Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

84
ISSN 2088 3706 Vol. I No.2 Oktober 2011 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar OTORITAS VOLUME I NOMOR 2 HAL. 81-155 MAKASSAR, OKTOBER 2011 ISSN 2088 3706 Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Administrasi Publik Abdul Mahsyar Kemitraan Dalam Pelayanan Publik : Sebuah Penjelajahan Teoritik Fatmawati Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik Jaelan Usman Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan Muhammad Basri Reformasi Pelayanan Publik Bidang Izin Mendi rikan Bangunan Di Daerah Muhammad Idris Reformasi Pelayanan Publik Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance Muhammadiah Kualitas Pemerintah Daerah Pelayanan Publik (Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) Rabina Yunus Reformasi Birokrasi Melalui : E Governance Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? Zainuddin Mustapa Reformasi Pelayanan Organisasi Sektor Publik 

description

Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non-penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dantentang masalah-masalahreview negara, masyarakat, dan lembaga intermediary, serta pemerintahan secara umum, baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penerbitan Jurnal ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas serta menyebarluaskan kajian ilmu pemerintahan, sekaligus sebagai wahana komunikasi diantara cendikiawan, praktisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah-masalah publik dan praktika ilmu pemerintahan.

Transcript of Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

Page 1: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 1/84

ISSN 2088 3706Vol. I No.2 Oktober 2011

Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik 

Universitas Muhammadiyah Makassar

OTORITAS VOLUME I NOMOR 2 HAL. 81-155 MAKASSAR, OKTOBER 2011 ISSN 2088 3706

Masalah Pelayanan Publik Di IndonesiaDalam Perspektif Administrasi Publik Abdul Mahsyar

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik Fatmawati

Manajemen Birokrasi Profesional

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik 

Jaelan Usman

Budaya Mutu Dalam Pelayanan PendidikanMuhammad Basri

Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di DaerahMuhammad Idris

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good GovernanceMuhammadiah

Kualitas Pemerintah DaerahPelayanan Publik 

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone)Rabina Yunus

Reformasi Birokrasi Melalui :E− Governance

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?Zainuddin Mustapa

Reformasi Pelayanan

Organisasi Sektor Publik 

Page 2: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 2/84

Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk hasil-hasil penelitiandan non-penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review tentang masalah-masalahnegara, masyarakat, dan lembaga intermediary, sertapemerintahan secara umum, baik di lembaga eksekutif,legislatif, dan yudikatif. Penerbitan Jurnal inibertujuan untuk meningkatkan kuantitasserta menyebarluaskan kajian ilmupemerintahan, sekaligus sebagaiwahana komunikasi diantaracendikiawan, praktisi, mahasiswa, danpemerhati masalah-masalah publik danpraktika ilmu pemerintahan.

Page 3: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 3/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2088 3706

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik 

(Abdul Mahsyar)............................................................................... Hal. 81 - 90

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik 

(Fatmawati)......................................................................................... Hal. 91 - 101

Manajemen Birokrasi Profesional

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik 

(Jaelan Usman)................................................................................Hal. 102 - 109

Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan

(Muhammad Basri)...................................................................... Hal. 110 - 117

Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah

(Muhammad Idris)........................................................................ Hal. 118 - 126

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance

(Muhammadiah)............................................................................. Hal. 127 - 136

Kualitas Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone)

(Rabina Yunus)............................................................................... Hal. 137 - 145

Reformasi Birokrasi Melalui E-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?

(Zainuddin Mustapa)..................................................................... Hal. 146 - 155

DAFTAR  ISIMitra Bestari :

Prof. Dr. Faried Ali, SH, MSDr. A. Syamsu Alam, M.Si

Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si

Pemimpin Redaksi :Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si

Redaktur Pelaksana :

Dr. Jaelan Usman, M.SiAndi Nuraeni Aksa, SH, MH

Drs. Alimuddin Said, M.PdRudi Hardi, S.Sos, M.Si

Bidang Usaha :Ihyani Malik, S.Sos, M.Si

Design Grafis :Andi Maddukelleng, S.IP

Distribusi :Hardiansyah, S.Sos

Jusri Adi, S.IP

PercetakanCV. Adi Perkasa

Jl. Talasalapang Ruko BPH Makassar

 Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran

FISIP Unismuh MakassarJl. Sultan Alauddin No. 259

Makassar 90221Telp. (0411) 866972 ext. 107

Fax. (0411) 865588Email: [email protected]

[email protected]

Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belumpernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format,dan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk PenulisanJurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS dilembaran belakang

Jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat memodifikasi artikeluntuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknislainnya tanpa merubah substansi artikel.

Ukuran kertasJenis huruf Ukuran huruf 

: A4 (210x297 mm): Cambria: 12 pts

DEWAN REDAKSI

Penerbit :Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Penanggung Jawab :Ketua Jurusan Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik 

Universitas Muhammadiyah Makassar

Page 4: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 4/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Page 5: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 5/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT 

Public always demanded quality public services from the bureaucrats, even though these

demands are not in line with expectations because the empirically public services that occurred during this still characterized by such things as convoluted, slow, expensive, exhausting, uncertainty.

Under such circumstances occur because people are still positioned as the party to “serve” is not 

being served. If considered public service issues in Indonesia, the main problems of public service

today is associated with improved quality of service itself. According to Albrecht and Zemke

(1990) the quality of public services is the result of interaction of various aspects, the system of 

care, human resources service provider, strategy, and customers. While Mohammad (2003) states

that quality service is dependent on aspects such as how the pattern of its implementation, support 

human resources, and institutional management . New Perspectives for Public Service and Good 

Governance is considered most appropriate for the conditions present in addressing issues of 

 public services in Indonesia, using a model like the model citizen’s charter, model KYC (Know 

Your Customer), and m-Government model.

Keywords : Problem, Quality, Public Service

 ABSTRAK 

Publik selalu menuntut kualitas pelayanan publik dari birokrat, meskipun tuntutan ini tidak 

sesuai dengan harapan karena pelayanan publik secara empiris yang terjadi selama ini masih

ditandai dengan hal-hal seperti berbelit-belit, lambat, mahal, ketidakpastian melelahkan,. Dalam

keadaan seperti itu terjadi karena orang masih diposisikan sebagai pihak yang "melayani"tidak dilayani. Jika dianggap isu-isu pelayanan publik di Indonesia, masalah utama dari

pelayanan publik saat ini dikaitkan dengan peningkatan kualitas layanan itu sendiri. Menurut 

Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai

aspek, sistem pelayanan, sumber daya manusia penyedia layanan, strategi, dan pelanggan.

Sementara Mohammad (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan tergantung pada aspek-

aspek seperti bagaimana pola pelaksanaannya, dukungan sumber daya manusia, dan

manajemen kelembagaan. Perspektif Baru untuk Layanan Publik dan Pemerintahan yang

Baik dianggap paling tepat untuk kondisi saat ini dalam menangani isu-isu pelayanan publik 

di Indonesia, dengan menggunakan model seperti piagam warga teladan, model KYC (Know

Your Customer), dan m-Government model.

Kata Kunci : Masalah, Kualitas, Pelayanan Publik 

81

MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK 

 Abdul MahsyarFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588

Page 6: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 6/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 A. PENDAHULUAN

Pelayanan kepada masyarakat sudah men-

jadi tujuan utama dalam penyelenggaraan

administrasi publik. Di Indonesia penyelengga-

raan pelayanan publik menjadi isu kebijakan

yang semakin strategis karena perbaikanpelayanan publik di negara ini cenderung

berjalan di tempat, sedangkan implikasinya

sebagaimana diketahui sangat luas karena

menyentuh seluruh ruang-ruang kepublikan

baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik,

budaya dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi,

buruknya pelayanan publik akan berimplikasi

pada penurunan investasi yang dapat bera-

kibat terhadap pemutusan hubungan kerja

pada industri-industri dan tidak terbukanyalapangan kerja baru yang juga akan berpenga-

ruh terhadap meningkatnya angka pengang-

guran. Akibat lebih lanjut dari masalah ini

adalah timbulnya kerawanan sosial.

Perbaikan pelayanan publik akan bisa

memperbaiki iklim investasi yang sangat di-

perlukan bangsa ini untuk dapat segera keluar

dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Sayangnya upaya menuju kepada perbaikan

tersebut masih sebatas lips service. Dalam

berbagai studi yang dilakukan terhadap

pelayanan publik ini rupanya tidak berjalan

linear dengan reformasi yang dilakukan dalam

berbagai sektor sehingga pertumbuhan

investasi malah bergerak ke arah negatif.

Akibatnya harapan pertumbuhan ekonomi

yang diharapkan dapat menolong bangsa ini

keluar dari berbagai krisis ekonomi belum

terwujud sesuai dengan harapan.

Sementara dalam kehidupan politik,

buruknya pelayanan publik berimplikasi dalamterhadap kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah. Buruknya pelayanan publik 

selama ini menjadi salah satu variabel penting

yang mendorong munculnya krisis keperca-

yaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis

kepercayaan tersebut teraktualisasi dalam

bentuk protes dan demonstrasi yang cende-

rung tidak sehat, hal itu menunjukkan kefrus-

tasian publik terhadap pemerintahnya.

Sehubungan dengan itu perbaikan pela-yanan publik mutlak diperlukan agar image

buruk masyarakat kepada pemerintah dapat 

diperbaiki, karena dengan perbaikan kualitas

pelayanan publik yang semakin baik dapat 

mempengaruhi kepuasan masyarakat sehi-

ngga kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah dapat dibangun kembali.

Dari segi sosial budaya, pelayanan publik 

yang buruk mengakibatkan terganggunyapsikologi masyarakat yang terindikasi dari

berkurangnya rasa saling menghargai di kala-

ngan masyarakat, timbulnya saling curiga

meningkatnya sifat  eksklusifisme yang berle-

bihan, yang pada akhirnya menimbukan keti-

dakpedulian masyarakat baik terhadap

pemerintah maupun terhadap sesama. Akibat 

yang sangat buruk terlihat melalui berbagai

kerusuhan dan tindakan anarkis di berbagai

daerah. Seiring dengan itu masyarakat cende-rung memilih jalan pintas yang menjurus ke

arah negatif dengan berbagai tindakan yang

tidak rasional dan cenderung melanggar

hukum.

B. PENGERTIAN DAN KONTEKS

PELAYANAN PUBLIK 

Pelaksanaan pelayanan publik pada

prinsipnya ditujukan kepada manusia. Sudah

menjadi kodratnya setiap manusia membu-

tuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim

dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat 

dipisahkan dengan kehidupan manusia. Sejak 

lahirnya manusia sudah membutuhkan

pelayanan, sebagaimana dikemukakan Rusli

(2004) bahwa selama hidupnya, manusia

selalu membutuhkan pelayanan. Pelayanan

menurutnya sesuai dengan life cycle theory of 

leadership bahwa pada awal kehidupan manu-

sia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi,tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan

yang dibutuhkan akan semakin menurun.

Masyarakat setiap waktu selalu menuntut 

pelayanan publik yang berkualitas dari biro-

krat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak 

sesuai dengan harapan karena secara empiris

pelayanan publik yang terjadi selama ini masih

bercirikan hal-hal seperti berbelit-belit,

lamban, mahal, melelahkan, ketidakpastian.

Keadaan demikian terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang

“melayani” bukan yang dilayani.

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar82

Page 7: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 7/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Pelayanan publik secara konseptual dapat 

dijelaskan dengan menelaah kata demi kata.

Menurut Kotler sebagaimana dikutip oleh

Lukman( 2000), disebutkan bahwa Pelayanan

adalah setiap kegiatan yang menguntungkan

dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan

menawarkan kepuasan meskipun hasilnyatidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Istilah publik dalam pengertian sehari-hari di

Indonesia sering dipahami sebagai negara

atau umum, hal ini biasa dijumpai dalam pola

Bahasa Indonesia yang menterjemahkan

publik seperti pada istilah  public administra-

tion yang diterjemahkan sebagai administrasi

negara. Kata publik sebenarnya sudah dite-

rima menjadi Bahasa Indonesia baku menjadi

publik yang berarti umum, atau orang banyak.Berdasarkan uraian pengertian di atas,

maka berbagai pengertian pelayanan publik 

dapat diartikan sebagai pemberian layanan

keperluan orang atau masyarakat yang mem-

punyai kepentingan pada organisasi itu sesuai

dengan aturan pokok dan tatacara yang telah

ditetapkan (Kurniawan, 2005). Dalam

Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003,

diberikan pengertian publik sebagai segala

kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

penyelenggara pelayanan publik sebagai

upaya pemenuhan kebutuhan penerima pela-

yanan maupun pelaksanaan ketentuan pera-

turan perundang-undangan. Dengan demi-

kian, pelayanan publik adalah pemenuhan

keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh pe-

nyelenggara negara. Dalam Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik disebutkan pengertian pelayanan pu-

blik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan pela-yanan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan bagi setiap warga negara dan pen-

duduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan

administratif yang disediakan oleh penyele-

nggara pelayanan publik.

Pelayanan publik pada dasarnya menya-

ngkut aspek kehidupan yang sangat luas.

Dalam kehidupan bernegara, maka pemerin-

tah memiliki fungsi memberikan berbagai

pelayanan publik yang diperlukan oleh ma-syarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk 

pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain

dalam rangka memenuhi kebutuhan masya-

rakat dalam bidang pendidikan, kesehatan,

utilitas, dan lainnya (Mohammad, 2003).

Berbagai gerakan reformasi publik yang

dialami negara-negara maju pada awal tahun

1990-an banyak diilhami oleh tekanan

masyarakat akan perlunya peningkatan kua-litas pelayanan publik yang diberikan oleh

pemerintah. Hal ini juga ditandai pada ber-

bagai karya ilmiah yang telah ditulis oleh para

pakar berkaitan dengan pelayanan publik ini

antara lain yang berkembang di Amerika

Serikat dengan munculnya paradigma  post-

bureaucratic oleh Barzelay (1992) bersama

dengan Armajani (1997). Pandangan  post-

bureacratic berkaitan dengan pelayanan

publik terlihat pada penekanan administrasipublik pada hasil yang berguna bagi masyara-

kat, kualitas dan nilai, produk dan keterikatan

terhadap norma, dan mengutamakan misi,

pelayanan dan hasil akhir (outcome).

Kemudian selanjutnya dalam waktu yang

hampir bersamaan muncul pula paradigma

reinventing government  yang disampaikan

oleh Osborne dan Gaebler (Keban, 2008)

kemudian dioperasionalisasikan oleh Osborne

dan Plastrik pada tahun 1997 dalam karyanya

Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for 

Reinventing Government . Paradigma ini juga

dikenal dengan nama New Public Management .

Pandangan dari paradigma ini sebenarnya

menekankan bahwa pemerintah atau birokrat 

sesungguhnya haruslah memberikan pelaya-

nan terbaiknya kepada masyarakat. Mereka

menilai bahwa pemerintahan harus mengalih-

kan wewenang kontrol yang dimilikinya ke-

pada masyarakat. Masyarakat diberdayakan

sehingga mampu mengontrol pelayanan yangdiberikan oleh pemerintah. New Public Mana-

 gement dipandang sebagai pendekatan dalam

administrasi publik yang menerapkan penge-

tahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam

dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain

untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan

kinerja pelayanan publik pada birokrasi

moderen (Vigoda, dalam Keban, 2008).

Penjelasan lain terhadap perspektif 

pelayanan publik dapat dilihat dalam karya J.V.Denhardt dan R.B. Denhardt dalam bukunya The

New Public Service ( 2003). Paradigma ini

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar83

Page 8: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 8/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

memberikan pandangan yang berkaitan

dengan pelayanan yakni bahwa administrasi

publik harus melayani warga masyarakat bu-

kan pelanggan, mengutamakan kepentingan

publik, dan melayani daripada mengendalikan.

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal

menurut paradigma new public service yaitupelayanan publik harus responsif terhadap

berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik 

yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan

negosiasi dan mengelaborasi berbagai

kepentingan warga negara dan kelompok 

komunitas. Pandangan tersebut mengandung

makna karakter dan nilai yang terkandung di

dalam pelayanan publik tersebut harus berisi

preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masya-

rakat. Karena masyarakat bersifat dinamis,maka karakter pelayanan publik juga harus

selalu berubah mengikuti perkembangan ma-

syarakat. Selain itu pelayanan publik model

baru ini harus bersifat non-diskriminatif seba-

gaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang

digunakan yaitu teori demokratis yang men-

jamin adanya persamaan warga negara tanpa

membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras,

etnik, agama, dan latar belakang kepartaian

(Dwiyanto, 2005).

C. MASALAH-MASALAH PELAYANAN

PUBLIK DI INDONESIA

Terlepas dari berbagai teori, pendekatan,

perspektif dan paradigma berkaitan dengan

pelayanan publik yang senantiasa berubah

untuk menyesuaikan diri dengan dinamika

perkembangan kebutuhan masyarakat yang

terdapat di negara-negara maju atau pada

belahan dunia lainnya. Pergeseran tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka

pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik,

efisien, responsive, dan berorientasi pada

kepentingan masyarakat.

Bagi negara sedang berkembang terma-

suk di Indonesia gelombang tekanan untuk 

mengubah wajah pemerintahan dan substansi

operasi mesin pelayanan publiknya tidak 

terlepas dari tekanan-tekanan dari lembaga-

lembaga internasional seperti misalnya IMF ,World Bank , atau lembaga donor lainnya. Hal

tersebut tidak terlepas dari kepentingan

lembaga-lembaga tersebut yang beroperasi

di Indonesia.

Adanya tuntutan perbaikan pelayanan

publik tersebut kadangkala menjadi prasyarat 

utama oleh lembaga-lembaga internasional

atau negara-negara donor tersebut dalam

memberikan bantuan (loan). Seperti IMF danWorld Bank , kedua lembaga keuangan yang

amat berpengaruh tersebut sejak hampir dua

dekade terakhir ini semakin rajin mendesak-

kan tuntutan politik terhadap negara-negara

berkembang untuk mendevolusikan sistem

pemerintahan dan sistem pelayanan publik-

nya yang monopolistik dengan menganjurkan

kebijakan pemerkuatan otonomi daerah,

privatisasi sektor publik dan pemberian ke-

sempatan yang luas pada sektor-sektor di luarbirokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2000).

Menelusuri permasalahan pelayanan

publik di Indonesia sebenarnya dapat dilihat 

pada beberapa periode dalam penyeleng-

garaan pemerintahan, misalnya dimulai pada

masa orde baru dan terakhir periode refor-

masi. Pergeseran paradigma dalam pelayanan

publik tidak dilepaskan dari perubahan iklim

politik yang berimplikasi pada kebijakan-

kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah. Di Indonesia pada masa orde

baru misalnya pelayanan publik ditandai oleh

dominasi negara pada berbagai elemen-

elemen kehidupan bangsa, sehingga pada

masa ini dikenal dengan paradigma negara

kuat atau negara otonom dimana kekuatan

sosial politik termasuk kekuatan pasar kecil

pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan

dalam pelaksanaannya.

Dalam era reformasi ditandai pada para-

digma deregulasi setengah hati, dimana peme-rintah memilih sektor tertentu untuk didere-

gulasi yang pertimbangan utamanya bukan

pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi

keamanan bisnis antara pejabat negara dan

pengusaha besar. Kemudian pada paradigma

reformasi pelayanan publik. Paradigma ini

mengkaji ulang peran pemerintah dan mende-

finisikan kembali sesuai dengan konteksnya,

yaitu perubahan ekonomi dan politik global,

penguatan civil society , good governance, pera-nan pasar dan masyarakat yang semakin

besar dalam penyusunan dan pelaksanaan

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar84

Page 9: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 9/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

kebijakan publik.

Sekalipun di Indonesia secara politik era

reformasi itu sudah berjalan sekitar 10 tahun

sejak lengsernya Presiden Suharto pada tahun

1998, namun dalam penyelenggaraan pela-

yanan publik masih ditandai berbagai kele-

mahan-kelemahan, padahal sudah banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah

dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat antara lain perumusan kembali

Undang-Undang tentang Pemerintahan Dae-

rah yang sebenarnya memberikan perluasan

kewenangan pada tingkat pemerintah daerah,

dipandang sebagai salah satu upaya untuk 

memotong hambatan birokratis yang acapkali

mengakibatkan pemberian pelayanan mema-

kan waktu yang lama dan berbiaya tinggi.Dengan adanya desentralisasi daerah mau

tidak mau harus mampu melaksanakan ber-

bagai kewenangan yang selama ini dilak-

sanakan oleh pemerintah pusat, seiring de-

ngan pelayanan yang harus disediakan.

Upaya untuk memperbaiki pelayanan

telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah,

antara lain kebijakan ini dapat dilihat pada

Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 81/1993 tentang

Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

Kemudian Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang

perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan

apartur pemerintah kepada masyarakat. Pada

perkembangan terakhir telah diterbitkan pula

Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/

7/2003 tentang Pedoman Umum Penyele-

nggaraan Pelayanan Publik. Upaya mening-

katkan kualitas pelayanan tidak hanya ditem-

puh melalui keputusan-keputusan, tetapi juga

melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dila-

kukan dengan cara memberikan berbagai

materi mengenai manajemen pelayanan

dalam diklat-diklat struktural pada berbagai

tingkatan.

Hanya saja dari berbagai upaya yang

dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki

pelayanan publik, namun masih saja ditemu-

kan berbagai kelemahan dalam pelayanan

publik ini. Hal tersebut dapat dilihat pada hasilsurvay yang dilakukan oleh UGM pada tahun

2002 diketahui bahwa dilihat dari sisi efisi-

ensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan

perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi

masih jauh dari yang diharapkan (Mohamad,

2003). Oleh karena itu, dengan memban-

dingkan upaya-upaya yang telah ditempuh

oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan

publik yang dituntut dalam era desentralisasi,tampaknya upaya pemerintah tersebut masih

belum banyak memberikan kontribusi bagi

perbaikan kualitas pelayanan publik itu sen-

diri. Bahkan birokrasi pelayanan publik masih

belum mampu menyelenggarakan pelayanan

yang adil dan non-partisan.

Jika diperhatikan berbagai permasalahan

penyelenggaraan pelayanan publik di Indone-

sia, maka permasalahan utama pelayanan

publik sekarang ini adalah berkaitan denganpeningkatan kualitas dari pelayanan itu

sendiri. Menurut Albrecht dan Zemke (1990)

kualitas pelayanan publik merupakan hasil

interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem

pelayanan, sumber daya manusia pemberi

pelayanan, strategi, dan pelanggan. Sementara

Mohammad (2003) menyebutkan bahwa

pelayanan yang berkualitas sangat tergantung

pada aspek-aspek seperti bagaimana pola

penyelenggaraannya, dukungan sumber daya

manusia, dan kelembagaan yang mengelola.

Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya,

pelayanan publik di Indonesia masih memiliki

berbagai kelemahan antara lain: (1) kurang

responsive, (2) kurang informatif, (3) kurang

accessible, (4) kurang koordinasi, (5)

birokratis, (6) kurang mau mendengar

keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan (7)

inefisiensi. Dilihat dari sisi sumber daya ma-

nusianya kelemahan utamanya adalah ber-

kaitan dengan profesionalisme, kompetensi,emphaty dan etika. Pola kerja yang digunakan

oleh sebagian besar aparatur yang ada seka-

rang ini masih dipengaruhi oleh model biro-

krasi klasik, yakni cara kerja yang terstruktur/

hierarkis, legalistik formal, dan sistem tertutup.

Selain itu beberapa pendapat menilai bahwa

kelemahan sumber daya manusia aparatur

pemerintah dalam memberikan pelayanan

disebabkan oleh sistem kompensasi yang

rendah dan tidak tepat.Kelemahan pelaksanaan pelayanan publik 

lainnya dapat dilihat pada sisi kelembagaan,

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar85

Page 10: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 10/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

kelemahan utama terletak pada disain organi-

sasi yang tidak dirancang khusus dalam rang-

ka pemberian pelayanan kepada masyarakat,

penuh dengan khirarki yang membuat pelaya-

nan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan

tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk 

melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsipengaturan dan fungsi penyelenggaraan,

masih sangat kental dilakukan oleh pemerin-

tah, yang juga menyebabkan pelayanan publik 

menjadi tidak efisien.

D. PILIHAN PERSPEKTIF

 ADMINISTRASI DALAM MENGATASI

MASALAH PELAYANAN PUBLIK 

Sebagaimana diketahui perkembanganataupun pergeseran paradigma dalam admi-

nistrasi publik senantiasa berlangsung sesuai

dengan tuntutan lingkungan, seperti situasi

dan kondisi sosial kemasyarakatan, peruba-

han iklim politik, dan ekonomi. Berbagai

perubahan terjadi seiring dengan berkem-

bangnya kompleksitas persoalan yang diha-

dapi oleh administrator publik. Kompleksitas

ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus

mengembangkan ilmu administrasi publik.

Denhardt dan Denhardt (2003) mengung-

kapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam

administrasi publik. Perspektif tersebut 

adalah old public administration, new public

management, dan new public service. Berda-

sarkan perspektif yang dikemukakan oleh

Denhardt dan Denhardt sebagai pencetus pers-

pektif baru administrasi publik yakni new 

 public service, kedua ahli ini menyarankan

untuk meninggalkan prinsip administrasi

klasik dan new public management  yang ter-masyhur dengan reinventing governement-

nya, dan beralih ke prinsip new public service.

Menurut  Denhardt  dan Denhardt (2003),

administrasi publik harus:

1. Melayani warga masyarakat bukan

pelanggan.

2. Mengutamakan kepentingan publik.

3. Lebih menghargai kewarganegaraan dari

pada kewirausahaan.

4. Berpikir strategis dan bertindak demo-kratis.

5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan

sesuatu yang mudah.

6. Melayani daripada mengendalikan.

7. Menghargai orang, bukannya produk-

tivitas semata.

Pandangan yang mirip dengan perspektif 

yang dikemukakan Denhardt dan Denhardt tersebut sekalipun dengan nama yang berbeda

adalah perspektif yang dikemukakan oleh

Bovaird dan Loffler (2003) bahwa terdapat 

tiga pendekatan dalam administrasi publik yaitu

 public administration, public management, dan

 public governance. Sementara G.Shabbir

Cheema (2007) sebagaimana dikutip oleh

Keban (2008) mengemukakan empat fase

administrasi publik yang juga menggambarkan

perkembangan administrasi publik yaitu: tra-ditional public administration, public manage-

ment, new public management, dangovernance.

Paradigma terakhir yang dikemukakan

oleh Cheema tersebut yakni governance

mendapatkan perhatian yang besar dari

berbagai negara melalui ajakan UNDP dengan

menggunakan istilah Good Governance,

adapun karakteristik good governance dari

UNDP meliputi (Keban, 2008):

1. Participation yaitu bahwa semua orang

harus diberi kesempatan yang sama un-

tuk mengemukakan pendapatnya dalam

pengambilan keputusan baik langsung

atau melalui perantara institusi yang me-

wakili kepentingannya.

2. Rule of law, yaitu bahwa aturan hukum

harus adil dan ditegakkan tanpa pandang

bulu.

3. Transparancy, yaitu bahwa keterbukaan

harus dibangun diatas aliran informasi

yang bebas.4. Responsiveness, yaitu bahwa institusi-

institusi dan proses yang ada harus dia-

rahkan untuk melayani para stakeholders.

5. Consensus orientation yaitu bahwa harus

ada proses mediasi untuk sampai kepada

konsensus umum yang didasarkan atas

kepentingan kelompok, dan sedapat 

mungkin didasarkan pada kebijakan dan

prosedur.

6. Equity  , yaitu bahwa semua orang memilikikesempatan yang sama untuk memperbaiki

dan mempertahankan kesejahteraannya.

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar86

Page 11: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 11/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

7. Effectiveness and efficiency , yaitu bahwa

proses dan institusi-institusi yang ada

sedapat mungkin memenuhi kebutuhan

masyarakat melalui pemafaatan terbaik ter-

hadap sumberdaya-sumberdaya yang ada.

8. Accountability , yaitu bahwa para pengam-

bil keputusan di instansi pemerintah,sektor publik dan organisasi masyarakat 

madani harus mampu mempertanggung-

jawabkan apa yang dilakukan dan dipu-

tuskannya kepada publik sekaligus kepa-

da para pemangku kepentingan.

9. Strategic vision yaitu bahwa para pemim-

pin dan masyarakat publik harus memiliki

perspektif yang luas dan jangka panjang

terhadap pembangunan manusia, dengan

memperhatikan latar belakang sejarah,dan kompleksitas sosial budaya.

Mencermati beberapa perspektif yang

dikemukakan oleh para ahli tersebut, dan

upaya untuk mengatasi masalah-masalah

berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan

publik di Indonesia sesuai dengan perkem-

bangan IPTEK, kemajuan pengetahuan

masyarakat serta perubahan iklim politik 

yang lebih demokratis, maka perspektif 

administrasi publik yang relevan dapat 

diterapkan adalah perspektif new public sevice

(NPS) dan  governance. NPS sebagai paradig-

ma terbaru dari administrasi publik meletak-

kan pelayanan publik sebagai kegiatan utama

para administratur publik. Pelayanan dalam

konteks ini berbeda dengan pelayanan berba-

sis pelanggan (konsumen) sebagaimana di-

gagas oleh dalam pradigma New Public Mana-

 gement  (NPM). NPM menurut Kamensky

dalam Denhardt dan Denhardt (2003) dida-sarkan pada public choice theory , dimana teori

tersebut menekankan pada kemampuan

individu seseorang dibandingkan dengan ke-

mampuan publik secara bersama-sama.

Penggunaan perspektif New Public Service

dalam mengatasi masalah pelayanan publik di

Indonesia hal ini juga sesuai dengan dasar

negara Pancasila khususnya pada Sila keem-

pat dan kelima, yang menekankan pada musya-

warah mufakat dalam hal ini adanya kesepa-katan antara pemerintah selaku pemberi laya-

nan dengan warga sebagai penerima layanan,

sedangkan pada aspek keadilan sosial hal ini

menunjukkan bahwa pemberian pelayanan

kepada masyarakat harus dilandaskan pada

aspek keadilan dalam pengertian tidak boleh

ada diskriminasi atau perbedaan yang di-

dasarkan pada alasan-alasan ekonomi, politik,

dan alasan yang tidak rasional lainnya. Salahsatu intisari dari prinsip NPS tersebut adalah

bagaimana administrator publik mengartiku-

lasikan dan membagi kepentingan warga

negara (Denhardt dan Denhardt, 2003). Agar

kepentingan warga negara tersebut dapat ter-

bagi rata, diperlukan media pertemuan antara

pemerintah dengan warga masyarakat, sehi-

ngga semua kepentingan warga masyarakat 

dapat diakomodasi.

Upaya untuk meningkatkan kualitaspelayanan publik ini, beberapa kegiatan sudah

dilakukan oleh pemerintah misalnya dapat 

dilihat pada kegiatan perencanaan partisipatif 

seperti musyawarah pembangunan (Musren-

bang) baik pada tingkat kecamatan, kabupa-

ten, maupun provinsi dan nasional. Meskipun

demikian kegiatan tersebut tidak dapat dise-

lenggarakan sewaktu-waktu, sehingga kepen-

tingan masyarakat dalam bentuk kebutuhan

tidak dapat ditangkap dengan cepat oleh peme-

rintah. Seperti kebutuhan yang terjadi secara

tiba-tiba seperti kebutuhan akan kesehatan,

air bersih, bisa terjadi sewaktu-waktu. Agar

kebutuhan masyarakat dapat segera diantisi-

pasi dan diatasi oleh pemerintah maka diperlu-

kan media komunikasi antara pemerintah dan

masyarakat. Sesuai dengan perspektif  New 

Public Service maupun good governance, ada be-

berapa model pelayanan publik yang dapat di-

gunakan untuk mengatasi masalah pelayanan

publik di Indonesia diantaranya adalah:1. Model Citizen’s Charter  (kontrak pelaya-

nan), model ini berasal dari ide Osborne

dan Plastrik (1997). Dalam model ini ter-

dapat standar pelayanan publik yang

ditetapkan berdasarkan masukan warga

masyarakat, dan aparat pemerintah ber-

janji untuk memenuhinya dan melaksana-

kannya. Model ini merupakan pendekatan

dalam pelayanan publik yang memposisi-

kan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Oleh sebab itu, kebutuhan dan

kepentingan pengguna layanan harus

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar87

Page 12: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 12/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

menjadi pertimbangan utama dalam pro-

ses pelayanan. Citizen’s Charter  ini dapat 

dikatakan sebagai kontrak sosial antara

warga dengan aparat birokrasi untuk 

menjamin mutu pelayanan publik. Adanya

kontrak sosial tersebut, maka warga me-

miliki hak-hak baru apabila dirugikan olehbirokrasi dalam memberikan pelayanan.

Dengan mengadopsi model Citizen’s Char-

ter , birokrasi juga harus menetapkan sis-

tem untuk menangani keluhan pelanggan

dengan tujuan memperbaiki kinerjanya

secara terus menerus.

2. Model KYC (Know Your Costumers), model

ini dikembangkan dalam dunia perbankan

yang dapat diadaptasi ke dalam kontekspelayanan publik dalam organisasi peme-

rintah. Mekanisme kerja dalam model ini

yaitu berupaya mengenali terlebih dahulu

kebutuhan dan kepentingan pelanggan se-

belum memutuskan jenis pelayanan yang

akan diberikan (Dwiyanto, 2005). Untuk 

mengetahui keinginan, kebutuhan dan ke-

pentingan pengguna layanan, maka biro-

krasi pelayanan publik harus mendekat-

kan diri dengan masyarakat. Beberapa

metode yang dapat digunakan untuk me-

ngetahui keinginan dan kebutuhan para

pelanggan yaitu melalui survai, wawanca-

ra, dan observasi. Jika menggunakan me-

tode survai maka seperangkat daftar per-

tanyaan harus disusun untuk mengiden-

tifikasi keinginan, kebutuhan, dan aspirasi

masyarakat terhadap pelayanan yang

diinginkan.

Dalam model KYC ini birokrasi peme-rintah harus mengetahui siapa yang

menjadi pelanggannya (orang atau ke-

lompok masyarakat yang dilayani). Oleh

sebab itu setiap unit birokrasi pemerintah

harus mampu mendefinisikan pelanggan-

nya atau pengguna jasa mereka, sehingga

untuk selanjutnya mereka dapat mengori-

entasikan pelayanan kepada kebutuhan

masyarakat pengguna jasa tersebut. Kan-

tor kelurahan misalnya harus mampumengidentifikasi pengguna jasa mereka,

apakah masyarakat yang ada dalam

wilayah kelurahannya, ataukah camat dan

bupati yang mengangkat lurah tersebut.

3. Model M-Government (m-Gov ), kemajuan

teknologi dibidang informasi dan komu-

nikasi ikut berpengaruh secara langsung

maupun tidak langsung terhadap kinerjabirokrasi pemerintah terutama dari segi

pelayanan warga masyarakat. M-Govern-

ment sebenarnya diadaptasi dari Electro-

nic Government (e-Gov) yakni salah satu

cara untuk menjalankan fungsi peme-

rintah dengan memanfaatkan berbagai

perangkat teknologi informasi dan komu-

nikasi (TIK) (Nugroho, 2008). Menurut 

Kuschu dan Kuscu (2003) bahwa penggu-

naan e-Gov setidaknya mampu mengu-bah pola interaksi antara pemerintah de-

ngan masyarakat. Pelayanan yang semula

berorientasi pada antrian (in line) di

depan meja pegawai dan tergantung pada

jam kerja serta person pegawai yang

menangani suatu pelayanan tertentu

berubah menjadi layanan on line yang

dapat diakses website pemerintah melalui

komputer yang terhubung ke internet,

selama 24 jam sehari.

Konsep pemerintah yang menggunakan

teknologi bergerak tersebut disebut 

Mobile Government  (m-Gov ). Model ini

pada saat sekarang sudah dapat diguna-

kan dengan mudah karena fasilitas yang

dipergunakan dapat melalui komputer

PC di rumah atau di kantor, Laptop/note-

book/tablet, dan Hp (Mobile Phone). m-

Gov adalah strategy and its implementa-

tion involving the utilization of all kinds of wireless and mobile technology, services, ap-

 plications and devices for improving ben-

efits to the parties involved in e-govern-

ment including citizens, businesses and gov-

ernment units (Kuschu dan Kuscu, 2003).

Beberapa daerah di Indonesia sudah

mengimplementasikan e-Gov  ini seperti Kota

Solo dan Kabupaten Sragen. Juga Presiden SBY

menggunakan e-Gov dalam memberikan pela-yanan seperti membuka layanan SMS pada

nomor 9949 untuk menerima keluhan masya-

88Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar

Page 13: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 13/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar89

rakat, juga KPK (Komisi Pemberantasan Ko-

rupsi) menerima pengaduan masyarakat me-

ngenai kasus-kasus korupsi melalui fasilitas

SMS. Ada beberapa cara yang dapat diguna-

kan dalam mengimplementasikan m-Gov  ini

seperti melalui jaringan internet dengan

menggunakan laptop, kini sudah banyak tersedia jaringan WiFi (wireless fidelity ) yakni

perangkat yang memungkinkan pengguna

untuk mengakses internet secara nirkabel

bahkan beberapa lokasi tersedia hotspot 

gratis. Cara lain yang dapat digunakan dalam

implementasi m-Gov  ini yaitu melalui hand-

 phone baik penggunaan melalui suara atau

SMS (short massage service).

Pemanfaatan suara melalui telepon atau

Hp (mobile phone) untuk menerima kebutu-han dari masyarakat sudah sering digunakan

di dunia bisnis dengan nama Call Centre, pada

institusi perbankan dikenal dengan nama

 phone banking. Untuk organisasi publik,

konsep ini diterapkan dengan menempatkan

beberapa pegawai sebagai agen.

Nantinya agen ini akan memberikan

informasi tentang kebutuhan masyarakat.

Selain berfungsi sebagai garda terdepan dalam

memberikan pelayanan informasi kepada

masyarakat, agen ini juga dapat berfungsi

sebagai penghubung aspirasi antara masya-

rakat dengan pemerintah. Kebutuhan masya-

rakat dimasukkan ke dalam sistem yang terin-

tegrasi sehingga dapat diketahui oleh pimpi-

nan instansi. Melalui fasilitas SMS di Hp yaitu

fasilitas yang dapat digunakan untuk mengi-

rim dan menerima pesan-pesan pendek. Ada

beberapa bentuk dari penggunaan teknologi ini

di pemerintahan (Nugroho, 2008), antara lain:

a. Pemerintah ke masyarakat, dalam hal inipemerintah dapat memberikan informasi

kepada warganya melalui SMS .

b. Masyarakat ke pemerintah, keluhan dan

saran masyarakat dapat dikirimkan ke

pemerintah melalui SMS. Menurut Lallana

dan Zalesak (2004) untuk poin a dan b di

atas disebut  mCommunication.

c. Pemerintah ke pegawai negeri sipil,

pemerintah dapat memberikan pengu-

muman kepada PNS melalui SMS, sehinggainformasi dapat lebih cepat diterima dan

akhirnya pelayanan kepada masyarakat 

dapat lebih cepat. Kemampuan lain dari

ponsel adalah mampu memberikan lokasi

dimana PNS berada, ini diperlukan untuk 

mengetahui keberadaan pegawai jika

mereka tidak berada di kantor. Untuk hal

ini menurut Lallana dan Zalesak (2004)

disebut m-Administration.

Ada beberapa cara atau pola yang dapat 

dilakukan untuk mengefektifkan model

pelayanan M-Gov ini, konsep yang ditawarkan

oleh (Nugroho, 2008) adalah:

a. Masyarakat dengan Basis Data Aduan

Masyarakat 

b. Basis Data Aduan Masyarakat dengan

Pemerintah Daerah

c. Basis Data Aduan Masyarakat denganDPRD

d. Sistem Aduan Masyarakat dengan

Muspida

e. Sistem internal Pemda via SMS

E. PENUTUP

Perspektif  New Publik Service dan Good 

Governance dianggap paling tepat untuk 

kondisi sekarang dalam mengatasi masalah-

masalah pelayanan publik di Indonesia. Hal itu

didukung oleh situasi politik yang lebih

demokratis dan keterbukaan pemerintah. Dan

untuk efektifnya implementasi persepektif 

tersebut, dapat diterapkan dengan menggu-

nakan beberapa model seperti model citizen’s

charter , model KYC (Know Your Customer ), dan

model m-Government . Dengan adanya model-

model tersebut di atas diharapkan kendala-

kendala yang selama ini menghambat efektivi-

tas pelaksanaan pelayanan publik dapat diatasisehingga pelaksanaan pelayanan publik dapat 

ditingkatkan efektivitasnya, sekalipun demi-

kian kesemuanya kembali kepada person atau

pelaksana pelayanan tersebut yakni aparat 

pemerintah dan juga partisipasi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Denhardt, J.V., dan Denhardt, R.B., 2003. The

New Public Service: An Approach toReform. International Review of Public

Aministration Vol 8 No 1. 2004. The

Page 14: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 14/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

New Public Service: Serving, Not Steer-

ing. New York: M.E Sharve.

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good 

Governance Melalui Pelayanan Publik .

Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Frederickson, H.G., 1987. Administrasi Negara

Baru (terjemahan). Jakarta: LP3ES.

Keban, Y.T., 2008. Enam Dimensi Strategis

Administrasi Publik : Konsep, Teori dan

Isu. Jakarta: Gava Media.

Kushcu dan Kuscu. 2003. From E-government 

to M-government: Facing the Inevitablein the Proceeding of European Confrence

on E-Government (ECEG 2003), Trinity 

College, Dublin.

Lallana, E. 2004. eGovernment for Develop-

ment, M-Government Definitions and

Models. www.egov4dev.org/mgovdefn.

htm. di akses (20 Mei 2007)

Nugroho, Rino A., 2008. “Model Pelayanan

Publik Menggunakan M-Governement 

(Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo

dan Karanganyar)”. Jurnal Dinamika,

Vol 8 : No. 2.

Osborne, D., dan Gaebler, T., 1996. Mewira-usahakan Birokrasi: Mentransformasi

Semangat Wirausaha ke dalam Sektor 

Publik  (Terjemahan). Jakarta: CV

Taruna Grafika.

Osborne, D., dan Plastrik, P., 1997. Banishing

Bureaucracy: The Five Strategies for 

Reinventing Governement . New York:

Addison-Wessley Publising Company.

Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Public

Kontemporer . Jakarta: Kencana.

Zalesak, Mischal. “Overview and Opportunities

of Mobile Government”. www.develop

m e n t g a t e w a y . o r g / d o w n l o a d /

218309/mGov.doc., di akses (24 Juni

2010)

*********

90Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia

Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar

Page 15: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 15/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

Public services in recent years become a central issue has forced all parties, both state and public

institutions to perform again in its implementation regulations. Although the provision of public services

is an obligation that must be done by the government as the organizer of the state. However, the

obligation to provide such services are still not able to give satisfaction to the user community. To

realize good governance requires the synergistic partnership between agencies both within and outside

the government bureaucracy. The agencies include the private sector and civil society. Partnerships

must be built in an environment that is transparent, which is built with good communication, especially 

in any decision-making. This meant that the policies are formulated to meet the expectations of society.

Thus, the partnership between government, communities and businesses are expected to promote the

establishment of governance, development and public services more democratic and more professional.

Keywords: Bureaucratic Management, Professional, Public Service.

 ABSTRAK 

Pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu sentral telah memaksa semua pihak,

baik negara dan lembaga publik untuk tampil lagi dalam peraturan pelaksanaannya. Meskipun pelayanan

publik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Namun,

kewajiban untuk menyediakan layanan tersebut masih belum mampu memberikan kepuasan kepada

masyarakat pengguna. Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan kemitraan

sinergis antara lembaga baik di dalam dan di luar birokrasi pemerintah. Badan-badan termasuk sektor

swasta dan masyarakat sipil. Kemitraan harus dibangun dalam lingkungan yang transparan, yang

dibangun dengan komunikasi yang baik, terutama dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa

kebijakan yang diformulasikan untuk memenuhi harapan masyarakat. Dengan demikian, kemitraan

antara pemerintah, masyarakat dan bisnis diharapkan untuk mendorong terwujudnya pelayanan

pemerintahan, pembangunan dan publik yang lebih demokratis dan lebih profesional.

Kata kunci: Manajemen Birokrasi, Profesional, Pelayanan Publik.

91

KEMITRAAN DALAM PELAYANAN PUBLIK :

SEBUAH PENJELAJAHAN TEORITIK 

FatmawatiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588

Page 16: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 16/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 A. PENDAHULUAN

Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumba-

ngan pikiran dalam rangka upaya peningkatan

pelayanan publik oleh pemerintah. Salah satu

tugas pokok pemerintah yang terpenting

adalah memberikan pelayanan umum kepadamasyarakat, oleh karena itu organisasi peme-

rintah sering pula disebut sebagai “pelayanan

masyarakat” ( publ ic service) (Wasistiono,

2009). Walaupun tugas dan fungsi pelayanaan

publik merupakan kewenangan dan tanggung

jawab pemerintah namun dengan prinsip

partisipasi mayarakat sebagai salah satu pilar

kepemerintahan yang baik atau  good gover-

nance, masyarakat sebenarnya perlu dilibat-

kan lebih jauh dalam kegiatan penyediaanpelayanan, mulai dari tahap perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan

demikian paradigma dominan yang selama ini

cenderung memandang pelayanan publik 

menjadi kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah, sementara masyarakat berada di

pihak yang pasif, yang hanya menunggu dan

menagih untuk mendapatkan pelayanan

tampaknya perlu dikaji ulang. Adanya sinergi

antara pemerintah, dunia usaha dan masyara-

kat memungkinkan kualitas pelayanan menja-

di lebih meningkat, karena masyarakat sendiri

turut mengawasi pelaksanaannya.

Di negara yang sedang berkembang se-

perti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat 

sangat tergantung pada kemampuan mereka

dalam mengakses dan menggunakan pelaya-

nan publik, akan tetapi permintaan akan

pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi

kemampuan pemerintah untuk dapat meme-

nuhinya. Sebaliknya, pemusatan segalaurusan publik hanya kepada negara, pada

kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab

urusan pelayanan publik yang demikian

kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua

hanya oleh pemerintah.

Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

pelayanan publik yang berkualitas, ber-

prosedur jelas, dilaksanakan dengan segera

dan dengan biaya yang pantas, telah terus

mengedepan dari waktu ke waktu. Tuntutanini berkembang seiring dengan berkemba-

ngnya kesadaran bahwa warga negara dalam

kehidupan bernegara bangsa yang demokra-

tik memiliki hak untuk dilayani. Adalah

kewajiban pejabat-pejabat pemerintahan

untuk memberikan pelayanan sesuai dengan

tuntutan para warga itu. Namun, apa lacur.?

Perubahan-perubahan yang terjadi sepan-

jang era reformasi ini ternyata belum sepe-nuhnya mengubah tatanan kehidupan

masyarakat di bidang pelayanan publik.

Harapan masih sangat jauh bahwa warga

masyarakat bisa memperoleh akses yang

lapang ke arah pelayanan yang baik dan ber-

kualitas. (Larasati, 2008:255).

Menurut Miftah Thoha (dalam Sedarma-

yanti, 2009:243), pelayanan publik dapat 

dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/

kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada

masyarakat dalam rangka mencapai tujuan

tertentu. Hanya saja, dalam rangka melakukan

optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan

oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas

yang mudah mengingat usaha tersebut 

menyangkut berbagai aspek yang telah mem-

budaya dalam lingkaran birokrasi pemerin-

tahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta

dan masyarakat sangat diharapkan untuk 

melengkapi pemerintah dalam menciptakan

kualitas pelayanan publik yang optimal.

Keterlibatan dunia usaha (swasta) dan

masyarakat dalam optimalisasi pelayanan

publik tentu saja sangat mendukung dalam

pencapaian tujuan besar yaitu Good Gover-

nance, dalam konsep Good Governance, peran

masyarakat dan sektor swasta menjadi sangat 

penting karena adanya perubahan paradi-

gma pembangunan dengan meninjau ulang

peran pemerintah dalam pembangunan, yangsemula berperan sebagai regulator dan pela-

ku pasar, menjadi bagaimana menciptakan

iklim yang kondusif dan melakukan investasi

prasarana yang mendukung dunia usaha.

Tentu saja hal ini bisa diwujudkan apabila

masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah

memiliki kapabilitas yang memadai.

B. PERGESERAN PARADIGMA

PELAYANAN PUBLIK 

Paradigma baru administrasi publik,

92Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati

Page 17: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 17/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

menyebabkan pola hubungan antara negara

dengan masyarakat, yang lebih menekankan

kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya

negara dituntut untuk memberikan pelayanan

kepada masyarakat dengan lebih baik dan

lebih demokratis. Pemahaman yang senada

diberikan oleh Denhardt bahwa paradigmabaru pelayanan publik (new public services

 paradigm) lebih diarahkan pada “democracy,

 pride and citizen”. Lebih lanjut dikatakan

bahwa “Public servants do not delever customer 

service, they delever democracy ” Oleh sebab itu

nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan

pelayanan untuk kepentingan publik sebagai

norma mendasar dalam penyelenggaraan

administrasi publik (Larasati, 2008:260)

Pelayanan publik adalah identik denganrepresentasi dari eksistensi birokrasi peme-

rintahan, karena berkenaan langsung dengan

salah satu fungsi pemerintah yaitu memberi-

kan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas

pelayanan publik merupakan cerminan dari

sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di

masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih

memberi peran yang sangat besar kepada

pemerintah sebagai sole provider . Peran pihak 

di luar pemerintah tidak pernah mendapat 

tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan

dunia swasta hanya memiliki sedikit peran

dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh

karenanya berkenaan dengan reformasi di

sektor publik, salah satu prinsip penting yang

merubah paradigma pelayanan publik adalah

prinsip streering rather than rowing. Berkena-

an dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan

untuk lebih berperan sebagai pengarah

daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh

bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan

bahwa pemerintah tidak dapat secara terus

menerus bekerja sendirian, dan harus mulai

mengubah paradigma pelayanan agar tujuan

dari penyelenggaraan pelayanan dapat 

tercapai lebih baik lagi.

Perjalanan demokratisasi yang berlang-

sung di Indonesia memberikan pelajaran yang

berharga bagi pemerintah (birokrasi) dan

warga negara (citizen). Wajah dan sosok biro-krasi kini mengalami perubahan dari biro-

krasi yang kaku berorientasi ke atas menuju

ke arah birokrasi yang lebih demokratis, res-

ponsif, transparan, dan partisipatif.

Secara teoritis, Eisler dan Montuori

(2001:11) membuat pernyataan yang

menarik yang berbunyi “Beginning to recog-

nize and acknowledge Partnership in ourselves

and in others, and finding creative alternatives for Dominator thinking and behaviors is a first 

step towards building a Partnership organiza-

tion.”  (memulai dengan mengakui dan

memahami kemitraan pada diri sendiri dan

orang lain, dan menemukan alternatif yang

kreatif bagi pemikiran dan perilaku domina-

tor merupakan langkah pertama ke arah

membangun sebuah organisasi kemitraan).

Istilah kemitraan seringkali dipertukarkan

dengan banyak istilah lain seperti kolaborasi,aliansi, ko-produksi atau konsorsium. Istilah-

istilah ini sebenarnya sebagai perwujudan

dari kerjasama antar individu atau kelompok 

yang saling membantu, saling menguntungkan

dan secara bersama-sama meringankan

pencapaian tujuan yang telah mereka sepakati

bersama. Permasalahan definisi ini kemudian

diikuti dengan pernyataan mendasar bahwa

kemitraan sebagai proses, produk, hasil

penjelajahan, atau hasil akhir (Borrini-

Feyerabend, 1996).

Secara khusus pada bidang pelayanan

publik, pengertian kemitraan mengacu kepada

dukungan sukarela dan resiprokal (timbal

balik) antara dua atau lebih badan sektor

publik yang berbeda. Dengan kata lain antar

administrasi publik dengan privat, termasuk 

organisasi nonprofit. Berbagai sektor tersebut 

saling memberikan dukungan satu sama lain

dalam rangka pelayanan publik yang menjadi

bagian dari misi pemerintah.Pengertian kemitraan sebagai kerja

bersama (working together) dikemukakan

oleh Hodget & Johson (2001:323) bahwa

kemitraan diarahkan untuk mencapai tujuan

sebagaimana yang diinginkan individu,

kelompok, lembaga atau organisasi untuk 

menghasilkan suatu keluaran yang bermakna

dan berkelanjutan. Dalam kemitraan terjadi

relasi antarorganisasi dan dengan relasi

tersebut akan tercipta kerja sama. Sistemkemitraan bertumpu pada kepercayaan.

dengan ciri-ciri-nya, antara lain: (I) persamaan

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati93

Page 18: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 18/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

dan organisasi yang lebih landai: (2) hierarki

aktualisasi yang luwes (di mana kekuasaan

dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan

caretaking); (3) spiritualitas yang berbasis

alamiah; (4) tingkat kekacauan yang rendah

yang terbentuk dalam sistem; dan (5) persa-

maan dan keadilan gender.Masa sekarang model komando dan

kontrol ini selain tidak sesuai lagi, juga makin

menjadi tidak berlaku. Kekakuan birokrasi

bersifat mematikan organisasi yang berke-

hendak mengarahkan secara efektif di ling-

kungan yang cepat berubah di mana inovasi

dan fleksibilitas merupakan faktor-faktor

kunci. Di dalam sistem kemitraan, kreativitas

sangat bernilai dan dihargai. Kreativitas

kemitraan tidak mengecualikan perubahan-perubahan kreatif yang dramatis, sistem

tersebut juga mendorong hubungan-hubu-

ngan kreatif dan pendekatan-pendekatan

kreatif terhadap masalah-masalah sehari-hari.

Kreativitas sehari-hari dalam organisasi dapat 

mendorong perbaikan terus menerus dan

perbaikan kualitas, seperti praktik manajerial

baru, penghargaan baru, proses pendidikan

baru, bagan organisasi baru dan sebagainya.

Jika organisasi dirancang dengan pemiki-

ran sistemik, perbaikan hidup dan prinsip-

prinsip kemitraan, maka diperlukan pergese-

ran mendasar dalam cara orang berpikir dan

merancang organisasi. Disamping itu organi-

sasi memerlukan jenis kreativitas yang perlu

dijaga dan didorong oleh model kemitraan:

perlindungan yang luas dan belum begitu

dimanfaatkan dari kreativitas sosial dan

kewirausahaan sosial.

Kemitraan berusaha melibatkan masyara-

kat, baik dalam bentuk kelompok maupun in-dividual. Vigoda (2002:527) menyebut 

mereka sebagai “social players” yang memiliki

tingkatan kepentingan, keahlian, sumberdaya

dan kemampuan pengambilan keputusan yang

bervariasi. Vigoda menyoroti kondisi ideal

dari proses kemitraan di mana masyarakat 

sebagai warga negara dan pemerintah seba-

gai penanggung jawab pemerintahan

bertindak sebagai sepasang “ partner ” dalam

proses pengambilan keputusan. Khususnyadalam proses pemberian pelayanan, warga

negara harus diperlakukan sebagai rekan

kerja, dan bukan sebagai subjek atau

pelanggan.

Kemitraan dalam perspektif hubungan

antarorganisasi masa kini dikemukakan oleh

Limerick dan Cunnington (1993:6). Menurut 

keduanya, ada delapan sebagai respon

terhadap dunia yang selalu berubah. Ke-delapan dimensi tersebut adalah:

Managing global market;

Building new kind of alliance between

the public and private sector;

Balancing competition with

collaboration;

Drawing investors into corporate

environment;

 Accepting corporate responsibility;

designing new form of organizations; Integrating sub cultures;

Turning every employee into the new 

millennium.

Salah satu dari delapan dimensi tersebut 

adalah mendesain bentuk baru organisasi.

Desain bentuk baru organisasi tersebut di-

arahkan kepada perubahan-perubahan

beberapa karakteristik. Pertama, organisasi

bergerak dari bentuk independen ke inter-

dependen. Kedua, organisasi bergerak dari

organisasi khierarkis ke organisasi networks.

Ketiga, bergerak dari model partisipasi ke

budaya kemitraan (Taket and White, 2000:13).

Bentuk baru organisasi pada masa depan juga

terkait dengan peristilahan kemitraan dalam

pelayanan publik. Pada bidang publik,

kemitraan mengacu pada situasi saling

memberi dukungan antar organisasi dalam

rangka pelayanan publik. (Taket and White,

 2000:14). Hal ini dicirikan oleh karakteristik berikut:

Sekurang-kurangnya ada dua lembaga

yang berbeda, sektor publik dengan

 private atau sektor nonprofit.

Adanya perjanjian tertulis untuk 

menentukan kerangka kemitraan.

Adanya tujuan (pada umumnya

penyelenggaraan pelayanan publik).

Adanya pembagian tanggung jawab

yang terdiri dari pembagian risiko,sumber daya, biaya, dan manfaat, baik 

yang bersifat tangible maupun intangible.

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati94

Page 19: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 19/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Dari definisi ini, unsur-unsur kemitraan

dapatlah disebutkan sebagai berikut: kesu-

karelaan, kerja sama, upaya ke arah pem-

bangunan berkelanjutan, alokasi yang efisien

atas sumber daya komplementer yang dicu-

rahkan, serta keterlibatan sektor perusahaan,

kelompok masyarakat sipil dan pemerintah.Kalau keseluruhan unsur tersebut muncul,

maka potensi bagi penyelenggaraan program

pembangunan yang unggul memang sudah

memadai.

Tujuan dan manfaat dibentuknya kemi-

traan adalah untuk mencapai hasil yang lebih

baik, dengan saling memberikan manfaat 

antar pihak yang bermitra, Hafsah (2000:54-

62) mengemukakan mengenai manfaat yang

dapat diperoleh dalam kemitraan, beberapadiantaranya yaitu:

Kemitraan dapat meningkatkan

produktivitas organisasi;

Kemitraan dapat membantu organisasi

mencapai tujuan dengan lebih efisien;

Kemitraan mengurangi beban risiko

yang ditanggung oleh organisasi dengan

membaginya;

Kemitraan memberikan dampak sosial

yang besar.

Ada beberapa persyaratan bagi keberha-

silan kerja kemitraan yang melibatkan

kepentingan semua pihak yang terlibat, yaitu

badan-badan dan departemen pemerintah dan

masyarakat setempat sendiri. Bryden, et al,

(1998) mengajukan pedoman terselenggara-

nya proses ini, yang meliputi pelatihan semua

pihak yang terlibat, penggunaan secara hati-

hati bahasa yang digunakan ketika berin-

teraksi dengan orang-orang setempat, peng-

gunaan contoh-contoh dan penghubung,akuntabilitas dan kepemerintahan yang

terbuka, menjabarkan tujuan-tujuan ke dalam

tugas-tugas yang mudah dicapai, pesta

keberhasilan, menjaga masyarakat setempat 

sadar informasi, dan adaptasi secara terus-

menerus untuk menghadapi perubahan-

perubahan dan kebutuhan-kebutuhan baru.

Pada pihak lain, Agranoff dan Mc Guire

(2004, 183) menambahkan perlunya kepemi-

mpinan dan kemampuan memandu, sebabpengelolaan networks bukan sekedar konsen-

sus atau suatu tindakan yang diambil bersama

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati95

tetapi juga dukungan ide atas kon-sensus dari

organisasi masing-masing.

Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyara-

kat (Public Private Community Partnership)

merupakan suatu model kemitraan yang dida-

sarkan pada kerangka penyedia terbaik (Best 

Sourcing). Dengan kerangka Best Sourcingtersebut pemerintah dapat mendorong sektor

swasta-masyarakat untuk terlibat dalam

memberikan pelayanan publik tertentu yang

mana hal itu akan lebih meningkatkan efisiensi

dan efektivitas pelayanan (value for money ) dan

memberikan win-win solution baik bagi pe-

merintah, pihak swasta maupun masyarakat.

C. POLA KEMITRAAN PEMERINTAH,

SWASTA DAN MASYARAKAT

Jika mengacu pada teori barang publik,

maka pada dasarnya pelayanan publik 

merupakan tanggungjawab pemerintah dalam

menyediakannya, sedangkan untuk barang

privat sektor swastalah yang menyediakan.

Namun dalam kenyataannya terdapat be-

berapa barang campuran, yaitu barang semi

publik (quasi public goods) dan semi privat 

(quasi private goods). Pelayanan publik 

meliputi penyediaan barang publik murni,

semi publik, dan semi privat. Untuk kategori

barang campuran ini, baik sektor publik 

maupun swasta dapat sama-sama menyedia-

kan. Oleh karena itu untuk meningkatkan

efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,

pemerintah daerah dapat melakukan program

kemitraan dengan sektor swasta ( public pri-

vate partnership) atau bisa juga bekerjasama

dengan sektor ketiga yaitu dengan organisasi

nonprofit dan LSM (Mardiasmo, 2004).Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci

membagi fungsi pelayanan publik ke dalam

bidang-bidang sebagai berikut:

Pendidikan.

Kesehatan.

Keagamaan.

Lingkungan: tata kota, kebersihan,

sampah, penerangan.

Rekreasi: taman, teater, musium,

turisme. Sosial.

Perumahan.

Page 20: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 20/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

sedangkan organisasi swasta mengerja-

kan pelayanan yang diserahkan kepada

pihak luar oleh sektor publik. Sektor

swasta harus menentukan pelayanan

publik yang sesuai dengan biaya dan pela-

yanan tersebut harus sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan oleh sektorpublik. Secara umum, pemerintah meng-

gunakan prosedur kompetitif untuk 

memilih pihak yang menyelenggarakan

service contract. Pembelian tersebut 

harus didasarkan pada waktu pelaksa-

naan yang lebih singkat dan yang membu-

tuhkan sumberdaya yang sedikit (Bennet 

dalam Suhartono, 2005: 74).

2. Bangun-Transfer-Operasi(Build-Oper-ate-Transfer )

Build-Operate-Transfer Contract  (BOT)

didesain untuk membawa investasi sektor

swasta membangun infrastruktur baru.

Pada BOT, sektor swasta akan memba-

ngun, membiayai, dan mengoperasikan

infrastruktur baru dan system baru yang

sesuai standar pemerintah. Periode ope-

rasi adalah cukup lama agar sektor swasta

dapat menerima kembali biaya-biaya

konstruksi dan mendapatkan keuntungan.

Jangka waktu operasi tersebut adalah 19-

20 tahun. Setelah periode operasi selesai,

seluruh infrastruktur diserahkan kepada

pemerintah (Bastian, 2001). Pemerintah

berkedudukan sebagai pemilik fasilitas

infrastruktur, sekaligus menjadi konsu-

men dan regulator dari pelayanan terse-

but (Bennet dalam Suhartono, 2005: 75).

3. Wrap Around AdditionKemitraan bentuk  Wrap Around Addition

merupakan kerjasama antara pemerintah

daerah dengan swasta yang dalam hal ini

partner swasta mendanai dan membangun

tambahan fasilitas publik yang tersedia.

Partner swasta juga mengoperasikannya

sampai tenggang waktu tertentu sampai

dengan modal partner swasta kembali

ditambah keuntungan yang diinginkannya.

Kemitraan jenis ini dapat diaplikasikanpada hampir seluruh infrastruktur dan

fasilitas publik termasuk jalan, air bersih,

1. Operasi–Pemeliharaan

(Operation–Maintenance)

Pada Operation–Maintenance, sektor

publik menyewa sebuah organisasi

swasta untuk mengerjakan satu atau lebih

tugas atau pelayanan publik selama limasampai tujuh tahun. Sektor publik masih

sebagai penyedia pelayanan yang utama

96Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati

Pemakaman/krematorium.

Registrasi penduduk: kelahiran,

kematian.

Air minum.

Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor,

sertifikat, dll.

Di dalam pelaksanaannya komposisi

kemitraan yang disarankan kepada otoritas

lokal terdiri dari (Chapman dalam Sumartono,

2008) :

Lembaga-lembaga pemerintah

Otoritas lokal

Bisnis swasta dan organisasi-organisasi

komersial

Kelompok-kelompok masyarakat 

Organisasi-organisasi lingkungan Kelompok-kelompok sukarela, dan

Individu-individu pribadi.

Bentuk kerjasama pemerintah dengan

swasta/masyarakat bisa berupa kontrak 

kerja, tender penyediaan barang atau jasa,

atau bisa juga berupa Business Process

Outsourcing (OECD, 2001). Model kemitraan

yang dapat diadopsi antara lain:

Sumber: Mahmudi, 2007:55 

Gambar 1.Hubungan Kemitraan Sektor Publik, Sektor Swasta dan

Sektor Ketiga (Masyarakat)

Page 21: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 21/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati97

pengolahan limbah dan lain sebagainya

(Mahmudi, 2007:57).

4. Sewa-Beli (Leasing)

Sewa-Beli merupakan jenis kemitraan

yang dalam hal ini pemerintah daerah

melakukan kontrak kepada partnerswasta untuk melakukan desain, pembia-

yaan, dan membangun fasilitas untuk 

layanan publik. Partner swasta kemudian

menyewakan kepada Pemda sampai den-

gan kepemilikan fasilitas menjadi milik 

pemerintah. Hal ini dilakuan ketika Pemda

ingin menyediakan fasilitas layanan akan

tetapi tidak bersedia memberikan penda-

naan. Sewa-Beli dapat digunakan untuk 

pembangunan modal seperti gedung, ar-mada kendaraan, air bersih dan penye-

diaan fasilitas komputer (Mahmudi,

2007:58).

5. Pelayanan Berbasis Masyarakat 

(Community-Based Provision)

Community-based provision berawal ke-

tika keterbatasan keuangan menghadang

pemerintah untuk memberikan pelayanan

yang cukup untuk masyarakat. Commu-

nity-based provision mendorong anggota

masyarakat untuk memenuhi kebutu-

hannya sendiri. Anggota dari Community 

based provision meliputi individual,

keluarga atau perusahaan dalam ruang

lingkup mikro. Seringkali beberapa

aktivitas tidak dapat diakui dan tidak dapat 

terintegrasi dalam system yang formal. Di

beberapa kota dimana pemerintah

mengakui adanya NGO, NGO akan mem-

berikan bantuan pada  group non-formalini secara terorganisir. NGO menyediakan

input untuk proses manajemen media

negosiasi antara CBO dengan lembaga

politik yang lebih luas, jaringan kerja, dan

penyebaran informasi (Bennet dalam

Suhartono, 2005:78)

Bila model kemitraan ini diterapkan,

setidaknya terdapat tujuh kemungkinan pola

interaksi kemitraan;  pertama, seratus persenpengaturan, kontrol dan evaluasi dilakukan

pemerintah secara otonom dan mandiri.

Kedua, ada interaksi antara sektor publik dan

sektor swasta. Interaksi ini terjadi pada derajat 

yang berbeda, bisa 99% publik dan 1% swasta

atau sebaliknya 1% publik dan 99% swasta.

Ada elemen-elemen yang contracting out 

(misalnya perawatan kendaraan, kebersihan)

atau pembagian tugas (tindakan preventif danpembangunan saluran hidran).

Ketiga, dimungkinkan 100% peran sektor

swasta, dengan tidak melibatkan masyarakat 

dan pemerintah, artinya penyediaan pelaya-

nan sepenuhnya dikelola swasta, dengan tidak 

ada keterlibatan pemerintah baik pada regu-

lasi maupun penyediaan fasilitas.

Keempat , ada interaksi antara pemerintah

dan masyarakat. Pegawai fasilitas pelayanan,

misalnya, merupakan kombinasi antara tenagaprofesional pemerintah dan sukarelawan

masyarakat.

Kelima, urusan pelayanan publik 100%

menjadi urusan masyarakat. Tidak ada

organisasi pemerintah maupun swasta yang

telibat dalam perencanaan, pengadaan, dan

penanganan masalah tersebut.

Keenam, kombinasi antara organisasi

swasta yang berorientasi pada profit dengan

LSM yang non profit. Lembaga penyedia

pelayanan mungkin ditangani swasta, tetapi

dikombinasikan dengan tenaga profesional

dan warga masyarakat. Yang terakhir meru-

pakan kombinasi dari tiga pilar  governance:

pemerintah (publik), swasta, dan masyarakat.

Kombinasi tersebut sama dengan interaksi

antara pemerintah-swasta ( public-private)

tetapi dengan tambahan tenaga sukarelawan

dari masyarakat (Paskarina, 2007:8).

Setiap bentuk kemitraan, masing-masing

mengandung potensi keuntungan dan ke-rugian. Oleh karena itu, perencanaan yang

baik, manajemen risiko, dan penilaian men-

dalam tentang skema kemitraan mutlak harus

dilakukan agar pemerintah tidak dirugikan

yang pada akhirnya masyarakatlah yang

dirugikan.

D. KEMITRAAN SEBAGAI PERWUJUDAN

GOOD GOVERNANCE  DALAM

PELAYANAN PUBLIK 

Harus diakui bahwa penerapan sistem

Page 22: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 22/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Wilson memperkenalkan bidang studi terse-

but kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama

itu  governance hanya digunakan dalam

konteks pengelolaan organisasi korporat dan

lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang

 governance yang baru muncul sekitar bebe-

rapa tahun belakangan ini, terutama setelahberbagai lembaga pembiayaan internasional

mempersyaratkan  good governance dalam

berbagai program bantuannya. Oleh para teo-

ritisi dan praktisi administrasi negara Indo-

nesia, term good governance diterjemahkan

menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang

amanah, tata kepemerintahan yang baik,

pengelolaan pemerintahan yang baik dan

bertanggunjawab, ada juga yang mengartikan

secara sempit sebagai pemerintahan yangbersih (Sofyan Efendi, 2005:2).

Perbedaan paling pokok antara konsep

 government  dan  governance terletak pada

bagaimana cara penyelenggaraan otoritas

politik, ekonomi dan administrasi dalam

pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep

 government  berkonotasi bahwa peranan

pemerintah yang lebih dominan dalam

penyelenggaran berbagai otoritas negara.

Sedangkan dalam  governance mengandung

makna bagaimana cara suatu bangsa mendis-

tribusikan kekuasaan dan mengelola sumber-

daya dan berbagai masalah yang dihadapi

masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep

 governance terkandung unsur demokratis,

adil, transparan, rule of law , partisipatif dan

kemitraan (Sofyan Efendi, 2005:2).

Kemudian secara implisit kata good dalam

 good governance sendiri mengandung dua

pengertian;  pertama, nilai yang menunjung

tinggi kehendak rakyat dan nilai yang mening-katkan kemampuan rakyat dalam mencapai

tujuan kemandirian dan keadilan sosial. Kedua,

aspek fungsional dari pemerintahan yang

efektif dan efisien dalam pelaksanaan

tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut 

(Tjahjanulin Domai, 2005:6).

Prinsip-prinsip yang melandasi konsep

tata pemerintahan yang baik sangat bervari-

asi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu

pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai

landasan good governance, yaitu akuntabilitas,

kemitraan di Indonesia masih merupakan hal

yang baru dan belum banyak dipahami dengan

baik oleh para perumus kebijakan di daerah.

Akan tetapi dari beberapa kasus di daerah

yang telah berhasil menerapkannya, tampak 

bahwa sistem kemitraan  bisa merupakan

terobosan bagi penciptaan mekanisme pela-yanan yang lebih berkualitas serta reformasi

birokrasi publik di Indonesia. Kemitraan

dalam pelayanan publik jelas sangat sesuai

dengan gagasan tata pemerintahan yang baik 

sebab prinsip dasar dari  governance adalah

keterlibatan tiga pihak dalam proses pelaya-

nan, yaitu pemerintah daerah, unsur-unsur

swasta, dan unsur-unsur masyarakat sebagai

pengguna jasa pelayanan.

Secara teoritis yang dikemukakanTascereu dan Campos (Thoha, 2003:63), tata

pemerintahan yang baik ( terjemahan  good 

 governance) merupakan suatu kondisi yang

menjamin adanya proses kesejajaran, kesa-

maan, kohesi dan keseimbangan peran serta,

adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh

komponen yaitu pemerintahan ( government ),

rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan

(business) yang berada di sektor swasta. Ketiga

komponen itu mempunyai tata hubungan

yang sama dan sederajat.

Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding

atau tidak terbukti maka akan terjadi pem-

biasan dari tata pemerintahan yang baik. Oleh

karena itu, dalam konteks  good governance,

pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator

atau katalisator, sementara tugas untuk mema-

jukan dan mengawal proses pelaksanaan

pembangunan terletak pada semua kompo-

nen negara, meliputi kelompok-kelompok  pri-

vate (dunia usaha) dan civil society  yangmeliputi kelompok-kelompok infrastruktur

politik (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM,

kelompok penekan, partai politik, Perguruan

Tinggi dan organisasi kemasyarakatan lain-

nya. Atas dasar tersebut, untuk mewujudkan

tata pemerintahan yang baik sesungguhnya

adalah bagaimana membangun kemitraan dan

komunikasi yang baik antara ketiga aktor

tersebut.

Istilah  governance sebenarnya sudahdikenal dalam literatur administrasi dan ilmu

politik hampir 120 tahun, sejak  Woodrow 

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati98

Page 23: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 23/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Selain itu juga, Good Governance yang efektif 

menuntut adanya koordinasi dan integritas,

profesionalisme serta etos kerja dan moral

yang tinggi dari ketiga pilar yaitu pemerintah,

masyarakat madani, dan pihak swasta.

Governancemengasumsikan banyak aktoryang terlibat dimana tidak ada yang sangat 

dominan yang menentukan gerak aktor lain.

Pesan pertama dari terminologi  governance

membantah pemahaman formal tentang be-

kerjanya institusi-institusi negara. Governance

mengakui dalam masyarakat terdapat banyak 

pusat pengambilan keputusan yang bekerja

pada tingkat yang berbeda. Menurut UNDP,

 governance atau tata pemerintahan memiliki

tiga domain yaitu (Sedarmayanti, 2009:270):a. Negara atau tata pemerintahan (state);

b. Sektor swasta atau dunia usaha dan

(private sector;)

c. Masyarakat (society).

Ketiga domain dalam Governance tersebut 

berada dalam kehidupan berbangsa, berne-

gara dan bermasyarakat. Sektor pemerinta-

han lebih banyak memainkan peranan

sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan

pengawasan. Sektor swasta lebih banyak 

berkecipung dan menjadi penggerak aktifitas

di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masya-

rakat merupakan objek sekaligus subjek dari

sektor pemerintahan maupun swasta. Karena

di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di

bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya

(Wasistiono, 2009:31).

Membangun, mewujudkan/menerapkan

 good governance, bukan hanya berupa masa-

lah perbaikan kondisi dan komitmen birokrasidan administrasi publik saja, tetapi juga

perbaikan kondisi dan komitmen dunia usaha

dan masyarakat yang memiliki berbagai

macam kelompok sosial dengan kondisi dan

kepentingan yang berbeda. Ketiga unsur

tersebut, yaitu pemerintah, dunia usaha dan

masyarakat harus secara bersama-sama/

mengadakan hubungan kemitraan berupaya

mewuudkan terlaksananya  good governance

( tata pemerintahan yang baik).Penyediaan pelayanan sosial dasar yang

bermutu oleh lembaga-lembaga yang kompe-

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati99

ten, bertanggung jawab dan akuntabel, sering

dipandang sebagai perwujudan dari tata

pemerintahan yang baik. Dalam tata peme-

rintahan, mutu pelayanan mencerminkan titik 

temu antara permintaan dan penawaran serta

menjadi faktor penentu peningkatan standar

dan kualitas hidup.Konsep kemitraan menjadi penting untuk 

didiskusikan, karena adanya kesadaran bah-

wa persoalan-persoalan pembangunan tidak 

dapat lagi dilihat hanya dari kepentingan dan

tanggung jawab satu kelompok saja. Pemba-

ngunan telah menjadi kesadaran baru sebagai

‘kerja patungan’ dan bukan sebagai ‘single

 fighter ’ dari pemerintah saja.

Pemerintah tidak mungkin lagi menger-

jakan semua urusan karena keterbatasandana dan sumber daya manusia, sehingga

kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak 

lain harus dilakukan agar kualitas pelayanan

publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan

tuntutan masyarakat. Keterbatasan sumber

daya yang dimiliki oleh pemerintah dalam

pelaksanaan pembangunan dan pelayanan

publik sementara tuntutan masyarakat ter-

hadap kualitas pelayanan publik semakin

meningkat. Sebagai suatu konsep, kemitraan

pemerintah-dunia usaha-masyarakat dipre-

diksi dapat meningkatkan kualitas pelayanan

publik.

E. KESIMPULAN

Kemitraan pemerintah, swasta, dan

masyarakat perlu dikembangkan agar penye-

diaan pelayanan publik menjadi lebih dekat 

dan mudah diakses masyarakat. Berbagai

model jejaring kemitraan perlu dikembangkantidak hanya untuk mengantisipasi tuntutan

pelayanan publik, tapi juga untuk menganti-

sipasi dominasi pemerintah atau pasar dalam

penyediaan barang dan jasa publik.

Dominasi pemerintah akan menciptakan

ketergantungan dan meminimalkan inovasi

serta posisi tawar masyarakat terhadap kuali-

tas pelayanan yang diberikan. Sebaliknya,

dominasi pasar dalam penyediaan public goods

akan menyebabkan monopoli yang eksploi-tatif dan meminimalkan akses masyarakat 

terhadap pelayanan publik yang berkualitas.

Page 24: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 24/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Karena itu, model jejaring kemitraan menjadi

alternatif untuk mengatasi kelemahan-

kelemahan tersebut agar pelayanan publik 

yang berkualitas menjadi lebih mudah diakses

masyarakat.

Di kota-kota seluruh dunia, pemerintah

telah menemukan bahwa keterlibatan tigadomain adminstrasi publik (pemerintah-

swasta-masyarakat) dapat meningkatkan

kualitas pelayanan publik, melalui penurunan

biaya dan perluasan cakupannya. Dengan pe-

layanan publik demikian dapat meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Agranoff, Robert., and Michael Mc Guire.2004. Collaborative Public Manage-

ment: New Strategies for Local Govern-

ment. Washington: Georgetown Uni-

versity Press

Borrini-Feyerabend, G. 1996. Collaboration

Management of Protected Area: Tailor-

ing the Approach to the Context . Social

Policy Group IUCN. http://

www.iucn.org/ (download  12-1-2011)

Bryden, J.S.M., and Murphy, C. 1998. Evalua-

tion and Monitoring of the Loggan Com-

munity Forestry I  nitiative, Inception

Report and Final Refort. Scottish Office,

Edinburh. www.abdn.ac.uk/arkleton/

npp/parte

Eisler, R & Montuori, A. 2001. The Partnership

Organization: A System Approach. O.D.

Practitioner, Vol. 33, No. 2. http://www.bepress.com?article (download 

10-2-2011)

Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktek 

Pemerintahan dan Otonomi Daerah.

Jakarta: Trasindo.

Hodgett, S., and Johnson, D. 2001. Troubles,

Partnerships and Possibilities: A Study 

of the Making Belfast Work Develop-ment Initiative in Nerthern Ireland .

Journal Public Administration & Devel-

opment: Oct 2001; 21, 4; ABI/INFORM

Research. Pg 321-332

Larasati, Endang. 2008. Reformasi Pelayanan

Publik (Public Services Reform) dan

Partisipasi Publik. “ Dialogue” JIAKP, Vol.

5, No. 2, Mei 2008 : 254-267

Mahmudi. 2007. Kemitraan Pemerintah

Daerah dan Efektivitas Pelayanan

Publik. Jurnal Sinergi Kajian Bisnis dan

Manajemen Vol. 9 No. 1, Januari 2007

hal. 53 – 67

Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen

Keuangan Daerah. Yogyakarta:

Penerbit ANDI.

Paskarina, Carolina. 2007. Kemitraan

Pemerintah-Swasta dalam Pelayanan

Publik. Warta Bapeda: www.bapeda-

jabar.go.id

Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi

Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepe-

mimpinan Masa Depan (Mewujud-kan

Pelayanan Prima dan Kepemerin-tahan

 yang Baik. Bandung: Refika Aditama

Sofyan Efendi. 2005. Membangun Budaya

Birokrasi untuk Good Governance.

Lokakarya Reformasi Birokrasi. Jakarta:

Departemen Pemberdayaan Aparatur

Negara.

Suhartono. Ehrmann. 2005. Model-model Pub-

lic Private Partnership pada Sektor 

Pelayanan Air Bersih. Jurnal Akuntansidan Bisnis. Volume 5 No. 1 Pebruari

2005: 72-81

Sumartono. 2008. Kemitraan Pemerintah Desa

dengan Badan Perwakilan Desa dalam

Penyelenggaraan PemerintahanDesa.

Disertasi (Tidak Diterbitkan), UGM.

Taket & White. 2000. Partnership and Partici-

 pation, Decision Making in theMultiagency Setting. http://www.

tower.com/partnership-participation-

Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati100

Page 25: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 25/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

decision-making-in-multiagency-set-

ting-a-r-taket 

Tjahjanulin Domai. 2005. Dari Pemerintahan

ke Pemerintahan yang Baik . Jakarta:

Depdagri.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di Indo-

nesia. Jakarta: Raja Gravindo Persada

101Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :

Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati

Vigoda, Eran., 2002, From Responsiveness to

Collaboration: Governance, Citizens, and 

the Next Generation of Public Adminis-

tration, dalam Public Admi-nistration

Review , Vol. 62, No. 5, Hal. 527-540.

Wasistiono, Sadu. 2009. Kapita SelektaPenyelenggaraan Pemerintahan Dae-

rah. Bandung: Fokus Media.

*********

Page 26: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 26/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT 

Professional management of public services should be more goal-oriented paradigm of governance

that is based on a new management approach, both theoretically and practically. Simultaneously, a

 paradigm of governance goal is expected to eliminate practices that Weberian bureaucracy is negative as

hierarkhikal bureaucratic structures that result in operating cost is more expensive (high cost economy)

than the benefits gained, the prevalence of red tape, lack of initiative and creativity of the apparatus, the

 growth of culture mediokratis (as opposed to meritocratic culture) and in-efficiency. Therefore, institutions

of public service can be done by government and non-governmental organizations. If the government,

the organization of government bureaucracy is the forefront of the organization (street level bureaucracy)

related to public service. If the non-government, then shaped the organization of political parties, religious

organizations, nongovernmental organizations and civil society organizations to another. Anyone

 pelayanananya institutional forms, the most important thing is how to provide assistance and facilities to

the community in order to meet the needs and interests.

Keywords: Good Governance, Partnerships, Public Service.

 ABSTRAK 

Manajemen profesional pelayanan publik harus lebih berorientasi pada tujuan paradigma

pemerintahan yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru, baik secara teori maupun praktis.Secara bersamaan, paradigma dari tujuan pemerintahan diharapkan dapat menghilangkan praktek 

bahwa birokrasi Weberian adalah negatif seperti struktur birokrasi hierarkhikal yang menghasilkan

biaya operasional lebih mahal (ekonomi biaya tinggi) daripada manfaat yang diperoleh, prevalensi

birokrasi, kurangnya inisiatif dan kreativitas aparatur, pertumbuhan mediokratis budaya (sebagai lawan

dari budaya meritokratis) dan in-efisiensi. Oleh karena itu, institusi pelayanan publik dapat dilakukan

oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Jika pemerintah, organisasi birokrasi pemerintah adalah

garis depan organisasi (jalan birokrasi tingkat) terkait dengan pelayanan publik. Jika non-pemerintah,

kemudian membentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat 

dan organisasi masyarakat sipil yang lain. Siapapun pelayanananya bentuk kelembagaan, hal yang paling

penting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka

memenuhi kebutuhan dan kepentingan.

Kata kunci: Good Governance, Kemitraan, Pelayanan Publik.

102

MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL

DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK 

Jaelan UsmanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588

Page 27: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 27/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 A. PENDAHULUAN

Kecenderungan birokrasi dan birokrati-

sasi pada masyarakat modern benar-benar

memprihatinkan, sehingga digambarkan

adanya ramalan mengenai makin menggeja-

lanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa

lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan,

melainkan justru merupakan pertanda mala-

petaka dan bencana baru yang menakutkan

(Blau dan Meyer, 2000).

Menurut Siagian (1994), misalnya; me-

ngakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dici-

rikan oleh kecenderungan patologi karena

persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masa-

lah pengetahuan dan ketrampilan, tindakanmelanggar hukum, keperilakuan, dan adanya

situasi internal. Demikian juga Kartasasmita

(1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memi-

liki kecenderungan mengutamakan kepenti-

ngan sendiri (self serving), mempertahankan

status-quo dan resisten terhadap perubahan,

dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang

kemudian memunculkan kesan bahwa biro-

krasi cenderung lebih mementingkan prose-

dur daripada substansi, lamban dan meng-

hambat kemajuan.

Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di

kebanyakan negara berkembang termasuk 

Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik:

tidak efesien, tidak efektif (over consuming and 

under producing), tidak obyektif, menjadi

pemarah ketika berhadapan dengan kontrol

dan kritik, tidak mengabdi pada kepentingan

umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi

telah menjadi instrumen penguasa dan sering

tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif . Sebagaimana dijelaskan dalam

beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993;

Thaba, 1996; Fatah, 1998), birokrasi di Indo-

nesia ada kecenderungan berkembang kearah

“parkinsonian”, dimana terjadinya proses

pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran

struktur dalam birokrasi secara tidak 

terkendali.

Pemekaran yang terjadi bukan karena

tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu,

terdapat pula kecenderungann terjadinya

birokrasi “orwellian” yakni proses pertum-

buhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat,

sehingga kehidupan masyarakat menjadi

dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, biro-

krasi Indonesia semakin membesar (big bu-

reaucracy ) dan cenderung tidak efektif dan

tidak efesien. Kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu

melaksanakan kewenangan-kewenangan

barunya secara optimal.

Meskipun sudah menjadi gejala yang

sangat umum, ternyata pada setiap konteks

sistem budaya masyarakat, secara empirik 

birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola

perilaku yang beragam. Gejala demikian

menunjukkan bahwa birokrasi dan birokrati-

sasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk 

ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek 

kerjanya antara lain: Pertama, manusia

birokrasi tidak selalu berada (exist ) hanya

untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri

tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga,

birokrasi dirancang untuk semua orang.

Keempat , dalam kehidupan keseharian

manusia birokrasi berbeda-beda dalam

kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan seba-

gainya, sehingga mereka tidak dapat saling

dipertukarkan untuk peran dan fungsinya di

dalam kinerja organisasi birokrasi.

Demikian dapat ditegaskan, bahwa ada

kecenderungan bahwa beberapa indikator

birokrasi lebih Berjaya hidup di dunia barat 

daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipa-

hami, karena di dunia barat birokrasi telah

berkembang selama beberapa abad. Suatu

misal pada abad pertengahan dan seterusnya,

perkembangan birokrasi semakin dipacu dandi dukung oleh masyarakat industri. Oleh

karena rasionalitas birokrasi cenderung ber-

hubungan dengan gejala industrialisasi, maka

banyak negara yang bercita-cita masyarakat-

nya menjadi masyarakat industri dan menga-

dopsi model birokrasi rasional di dalamnya.

Namun demikian, bagi masyarakat yang

sedang berkembang tidak semua kemanfa-

atan birokrasi rasional dapat dipetik dan

dirasakan. Selain itu, birokrasi menghadapikrisis kepercayaan dari masyarakat, sehingga

kecaman dan pesimisme muncul karena

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman103

Page 28: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 28/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

banyak anggota masyarakat merasakan bah-

wa berbagai pola tingkah laku yang merupakan

kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengi-

kuti dan memenuhi tuntutan pembangunan

dan perkembangan masyarakatnya.

Islamy (1998), menyebutkan adanya kea-

daan birokrasi publik di sektor pemerintahan,pendidikan dan kesehatan dan sebagainya

berada dalam suatu kondisi yang dikenal

dengan istilah organizational slack yang ditan-

dai dengan menurunnya kualitas pelayanan

yang diberikannya. Masyarakat pengguna

pelayanan banyak mengeluhkan akan

lambannya penanganan pemerintah atas

masalah yang dihadapi dan bahkan mereka

telah memberikan semacam public alarm agar

pemerintah sebagai instansi yang palingberwenang, responsif terhadap semakin

menurunnya kualitas pelayanan kepada

masyarakat segera mengambil inisiatif yang

cepat dan tepat untuk menanggulanginya.

Lebih lanjut Islamy (1998), terdapat pel-

bagai faktor yang menyebabkan birokrasi

publik mengalami organizational slack  yaitu

antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan

yang kaku, visi pelayanan yang sempit, pengu-

asaan terhadap administrative engineering yang

tidak memadai, dan semakin bertambah

gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak 

difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan

dan penganggaran) yang cukup dan handal

(viable bureaucratic infrastructur e). Akibatnya,

aparat birokrasi publik menjadi lamban dan

sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak 

responsif terhadap aspirasi dan kepentingan

publik serta lemah beradaptasi terhadap

perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Sebagai konsekuensinya, perlu diperta-nyakan mengenai posisi aparat pelayanan

ketika berhadapan dengan masyarakat atau

kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat 

rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu

sendiri? Guna merespon kesan buruk 

birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melaku-

kan beberapa perubahan sikap dan perila-

kunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih

mengutamakan sifat pendekatan tugas yang

diarahkan pada hal pengayoman dan pelaya-nan masyarakat; dan menghindarkan kesan

pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b)

birokrasi perlu melakukan penyempurnaan

organisasi yang bercirikan organisasi modern,

ramping, efektif dan efesien yang mampu

membedakan antara tugas-tugas yang perlu

ditangani dan yang tidak perlu ditangani

(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat 

diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasiharus mampu dan mau melakukan perubahan

system dan prosedur kerjanya yang lebih ber-

orientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni

: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan

tetap mempertahankan kualitas, efesi-ensi

biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus

memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan

publik dari pada sebagai agen pembaharu

pembangunan; (e) birokrasi harus mampu

dan mau melakukan transformasi diri daribirokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi

organisasi birokrasi yang strukturnya lebih

desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

Bertitik tolok dari pandangan ini, dapat 

disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang

mampu memberikan pelayanan publik secara

efektif dan efesien kepada masyarakat, salah

satunya jika strukturnya lebih terdesentra-

lisasi daripada tersentralisasi. Dengan

struktur yang terdesentralisasi diharapkan

akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan

dan kepentingan yang diperlukan oleh

masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi

menyediakan pelayanannya sesuai yang

diharapkan masyarakat pelanggannya.

Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya

organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan

tenaga kerja atau aparat yang benar-benar

memiliki kemampuan (capabality), memiliki

loyalitas kepentingan (competency), dan

memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

Menyadari akan hal tersebut, maka untuk 

merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah

seharusnya segera menyediakan dan memper-

siapkan tenaga kerja birokrasi professional

yang mampu menguasai teknik-teknik mana-

jemen pemerintahan yang tidak hanya ber-

orientasi pada peraturan (rule oriented ) tetapi

juga pada pencapaian tujuan ( goal oriented ).

Menurut Johnson (1991), istilah ” profes-sional” dan “professionalisasi” , dapat ditinjau

dari beberapa sudut pandang. Pertama,

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman104

Page 29: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 29/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

dipergunakan untuk menunjuk pada peruba-

han besar dalam struktur pekerjaan, dengan

jumlah pekerjaan-pekerjaan professional,

atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white

collar jobs) yang meningkat secara relative

dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan

lainnya, baik sebagai akibat perluasan kelom-pok pekerjaan yang sudah ada ataupun seba-

gai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan

baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan

dalam arti yang hampir sama dengan pening-

katan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengu-

payakan adanya pengaturan rekrutmen dan

praktek dalam bidang pekerjaan tertentu.

Ketiga, memandang professionalisasi sebagai

suatu proses yang jauh lebih rumit yang

menunjuk pada suatu pekerjaan dengansejumlah atribut prinsip-prinsip professional

yang merupakan unsur-unsur pokok profe-

sionalisme. Keempat , menunjuk pada suatu

proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu

pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan

organisatoris yang dapat diramalkan menuju

bentuk akhir profesionalisme.

Terkait dengan penyelenggaraan peme-

rintahan, birokrasi sebagai ujung tombak 

pelaksana pelayanan publik mencakup ber-

bagai program-program pembangunan dan

kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.

Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang

dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-

tugas umum pemerintahan dan pembangunan

tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda

oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyele-

nggarakan tugas pemerintahan dan pemba-

ngunan (termasuk di dalamnya penyeleng-

garaan pelayanan publik) diberi kesan adanya

proses panjang dan berbelit-belit apabilamasyarakat menyelesaikan urusannya berkai-

tan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.

Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra

negatif yang tidak menguntungkan bagi per-

kembangan birokrasi itu sendiri (khususnya

dalam hal pelayanan publik).

B. STRATEGI PENDEKATAN

Strategi manajemen birokrasi profesionaldalam pelayanan publik ini ditandai dengan

beberapa karakteristik antara lain: Pertama,

perubahan yang besar pada orientasi

administrasi negara tradisional menuju ke

perhatian yang lebih besar pada pencapaian

hasil dan pertanggung jawaban pribadi

pimpinan. Kedua, keinginan untuk keluar dari

birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,

pegawai, masa pengabdian dan kondisi peker-jaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan organisasi

dan individu pegawai disusun secara jelas

sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok 

ukur prestasi lewat indikator kinerjanya

masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi

program-programnya. Keempat, staf pimpi-

nan yang senior dapat memiliki komitmen

politik kepada pemerintah yang ada, dan

dapat pula bersikap non partisan dan netral.

Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilailewat uji pasar (market test ) seperti misalnya

dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus

disediakan atau ditangani sendiri oleh

pemerintah. Keenam, mengurangi peran-

peran pemerintah misalnya lewat kegiatan

 privatisasi. Ketujuh, birokrasi harus steril dari

akomodasi politik yang menghambat efektivi-

tas pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan

penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari

kolusi, korupsi dan nepotism.

Penerapan pendekatan manajemen pro-

fesional pada sektor publik telah banyak di-

suarakan para pakar dengan berbagai label,

misalnya dengan nama “managerialism”  oleh

Pollitt (1990), “new public management ” oleh

Hood (1991), “market based public adminis-

tration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan

“entrepreneurial government/reinventing Gov-

ernment”  oleh Osborn dan Gaebler (1992).

Apapun label yang dipergunakan, yang jelas

pendekatan manajemen profesional ini telahmerubah orientasi fokus peran dan fungsi

birokrasi dalam pemerintahan yang semula

lebih mementingkan “process” menuju ke

“ product ”, atau dari “ rule governance” menuju

ke “ goal governance”.

C. KOMPARASI RULE GOVERNANCE  DAN

GOAL GOVERNANCE 

Perlu disadari bahwa, dalam perdebatanteoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule

 governance maupun goal governancememiliki

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman105

Page 30: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 30/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

segi kelemahan dan kelebihannya masing-

masing. Kelemahan rule governance, misalnya,

dianggap mempunyai penerapan peraturan

yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal ,

pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,

dan sebagainya, sehingga menjadikan biro-

krasi sebagai “mesin rasional ” yang mencip-takan perilaku aparat yang formal dan robotic

yang kurang peka terhadap nilai-nilai

kemanusiaan dan lingkungan sosialnya.

Akibat dari struktur birokrasi yang terlalu

rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifat-

nya disfungsional , in-efesiensi dan bahkan

konflik dengan masyarakat yang dilayani,

karena sifat impersonal aparat birokrasi

dalam memberikan pelayanan kepada masya-

rakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules)sebagai sarana untuk mencapai tujuan

seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri.

Kelebihannya, menunjukkan semakin ting-

ginya tertib administrasi yang dicapai oleh

birokrasi publik.

Adapun kelebihan  goal governance yaitu

meletakkan fokus utamanya pada “the achieve-

ment of result and taking individual responsi-

bility for their achievement ”. Tetapi ia juga

memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip

manajemen baru itu hendak diterapkan di

sektor publik. Misalnya, sampai sekarang

masih terjadi diskursus yang seru terhadap

10 prinsip dalam entrepreneurial government -

nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka

kemukakan dalam uraian yang sangat 

provokatif yaitu Reinventing Government .

Konsep pemerintahan entrepreneur 

Osborn dan Gaebler yang mencoba menemu-

kan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang

pemerintahan ternyata menurut Painter(1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus

kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep

pemerintahan entrepreneur  adalah bahwa ia

terlalu bias pada “new administrative values”

yang lebih banyak menitik beratkan pada

orientasi goal governance dengan meminggir-

kan nilai-nilai administrasi klasik yang

sebenarnya masih potensial yang berbasis

pada rule governance. Painter menyebutnya

bukannya reinventing government melainkanpemerintahan yang sudah dalam keadaan

tertinggal (abandoning government), karena

Osborn dan Gaebler sebenarnya telah meng-

hapus atau setidak-tidaknya telah membelot-

kan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua

nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu

padukan.

Kritik lain, misalnya dari Pollitt (dalam

Hughes, 1994) yang meragukan penerapanprinsip-prinsip entrepreneurship di sektor

publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang

melemahkan konsep tersebut dengan

mengatakan : “ First, the provider/consumer 

transactions in the public services tend to be

notably more complex than those faced by the

costumer in a normal market; and second, pub-

lic service consumers are never merely consum-

ers, they are always citizens too, and they has a

set of unique implications for the transactions” (Pertama, transaksi, provider/konsumer

dalam pelayanan publik cenderung berada

pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek 

daripada berhadapan dengan pelanggan di

pasar yang normal; Kedua, pengguna pelaya-

nan publik tidak hanya konsumer saja,

mereka juga termasuk warga negara lain, dan

mereka adalah bagian yang unik dari implikasi

suatu transaksi).

Sehubungan dengan itu, menurut Hughes

(1994) diperlukan adanya repositioning de-

ngan menyusun agenda kebijakan reformasi

administrasi Negara dengan mensinergikan

orientasi rule governance dan goal governance.

Hughes mengatakan: the best parts of the old 

model professionalism, impartiality, high ethi-

cal standards, the absence of corruption can

be maintained, along with the improved perfor-

mance a managerial model premises” (bagian

terbaik dari model profesionalisme lama

adalah sikap yang adil, standard etika yangtinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau,

bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran

model manajerialnya).

Memahami perdebatan persoalan tatanan

dan pertikaian (order and conflict ) seperti

diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-

politik sering membandingkannya dengan

perdebatan hubungan antara struktur  dengan

tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini,

Sharrock dan Watson (1988) mengemukakansebagai berikut ; “What is the relationship be-

tween structure and agency? The two seem

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman106

Page 31: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 31/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

inimical: structure apparently means givenness,

constraint, stability, whilst agency seemingly 

implies creativity, autonomy, fluidity. How, then,

do structure and agency relate in society: is it 

 primarily one or the other? Does emphasis on

structure marginalize or eliminate agency, does

emphasis on agency dispose of structure?”.Tampaknya, hubungan antara struktur

dengan tindakan cenderung digambarkan

sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering

digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekua-

tan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan

tindakan cenderung menampakkan daya cipta,

otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu, pen-

ting untuk diajukan pertanyaan. Manakah

yang lebih mendasar, struktur atau tindakan?

Benarkan bila penekanan diberikan kepadastruktur berarti menghilangkan atau meming-

girkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila

penekanan diberikan kepada tindakan berarti

membuang struktur begitu saja?

Benarkah bahwa tertib yang berlangsung

dalam birokrasi selalu bersifat impersonal?

Benarkan bahwa para pejabat birokrasi

hanya tunduk kepada suatu tatanan yang men-

jadi kiblat bagi segala tindakannya?. Mengapa

birokrasi cenderung bertindak berbeda pada

setting ruang dan waktu yang berbeda?

Apakah perubahan yang dilakukan oleh biro-

krasi sesuai dengan fungsi reformasi yang

dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah

sekedar formalitas sebagai kewajiban struktu-

ral yang cenderung statusquo; atau hanya

sebagai mesin alat penggerak untuk memanipu-

lasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada

kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy )?.

Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain

dapat dijawab melalui pandangan kelompok:aliran strukturalis, aliran strukural-konflik,

dan aliran strukturasi. Aliran strukturalis

(Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpanda-

ngan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah

sebagai fasilitas atau sumber sosial yang

dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama.

Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk 

memelihara ketertiban dan keseimbangan

dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai atribut 

utama dalam sistem sosial berwujud kepe-mimpinan yang bertanggung jawab, tetapi

juga berbentuk keputusan-keputusan yang

mengikat bagi semua golongan masyarakat.

Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya

tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan.

Atas dasar itu, menurut pandangan struk-

turalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah

selama masyarakat memang menghendakinya.

Kritik terhadap hampiran ini adalah karenakaum strukturalis terlalu menitik beratkan

pada struktur yang statis (statusquo) dengan

mengabaikan proses perubahan sosial yang

terjadi, serta ketidak mampuannya mengatasi

konflik secara efektif (Cohen, 1968; Gouldner,

1970; Abrahamson, 1978). Implikasi ham-

piran strukturalis ini terhadap fenomena

birokrasi profesional menunjukkan bahwa

perubahan tindakan birokrasi merupakan ge-

rakan moral masyarakat yang menghendakiadanya suatu perubahan paradigma kinerja

birokrasi.

Berbeda halnya dengan pandangan aliran

struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser,

dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini

justru melihat tindakan birokrasi sebagai

suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh

dominasi politik, eksploitasi sosial, dan per-

kembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai

dengan suasana paksaan (coercion) yang

menimbulkan intimidasi, propaganda dan

indoktrinasi. Dominasi sosial  ditandai dengan

supremasi golongan/ras/budaya yang

menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan

dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi

akibat ketimpangan distribusi alat produksi

antara kepentingan kelas borjuasi dengan

proletar.

Implikasi pandangan aliran strukturalis

konflik ini terhadap fenomena birokrasi

profesional menunjukkan bahwa perubahanparadigma yang dilakukan oleh birokrasi

justru akan menimbulkan konflik baru (new 

conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerin-

tahan dan kemasyarakatan.

Menurut aliran strukturasi Giddens (dalam

Baert, 1998), mencoba mencari hubungan

antara struktur  dan aktor. Kelompok struktu-

rasionis ini tidak memandang struktur dan

aktor atau agen sebagai dua hal yang

dikotomis sehingga menghasilkan dualismestruktur; sebaliknya dua hal tersebut saling

berhubungan secara dialektis dan kontinuum

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman107

Page 32: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 32/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

sehingga menghasilkan dualitas struktur .

Aktor atau agen menurut pandangan aliran

ini adalah partisipan yang aktif dalam meng-

konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya

menjadi tuan atas nasibnya sendiri.

Setiap tindakan manusia selalu mempunyai

tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin dandiam-diam memonitor apa yang sedang ia

lakukan, sebagaimana reaksi orang terhadap

tindakannya dan lingkungan dimana ia mela-

kukan aktivitas tersebut. Sedangkan struktur,

selain dapat membatasi aktivitas manusia

(constraining) tetapi juga memberikan

kebebasan bertindak (enabling) kepada

manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan

(birokrasi) sebagai simuka janus (the janus

 face of power ) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting,

terutama mengenai hubungan antara tinda-

kan manusia dan struktur. Dualitas struktur

menganalisis bagaimana tindakan-tindakan

aktor sosial diproduksi dan juga bagaimana

struktur secara terus menerus di reproduksi

dalam kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepan-

jang waktu dan ruang yang sangat luas.

Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik.

Beberapa kritik yang sering dikemukakan

terhadap aliran strukturasi antara lain : (a)

masih sedikitnya bukti empirik yang bisa

memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor

atau agen merubah struktur, tetapi justru

struktur merubah aktor atau agen; (b)

Giddens dipandang gagal menjelaskan feno-

mena konflik; (c) diragukan keaslian, keda-

laman, kejelasan analitik dan konsistensi

internalnya ( fallacy of perspectivism), karena

berasal dari pinjaman berbagai teori lain; dan

(d) dicurigai karena pendirian politiknyacenderung mendukung statusquo.

Implikasi hampiran strukturasi ini terha-

dap fenomena birokrasi professional diha-

rapkan akan berdampak positif dalam upaya

menciptakan kejelasan pembagian konsep

ruang publik ( public sphere) dan ruang priba-

di ( private sphere) dalam pembaharuan peru-

bahan orientasi tindakan birokrasi. Jawaban

teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan

untuk memancing wacana dan emosi parapembaca apakah strategi manajemen biro-

krasi profesional masih dimungkinkan untuk 

dilaksanakan atau tidak di Negara Republik 

Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-

puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik 

(best for the best ) seperti yang diharapkan

selama ini.

D. KESIMPULAN

Mencermati uraian terdahulu tentang

manajemen birokrasi profesional, kaitannya

dengan kecenderungan merosotnya pelaya-

nan publik di berbagai Negara-negara Dunia

Ketiga, termasuk Indonesia dapat disimpul-

kan bahwa, pada masa revolusi industri di

Eropa, profesionalisme yang demikian itu

sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan

fenomena historis yang sangat konteksual inisebagai suatu paradigma untuk masa kini

nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos.

Profesionalisme sejati telah memudar, dan

kaum professional seperti yang dapat kita

saksikan telah bertingkah laku money-

mindedness. Kemadirian mereka pun semakin

terdesak oleh birokratisasi pelayanan dan oleh

berbagai pengawasan. Betapa tidak, lembaga

profesionalisme telah mengalami banyak 

kemerosotan peran dalam masyarakat.

Secara garis besar simpulan yang ditarik 

untuk mengatasi persoalan kemunduran

birok-rasi dalam hal pelayanan publik sebagai

“solusi”  strateginya meliputi : (1) merubah

persepsi dan paradigma birokrasi mengenai

konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan

publik yang lebih mengutamakan kepentingan

publik dan pelayanan publik dibanding de-

ngan kepentingan penguasa atau elit tertentu;

(3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat 

harus merupakan all together  yang sinergi;(4) adanya peraturan daerah yang mampu

menjelaskan standar minimal pelayanan

publik dan sanksi yang akan diberikan; (5)

adanya mekanisme pengawasan sosial yang

jelas mengenai pelayanan publik antara

birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6)

adanya kepemimpinan yang kuat dalam melak-

sanakan komitmen pelayanan publik; (7) ada-

nya pembaharuan di bidang sistem adminis-

trasi publik; dan (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment)

secara terus menerus dan demokratis.

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman108

Page 33: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 33/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

109

*********

Manajemen Birokrasi Profesional 

Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman

DAFTAR PUSTAKA

Baert, Patrick, 1998, Social Theory Twentieth

Century , Cambridge : Polity Press.

Bevir, Mark, 2011, “Democratic Governance:

A Genealogy”, Local Government Stud-ies, Vol. 37(1), February 2011, (pp 3–

17)

Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000,

Birokrasi Dalam Masyarakat Modern,

Terjemahan, Jakarta : Prestasi

Pustakaraya.

Chisholm, M., 2010, “Emerging Realities Of 

Local Government Reorganisation”, Pub-lic Money Management , 30, (pp. 143–

150)

Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of 

Society , Cambridge : Polity Press.

Hariandja Denny, BC, 1999, Birokrasi Nan

Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde

Baru, Yogyakarta: Kanisius.

Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (ed),

1994, The Post Bureaucratic Organi-

 zation: New Perspectives on Organi-

 zational Change, London, New Delhi :

Sage Publications.

Henderson, Keith M, and Dwivedi,O.P, 1999,

Bureaucracy and The Alternatives in

World Perspective, London : Macmilland

Press Ltd.

Kaisiepo, Manuel, 1987, “Dari Kepolitikan

Birokratik ke Korporatisme Negara:

Birokrasi dan Politik Indonesia”, Jurnal

Politik 2, Jakarta : Gramedia.

Osborn, David and Gaebler, Ted, 1996,

Mewirausahakan Birokrasi: Reinvent-

ing Government, Mentransformasi

Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor

publik, Jakarta : Pustaka Binaman

Pressindo.

Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2000,

Memangkas Birokrasi: Lima Strategi

Menuju Pemerintahan Wirausaha,

Jakarta : PPM.

Putra, Fadillah dan Arif, Saiful, 2001,

Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinven-

ting Government Osborne Gaebler,

Yogyakarta : LKiS.

Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerin-

tah Orde Baru, Perspektif Kultural dan

Struktural, Jakarta, Raja Grafindo

Persada.

Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi: Tinjauan

dari Aspek Politik dan Administrasi,

Bekasi : Gugus Press.

Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis,

Identifikasi Dan Terapinya, Jakarta :

Ghalia Indonesia.

Sumoprawiro, Hariyoso,2002, Pembaruan

Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik,

Jakarta : Peradaban.

Tjokrowinoto, Moeljarto,2001, Birokrasi

dalam Polemik, Saiful Arif (editor),

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor),

1999, Menyoal Birokrasi Publik,

Jakarta : Balai Pustaka.

Page 34: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 34/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

Educational services in schools is part of the community and the public school. Service quality is

a product and or services in accordance with established quality standards and customer satisfaction.Quality in education include the quality of input, process, output, and outcome. Input-grade education

when it is ready to proceed otherwise. The process of quality education to create an atmosphere

where learning is active, innovative, creative, effective, dan fun. Output otherwise qualified if the

learning outcomes of academic and non academic students achieving at least equal to the minimum

completeness criteria specified. Outcome graduates expressed significantly faster when absorbed in

the world of work, fair wages, all parties acknowledge and satisfied with the intelligence, skill,

 personality. Government's efforts to service and qual ity of education is the use of School-Based 

Management (SBM) is accompanied by the determination of output criteria, processes, and 

educational input at school. Expected Output school student achievement / school both academic

and non academic generated meets the specified criteria. (2) process, ie, among others: the

effectiveness of teaching and learning process, schools have the teamwork of a compact, intelligent 

and dynamic, the school has the authority (autonomy), school evaluation and continuous

improvement, (3) input, ie, among other : the school has: policies, goals, and quality objectives are

clear, available resources, feasible, and highly dedicated.

Keywords: Education Services, The Quality of Education

Pelayanan pendidikan di sekolah adalah bagian dari masyarakat dan sekolah umum. Kualitas layanan

adalah produk dan atau jasa sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan dan kepuasan pelanggan.

Kualitas dalam pendidikan termasuk kualitas input, proses, output, dan hasil. Input-kelas pendidikan

bila sudah siap untuk melanjutkan sebaliknya. Proses pendidikan yang berkualitas untuk menciptakan

suasana di mana pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan Dan. Keluaran dinyatakanmemenuhi syarat jika hasil belajar siswa akademik dan non akademik mencapai paling tidak sama

dengan kriteria kelengkapan minimal yang ditetapkan. Lulusan Hasil mengungkapkan secara signifikan

lebih cepat ketika diserap di dunia kerja, upah yang adil, semua pihak mengakui dan puas dengan,

keterampilan kepribadian kecerdasan,. Upaya Pemerintah untuk pelayanan dan kualitas pendidikan

adalah penggunaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) disertai dengan penentuan kriteria output,

proses, dan input pendidikan di sekolah. Keluaran sekolah diharapkan prestasi siswa / sekolah dihasilkan

akademik baik akademis dan non memenuhi kriteria yang ditentukan. (2) proses, yaitu, antara lain:

efektivitas proses belajar mengajar, sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis,

sekolah memiliki kewenangan (otonomi), evaluasi sekolah dan perbaikan terus-menerus, (3) input,

yaitu, antara lain: sekolah memiliki: kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, sumber daya yang

tersedia, layak, dan berdedikasi tinggi.

Kata kunci: Pendidikan Layanan, Kualitas Pendidikan

110

BUDAYA MUTU DALAM

PELAYANAN PENDIDIKANMuhammad Basri

Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588

Page 35: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 35/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 A. LATAR BELAKANG

Pelayanan dasar atau pelayanan minimun

menurut jenisnya adalah: (1) pelayanan

kewargaan, (2) pelayanan kesehatan, (3)

pelayanan pendidikan, dan (4) pelayanan

ekonomi. Dalam bidang pendidikan, upayapemerintah dalam rangka terciptanya pela-

yanan pendidikan yang baik diwujudkan

dalam aturan hukum antara lain: (1) Undang-

Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 menyata-

kan pengelolaan satuan pendidikan anak usia

dini, pendidikan dasar, dan pendidikan

menengah dilaksanakan berdasarkan standar

pelayanan minimal dengan prinsip Manaje-

men Berbasis Sekolah/Madrasah; (2) Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program

Nasional tahun 2000-2004 pada Bab VII

tentang Bagian Program Pembangunan

Bidang Pendidikan, khususnya sasaran ketiga

yaitu terwujudnya manajemen pendidikan

yang berbasis pada sekolah dan masyarakat 

(school/community based management); (3)

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.

44 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan

Pendidikan dan Komite Sekolah, (4) Kepmen-

diknas No.087 tahun 2004 tentang Standar

Akreditasi Sekolah, (5) Peraturan Pemerintah

No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Pendidikan (Diknas, 2007:3-4), (6) Kepmen-

diknas No.129a/U/2004 tentang Standar

Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Bab 1

pasal 1 menyatakan bahwa Standar Pelayanan

Minimal (SPM) bidang pendidikan adalah tolok 

ukur kinerja pelayanan pendidikan yang

diselenggarakan oleh Daerah.

Pasal 3 ayat 2 menyatakan: StandarPelayanan Minimal (SPM) Sekolah Menengah

Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

terdiri atas: (a) 90 persen anak dalam kelom-

pok usia 13-15 tahun bersekolah di SMP/MTs,

(b) anak putus sekolah (APS) tidak melebihi

satu persen dari jumlah siswa yang berseko-

lah, (c) 90 persen sekolah memiliki sarana dan

prasarana minimal sesuai dengan standar

teknis yang ditetapkan secara nasional, (d) 80

persen sekolah memiliki tenaga kependidikannon guru untuk melaksanakan tugas adminis-

trasi dan kegiatan non mengajar lainnya, (e)

90 persen dari jumlah guru SMP/MTs yang

diperlukan terpenuhi, (f) 90 persen memiliki

kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang

ditetapkan secara nasional, (g) 100 persen

siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap

setiap mata pelajaran, (h) jumlah siswa SMP/

MTs per kelas antara 30-40 siswa, (i) 90 per-sen dari siswa yang mengikuti ujian sampel

mutu pendidikan standar nasional mencapai

“nilai memuaskan” dalam mata pelajaran Baha-

sa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA,

dan IPS di kelas I dan II, (j) 70 persen dari

lulusan SMP/MTs melanjutkan ke Sekolah

Menengah Kejuruan (Diknas, 2005:10).

Di beberapa negara, upaya pelayanan

pendidikan diwujudkan dengan penetapan

batasan wajib belajar terhadap warganya.Bersumber dari Unesco Statistical Yearbook,

RRC menetapkan umur 7-15 tahun, Korea

Selatan sama dengan Jepang masing-masing

6-15 tahun, dan Amerika Serikat 6-16 tahun,

dan Indonesia wajib belajar warganya umur

7-15 tahun (Wijaya, 1999:4).

The Worldalmanac and Book of Fact 2000

melaporkan hasil pelayanan pendidikan

berdasarkan persentase penduduk yang

mampu baca tulis pada beberapa negara-

negara: Indonesia mencapai angka 84 persen,

RRC 82 persen, Korea Selatan 98 persen,

Jepang 100 persen, dan Amerika Serikat 97

persen (Wijaya,1999:4). Muhtifah (tanpa

tahun) mengemukakan bahwa hasil pelaya-

nan pendidikan Human Development Index 

(Indeks Pengembangan Manusia), prestasi

siswa anak Indonesia hanya mampu mengua-

sai 30 persen dari materi bacaan dan sulit 

sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian

yang memerlukan penalaran. Studi Interna-tional Association of Educational Achievement ,

tahun 1992 menyatakan bahwa keterampilan

membaca siswa kelas IV SD di Indonesia hanya

51,7, sementara siswa SD di Hongkong

mencapai 75,5, Singapura; 74,0, Thailand;

65,1, dan Filipina 52,6.

The Third International Mathematic and 

Science Study-Repeat-TIMSS-R, tahun 1999

menemukan prestasi siswa SLTP kelas 2 di

Indonesia diantara 38 negara peserta, Indo-nesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan

ke-34 untuk Matematika. Balitbang tahun

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri111

Page 36: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 36/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

2003 menunjukkan data ubahwa dari 146.052

SD di Indonesia ternyata hanya ada delapan

yang mendapat pengakuan dunia dalam

kategori The Primary Years Program (PYP).

Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya ada dela-

pan SMP yang mendapat pengakuan dunia

dalam kategori The Middle Years Program(MYP), dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah

yang mendapat pengakuan dunia dalam

kategori The Diploma Program (Basuki, 2010).

Salah satu yang diharapkan diterima oleh

masyarakat dari sekolah adalah mutu pendi-

dikan yang baik sebagabukti hasil pelayanan.

Dalam hal tersebut, Jalal dan Supariadi

(2001:88) menyatakan bahwa terdapat tiga

aspek yang dapat memberikan jaminan mutu

pendidikan yaitu: kompetensi, akreditasi, danakuntabilitas.

B. PELAYANAN PENDIDIKAN SEBAGAI

PELAYANAN PUBLIK 

Sinambela (2008:5) memberikan definisi

pelayanan publik sebagai pemenuhan keingi-

nan dan kebutuhan masyarakat oleh penyele-

nggara negara. Negara didirikan oleh publik 

(masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Undang-undang RI No. 25 Tahun 2009 pasal

1 ayat 1 berbunyi: pelayanan publik adalah

kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan

kebutuhan perundang-undangan bagi setiap

warga negara dan penduduk atas barang, jasa

dan/atau pelayanan administratif yang disedia-

kan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Layanan pendidikan di sekolah sebagai

layanan publik dinyatakan dalam pasal 5 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan

publik yang selengkapnya berbunyi: ruang

lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat 2

meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan

dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan

informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jami-

nan sosial, energi, perbankan, perhubungan,

sumberdaya alam, pariwisata, dan sektor

strategis lainnya.

Tuntutan masyarakat adalah layanan yangberkualitas atau layanan yang bermutu.

Usman, (2008:479) menyatakan bahwa mutu

adalah produk dan atau jasa yang sesuai

dengan standar mutu yang telah ditetapkan

dan memuaskan pelanggan. Mutu dibidang

pendidikan meliputi mutu input, proses, output ,

dan outcome. Input  pendidikan dinyatakan

bermutu jika siap berproses. Proses pendi-

dikan bermutu apabila mampu menciptakansuasana yang PAKEMB (Pembelajaran yang

Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan

Bermakna). Output  dinyatakan bermutu jika

hasil belajar akademik dan non akademik 

siswa yang tinggi. Outcome dinyatakan

bermakna apabila lulusan cepat terserap di

dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui

kehebatan lulusan dan merasa puas.

Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990:26)

menggunakan ukuran kualitas pelayanandengan: tangible, reliability, responsiveness,

assurence, danempathy. Tangible, yaitu fasilitas

fisik, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas

komunikasi yang dimiliki oleh penyedia laya-

nan. Reliability  atau reliabilitas adalah

kemampuan untuk menyelenggarakan

pelayanan yang dijanjikan secara akurat. Re-

sponsiveness atau resposivitas adalah kerelaan

untuk menolong pengguna layanan dan

menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.

 Assurance atau kepastian adalah pengetahuan,

kesopanan, dan kemampuan para petugas

penyedia layanan dalam memberikan keper-

cayaan kepada pengguna layanan. Empathy 

adalah kemampuan memberikan perhatian

kepada pengguna layanan secara individual.

Layanan pendidikan di sekolah sebagai

sistem (Depdiknas, 2007:9) seperti dalam

gambar 1.

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri112

Gambar 1.Sekolah sebagai Sistem (Dikutip dari Depdiknas, 2007:9)

Page 37: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 37/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Gambar 1 mengilustrasikan bahwa kinerja

sekolah dapat diukur dari dimensi-dimensi

kualitas, produktivitas, efetivitas, baik internal

maupun eksternal. Kualitas adalah gambaran

dan karakteristik menyeluruh dari barang

atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya

dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukanatau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan,

kualitas yang dimaksud meliputi input , proses,

dan output . Khusus untuk kualitas output 

sekolah dapat dikategorikan menjadi akademik 

(misal: Nilai Ujian Nasional), dan non-akade-

mik (misal: olah raga dan kesenian). Kualitas

output  sekolah dipengaruhi oleh tingkat 

kesiapan input  dan proses persekolahan.

Produktivitas adalah perbandingan antara

output sekolah dibanding input sekolah. Baik output  maupun input sekolah adalah dalam

bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah,

misalnya jumlah guru, modal sekolah, bahan,

dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya

jumlah siswa yang lulus sekolah setiap

tahunnya. Contoh produktivitas misalnya, jika

tahun ini sekolah lebih banyak meluluskan

siswanya dari pada tahun lalu dengan input 

yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka

dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah

tersebut lebih produktif dari pada tahun

sebelumnya.

Efektivitas adalah ukuran yang menya-

takan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas,

dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk 

persamaan, sama dengan hasil nyata dibagi

hasil yang diharapkan. Misalnya, NUN

idealnya 60, namun NUN yang diperoleh siswa

hanya 45, maka efektivitasnya adalah

45:60=75 persen.

Efesiensi dapat diklasifikasikan menjadidua yaitu efesiensi internal dan efesiensi

eksternal. Efesiensi internal menunjuk kepada

hubungan antara output sekolah (pencapaian

prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang

digunakan untuk memproses/menghasilkan

output sekolah.

Efesiensi eksternal adalah hubungan

antara biaya yang digunakan untuk mengha-

silkan tamatan dan keuntungan kumulatif 

(individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang diperoleh setelah pada kurun

waktu yang lama di luar sekolah.

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri113

C. PELAYANAN PENDIDIKAN

Di sekolah-sekolah sejak tahun 1999 telah

diujicobakan perbaikan manajemen yaitu

perubahan dari manajemen dari berbasis

pusat menuju manajemen berbasis sekolah

(MBS). UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdik-nas, pasal 51 ayat 1 menyatakan pengelolaan

satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah dilaksana-

kan berdasarkan standar pelayanan minimal

dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.

Danim, S (2007:34) menyatakan bahwa

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai

suatu proses kerja komunitas sekolah dengan

cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi,

akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitasuntuk mencapai tujuan pendidikan dan pe-

ngajaran yang bermutu. Depdiknas, (2007:11-

12) mengemukakan pola baru manajemen

pendidikan masa depan yang lebih bernuansa

otonomi dan yang lebih demokratis, seperti

dalam tabel 1. Tabel 1 mengungkapkan bahwa

manajemen pola baru, memposisikan sekolah

sebagai suatu lembaga yang otonom, fleksibel,

dan partisipatif.

Pelayanan pendidikan di era desentralistik 

dan otonomi pendidikan Jalal dan Supriadi

(2001:76) menyatakan bahwa dua istilah yang

sering dipertukarkan pemakaiannya yaitu

desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi

berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan

ke daerah, sedangkan otonomi berangkat dari

pengakuan atas otoritas daerah.

Tabel 1.Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan

Dikutip dari Manajemen Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2005:7).

Page 38: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 38/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Masalah-masalah yang berkaitan dengan

pendidikan dalam era desentralistik yang lebih

menarik adalah kesimpulan bersama antara

Regional Education Development and Improve-

ment Project melalui laporan pertama tahun

1999, Japan International Cooperation Agency 

(JICA), Badan Penelitian dan Pengembangan(BALITBANG) Depdiknas, International Devel-

opment Center of Japan (IDCJ) menyatakan ada

delapan masalah yang menjadi tugas Depdik-

nas, yaitu: (1) demokratisasi pendidikan;

kesempatan yang sama dalam mengakses

pendidikan masih belum sepenuhnya terca-

pai, (2) rendahnya relevansi pendidikan, (3)

rendahnya akuntabilitas, (4) rendahnya pro-

fesionalisme dalam praktik pendidikan dan

manajemen, (5) kurang efesien dan efektivitasdalam alokasi anggaran dan manajemen, (6)

adanya keseragaman, (7) desentralisasi

manajemen pendidikan belum tercapai, dan

(8) debirokratisasi manajemen pendidikan

belum terlaksana (Syafaruddin, 2010:5-6).

Chapman (1990:18) menyatakan bahwa

implikasi dalam desentralisasi pendidikan

adalah: (1) desentralisasi melahirkan banyak 

inisiatif berkenaan dengan respon pemerintah

terhadap kompleksitas masalah pendidikan,

(2) meningkatnya minat terhadap perubahan

kurikulum nasional dengan mengajukan

standar. Daerah harus memberikan kontribusi

terhadap perbaikan kurikulum dalam rangka

perbaikan bangsa, (3) dorongan untuk melak-

sanakan persamaan atau pemerataan dalam

pendidikan dengan berbagai kemudahan

mengakses sekolah bagi semua anak, atau

sekolah untuk semua, (4) berusaha mewu-

judkan efektivitas sekolah dan peningkatan

mutu sekolah menjadi idealisme desentralisasipendidikan, (5) peningkatan otonomi bagi

guru dalam memperkecil kontrol birokrasi

pendidikan sehingga profesi kependidikan

semakin meningkat kualitasnya, (6) pening-

katan minat dan perhatian daerah terhadap

pelaksanaan dan pandangan mutu pendi-

dikan, (7) mendorong organisasi sekolah yang

unggul, otonomi sampai ke sekolah, memba-

ngun tim kerja dan akuntabilitas.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai-

mana pasal 51 ayat (1) yang menyatakan

pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,

‘pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

dilaksanakan berdasarkan pelayanan minimal

dengan prinsip menajemen berbasis sekolah’.

Depdiknas (2007:6-10) menyatakan beberapa

tantangan yang harus ditangani oleh pemerin-

tah dan masyarakat terhadap pelayanan pendi-dikan, terutama pada tiga bidang yaitu: (1) di

bidang akses (kesempatan memperoleh pen-

didikan); (2) bidang mutu, relevansi, dan daya

saing pendidikan meliputi: mutu sebagian

sekolah masih rendah, prestasi non akademik 

masih belum memuaskan, angka mengulang

kelas masih cukup tinggi, proses pembelaja-

ran masih kurang optimal, dan fasilitas

pembelajaran belum memadai; (3) bidang tata

kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik kelemahan-kelemahannya meliputi: koor-

dinasi dan sinkronisasi program masih belum

berjalan dengan baik, kualitas pelaksanaan

program belum optimal, pelaksanaan moni-

toring dan evaluasi belum optimal, prinsip-

prinsip pengelolaan pendidikan yang ber-

pihak pada rakyat belum dilaksanakan secara

optimal, manajemen dan informasi yang

lemah, masih banyak sekolah, Kabupaten/Kota,

dan Provinsi, yang belum memiliki Renstra

pengembangan pendidikan, kapasitas Dinas

Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota

kurang memadai, dan implementasi Manaje-

men Berbasis Sekolah (MBS) belum memadai.

Sekadar perbandingan upaya pelayanan

pendidikan di beberapa Negara, misalnya

Amerika, Jerman, Austria, Singapura, Jepang,

Malaysia, dan Australia, Srirahmadhena (2010)

menyatakan bahwa Amerika Serikat telah ber-

hasil menyediakan pendidikan gratis selama

12 tahun dan biaya pendidikan relatif murahpada tingkat perguruan tinggi. Satriawan

(2008) menyatakan bahwa Jerman dan Aus-

tria mendanai seluruh sistem pendidikannya

sampai di perguruan tinggi. Di Jerman wajib

belajar 9-10 tahun, dengan sistem pendidikan-

nya terkenal sebagai yang terbaik di dunia.

Di Jepang anak usia sekolah, 99 persen

terdaftar di sekolah, siswa yang telah menyele-

saikan studinya di SD dapat langsung ke SMP

karena SD-SMP termasuk kelompok  ‘gimuk- youiku’ atau Compulsory Education atau program

wajib belajar dengan menggratiskan (Adeluna,

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri114

Page 39: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 39/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

tanpa tahun). Fanany (2007) menyatakan bah-

wa wajib sekolah di Australia hingga 10 tahun.

Orang tua siswa dapat dipenjara kalau anak-

nya tidak disekolahkan. Sistem pendidikan di

Australia tidak diatur secara sentral dari

pusat, tetapi desentralisasi dan sangat otonom.

D. BUDAYA MUTU

Salusu (2008:454-455) menyatakan

bahwa terdapat beberapa istilah yang diguna-

kan berkaitan dengan mutu, khususnya jika

berkaitan dengan manajemen, diantaranya

Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total 

Quality Management (TQM) yang juga dikenal

dengan istilahTotal Quality Control atau Pengen-

dalian Mutu Terpadu. Salusu menjelaskanbahwa MMT adalah salah satu konsep mana-

jemen yang mula-mula dikembangkan oleh W.

Edwards Deming, seorang ahli fisika Amerika

yang kemudian, dikenal sebagai bapak 

manajemen kualitas.

Etwar (2011) mengemukakan 5 definisi

mutu menurut tokohnya masing-masing: (1)

Philip B. Crosby, mutu adalah kesesuaian

terhadap persyaratan atau keunggulan yang

dipublikasikannya, seperti jam tahan air,

sepatu yang awet, atau dokter yang ahli.

Pendekannya adalah top-down; (2) W. Edwards

Deming, mutu berarti pemecahan masalah

untuk mencapai penyempurnaan terus-

menerus, seperti penerapan ‘Kaizen’ di Toyota

dan ‘gugus kendali mutu’ pada Telkom.

Pendekatannya adalah bottom-up. Deming

juga tokoh yang menelurkan prinsip Total 

Quality Management yang dipakai di seluruh

dunia hingga sekarang; (3) Joseph M. Juran,

mutu adalah kesesuaian dengan penggunaan,seperti sepatu yang dirancang untuk olahraga

atau sepatu kulit yang dirancang untuk ke

kantor atau ke pesta. Orientasi Juran adalah

penentuan harapan pelanggan; (4) Ishikawa,

mutu berarti kepuasan pelanggan; (5) ISO

9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat 

karakteristik yang melekat pada produk yang

mencukupi persyaratan atau keinginan.

Arcaro (2007:8-10) menyatakan bahwa

Joseph M. Juran juga diakui sebagai salahseorang bapak mutu. Juran menyebut mutu

sebagai tepat untuk pakai, dan menurutnya

bahwa tepat untuk dipakai, ditentukan oleh

pemakai bukan oleh pemberi layanan. Dasar

misi mutu sebuah sekolah adalah mengem-

bangkan program dan layanan yang memenuhi

kebutuhan pengguna, seperti siswa dan

masyarakat. Pandangan Juran tentang mutu

adalah: (1) meraih mutu merupakan prosesyang tidak mengenal akhir, (2) perbaikan

mutu merupakan proses berkesinambungan,

bukan program sekali jalan, (3) mutu memer-

lukan kepemimpinan dari anggota dewan

sekolah dan administrator, (4) pelatihan mas-

sal merupakan prasyarat.

Upaya pemerintah terhadap mutu

pendidikan di sekolah diantaranya penetapan

kriteria output, proses, dan input pendidikan

di sekolah dalam menggunakan MBS. Secaragaris besarnya kriteria MBS tersebut meliputi:

(1) output ; output sekolah yang diharapkan

adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh

proses pembelajaran dan manajemen sekolah.

Output sekolah diklasifikasikan menjadi dua

yaitu prestasi akademik (academic achieve-

ment ) dan prestasi non-akademik (non-aca-

demic achievement ), (2)  proses; karakteristik 

proses adalah: (a) proses belajar mengajar

yang efektivitasnya tinggi, (b) kepemimpinan

sekolah yang kuat, (c) lingkungan sekolah

yang aman dan tertib; (d) pengelolaan tenaga

kependidikan yang efektif, (e) sekolah memi-

liki budaya mutu, (f) sekolah memiliki team-

work yang kompak, cerdas, dan dinamis, (g)

sekolah memiliki kewenangan (kemandirian),

(h) partisipasi yang tinggi dari warga sekolah

dan masyarakat, (i) sekolah memiliki keterbu-

kaan (transparansi) manajemen, (j) sekolah

memiliki kemauan untuk berubah (psikologis

dan pisik), (k) sekolah melakukan evaluasi danperbaikan secara berkelanjutan, (l) sekolah

responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan,

(m) memiliki komunikasi yang baik, (n) sekolah

memiliki akuntabilitas, (o) manajemen lingku-

ngan hidup sekolah bagus, (p) sekolah memi-

liki kemampuan menjaga sustaina-bilitas, (3)

input ; input pendidikan karakteristiknya adalah:

(a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran

mutu yang jelas, (b) sumberdaya tersedia dan

siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasitinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang

tinggi, (e) fokus pada pelanggan (khususnya

115Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri

Page 40: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 40/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

siswa), dan (f) input manajemen, misalnya

perincian tugas yang jelas (Depdiknas, 2008).

E. PENUTUP

Kualitas pelayanan pendidikan di sekolah

adalah sejauhmana sekolah dapat menunjukkanketersediaan, kelengkapan, kelayakan sarana

dan prasarana sekolah, tenaga pendidik dan te-

naga kependidikan, reliabilitas tenaga pendidik,

responsivitas tenaga pendidikan dalam melak-

sanakan pelayanan, kepastian dalam pelaya-

nan, dan sikap empati dalam pelayanan pendi-

dikan di sekolah. Pelayanan pendidikan dengan

manajeman pola baru sejatinya senantiasa

memiliki harapan prestasi siswa baik akademik 

maupun non akademik (olahraga, seni, kepra-mukaan, keagamaan) dan prestasi sekolah

yang dapat meningkatkan kepercayaan

masyarakat terhadap sekolah. Sekolah harus

lebih awal untuk memikirkan penerapan ISO

(International Standar Organizations) sebagai

antasipasi menghadapi tantangan global

bidang pendidikan masa yang akan datang.

Harapan masyarakat dari sekolah diantaranya

adalah mutu pendidikan yang baik sebagai ha-

sil pelayanan yang baik, ditandai dengan mini-

mal tiga aspek jaminan mutu pendidikan yaitu,

kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas.

Untuk mencapai mutu pendidikan di seko-

lah, salah satu pilihannya adalah mengacu pada

penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT)

atau juga dikenal dengan Total Quality Mana-

 gement (TQM) dengan implementasi nyatanya

disekolah melalui Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS). MBS menuntut ketersediaan

dan kesiapan sumber daya manusia (tenaga

pendidik dan tenaga kependidikan) sumber-daya lainnya (uang, peralatan, perlengkapan,

bahan, dsb.), kemampuan, kemauan, kerelaan,

dan dedikasi yang tinggi. Karakteristik sekolah

bermutu dengan penerapan MBS diantara-

nya: (1) fokus pada kostumer yaitu masya-

rakat/murid, (2) keterlibatan menyeluruh

warga sekolah dalam tugas, (3) pengukuran

yang berkesinambungan dan menyeluruh, (4)

komitmen terhadap tugas sebagai pengabdian,

(5) perbaikan berkelanjutan yang terstandar.Standar yang diharapkan adalah International 

Standardization for Organization (ISO).

DAFTAR PUSTAKA

Adeluna. Tanpa tahun. Pendidikan di Jepang

(Online), (http://japanlunatic.do.am/

index/pendidikan_di_jepang/0-926),

Diakses (9 Februari 2011)

Arcaro, J.S. 2010. Pendidikan Berbasis Mutu :

Prinsip-prinsip dan Tata Langkah

Penerapan. Terjemahan Yosal Iriantara.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basuki, M. 2010. Mengurai Masalah Pendidi-

kan di Indonesia. (Online), (http://

b e r i t a s o r e . c o m / 2 0 1 0 / 0 5 / 2 5 /

mengurai-masalah-pendidikan-di-In-

donesia) Diakses (30 September 2010)

Chapman, J.D. 1990. School-Based-Decision

Making and Management . New York:

The Falmers Press.

Danim, S. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah

dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akade-

mik. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas Direktorat Pendidikan Lanjutan

Pertama Dirjen Dikdasmen. 2005.

Pedoman Pendayagunaan Konsultan

dalam Pembinaan SMP di Seluruh In-

donesia. Jakarta. Dirjen Manajemen

Dikdasmen Depdiknas.

———————.2007. Manajemen Berbasis

Sekolah. Jakarta: Dir. PSMP Dirjen

Manajemen Dikdasmen Depdiknas.

———————.2008. Informasi ProgramDirektorat Pembinaan Sekolah Menengah

Pertama. Jakarta: Dirjen Manajemen

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Etwar, Emin. 2011. Tokoh-tokoh Mutu Layanan.

(Online), (http//eminetwar. blogspot.com/

2011/04/tokoh-tokoh-mutu-layanan.

html, diakses (16 April 2011)

Salusu, J. 2008. Pengambilan KeputusanStartegik untuk Organisasi Publik dan

Organisasi Nonprofit . Jakarta: Grasindo.

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri116

Page 41: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 41/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

117

Satriawan, Mirza. 2008. Sistem Pendidikan

dalam Ideologi Sekuler-Kapitalisme:

Studi kasus Sistem Pendidikan

Amerika. (Online), (http://taukhid.

wordpress.com/2008/08/22/sistem-

pendidikan-dalam-ideologi-sekuler-

kapitalisme-studi-kasus-sistem-pendidikan-amerika/) Diakses (9

Februari 2011)

Sinambela, P.L. 2008. Reformasi Pelayanan

Publik: Teori, Kebijakan dan Imple-

mentasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Sriramadhena. 2010. Pendidikan di Amerika

Serikat . (Online), (http://srirahmadhena.

w o r d p r e s s . c o m / 2 0 1 0 / 0 9 / 2 9 /pendidikan-di-amerika-serikat/)

Diakses (9 Februari 2011)

Syafaruddin. 2010. Kepemimpinan Pendidikan:

Akuntabilitas Pimpinan Pendidikan

dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta:

Quantum Teaching.

Syafie, Inu Kencana., Jamaluddin Tanjung.,

Supar dan Modeong. 1999. Ilmu Admi-

nistrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 2003.

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Undang-Undang No. 25Tahun 2009. Pelaya-

nan Publik. Jakarta: AM Asa Mandiri.

Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik &

Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta:

Bumi Aksaara.

Wijaya, I. E. 2010. “Studi Komparatif Pendi-

dikan di Kawasan Asia: RRC, Korea

Selatan dan Jepang”. Educare: JurnalPendidikan dan Budaya. (hal. 4-18)

Zeithaml, V.A., A. Parasuraman & Leonard L.

Berry. 1990. Delivering Quality Service:

Balancing Custumer Perception and 

Expectations. New York: The Free

Press, MacMilan Inc.

*********

Budaya Mutu Dalam Pelayanan

Pendidikan Dasar - Muhammad Basri

Page 42: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 42/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

In reformation era, as now, the implementation of the development of specific public services in the

service of Building Permit (IMB), it is time to use the principles of quality management-oriented 

activities to improve and enhance public service delivery is increasingly competitive, and in

anticipation of increased globalization and the need received international recognition for quality 

and process of public service. Public service management system is required with respect to the

development of globalization so that the demand for minimum service standards can be actualized 

in order to improve public services. Thus, the behavior of the bureaucracy in the service delivery of 

licensing services, local authorities have time to do a public service reform minimum quality 

standards in public service. Reforms intended primarily; institutional model to a one-stop service,

 publish a minimum service standards, increase surveillance, patterns of human resource

development personnel, and public participation.

Keywords: Reform, Public Services, Building Permits

 ABSTRAK 

Di era reformasi seperti sekarang ini, pelaksanaan pengembangan layanan publik tertentu dalampelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sekarang saatnya untuk menggunakan prinsip-prinsip

manajemen mutu yang berorientasi kegiatan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan

publik yang semakin kompetitif, dan untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi dan kebutuhan

mendapatkan pengakuan internasional untuk kualitas dan proses pelayanan publik. Layanan sistem

manajemen publik diperlukan sehubungan dengan perkembangan globalisasi sehingga permintaan

untuk standar pelayanan minimum dapat diaktualisasikan dalam rangka meningkatkan pelayanan

publik. Dengan demikian, perilaku birokrasi dalam pelayanan jasa perizinan, pemerintah daerah

memiliki waktu untuk melakukan standar pelayanan publik minimal reformasi kualitas dalam

pelayanan publik. Reformasi dimaksudkan terutama; model kelembagaan ke layanan satu atap,

menerbitkan standar pelayanan minimum, peningkatan pengawasan, pola personil pengembangan

sumber daya manusia, dan partisipasi masyarakat.

Kata kunci: Reformasi, Pelayanan Publik, Izin Bangunan

REFORMASI PELAYANAN PUBLIK 

BIDANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

DI DAERAH

Muhammad IdrisFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588

118

Page 43: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 43/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

119

 A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelayanan Publik adalah segala kegiatan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar

sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga

negara dan penduduk atas suatu barang, jasa

dan atau pelayanan administrasi yang disedia-kan oleh penyelenggara pelayanan yang

terkait dengan kepentingan publik. Penyeleng-

gara Pelayanan Publik adalah lembaga dan

petugas pelayanan publik baik Pemerintah

Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah

yang menyelenggarakan pelayanan publik.

Adapun Penerima Layanan Publik adalah per-

seorangan atau kelompok orang dan atau

badan hukum yang memiliki hak dan kewa-

jiban terhadap suatu pelayanan publik.Pelayanan publik menurut Keputusan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang

Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepua-

san Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Peme-

rintah, dinyatakan bahwa Pelayanan publik 

adalah segala kegiatan pelayanan yang dilak-

sanakan oleh penyelenggara pelayanan publik 

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pene-

rima pelayanan, maupun dalam rangka pelak-

sanaan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pelayanan publik oleh aparatur pemerin-

tah dewasa ini masih banyak dijumpai

kelemahan sehingga belum dapat memenuhi

kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini

ditandai dengan masih adanya berbagai kelu-

han masyarakat yang disampaikan melalui

media massa, sehingga dapat menimbulkan

citra yang kurang baik terhadap aparatur

pemerintah. Mengingat fungsi utama peme-rintah adalah melayani masyarakat maka

pemerintah perlu terus berupaya mening-

katkan kualitas pelayanan.

Masyarakat yang merupakan pelanggan

dari pelayanan publik, juga memiliki kebu-

tuhan dan harapan pada kinerja penyele-

nggara pelayanan publik yang profesional.

Sehingga yang sekarang menjadi tugas

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Daerah adalah bagaimana memberikanpelayanan publik yang mampu memuaskan

masyarakat. Adanya implementasi kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah di Indone-

sia yang tertuang dalam UU tentang Pemerin-

tahan daerah menyebutkan bahwa Pemerin-

tah mempunyai tanggung jawab, kewenangan

dan menentukan standar pelayanan minimal,

hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kota/

Kabupaten) di Indonesia harus melakukanpelayanan publik sebaik-baiknya dengan

standar minimal.

Keterkaitan dengan pemberian otonomi

kepada daerah berdasarkan Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah. Undang-undang ini didasari oleh

filosofi keanekaragaman dalam kesatuan

dengan pendekatan besaran dan isi otonomi

yang menekankan pada pembagian urusan

yang berkeseimbangan berdasarkan asaseksternalitas, akuntabilitas dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Secara umum

pemberian otonomi ditujukan adalah untuk:

1. Meningkatkan pelayanan dan kesejah-

teraan masyarakat yang semakin baik;

2. Mengembengkan kehidupan demokrasi,

keadilan, dan pemerataan;

3. Memelihara hubungan yang serasi

antara Pusat dan Daerah, serta antar-

daerah dalam rangka menjaga keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa penye-

lenggaraan pemerintahan daerah dengan

otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung-

jawab berdasarkan Undang-undang tersebut 

salah satunya adalah untuk meningkatkan

pelayanan publik, sehingga mampu mening-

katkan kesejahteraan masyarakat. Dalam

konteks ini, pelayanan publik dan kesejah-

teraan masyarakat bukan hanya harusmeningkatkan dengan adanya keleluasaan

otonomi pada daerah, akan tetapi pening-

katan pelayanan dan kesejahteraan masyara-

kat tersebut haruslah menjadi semakin baik.

Hal ini berarti, bahwa intensitas pelayanan

atau tingkat kesejahteraan masyarakat itu

meningkat, seiring dengan terwujudnya

kualitan pelayanan yang semakin baik.

Meskipun demikian, dalam kenyataanya

pelayanan publik di daerah tidak sesuai denganharapan karena secara empiris pelayanan pu-

blik, khusus pada pelayanan bidang perizinan

Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 44: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 44/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

daerah dalam implementasinya masih terkesan

berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan, dan

bahkan masih dijumpai tidak transparans,

serta kurang adil. Kenyataan ini, sering bera-

kibat timbulnya pandangan negatif masyara-

kat sebagai “custemer” atau pengguna laya-

nan, yang akhirnya merupakan keluhan-keluhan terhadap pelayanan. Kecenderungan

itu, terjadi sebagai dampak dari perilaku biro-

krasi yang masih memposisikan masyarakat 

sebagai pihak yang melayani, dan bukan yang

dilayani. Sesungguhnya standar pelayanan

minimal ditujukan pelayanan pada masyara-

kat umum, namun terkadang dibalik menjadi

pelayanan masyarakat terhadap negara.

Sebagaimana kebijakan pemerintah yang

dituangkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2005tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan

Strandar Pelayanan Minimal (SPM). PP ini

berisi ketentuan mengenai jenis dan pelaya-

nan dasar yang menjamin akses masyarakat 

untuk mendapatkan pelayanan dasar dari

pemerintah daerah sesuai dengan ukuran-

ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah.

Selanjutnya Standar Pelayanan Minimal

dengan prinsip-prinsipnya, yaitu sederhana,

konkret, mudah diukur, terbuka, terjangkau

dan dapat dipertanggungjawabkan, serta

mempunyai batas waktu pencapaian.

Dengan demikian, pelaksanaan pengem-

bangan pelayanan publik khusus pada pela-

yanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ,

sudah saatnya menggunakan prinsip-prinsip

manajemen yang berorientasi pada mutu

guna memperbaiki dan menyempurnakan

kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik 

yang semakin kompetitif, dan sebagai anti-

sipasi perkembangan globalisasi serta perlu-nya mendapat pengakuan internasional

terhadap mutu dan proses pelayanan publik.

Sistem manajemen pelayanan publik diper-

lukan dengan memperhatikan perkembangan

globalisasi sehingga tuntutan akan Standar

Pelayanan Minimal dapat diaktualisasikan

dalam rangka peningkatan pelayanan publik.

B. PERMASALAHAN

Dipahami bahwa salah satu bagian dari

proses penyelenggaraan pemerintahan di

daerah adalah mengharapkan kualitas pela-

yanan publik yang lebih baik. Pelaksanaan

pelayanan IMB di daerah selama ini, dipandang

masyarakat belum akuntabilitas, efisien, dan

efektif sehingga masyarakat sebagai pene-

rima layanan tidak terpuaskan. Sehubungan

dengan hal tersebut, maka ada pertanyaanpenting yang perlu dijawab untuk memenuhi

tuntutan pelayanan publik di bidang

pengurusan IMB di daerah, sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas Pelayanan pengu-

rusan IMB di daerah

2. Faktor-faktor apa yang mempenga-

ruhi peningkan kualitas pelayanan IMB.

3. Bagaimana reformasi pelayan yang

dibutuhkan untuk memenuhi Standar

Pelayanan Minimal pelayanan IMB

C. PEMBAHASAN

1. Kerangka Konseptual Kualitas

Pelayanan Publik 

Berbicara mengenai kualitas pelayanan,

Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990)

mengemukakan bahwa dengan pelayanan

yang prima (Service Excellence) setiap orang

menjadi pemenang; baik para pengguna

layanan, para karyawan, manajemen, para

pemilik atau stockholders, masyarakat,

maupun negara/daerah. Konsep ini menun-

jukkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah

kualitas, baik dalam penyelenggaraan usaha

produksi barang maupun jasa-jasa, termasuk 

pelayanan publik yang dilaksanakan oleh

aparatur pemerintah baik di Pusat, Provinsi,

maupun di kabupaten/kota, Kecamatan dan

bahkan di Kelurahan/desa. Dengan demikian,pengertian prima dalam hubungannya

dengan kualitas pelayanan ataupun kualitas

produk bukan hanya diucapkan, tetapi mem-

berikan pelayanan sesuai yang dijanjikan,

sehingga masyarakat tidak mengeluh, kecewa,

dan tidak memandang pemberian layanan

yang buruk.

Salah satu penyebab terjadinya krisis

kepercayaan masyarakat kepada birokrasi

pemerintahan, bahkan terhadap aparat kea-manan dan penegak hukum, pada dasarnya

dipicu oleh kegagalan aparatur birokrasi

120Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 45: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 45/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

dalam menampilkan kualitas layanan prima

kepada masyarakat sesuai bidang masing-

masing. Akibatnya citra birokrasi pemerin-

tahan menjadi sangat buruk di mata sebagian

masyarakat. Dengan demikian, prestasi dan

kinerja para birokrat dan aparat dalam men-

jalankan tugasnya dinilai buruk manakalakepentingan masyarakat sebagai pengguna

jasa terabaikan. Sebaliknya, manakala

masyarakat sebagai pengguna atau peman-

faat jasa pelayanan tertentu tidak mengeluh

dan menunjukkan kepuasan atas layanan yang

diterimanya, maka dapat dinilai berkualitas.

Menentukan penilaian terhadap kualitas

pelayanan memang bukan pekerjaan mudah,

karena karakteristik nilai bagi semua orang

tentunya berbeda satu sama lain berdasarkanpresfektif masing-masing. Namun demikian,

bukan berarti tidak dapat diukur dan

dijelaskan aspek-aspek yang merupakan

indikator dengan berbagai pendekatan teori

untuk mendeskripsikannya. Seperti, misalnya

dikemukakan oleh Parasurahman, (Jurnal

JIANA, 2010) bahwa terdapat lima dimensi

yang digunakan oleh pelanggan untuk 

menentukan kualitas pelayanan, yakni : (1)

bukti langsung (tangibles), (2) keandalan (re-

liability ), (3) daya tanggap (responsiveness),

(4) jaminan (assurance), dan empati (empaty ).

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pendapat 

tersebut pada awalnya dikaitkan dengan pela-

yanan yang diberikan dalam sektor privat.

Pada perkembangan lebih lanjut justru banyak 

digunakan untuk menggambarkan kualitas

pelayanan di sektor publik. Hal ini oleh para

pendukung pendapat ini berasumsi bahwa

kualitas pelayanan pada sektor publik dan

sektor privat adalah sama walupun masing-masing memiliki batas-batas tertentu. Salah

satu pendapat dari Rainey, (Jurnal JIANA,

2010) membuat ringkasan pendapat menge-

nai kekhasana karakter dari organisasi dan

manajemen publik dengan menyatakan bahwa

kekhasan karakter tersebut dapat dikelom-

pokkan ke dalam : faktor lingkungan, transaksi

organisasi lingkungan, peranan dan struktur,

dan proses keorganisasian. Dengan demikian,

kualitan pelayanan pada sektor publik sangat ditentukan oleh lingkungan organisasi, baik 

internal maupun lingkungan ekternal.

Pandangan-pandangan tersebut semakin

memperjelas konsep kualitas pelayanan pub-

lik yang diarahkan pada peranan perilaku

individu dan biroksi, khususnya pada pelaya-

nan pemerintahan. Ndraha, (2005) memberi-

kan pernyataan singkat mengenai kualitas

pelayanan publik adalah dapat diamati dariempat dimensi, yakni : Pengertian (under-

standing), penerimaan (legitimation), keper-

cayaan (trust), dan keterbukaan (openess).

Pandangan ini sebenarnya tidak jauh berbeda

dengan Rainey, tetapi saling melengkapi dalam

memahami konsep pelayanan, baik yang

dilayani maupun yang melayani.

Dengan demikian, jika dianalisis lebih

mendalam, maka sesungguhnya kualitas pela-

yanan sedikitnya harus termuat dimensi-dimensi: penerimaan, kepercayaan, keterbu-

kaan, keadilan, responsif, dan akuntabilitas.

Hal ini, berarti kualitas pelayanan sangat 

ditentukan oleh perilaku baik yang dilayani,

dan terutama yang melayani yang tercermin

dalam perilaku birokrasi. Sehingga salah satu

upaya dalam pemberdayaan individu tidak 

terlepas dari motivasi kerja yang diarahkan

sesuai tingkatan dan kebutuhannya. Berikut 

ini akan dijelaskan dalam pokok pembahasan

makalah ini.

2. Komponen Kualitas Pelayanan Publik 

Kualitas pelayanan yang diharapkan oleh

masyarakat, maupun kualitas pelayanan yang

dipersepsikan oleh lembaga pemberi pelaya-

nan kepada masyarakat; berdasarkan penga-

laman dan penelitian yang dilakukan oleh

Zeithaml dkk, (Jurnal Administrasi Publik,

2003), mengatakan terdapat beberapa kom-ponen atau variable kualitas pelayanan kepada

masyarakat. Komponen-komponen pelayan

prima tersebut adalah terdiri dari beberapa

dimensi, sebagai berikut:

1. Wujud; yaitu penampilan fisik fasilitas

lembaga pelayanan, peralatan yang digu-

nakan, pegawai atau petugas pelayanan,

dan peralatan bantu komunikasi.

2. Kemampuan Terpercaya; yaitu kemam-

puan untuk menampilkan kinerja pelaya-nan yang dijanjikan secara tepat dan

akurat.

121Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 46: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 46/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

3. Daya Tanggap; yaitu kemauan untuk 

membantu dan melayani masyarakat kon-

sumen secara segera sesuai dengan per-

mintaan ataupun harapan masyarakat.

4. Kompetensi; yaitu penguasaan atas

pengetahuan dan keterampilan yang di-

perlukan untuk memberikan pelayanantertentu.

5. Kesantunan; yaitu sikap yang ditunjukkan

pada saat memberikan pelayanan yang

umumnya terdiri dari kesopanan, peng-

hargaan terhadap masyarakat, perhatian,

pertimbangan, kebijaksanaan, dan sikap

bersahabat.

6. Kredibilitas; yaitu tingkat kepercayaan

atau jaminan mutu, kesungguhan, keju-

juran yang ditunjukkan oleh petugas ataulembaga pelayanan kepada masyarakat.

7. Keamanan; yaitu berkaitan dengan sebe-

rapa jauh pelayanan jasa yang diberikan

bebas dari kesalahan dan resiko yang

akan ditanggung masyarakat, memberi-

kan rasa aman, dan bebas dari keraguan.

8. Akses; yaitu kemudahan untuk menemu-

kan lokasi pelayanan atau kemudahan

untuk menemui petugas layanan.

9. Komunikasi; yaitu bagaimana lembaga

pelayanan memelihara hubungan dengan

masyarakat konsumennya dengan cara

regular mengirimkan informasi dengan

berbagai cara.

10.Memahami Kehendak Masyarakat; yaitu

kemampuan lembaga dan para petugas

layanan memiliki kemampuan dan beru-

saha sebaik mungkin untuk memahami

berbagai kehendak, kebutuhan, maupun

keinginan masyarakat yang beragam, dan

menyesuaikan dengan tingkat pelayananyang diberikan.

3. Model Kesenjangan Kualitan

Pelayanan Publik 

Memahami langkah-langkah kebijakan

yang ditempuh dalam upaya meningkatkan

kualitas pelayanan public, khusus oleh peme-

rintah daerah, sebaiknya dipahami pula model

analisis bagaimana mengidentifikasi perma-salah dalam rangka pemberian pelayanan

kepada masyarakat. Salah satu model yang

dapat digunakan adalah Model Kesenjangan

Pelayanan yang dikembangkan oleh Zeithaml,

Parasuraman, dan Berry (1990), sebagai

kerangka analisis untuk mengevakuasi

permasalahan yang berkaitan dengan kualitas

pelayanan, berdasarkan kesenjangan-

kesenjangan yang terjadi antara apa yangdiharapkan oleh masyarakat konsumen dan

apa yang dirumuskan dan ditetapkan oleh

lembaga dan petugas pemberi pelayanan.

Zeithaml, menjelaskan bahwa terdapat 4

kesenjangan (gap) yang secara berjenjang

menjelaskan tentang bagaimana mengukur

kualitas pelayanan publik, sebagai berikut:

Gap1: menjelaskan bahwa rendahnya

kualitas pelayanan publik karena karena ada-

nya kesenjangan antara apa yang sesungguh-nya diharapkan oleh masyarakat dengan yang

dipersepsikan oleh penyedia layanan.

Gap 2: menjelaskan bahwa sesungguhnya

penyedia layanan mengetahui apa yang diha-

rapkan oleh masyarakat, namun dalam prak-

teknya, layanan yang diberikan tidak sama

dengan yang diharapkan oleh masyarakat.

Gap 3: menjelaskan bahwa apa yang diha-

rapkan oleh masyarakat sudah dipahami dan

dibuatkan standar pelayanan oleh pemberi

layanan sebagaimana harapan masyarakat,

namun demikian layanan yang diberikan tidak 

sebagaimana standar yang sudah ditentukan

sebelumnya.

Gap 4: menjelaskan bahwa sudah ada kon-

sistensi antara harapan masyarakat, persepsi

pemberi layanan dan sudah dibuatkan standar

pelayanan sebagaimana yang diharapkan dan

dipesepsikan oleh pemberi layanan, namun

dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagai-

mana dengan yang diinformasikan kepadamasyarakat.

4. Pembahasan Kualitas Pelayanan Izin

Mendirikan Bangunan (IMB)

Zeithaml, dkk (1990) mengemukakan

bahwa penyebab utama persepsi kualitas

pelayanan rendah adalah kesenjangan antara

apa yang dijanjikan perusahaan tentang

layanannya dan apa yang sesungguhnyadiberikan. Ketepanan dan keakuratan apa

yang dikomunikasikan tentang layanan yang

122Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 47: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 47/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

diberikan sangat tergantung pada bagian

pemasaran dan bagian operasional. Oleh

karena apa yang dikomunikasikan oleh bagian

pemasaran tentang kualitas layanan yang

menjadi tanggungjawabnya haruslah sesuai

dengan apa yang dikerjakan oleh bagian ope-

rasional. Jika apa yang disampaikan atau diko-munikasikan bagian pemasaran tidak sesuai

dengan apa yang diharapkan pelanggan, akan

berakibat pada kekecewaan pelanggan ten-

tang kualitas pelayanan yang diberikan.

Salah satu bentuk pelayan IMB adalah

adanya kesenjangan  Another form of coordi-

nation central to providing service quality is

consistency in policies and procedures across

departments and koordinasi antara kebijakan

dan prosedur seluruh departemen dan cabang.If a service organization operates many outlets

under the same name, whether franchised or 

company-owned, customers expect similar per-

 formance across those outlets. Jika organisasi

jasa beroperasi dengan banyak outlet dan

dengan nama sama, apakah waralaba atau

perusahaan yang dimiliki, pelanggan

mengharapkan kinerja yang serupa di outlet.

If managers of individual branches or out-

lets have significant utonomy in procedures

and policies, customers may not receive the

same level of service quality across the branches.

Jika manajer cabang atau outlet memiliki

otonomi yang signifikan dalam prosedur dan

kebijakan, pelanggan cenderung tidak dapat 

menerima kualitas pelayanan pada tingkat 

yang sama di cabang. In this case, what they 

expect and receive from one branch may be

different from what is delivered in other 

branches. Under these circumstances, the size

of Gap 4 can be large. Dalam hal ini, apa yangmereka harapkan dan yang mereka terima

dari satu cabang mungkin berbeda dari apa

yang disampaikan di cabang lain.

 A question frequently asked by companies

is, “How much standardization can we achieve

across branches without taking away the au-

tonomy and perceived control of managers?”

Sebuah pertanyaan yang sering diajukan oleh

perusahaan adalah, “Berapa banyak standar-

disasi yang dapat kita terapkan pada seluruhcabang, tanpa menguangi otonomi dan

kontrol terhadap seluruh cabang tersebut”.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana

menjamin bahwa standar pelayanan yang

ditetapkan disebuah outlet tidak menganggu

persepsi dan harapan pelanggan pada pela-

yanan outlet lainnya, jika saja para manajer

outlet diberi kewenangan untuk melayani

pelanggan dengan cara mereka sendiri.  At is-sue is the need to assure con sistency across

outlets (so that expectations set by one outlet 

do not interfere with perceptions of service at 

another outlet) while allowing the managers

autonomy to serve customers in their own

ways. Salah satu contoh maklumat pelayanan

izin IMB Kota Makassar, yakni :

Kepala Dinas Tata Ruang Bangunan Kota

Makassar, Andi Oddang Wawo menegaskan,

sebagai wujud peningkatan pelayanan primake masyarakat, pengurusan izin mendirkan

bangunan yang tadinya dua belas hari kerja,

dipangkas menjadi enam hari kerja. Pemang-

kasan ini, guna memudahkan masyarakat 

memperoleh IMB. Dinas tata ruang bangunan

kota Makassar memberikan kemudahan bagi

masyarakat yang hendak memiliki izin men-

dirikan bangunan, tidak perlu lagi menunggu

hingga dua belas hari kerja, melainkan cukup

enam hari kerja sesuai prosedur dan mekanisme

 yang berlaku. Pemangkasan sistem birokrasi

 pengurusan IMB di dinas tata ruang bangunan

tak terlepas dari komitmen pemerintah dalam

memberikan pelayanan prima ke masyarakat 

khususnya bagi pemohon IMB di Makassar.

Disisi lain, dinas tata ruang bangunan

berharap, untuk tercapainya peningkatan PAD

kedepan, dipandang perlunya optimalisasi

kegiatan pelayanan serta pembinaan masyara-

kat, sehingga DTRB saat ini mengharapkan

adanya penambahan personil yang profesional  yang menguasai teknis pada dinas tata ruang

bangunan.

(Sumber:http://makassartv.co.id/index.php? 

option=com_content&view=article &id=828:

dt rb -pang k as-b i rok ras i -peng urusan-

imb&catid=3:berita-umum&Itemid=56, akses

 20 Oktober 2010).

Informasi ini menunjukkan betapa mu-

dahnya menggambarkan tentang janji biro-krasi terhadap pelayanan publik yang menjadi

tanggung jawab mereka. Kantor Pelayanan

123Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 48: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 48/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Administrasi Perizinan (KPAP) dan Dinas Tata

Ruang dan Bangunan (DTRB) berusaha mem-

bangun citra kepada publik tentang kualitas

layanan mereka, bahkan diwaktu lain, mereka

justru mengumbar bahwa mereka dapat 

menyelesaikannya dalam waktu 6 hari kerja.

Namun pada kenyataannya tanggapanpelanggan terhadap pelayanan IMB berikut 

sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan

Birokrasi perizinan terhadap pelanggan.

Bahkan menggambarkan keluhan seorang

pelanggan yang mengurus IMB dan berusaha

untuk memperoleh simpati publik dengan

mengadu halnya kepada DPRD Kota Makassar

untuk mendapatkan tanggapan.

Dengan demikian, kenyataan di atas

menunjukkan tentang ketidakkonsistenanantara apa yang dikomunikasikan kepada

masyarakat sebagai penerima layanan dengan

apa yang dialami oleh masyarakat. Ketidak-

konsistenan antara apa yang dijanjikan pem-

beri layanan dengan yang diberikan kepada

masyarakat dalam pelayanan publik Izin Men-

dirikan Bangunan (IMB) di Kota Makassar.

Salah satu faktor yang menyebabkan

kondisi ini terjadi karena komunikasi yang

terjalin antara bagian-bagian dalam unit kerja

tidak singkron antara yang satu dengan yang

lainnya. Pengurusan IMB sesungguhnya

berada pada 2 kamar yang berbeda, yaitu: (1)

Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan

(KPAP) Kota Makassar sebagai pelaksana

kegiatan peng-administrasian seluruh jenis

perizinan di Kota Makassar; dan (2) Dinas Tata

Ruang dan Bangunan (DTRB) Kota Makassar

sebagai pelaksana teknis pengurusan IMB.

Selain itu, hasil temuan Saifullah K. (2010)

“Tentang Pelayanan IMB pada Kantor Pelaya-nan Terpadu Kabupaten Gowa” bahwa :

1. Standar pelayanan minimum penyelesaian

permohonan izin mendirikan bangunan

(IMB) selama 12 hari kerja, belum dilaksa-

kan secara konsisten. Permohonan terse-

but sering berkasnya tidak diteruskan ke

Kantor Pelayanan Perizinan, sehingga

memakan waktu yang cukup lama karena

harus memenuni syarat administrasi

dimaksud.2. Sering juga pemohon tidak melalui pro-

sedur berlaku alias menggunakan jasa

calo sehingga tidak dapat dibuktikan bah-

wa proses itu berjalan sesuai ketentuan.

Dengan kata lain, jangan sampai perantara

tersebut tidak menyalurkan permohonan

Anda dengan cara sengaja mengulur-ulur

waktu sehingga proses pengurusan IMB

jadi lama dan tidak jelas penyelesaiannya.

Dengan demikian, pelaksanaan pelayan

perizinan di daerah merupakan salah satu per-

masalah yang tidak pernah terselesaikan

dengan baik. Masalahnya adalah perilaku biro-

krasi yang terkait dengan pemberian pelayanan

perizinan masih dipandang “diskriminatif”

kalangan masyarakat sebagai orang yang

terlayani.

D. SOLUSI PENINGKATAN KUALITS

PELAYANAN IMB DI DAERAH

Berdasarkan dengan kenyataan perilaku

birokrasi dalam pemberian pelayanan pelaya-

nan perizinan, pemerintah daerah sudah saat-

nya melakukan Reformasi Pelayanan Publik 

yang berkualitas sesuai standar minimal dalam

pelayanan publik. Berikut ini, dikemukakan

beberapa solusi meningkatkan kualitas pela-

yanan publik sebagai berikut :

1. Bahwa untuk merubah sikap/budaya

organisasi, ada beberapa alternatif meni-

ngkatkan kualitas pelayanan: (a) melaku-

kan reformasi internal dari aparat biro-

krasi tentang tugas atau jabatan yang

diembangnya. Karena persepsi selama ini

bahwa aparat dibutuhkan masyarakat 

harus berubah bahwa aparatlah yang

membutuhkan masyarakat. (2) Pening-

katan suasana kompetisi yang sehat dalammemberikan pelayanan. Bagi mereka

yang berprestasi perlu diberikan reward ,

bagi mereka yang tidak berprestasi perlu

di berikan  punishment  yang bersifat 

mendidik. (3) Mendeskripsikan dan mem-

publikasikan stantar pelayanan yang baik 

yang menyangkut kualitas, besarnya

biaya, waktu sesuai dengan jenis pelaya-

nan yang diberikan. (4) Peningkatan

moralitas aparat terutama yang berkaitandengan hak, kewajiban dan tanggung-

jawab baik secara sosial, administratif,

124Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris

Page 49: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 49/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

maupun spritual. (5) Secara eksternal,

perlu adanya peningkatan sense of respon-

sibility dari masyarakat yang menyangkut 

upaya penyadaran terhadap hak-hak 

sebagai warga negara dalam memperoleh

pelayanan yang terbaik. Menyampaikan

keluhan atau penyimpangan.

2. Menciptakan lingkungan organisasi yang

transparan yang memaksa aparat berpe-

rilaku sesesuai prosedur. Alasannya

karena lingkungan dinas perizinan yang

kurang transparan dan tidak adanya

kontrol eksternal, ditambah banyaknya

instansi yang terlibat dalam penyelesaian

urusan perizinan, telah menciptakan ru-

ang yang nyaman dan aman tumbuhnyamotif-motif yang kuat yang berorientasi

pada kepentingan pribadi aparat.

3. Model dalam meningkatkan kualitas pela-

yanan publik antara lain; (1) Model Kelem-

bagaan, yaitu format kelembagaan One

Stop service (OSS) difungsikan sebagai

 frontline dari dinas-dinas yang ada untuk 

menjadi satu-satunya lembaga yang ber-

hubungan dengan masyarakat yang me-

merlukan berbagai pelayanan. (2) Model

Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik,

yaitu memberdayakan lembaga pelaya-

nan publik sehingga dapat mengoptimal-

kan fungsi pelayanan publik sesuai

dengan perkembangan tuntutan perkem-

bangaan ekonomi, politik, sosial, dan

budaya. (3) Model Siklus Layanan, yaitu

tetap melaksanakaan kewenangan dan

tugas-fungsinya yang diatur sesuai pro-

sedur. Tetapi teknis pelaksanaan denganpola pelayanan umum satu atap. (3) Model

Standar Pelayanan Minimal, yaitu meng-

gali pandangan masyarakat terhadap mutu

pelayanan yang diberikan oleh OSS yang

didasarkan pada indikator standar

pelayanan.

4. Dalam upaya meningkatkan pelayanan

perizinan Mendirikan Bangunan (IMB),

langkah yang dapat ditempuh yaitu; (1)Peningkatan pengawasan sebagai instru-

men kendali disiplin Aparat Pelayanan

Permohonan IMB, (2) Penerapan pola

pembinaan yang tepat dan berdaya guna

dengan pendisiplinan yang manusiawi

dalam meningkatkan kualitas pelayanan

permohonan IMB kepada Masyarakat, (3)

Keteladanan Pimpinan dalam menyege-

rakan melayani pemohon IMB.

E KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumnya, refor-

masi pelayanan publik bidang IMB di daerah,

maka dapat dikemukakan beberapa simpulan:

1. Standar kualitas pelayanan IMB di daerah

masih menunjukkan stantar pelayanan

kurang maksimal, karena masih terdapat 

kesenjangan antara janji Birokrasi denganpelayanan yang dirasakan oleh masyara-

kat sebagai pelanggan. Konsistensi terha-

dap penyelesaian IMB masih lamban dan

sering mensyatkan yang mempersulit 

pemohon.

2. Ada beberapa faktor yang sering ber-

sentuhan langsung dengan kualitas

pelayanan IMB: masih adanya kewenang

lebih dari satu departeman dan tidak jelas

garis koordinasinya, sikap/budaya

birokrasi pelayanan masih rendah, dan

sikap masyarakat pemohon masih tidak 

menyadari memenuhi prosedur yang

resmi sehingga mempersulit aparat 

melakukan kualitas yang terbaik dan adil.

3. Solusinya meningkatkan kualitas pelaya-

nan adalah: Reformasi model kelemba-

gaan ke pelayanan satu atap, publikasi-

kan standar pelayanan minimal, tingkat-kan pengawasan, pola pembinaan SDM

aparatur, dan tumbuhkan partisipasi

masyarakat tentang pentingnya prosedur

pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. Dkk. 2005. “Pengamatan

untuk Menilai Kinerja Pelayanan

Publik”, dalam Mewujudkan Good Gov-ernance Melalui Pelayanan Publik.

Yogyakarta: UGM Press.

Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris125

Page 50: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 50/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Gedeona, Hendrikus Tri Wibawanto, 2010,

“Pendekatan Kualitatif Dan Kontri-

businya Dalam Penelitian Administrasi

Publik” Jurnal Jurnal Ilmu Administrasi,

Vol.VII (3), September 2010, (hal. 183-

192)

Gibson, dkk. (1996). Organisasi: Perilaku,

Struktur dan Proses , Binarupa Aksara,

Jakarta.

Goodsell, C.T. 2006. “A New Vision Public Ad-

ministration” , dalam Public Administra-

tion Review , (Jul/Agust, 06), 4, Academic

Research Library , (pp. 623-635)

Ndraha, Talizidulu, (2005). Kybernology  :Sebuah Konstruksi Ilmu Pemerintahan,

Jakarta : Rineka Cipta.

Robbins, Stephen P., (2003). Perilaku Organi-

sasi, (Jilid 2), Terjemahan, Jakarta : PT.

Indeks Kelompok Gramedia,

Rondinelli, D.A. 2007. “Government Serving

People: The Changing Role of Public Ad-

ministration in Democratic Gover-

nance” , dalam Public Administration and 

Democratic Governance: Governments

Serving Citizens. New York: United Na-

tions: Economic and Social Affairs.

Saifullah K. (2010). Pelayanan Pengurusan Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) di Kantor 

Pelayan terpadu Kabupaten Gowa

(Tesis), Universitas MuhammadiyahMakassar, Makassar.

Suryani, Ade Irma, (2008). Implementasi

Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan

(IMB) Dalam Perspektif Azas-Azas

Umum Pemerintahan Yang Baik Di

Kabupaten Sukamara, Universitas

Diponegoro, Semarang.

Tobirin, 2008, “Penerapan Etika MoralitasDan Budaya Malu Dalam Mewujudkan

Kinerja PNS Yang Profesional” Civil Ser-

vice : Jurnal Kebijakan & Manajemen

PNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79)

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik 

Zeithaml, Valarie. Parasuraman, dan Leonard

L. Berry, (1990). Delivering Quality Ser-

vice: Balancing Customer Perceptions and 

Expectations, The Free Press, New York.

Reformasi Pelayanan Publik 

Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris126

*********

Page 51: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 51/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

System of government with good governance paradigm is intended to further promote the involvement 

of all stakeholders in governance. In practical terms, the challenge of good governance paradigm will be

 faced with the demands of society in improving the quality of public services. Public service practices that 

are conducive to stimulating real and public participation to further improve the implementation of good 

 governance. so many public service activities that feel a lack of good public service, so that all parties are

less optimistic about the realization of good governance in Indonesia. A country with a high heterogeneity 

conditions in a variety of things such as ethnic, cultural, geographical, religious, and socio-economic

development level, is a considerable potential as a source of conflict, and can lead to national disintegration.

Development of civil society requires a public space (public sphere) in which every citizen could freely and 

independently express opinions about various social problems. Transparency of information and public

service is fundamental in the governance demands that the principle of good governance, in which required 

the disclosure of information as one of the implementation requirements of public accountability.

Keywords: Public services, Good Governance, Transparency 

 ABSTRAK 

Sistem pemerintahan dengan paradigma pemerintahan yang baik dimaksudkan untuk lebih

mempromosikan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Dalam istilah praktis,

tantangan paradigma pemerintahan yang baik akan dihadapkan dengan tuntutan masyarakat dalammeningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik praktek-praktek yang kondusif untuk 

merangsang partisipasi yang nyata dan masyarakat untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan

yang baik. begitu banyak kegiatan pelayanan publik yang merasa kurangnya layanan publik yang baik,

sehingga semua pihak yang kurang optimis tentang realisasi pemerintahan yang baik di Indonesia. Sebuah

negara dengan kondisi heterogenitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti tingkat perkembangan etnis,

budaya, geografis, agama, dan sosial-ekonomi, adalah potensi besar sebagai sumber konflik, dan dapat 

menyebabkan disintegrasi nasional. Pengembangan masyarakat sipil membutuhkan ruang publik (ruang

publik) di mana setiap warga negara bisa secara bebas dan mandiri mengekspresikan pendapat tentang

berbagai masalah sosial. Transparansi informasi dan pelayanan publik adalah fundamental dalam tuntutan

pemerintahan yang prinsip pemerintahan yang baik, di mana diperlukan keterbukaan informasi sebagai

salah satu persyaratan pelaksanaan akuntabilitas publik.

Kata Kunci: Pelayanan publik, Good Governance, Transparansi

127

REFORMASI PELAYANAN PUBLIK 

SEBAGAI STRATEGI MEWUJUDKANGOOD GOVERNANCE 

MuhammadiahFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221

Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588

Page 52: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 52/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 A. PENDAHULUAN

Pelayanan publik yang berkualitas meru-

pakan tuntutan yang sangat mendasar dalam

sistem pemerintahan  good governance. Per-

tanyaan yang berkaitan dengan masalah ini,

adalah mengapa reformasi pelayanan publik menjadi persoalan strategis untuk memba-

ngunan  good governance, pada hal sebenar-

nya masih banyak aspek penting yang juga

yang perlu diperhatikan dalam penyeleng-

garaan  good governance. Pemerintah meng-

hadapi menghadapi persoalan yang tidak 

kalah pentingnya dalam mewujudkan  good 

 governance , seperti persoalan membangun

karakter bangsa (nation character building),

persoalan minyak bumi yang sudah kritis, danpersoalan kehutanan (ilegal loging) yang

makin sulit diatasi, dan pencurian ikan yang

makin meningkat, penambangan ilegal hasil

tambang seperti pasir, batu bara. Pertanyaan

ini perlu dijawab agar kita semua memahami

mengapa kita memilih membangun pelayanan

publik daripada persoalan-persoalan tersebut.

Argumen yang paling kuat kita memilih

memprioritaskan membangunan pelayanan

publik adalah agar benar-benar diyakini

bahwa pelayanan publik yang kondusif dapat 

mengantar dan menjdikan bangsa Indonesia

mampu mewujudkan  good governance dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Jawaban lainnya adalah bahwa

karena reformasi pelayanan publik memiliki

dampak yang cukup luas terhadap perubahan

perilaku birokrasi dan masyarakat. Diharap-

kan juga bahwa melalui reformasi pelayanan

publik agar tercipta pelayanan publik yang

dapat menjadi lokomotif pembangunanmenuju  good governance.

Dalam kaitan ini, ada beberapa pertimba-

ngan mengapa pelayanan publik menjadi fo-

kus dalam memulai implementasi  good gover-

nance khususnya di Indonesia. Pertama;

bahwa pelayanan publik di Indonesia masih

merupakan persoalan krusial, dimana seba-

gian besar masyarakat merasa bahwa pelaya-

nan publik yang selama ini dilaksanakan masih

jauh dari pelayanan publik yang sesung-guhnya. Pelayanan publik yang mahal, waktu

yang lama, proses yang berbelit-belit,

kurangnya akurasi, merupakan sesuatu yang

hampir dialami dalam berbagai macam kegia-

tan pelayanan publik di Indonesia. Kelemahan

pelayanan publik yang demikian ini telah

menjadikan masyarakat enggan, malas, dan

takut berhubungan dengan birokrasi.

Praktek pelayanan publik yang kondusif sesungguhnya dapat membangkitkan sema-

ngat dan partisipasi publik untuk lebih meni-

ngkatkan penyelenggaraan  good governance.

Pelayanan publik yang kondusif seharusnya

tidak hanya mitos, slogan dan janji, tetapi

harus menjadi realitas dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Jika saat ini

apatisme dan pesimisme masyarakat terha-

dap eksistensi birokrasi sebagai lembaga

pelayanan publik terasa makin luas, terutamadisebabkan oleh birokrasi telah lama dan terus

mempraktekkan bad governance, seperti

pungutan liar yang terjadi pada hampir

seluruh birokrasi, keramahan birokrat yang

masih sulit didapatkan, prosedur yang ber-

belit-belit dan waktu yang lama menjadi

pengalaman setiap hari bagi mereka yang

berhubungan dengan birokrat. Namun sangat 

ironi, karena masyarakat juga terpaksa

mengapresiasi praktek  bad governance,

karena memudahkan mereka mendapatkan

pelayanan publik. Bahkan masyarakat menilai

bahwa bad governance, khususnya pungutan

liar (pungli) adalah wajar, tidak jadi masalah,

justru merasa lega karena proses pelayanan

dapat segera selesai (Dwiyanto, 2008).

Masyarakat rela membayar mahal yang

penting urusan cepat selesai (Kristiadi, 2005).

Praktek  bad governance telah merambah

ke berbagai level pemerintahan. Bad gover-

nance tidak hanya terjadi eselon rendah,tetapi juga pada eselon tinggi, juga tidak hanya

terjadi pada pemerintah pusat, tetapi telah

sampai ke pemerintah daerah. Bad governance

bukan hanya terjadi di lembaga eksekutif,

tetapi juga terjadi dilembaga legislatif dan

yudikatif. Bad governance bukan hanya terjadi

di lembaga pemerintahan, tetapi juga di

berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Demikian luasnya lembaga yang mem-praktekkan bad governance dan begitu

banyaknya aktivitas pelayanan publik yang

128Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah

Page 53: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 53/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

merasakan pelayanan publik yang kurang

baik, sehingga berbagai pihak masih kurang

optimis terhadap terwujudnya  good gover-

nance di Indonesia. Diakui secara konseptual

dan visi dari good governance telah cukup

memadai, namun secara misi dan imple-

mentasi masih sulit direalisasikan. Kondisiseperti ini menjadikan masyarakat makin

toleran terhadap bad governance, sehingga

apa yang menjadi harapan dalam good gover-

nance masih jauh dari kenyataan. Oleh karena

itu, jika kita komitmen kepada  good gover-

nance, maka kebiasaan-kebiasaan buruk yang

terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan

publik (bad governance) seharusnya harus

dieliminer, direduksi, hingga pada gilirannya

kita menikmati good governance yang sesung-guhnya. Harus ada komitmen yang kuat 

bahwa nilai-nilai yang terdapat  good gover-

nance harus diwujudkan dalam perilaku

semua pihak, bukan hanya dari birokrasi,

tetapi juga dari masyarakat yang memiliki

kebiasaan suka menabrak (melanggar)

prosedur, tidak senang entry, memaksakan

kehendak, mencari jalan pintas, tidak merasa

risih dengan perilaku bad governance.

B. GOOD GOVERNANCE SEBAGAI

PERADABAN DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN

PUBLIK 

Sistem pemerintahan sebagai hasil pera-

daban manusia terus mengalami perkemba-

ngan dan kemajuan. Salah satu sistem

pemeritahan yang terkenal dan menjadi

harapan masyarakat dalam dunia modern

adalah Good governance.  Good governancesebagai suatu perkembangan peradaban

yang luhur dalam bidang sistem pemerintahan,

karena hakikat dan tujuannya sejalan dengan

tuntutan kehidupan masyarakat. Sistem

pemerintahan dengan paradigma good gover-

nance dimaksudkan untuk lebih mengeda-

pankan keterlibatan seluruh stakeholders

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem

pemerintahan  good governance memberikan

ruang bagi masyarakat untuk ikutsertaberpartisipasi dalam setiap tahapan dan

aktivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Keberadaan masyarakat dalam penye-

lenggaraan sistem pemerintahan  good gover-

nance merupakan refresentasi bahwa orga-

nisasi pemerintahan adalah milik, oleh dan

untuk kepentingan masyarakat. Keikutsertaan

seluruh lapisan masyarakat dalam penyele-

nggaraan pemerintahan merupakan buktipengakuan akan pentingnya peranserta

masyarakat dalam mengurus dan mewujud-

kan tujuan masyarakat. Dalam sistem peme-

rintahan  good governance , masyarakat 

memiliki peran strategis, karena masyarakat 

turut menentukan arah, proses dan tujuan

sistem pemerintahan. Masyarakat bukan lagi

sebagai penonton, tetapi juga telah menjadi

pemain sentral sejajar dengan lembaga-

lembaga lain dalam sistem pemerintahan good  governance. Sistem pemerintahan  good gov-

ernance sangat mengedepankan keterbukaan,

transparansi, kebersamaan dan kesetaraan

antara pemerintah dengan masyarakat.

Dengan demikian  good governance merupa-

kan penjabaran secara eksplisit penyeleng-

garaan sistem demokratisasi pemerintahan.

Dalam penyelenggaran sistem pemeri-

ntahan good governance, masyarakat diharap-

kan tampil sebagai pelaku atau aktor yang

dapat mendorong terciptanya sistem peme-

rintahan yang sesuai dengan dinamika dan

tuntutan masyarakat yakni pelayanan publik 

yang berkualitas atau pelayanan yang sesuai

dengan kebutuhan dan kepentingan masya-

rakat. Sistem pemerintahan  good governance

menuntut organisasi publik bertindak sebagai

agen perubahan (agent of changes), agen

pembaruan (agent of innovation), dan agen

pembangunan serta lembaga terdepan yang

melayani berbagai kepentingan dan meme-nuhi harapan masyarakat.

Good governance merupakan sistem

ketatapemerintahan yang menjadi harapan

besar dari berbagai lapisan masyarakat,

karena sistem pemerintahan yang mengem-

bangkan paradigma  good governance diha-

rapkan mampu menciptakan pemerintahan

yang efisien dan efektif. Frederickson (1997)

mengartikulasikan governance sebagai suatu

proses dimana suatu sistem sosial, ekonomiatau sistem organisasi kompleks lainnya di-

kendalikan dan diatur. Sedangkan dalam

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah129

Page 54: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 54/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

perspektif fungsional,  governance dimaknai

sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan

dan kewenangan oleh pemerintah dalam

pengelolaan urusan pemerintahan secara

umum, dan pembangunan ekonomi pada

khususnya (Pinto, 1994). UNDP (1994)

menjelaskan  governance is defined as theexercuse of political, economic, and aminisrative

authority to manage nation’s affair at all level.

Governance has legs; economic, political and ad-

ministrative. Pandangan ini menegaskan

bahwa  governance mempunyai tiga dimensi

yakni dimensi politik, ekonomi dan dimensi

administrasi, dimana ketiga dimensi tersebut 

berpengaruh terhadap pembuatan dan

pelaksanaan kebijakan pemerintah (negara).

Karena itu, sistem pemerintahan  good gover-nance mencakup proses dan struktur masya-

rakat yang mengarahkan hubungan-hubu-

ngan sosial ekonomi dan politik untuk men-

ciptakan kehidupan yang lebih baik.

Pengertian good dalam konteks good gov-

ernance mengandung dua pengertian

(Widodo, 2000), Pertama,  good berarti nilai-

nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat 

dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan

kemampuan rakyat dalam pencapaian

kemandirian, pembangunan berkelanjutan

dan keadilan sosial, dengan orientasi pada

demokratisasi dalam kehidupan bernegara,

dan mengedepankan legitimacy, accountabil-

ity, authonomy dan devolution of power . Kedua,

aspek-aspek fungsional dari pemerintahan

yang efektif dan efisien dalam melaksanakan

tujuan nasional dengan orientasi pada

bagaimana pemerintahan mempunyai kom-

petensi serta struktur dan mekanisme politik 

dan administrasi berfungsi secara efisien danefektif.

Berkaitan dengan orientasi  good gover-

nance, Masdiasmo (2002) orientasi pemba-

ngunan sektor publik adalah untuk mencip-

takan  good governance, dimana pengertian

dasarnya adalah kepemerintahan yang baik,

yang berupaya menciptakan penyelenggaraan

manajemen pembangunan yang solid dan

bertanggung jawab sesuai dengan prinsip

demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi,baik secara politik maupun administratif. Good 

 governance menuntut reformasi peran

aparatur negara agar mampu mendukung

kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan

tugas dan fungsi penyelenggaraan peme-

rintahan dan pembangunan.

Di Indonesia, reformasi sistem pemeri-

ntahan dan pelayanan publik yang ditandai

dengan lahirnya berbagai ketentuan yangberkaitan dengan penyelenggaraan sistem

pemerintahan negara/daerah berdasarkan

paradigma  good governance yakni suatu

sistem pemerintahan yang lebih transparans,

berkeadilan, akuntabel dengan mengedepan-

kan pelayanan publik.

Tujuan reformasi sistem penyelenggaraan

birokrasi pemerintahan dalam rangka pengu-

atan dan pemberdayaan peran serta masya-

rakat dalam berbagai aktivitas pemerintahan,termasuk dalam pengambilan kebijakan

publik. Ide dasar reformasi sistem pemerin-

tahan birokrasi adalah negara sebagi institusi

legal formal dan konstitusional yang bertugas

menyelenggarakan pemerintahan, baik dalam

fungsinya sebagai regulator maupun sebagai

agent of changes. Reformasi sistem pemeri-

ntahan menuntut adanya implementasi yang

sebenarnya dari civil society, yakni sistem

pemerintahan yang memberi ruang gerak 

yang luas bagi masyarakat untuk turut serta

berperan dalam penyelenggaraan pemerin-

tahan negara/daerah dan implementasi dari

sistem pemerintahan yang demokratis yang

menjadi inti dari good governance.

Suatu negara dengan kondisi hetero-

genitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti

etnis, budaya, geografis, agama, dan tingkat 

perkembangan sosial-ekonomi, merupakan

potensi yang cukup besar sebagai sumber

konflik, dan dapat mengarah pada disintegrasibangsa. Potensi konflik makin besar ketika

pemerintah mengembangkan sentralisasi

sistem pemerintahan, politik dan ekonomi, di

mana pengambilan keputusan dilakukan

secara terpusat (sentralistik) sehingga sering

menimbulkan kekecewaan masyarakat 

daerah. Kondisi tersebut makin memperkuat 

proposisi bahwa pengembangan masyarakat 

madani dengan sistem pemerintahan desen-

tralisti dan demokratis adalah suatu kenis-cayaan. Masyarakat madani memerlukan

bukan hanya untuk mempertahankan

130Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah

Page 55: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 55/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

kelangsungan kehidupan sosial dan politik 

masyarakat yang mandiri dan demokratis,

tetapi juga untuk kelangsungan pemerintahan

itu sendiri.

Dalam konteks sistem pemerintahan dan

sistem politik tersebut, maka pertanyaan yang

perlu dijawab adalah; apa yang harus dilaku-kan untuk mendorong pengembangan masya-

rakat madani di Indonesia?. Format sistem

pemerintahan yang bagaimana yang seha-

rusnya dikembangkan agar mampu memfa-

silitasi pengembangan masyarakat madani?.

Sistem birokrasi seperti apa yang

kondusif bagi pengembangan masyarakat 

madani. Pengembangan masyarakat madani

memerlukan ruang publik ( public sphere) di

mana setiap warga negara bisa secara bebasdan mandiri mengemukakan pendapatnya

tentang berbagai masalah kemasyarakatan.

Masyarakat seharusnya memiliki ruang ge-

rak yang memadai untuk memanfaatkan

potensinya dalam pemenuhan kebutuhan

hidupnya, seperti kebebasan menentukan

arah/pilihan politik, perlakuan yang adil

secara hukum, biaya dan pelayanan pendidi-

kan dan kesahatan yang murah, serta kebutu-

han lainnya. Konsep masyarakat madani

bermuara pada tiga syarat pokok dalam peme-

rintahan yaitu: 1) kompetisi yang sesung-

guhnya dan di anrtara individu dan kelompok,

tidak ada unsur paksaan, 2) partisipasi politik 

yang melibatkan sebanyak mungkin warga

negara dalam pembuatan kebijakan publik, 3)

kebebasan politik dalam seluruh proses sosial

dan kenegaraan.

C. TRANSPARANSI SEBAGI PILAR

REFORMASI PELAYANAN PUBLIK 

Konsep dan penggunaan istilah transpa-

ransi dewasa ini makin populer sejalan dengan

perkembangan peradaban manusia yang

menuntut agar penyelenggaraan pemerin-

tahan menganut asas keterbukaan dan

transparansi. Pemerintahan yang tidak 

mengedepankan keterbukaan dan trans-

paransi saat ini dianggap sebagai bukanlah

sistem pemerintahan baik dan ideal. Trans-paransi dalam penyelenggaraan sistem peme-

rintahan, khususnya pelayanan publik 

merupakan salah satu ciri utama  good gover-

nance. Karena good governance menayaratkan

adanya transparansi dalam seluruh aspek 

yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan publik. Trans-

paransi dimulai dari proses perencanaan,

implementasi sampai dengan evaluasi.Informasi yang melatarbelakangi setiap

tindakan pemerintah, seperti bentuk tindakan,

waktu, proses, biaya, dan aktornya harus di

publikasikan kepada masyarakat sebagai

implememtasi dari accountability  kepada

publik. Masyarakat diberi akses yang luas

untuk mendapatkan seluruh informasi yang

dibutuhkan terkait dengan penyelenggaraan

sistem pemerintahan. Organisasi pemerin-

tahan tidak boleh menutup akses informasibagi masyarakat yang membutuhkan infor-

masi. Karena melalui keterbukaan informasi

tersebut masyarakat dapat menilai arah,

tujuan, proses, implementasi dan hasil-hasil

yang dicapai organisasi publik dalam menja-

lankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.

Melalui keterbukaan informasi masyarakat 

dapat melakukan kontrol, menentukan sikap

dan merespons atas penyelenggaraan sistem

pemeritahan dan pelayanan publik. Melalui

keterbukaan informasi, masyarakat dan

seluruh stakeholders dapat mengetahui proses

perencanaan, implementasi kebijakan yang

disusun bersama oleh masyarakat dan

pemerintah.

Masyarakat perlu mengetahui apakah

anggaran yang tersedia telah digunakan

sesuai dengan kinerja yang diharapkan?

Apakah kebijakan yang dibuat telah

dilaksanakan dengan baik?. Hal ini semua

hanya mungkin diketahui jika pemerintahmengembangkan keterbukaan informasi, dan

terjadinya komunikasi dua arah dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerin-

tahan  good governace menuntut pemerintah

mendengar suara publik, tidak boleh berpura-

pura tidak mendengar dan tidak mengetahui

suara publik. Bahkan sangat dituntut agar

pemerintah segera memberi respons jika ada

tuntutan dan keinginan masyarakat yang

memang sejalan dengan tujuan dan sasaranpenyelenggaraan pemerintahan dan pela-

yanan publik.

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah131

Page 56: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 56/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Pada negara-negara maju yang mengem-

bangkan sistem pemerintahan demokratis,

pemerintah menjamin adanya akses bagi ma-

syarakat untuk mengetahui informasi

mengenai dinamika kegiatan pemerintahan.

Masyarakat memiliki the right to know  ter-

hadap apa pun yang terjadi dalam organisasipemerintahan. Masyarakat dijamin hak-

haknya untuk mengetahui perkembangan

kegiatan yang sedang dan akan berlangsung.

Hal ini semua dimaksudkan agar selain agar

masyarakat dapat mengetahui mengenai akti-

vitas pemerintah, juga agar masyarakat dapat 

memberikan masukan kepada pemerintah

jika memang diperlukan. Masyarakat adalah

pengguna hasil kerja pemerintahan, karena

itu masyarakat berkewajiban memberi sarandan masukan kepada pemerintah jika mereka

melihat bahwa ada sesuatu yang tidak sejalan

dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Setiap aparatur birokrasi pemerintahan ber-

kewajiban menjelaskan kepada masyarakat 

mengenai aktivitas pemerintahan baik diminta

maupun tidak diminta oleh masyarakat.

Namun dalam banyak hal, keterbukaan

sistem pemerintahan di Indonesia masih be-

lum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip

keterbukaan informasi pelayanan publik.

Masih terdapat organisasi publik yang hanya

menyampaikan hal-hal yang bersifat umum

seperti kebijakan dan proses penyeleng-

garaan kebijakan operasional yang bersifat 

teknis, tetapi kurang terbuka mengenai hal-

hal yang sensitif, seperti informasi keuangan,

baik sumbernya maupun penggunaannya.

Ketertutuan infomasi dan komunikasi publik,

tidak hanya berlaku bagi orang-orang diluar

ogranisasi publik atau masyarakat, tetapi jugasering dilakukan terhadap anggota organisasi

lainnya didalam organisasi tersebut, baik 

pejabat pada bidang yang berbeda maupun

stafnya sendiri.

Biasanya yang mengetahui hal-hal yang

berkaitan dengan anggaran suatu proyek 

untuk kepentingan publik hanya orang-orang

tertentu, seperti pimpinan beserta staf yang

secara hirarkis bertanggung jawab atas pelak-

sanaan proyek tersebut, sementara rekankerja yang berbeda bidang tugasnya tidak 

mendapatkan informasi yang memadai

mengenai hal tersebut walaupun mereka

berada dalam institusi yang sama. Kondisi

seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya

kualitas transparansi informasi yang masih

berlangsung pada berbagai organisasi publik.

Sudah menjadi tradisi dan pemandangan

umum diberbagai organisasi publik di Indo-nesia, dimana informasi tentang hal-hal yang

berkaitan dengan penyelengggaraan pelaya-

nan publik, khususnya mengenai hal-hal yang

sensitif seperti anggaran masih sangat sulit 

didapatkan. Karena itu, transparansi informasi

pelayanan publik masih merupakan sesuatu

yang menjadi tantangan dalam mewujudkan

penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan

ada kecenderungan bahwa informasi menge-

nai hal-hal yang sensitif tersebut menjadibarang mewah dan langka sehingga tidak 

mungkin dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Ketertutupan informasi pelayanan publik 

yang demikian itu mengindikasikan bahwa

untuk mewjudkan  good governance melalui

transparansi pelayanan publik masih meru-

pakan kendala dan tantangan yang menuntut 

kebijakan dan kemauan politik ( political will )

pemerintah yang sungguh-sungguh jika kon-

sisten dan komitmen terhadap penyelengga-

raaan ketatapemerintahan yang baik ( good 

 governance). Keterbukaan atau transparansi

informasi dan penyelenggaraan pelayanan

publik merupakan tuntutan pokok dalam pe-

nyelenggaraan pemerintahan yang menganut 

prinsip  good governance, dimana didalamnya

diharuskan adanya keterbukaan informasi

sebagai salah satu persyaratan implementasi

dari akuntabilitas publik.

Transparansi pelayanan publik, tidak 

hanya bekaitan dengan kebijakan ( policy ),tetapi juga menyangkut seluruh aspek penye-

lenggaraan pelayanan publik, mulai dari pro-

ses munculnya gagasan, perencanaan, imple-

mentasi, pengendalian, dan evaluasi seharus-

nya dilakukan secara transparan. Dalam

melakukan semua ini seharusnya melibatkan

seluruh stakeholders yakni masyarakat, swasta

dan pemerintah secara bersama-sama memi-

kirkan dan merumuskan seluruh aspek yang

berkaitan dengan ide, gagasan, penyeleng-garaan, dan pengendalian pelayanan publik 

yang dilakukan oleh pemerintah.

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah132

Page 57: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 57/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Dalam realitasnya, masyarakat sering

tidak memiliki akses yang cukup untuk men-

dapatkan informasi yang komprehensif 

mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan

pelayanan publik. Warga masyarakat kurang

memiliki informasi yang komprehensif 

mengenai prosedur dan proses pelayanan pu-blik yang seharusnya dilakukan. Bahkan seba-

gian besar masyarakat tidak mengetahui per-

sis apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

Masyarakat cenderung lebih banyak 

mengetahui kewajiban daripada haknya,

sebab organisasi publik memang lebih menge-

depankan informasi tentang kewajiban

masyarakat atas pelayanan publik yang dibe-

rikan daripada haknya. Sehingga ketika ber-

hadapan dengan organisasi publik (birokrat),masyarakat mengikuti apa saja yang dianjur-

kan–diperintahkan oleh birokrat. Kondisi

pelayanan semacam ini sangat bertentangan

pradigma good governance yang mengutama-

kan keterbukaan atau transparansi baik 

mekanisme, biaya, tempat, waktu dan petugas

pelayanan serta kesetaraan antara birokrat 

dengan warga masyarakat, maupun keseim-

bangan antara hak dan kewajiban warga

masyarakat dan pemerintah (birokrasi).

Proses dan prosedur pelayanan yang

panjang, berbelit-belit dan rumit tentu saja

menciptakan opportunity cost  yang besar,

waktu pengurusan yang panjang dan tenaga

yang melelahkan bagi pengguna layanan

publik. Kondisi seperti ini mendorong

masyarakat mencari cara mudah serta jalan

pintas untuk menyiasati bagaimana cara

menerima pelayanan publik yang cepat, yang

tidak banyak membuang waktu dan energi

walaupun dengan risiko biaya yang lebihtinggi. Praktek semacam ini sangat lazim dan

mudah dijumpai dalam proses penyeleng-

garaan publik pada beberapa instansi

pemerintahan. Bahkan prakrek semacam ini

sudah cenderung dianggap sebagai hal yang

wajar dan menguntungkan semua pihak, baik 

penerima maupun pemberi layanan publik.

Praktek semacam ini sejalan dengan temuan

GDS 2002 yang menunjukkan bahwa keba-

nyakan para pengguna jasa pelayanan publik justru merasa lega dan terbantu ketika diminta

membayar pungutan diluar ketentuan yang

berlaku (pungutan liar), yang penting urusan

cepat selesai. Sebagian lagi menganggap

pungutan liar sebagai hal yang wajar dan tidak 

berkeberatan membayarnya.

Anggapan yang demikian ini muncul

karena para pengguna jasa layanan publik 

sudah terlalu lama dan sering membayarpungli, sehingga perilaku seperti ini sudah

dianggap hal yang biasa dan tidak lagi dinilai

sebagai hal yang menyimpang dan membe-

ratkan. Pengguna jasa ketika ingin berha-

dapan dengan birokrasi publik mereka telah

mengetahuainya dan telah mempersiapkan

diri melakukannya. Sebagian tidak berpikir

apakah perilaku ini sesuai atau tidak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan bagi

mereka yang mengetahui pun juga melakukanhal yang sama karena mereka telah mema-

hami bahwa sudah jarang sekali mengurus

pelayanan publik yang tidak menggunakan

biaya tambahan diluar ketentuan yang ber-

laku. Namun demikian, jika hal ini dibiarkan

berlangsung tanpa adanya upaya sungguh-

sungguh untuk menjalankan transparansi dan

akuntabilitas dalam pelayanan publik maka

tentu saja sangat sulit untuk mewujudkan

clean and good governance melalui transpa-

ransi pelayanan publik.

Reaksi masyarakat pengguna jasa laya-

nan publik ketika dimintai uang rokok oleh

birokrat adalah: (1) Masyarakat pengguna

jasa layanan publik yang menganggap uang

rokok (pungli) sebagai hal yang wajar tetapi

tidak mau membayar di desa dan dikota rata-

rata 4,7 % . (2) Yang marah dan menolak 

membayar rata-rata 13,9 %, (3) Yang merasa

lega karena dengan demikian urusan cepat 

selesai rata-rata 15,5%, (4) Yang merasakeberatan tetapi tetap membayar rata-rata

19,9%, (5) Yang menganggap pungli sebagai

hal wajar sehingga rela membayarnya rata-

rata 46,1 %.

Temuan di atas mengindikasikan bahwa

persoalan pungutan liar dalam proses pelaya-

nan publik telah merupakan suatu hal yang

cukup memperihatinkan, dimana pengguna

jasa pelayanan publik jauh lebih besar yang

menganggap pungutan liar dalam pelayananpublik sudah merupakan tradisi yang berla-

ngsung cukup lama dan merambah keseluruh

Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah133

Page 58: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 58/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

aspek pelayanan publik. Tentu saja hal ini

sangat bertentangan dan jauh dari prinsip-

prinsip  good governance yang telah lama di-

praktekkan di negara-negara maju. Dan

perilaku semacam ini pulalah yang menjadi

hambatan utama dalam upaya mewujudkan

 good governance di Indonesia.Ketidakseimbangan antara hak dan ke-

wajiban masyarakat dengan birokrasi

mengindikasikan beberapa hal: Pertama ,

kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya

posisi tawar masyarakat dihadapan peme-

rintah. Di sini nampak kekuasaan pemerintah

terlalu kuat dan sebaliknya posisi masyarakat 

sangat lemah. Pemerintah dapat mendiktekan

keinginannya dalam proses penyelenggaraan

pelayanan publik. Pemerintah dapat menuntut atau mewajibkan masyarakat melakukan ba-

nyak hal untuk mendapatkan pelayanan dari

birokrasi, namun pada saat yang sama hak-

hak masyarakat kurang mendapat perhatian.

Kondisi seperti ini mermunjukkan masih

berlangsungnya pemerintahan yang bad gov-

ernance.

Kedua, Ketidakseimbangan antara hak dan

kewajiban yang sering ditemukan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik menun-

jukkan inkonsistensi birokrasi dalam mewu-

judkan transparansi. Birokrat berdalih bahwa

trasparansi birokrasi telah berlangsung ketika

prosedur pelayanan telah dipajang dipapan

pengumuman atau melalui media massa,

padahal yang diumumkan itu adalah hal-hal

yang berkaitan dengan kewajiban termasuk 

sanksi bagi pengguna jasa layanan, yang tidak 

mentaati prosedur dan ketentuan dalam

pelayanan publik, sementara yang berkaitan

dengan hak-haknya jarang sekali diumumkan.Demikian juga kewajiban penyelenggara

layanan jarang diumumkan termasuk sanksi

yang diterima jika layanan publik yang

diberikan kepada masyarakat tidak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Suatu hal

yang perlu dijelaskan bahwa dalam rangka

penyelenggaraan pelayanan publik yang

sessuai dengan pradigma  good governance

adalah kharusan adanya keseimbangan

antara hak dan kewajiban antara masyarakat pengguna jasa pelayanan dengan birokrasi

penyelenggara pelayanan.

Konsep transparansi sering digunakan

secara tumpang tindih dengan paradigma lain

dalam good governance seperti accountability 

dan responsiveness . Konsep transparansi

menunjuk pada suatu keadaan dimana segala

aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan

publik dilaksanakan secara terbuka (bersifat terbuka) dan dapat diketahui dengan mudah

oleh para stakeholders. Dimensi-dimensi

pelayanan publik yang seharusnya dilakukan

secara terbuka seperti persyaratan, biaya,

waktu, tempat, waktu dan personnel (Waluyo,

2005), serta hak dan kewajiban penyeleng-

gara (birokrasi) seluruhnya dipublikasikan

secara terbuka sehingga mudah diakses bagi

mereka yang membutuhkan.

Karena itu, setidaknya ada tiga indikatoryang dapat digunakan untuk mengukur trans-

paransi pelayanan publik. Pertama, tingkat 

keterbukaan proses penyelenggaraan pelaya-

nan publik yang mencakup persyaratan,

biaya, waktu yang dibutuhkan dan mekanis-

me yang harus dipenuhi. Hal ini dimaksudkan

agar seluruh stakeholders mengetahui dan

mempersiapkan diri untuk melakukan pelaya-

nan publik. Kedua, seberapa mudah peraturan

pelayanan dipahami oleh masyarakat dan

stakeholders lainnya. Maksud dari “memahami”

bukan hanya dalam artilateral tetapi juga

makna dibalik semua peraturan tersebut.

Diperlukan penjelasan mengenai persyaratan,

biaya, prosedur dan batas waktu setiap jenis

pelayanan publik. Jika semua hal ini diketahui

secara jelas oleh masyarakat, maka diharap-

kan akan terjadinya kepatuhan dalam mela-

kukan pelayanan publik. Publikasi informasi

mengenai berbagai aspek pelayanan publik 

tersebut menjadikan masyarakat tidak lagibanyak bertanya mengenai apa yang harus

dilakukan dalam pelaksanaan suatu jenis pela-

yanan publik. Hal ini penting, karena setiap

jenis pelayanan publik memiliki standar

pelayanan tersendiri dalam hal biaya, waktu,

tempat, prosedur serta personnel penyeleng-

garaan pelayanan publik.

Transparansi tidak hanya berkaitan

dengan kelancaran penyelenggaraan pela-

yanan publik, tetapi juga berkaitan dengankepercayaan, dan menghilangkan kecurigaan

yang memang sudah lama mendera birokrasi

134Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah

Page 59: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 59/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

di Indonesia. Dewasa ini telah terjadi kecu-

rigaan dalam berbagai aspek kehidupan dan

aktivitas pelayanan publik, terutama pela-

yanan publik yang dilaksanakan oleh biro-

krasi pemerintahan. Kecurigaan ini berawal

dari berbagai pengalaman masyarakat ketika

berhubungan dengan birokrasi publik, baik masa lalu maupun saat ini. Sehingga tidak 

mengherankan jika masyarakat memper-

tanyakan setiap kebijakan yang berkaitan

dengan pelayanan publik, terutama masalah

biaya yang sebenarnya diperlukan untuk 

suatu jenis pelayanan publik. Ketiga, kemu-

dahan memperoleh informasi yang benar

mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pelayanan publik.

Sering terjadi, dimana informasi diterimaoleh masyarakat berbeda dengan kebijakan

yang sebenarnya. Lain yang diputuskan lain

pula yang disampaikan. Untuk menghindari

hal-hal yang demikian atau miskomunikasi,

maka diperlukan informasi yang benar-benar

valid sehingga masyarakat menaruh keperca-

yaan kepada birokrasi pemerintahan. Agak 

sulit mempercayai suatu informasi jika

komunikatornya tidak dipercaya. Karena itu,

komunikator yang baik adalah mereka yang

mampu menyampaikan apa yang sebenarnya

menjadi keputusan organisasi.

D. PENUTUP

Ketatapemerintahan yang baik ( good gov-

ernance) merupakan suatu peadaban baru

yang menjadi paradigma sistem pemerin-

tahan yang mengedepankan pelayanan publik 

yang berkualitas, dimana didalamnya biro-

krasi dituntut tidak saja berperan sebagaiadministrator, komunikator (katalik), tetapi

juga sebagai pelayan publik yang diharpkan

mampu menciptakan pelayanan yang berori-

entasi pada customer satisfaction yakni

birokrasi yang mampu memberikan pelaya-

nan publik yang memuaskan bagi masya-

rakat. Salah satu dimensi pelayanan publik 

yang berkualitas yang menjadi tanggung

jawab birokrasi adalah transparansi dalam

berbagai aspek pelayanan publik.Pelayanan publik yang berkualitas meru-

pakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat 

135Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah

yang tidak dapat diabaikan oleh organisasi

pemerintahan. Hal ini menjadi penting

dipahami, karena masih ada birokrat yang

masih belum sungguh-sungguh mengutama-

kan pelayanan publik tersebut dalam menja-

lankan fungsi pemerintahan. Pelayanan publik 

yang berkualitas harus memenuhi syarat seperti tangibility, reliable, responsiveness, as-

surance, dan empathy . Jadi pelayanan publik 

yang dikehendaki dalam  good governnce

adalah pelayanan publik yang memiliki standar

tertentu, bukan pelayanan publik seperti

masa lalu yakni pelayanan publik yang lamban,

biaya tinggi, berbelit-belit, waktu yang lama

serta ditandai dengan korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN).

DAFTAR PUSTAKA

Colebatch, H.K, 2009, “Governance As A Con-

ceptual Development In The Analysis

Of Policy” Critical Policy Studies, Vol. 3,

No. 1, April 2009, (pp 58–67)

Denhart, Janet V and Robert B. Denhard,

2003. New Public Service: Serving Not 

Steering. London : M.E. Sharpe.

Dwiyanto, Agus .2002. Reformasi Birokrasi

Publik Indonesia. Yogyakarta : PSKK

UGM

Frederickson, H. George, 1984. Administrasi

Negara Baru (New Publivc Adminis-

tration), diterjemahkan oleh Al Ghoze,

Jakarta : LP3ES.

Hutter, Bridget M and Jones, Clive J, 2007,“From Government To Governance:

External Influences On Business Risk 

Management” Regulation & Gover-

nance (2007) 1, (pp 27–45)

Keban. Y.T. 2008. Enam Dimensi Stratetgis

Administrasi Publik. Yogyakarta: Gava

Media.

Kettl. D.F. 2002. The Transformation of Gover-nance. Baltimore and London : The

John Hopkins University Press.

Page 60: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 60/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

*********

Kristiadi, J.B., 1998. Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah dalam Usaha

Meningkatkan Pelayanan Publik pada

Abad XXI, Bandung, FISIP-UNPAD.

Kumorotomo, Wahyudi, 1994. Etika Admi-

nistrasi Negara. Jakarta : PT. GrafindoPersada.

Osborne, David and Ted Gaebler, 1996. Rein-

venting Government (Mewirausahakan

Birokrasi), Jakarta : PPM.

Osborne David And Peter Plastrik, 2000.

Memangkas Birokrasi. Lima Strategi

Menuju Pemerintahan Wirausaha,

Jakarta : PPM.

136Reformasi Pelayanan Publik 

Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah

Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan

Manajemen Publik. Tangerang :

Pustaka Arif 

Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Peme-

rintahan Daerah. Jakarta : Kata Hasta

Pustaka

Waluyo. 2007. Manajemen Publik; Konsep,

Aplikasi dan Implementasinya Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta :

Mandar Maju.

Zeithaml, V.A. Parasuraman dan L.L.Berry.

1990. Delivering Quality Services Balanc-

ing Customer Perception and Expecta-

tion, New York : The Free Press

Page 61: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 61/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

Measuring the quality of public services in the Building Permit in the one-stop services office of Bone

Regency, using indicators of the ability of the apparatus, system services and influential factor in the

service of Building permit. The data was collected through interviews, observation and documentation, as

a way to know the description of the organizational structure, education and training, ability to work 

completion on schedule, the convenience in obtaining services, clarity of information, security and protection

services to consumers in the Office of One-Stop Services (KPTSA) of Bone Regency. The factors that affect 

the public service of Building Permit (IMB), among others; timeliness, ease of filing, the accuracy of 

service, the cost of service. Factor is a barometer of the consumer or the use of the service, so whether or 

not the services provided by the government back to the things mentioned above. In the public service

should further develop the quality of human resources and democratization, leadership model must shift 

 from power to the approach of expertise (from macho to maestro) and democratic in spirit, close to the

subordinates and apply humanistic model of bureaucracy is putting a human in its proportions.

Keywords: Quality, One-Stop Services, Local Government 

 ABSTRAK 

Mengukur kualitas pelayanan publik dalam Izin Bangunan di kantor pelayanan satu atap Kabupaten Bone,

dengan menggunakan indikator kemampuan aparatur, sistem layanan dan faktor yang berpengaruh dalampelayanan Membangun izin. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, sebagai

cara untuk mengetahui gambaran struktur organisasi, pendidikan dan pelatihan, kemampuan untuk bekerja

selesai sesuai jadwal, kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, kejelasan layanan informasi, keamanan

dan perlindungan kepada konsumen di Kantor Pelayanan Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pelayanan publik Izin Mendirikan Bangunan (IMB), antara lain; ketepatan

waktu, kemudahan pengajuan, akurasi pelayanan, biaya pelayanan. Faktor adalah barometer konsumen

atau penggunaan layanan, sehingga apakah layanan yang diberikan oleh pemerintah kembali ke hal-hal

tersebut di atas. Dalam layanan publik lebih lanjut harus mengembangkan kualitas sumber daya manusia

dan demokratisasi, model kepemimpinan harus bergeser dari kekuasaan ke pendekatan keahlian (dari

macho untuk maestro) dan berjiwa demokratis, dekat dengan bawahan dan menerapkan model birokrasi

humanistik adalah meletakkan manusia dalam proporsinya.

Kata kunci: Kualitas, Pelayanan Satu Atap, Pemerintah Daerah

137Keywords: quality, one-stop services, local government 

KUALITAS PELAYANAN PUBLIK 

PEMERINTAH DAERAH

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA

Kabupaten Bone)

Rabina YunusFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Universitas Hasanuddin

Jl. P. Kemerdekaan Km. 10 Tamalarea Makassar, Kampus Unhas Tamalanrea Makassar,

Telp. (0411) 585024, 586200 (ext. 2211, 2100)

Page 62: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 62/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

138Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

 A. LATAR BELAKANG

Pelayanan merupakan tugas utama yang

hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi nega-

ra dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas

digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea

keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelaya-nan pokok aparatur terhadap masyarakat,

yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, memaju-

kan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan melaksanakan keterti-

ban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Salah satu komitmen dalam pembentukan

pemerintahan adalah kerelaan warga negara

untuk taat kepada aturan-aturan hukum, kese-diaan untuk mendukung setiap kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan peme-

rintah berkewajiban memberikan perlindu-

ngan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaan komitmen itu kemudian

timbul suatu jalinan hubungan yaitu hubu-

ngan pemerintahan. Hubungan ini terjadi

antara Pemerintah dan yang diperintah atau

masyarakat bahwa masing-masing pihak 

mempunyai posisi dan peran tertentu. Peme-

rintah berperan sebagai penyedia pelayanan

kebutuhan bagi masyarakat, sedangkan

masyarakat berperan sebagai penerima

pelayanan dari pemerintah.

Tugas pemerintah pada hakekatnya

adalah mengatur dan melayani masyarakat 

dengan sebaik-baiknya. Komitmen ini hanya

bisa dipegang kalau rakyat merasa bahwa

pemerintahan yang berjalan masih mengarah

pada upaya untuk melindungi dan melayani

masyarakat. Tugas pelayanan umum ( publicservice) kepada masyarakat lebih menekankan

kepada mendahulukan kepentingan masyara-

kat, mempermudah urusan masyarakat, mem-

persingkat waktu proses pelaksanaan urusan

masyarakat dan memberikan kepuasan

kepada masyarakat.

Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik merupakan tantangan ter-

sendiri dalam peningkatan kualitas pelayanan

publik, terutama bagi organisasi pemerintahdaerah dalam meningkatkan kepuasan ma-

syarakat sebagai pelanggan layanan publik.

Salah satu jenis pelayanan publik yang

diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bone

yang banyak mendapat keluhan dari masya-

rakat adalah pelayanan bidang IMB (Izin

Mendirikan Bangunan).

Mengingat pentingnya kebutuhan akan

fasilitas perumahan yang menjadi salah satukebutuhan pokok dari masyarakat, dimana

untuk membangun fasilitas perumahan terse-

but dibutuhkan adanya suatu izin pendirian.

Namun dalam proses mendapatkan IMB terse-

but, masyarakat sering mengeluhkan pelaya-

nan IMB oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu

Atap (KPTSA), diantaranya adalah masih ada-

nya penyimpangan baik dari segi prosedur,

biaya maupun waktu penyelesaiannya. Ber-

bagai keluhan masyarakat terhadap pelayananIMB yang diberikan oleh Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap secara implisit menunjuk-

kan bahwa kualitas pelayanan publik khusus-

nya bidang IMB tersebut masih rendah.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas

urusan pelayanan publik tampaknya lupa diri

yang kemudian melakukan berbagai penyim-

pangan. Masyarakat sebagai pihak yang

harus mendapatkan pelayanan dari peme-

rintah, yang secara langsung dapat merasakan

manfaatnya sekaligus yang menanggung

konsekuensi buruk dari pelayanan, karena itu

diperlukan sikap proaktif masyarakat dalam

melakukan pengawasan masyarakat terhadap

aktivitas pemerintah dalam memberikan pela-

yanan kepada masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang, maka

masalah penelitian ini dapat dirumuskansebagai berikut :

1) Bagaimana kualitas pelayanan publik 

bidang IMB pada Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabu-

paten Bone?

2) Bagaimana sistem pelayanan IMB pada

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

(KPTSA) Di Kabupaten Bone?

3) Faktor-faktor apakah yang mempenga-

ruhi kualitas pelayanan publik bidangIMB pada Kantor Pelayanan Terpadu

Satu Atap (KPTSA) Di Kab. Bone?.

Page 63: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 63/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan

yaitu :

1. Menganalisis aspek yang menentukan

kualitas pelayanan publik bidang IMB

di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap(KPTSA) Di Kabupaten Bone dilihat 

dari aspek struktur organisasi, kemam-

puan aparat, dan sistem pelayanan.

2. Menganalisis sistem pelayanan IMB

pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu

Atap (KPTSA) Di Kabupaten Bone.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas pelayanan

bidang IMB di Kantor Pelayanan Ter-

padu Satu Atap (KPTSA) Di KabupatenBone seperti Ketepatan waktu, kemu-

dahan dalam pengajuan, akurasi pela-

yanan bebas dari kesalahan dan biaya

pelayanan.

D. KONSEP PELAYANAN PUBLIK 

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai

pemberian pelayanan (melayani) keperluan

orang atau masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai

dengan aturan pokok dan tata cara yang telah

ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan

terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekat-

nya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia

tidaklah diadakan untuk melayani dirinya

sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat 

serta menciptakan kondisi yang memungkin-

kan setiap anggota masyarakat mengembang-

kan kemampuan dan kreativitasnya demi

mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998).Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk memberikan

pelayanan baik dan profesional.

Pelayanan publik ( public services) oleh

birokrasi publik tadi adalah merupakan salah

satu perwujudan dari fungsi aparatur negara

sebagai abdi masyarakat di samping sebagai

abdi negara. Pelayanan publik ( public ser-

vices) oleh birokrasi publik dimaksudkan

untuk mensejahterakan masyarakat (warganegara) dari suatu negara kesejahteraan (wel-

 fare state).

Pelayanan umum oleh Lembaga Adminis-

trasi Negara (1998) diartikan sebagai segala

bentuk kegiatan pelayanan umum yang dila-

ksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat,

di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik 

Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau

jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan ma-syarakat maupun dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ukuran/standar pelayanan publik yang

profesional, yang artinya pelayanan publik di-

cirikan oleh adanya akuntabilitas dan respon-

sibilitas dari pemberi pelayanan (aparatur

pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :

1. Efektif, lebih mengutamakan pada pen-

capaian apa yang menjadi tujuan dan

sasaran;2. Sederhana, mengandung arti prosedur/

tata cara pelayanan diselenggarakan

secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-

belit, mudah dipahami dan mudah dilak-

sanakan oleh masyarakat yang meminta

pelayanan;

3. Kejelasan dan kepastian (transparan),

mengandung akan arti adanya kejelasan

dan kepastian mengenai :

a. Prosedur/tata cara pelayanan;

b. Persyaratan pelayanan, baik persyara-

tan teknis maupun persyaratan admin-

istratif;

c. Unit kerja dan atau pejabat yang ber-

wenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan;

d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata

cara pembayarannya;

e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/peja-

bat penanggungjawab pemberi pelaya-

nan, waktu penyelesaian, rincian waktu/

tarif serta hal-hal lain yang berkaitan de-

ngan proses pelayanan wajib diinforma-

sikan secara terbuka agar mudah diketa-

hui dan dipahami oleh masyarakat, baik 

diminta maupun tidak diminta;

5. Efisiensi, mengandung arti :a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal berkaitan langsung dengan

Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus139

Page 64: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 64/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

pencapaian sasaran pelayanan dengan

tetap memperhatikan keter-paduan

antara persyaratan dengan produk 

pelayanan yang berkaitan;

b. Dicegah adanya pengulangan pemenu-

han persyaratan, dalam hal proses pe-

layanan masyarakat yang bersangku-tan mempersyaratkan adanya keleng-

kapan persyaratan dari satuan kerja/

instansi pemerintah lain yang terkait.

6. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung

arti pelaksanaan pelayanan masyarakat 

dapat diselesaikan dalam kurun waktu

yang telah ditentukan;

7. Responsif, lebih mengarah pada dayatanggap dan cepat menanggapi apa yang

menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi

masyarakat yang dilayani;

8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap

apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan

aspirasi masyarakat yang dilayani yang

senantiasa mengalami tumbuh kembang.

Dalam konteks pelayanan publik, dikemu-

kakan bahwa pelayanan umum adalah menda-

hulukan kepentingan umum, mempermudah

urusan publik, mempersingkat waktu pelak-

sanaan urusan publik dan memberikan kepu-

asan kepada publik (publik umum). Senada

dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan

bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok 

orang dengan landasan faktor material melalui

sistem, prosedur dan metode tertentu dalam

usaha memenuhi kepentingan orang lainsesuai dengan haknya. Dalam versi pemerin-

tah, definisi pelayanan publik dikemukakan

dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaya-

nan Publik yaitu segala bentuk pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah di

pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan

Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk ba-

rang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat maupundalam rangka pelaksanaan ketentuan pera-

turan perundang-undangan.

Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus140

Berdasarkan uraian diatas, dapat disim-

pulkan bahwa dalam menentukan kualitas

pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh

faktor struktur organisasi, kemampuan apa-

rat dan sistem pelayanan. Ketiga faktor ini

saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat 

dipisahkan dalam ikut menentukan tinggirendahnya dan baik buruknya suatu pela-

yanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Kualitas pelayanan publik mempunyai

indikator ketepatan waktu, kemudahan dalam

pengajuan, akurasi pelayanan yang bebas dari

kesalahan dan biaya pelayanan. Hal tersebut 

sangat dipengaruhi oleh faktor struktur

organisasi, kemampuan aparat dan sistem

pelayanan. Semakin baik faktor struktur orga-

nisasi, kemampuan aparat dan sistem pela-yanan maka kualitas pelayanan publik akan

semakin baik pula dan semakin dapat memu-

askan masyarakat sebagai pengguna hasil

pelayanan, dengan demikian. Sehingga kualitas

pelayanan publik yang berkualitas dapat ter-

capai, akan hal tersebut kami paparkan dalam

bentuk kerangka pikir peneltian berikut ini ;

E. METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode pende-

katan kualitatif dengan tujuan menggambar-

kan penyusunan program secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan jenis penelitian

asosiatif yang berupaya menafsirkan data

Kerangka Pikir Penelitian 

Page 65: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 65/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

141Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

3) Keputusan Bupati Bone (Nomor 15

Tahun 2008) Tentang Penunjukkan

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

di Kabupaten Bone Sebagai Tempat 

Pelayanan Permohonan Izin Mendiri-

kan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan

Bangunan (IPB) dan Izin PerpanjanganPenggunaan Bangunan (IPPB) Khusus

Rumah Tinggal.

Permohonan surat Izin Mendirikan Ba-

ngunan (IMB) dapat dilakukan oleh perora-

ngan, kelompok, badan hukum atau instansi

pemerintah maupun swasta. Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) diperlukan semata-mata

bertujuan agar adanya tertib bangunan.

Berbagai faktor yang mempengaruhi sistempelayanan publik, khususnya dalam pelayanan

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada kantor

pelayanan terpadu satu atap yakni (a), struk-

tur organisasi, (b), kemampuan aparat (c), sis-

tem pelayanan. Keinginan untuk mewujudkan

pemerintahan yang baik merupakan idaman

dari masyarakat, keinginan tersebut berang-

kat dari suatu asumsi dasar tentang pembentu-

kan pemerintahan itu sendiri, yaitu untuk 

memberikan kesejahteraan kepada masyarakat-

nya melalui pelayanan yang diberikan, bahwa

hal ini hanya dapat diwujudkan jika pengelo-

laan pemerintahan dilakukan oleh organisasi

pemerintahan yang benar-benar konsisten

terhadap masyarakat dan bangsanya.

1. Kemampuan Aparat 

Pembahasan mengenai kemampuan

aparat ini, akan diawali dari konsep bahwa

kemampuan aparat dalam penelitian ini

adalah suatu keadaan yang menunjukkanpengetahuan, kemampuan dan kemauan

dari aparat untuk melaksanakan tugas da-

lam rangka memperlancar tujuan organi-

sasi. Kemampuan sumber daya manusia

(aparat) pada suatu lembaga sangat menen-

tukan perkembangan lembaga tersebut.

Kemampuan aparat secara formal dapat 

dilihat dari tingkat pendidikannya, kemam-

puan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal,

namun dalam proses pelaksanaan pelaya-nan sesuai tugas pokok dan fungsinya

diatur dalam struktur organisasi.

yang berkenaan dengan fakta, keadaan, varia-

bel dan fenomena yang terjadi saat penelitian

berlangsung.

Pemilihan informan dilakukan secara pur-

 posive, artinya teknik penentuan informan

dipilih secara sengaja dengan pertimbangan

bahwa informan tersebut dianggap mampumemberikan informasi atau data yang relevan

dengan permasalahan penelitian. Informan

penelitian ini adalah pegawai pada kantor

pelayanan satu atap. Teknik pengumpulan data

dilakukan dengan cara pengamatan secara

intensif (observation), wawancara yang

dilakukan secara mendalam (in depth inter-

view ) dan teknik dokumentasi serta telaah

kepustakaan.

F. HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Pelayanan publik yang diberikan oleh apa-

rat pemerintah dalam suatu birokrasi peme-

rintahan sudah menjadi rahasia umum bahwa

kualitasnya rendah. Namun hal ini tidak men-

jadikan alasan utama untuk tetap pesimistik 

atas perubahan yang mungkin terjadi dalam

paradigma pelayanan yang selama ini menem-

patkan aparat dengan birokrasinya pada

posisi yang harus dilayani, tetapi harus beru-

bah kepada paradigma yang menempatkan

pengguna jasa (konsumen) pada posisi yang

lebih tinggi. Pelaksanaan pelayanan publik 

khususnya pelayanan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) di Kabupaten Bone.

Pemerintah Kabupaten Bone telah

melimpahkan kewenangan tersebut kepada

Pemerintah Kantor Pelayanan Terpadu Satu

Atap di Kabupaten Bone. Adapun peraturanyang mendasari pelaksanaan kewenangan

pelayanan IMB di Kantor Pelayanan Terpadu

Satu Atap di Kabupaten Bone adalah sebagai

berikut :

1) Undang-undang Republik Indonesia

(Nomor 28Tahun 2002) Tentang

Bangunan Gedung.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indo-

nesia (Nomor 45 Tahun 1998) Ten-

tang Perubahan Atas Peraturan Peme-rintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang

retribusi Daerah.

Page 66: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 66/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

2. Struktur Organisasi

Dalam hal restrukturisasi dan reorgani-

sasi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

(KPTSA) Kabupaten Bone telah lama

muncul ide untuk dilakukan, seperti yang

terungkap dari hasil wawancara yang

dikemukakan Bapak AS sebagai berikut :

“Baiknya untuk Kantor Pelayanan Terpadu

Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone biar 

tetap eksis dibuat struktur organisasi

sendiri, sehingga adanya eselon bagi Kepala

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

(KPTSA) Kabupaten Bone nantinya. Jadi

semua kegiatan pelayanan terpusat di satu

tempat, dan instansi yang terkait menem-

 patkan personilnya di Kantor PelayananTerpadu Satu Atap (KPTSA) itu. Ini tentu

akan lebih efisien dan efektif “ 

(Wawancara, 7 Mei 2011).

Berdasarkan dari apa yang dikemukakan

oleh salah seorang informan maka dapat 

dianalisa bahwa dengan keberadaan

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

(KPTSA) Kabupaten Bone dalam hal

struktur organisasi dari segi tingkat pem-

bagian tugas pokok dan fungsi sudah

terlihat adanya pembagian tugas pokok 

dan fungsi yang jelas. Karena dalam pelak-

sanaan sehari-hari petugas yang bertugas

di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap

(KPTSA) Kabupaten Bone hanya berju-

mlah 10 (sepuluh) orang, yang terdiri

dari : 1 orang petugas Tata Usaha (TU); 8

orang petugas loket pelayanan; 1 orang

petugas bagian umum pengamatan penu-

lis bahwa dari 10 (sepuluh) orang yangbertugas ini, kelemahan yang terlihat ada-

lah hanya beberapa petugas yang bersta-

tus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS),

sedangkan yang lainnya pegawai yang

berstatus Rollsstaads atau yang lebih dike-

nal dengan pegawai honorer.

3. Sistem Pelayanan.

Tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam

pelaksanaan pelayanan publik, khususnyapada izin mendirikan bangunan (IMB)

terlaksana dengan baik, demikian pula

dengan pelaksanaan tugas antar instansi

juga terlaksana dengan baik, walaupun de-

ngan waktu yang kurang efisien dikare-

nakan setiap urusan pelayanan baru akan

diproses setelah terku-mpul beberapa

formulir pengajuan dan baru dibawa ke

instansi terkait. Hal ini diungkapkan olehBapak YA sebagai berikut:

“Pengurusan IMB dilakukan bilamana,

kalau yang mengurus IMB dalam satu hari

sudah terkumpul banyak baru dibawa ke

Bagian perizinan untuk diproses. Sedang-

kan kalau masih sedikit menunggu dulu

 yang mengurus besoknya baru diproses” .

(Wawancara 15 Mei, 2011).

Berdasarkan pengamatan penulis bahwa

dalam hal pelayanan publik yang dilakukan

pada Kantor pelayanan terpadu satu atap,

nampak terjadi sistem pelayanan berdasar-

kan tingkat hubungan antara atasan dan

bawahan, disisi lain masih terlihat adanya

budaya bugis yang sangat mempengaruhi

dalam hubungan bapak dengan anak. Hal

ini disebut budaya paternalisme yang

memandang atasan sebagai pihak yang

harus dihormati oleh bawahannya, selain

itu bawahan hanya dipandang sebagai

alat untuk menjalankan perintah atasannya,

sehingga ada kecenderungan bahwa

aparat birokrasi yang telah menjadi pim-

pinan mempertahankan kedudukannya

karena dirasakan mampu memberikan

keuntungan finansial dan sosial.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

kemampuan aparat yang semakin tinggidan semakin baik maka akan berpenga-

ruh terhadap kualitas pelayanan yaitu

akan semakin baik.Tetapi dalam kasus di

Kabupaten Bone ini dalam hal kemam-

puan aparat, indikator pendidikan aparat 

ternyata tidak sesuai dengan konsep yang

ada. Dimana dalam konsep yang ada

semakin tinggi pendidikan aparat maka

kemampuannnya semakin baik, tetapi

kasus di Kabupaten Bone tingkat pendi-dikan aparat tidak membawa pengaruh

yang significant terhadap kemampuan

142Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

Page 67: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 67/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

aparat dalam hal kualitas pelayanan.

Indikator lain dalam variabel kemampuan

aparat adalah kemampuan penyelesaian

pekerjaan sesuai jadwal, dengan maksud

bahwa prosedur yang dilakukan oleh pe-

ngguna jasa tidak memerlukan waktu

yang ditunda-tunda dalam melaksanakanpelayanan terhadap masyarakat. Perma-

salahan kemampuan aparat dalam mela-

kukan kerja sama di Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten

Bone, terlihat masih menjadi kendala

demikian pula halnya kerja sama antara

atasan dan bawahan kurang tercipta

dengan baik, bawahan hanya meminta

petunjuk atasan kalau merasa bingung

dalam memutuskan sesuatu kebijakanyang akan dilakukan, hal ini sebagaimana

yang diungkapkan oleh Bapak RA sebagai

berikut:

“Sebagai pegawai apabila ada pekerjaan

 yang tidak pas, maka harus minta petunjuk 

atasan soalnya sebagai bawahan harus

loyal. Loyalitas itu wajar-wajar saja, supaya

setiap tindakan yang kita ambil itu benar.

 Jadi, kebijakan tetap ada di tangan atasan” 

(Wawancara 15 Mei, 2010).

Sebagai institusi yang bertugas melayani

publik dalam hal ini masyarakat, Kantor

Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA)

Kabupaten Bone yang diwakili oleh Kepala

Kantor secara periodik memberikan per-

tanggungjawaban kepada bapak Bupati

Bone. Hal-hal yang dilaporkan adalah

mengenai laporan keuangan hasil pema-

sukan dari Kantor Pelayanan TerpaduSatu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Hal

Ini penting sekali karena laporan keua-

ngan tersebut akan dipertanggungja-

wabkan kepada masyarakat dalam ben-

tuk pembangunan melalui Pendapatan Asli

Daerah (PAD).

4. Kenyamanan dalam memperoleh

pelayanan

Kenyataan yang ada di Kantor PelayananTerpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten

Bone menunjukkan bahwa faktor kenya-

manan bagi masyarakat kurang diperha-

tikan. Hal ini terlihat dari kondisi ruang

pelayanan yang tidak memperhatikan

faktor kenyamanan berdasarkan stándar.

5. Kejelasan informasi

Selain hal tersebut diatas, dalam men-dukung sistem pelayanan, pihak Kantor

Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA)

Kabupaten Bone juga memberikan keje-

lasan informasi tentang pelayanan yang

diberikan berkaitan dengan pelayanan

publik yang diberikan. Hal tersebut dila-

kukan sebagai upaya dalam rangka men-

jalin hubungan dengan masyarakat seba-

gai pihak yang harus dilayani dengan baik.

Apabila ada keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik,

masyarakat dapat mengadukan keluhan

tersebut melalui media massa Radar Bone

(milik Pemda Kabupaten Bone) atau

melalui radio Suwara Daya Indah. Berkai-

tan dengan perlindungan terhadap dam-

pak hasil pelayanan, Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten

Bone seperti yang telah dijelaskan sebe-

lumnya bahwa pihak Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten

Bone menjamin dan memberikan perlin-

dungan terhadap konsumen apabila ada

kesalahan.

G. FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI KUALITAS

PELAYANAN

Salah satu indikator dalam memperoleh

kualitas pelayanan publik yang baik maka yangperlu untuk diperhatikan adalah ketepatan

waktu pelayanan yang berkaitan dengan wak-

tu tunggu dan proses. Semakin cepat dan tepat 

waktu dalam proses pelayanan, maka akan

membuat pengguna jasa semakin puas, selain

itu kemudahan dalam pengajuan permohonan

dan kelengkapan administrasi yang menyang-

kut prosedur atau tata cara, tidak berbelit-belit,

mudah dipahami dan dilaksanakan.

Sementara itu, indikator berikutnya aku-rasi pelayanan yang berkaitan dengan apakah

pelayanan tersebut bebas dari kesalahan,

143Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

Page 68: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 68/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

menunjukkan dalam setiap permohonan

pelayanan masih diketemukan kesalahan-

kesalahan yang berkaitan dengan hal-hal

teknis, misalnya kesalahan dalam proses

mencetak dokumen. Hal ini patut sebenarnya

masih dapat dianggap wajar, tetapi sebagai

konsumen yang ingin mendapat pelayananyang terbaik seharusnya setiap kesalahan

hendaknya dapat dikurangi bahkan tidak 

terdapat kesalahan sedikitpun.

Indikator terakhir dalam menentukan kua-

litas pelayanan publik di Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone

yang dilakukan dalam penelitian ini meru-

pakan indikator besarnya biaya pelayanan,

faktor biaya pelayanan dianggap penting

karena faktor ini paling rawan dan krusialsekali di mata banyak pihak. Penetapan

besarnya biaya pelayanan telah ditetapkan

dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bone,

karena sangat membantu dalam memperoleh

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

H. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Kualitas pelayanan publik di Kantor Pela-

yanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten

Bone dapat dikatakan masih rendah, hal ini

disebabkan antara lain; Masih tidak konsis-

tennya antara waktu tunggu dengan waktu

penyelesaian dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat sebagai konsumen.,

Belum adanya sistem yang terkomputerisasi

dan terintegrasi online dengan instansi terkait.

Pelayanan kepada masyarakat dilayani dengan

tanggap dan cepat, namun daya inisiatif dan

kreativitas masih kurang, terlalu prosedural.

 2. Saran

Perlunya peningkatan kualitas pelayanan

publik terhadap pelayanan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) maka di harapkan pendidi-

kan dan pelatihan lebih ditingkatkan, demikian

pula dengan ketepatan waktu melayani sehing-

ga disarankan untuk melaksanakan pelayanan

dengan sistem on line terhadap berbagai uru-

san pelayanan publik pada Kantor PelayananTerpadu Satu Atap kabupaten Bone. Dilihat 

dari kemampuan aparat, harus melaksanakan

prinsip ‘The right man in the right place’ maka

dalam pendelegasian tugas dan wewenang

serta pemberian kesempatan kepada pegawai

untuk memegang tanggung jawab perorangan

harus jauh dari pola pendekatan hubungan

pribadi, tetapi lebih ditekankan pada objek-

tifitas kualitas keahlian dan kecakapanindividu penerima wewenang.

DAFTAR PUSTAKA

Linquist, Evert, 2006 , “Organizing for Policy 

Implementation: The Emergence and 

Role of Implementation Units in Policy 

Design and Oversight” Journal of Com-

parative Policy Analysis, Vol. 8, No. 4,

December 2006 (pp.311–324) http://www.tandfonline.com/page/terms-

andconditions, diakses (09 Agustus

2011)

Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan

Umum di Indonesia, Bumi Aksara,

Jakarta.

Osborne, David dan P. Plastrik, 1997, Banishing

Bureaucracy : The Five Strategies for 

Reinventing Government , New York,

Addison–Wesley.

Supranto, 2001, Pengukuran Tingkat Kepuasan:

Untuk Menaikkan Pangsa Pasar , Rineka

Cipta, Jakarta.

Tobirin, 2008, “Penerapan Etika Moralitas

Dan Budaya Malu Dalam Mewujudkan

Kinerja PNS Yang Profesional” Civil 

Service: Jurnal Kebijakan & ManajemenPNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79)

Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah

dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol 

Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan

Otonomi Daerah, Insan Cendekia,

Surabaya.

Zeithaml, Valarie A., (et.al), 1990, Delivering Quali-

ty Services: Balancing Customer Percep-tions and Expectations, The Free Press,

A Division of Macmillan Inc., New York.

144Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

Page 69: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 69/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

DOKUMEN PUBLIK 

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik 

Peraturan Bupati Bone N0. 74 tahun 2008

Tentang Rincian tugas, fungsi dan tata kerjakepala unit, sekertaris, kepala bagian tata usaha,

kepala bidang dan sub bagian pada unit pe-

layanan terpadu perizinan Kabupaten Bone.

145Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah

(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus

Peraturan Daerah Kabupaten Bone N0. 25 Ta-

hun 2009 Tentang Izin Mendirikan Bangunan

Keputusan Bupati Bone (Nomor 15 Tahun

2008) Tentang Penunjukkan Kantor Pelayanan

Terpadu Satu Atap di Kabupaten Bone Sebagai

Tempat Papelayanan Permohonan Izin Mendi-rikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Ba-

ngunan (IPB) dan Izin Perpanjangan Pengguna-

an Bangunan (IPPB) Khusus Rumah Tinggal.

*********

Page 70: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 70/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

 ABSTRACT

The government will continue to strive to make efforts to reform the bureaucracy, as an integral 

 part of improving government management and enhance the dignity of the government in the eyes of 

the international community and the world. However, increasingly based on that, the reform is not 

easy, because he did not take place in a vacuum chamber. Bureaucratic reforms face cultural constraints,

structural and even mental constraints of bureaucracy, in addition to technical constraints. The problems

are now required is a renewed commitment of the leaders or officials at central and local levels to

continue to push reforms through e-government bureaucracy. Important conclusions can be drawn

 from this study is that e-government is implemented seriously and consistently will greatly support the

transparency of public services. What also must be understood by government officials is that the use

of e-government still requires consistent monitoring systems. In addition to extensive knowledge of 

information technology, e-government must also be supported by good integrity among policy makers

and pelaksannya. Teknoogi information does make many things easier and more efficient.

Keywords: Bureaucracy, E-Government, Information Technology 

 ABSTRAK 

Pemerintah akan terus berusaha melakukan upaya untuk mereformasi birokrasi, sebagai bagianintegral untuk meningkatkan manajemen pemerintahan dan meningkatkan martabat pemerintah di mata

masyarakat internasional dan dunia. Namun, semakin berdasarkan itu, reformasi tidak mudah, karena ia

tidak terjadi dalam ruang vakum. Reformasi birokrasi menghadapi kendala budaya, hambatan struktural

dan bahkan mental birokrasi, di samping kendala teknis. Masalah sekarang yang dibutuhkan adalah

komitmen baru dari para pemimpin atau pejabat di tingkat pusat dan daerah untuk terus mendorong

reformasi melalui e-government birokrasi. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari penelitian ini

adalah bahwa e-government dilaksanakan dengan serius dan konsisten akan sangat mendukung

transparansi pelayanan publik. Yang juga harus dipahami oleh pejabat pemerintah adalah bahwa

penggunaan e-government masih memerlukan sistem monitoring rutin. Selain pengetahuan luas tentang

teknologi informasi, e-government juga harus didukung oleh integritas yang baik di antara pembuat 

kebijakan dan pelaksannya. Informasi teknoogi tidak membuat banyak hal lebih mudah dan lebih efisien.

Kata kunci: Birokrasi, E-Government, Teknologi Informasi

146

REFORMASI BIROKRASI MELALUI E-GOVERNANCE :

PELUANG ATAU TANTANGANDALAM PELAYANAN PUBLIK ?

Zainuddin MustapaFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Timur

Jl. Rappocini Raya No.171-173 Makassar

Telp.(0411) 421974, Fax (0411) 852111

Page 71: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 71/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa147

 A. PENDAHULUAN

Dukungan pemerintah terhadap perkem-

bangan e-government di Indonesia mulai tam-

pak pada periode awal tahun 1990-an, mes-

kipun lembaga-lembaga yang berkompeten

bagi pengembangan sistem informasi dalamorganisasi publik sebenarnya sudah ada pada

beberapa dasawarsa sebelumnya. Terkait 

dengan pengembangan e-government, peme-

rintah telah mengeluarkan Inpres No-3 tahun

2003 mengenai Strategi Pengembangan E-

 government. Namun dengan rumusan renca-

na pengembangan egovernment yang masih

abstrak dalam aturan tersebut, tampak-nya

masih banyak perbedaan pemahaman di

antara para pejabat pemerintah sendiri.Dalam pandangan umum, e-government  se-

jauh ini masih dipahami sebatas sebagai

pembuatan situs web oleh organisasi peme-

rintah. Belum banyak yang memahami secara

luas bahwa tahap-tahap perkembangan

pemanfaatan teknologi informasi dalam

organisasi publik itu bisa berbeda-beda

mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat 

yang semakin beragam. Tetapi kurang jelas-

nya konsep e-government itu dapat dimaklumi

karena cakupan tugas-tugas pemerintah yang

sangat luas dengan kebutuhan di masing

masing daerah yang beragam.

Secara umum, tahap pengembangan e-

 government dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) tahap informatif, 2) tahap interaktif, dan

3) tahap transaktif. Tahap informatif mengan-

dung arti bahwa pembukaan situs web oleh

organisasi pemerintah sebatas digunakan

sebagai sarana penyampaian informasi

tentang kegiatan pemerintahan di luar me-dia elektronik maupun non-elektronik yang

selama ini ada. Tahap interaktif berarti peng-

gunaan teknologi internet yang memung-

kinkan kontak antara pemerintah dan masya-

rakat melalui situs web dapat secara online

sehingga memungkinkan interaksi yang

lebih interaktif dan terbuka. Sedangkan tahap

transaktif adalah penggunaan teknologi inter-

net yang memungkinkan transaksi pelayanan

publik melalui situs web. Misalnya, kemung-kinan untuk membayar pajak, melakukan

permintaan formulir, atau transaksi lainnya

melalui internet. Seperti diketahui tugas utama

birokrasi adalah untuk menjalankan pemerin-

tahan dan juga sebagai struktur yang menja-

min kelancaran pemerintahan.

Namun pada kenyataannya, birokrasi me-

miliki kelemahan dalam pelaksanaannya dilapa-

ngan, ia memiliki citra buruk yang melekat dalam dirinya (the bad sides of bureaucracy )

terutama dalam praktik pelayanan publik 

sehari-hari, khususnya di Negara sedang ber-

kembang yang mewarisi tradisi birokrasi yang

korup dan kurang berpihak pada rakyat yang

mestinya mereka layani, diminta ataupun tidak.

Apabila kita bertanya kepada kritikus pemerin-

tahan tentang penilaian mereka terhadap prak-

tik birokrasi, maka kita akan mendapatkan

gambaran kebalikan dari identitas teoritissebagaimana yang dikemukakan oleh pengga-

gasnya. Kegalauan itu tidak saja dilontarkan

oleh ilmuwan Negara sedang berkembang na-

mun juga dalam banyak kasus di Negara maju.

Secara teoritis pun banyak orang mem-

ber penilaian negative, sebagian bagian dari

sifat birokrasi yang kaku dan formalistis,

sebab tidak semua urusan masyarakat dan

pmerintahan bisa didekati dengan pendekatan

formalistis. Contohnya, orang miskin yang

belum memiliki stempel miskin dari birokrasi

lokal. Mereka tidak bisa mendapatkan hak-

haknya yang asasi misalnya memperoleh pe-

rawatan dan pengobatan karena dia tak men-

dapati dirinya memiliki kartu keterangan

miskin. Kritikan itu berisi poin-poin yang

umumnya negatif, dapat dilihat seperti contoh

berikut ini : [bureaucracy] evokes the slowness,

the ponderousness, the routine, the complica-

tion of procedures, and the maladapted re-

sponses of bureaucratic organizations to theneeds which they should satisfy, and the

 fustations which their members, clients, or sub-

 jects consequently endure.

Dikatakan bahwa gambaran bagi organi-

sasi birokratik adalah keadaan yang lamban,

yang membosankan, yang rutin, yang rumit 

prosedunya, dan yang buruk adaptasinya

terhadap kebutuhan-kebutuhan yang harus

mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita

akan rasa frustasi yang terus-menerus dira-sakan oleh para anggotanya, kliennya atau

subyeknya.

Page 72: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 72/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Pengidentikan birokrasi dengan berbagai

hal yang bernada negative memang bukanlah

sesuatu hal yang baru. Bagi banyak ahli biro-

krasi tetap memiliki varriasi konotasi, tergan-

tung kelompok  social  yang menyampaikan

keluhan. Golongan tertentu dengan jabatan

tinggi mengeluh tentang hilangnya keistime-waan, yang oleh tradisi ada, bisa dibatasi oleh

birokrasi. Kalangan pengusaha mengeluhkan

campur tangan birokrasi dalam perdagangan,

para seniman mengeluhkan pekerjaan tulis-

menulis mereka yang tak kunjung masuk 

urusan utama birokrasi, para ilmuwan menge-

luhkan kedunguan para pelaksana tugas atau

PNS yang bekerja lamban dan seenaknya

sendiri, para negarawan mengeluhkan penun-

daan penyusunan dan pelaksanaan agendapemerintahan. Dalam sebuah masyarakat dan

ekonomi yang semakin digerakkan oleh

inovasi teknologi, birokrasi di Negara-negara

sedang berkembang harus berhadapan

dengan proses tuntutan yang baru yaitu :

efesiensi, produktifitas, akses rakyat terhadap

informasi yang ada dalam birokrasi serta

tuntutan kepastian dan rasa aman dan rasa

nyaman (convenience).

Dalam proses Negara yang menuju

demokrasi selalu terdapat tuntutan dan bahkan

kebutuhan akan hak-hak “masyarakat yang

diperintah” harus diletakkan seiring dengan

tujuan-tujuan pembangunan. Secara umum

diketahui bahwa diluar lingkungan birokrasi,

secara historis, inovasi-inovasi teknologi telah

menghasilkan kualitas kehidupan yang

meningkat dengan kata lain kalau mau maju

 ya harus ada inovasi.

Bagi seorang pemimpin pemerintahan

yang baik, pelayanan yang baik adalah visiyang selalu ingin diciptakannya dalam

menjamin perbaikan pemerintahan secara

keseluruhan. Dan tampaknya dari ber-bagai

segi pemerintahan ada keyakinan : tak ada

satu cara yang baku, tak ada “cara terbaik”

kea rah pemerintahan yang baik. Dan dalam

pekembangannya yang sekarang e-govern-

ment  berhasil-berhasil menjadi alternative

yang umum diterapkan di Negara sedang ber-

kembang dalam reformasi pemerintahannya.

B. KONSEP DASAR E-GOVERNMENT 

Pengertian tentang e-government telah

banyak dikemukakan para praktisi maupun

akademisi sehingga definisi yang ada mengan-

dung penekanan yang berbeda-beda. Bank 

Dunia (2001) mendefinisikan E-government 

sebagai penggunaan teknologi informasi oleh

instansi pemerintah seperti Wide Area Net-works (WAN), Internet, mobile computing)

yang dapat digunakan untuk membangun

hubungan dengan masyarakat, dunia usaha,

dan instansi pemerintah lainnya.

Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa

e-government  adalah penggunaan teknologi

informasi untuk membuka pemerintah dan

informasi pemerintah untuk memungkinkan

dinas-dinas pemerintah untuk berbagi

informasi demi kemanfaatan publik, untuk memungkinkan terjadinya transaksi secara

online dan untuk mendorong pelaksanaan

demokrasic. Selanjutnya variasi tentang

definisi e -government dapat disajikan sebagai

berikut:

E-government applies concepts of electronic

commerce (e.g. information and marketing

through Web sites, selling to customers on-

line) to government operations.

Refers to the federal government’s use of 

information technologies (such as Wide Area

Networks, the Internet, and mobile com-

 puting) to exchange information and ser-

vices with citizens, businesses, and other 

arms of government..

Government activities that take place by digi-

tal processes over a computer network usu-

ally use the Internet, between the govern-

ment and members of the public and enti-

ties in the private sector, especially regulated entities. These activities generally involve the

electronic exchange of information to ac-

quire or provide products or services, to place

or receive orders, to provide or obtain in-

 formation, or to complete financial trans-

actions. The anticipated benefits of e-govern-

ment include reduced operating costs for 

 government institutions and regulated en-

tities, increased availability since govern-

ment services can be accessed from virtu-ally any location, and convenience due to

round-the-clock availabiliry.

148Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 73: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 73/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Teman-teman di atas apabila direlokasikan

dengan manfaat yang diperoleh melalui

penerapan e-government  masih sangat jauh.

Melalui e-government  paradigma pelayanan

 public bergeser dari paradigma birokratis

menjadi paradigma e-government  yang

mengedepankan efesiensi, transparansi, danfleksibilitas, yang akhirnya bermuara pada

kepuasan pengguna layanan public. Manfaat 

lain e-government dikemukakan oleh Euro-

 pean Commision;

Transforming government into a dynamic,

 productivity-driven concept and set of Institu-

tions (for example through reengineering).

Providing interactive user-driven services to

citizens and businesses which maximise. fu46lment and security, whilst generating

trust and confidence.

Using ICT to support good governance so

that democracy is characterised by accoun-

tability, openness and transparency, and that 

articulation between the different parts of 

society, including government, is flexible, ef-

 fective and beneficial to the common good.

Supporting the general role of government in

underpinning and promoting the wealth, wel-

 fare and sustainable development of society.

E -government  Indonesia yang masih

dalam tingkatan interaksi belum dapat 

mentransformasi pelayanan publik yang

lebih baik. Bahkan untuk komunikasi

eksternal pun masih belum dapat dimanfaat-

kan dengan baik walaupun sarana interaksi

yang ada berupa  forum, email, chat, polling,

dan lainnya sudah disediakan pada setiap

website pemerintah. Sarana interaksi belumdapat ditujukan untuk komunikasi formal

maupun informal, juga untuk umpan balik 

langsung yang cepat seperti yang disampai-

kan oleh Alfred dalam tabel di atas, apalagi

untuk sarana  provid ing interactive user-

driven services to citizens and businesses

which maximise fulfilment and security, whilst 

 generating trust and confidence sebagaimana

pendapat European Commision.

Keadaaan di atas, menunjukkan tanta-ngan penerapan e-government  di Indonesia

masih sangat banyak di antaranya dari segi

sumber daya manusia, perangkat keras, dan

organisasi. Kemampuan sumberdaya manu-

sia atau  peopleware terutama para pejabat 

birokrasi maupun staff dalam menggunakan

Internet yang masih terbatas. Hal ini terbukti

dari masih sangat tergantungnya birokrasi

dalam pengembangan e-government  terhadappihak luar.

Operasionalisasi e-government juga tidak 

berjalan lancar ditandai dengan sarana

interaksi yang disediakan tidak dimanfaatkan

dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa

paradigma pelayanan publik berbasis e-

 goverment memerlukan persiapan yang lebih

serius, bukan hanya implementasi aplikasi

saja tapi harus bisa melalukan transformasi

budaya, seperti ditekankan oleh EurepeanCommision: “ Adding ICT to government services,

however, does not itself produce “e-Government” 

- new technologies must be implemented hand 

in hand with organisational change and new 

skills if convenient, service-oriented services are

to flow”.

Aspek hardware yakni berkaitan dengan

teknologi dan infrastuktur juga menjadi

tantangan. Terbatasnya hardware dan soft-

ware serta masih sedikitnya instansi peme-

rintah yang terhubung pada jaringan baik 

lokal (LAN) maupun global (Internet)

menyebabkan perkembangan e-government 

tidak dapat berjalan lancar. Sebenarnya

melalui implementasi e-government komuni-

kasi internal antar dinas pernerintah dapat 

lebih terjalin, namun demikian karena

keadaan infrastruktur jaringan yang masih

terbatas maka e-government  akhirnya hanya

dimanfaatkan untuk komunikasi eksternal

yang juga belum maksimal.Berdasarkan aspek organisasi atau

organoware, seringkali instansi pemerintah

dalam mengoperasionalkan e-government 

menemui kendala dalam aspek organisasi.

Kendala ini ditandai dengan tidak fleksibelnya

Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT)

birokrasi yang dapat mewadahi perkemba-

ngan baru model pelayanan publik melalui e-

 government. Para admin e-government  di

beberapa daerah yang selalu memonitorpengaduan masyarakat tidak mempunyai

wewenang dan kemampuan untuk langsung

149Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 74: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 74/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

berinteraksi dengan masyarakat misalnya

dalam memberikan jawaban. Sedangkan

untuk meminta pejabat atau pegawai yang

terkait untuk menjawab pertanyaan yang

telah diajukan masyarakat, para admin ter-

sebut tidak mempunyai wewenang. Ham-

batan organoware lainnya adalah belum ada-nya regulasi yang mengijinkan transaksi

melalui media elektronik dapat dianggap sah.

Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE

namun belum ada Juklak dan Juknis di samping

SOT dan regulasi. Tantangan organoware

berikutnya adalah terbatasnya dana yang

tersedia untuk pengembangan dan operasio-

nalisasi e-governent  di daerah. Pemerintah

pusat hanya menyediakan kerangka kebija-

kan dan panduan tidak disertai dengan alokasidana sehingga harus ditanggung oleh daerah

yang bersangkutan.

C. E-GOVERNANCE  SEBAGAI TREN GLO-

BAL MODERNISASI BIROKRASI

Selama lima tahun belakangan ini, ilmuwan

pemerintahan dan juga badan-badan resmi

PBB untuk pelayanan publik terus meng-

evaluasi dan sekaligus mencari strategi yang

jitu dalam rangka mengembangkan standar

mutu pelayanan publik bagi Negara-negara

berkembang. Tidak kurang dari UNPAN

(www.unpan.org) dan World Public Sector 

misalnya, selalu saja mengembangkan ide dan

menfasilitasi pengembangan sistem baru

dalam rangka perbaikan pelayanan publik 

(better publik services).

Mengapa perbaikan pelayanan publik 

dikaitkan dengan keberanian inovasi dalam

birokrasi dan pentingnya introduksi IT (Infor-mation Technology ) untuk perbaikan sistem

pelayanan, peningkatan produktifitas, efesi-

ensi dan bahkan demokrasi dan apa masalah

yang akan dihadapi Negara-negara berkem-

bang seperti Indonesia?

Dari sisi akademis, seperti telah ada ke-

simpulan umum, bahwa tren aplikasi e-gover-

nment dalam pemerintahan serta hasil yang

telah dicapai oleh beberapa Negara maju

mengesankan bahwa Negara yang inginmemperbaiki pelayanan publiknya, sedikit 

atau banyak ia harus berani berinovasi dalam

manajemen pelayanan dan peningkatan mutu

pelayanan publiknya. Dengan kata lain seolah

ada adagium : “tidak aka nada perbaikan mutu

pelayanan publik tanpa inovasi. Tidak ada

inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi.

Dengan kata lain tidak ada pelayanan yang

baik tanpa e-government ”.Kutipan pengertian dibawah ini adalah

contohnya : Government–a publik organization

– is part of a broader governance system. It is a

means to a goal. These days, government is seen

 predominantly as a publik organization set up

by a society for the purpose of pursuing that 

society’s development objectives. This comprises

articulating the society’s development-related 

demands, proposals and needs, aggregating them

and implementing respon sive solution. Enjoy-ment of publik consent constitutes the source of 

 government’s legitimacy. Trans-parency is a con-

dition sine qua non for government’s account-

ability vis-à-vis its oversight body. E-government 

is a gover-nment that applies ICT to transform

its internal and external relationships. Throught 

the application of IT to its operations, a govern-

ment does not alter its functions or its obliga-

tion to remain useful, legitimate, transparent 

and accountable. If anything, this application

raises society’s expectations about the perfor-

mance of government, in all respects, to a much

higher level.

Kutipan di atas memberi pengertian seka-

ligus penilaian bahwa e-government  adalah

aplikasi teknologi informasi dan komunikasi

dalam dan dengan pihak luar diharapkan

meningkatkan  performance pemerintahan

dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan

peningkatan kualitas pemerintahan. Demikian

pula terbukti semakin maju sesuatu Negarasemakin tinggi tingkat e-government.

D. PERAN NEGARA-NEGARA MAJU

MENUJU E-GOVERNMENT 

Deskripsi berikut ini akan menampilkan

peringkat kesiapan e-government secara global

untuk 25 negara teratas di dunia. Kebanyakan

Negara-negara dengan ekonomi maju dan ber-

pendapatan tinggi menduduki peringkat teratas jika dibandingkan dengan rata-rata

Negara lain. Meski mayoritas Negara tersebut 

Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa150

Page 75: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 75/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa151

adalah Negara industry maju, namun beberapa

Negara berpendapatan menengah dengan

ekonomi sedang berkembang atau sedang

beranjak menuju maju, memperlihatkan ada-

nya trend “pengejaran akan ketertinggalan”.

Secara keseluruhan, Amerika Utara dan

Eropa memimpin di seluruh dunia. Negara-

negara Asia Tengah-Selatan dan Afrika me-miliki kesiapan e-government yang terendah.

Tak diragukan bahwa yang mendasari gamba-

ran ringkas secara agregat ini ialah tingkatan

pembangunan ekonomi, social dan politik dari

Negara-negara yang bersangkutan.

Salah satu factor primer turut berperan

dalam menyumbangkan angka kesiapan e-

 government yang tinggi ialah investasi di masa

lalu dalam sumber daya telekomunikasi dan

manusia. Rendahnya kesiapan e-government di Asia tengah-selatan dan Afrika merupakan

sebuah cerminan dari sangat rendahnya indeks

Peringkat Kesiapan E-Government 

Secara Global 25 Negara Teatas 

Sumber : United Nations ; World Publik Sector Report 

telekomunikasi dan sangat rendahnya indeks

Modal Sumber Daya Manusia.

Disparitas dalam tingkat kesiapan e-govern-

ment bukan hanya mencerminkan rendahnya

level sumber daya infrastruktur dan modal

sumber daya manusia beberapa bagian di

seluruh dunia. Disparitas itu juga menunjuk-kan besaran kesenjangan yang ada. Indicator-

indikator di Amerika Utara dan Eropa sekitar

5 -10 lebih tinggi dalam hal basis sumber daya

manusianya dan sekitar 4-20 kali dalam hal

pembangunan infrastrukturnya. Sebagai

misal, jika AS dijadikan pembanding. Bahkan

meskipun 40 persen penduduknya tidak on-

line, tingkat kesiapan telekomunikasi di Afrika

dan Asia tengah dan selatan hanya 1/20 dari

AS. Asia tengah dan selatan yang merupakansepertiga jumlah penduduk dunia memiliki

sekitar 20 persen dari rata-rata kapasitas

modal sumber daya manusia AS. Ebarnya

disparitas ini berakhir pada “kesenjangan

digital” (digital divide).

Perkembangan teknologi informasi dan

komunikasi telah menawarkan solusi untuk 

meningkatkan kinerja pelayanan publik yang

lebih berbasis pada good governance. Peman-

faatan e-government bagi birokrasi diharap-

kan dapat menjadi alternatif bagi reformasi

birokrasi menuju pelayanan yang lebih baik.

Untuk mendukung keberhasilan dalam

penerapan e-government, pemerintah pada

tahun 2003 telah mengeluarkan beberapa

panduan yaitu Panduan Pembangunan Infras-

truktur Portal Pemerintah, Panduan Manaje-

men Sistem Dokumenen Elektronik Pemerin-

tah, Panduan Penyusunan Rencana Pengem-

bangan e-government Lembaga, Pedoman

Penyelenggaraan Diklat ICT dalam Menunjange-government, Pedoman tentang Penyelengga-

raan Situs Web Pemerintah Daerah.

Kemudian dilengkapi dengan panduan

yang dikeluarkan pada tahun 2004 meliputi:

standar mutu dan jangkauan pelayanan serta

pengembangan aplikasi (e-services), kebijakan

tentang kelembagaan, otorisasi, informasi dan

keikutsertaan swasta dalam penyelenggaraan,

kebijakan pengembangan pemerintahan yang

baik dan manajemen perubahan, panduantentang pelaksanaan proyek dan pengang-

garan e-government  aplikasi e-government 

Page 76: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 76/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

pemerintah pusat dan daerah. Kemudian pada

tahun 2006, Pemerintah membentuk Dewan

Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional

(Detiknas) melalui Keppres C-006 yang salah

satu tugasnya untuk mempercepat proses

implementasi e-government. Namun demikian

keberhasilan penerapan e-government belumterlihat signifikan.

E. APLIKASI E-GOVERNMENT DI NEGARA

BERKEMBANG

Terdapat harapan bahwa masuknya IT

dalam birokrasi dan terdapatnya keberanian

inovasi dalam berbagai hal akan menghantar

pemerintah pada fase kemajuan seperti yang

dicapai oleh dunia industry , perbankan danperguruan tinggi di luar instansi pemerintahan.

Tak bisa dipungkiri bahwa jika sebuah Negara

atau subsistem pemerintahan telah berani

mengintroduksi kegagapan teknologi atau

kesenjangan digital (Digital Divide), hal itu

akan membuka kesempatan yang luas bagi pen-

capaian pembaharuan di subsistem yang lain.

Hal ini berlaku bagi semua Negara, sebera-

papun level pembangunan ekonomi mereka,

level pembangunan sumber daya manusia

mereka dan apapun konteks social  dan cul-

tural  yang ada dalam komunitas atau Negara

tersebut. Jika bisa mengatasi GAPTEK dan

berani bertarung melawan cara-cara lama yang

lamban dan birokratis maka harapan akan

kemajuan lain akan tercapai.

Penggunaan dan optimalisasiteknologi

dasar dan menengah dalam birokrasi memung-

kinkan berlangsungnya komunikasi internal

dan eksternal pemerintah secara cepat, tepat,

sederhana berjangkauan luas dan memilikikesanggupan menjalin jaringan. Inovasi dan

introduksi IT dalam birokrasi bisa dimanfaatkan

untuk menurunkan biaya dan meningkatkan

efektivitas, yang merupakan dua fitur yang di-

inginkan dari semua kerja pemerintahan, dan

yang terutama dalam hal pelayanan publik.

Penggunaan dan optimalisasi mesin yang

tepat dalam subsistem birokrasi juga bisa di-

gunakan untuk optimalisasi waktu, dimana

komunikasi dapat dilakukan dari luar jamkantor sekalipun dan dari jarak yang amat jauh

sekalipun. Apabila sistem IT digunakan jam

kerja bisa bertambah 24 jam setiap sehari

administrasi publik yang berfungsi 24 jam

setiap hari selama 7 hari seminggu, yang

memiliki transparansi dan akuntabilitas,

terbentuk jaringan kerja, dan memiliki mana-

jemen iformasi dan penciptaan pengetahuan.

Selain itu, IT bisa memberikan perlengkapankepada masyarakat untuk bisa berpartisipasi

secara sungguh-sungguh dalam sebuah proses

politik yang inklusif sehingga melahirkan

dukungan publik yang selalu mengikuti infor-

masi (well-informed) yang merupakan basis

yang paling utama bai legitimasi pemerintahan.

Dari sudut pandang ini, inovasi di tangan

pemerintah bisa menjadi sebuah alat yang

efektif untuk menambahkan nilai publik. Jelas,

maksimalisasi nilai publik pada akhirnya akanbergantung pada penentuan mengenai kapan,

bagaimana dan dimana memanfaatkan kapa-

sitas-kapasitas komunikasi yang baru yang

bisa didapat oleh pemerintah lewat aplikasi IT

dalam kerja mereka.

Masalah lain dalam inovasi dan peng-

gunaan IT khususnya di Negara-negara se-

dang berkembang seperti Indonesia adalah

terbatasnya keterampilan dan kultur birokrasi

sipil. Pegawai negeri sipil haruslah sanggup

dan bersedia untuk mendukung e-government 

atau setidaknya harus bersedia belajar dan

berubah. Kultur yang ada dalam tubuh biro-

krasi sipil menentukan penilaian terhadap

kemungkinan kehilangan yang akan dihasilkan

oleh penerapan e-government terhadap individu

pegawai negeri sipil dan juga terhadap kekua-

tan dan efektivitas dari lobi anti-perubahan.

Demikian juga dengan masalah koordinasi.

Koordinasi dan upaya yang dibutuhkan baik 

dalam maupun antar pemerintah haruslahdiperkuat terlebih dulu sebelum aplikasi e-

 government  diterapkan untuk menghindari

penggandaan, menjamin interoperabilita dan

memenuhi ekspektasi-ekspektasi para peng-

guna. Kerangka legal, e-government  memun-

culkan kebutuhan-kebutuhan legal yang

khusus dan hal ini harus disadari dan dihadapi

sejak awal. Infrastruktur harus dinilai ber-

dasarkan latar belakang kebutuhan dan hasil

yang diinginkan. Keterbatasan infrastrukturakan membatasi hasil maupun pengemba-

ngan yang direncanakan. Sebaliknya, jika

152Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 77: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 77/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

152

berlebihan melampaui kebutuhan, ada bahaya

dan akan menjadi perlengkapan yang membe-

bani kantor yang mahal dan mubazir.

Pemimpin sektor publik harus berkomit-

men terhadap e-government , memimpin dan

membangun dukungan luas baginya, dan be-

rani untuk belajar. Hal ini akan menghadirkantanda-tanda positif yang sangat penting yang

dibutuhkan oleh birokrasi sipil dari pucuk 

pimpinannya. Publik harus memiliki keterli-

batan pribadi dalam pengembangan e-govern-

ment . Hal ini harus diperkuat dengan secara

aktif, sungguh-sungguh dan kontinyu mengun-

dang partisipasi masyarakat dalam pengem-

bangan aplikasi e-government sehingga apli-

kasi IT akan membentuk kebiasaan hidup dan

kerja masyarakat. Harus ada visi dan rencana-rencana untuk menjembatani jurang-jurang

yang ada dalam keterampilan dan akses. Jika

tidak, baik administrasi publik maupun masya-

rakat tak akan bisa berharap akan bisa melek 

dan sanggup menggunakan IT, yang merupakan

bahan penting bagi keberhasilan e-government .

Juga dalam hal ini diperlukan Kemitraan.

Sejak awal, pemerintah harus melihat 

organisasi-organisasi di luar pemerintahan

sebagai mitranya dalam ha sumber keuangan,

peningkatan keterampilan, akses yang lebih

baik dan kapasitas yang memadai untuk 

membentuk jaringan IT. Kemitraan tak boleh

dijalin dengan mengorbankan transparasi,

akuntabiltas atau kelayan investasi secara

ekonomis. Juga perlunya monitoring dan

evaluasi. Menetapkan tanggung jawab yang

jelas dan tolak ukur yang realistis bagi pengem-

bangan e-government merupakan sebuah

bahan penting bagi keberhasilan yang akan

dicapai dan bagi pembangunan transparansidan akuntabilitas secara menyeluruh dalam

sector publik.

Alasan mendesak bagi para pengguna e-

 government adalah persepsi akan nilai tambah.

Setiap rancangan pengembangan e-govern-

ment  haruslah memasukkan sebuah perhitu-

ngan nilai tambah yang bisa diberikannya

kepada individu penggunanya. Hal ini paling

bisa dicapai jika perhitungan tersebut dengan

perhitungan para pengguna. Akses dan kete-rampilan. Penerapan e-government haruslah

dilakukan sedemikian rupa sehingga para

pengguna potensial e-government bisa betul-

betul memanfaatkannya secara mudah dalam

hal waktu, biaya, dan usaha. Solusi-solusi

imajinatif bagi peningkatan level kemudahan

penggunaan ini haruslah menjadi bagian dari

setiap rencana pengembangan e-government .

Solusi-solusi tersebut harus dipertimbangkan,namun sekaligus mentrasendensi, tingkat 

akses dan keterampilan individu.

Privasi dan keamanan. Factor keamanan

dan privasi apapun pendefinisiannya secara

cultural–haruslah ditegaskan sejak awal se-

cara terbuka dan ditangani secara potensial.

Publik dibatasi untuk tidak melanggar wilayah

privasi dan rahasia ini dan setiap berita (bahkan

yang bersifat informal) harus dibatasi agar

tidak menjadi sebuah kemunduran yang besaryang memiliki konsekuensi-konsekuensi jang-

ka panjang. Seperti kita ketahui, didalam desa-

kan masyarakat akan pelayanan publik yang

baik, proses pembangunan yang mengharus-

kan keterlibatan pemerintah, masyarakat dan

synergy  dunia luar. Penerapan e-government 

paling baik jika dilakukan dalam bidang-bidang

yang dianggap sebagai terkait erat dengan

prioritas. Kebutuhan-kebutuhan pembangu-

nan oleh masyarakat. Alasan lain mengapa harus

inovatif ialah tuntutan efisiensi dan efektivi-

tas sebagai criteria kunci sukses pemerintah.

Namun harus diakui banyak masalah

terjadi kalau IT diterapkan ditengah setanah

seperti yang kita lihat bahwa kemampuan

pemerintah untuk menggunakan IT dalam

gerak kerjanya dibatasi oleh kondisi keter-

sediaan pendanaan (awal). Bukan operasi

awal proyek percontohan e-government 

harus dimulai dengan pemahaman yang baik 

mengenai biaya yang dibutuhkan dan denganmenjamin pendanaan setelah dilakukan

analisis yang seksama terhadap biaya pene-

rapan. Manakala mungkin dan layak, pen-

danaan tersebut harus dipandang sebagai

sebuah investasi bisnis dan bisa diharapkan

akan menghasilkan kembalian.

F. CATATAN AKADEMIK E-GOVERNMENT 

DAN PELAYANAN PUBLIK 

Menurut hemat kita, upaya dalam rangka

untuk memperbaiki birokrasi kita, sistem

Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 78: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 78/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

birokrasi, pembenahan personel maupun

budaya yang melingkupinya, dan aplikasi IT

dalam birokrasi memang penting. Cepat atau

lambat Indonesia akan mengejar efisiensi dan

produktifitas pelayanan publiknya sesuai

dengan demand  masyarakat sekitarnya. Den-

gan kata lain fasilitas e-government  di tingkat pusat dan propinsi di Indonesia memang perlu

mendapat dukungan yang pantas.

Pengalaman banyak Negara mengisyarat-

kan, bahwa apabila dalam periode yang terlalu

panjang, suatu birokrasi tak kunjung menam-

pakkan kesungguhannya termasuk dalam

peningkatan pelayanan publiknya maka trust 

kepada pemerintah akan turun dan pemerintah

akan selalu tertinggal dalam memperbaiki diri.

Di Indonesia, pembenahan birokrasi biasa-nya dilakukan melalui pendekatan incremental,

perubahan yang sedikit demi sedikit, dengan

harapan antara lain agar didapatkan peruba-

han yang terencana ( guidance development ).

Demikian pula introduksi IT dalam pemerin-

tahan akan menyertai pembenahan pening-

katan mutu pelayanan. Terlalu tinggi nafsu

untuk mentransformasikan birokrasi tradi-

sional dengan modernitas akan bisa berakibat 

ongkos social  politik yang terlalu mahal, mi-

salnya robohnya berupa jaminan kelanjutan

tersedianya lapangan kerja dalam pemerin-

tahan yang tak tergantikan oleh mesin. Tapi,

masalahnya ialah, transformasi semangat 

pemerintahan yang modern dengan meng-

gunakan teknologi komunikasi dan informasi

ke dalam kalangan birokrasi, tidaklah simple.

Ia akan menghadapi berbagai pintu-pintu

(barier ) antara lain, berupa pertanyaan

berikut ini;

Pertama, mulai dari manakah transformasiitu dilakukan? Sebab pada prakteknya nanti,

orang akan dihadapkan pilihan-pilihan yang

beragam. Sebab adalah sulit mentransformasi

ide itu pada semua level birokrasi, desa/ke-

lurahan, kecamatan, kabupaten/kotamadya,

level propinsi, level pusat atau keseluruhan se-

cara berbarengan. Dan, pilihan-pilihan stra-

ting point itu akan membawa konsekuensi-

konsekuensi sendiri. Pilihan harus dimulai

secara berbarengan, umpamanya, membawakonsekuensi: mudah diucapkan, sulit dilak-

sanakan karena mekanisme evaluasi jadi bias.

Kedua, oleh siapakah atau lembaga apakah

yang bertanggung jawab sebagai pelaksana

dalam kaitan transformasi jiwa wirausaha ini

dalam sistem birokrasi?. Sebab selama ini,

instansi yang terdekat dengan tugas pembena-

han, semisal Depdagri, Menkominfo, Lem-

baga Administrasi Negara (LAN), Kemente-rian Negara Peningkatan Aparatur Negara,

atau bahkan induk-induk departemen belum

tampak secara institusional mengagendakan

transformasi jiwa entrepreneur ini sebagai-

mana yang diidealkan dan diangankan banyak 

orang. Walaupun, dimeja-meja diskusi mereka

menyetujui ide ini.

Ketiga, sudah adakah atau apa sajakah isi

(content ) dari proses transformasi itu, yang

dapat dijadikan bahan rujukan spesifik dariproses dalam birokrsai kita?. Persoalan yang

muncul kemudian adalah, belum adanya me-

kanisme transformasi inovasi dan IT ini dalam

sistem kelembagaan pemerintah dimana

mereka bekerja. Jadi justru tataran sistemnya

yang belum siap menerima usulan ini. Masuk-

nya jenis-jenis tugas-tugas baru dalam peme-

rintahan; yaitu industrialisasi, perdagangan

antar Negara, investasi asing, pengelolaan

bantuan luar negeri, hal-hal baru yang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, meng-

haruskan pejabat di daerah bekerja dengan

kemampuan yang optimal. Apabila prasyarat 

diatas dapat terpenuhi maka harapan akan

peningkatan pelayanan publik akan dapat diti-

ngkatkan dalam waktu cepat.

G. KESIMPULAN

Kinerja e -government  Indonesia belum

dapat dirasakan secara signifikan baik olehpihak internal maupun eksternal pemerintah.

Beberapa tantangan dan hambatan masih

banyak yang harus dihadapi. Namun demikian

seiring dengan telah disahkannya Undang-

undang tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) maka terbesit harapan

e-government akan dapat lebih dirasakan oleh

masyarakat. Di samping itu pemerintah juga

sudah mengeluarkan statemen yang akan

menurunkan tarif Internet sampai 40%, halini akan semakin memberikan peluang yang

lebih besar bagi penerapan e-government 

154Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 79: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 79/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

untuk masa yang akan datang.

Menjadi sangat penting sekarang ini adalah

pembaharuan komitmen para pemimpin atau

pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk 

terus mendorong reformasi birokrasi melalui

e-government . Kesimpulan penting yang dapat 

ditarik dari studi kasus kedua kota ini ialahbahwa e-government yang dilaksanakan secara

serius dan konsisten akan sangat menunjang

transparansi pelayanan  public . Yang juga

harus dipahami oleh para pejabat pemda ialah

bahwa pemanfaatan e-government  tetap me-

merlukan sistem pengawasan yang konsisten.

Selain pengetahuan yang luas tentang teknolo-

gi informasi, e-government juga harus diduku-

ng oleh integritas yang baik di antara para

perumus kebijakan dan pelaksannya. Tekno-logi informasi memang membuat banyak hal

semakin mudah dan semakin efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin, 1970. Bereaucracy , New York,

Praeger Publisher

Luthans, 1989. Fred Organizational Behaviour,

4th Edition. Mc Graw–Hill Series in Man-

agement.

Said, M. Mas’ud, 1987. Perspektif perilaku

birokrasi. Jakarta Rajawali

——————————, 1997. Debirokrasi

Birokrasi Indonesia, UMM Press

Malang,

——————————,2007. Birokrasi di

Negara Birokratis, UMM Press Malang.

Thoha, Miftah, 2002, Reformasi birokrasi

Pemerintahan. Seminar Good Gover-

nance di Bappenas.

Anonim. (2007). “Ada TI Ada Reformasi Biro-

krasi”, majalah e-Indonesia, Vol III (20).

Garson, D. (1999). Information Technology and 

Computer Applications in Public Adminis-

tration: Issues and Trends, Hershey: Idea.

Senn, J A. (1990). Information Systems in Man-

agement, California: Wadsworth.

Wilcoks, L. & Harrow, J. (eds.) (1992) Redis-

covering Public Service thlana-gement,

London: McGraw-Hill.

Yusof, M.M. (2005). Information Systems and 

Executives’Role: The Pre-electronic Govern-

ment Era Experience, Selangor: Utusan.

Heeks, R. (2005). The Implementation of Infor-

mation Systems in Public Organisations.

Indrajit, R.E. (2002). Electronic Government,

Yogyakarta: Andi Offset.

Kumorotomo, W& Margono, S.A. (2004). Sistem

Informasi Manajemen dalam Organisasi

Publik, Yogyakarta: Gama Press.

Rosenau, James N (2007), “Governing The Un-

 governable: The Challenge Of A Global Dis-

aggregation of Authority”, Regula-tion &

Governance (2007) 1, pp 88–97.

Rouben, L. (ed.). (1999) Citizens and the New 

Governance: Beyond New Public Man-

agement, Amsterdam: IOS Press.

Starling, G. (2006). Managing the Public Sec-tor, Boston: Wadsworth Publishing.

Stiglitz, J. (2005). Globalization and Its Discon-

tents, New York: New Harper.

155Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

*********

Page 80: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 80/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

76Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :

Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa

Page 81: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 81/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Petunjuk PenulisanJurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan

ISI ARTIKEL

Artikel yang dipublikasikan Jurnal OTORITAS IlmuPemerintahan meliputi hasil penelitian dan nonpenelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review)tentang masalah-masalah negara, masyarakat, danlembaga intermediary, serta pemerintahan secaraumum.

Artikel yang dimuat dalam jurnal diprioritaskan artikelhasil penelitian dan belum pernah atau akan diterbitkan

dalam media cetak lain.

Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indone-sia dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm)minimal 15 halaman dan maksimal 25 halaman.Berkas naskah (file) dibuat pada program olah dataMicrosof Word dilengkapi dengan nama penulis, judulartikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, besertanomor telepon/faks.

ARTIKEL HASIL PENELITIAN

Judul Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik NamaPenulis Lengkapi dengan nama dan alamat lembagatempat kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dantelp/faks untuk koresponden dengan penulis.

Abstrak Merupakan miniatur (segala sedikit) isi darikeseluruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode,hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata.

Key Word (Kata Kunci)Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiridari 3 hingga 5 konsep.

Pendahuluan (tanpa sub judul)Memuat latar belakang maslah penelitian, uraian danfokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teoridan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyatamendukung pemecahan permasalahan dan tujuanpenelitian.

Metode 

Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian dilakukandesign penelitian, populasi, sampel, instrumen, skalapengukuran, dan teknik analisis data.

Hasil Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi denganillustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik).

Pembahasan Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkandengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasilpenelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasidan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan,ketajaman analisis dan sintesis secara kritis.

Simpulan Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dariperpaduan antara hasil dengan pembahasan danbukan hanya rangkuman.

ARTIKEL NON PENELITIAN

Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama denganformat hasil penelitian.

Pendahuluan (tanpa sub judul) 

Sub JudulSub JudulSub Judul

Tabel Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe TimesNew Roman berukuran 10 point. Singkatan yang adadi dalam tabel diberikan kepanjangan singkatantersebut dibawah tabel.

Gambar Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalamprogram pengolahan data (Microsoft Office). Angka dan

huruf keterangan gambar menggunakan huruf bertipeArial berukuran 9 point.

Daftar Pustaka/Rujukan Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber daripustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi, tesis,skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah) dan tahunterbitan lebih 80 % adalah 10 tahun terakhir, diurutkansecara alphabet dan kronologis.

Kutipan dalam artikel Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung

atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan harusmencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan dannomor halaman.

} sesuai dengan kebutuhan

Page 82: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 82/84

Vol. I, No. 2, Oktober 2011

Page 83: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 83/84

Naskah dapat dikirim memalui E-mail, CD, atau via pospaling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan

ke :Redaksi Ilmu PemerintahanJurnal OTORITAS

Alamat :

Gedung F1 Lt.1 Pusat PerkantoranJurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Makassar 

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221Telp. 0411 - 866972 ext. 107

Fax. 0411 - 865588Email: [email protected]

atau [email protected]

Page 84: Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 84/84

 Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1

Pusat Perkantoran FISIPUnismuh Makassar

ISSN 2088 3706