaku tertib sosial serta sebagai pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana
serupa baik yang dilakukan oleh residivis maupun pelaku lainnya.38 Sedangkan
menurut pendapat Hulsman dikutip oleh BN Arief, bahwa tujuan pemidanaan
yaitu sebagai perbaikan tingkah laku individu serta solusi atau jalan keluar dari
penyelesaian suatu konflik dengan cara restitusi atas kerugian yang dialami oleh
korban, maupun rehabilitasi hubungan pihak yang berselisih. 39 Atau menurut
Wirjono, bahwa pemidanaan bertujuan untuk pencegahan tindak pidana, serta
untuk merehabilitasi pelaku tindak pidana untuk dapat kembali bergabung dalam
komunitasnya sebagai pribadi yang tertib.40
Tujuan pemidanaan mengakomodir adanya rehabilitasi pelaku tindak
pidana, serta merestorasi hubungan para pihak yang terkena dampak suatu tindak
pidana. Hal tersebut tidak bertentangan dengan penerapan konsep keadilan
restoratif yang merupakan salah satu upaya alternatif dalam ranah praktik
pemidanaan selain pemidanaan bertujuan efek jera yang tentunya memiliki
38 Setiawan, M. Arif, “Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan”, Jurnal Hukum, Vol 6 No.11,
1999, hlm.98-105.
39 Arief, B. N, “Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya
Bakti, 1998, hlm9.
40 P. Wirjono. Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta, P.T Eresco, 1980, hlm. 3.
12
keselarasan dengan tujuan pemidanaan juga namun dengan pendekatan yang
berbeda.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dalam
bentuk penulisan karya ilmiah yang berjudul : " Cost-Benefit Analysis
Pemidanaan Pencemaran Nama Baik : Retributif Atau Restoratif? Studi
Polres Metro Bekasi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana justifikasi terhadap tujuan pemidanaan retributif dan restoratif
dalam pemidanaan pencemaran nama baik ?
b. Bagaimana melihat tujuan pemidanaan tersebut dengan menggunakan
cost benefit analysis di Polres Metro Bekasi ?
1.3 Metodologi Penelitian
1. Metode Pendekatan
Peneliti menggunakan petode pendekatan kualitatif, yang dalam
penelitian ini, terdapat pembahasan mengenai teori keadilan retributif serta
penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik, yang bersumber
dari studi literatur tentang teori dan doktrin, peraturan perundang-undangan
terkait, yaitu KUHP, Undang-undang ITE (UU 11/2018 dan UU 19/2016),
KUH Perdata, dan putusan pengadilan terkait.
Kemudian, pada pembahasan mengenai teori keadilan restoratif
serta penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik, bersumber
13
dari studi literatur mengenai teori dan doktrin, diperkuat dengan interview
penegak hukum (polisi dan pengacara) dalam realitas pemidanaan serta data
berbasis statistik yang bersumber dari Polres Metro Bekasi.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Penulis merupakan penelitian
eksploratif dan perbandingan hukum. Penelitian eksploratif merupakan
studi penelusuran atas terjadinya suatu peristiwa atau masalah yang masih
belum dapat didefinisikan secara jelas, yang dalam penelitian ini Peneliti
melakukan penelusuran terhadap realitas pemidanaan pencemaran nama
baik yang terjadi di Polres Metro Bekasi. Selain itu, Peneliti juga melakukan
perbandingan hukum atas dua pendekatan pemidanaan yaitu retributif dan
restoratif atas penerapannya dalam pemidanaan pencemaran nama baik di
Indonesia.
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Studi literatur yang dilakukan dalam penelitian ini bersumber dari
buku dan jurnal yang bersumber dari internet antara lain
www.scholar.google.co.id, dengan memasukkan keywords pada laman
pencarian dan kemudian mengunduh buku dan jurnal yang dibutuhkan.
Pada akhirnya dalam penelitian terdapat cost-benefit analysis
terhadap keadilan retributif dan keadilan restroratif dalam pemidanaan
pencemaran nama baik serta realitas penerapannya. Tentunya dengan
berdasarkan kepada teori-teori filsafat dan doktrin para ahli, untuk
14
kemudian disesuaikan dengan fakta-fakta yang sebelumnya diperoleh
dalam proses interview langsung dengan penegak hukum.
4. Metode Analisis Data
Analisa mengenai pemidanaan pencemaran nama baik serta realitas
pemidanaannya dari sudut pandang keadilan retributif dan keadilan
restroratif dalam penelitian ini, dilakukan setelah terjadinya beberapa kali
perubahan sanksi pidana pencemaran nama baik, kemudian peneliti
menganalisa realitas pemidanaannya dengan data yang bersumber dari
website www.putusan.mahkamahagung.go.id serta data proses penegakkan
hukum yang ditangani Polres Metro Bekasi sebagai perbandingan.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini meliputi:
a. Untuk mengkaji justifikasi terhadap tujuan pemidanaan retributif dan
restoratif dalam pemidanaan pencemaran nama baik;
b. Untuk menguji tujuan pemidanaan tersebut dengan menggunakan cost
benefit analysis di Polres Metro Bekasi.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari penulisan skripsi ini berangkat dari kegelisahan
penulis tentang paradigma perubahan pemidanaan dalam pencemaran nama baik,
berawal atas terjadinya penguatan atas pemidanaannya (sanksi pidana) yang
dimaksudkan untuk pencegahan tindak pidana dan sejauh apa dampak dari
penguatan sanksi pidana tersebut terhadap terjadinya tindak pidana pencemaran
nama baik.
15
Pemidanaan adalah sarana yang digunakan untuk mencapai suatu keadilan,
walaupun terdapat berbagai macam pendekatan mengenai pemidanaan dari sudut
pandang pemberian efek jera, pencegahan terjadinya kejahatan, pembalasan,
bahkan merehabilitasi hubungan pelaku dan korban.
Keadilan di Indonesia pada prinsipnya tentu tidak akan terlepas dari
prinsip dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 Amandemen ke-4
yang menjamin bahwa setiap individu akan memperoleh perlindungan dan
kepastian hukum yang adil. Penjawantahan prinsip tersebut tentunya adalah
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi suatu tindak
pidana. Sumber hukum pidana utama di Indonesia berpegang pada KUHP yang
kemudian diturunkan menjadi aturan perundang-undangan baru yang bersifat
khusus.
Untuk memahami bagaimana maksud dan tujuan dari suatu pemidanaan
maka membutuhkan teori hukum, yang seharusnya terjadi penggabungan antara
Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum untuk dapat menjawab pertanyaan
tersebut.
Dalam tulisan ini, peneliti menggunakan filsafat pemidanaan yang
dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Richard Posner mengenai keadilan
retributif lalu Jeremy Bentham mengenai pendakatan dalam prinsip utilitariannya.
Dalam dogmatika hukum penulis menggunakan pandangan dari Van Ness &
Karen mengenai keadilan restoratif, Richard Posner, Byrd, Darryl K Brown
dengan analisa ekonomi dalam pemidanaan.
16
Sebagai acuan prinsip, Peneliti mengupas tujuan pemidanaan yaitu
keadilan dari sudut pandang pemidanaan retributif, kemudian Peneliti membahas
keadilan dari pemidanaan restoratif, dan membandingkan perbedaan keduanya
dari sisi proses dalam mencapai keadilan tersebut. Antara lain kedudukan para
pihak yang bersengketa, concern dari pemidanaan retributif dan restoratif,
aplikasinya pada pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia. Tak lupa
Peneliti juga membahas mengenai keadilan yang terdapat pada KUH Pidana yang
menjadi salah satu sumber hukum pidana utama di Indonesia.
Penjawantahan antara Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum tersebut
digunakan untuk melakukan analisa terhadap pemidanaan pencemaran nama baik.
Teori yang digunakan adalah cost-benefit analysis, peneliti akan menggunakan
analisa dari sudut pandang ekonomi terhadap pemidanaan pencemaran nama baik.
Pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia pada awalnya hanya
diatur dalam KUH Pidana, diantaranya pasal 310 dan 311 KUH Pidana. Lalu
dibentuk UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang dalam Undang-Undang
tersebut terjadi penguatan sanksi pidana pencemaran nama baik melalui media
elektronik menjadi maksimal 6 tahun penjara, namun dalam perubahannya yaitu
UU No 19 Tahun 2016 perubahan sanksi pidana kembali terjadi menjadi
maksimal 4 tahun penjara.
Cost-benefit Analysis digunakan oleh peneliti untuk mengukur sejauh
mana efektifitas pemidanaan yang berjalan saat ini jika dibandingkan dengan
realitas pemidanaannya, dan upaya mencari alternative atau solusi terhadap
kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam realitas pemidanaan.
17
BAB II
KEADILAN
2.1 Keadilan Retributif
Keadilan retributif merupakan pendekatan terkuno dalam hal upaya pencarian
keadilan, dengan orientasi berupa hukuman terhadap suatu pelaku tindak pidana. 41
Pembenaran terhadap pandangan tersebut tidak terlepas dari hasrat pembalasan (balas
dendam) yang dimiliki oleh seluruh manusia, yang oleh Cottingham, pembenaran atau
varietas dari keadilan retributif digolongkan berdasarkan sudut pandang urgensi dari
suatu pemberian hukuman suatu tindak pidana. Antara lain, hukuman sebagai
pembayaran kembali (repayment) atas perbuatan pidana dalam bentuk “siksaan” atau
situasi “tidak menyenangkan” yang harus dialaminya sebagai ganjaran wajib atas pelaku
tindak pidana.42
Pada awalnya retribusi (pembalasan) dilakukan secara langsung oleh pihak yang
menjadi korban kepada pihak yang menjadi pelaku suatu kejahatan. Hal tersebut
menyebabkan tidak terputusnya rantai konflik bahkan menyebabkan peperangan antar
kelompok. Seiring perkembangan budaya di Barat, retribusi atau pembalasan tidak lagi
bersifat langsung, melainkan menjadi suatu prerogratif dari penguasa, dalam hal ini Raja
atau lembaga peradilan yang dianggap sebagai titisan dari Tuhan. Hal tersebut dianggap
41 Hogan R., Emler N.P. “Retributive Justice. In: Lerner M.J., Lerner S.C. (eds) The Justice Motive in
Social Behavior. Critical Issues in Social Justice”, 1981, Hlm. 130-131.
42 Cottingham, John. “Varieties of Retribution.” The Philosophical Quarterly (1950), vol. 29, no. 116, 1979,
hlm. 238–246. Penggolongan teori Retribusi menjadi 9 macam, yaitu Repayment Theory, Desert Theory,
Penalty Theory, Minimalism, Satisfaction Theory, Fair Play Theory, Placation Theory, Annulment Theory,
dan Denunciation Theory.
18
lebih efisien dan mencegah konflik berkepanjangan, serta meredam hasrat untuk balas
dendam.43
Retribusi memiliki keterkaitan dengan kekuasaan dan status, pembalasan dalam
retribusi dapat digunakan dalam hal pencapaian status dan kekuasaan, atau sebaliknya,
semakin tinggi kedudukan status yang dimiliki seseorang, maka semakin berhati-hati
orang tersebut untuk tidak melakukan suatu pelanggaran, karena akan memicu
“pembalasan” yang lebih hebat dari orang yang kurang beruntung. 44 Pembalasan
merupakan salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi dan harga diri, sehingga
walaupun dianggap bertentangan dengan moral dalam teorinya, namun memperoleh
pembenaran dalam praktiknya.45
Keadilan retributif memiliki peran dalam menyetarakan posisi korban yang
didominasi oleh pelaku. Saat setelah terjadinya suatu peristiwa kejahatan, posisi korban
menjadi lebih lemah dibandingkan dengan pelaku dari berbagai sisi, sehingga Negara
atau sistem peradilan pidana wajib bertindak mewakili kepentingan korban suatu tindak
pidana.46 Fokus utama dalam retributif adalah kejahatan pelaku dan ganjaran yang
setimpal dengan perbuatannya. 47 Rationale hukuman suatu tindak pidana didasarkan
pada proporsionalitas antara kejahatan dengan hukumannya.48
43 Hogan R., Emler N.P. op.cit., Hlm. 132-134.
44 Ibid. hlm. 140-142.
45 Ibid. hlm. 139.
46 Fletcher, George P. “The Place of Victims in the Theory of Retribution”. Buffalo Criminal Law Review,
vol. 3 no. 1, 1999, hlm. 51–63.
47 Richard A. Posner, “Retribution and Related Concepts of Punishment”. The Journal of Legal Studies
Vol. 9 no. 1, 1980, Hlm. 71.
48 Murphy J.G. “Kant’s Theory of Criminal Punishment”. Retribution, Justice, and Therapy Journals.
Philosophical Studies Series in Philosophy, vol 16. 1979, Hlm. 82-92.
19
Dalam menerapkan keadilan retributif tidak terlepas dari cara criminal justice
system bekerja, termasuk peraturan tertulis yang dibuat oleh legislator yang menjadi dasar
pemidanaan suatu tindak pidana. Sehingga peran Negara yang diwakili oleh lembaga
sistem peradilan pidana memainkan peran utama dalam penerapan keadilan retributif.
Dalam analisanya, Byrd memahami bahwa teori Kant memandang hukum pidana
merupakan instrumen untuk melindungi setiap anggota masyarakat atas terjadinya suatu
kejahatan dan merupakan cara pengembalian keadaan setelah terjadinya tindak pidana
atas dasar kesepakatan bersama. Suatu ancaman pidana yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan merupakan motivasi atau “bujukan” terhadap individu untuk tidak
melanggar ketentuan. Sifat jera yang ada dalam penerapan suatu hukuman dimaksudkan
untuk memberikan “motivasi” pada individu untuk tidak melakukan kejahatan atau
pengulangan kejahatan. Hal ini akan terus ada seiring keberadaan masyarakat, bahkan
saat suatu kelompok kecil masyarakat memutuskan untuk bubar atau tidak mengikatkan
diri pada suatu ikatan masyarakat, menjadi suatu kewajiban atau keharusan untuk
mengadili suatu pelaku pidana terakhir dalam kelompok masyarakat tersebut.49
Posner berpendapat bahwa, pendekatan secara retributif dapat dilihat pula dari
sudut pandang ekonomi. Dalam pandangannya, hukuman pidana (terutama dalam bentuk
denda) menekan setiap orang yang akan melakukan suatu tindak pidana untuk
mempertimbangkan resiko atau kewajiban yang harus ditanggungnya setelah berbuat
pidana sehingga menekan angka terjadinya suatu tindak pidana. Jika telah dikenakan
denda, maka diharapkan biaya sosial yang dikeluarkan akibat suatu tindak pidana setara
49 Byrd, B.S. “Kant's theory of punishment: Deterrence in its threat, retribution in its execution”, Law
Philos Vol. 8, 1989, hlm.151–200.
20
dengan denda yang ditimpakan pada pelaku tindak pidana. 50 Sebagaimana dikutip
olehnya dari Jeremy Bentham, bahwa terjadinya suatu tindak pidana membuat
dikeluarkannya biaya sosial (social cost) sehingga pelaku pidana wajib menanggung
ganti rugi atas biaya tersebut, bahkan tidak menutup kemungkinan pidana denda yang
lebih besar dari biaya sosial yang timbul.51 Namun tentu saja kritikan terhadap teori
ekonomi tersebut tetaplah ada, bahwa jika suatu tindak pidana terjadi dan menimbulkan
suatu biaya sosial (social cost), yang disebut sebagai sunk cost (biaya hangus), maka tidak
akan dapat tergantikan oleh apapun, bahkan terhadap hukuman yang dikenakan oleh
pelaku pidana.52
Sebenarnya dasar pemikiran dari Teori Ekonomi tersebut bukan untuk
menggantikan suatu kerugian yang timbul akibat tindak pidana dengan hukuman terhadap
pelaku, namun menekankan pada dengan memberikan “harga” pada suatu tindak pidana,
membuat orang berfikir ulang untuk melakukannya, sehingga menekan angka terjadinya
suatu tindak pidana. Hal ini sejalan dengan Teori Pencegah (Deterrent Theory).53
Pada intinya, tujuan utama dari pemidanaan yang bersifat retributif sendiri adalah,
untuk upaya pencegahan terjadinya kejahatan serupa dan efek jera terhadap pelaku agar
tidak melakukan pengulangan kejahatan.54
50 Richard A. Posner, Op.cit., Hlm.72-73.
51 Ibid. hlm.73. Bentham membuat suatu rumusan dalam hal perhitungan suatu pidana denda yaitu C = f .
p, C = Social Cost, f = Fine, p = probability that punishment will be imposed on the criminal.
52 Ibid. Hlm. 73.
53 Ibid. Hlm. 73-74.
54 Setiawan, M. Arif, “Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan”, Jurnal Hukum, Vol 6 No.11,
1999, hlm.98-105
21
2.2 Perbandingan Keadilan Restoratif dengan Keadilan Retributif
Lain halnya dengan keadilan retributif yang menitikberatkan tentang bagaimana
menghukum pelaku tindak pidana untuk menimbulkan efek jera, keadilan restoratif
menitikberatkan pada pelibatan pihak-pihak yang terdampak atas suatu tindak pidana
untuk dapat menyelesaikan permasalahan khususnya perbaikan hubungan antara korban
dengan pelaku.55
Perbedaan berikutnya yaitu posisi Negara dalam proses contemporary criminal
justice. Keadilan restoratif menempatkan Negara menjadi bagian dalam prinsip keadilan
restoratif, dalam hal ini adalah menjembatani untuk menjamin adanya public safety
dengan cara menjaga ketertiban yang adil. Bukan semata-mata hanya sebagai
“penghukum” tanpa menampung kepentingan korban dan pelaku.56
Dalam terjadinya suatu tindak pidana, posisi pelaku menjadi lebih “dominan” dari
korban karena telah dirampasnya sebagian hak milik korban. Keadilan Retributif
berfungsi untuk menghukum perbuatan pelaku, seimbang dengan hak yang telah
diambilnya. Sedangkan keadilan restoratif memiliki sudut pandang berbeda yaitu
“mengembalikan” hal yang terampas tersebut pada posisi semula.
Posisi korban yang dipandang “lemah” tersebut, diambil alih oleh Negara dalam
hal penuntutan keadilan, sehingga tidak ada peran aktif korban secara langsung dalam
proses pencarian keadilan tersebut. Dalam keadilan retributif, Negara diberi mandat atau
kepercayaan secara penuh oleh warga, baik secara sukarela maupun tidak dalam hal
penghukuman. Sehingga dalam hal ini, keadilan yaitu adalah hukuman untuk pelaku yang
55 Van Ness. W.Daniel dan Heetderks S. Karen, Op.cit., hlm. 50-54.
56 Ibid. hlm. 43-47.
22
dianggap setara dengan akibat perbuatannya, tentunya dari sudut pandang Negara, bukan
murni dari pihak korban.
Namun, dalam penerapan keadilan restoratif, korban menduduki posisi sentris, saat
proses pemidanaan, korban dapat turut berperan dalam hal menuntut keadilan “versi”
dirinya yang dianggap setimpal dengan perbuatan pelaku, tentunya dengan melibatkan
pihak lain sebagai penengah.
Keadilan Restoratif tidak sama sekali menghilangkan tanggungjawab dari pelaku
tindak pidana atas perbuatannya, namun lebih dari itu, dalam keadilan restroratif
memberikan peluang untuk berfikir mengenai pencegahan atau penanganan atas future
harm suatu tindak pidana, yang berakibat tindak hanya terhadap korban dan pelaku
namun juga komunitas yang terdampak. Dapat dikatakan bahwa penekanan dalam hal
moralitas juga menjadi salah satu concern dalam konsep ini.
Kehadiran dari keadilan restoratif merupakan suatu alternatif dan inovasi dalam
suatu pemidanaan yang berlaku saat ini. Dengan berbagai pandangan ahli, keadilan
restoratif memberikan efek pencegahan jauh lebih baik dari keadilan retributif dalam hal
meredam hasrat balas dendam yang dimiliki oleh masing-masing manusia (dalam hal ini
adalah korban) melalui peran aktif dari berbagai elemen termasuk kolaborasi antara
Negara dan komunitas dalam hal menjamin public safety, serta penerapan keadilan
restoratif tidak bertentangan dengan the rule of law, dan memiliki dampak sosial lebih
baik dari pidana penjara dalam terjadinya pengulangan tindak pidana oleh residivis.57
57 Ibid. Hlm. 54.
23
Namun menurut Bennett, bahwa perpaduan antara keadilan retributif dan keadilan
restoratif dapat dilakukan, yaitu blaming (menyalahkan) dan apologizing (memaafkan).58
Pandangan tersebut didasari atas pemikiran bahwa suatu penghukuman yang dipenuhi
dengan kebencian, amarah, dan balas dendam hanya akan merusak hubungan antar
masyarakat. Menurut Bennett tidak semua tindak pidana tepat untuk diterapkan keadilan
restoratif, di mana hanya dapat dilakukan apabila melibatkan pihak yang sebelumnya
telah memiliki “ikatan”, dalam hal ini kekerabatan, atau ruang lingkup sosial serta suatu
tindak pidana yang memiliki dampak atau kerugian yang bersifat eksklusif. Sehingga
Bennett menekankan pada permohonan maaf dari pelaku yang tentunya telah mengaku
akan kesalahan dari perbuatannya, pemulihan penghormatan dan hubungan
bermasyarakat.
Sejalan dengan pemikiran Bennett, McCold & Wachtel menggambarkannya dalam
suatu skema yang disebut The Restorative Practices Typology. Dalam skema tersebut
dapat dilihat bahwa, pertanggungjawaban pelaku atas kejahatan yang telah diberikan pada
korban tidak hilang, bahkan mendapatkan asistensi dari masyarakat/komunitas, yang
dalam hal menjamin terlaksananya kewajiban pelaku pidana kepada korban. Dari skema
tersebut juga tergambarkan bagaimana keterlibatan masyarakat secara langsung dalam
proses peradilan pidana.59
58 Brownlee, Kimberley (2010). Retributive, Restorative and Ritualistic Justice. Oxford Journal of Legal
Studies 30 (2):385-397.
59 McCold, P., and T. Watchel. (2003). In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice.
International Institute for Restorative Practices. Bethlehem. Pennsylvania. U.S.A. Hlm.
24
1. The Restorative Practices Typology
Namun Kathleen memiliki pandangan bahwa terdapat “celah” (gap) antara teori
dengan praktik dari keadilan restoratif. Keadilan diwakili oleh keberadaan penegak
hukum (sebagai salah satu elemen dalam proses restoratif) yang tidak memihak dan
menghargai semua pihak, sedangkan restoratif diwakili oleh keterlibatan berbagai pihak
dalam hal ini pelaku, korban, dan masyarakat terdampak. Celah (gap) yang dimaksud
oleh Kathleen adalah, keadilan restoratif yang masih terbilang baru dan berbeda dengan
sistem peradilan kontemporer membuat ketidaktahuan dari masing-masing pihak yang
terlibat dalam proses restoratif akan perannya masing-masing, sehingga tujuan dari
keadilan restoratif tidak sepenuhnya tercapai. Namun Kathleen menilai bahwa dalam
conference process (tahap pertemuan para pihak) agak sulit dilakukan oleh pelaku atau
korban yang masing remaja atau anak, sehingga orang dewasa lebih mudah melalui tahap
tersebut, karena dalam proses tersebut dibutuhkan perhatian empatik yang lebih besar.
Selain itu, celah lain juga terdapat dari perpaduan antara keadilan dan restoratif, di mana
25
keadilan bekerja dengan peran dan prosedur yang mapan, sedangkan restoratif bekerja
dengan emosi, perasaan marah, malu dan terlukai, sehingga dalam penerapannya
membutuhkan perhatian khusus dan aturan baku yang detail dan jelas dimana terdapat
penjelasan mengenai masing-masing peran, hak dan kewajiban dari pihak yang terlibat
dalam proses keadilan restoratif.60
2.3 Keadilan Retributif Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik
Sebagaimana disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa keadilan
retributif identik dengan hubungan antara sanksi pidana serta proses penegakkan
hukumnya dalam mencapai tujuan utama yaitu pencegahan dan efek jera. Dan saat ini,
pemidanaan pencemaran nama baik di Indonesia mengalami penguatan atau pemberatan
sanksi pidana dengan keberadaan Undang-Undang ITE, yang dapat dikatakan bertujuan
pula untuk memberikan efek jera dan pencegahan sebagaimana dimaksud oleh keadilan
retributif.61
Banyak perdebatan mengenai delik pencemaran nama baik merupakan delik
aduan atau bukan,62 yang dalam hal ini orang yang mengalami kerugian secara langsung
yang dapat menuntut perbuatan tersebut. Namun dalam prakteknya, yang melaporkan
60 Daly, Kathleen, “Mind the gap: Restorative justice in theory and practice." Restorative justice and
criminal justice: Competing or reconcilable paradigms. Cambridge Seminar on Restorative Justice, 2003,
Hlm. 1-22. Riset tersebut berdasarkan data South Australia Juvenile Justice (SAJJ) periode tahun 1998-
1999, yang menggambarkan proses terjadinya restorative justice terhadap kejahatan remaja dalam berbagai
tindak pidana khususnya kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, dsb.
61 Ancaman pidana yang diatur dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun
2008 tentang ITE, memperkuat pemidanaan dalam KUHP, menjadi 4 Tahun Penjara dari sebelumnya hanya
9 bulan penjara
62 Merujuk pada penjelasan di Undang-undang ITE (UU 11/2008 dan UU 19/2016).
26
delik pencemaran nama baik tidak hanya korban langsung melainkan pihak-pihak lain
yang “belum tentu” merasakan akibat dari perbuatan pencemaran nama baik tersebut
secara langsung. Hal ini menjadi salah satu faktor mengenai keadilan retributif yang
dominan dalam pemidanaan perkara pencemaran nama baik.
Pada dasarnya, alur proses penegakan hukum di Indonesia cenderung tidak
memberikan ruang untuk keadilan restoratif, dan hanya didesain untuk keadilan retributif
bekerja. Misal, dalam hal alat bukti dalam hanya penetapan tersangka yaitu 2 alat bukti
yang sah, “mempercepat” laju proses penyidikan, 63 atau tidak diaturnya mekanisme
secara khusus dalam hal menjembatani kepentingan korban dan pelaku dalam suatu disaat
proses penanganan perkara berlangsung.
Kembali lagi pada bagaimana proses perubahan sanksi pidana pencemaran nama
baik. Pada awalnya perbuatan pencemaran nama baik telah diatur dalam KUHP,64 namun
penguatan sanksi pidana terjadi dalam Undang-Undang ITE (UU 11/2008) yang bahkan
memiliki ancaman pidana 6 tahun penjara. Tentunya dengan berdasarkan ketentuan dari
KUHAP, memiliki dampak lebih berat terhadap tersangka, antara lain dapat dilakukan
penahanan dalam proses penyidikan.65
Perubahan terhadap sanksi pidana terjadi kembali pada Undang-Undang ITE (UU
19/2016) di mana sanksi pidana menjadi 4 tahun penjara. Penurunan yang cukup
signifikan, dalam hal ini mempengaruhi penurunan resiko yang harus “diderita” oleh
63 Pasal 185 KUHAP.
64 Pasal 310 KUHP hingga Pasal 321 KUHP.
65 Pasal 21 ayat (4) huruf (a) KUHAP.
27
tersangka, yaitu penahanan dalam proses penyidikan, walaupun tetap saja ancaman
pidana penjara yang dihadapkan lebih berat dari pasal dalam KUHP.
Sebagaimana telah dibahas, bahwa keadilan retributif yang bekerja pada
pemidanaan pencemaran nama baik, tentunya memiliki tujuan utama yaitu pencegahan.
Namun, untuk mengetahui apakah tujuan tersebut tercapai atau tidak, maka realitas atau
dampak pemberlakukan pidana tersebut yang menjadi tolak ukur.
Jumlah laporan tindak pidana pencemaran nama baik terus meningkat setelah
Undang-undang ITE (UU 11/2008 dan UU 19/2016) diberlakukan, walaupun memiliki
ancaman sanksi pidana jauh lebih berat dari aturan sebelumnya. 66 Konsep keadilan
retributif di mana sanksi atas suatu perbuatan pidana dibuat sepadan dengan perbuatannya
agar menimbulkan efek jera atau pencegahan, dapat dikatakan belum terealisasi dalam
pemidanaan pencemaran nama baik.
Selain itu, salah satu faktor dalam realitas pemidanaan tersebut, adalah ketiadaan
akan tolak ukur suatu pencemaran nama baik atau penghinaan dalam Undang-Undang
ITE, menjadikan pasal ini dikatakan bersifat “karet” oleh orang awam, sehingga
menjadikan “mudahnya” sesuatu perbuatan dikategorikan pencemaran nama baik atau
penghinaan.
Selain meningkatnya jumlah laporan polisi pasca penguatan atau pemberatan
ancaman pidana pasal pencemaran nama baik atau penghinaan, dapat dilihat dari jumlah
putusan perkara tindak pidana ITE mendominasi setengah dari total putusan yang ada di
66 Southeast Asia Freedom of Expression Network dan data jumlah Laporan Polisi tindak pidana
Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan di Polres Metro Bekasi pada Tahun 2016-2018.
28
Direktori Putusan Mahkamah Agung RI yang berakhir pada tingkat PK dan Kasasi.67
Bahkan hal tersebut belum termasuk jumlah laporan yang tidak masuk dalam direktori
putusan di tinggat pengadilan yang sama, tingkat banding atau di Pengadilan Negeri.
Dari 19 putusan tersebut, terdapat 3 putusan yang terdakwa hanya divonis
hukuman percobaan, dan 7 putusan di mana terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah
pada tingkat Kasasi atau PK, misal, Kasus Prita Mulyasari. Selain itu, dalam kasus Baiq
Nuril yang pada akhirnya mendapatkan grasi dari Presiden. Dari peristiwa tersebut
tergambarkan bagaimana suatu serangkaian panjang proses pemidanaan bersifat retributif
yang dilalui oleh pihak terdakwa maupun korban, dalam rangka memperoleh keadilan,
namun nyatanya tidak “efektif” dalam rangka pencarian keadilan bagi kedua belah pihak.
Pada pihak terdakwa harus menjalani serangkaian proses pemidanaan yang panjang dan
melelahkan, sedangkan pada pihak korban masih ada hasrat “balas dendam” yang belum
terobati, dan memiliki efek samping hubungan sosial yang belum ada rekonsiliasi.
Sedangkan untuk setiap putusan yang memvonis terdakwa bersalah serta
menjatuhkan pidana penjara, pada realitasnya tidak serta merta berpengaruh pada
pencegahan atau efek jera walaupun penghukuman dalam bentuk sanksi yang dianggap
seimbang dengan perbuatannya telah diberikan.68
2.4 Keadilan Restoratif Dalam Pemindanaan Pencemaran Nama Baik
67 Berdasarkan data putusan yang terdata di www.putusan.mahkamahagung.go.id diakses pada tanggal 01
Oktober 2019. Di periode Tahun 2016-2018, jumlah total putusan sebanyak 42 putusan, 19 Putusan perkara
pencemaran nama baik .
68 Tergambar dari terus meningkatnya jumlah laporan polisi tindak pidana pencemaran nama baik.
29
Mayoritas pemidanaan tindak pidana di Indonesia memang tidak menggunakan
pendekatan keadilan restoratif dalam proses pemidanaannya. Keadilan restoratif
sesungguhnya bersifat sistematis dan formal, sebagaimana telah diterapkan dalam sistem
peradilan pidana anak (UU 11/2012 tentang SPPA) yang melibatkan banyak pihak di
dalamnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut keadilan restoratif terdapat
dalam proses diversi.69 Menariknya, dalam proses pemidanaan pencemaran nama baik
saat ini yang bersifat retributif, terdapat alternatif penyelesaian perkara yang
mengesampingkan keadilan retributif sebagaimana terjadi pada Polres Metro Bekasi.
Jumlah Laporan Polisi di Polres Metro Bekasi tentang tindak pidana pencemaran
nama baik yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. 70 Namun dalam proses
penanganannya, hanya ada 1 (satu) perkara yang sampai pada tahap P-21 atau
dilimpahkan ke Kejaksaan. Sedangkan mayoritas dari laporan tersebut diselesaikan
secara musyawarah oleh pihak korban dan terlapor. Tercapainya suatu penyelesaian
bersifat musyawarah mufakat tersebut diperoleh pada saat baru dibuatnya laporan polisi,
atau dalam proses penyelidikan dan proses penyidikan.
Sebagaimana diketahui bahwa, setelah penerimaan laporan polisi, maka
dilakukan upaya-upaya oleh Penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana, antara
lain melakukan pemeriksaan saksi dan terlapor, penyitaan barang bukti, dan sebagainya.
Selama berjalannya proses penyelidikan dan penyidikan, tidak sedikit pihak
terlapor yang akhirnya memutuskan untuk bermusyawarah pada pelapor, dan
menyelesaikan permasalahan salah satunya dengan permintaan maaf yang diketahui
69 Pasal 1 ayat (6) dan (7) Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
70 Sumber dari Rekap Data Jumlah Laporan Polres Metro Bekasi periode tahun 2016-2018.
30
secara umum atau penggantian kerugian dalam bentuk materil. Hal tersebut dikarenakan
pengaruh tidak langsung dari upaya paksa dalam proses penyidikan, ditambah dengan
beban moral yang ditanggung oleh terlapor apabila perkara tersebut dibawa ke ranah
pengadilan. Begitu pula dengan pelapor, yang mayoritas membuat laporan polisi hanya
untuk “menggertak” terlapor, atau emosi sesaat saja, namun pada akhirnya memilih jalur
musyawarah untuk memperoleh win-win solution.71
Penyidik tidak berperan aktif secara langsung dalam proses restoratif, dalam arti
mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa secara langsung dan formal, melainkan
hanya memberikan “ruang” bagi pihak terlapor maupun pelapor untuk menyelesaikan
perkara secara musyawarah selama proses penyelidikan atau penyidikan tanpa
mengintervensi kedua pihak. Dan apabila telah dicapainya suatu kesepakatan, maka
pelapor akan mencabut laporannya yang dituangkan dalam Berita Acara oleh Penyidik,
dan biasanya turut melampirkan surat kesepakatan bersama. Penyidik dengan diskresinya
pada akhirnya menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan dan mengeluarkan
produk akhir yaitu SP3.72
Pertimbangan dari pihak Penyidik adalah telah tercapainya keadilan bagi pihak-
pihak yang bersengketa dan juga perbaikan hubungan antara terlapor dan korban,
sehingga tidak perlu dilanjutkan hingga tahap penuntutan.
Proses tersebut tentunya tidak dapat digolongkan sebagai suatu penerapan
keadilan restoratif karena tidak memenuhi prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan
71 Berdasarkan Interview dengan Penyidik-penyidik di Sat Reskrim polres Metro Bekasi mengenai proses
penanganan perkara tindak pidana pencemaran nama baik. Dilaksanakan pada Bulan Agustus-September
2019.
72 Ibid.
31
restoratif sebagaimana dijabarkan oleh Van Ness&Karen,73 antara lain adanya peran aktif
Negara dalam melibatkan komunitas yang terdampak secara tidak langsung dalam proses
restoratif, maupun sebagai jembatan antara kepentingan korban, pelaku, serta komunitas.
Walaupun, prinsip pertanggungjawaban atas terjadinya suatu kerusakan akibat tindak
pidana tidak hilang dan tetap menjadi kewajiban penuh dari pelaku.
Karena, dalam menghadapi permasalahan pencemaran nama baik atau
penghinaan yang pada intinya memiliki dampak kerugian yang bersifat personal,
kesempatan bagi korban, pelaku, komunitas untuk turut serta berperan dalam proses
keadilan restoratif adalah bagian terpenting. Namun proses yang terjadi di Polres Metro
Bekasi tidak dapat digolongkan sebagai suatu keadilan restoratif, walaupun pada akhirnya
proses tersebut menghasilkan “keadilan” bagi pihak yang bersengketa, sehingga peneliti
memilih menyebutnya sebagai Pseudo-Restorative (Restoratif Semu).
Pada dasarnya, faktor terpenting dari proses penanganan perkara pencemaran
nama baik atau penghinaan di Polres Metro Bekasi secara Pseudo-Restorative (Restoratif
Semu), adalah mindset dari penegak hukum yang tidak bersifat punitive, melainkan
mendudukkan suatu pemidanaan menjadi langkah terakhir dari suatu upaya pencarian
keadilan.
Menarik apabila melihat bahwa, masyarakat lebih memilih penyelesaian dengan
pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara yang memberi kerugian secara
personal tersebut. Kontras, dengan konsep pemidanaan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menggunakan pendekatan secara retributif dalam
pemidanaanya.
73 Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, Op.cit., Hlm. 43-49.
32
2.5 Konsep Keadilan dalam KUHP
Pemidanaan merupakan suatu cara untuk memperoleh keadilan. Pada prinsipnya
keadilan telah disebutkan dalam Pasal 28D UUD 1945 Amandemen ke-4 yang
menyatakan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi setiap
individu. Konsep keadilan tersebut tidak dipisahkan dari kepastian hukum, di mana
menjadi suatu kesatuan yang saling melengkapi. Berdeda dengan teori-teori sebagaimana
dikemukaan oleh beberapa filsuf diantaranya Gustav Radbruch yang memisahkan
keadilan dan kepastian hukum menjadi suatu yang terpisah. Sangat menarik mengetahui
bahwa founding fathers Indonesia dalam perumusan Undang-Undang Dasar memberikan
pegangan atau prinsip dasar yang sangat kompleks yang wajib digunakan dalam suatu
pemidanaan. Suatu sudut pandang yang sangat berbeda dengan mayoritas pandangan dari
filsuf di mana keadilan dan kepastian hukum merupakan suatu yang bertentangan satu
sama lain.
Walaupun dalam penjawantahan pasal 28D UUD 1945 tersebut dapat dikatakan
masih belum sempurna, namun pada dasarnya Indonesia telah memiliki suatu pegangan
prinsip yang pasti. Dalam hukum pidana sendiri, KUHP adalah sumber utama dari
pemberian suatu sanksi pidana, yang di dalamnya dibentuk aturan perundang-undangan
khusus untuk tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHP maupun pemberatan sanksi
pidananya.
Definisi keadilan sendiri memang tidak dijelaskan dalam KUHP, namun secara
eksplisit dapat diketahui di mana pada dasarnya Keadilan dalam KUHP berpegang pada
konsep pembalasan setimpal atas suatu tindak pidana atau keadilan retributif dalam
33
rangka memperoleh suatu keadilan. Pembalasan ini diketahui dari pemberian sanksi
pidana yang menjai concern atas terjadinya suatu peristiwa tindak pidana yang menjadi
tanggung jawab pelaku pidana sebagaimana diatur dalam Buku Kedua dan Ketiga
KUHP.74
Namun dalam pendekatan retrbutif tersebut, tetap terdapatnya batasan-batasan
dalam pemberian suatu sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal
52a Bab III Buku Kesatu KUHP75 dan Pasal 76-78 Bab VIII Buku Kesatu KUHP76.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pembalasan disini bersifat terbatas, bukan bersifat
mutlak.
74 Merupakan bagian yang mengatur sanksi atas suatu perbuatan tindak pidana dan pelanggaran.
75 Mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, memberatkan pidana.
76 Mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana.
34
BAB III
COST-BENEFIT ANALYSIS DALAM HUKUM PIDANA
3.1 Costs-Benefits Analysis
Mencoba keluar dari paradigma pandangan hukum kodrat yang mendominasi
Inggris di abad pertengahan, di mana segala kebijakan masih bersifat aristrokasi dan
abstrak, pada awal Abad-17 Thomas Hobbes berpandangan bahwa “hukum tidak boleh
dipahami atau dibenarkan menurut ketentuannya sendiri”, mendorong Bentham untuk
secara tegas memperkenalkan gagasan mengenai principle of utility yang bersifat konkrit
dan kalkulatif dalam suatu proses legislasi atau pembentukan suatu kebijakan. 77
Penerapan prinsip utilitas yang bersifat konkrit dan kalkulatif inilah yang menjadi cikal
bakal cost-benefit analysis, bahkan Hardin berpendapat bahwa cost-benefit analysis
merupakan “keturunan alami” dari prinsip utilitas Bentham.78
Tren penerapan cost-benefit analysis semakin berkembang seiring meningkatnya
“titik jenuh” tekanan politik dalam pengambilan keputusan. 79 Sebagai contoh,
perkembangan penerapan cost-benefit analysis di Amerika dipicu atas pandangan
progresivisme serta New Deal F.D Roosevelt. Di mana pandangan progresivisme dari
para ahli menilai peraturan perundang-undangan pada saat itu tidak cocok dalam
penanganan permasalahan di sektor regulasi pemerintah, sedangkan New Deal F.D
77 Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. D.I Yogyakarta, CV.
Lintas Nalar, 2015, Hlm. 271.
78 Hardin Jr, D. B, “Why Cost-Benefit Analysis-A Question (and Some Answers) about the Legal
Academy”, Ala. L. Rev,Vol. 59, 2007, Hlm. 7.
79 Ibid. Hlm. 7.
35
Rosevelt, pada masa pemerintahannya, terdapat semakin banyak aturan perundang-
undangan baru, lembaga-lembaga negara baru yang tentunya menjadikan pengeluaran
biaya publik menjadi lebih besar. Hal tersebutlah yang mendorong perkembangan cost-
benefit analysis ke ranah peraturan administrasi federal. 80 Sebagaimana dikutip oleh
Hardin, ekonom Prancis, Jules Dupit mengembangkan teori ekonomi kesejahteraan yang
juga menjadi cikal bakal perkembangan cost-benefit analysis moderen. Ekonom
kesejahteraan memandang bahwa konsep ekonomi dapat merasionalisasi implementasi
kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan kata lain cost-benefits analysis merupakan
bagian dari paradigma “rasionalitas-komperhensif” dalam pengambilan keputusan.81
Hardin berpendapat bahwa, dalam menerapkan cost-benefit analysis, seorang
pembuat kebijakan wajib memperhatikan beberapa elemen, yaitu, metode untuk
mencapai tujuan, identifikasi metode-metode yang mungkin akan dipakai, evaluasi
efektivitas metode yang digunakan, serta pilihan metode alternatif untuk mencapai hasil
yang lebih baik.82
Cost-benefits analysis dapat diterapkan dalam berbagai sektor, terutama dalam
sektor pengambilan kebijakan publik yang berdampak secara langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat (social walfare).83 Cost-benefits analysis telah menjadi topik
utama dalam diskusi wacana hukum, dikarenakan sifatnya yang sangat kompleks dan
lintas disiplin ilmu, serta kemungkinan yang sangat akan perkembangannya, menjadikan
80 Ibid. Hlm. 7-9.
81 Ibid. Hlm. 10-11.
82 Ibid. Hlm. 11.
83 Drèze, J., dan Stern, N, The theory of cost-benefit analysis. In Handbook of public economics. Elsevier.
Vol. 2, 1987, Hlm. 909.
36
cost-benefit analysis metode pembahasan yang sangat menarik bagi para akademisi.84
Hingga saat ini, cost-benefit analysis masih menjadi pilihan utama dalam evaluasi suatu
kebijakan beserta konsekuansinya.85
3.1.1 Costs-Benefits Analysis dan Pendekatan Utilitarianisme Bentham
Apabila melihat kepada pendekatan utilitarianisme Jeremy Bentham, maka tidak
akan terlepas dari cost-benefit analysis, di mana Bentham menggunakannya dalam
analisa prinsip-prinsip pemidanaan dengan pendekatan utilitarian. Jeremy Bentham,
memandang bahwa manusia berada dalam penguasaan rasa sakit (pain) dan kebahagiaan
(pleasure) yang mempengaruhi bagaimana seorang atau sekelompok manusia bersikap,
sehingga lahirlah prinsip utilitas (the principle of utility) di mana tolak ukur suatu
kebenaran dilihat dari kesenangan atau rasa sakit yang ditimbulkan dari suatu peristiwa.86
Utility yang dimaksudkan oleh Bentham, yaitu sesuatu yang mampu memberikan
berbagai macam manfaat, kesenangan, kebahagiaan, keuntungan, atau mencegah
terjadinya suatu rasa sakit, kerugian, ketidakbahagiaan, atau kejahatan. 87 Sehingga,
Bentham menganggap suatu individu atau komunitas sejalan dengan prinsip utilitas jika
memiliki kecendrungan untuk menambah kebahagian kepada kelompok yang lebih besar,
tanpa mengurangi kebahagiannya sendiri, serta proporsionalitas dalam hal menambah
atau mengurangi kebahagian seseorang atau sekelompok orang.88
84 Hardin Jr, D. B. Op.cit., Hlm 43-45.
85 Drèze, J., dan Stern, N. Op.cit., Hlm. 9-10
86 Bentham, J., The collected works of Jeremy Bentham: An introduction to the principles of morals and
legislation. Clarendon Press, 1996, Hlm. 14.
87 Ibid. Hlm. 14-15.
88 Ibid. Hlm. 15-16
37
Sumber dari pain dan pleasure dalam principle of utility, yaitu fisik, politik, moral
dan agama. Di mana masing-masing memiliki kemampuan untuk memberikan rasa sakit
(pain) dan kebahagiaan (pleasure). Fisik menjadi sumber kebahagiaan atau kenikmatan
saat merasakan akibat fisik dari suatu peristiwa. Politik di mana identik dengan kekuasaan
seseorang atau sekelompok orang tempat segala pengaturan kebijakan ada padanya secara
langsung akan menjadi sumber kebahagiaan atau rasa sakit yang bersamaan. Sumber dari
rasa sakit dan kebahagian pada moral, terletak pada hubungan antar individu dan
kelompok, sedangkan dalam agama, yang menjadi sumber kebahagiaan dan rasa sakit
adalah kepatuhan pada Tuhan di mana mendorong manusia melaksanakan perintah dalam
agama dan keyakinan akan adanya surga neraka pada kehidupan setelah kematian sebagai
bentuk pembalasan amal perbuatan.89
Dalam mengukur seberapa besar kebahagian dan rasa sakit yang terjadi, Bentham
menggunakan tujuh tolak ukur yaitu, seberapa besar pengaruh suatu perbuatan (intensity),
lama perbuatan tersebut (duration), orang yang terdampak atas perbuatan tersebut
(extensity), kepastian atau probabilititas terjadinya dampak atas suatu perbuatan
(propinquity or remoteness), akibat yang dihasilkan dari pengaruh perbuatan (fecundity),
siapa yang terdampak atas suatu perbuatan (extent) dan kemurnian (purity). Masing-
masing dari kebahagian dan rasa sakit diukur berdasarkan tolak tersebut, di mana semakin
besar perhitungan atau analisanya maka semakin besar kebahagian atau rasa sakit yang
dialami.90 Hal serupa juga berlaku dalam hal mengukur suatu kebaikan yang disebut good
(atau profit, convenience, advantage, benefit, emolument, happiness), atau mengukur
89 Ibid. Hlm 27.
90 Ibid. Hlm 31-32.
38
kejahatan yang biasa disebut evil (atau mischief, inconvenience, disadvantages, loss,
unhappiness).91 Bentham sendiri, berdasarkan tujuh tolak ukur yang dibuatnya, telah
mengklasifikasikan kebahagiaan (pleasure) menjadi 14 jenis pleasure, dan
menggolongkan rasa sakit (pain) menjadi 12 jenis.92
Masih dengan prinsip cost-benefit analysis, di mana dilakukan penghitungan atas
setiap elemen-elemen dalam hal pemaksimalan keuntungan dengan biaya serasional
mungkin, Bentham memiliki “rumusan” yang digunakan untuk mengukur proporsi dari
suatu hukuman atau aturan.93 Sebagaimana dikutip oleh Posner, Bentham membuat suatu
rumusan dalam hal perhitungan suatu pidana yaitu C = f.p, di mana C = social cost, f =
fine, p = probability, yang jumlah hukuman harus lebih besar dari keuntungan yang
diharapkan pelaku tindak pidana setelah dibagi dengan kemungkinan terjadinya tindak
pidana, sebagaimana tujuan utama utilitarianis yaitu deterrent of offences.94
Cost-benefit analysis digunakan juga oleh Bentham dalam penentuan suatu
proporsionalitas suatu pemidanaan. Di mana terdapat ketentuan (rules) yang harus ditaati
dalam pembuatan suatu penghukuman. Ketentuan tersebut di antaranya, semakin besar
akibat dari suatu kejahatan maka akan semakin besar biaya yang mungkin dikeluarkan,
hukuman harus memaksa seseorang untuk melakukan pelanggaran yang memiliki
konsekuensi hukuman yang lebih rendah sehingga social cost yang dikeluarkan lebih
91 Ibid. Hlm 32-33.
92 Ibid. Hlm. 35-41. Kebahagiaan yang diklasifikasikan oleh Benthan di antaranya kebahagiaan rasa,
kebahagiaan kekuasaan, nama baik, kekayaan, kesalehan, dsb. Sedangkan rasa sakit yang diklasifikasikan
oleh Bentham di antaranya rasa sakit akan kekurangan/kemiskinan, rasa sakit permusuhan, rasa sakit
kedengkian, dsb.
93 Prabowo, M. Nur, Op.cit., hlm. 273.
94 Posner, Richard A. Op.cit., Hlm. 73.
39
kecil, setiap hukuman harus sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, suatu
penghukuman tidak boleh lebih dari yang diperlukan (over power), serta perhatian
terhadap situasi di mana adanya suatu hukuman dianggap menguntungkan atau tidak.95
Bentham memfokuskan pada lima perhatian penting dalam penghukuman, yaitu
perhatian pada pelanggaran, 96 hukuman, 97 pelaku pelanggaran, 98 masyarakat, 99 dan
hukum.100 Sebagaimana dikutip oleh M. Nur Prabowo, Schauer & Amstrong memahami
bahwa Bentham menganggap batalnya suatu aturan hukum yang tidak memiliki dasar
penerapan yang kuat, tidak efisien, tidak memberikan manfaat atau bahkan merugikan,
serta hukuman yang seharusnya tidak perlu diadakan.101
Terlepas dari pertentangan prinsip utilitarian yang disajikan oleh Bentham,102
Bentham dengan perhitungan kalkulatis dan pandangan hedonis dalam filsafat hukum
95 Bentham, J., op.cit., Hlm 140-144. Terdapat 13 rules yang menjadi tolak ukur proporsionalitas hukuman.
96 Ibid. Hlm. 145. Yang harus diperhatikan pada suatu pelanggaran yaitu keuntungan atas terjadinya
pelanggaran, kejahatan yang ditimbulkan dari pelanggaran, keuntungan dan kerusakan yang ditimbulkan
dari pelanggaran yang lebih besar, atau keuntungan atau kerusakan yang ditimbulkan dari pelanggaran
dengan jenis yang sama.
97 Ibid. Hlm. 145. Yang harus diperhatikan dari suatu hukuman yaitu, berat hukuman (intensitas dan
durasinya), kepastian hukum, kualitas hukuman, keuntungan yang diperoleh secara tidak langsung dari
suatu penghukuman, serta pelajaran moral dari suatu penghukuman.
98 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu pelaku yaitu Tanggung jawab dari pelaku, sensibilitas
dari pelaku tindak pidana, latar belakang pelaku tindak pidana, kemungkinan terjadinya tindak pidana.
99 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu masyarakat yaitu Kecendrungan masyarakat dalam
menentukan suatu penghukuman serta faktor eksternal atau asing.
100 Ibid. Hlm. 146. Yang harus diperhatikan dari suatu aturan hukum yaitu Perlunya pengorbanan kecil
yakni dalam hal proporsionalitas.
101 Prabowo, M. Nur. op.cit., hlm.278
102 Ibid. Hlm. 280. Bentuk kekhawatiran atas prinsip utilitarian adalah, perhitungan kuantitatifnya menjadi
pendorong atas pelampiasan kepuasan untuk penghukuman, di mana memungkinkan terjadinya
penghukuman atas seseorang yang tidak bersalah hanya demi kepuasan atau pemenuhan prinsip tersebut.
40
utilitarianismenya atau juga dikenal dengan teori tujuan sosial dengan corak pencegahan
tindak pidana,103 menjadi cikal bakal dari perkembangan cost-benefits analysis terutama
dalam konteks pemidanaan. Berdasarkan pemikiran Bentham inilah, terjadi
perkembangan pemikiran modern cost-benefit analysis dalam teori pidana, yang meliputi
pembahasan atas jenis sanksi pidana, sistem pemidanaan, kepastian dan berat hukuman
atas suatu tindak pidana, serta efek jangka panjang dari suatu pemidanaan.104
3.2 Implementasi Costs-Benefits Analysis dalam Efektifitas Pemidananan
Criminal justice system (CJS) merupakan serangkaian elemen penegakan hukum
(in abstracto maupun in concreto) yang dalam prakteknya membutuhkan biaya sosial
(social cost), di mana penyusunan suatu aturan pidana, kemudian penegakan hukum yang
dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Hakim, serta pelaksanaan pemidanaan, merupakan upaya
dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan, yakni pencegahan dan efek jera.105
Menyadari bahwa dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan membutuhkan
social cost, banyak ahli menggunakan cost-benefit analysis untuk memastikan bahwa
social cost yang dikeluarkan sepadan dengan keuntungan yang diperolehnya
(efisiensi). 106 Analisa biaya-manfaat (cost-benefit analysis) merupakan metode
103 Ibid. Hlm 278.
104 Richard A. Posner, op.cit., Hlm. 71-72.
105 Ali, Mahrus, “Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas Hukum)”,
Jurnal Hukum, vol. 15, no. 2. 2008, hlm. 223-224.
106 Posner, Richard A, “An Economic Theory Of The Criminal Law”, Columbia Law Review. vol. 85, no.
6. 1985, Hlm 1193-1194. Analisa ekonomi terhadap suatu pemidanaan dipicu oleh pemikiran Beccaria
dalam bukunya “On Crime and Punishment” serta Jeremy Bentham dengan buku “An Introduction to the
Principles of Moral and Legislation”.
41
pengukuran efisiensi suatu pemidanaan dari sudut pandang teori ekonomi yang berfungsi
untuk menggambarkan bagaimana suatu individu berhadapan atau merespon suatu aturan
pidana, menganalisa motif pelaku pidana, serta menggambarkan suatu matrik yang jelas
dalam hal evaluasi suatu aturan pidana. Bahkan menurut Darrly K. Brown, dengan
menggunakan cost-benefit analysis dapat diketahui bagaimana respon negara dalam
menghukum suatu individu serta efek yang diakibatkan atas terjadinya suatu tindak
pidana serta memastikan tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan.107
Cost-benefit analysis merupakan analisa yang komperhensif terhadap suatu
bentuk pemidanaan, antara lain penentuan jenis pidana berikut penghitungan social cost,
yang meliputi perkiraan biaya penegakan hukum dan biaya pelaksanaan pemidanaan,
probabilitas terjadinya tindak pidana, serta kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Rasionalitas dalam proses pembentukan suatu pemidanaan menjadi prinsip dalam cost-
benefit analysis.108
Sebagaimana dijelaskan oleh Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen, analisa
pemidanaan dengan pendekatan ekonomi, menempatkan manusia sebagai makhluk
rasional, di mana manusia akan mencari manfaat atau mewujudkan keuntungan
semaksimal mungkin sesuai dengan sarana yang dimilikinya.109 Maka, pelaku pidana
107 Brown, Darryl, “Cost-Benefit Analysis in Criminal Law”. California Law Review. Vo.92 No. 2, 2004,
Hlm. 335.
108 Posner, Richard A. Op.cit hlm. 1201-1203
109 Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen, “Law and Behavioral Science: Removing The Rationality
Assumption from Law to Economics”, California Law Review, Vol. 88, 2000, hlm. 1055. Terdapat 4
pengertian Rasionalitas dalam hal ini, yaitu pemaksimalan rasional dalam mencapai keuntungan (man is a
rational maximizer of his ends), keuntungan yang diharapkan (the expected utility), kepentingan diri (Self
Interest), dan pemaksimalan kekayaan (the wealth maximization).
42
menyadari akibat dari perbuatannya dan secara langsung dapat dikatakan telah
memperhitungkan keuntungan mana yang lebih besar antara melakukan tindak pidana
atau tidak melakukan tindak pidana. Sehingga apabila keuntungan yang diperoleh pelaku
tindak pidana tidak sebanding dengan kerugiannya maka individu tersebut besar
kemungkinan akan mengurungkan niat jahatnya.
Dasar pemikiran tersebutlah yang mempengaruhi penentuan rationale suatu
sanksi pidana. Rumusan ini dapat dengan mudah dipraktekkan terhadap suatu tindak
pidana yang dapat diukur secara kuantitatif terhadap kerugian materil yang dialami serta
sanksi pidana berupa denda (fine).110 Walaupun cost-benefit analysis dinilai memiliki
kendala antara lain dalam menentukan suatu nilai kerugian yang bersifat abstrak dan
menilai suatu pidana yang bukan dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, seperti
pembunuhan untuk balas dendam, pemerkosaan (hasrat seksual), atau pencemaran
lingkungan hidup, Darrly K. Brown lebih memandang hal tersebut merupakan kelebihan
dari cost-benefits analysis, yaitu mengkuantifikasi variabel-variabel abstrak, sehingga
terjadi integrasi antara komitmen normatif, penilaian kualitatif serta dampak suatu
kebijakan, terutama kebijakan pidana.111 Jika social cost yang dikeluarkan dalam proses
pemidanaan sangat tinggi, maka menghukum atau memidanakan percobaan tindak pidana
tersebut dapat diberlakukan, dengan tujuan mencegah dikeluarkannya social cost yang
lebih besar dan memiliki efek pencegahan lebih baik.112
110 Posner, Richard A, Op.cit. hlm. 1202-1204.
111 Brown, Darryl, Op.cit. Hlm. 336-337. Darrly K. Brown menyebutnya sebagai “soft” Cost-Benefit
Analysis.
112 Posner, Richard A, Op.cit. hlm 1195.
43
Sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, William L. Barnes Jr mengelompokkan
kejahatan menjadi 2, yaitu, kejahatan karena sifatnya (malum in se crimes) 113 dan
kejahatan karena diatur undang-undang (malum prohibitum crimes). 114 Penentuan
terhadap jenis sanksi yang akan diterapkan dalam suatu tindak pidana dapat
menggunakan metode cost-benefit analysis. Sanksi pidana yang dianggap paling efisien
dalam pelaksanaannya dan keuntungan yang maksimal dalam hal pencegahan dan efek
jera yaitu hukuman mati dan denda, sebaliknya sanksi pidana yang dianggap tidak efisien
dalam pemaksimalan keuntungan yaitu adalah pidana penjara.115
Sebagai contoh, pidana penjara yang dijatuhkan oleh terdakwa, tentunya telah
menghabiskan biaya sosial dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Biaya
sosial tersebut tidak terhenti setelah vonis, melainkan terus berlanjut sampai jaminan
hidup narapidana dalam menjalani hidup di Lembaga Permasyarakatan. Selain itu, belum
ada jaminan bahwa Narapidana tidak akan mengulangi perbuatan kriminal lainnya,
mengingat bahwa sanksi pidana penjara memberikan dampak sosial ekonomi yang sangat
berpengaruh pada keluarga maupun komunitasnya, bahkan setelah narapidana menjalani
masa hukuman. Hal tersebut menjadi salah satu faktor masih terdapat atau bahkan
meningkatnya angka residivis.116
113 Ali, Mahrus, Op.cit. Hlm. 229. Kejahatan yang walaupun tidak ada undang-undang mengaturnya, tetap
akan dinilai sebagai suatu kejahatan, yaitu property crimes, crimes against person (pembunuhan,
pemerkosaan, dsb), inchoate crimes (percobaan tindak pidana), dan conspiracy.
114 Ibid. Hlm. 230 Kejahatan yang bukan merupakan kejahtan apabila tidak ada undang-undang yang
mengaturnya, contoh, perjudian, prostitusi, Narkoba, minuman berakohol, pencemaran nama baik.
115 Ibid. Hlm. 230-231.
116 Brown, Darryl, Op.cit. Hlm. 344-349. Penilitian ini berdasarkan perbandingan antara pemidanaan yang
dilakukan oleh Amerika dengan negara Eropa, di mana pemidanaan di Amerika memiliki sifat yang lebih
44
Darrly K. Brown berpendapat bahwa cost-benefit analysis tidak hanya sebatas
mencapai sebuah efesiensi pemidanaan melainkan komponen utama dalam pembentukan
regulasi yang beorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan pemikiran Darrly,
Moohr berpendapat bahwa, cost-benefit analysis selain sebagai metode dalam rangka
menentukan efisien pemidanaan, sekaligus merupakan metode evaluasi terhadap
peningkatan social walfare ke arah yang lebih baik semenjak peraturan tersebut
diberlakukan.117
Disamping itu, cost-benefit analysis dapat digunakan untuk mengetahui
terjadinya overcriminalization, yang diketahui berdasarkan terlalu tingginya social cost
yang dikeluarkan untuk penegakan hukum dibandingkan dengan tujuan yang akan
dicapainya, antara lain dibentuknya larangan yang tidak “jelas” atau dipandang “tidak
perlu” bahkan duplikasi kejahatan dalam peraturan perundang-undangan.118
Berdasarkan kepada rumusan pemidanaan Bentham, Gary Becker
menuangkannya kedalam suatu rumusan yaitu :
(1 − 𝑃) 𝑈𝑐1 + 𝑃 𝑈𝑐2 > 𝑈𝑛𝑐
di mana, P merupakan probabilitas tertangkapnya seseorang jika melakukan suatu tindak
pidana, 𝑈𝑛𝑐 adalah persamaan untuk keuntungan atau manfaat yang diperoleh jika
seseorang tidak melakukan tindak pidana, 𝑈𝑐1 merupakan keuntungan seseorang jika
punitive dengan sanksi pidana adalah penjara sehingga angka narapidana yang sangat tinggi di negara
tersebut dibandingkan dengan negara Eropa.
117 Moohr, Geraldine Szott., “Defining Overcriminalization Through Cost-Benefit Analysis: The Example
of Criminal Copyright Laws”, American University Law Review, Vol. 54, no.3, 2005, hlm. 783-806.
118 Ibid. Hlm. 804-805.
45
dirinya melakukan suatu tindak pidana dan tidak tertangkap, 𝑈𝑐2 merupakan persamaan
untuk keuntungan yang diperolehnya hingga dirinya tertangkap atau dihukum.119
Persamaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan terdapat pembanding dari
perhitungan expected utility (EU) dari pelaku, dengan rumusan yaitu :
𝐸𝑈 = 𝑃𝑈 (𝑦 − 𝑓) + (1 − 𝑃)𝑈 (𝑦)
Terdapat variabel tambahan yang juga akan berpengaruh pada 𝑈𝑛𝑐, yaitu, berat
suatu sanksi pidana (f), dan keuntungan materil yang diperoleh jika tidak melakukan
tindak pdiana (y). Sehingga Gary Becker menyimpulkan bahwa, seseorang tidak akan
melakukan tindak pidana jika 𝐸𝑈 < 𝑈𝑛𝑐.120
Dari rumusan tersebut Shavell & Pollinsky menyederhanakannya menjadi
beberapa variabel, diantaranya manfaat dari suatu tindak pidana yang diperoleh pelaku
(g), berbanding terbalik dengan probabilitas tertangkapnya pelaku (p) dikali dengan
denda (f) yang sudah ditambah dengan expektasi biaya penahanan (a) dan lama masa
hukuman (x), sehingga rumusannya menjadi sebagai berikut
𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)
Steven Shavell berpendapat bahwa sanksi pidana berupa denda dikatakan
memiliki efek jera jika keuntungan atau paling tidak kekayaan yang dimiliki oleh pelaku
tindak pidana (x) lebih kecil atau paling tidak mendekati jumlah denda (𝑓𝑥). Sebaliknya
119 Marbun, A. N., & Laracaka, R, “Analisa Ekonomi terhadap Hukum dalam Pemidanaan Partai Politik
melalui Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara Tipikor”, Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 5
No 1, 2019, Hlm. 131.
120 Ibid. Hlm. 131.
46
jika denda lebih kecil dari keuntungan atau kekayaan yang dimiliki dan diperoleh pelaku
maka tidak akan memberikan deterrent effect.121
Sebagaimana teori Hand’s Rule yang menekankan bahwa negara harus
memperhitungkan secara matang atau menemukan titik temu dari suatu pemidanaan yang
efektif. Dimana terjadi keseimbangan antara biaya pencegahan dan expected loss yang
dicegahnya, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut: 122
Singkatnya, penerapan cost-benefit analysis yang murni menjadi “penjaga”
terhadap sistem pemidanaan agar tidak terjadi over power dalam penerapannya serta
memaksimalkan keuntungan atas suatu pemidanaan yang tentunya berdampak baik pada
social walfare.
121 Ibid. Hlm. 132.
122 Ibid. Hlm. 142.
47
BAB IV
COST-BENEFIT ANALYSIS
PEMIDANAAN PENCEMARAN NAMA BAIK
4.1 Justifikasi Tujuan Pemidanaan Retributif dan Tujuan Pemidanaan Restoratif
Dalam Pemidanaan Pencemaran Nama Baik
Setiap individu berhak mendapatkan perlindungan terhadap harkat dan
martabatnya, dan telah menjadi kewajiban dari suatu Negara untuk menjamin
perlindungannya.123 Pemerintah memiliki beberapa pilihan dalam hal pendekatan apa
yang akan dipakai untuk menjamin salah satu hak asasi manusia tersebut. Dilihat dari
hukum tertulis yang ada, Indonesia, dalam hal ini, memilih pendekatan pemidanaan
dengan tujuan retributif,124 namun dalam prakteknya (studi kasus Polres Metro Bekasi),
masyarakat lebih tertarik akan pemidanaan dengan pendekatan tujuan restoratif.125
Tujuan pemidanaan retributif adalah efek jera dan pencegahan. Pemidanaan
retributif mencapai tujuan tersebut dengan cara pemberian sanksi atau hukuman terhadap
pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya (efek jera) atau dalam hal
mencegah terjadinya kejadian serupa. Pemidanaan retributif dalam pencemaran nama
baik terdapat dalam aturan perundang-undangan yaitu Pasal 310 dan 311 KUHP, atau
123 Pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
124 Pemidanaan pencemaran nama baik dan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311
KUHP, kemudian diatur kembali dalam pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang ITE dan UU 19/2016 tentang
perubahannya.
125 Studi kasus Polres Metro Bekasi, berdasarkan rekap data penyelesaian laporan tindak pidana
pencemaran nama baik di Ppolres Metro Bekasi tahun 2017-2019.
48
Pasal 27 ayat (3) jo 45 ayat (3) UU 19/2016 atas perubahan UU 11/2008 tentang Infromasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE).126
Sejalan dengan konsep pemidanaan retributif, sanksi terhadap tindak pidana
pencemaran nama baik mengalami penguatan, yaitu semenjak diberlakukannya UU ITE.
Urgensi atas pemberatan pemidanaan tersebut tentunya tidak akan terlepas dari upaya
pemerintah dalam menghadapi perkembangan teknologi dan menjadikan hukum tertulis
mampu untuk melindungi kepentingan masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman.
Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit bahwa pemberatan pemidanaan
pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11/2018 tentang ITE dikarenakan
oleh perkembangan teknologi, melainkan concern UU ITE sebagaimana dijelaskan dalam
naskah akademik adalah mengisi kekosongan hukum untuk perlindungan perlindungan
konsumen atau kepentingan masyarakat dalam hal e-transaction atau online trading
dalam perkembangan era digital, namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
50/PUU-VI/2008 dapat diketahui bahwa pemidanaan pencemaran nama baik dalam UU
ITE didasari oleh aktifitas sosial masyarakat yang saat ini mayoritas terjadi dalam
cyberspace, sehingga terdapat peluang terjadinya peristiwa pencemaran nama baik atau
penghinaan dalam lingkup cyberspace yang dinilai memiliki efek lebih besar
dibandingkan dengan pencemaran nama baik atau penghinaan biasa. Pertimbangan
tersebut menjadi justifikasi tujuan pemidanaan retributif dalam pencegahan tindak pidana
126 Ancaman pidana dalam pasal 310 KUHP yaitu sembilan bulan penjara dan maksimal empat tahun dalam
pasal 311 KUHP. Dan dalam Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang ITE ancaman pidana menjadi enam
tahun penjara, lalu dalam perubahannya yaitu UU 19/2016 ancaman pidana menjadi empat tahun penjara.
49
pencemaran nama baik atau penghinaan diwujudkan dengan menempatkannya dalam UU
ITE.127
Tujuan pemidanaan retributif yaitu efek jera, terwujudkan atas pemberian sanksi
atas pelaku tindak pidana. Efek jera sebagaimana dimaksud dalam tujuan pemidanaan,
dapat dilihat dari pelaku tindak pidana yang tidak melakukan pengulangan kejahatan
serupa setelah pemberian sanksi. Setelah penerapan pemidanaan pencemaran nama baik
dalam UU ITE, dari 28 perkara pencemaran nama baik yang disidang di tingkat Kasasi
sebagaimana tertera pada Direktori Putusan Mahkamah Agung, mayoritas mendapatkan
sanksi berupa pidana penjara dengan waktu kisaran empat sampai sembilan bulan, dan
hingga saat ini tidak ada terjadinya pengulangan tindak pidana oleh terdakwa.128
Hal tersebut menjadi salah satu justifikasi terhadap pemidanaan dengan tujuan
retributif dalam pemidanaan pencemaran nama baik, yakni efek jera terhadap pelakunya,
namun dalam hal pencegahan untuk memperkecil peluang terjadinya tindak pidana pasca
penguatan sanksi pidana, perlu mendapatkan pengkajian lebih lanjut, mengingat angka
laporan kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik saat ini masih terus
meningkat.129
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan UU
19/2016 tentang perubahan UU 11/2008 tentang ITE, aturan pidana pencemaran nama
baik dalam UU ITE tidak terlepas dari kaidah hukum yang terdapat dalam rumusan pasal
127 Naskah akademik RUU ITE. Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. 2005.
Hlm 61-80.
128Direktori Putusan Mahkamah Agung.
129Berdasarkan studi kasus di Polres Metro Bekasi terkait jumlah laporan tindak pidana pencemaran nama
baik atau penghinaan pada tahun 2017-2019.
50
KUHP yakni pasal 310 dan 311 KUHP. Hal ini menguatkan bahwa delik tersebut
merupakan delik aduan serta korban adalah individu atau seseorang yang terdampak
secara langsung atas perbuatan pidana tersebut (korban).130 Hal ini sangat mempengaruhi
bagaimana realisasi pemidanaan yang dilakukan oleh criminal justice system bekerja.
Dalam pemidanaan dengan tujuan restoratif, concern utama adalah
menitikberatkan pada pelibatan pihak-pihak yang terdampak atas suatu tindak pidana
untuk dapat menyelesaikan permasalahan khususnya perbaikan hubungan antara korban
dengan pelaku tanpa menghilangkan pertanggungjawaban dari pelaku atas kerugian yang
timbul akibat perbuatannya. Walaupun berbeda dengan proses contemporary criminal
justice saat ini, justifikasi terhadap penerapan pemidanaan restoratif terhadap pencemaran
nama baik tetaplah ada.
Pada mayoritas peristiwa pencemaran nama baik atau penghinaan, korban dan
pelaku sebelumnya telah memiliki keterikatan, misal, memiliki hubungan dalam
lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan pekerjaan. Terjadinya
pencemaran nama baik atau penghinaan menyebabkan rusaknya ikatan atau hubungan
antar individu tersebut. Dalam penegakkan pemidanaan restoratif saat ini tidak terlepas
dari penegakkan pemidanaan retributif, di mana hal tersebut “memaksa” pelaku untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban pada proses penyidikan.
Mayoritas dari laporan tindak pidana pencemaran nama baik dilakukan
penyelesaian pada tahap penyelidikan atau penyidikan. Dengan cara proses musyawarah
yang dilalui oleh pihak pelapor (korban) dengan terlapor sehingga memperoleh win-win
solution. Dalam proses tersebut telah tercapainya keadilan antar kedua belah pihak. Dan
130 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Hlm. 101-110.
51
terjadi restorasi pada hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana tentunya tanpa
menghilangkan pertanggungjawaban dari pelaku. Sehingga dalam penerapan pemidanaan
restoratif pencemaran nama baik atau penghinaan, pada dasarnya telah tercapai.
Pada dasarnya, dalam rumusan peraturan perundang-undangan memberikan
kesempatan terjadinya pemidanaan restoratif, yaitu delik pencemaran nama baik
merupakan delik aduan, namun dalam proses penegakkan hukumnya memang tidak
memberikan celah atau ruang penerapan restoratif justice dalam pemidanaan pencemaran
nama baik.
Hal yang menarik terjadi pada praktek penegakkan hukum, di mana terdapat
mindset penegak hukum yang tidak bersifat punitive, yaitu menggunakan diskresinya
dalam penghentian penyidikan apabila telah tercapainya keadilan antara pihak korban dan
pelaku. Progresivitas penegak hukum dilapangan, didukung oleh justifikasi penerapannya
dari kebijakan internal baru institusi (Polri) yang mendukung penerapan keadilan
restoratif, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, di mana terdapat beberapa syarat
formil maupun materil dalam penerapan suatu pemidanaan retributif.131 Dalam aturan
tersebut, menyiratkan bahwa penerapan keadilan restoratif pada pemidanaan pencemaran
nama baik tidak hanya berdampak pada pihak pelapor atau korban sesaat setelah proses
pemidanaan, melainkan pencegahan terjadinya konflik berkepanjangan (future harm)
yang terjadi di dalam masyarakat.
4.2 Melihat Tujuan Pemidanaan Menggunakan Cost-Benefit Analysis Dengan Studi
Polres Metro Bekasi
131 Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019.
52
Sebelum Peneliti melakukan analisa terhadap studi kasus Polres Metro Bekasi,
Peneliti memandang perlu melakukan analisa menggunakan sudut pandang cost-benefit
analysis terhadap pemidanaan pencemaran nama baik yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pemidanaan pencemaran nama baik yang memiliki sanksi terberat diatur di
dalam pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan
atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik, di mana ancaman
pidana berupa pidana penjara maksimal 4 Tahun penjara, dan denda maksimal Rp.
750.000.000. Sanksi pidana yang mengalami pemberatan tersebut tidak terlepas dari
tujuan pemberian efek jera dan pencegahan terjadinya tindak pidana tersebut. Sehingga,
untuk mengetahui variabel probabilitas (𝑝) ditangkapnya suatu pelaku tindak pidana, atau
untuk mengetahui ekspektasi dari legislator dalam pemidanaan pencemaran nama baik
dan sejauh apa efektifitas serta efesiensi dari pemidanaan tersebut setelah berjalan.
Apabila melihat variabel-variabel yang ada dalam rumusan pasal tersebut, maka
peneliti akan menggunakan rumusan perhitungan dari Shavell & Pollinsky, yaitu :
𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)
Variabel 𝑔 yang merupakan manfaat yang diperoleh pelaku tindak pidana
dianggap sama dengan sanksi denda maksimal. Hal ini dikarenakan keuntungan dari
suatu perbuatan pencemaran nama baik yang bersifat abstrak dan subjektif, sehingga
Peneliti mengambil sudut pandang negara yang memberikan denda maksimal sebesar Rp.
750.000.000, dan Peniliti menganggap hal tersebut setara dengan keuntungan maksimal
yang diperoleh oleh pelaku tindak pidana. Hal ini didukung dengan teori dari Steven
53
Shavell yang menyatakan sanksi denda yang dianggap memiliki deterrent effect yaitu
lebih besar atau minimal sama dengan keuntungan yang diperoleh pelaku.
Variabel 𝑓 yang merupakan denda maksimal yang dari negara, sebesar
Rp.750.000.000. Kemudian variabel 𝑥 yang merupakan lama masa hukuman, dalam hal
ini pidana penjara maksimal adalah 4 tahun penjara setara dengan 1460 hari. Terhadap
variabel 𝑎 yang merupakan biaya penahanan dalam hal ini adalah biaya keseluruhan
dalam proses penegakan hukum, sehingga 𝑎 merupakan akumulasi dari biaya dalam
proses penyidikan,132 penuntutan,133 dan biaya Terdakwa dalam menjalani hukuman di
Lapas per harinya.134
Sehingga apabila angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus, adalah
sebagai berikut :
𝑔 > 𝑝 (𝑓 + 𝑎𝑥)
750.000.000 > 𝑝 (750.000.000 + (33.335 + 60.000 + 56.755) 1460)
750.000.000 > 𝑝 (750.000.000 + (33.335 + 60.000 + 56.755) 1460)
132 Berdasarkan hasil wawancara Penyidik di Polres Metro Bekasi, biaya dalam melakukan proses
penyidikan perkara pencemaran nama baik yaitu Rp. 5.000.0000 – Rp. 8.000.000 / Kasus. Di mana masing-
masing kasus membutuhkan waktu yang berbeda dalam proses penyidikannya, namun secara rata-rata
perkara tersebut terjadi penyelesaian perkara dalam waktu ± 8 bulan. Sehingga rata-rata biaya yang
dibutuhkan adalah Rp. 33.335/hari.
133 http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Penelitian-anggaran-perkara-pidum-
kejaksaan.pdf diakses pada tanggal 08 Maret 2020. Anggaran dalam proses penuntutan selama 100 Hari
yaitu sekitar Rp. 3.000.000 - Rp. 6.000.000/perkara. Sehingga rata-rata biaya penuntutan yaitu Rp.
60.000/hari.
134 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/ung/current/monthly diakses pada tanggal 08 Maret 2020. Data
Narapidana tahun per bulan Desember 2016 dengan jumlah 139,006 Narapidana, dan Anggaran total
oprasional Lapas sebesar Rp. 2,879,627,770,802. Sehingga biaya pengurusan Narapidana di Lapas sebesar
Rp. 56.755/hari.
54
750.000.000 > 𝑝 (969.131.400)
750.000.000
969.131.400> 𝑝
0,82 > 𝑝
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh probabilitas tertangkapnya suatu
tindak pidana yaitu 0,82. Sehingga dari 100 laporan tindak pidana, maka sebesar 0,82 %
atau paling tidak 1% sampai 2% kasus tersebut diungkap dan pelakunya dipidana, untuk
menghasilkan deterrent effect dan pemidanaan dikatakan berhasil mancapai tujuannya.
Dengan nilai probabilitas yang kecil tersebut besar kemungkinan bahwa tujuan dari
pemberatan tersebut dimaksudkan memang untuk menekan angka kejahatan.
Setelah mengetahui angka probabilitas, maka dapat diketahui pula jumlah
minimal peristiwa tindak pidana yang harus dilanjutkan hingga diperolehnya putusan
pengadilan. Apabila memasukkan nilai probabilitas tersebut ke dalam realitas jumlah
laporan polisi terkait penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik
periode tahun 2017-2019135, maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel Perhitungan Perhitungan Probabilitas Tahun 2017-2019
No Tahun Jumlah
LP
Probabilitas
0,82%
Jumlah
Putusan*
Margin
of Error
(5,56%)
Selisih
Probablititas
dengan MoE
1. 2017 886 7,26 = 7 atau 8 11 10 3 Kasus
2. 2018 1258 10,3 = 10 44 41 41 Kasus
3. 2019 1333 10,9 = 11 72 68 68 Kasus
*Margin of Error : 5,56 %
135 Statistik Tren Kejahatan Siber. Subbag Binopsnal Bareskrim Mabes Polri. Versi 38. Waktu Cetak
Tanggal 03 Maret 2020.
55
Pengambilan sampel diambil dari 1083 Putusan tindak pidana ITE yang
bersumber dari Direktori Putusan Mahkamah Agung136, dengan sampel sebanyak 134
Putusan Inkracht tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media
elektronik dari tahun 2017-2019, atau 12,3 % dari jumlah putusan yang ada di direktori.
Perhitungan Margin of Error (MoE) dari pengambilan sampel putusan
menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √𝑝 (100 − 𝑝)
𝑛
136 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/kategori/jenis/ite-1/. Diakses pada tanggal 13 Maret
2020.
710 1110
44
72
1 1 1
2017 2018 2019
Grafik Perbandingan Probabilitas dengan Jumlah Putusan
probabilitas jumlah putusan ekspektasi efek jera
56
Di mana 𝑝 adalah presentasi jumlah sampel dari populasi, 𝑛 adalah populasi, dan
1,96 merupakan standar deviasi dari tingkat kepercayaan sebesar 95%. Sehingga apabila
dimasukkan variabel-variabel nya ke dalam rumus menjadi :
𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √12, 3(100 − 12,3)
134
𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √1078,71
134
𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × √8,05
𝑀𝑜𝐸 = 1,96 × 2,83
𝑀𝑜𝐸 = 5,56%
Berdasarkan fakta tersebut diketahui bahwa pasca penguatan sanksi pidana tidak
serta merta memberikan efek jera atau pencegahan pada masyarakat untuk tidak
melakukan tindak pidana tersebut. Bahkan latar belakang penguatan sanksi pidana yaitu
untuk memberikan efek jera dan pencegahan pada masyarakat tidaklah berdampak
signifikan, di mana pada tahun 2018, probabilitas yang dihitung adalah 10 laporan yang
sampai pada tahap persidangan, namun pada kenyataannya terdapat 44 perkara yang
disidangkan dan telah berkekuatan hukum tetap, tidak serta merta menurunkan angka
kejahatan di mana jumlah laporan polisi mengenai tindak pidana penghinaan atau
pencemaran nama baik melalui media elektronik tahun 2019 meningkat menjadi 1333
laporan, bahkan perkara yang disidangkan mencapai 72 perkara dan sudah berkekuatan
hukum tetap. Yang seharusnya setelah penguatan sanksi pidana, tentunya memberikan
57
dampak yang cukup signifikan dalam hal pencegahan, karena biaya pemidanaan yang
sangat tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa telah terjadi “pemborosan” dari segi ekspektasi
biaya sosial yang ditanggung oleh negara, yang dalam prakteknya ternyata jauh dari target
awal yaitu pemberian efek jera sehingga menekan angka terjadinya kejahatan tiap
tahunnya dengan tingginya sanksi pidana khususnya dalam hal ini adalah pencemaran
nama baik (melalui media elektronik).
Kembali kepada pemidanaan pencemaran nama baik di Polres Metro Bekasi, di
mana pada tahun 2016-2018 senantiasa mengalami peningkatan pelaporan perkara
pencemaran nama baik.137 Fakta tersebut juga mendukung keterangan bahwa setelah
diterapkan pemberatan sanksi pidana, tidak serta merta berpengaruh pada pencegahan
tindak pidana maupun efek jera. Walaupun masih terdapat berbagai faktor diantaranya
ketidaksadaran hukum di masyarakat terkait pemidanaan pencemaran nama baik.
Penanganan tindak pidana pencemaran nama baik yang berbeda terjadi di Polres
Metro Bekasi. Berikut adalah data mengenai jumlah laporan masuk terkait dugaan tindak
pidana pencemaran nama baik periode tahun 2016-2018.
137 Lihat Tabel 1. Hlm 8.
58
2016 2017 2018
Pasal KUHP 5 10 5
UU ITE 8 17 51
5
10
58
17
51
0
10
20
30
40
50
60
70
80
JUM
LAH
LA
PO
RA
N M
ASU
K P
ER T
AH
UN
TAHUN
Grafik Laporan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik di Polres Metro Bekasi
Pasal KUHP UU ITE Linear (UU ITE)
Grafik tersebut menggambarkan bahwa, setelah diterapkannya Undang-undang
khusus yang mengatur mengenai ITE yang salah satu pasalnya mengatur mengenai
pencemaran nama baik, tidak serta merta memberikan deterrent effect di wilayah hokum
Polres Metro Bekasi, walaupun memiliki ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan
dalam KUHP. Dan dapat dilihat bahwa dengan “mudah” membuat laporan mengenai
tindak pidana tersebut menjadi pertanyaan akan tercapai atau tidaknya tujuan pemidanaan
sebagaimana dimaksud oleh pembuat Undang-undang.
59
P211%
SP31% CABUT
16%
ADANYA PENYELESAIAN ANTARA PELAPOR DAN
TERLAPOR NAMUN BELUM CABUT LAPORAN
77%
PROSES5%
Penyelesaian Perkara Pencemaran nama Baik Periode Tahun 2016-2018
P21 SP3 CABUT BELUM CABUT LAPORAN PROSES
12%
70%
18%
STATISTIK HUBUNGAN PELAPOR DENGAN TERLAPOR PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK
PERIODE TAHUN 2016-2018
KELUARGA
LINGKUNGAN KERJA ATAU TINGGAL
LAIN-LAIN
Grafik tersebut menjelaskan bahwa jumlah laporan dugaan tindak pidana yang
tinggi tersebut berbanding terbalik dengan pemidanaan dalam realitas penegakan hukum,
yaitu hanya terdapat satu perkara yang sampai ke tahap penuntutan. Masyarakat lebih
memilih untuk menyelesaikan masalah secara mediasi, bahkan penyelesaian secara
kekeluargaan tersebut tetap menjadi pilihan favorit walaupun juga terdapat salah satu
contoh kasus yang diselesaikan melalui jalur persidangan.
60
Grafik tersebut menggambarkan bahwa mayoritas dari pihak yang berselisih yaitu
pelapor dan terlapor, adalah orang yang memiliki hubungan dalam lingkungan pekerjaan
atau masih dalam satu wilayah tinggal. Dengan terjadinya perbuatan pidana, secara
langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat
baik korban maupun pelaku. Tergambar 70% terlapor masih berada dalam satu
lingkungan kerja atau lingkungan tempat tinggal dengan pelapor, di mana dampak atas
kerugian yang bersifat material atau besar terjadi pada korban maupun pelaku, apabila
perkara tidak mendapat penanganan yang tepat serta tanpa mempertimbangkan future
harm yang timbul akibat suatu tindak pidana.
Mayoritas penyelesaian melalui jalur mediasi dalam proses penyidikan adalah
berupa kesepakatan bersama yang tertuang dalam suatu surat pernyataan, di mana para
pihak akan bersedia untuk tidak saling menuntut dikemudian hari. Berbagai pertimbangan
dari pihak yang berselisih dari segi materil dan waktu jika perkara diteruskan ke tahap
persidangan sementara sudah diperolehnya titik temu antar pihak, menjadikan alasan
utama mengapa penyelesaian secara restoratif menjadi pilihan.
Menarik mengetahui bahwa dari total perkara sebanyak 96 perkara dalam periode
tahun 2016-2018, hanya ada satu perkara yang P21 atau maju ke tahap penuntutan dan
persidangan, sedangkan masyoritas lainnya diselesaikan dengan cara musyawarah atau
kesepakatan antara pelapor dan terlapor.
Memandang hal tersebut dengan menggunakan cost-benefit analysis, tentunya
terjadi efesiensi dalam hal pemidanaan terutama dari segi penghematan anggaran yang
dibebankan ke Negara. Pemidanaan berakhir pada proses penyelidikan atau penyidikan
sehingga biaya yang dikeluarkan oleh Negara pun hanya untuk tahap penyelidikan dan
61
penyidikan. Hal ini tentunya akan sangat berbeda jika mayoritas perkara tersebut
berlanjut ke tahap penuntutan di mana Negara akan menanggung beban biaya yang sangat
besar, sedangkan hal tersebut jauh dari tujuan awal pemberatan sanksi pidana pencemaran
nama baik yaitu pencegahan yang dalam hal ini juga menahan pengeluaran biaya untuk
pemidanaan yang lebih.
Walaupun proses yang terjadi di Polres Metro Bekasi tidak dapat digolongkan
sebagai suatu keadilan restorative karena masih jauh dari mekanisme keadilan restoratif
sebagaimana diatur secara rigid di UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, namun pada akhirnya proses tersebut menghasilkan “keadilan” bagi pihak yang
bersengketa, sehingga peneliti memilih menyebutnya sebagai Pseudo-Restorative
(Restoratif Semu). Keadilan yang merupakan tujuan dari dilaksanakannya suatu sistem
pemidanaan, dapat ditempuh dengan berbagai cara. Berdasarkan analisa terhadap
pemidanaan pencemaran nama baik saat ini, dalam penerapan keadilan restoratif atau
Peneliti menyebutnya pseudo-restorative yang dikedepankan oleh Penyidik, selain
memperoleh manfaat dari efesiensi pemidanaan dan anggaran, adalah tetap tercapainya
tujuan keadilan retoratif yaitu telah keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa dan juga
perbaikan hubungan antara terlapor dan korban, tanpa menghilangkan efek jera dan
pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana.
Progresivitas pemidanaan yang dilakukan oleh Penyidik di Polres Metro Bekasi,
tidak terlepas dari diskresi yang dimilikinya, serta penguatan dasar hukum secara
oprasional yang diatur dalam Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang
62
Managemen Penyidikan, di mana mengukuhkan diskresi dalam hal penerapan keadilan
restoratif dalam proses penyidikan.138
Penerapan pseudo-restorative oleh Polres Metro Bekasi dalam pemidanaan
pencemaran nama baik merupakan suatu alternatif pemidanaan saat ini, yang justru
menjadi suatu terobosan yang patut diperhitungkan eksistensinya di tengah “kegundahan”
mengenai pemidanaan pencemaran nama baik saat ini.
138 Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Managemen Penyidikan “proses penyidikan
dapat dilakukan keadilan restoratif, apabila terpenuhi syarat :…”
63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
5.1.1 Justifikasi atas tujuan pemidanaan retributif berupa efek jera dan
pencegahan terjadi apabila dalam realitas penerapan pemidanaan retributif
dengan pemberatan sanksi pidana yang saat ini lebih berat dapat menekan
jumlah terjadinya tindak pidana. Sehingga pemberatan sanksi pidana yang
costly seimbang dengan hasil yang dicapainya yaitu pencegahan terjadinya
tindak pidana.
Sedangkan justifikasi tujuan pemidanaan restoratif pemidanaan
pencemaran nama baik terletak pada telah tercapainya kesepakatan atau
terpenuhinya rasa keadilan antara kedua belah pihak melalui cara restoratif.
Keadilan sebagai salah satu tujuan dari suatu pemidanaan, dapat ditempuh
juga dengan cara restoratif. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya penerapan keadilan restoratif pemidanaan pencemaran nama baik
yaitu sifat dari delik pencemaran nama baik yang bersifat aduan, dan “ikatan”
atau “hubungan” antara korban dan pelaku sebelumnya berupa kekerabatan
atau mungkin hubungan dalam konteks sosial atau bermasyarakat, yang
dapat dimungkinkan penerapan restorative justice sedini mungkin dalam
proses penyelidikan dan penyidikan serta sifat penegak hukum yang tidak
punitive, menjadikan peluang dan justifikasi atas penerapan keadilan
restoratif semakin besar.
64
5.1.2 Tujuan penerapan pseudo-restorative dalam proses pemidanaan
pencemaran nama baik di Polres Metro Bekasi tidak terlepas dari pemberian
efek jera serta perbaikan hubungan sosial antara korban dan pelaku. Dalam
cost benefit analysis terhadap penerapan pseudo-restorative di Polres Metro
Bekasi, dari segi cost tentunya sangat berbeda dan dapat dikatakan sebagai
penghematan biaya pemidanaan yang menjadi tanggungan dari negara atas
pemidanaan retributif, yang menjadikan proses criminal justice system
menjadi lebih singkat. Disisi lain keuntungan (benefit) dalam penerapan
pseudo-restorative yaitu tercapainya keadilan antara kedua belah pihak
tanpa harus melalui mekanisme persidangan dan juga dapat meredam
terjadinya future harm antara korban dan pelaku tindak pidana. Singkatnya,
mekanisme atau penerapan pseudo-restorative di Polres Metro Bekasi
menjadi salah satu alternatif pemidanaan di tengah makin meningkatnya
jumlah laporan polisi terkait dugaan tindak pidana pencemaran nama baik
pasca penguatan sanksi pidana, yang apabila keseluruhannya diterapkan
secara retributif maka akan menjadikan biaya pemidanaan menjadi sangat
costly.
65
5.2 SARAN
5.2.1 Dalam pemidanaan pencamaran nama baik saat ini, diharapkan legislator
selaku perancang ketentuan peraturan perundang-undangan lebih
mengedepankan penerapan keadilan restroratif dalam pemidanaan
pencemaran nama baik, selain itu penegak hukum sebaiknya mengutamakan
penerapan keadilan restoratif sebagaimana Polres Metro Bekasi telah
menerapkan pseudo-restorative dalam proses pemidanaan pencemaran
nama baik dibandingkan dengan penegakkan hukum yang bersifat retributif.
Dengan kata lain keadilan retributif merupakan solusi paling akhir dari suatu
pemidanaan pencemaran nama baik.
5.2.2 Penyelesaian secara pseudo-restorative terhadap pemidanaan pencemaran
nama baik di Polres Metro Bekasi yang mayoritas belum dilaksanakan
penghentian penyidikan atau penyelidikan atas pencabutan laporan polisi
agar sesegera mungkin dilaksanakan untuk diperolehnya kepastian hukum.
Selain itu penerapan pseudo-restorative sebagaimana telah diterapkan oleh
Polres Metro Bekasi agar didukung oleh Pemerintah terutama dalam hal ini
legislator untuk membentuk ketentuan atau aturan yang melegitimasi
penerapan restorative justice dalam pemidanaan pencemaran nama baik.
66
DAFTAR PUSTAKA
“BUKU”
Bentham, J., The collected works of Jeremy Bentham: An introduction to the principles
of morals and legislation, Clarendon Press, 1996.
Drèze, J., dan Stern, N, “The theory of cost-benefit analysis. In Handbook of public
economics”. Elsevier. Vol. 2, 1987
Prabowo, M. Nur. Cesare Beccaria & Voltaire : Tentang Kejahatan dan Hukuman. CV.
Lintar Nalar. D.I Yogyakarta, 2015.
Rawls, John. A Theory of Justice, Harvard University Press, United States of America,
1971.
Van Ness. W.Daniel & Heetderks S. Karen, Restoring Justice: An Introduction to
Restorative Justice. Matthew Bender & Company. 1997.
P. Wirjono. Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. P.T Eresco. Jakarta. 1980.
“JURNAL”
Arief, B. N. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.
Citra Aditya Bakti. 1998.
Ali, Mahrus, Penegakan Hukum Pidana Yang Optimal (Perspektif Analisis Ekonomi Atas
Hukum). Jurnal Hukum, vol. 15, no. 2, 2008.
Brown, Darryl. Cost-Benefit Analysis in Criminal Law. California Law Review. Vo.92
No. 2 Hlm. 335. 2004.
Brownlee, Kimberley. Retributive, Restorative and Ritualistic Justice. Oxford Journal of
Legal Studies 30 (2), 2010.
Byrd, B.S. Kant's theory of punishment: Deterrence in its threat, retribution in its
execution. Law Philos Vol. 8. 1989.
Cottingham, John. “Varieties of Retribution.” The Philosophical Quarterly (1950), vol.
29, no. 116. 1979.
Daly, Kathleen. Mind the gap: Restorative justice in theory and practice." Restorative
justice and criminal justice: Competing or reconcilable paradigms. Cambridge
Seminar on Restorative Justice, Cambridge and Toronto. 2003.
67
Daniels, Griff. Restorative Justice : Changing The Paradigm. Probation Journal. Vol.60
No.3. 2013.
Fletcher, George P. The Place of Victims in the Theory of Retribution. Buffalo Criminal
Law Review, vol. 3, no. 1. 1999.
Galaway, Burt. The Use of Restitution. Crime & Delinquency. 1977.
Gunarto, Markus Priyo. Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan.
Mimbar Hukum. Vol.21. No. (1). 2009.
Hardin Jr, D. B. Why Cost-Benefit Analysis-A Question (and Some Answers) about the
Legal Academy. Ala. L. Rev.,Vol. 59. 2007.
Herlina, Apong. Restorative Justice. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3. No.3, 2004.
Hogan R., Emler N.P. Retributive Justice. In: Lerner M.J., Lerner S.C. (eds) The
Justice Motive in Social Behavior. Critical Issues in Social Justice . Springer,
Boston, MA. 1981.
F. Janssens. " .. IK ZAL JELUI WEL DONDEREN! .. " Het begrip 'belediging' in de Code
Pénal, vergeleken met het huidige Wetboek van Strafrecht. Grom. Vol. 9. No. 9.
1992.
Marbun, A. N., & Laracaka, R. Analisa Ekonomi terhadap Hukum dalam Pemidanaan
Partai Politik melalui Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara
Tipikor. Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 5 No.1, 2019
McCold, P., and T. Watchel. In Pursuit of Paradigm: A Theory of Restorative Justice.
International Institute for Restorative Practices. Bethlehem. Pennsylvania. U.S.A.
2003.
Murphy J.G. Kant’s Theory of Criminal Punishment. Retribution, Justice, and
Therapy Journals. Philosophical Studies Series in Philosophy , vol 16. Springer,
Dordrecht. 1979.
Moohr, Geraldine Szott. Defining Overcriminalization Through Cost-Benefit Analysis:
The Example of Criminal Copyright Laws. American University Law Review 54,
no.3. 2005.
Prayitno, Kuat Puji. Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis
Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum. 2012.
68
Posner, Richard A. An Economic Theory Of The Criminal Law. Columbia Law Review.
vol. 85, no. 6. 1985.
Richard A. Posner, Retribution and Related Concepts of Punishment. The Journal of
Legal Studies Vol. 9, no. 1. 1980.
Russel B. Korobkin dan Thomas S. Ulen. Law and Behavioral Science: Removing The
Rationality Assumption from Law to Economics. California Law Review, Vol. 88.
2000.
Setiawan, M. Arif. Kajian Kritis Teori-Teori Pembenaran Pemidanaan. Jurnal Hukum.
Vol 6. No.11. 1999.
Sterba, James.P. Retributive Justice. Political Theory. Vol. 5. No. 3. 1977.
UNESCO. World Trends in Freedom of Expression and Media Development:2017/2018.
Global Report. Paris. 2018.
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia. Jurnal Hukum dan
Pembangunan. Vol.36. No. (6). 2006.
“PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”
Defamation Act 1996.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Naskah akademik RUU ITE. Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan
HAM RI. 2005
Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Managemen Penyidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
69
“INTERNET”
Southeast Asia Freedom of Expression Network
www.putusan.mahkamahagung.go.id
http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Penelitian-anggaran-perkara-
pidum-kejaksaan.pdf
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/ung/current/monthly
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/kategori/jenis/ite-1/. \