Jurnal Penelitian Diakronik Sejarah Perkembangan dan Teori ...

46
1 Jurnal Penelitian Diakronik Sejarah Perkembangan dan Teori Formulasi Kebijakan Publik Amma Fathuurrahmaan Abstraksi Penelitian ini Mengkaji tentang Sejarah Perkembangan Teori Formulasi Kebijakan Publik. Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya pemahaman teori formulasi kebijakan publik dalam dunia akademis dan Formulasi Kebijakan Publik oleh praktisi pembuat kebijakan. selain itu latar belakang penulis melakukan penelitian ini adalah karena banyaknya teori Formulasi kebijakan Publik yang belum terkumpulkan dan terpisah pisah. Terdapat 4 tujuan dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui pemahaman tentang studi kebijakan terutama ilmu kebijakan serta ilmu dan kebijakan. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan teori formulasi kebijakan secara kronologis. Selanjutnya, tujuan ketiga penelitian ini adalah untuk mengetahui perdebatan kaum teknokratis dan kaum politis serta penganut aliran bottom up yang mengkritik aliran top down dan mewarnai perkembangan sejarah teori formulasi kebijakan Publik, dan tujuan terakhir penelitian ini adalah untuk mengetahui peta paradigm teori formulasi kebijakan publik yang muncul dari periode awal sampai akhir. Penelitian ini menggunakan Metode Studi Kepustakaan dengan data yang dikumpulkan dari buku dan jurnal teori formulasi kebijakan dalam dan luar negeri. Buku dan Jurnal tersebut kemudian penulis review dan penulis analisis menggunakan metode analisis pendahuluan, koroborasi dan koligasi. Temuan penelitian ini menunjukkan Menurut Laswell (1948, dalam Parson 2005 hal 19) Sebuah Ilmu disebut ilmu kebijakan apabila ilmu itu menjelaskan proses pembuatan kebijakan di dalam masyarakat, atau menyediakan data yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang rasional mengenai persoalan kebijakan tertentu.. Studi Kebijakan sendiri dimulai dari diciptakanya Visi yang dikemukakan oleh Harold Laswell pada tahun 1951.. Temuan Penelitian kedua menunjukkan setidaknya terdapat 32 Teori Formulasi Kebijakan yang telah muncul sejak tahun 1951 sampai dengan tahun 2015 Temuan Ketiga Penelitian ini adalah terdapat tiga kelompok yang berdebat tentang pendekatan teknokratis dan politis dalam perkembangan sejarah teori formulasi kebijakan publik. ketiga kelompok tersebut yakni. Kelompok pertama adalah value scholars. Kelompok yang kedua adalah the politics of categorization scholars dan kelompok yang terakhir adalah participatory scholars. Selain itu terdapat tiga tokoh ilmuwan aliran bottom up yang mengkritik teori formulasi kebijakan aliran top down yakni, Smith, Dror dan Etzioni. Temuan Keempat penelitian ini adalah terdapat 9 teori Formulasi Kebijakan Publik yang memiliki paradigma positivistik, 10 teori dalam paradigma post positivistik Pada Paradigma Interpretif atau Konstruktif, terdapat 7 Teori Formulasi Kebijakan, dan pada paradigma Kritis terdapat 6 teori formulasi kebijakan publik.

Transcript of Jurnal Penelitian Diakronik Sejarah Perkembangan dan Teori ...

1

Jurnal Penelitian

Diakronik Sejarah Perkembangan dan Teori Formulasi Kebijakan Publik

Amma Fathuurrahmaan

Abstraksi

Penelitian ini Mengkaji tentang Sejarah Perkembangan Teori Formulasi Kebijakan Publik. Latar

belakang penelitian ini adalah pentingnya pemahaman teori formulasi kebijakan publik dalam

dunia akademis dan Formulasi Kebijakan Publik oleh praktisi pembuat kebijakan. selain itu latar

belakang penulis melakukan penelitian ini adalah karena banyaknya teori Formulasi kebijakan

Publik yang belum terkumpulkan dan terpisah pisah. Terdapat 4 tujuan dalam penelitian ini

yakni untuk mengetahui pemahaman tentang studi kebijakan terutama ilmu kebijakan serta ilmu

dan kebijakan. Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan teori

formulasi kebijakan secara kronologis. Selanjutnya, tujuan ketiga penelitian ini adalah untuk

mengetahui perdebatan kaum teknokratis dan kaum politis serta penganut aliran bottom up yang

mengkritik aliran top down dan mewarnai perkembangan sejarah teori formulasi kebijakan

Publik, dan tujuan terakhir penelitian ini adalah untuk mengetahui peta paradigm teori formulasi

kebijakan publik yang muncul dari periode awal sampai akhir. Penelitian ini menggunakan

Metode Studi Kepustakaan dengan data yang dikumpulkan dari buku dan jurnal teori formulasi

kebijakan dalam dan luar negeri. Buku dan Jurnal tersebut kemudian penulis review dan penulis

analisis menggunakan metode analisis pendahuluan, koroborasi dan koligasi. Temuan penelitian

ini menunjukkan Menurut Laswell (1948, dalam Parson 2005 hal 19) Sebuah Ilmu disebut ilmu

kebijakan apabila ilmu itu menjelaskan proses pembuatan kebijakan di dalam masyarakat, atau

menyediakan data yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang rasional mengenai persoalan

kebijakan tertentu.. Studi Kebijakan sendiri dimulai dari diciptakanya Visi yang dikemukakan

oleh Harold Laswell pada tahun 1951.. Temuan Penelitian kedua menunjukkan setidaknya

terdapat 32 Teori Formulasi Kebijakan yang telah muncul sejak tahun 1951 sampai dengan tahun

2015 Temuan Ketiga Penelitian ini adalah terdapat tiga kelompok yang berdebat tentang

pendekatan teknokratis dan politis dalam perkembangan sejarah teori formulasi kebijakan publik.

ketiga kelompok tersebut yakni. Kelompok pertama adalah value scholars. Kelompok yang

kedua adalah the politics of categorization scholars dan kelompok yang terakhir adalah

participatory scholars. Selain itu terdapat tiga tokoh ilmuwan aliran bottom up yang mengkritik

teori formulasi kebijakan aliran top down yakni, Smith, Dror dan Etzioni. Temuan Keempat

penelitian ini adalah terdapat 9 teori Formulasi Kebijakan Publik yang memiliki paradigma

positivistik, 10 teori dalam paradigma post positivistik Pada Paradigma Interpretif atau

Konstruktif, terdapat 7 Teori Formulasi Kebijakan, dan pada paradigma Kritis terdapat 6 teori

formulasi kebijakan publik.

2

Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, pemerintah di seluruh dunia sebagai penanggung jawab berjalanya sistem

pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat semakin mendapat tantangan baru. Tantangan

tersebut salah satunya adalah semakin berkembangnya kompleksitas permasalahan yang muncul

dalam sebuah negara dengan disertai semakin berkembangnya teknologi, kemampuan Sumber

Daya Manusia, serta tantangan globalisasi yang dihadapi sebuah negara. Kompleksitas

permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam sebuah negara ataupun pemerintahan di sebuah

provinsi atau negara federal maupun di sebuah kabupaten atau kota tidak hanya meliputi

pemenuhan kesejahteraan masyarakat didalam daerah otoritas pemerintah tersebut.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi pemerintah diseluruh level pemerintahan

dalam sebuah negara semakin juga semakin mendapat tantangan yang berat tatkala gelombang

demokratisasi mulai berkembang dan menjadi tuntutan untuk diterapkan di dalam sebuah negara

sebagai sistem pedoman terbentuknya pemerintahan serta pembuatan keputusan yang mencakup

aspek kehidupan bernegara dan kesejahteraan ditengah gelombang demokratisasi dan tuntutan

keterbukaan informasi publik di kalangan masyarakat. Kompleksitas yang dimaksud penulis

yakni apakah tindakan yang diambil pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan atau tidak.

Hal ini mengacu pada apa yang diutarakan Thomas R Dye bahwa tindakan yang dilakukan

pemerintah maupun yang tidak dilakukan pemerintah merupakan sebuah kebijakan dan dapat

mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam sebuah negara (Dye, 1995:2). Kompleksitas

permasalahan dalam sebuah negara dengan disertai tuntutan pemerintah agar selalu dapat

beradaptasi terhadap kondisi dan permasalahan yang muncul di tengah sistem masyarakat ini

sebagai contoh yang pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kebijakan

ekonomi yang dibuat pemerintah Indonesia dari waktu ke waktu semakin berkembang tatkala

diikuti dengan diterapkanya sistem demokratisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan

presiden Soeharto, kebijakan ekonomi Indonesia cenderung dibuat berdasarkan teknokratis.

Namun pada masa reformasi, kebijakan ekonomi Indonesia mengalami pergeseran paradigma

tatkala pemerintahan eksekutif mendapat kontrol ketat dari masyarakat dan Lembaga Legislatif.

3

Kontrol yang diberikan masyarakat dan lembaga legislatif semakin diperkuat dengan

kontrol dari kalangan akademisi. Kontrol yang dimiliki akademisi ini berupa kritik dan pendapat

yang diberikan sebagai dinamika dari shift paradigm kajian Formulasi Kebijakan Publik. Hasil

dari pergeseran paradigma ini dapat dilihat pada tahun 2013 dimana menurut data resmi Badan

Pusat Statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencatat angka kurang dari enam

persen sejak 2009 yakni sekitar 5,78 persen. Sementara pada kurun waktu 2 tahun antara tahun

2010-2012, pendapatan perkapita Indonesia berhasil menduduki posisi tertinggi di Asean

(dikutip dari http://www.dw.de/ekonomi-indonesia-melambat/a-17409010 pada tanggal 18 Maret

2014). kurun waktu tiga tahun Indonesia berhasil meraih Produk Domestik Bruto dan

Pendapatan Perkapita tertinggi di ASEAN. Namun pada tahun 2013 Indonesia mengalami

penurunan pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 5,78% dimana pada tahun sebelumnya

pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,23 % (dikutip dari http://www.dw.de/ekonomi-

indonesia-melambat/a-17409010 pada tanggal 18 Maret 2013).

Permasalahan lain yang muncul di negara negara berkembang adalah sinergitas antara

lembaga eksekutif dan legislatif dalam membuat sebuah kebijakan. Seperti diketahui beberapa

negara negara berkembang di Asia Tenggara memiliki sistem pemerintahan yang berbeda.

Seperti di Indonesia yang menganut sistem demokrasi membuat lembaga eksekutif baik di

pemerintahan pusat maupun daerah harus dapat bersinergi dengan Lembaga Eksekutif. Namun

yang terjadi di Indonesia kemampuan lembaga legislatif dalam kapasitasnya untuk memproduksi

undang undang tidak mencapai target yang ditentukan. Sebagaimana diketahui Pada tahun 2013

ini terdapat 70 Rancangan Undang-Undang yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional

(Prolegnas). Namun terhitung hingga akhir November tahun ini, DPR baru menelurkan 23 UU

saja. Dari 23 UU baru itu, ternyata 11 di antaranya terkait dengan pemekaran daerah, dua

merupakan ratifikasi perjanjian internasional, dan dua lainnya terkait APBN (dikutip dari

http://nasional.sindonews.com/read/2013/12/14/16/816867/fokus-sebelum-pemilu pada tanggal

20 Maret 2014). Hal ini tentunya menjadi fenomena menarik karena dalam proses pembuatan

kebijakan, Lembaga Legislatif di Indonesia hanya mampu membuat 10 kebijakan dari 23

kebijakan yang telah ditetapkan.

4

Salah satu contoh fenomena peran legislatif dalam mengontrol kebijakan pemerintah

yakni gagalnya pemerintah menaikkan kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak akibat hak

angket yang diajukan kalangan oposisi Lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat. Voting

terbuka yang diputuskan oleh ketua DPR yang notabene adalah dari partai pemerintah, berhasil

menggagalkan rancangan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar

minyak.Sementara ada tahun 2006, saat pengambilan keputusan hak angket impor beras pada

2006. Pemerintah melobi berhasil menggagalkan penggunaan hak angket melalui lobi fraksi di

DPR (dikutip dari http://tempo.co.id/hg/nasional/2008/06/24/brk,20080624-126456,id.html pada

tanggal 20 Maret 2014). Fenomena lainya tentang perkembangan fenomena pembuatan

kebijakan dalam dinamika demokratisasi di setiap daerah adalah tentang penolakan DPRD DKI

Jakarta terhadap realisasi pengadaan truk sampah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

DKI Jakarta menolak pengadaan 200 truk sampah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2014. Anggota Komisi D (Pembangunan) DPRD DKI

Aliman Aat mengatakan penolakan dikarenakan truk itu hanya akan digunakan oleh pihak

swasta. (dikutip dari http://www.merdeka.com/jakarta/tolak-pembelian-200-truk-sampah-ini-

alasan-dprd-dki-jakarta.html pada tanggal 20 Maret 2014).

Permasalahan selanjutnya yang dihadapi pemerintah adalah pemberantasan buta huruf di

kalangan masyarakat, hal ini mengingat Buta aksara merupakan salah satu indikator utama yang

dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tinggi

rendahnya buta aksara menjadi penentu utama tinggi rendahnya kualitas pembangunan manusia

di dalam sebuah negara. Menurut data Kementerian Pendidikan Nasional, Angka buta aksara di

Indonesia masih mencapai angka 4,8 persen dari jumlah penduduk yang setara dengan 8,5 juta

jiwa. Tentu saja permasalahan ini memerlukan penanganan khusus berupa tindakan pemerintah

yang dibuat melalui kebijakan yang berfokus pada pemberantasan buta huruf. Alasan lain

perlunya dibuat penanganan khusus karena selain jumlahnya masih banyak, 60 persen dari 8,5

juta jiwa tersebut didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, saat ini terdapat 10 provinsi

dengan tingkat buta huruf tinggi hingga prosentase di atas 10 persen. 10 provinsi tersebut antara

lain Papua, NTT, NTB dan Jabar serta Sulsel. (dikutip dari kutipan Siti Muyassarotul Hafidzoh

pada data Kemendiknas: 2011 di situs http://suara

guru.wordpress.com/2013/09/09/memberantas-buta-aksara/ pada tanggal 18 Maret 2014).

5

Salah satu contoh kompleksitas permasalahan berikutnya yang dihadapi pemerintahan di

beberapa negara dunia yakni permasalahan peningkatan standar pelayanan minimal. Seperti

diketahui bahwa Standar pelayanan minimal adalah salah satu kajian studi kebijakan publik yang

mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang

berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan yang baru

diperkenalkan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung oleh peraturan

perundang-undangan yang memadai mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah ataupun

peraturan menteri terkait. Di sisi lain sebagai sebuah kebijakan baru, standar pelayanan minimal

sedang dalam proses pencarian bentuk dan sosialisasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit,

mengingat perlunya kesamaan pemahaman antara aktor pembuat kebijakan dengan pelaksana

kebijakan di lapangan, terlebih lagi seringnya terjadi proses penyesuaian kebijakan yang

disebabkan oleh dinamika masyarakat yang menjadi obyek kebijakan.(dikutip dari

http://spmbppkemendagri.blogspot.com/2013/06/data-spm-dari-beberapa lembaga.html dikutip

pada tanggal 18 Maret 2013). Sampai saat ini Pemerintah telah menetapkan SPM sebanyak lima

belas bidang urusan yang terdiri dari sembilan SPM diterapkan pada Pemerintahan Daerah

Provinsi dan lima belas SPM diterapkan pada Pemerintahan Daerah Kabupaten atau Kota.

Masing-masing SPM yang telah ditetapkan tersebut, memiliki karakteristik yang berbeda baik

dari jumlah jenis pelayanan, jumlah indikator maupun target capaian. Setidaknya dari lima belas

SPM yang sudah ditetapkan terdapat tiga belas SPM yang target capaiannya antara tahun 2010

sampai dengan tahun 2015, satu SPM dengan target capaian tahun 2016 dan satu SPM dengan

target capaian tahun 2025. (dikutip dari

http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/1383-percepatan-standar-pelayanan-

minimal-di-daerah pada tanggal 18 Maret 2014).

Pentingnya penerapan konsistensi pemahaman teori kebijakan publik menurut penulis

dilandasi karena kurang mampunya para kalangan instansi pemerintah sebagai aktor pembuat

kebijakan publik memahami kondisi kompleksitas permasalahan yang dihadapi dari konteks

ilmiah. Mengacu dari ungkapan Smith bahwa permasalahan dalam studi kebijakan publik tidak

hanya meliputi ilmu politik, kesejahteraan ekonomi, atau administrasi publik, menurut Peter De

6

Leon (dalam Smith 2009:5) ruang lingkup studi kebijakan publik sendiri juga masih samar

samar.

Para aktor pembuat kebijakan dalam membuat sebuah keputusan pemerintah juga harus

dapat memahami ketepatan realitas sosial yang nyata. Penulis mengutip ungkapan Peter Berger

(1990:1) bahwa dalam memahami realitas sosial, individu harus memahami fenomena-fenomena

yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak

manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata atau real

dan memiliki karakteristik yang spesifik. Sementara Shapira (dalam Morcol 2007:9)

menyatakan bahwa dalam membuat keputusan, Organisasi memiliki fungsi preferensi yang tidak

tepat, tidak konsisten, dan selalu berubah. Pentingnya konsistensi penerapan teori ilmiah

kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah juga dilandasi oleh tuntutan

kemampuan pemerintah untuk mampu menentukan pilihan strategi yang dibuat untuk menangani

kompleksitas permasalahan. Hal ini mengacu dari definisi kebijakan publik yang diutarakan

Birkland (dalam Smith 2009:4) bahwa kebijakan publik merupakan pilihan-pilihan atau

tindakan yang didukung oleh kekuatan koersif negara, yang pada intinya, kebijakan publik

merupakan respon terhadap masalah yang dirasakan..

Urgenitas konsistensi penerapan ilmu kebijakan secara alamiah ini diperkuat dengan

pernyataan Peter Deleon (dalam Smith 2009:11) dari sudut pandang aksiologi studi kebijakan

publik bahwa tugas praktisi dan ilmuwan kebijakan seperti mendiagnosis penyakit, memahami

penyebab dan implikasi dari penyakit mereka, merekomendasikan perawatan, dan mengevaluasi

dampak dari pengobatan. Analogi yang diutarakan Peter de Leon (dalam Smith, 2009:11) ini

mengacu dari pendapat Hipokrates bahwa fungsi pemerintah sendiri adalah sebagai nahkoda

praktisi kebijakan publik layaknya seorang dokter, ilmuwan kebijakan harus melalui pelatihan

dasar ilmiah dengan menggunakan pengetahuan untuk melayani kebutuhan masyarakat yang

berorientasi nilai lebih besar.

Pentingnya konsistensi penerapan teori pembuatan kebijakan dalam membuat sebuah

keputusan yang dibuat oleh individu elemen pemerintah bertujuan agar permasalahan yang

dihadapi pemerintah di sebuah negara dapat teratasi sesuai dengan prediksi yang akurat dan teori

yang tepat pula. Hal ini mengacu dari ungkapan Robert Audi bahwa pengetahuan muncul dari

7

memori, instropeksi dan kesadaran diri seorang perseptor ilmu pengetahuan untuk membentuk

persepsi kesadaran terhadap fenomena (2005:5). Para kalangan akademisi juga harus memahami

perkembangan teori kebijakan publik mengingat pembuatan kebijakan juga harus melihat aspek

sejarah perkembangan lingkungan dan sejarah perkembangan teori dari perspektif historis

epistemologi dari masing masing teori kebijakan yang telah diciptakan oleh para kalangan

akademisi kebijakan publik. Yang pada akhirnya terdapat korelasi antara ruang paradigma

dengan epistemologi masing masing teori formulasi kebijakan publik.

Ruang paradigma yang dimaksud penulis ini mengacu dari titik tolak kerangka berpikir

perkembangan sejarah ilmu sosial pada umumnya dan kebijakan publik khususnya mengacu dari

pernyataan Scott J Simon (dalam Radder 1997:2-3) sebagai penganut Meta Paradigma ilmu

Pengetahuan Beyond Kuhn menyatakan bahwa perkembangan teori memiliki esensi dari

kebenaran paradigma para kalangan ilmuan kebijakan. Perkembangan teori dalam pengetahuan

tersebut diwarnai dengan gesekan kontradiksi kebenaran melalui kritik yang diberikan dalam era

perkembangan pengetahuan.

Landasan penulis untuk mengambil topik sejarah perkembangan teori formulasi

kebijakan dalam penelitian thesis yang dibuat penulis adalah yang pertama karena tahap

formulasi adalah tahap awal yang paling krusial yang harus dipahami para praktisi kebijakan dan

elemen pemerintah, maka pemahaman tentang perkembangan teori formulasi kebijakan publik

diharapkan dapat membantu praktisi untuk dapat menggunakan teori formulasi kebijakan secara

tepat berdasarkan permasalahan yang ada. Selain itu, landasan lain penulis melakukan kajian

mendalam terhadap tema ini adalah karena masih kurangnya kumpulan literatur tentang

formulasi kebijakan publik. dimana dapat diketahui literatur kebijakan publik sebagian besar

masih didominasi oleh studi implementasi kebijakan. Hal ini senada dengan yang diutarakan

oleh Eysestone (Dalam Smith 2009:31) bahwa selama ini studi literatur kebijakan publik terlalu

berfokus pada literature tentang implementasi kebijakan yang membuat studi literature kebijakan

tidak pernah bisa menjelaskan secara koheren bagaimana kebijakan dirumuskan, diadopsi,

diterapkan, dan dievaluasi dengan mengarah ke penelitian kebijakan yang dianggap oleh banyak

ahli politik, ekonom, dan sosiolog sebagai penelitian kelas kedua di kebijakan publik.

8

Selain itu, Lasswell (dalam Smith 2009:20) juga tidak pernah menyelesaikan nilai nilai

ilmu sosial yang pas terutama penjelasanya tentang nilai politik dan administrasi dalam konsepsi

demokrasi yang dia bangun. Laswell sepenuhnya tidak bisa mendamaikan pengetahuan tentang

kebijakan dengan politik yang pada akhirnya mengakibatkan tidak adanya batasan fakta yang

dimasukkan kedalam layanan nilai nilai demokrasi. Lasswell juga tidak menyadari sepenuhnya

bahwa pada akhirnya nilai dan fakta bisa bertentangan.

Jika dilihat dari aspek sejarah, proses kelahiran dan kemunculan kebijakan publik sudah

dimulai sejak era pemerintahan Babilonia. Dimana dapat diketahui bahwa pada abad 18 SM Raja

Hamorabi telah membuat sebuah peraturan yang disebut kode hamorabi demi terciptanya

ketertiban sosial pada masa itu (Fermana, 2009:32).

Dalam perkembanganya, kelahiran kebijakan publik sebagai sebuah ilmu tidak bisa

dilepaskan dari peran Laswell. Harold Lasswell (dalam Smith 2009:9) merasakan kesadaran dan

persepsi setelah peristiwa perang dunia ke II periode 1940 - 50 an dengan mencoba untuk

mencari sebuah fokus baru mengenai studi politik mengenai hubungan negara dan masyarakat

sebagai warga negara.

Dari kajian Epistemologi yang memiliki definisi sebagai asal, sifat, karakter dan jenis

pengetahuan, studi kebijakan publik didasari oleh kerangka pemikiran filsafat yang diutarakan

oleh beberapa tokoh. Tokoh yang pertama adalah Jeremy Bentham (dalam Fermana 2009:24)

menyatakan bahwa dalam studi kebijakan. terdapat esensi kerangka pemikiran Utilitarian dimana

aliran tersebut mendasarkan hukum dan kebijakan tidak hanya mengandalkan prinsip hukum dan

reformasi sosial. Kerangka filosofis yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham ini mendapat

sanggahan dari John Rawls. John Rawls (dalam Fermana 2009:115) menyatakan bahwa

pendidikan moral yang benar adalah pendidikan otoritatif pihak pendidik pada kaum regenerasi.

Kerangka Epistemologi yang lain yakni dikemukakan oleh John Dewey (dalam Hook 1980:23)

menjelaskan bahwa kebijakan publik terbentuk melalui dialektika antara hukum dan kebebasan.

John Dewey (dalam Hook 1980:23) menganggap bahwa hukum secara inheren memusuhi

9

kebebasan manusia, hanya sebagai seperangkat pembatasan yang dapat dibenarkan dilanggar

atas nama satu sama lain sebagai kebebasan pribadi. Yang kedua Dewey (dalam Hook 1980:23)

menganggap hukum pada dasarnya sebagai sebuah otoritas perintah utama yang bertumpu pada

kekuatan eksklusif. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada otoritas moral atau politik yang dapat

membenarkan diri atau memperoleh legitimasi dengan kekuatan sendiri (Hook, 1980:23). Studi

Kebijakan pada awal perkembanganya ditandai dengan dibuatnya visi kebijakan oleh Harold

Laswell pada tahun 1950an (Smith, 2009 hal 13). Laswell (dalam Smith 2009:13) menyatakan

bahwa tipisnya jarak kebijakan publik sebagai sebuah studi dengan demokrasi, mengakibatkan

kebijakan publik sebagai sebuah disiplin ilmu mengalami ketegangan internal dengan ilmu

lainya. Lasswell (dalam Smith 2009:13) menambahkan bahwa ketegangan internal tersebut

akibat terlalu luasnya orientasi studi kebijakan. sebagai contoh yakni konflik yang melibatkan

akademisi dan ilmuan kebijakan yang mengalami perbedaan pendapat terpecah menjadi dua

kubu. Kubu yang pertama adalah mereka yang memberi prioritas kepada nilai-nilai ilmu

pengetahuan (state oriented policy) dan orang-orang yang memberikan prioritas kepada nilai-

nilai demokrasi atau setidaknya nilai-nilai politik tertentu (society oriented policy).

Sabatier (dalam Smith 2009:15) mencoba meredakan ketegangan Internal yang dialami

oleh para akademisi kebijakan. Sabatier (dalam Smith 2009:15) membuat dua pendekatan,

pendekatan yang pertama yakni menyederhanakan kompleksitas ruang lingkup studi kebijakan

melalui pemahaman terhadap masing masing situasi yang terjadi. Sementara pendekatan yang

kedua menurut Sabatier (dalam Smith 2009:15) adalah memahami sebuah isu kepada tempat

dan waktu yang tepat dalam sebuah dunia yang kausal. Studi kajian tentang pengambilan

keputusan sebagai landasan formulasi kebijakan dalam perkembanganya terus dikembangkan

oleh para kalangan akademisi kebijakan publik. Perkembangan ini ditandai melalui munculnya

Literatur pengambilan keputusan yang dibuat oleh Herbert Simon. Dalam buku Handbook of

Decision Making karya Gogtug Morcol. Menurut Herbert Simon (dalam Morcol 2007:1)

Pengambilan keputusan atau yang biasa disebut Decision Making muncul pada tahun 1960an .

Teori Decision Making (Morcol, 2007:1) menjelaskan bahwa individu rasional bisa membuat

keputusan secara logis dan murni melalui pengetahuan lengkap tentang masalah yang harus

diselesaikan dan konsekuensi dari tindakan mereka. Morcol (2007:1) menjelaskan secara

10

gamblang tentang teori, konteks, dan metode pengambilan keputusan. Selain itu Morcol juga

menjelaskan upaya perumusan secara universal teori pengambilan keputusan di masa lalu

(2007:1). Pengembangan demi pengembangan melalui literatur yang ditulis beberapa ahli sampai

detik ini menurut penulis merupakan evolusi dari pengembangan studi pengambilan keputusan

yang pada nantinya akan menjadi landasan konstruksi model kebijakan rasional. Kajian - kajian

literature yang membahas tentang decision making sebagai pijakan kebijakan model rasional

seiring waktu terus dikembangkan melalui artikel yang dilanjutkan dari kritikan dan penelitian

selanjutnya.

Sebagai contoh yakni sebuah literature lanjutan yang dikembangkan oleh Bryan D. Jones

dari University Of Washington, bahwa perilaku manusia merupakan salah satu landasan utama

dalam pembuatan kebijakan (2005:400). Studi pengembangan teori formulasi kebijakan

selanjutnya adalah Studi yang dilakukan oleh Cambpitelli (2010, hal 6) melalui pengkajian

pemikiran Tversky dan Kahnemann (dalam Campitelli 2010:6 ) tentang 3 jenis rasionalitas

yang dia kembangkan. 3 jenis rasionalitas tersebut adalah rasionalitas terbatas, rasionalitas bias

dan rasionalitas ekologis. Rasionalitas terbatas menurut Simon (dalam Campitelli 2010:4)

merupakan asumsi ekonomi yang dimiliki oleh pelaku ekonomi, maka mereka memaksimalkan

kesempatan. Sehingga dalam hal ini Simon memberikan kritikan terhadap ungkapan Kahnemann

bahwa manusia memiliki keterbatasan rasionalitas. Yang pada akhirnya membuat mereka

melakukan pembuatan kebijakan secara bervariasi sesuai dengan tingkat keahlian dari pembuat

keputusan, karakteristik lingkungan. Rasionalitas yang ke dua adalah rasionalitas bias.

Banyaknya kritik yang muncul akibat dari ketidakpuasan terhadap teori pengambilan

keputusan akibat semakin berkembangnya kompleksitas permasalahan yang dihadapi ilmuwan

kebijakan kemudian memunculkan satu teori baru dalam studi kebijakan. Teori tersebut adalah

public choice atau teori pilhan publik. Teori pilihan publik muncul pada periode 1951. Namun

teori ini baru mendapat perhatian publik pada tahun 1986. Teori pilihan publik merupakan

penerapan model pilihan rasional untuk pengambilan keputusan non-pasar. Melihat dari

banyaknya pandangan perkembangan teori dan munculnya beberapa literatur kritikan terhadap

perkembangan teori formulasi kebijakan tersebut, muncul sisi menarik dari kumpulan literatur

11

tentang kajian teori formulasi kebijakan publik terutama teori pengambilan keputusan. Sisi

menarik yang ditangkap penulis adalah adanya keberagaman pemikiran dari masing masing

penulis untuk mengkritisi literatur teori formulasi kebijakan pengambilan keputusan yang dibuat

oleh Herbert Simon. Perkembangan studi formulasi kebijakan sendiri dipengaruhi oleh

pemikiran Lasswell yang kemudian dikembangkan oleh Theodore Lowi pada tahun 1964.

Theodore Lowi (dalam Smith 2009:37) mengembangkan tipologi kebijakan melalui pendekatan

politik dilihat dari segi fungsinya. Mengacu pada kutipan Lowi dalam buku The Public Policy Of

Theory Primer, Lowi menjelaskan bahwa Kebijakan terdiri dari 4 jenis yakni kebijakan

distributif, kebijakan regulatif, kebijakan redistributif, dan kebijakan konstituen. Lowi (dalam

Smith, 2009:37) menggunakan dua pendekatan studi dalam mengembangkan tipologi kebijakan,

dua pendekatan tersebut yakni pendekatan politik dan kebijakan. Kerangka tipologi kebijakan

menurut Lowi (dalam Smith 2009:37) merupakan sebuah upaya pendekatan yang dilakukan

untuk mendefinisikan kembali bagaimana kebijakan dan politik ilmuwan konsep proses

pembuatan kebijakan.

Teori formulasi kebijakan berikutnya adalah teori Incremental. Teori Incremental muncul

pada periodisasi awal perkembangan kebijakan publik. Menurut Bryan D Jones (2004: 325-

351), Incrementalism menyiratkan bahwa pilihan kebijakan pada waktu tertentu adalah

penyesuaian marjinal dari pilihan kebijakan sebelumnya. Jones (2004:325-351) menyatakan

bahwa model ini sepenuhnya telah didiskreditkan oleh para akademisi kebijakan publik dari

aspek teoritis, metodologis, dan empiris kritik.

Luasnya ruang lingkup kajian studi kebijakan publik dengan disertai berkembangnya

sistem demokrasi di semua negara berpengaruh terhadap semakin tak terbendungnya

kemunculan teori formulasi kebijakan. Seperti halnya yang terjadi pada kemunculan teori

formulasi kebijakan deliberatif. Gagasan deliberatif dalam demokrasi muncul dari ide Joseph M.

Bessette.

Menurut Habermas (dalam Mardiyanta 2011:261-271), teori deliberatif merupakan salah

satu wujud dari deliberasi demokrasi deliberatif yang berakar pada konsepsi ruang publik.

Sedangkan menurut Mardiyanta (2011:261-271) demokrasi deliberatif merupakan tata cara

pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog

12

dan tukar pengalaman diantara para pihak dan warga negara. Mardiyanta (2011:261-271)

menambahkan bahwa tujuan dari formulasi deliberatif sendiri adalah pencapaian kata mufakat

melalui hasil - hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Sehingga dapat

dikatakan bahwa keterlibatan warga negara merupakan inti dari formulasi deliberatif

(Mardiyanta, 2011: 261-271).

Dari beberapa teori formulasi kebijakan yang telah penulis sebutkan diatas. Terlihat jelas

betapa banyaknya teori formulasi kebijakan. Namun dari sekian banyak jumlah teori formulasi

kebijakan tersebut, ditambah dengan semakin tak terbendungnya kemuculan literatur dari

berbagai akademisi untuk mengkritisi temuan penelitian, belum terlihat jelas seberapa jauh

perkembangan teori formulasi kebijakan tersebut dapat dipetakan dari sampai detik ini jika

dilihat dari banyaknya penelitian dan pengembangan lanjutan tentang kajian tentang studi

formulasi kebijakan melalui literatur yang masih sangat samar samar dan terpisah satu sama lain.

Dari penelusuran yang dilakukan penulis terdapat beberapa studi terdahulu yang telah

melakukan kajian pustaka terhadap pengumpulan literatur formulasi kebijakan menjadi sebuah

buku. Seperti pada buku Handbook of Decision Making karya Goctuc Morcol. Dalam buku

tersebut Morcol (2007) mengumpulkan dan menjelaskan teori Decision Making yang menjadi

salah satu bagian dari teori formulasi kebijakan publik.

Studi terdahulu yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Nandini Rajagopalan

dan Abdul M.A Rasheed dari University of Southern Carolina, Los Angles. Penelitian berjudul

Incremental Model of Policy Formulation and Non – Incremental Changes: Crtitical Review and

Synthesis. Penelitian ini dibukukan dalam Jurnal yang bernama British Journal of Management

pada tahun 1995. Penelitian yang mereka lakukan adalah mengkritik dua model pendekatan dari

teori formulasi kebijakan incrementalism yang dibuat tahun 1959 dan 4 model non

incrementalism yang meliputi Leadership exlanation, Organizational trasehold Explanation,

Speculative Argumention, dan Catastrophe theory (Rasheed,1995:7-8). Menurut Rasheed kunci

perbedaan dari dua model pendekatan tersebut adalah inetegrasi dari masing masing model

formulasi kebijakan yang mereka kembangkan (Rasheed, 1995:12).

Studi terdahulu berikutnya yakni kajian yang dibuat oleh Michael Howlett dan Jeremy

Rayner. Penelitian ini membahas tentang evaluasi empat model umum proses perubahan sejarah

13

yang telah muncul dalam berbagai bidang dalam ilmu sosial - yaitu stokastik, narasi sejarah,

ketergantungan lintasan dan proses sequencing serta aplikasi mereka untuk mempelajari

pembuatan kebijakan publik (Howlett dam Rayner, 2006:1). Jurnal hasil penelitian ini

menetapkan dan menilai manfaat dan bukti masing-masing, baik dalam penelitian sosial umum

dan dalam ilmu kebijakan (Howlett dan Raymer, 2006:1). Howlett dan Rayner (2006, hal 1)

berfokus pada pemetaan teori proses kebijakan neo-positivisme

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang berjudul ―Diakronik sejarah Perkembangan dan Pemetaan

teori formulasi kebijakan Publik‖ ini adalah untuk mengetahui Perkembangan awal studi

Kebijakan terkait dengan Studi Kebijakan dan Studi dengan kebijakan. Tujuan penelitian ini

berikutnya adalah untuk mengetahui Bagaimana Peta Perkembangan Sejarah Teori Formulasi

Kebijakan secara kronologis. Tujuan berikutnya adalah untuk mengetahui Perdebatan antara

Kaum Teknokratis dan Kaum politis serta kritik kaum bottom up terhadap top down dalam

Sejarah Perkembangan Teori Formulasi Kebijakan. dan tujuan penelitian yang terakhir adalah

untuk mengetahui Bagaimana Peta Perkembangan Teori Formulasi Kebijakan Berdasarkan aliran

paradigma positivistik, post positivistik, interpretif atau Konstruktif, dan Kritis.

Kerangka Teori

Dalam penelitian Diakronik Sejarah Perkembangan dan Pemetaan Teori Formulasi

Kebijakan Publik ini, penulis menggunakan 6 kerangka teori. Teori Pertama adalah Teori Pohon

Keilmuwan yang dicetuskan oleh Suparyogo dan Kunto Wibisono. Menurut Menurut Suparyogo

(2012), pendekatan teori ini dibuat karena dilandasi oleh perubahan dari ilmu pengetahuan

digambarkan seperti pohon. Pohon terdiri dari akar (yang tidak terlihat oleh mata secara

langsung, terutama akar tunjang dalam suatu pohon), batang, cabang, ranting, daun, bunga, kulit

batang, dan sebagainya. Seperti halnya pohon, Ilmu pengetahuan juga digambarkan seperti

bangunan suatu gedung yang di dalam bangunan itu terdiri dari fondasi (yang tidak terlihat oleh

mata secara langsung), pilar, atap, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan juga digambarkan seperti

struktur yang di dalam struktur itu terdapat unsur-unsur atau elemen-elemen yang masing-

14

masing elemennya merupakan bagian terkait yang tidak dapat dipisahkan antar elemennya dan

berfungsi saling menguatkan dalam suatu sistem ilmu pengetahuan sementara menurut Kunto

Wibisono (1984) filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan

menunjukkan bagaimana ―pohon ilmu pengetahuan‖ telah tumbuh mekar-bercabang secara

subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan

masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Koento Wibisono (1984),

mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu

keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah

―ada‖ (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan

yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya

akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan

diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu

nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan

ilmu.

Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan Publik. Menurut Dye

(dalam Smith dan Larimer, 2009 hal 3), Kebijakan merupakan apa yang dipilih dan dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sementara Eyestone menyatakan bahwa Kebijakan Publik

merupakan hubungan unit pemerintah dengan lingkunganya. Atau dapat dikatakan bahwa

kebijakan publik merupakan tindakan objektif dan pernyataan tertentu dari pemerintah dan

tahapan yang mereka ambil yang kemudian mereka implementasikan. Dan penjelasakan yang

mereka berikan tentang apa yang terjadi (Wilson dalam Smith dan Larimer, 2009 hal 3) definisi

ini secara akurat memiliki esensi bahwa secara umum ide membuat studi kebijakan sangat

berbeda dengan ilmu politik, kesejahteraan ekonomi atau administrasi publik. Smith dan Larimer

juga menjelaskan bahwa ilmuan kebijakan tidak memberikan batas yang memberikan isolasi

terhadap sarjana politik yang mempelajari institusi atau bahkan perilaku memilih. (Smith dan

Larimer, 2009 hal 3)

Definisi Kebijakan yang lain diutarakan oleh James Anderson (1994, dalam Smith dan

Larimer, 2009 hal 3) yang sebagian digunakan oleh dalam buku strata satu kebijakan dimana

kebijakan merupakan tindakan yang diambil atau tidak oleh aktor maupun rangkaian aktor untuk

15

mengatasi permasalahan yang memiliki esensi yang memprihatinkan. Definisi ini memberikan

implikasi rangkaian berbeda terhadap karakteristik kebijakan publik. Kebijakan tidak dibuat

secara acak namun memiliki orientasi tujuan. Kebijakan publik dibuat oleh otoritas publik

(Smith dan Larimer, 2009 hal 3). Smith dan Larimer (2009, hal 4). menyatakan bahwa tidak

terdapat definisi kebijakan publik secara universal. Namun terdapat kesepakatan umum bahwa

kebijakan publik merupakan proses membuat pilihan dan hasilnya atau implementasinya

sebagian besar merupakan sebuah keputusan bahwa apa yang dibuat dalam kebijakan publik

―publik adalah sebuah pilihan atau tinfakan yang didukung oleh kekuasaan koersif negara (Smith

dan Larimer, 2009 hal 4). Smith dan Larimer (2009, hal 18) menjelaskan bahwa pendekatan

adhoc memberikan satu lisensi pada ilmuan kebijakan untuk mengemis, meminjam dan

mengambil berbagai kerangka kerja konseptual yang dikembangkan ilmu sosial. Salah satu ilmu

utama dalam berbagai kerangka kerja konseptual ini menurut Smith dan Larimer (2009, hal 18)

adalah Ekonomi yang berfungsi menyatukan kerangka kerja konseptual melalui satu rangkaian

metode. Kerangka kerja ini khususnya meliputi kajian administrasi publik, ilmu politik dan studi

kebijakan. menurut pendapat Smith dan Larimer, kolonisasi berbagai disiplin ilmu ini

menunjukkan kekuatan teori yang baik.

Teori ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Formulasi Kebijakan

Publik. Menurut Smith dan Larimer (2009, hal 49) kebijakan publik adalah studi pembuatan

keputusan. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan yang didukung oleh kekuatan koersif

negara. siapa yang membuat keputusan ini dan mengapa mereka membuat keputusan melalui

pertanyaan penelitian penting bagi sarjana kebijakan. Parson (2005, hal 247) menyatakan bahwa

Pembuatan keputuan (decision making) berada diantara perumusan kebijakan dan implementasi.

Akan tetapi [kedua hal tersebut] saling terkait satu sama lain (Parsons, 2005 hal 247). Keputusan

mempengaruhi implementasi dan implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan

keputusan selanjutnya, yang pada giliranya akan mempengaruhi implementasi berikutnya

(Parsons, 2005 hal 247). keputusan adalah sebuah proses dan keputusan awal seringkali hanya

merupakan sinyal penunjuk arah atau dowongan awal, atau percobaan awal, yang nantinya akan

mengalami revisi dan diberi spesifikasi (Etzioni, 1968: 203-204 dan Parsons, 2005 hal 247). .

Peters (2004, dalam Nugroho 2012 hal 116) menyatakan bahwa formulasi yang baik adalah

dilakukan melalui inersia, analogi dan intuisi.

16

Teori keempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Sejarah Diakronik.

Menurut Galtung, (1963, dalam Kuntowijoyo 2008 hal 5), sejarah adalah ilmu diakronis berasal

dari kata diachronich; dia dalam bahasa latin artinya melalui dan chronicus artinya waktu.

Sejarah disebut ilmu diakronis, sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalama

waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Galtung (1963, dalam Kuntowijoyo 2008 hal 5)

menambahkan bahwa Konsep diakronis melihat bahwa peristiwa dalam sejarah mengalami

perkembangan dan bergerak sepanjang masa. Melalui proses inilah, manusia dapat melakukan

perbandingan dan melihat perkembangan sejarah kehidupan masyarakatnya dari jaman ke jaman

berikutnya.

Teori Kelima yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Paradigma. Menurut

Thomas Kuhn, Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum

(merupakan sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan

dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan

itu sendiri (Surajiyo, 2008). Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan,

nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain

paradigma menunjukan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan

sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit

menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.

Secara singkat paradigma dapat diartikan sebagai ‖keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan

teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena) (Kuhn,

2005). Menurut Menurut Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 75) terdapat empat paradigma

keilmuwan yakni Positivistik, Post Positivistik, Interpretive dan Kritis. Paradigma Positivistik

sendiri menurut Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 73) adalah paradigma yang mana

realitasnya eksis dan diatur oleh hukum sebab akibat yang bisa di ketahui. Selain itu paradigma

memiliki esensi free of value yang bebas nilai dimana Hipotesis dapat diuji secara empiris.

Paradigma Post Postivisme menurut Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 73) adalah

paradigma yang menyatakan bahwa Realitas Eksis tetapi tidak bisa dipahami atau diterangkan

secara menyeluruh dimana terdapat multisiplisitas sebab akibat. Selain itu, paradigma ini

memandang bahwa objektivitas adalah sesuatu yang ideal, tetapi dibutuhkan komunitas yang

17

kritis. menurut Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 73) Paradigma Post Positivisme merupakan

kritik terhadap eksperimentalisme dengan menekankan pada pendekatan, teori dan penemuan

yang bersifat kualitatif.

Paradigma Konstruktivisme atau Interpretive menurut Guba (1990, dalam Parson 2005

hal 73) merupakan paradigma yang memandang realitas eksis sebagai konstruk mental dan relatif

terhadap siapa yang menganutnya. Selain itu, menurut Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 73)

pengetahuan dan pihak pencetus teori yang mengetahui adalah bagian dari entitas subjektif yang

sama. temuan adalah hasil dari interaksi antara pengetahuan dan pencetus sebuah teori.

Paradigma Kritis menurut Guba (1990, dalam Parson 2005, hal 73) adalah paradigma

yang memandang realitas eksis, tetapi tidak bisa dipahami atau diterangkan secara menyeluruh

dan terdapat multisiplitas sebab akibat. Guba (1990, dalam Parson 2005 hal 73) kemudian

menyatakan bahwa Paradigma ini juga memandang nilai memediasi penelitian. Paradigma ini

mengacu pada pemikiran teori kritis yang mengajukan usul eliminasi kesadaran semu dan

memfasilitasi transformasi dan berpartisipasi dalam transformasi itu (Guba, 1990 dalam Parson

2005 hal 73)

Teori Keenam yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pemetaan Paradigma

Keilmuwan yang diciptakan oleh Parson (2005, hal 59) dimana Pemetaan Paradigma Keilmuwan

adalah melakukan penyederhanaan (simplify) dalam rangka memahami multisiplisitas faktor dan

kekuatan yang membentuk problem dan proses sosial, ilmuwan mesti menyusun model model,

pemetaan (map), atau berpikir dalam term metafora (Parsons, 2005 hal 59). Ini mencakup

kerangka tempat ilmuwan berpikir dan menjelaskan (Parsons, 2005 hal 59). Kerangka pemikiran

ini mengandung tujuan dan maksud yang berbeda, meskipun dalam praktiknya mungkin

perbedaan ini agak membingungkan dan tumpang tindih (Parsons, 2005 hal 59). Menurut Parson

(2005, hal 59) terdapat 3 kerangka pemikiran dalam memetakan sebuah teori yakni:

Explanatory framework adalah kerangka usaha untuk menunjukkan bagaimana

sesuatu terjadi. Dilain pihak, kerangka ini bisa dianggap sebagai model/teori/peta

yang heuristis: yakni bertujuan untuk menyediakan suatu kerangka pemikiran

yang bisa dipakai untuk mengeksplorasi, sebuah metode untuk mempelajari atau

18

meneliti problem atau proses yang rumit. Gagasan tahapan kebijakan, atau siklus

kebijakan adalah contoh dari model heuristik penting dalam analisis kebijakan

(Parsons, 2005 hal 59). Di lain pihak, sebuah model bisa mengklaim sebagai

model kausal: model tersebut akan memprediksi atau menghasilkan hipotesis

bahwa jika x terjadi, maka y akan terjadi. Model kausal ini bisa berbasis deduktif,

berdasarkan serangkaian proposisi yang bisa divalidasi atau difalsifikasi

berdasarkan bukti; atau model ini bisa mengklaim berbasis induktif: yakni

teorinya berasal dari studi empiris terhadap fenomena tertentu

Ideal-type frameworks adalah upaya untuk mendefinisikan karakteristik dari suatu

fenomena, sehingga dengan karakteristik itu, ilmuwan kebijakan bisa mengetahui

apakah sesuatu itu merupakan bagian dari kelompok fenomena yang memiliki

properti atau kriteria yang sama. kriteria tipe ideal yang paling terkenal adalah

yang diajukan oleh Max Webber ketika dia mengemukakan bahwa ilmuwan bisa

memahami birokrasi berdasarkan ciri organisasional dan strukturalnya (Parson,

2005 hal 59-60)

Normative frameworks menentukan kondisi atau tatanan apa yang harus ada agar

tujuan tertentu bisa dicapai. Kerangka normatif ini, karenanya, lebih berkaitan

dengan apa yang seharusnya ada daripada apa yang ada dalam kenyataanya

(Parsons, 2005 hal 59-60).

Metodologi

Penelitian ini menggunakan Metode Studi Kepustakaan dengan data yang dikumpulkan dari 33

buku Dalam dan luar negeri serta 43 jurnal teori formulasi kebijakan dalam dan luar negeri. Data

tersebut kemudian penulis review dan penulis olah menggunakan teknik catatan ekstrak kata

demi kata untuk menafsirkan makna teks literature teori formulasi kebijakan publik (Zeid, 2008

hal 54-60). Analisis penelitian ini menggunakan metode analisis pendahuluan untuk mengkaji

makna teks, konteks dan diskursus. Selanjutnya hasil analisis pendahuluan tersebut penulis

koroborasikan untuk menguatkan bukti keabsahan sejarah. Setelah melakukan analisis

koroborasi, hasil olahan data kemudian penulis olah menggunakan analisis koligasi yakni

19

menggabungkan data yang telah penulis analisis melalui analisis koroborasi dan analisis

pemetaan paradigm untuk memetakan sampai sejauh mana perkembangan teori formulasi

kebijakan publik hingga saat ini.

Pembahasan

1. Ilmu Kebijakan dan Ilmu VS Kebijakan

Menurut Laswell (1948, dalam Parson 2005 hal 19) Sebuah Ilmu disebut ilmu

kebijakan apabila ilmu itu menjelaskan proses pembuatan kebijakan di dalam

masyarakat, atau menyediakan data yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang

rasional mengenai persoalan kebijakan tertentu. Parson (2005, hal 19) kemudian

menyatakan jika ilmuwan menyingkirkan sikap kaku yang membuat ilmu pengetahuan

terpisah pisah dalam sebuah peradaban, maka ilmuwan bisa bersama sama membentuk

tim riset yang member kontribusi pengetahuan yang diperlukan oleh pemerintahan yang

demokratis. Menurut Laswell (1948, dalam Parson 2005, hal 19) istilah kebijakan

dipakai untuk menunjukkan perlunya penjelasan tujuan tujuan sosial yang harus

diberikan oleh bidang keilmuwan.

Laswell (1951, dalam Parson 2005 hal 19) menyatakan bahwa Ilmu kebijakan

mencakup 3 hal yakni pertama adalah metode penelitian proses kebijakan, kedua adalah

hasil dari studi kebijakan dan yang ketiga adalah hasil temuan penelitian yang

memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan inteligensi di era

sekarang.

Ilmu Kebijakan menurut Laswell (1951, dalam Parson 2005 hal 20) merupakan

sebuah disiplin yang menitikberatkan pada usaha menjelaskan proses pembuatan

kebijakan dan proses pelaksanaan kebijakan, serta sebagai usaha untuk menemukan data

dan menyediakan interpretasi yang relevan dengan persoalan kebijakan pada periode

tertentu. Pendekatan kebijakan bukan sekadar mengkaji berbagai isu yang beragam,

tetapi lebih menitikberatkan pada persoalan yang fundamental namun seringkali

diabaikan, yang muncul dari upaya manusia dalam menyesuaikan dirinya dalam

masyarakat. Pendekatan kebijakan bukan berarti bahwa sang ilmuwan mengabaikan

20

objektivitas dalam mengumpulkan atau menginterpretasikan data, atau tak lagi berusaha

menyempurnakan alat alat penelitianya. Pendekatan kebijakan menekankan perlunya

pemilihan problem yang memiliki nilai penting serta memerlukan penggunaan

objektivitas yang cermat dan kecerdasan teknis dalam melalukan penelitian. Laswell

(1951, dalam Parson 2005 hal 20) kemudian menyatakan bahwa studi kebijakan juga

harus menjelaskan seluruh konteks peristiwa signifikan. Sementara orientasi ilmu

kebijakan mengarah pada usaha peningkatan pengetahuan yang diperlukan untuk

meningkat proses demokrasi dalam aspek teori maupun praktik.

2. Diakronik Sejarah Perkembangan Teori Formulasi Kebijakan Publik

Menurut Galtung (1963, dalam Kuntowijoyo 2008 hal 5), sejarah adalah ilmu

diakronis berasal dari kata diachronich; dia dalam bahasa latin artinya melalui dan

chronicus artinya waktu. Sejarah disebut ilmu diakronis, sebab sejarah meneliti gejala-

gejala yang memanjang dalama waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Galtung

(1963, dalam Kuntowijoyo 2008 hal 5) menambahkan bahwa suatu peristiwa sejarah

tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya dan akan mempengaruhi peristiwa yang akan

dating. Menurut Galtung (1963, dalam Kuntowijoyo 2008 hal 5), berfikir secara

diakronis haruslah dapat memberikan penjelasan secara kronologis dan kausalita.

Kronologi adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu

terjadinya. Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali

suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu dapat juga membantu

untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda yang

terkait peristiwanya. Hasil analisis sejarah perkembangan teori formulasi kebijakan

publik secara diakronik terlebih dahulu penulis sajikan melalui table berikut:

21

Tabel

Diakronik Sejarah Perkembangan Teori Formulasi kebijakan Publik Secara

Kronologis

No Nama Teori Formulasi

Kebijakan Publik

Nama Pembuat

Teori

Tahun Munculnya

Teori

1. Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Brainstorming

Osborn 1948

Orientasi dan Visi Kebijakan

Laswell

Harold Laswell 1951

2. Teori Pilihan Publik Charles Tiebout,

Anthony Downs,

Gordon Tullock

1956

3. Teori Bounded Rationality Herbert Simon 1957

4. Teori Muddling Through Charles Lindblom 1958

5. Teori Inkremental Charles Lindblom 1959

6. Teori Kontrol Agenda EE. Schatsscneider

Cobb dan Elder

1960

7. Teori Analisis Pembuatan

Keputusan Model Sinektik

Gordon 1961

8. Teori Non Decision Making Bachrach dan

Bachratz

1963

9. Teori Sibernatika Karl Deutsch 1963

10. Teori Normatif Optimum Yehezkel Dror 1964

11. Teori Korporatisme Shonfield 1965

12. Teori Mixed Scanning Amitai Etzioni 1967

13. Teori Kualitatif Optimum Yehezkel Dror 1971

14. Teori Pembuatan Kebijakan

Problem Sosial

Herbert Blumer 1971

15. Teori Garbage Can March 1972

16 Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Hirarki

O’Shaughnessy 1972

17 Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Klasifikasi

O’Shaughnessy 1973

18. Teori Pembuatan Kebijakan

Sistem

Paine dan Naumes 1974

19. Teori Pembuatan kebijakan

Institusional

Apter 1976

20. Teori Pembuatan Kebijakan

Model Teknokrasi

D Bell 1976

21. Teori Pembuatan Kebijakan

Asumtif

Young 1977

22

22. Teori Analisis Pembuatan Kebijakan Model Asumsi

Mitroff dan Emshof 1979

23. Teori Pembuatan Kebijakan Elite Lukes dan Gaventa 1980

24. Teori Groupthink Janis 1982

25. Teori Policy Stream Anthony Downs 1984

26. Teori Ambisius Charles I Jones 1991

27. Teori Manajemen Konflik Kauffman 1991

28. Teori Personalitas Greenstain 1992

29. Teori Punctuated Equilibrium Baumgartner dan

Jones

1993

30. Teori Pembuatan Kebijakan

Stratejik

Bryson 1995

31. Teori Pembuatan Kebijakan

Deliberatif

Hajeer dan

Wagenar

2000

32 Teori Pembuatan Kebijakan

Wind Tunnel Testing

Riant Nugroho 2015

3. Perdebatan antara Kaum State Oriented Policy (Teknokratik) VS Society

Oriented Policy (Politik) dan Kritik Penganut Aliran Bottom Up terhadap Aliran

Top Down Formulasi Kebijakan Publik

Perdebatan dua aliran dalam teori formulasi kebijakan ini merupakan

fenomena menarik yang mewarnai sejarah perkembangan teori formulasi kebijakan

publik dimana perdebatan ini secara langsung juga mempengaruhi perkembangan

munculnya masing masing pemikiran ilmuwan kebijakan publik secara umum dan

ilmuwan formulasi kebijakan publik secara khusus. Penulis dalam pembahasan sub

bab teknokratis VS Politis ini menyajikan perdebatan antara tiga kelompok. Kelompok

pertama adalah value scholars yang terdiri dari Edelman, Fischer, Forester dan C

Anderson) yang kedua adalah the politics of categorization scholars yang terdiri dari

Stone, Schneider dan Ingram dan yang terakhir adalah participatory scholars yang

meliputi DeLeon, Schneider, dan Ingram. Semua tiga rangkaian ilmuan ini

menyepakati tentang kebutuhan perbedaan metodologi dalam studi desain kebijakan,

dengan penekanan sub bidang yang jelas (Smith dan Larimer 2009 hal 203)

Menurut Smith dan Larimer (2009, hal 181) desain Kebijakan merupakan

sebuah istilah umum dalam bidang studi kebijakan yang ditujukan untuk pemeriksaan

yang sistematis terhadap isi substansif dari kebijakan. Dari perspektif rasionalis atau

23

teknokratis, tujuan kebijakan merupakan sarana untuk mencapai hasil akhir dari yang

diinginkan, melalui sebuah solusi. Ilmuwan desain kebijakan menerima gagasan

tersebut, tetapi mereka berpendapat bahwa substansi kebijakan jauh lebih kompleks

dan memiliki nuansa yang instrumental dari perspektif rasionalis daripada

mengidentifikasi tujuan dan mencoba untuk menilai apa yang dilakukan atau apa yang

harus dilakukan (Smith dan Larimer, 2009 hal 181). Ilmuwan Desain kebijakan

kemudian berfokus pada pembuatan blue print atau arsitektur kebijakan. Dalam

perspektif ini, kebijakan dianggap sebagai sebuah sarana instrumental serta berfokus

pada indentifikasi dan interpretasi elemen simbolik. Desain Kebijakan dan desain

proses juga merangkum informasi tentang mengapa hasil kepentingan tertentu tidak

tercapai, dan juga mengungkapkan tentang siapa yang melakukan, inform yang

memiliki kemampuan untuk memiliki seperangkat nilai nilai yang didukung kekuatan

koersif negara (Smith dan Larimer, 2009 hal 182).

Smith dan Larimer (2009, hal 182) mengatakan bahwa kaum rasionalis atau

teknokratis memandang bahwa proses kebijakan meliputi keputusan tentang desain

kebijakan yang dibuat dengan landasan membandingkan solusi potensial untuk

mendefinisikan permasalahan yang dibuat dan bahwa aktor kebijakan serta warga

negara merespon keputusan tersebut menggunakan kriteria yang sama. Perspektif

desain kebijakan ini dipandang sebagai sebuah asumsi yang naif dan tidak sempurna

(Smith dan Larimer, 2009 hal 182). Sementara Schneider (1997, dalam Smith 2009

hal 182) menyatakan bahwa dalam arena politik, bahkan bukti ilmiah cenderung

mengarah ke subjektif dan selektif. Perspektif desain kebijakan kemudian menolak

asumsi ini. Edelman (1980, dalam Smith dan Larimer 2009 hal 182) disisi yang lain

menyatakan bahwa Tujuan kebijakan setidaknya dibuat falsiable karena klaim tentang

kebijakan cenderung mengarah pada pertimbangan sekunder. Bahkan ketika memasuki

arena politik, seringkai isyarat simbolis kebijakan cenderung lebih menjadi menarik

daripada fakta kebijakan. keputusan seperti kebijakan cenderung tidak terstruktur

dengan analisis obyektif dimana dampak yang diharapkan dari permasalahan tertentu

lebih simbolik dan emosional (Smith dan Larimer, 2009 hal 182).

24

Menurut perspektif desain kebijakan, desain simbolis dan emosional lebih

dapat mengungkapkan tujuan yang sebenarnya dari kebijakan publik yang mungkin

agak jauh dari tujuan sebenarnya (Smith dan Larimer, 2009 hal 182). Ilmuwan

kebijakan kemudian tertarik dalam menjelaskan perbedaan struktur politik, sosial dan

ekonomi yang mendasari pembuatan kebijakan sebagai sebuah kontribusi dari ketidak

adilan. Sementara ilmuwan kebijakan yang lain mencoba memahami nilai nilai

tertentu seperti egalitarianisme, keanekaragaman dan partisipasi dalam proses

pembuatan kebijakan melalui ekplorasi nilai nilai konflik yang muncul dalam arus

utama metode sosial dan nilai nilai demokrasi yang mereka yakini sebagai pusat studi

kebijakan publik (Smith dan Larimer, 2009 hal 183).

Smith dan Larimer dengan mengutip pendapat Schneider dan Ingram

mengatakan bahwa Desain kebijakan mengacu pada isi kebijakan publik. yang secara

empiris isi kebijakan publik meliputi beberapa karakteristik seperti target populasi

(warga yang menerima manfaat atau menanggung biaya kebijakan) nilai nilai yang

didistribusikan kebijakan, peraturan yang mengatur atau menghambat implementasi,

alasan alasan (pembenaran dalam kebijakan), asumsi logis yang mengikat semua

elemen secara bersamaan (Schneider dan Ingram 1997, hal 2 dan Smith dan Larimer,

2009 hal 183).

Edelman (1990, dalam Smith dan Larimer 2009 hal 183) kemudian

mengatakan tidak ada satu kebijakan yang tidak memiliki tujuan, meskipun semua

bersifat subjektif. Edelman juga menyatakan bahwa tindakan pemerintah dari sudut

pandang politik tidak didasarkan pada respon rasional terhadap problem sosial.

Edelman (1990, dalam Smith dan Larimer 2009 hal 183-184) menganggap simbol dan

bahasa yang digunakan mengandung status politik dan ideologi. Edelman kemudian

menyatakan bahwa bahasa memiliki arti sebagai penafsiran yang positif. Sehingga

dalam hal ini Edelman menyimpulkan bahwa tindakan pemerintah didasarkan pada

alternatif dan penjelasan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang belum

terselesaikan. Konstruksi ini bertujuan untuk melindungi kepentingan langsung dalam

dunia yang tidak diprediksi. Dengan mendefinisikan masalah sesuai dengan solusi

25

subyektif dan pembuat kebijakan terkesan memelihara status quo (Smith dan Larimer,

2009 hal 184). Sementara di sisi yang lain, Fischer (1980, dalam Smith dan Larimer

2009 hal 184) menjelaskan bahwa nilai nilai yang tertanam dalam proses kebijakan

terletak pada proses pembuatan kebijakan. dimana keputusan tentang problem

definition, seleksi alternatif dan evaluasi kebijakan didasarkan pada penggunaaan nilai

deliberatif dan subjektifitas interpretasi nilai nilai tersebut (Fischer, 1980 hal 71 dan

Smith dan Larimer, 2009 hal 184) bagi Fischer, proses evaluasi kebijakan adalah

mendeskpripsikan evaluasi politik (Fischer, 1980 hal 71 dan Smith dan Larimer, 2009

hal 184). Pembuat kebijakan mengkonstruksi realitas dengan meminimalisir biaya

politik dan memaksimalkan keuntungan politik (Fischer, 1980 hal 71 dan Smith dan

Larimer, 2009 hal 184).

Bagi Edelman, Fischer, Forester, dan Anderson, proses kebijakan jelas tidak

rasional. Desain kebijakan mengandung sisi instrumental dengan menggunakan biaya

manfaat. Dan juga didasarkan pada penggunaan nilai dan simbol untuk mencapai hasil

tertentu. Dengan kata lain, outcome kebijakan dianggap memiliki konteks yang relatif.

Tidak ada satu orang pun yang obyektif dalam melihat sebuah kebijakan. hal ini

memunculkan implikasi serius dalam hal menilai apakah kebijakan efektif. Jika

Edelman benar, maka semua realitas yang dibangun tidak ada yang bisa diverifikasi

atau difalsifikasi (Edelman, 1990 hal 111, Smith dan Larimer, 2009 hal 185).

Hal ini kemudian memunculkan tekad bagi para ilmuwan yang bergerak

menjauh dari analisis empiris kebijakan publik. analis kebijakan bukanya harus

merangkul semua pendekatan teoritis mulai dari post positivisme, teori kritis,

dekonstruksi atau hermeneutika (Smith dan Larimer, 2009 hal 185).

Edelman, Fischer, dan Anderson menyediakan platform konseptual penting

tentang studi kebijakan. asumsi kunci dari kerangka ini adalah desain kebijakan

didasarkan pada pemaknaan intersubjektif dengan menggunakan isyarat simbolis.

Kebijakan publik dirancang sesuai dengan konstruksi realitas, yang pada akhirnya isi

kebijakan dilihat secara berbeda dengan masing masing kelompok yang ada di

masyarakat. Stone menganggap bahwa paradoksi kebijakan merupakan sebuah sifat

26

dari proses kebijakan yang ambiguitas. Tidak ada yang jelas dalam proses kebijakan,

karena semua kebijakan terlihat seperti pedang bermata dua. Rasional, pendekatan

berbasis pasar dalam pembuatan kebijakan dianggap tidak akurat karena mereka

menganggap proses pembuatan kebijakan seperti jalur perakitan (Stone 2002, hal 10

dan Smith dan Larimer, 2009 hal 187).

Stone (2002, dalam Smith dan Larimer 2009 hal 190) kemudian menyajikan

model pasar yang menurut Stone terdapat hubungan zero-sum antara keadilan dan

efisiensi. Efisien berarti memiliki arti bahwa tidak semua orang memenuhi kualifikasi

benefit yang akan mereka terima. Stone kemudian menolak model ini sebagai model

polis. Dia berpendapat bahwa pembuat kebijakan menggunakan simbol ketika

mendesain kebijakan untuk mengabadikan stereotip yang ada (Smith dan Larimer,

2009 hal 190). Peter May (1991, dalam Smith dan Larimer 2009 hal 193) kemudian

memiliki cata pandang yang berbeda antara kebijakan dengan publik dan kebijakan

tanpa publik. Kebijakan dengan publik adalah sebuah kebijakan yang menekankan

konstituen dan menghadapi perbedaan rangkaian batas desain kebijakan. sementara

kebijakan tanpa publik tidak memiliki kelekatan ekspetasi kepentingan dengan

kelompok kepentingan. Seperti kebijakan yang juga menghindari konflik yang

mendapatkan pendapat sebelumnya dari kelompok yang tidak berkepentingan. Point

ini menunjukkan bahwa desain kebijakan tidak beroperasi secara independen dari

politik. Desain kebijakan membutuhkan sebuah kesadaran tentang bagaimana publik

dan dunia politik akan merespon tujuan kebijakan (May 1991 dalam Smith dan

Larimer 2009 hal 193).

Anne L Schneider dan Helen Ingram (1997, dalam Smith dan Larimer, 2009

hal 193) kemudian mengkritik pendapat Stone (1998, dalam Smith dan Larimer, 2009

hal 193) dengan menyatakan bahwa nilai bagi pembuat kebijakan diterjemahkan dan

dinterpretasikan oleh warga. Mereka juga menyatakan bahwa hanya evaluasi

kebijakan yang berisi isi dan substansi bagaimana dan mengapa kebijakan

dikonstruksi. Penggunaan desain kebijakan sebagai variabel dependen dan konstruksi

sosial sebagai variabel independen merupakan karakteristik dari proses pembuatan

27

kebijakan yang degeneratif (Schneider dan Ingram, 1997 hal 11 dan Smith dan

Larimer, 2009 hal 194).

Smith dan Larimer kemudian menyatakan bahwa Ilmuwan kebijakan telah

menyepakati bahwa pendekatan kuantitatif dalam kebijakan publik seperti analisis

cost benefit menolak intersubjektifitas yang menjadi pedoman proses kebijakan

(Fischer 1980, Edelman 1990, dan Smith dan Larimer 2009) pada point tersebut,

Smith dan Larimer menekankan bahwa Solusi teoritik menghadapi dilema, sebagai

contoh misalkan perdebatan tentang metodologi post positivis seperti konstuksionisme

dan hermeneutik (Smith dan Larimer, 2009 hal 200). Bagi Peter DeLeon,

bagaimanapun hal ini menunjukkan intersubjektivitas dan nilai yang dihasilkan

memunculkan adanya pemisahan antara pemerintah dan masyarakat (Smith dan

Larimer, 2009 hal 200).

Smith dan Larimer (2009, hal 201) menyatakan bahwa disatu sisi ilmuwan

kebijakan sepakat dengan Edelman, Fischer, dan Stone bahwa para pembuat kebijakan

harus selektif dalam memahami fakta, cerita dan gambar dalam proses pembuatan

kebijakan. Sementara dalam perspektif yang lain, ilmuwan kebijakan yang lain

mendukung pernyataan Schneider dan Ingram bahwa para pembuat kebijakan

mendistribusikan beban dan manfaat kebijakan sedemikian rupa untuk

memaksimalkan keuntungan politik (Smith dan Larimer, 2009 hal 203). Hal ini terjadi

karena elite berusaha menanamkan nilai nilai tertentu dalam desain kebijakan karena

sebuah persepsi untuk menghindari dampak negatif. Namun dimata ilmuwan positvis,

kerangka kerja ini dipandang mengandung skeptisisme dimana konsep tersebut tak

berbentuk sistematis sebagai pedoman penelitian dan metode tersebut kurang empiris

jika dihubungkan dengan proyek rasionalis (Smith dan Larimer, 2009 hal 203).

Kritik Penganut Aliran Bottom Up terhadap Aliran Top Down dalam Teori

Formulasi Kebijakan Publik

Perkembangan sejarah teori formulasi kebijakan juga diwarnai oleh kritik yang

dibuat oleh penganut pendekatan bottom up terhadap pendekatan Top down. Kritik ini

pada akhirnya menimbulkan munculnya teori teori formulasi kebijakan baru yang

28

memiliki aliran bottom up karena ketidak puasan penganut pendekatan bottom up

terhadap teori formulasi kebijakan yang beraliran topdown. Hal ini dapat dilihat pada

aliran kanan baru yang mengkritik cara dimana pertumbuhan big government

membuat pembuatan keputusan menjadi dikuasai oleh kelompok profesional yang

lebih tertarik pada keuntungan dan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan

publik yang mereka layani. Model pluralis cenderung menekankan bahwa kekuasaan

profesional tidak menyatu dan lebih terfragmentasi daripada yang diasumsikan oleh

model pembuatan keputusan elitis. Kaum neo-elitis berkonsentrasi pada kekuasaan

elite okupasional, yang bertentangan dengan elite pemerintahan. dan menunjukkan

bagaimana kelompok profesional memiliki peran besar dalam mempengaruhi

implementasi (Parsons, 2005 hal 266-267). Salah satu penganut aliran kanan baru yang

mengkritik pendekatan top down adalah Smith (1972, dalam Parsons 2005 hal 271)

yang menyatakan bahwa Kaum Pluralis memiliki pandangan klasik pada pakar

dimana mereka selalu tersedia (on tap) bukan berada di puncak (on top).

Ilmuwan kebijakan kedua yang mengkritik pendekatan top down adalah Yehezkel

Dror. Kritik Dror terhadap model inkrementalis menyatakan bahwa model tersebut

sangat konservatif dan tidak pas pada situasi dimana kebijakan dianggap telah

terlaksana atau sudah memuaskan, problemnya stabil, dan dimana ada sumber daya

yang tersedia. Akan tetapi, dalam praktiknya dia memandang inkrementalisme hanya

bisa berfungsi untuk memperkuat konservatisme dan kekuatan anti inovasi. Lebih

jauh, Dror (1964, 1989, dalam Parson 2005 hal 297) menganggap hal ini tidak fair,

sebab ketika pendekatan inkrementalis mendominasi, pihak pihak yang berkuasa akan

berada diatas angin, sedangkan yang sedikit berkuasa akan kesulitan mebuat

perubahan. Diantara model inkremental dan rasional Dror mengajukan satu alternatif

melalui kontinum Simon-Laswell. Model Dror mengakui pentingnya rasionalitas

didalam batas batas yang didefinisikan oleh Simon-dan dalam rangka memperkuat

rasionalitas pembuatan keputusan di level keputusan yang relatif rendah dimana

terdapat banyak rutinitas dia juga mengakui perlunya Pengenalan ilmu manajemen dan

teknik manajemen. Tetapi Dror juga menerima argumen Laswell bahwa problem yang

kompleks memerlukan penyusunan pembuatan keputusan di tingkat yang lebih tinggi

29

dimana kesenjangan pengetahuan diisi dengan ilmu kebijakan (Dror, 1989 hal 23 dan

Parson, 2005 hal 298). Dror kemudian mengasumsikan bahwa pembuatan kebijakan

publik yang optimal bukanlah proses murni rasional, bahwa pembuatan itu melibatkan

komponen komponen ekstra rasional. Asumsi Dror ini membuat model pembuatan

kebijakan yang dia buat dibenci oleh para penganut rasionalitas murni....di pihak lain,

banyaknya komponen rasional dari model optimal membuat model yang dia buat tidak

dapat diterima oleh mereka yang menganggap proses ekstra rasional sebagai proses

yang lebih valid. Predisposisi model terhadap inovasi juga akan menjengkelkan

mereka yang percaya bahwa tradisi adalah perwujudan utama dari kebijaksanaan

manusia (Dror, 1989 hal 302 dan Parson 2005 hal 298)

Untuk menghasilkan transformasi pembuatan keputusan berdasarkan model yang

diklaim sebagai model deskriptif dan model preskriptif. Dror membayangkan

semacam reformasi radikal atas proses pembuatan kebijakan. Dia percaya bahwa perlu

dilakukan perubahan dalam personel (politisi, birokrat, dan para ahli) dan juga

perubahan dalam struktur dan proses (meningkatkan pemikiran yang sistematik,

feedback, dan mengintegrasikan para ahli kedalam pembuatan kebijakan), serta

perubahan dalam lingkungan umum pembuatan kebijakan. Dia percaya bahwa konsep

muddling through bukanlah opsi yang tepat, dan meski fakta bahwa kekuatan

konservatif sangat kuat, Dror menganggap bahwa strategi jangka panjang untuk

memperbaiki pembuatan kebijakan publik adalah penting demi kemajuan umat

manusia. Dalam banyak hal penggabungan rasional dan ekstra rasional tersebut

banyak kesamaanya dengan gagasan Laswell tentang peran ilmu kebijakan (Dror,

1989 hal 290 dan Parson, 2005 hal 299).

Ilmuwan ketiga yang mengkritik teori formulasi kebijakan aliran top down adalah

Amitai Etzioni yang tidak yakin bahwa inkrementalisme atau model rasional bisa

secara realistis dan memuaskan dalam menjelaskan pembuatan keputusan. Etzioni

mengemukakan Pendekatan yang rasionalistis untuk pembuatan keputusan

memerlukan sumber daya yang lebih besar daripada yang bisa dipakai oleh pembuat

keputusan. Strategi inkremental yang memperhatikan kemampuan aktor telah

30

menciptakan keputusan yang mengabaikan inovasi masyarakat. Bauran pengamatan

(mixed scanning) mereduksi aspek yang tak realistis dalam rasionalisme dengan cara

membatasi diri pada detail yang dibutuhkan dalam keputusan fundamental dan

membantu mengatasi kecenderungan konservatif inkrementalisme dengan

mengeksplorasi alternatif jangka panjang. Model mixed scanning ini membuat

dualisme tersebut menjadi eksplisit dengan mengkombinasikan (a) proses pembuatan

kebijakan yang fundamental dan high order, yang menentukan arah dasar dan (b)

proses inkremental yang disiapkan untuk keputusan fundamental dan untuk

melaksanakanya setelah keputusan itu tercapai (Etzioni, 1967 hal 385 dan Parson,

2005 hal 300)

4. Pemetaan Paradigma Teori Formulasi Kebijakan Publik

Pemetaan Paradigma yang dilakukan penulis terhadap Teori Formulasi Kebijakan

Publik adalah mendasarkan pada pemikiran Parson (2005, hal 59) yang menyatakan

bahwa ilmuwan harus bisa mengorganisasikan ide ide dan konsep konsepnya. Dunia

adalah sebuah tempat yang kompleks, dan untuk memahami kompleksitas, ilmuwan

memerlukan penyederhanaan. Ketika ilmuwan kebijakan melakukan penyederhanaan

(simplify) dalam rangka memahami multisiplisitas faktor dan kekuatan yang

membentuk problem dan proses sosial, ilmuwan mesti menyusun model model,

pemetaan (map), atau berpikir dalam term metafora (Parsons, 2005 hal 59). Ini

mencakup kerangka tempat ilmuwan berpikir dan menjelaskan (Parsons, 2005 hal 59).

Kerangka pemikiran pemetaan teori formulasi kebijakan publik yang penulis lakukan

yakni melalui Explanatory framework sebagai kerangka usaha untuk menunjukkan

bagaimana sesuatu terjadi (Epistemologi). Dilain pihak, kerangka ini bisa dianggap

sebagai model/teori/peta yang heuristis: yakni bertujuan untuk menyediakan suatu

kerangka pemikiran yang bisa dipakai untuk mengeksplorasi, sebuah metode untuk

mempelajari atau meneliti problem dalam teori formulasi kebijakan publik yang rumit.

Menurut Parsons (2005, hal 60) ketika kita menggunakan sebuah kerangka

pemikiran, kita menggunakan sebuah cara berpikir tentang dunia, kita menciptakan

suatu tatanan dari sesuatu yang tidak memiliki tatanan objektif dalam dirinya sendiri.

31

(Parsons, 2005 hal 60). Seperti dikatakan Popper, fakta eksis dalam konteks teori,

nilai, keyakinan, jadi bukan independen dari konteks tersebut (Parsons, 2005 hal 60).

Parsons menyatakan bahwa Ilmuwan kebijakan memulai dengan teori, model, peta

mental, metafora, dan untuk berpikir secara analitis tentang kebijakan publik maka

ilmuwan kebijakan harus peka terhadap eksistensi realitas sebagai konstruksi di dalam

multisiplisitas kerangka pemikiran (Parsons, 2005 hal 60). Karena itu, aktivitas

teorisasi kebijakan publik adalah seperti menggambar sebuah peta: mereka

mewujudkan apa yang mereka tahu dan membawa mereka menuju ke sesuatu yang

tidak mereka ketahui (Judson, 1980 hal 109 dan Parsons, 2005 hal 60). Sebuah peta

proses kebijakan hanya bisa menjadi representasi dari realitas yang tidak bisa

dibuktikan atau disangkal dalam pengertian objektif (Parsons, 2005 hal 60). Kerangka

pemikiran mereka membentuk aerti dari problem atau proses sosial, ekonomi, dan

politik (Parsons, 2005 hal 60).

Penulis kemudian mengutip ungkapan Hirschman (1970, dalam Parson 2005 hal

63), tanpa model, paradigma, tipe ideal dan abstraksi lain yang sejenis, ilmuwan

kebijakan tidak bisa berpikir. Tetapi, gaya kognitif, yakni sejenis paradigma yang

dicari, cara penggunaanya, dan keinginan ilmuwan untuk mendapatkan kekuatanya,

semuanya bisa menghasilkan perbedaan besar (Hirschman, 1970a hal 338 dan Parsons,

2005 hal 63). Dalam rangka memahami dunia pembuatan kebijakan dan analisis

kebijakan, ilmuwan memerlukan cara berpikir atau model (Parsons, 2005 hal 63).

Tetapi ilmuwan harus menyadari bahaya yang disebut Alfred North Whitehead (1925,

dalam Parsons, 2005 hal 63) sebagai Fallacy of Misplaced Concreteness. Artinya,

dalam rangka memahami hal atau gagasan abstrak, ilmuwan cenderung

memandangnya sebagai hal hal yang konkret dan riil ketika sebenarnya gagasan atau

abstraksi itu berasal dari pengalaman manusia (Parsons, 2005 hal 63). Cara ilmuwan

memandang dan menafsirkan area kebijakan, dan area area lainya, tergantung pada

jenis model dan kerangka berfikir yang dipakai. Dalam hal analisis kebijakan, lmuwan

kebijakan harus mengetahui betul bagaimana orang menggunakan peta tersebut,

bagaimana dan mengapa mereka menggunakan peta yang berbeda beda, bagaimana

proses penggantian peta dengan peta lainya; dan lain sebagainya. Pada saat yang sama,

32

sebuah peta mungkin adalah satu hal sebagai kerangka penjelas tetapi barangkali peta

adalah sesuatu yang sangat normatif atau preskriptif. Gambaranya tentang sesuatu

dideduksi dari apa yang seharusnya terjadi, atau, sebuah teori normatif mungkin

mengklaim didasari pada investigasi empiris (Parsons, 2005 hal 63).

Penulis melakukan analisis pemetaan teori formulasi kebijakan publik melalui

explanatory framework kedalam 4 paradigma keilmuwan yakni Positivistik, Post

Positivistik, Interpretive dan Kritis yang diutarakan oleh Guba. Hasil pemetaan

paradigma teori formulasi kebijakan publik yang dilakukan penulis menunjukkan

bahwa terdapat 9 teori Formulasi Kebijakan Publik yang memiliki paradigma

positivistik yakni Teori Formulasi Kebijakan Rasional, Teori Formulasi Kebijakan

Inkrementalisme, Teori Formulasi Kebijakan Teknokrasi, Teori Formulasi Kebijakan

Normatif Optimum, Teori Formulasi Kebijakan Mixed Scanning, Teori Formulasi

Kebijakan Pilihan Publik, Teori Formulasi Kebijakan Muddling Through, Teori

Formulasi Kebijakan Sibernetika, dan Teori Wind Tunnel Testing. Selanjutnya penulis

menyimpulkan terdapat 10 teori dalam paradigma post positivistik yakni Teori

Formulasi Kebijakan Kualitatif Optimum, Teori Formulasi Kebijakan Model Sistem,

Teori Formulasi Kebijakan Model Institusional, Teori Formulasi Kebijakan model

Groupthink atau kelompok, Non Decision Making, Analisis Pembuatan Keputusan

Brainstorming, Analisis Pembuatan Keputusan Sinektik, Analisis Pembuatan

Keputusan Hirarki, Analisis Pembuatan Keputusan Klasifikasi, dan Analisis

Pembuatan Keputusan Asumsi. Pada Paradigma Interpretif atau Konstruktif, terdapat

7 Teori Formulasi Kebijakan yakni pertama adalah Teori Formulasi Kebijakan model

elite, Teori Formulasi Kebijakan Garbage Can, Teori Formulasi Kebijakan Model

Ambisius, Teori Formulasi Kebijakan Model Personalitas, Teori Formulasi Kebijakan

Model Asumtif, Teori Formulasi Kebijakan Problem Sosial, dan Teori Formulasi

Kebijakan Kontrol Agenda. Pada paradigma Kritis terdapat 7 teori formulasi

kebijakan publik yakni teori formulasi kebijakan korporatisme, teori formulasi

kebijakan manajemen konflik, teori formulasi kebijakan penetapan agenda,

nondecision making, teori formulasi kebijakan policy streams, teori punctuated

equilibrium dan teori pembuatan kebijakan deliberatif.

33

Kesimpulan

Kesimpulan Pertama dari penelitian ini adalah Menurut Laswell (1948, dalam Parson

2005 hal 19) Sebuah Ilmu disebut ilmu kebijakan apabila ilmu itu menjelaskan proses pembuatan

kebijakan di dalam masyarakat, atau menyediakan data yang dibutuhkan untuk membuat

keputusan yang rasional mengenai persoalan kebijakan tertentu. Laswell (1951, dalam Parson

2005 hal 19) menyatakan bahwa Ilmu kebijakan mencakup 3 hal yakni pertama adalah metode

penelitian proses kebijakan, kedua adalah hasil dari studi kebijakan dan yang ketiga adalah hasil

temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan

inteligensi di era sekarang.

Ilmu Kebijakan menurut Laswell (1951, dalam Parson 2005 hal 20) merupakan sebuah

disiplin yang menitikberatkan pada usaha menjelaskan proses pembuatan kebijakan dan proses

pelaksanaan kebijakan, serta sebagai usaha untuk menemukan data dan menyediakan interpretasi

yang relevan dengan persoalan kebijakan pada periode tertentu. Pendekatan kebijakan bukan

sekadar mengkaji berbagai isu yang beragam, tetapi lebih menitikberatkan pada persoalan yang

fundamental namun seringkali diabaikan, yang muncul dari upaya manusia dalam menyesuaikan

dirinya dalam masyarakat. Pendekatan kebijakan bukan berarti bahwa sang ilmuwan

mengabaikan objektivitas dalam mengumpulkan atau menginterpretasikan data, atau tak lagi

berusaha menyempurnakan alat alat penelitianya. Pendekatan kebijakan menekankan perlunya

pemilihan problem yang memiliki nilai penting serta memerlukan penggunaan objektivitas yang

cermat dan kecerdasan teknis dalam melalukan penelitian. Laswell (1951, dalam Parson 2005 hal

20) kemudian menyatakan bahwa studi kebijakan juga harus menjelaskan seluruh konteks

peristiwa signifikan. Sementara orientasi ilmu kebijakan mengarah pada usaha peningkatan

pengetahuan yang diperlukan untuk meningkat proses demokrasi dalam aspek teori maupun

praktik.

34

Kesimpulan yang kedua dari penelitian ini adalah terdapat 32 Teori Formulasi Kebijakan

Publik yang penulis temukan dalam analisis Koligasi serta Diakronik Sejarah Perkembangan

Teori Formulasi Kebijakan Publik secara kronologis yang penulis sajikan melalui tabel berikut:

No Nama Teori Formulasi

Kebijakan Publik

Nama Pembuat

Teori

Tahun Munculnya

Teori

1. Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Brainstorming

Osborn 1948

Orientasi dan Visi Kebijakan

Laswell

Harold Laswell 1951

2. Teori Pilihan Publik Charles Tiebout,

Anthony Downs,

Gordon Tullock

1956

3. Teori Bounded Rationality Herbert Simon 1957

4. Teori Muddling Through Charles Lindblom 1958

5. Teori Inkremental Charles Lindblom 1959

6. Teori Kontrol Agenda EE. Schatsscneider

Cobb dan Elder

1960

7. Teori Analisis Pembuatan

Keputusan Model Sinektik

Gordon 1961

8. Teori Non Decision Making Bachrach dan

Bachratz

1963

9. Teori Sibernatika Karl Deutsch 1963

10. Teori Normatif Optimum Yehezkel Dror 1964

11. Teori Korporatisme Shonfield 1965

12. Teori Mixed Scanning Amitai Etzioni 1967

13. Teori Kualitatif Optimum Yehezkel Dror 1971

14. Teori Pembuatan Kebijakan

Problem Sosial

Herbert Blumer 1971

15. Teori Garbage Can March 1972

16 Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Hirarki

O’Shaughnessy 1972

17 Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Klasifikasi

O’Shaughnessy 1973

18. Teori Pembuatan Kebijakan

Sistem

Paine dan Naumes 1974

19. Teori Pembuatan kebijakan

Institusional

Apter 1976

20. Teori Pembuatan Kebijakan

Model Teknokrasi

D Bell 1976

21. Teori Pembuatan Kebijakan Young 1977

35

Kesimpulan yang ketiga dari penelitian ini adalah terdapat tiga kelompok yang berdebat

tentang pendekatan teknokratis dan politis dalam perkembangan sejarah teori formulasi

kebijakan publik. ketiga kelompok tersebut yakni. Kelompok pertama adalah value scholars yang

terdiri dari Edelman, Fischer, Forester dan C Anderson. Kelompok yang kedua adalah the

politics of categorization scholars yang terdiri dari Stone, Schneider dan Ingram dan kelompok

yang terakhir adalah participatory scholars yang meliputi DeLeon, Schneider, dan Ingram.

Semua tiga rangkaian ilmuan ini menyepakati tentang kebutuhan perbedaan metodologi dalam

studi desain kebijakan, dengan penekanan sub bidang yang jelas (Smith dan Larimer 2009 hal

203). Selain itu, terdapat kritik yang dibuat oleh penganut pembuatan kebijakan bottom up

(aliran kanan) terhadap pembuatan kebijakan top down. Ketiga ilmuwan tersebut adalah Smith,

Dror, dan Etzioni.

Kesimpulan Keempat dari penelitian ini adalah terdapat 9 teori Formulasi Kebijakan

Publik yang memiliki paradigma positivistik yakni Teori Formulasi Kebijakan Rasional, Teori

Formulasi Kebijakan Inkrementalisme, Teori Formulasi Kebijakan Teknokrasi, Teori Formulasi

Kebijakan Normatif Optimum, Teori Formulasi Kebijakan Mixed Scanning, Teori Formulasi

Kebijakan Pilihan Publik, Teori Formulasi Kebijakan Muddling Through, Teori Formulasi

Asumtif

22. Teori Analisis Pembuatan

Kebijakan Model Asumsi

Mitroff dan Emshof 1979

23. Teori Pembuatan Kebijakan Elite Lukes dan Gaventa 1980

24. Teori Groupthink Janis 1982

25. Teori Policy Stream Anthony Downs 1984

26. Teori Ambisius Charles I Jones 1991

27. Teori Manajemen Konflik Kauffman 1991

28. Teori Personalitas Greenstain 1992

29. Teori Punctuated Equilibrium Baumgartner dan

Jones

1993

30. Teori Pembuatan Kebijakan

Stratejik

Bryson 1995

31. Teori Pembuatan Kebijakan

Deliberatif

Hajeer dan

Wagenar

2000

32 Teori Pembuatan Kebijakan

Wind Tunnel Testing

Riant Nugroho 2015

36

Kebijakan Sibernetika, dan Teori Wind Tunnel Testing. Selanjutnya penulis menyimpulkan

terdapat 10 teori dalam paradigma post positivistik yakni Teori Formulasi Kebijakan Kualitatif

Optimum, Teori Formulasi Kebijakan Model Sistem, Teori Formulasi Kebijakan Model

Institusional, Teori Formulasi Kebijakan model Groupthink atau kelompok, Non Decision

Making, Analisis Pembuatan Keputusan Brainstorming, Analisis Pembuatan Keputusan Sinektik,

Analisis Pembuatan Keputusan Hirarki, Analisis Pembuatan Keputusan Klasifikasi, dan Analisis

Pembuatan Keputusan Asumsi. Pada Paradigma Interpretif atau Konstruktif, terdapat 7 Teori

Formulasi Kebijakan yakni pertama adalah Teori Formulasi Kebijakan model elite, Teori

Formulasi Kebijakan Garbage Can, Teori Formulasi Kebijakan Model Ambisius, Teori

Formulasi Kebijakan Model Personalitas, Teori Formulasi Kebijakan Model Asumtif, Teori

Formulasi Kebijakan Problem Sosial, dan Teori Formulasi Kebijakan Kontrol Agenda. Pada

paradigma Kritis terdapat 7 teori formulasi kebijakan publik yakni teori formulasi kebijakan

korporatisme, teori formulasi kebijakan manajemen konflik, teori formulasi kebijakan penetapan

agenda, nondecision making, teori formulasi kebijakan policy streams, teori punctuated

equilibrium dan teori pembuatan kebijakan deliberatif.

Perbedaan peta temuan teori formulasi kebijakan publik yang dibuat penulis dengan studi

terdahulu adalah bahwa pemetaan 32 teori formulasi kebijakan publik yang dilakukan penulis

berdasarkan 4 paradigma penelitian menurut G. Guba. Pemetaan yang dilakukan penulis dengan

beberapa studi pemetaan terdahulu memiliki perbedaan dari jumlah teori formulasi kebijakan

publik yang dikumpulkan oleh peneliti terdahulu seperti Riant Nugroho yang pada studi pustaka

yang dilakukakanya pada tahun 2003 di buku Perencanaan Implementasi dan Evaluasi Kebijakan

Publik memetakan 12 Teori berdasarkan pendekatan otokratik dan demokratik serta indikator

kompetitif dan non kompetitif. Pemetaan yang dilakukan oleh penulis ini juga berbeda dengan

studi pemetaan yang dilakukan oleh Riant Nugroho pada tahun 2012 di bukunya yang berjudul

Public Policy For Developing Countries dimana Riant Nugroho memetakan 13 teori formulasi

kebijakan berdasarkan paradigma Continental dan Anglo Saxon. Pemetaan yang dilakukan

penulis juga memiliki perbedaan dengan studi pustaka pemetaan teori formulasi kebijakan yang

dilakukan Riant Nugroho pada tahun 2015 di bukunya Policy Making dimana dia memetakan

klasifikasi kebijakan publik berdasarkan dua klasifikasi yakni luas cakupan dan kedaruratan.

37

Dan yang terakhir adalah pemetaan yang dilakukan penulis memiliki perbedaan dengan

pemetaan empat mode pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Charles I Jones pada tahun

1991 di bukunya yang berjudul Pengantar Kebijakan Publik.

Implikasi dari temuan pemetaan teori formulasi kebijakan publik yang dilakukan penulis

berdasarkan 4 paradigma yang dikemukakan oleh Guba adalah bahwa temuan pemetaan ini dapat

memperkaya khazanah pengetahuan tentang formulasi kebijakan publik bagi Akademisi,

Mahasiswa dan Praktisi Kebijakan Publik secara umum dan Formulasi Kebijakan Publik secara

khusus. Implikasi lainya temuan pemetaan yang dilakukan penulis adalah dapat mengetahui

jumlah teori formulasi kebijakan publik yang telah berhasil dikumpulkan penulis sampai saat ini.

Saran pertama dari penelitian ini adalah agar dilakukan penelitian lanjutan tentang

sejarah perkembangan Teori Formulasi Kebijakan Publik yang lebih berfokus pada pengkajian

aspek ontologis dan aksiologis yang belum dilakukan penulis di penelitian ini. selain itu, penulis

berharap penelitian pustaka selanjutnya yang barangkali akan dilakukan penulis lain adalah

mengkaji lebih mendalam tentang aspek epistemologis dan metodologis dari teori formulasi

kebijakan publik yang dalam penelitian ini kurang dilakukan penulis. point berikutnya dalam

saran ini adalah agar penelitian selanjutnya lebih mengkaji teori formulasi kebijakan selain 26

Teori Formulasi Kebijakan yang telah penulis kumpulkan.

Saran selanjutnya dari penelitian ini adalah agar Akademisi yang berfokus pada kajian

Formulasi Kebijakan publik secara khusus memahami 32 teori formulasi kebijakan publik yang

telah penulis kumpulkan dalam kegiatan belajar mengajar di lembaga pendidikan universitas.

Saran terakhir dari penelitian ini terkait dengan kondisi praktis era sekarang adalah agar

para praktisi aktor pembuat kebijakan publik memahami teori formulasi kebijakan publik terbaru

dalam memahami kondisi permasalahan kebijakan yang muncul diera modern saat ini yang

membutuhkan keseimbangan pemahaman paradigma positivistik atau state oriented policy

(teknokratis) dalam hal kebijakan pembangunan disegala bidang dan paradigm post positivistik

38

serta interpretif dalam membuat kebijakan yang bersifat society oriented policy seperti

kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

39

Daftar Pustaka

Buku

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Agustino, Leo, 2006, Dasar Dasar Kebijakan Publik, Bandung, Alfabeta

Alexander, Jefrey C, Turner, Jonathan H, 1992, Rational Choice Theory, Advocacy and

Critique, California, SAGE Publications International Educational and Professional

Publisher

Anthony Kelly, 2003 Cambridge University, Decicion Making Using Game theory An

Introduction For Managers, Cambridge University Press

Audi, Robert, 1999, Epistemology, A Contemporary Introduction to the theory of knowledge

Birkland, Thomas, 2011, An Introduction to The Public Policy Process, Third Edition,

London and New York, Routledge Taylor & Francis Group

Boyne, George, 1998, Public Choice Theory and Local Government A Comparative

Analysis of the UK and the USA, Palgrave Macmillan UK

Brunner, Ronald, 2005, Adaptive Governance: Integrating Science, Policy, and Decision

Making, New York, Chichester, West Sussex, Columbia University Press

Coleman, James, Farraro, Thomas 1992, Rational Choice Theory, University of Carolina,

Sage Publication

Dinnar, Ariel, 2008, Game Theory and Policy Making in Natural Resources and the

Environment, London, New York, Rouledge Taylor and French Group.

Dorey, Peter, 2005, Policy Making in Britain: An Introduction, London, California, New

Delhi, SAGE Publications

Dunn, William M, 1995, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya

Dunn, William M., 2003, Public Policy Analysis: An Introduction, 3rd Edition, Pearson-

Prentice Hall, New. Jersey. Parsons

Dye, Thomas R. 1981, Understanding Public Policy, Eaglewood, Cliff, Prentice hall

Dye, Thomas R., 1995, Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice

Hall.

Dye, Thomas R, 2013, Understanding Public Policy, The Fourteen Edition, Pearson,

www.pearsonhighered.com

Eyestone, Robert, 1984, Policy Formation, First Edition, JAI Press

Erlich, Thomas, 2002, Public PolicyMaking in a Democratic Society A Guide To Civic

Engagement, New York, London, M.E Sharpe

Faritz, Jay, 2000, Defining Public Administration, Colorado, Perseus Press Workgroup,

Fermana, Surya. 2009. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis. Cetakan Kesatu.

Yogyakarta: Ar¬Ruzz Media.

Fischer, Frank, 2007, Handbook Public Theory Analysis Theory, Politics, London, New

York, CRC press ,Taylor and Francis Group

Fischer, Frank, 2003, Reframing Public Policy: Discursive Politics and Deliberative

Practices, New York, Oxford University Press

40

Frederickson George. H, Smith B, Kevin, Larimer Christopher W, Licari, Michael J, 2012,

The Public Administration Theory Primer, Second Edition, Colorado, Westview Press,

Hajer, Maarten A, 2003, DELIBERATIVE POLICY ANALYZE Understanding Governance

in the Network Society, Cambridge, Cambridge University Press

Hajer, Maarten A, 2005, Authoritative Governance Policy-making in the Age of

Mediatization, New York, Oxford University press

Hill, Michael, 2005, The Public Policy Process, Fourth Edition,Glasgow, Bell and Bain

Limited

Indiahono, Dwiyanto, 2009, Kebijakan publik : Berbasis dynamic policy analisys, Gava

Media, Yogyakarta

Jones, Charles O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik. Penerjemah Ricky Istamto. Jakarta,

Rajawali

Kay, Adrian, 2006, The Dynamic Public Policy Theory and Evidence

Kuhn, Thomas., 2005. The structure of scientific revolutions (peran paradigma dalam

revolusi sains), Bandung: PT. Remaja rosdakarya.

Lasker, Roz Diane, Guidry, John a, 2009, Engaging the Community in Decision Making,

North Carolina, and London, McFarland & Company, Inc., Publishers

Lasswell, Harold, D. 1971. Public Policy. Gadjah Mada University Press.

Littlejohn, Stephen W, 2009 . Teori Komunikasi Theories of Human Communication edisi

9. Jakarta. Salemba Humanika.

Lyall, Catherine, Papaioannou Theo, Smith, James, 2009, The Limits to Governance The

Challenge of Policy-making for the New Life Sciences, Farnham Ashgate Publishing

Company

Jones, Charles O. 1970. An Introduction to the Study of Public Policy, Wadsworth, Belmont,

CA.

Madani, Mukhlis, 2011, Dimensi Interaksi Aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan

Publik, Yogyakarta:Graha Ilmu

McGuire, Chad J, 2012, Environmental Decision-Making in context: A toolbox, London,

New York, CRC press ,Taylor and Francis Group

Moran M, Martin R., 2006 The Oxford Handbook of Public Policy, New York: Oxford

University Press.

Morcol, Gotuc, 2007, Handbook of decision Making, Pensylvania, CRC press ,Taylor and

Francis Group

Nugroho, Riant. 2003.KEBIJAKAN PUBLIK Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi,

Jakarta. Elex Media Komputindo

Nugroho, Riant, 2012, Public policy for the developing countries, Yogyakarta : Pustaka

Pelajar

Nugroho, Riant, 2015, Policy Making, Jakarta. Elex Media Komputindo

Nazir,M.2003. metode penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, cet.ke-5.

OECD, 2005, Evaluating Public Participation in Policy Making, Paris, OECD Publisher

Parson ,Wayne, 2006, Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan,

Jakarta, Kencana

Peters,B Guy, 2001, Politics of Bureaucracy, London and New York, Routledge, Francis

and Taylor Group

Peters, B.Guy, Pierre John, 2006, Handbook of Public Policy, California, Sagepublication

41

Peursen, Van C.A.,1985., ―Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Alih

Bahasa Oleh J.Drost‖, Gramedia Jakarta, p.1, 4, 12.

Philp, Bruce, 2005, Reduction, Rationality andGame Theory in Marxian Economics,

London, New York, Rouledge Taylor and French Group

Prasetyo, Budi, 2009, Politik Kebijakan Proses Politik dalam Arena Kebijakan, Surabaya,

http://www.indigo.or.id/

Primus, Huego, 2008, Decision-Making on Mega-Projects, Northampton, Massachusetts,

Edward Elgar Publishing, Inc, MPG Books Ltd,

Sabatier, p. 1993 Policy change over a decade or more. In Sabatier, P. and Jenkins-Smith,

Policy learning and policy change: an advocacy coalition approach. Westview.Press.

Boulder, CO.

Shafritz, Jay M, 2000, Defining Public Administration, Colorado, Westview Press

Smith, K. B. & Larimer, C. W. 2009, The Public Policy Theory Primer, Boulder, Colorado

Westview Press.

Stutgart, William, Razzolini, Laura, 2001, The Elgar Companion of Public Choice,

Northampton Massachusetts, Edward Elgar Publishing, Inc.

Subarsono, 2005 Analisis Kebijakan Publik, Jakarta, Pustaka pelajar

Sun, Jinping, Lynch, Thomas, 2008, Government Budget Forecasting Theory and Practice,

London, New York, CRC Press Group

Suyanto, Bagong (ed.), 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Sydney, Hook, 1980, Philosophy and Public Policy, Southern Illinois University Press

Carbondale & Edwardsville Feffer & Simons, Inc. London & Amsterdam

Smith, K. B. & Larimer, C. W. 2009, The Public Policy Theory Primer, Westview Press,

Boulder, Colorado.

Thurmaier, Kurt.M, Willoughby, Katherine.G, 2001, Policy and Politics State Budgeting,

New York, M. E. Sharpe, Inc.

Wibisono S, Koento, 1984., ―Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya

Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan‖, Fakultas Pasca Sarjana UGM

Yogyakarta p.3, 14-16.

Widodo, Joko, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayumedia, Malang

Winarno, Budi, , 2007, Kebijakan Publik, teori dan Proses,Jakarta, Media Pressindo

Zed Mestika. 2008. Metode penelitian kepustakaan. Jakarta: yayasan obor Indonesia

Disertasi Wilson, james ralph, 2004, Strategic Decision-Making in Development Theory and Practice:

a Learning Approach to Democratic Development, Business School, The University of

Birmingham, Birmingham

.Vardaman, James M (2009) Understanding the disjuncture between policy formulation and

Implementation: A Multy Level Analysis of Change, ProQuest Dissertations and Theses;

2009; ABI/INFORM Complete

42

Thesis

Eppel, Elizabeth Anne, 2009, The contribution of complexity theory to understanding and

explaining policy processes: A study of tertiary education policy processes in New

Zealand, Public Policy, Victoria University,Wellington

Jurnal

Adam B. Jaffe, (2008) The „„Science of Science Policy‟‟: Reflections On The Important

Questions and The Challenges They Present, J Technol Transfer (2008) 33DOI

10.1007/s10961-007-9077-4 Hal 131–139

Allen Buchanan, 2011, Philosophy and Public Policy: A Role for Social Moral

Epistemology, Journal of Applied Philosophy, Vol. 26, No. 3, 2009, (DOI:

10.1111/j.1468-5930.2009.00452.x) Hal 276-290

Antun Mardiyanta, 2011. Kebijakan Publik Deliberatif: Magister Kebijakan Publik, Fakultas

Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Relevansi dan Tantangan

lmplementasinya., Volume 24, Nomor 3 Hal: 261-271

Bram Verschuere, (2009) The Role of Public Agencies in the Policy Making Process

Rhetoric versus Reality, Executive Agencies, Ministers, and Departments Administration

& Society Public Policy and Administration 2009 24: 23, DOI:

10.1177/0952076708097907 Hal 183-206

Bram Verschuere and Tobias Bach, 2011, Executive Agencies, Ministers, and Departments :

Can Policy and Management Ever be Separated?, Administration & Society 2012 44:

Hal 183-206

Bryan D. Jones, 2005 University of Washington Frank R. Baumgartner Pennsylvania State

University, A Model of Choice for Public Policy, ,JPART 15: Hal 325–351

Caelesta Poppelaars and Peter Scholten, 2008, University of Twente, Two Worlds Apart :

The Divergence of National and Local Immigrant Integration Policies in the Netherland,

Administration & Society 2008 hal 40: Hal 335-357, (DOI: 10.1177/0095399708317172)

Carmen Năstase, Carmen Chaşovschi, Mihai Popescu, and Adrian Liviu Scutariu (2010) The

Importance of Stakeholders and Policy Influence Enhancing the Innovation in Nature

Based Tourism Services Greece, Austria, Finland and Romania Case Studies, European

Research Studies, Volume XIII, Issue (2), 2010 Hal 137-148

Carolyn Bourdeaux, 2007, Reexamining the Claim of Public Authority Efficacy,

Administration & Society 2007 39: Hal 77 - 106, (DOI: 10.1177/0095399706296553)

Carolyn M. Hendriks, (2009) Policy Design Without Democracy? Making Democratic Sense

of Transition Management, Policy Sciences Volume 42 issue 4 2009 [doi

10.1007_s11077-009-9095-1], Hal 341–368

Colleen Murphy & Paolo Gardoni, 2007, Determining Public Policy and Resource

Allocation Priorities for Mitigating Natural Hazards: A Capabilities-based Approach,

Sci Eng Ethics (2007) 13: Hal 489–504 (DOI 10.1007/s11948-007-9019-4)

43

Damien Contandriopoulos, 2010, On the Nature and Strategies of Organized Interests in

Health Care Policy Making, Administration & Society 2011 43: 45-65, (DOI:

10.1177/0095399710390641)

Elizabeth K. Brown, 2011, Constructing the public will: How political actors in New York

State construct, assess, and use public opinion in penal policy making, Punishment &

Society 2011 13:Hal: 424-450, (DOI: 10.1177/1462474511414779)

F. F. Ridley (1970) Policy-Making Science, Political Studies Volume 18 issue 2 1970 [doi

10.1111_j.1467-9248.1970.tb00874.x] Hal 242-245

Guang-Xu Wang (2010) "A Theoretical Debate and Strategy to Link Structure and Agency

in Policy Process Studies: A Network Perspective, Journal of Politics and Law, Vol. 3,

No. 2; September 2010, Hal 101-109

Gunnel Gustafsson, J.J Richardson, (1979) Concepts Of Rationality And The Policy Process,

European Journal of Political Research. Volume 7, Issue 4, December, Hal 415–436

Guri Skedsmo, 2010, Formulation and realisation of evaluation policy: inconcistencies and

problematic issues, Educ Asse Eval Acc (2011) 23: (DOI 10.1007/s11092-010-9110-2)

Hal 5–20

Hans Radder, 1997, Philosophy and History of Science: Beyond the Kuhnian Paradigm,

Stud. Hist. Phil. Sci., Vol. 28, No. 4, pp. Hal 633-455

Howard R Smith, (1946) The Role Of Science In The Formulation Of Economic Policy,

Southern Economic Journal (pre-1986); Apr 1946; 12, 1-4; ABI/INFORM Complete, Hal

331-348

Joanne Sobeck, 2003, Comparing Policy Process Frameworks : What Do They Tell Us

About Group Membership and Participation for Policy Development?, Administration &

Society 2003, 35, DOI: 10.1177/0095399703035003005 Hal 350-374

John Anderson, (1997) Response to Theodore J. Lowi's “Comments on Anderson,

'Governmental Suasion: Adding to the Lowi Policy Typology, Policy Studies Journal;

Winter 1997; 25, 4; ABI/INFORM Complete, Pg Hal 557-560

Joseph Peschek, (1997) State Autonomy or Class Dominance Case Studies on Policy Making

in Contemporary Sociology; Sep 1997; 26, 5; ProQuest Hal 592-594

Joseph V. Terza, 2006, Estimation of policy effects using parametric nonlinear models: a

contextual critique of the generalized method of moments, Health Serv Outcomes Res

Method (2006), 6 (DOI 10.1007/s10742-006-0013-0) Hal 177–198

Lynda Aiman Smith, Steven E Cullen, Steve H Barr, (2002) Conducting Studies of Decision

Making in Organizational Contexts, Organizational Research Methods; Oct 2002; 5, 4;

ABI/INFORM Complete Hal. 388-414

Martin Paldam, (1981) An Essay On The Rationality of Economic Policy- The Test-Case of

The Electional Cycle Public Choice. Public Choice Volume 37 issue 2 1981 [doi

10.1007_bf00138248] Hal 287-305

Michael Howlett and Raul P. Lejano, 2006, Understanding the historical turn in the policy

sciences: A critique of stochastic, narrative, path dependency and process-sequencing

models of policy-making over time, Policy Sciences springer 39: DOI: 10.1007/s11077-

005-9004-1 Hal 1–18

44

Nancy Meyer, Emerick, (2007) Public Administration and the Life Sciences: Revisiting

Biopolitics, Administration & Society January 2007 vol. 38 2007 doi:

10.1177/0095399706293077: Hal 689-708

Nancy T. Kinney, 2006 University of Missourl, Engaging in „loose talk‟: Analyzing salience

in discourse from the formulation of welfare policy, Policy Sciences (2006) 38 (DOI:

10.1007/s11077-006-9009-4) : Hal 251–268

Nandini Rajagopalan; Abdul M. A. Rasheed, 1995, Incremental Models of Policy

Formulation and Non-incremental Changes- Critical, British Journal of Management

Volume 6 issue [doi 10.1111_j.1467-8551.1995.tb00101.x] Hal: 289-302

Norman C. Thomas (1975) Political Science and The Study of Macro-Econimic Policy

Making, Policy Studies Journal Volume 4 issue 1 1975 [doi 10.1111_j.1541-

0072.1975.tb01522.x] Hal 7-15

Pan Suk Kim, 2012, Advocacy Coalitions and Policy Change : The Case of South Korea's

Saemangeum Project, Administration & Society 2012 44:, DOI:

10.1177/0095399712460078 hal 85-103

Pat McGowan, Stephen G. Walker, (1981) Radical and Conventional Models of U.S.

Foreign Economic Policy Making, Cambridge University Press, World Politics, Vol. 33,

No. 3 (Apr., 1981), Hal 347-382

Paul Dupuis and Kavita Ramanan, 1998, A Skorokhood Problem Formulation and Large

Deviation Analysis of a Processor Sharing Model, Lefschetz Center for Dynamical

Systems, Division of Applied Mathematics, Brown University, Providence, RI 02912,

USA Hal: 109–124

Raymond d. Gastil, (1975) Kuhn's "The Logic of Social Systems": The Rational First

Approximation as Social Science, Policy Sciences Volume 6 issue 4 1975 [doi

10.1007_bf00142385] Hal 467—479

Robert F. Durant, Jerome S. Legge, Jr. (2006) Wicked Problems,” Public Policy, and

Administrative Theory Lessons From The GM Food Regulatory Arena, doi:

10.1177/0095399706289713, Administration & Society July 2006 vol. 38 no. 3, Hal 309-

334

Ruth Rennie,(1998) History and Policy-Making, International Social Science Journal

Volume 50 issue 156 [doi 10.1111_1468-2451.00131] Hal 289-301

Sander Greenland, 2005, University of California, Author's response to comments on

"Epidemiologic Measures and Policy Formulation‖, Emerging Themes in Epidemiology

2005, 2:2 (doi:10.1186/1742-7622-2-2) Hal 1-2

Sebastiaan Princen, 2007, Agenda-setting in the European Union: a theoretical exploration

and agenda for research, Journal of European Public Policy, 14: 1, (DOI:

10.1080/13501760601071593) Hal 21 – 38

S.P. Heyneman, (2003) The History and Problems In The Making of Education Policy,

International Journal of Educational Development 23 (2003) Hal 315–337

Stephen H. Linder, B Guy Petters, (1990) Policy Formulation And The Challenge of

conscious design. Pergamon Press plc, Evaluation and Program Plaming. Vol. 13. Hal

303-31I.

Stephen J. Bailey, Darinka Asenova, John Hood and Melina Maria Manochin, 2010, An

Exploratory Study of the Utilisation of the UK's Prudential Borrowing Framework,

45

Public Policy and Administration 2010 25: 347 (DOI: 10.1177/0952076709356882) Hal

347-363

Stuart S Nagel, (1986) The Policy Studies Field within The Public Administration / Political

Science Profesion, Southern Review of Public Administration (-Pre 1986) Fall 1951; 5,3

Abi Inform, Complete Hal 339-353

Ton Van Der Pennen, 2005, Actor Strategies in Decentralized Policy Network, Journal of

Housing and the Built Environment (2005) 20: Hal 301–315

Udaya Wagle,(2000) The Policy Science of Democracy: The Issues of Methodology and

Citizen Participation, Policy Sciences; Jun 2000; 33, 2; ABI/INFORM Complete Hal.

207-233

Willem E. Saris, Irmtraud N. Gallhofer, (1984) Formulation of Real Life Decisions: A Study

of Foreign Policy Decisions, Acta Psychologica Volume 56 issue 1-3 1984 [doi

10.1016_0001-6918(84)90023-4], Hal 247-265

Artikel

Frank M. Häge (2011) The European Union Policy-Making dataset, European Union Politics

doi: 10.1177/1465116511398739 12(3) Hal 455–477

Susan Chambers,(2005) Science vs. Policy, National Fisherman; May 2005; 86, 1;

ABI/INFORM Complete Hal 24

Paper

Bryan D. Jones ,Administration Research and Theory, Bounded Rationality and Political

Science: Lessons from Public Administration and Public Policy hal 400

David Dewar, 2005 Urban Forum, Formulation of an Informal Trader Policy for South

African Town and Cities, hal 2-16 Vol. 16, No. 1

Guillermo Campitelli, Herbert Simon's Decision-Making Approach: Investigation of

Cognitive Processes in Experts, Universidad Abierta Interamericana Buenos Aires,

Argentina.2010

Patrick McGovern dan Peter Yacobucci, Lasswellian Policy Sciences and the Limits of

Democracy, Political Science department 315 Sosial science Tucson, AZ 85721, hal 14-

16

P. W. A. Scholten, 2012, Agenda dynamics and the multi-level governance of intractable

policy controversies: the case of migrant integration policies in the Netherlands, Springer

Science+Business Media New York (DOI 10.1007/s11077-012-9170-x)

Stephan Ortmann, 2012, Policy Advocacy in a Competitive Authoritarian Regime : The

Growth of Civil Society and Agenda Setting in Singapore, Administration & Society 012

44: 13S-15S

Website

http://suaraguru.wordpress.com/2013/09/09/memberantas-buta-aksara/ pada tanggal 18 Maret

2014.

http://tempo.co.id/hg/nasional/2008/06/24/brk,20080624-126456,id.html pada tanggal 20

Maret 2014

46

http://www.merdeka.com/jakarta/tolak-pembelian-200-truk-sampah-ini-alasan-dprd-dki-

jakarta.html pada tanggal 20 Maret 2014

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=6765

dikutip pada pada tanggal 18 Maret 2014

http://www.dw.de/ekonomi-indonesia-melambat/a-17409010 dikutip pada tanggal 18 Maret

2014

http://gadogadozaman.blogspot.co.id/2016/03/teori-revolusi-paradigma-thomas-kuhn.html

dikutip pada tanggal 25 Januari 2017

http://oktasariya.blogspot.co.id/2015/10/filsafat-ilmu-dan-pengetahuan-dalam.html dikutip

pada tanggal 25 Januari 2017

http://madib.blog.unair.ac.id/philosophy/pohon-ilmu-pengetahuan/ dikutip pada tanggal 25

Januari 2017