Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
-
Upload
anshar-tomaru -
Category
Documents
-
view
585 -
download
10
description
Transcript of Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 1/84
ISSN 2088 3706Vol. I No.2 Oktober 2011
Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar
OTORITAS VOLUME I NOMOR 2 HAL. 81-155 MAKASSAR, OKTOBER 2011 ISSN 2088 3706
Masalah Pelayanan Publik Di IndonesiaDalam Perspektif Administrasi Publik Abdul Mahsyar
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik Fatmawati
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik
Jaelan Usman
Budaya Mutu Dalam Pelayanan PendidikanMuhammad Basri
Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di DaerahMuhammad Idris
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good GovernanceMuhammadiah
Kualitas Pemerintah DaerahPelayanan Publik
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone)Rabina Yunus
Reformasi Birokrasi Melalui :E− Governance
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?Zainuddin Mustapa
Reformasi Pelayanan
Organisasi Sektor Publik
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 2/84
Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam bentuk hasil-hasil penelitiandan non-penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review tentang masalah-masalahnegara, masyarakat, dan lembaga intermediary, sertapemerintahan secara umum, baik di lembaga eksekutif,legislatif, dan yudikatif. Penerbitan Jurnal inibertujuan untuk meningkatkan kuantitasserta menyebarluaskan kajian ilmupemerintahan, sekaligus sebagaiwahana komunikasi diantaracendikiawan, praktisi, mahasiswa, danpemerhati masalah-masalah publik danpraktika ilmu pemerintahan.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 3/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2088 3706
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik
(Abdul Mahsyar)............................................................................... Hal. 81 - 90
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik
(Fatmawati)......................................................................................... Hal. 91 - 101
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik
(Jaelan Usman)................................................................................Hal. 102 - 109
Budaya Mutu Dalam Pelayanan Pendidikan
(Muhammad Basri)...................................................................... Hal. 110 - 117
Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah
(Muhammad Idris)........................................................................ Hal. 118 - 126
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance
(Muhammadiah)............................................................................. Hal. 127 - 136
Kualitas Pelayanan Publik Pemerintahan Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone)
(Rabina Yunus)............................................................................... Hal. 137 - 145
Reformasi Birokrasi Melalui E-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ?
(Zainuddin Mustapa)..................................................................... Hal. 146 - 155
DAFTAR ISIMitra Bestari :
Prof. Dr. Faried Ali, SH, MSDr. A. Syamsu Alam, M.Si
Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si
Pemimpin Redaksi :Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si
Redaktur Pelaksana :
Dr. Jaelan Usman, M.SiAndi Nuraeni Aksa, SH, MH
Drs. Alimuddin Said, M.PdRudi Hardi, S.Sos, M.Si
Bidang Usaha :Ihyani Malik, S.Sos, M.Si
Design Grafis :Andi Maddukelleng, S.IP
Distribusi :Hardiansyah, S.Sos
Jusri Adi, S.IP
PercetakanCV. Adi Perkasa
Jl. Talasalapang Ruko BPH Makassar
Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1 Pusat Perkantoran
FISIP Unismuh MakassarJl. Sultan Alauddin No. 259
Makassar 90221Telp. (0411) 866972 ext. 107
Fax. (0411) 865588Email: [email protected]
Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belumpernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format,dan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk PenulisanJurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS dilembaran belakang
Jurnal ini. Artikel yang masuk ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat memodifikasi artikeluntuk keseragaman format, istilah dan kepentingan teknislainnya tanpa merubah substansi artikel.
Ukuran kertasJenis huruf Ukuran huruf
: A4 (210x297 mm): Cambria: 12 pts
DEWAN REDAKSI
Penerbit :Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Penanggung Jawab :Ketua Jurusan Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 4/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 5/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
Public always demanded quality public services from the bureaucrats, even though these
demands are not in line with expectations because the empirically public services that occurred during this still characterized by such things as convoluted, slow, expensive, exhausting, uncertainty.
Under such circumstances occur because people are still positioned as the party to “serve” is not
being served. If considered public service issues in Indonesia, the main problems of public service
today is associated with improved quality of service itself. According to Albrecht and Zemke
(1990) the quality of public services is the result of interaction of various aspects, the system of
care, human resources service provider, strategy, and customers. While Mohammad (2003) states
that quality service is dependent on aspects such as how the pattern of its implementation, support
human resources, and institutional management . New Perspectives for Public Service and Good
Governance is considered most appropriate for the conditions present in addressing issues of
public services in Indonesia, using a model like the model citizen’s charter, model KYC (Know
Your Customer), and m-Government model.
Keywords : Problem, Quality, Public Service
ABSTRAK
Publik selalu menuntut kualitas pelayanan publik dari birokrat, meskipun tuntutan ini tidak
sesuai dengan harapan karena pelayanan publik secara empiris yang terjadi selama ini masih
ditandai dengan hal-hal seperti berbelit-belit, lambat, mahal, ketidakpastian melelahkan,. Dalam
keadaan seperti itu terjadi karena orang masih diposisikan sebagai pihak yang "melayani"tidak dilayani. Jika dianggap isu-isu pelayanan publik di Indonesia, masalah utama dari
pelayanan publik saat ini dikaitkan dengan peningkatan kualitas layanan itu sendiri. Menurut
Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai
aspek, sistem pelayanan, sumber daya manusia penyedia layanan, strategi, dan pelanggan.
Sementara Mohammad (2003) menyatakan bahwa kualitas pelayanan tergantung pada aspek-
aspek seperti bagaimana pola pelaksanaannya, dukungan sumber daya manusia, dan
manajemen kelembagaan. Perspektif Baru untuk Layanan Publik dan Pemerintahan yang
Baik dianggap paling tepat untuk kondisi saat ini dalam menangani isu-isu pelayanan publik
di Indonesia, dengan menggunakan model seperti piagam warga teladan, model KYC (Know
Your Customer), dan m-Government model.
Kata Kunci : Masalah, Kualitas, Pelayanan Publik
81
MASALAH PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK
Abdul MahsyarFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 6/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN
Pelayanan kepada masyarakat sudah men-
jadi tujuan utama dalam penyelenggaraan
administrasi publik. Di Indonesia penyelengga-
raan pelayanan publik menjadi isu kebijakan
yang semakin strategis karena perbaikanpelayanan publik di negara ini cenderung
berjalan di tempat, sedangkan implikasinya
sebagaimana diketahui sangat luas karena
menyentuh seluruh ruang-ruang kepublikan
baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik,
budaya dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi,
buruknya pelayanan publik akan berimplikasi
pada penurunan investasi yang dapat bera-
kibat terhadap pemutusan hubungan kerja
pada industri-industri dan tidak terbukanyalapangan kerja baru yang juga akan berpenga-
ruh terhadap meningkatnya angka pengang-
guran. Akibat lebih lanjut dari masalah ini
adalah timbulnya kerawanan sosial.
Perbaikan pelayanan publik akan bisa
memperbaiki iklim investasi yang sangat di-
perlukan bangsa ini untuk dapat segera keluar
dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Sayangnya upaya menuju kepada perbaikan
tersebut masih sebatas lips service. Dalam
berbagai studi yang dilakukan terhadap
pelayanan publik ini rupanya tidak berjalan
linear dengan reformasi yang dilakukan dalam
berbagai sektor sehingga pertumbuhan
investasi malah bergerak ke arah negatif.
Akibatnya harapan pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan dapat menolong bangsa ini
keluar dari berbagai krisis ekonomi belum
terwujud sesuai dengan harapan.
Sementara dalam kehidupan politik,
buruknya pelayanan publik berimplikasi dalamterhadap kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Buruknya pelayanan publik
selama ini menjadi salah satu variabel penting
yang mendorong munculnya krisis keperca-
yaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis
kepercayaan tersebut teraktualisasi dalam
bentuk protes dan demonstrasi yang cende-
rung tidak sehat, hal itu menunjukkan kefrus-
tasian publik terhadap pemerintahnya.
Sehubungan dengan itu perbaikan pela-yanan publik mutlak diperlukan agar image
buruk masyarakat kepada pemerintah dapat
diperbaiki, karena dengan perbaikan kualitas
pelayanan publik yang semakin baik dapat
mempengaruhi kepuasan masyarakat sehi-
ngga kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah dapat dibangun kembali.
Dari segi sosial budaya, pelayanan publik
yang buruk mengakibatkan terganggunyapsikologi masyarakat yang terindikasi dari
berkurangnya rasa saling menghargai di kala-
ngan masyarakat, timbulnya saling curiga
meningkatnya sifat eksklusifisme yang berle-
bihan, yang pada akhirnya menimbukan keti-
dakpedulian masyarakat baik terhadap
pemerintah maupun terhadap sesama. Akibat
yang sangat buruk terlihat melalui berbagai
kerusuhan dan tindakan anarkis di berbagai
daerah. Seiring dengan itu masyarakat cende-rung memilih jalan pintas yang menjurus ke
arah negatif dengan berbagai tindakan yang
tidak rasional dan cenderung melanggar
hukum.
B. PENGERTIAN DAN KONTEKS
PELAYANAN PUBLIK
Pelaksanaan pelayanan publik pada
prinsipnya ditujukan kepada manusia. Sudah
menjadi kodratnya setiap manusia membu-
tuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim
dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan manusia. Sejak
lahirnya manusia sudah membutuhkan
pelayanan, sebagaimana dikemukakan Rusli
(2004) bahwa selama hidupnya, manusia
selalu membutuhkan pelayanan. Pelayanan
menurutnya sesuai dengan life cycle theory of
leadership bahwa pada awal kehidupan manu-
sia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi,tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan
yang dibutuhkan akan semakin menurun.
Masyarakat setiap waktu selalu menuntut
pelayanan publik yang berkualitas dari biro-
krat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak
sesuai dengan harapan karena secara empiris
pelayanan publik yang terjadi selama ini masih
bercirikan hal-hal seperti berbelit-belit,
lamban, mahal, melelahkan, ketidakpastian.
Keadaan demikian terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang
“melayani” bukan yang dilayani.
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar82
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 7/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pelayanan publik secara konseptual dapat
dijelaskan dengan menelaah kata demi kata.
Menurut Kotler sebagaimana dikutip oleh
Lukman( 2000), disebutkan bahwa Pelayanan
adalah setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnyatidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Istilah publik dalam pengertian sehari-hari di
Indonesia sering dipahami sebagai negara
atau umum, hal ini biasa dijumpai dalam pola
Bahasa Indonesia yang menterjemahkan
publik seperti pada istilah public administra-
tion yang diterjemahkan sebagai administrasi
negara. Kata publik sebenarnya sudah dite-
rima menjadi Bahasa Indonesia baku menjadi
publik yang berarti umum, atau orang banyak.Berdasarkan uraian pengertian di atas,
maka berbagai pengertian pelayanan publik
dapat diartikan sebagai pemberian layanan
keperluan orang atau masyarakat yang mem-
punyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tatacara yang telah
ditetapkan (Kurniawan, 2005). Dalam
Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003,
diberikan pengertian publik sebagai segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pela-
yanan maupun pelaksanaan ketentuan pera-
turan perundang-undangan. Dengan demi-
kian, pelayanan publik adalah pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh pe-
nyelenggara negara. Dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik disebutkan pengertian pelayanan pu-
blik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pela-yanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan pen-
duduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyele-
nggara pelayanan publik.
Pelayanan publik pada dasarnya menya-
ngkut aspek kehidupan yang sangat luas.
Dalam kehidupan bernegara, maka pemerin-
tah memiliki fungsi memberikan berbagai
pelayanan publik yang diperlukan oleh ma-syarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan masya-
rakat dalam bidang pendidikan, kesehatan,
utilitas, dan lainnya (Mohammad, 2003).
Berbagai gerakan reformasi publik yang
dialami negara-negara maju pada awal tahun
1990-an banyak diilhami oleh tekanan
masyarakat akan perlunya peningkatan kua-litas pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah. Hal ini juga ditandai pada ber-
bagai karya ilmiah yang telah ditulis oleh para
pakar berkaitan dengan pelayanan publik ini
antara lain yang berkembang di Amerika
Serikat dengan munculnya paradigma post-
bureaucratic oleh Barzelay (1992) bersama
dengan Armajani (1997). Pandangan post-
bureacratic berkaitan dengan pelayanan
publik terlihat pada penekanan administrasipublik pada hasil yang berguna bagi masyara-
kat, kualitas dan nilai, produk dan keterikatan
terhadap norma, dan mengutamakan misi,
pelayanan dan hasil akhir (outcome).
Kemudian selanjutnya dalam waktu yang
hampir bersamaan muncul pula paradigma
reinventing government yang disampaikan
oleh Osborne dan Gaebler (Keban, 2008)
kemudian dioperasionalisasikan oleh Osborne
dan Plastrik pada tahun 1997 dalam karyanya
Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for
Reinventing Government . Paradigma ini juga
dikenal dengan nama New Public Management .
Pandangan dari paradigma ini sebenarnya
menekankan bahwa pemerintah atau birokrat
sesungguhnya haruslah memberikan pelaya-
nan terbaiknya kepada masyarakat. Mereka
menilai bahwa pemerintahan harus mengalih-
kan wewenang kontrol yang dimilikinya ke-
pada masyarakat. Masyarakat diberdayakan
sehingga mampu mengontrol pelayanan yangdiberikan oleh pemerintah. New Public Mana-
gement dipandang sebagai pendekatan dalam
administrasi publik yang menerapkan penge-
tahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam
dunia manajemen bisnis dan disiplin yang lain
untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan
kinerja pelayanan publik pada birokrasi
moderen (Vigoda, dalam Keban, 2008).
Penjelasan lain terhadap perspektif
pelayanan publik dapat dilihat dalam karya J.V.Denhardt dan R.B. Denhardt dalam bukunya The
New Public Service ( 2003). Paradigma ini
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar83
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 8/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
memberikan pandangan yang berkaitan
dengan pelayanan yakni bahwa administrasi
publik harus melayani warga masyarakat bu-
kan pelanggan, mengutamakan kepentingan
publik, dan melayani daripada mengendalikan.
Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal
menurut paradigma new public service yaitupelayanan publik harus responsif terhadap
berbagai kepentingan dan nilai-nilai publik
yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan
negosiasi dan mengelaborasi berbagai
kepentingan warga negara dan kelompok
komunitas. Pandangan tersebut mengandung
makna karakter dan nilai yang terkandung di
dalam pelayanan publik tersebut harus berisi
preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masya-
rakat. Karena masyarakat bersifat dinamis,maka karakter pelayanan publik juga harus
selalu berubah mengikuti perkembangan ma-
syarakat. Selain itu pelayanan publik model
baru ini harus bersifat non-diskriminatif seba-
gaimana dimaksud oleh dasar teoritis yang
digunakan yaitu teori demokratis yang men-
jamin adanya persamaan warga negara tanpa
membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras,
etnik, agama, dan latar belakang kepartaian
(Dwiyanto, 2005).
C. MASALAH-MASALAH PELAYANAN
PUBLIK DI INDONESIA
Terlepas dari berbagai teori, pendekatan,
perspektif dan paradigma berkaitan dengan
pelayanan publik yang senantiasa berubah
untuk menyesuaikan diri dengan dinamika
perkembangan kebutuhan masyarakat yang
terdapat di negara-negara maju atau pada
belahan dunia lainnya. Pergeseran tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka
pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik,
efisien, responsive, dan berorientasi pada
kepentingan masyarakat.
Bagi negara sedang berkembang terma-
suk di Indonesia gelombang tekanan untuk
mengubah wajah pemerintahan dan substansi
operasi mesin pelayanan publiknya tidak
terlepas dari tekanan-tekanan dari lembaga-
lembaga internasional seperti misalnya IMF ,World Bank , atau lembaga donor lainnya. Hal
tersebut tidak terlepas dari kepentingan
lembaga-lembaga tersebut yang beroperasi
di Indonesia.
Adanya tuntutan perbaikan pelayanan
publik tersebut kadangkala menjadi prasyarat
utama oleh lembaga-lembaga internasional
atau negara-negara donor tersebut dalam
memberikan bantuan (loan). Seperti IMF danWorld Bank , kedua lembaga keuangan yang
amat berpengaruh tersebut sejak hampir dua
dekade terakhir ini semakin rajin mendesak-
kan tuntutan politik terhadap negara-negara
berkembang untuk mendevolusikan sistem
pemerintahan dan sistem pelayanan publik-
nya yang monopolistik dengan menganjurkan
kebijakan pemerkuatan otonomi daerah,
privatisasi sektor publik dan pemberian ke-
sempatan yang luas pada sektor-sektor di luarbirokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2000).
Menelusuri permasalahan pelayanan
publik di Indonesia sebenarnya dapat dilihat
pada beberapa periode dalam penyeleng-
garaan pemerintahan, misalnya dimulai pada
masa orde baru dan terakhir periode refor-
masi. Pergeseran paradigma dalam pelayanan
publik tidak dilepaskan dari perubahan iklim
politik yang berimplikasi pada kebijakan-
kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Di Indonesia pada masa orde
baru misalnya pelayanan publik ditandai oleh
dominasi negara pada berbagai elemen-
elemen kehidupan bangsa, sehingga pada
masa ini dikenal dengan paradigma negara
kuat atau negara otonom dimana kekuatan
sosial politik termasuk kekuatan pasar kecil
pengaruhnya dalam kebijakan publik, bahkan
dalam pelaksanaannya.
Dalam era reformasi ditandai pada para-
digma deregulasi setengah hati, dimana peme-rintah memilih sektor tertentu untuk didere-
gulasi yang pertimbangan utamanya bukan
pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi
keamanan bisnis antara pejabat negara dan
pengusaha besar. Kemudian pada paradigma
reformasi pelayanan publik. Paradigma ini
mengkaji ulang peran pemerintah dan mende-
finisikan kembali sesuai dengan konteksnya,
yaitu perubahan ekonomi dan politik global,
penguatan civil society , good governance, pera-nan pasar dan masyarakat yang semakin
besar dalam penyusunan dan pelaksanaan
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar84
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 9/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kebijakan publik.
Sekalipun di Indonesia secara politik era
reformasi itu sudah berjalan sekitar 10 tahun
sejak lengsernya Presiden Suharto pada tahun
1998, namun dalam penyelenggaraan pela-
yanan publik masih ditandai berbagai kele-
mahan-kelemahan, padahal sudah banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat antara lain perumusan kembali
Undang-Undang tentang Pemerintahan Dae-
rah yang sebenarnya memberikan perluasan
kewenangan pada tingkat pemerintah daerah,
dipandang sebagai salah satu upaya untuk
memotong hambatan birokratis yang acapkali
mengakibatkan pemberian pelayanan mema-
kan waktu yang lama dan berbiaya tinggi.Dengan adanya desentralisasi daerah mau
tidak mau harus mampu melaksanakan ber-
bagai kewenangan yang selama ini dilak-
sanakan oleh pemerintah pusat, seiring de-
ngan pelayanan yang harus disediakan.
Upaya untuk memperbaiki pelayanan
telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah,
antara lain kebijakan ini dapat dilihat pada
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 81/1993 tentang
Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Kemudian Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang
perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan
apartur pemerintah kepada masyarakat. Pada
perkembangan terakhir telah diterbitkan pula
Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/
7/2003 tentang Pedoman Umum Penyele-
nggaraan Pelayanan Publik. Upaya mening-
katkan kualitas pelayanan tidak hanya ditem-
puh melalui keputusan-keputusan, tetapi juga
melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dila-
kukan dengan cara memberikan berbagai
materi mengenai manajemen pelayanan
dalam diklat-diklat struktural pada berbagai
tingkatan.
Hanya saja dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki
pelayanan publik, namun masih saja ditemu-
kan berbagai kelemahan dalam pelayanan
publik ini. Hal tersebut dapat dilihat pada hasilsurvay yang dilakukan oleh UGM pada tahun
2002 diketahui bahwa dilihat dari sisi efisi-
ensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan
perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi
masih jauh dari yang diharapkan (Mohamad,
2003). Oleh karena itu, dengan memban-
dingkan upaya-upaya yang telah ditempuh
oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan
publik yang dituntut dalam era desentralisasi,tampaknya upaya pemerintah tersebut masih
belum banyak memberikan kontribusi bagi
perbaikan kualitas pelayanan publik itu sen-
diri. Bahkan birokrasi pelayanan publik masih
belum mampu menyelenggarakan pelayanan
yang adil dan non-partisan.
Jika diperhatikan berbagai permasalahan
penyelenggaraan pelayanan publik di Indone-
sia, maka permasalahan utama pelayanan
publik sekarang ini adalah berkaitan denganpeningkatan kualitas dari pelayanan itu
sendiri. Menurut Albrecht dan Zemke (1990)
kualitas pelayanan publik merupakan hasil
interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem
pelayanan, sumber daya manusia pemberi
pelayanan, strategi, dan pelanggan. Sementara
Mohammad (2003) menyebutkan bahwa
pelayanan yang berkualitas sangat tergantung
pada aspek-aspek seperti bagaimana pola
penyelenggaraannya, dukungan sumber daya
manusia, dan kelembagaan yang mengelola.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya,
pelayanan publik di Indonesia masih memiliki
berbagai kelemahan antara lain: (1) kurang
responsive, (2) kurang informatif, (3) kurang
accessible, (4) kurang koordinasi, (5)
birokratis, (6) kurang mau mendengar
keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan (7)
inefisiensi. Dilihat dari sisi sumber daya ma-
nusianya kelemahan utamanya adalah ber-
kaitan dengan profesionalisme, kompetensi,emphaty dan etika. Pola kerja yang digunakan
oleh sebagian besar aparatur yang ada seka-
rang ini masih dipengaruhi oleh model biro-
krasi klasik, yakni cara kerja yang terstruktur/
hierarkis, legalistik formal, dan sistem tertutup.
Selain itu beberapa pendapat menilai bahwa
kelemahan sumber daya manusia aparatur
pemerintah dalam memberikan pelayanan
disebabkan oleh sistem kompensasi yang
rendah dan tidak tepat.Kelemahan pelaksanaan pelayanan publik
lainnya dapat dilihat pada sisi kelembagaan,
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar85
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 10/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kelemahan utama terletak pada disain organi-
sasi yang tidak dirancang khusus dalam rang-
ka pemberian pelayanan kepada masyarakat,
penuh dengan khirarki yang membuat pelaya-
nan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan
tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsipengaturan dan fungsi penyelenggaraan,
masih sangat kental dilakukan oleh pemerin-
tah, yang juga menyebabkan pelayanan publik
menjadi tidak efisien.
D. PILIHAN PERSPEKTIF
ADMINISTRASI DALAM MENGATASI
MASALAH PELAYANAN PUBLIK
Sebagaimana diketahui perkembanganataupun pergeseran paradigma dalam admi-
nistrasi publik senantiasa berlangsung sesuai
dengan tuntutan lingkungan, seperti situasi
dan kondisi sosial kemasyarakatan, peruba-
han iklim politik, dan ekonomi. Berbagai
perubahan terjadi seiring dengan berkem-
bangnya kompleksitas persoalan yang diha-
dapi oleh administrator publik. Kompleksitas
ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus
mengembangkan ilmu administrasi publik.
Denhardt dan Denhardt (2003) mengung-
kapkan bahwa terdapat tiga perspektif dalam
administrasi publik. Perspektif tersebut
adalah old public administration, new public
management, dan new public service. Berda-
sarkan perspektif yang dikemukakan oleh
Denhardt dan Denhardt sebagai pencetus pers-
pektif baru administrasi publik yakni new
public service, kedua ahli ini menyarankan
untuk meninggalkan prinsip administrasi
klasik dan new public management yang ter-masyhur dengan reinventing governement-
nya, dan beralih ke prinsip new public service.
Menurut Denhardt dan Denhardt (2003),
administrasi publik harus:
1. Melayani warga masyarakat bukan
pelanggan.
2. Mengutamakan kepentingan publik.
3. Lebih menghargai kewarganegaraan dari
pada kewirausahaan.
4. Berpikir strategis dan bertindak demo-kratis.
5. Menyadari bahwa akuntabilitas bukan
sesuatu yang mudah.
6. Melayani daripada mengendalikan.
7. Menghargai orang, bukannya produk-
tivitas semata.
Pandangan yang mirip dengan perspektif
yang dikemukakan Denhardt dan Denhardt tersebut sekalipun dengan nama yang berbeda
adalah perspektif yang dikemukakan oleh
Bovaird dan Loffler (2003) bahwa terdapat
tiga pendekatan dalam administrasi publik yaitu
public administration, public management, dan
public governance. Sementara G.Shabbir
Cheema (2007) sebagaimana dikutip oleh
Keban (2008) mengemukakan empat fase
administrasi publik yang juga menggambarkan
perkembangan administrasi publik yaitu: tra-ditional public administration, public manage-
ment, new public management, dangovernance.
Paradigma terakhir yang dikemukakan
oleh Cheema tersebut yakni governance
mendapatkan perhatian yang besar dari
berbagai negara melalui ajakan UNDP dengan
menggunakan istilah Good Governance,
adapun karakteristik good governance dari
UNDP meliputi (Keban, 2008):
1. Participation yaitu bahwa semua orang
harus diberi kesempatan yang sama un-
tuk mengemukakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan baik langsung
atau melalui perantara institusi yang me-
wakili kepentingannya.
2. Rule of law, yaitu bahwa aturan hukum
harus adil dan ditegakkan tanpa pandang
bulu.
3. Transparancy, yaitu bahwa keterbukaan
harus dibangun diatas aliran informasi
yang bebas.4. Responsiveness, yaitu bahwa institusi-
institusi dan proses yang ada harus dia-
rahkan untuk melayani para stakeholders.
5. Consensus orientation yaitu bahwa harus
ada proses mediasi untuk sampai kepada
konsensus umum yang didasarkan atas
kepentingan kelompok, dan sedapat
mungkin didasarkan pada kebijakan dan
prosedur.
6. Equity , yaitu bahwa semua orang memilikikesempatan yang sama untuk memperbaiki
dan mempertahankan kesejahteraannya.
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar86
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 11/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
7. Effectiveness and efficiency , yaitu bahwa
proses dan institusi-institusi yang ada
sedapat mungkin memenuhi kebutuhan
masyarakat melalui pemafaatan terbaik ter-
hadap sumberdaya-sumberdaya yang ada.
8. Accountability , yaitu bahwa para pengam-
bil keputusan di instansi pemerintah,sektor publik dan organisasi masyarakat
madani harus mampu mempertanggung-
jawabkan apa yang dilakukan dan dipu-
tuskannya kepada publik sekaligus kepa-
da para pemangku kepentingan.
9. Strategic vision yaitu bahwa para pemim-
pin dan masyarakat publik harus memiliki
perspektif yang luas dan jangka panjang
terhadap pembangunan manusia, dengan
memperhatikan latar belakang sejarah,dan kompleksitas sosial budaya.
Mencermati beberapa perspektif yang
dikemukakan oleh para ahli tersebut, dan
upaya untuk mengatasi masalah-masalah
berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan
publik di Indonesia sesuai dengan perkem-
bangan IPTEK, kemajuan pengetahuan
masyarakat serta perubahan iklim politik
yang lebih demokratis, maka perspektif
administrasi publik yang relevan dapat
diterapkan adalah perspektif new public sevice
(NPS) dan governance. NPS sebagai paradig-
ma terbaru dari administrasi publik meletak-
kan pelayanan publik sebagai kegiatan utama
para administratur publik. Pelayanan dalam
konteks ini berbeda dengan pelayanan berba-
sis pelanggan (konsumen) sebagaimana di-
gagas oleh dalam pradigma New Public Mana-
gement (NPM). NPM menurut Kamensky
dalam Denhardt dan Denhardt (2003) dida-sarkan pada public choice theory , dimana teori
tersebut menekankan pada kemampuan
individu seseorang dibandingkan dengan ke-
mampuan publik secara bersama-sama.
Penggunaan perspektif New Public Service
dalam mengatasi masalah pelayanan publik di
Indonesia hal ini juga sesuai dengan dasar
negara Pancasila khususnya pada Sila keem-
pat dan kelima, yang menekankan pada musya-
warah mufakat dalam hal ini adanya kesepa-katan antara pemerintah selaku pemberi laya-
nan dengan warga sebagai penerima layanan,
sedangkan pada aspek keadilan sosial hal ini
menunjukkan bahwa pemberian pelayanan
kepada masyarakat harus dilandaskan pada
aspek keadilan dalam pengertian tidak boleh
ada diskriminasi atau perbedaan yang di-
dasarkan pada alasan-alasan ekonomi, politik,
dan alasan yang tidak rasional lainnya. Salahsatu intisari dari prinsip NPS tersebut adalah
bagaimana administrator publik mengartiku-
lasikan dan membagi kepentingan warga
negara (Denhardt dan Denhardt, 2003). Agar
kepentingan warga negara tersebut dapat ter-
bagi rata, diperlukan media pertemuan antara
pemerintah dengan warga masyarakat, sehi-
ngga semua kepentingan warga masyarakat
dapat diakomodasi.
Upaya untuk meningkatkan kualitaspelayanan publik ini, beberapa kegiatan sudah
dilakukan oleh pemerintah misalnya dapat
dilihat pada kegiatan perencanaan partisipatif
seperti musyawarah pembangunan (Musren-
bang) baik pada tingkat kecamatan, kabupa-
ten, maupun provinsi dan nasional. Meskipun
demikian kegiatan tersebut tidak dapat dise-
lenggarakan sewaktu-waktu, sehingga kepen-
tingan masyarakat dalam bentuk kebutuhan
tidak dapat ditangkap dengan cepat oleh peme-
rintah. Seperti kebutuhan yang terjadi secara
tiba-tiba seperti kebutuhan akan kesehatan,
air bersih, bisa terjadi sewaktu-waktu. Agar
kebutuhan masyarakat dapat segera diantisi-
pasi dan diatasi oleh pemerintah maka diperlu-
kan media komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat. Sesuai dengan perspektif New
Public Service maupun good governance, ada be-
berapa model pelayanan publik yang dapat di-
gunakan untuk mengatasi masalah pelayanan
publik di Indonesia diantaranya adalah:1. Model Citizen’s Charter (kontrak pelaya-
nan), model ini berasal dari ide Osborne
dan Plastrik (1997). Dalam model ini ter-
dapat standar pelayanan publik yang
ditetapkan berdasarkan masukan warga
masyarakat, dan aparat pemerintah ber-
janji untuk memenuhinya dan melaksana-
kannya. Model ini merupakan pendekatan
dalam pelayanan publik yang memposisi-
kan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Oleh sebab itu, kebutuhan dan
kepentingan pengguna layanan harus
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar87
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 12/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menjadi pertimbangan utama dalam pro-
ses pelayanan. Citizen’s Charter ini dapat
dikatakan sebagai kontrak sosial antara
warga dengan aparat birokrasi untuk
menjamin mutu pelayanan publik. Adanya
kontrak sosial tersebut, maka warga me-
miliki hak-hak baru apabila dirugikan olehbirokrasi dalam memberikan pelayanan.
Dengan mengadopsi model Citizen’s Char-
ter , birokrasi juga harus menetapkan sis-
tem untuk menangani keluhan pelanggan
dengan tujuan memperbaiki kinerjanya
secara terus menerus.
2. Model KYC (Know Your Costumers), model
ini dikembangkan dalam dunia perbankan
yang dapat diadaptasi ke dalam kontekspelayanan publik dalam organisasi peme-
rintah. Mekanisme kerja dalam model ini
yaitu berupaya mengenali terlebih dahulu
kebutuhan dan kepentingan pelanggan se-
belum memutuskan jenis pelayanan yang
akan diberikan (Dwiyanto, 2005). Untuk
mengetahui keinginan, kebutuhan dan ke-
pentingan pengguna layanan, maka biro-
krasi pelayanan publik harus mendekat-
kan diri dengan masyarakat. Beberapa
metode yang dapat digunakan untuk me-
ngetahui keinginan dan kebutuhan para
pelanggan yaitu melalui survai, wawanca-
ra, dan observasi. Jika menggunakan me-
tode survai maka seperangkat daftar per-
tanyaan harus disusun untuk mengiden-
tifikasi keinginan, kebutuhan, dan aspirasi
masyarakat terhadap pelayanan yang
diinginkan.
Dalam model KYC ini birokrasi peme-rintah harus mengetahui siapa yang
menjadi pelanggannya (orang atau ke-
lompok masyarakat yang dilayani). Oleh
sebab itu setiap unit birokrasi pemerintah
harus mampu mendefinisikan pelanggan-
nya atau pengguna jasa mereka, sehingga
untuk selanjutnya mereka dapat mengori-
entasikan pelayanan kepada kebutuhan
masyarakat pengguna jasa tersebut. Kan-
tor kelurahan misalnya harus mampumengidentifikasi pengguna jasa mereka,
apakah masyarakat yang ada dalam
wilayah kelurahannya, ataukah camat dan
bupati yang mengangkat lurah tersebut.
3. Model M-Government (m-Gov ), kemajuan
teknologi dibidang informasi dan komu-
nikasi ikut berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kinerjabirokrasi pemerintah terutama dari segi
pelayanan warga masyarakat. M-Govern-
ment sebenarnya diadaptasi dari Electro-
nic Government (e-Gov) yakni salah satu
cara untuk menjalankan fungsi peme-
rintah dengan memanfaatkan berbagai
perangkat teknologi informasi dan komu-
nikasi (TIK) (Nugroho, 2008). Menurut
Kuschu dan Kuscu (2003) bahwa penggu-
naan e-Gov setidaknya mampu mengu-bah pola interaksi antara pemerintah de-
ngan masyarakat. Pelayanan yang semula
berorientasi pada antrian (in line) di
depan meja pegawai dan tergantung pada
jam kerja serta person pegawai yang
menangani suatu pelayanan tertentu
berubah menjadi layanan on line yang
dapat diakses website pemerintah melalui
komputer yang terhubung ke internet,
selama 24 jam sehari.
Konsep pemerintah yang menggunakan
teknologi bergerak tersebut disebut
Mobile Government (m-Gov ). Model ini
pada saat sekarang sudah dapat diguna-
kan dengan mudah karena fasilitas yang
dipergunakan dapat melalui komputer
PC di rumah atau di kantor, Laptop/note-
book/tablet, dan Hp (Mobile Phone). m-
Gov adalah strategy and its implementa-
tion involving the utilization of all kinds of wireless and mobile technology, services, ap-
plications and devices for improving ben-
efits to the parties involved in e-govern-
ment including citizens, businesses and gov-
ernment units (Kuschu dan Kuscu, 2003).
Beberapa daerah di Indonesia sudah
mengimplementasikan e-Gov ini seperti Kota
Solo dan Kabupaten Sragen. Juga Presiden SBY
menggunakan e-Gov dalam memberikan pela-yanan seperti membuka layanan SMS pada
nomor 9949 untuk menerima keluhan masya-
88Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 13/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar89
rakat, juga KPK (Komisi Pemberantasan Ko-
rupsi) menerima pengaduan masyarakat me-
ngenai kasus-kasus korupsi melalui fasilitas
SMS. Ada beberapa cara yang dapat diguna-
kan dalam mengimplementasikan m-Gov ini
seperti melalui jaringan internet dengan
menggunakan laptop, kini sudah banyak tersedia jaringan WiFi (wireless fidelity ) yakni
perangkat yang memungkinkan pengguna
untuk mengakses internet secara nirkabel
bahkan beberapa lokasi tersedia hotspot
gratis. Cara lain yang dapat digunakan dalam
implementasi m-Gov ini yaitu melalui hand-
phone baik penggunaan melalui suara atau
SMS (short massage service).
Pemanfaatan suara melalui telepon atau
Hp (mobile phone) untuk menerima kebutu-han dari masyarakat sudah sering digunakan
di dunia bisnis dengan nama Call Centre, pada
institusi perbankan dikenal dengan nama
phone banking. Untuk organisasi publik,
konsep ini diterapkan dengan menempatkan
beberapa pegawai sebagai agen.
Nantinya agen ini akan memberikan
informasi tentang kebutuhan masyarakat.
Selain berfungsi sebagai garda terdepan dalam
memberikan pelayanan informasi kepada
masyarakat, agen ini juga dapat berfungsi
sebagai penghubung aspirasi antara masya-
rakat dengan pemerintah. Kebutuhan masya-
rakat dimasukkan ke dalam sistem yang terin-
tegrasi sehingga dapat diketahui oleh pimpi-
nan instansi. Melalui fasilitas SMS di Hp yaitu
fasilitas yang dapat digunakan untuk mengi-
rim dan menerima pesan-pesan pendek. Ada
beberapa bentuk dari penggunaan teknologi ini
di pemerintahan (Nugroho, 2008), antara lain:
a. Pemerintah ke masyarakat, dalam hal inipemerintah dapat memberikan informasi
kepada warganya melalui SMS .
b. Masyarakat ke pemerintah, keluhan dan
saran masyarakat dapat dikirimkan ke
pemerintah melalui SMS. Menurut Lallana
dan Zalesak (2004) untuk poin a dan b di
atas disebut mCommunication.
c. Pemerintah ke pegawai negeri sipil,
pemerintah dapat memberikan pengu-
muman kepada PNS melalui SMS, sehinggainformasi dapat lebih cepat diterima dan
akhirnya pelayanan kepada masyarakat
dapat lebih cepat. Kemampuan lain dari
ponsel adalah mampu memberikan lokasi
dimana PNS berada, ini diperlukan untuk
mengetahui keberadaan pegawai jika
mereka tidak berada di kantor. Untuk hal
ini menurut Lallana dan Zalesak (2004)
disebut m-Administration.
Ada beberapa cara atau pola yang dapat
dilakukan untuk mengefektifkan model
pelayanan M-Gov ini, konsep yang ditawarkan
oleh (Nugroho, 2008) adalah:
a. Masyarakat dengan Basis Data Aduan
Masyarakat
b. Basis Data Aduan Masyarakat dengan
Pemerintah Daerah
c. Basis Data Aduan Masyarakat denganDPRD
d. Sistem Aduan Masyarakat dengan
Muspida
e. Sistem internal Pemda via SMS
E. PENUTUP
Perspektif New Publik Service dan Good
Governance dianggap paling tepat untuk
kondisi sekarang dalam mengatasi masalah-
masalah pelayanan publik di Indonesia. Hal itu
didukung oleh situasi politik yang lebih
demokratis dan keterbukaan pemerintah. Dan
untuk efektifnya implementasi persepektif
tersebut, dapat diterapkan dengan menggu-
nakan beberapa model seperti model citizen’s
charter , model KYC (Know Your Customer ), dan
model m-Government . Dengan adanya model-
model tersebut di atas diharapkan kendala-
kendala yang selama ini menghambat efektivi-
tas pelaksanaan pelayanan publik dapat diatasisehingga pelaksanaan pelayanan publik dapat
ditingkatkan efektivitasnya, sekalipun demi-
kian kesemuanya kembali kepada person atau
pelaksana pelayanan tersebut yakni aparat
pemerintah dan juga partisipasi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Denhardt, J.V., dan Denhardt, R.B., 2003. The
New Public Service: An Approach toReform. International Review of Public
Aministration Vol 8 No 1. 2004. The
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 14/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
New Public Service: Serving, Not Steer-
ing. New York: M.E Sharve.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik .
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Frederickson, H.G., 1987. Administrasi Negara
Baru (terjemahan). Jakarta: LP3ES.
Keban, Y.T., 2008. Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik : Konsep, Teori dan
Isu. Jakarta: Gava Media.
Kushcu dan Kuscu. 2003. From E-government
to M-government: Facing the Inevitablein the Proceeding of European Confrence
on E-Government (ECEG 2003), Trinity
College, Dublin.
Lallana, E. 2004. eGovernment for Develop-
ment, M-Government Definitions and
Models. www.egov4dev.org/mgovdefn.
htm. di akses (20 Mei 2007)
Nugroho, Rino A., 2008. “Model Pelayanan
Publik Menggunakan M-Governement
(Studi Kasus di Solo, Sragen, Sukoharjo
dan Karanganyar)”. Jurnal Dinamika,
Vol 8 : No. 2.
Osborne, D., dan Gaebler, T., 1996. Mewira-usahakan Birokrasi: Mentransformasi
Semangat Wirausaha ke dalam Sektor
Publik (Terjemahan). Jakarta: CV
Taruna Grafika.
Osborne, D., dan Plastrik, P., 1997. Banishing
Bureaucracy: The Five Strategies for
Reinventing Governement . New York:
Addison-Wessley Publising Company.
Thoha, Miftah, 2008. Ilmu Administrasi Public
Kontemporer . Jakarta: Kencana.
Zalesak, Mischal. “Overview and Opportunities
of Mobile Government”. www.develop
m e n t g a t e w a y . o r g / d o w n l o a d /
218309/mGov.doc., di akses (24 Juni
2010)
*********
90Masalah Pelayanan Publik Di Indonesia
Dalam Perspektif Administrasi Publik - Abdul Mahsyar
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 15/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
Public services in recent years become a central issue has forced all parties, both state and public
institutions to perform again in its implementation regulations. Although the provision of public services
is an obligation that must be done by the government as the organizer of the state. However, the
obligation to provide such services are still not able to give satisfaction to the user community. To
realize good governance requires the synergistic partnership between agencies both within and outside
the government bureaucracy. The agencies include the private sector and civil society. Partnerships
must be built in an environment that is transparent, which is built with good communication, especially
in any decision-making. This meant that the policies are formulated to meet the expectations of society.
Thus, the partnership between government, communities and businesses are expected to promote the
establishment of governance, development and public services more democratic and more professional.
Keywords: Bureaucratic Management, Professional, Public Service.
ABSTRAK
Pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu sentral telah memaksa semua pihak,
baik negara dan lembaga publik untuk tampil lagi dalam peraturan pelaksanaannya. Meskipun pelayanan
publik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Namun,
kewajiban untuk menyediakan layanan tersebut masih belum mampu memberikan kepuasan kepada
masyarakat pengguna. Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan kemitraan
sinergis antara lembaga baik di dalam dan di luar birokrasi pemerintah. Badan-badan termasuk sektor
swasta dan masyarakat sipil. Kemitraan harus dibangun dalam lingkungan yang transparan, yang
dibangun dengan komunikasi yang baik, terutama dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa
kebijakan yang diformulasikan untuk memenuhi harapan masyarakat. Dengan demikian, kemitraan
antara pemerintah, masyarakat dan bisnis diharapkan untuk mendorong terwujudnya pelayanan
pemerintahan, pembangunan dan publik yang lebih demokratis dan lebih profesional.
Kata kunci: Manajemen Birokrasi, Profesional, Pelayanan Publik.
91
KEMITRAAN DALAM PELAYANAN PUBLIK :
SEBUAH PENJELAJAHAN TEORITIK
FatmawatiFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 16/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sumba-
ngan pikiran dalam rangka upaya peningkatan
pelayanan publik oleh pemerintah. Salah satu
tugas pokok pemerintah yang terpenting
adalah memberikan pelayanan umum kepadamasyarakat, oleh karena itu organisasi peme-
rintah sering pula disebut sebagai “pelayanan
masyarakat” ( publ ic service) (Wasistiono,
2009). Walaupun tugas dan fungsi pelayanaan
publik merupakan kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah namun dengan prinsip
partisipasi mayarakat sebagai salah satu pilar
kepemerintahan yang baik atau good gover-
nance, masyarakat sebenarnya perlu dilibat-
kan lebih jauh dalam kegiatan penyediaanpelayanan, mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan
demikian paradigma dominan yang selama ini
cenderung memandang pelayanan publik
menjadi kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah, sementara masyarakat berada di
pihak yang pasif, yang hanya menunggu dan
menagih untuk mendapatkan pelayanan
tampaknya perlu dikaji ulang. Adanya sinergi
antara pemerintah, dunia usaha dan masyara-
kat memungkinkan kualitas pelayanan menja-
di lebih meningkat, karena masyarakat sendiri
turut mengawasi pelaksanaannya.
Di negara yang sedang berkembang se-
perti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat
sangat tergantung pada kemampuan mereka
dalam mengakses dan menggunakan pelaya-
nan publik, akan tetapi permintaan akan
pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi
kemampuan pemerintah untuk dapat meme-
nuhinya. Sebaliknya, pemusatan segalaurusan publik hanya kepada negara, pada
kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab
urusan pelayanan publik yang demikian
kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua
hanya oleh pemerintah.
Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan publik yang berkualitas, ber-
prosedur jelas, dilaksanakan dengan segera
dan dengan biaya yang pantas, telah terus
mengedepan dari waktu ke waktu. Tuntutanini berkembang seiring dengan berkemba-
ngnya kesadaran bahwa warga negara dalam
kehidupan bernegara bangsa yang demokra-
tik memiliki hak untuk dilayani. Adalah
kewajiban pejabat-pejabat pemerintahan
untuk memberikan pelayanan sesuai dengan
tuntutan para warga itu. Namun, apa lacur.?
Perubahan-perubahan yang terjadi sepan-
jang era reformasi ini ternyata belum sepe-nuhnya mengubah tatanan kehidupan
masyarakat di bidang pelayanan publik.
Harapan masih sangat jauh bahwa warga
masyarakat bisa memperoleh akses yang
lapang ke arah pelayanan yang baik dan ber-
kualitas. (Larasati, 2008:255).
Menurut Miftah Thoha (dalam Sedarma-
yanti, 2009:243), pelayanan publik dapat
dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/
kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Hanya saja, dalam rangka melakukan
optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan
oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas
yang mudah mengingat usaha tersebut
menyangkut berbagai aspek yang telah mem-
budaya dalam lingkaran birokrasi pemerin-
tahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta
dan masyarakat sangat diharapkan untuk
melengkapi pemerintah dalam menciptakan
kualitas pelayanan publik yang optimal.
Keterlibatan dunia usaha (swasta) dan
masyarakat dalam optimalisasi pelayanan
publik tentu saja sangat mendukung dalam
pencapaian tujuan besar yaitu Good Gover-
nance, dalam konsep Good Governance, peran
masyarakat dan sektor swasta menjadi sangat
penting karena adanya perubahan paradi-
gma pembangunan dengan meninjau ulang
peran pemerintah dalam pembangunan, yangsemula berperan sebagai regulator dan pela-
ku pasar, menjadi bagaimana menciptakan
iklim yang kondusif dan melakukan investasi
prasarana yang mendukung dunia usaha.
Tentu saja hal ini bisa diwujudkan apabila
masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah
memiliki kapabilitas yang memadai.
B. PERGESERAN PARADIGMA
PELAYANAN PUBLIK
Paradigma baru administrasi publik,
92Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 17/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menyebabkan pola hubungan antara negara
dengan masyarakat, yang lebih menekankan
kepada kepentingan masyarakat. Akibatnya
negara dituntut untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan lebih baik dan
lebih demokratis. Pemahaman yang senada
diberikan oleh Denhardt bahwa paradigmabaru pelayanan publik (new public services
paradigm) lebih diarahkan pada “democracy,
pride and citizen”. Lebih lanjut dikatakan
bahwa “Public servants do not delever customer
service, they delever democracy ” Oleh sebab itu
nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan
pelayanan untuk kepentingan publik sebagai
norma mendasar dalam penyelenggaraan
administrasi publik (Larasati, 2008:260)
Pelayanan publik adalah identik denganrepresentasi dari eksistensi birokrasi peme-
rintahan, karena berkenaan langsung dengan
salah satu fungsi pemerintah yaitu memberi-
kan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas
pelayanan publik merupakan cerminan dari
sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di
masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih
memberi peran yang sangat besar kepada
pemerintah sebagai sole provider . Peran pihak
di luar pemerintah tidak pernah mendapat
tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan
dunia swasta hanya memiliki sedikit peran
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh
karenanya berkenaan dengan reformasi di
sektor publik, salah satu prinsip penting yang
merubah paradigma pelayanan publik adalah
prinsip streering rather than rowing. Berkena-
an dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan
untuk lebih berperan sebagai pengarah
daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh
bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan
bahwa pemerintah tidak dapat secara terus
menerus bekerja sendirian, dan harus mulai
mengubah paradigma pelayanan agar tujuan
dari penyelenggaraan pelayanan dapat
tercapai lebih baik lagi.
Perjalanan demokratisasi yang berlang-
sung di Indonesia memberikan pelajaran yang
berharga bagi pemerintah (birokrasi) dan
warga negara (citizen). Wajah dan sosok biro-krasi kini mengalami perubahan dari biro-
krasi yang kaku berorientasi ke atas menuju
ke arah birokrasi yang lebih demokratis, res-
ponsif, transparan, dan partisipatif.
Secara teoritis, Eisler dan Montuori
(2001:11) membuat pernyataan yang
menarik yang berbunyi “Beginning to recog-
nize and acknowledge Partnership in ourselves
and in others, and finding creative alternatives for Dominator thinking and behaviors is a first
step towards building a Partnership organiza-
tion.” (memulai dengan mengakui dan
memahami kemitraan pada diri sendiri dan
orang lain, dan menemukan alternatif yang
kreatif bagi pemikiran dan perilaku domina-
tor merupakan langkah pertama ke arah
membangun sebuah organisasi kemitraan).
Istilah kemitraan seringkali dipertukarkan
dengan banyak istilah lain seperti kolaborasi,aliansi, ko-produksi atau konsorsium. Istilah-
istilah ini sebenarnya sebagai perwujudan
dari kerjasama antar individu atau kelompok
yang saling membantu, saling menguntungkan
dan secara bersama-sama meringankan
pencapaian tujuan yang telah mereka sepakati
bersama. Permasalahan definisi ini kemudian
diikuti dengan pernyataan mendasar bahwa
kemitraan sebagai proses, produk, hasil
penjelajahan, atau hasil akhir (Borrini-
Feyerabend, 1996).
Secara khusus pada bidang pelayanan
publik, pengertian kemitraan mengacu kepada
dukungan sukarela dan resiprokal (timbal
balik) antara dua atau lebih badan sektor
publik yang berbeda. Dengan kata lain antar
administrasi publik dengan privat, termasuk
organisasi nonprofit. Berbagai sektor tersebut
saling memberikan dukungan satu sama lain
dalam rangka pelayanan publik yang menjadi
bagian dari misi pemerintah.Pengertian kemitraan sebagai kerja
bersama (working together) dikemukakan
oleh Hodget & Johson (2001:323) bahwa
kemitraan diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagaimana yang diinginkan individu,
kelompok, lembaga atau organisasi untuk
menghasilkan suatu keluaran yang bermakna
dan berkelanjutan. Dalam kemitraan terjadi
relasi antarorganisasi dan dengan relasi
tersebut akan tercipta kerja sama. Sistemkemitraan bertumpu pada kepercayaan.
dengan ciri-ciri-nya, antara lain: (I) persamaan
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati93
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 18/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dan organisasi yang lebih landai: (2) hierarki
aktualisasi yang luwes (di mana kekuasaan
dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan
caretaking); (3) spiritualitas yang berbasis
alamiah; (4) tingkat kekacauan yang rendah
yang terbentuk dalam sistem; dan (5) persa-
maan dan keadilan gender.Masa sekarang model komando dan
kontrol ini selain tidak sesuai lagi, juga makin
menjadi tidak berlaku. Kekakuan birokrasi
bersifat mematikan organisasi yang berke-
hendak mengarahkan secara efektif di ling-
kungan yang cepat berubah di mana inovasi
dan fleksibilitas merupakan faktor-faktor
kunci. Di dalam sistem kemitraan, kreativitas
sangat bernilai dan dihargai. Kreativitas
kemitraan tidak mengecualikan perubahan-perubahan kreatif yang dramatis, sistem
tersebut juga mendorong hubungan-hubu-
ngan kreatif dan pendekatan-pendekatan
kreatif terhadap masalah-masalah sehari-hari.
Kreativitas sehari-hari dalam organisasi dapat
mendorong perbaikan terus menerus dan
perbaikan kualitas, seperti praktik manajerial
baru, penghargaan baru, proses pendidikan
baru, bagan organisasi baru dan sebagainya.
Jika organisasi dirancang dengan pemiki-
ran sistemik, perbaikan hidup dan prinsip-
prinsip kemitraan, maka diperlukan pergese-
ran mendasar dalam cara orang berpikir dan
merancang organisasi. Disamping itu organi-
sasi memerlukan jenis kreativitas yang perlu
dijaga dan didorong oleh model kemitraan:
perlindungan yang luas dan belum begitu
dimanfaatkan dari kreativitas sosial dan
kewirausahaan sosial.
Kemitraan berusaha melibatkan masyara-
kat, baik dalam bentuk kelompok maupun in-dividual. Vigoda (2002:527) menyebut
mereka sebagai “social players” yang memiliki
tingkatan kepentingan, keahlian, sumberdaya
dan kemampuan pengambilan keputusan yang
bervariasi. Vigoda menyoroti kondisi ideal
dari proses kemitraan di mana masyarakat
sebagai warga negara dan pemerintah seba-
gai penanggung jawab pemerintahan
bertindak sebagai sepasang “ partner ” dalam
proses pengambilan keputusan. Khususnyadalam proses pemberian pelayanan, warga
negara harus diperlakukan sebagai rekan
kerja, dan bukan sebagai subjek atau
pelanggan.
Kemitraan dalam perspektif hubungan
antarorganisasi masa kini dikemukakan oleh
Limerick dan Cunnington (1993:6). Menurut
keduanya, ada delapan sebagai respon
terhadap dunia yang selalu berubah. Ke-delapan dimensi tersebut adalah:
Managing global market;
Building new kind of alliance between
the public and private sector;
Balancing competition with
collaboration;
Drawing investors into corporate
environment;
Accepting corporate responsibility;
designing new form of organizations; Integrating sub cultures;
Turning every employee into the new
millennium.
Salah satu dari delapan dimensi tersebut
adalah mendesain bentuk baru organisasi.
Desain bentuk baru organisasi tersebut di-
arahkan kepada perubahan-perubahan
beberapa karakteristik. Pertama, organisasi
bergerak dari bentuk independen ke inter-
dependen. Kedua, organisasi bergerak dari
organisasi khierarkis ke organisasi networks.
Ketiga, bergerak dari model partisipasi ke
budaya kemitraan (Taket and White, 2000:13).
Bentuk baru organisasi pada masa depan juga
terkait dengan peristilahan kemitraan dalam
pelayanan publik. Pada bidang publik,
kemitraan mengacu pada situasi saling
memberi dukungan antar organisasi dalam
rangka pelayanan publik. (Taket and White,
2000:14). Hal ini dicirikan oleh karakteristik berikut:
Sekurang-kurangnya ada dua lembaga
yang berbeda, sektor publik dengan
private atau sektor nonprofit.
Adanya perjanjian tertulis untuk
menentukan kerangka kemitraan.
Adanya tujuan (pada umumnya
penyelenggaraan pelayanan publik).
Adanya pembagian tanggung jawab
yang terdiri dari pembagian risiko,sumber daya, biaya, dan manfaat, baik
yang bersifat tangible maupun intangible.
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati94
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 19/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Dari definisi ini, unsur-unsur kemitraan
dapatlah disebutkan sebagai berikut: kesu-
karelaan, kerja sama, upaya ke arah pem-
bangunan berkelanjutan, alokasi yang efisien
atas sumber daya komplementer yang dicu-
rahkan, serta keterlibatan sektor perusahaan,
kelompok masyarakat sipil dan pemerintah.Kalau keseluruhan unsur tersebut muncul,
maka potensi bagi penyelenggaraan program
pembangunan yang unggul memang sudah
memadai.
Tujuan dan manfaat dibentuknya kemi-
traan adalah untuk mencapai hasil yang lebih
baik, dengan saling memberikan manfaat
antar pihak yang bermitra, Hafsah (2000:54-
62) mengemukakan mengenai manfaat yang
dapat diperoleh dalam kemitraan, beberapadiantaranya yaitu:
Kemitraan dapat meningkatkan
produktivitas organisasi;
Kemitraan dapat membantu organisasi
mencapai tujuan dengan lebih efisien;
Kemitraan mengurangi beban risiko
yang ditanggung oleh organisasi dengan
membaginya;
Kemitraan memberikan dampak sosial
yang besar.
Ada beberapa persyaratan bagi keberha-
silan kerja kemitraan yang melibatkan
kepentingan semua pihak yang terlibat, yaitu
badan-badan dan departemen pemerintah dan
masyarakat setempat sendiri. Bryden, et al,
(1998) mengajukan pedoman terselenggara-
nya proses ini, yang meliputi pelatihan semua
pihak yang terlibat, penggunaan secara hati-
hati bahasa yang digunakan ketika berin-
teraksi dengan orang-orang setempat, peng-
gunaan contoh-contoh dan penghubung,akuntabilitas dan kepemerintahan yang
terbuka, menjabarkan tujuan-tujuan ke dalam
tugas-tugas yang mudah dicapai, pesta
keberhasilan, menjaga masyarakat setempat
sadar informasi, dan adaptasi secara terus-
menerus untuk menghadapi perubahan-
perubahan dan kebutuhan-kebutuhan baru.
Pada pihak lain, Agranoff dan Mc Guire
(2004, 183) menambahkan perlunya kepemi-
mpinan dan kemampuan memandu, sebabpengelolaan networks bukan sekedar konsen-
sus atau suatu tindakan yang diambil bersama
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati95
tetapi juga dukungan ide atas kon-sensus dari
organisasi masing-masing.
Kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyara-
kat (Public Private Community Partnership)
merupakan suatu model kemitraan yang dida-
sarkan pada kerangka penyedia terbaik (Best
Sourcing). Dengan kerangka Best Sourcingtersebut pemerintah dapat mendorong sektor
swasta-masyarakat untuk terlibat dalam
memberikan pelayanan publik tertentu yang
mana hal itu akan lebih meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan (value for money ) dan
memberikan win-win solution baik bagi pe-
merintah, pihak swasta maupun masyarakat.
C. POLA KEMITRAAN PEMERINTAH,
SWASTA DAN MASYARAKAT
Jika mengacu pada teori barang publik,
maka pada dasarnya pelayanan publik
merupakan tanggungjawab pemerintah dalam
menyediakannya, sedangkan untuk barang
privat sektor swastalah yang menyediakan.
Namun dalam kenyataannya terdapat be-
berapa barang campuran, yaitu barang semi
publik (quasi public goods) dan semi privat
(quasi private goods). Pelayanan publik
meliputi penyediaan barang publik murni,
semi publik, dan semi privat. Untuk kategori
barang campuran ini, baik sektor publik
maupun swasta dapat sama-sama menyedia-
kan. Oleh karena itu untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
pemerintah daerah dapat melakukan program
kemitraan dengan sektor swasta ( public pri-
vate partnership) atau bisa juga bekerjasama
dengan sektor ketiga yaitu dengan organisasi
nonprofit dan LSM (Mardiasmo, 2004).Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci
membagi fungsi pelayanan publik ke dalam
bidang-bidang sebagai berikut:
Pendidikan.
Kesehatan.
Keagamaan.
Lingkungan: tata kota, kebersihan,
sampah, penerangan.
Rekreasi: taman, teater, musium,
turisme. Sosial.
Perumahan.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 20/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
sedangkan organisasi swasta mengerja-
kan pelayanan yang diserahkan kepada
pihak luar oleh sektor publik. Sektor
swasta harus menentukan pelayanan
publik yang sesuai dengan biaya dan pela-
yanan tersebut harus sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan oleh sektorpublik. Secara umum, pemerintah meng-
gunakan prosedur kompetitif untuk
memilih pihak yang menyelenggarakan
service contract. Pembelian tersebut
harus didasarkan pada waktu pelaksa-
naan yang lebih singkat dan yang membu-
tuhkan sumberdaya yang sedikit (Bennet
dalam Suhartono, 2005: 74).
2. Bangun-Transfer-Operasi(Build-Oper-ate-Transfer )
Build-Operate-Transfer Contract (BOT)
didesain untuk membawa investasi sektor
swasta membangun infrastruktur baru.
Pada BOT, sektor swasta akan memba-
ngun, membiayai, dan mengoperasikan
infrastruktur baru dan system baru yang
sesuai standar pemerintah. Periode ope-
rasi adalah cukup lama agar sektor swasta
dapat menerima kembali biaya-biaya
konstruksi dan mendapatkan keuntungan.
Jangka waktu operasi tersebut adalah 19-
20 tahun. Setelah periode operasi selesai,
seluruh infrastruktur diserahkan kepada
pemerintah (Bastian, 2001). Pemerintah
berkedudukan sebagai pemilik fasilitas
infrastruktur, sekaligus menjadi konsu-
men dan regulator dari pelayanan terse-
but (Bennet dalam Suhartono, 2005: 75).
3. Wrap Around AdditionKemitraan bentuk Wrap Around Addition
merupakan kerjasama antara pemerintah
daerah dengan swasta yang dalam hal ini
partner swasta mendanai dan membangun
tambahan fasilitas publik yang tersedia.
Partner swasta juga mengoperasikannya
sampai tenggang waktu tertentu sampai
dengan modal partner swasta kembali
ditambah keuntungan yang diinginkannya.
Kemitraan jenis ini dapat diaplikasikanpada hampir seluruh infrastruktur dan
fasilitas publik termasuk jalan, air bersih,
1. Operasi–Pemeliharaan
(Operation–Maintenance)
Pada Operation–Maintenance, sektor
publik menyewa sebuah organisasi
swasta untuk mengerjakan satu atau lebih
tugas atau pelayanan publik selama limasampai tujuh tahun. Sektor publik masih
sebagai penyedia pelayanan yang utama
96Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
Pemakaman/krematorium.
Registrasi penduduk: kelahiran,
kematian.
Air minum.
Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor,
sertifikat, dll.
Di dalam pelaksanaannya komposisi
kemitraan yang disarankan kepada otoritas
lokal terdiri dari (Chapman dalam Sumartono,
2008) :
Lembaga-lembaga pemerintah
Otoritas lokal
Bisnis swasta dan organisasi-organisasi
komersial
Kelompok-kelompok masyarakat
Organisasi-organisasi lingkungan Kelompok-kelompok sukarela, dan
Individu-individu pribadi.
Bentuk kerjasama pemerintah dengan
swasta/masyarakat bisa berupa kontrak
kerja, tender penyediaan barang atau jasa,
atau bisa juga berupa Business Process
Outsourcing (OECD, 2001). Model kemitraan
yang dapat diadopsi antara lain:
Sumber: Mahmudi, 2007:55
Gambar 1.Hubungan Kemitraan Sektor Publik, Sektor Swasta dan
Sektor Ketiga (Masyarakat)
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 21/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati97
pengolahan limbah dan lain sebagainya
(Mahmudi, 2007:57).
4. Sewa-Beli (Leasing)
Sewa-Beli merupakan jenis kemitraan
yang dalam hal ini pemerintah daerah
melakukan kontrak kepada partnerswasta untuk melakukan desain, pembia-
yaan, dan membangun fasilitas untuk
layanan publik. Partner swasta kemudian
menyewakan kepada Pemda sampai den-
gan kepemilikan fasilitas menjadi milik
pemerintah. Hal ini dilakuan ketika Pemda
ingin menyediakan fasilitas layanan akan
tetapi tidak bersedia memberikan penda-
naan. Sewa-Beli dapat digunakan untuk
pembangunan modal seperti gedung, ar-mada kendaraan, air bersih dan penye-
diaan fasilitas komputer (Mahmudi,
2007:58).
5. Pelayanan Berbasis Masyarakat
(Community-Based Provision)
Community-based provision berawal ke-
tika keterbatasan keuangan menghadang
pemerintah untuk memberikan pelayanan
yang cukup untuk masyarakat. Commu-
nity-based provision mendorong anggota
masyarakat untuk memenuhi kebutu-
hannya sendiri. Anggota dari Community
based provision meliputi individual,
keluarga atau perusahaan dalam ruang
lingkup mikro. Seringkali beberapa
aktivitas tidak dapat diakui dan tidak dapat
terintegrasi dalam system yang formal. Di
beberapa kota dimana pemerintah
mengakui adanya NGO, NGO akan mem-
berikan bantuan pada group non-formalini secara terorganisir. NGO menyediakan
input untuk proses manajemen media
negosiasi antara CBO dengan lembaga
politik yang lebih luas, jaringan kerja, dan
penyebaran informasi (Bennet dalam
Suhartono, 2005:78)
Bila model kemitraan ini diterapkan,
setidaknya terdapat tujuh kemungkinan pola
interaksi kemitraan; pertama, seratus persenpengaturan, kontrol dan evaluasi dilakukan
pemerintah secara otonom dan mandiri.
Kedua, ada interaksi antara sektor publik dan
sektor swasta. Interaksi ini terjadi pada derajat
yang berbeda, bisa 99% publik dan 1% swasta
atau sebaliknya 1% publik dan 99% swasta.
Ada elemen-elemen yang contracting out
(misalnya perawatan kendaraan, kebersihan)
atau pembagian tugas (tindakan preventif danpembangunan saluran hidran).
Ketiga, dimungkinkan 100% peran sektor
swasta, dengan tidak melibatkan masyarakat
dan pemerintah, artinya penyediaan pelaya-
nan sepenuhnya dikelola swasta, dengan tidak
ada keterlibatan pemerintah baik pada regu-
lasi maupun penyediaan fasilitas.
Keempat , ada interaksi antara pemerintah
dan masyarakat. Pegawai fasilitas pelayanan,
misalnya, merupakan kombinasi antara tenagaprofesional pemerintah dan sukarelawan
masyarakat.
Kelima, urusan pelayanan publik 100%
menjadi urusan masyarakat. Tidak ada
organisasi pemerintah maupun swasta yang
telibat dalam perencanaan, pengadaan, dan
penanganan masalah tersebut.
Keenam, kombinasi antara organisasi
swasta yang berorientasi pada profit dengan
LSM yang non profit. Lembaga penyedia
pelayanan mungkin ditangani swasta, tetapi
dikombinasikan dengan tenaga profesional
dan warga masyarakat. Yang terakhir meru-
pakan kombinasi dari tiga pilar governance:
pemerintah (publik), swasta, dan masyarakat.
Kombinasi tersebut sama dengan interaksi
antara pemerintah-swasta ( public-private)
tetapi dengan tambahan tenaga sukarelawan
dari masyarakat (Paskarina, 2007:8).
Setiap bentuk kemitraan, masing-masing
mengandung potensi keuntungan dan ke-rugian. Oleh karena itu, perencanaan yang
baik, manajemen risiko, dan penilaian men-
dalam tentang skema kemitraan mutlak harus
dilakukan agar pemerintah tidak dirugikan
yang pada akhirnya masyarakatlah yang
dirugikan.
D. KEMITRAAN SEBAGAI PERWUJUDAN
GOOD GOVERNANCE DALAM
PELAYANAN PUBLIK
Harus diakui bahwa penerapan sistem
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 22/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Wilson memperkenalkan bidang studi terse-
but kira-kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama
itu governance hanya digunakan dalam
konteks pengelolaan organisasi korporat dan
lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang
governance yang baru muncul sekitar bebe-
rapa tahun belakangan ini, terutama setelahberbagai lembaga pembiayaan internasional
mempersyaratkan good governance dalam
berbagai program bantuannya. Oleh para teo-
ritisi dan praktisi administrasi negara Indo-
nesia, term good governance diterjemahkan
menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang
amanah, tata kepemerintahan yang baik,
pengelolaan pemerintahan yang baik dan
bertanggunjawab, ada juga yang mengartikan
secara sempit sebagai pemerintahan yangbersih (Sofyan Efendi, 2005:2).
Perbedaan paling pokok antara konsep
government dan governance terletak pada
bagaimana cara penyelenggaraan otoritas
politik, ekonomi dan administrasi dalam
pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep
government berkonotasi bahwa peranan
pemerintah yang lebih dominan dalam
penyelenggaran berbagai otoritas negara.
Sedangkan dalam governance mengandung
makna bagaimana cara suatu bangsa mendis-
tribusikan kekuasaan dan mengelola sumber-
daya dan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep
governance terkandung unsur demokratis,
adil, transparan, rule of law , partisipatif dan
kemitraan (Sofyan Efendi, 2005:2).
Kemudian secara implisit kata good dalam
good governance sendiri mengandung dua
pengertian; pertama, nilai yang menunjung
tinggi kehendak rakyat dan nilai yang mening-katkan kemampuan rakyat dalam mencapai
tujuan kemandirian dan keadilan sosial. Kedua,
aspek fungsional dari pemerintahan yang
efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut
(Tjahjanulin Domai, 2005:6).
Prinsip-prinsip yang melandasi konsep
tata pemerintahan yang baik sangat bervari-
asi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu
pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai
landasan good governance, yaitu akuntabilitas,
kemitraan di Indonesia masih merupakan hal
yang baru dan belum banyak dipahami dengan
baik oleh para perumus kebijakan di daerah.
Akan tetapi dari beberapa kasus di daerah
yang telah berhasil menerapkannya, tampak
bahwa sistem kemitraan bisa merupakan
terobosan bagi penciptaan mekanisme pela-yanan yang lebih berkualitas serta reformasi
birokrasi publik di Indonesia. Kemitraan
dalam pelayanan publik jelas sangat sesuai
dengan gagasan tata pemerintahan yang baik
sebab prinsip dasar dari governance adalah
keterlibatan tiga pihak dalam proses pelaya-
nan, yaitu pemerintah daerah, unsur-unsur
swasta, dan unsur-unsur masyarakat sebagai
pengguna jasa pelayanan.
Secara teoritis yang dikemukakanTascereu dan Campos (Thoha, 2003:63), tata
pemerintahan yang baik ( terjemahan good
governance) merupakan suatu kondisi yang
menjamin adanya proses kesejajaran, kesa-
maan, kohesi dan keseimbangan peran serta,
adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh
komponen yaitu pemerintahan ( government ),
rakyat (citizen) atau civil society dan usahawan
(business) yang berada di sektor swasta. Ketiga
komponen itu mempunyai tata hubungan
yang sama dan sederajat.
Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding
atau tidak terbukti maka akan terjadi pem-
biasan dari tata pemerintahan yang baik. Oleh
karena itu, dalam konteks good governance,
pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator
atau katalisator, sementara tugas untuk mema-
jukan dan mengawal proses pelaksanaan
pembangunan terletak pada semua kompo-
nen negara, meliputi kelompok-kelompok pri-
vate (dunia usaha) dan civil society yangmeliputi kelompok-kelompok infrastruktur
politik (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM,
kelompok penekan, partai politik, Perguruan
Tinggi dan organisasi kemasyarakatan lain-
nya. Atas dasar tersebut, untuk mewujudkan
tata pemerintahan yang baik sesungguhnya
adalah bagaimana membangun kemitraan dan
komunikasi yang baik antara ketiga aktor
tersebut.
Istilah governance sebenarnya sudahdikenal dalam literatur administrasi dan ilmu
politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati98
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 23/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Selain itu juga, Good Governance yang efektif
menuntut adanya koordinasi dan integritas,
profesionalisme serta etos kerja dan moral
yang tinggi dari ketiga pilar yaitu pemerintah,
masyarakat madani, dan pihak swasta.
Governancemengasumsikan banyak aktoryang terlibat dimana tidak ada yang sangat
dominan yang menentukan gerak aktor lain.
Pesan pertama dari terminologi governance
membantah pemahaman formal tentang be-
kerjanya institusi-institusi negara. Governance
mengakui dalam masyarakat terdapat banyak
pusat pengambilan keputusan yang bekerja
pada tingkat yang berbeda. Menurut UNDP,
governance atau tata pemerintahan memiliki
tiga domain yaitu (Sedarmayanti, 2009:270):a. Negara atau tata pemerintahan (state);
b. Sektor swasta atau dunia usaha dan
(private sector;)
c. Masyarakat (society).
Ketiga domain dalam Governance tersebut
berada dalam kehidupan berbangsa, berne-
gara dan bermasyarakat. Sektor pemerinta-
han lebih banyak memainkan peranan
sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan
pengawasan. Sektor swasta lebih banyak
berkecipung dan menjadi penggerak aktifitas
di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masya-
rakat merupakan objek sekaligus subjek dari
sektor pemerintahan maupun swasta. Karena
di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di
bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya
(Wasistiono, 2009:31).
Membangun, mewujudkan/menerapkan
good governance, bukan hanya berupa masa-
lah perbaikan kondisi dan komitmen birokrasidan administrasi publik saja, tetapi juga
perbaikan kondisi dan komitmen dunia usaha
dan masyarakat yang memiliki berbagai
macam kelompok sosial dengan kondisi dan
kepentingan yang berbeda. Ketiga unsur
tersebut, yaitu pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat harus secara bersama-sama/
mengadakan hubungan kemitraan berupaya
mewuudkan terlaksananya good governance
( tata pemerintahan yang baik).Penyediaan pelayanan sosial dasar yang
bermutu oleh lembaga-lembaga yang kompe-
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati99
ten, bertanggung jawab dan akuntabel, sering
dipandang sebagai perwujudan dari tata
pemerintahan yang baik. Dalam tata peme-
rintahan, mutu pelayanan mencerminkan titik
temu antara permintaan dan penawaran serta
menjadi faktor penentu peningkatan standar
dan kualitas hidup.Konsep kemitraan menjadi penting untuk
didiskusikan, karena adanya kesadaran bah-
wa persoalan-persoalan pembangunan tidak
dapat lagi dilihat hanya dari kepentingan dan
tanggung jawab satu kelompok saja. Pemba-
ngunan telah menjadi kesadaran baru sebagai
‘kerja patungan’ dan bukan sebagai ‘single
fighter ’ dari pemerintah saja.
Pemerintah tidak mungkin lagi menger-
jakan semua urusan karena keterbatasandana dan sumber daya manusia, sehingga
kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak
lain harus dilakukan agar kualitas pelayanan
publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan
tuntutan masyarakat. Keterbatasan sumber
daya yang dimiliki oleh pemerintah dalam
pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
publik sementara tuntutan masyarakat ter-
hadap kualitas pelayanan publik semakin
meningkat. Sebagai suatu konsep, kemitraan
pemerintah-dunia usaha-masyarakat dipre-
diksi dapat meningkatkan kualitas pelayanan
publik.
E. KESIMPULAN
Kemitraan pemerintah, swasta, dan
masyarakat perlu dikembangkan agar penye-
diaan pelayanan publik menjadi lebih dekat
dan mudah diakses masyarakat. Berbagai
model jejaring kemitraan perlu dikembangkantidak hanya untuk mengantisipasi tuntutan
pelayanan publik, tapi juga untuk menganti-
sipasi dominasi pemerintah atau pasar dalam
penyediaan barang dan jasa publik.
Dominasi pemerintah akan menciptakan
ketergantungan dan meminimalkan inovasi
serta posisi tawar masyarakat terhadap kuali-
tas pelayanan yang diberikan. Sebaliknya,
dominasi pasar dalam penyediaan public goods
akan menyebabkan monopoli yang eksploi-tatif dan meminimalkan akses masyarakat
terhadap pelayanan publik yang berkualitas.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 24/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Karena itu, model jejaring kemitraan menjadi
alternatif untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan tersebut agar pelayanan publik
yang berkualitas menjadi lebih mudah diakses
masyarakat.
Di kota-kota seluruh dunia, pemerintah
telah menemukan bahwa keterlibatan tigadomain adminstrasi publik (pemerintah-
swasta-masyarakat) dapat meningkatkan
kualitas pelayanan publik, melalui penurunan
biaya dan perluasan cakupannya. Dengan pe-
layanan publik demikian dapat meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Agranoff, Robert., and Michael Mc Guire.2004. Collaborative Public Manage-
ment: New Strategies for Local Govern-
ment. Washington: Georgetown Uni-
versity Press
Borrini-Feyerabend, G. 1996. Collaboration
Management of Protected Area: Tailor-
ing the Approach to the Context . Social
Policy Group IUCN. http://
www.iucn.org/ (download 12-1-2011)
Bryden, J.S.M., and Murphy, C. 1998. Evalua-
tion and Monitoring of the Loggan Com-
munity Forestry I nitiative, Inception
Report and Final Refort. Scottish Office,
Edinburh. www.abdn.ac.uk/arkleton/
npp/parte
Eisler, R & Montuori, A. 2001. The Partnership
Organization: A System Approach. O.D.
Practitioner, Vol. 33, No. 2. http://www.bepress.com?article (download
10-2-2011)
Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktek
Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta: Trasindo.
Hodgett, S., and Johnson, D. 2001. Troubles,
Partnerships and Possibilities: A Study
of the Making Belfast Work Develop-ment Initiative in Nerthern Ireland .
Journal Public Administration & Devel-
opment: Oct 2001; 21, 4; ABI/INFORM
Research. Pg 321-332
Larasati, Endang. 2008. Reformasi Pelayanan
Publik (Public Services Reform) dan
Partisipasi Publik. “ Dialogue” JIAKP, Vol.
5, No. 2, Mei 2008 : 254-267
Mahmudi. 2007. Kemitraan Pemerintah
Daerah dan Efektivitas Pelayanan
Publik. Jurnal Sinergi Kajian Bisnis dan
Manajemen Vol. 9 No. 1, Januari 2007
hal. 53 – 67
Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Paskarina, Carolina. 2007. Kemitraan
Pemerintah-Swasta dalam Pelayanan
Publik. Warta Bapeda: www.bapeda-
jabar.go.id
Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi
Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepe-
mimpinan Masa Depan (Mewujud-kan
Pelayanan Prima dan Kepemerin-tahan
yang Baik. Bandung: Refika Aditama
Sofyan Efendi. 2005. Membangun Budaya
Birokrasi untuk Good Governance.
Lokakarya Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Departemen Pemberdayaan Aparatur
Negara.
Suhartono. Ehrmann. 2005. Model-model Pub-
lic Private Partnership pada Sektor
Pelayanan Air Bersih. Jurnal Akuntansidan Bisnis. Volume 5 No. 1 Pebruari
2005: 72-81
Sumartono. 2008. Kemitraan Pemerintah Desa
dengan Badan Perwakilan Desa dalam
Penyelenggaraan PemerintahanDesa.
Disertasi (Tidak Diterbitkan), UGM.
Taket & White. 2000. Partnership and Partici-
pation, Decision Making in theMultiagency Setting. http://www.
tower.com/partnership-participation-
Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati100
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 25/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
decision-making-in-multiagency-set-
ting-a-r-taket
Tjahjanulin Domai. 2005. Dari Pemerintahan
ke Pemerintahan yang Baik . Jakarta:
Depdagri.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi Politik di Indo-
nesia. Jakarta: Raja Gravindo Persada
101Kemitraan Dalam Pelayanan Publik :
Sebuah Penjelajahan Teoritik - Fatmawati
Vigoda, Eran., 2002, From Responsiveness to
Collaboration: Governance, Citizens, and
the Next Generation of Public Adminis-
tration, dalam Public Admi-nistration
Review , Vol. 62, No. 5, Hal. 527-540.
Wasistiono, Sadu. 2009. Kapita SelektaPenyelenggaraan Pemerintahan Dae-
rah. Bandung: Fokus Media.
*********
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 26/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
Professional management of public services should be more goal-oriented paradigm of governance
that is based on a new management approach, both theoretically and practically. Simultaneously, a
paradigm of governance goal is expected to eliminate practices that Weberian bureaucracy is negative as
hierarkhikal bureaucratic structures that result in operating cost is more expensive (high cost economy)
than the benefits gained, the prevalence of red tape, lack of initiative and creativity of the apparatus, the
growth of culture mediokratis (as opposed to meritocratic culture) and in-efficiency. Therefore, institutions
of public service can be done by government and non-governmental organizations. If the government,
the organization of government bureaucracy is the forefront of the organization (street level bureaucracy)
related to public service. If the non-government, then shaped the organization of political parties, religious
organizations, nongovernmental organizations and civil society organizations to another. Anyone
pelayanananya institutional forms, the most important thing is how to provide assistance and facilities to
the community in order to meet the needs and interests.
Keywords: Good Governance, Partnerships, Public Service.
ABSTRAK
Manajemen profesional pelayanan publik harus lebih berorientasi pada tujuan paradigma
pemerintahan yang didasarkan pada pendekatan manajemen baru, baik secara teori maupun praktis.Secara bersamaan, paradigma dari tujuan pemerintahan diharapkan dapat menghilangkan praktek
bahwa birokrasi Weberian adalah negatif seperti struktur birokrasi hierarkhikal yang menghasilkan
biaya operasional lebih mahal (ekonomi biaya tinggi) daripada manfaat yang diperoleh, prevalensi
birokrasi, kurangnya inisiatif dan kreativitas aparatur, pertumbuhan mediokratis budaya (sebagai lawan
dari budaya meritokratis) dan in-efisiensi. Oleh karena itu, institusi pelayanan publik dapat dilakukan
oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Jika pemerintah, organisasi birokrasi pemerintah adalah
garis depan organisasi (jalan birokrasi tingkat) terkait dengan pelayanan publik. Jika non-pemerintah,
kemudian membentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat
dan organisasi masyarakat sipil yang lain. Siapapun pelayanananya bentuk kelembagaan, hal yang paling
penting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan kepentingan.
Kata kunci: Good Governance, Kemitraan, Pelayanan Publik.
102
MANAJEMEN BIROKRASI PROFESIONAL
DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN PUBLIK
Jaelan UsmanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 107 Fax. 0411 – 865588
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 27/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN
Kecenderungan birokrasi dan birokrati-
sasi pada masyarakat modern benar-benar
memprihatinkan, sehingga digambarkan
adanya ramalan mengenai makin menggeja-
lanya dan berkembangnya praktek-praktek birokrasi yang paling rasionalpun, tidak bisa
lagi dianggap sebagai kabar menggembirakan,
melainkan justru merupakan pertanda mala-
petaka dan bencana baru yang menakutkan
(Blau dan Meyer, 2000).
Menurut Siagian (1994), misalnya; me-
ngakui adanya patologi birokrasi. Hal itu dici-
rikan oleh kecenderungan patologi karena
persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masa-
lah pengetahuan dan ketrampilan, tindakanmelanggar hukum, keperilakuan, dan adanya
situasi internal. Demikian juga Kartasasmita
(1995) menyebutkan, bahwa birokrasi memi-
liki kecenderungan mengutamakan kepenti-
ngan sendiri (self serving), mempertahankan
status-quo dan resisten terhadap perubahan,
dan memusatkan kekuasaan. Hal inilah yang
kemudian memunculkan kesan bahwa biro-
krasi cenderung lebih mementingkan prose-
dur daripada substansi, lamban dan meng-
hambat kemajuan.
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di
kebanyakan negara berkembang termasuk
Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik:
tidak efesien, tidak efektif (over consuming and
under producing), tidak obyektif, menjadi
pemarah ketika berhadapan dengan kontrol
dan kritik, tidak mengabdi pada kepentingan
umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi
telah menjadi instrumen penguasa dan sering
tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif . Sebagaimana dijelaskan dalam
beberapa hasil penelitian (Santoso, 1993;
Thaba, 1996; Fatah, 1998), birokrasi di Indo-
nesia ada kecenderungan berkembang kearah
“parkinsonian”, dimana terjadinya proses
pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran
struktur dalam birokrasi secara tidak
terkendali.
Pemekaran yang terjadi bukan karena
tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu,
terdapat pula kecenderungann terjadinya
birokrasi “orwellian” yakni proses pertum-
buhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat,
sehingga kehidupan masyarakat menjadi
dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, biro-
krasi Indonesia semakin membesar (big bu-
reaucracy ) dan cenderung tidak efektif dan
tidak efesien. Kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu
melaksanakan kewenangan-kewenangan
barunya secara optimal.
Meskipun sudah menjadi gejala yang
sangat umum, ternyata pada setiap konteks
sistem budaya masyarakat, secara empirik
birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola
perilaku yang beragam. Gejala demikian
menunjukkan bahwa birokrasi dan birokrati-
sasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa bentuk
ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek
kerjanya antara lain: Pertama, manusia
birokrasi tidak selalu berada (exist ) hanya
untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri
tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga,
birokrasi dirancang untuk semua orang.
Keempat , dalam kehidupan keseharian
manusia birokrasi berbeda-beda dalam
kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan seba-
gainya, sehingga mereka tidak dapat saling
dipertukarkan untuk peran dan fungsinya di
dalam kinerja organisasi birokrasi.
Demikian dapat ditegaskan, bahwa ada
kecenderungan bahwa beberapa indikator
birokrasi lebih Berjaya hidup di dunia barat
daripada di dunia timur. Hal ini dapat dipa-
hami, karena di dunia barat birokrasi telah
berkembang selama beberapa abad. Suatu
misal pada abad pertengahan dan seterusnya,
perkembangan birokrasi semakin dipacu dandi dukung oleh masyarakat industri. Oleh
karena rasionalitas birokrasi cenderung ber-
hubungan dengan gejala industrialisasi, maka
banyak negara yang bercita-cita masyarakat-
nya menjadi masyarakat industri dan menga-
dopsi model birokrasi rasional di dalamnya.
Namun demikian, bagi masyarakat yang
sedang berkembang tidak semua kemanfa-
atan birokrasi rasional dapat dipetik dan
dirasakan. Selain itu, birokrasi menghadapikrisis kepercayaan dari masyarakat, sehingga
kecaman dan pesimisme muncul karena
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman103
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 28/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
banyak anggota masyarakat merasakan bah-
wa berbagai pola tingkah laku yang merupakan
kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengi-
kuti dan memenuhi tuntutan pembangunan
dan perkembangan masyarakatnya.
Islamy (1998), menyebutkan adanya kea-
daan birokrasi publik di sektor pemerintahan,pendidikan dan kesehatan dan sebagainya
berada dalam suatu kondisi yang dikenal
dengan istilah organizational slack yang ditan-
dai dengan menurunnya kualitas pelayanan
yang diberikannya. Masyarakat pengguna
pelayanan banyak mengeluhkan akan
lambannya penanganan pemerintah atas
masalah yang dihadapi dan bahkan mereka
telah memberikan semacam public alarm agar
pemerintah sebagai instansi yang palingberwenang, responsif terhadap semakin
menurunnya kualitas pelayanan kepada
masyarakat segera mengambil inisiatif yang
cepat dan tepat untuk menanggulanginya.
Lebih lanjut Islamy (1998), terdapat pel-
bagai faktor yang menyebabkan birokrasi
publik mengalami organizational slack yaitu
antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan
yang kaku, visi pelayanan yang sempit, pengu-
asaan terhadap administrative engineering yang
tidak memadai, dan semakin bertambah
gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak
difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan
dan penganggaran) yang cukup dan handal
(viable bureaucratic infrastructur e). Akibatnya,
aparat birokrasi publik menjadi lamban dan
sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak
responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
publik serta lemah beradaptasi terhadap
perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Sebagai konsekuensinya, perlu diperta-nyakan mengenai posisi aparat pelayanan
ketika berhadapan dengan masyarakat atau
kliennya. Apakah birokrasi publik itu alat
rakyat? Alat penguasa? Ataukah penguasa itu
sendiri? Guna merespon kesan buruk
birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melaku-
kan beberapa perubahan sikap dan perila-
kunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih
mengutamakan sifat pendekatan tugas yang
diarahkan pada hal pengayoman dan pelaya-nan masyarakat; dan menghindarkan kesan
pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b)
birokrasi perlu melakukan penyempurnaan
organisasi yang bercirikan organisasi modern,
ramping, efektif dan efesien yang mampu
membedakan antara tugas-tugas yang perlu
ditangani dan yang tidak perlu ditangani
(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat
diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasiharus mampu dan mau melakukan perubahan
system dan prosedur kerjanya yang lebih ber-
orientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni
: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan
tetap mempertahankan kualitas, efesi-ensi
biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus
memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan
publik dari pada sebagai agen pembaharu
pembangunan; (e) birokrasi harus mampu
dan mau melakukan transformasi diri daribirokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi
organisasi birokrasi yang strukturnya lebih
desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.
Bertitik tolok dari pandangan ini, dapat
disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang
mampu memberikan pelayanan publik secara
efektif dan efesien kepada masyarakat, salah
satunya jika strukturnya lebih terdesentra-
lisasi daripada tersentralisasi. Dengan
struktur yang terdesentralisasi diharapkan
akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan
dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi
menyediakan pelayanannya sesuai yang
diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya
organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan
tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capabality), memiliki
loyalitas kepentingan (competency), dan
memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Menyadari akan hal tersebut, maka untuk
merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah
seharusnya segera menyediakan dan memper-
siapkan tenaga kerja birokrasi professional
yang mampu menguasai teknik-teknik mana-
jemen pemerintahan yang tidak hanya ber-
orientasi pada peraturan (rule oriented ) tetapi
juga pada pencapaian tujuan ( goal oriented ).
Menurut Johnson (1991), istilah ” profes-sional” dan “professionalisasi” , dapat ditinjau
dari beberapa sudut pandang. Pertama,
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman104
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 29/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dipergunakan untuk menunjuk pada peruba-
han besar dalam struktur pekerjaan, dengan
jumlah pekerjaan-pekerjaan professional,
atau bahkan pekerjaan-pekerjaan halus (white
collar jobs) yang meningkat secara relative
dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan
lainnya, baik sebagai akibat perluasan kelom-pok pekerjaan yang sudah ada ataupun seba-
gai akibat munculnya pekerjaan-pekerjaan
baru di bidang jasa. Kedua, dipergunakan
dalam arti yang hampir sama dengan pening-
katan jumlah asosiasi pekerjaan yang mengu-
payakan adanya pengaturan rekrutmen dan
praktek dalam bidang pekerjaan tertentu.
Ketiga, memandang professionalisasi sebagai
suatu proses yang jauh lebih rumit yang
menunjuk pada suatu pekerjaan dengansejumlah atribut prinsip-prinsip professional
yang merupakan unsur-unsur pokok profe-
sionalisme. Keempat , menunjuk pada suatu
proses dengan urutan yang tetap, yaitu suatu
pekerjaan dengan tahap-tahap perubahan
organisatoris yang dapat diramalkan menuju
bentuk akhir profesionalisme.
Terkait dengan penyelenggaraan peme-
rintahan, birokrasi sebagai ujung tombak
pelaksana pelayanan publik mencakup ber-
bagai program-program pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.
Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang
dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-
tugas umum pemerintahan dan pembangunan
tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda
oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyele-
nggarakan tugas pemerintahan dan pemba-
ngunan (termasuk di dalamnya penyeleng-
garaan pelayanan publik) diberi kesan adanya
proses panjang dan berbelit-belit apabilamasyarakat menyelesaikan urusannya berkai-
tan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra
negatif yang tidak menguntungkan bagi per-
kembangan birokrasi itu sendiri (khususnya
dalam hal pelayanan publik).
B. STRATEGI PENDEKATAN
Strategi manajemen birokrasi profesionaldalam pelayanan publik ini ditandai dengan
beberapa karakteristik antara lain: Pertama,
perubahan yang besar pada orientasi
administrasi negara tradisional menuju ke
perhatian yang lebih besar pada pencapaian
hasil dan pertanggung jawaban pribadi
pimpinan. Kedua, keinginan untuk keluar dari
birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,
pegawai, masa pengabdian dan kondisi peker-jaan yang lebih luwes. Ketiga, tujuan organisasi
dan individu pegawai disusun secara jelas
sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok
ukur prestasi lewat indikator kinerjanya
masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi
program-programnya. Keempat, staf pimpi-
nan yang senior dapat memiliki komitmen
politik kepada pemerintah yang ada, dan
dapat pula bersikap non partisan dan netral.
Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilailewat uji pasar (market test ) seperti misalnya
dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus
disediakan atau ditangani sendiri oleh
pemerintah. Keenam, mengurangi peran-
peran pemerintah misalnya lewat kegiatan
privatisasi. Ketujuh, birokrasi harus steril dari
akomodasi politik yang menghambat efektivi-
tas pemerintahan. Kedelapan, rekruitmen dan
penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari
kolusi, korupsi dan nepotism.
Penerapan pendekatan manajemen pro-
fesional pada sektor publik telah banyak di-
suarakan para pakar dengan berbagai label,
misalnya dengan nama “managerialism” oleh
Pollitt (1990), “new public management ” oleh
Hood (1991), “market based public adminis-
tration” oleh Lan dan Rosenbloom (1992), dan
“entrepreneurial government/reinventing Gov-
ernment” oleh Osborn dan Gaebler (1992).
Apapun label yang dipergunakan, yang jelas
pendekatan manajemen profesional ini telahmerubah orientasi fokus peran dan fungsi
birokrasi dalam pemerintahan yang semula
lebih mementingkan “process” menuju ke
“ product ”, atau dari “ rule governance” menuju
ke “ goal governance”.
C. KOMPARASI RULE GOVERNANCE DAN
GOAL GOVERNANCE
Perlu disadari bahwa, dalam perdebatanteoritis dari kedua kutub orientasi ini, baik rule
governance maupun goal governancememiliki
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman105
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 30/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
segi kelemahan dan kelebihannya masing-
masing. Kelemahan rule governance, misalnya,
dianggap mempunyai penerapan peraturan
yang kaku, bercirikan struktural hierarkhikal ,
pengawasan yang ketat, bersifat impersonal,
dan sebagainya, sehingga menjadikan biro-
krasi sebagai “mesin rasional ” yang mencip-takan perilaku aparat yang formal dan robotic
yang kurang peka terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan lingkungan sosialnya.
Akibat dari struktur birokrasi yang terlalu
rasional bisa menimbulkan hal-hal yang sifat-
nya disfungsional , in-efesiensi dan bahkan
konflik dengan masyarakat yang dilayani,
karena sifat impersonal aparat birokrasi
dalam memberikan pelayanan kepada masya-
rakatnya. Demikian pula, aturan-aturan (rules)sebagai sarana untuk mencapai tujuan
seringkali berubah menjadi tujuan itu sendiri.
Kelebihannya, menunjukkan semakin ting-
ginya tertib administrasi yang dicapai oleh
birokrasi publik.
Adapun kelebihan goal governance yaitu
meletakkan fokus utamanya pada “the achieve-
ment of result and taking individual responsi-
bility for their achievement ”. Tetapi ia juga
memiliki kelemahan apabila prinsip-prinsip
manajemen baru itu hendak diterapkan di
sektor publik. Misalnya, sampai sekarang
masih terjadi diskursus yang seru terhadap
10 prinsip dalam entrepreneurial government -
nya Osborn dan Gaebler (1992) yang mereka
kemukakan dalam uraian yang sangat
provokatif yaitu Reinventing Government .
Konsep pemerintahan entrepreneur
Osborn dan Gaebler yang mencoba menemu-
kan nilai-nilai baru (re-inventing) di bidang
pemerintahan ternyata menurut Painter(1994) mempunyai kekuatan dan sekaligus
kelemahan. Kritik Painter terhadap konsep
pemerintahan entrepreneur adalah bahwa ia
terlalu bias pada “new administrative values”
yang lebih banyak menitik beratkan pada
orientasi goal governance dengan meminggir-
kan nilai-nilai administrasi klasik yang
sebenarnya masih potensial yang berbasis
pada rule governance. Painter menyebutnya
bukannya reinventing government melainkanpemerintahan yang sudah dalam keadaan
tertinggal (abandoning government), karena
Osborn dan Gaebler sebenarnya telah meng-
hapus atau setidak-tidaknya telah membelot-
kan nilai-nilai pemerintahan. Padahal kedua
nilai tersebut (lama dan baru) bisa disatu
padukan.
Kritik lain, misalnya dari Pollitt (dalam
Hughes, 1994) yang meragukan penerapanprinsip-prinsip entrepreneurship di sektor
publik. Setidak-tidaknya ada dua hal yang
melemahkan konsep tersebut dengan
mengatakan : “ First, the provider/consumer
transactions in the public services tend to be
notably more complex than those faced by the
costumer in a normal market; and second, pub-
lic service consumers are never merely consum-
ers, they are always citizens too, and they has a
set of unique implications for the transactions” (Pertama, transaksi, provider/konsumer
dalam pelayanan publik cenderung berada
pada sesuatu yang khusus dan lebih komplek
daripada berhadapan dengan pelanggan di
pasar yang normal; Kedua, pengguna pelaya-
nan publik tidak hanya konsumer saja,
mereka juga termasuk warga negara lain, dan
mereka adalah bagian yang unik dari implikasi
suatu transaksi).
Sehubungan dengan itu, menurut Hughes
(1994) diperlukan adanya repositioning de-
ngan menyusun agenda kebijakan reformasi
administrasi Negara dengan mensinergikan
orientasi rule governance dan goal governance.
Hughes mengatakan: the best parts of the old
model professionalism, impartiality, high ethi-
cal standards, the absence of corruption can
be maintained, along with the improved perfor-
mance a managerial model premises” (bagian
terbaik dari model profesionalisme lama
adalah sikap yang adil, standard etika yangtinggi, tingkat korupsi yang dapat dipantau,
bersamaan dengan bentuk dasar pemikiran
model manajerialnya).
Memahami perdebatan persoalan tatanan
dan pertikaian (order and conflict ) seperti
diatas, hingga kinipun para teoritisi sosiologi-
politik sering membandingkannya dengan
perdebatan hubungan antara struktur dengan
tindakan. Berkenaan dengan persoalan ini,
Sharrock dan Watson (1988) mengemukakansebagai berikut ; “What is the relationship be-
tween structure and agency? The two seem
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman106
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 31/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
inimical: structure apparently means givenness,
constraint, stability, whilst agency seemingly
implies creativity, autonomy, fluidity. How, then,
do structure and agency relate in society: is it
primarily one or the other? Does emphasis on
structure marginalize or eliminate agency, does
emphasis on agency dispose of structure?”.Tampaknya, hubungan antara struktur
dengan tindakan cenderung digambarkan
sebagai bersifat antagonistik. Struktur sering
digambarkan sebagai suatu ketentuan, kekua-
tan penghambat, dan kestabilan. Sedangkan
tindakan cenderung menampakkan daya cipta,
otonomi, dan ketidak stabilan. Karena itu, pen-
ting untuk diajukan pertanyaan. Manakah
yang lebih mendasar, struktur atau tindakan?
Benarkan bila penekanan diberikan kepadastruktur berarti menghilangkan atau meming-
girkan tindakan? Sebaliknya, benarkan bila
penekanan diberikan kepada tindakan berarti
membuang struktur begitu saja?
Benarkah bahwa tertib yang berlangsung
dalam birokrasi selalu bersifat impersonal?
Benarkan bahwa para pejabat birokrasi
hanya tunduk kepada suatu tatanan yang men-
jadi kiblat bagi segala tindakannya?. Mengapa
birokrasi cenderung bertindak berbeda pada
setting ruang dan waktu yang berbeda?
Apakah perubahan yang dilakukan oleh biro-
krasi sesuai dengan fungsi reformasi yang
dikehendaki oleh masyarakat banyak, ataukah
sekedar formalitas sebagai kewajiban struktu-
ral yang cenderung statusquo; atau hanya
sebagai mesin alat penggerak untuk memanipu-
lasi dan memobilisasi rakyat agar tunduk pada
kekuasaan birokrasi (machine bureaucracy )?.
Pertanyaan-pertanyaan ini antara lain
dapat dijawab melalui pandangan kelompok:aliran strukturalis, aliran strukural-konflik,
dan aliran strukturasi. Aliran strukturalis
(Marx, 1942; Dahrendorf, 1959), berpanda-
ngan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah
sebagai fasilitas atau sumber sosial yang
dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk
memelihara ketertiban dan keseimbangan
dalam masyarakat. Kekuasaan sebagai atribut
utama dalam sistem sosial berwujud kepe-mimpinan yang bertanggung jawab, tetapi
juga berbentuk keputusan-keputusan yang
mengikat bagi semua golongan masyarakat.
Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat secara keseluruhan.
Atas dasar itu, menurut pandangan struk-
turalis, konsentrasi kekuasaan adalah syah
selama masyarakat memang menghendakinya.
Kritik terhadap hampiran ini adalah karenakaum strukturalis terlalu menitik beratkan
pada struktur yang statis (statusquo) dengan
mengabaikan proses perubahan sosial yang
terjadi, serta ketidak mampuannya mengatasi
konflik secara efektif (Cohen, 1968; Gouldner,
1970; Abrahamson, 1978). Implikasi ham-
piran strukturalis ini terhadap fenomena
birokrasi profesional menunjukkan bahwa
perubahan tindakan birokrasi merupakan ge-
rakan moral masyarakat yang menghendakiadanya suatu perubahan paradigma kinerja
birokrasi.
Berbeda halnya dengan pandangan aliran
struktural-konflik (Gramsci, Baran, Coser,
dalam Turner, 1974) ; kelompok yang satu ini
justru melihat tindakan birokrasi sebagai
suatu fakta sosial yang banyak diwarnai oleh
dominasi politik, eksploitasi sosial, dan per-
kembangan ekonomi. Dominasi politik ditandai
dengan suasana paksaan (coercion) yang
menimbulkan intimidasi, propaganda dan
indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai dengan
supremasi golongan/ras/budaya yang
menyebabkan suasana hegemoni. Sedangkan
dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi
akibat ketimpangan distribusi alat produksi
antara kepentingan kelas borjuasi dengan
proletar.
Implikasi pandangan aliran strukturalis
konflik ini terhadap fenomena birokrasi
profesional menunjukkan bahwa perubahanparadigma yang dilakukan oleh birokrasi
justru akan menimbulkan konflik baru (new
conflict) dalam tatanan kenegaraan, pemerin-
tahan dan kemasyarakatan.
Menurut aliran strukturasi Giddens (dalam
Baert, 1998), mencoba mencari hubungan
antara struktur dan aktor. Kelompok struktu-
rasionis ini tidak memandang struktur dan
aktor atau agen sebagai dua hal yang
dikotomis sehingga menghasilkan dualismestruktur; sebaliknya dua hal tersebut saling
berhubungan secara dialektis dan kontinuum
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman107
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 32/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
sehingga menghasilkan dualitas struktur .
Aktor atau agen menurut pandangan aliran
ini adalah partisipan yang aktif dalam meng-
konstruksi kehidupan sosial, setidak-tidaknya
menjadi tuan atas nasibnya sendiri.
Setiap tindakan manusia selalu mempunyai
tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin dandiam-diam memonitor apa yang sedang ia
lakukan, sebagaimana reaksi orang terhadap
tindakannya dan lingkungan dimana ia mela-
kukan aktivitas tersebut. Sedangkan struktur,
selain dapat membatasi aktivitas manusia
(constraining) tetapi juga memberikan
kebebasan bertindak (enabling) kepada
manusia. Dualitas struktur melihat kekuasaan
(birokrasi) sebagai simuka janus (the janus
face of power ) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting,
terutama mengenai hubungan antara tinda-
kan manusia dan struktur. Dualitas struktur
menganalisis bagaimana tindakan-tindakan
aktor sosial diproduksi dan juga bagaimana
struktur secara terus menerus di reproduksi
dalam kegiatan-kegiatan si aktor sosial sepan-
jang waktu dan ruang yang sangat luas.
Teori strukturasi ini tidak luput dari kritik.
Beberapa kritik yang sering dikemukakan
terhadap aliran strukturasi antara lain : (a)
masih sedikitnya bukti empirik yang bisa
memperkuat validitas teori ini; Bukan aktor
atau agen merubah struktur, tetapi justru
struktur merubah aktor atau agen; (b)
Giddens dipandang gagal menjelaskan feno-
mena konflik; (c) diragukan keaslian, keda-
laman, kejelasan analitik dan konsistensi
internalnya ( fallacy of perspectivism), karena
berasal dari pinjaman berbagai teori lain; dan
(d) dicurigai karena pendirian politiknyacenderung mendukung statusquo.
Implikasi hampiran strukturasi ini terha-
dap fenomena birokrasi professional diha-
rapkan akan berdampak positif dalam upaya
menciptakan kejelasan pembagian konsep
ruang publik ( public sphere) dan ruang priba-
di ( private sphere) dalam pembaharuan peru-
bahan orientasi tindakan birokrasi. Jawaban
teoritis tersebut diatas sengaja penulis ajukan
untuk memancing wacana dan emosi parapembaca apakah strategi manajemen biro-
krasi profesional masih dimungkinkan untuk
dilaksanakan atau tidak di Negara Republik
Indonesia ini? Jika ya, maka akan lahir putera-
puteri bangsa yang terbaik dari yang terbaik
(best for the best ) seperti yang diharapkan
selama ini.
D. KESIMPULAN
Mencermati uraian terdahulu tentang
manajemen birokrasi profesional, kaitannya
dengan kecenderungan merosotnya pelaya-
nan publik di berbagai Negara-negara Dunia
Ketiga, termasuk Indonesia dapat disimpul-
kan bahwa, pada masa revolusi industri di
Eropa, profesionalisme yang demikian itu
sesuai dengan realitas. Tetapi menjadikan
fenomena historis yang sangat konteksual inisebagai suatu paradigma untuk masa kini
nampaknya tidak lebih dari sebuah mitos.
Profesionalisme sejati telah memudar, dan
kaum professional seperti yang dapat kita
saksikan telah bertingkah laku money-
mindedness. Kemadirian mereka pun semakin
terdesak oleh birokratisasi pelayanan dan oleh
berbagai pengawasan. Betapa tidak, lembaga
profesionalisme telah mengalami banyak
kemerosotan peran dalam masyarakat.
Secara garis besar simpulan yang ditarik
untuk mengatasi persoalan kemunduran
birok-rasi dalam hal pelayanan publik sebagai
“solusi” strateginya meliputi : (1) merubah
persepsi dan paradigma birokrasi mengenai
konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan
publik yang lebih mengutamakan kepentingan
publik dan pelayanan publik dibanding de-
ngan kepentingan penguasa atau elit tertentu;
(3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat
harus merupakan all together yang sinergi;(4) adanya peraturan daerah yang mampu
menjelaskan standar minimal pelayanan
publik dan sanksi yang akan diberikan; (5)
adanya mekanisme pengawasan sosial yang
jelas mengenai pelayanan publik antara
birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6)
adanya kepemimpinan yang kuat dalam melak-
sanakan komitmen pelayanan publik; (7) ada-
nya pembaharuan di bidang sistem adminis-
trasi publik; dan (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment)
secara terus menerus dan demokratis.
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman108
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 33/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
109
*********
Manajemen Birokrasi Profesional
Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik - Jaelan Usman
DAFTAR PUSTAKA
Baert, Patrick, 1998, Social Theory Twentieth
Century , Cambridge : Polity Press.
Bevir, Mark, 2011, “Democratic Governance:
A Genealogy”, Local Government Stud-ies, Vol. 37(1), February 2011, (pp 3–
17)
Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000,
Birokrasi Dalam Masyarakat Modern,
Terjemahan, Jakarta : Prestasi
Pustakaraya.
Chisholm, M., 2010, “Emerging Realities Of
Local Government Reorganisation”, Pub-lic Money Management , 30, (pp. 143–
150)
Giddens, Anthony, 1995, The Constitution of
Society , Cambridge : Polity Press.
Hariandja Denny, BC, 1999, Birokrasi Nan
Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde
Baru, Yogyakarta: Kanisius.
Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (ed),
1994, The Post Bureaucratic Organi-
zation: New Perspectives on Organi-
zational Change, London, New Delhi :
Sage Publications.
Henderson, Keith M, and Dwivedi,O.P, 1999,
Bureaucracy and The Alternatives in
World Perspective, London : Macmilland
Press Ltd.
Kaisiepo, Manuel, 1987, “Dari Kepolitikan
Birokratik ke Korporatisme Negara:
Birokrasi dan Politik Indonesia”, Jurnal
Politik 2, Jakarta : Gramedia.
Osborn, David and Gaebler, Ted, 1996,
Mewirausahakan Birokrasi: Reinvent-
ing Government, Mentransformasi
Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor
publik, Jakarta : Pustaka Binaman
Pressindo.
Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2000,
Memangkas Birokrasi: Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha,
Jakarta : PPM.
Putra, Fadillah dan Arif, Saiful, 2001,
Kapitalisme Birokrasi: Kritik Reinven-
ting Government Osborne Gaebler,
Yogyakarta : LKiS.
Santoso, Priyo Budi, 1993, Birokrasi Pemerin-
tah Orde Baru, Perspektif Kultural dan
Struktural, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Setiono, Budi, 2002, Jaring Birokrasi: Tinjauan
dari Aspek Politik dan Administrasi,
Bekasi : Gugus Press.
Siagian, SP, 1994, Patologi Birokrasi: Analisis,
Identifikasi Dan Terapinya, Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Sumoprawiro, Hariyoso,2002, Pembaruan
Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik,
Jakarta : Peradaban.
Tjokrowinoto, Moeljarto,2001, Birokrasi
dalam Polemik, Saiful Arif (editor),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoha, Miftah dan Dharma, Agus (editor),
1999, Menyoal Birokrasi Publik,
Jakarta : Balai Pustaka.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 34/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
Educational services in schools is part of the community and the public school. Service quality is
a product and or services in accordance with established quality standards and customer satisfaction.Quality in education include the quality of input, process, output, and outcome. Input-grade education
when it is ready to proceed otherwise. The process of quality education to create an atmosphere
where learning is active, innovative, creative, effective, dan fun. Output otherwise qualified if the
learning outcomes of academic and non academic students achieving at least equal to the minimum
completeness criteria specified. Outcome graduates expressed significantly faster when absorbed in
the world of work, fair wages, all parties acknowledge and satisfied with the intelligence, skill,
personality. Government's efforts to service and qual ity of education is the use of School-Based
Management (SBM) is accompanied by the determination of output criteria, processes, and
educational input at school. Expected Output school student achievement / school both academic
and non academic generated meets the specified criteria. (2) process, ie, among others: the
effectiveness of teaching and learning process, schools have the teamwork of a compact, intelligent
and dynamic, the school has the authority (autonomy), school evaluation and continuous
improvement, (3) input, ie, among other : the school has: policies, goals, and quality objectives are
clear, available resources, feasible, and highly dedicated.
Keywords: Education Services, The Quality of Education
Pelayanan pendidikan di sekolah adalah bagian dari masyarakat dan sekolah umum. Kualitas layanan
adalah produk dan atau jasa sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan dan kepuasan pelanggan.
Kualitas dalam pendidikan termasuk kualitas input, proses, output, dan hasil. Input-kelas pendidikan
bila sudah siap untuk melanjutkan sebaliknya. Proses pendidikan yang berkualitas untuk menciptakan
suasana di mana pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan Dan. Keluaran dinyatakanmemenuhi syarat jika hasil belajar siswa akademik dan non akademik mencapai paling tidak sama
dengan kriteria kelengkapan minimal yang ditetapkan. Lulusan Hasil mengungkapkan secara signifikan
lebih cepat ketika diserap di dunia kerja, upah yang adil, semua pihak mengakui dan puas dengan,
keterampilan kepribadian kecerdasan,. Upaya Pemerintah untuk pelayanan dan kualitas pendidikan
adalah penggunaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) disertai dengan penentuan kriteria output,
proses, dan input pendidikan di sekolah. Keluaran sekolah diharapkan prestasi siswa / sekolah dihasilkan
akademik baik akademis dan non memenuhi kriteria yang ditentukan. (2) proses, yaitu, antara lain:
efektivitas proses belajar mengajar, sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis,
sekolah memiliki kewenangan (otonomi), evaluasi sekolah dan perbaikan terus-menerus, (3) input,
yaitu, antara lain: sekolah memiliki: kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, sumber daya yang
tersedia, layak, dan berdedikasi tinggi.
Kata kunci: Pendidikan Layanan, Kualitas Pendidikan
110
BUDAYA MUTU DALAM
PELAYANAN PENDIDIKANMuhammad Basri
Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 35/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan dasar atau pelayanan minimun
menurut jenisnya adalah: (1) pelayanan
kewargaan, (2) pelayanan kesehatan, (3)
pelayanan pendidikan, dan (4) pelayanan
ekonomi. Dalam bidang pendidikan, upayapemerintah dalam rangka terciptanya pela-
yanan pendidikan yang baik diwujudkan
dalam aturan hukum antara lain: (1) Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 menyata-
kan pengelolaan satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip Manaje-
men Berbasis Sekolah/Madrasah; (2) Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Nasional tahun 2000-2004 pada Bab VII
tentang Bagian Program Pembangunan
Bidang Pendidikan, khususnya sasaran ketiga
yaitu terwujudnya manajemen pendidikan
yang berbasis pada sekolah dan masyarakat
(school/community based management); (3)
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
44 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah, (4) Kepmen-
diknas No.087 tahun 2004 tentang Standar
Akreditasi Sekolah, (5) Peraturan Pemerintah
No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan (Diknas, 2007:3-4), (6) Kepmen-
diknas No.129a/U/2004 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan Bab 1
pasal 1 menyatakan bahwa Standar Pelayanan
Minimal (SPM) bidang pendidikan adalah tolok
ukur kinerja pelayanan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Daerah.
Pasal 3 ayat 2 menyatakan: StandarPelayanan Minimal (SPM) Sekolah Menengah
Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)
terdiri atas: (a) 90 persen anak dalam kelom-
pok usia 13-15 tahun bersekolah di SMP/MTs,
(b) anak putus sekolah (APS) tidak melebihi
satu persen dari jumlah siswa yang berseko-
lah, (c) 90 persen sekolah memiliki sarana dan
prasarana minimal sesuai dengan standar
teknis yang ditetapkan secara nasional, (d) 80
persen sekolah memiliki tenaga kependidikannon guru untuk melaksanakan tugas adminis-
trasi dan kegiatan non mengajar lainnya, (e)
90 persen dari jumlah guru SMP/MTs yang
diperlukan terpenuhi, (f) 90 persen memiliki
kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan secara nasional, (g) 100 persen
siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap
setiap mata pelajaran, (h) jumlah siswa SMP/
MTs per kelas antara 30-40 siswa, (i) 90 per-sen dari siswa yang mengikuti ujian sampel
mutu pendidikan standar nasional mencapai
“nilai memuaskan” dalam mata pelajaran Baha-
sa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA,
dan IPS di kelas I dan II, (j) 70 persen dari
lulusan SMP/MTs melanjutkan ke Sekolah
Menengah Kejuruan (Diknas, 2005:10).
Di beberapa negara, upaya pelayanan
pendidikan diwujudkan dengan penetapan
batasan wajib belajar terhadap warganya.Bersumber dari Unesco Statistical Yearbook,
RRC menetapkan umur 7-15 tahun, Korea
Selatan sama dengan Jepang masing-masing
6-15 tahun, dan Amerika Serikat 6-16 tahun,
dan Indonesia wajib belajar warganya umur
7-15 tahun (Wijaya, 1999:4).
The Worldalmanac and Book of Fact 2000
melaporkan hasil pelayanan pendidikan
berdasarkan persentase penduduk yang
mampu baca tulis pada beberapa negara-
negara: Indonesia mencapai angka 84 persen,
RRC 82 persen, Korea Selatan 98 persen,
Jepang 100 persen, dan Amerika Serikat 97
persen (Wijaya,1999:4). Muhtifah (tanpa
tahun) mengemukakan bahwa hasil pelaya-
nan pendidikan Human Development Index
(Indeks Pengembangan Manusia), prestasi
siswa anak Indonesia hanya mampu mengua-
sai 30 persen dari materi bacaan dan sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian
yang memerlukan penalaran. Studi Interna-tional Association of Educational Achievement ,
tahun 1992 menyatakan bahwa keterampilan
membaca siswa kelas IV SD di Indonesia hanya
51,7, sementara siswa SD di Hongkong
mencapai 75,5, Singapura; 74,0, Thailand;
65,1, dan Filipina 52,6.
The Third International Mathematic and
Science Study-Repeat-TIMSS-R, tahun 1999
menemukan prestasi siswa SLTP kelas 2 di
Indonesia diantara 38 negara peserta, Indo-nesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan
ke-34 untuk Matematika. Balitbang tahun
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri111
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 36/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
2003 menunjukkan data ubahwa dari 146.052
SD di Indonesia ternyata hanya ada delapan
yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Primary Years Program (PYP).
Dari 20.918 SMP di Indonesia hanya ada dela-
pan SMP yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Middle Years Program(MYP), dari 8.036 SMA hanya tujuh sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (Basuki, 2010).
Salah satu yang diharapkan diterima oleh
masyarakat dari sekolah adalah mutu pendi-
dikan yang baik sebagabukti hasil pelayanan.
Dalam hal tersebut, Jalal dan Supariadi
(2001:88) menyatakan bahwa terdapat tiga
aspek yang dapat memberikan jaminan mutu
pendidikan yaitu: kompetensi, akreditasi, danakuntabilitas.
B. PELAYANAN PENDIDIKAN SEBAGAI
PELAYANAN PUBLIK
Sinambela (2008:5) memberikan definisi
pelayanan publik sebagai pemenuhan keingi-
nan dan kebutuhan masyarakat oleh penyele-
nggara negara. Negara didirikan oleh publik
(masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang-undang RI No. 25 Tahun 2009 pasal
1 ayat 1 berbunyi: pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan perundang-undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa
dan/atau pelayanan administratif yang disedia-
kan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Layanan pendidikan di sekolah sebagai
layanan publik dinyatakan dalam pasal 5 ayat 2 UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan
publik yang selengkapnya berbunyi: ruang
lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat 2
meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan
dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan
informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jami-
nan sosial, energi, perbankan, perhubungan,
sumberdaya alam, pariwisata, dan sektor
strategis lainnya.
Tuntutan masyarakat adalah layanan yangberkualitas atau layanan yang bermutu.
Usman, (2008:479) menyatakan bahwa mutu
adalah produk dan atau jasa yang sesuai
dengan standar mutu yang telah ditetapkan
dan memuaskan pelanggan. Mutu dibidang
pendidikan meliputi mutu input, proses, output ,
dan outcome. Input pendidikan dinyatakan
bermutu jika siap berproses. Proses pendi-
dikan bermutu apabila mampu menciptakansuasana yang PAKEMB (Pembelajaran yang
Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan
Bermakna). Output dinyatakan bermutu jika
hasil belajar akademik dan non akademik
siswa yang tinggi. Outcome dinyatakan
bermakna apabila lulusan cepat terserap di
dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui
kehebatan lulusan dan merasa puas.
Zeithaml, Parasuraman & Berry (1990:26)
menggunakan ukuran kualitas pelayanandengan: tangible, reliability, responsiveness,
assurence, danempathy. Tangible, yaitu fasilitas
fisik, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas
komunikasi yang dimiliki oleh penyedia laya-
nan. Reliability atau reliabilitas adalah
kemampuan untuk menyelenggarakan
pelayanan yang dijanjikan secara akurat. Re-
sponsiveness atau resposivitas adalah kerelaan
untuk menolong pengguna layanan dan
menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.
Assurance atau kepastian adalah pengetahuan,
kesopanan, dan kemampuan para petugas
penyedia layanan dalam memberikan keper-
cayaan kepada pengguna layanan. Empathy
adalah kemampuan memberikan perhatian
kepada pengguna layanan secara individual.
Layanan pendidikan di sekolah sebagai
sistem (Depdiknas, 2007:9) seperti dalam
gambar 1.
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri112
Gambar 1.Sekolah sebagai Sistem (Dikutip dari Depdiknas, 2007:9)
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 37/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Gambar 1 mengilustrasikan bahwa kinerja
sekolah dapat diukur dari dimensi-dimensi
kualitas, produktivitas, efetivitas, baik internal
maupun eksternal. Kualitas adalah gambaran
dan karakteristik menyeluruh dari barang
atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya
dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukanatau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan,
kualitas yang dimaksud meliputi input , proses,
dan output . Khusus untuk kualitas output
sekolah dapat dikategorikan menjadi akademik
(misal: Nilai Ujian Nasional), dan non-akade-
mik (misal: olah raga dan kesenian). Kualitas
output sekolah dipengaruhi oleh tingkat
kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas adalah perbandingan antara
output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam
bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah,
misalnya jumlah guru, modal sekolah, bahan,
dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya
jumlah siswa yang lulus sekolah setiap
tahunnya. Contoh produktivitas misalnya, jika
tahun ini sekolah lebih banyak meluluskan
siswanya dari pada tahun lalu dengan input
yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka
dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah
tersebut lebih produktif dari pada tahun
sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menya-
takan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas,
dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk
persamaan, sama dengan hasil nyata dibagi
hasil yang diharapkan. Misalnya, NUN
idealnya 60, namun NUN yang diperoleh siswa
hanya 45, maka efektivitasnya adalah
45:60=75 persen.
Efesiensi dapat diklasifikasikan menjadidua yaitu efesiensi internal dan efesiensi
eksternal. Efesiensi internal menunjuk kepada
hubungan antara output sekolah (pencapaian
prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang
digunakan untuk memproses/menghasilkan
output sekolah.
Efesiensi eksternal adalah hubungan
antara biaya yang digunakan untuk mengha-
silkan tamatan dan keuntungan kumulatif
(individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang diperoleh setelah pada kurun
waktu yang lama di luar sekolah.
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri113
C. PELAYANAN PENDIDIKAN
Di sekolah-sekolah sejak tahun 1999 telah
diujicobakan perbaikan manajemen yaitu
perubahan dari manajemen dari berbasis
pusat menuju manajemen berbasis sekolah
(MBS). UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdik-nas, pasal 51 ayat 1 menyatakan pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksana-
kan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Danim, S (2007:34) menyatakan bahwa
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai
suatu proses kerja komunitas sekolah dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi,
akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitasuntuk mencapai tujuan pendidikan dan pe-
ngajaran yang bermutu. Depdiknas, (2007:11-
12) mengemukakan pola baru manajemen
pendidikan masa depan yang lebih bernuansa
otonomi dan yang lebih demokratis, seperti
dalam tabel 1. Tabel 1 mengungkapkan bahwa
manajemen pola baru, memposisikan sekolah
sebagai suatu lembaga yang otonom, fleksibel,
dan partisipatif.
Pelayanan pendidikan di era desentralistik
dan otonomi pendidikan Jalal dan Supriadi
(2001:76) menyatakan bahwa dua istilah yang
sering dipertukarkan pemakaiannya yaitu
desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi
berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan
ke daerah, sedangkan otonomi berangkat dari
pengakuan atas otoritas daerah.
Tabel 1.Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan
Dikutip dari Manajemen Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2005:7).
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 38/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Masalah-masalah yang berkaitan dengan
pendidikan dalam era desentralistik yang lebih
menarik adalah kesimpulan bersama antara
Regional Education Development and Improve-
ment Project melalui laporan pertama tahun
1999, Japan International Cooperation Agency
(JICA), Badan Penelitian dan Pengembangan(BALITBANG) Depdiknas, International Devel-
opment Center of Japan (IDCJ) menyatakan ada
delapan masalah yang menjadi tugas Depdik-
nas, yaitu: (1) demokratisasi pendidikan;
kesempatan yang sama dalam mengakses
pendidikan masih belum sepenuhnya terca-
pai, (2) rendahnya relevansi pendidikan, (3)
rendahnya akuntabilitas, (4) rendahnya pro-
fesionalisme dalam praktik pendidikan dan
manajemen, (5) kurang efesien dan efektivitasdalam alokasi anggaran dan manajemen, (6)
adanya keseragaman, (7) desentralisasi
manajemen pendidikan belum tercapai, dan
(8) debirokratisasi manajemen pendidikan
belum terlaksana (Syafaruddin, 2010:5-6).
Chapman (1990:18) menyatakan bahwa
implikasi dalam desentralisasi pendidikan
adalah: (1) desentralisasi melahirkan banyak
inisiatif berkenaan dengan respon pemerintah
terhadap kompleksitas masalah pendidikan,
(2) meningkatnya minat terhadap perubahan
kurikulum nasional dengan mengajukan
standar. Daerah harus memberikan kontribusi
terhadap perbaikan kurikulum dalam rangka
perbaikan bangsa, (3) dorongan untuk melak-
sanakan persamaan atau pemerataan dalam
pendidikan dengan berbagai kemudahan
mengakses sekolah bagi semua anak, atau
sekolah untuk semua, (4) berusaha mewu-
judkan efektivitas sekolah dan peningkatan
mutu sekolah menjadi idealisme desentralisasipendidikan, (5) peningkatan otonomi bagi
guru dalam memperkecil kontrol birokrasi
pendidikan sehingga profesi kependidikan
semakin meningkat kualitasnya, (6) pening-
katan minat dan perhatian daerah terhadap
pelaksanaan dan pandangan mutu pendi-
dikan, (7) mendorong organisasi sekolah yang
unggul, otonomi sampai ke sekolah, memba-
ngun tim kerja dan akuntabilitas.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai-
mana pasal 51 ayat (1) yang menyatakan
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
‘pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan pelayanan minimal
dengan prinsip menajemen berbasis sekolah’.
Depdiknas (2007:6-10) menyatakan beberapa
tantangan yang harus ditangani oleh pemerin-
tah dan masyarakat terhadap pelayanan pendi-dikan, terutama pada tiga bidang yaitu: (1) di
bidang akses (kesempatan memperoleh pen-
didikan); (2) bidang mutu, relevansi, dan daya
saing pendidikan meliputi: mutu sebagian
sekolah masih rendah, prestasi non akademik
masih belum memuaskan, angka mengulang
kelas masih cukup tinggi, proses pembelaja-
ran masih kurang optimal, dan fasilitas
pembelajaran belum memadai; (3) bidang tata
kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik kelemahan-kelemahannya meliputi: koor-
dinasi dan sinkronisasi program masih belum
berjalan dengan baik, kualitas pelaksanaan
program belum optimal, pelaksanaan moni-
toring dan evaluasi belum optimal, prinsip-
prinsip pengelolaan pendidikan yang ber-
pihak pada rakyat belum dilaksanakan secara
optimal, manajemen dan informasi yang
lemah, masih banyak sekolah, Kabupaten/Kota,
dan Provinsi, yang belum memiliki Renstra
pengembangan pendidikan, kapasitas Dinas
Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota
kurang memadai, dan implementasi Manaje-
men Berbasis Sekolah (MBS) belum memadai.
Sekadar perbandingan upaya pelayanan
pendidikan di beberapa Negara, misalnya
Amerika, Jerman, Austria, Singapura, Jepang,
Malaysia, dan Australia, Srirahmadhena (2010)
menyatakan bahwa Amerika Serikat telah ber-
hasil menyediakan pendidikan gratis selama
12 tahun dan biaya pendidikan relatif murahpada tingkat perguruan tinggi. Satriawan
(2008) menyatakan bahwa Jerman dan Aus-
tria mendanai seluruh sistem pendidikannya
sampai di perguruan tinggi. Di Jerman wajib
belajar 9-10 tahun, dengan sistem pendidikan-
nya terkenal sebagai yang terbaik di dunia.
Di Jepang anak usia sekolah, 99 persen
terdaftar di sekolah, siswa yang telah menyele-
saikan studinya di SD dapat langsung ke SMP
karena SD-SMP termasuk kelompok ‘gimuk- youiku’ atau Compulsory Education atau program
wajib belajar dengan menggratiskan (Adeluna,
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri114
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 39/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
tanpa tahun). Fanany (2007) menyatakan bah-
wa wajib sekolah di Australia hingga 10 tahun.
Orang tua siswa dapat dipenjara kalau anak-
nya tidak disekolahkan. Sistem pendidikan di
Australia tidak diatur secara sentral dari
pusat, tetapi desentralisasi dan sangat otonom.
D. BUDAYA MUTU
Salusu (2008:454-455) menyatakan
bahwa terdapat beberapa istilah yang diguna-
kan berkaitan dengan mutu, khususnya jika
berkaitan dengan manajemen, diantaranya
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau Total
Quality Management (TQM) yang juga dikenal
dengan istilahTotal Quality Control atau Pengen-
dalian Mutu Terpadu. Salusu menjelaskanbahwa MMT adalah salah satu konsep mana-
jemen yang mula-mula dikembangkan oleh W.
Edwards Deming, seorang ahli fisika Amerika
yang kemudian, dikenal sebagai bapak
manajemen kualitas.
Etwar (2011) mengemukakan 5 definisi
mutu menurut tokohnya masing-masing: (1)
Philip B. Crosby, mutu adalah kesesuaian
terhadap persyaratan atau keunggulan yang
dipublikasikannya, seperti jam tahan air,
sepatu yang awet, atau dokter yang ahli.
Pendekannya adalah top-down; (2) W. Edwards
Deming, mutu berarti pemecahan masalah
untuk mencapai penyempurnaan terus-
menerus, seperti penerapan ‘Kaizen’ di Toyota
dan ‘gugus kendali mutu’ pada Telkom.
Pendekatannya adalah bottom-up. Deming
juga tokoh yang menelurkan prinsip Total
Quality Management yang dipakai di seluruh
dunia hingga sekarang; (3) Joseph M. Juran,
mutu adalah kesesuaian dengan penggunaan,seperti sepatu yang dirancang untuk olahraga
atau sepatu kulit yang dirancang untuk ke
kantor atau ke pesta. Orientasi Juran adalah
penentuan harapan pelanggan; (4) Ishikawa,
mutu berarti kepuasan pelanggan; (5) ISO
9000:2000, mutu adalah derajat/tingkat
karakteristik yang melekat pada produk yang
mencukupi persyaratan atau keinginan.
Arcaro (2007:8-10) menyatakan bahwa
Joseph M. Juran juga diakui sebagai salahseorang bapak mutu. Juran menyebut mutu
sebagai tepat untuk pakai, dan menurutnya
bahwa tepat untuk dipakai, ditentukan oleh
pemakai bukan oleh pemberi layanan. Dasar
misi mutu sebuah sekolah adalah mengem-
bangkan program dan layanan yang memenuhi
kebutuhan pengguna, seperti siswa dan
masyarakat. Pandangan Juran tentang mutu
adalah: (1) meraih mutu merupakan prosesyang tidak mengenal akhir, (2) perbaikan
mutu merupakan proses berkesinambungan,
bukan program sekali jalan, (3) mutu memer-
lukan kepemimpinan dari anggota dewan
sekolah dan administrator, (4) pelatihan mas-
sal merupakan prasyarat.
Upaya pemerintah terhadap mutu
pendidikan di sekolah diantaranya penetapan
kriteria output, proses, dan input pendidikan
di sekolah dalam menggunakan MBS. Secaragaris besarnya kriteria MBS tersebut meliputi:
(1) output ; output sekolah yang diharapkan
adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh
proses pembelajaran dan manajemen sekolah.
Output sekolah diklasifikasikan menjadi dua
yaitu prestasi akademik (academic achieve-
ment ) dan prestasi non-akademik (non-aca-
demic achievement ), (2) proses; karakteristik
proses adalah: (a) proses belajar mengajar
yang efektivitasnya tinggi, (b) kepemimpinan
sekolah yang kuat, (c) lingkungan sekolah
yang aman dan tertib; (d) pengelolaan tenaga
kependidikan yang efektif, (e) sekolah memi-
liki budaya mutu, (f) sekolah memiliki team-
work yang kompak, cerdas, dan dinamis, (g)
sekolah memiliki kewenangan (kemandirian),
(h) partisipasi yang tinggi dari warga sekolah
dan masyarakat, (i) sekolah memiliki keterbu-
kaan (transparansi) manajemen, (j) sekolah
memiliki kemauan untuk berubah (psikologis
dan pisik), (k) sekolah melakukan evaluasi danperbaikan secara berkelanjutan, (l) sekolah
responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan,
(m) memiliki komunikasi yang baik, (n) sekolah
memiliki akuntabilitas, (o) manajemen lingku-
ngan hidup sekolah bagus, (p) sekolah memi-
liki kemampuan menjaga sustaina-bilitas, (3)
input ; input pendidikan karakteristiknya adalah:
(a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran
mutu yang jelas, (b) sumberdaya tersedia dan
siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasitinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang
tinggi, (e) fokus pada pelanggan (khususnya
115Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 40/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
siswa), dan (f) input manajemen, misalnya
perincian tugas yang jelas (Depdiknas, 2008).
E. PENUTUP
Kualitas pelayanan pendidikan di sekolah
adalah sejauhmana sekolah dapat menunjukkanketersediaan, kelengkapan, kelayakan sarana
dan prasarana sekolah, tenaga pendidik dan te-
naga kependidikan, reliabilitas tenaga pendidik,
responsivitas tenaga pendidikan dalam melak-
sanakan pelayanan, kepastian dalam pelaya-
nan, dan sikap empati dalam pelayanan pendi-
dikan di sekolah. Pelayanan pendidikan dengan
manajeman pola baru sejatinya senantiasa
memiliki harapan prestasi siswa baik akademik
maupun non akademik (olahraga, seni, kepra-mukaan, keagamaan) dan prestasi sekolah
yang dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap sekolah. Sekolah harus
lebih awal untuk memikirkan penerapan ISO
(International Standar Organizations) sebagai
antasipasi menghadapi tantangan global
bidang pendidikan masa yang akan datang.
Harapan masyarakat dari sekolah diantaranya
adalah mutu pendidikan yang baik sebagai ha-
sil pelayanan yang baik, ditandai dengan mini-
mal tiga aspek jaminan mutu pendidikan yaitu,
kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas.
Untuk mencapai mutu pendidikan di seko-
lah, salah satu pilihannya adalah mengacu pada
penerapan Manajemen Mutu Terpadu (MMT)
atau juga dikenal dengan Total Quality Mana-
gement (TQM) dengan implementasi nyatanya
disekolah melalui Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). MBS menuntut ketersediaan
dan kesiapan sumber daya manusia (tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan) sumber-daya lainnya (uang, peralatan, perlengkapan,
bahan, dsb.), kemampuan, kemauan, kerelaan,
dan dedikasi yang tinggi. Karakteristik sekolah
bermutu dengan penerapan MBS diantara-
nya: (1) fokus pada kostumer yaitu masya-
rakat/murid, (2) keterlibatan menyeluruh
warga sekolah dalam tugas, (3) pengukuran
yang berkesinambungan dan menyeluruh, (4)
komitmen terhadap tugas sebagai pengabdian,
(5) perbaikan berkelanjutan yang terstandar.Standar yang diharapkan adalah International
Standardization for Organization (ISO).
DAFTAR PUSTAKA
Adeluna. Tanpa tahun. Pendidikan di Jepang
(Online), (http://japanlunatic.do.am/
index/pendidikan_di_jepang/0-926),
Diakses (9 Februari 2011)
Arcaro, J.S. 2010. Pendidikan Berbasis Mutu :
Prinsip-prinsip dan Tata Langkah
Penerapan. Terjemahan Yosal Iriantara.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Basuki, M. 2010. Mengurai Masalah Pendidi-
kan di Indonesia. (Online), (http://
b e r i t a s o r e . c o m / 2 0 1 0 / 0 5 / 2 5 /
mengurai-masalah-pendidikan-di-In-
donesia) Diakses (30 September 2010)
Chapman, J.D. 1990. School-Based-Decision
Making and Management . New York:
The Falmers Press.
Danim, S. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah
dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akade-
mik. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdiknas Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama Dirjen Dikdasmen. 2005.
Pedoman Pendayagunaan Konsultan
dalam Pembinaan SMP di Seluruh In-
donesia. Jakarta. Dirjen Manajemen
Dikdasmen Depdiknas.
———————.2007. Manajemen Berbasis
Sekolah. Jakarta: Dir. PSMP Dirjen
Manajemen Dikdasmen Depdiknas.
———————.2008. Informasi ProgramDirektorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Etwar, Emin. 2011. Tokoh-tokoh Mutu Layanan.
(Online), (http//eminetwar. blogspot.com/
2011/04/tokoh-tokoh-mutu-layanan.
html, diakses (16 April 2011)
Salusu, J. 2008. Pengambilan KeputusanStartegik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit . Jakarta: Grasindo.
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri116
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 41/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
117
Satriawan, Mirza. 2008. Sistem Pendidikan
dalam Ideologi Sekuler-Kapitalisme:
Studi kasus Sistem Pendidikan
Amerika. (Online), (http://taukhid.
wordpress.com/2008/08/22/sistem-
pendidikan-dalam-ideologi-sekuler-
kapitalisme-studi-kasus-sistem-pendidikan-amerika/) Diakses (9
Februari 2011)
Sinambela, P.L. 2008. Reformasi Pelayanan
Publik: Teori, Kebijakan dan Imple-
mentasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sriramadhena. 2010. Pendidikan di Amerika
Serikat . (Online), (http://srirahmadhena.
w o r d p r e s s . c o m / 2 0 1 0 / 0 9 / 2 9 /pendidikan-di-amerika-serikat/)
Diakses (9 Februari 2011)
Syafaruddin. 2010. Kepemimpinan Pendidikan:
Akuntabilitas Pimpinan Pendidikan
dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta:
Quantum Teaching.
Syafie, Inu Kencana., Jamaluddin Tanjung.,
Supar dan Modeong. 1999. Ilmu Admi-
nistrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. 2003.
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Undang-Undang No. 25Tahun 2009. Pelaya-
nan Publik. Jakarta: AM Asa Mandiri.
Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik &
Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta:
Bumi Aksaara.
Wijaya, I. E. 2010. “Studi Komparatif Pendi-
dikan di Kawasan Asia: RRC, Korea
Selatan dan Jepang”. Educare: JurnalPendidikan dan Budaya. (hal. 4-18)
Zeithaml, V.A., A. Parasuraman & Leonard L.
Berry. 1990. Delivering Quality Service:
Balancing Custumer Perception and
Expectations. New York: The Free
Press, MacMilan Inc.
*********
Budaya Mutu Dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar - Muhammad Basri
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 42/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
In reformation era, as now, the implementation of the development of specific public services in the
service of Building Permit (IMB), it is time to use the principles of quality management-oriented
activities to improve and enhance public service delivery is increasingly competitive, and in
anticipation of increased globalization and the need received international recognition for quality
and process of public service. Public service management system is required with respect to the
development of globalization so that the demand for minimum service standards can be actualized
in order to improve public services. Thus, the behavior of the bureaucracy in the service delivery of
licensing services, local authorities have time to do a public service reform minimum quality
standards in public service. Reforms intended primarily; institutional model to a one-stop service,
publish a minimum service standards, increase surveillance, patterns of human resource
development personnel, and public participation.
Keywords: Reform, Public Services, Building Permits
ABSTRAK
Di era reformasi seperti sekarang ini, pelaksanaan pengembangan layanan publik tertentu dalampelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sekarang saatnya untuk menggunakan prinsip-prinsip
manajemen mutu yang berorientasi kegiatan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan
publik yang semakin kompetitif, dan untuk mengantisipasi perkembangan globalisasi dan kebutuhan
mendapatkan pengakuan internasional untuk kualitas dan proses pelayanan publik. Layanan sistem
manajemen publik diperlukan sehubungan dengan perkembangan globalisasi sehingga permintaan
untuk standar pelayanan minimum dapat diaktualisasikan dalam rangka meningkatkan pelayanan
publik. Dengan demikian, perilaku birokrasi dalam pelayanan jasa perizinan, pemerintah daerah
memiliki waktu untuk melakukan standar pelayanan publik minimal reformasi kualitas dalam
pelayanan publik. Reformasi dimaksudkan terutama; model kelembagaan ke layanan satu atap,
menerbitkan standar pelayanan minimum, peningkatan pengawasan, pola personil pengembangan
sumber daya manusia, dan partisipasi masyarakat.
Kata kunci: Reformasi, Pelayanan Publik, Izin Bangunan
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
BIDANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DI DAERAH
Muhammad IdrisFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
118
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 43/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
119
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pelayanan Publik adalah segala kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar
sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga
negara dan penduduk atas suatu barang, jasa
dan atau pelayanan administrasi yang disedia-kan oleh penyelenggara pelayanan yang
terkait dengan kepentingan publik. Penyeleng-
gara Pelayanan Publik adalah lembaga dan
petugas pelayanan publik baik Pemerintah
Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah
yang menyelenggarakan pelayanan publik.
Adapun Penerima Layanan Publik adalah per-
seorangan atau kelompok orang dan atau
badan hukum yang memiliki hak dan kewa-
jiban terhadap suatu pelayanan publik.Pelayanan publik menurut Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang
Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepua-
san Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Peme-
rintah, dinyatakan bahwa Pelayanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang dilak-
sanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pene-
rima pelayanan, maupun dalam rangka pelak-
sanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pelayanan publik oleh aparatur pemerin-
tah dewasa ini masih banyak dijumpai
kelemahan sehingga belum dapat memenuhi
kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini
ditandai dengan masih adanya berbagai kelu-
han masyarakat yang disampaikan melalui
media massa, sehingga dapat menimbulkan
citra yang kurang baik terhadap aparatur
pemerintah. Mengingat fungsi utama peme-rintah adalah melayani masyarakat maka
pemerintah perlu terus berupaya mening-
katkan kualitas pelayanan.
Masyarakat yang merupakan pelanggan
dari pelayanan publik, juga memiliki kebu-
tuhan dan harapan pada kinerja penyele-
nggara pelayanan publik yang profesional.
Sehingga yang sekarang menjadi tugas
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah adalah bagaimana memberikanpelayanan publik yang mampu memuaskan
masyarakat. Adanya implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indone-
sia yang tertuang dalam UU tentang Pemerin-
tahan daerah menyebutkan bahwa Pemerin-
tah mempunyai tanggung jawab, kewenangan
dan menentukan standar pelayanan minimal,
hal ini mengakibatkan setiap Daerah (Kota/
Kabupaten) di Indonesia harus melakukanpelayanan publik sebaik-baiknya dengan
standar minimal.
Keterkaitan dengan pemberian otonomi
kepada daerah berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah. Undang-undang ini didasari oleh
filosofi keanekaragaman dalam kesatuan
dengan pendekatan besaran dan isi otonomi
yang menekankan pada pembagian urusan
yang berkeseimbangan berdasarkan asaseksternalitas, akuntabilitas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Secara umum
pemberian otonomi ditujukan adalah untuk:
1. Meningkatkan pelayanan dan kesejah-
teraan masyarakat yang semakin baik;
2. Mengembengkan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan;
3. Memelihara hubungan yang serasi
antara Pusat dan Daerah, serta antar-
daerah dalam rangka menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penye-
lenggaraan pemerintahan daerah dengan
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung-
jawab berdasarkan Undang-undang tersebut
salah satunya adalah untuk meningkatkan
pelayanan publik, sehingga mampu mening-
katkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
konteks ini, pelayanan publik dan kesejah-
teraan masyarakat bukan hanya harusmeningkatkan dengan adanya keleluasaan
otonomi pada daerah, akan tetapi pening-
katan pelayanan dan kesejahteraan masyara-
kat tersebut haruslah menjadi semakin baik.
Hal ini berarti, bahwa intensitas pelayanan
atau tingkat kesejahteraan masyarakat itu
meningkat, seiring dengan terwujudnya
kualitan pelayanan yang semakin baik.
Meskipun demikian, dalam kenyataanya
pelayanan publik di daerah tidak sesuai denganharapan karena secara empiris pelayanan pu-
blik, khusus pada pelayanan bidang perizinan
Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 44/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
daerah dalam implementasinya masih terkesan
berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan, dan
bahkan masih dijumpai tidak transparans,
serta kurang adil. Kenyataan ini, sering bera-
kibat timbulnya pandangan negatif masyara-
kat sebagai “custemer” atau pengguna laya-
nan, yang akhirnya merupakan keluhan-keluhan terhadap pelayanan. Kecenderungan
itu, terjadi sebagai dampak dari perilaku biro-
krasi yang masih memposisikan masyarakat
sebagai pihak yang melayani, dan bukan yang
dilayani. Sesungguhnya standar pelayanan
minimal ditujukan pelayanan pada masyara-
kat umum, namun terkadang dibalik menjadi
pelayanan masyarakat terhadap negara.
Sebagaimana kebijakan pemerintah yang
dituangkan dalam PP Nomor 65 Tahun 2005tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Strandar Pelayanan Minimal (SPM). PP ini
berisi ketentuan mengenai jenis dan pelaya-
nan dasar yang menjamin akses masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan dasar dari
pemerintah daerah sesuai dengan ukuran-
ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selanjutnya Standar Pelayanan Minimal
dengan prinsip-prinsipnya, yaitu sederhana,
konkret, mudah diukur, terbuka, terjangkau
dan dapat dipertanggungjawabkan, serta
mempunyai batas waktu pencapaian.
Dengan demikian, pelaksanaan pengem-
bangan pelayanan publik khusus pada pela-
yanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ,
sudah saatnya menggunakan prinsip-prinsip
manajemen yang berorientasi pada mutu
guna memperbaiki dan menyempurnakan
kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik
yang semakin kompetitif, dan sebagai anti-
sipasi perkembangan globalisasi serta perlu-nya mendapat pengakuan internasional
terhadap mutu dan proses pelayanan publik.
Sistem manajemen pelayanan publik diper-
lukan dengan memperhatikan perkembangan
globalisasi sehingga tuntutan akan Standar
Pelayanan Minimal dapat diaktualisasikan
dalam rangka peningkatan pelayanan publik.
B. PERMASALAHAN
Dipahami bahwa salah satu bagian dari
proses penyelenggaraan pemerintahan di
daerah adalah mengharapkan kualitas pela-
yanan publik yang lebih baik. Pelaksanaan
pelayanan IMB di daerah selama ini, dipandang
masyarakat belum akuntabilitas, efisien, dan
efektif sehingga masyarakat sebagai pene-
rima layanan tidak terpuaskan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka ada pertanyaanpenting yang perlu dijawab untuk memenuhi
tuntutan pelayanan publik di bidang
pengurusan IMB di daerah, sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas Pelayanan pengu-
rusan IMB di daerah
2. Faktor-faktor apa yang mempenga-
ruhi peningkan kualitas pelayanan IMB.
3. Bagaimana reformasi pelayan yang
dibutuhkan untuk memenuhi Standar
Pelayanan Minimal pelayanan IMB
C. PEMBAHASAN
1. Kerangka Konseptual Kualitas
Pelayanan Publik
Berbicara mengenai kualitas pelayanan,
Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990)
mengemukakan bahwa dengan pelayanan
yang prima (Service Excellence) setiap orang
menjadi pemenang; baik para pengguna
layanan, para karyawan, manajemen, para
pemilik atau stockholders, masyarakat,
maupun negara/daerah. Konsep ini menun-
jukkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah
kualitas, baik dalam penyelenggaraan usaha
produksi barang maupun jasa-jasa, termasuk
pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
aparatur pemerintah baik di Pusat, Provinsi,
maupun di kabupaten/kota, Kecamatan dan
bahkan di Kelurahan/desa. Dengan demikian,pengertian prima dalam hubungannya
dengan kualitas pelayanan ataupun kualitas
produk bukan hanya diucapkan, tetapi mem-
berikan pelayanan sesuai yang dijanjikan,
sehingga masyarakat tidak mengeluh, kecewa,
dan tidak memandang pemberian layanan
yang buruk.
Salah satu penyebab terjadinya krisis
kepercayaan masyarakat kepada birokrasi
pemerintahan, bahkan terhadap aparat kea-manan dan penegak hukum, pada dasarnya
dipicu oleh kegagalan aparatur birokrasi
120Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 45/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
dalam menampilkan kualitas layanan prima
kepada masyarakat sesuai bidang masing-
masing. Akibatnya citra birokrasi pemerin-
tahan menjadi sangat buruk di mata sebagian
masyarakat. Dengan demikian, prestasi dan
kinerja para birokrat dan aparat dalam men-
jalankan tugasnya dinilai buruk manakalakepentingan masyarakat sebagai pengguna
jasa terabaikan. Sebaliknya, manakala
masyarakat sebagai pengguna atau peman-
faat jasa pelayanan tertentu tidak mengeluh
dan menunjukkan kepuasan atas layanan yang
diterimanya, maka dapat dinilai berkualitas.
Menentukan penilaian terhadap kualitas
pelayanan memang bukan pekerjaan mudah,
karena karakteristik nilai bagi semua orang
tentunya berbeda satu sama lain berdasarkanpresfektif masing-masing. Namun demikian,
bukan berarti tidak dapat diukur dan
dijelaskan aspek-aspek yang merupakan
indikator dengan berbagai pendekatan teori
untuk mendeskripsikannya. Seperti, misalnya
dikemukakan oleh Parasurahman, (Jurnal
JIANA, 2010) bahwa terdapat lima dimensi
yang digunakan oleh pelanggan untuk
menentukan kualitas pelayanan, yakni : (1)
bukti langsung (tangibles), (2) keandalan (re-
liability ), (3) daya tanggap (responsiveness),
(4) jaminan (assurance), dan empati (empaty ).
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pendapat
tersebut pada awalnya dikaitkan dengan pela-
yanan yang diberikan dalam sektor privat.
Pada perkembangan lebih lanjut justru banyak
digunakan untuk menggambarkan kualitas
pelayanan di sektor publik. Hal ini oleh para
pendukung pendapat ini berasumsi bahwa
kualitas pelayanan pada sektor publik dan
sektor privat adalah sama walupun masing-masing memiliki batas-batas tertentu. Salah
satu pendapat dari Rainey, (Jurnal JIANA,
2010) membuat ringkasan pendapat menge-
nai kekhasana karakter dari organisasi dan
manajemen publik dengan menyatakan bahwa
kekhasan karakter tersebut dapat dikelom-
pokkan ke dalam : faktor lingkungan, transaksi
organisasi lingkungan, peranan dan struktur,
dan proses keorganisasian. Dengan demikian,
kualitan pelayanan pada sektor publik sangat ditentukan oleh lingkungan organisasi, baik
internal maupun lingkungan ekternal.
Pandangan-pandangan tersebut semakin
memperjelas konsep kualitas pelayanan pub-
lik yang diarahkan pada peranan perilaku
individu dan biroksi, khususnya pada pelaya-
nan pemerintahan. Ndraha, (2005) memberi-
kan pernyataan singkat mengenai kualitas
pelayanan publik adalah dapat diamati dariempat dimensi, yakni : Pengertian (under-
standing), penerimaan (legitimation), keper-
cayaan (trust), dan keterbukaan (openess).
Pandangan ini sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan Rainey, tetapi saling melengkapi dalam
memahami konsep pelayanan, baik yang
dilayani maupun yang melayani.
Dengan demikian, jika dianalisis lebih
mendalam, maka sesungguhnya kualitas pela-
yanan sedikitnya harus termuat dimensi-dimensi: penerimaan, kepercayaan, keterbu-
kaan, keadilan, responsif, dan akuntabilitas.
Hal ini, berarti kualitas pelayanan sangat
ditentukan oleh perilaku baik yang dilayani,
dan terutama yang melayani yang tercermin
dalam perilaku birokrasi. Sehingga salah satu
upaya dalam pemberdayaan individu tidak
terlepas dari motivasi kerja yang diarahkan
sesuai tingkatan dan kebutuhannya. Berikut
ini akan dijelaskan dalam pokok pembahasan
makalah ini.
2. Komponen Kualitas Pelayanan Publik
Kualitas pelayanan yang diharapkan oleh
masyarakat, maupun kualitas pelayanan yang
dipersepsikan oleh lembaga pemberi pelaya-
nan kepada masyarakat; berdasarkan penga-
laman dan penelitian yang dilakukan oleh
Zeithaml dkk, (Jurnal Administrasi Publik,
2003), mengatakan terdapat beberapa kom-ponen atau variable kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Komponen-komponen pelayan
prima tersebut adalah terdiri dari beberapa
dimensi, sebagai berikut:
1. Wujud; yaitu penampilan fisik fasilitas
lembaga pelayanan, peralatan yang digu-
nakan, pegawai atau petugas pelayanan,
dan peralatan bantu komunikasi.
2. Kemampuan Terpercaya; yaitu kemam-
puan untuk menampilkan kinerja pelaya-nan yang dijanjikan secara tepat dan
akurat.
121Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 46/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
3. Daya Tanggap; yaitu kemauan untuk
membantu dan melayani masyarakat kon-
sumen secara segera sesuai dengan per-
mintaan ataupun harapan masyarakat.
4. Kompetensi; yaitu penguasaan atas
pengetahuan dan keterampilan yang di-
perlukan untuk memberikan pelayanantertentu.
5. Kesantunan; yaitu sikap yang ditunjukkan
pada saat memberikan pelayanan yang
umumnya terdiri dari kesopanan, peng-
hargaan terhadap masyarakat, perhatian,
pertimbangan, kebijaksanaan, dan sikap
bersahabat.
6. Kredibilitas; yaitu tingkat kepercayaan
atau jaminan mutu, kesungguhan, keju-
juran yang ditunjukkan oleh petugas ataulembaga pelayanan kepada masyarakat.
7. Keamanan; yaitu berkaitan dengan sebe-
rapa jauh pelayanan jasa yang diberikan
bebas dari kesalahan dan resiko yang
akan ditanggung masyarakat, memberi-
kan rasa aman, dan bebas dari keraguan.
8. Akses; yaitu kemudahan untuk menemu-
kan lokasi pelayanan atau kemudahan
untuk menemui petugas layanan.
9. Komunikasi; yaitu bagaimana lembaga
pelayanan memelihara hubungan dengan
masyarakat konsumennya dengan cara
regular mengirimkan informasi dengan
berbagai cara.
10.Memahami Kehendak Masyarakat; yaitu
kemampuan lembaga dan para petugas
layanan memiliki kemampuan dan beru-
saha sebaik mungkin untuk memahami
berbagai kehendak, kebutuhan, maupun
keinginan masyarakat yang beragam, dan
menyesuaikan dengan tingkat pelayananyang diberikan.
3. Model Kesenjangan Kualitan
Pelayanan Publik
Memahami langkah-langkah kebijakan
yang ditempuh dalam upaya meningkatkan
kualitas pelayanan public, khusus oleh peme-
rintah daerah, sebaiknya dipahami pula model
analisis bagaimana mengidentifikasi perma-salah dalam rangka pemberian pelayanan
kepada masyarakat. Salah satu model yang
dapat digunakan adalah Model Kesenjangan
Pelayanan yang dikembangkan oleh Zeithaml,
Parasuraman, dan Berry (1990), sebagai
kerangka analisis untuk mengevakuasi
permasalahan yang berkaitan dengan kualitas
pelayanan, berdasarkan kesenjangan-
kesenjangan yang terjadi antara apa yangdiharapkan oleh masyarakat konsumen dan
apa yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
lembaga dan petugas pemberi pelayanan.
Zeithaml, menjelaskan bahwa terdapat 4
kesenjangan (gap) yang secara berjenjang
menjelaskan tentang bagaimana mengukur
kualitas pelayanan publik, sebagai berikut:
Gap1: menjelaskan bahwa rendahnya
kualitas pelayanan publik karena karena ada-
nya kesenjangan antara apa yang sesungguh-nya diharapkan oleh masyarakat dengan yang
dipersepsikan oleh penyedia layanan.
Gap 2: menjelaskan bahwa sesungguhnya
penyedia layanan mengetahui apa yang diha-
rapkan oleh masyarakat, namun dalam prak-
teknya, layanan yang diberikan tidak sama
dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Gap 3: menjelaskan bahwa apa yang diha-
rapkan oleh masyarakat sudah dipahami dan
dibuatkan standar pelayanan oleh pemberi
layanan sebagaimana harapan masyarakat,
namun demikian layanan yang diberikan tidak
sebagaimana standar yang sudah ditentukan
sebelumnya.
Gap 4: menjelaskan bahwa sudah ada kon-
sistensi antara harapan masyarakat, persepsi
pemberi layanan dan sudah dibuatkan standar
pelayanan sebagaimana yang diharapkan dan
dipesepsikan oleh pemberi layanan, namun
dalam pelaksanaannya tidak berjalan sebagai-
mana dengan yang diinformasikan kepadamasyarakat.
4. Pembahasan Kualitas Pelayanan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB)
Zeithaml, dkk (1990) mengemukakan
bahwa penyebab utama persepsi kualitas
pelayanan rendah adalah kesenjangan antara
apa yang dijanjikan perusahaan tentang
layanannya dan apa yang sesungguhnyadiberikan. Ketepanan dan keakuratan apa
yang dikomunikasikan tentang layanan yang
122Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 47/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
diberikan sangat tergantung pada bagian
pemasaran dan bagian operasional. Oleh
karena apa yang dikomunikasikan oleh bagian
pemasaran tentang kualitas layanan yang
menjadi tanggungjawabnya haruslah sesuai
dengan apa yang dikerjakan oleh bagian ope-
rasional. Jika apa yang disampaikan atau diko-munikasikan bagian pemasaran tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan pelanggan, akan
berakibat pada kekecewaan pelanggan ten-
tang kualitas pelayanan yang diberikan.
Salah satu bentuk pelayan IMB adalah
adanya kesenjangan Another form of coordi-
nation central to providing service quality is
consistency in policies and procedures across
departments and koordinasi antara kebijakan
dan prosedur seluruh departemen dan cabang.If a service organization operates many outlets
under the same name, whether franchised or
company-owned, customers expect similar per-
formance across those outlets. Jika organisasi
jasa beroperasi dengan banyak outlet dan
dengan nama sama, apakah waralaba atau
perusahaan yang dimiliki, pelanggan
mengharapkan kinerja yang serupa di outlet.
If managers of individual branches or out-
lets have significant utonomy in procedures
and policies, customers may not receive the
same level of service quality across the branches.
Jika manajer cabang atau outlet memiliki
otonomi yang signifikan dalam prosedur dan
kebijakan, pelanggan cenderung tidak dapat
menerima kualitas pelayanan pada tingkat
yang sama di cabang. In this case, what they
expect and receive from one branch may be
different from what is delivered in other
branches. Under these circumstances, the size
of Gap 4 can be large. Dalam hal ini, apa yangmereka harapkan dan yang mereka terima
dari satu cabang mungkin berbeda dari apa
yang disampaikan di cabang lain.
A question frequently asked by companies
is, “How much standardization can we achieve
across branches without taking away the au-
tonomy and perceived control of managers?”
Sebuah pertanyaan yang sering diajukan oleh
perusahaan adalah, “Berapa banyak standar-
disasi yang dapat kita terapkan pada seluruhcabang, tanpa menguangi otonomi dan
kontrol terhadap seluruh cabang tersebut”.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana
menjamin bahwa standar pelayanan yang
ditetapkan disebuah outlet tidak menganggu
persepsi dan harapan pelanggan pada pela-
yanan outlet lainnya, jika saja para manajer
outlet diberi kewenangan untuk melayani
pelanggan dengan cara mereka sendiri. At is-sue is the need to assure con sistency across
outlets (so that expectations set by one outlet
do not interfere with perceptions of service at
another outlet) while allowing the managers
autonomy to serve customers in their own
ways. Salah satu contoh maklumat pelayanan
izin IMB Kota Makassar, yakni :
Kepala Dinas Tata Ruang Bangunan Kota
Makassar, Andi Oddang Wawo menegaskan,
sebagai wujud peningkatan pelayanan primake masyarakat, pengurusan izin mendirkan
bangunan yang tadinya dua belas hari kerja,
dipangkas menjadi enam hari kerja. Pemang-
kasan ini, guna memudahkan masyarakat
memperoleh IMB. Dinas tata ruang bangunan
kota Makassar memberikan kemudahan bagi
masyarakat yang hendak memiliki izin men-
dirikan bangunan, tidak perlu lagi menunggu
hingga dua belas hari kerja, melainkan cukup
enam hari kerja sesuai prosedur dan mekanisme
yang berlaku. Pemangkasan sistem birokrasi
pengurusan IMB di dinas tata ruang bangunan
tak terlepas dari komitmen pemerintah dalam
memberikan pelayanan prima ke masyarakat
khususnya bagi pemohon IMB di Makassar.
Disisi lain, dinas tata ruang bangunan
berharap, untuk tercapainya peningkatan PAD
kedepan, dipandang perlunya optimalisasi
kegiatan pelayanan serta pembinaan masyara-
kat, sehingga DTRB saat ini mengharapkan
adanya penambahan personil yang profesional yang menguasai teknis pada dinas tata ruang
bangunan.
(Sumber:http://makassartv.co.id/index.php?
option=com_content&view=article &id=828:
dt rb -pang k as-b i rok ras i -peng urusan-
imb&catid=3:berita-umum&Itemid=56, akses
20 Oktober 2010).
Informasi ini menunjukkan betapa mu-
dahnya menggambarkan tentang janji biro-krasi terhadap pelayanan publik yang menjadi
tanggung jawab mereka. Kantor Pelayanan
123Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 48/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Administrasi Perizinan (KPAP) dan Dinas Tata
Ruang dan Bangunan (DTRB) berusaha mem-
bangun citra kepada publik tentang kualitas
layanan mereka, bahkan diwaktu lain, mereka
justru mengumbar bahwa mereka dapat
menyelesaikannya dalam waktu 6 hari kerja.
Namun pada kenyataannya tanggapanpelanggan terhadap pelayanan IMB berikut
sangat berbeda dengan apa yang dijanjikan
Birokrasi perizinan terhadap pelanggan.
Bahkan menggambarkan keluhan seorang
pelanggan yang mengurus IMB dan berusaha
untuk memperoleh simpati publik dengan
mengadu halnya kepada DPRD Kota Makassar
untuk mendapatkan tanggapan.
Dengan demikian, kenyataan di atas
menunjukkan tentang ketidakkonsistenanantara apa yang dikomunikasikan kepada
masyarakat sebagai penerima layanan dengan
apa yang dialami oleh masyarakat. Ketidak-
konsistenan antara apa yang dijanjikan pem-
beri layanan dengan yang diberikan kepada
masyarakat dalam pelayanan publik Izin Men-
dirikan Bangunan (IMB) di Kota Makassar.
Salah satu faktor yang menyebabkan
kondisi ini terjadi karena komunikasi yang
terjalin antara bagian-bagian dalam unit kerja
tidak singkron antara yang satu dengan yang
lainnya. Pengurusan IMB sesungguhnya
berada pada 2 kamar yang berbeda, yaitu: (1)
Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan
(KPAP) Kota Makassar sebagai pelaksana
kegiatan peng-administrasian seluruh jenis
perizinan di Kota Makassar; dan (2) Dinas Tata
Ruang dan Bangunan (DTRB) Kota Makassar
sebagai pelaksana teknis pengurusan IMB.
Selain itu, hasil temuan Saifullah K. (2010)
“Tentang Pelayanan IMB pada Kantor Pelaya-nan Terpadu Kabupaten Gowa” bahwa :
1. Standar pelayanan minimum penyelesaian
permohonan izin mendirikan bangunan
(IMB) selama 12 hari kerja, belum dilaksa-
kan secara konsisten. Permohonan terse-
but sering berkasnya tidak diteruskan ke
Kantor Pelayanan Perizinan, sehingga
memakan waktu yang cukup lama karena
harus memenuni syarat administrasi
dimaksud.2. Sering juga pemohon tidak melalui pro-
sedur berlaku alias menggunakan jasa
calo sehingga tidak dapat dibuktikan bah-
wa proses itu berjalan sesuai ketentuan.
Dengan kata lain, jangan sampai perantara
tersebut tidak menyalurkan permohonan
Anda dengan cara sengaja mengulur-ulur
waktu sehingga proses pengurusan IMB
jadi lama dan tidak jelas penyelesaiannya.
Dengan demikian, pelaksanaan pelayan
perizinan di daerah merupakan salah satu per-
masalah yang tidak pernah terselesaikan
dengan baik. Masalahnya adalah perilaku biro-
krasi yang terkait dengan pemberian pelayanan
perizinan masih dipandang “diskriminatif”
kalangan masyarakat sebagai orang yang
terlayani.
D. SOLUSI PENINGKATAN KUALITS
PELAYANAN IMB DI DAERAH
Berdasarkan dengan kenyataan perilaku
birokrasi dalam pemberian pelayanan pelaya-
nan perizinan, pemerintah daerah sudah saat-
nya melakukan Reformasi Pelayanan Publik
yang berkualitas sesuai standar minimal dalam
pelayanan publik. Berikut ini, dikemukakan
beberapa solusi meningkatkan kualitas pela-
yanan publik sebagai berikut :
1. Bahwa untuk merubah sikap/budaya
organisasi, ada beberapa alternatif meni-
ngkatkan kualitas pelayanan: (a) melaku-
kan reformasi internal dari aparat biro-
krasi tentang tugas atau jabatan yang
diembangnya. Karena persepsi selama ini
bahwa aparat dibutuhkan masyarakat
harus berubah bahwa aparatlah yang
membutuhkan masyarakat. (2) Pening-
katan suasana kompetisi yang sehat dalammemberikan pelayanan. Bagi mereka
yang berprestasi perlu diberikan reward ,
bagi mereka yang tidak berprestasi perlu
di berikan punishment yang bersifat
mendidik. (3) Mendeskripsikan dan mem-
publikasikan stantar pelayanan yang baik
yang menyangkut kualitas, besarnya
biaya, waktu sesuai dengan jenis pelaya-
nan yang diberikan. (4) Peningkatan
moralitas aparat terutama yang berkaitandengan hak, kewajiban dan tanggung-
jawab baik secara sosial, administratif,
124Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 49/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
maupun spritual. (5) Secara eksternal,
perlu adanya peningkatan sense of respon-
sibility dari masyarakat yang menyangkut
upaya penyadaran terhadap hak-hak
sebagai warga negara dalam memperoleh
pelayanan yang terbaik. Menyampaikan
keluhan atau penyimpangan.
2. Menciptakan lingkungan organisasi yang
transparan yang memaksa aparat berpe-
rilaku sesesuai prosedur. Alasannya
karena lingkungan dinas perizinan yang
kurang transparan dan tidak adanya
kontrol eksternal, ditambah banyaknya
instansi yang terlibat dalam penyelesaian
urusan perizinan, telah menciptakan ru-
ang yang nyaman dan aman tumbuhnyamotif-motif yang kuat yang berorientasi
pada kepentingan pribadi aparat.
3. Model dalam meningkatkan kualitas pela-
yanan publik antara lain; (1) Model Kelem-
bagaan, yaitu format kelembagaan One
Stop service (OSS) difungsikan sebagai
frontline dari dinas-dinas yang ada untuk
menjadi satu-satunya lembaga yang ber-
hubungan dengan masyarakat yang me-
merlukan berbagai pelayanan. (2) Model
Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik,
yaitu memberdayakan lembaga pelaya-
nan publik sehingga dapat mengoptimal-
kan fungsi pelayanan publik sesuai
dengan perkembangan tuntutan perkem-
bangaan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. (3) Model Siklus Layanan, yaitu
tetap melaksanakaan kewenangan dan
tugas-fungsinya yang diatur sesuai pro-
sedur. Tetapi teknis pelaksanaan denganpola pelayanan umum satu atap. (3) Model
Standar Pelayanan Minimal, yaitu meng-
gali pandangan masyarakat terhadap mutu
pelayanan yang diberikan oleh OSS yang
didasarkan pada indikator standar
pelayanan.
4. Dalam upaya meningkatkan pelayanan
perizinan Mendirikan Bangunan (IMB),
langkah yang dapat ditempuh yaitu; (1)Peningkatan pengawasan sebagai instru-
men kendali disiplin Aparat Pelayanan
Permohonan IMB, (2) Penerapan pola
pembinaan yang tepat dan berdaya guna
dengan pendisiplinan yang manusiawi
dalam meningkatkan kualitas pelayanan
permohonan IMB kepada Masyarakat, (3)
Keteladanan Pimpinan dalam menyege-
rakan melayani pemohon IMB.
E KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, refor-
masi pelayanan publik bidang IMB di daerah,
maka dapat dikemukakan beberapa simpulan:
1. Standar kualitas pelayanan IMB di daerah
masih menunjukkan stantar pelayanan
kurang maksimal, karena masih terdapat
kesenjangan antara janji Birokrasi denganpelayanan yang dirasakan oleh masyara-
kat sebagai pelanggan. Konsistensi terha-
dap penyelesaian IMB masih lamban dan
sering mensyatkan yang mempersulit
pemohon.
2. Ada beberapa faktor yang sering ber-
sentuhan langsung dengan kualitas
pelayanan IMB: masih adanya kewenang
lebih dari satu departeman dan tidak jelas
garis koordinasinya, sikap/budaya
birokrasi pelayanan masih rendah, dan
sikap masyarakat pemohon masih tidak
menyadari memenuhi prosedur yang
resmi sehingga mempersulit aparat
melakukan kualitas yang terbaik dan adil.
3. Solusinya meningkatkan kualitas pelaya-
nan adalah: Reformasi model kelemba-
gaan ke pelayanan satu atap, publikasi-
kan standar pelayanan minimal, tingkat-kan pengawasan, pola pembinaan SDM
aparatur, dan tumbuhkan partisipasi
masyarakat tentang pentingnya prosedur
pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2005. “Pengamatan
untuk Menilai Kinerja Pelayanan
Publik”, dalam Mewujudkan Good Gov-ernance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: UGM Press.
Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris125
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 50/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Gedeona, Hendrikus Tri Wibawanto, 2010,
“Pendekatan Kualitatif Dan Kontri-
businya Dalam Penelitian Administrasi
Publik” Jurnal Jurnal Ilmu Administrasi,
Vol.VII (3), September 2010, (hal. 183-
192)
Gibson, dkk. (1996). Organisasi: Perilaku,
Struktur dan Proses , Binarupa Aksara,
Jakarta.
Goodsell, C.T. 2006. “A New Vision Public Ad-
ministration” , dalam Public Administra-
tion Review , (Jul/Agust, 06), 4, Academic
Research Library , (pp. 623-635)
Ndraha, Talizidulu, (2005). Kybernology :Sebuah Konstruksi Ilmu Pemerintahan,
Jakarta : Rineka Cipta.
Robbins, Stephen P., (2003). Perilaku Organi-
sasi, (Jilid 2), Terjemahan, Jakarta : PT.
Indeks Kelompok Gramedia,
Rondinelli, D.A. 2007. “Government Serving
People: The Changing Role of Public Ad-
ministration in Democratic Gover-
nance” , dalam Public Administration and
Democratic Governance: Governments
Serving Citizens. New York: United Na-
tions: Economic and Social Affairs.
Saifullah K. (2010). Pelayanan Pengurusan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) di Kantor
Pelayan terpadu Kabupaten Gowa
(Tesis), Universitas MuhammadiyahMakassar, Makassar.
Suryani, Ade Irma, (2008). Implementasi
Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) Dalam Perspektif Azas-Azas
Umum Pemerintahan Yang Baik Di
Kabupaten Sukamara, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Tobirin, 2008, “Penerapan Etika MoralitasDan Budaya Malu Dalam Mewujudkan
Kinerja PNS Yang Profesional” Civil Ser-
vice : Jurnal Kebijakan & Manajemen
PNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79)
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
Zeithaml, Valarie. Parasuraman, dan Leonard
L. Berry, (1990). Delivering Quality Ser-
vice: Balancing Customer Perceptions and
Expectations, The Free Press, New York.
Reformasi Pelayanan Publik
Bidang Izin Mendirikan Bangunan Di Daerah - Muhammad Idris126
*********
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 51/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
System of government with good governance paradigm is intended to further promote the involvement
of all stakeholders in governance. In practical terms, the challenge of good governance paradigm will be
faced with the demands of society in improving the quality of public services. Public service practices that
are conducive to stimulating real and public participation to further improve the implementation of good
governance. so many public service activities that feel a lack of good public service, so that all parties are
less optimistic about the realization of good governance in Indonesia. A country with a high heterogeneity
conditions in a variety of things such as ethnic, cultural, geographical, religious, and socio-economic
development level, is a considerable potential as a source of conflict, and can lead to national disintegration.
Development of civil society requires a public space (public sphere) in which every citizen could freely and
independently express opinions about various social problems. Transparency of information and public
service is fundamental in the governance demands that the principle of good governance, in which required
the disclosure of information as one of the implementation requirements of public accountability.
Keywords: Public services, Good Governance, Transparency
ABSTRAK
Sistem pemerintahan dengan paradigma pemerintahan yang baik dimaksudkan untuk lebih
mempromosikan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Dalam istilah praktis,
tantangan paradigma pemerintahan yang baik akan dihadapkan dengan tuntutan masyarakat dalammeningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik praktek-praktek yang kondusif untuk
merangsang partisipasi yang nyata dan masyarakat untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan
yang baik. begitu banyak kegiatan pelayanan publik yang merasa kurangnya layanan publik yang baik,
sehingga semua pihak yang kurang optimis tentang realisasi pemerintahan yang baik di Indonesia. Sebuah
negara dengan kondisi heterogenitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti tingkat perkembangan etnis,
budaya, geografis, agama, dan sosial-ekonomi, adalah potensi besar sebagai sumber konflik, dan dapat
menyebabkan disintegrasi nasional. Pengembangan masyarakat sipil membutuhkan ruang publik (ruang
publik) di mana setiap warga negara bisa secara bebas dan mandiri mengekspresikan pendapat tentang
berbagai masalah sosial. Transparansi informasi dan pelayanan publik adalah fundamental dalam tuntutan
pemerintahan yang prinsip pemerintahan yang baik, di mana diperlukan keterbukaan informasi sebagai
salah satu persyaratan pelaksanaan akuntabilitas publik.
Kata Kunci: Pelayanan publik, Good Governance, Transparansi
127
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
SEBAGAI STRATEGI MEWUJUDKANGOOD GOVERNANCE
MuhammadiahFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 102 Fax. 0411 – 865588
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 52/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
A. PENDAHULUAN
Pelayanan publik yang berkualitas meru-
pakan tuntutan yang sangat mendasar dalam
sistem pemerintahan good governance. Per-
tanyaan yang berkaitan dengan masalah ini,
adalah mengapa reformasi pelayanan publik menjadi persoalan strategis untuk memba-
ngunan good governance, pada hal sebenar-
nya masih banyak aspek penting yang juga
yang perlu diperhatikan dalam penyeleng-
garaan good governance. Pemerintah meng-
hadapi menghadapi persoalan yang tidak
kalah pentingnya dalam mewujudkan good
governance , seperti persoalan membangun
karakter bangsa (nation character building),
persoalan minyak bumi yang sudah kritis, danpersoalan kehutanan (ilegal loging) yang
makin sulit diatasi, dan pencurian ikan yang
makin meningkat, penambangan ilegal hasil
tambang seperti pasir, batu bara. Pertanyaan
ini perlu dijawab agar kita semua memahami
mengapa kita memilih membangun pelayanan
publik daripada persoalan-persoalan tersebut.
Argumen yang paling kuat kita memilih
memprioritaskan membangunan pelayanan
publik adalah agar benar-benar diyakini
bahwa pelayanan publik yang kondusif dapat
mengantar dan menjdikan bangsa Indonesia
mampu mewujudkan good governance dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Jawaban lainnya adalah bahwa
karena reformasi pelayanan publik memiliki
dampak yang cukup luas terhadap perubahan
perilaku birokrasi dan masyarakat. Diharap-
kan juga bahwa melalui reformasi pelayanan
publik agar tercipta pelayanan publik yang
dapat menjadi lokomotif pembangunanmenuju good governance.
Dalam kaitan ini, ada beberapa pertimba-
ngan mengapa pelayanan publik menjadi fo-
kus dalam memulai implementasi good gover-
nance khususnya di Indonesia. Pertama;
bahwa pelayanan publik di Indonesia masih
merupakan persoalan krusial, dimana seba-
gian besar masyarakat merasa bahwa pelaya-
nan publik yang selama ini dilaksanakan masih
jauh dari pelayanan publik yang sesung-guhnya. Pelayanan publik yang mahal, waktu
yang lama, proses yang berbelit-belit,
kurangnya akurasi, merupakan sesuatu yang
hampir dialami dalam berbagai macam kegia-
tan pelayanan publik di Indonesia. Kelemahan
pelayanan publik yang demikian ini telah
menjadikan masyarakat enggan, malas, dan
takut berhubungan dengan birokrasi.
Praktek pelayanan publik yang kondusif sesungguhnya dapat membangkitkan sema-
ngat dan partisipasi publik untuk lebih meni-
ngkatkan penyelenggaraan good governance.
Pelayanan publik yang kondusif seharusnya
tidak hanya mitos, slogan dan janji, tetapi
harus menjadi realitas dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Jika saat ini
apatisme dan pesimisme masyarakat terha-
dap eksistensi birokrasi sebagai lembaga
pelayanan publik terasa makin luas, terutamadisebabkan oleh birokrasi telah lama dan terus
mempraktekkan bad governance, seperti
pungutan liar yang terjadi pada hampir
seluruh birokrasi, keramahan birokrat yang
masih sulit didapatkan, prosedur yang ber-
belit-belit dan waktu yang lama menjadi
pengalaman setiap hari bagi mereka yang
berhubungan dengan birokrat. Namun sangat
ironi, karena masyarakat juga terpaksa
mengapresiasi praktek bad governance,
karena memudahkan mereka mendapatkan
pelayanan publik. Bahkan masyarakat menilai
bahwa bad governance, khususnya pungutan
liar (pungli) adalah wajar, tidak jadi masalah,
justru merasa lega karena proses pelayanan
dapat segera selesai (Dwiyanto, 2008).
Masyarakat rela membayar mahal yang
penting urusan cepat selesai (Kristiadi, 2005).
Praktek bad governance telah merambah
ke berbagai level pemerintahan. Bad gover-
nance tidak hanya terjadi eselon rendah,tetapi juga pada eselon tinggi, juga tidak hanya
terjadi pada pemerintah pusat, tetapi telah
sampai ke pemerintah daerah. Bad governance
bukan hanya terjadi di lembaga eksekutif,
tetapi juga terjadi dilembaga legislatif dan
yudikatif. Bad governance bukan hanya terjadi
di lembaga pemerintahan, tetapi juga di
berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Demikian luasnya lembaga yang mem-praktekkan bad governance dan begitu
banyaknya aktivitas pelayanan publik yang
128Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 53/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
merasakan pelayanan publik yang kurang
baik, sehingga berbagai pihak masih kurang
optimis terhadap terwujudnya good gover-
nance di Indonesia. Diakui secara konseptual
dan visi dari good governance telah cukup
memadai, namun secara misi dan imple-
mentasi masih sulit direalisasikan. Kondisiseperti ini menjadikan masyarakat makin
toleran terhadap bad governance, sehingga
apa yang menjadi harapan dalam good gover-
nance masih jauh dari kenyataan. Oleh karena
itu, jika kita komitmen kepada good gover-
nance, maka kebiasaan-kebiasaan buruk yang
terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik (bad governance) seharusnya harus
dieliminer, direduksi, hingga pada gilirannya
kita menikmati good governance yang sesung-guhnya. Harus ada komitmen yang kuat
bahwa nilai-nilai yang terdapat good gover-
nance harus diwujudkan dalam perilaku
semua pihak, bukan hanya dari birokrasi,
tetapi juga dari masyarakat yang memiliki
kebiasaan suka menabrak (melanggar)
prosedur, tidak senang entry, memaksakan
kehendak, mencari jalan pintas, tidak merasa
risih dengan perilaku bad governance.
B. GOOD GOVERNANCE SEBAGAI
PERADABAN DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN
PUBLIK
Sistem pemerintahan sebagai hasil pera-
daban manusia terus mengalami perkemba-
ngan dan kemajuan. Salah satu sistem
pemeritahan yang terkenal dan menjadi
harapan masyarakat dalam dunia modern
adalah Good governance. Good governancesebagai suatu perkembangan peradaban
yang luhur dalam bidang sistem pemerintahan,
karena hakikat dan tujuannya sejalan dengan
tuntutan kehidupan masyarakat. Sistem
pemerintahan dengan paradigma good gover-
nance dimaksudkan untuk lebih mengeda-
pankan keterlibatan seluruh stakeholders
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sistem
pemerintahan good governance memberikan
ruang bagi masyarakat untuk ikutsertaberpartisipasi dalam setiap tahapan dan
aktivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Keberadaan masyarakat dalam penye-
lenggaraan sistem pemerintahan good gover-
nance merupakan refresentasi bahwa orga-
nisasi pemerintahan adalah milik, oleh dan
untuk kepentingan masyarakat. Keikutsertaan
seluruh lapisan masyarakat dalam penyele-
nggaraan pemerintahan merupakan buktipengakuan akan pentingnya peranserta
masyarakat dalam mengurus dan mewujud-
kan tujuan masyarakat. Dalam sistem peme-
rintahan good governance , masyarakat
memiliki peran strategis, karena masyarakat
turut menentukan arah, proses dan tujuan
sistem pemerintahan. Masyarakat bukan lagi
sebagai penonton, tetapi juga telah menjadi
pemain sentral sejajar dengan lembaga-
lembaga lain dalam sistem pemerintahan good governance. Sistem pemerintahan good gov-
ernance sangat mengedepankan keterbukaan,
transparansi, kebersamaan dan kesetaraan
antara pemerintah dengan masyarakat.
Dengan demikian good governance merupa-
kan penjabaran secara eksplisit penyeleng-
garaan sistem demokratisasi pemerintahan.
Dalam penyelenggaran sistem pemeri-
ntahan good governance, masyarakat diharap-
kan tampil sebagai pelaku atau aktor yang
dapat mendorong terciptanya sistem peme-
rintahan yang sesuai dengan dinamika dan
tuntutan masyarakat yakni pelayanan publik
yang berkualitas atau pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan masya-
rakat. Sistem pemerintahan good governance
menuntut organisasi publik bertindak sebagai
agen perubahan (agent of changes), agen
pembaruan (agent of innovation), dan agen
pembangunan serta lembaga terdepan yang
melayani berbagai kepentingan dan meme-nuhi harapan masyarakat.
Good governance merupakan sistem
ketatapemerintahan yang menjadi harapan
besar dari berbagai lapisan masyarakat,
karena sistem pemerintahan yang mengem-
bangkan paradigma good governance diha-
rapkan mampu menciptakan pemerintahan
yang efisien dan efektif. Frederickson (1997)
mengartikulasikan governance sebagai suatu
proses dimana suatu sistem sosial, ekonomiatau sistem organisasi kompleks lainnya di-
kendalikan dan diatur. Sedangkan dalam
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah129
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 54/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
perspektif fungsional, governance dimaknai
sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan
dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara
umum, dan pembangunan ekonomi pada
khususnya (Pinto, 1994). UNDP (1994)
menjelaskan governance is defined as theexercuse of political, economic, and aminisrative
authority to manage nation’s affair at all level.
Governance has legs; economic, political and ad-
ministrative. Pandangan ini menegaskan
bahwa governance mempunyai tiga dimensi
yakni dimensi politik, ekonomi dan dimensi
administrasi, dimana ketiga dimensi tersebut
berpengaruh terhadap pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan pemerintah (negara).
Karena itu, sistem pemerintahan good gover-nance mencakup proses dan struktur masya-
rakat yang mengarahkan hubungan-hubu-
ngan sosial ekonomi dan politik untuk men-
ciptakan kehidupan yang lebih baik.
Pengertian good dalam konteks good gov-
ernance mengandung dua pengertian
(Widodo, 2000), Pertama, good berarti nilai-
nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat
dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat dalam pencapaian
kemandirian, pembangunan berkelanjutan
dan keadilan sosial, dengan orientasi pada
demokratisasi dalam kehidupan bernegara,
dan mengedepankan legitimacy, accountabil-
ity, authonomy dan devolution of power . Kedua,
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan
yang efektif dan efisien dalam melaksanakan
tujuan nasional dengan orientasi pada
bagaimana pemerintahan mempunyai kom-
petensi serta struktur dan mekanisme politik
dan administrasi berfungsi secara efisien danefektif.
Berkaitan dengan orientasi good gover-
nance, Masdiasmo (2002) orientasi pemba-
ngunan sektor publik adalah untuk mencip-
takan good governance, dimana pengertian
dasarnya adalah kepemerintahan yang baik,
yang berupaya menciptakan penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab sesuai dengan prinsip
demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi,baik secara politik maupun administratif. Good
governance menuntut reformasi peran
aparatur negara agar mampu mendukung
kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan
tugas dan fungsi penyelenggaraan peme-
rintahan dan pembangunan.
Di Indonesia, reformasi sistem pemeri-
ntahan dan pelayanan publik yang ditandai
dengan lahirnya berbagai ketentuan yangberkaitan dengan penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara/daerah berdasarkan
paradigma good governance yakni suatu
sistem pemerintahan yang lebih transparans,
berkeadilan, akuntabel dengan mengedepan-
kan pelayanan publik.
Tujuan reformasi sistem penyelenggaraan
birokrasi pemerintahan dalam rangka pengu-
atan dan pemberdayaan peran serta masya-
rakat dalam berbagai aktivitas pemerintahan,termasuk dalam pengambilan kebijakan
publik. Ide dasar reformasi sistem pemerin-
tahan birokrasi adalah negara sebagi institusi
legal formal dan konstitusional yang bertugas
menyelenggarakan pemerintahan, baik dalam
fungsinya sebagai regulator maupun sebagai
agent of changes. Reformasi sistem pemeri-
ntahan menuntut adanya implementasi yang
sebenarnya dari civil society, yakni sistem
pemerintahan yang memberi ruang gerak
yang luas bagi masyarakat untuk turut serta
berperan dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan negara/daerah dan implementasi dari
sistem pemerintahan yang demokratis yang
menjadi inti dari good governance.
Suatu negara dengan kondisi hetero-
genitas yang tinggi dalam berbagai hal seperti
etnis, budaya, geografis, agama, dan tingkat
perkembangan sosial-ekonomi, merupakan
potensi yang cukup besar sebagai sumber
konflik, dan dapat mengarah pada disintegrasibangsa. Potensi konflik makin besar ketika
pemerintah mengembangkan sentralisasi
sistem pemerintahan, politik dan ekonomi, di
mana pengambilan keputusan dilakukan
secara terpusat (sentralistik) sehingga sering
menimbulkan kekecewaan masyarakat
daerah. Kondisi tersebut makin memperkuat
proposisi bahwa pengembangan masyarakat
madani dengan sistem pemerintahan desen-
tralisti dan demokratis adalah suatu kenis-cayaan. Masyarakat madani memerlukan
bukan hanya untuk mempertahankan
130Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 55/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
kelangsungan kehidupan sosial dan politik
masyarakat yang mandiri dan demokratis,
tetapi juga untuk kelangsungan pemerintahan
itu sendiri.
Dalam konteks sistem pemerintahan dan
sistem politik tersebut, maka pertanyaan yang
perlu dijawab adalah; apa yang harus dilaku-kan untuk mendorong pengembangan masya-
rakat madani di Indonesia?. Format sistem
pemerintahan yang bagaimana yang seha-
rusnya dikembangkan agar mampu memfa-
silitasi pengembangan masyarakat madani?.
Sistem birokrasi seperti apa yang
kondusif bagi pengembangan masyarakat
madani. Pengembangan masyarakat madani
memerlukan ruang publik ( public sphere) di
mana setiap warga negara bisa secara bebasdan mandiri mengemukakan pendapatnya
tentang berbagai masalah kemasyarakatan.
Masyarakat seharusnya memiliki ruang ge-
rak yang memadai untuk memanfaatkan
potensinya dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya, seperti kebebasan menentukan
arah/pilihan politik, perlakuan yang adil
secara hukum, biaya dan pelayanan pendidi-
kan dan kesahatan yang murah, serta kebutu-
han lainnya. Konsep masyarakat madani
bermuara pada tiga syarat pokok dalam peme-
rintahan yaitu: 1) kompetisi yang sesung-
guhnya dan di anrtara individu dan kelompok,
tidak ada unsur paksaan, 2) partisipasi politik
yang melibatkan sebanyak mungkin warga
negara dalam pembuatan kebijakan publik, 3)
kebebasan politik dalam seluruh proses sosial
dan kenegaraan.
C. TRANSPARANSI SEBAGI PILAR
REFORMASI PELAYANAN PUBLIK
Konsep dan penggunaan istilah transpa-
ransi dewasa ini makin populer sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia yang
menuntut agar penyelenggaraan pemerin-
tahan menganut asas keterbukaan dan
transparansi. Pemerintahan yang tidak
mengedepankan keterbukaan dan trans-
paransi saat ini dianggap sebagai bukanlah
sistem pemerintahan baik dan ideal. Trans-paransi dalam penyelenggaraan sistem peme-
rintahan, khususnya pelayanan publik
merupakan salah satu ciri utama good gover-
nance. Karena good governance menayaratkan
adanya transparansi dalam seluruh aspek
yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Trans-
paransi dimulai dari proses perencanaan,
implementasi sampai dengan evaluasi.Informasi yang melatarbelakangi setiap
tindakan pemerintah, seperti bentuk tindakan,
waktu, proses, biaya, dan aktornya harus di
publikasikan kepada masyarakat sebagai
implememtasi dari accountability kepada
publik. Masyarakat diberi akses yang luas
untuk mendapatkan seluruh informasi yang
dibutuhkan terkait dengan penyelenggaraan
sistem pemerintahan. Organisasi pemerin-
tahan tidak boleh menutup akses informasibagi masyarakat yang membutuhkan infor-
masi. Karena melalui keterbukaan informasi
tersebut masyarakat dapat menilai arah,
tujuan, proses, implementasi dan hasil-hasil
yang dicapai organisasi publik dalam menja-
lankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
Melalui keterbukaan informasi masyarakat
dapat melakukan kontrol, menentukan sikap
dan merespons atas penyelenggaraan sistem
pemeritahan dan pelayanan publik. Melalui
keterbukaan informasi, masyarakat dan
seluruh stakeholders dapat mengetahui proses
perencanaan, implementasi kebijakan yang
disusun bersama oleh masyarakat dan
pemerintah.
Masyarakat perlu mengetahui apakah
anggaran yang tersedia telah digunakan
sesuai dengan kinerja yang diharapkan?
Apakah kebijakan yang dibuat telah
dilaksanakan dengan baik?. Hal ini semua
hanya mungkin diketahui jika pemerintahmengembangkan keterbukaan informasi, dan
terjadinya komunikasi dua arah dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerin-
tahan good governace menuntut pemerintah
mendengar suara publik, tidak boleh berpura-
pura tidak mendengar dan tidak mengetahui
suara publik. Bahkan sangat dituntut agar
pemerintah segera memberi respons jika ada
tuntutan dan keinginan masyarakat yang
memang sejalan dengan tujuan dan sasaranpenyelenggaraan pemerintahan dan pela-
yanan publik.
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah131
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 56/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pada negara-negara maju yang mengem-
bangkan sistem pemerintahan demokratis,
pemerintah menjamin adanya akses bagi ma-
syarakat untuk mengetahui informasi
mengenai dinamika kegiatan pemerintahan.
Masyarakat memiliki the right to know ter-
hadap apa pun yang terjadi dalam organisasipemerintahan. Masyarakat dijamin hak-
haknya untuk mengetahui perkembangan
kegiatan yang sedang dan akan berlangsung.
Hal ini semua dimaksudkan agar selain agar
masyarakat dapat mengetahui mengenai akti-
vitas pemerintah, juga agar masyarakat dapat
memberikan masukan kepada pemerintah
jika memang diperlukan. Masyarakat adalah
pengguna hasil kerja pemerintahan, karena
itu masyarakat berkewajiban memberi sarandan masukan kepada pemerintah jika mereka
melihat bahwa ada sesuatu yang tidak sejalan
dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Setiap aparatur birokrasi pemerintahan ber-
kewajiban menjelaskan kepada masyarakat
mengenai aktivitas pemerintahan baik diminta
maupun tidak diminta oleh masyarakat.
Namun dalam banyak hal, keterbukaan
sistem pemerintahan di Indonesia masih be-
lum sepenuhnya menjalankan prinsip-prinsip
keterbukaan informasi pelayanan publik.
Masih terdapat organisasi publik yang hanya
menyampaikan hal-hal yang bersifat umum
seperti kebijakan dan proses penyeleng-
garaan kebijakan operasional yang bersifat
teknis, tetapi kurang terbuka mengenai hal-
hal yang sensitif, seperti informasi keuangan,
baik sumbernya maupun penggunaannya.
Ketertutuan infomasi dan komunikasi publik,
tidak hanya berlaku bagi orang-orang diluar
ogranisasi publik atau masyarakat, tetapi jugasering dilakukan terhadap anggota organisasi
lainnya didalam organisasi tersebut, baik
pejabat pada bidang yang berbeda maupun
stafnya sendiri.
Biasanya yang mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan anggaran suatu proyek
untuk kepentingan publik hanya orang-orang
tertentu, seperti pimpinan beserta staf yang
secara hirarkis bertanggung jawab atas pelak-
sanaan proyek tersebut, sementara rekankerja yang berbeda bidang tugasnya tidak
mendapatkan informasi yang memadai
mengenai hal tersebut walaupun mereka
berada dalam institusi yang sama. Kondisi
seperti ini memperlihatkan betapa rendahnya
kualitas transparansi informasi yang masih
berlangsung pada berbagai organisasi publik.
Sudah menjadi tradisi dan pemandangan
umum diberbagai organisasi publik di Indo-nesia, dimana informasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan penyelengggaraan pelaya-
nan publik, khususnya mengenai hal-hal yang
sensitif seperti anggaran masih sangat sulit
didapatkan. Karena itu, transparansi informasi
pelayanan publik masih merupakan sesuatu
yang menjadi tantangan dalam mewujudkan
penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan
ada kecenderungan bahwa informasi menge-
nai hal-hal yang sensitif tersebut menjadibarang mewah dan langka sehingga tidak
mungkin dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Ketertutupan informasi pelayanan publik
yang demikian itu mengindikasikan bahwa
untuk mewjudkan good governance melalui
transparansi pelayanan publik masih meru-
pakan kendala dan tantangan yang menuntut
kebijakan dan kemauan politik ( political will )
pemerintah yang sungguh-sungguh jika kon-
sisten dan komitmen terhadap penyelengga-
raaan ketatapemerintahan yang baik ( good
governance). Keterbukaan atau transparansi
informasi dan penyelenggaraan pelayanan
publik merupakan tuntutan pokok dalam pe-
nyelenggaraan pemerintahan yang menganut
prinsip good governance, dimana didalamnya
diharuskan adanya keterbukaan informasi
sebagai salah satu persyaratan implementasi
dari akuntabilitas publik.
Transparansi pelayanan publik, tidak
hanya bekaitan dengan kebijakan ( policy ),tetapi juga menyangkut seluruh aspek penye-
lenggaraan pelayanan publik, mulai dari pro-
ses munculnya gagasan, perencanaan, imple-
mentasi, pengendalian, dan evaluasi seharus-
nya dilakukan secara transparan. Dalam
melakukan semua ini seharusnya melibatkan
seluruh stakeholders yakni masyarakat, swasta
dan pemerintah secara bersama-sama memi-
kirkan dan merumuskan seluruh aspek yang
berkaitan dengan ide, gagasan, penyeleng-garaan, dan pengendalian pelayanan publik
yang dilakukan oleh pemerintah.
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah132
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 57/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Dalam realitasnya, masyarakat sering
tidak memiliki akses yang cukup untuk men-
dapatkan informasi yang komprehensif
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
pelayanan publik. Warga masyarakat kurang
memiliki informasi yang komprehensif
mengenai prosedur dan proses pelayanan pu-blik yang seharusnya dilakukan. Bahkan seba-
gian besar masyarakat tidak mengetahui per-
sis apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Masyarakat cenderung lebih banyak
mengetahui kewajiban daripada haknya,
sebab organisasi publik memang lebih menge-
depankan informasi tentang kewajiban
masyarakat atas pelayanan publik yang dibe-
rikan daripada haknya. Sehingga ketika ber-
hadapan dengan organisasi publik (birokrat),masyarakat mengikuti apa saja yang dianjur-
kan–diperintahkan oleh birokrat. Kondisi
pelayanan semacam ini sangat bertentangan
pradigma good governance yang mengutama-
kan keterbukaan atau transparansi baik
mekanisme, biaya, tempat, waktu dan petugas
pelayanan serta kesetaraan antara birokrat
dengan warga masyarakat, maupun keseim-
bangan antara hak dan kewajiban warga
masyarakat dan pemerintah (birokrasi).
Proses dan prosedur pelayanan yang
panjang, berbelit-belit dan rumit tentu saja
menciptakan opportunity cost yang besar,
waktu pengurusan yang panjang dan tenaga
yang melelahkan bagi pengguna layanan
publik. Kondisi seperti ini mendorong
masyarakat mencari cara mudah serta jalan
pintas untuk menyiasati bagaimana cara
menerima pelayanan publik yang cepat, yang
tidak banyak membuang waktu dan energi
walaupun dengan risiko biaya yang lebihtinggi. Praktek semacam ini sangat lazim dan
mudah dijumpai dalam proses penyeleng-
garaan publik pada beberapa instansi
pemerintahan. Bahkan prakrek semacam ini
sudah cenderung dianggap sebagai hal yang
wajar dan menguntungkan semua pihak, baik
penerima maupun pemberi layanan publik.
Praktek semacam ini sejalan dengan temuan
GDS 2002 yang menunjukkan bahwa keba-
nyakan para pengguna jasa pelayanan publik justru merasa lega dan terbantu ketika diminta
membayar pungutan diluar ketentuan yang
berlaku (pungutan liar), yang penting urusan
cepat selesai. Sebagian lagi menganggap
pungutan liar sebagai hal yang wajar dan tidak
berkeberatan membayarnya.
Anggapan yang demikian ini muncul
karena para pengguna jasa layanan publik
sudah terlalu lama dan sering membayarpungli, sehingga perilaku seperti ini sudah
dianggap hal yang biasa dan tidak lagi dinilai
sebagai hal yang menyimpang dan membe-
ratkan. Pengguna jasa ketika ingin berha-
dapan dengan birokrasi publik mereka telah
mengetahuainya dan telah mempersiapkan
diri melakukannya. Sebagian tidak berpikir
apakah perilaku ini sesuai atau tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan bagi
mereka yang mengetahui pun juga melakukanhal yang sama karena mereka telah mema-
hami bahwa sudah jarang sekali mengurus
pelayanan publik yang tidak menggunakan
biaya tambahan diluar ketentuan yang ber-
laku. Namun demikian, jika hal ini dibiarkan
berlangsung tanpa adanya upaya sungguh-
sungguh untuk menjalankan transparansi dan
akuntabilitas dalam pelayanan publik maka
tentu saja sangat sulit untuk mewujudkan
clean and good governance melalui transpa-
ransi pelayanan publik.
Reaksi masyarakat pengguna jasa laya-
nan publik ketika dimintai uang rokok oleh
birokrat adalah: (1) Masyarakat pengguna
jasa layanan publik yang menganggap uang
rokok (pungli) sebagai hal yang wajar tetapi
tidak mau membayar di desa dan dikota rata-
rata 4,7 % . (2) Yang marah dan menolak
membayar rata-rata 13,9 %, (3) Yang merasa
lega karena dengan demikian urusan cepat
selesai rata-rata 15,5%, (4) Yang merasakeberatan tetapi tetap membayar rata-rata
19,9%, (5) Yang menganggap pungli sebagai
hal wajar sehingga rela membayarnya rata-
rata 46,1 %.
Temuan di atas mengindikasikan bahwa
persoalan pungutan liar dalam proses pelaya-
nan publik telah merupakan suatu hal yang
cukup memperihatinkan, dimana pengguna
jasa pelayanan publik jauh lebih besar yang
menganggap pungutan liar dalam pelayananpublik sudah merupakan tradisi yang berla-
ngsung cukup lama dan merambah keseluruh
Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah133
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 58/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
aspek pelayanan publik. Tentu saja hal ini
sangat bertentangan dan jauh dari prinsip-
prinsip good governance yang telah lama di-
praktekkan di negara-negara maju. Dan
perilaku semacam ini pulalah yang menjadi
hambatan utama dalam upaya mewujudkan
good governance di Indonesia.Ketidakseimbangan antara hak dan ke-
wajiban masyarakat dengan birokrasi
mengindikasikan beberapa hal: Pertama ,
kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya
posisi tawar masyarakat dihadapan peme-
rintah. Di sini nampak kekuasaan pemerintah
terlalu kuat dan sebaliknya posisi masyarakat
sangat lemah. Pemerintah dapat mendiktekan
keinginannya dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik. Pemerintah dapat menuntut atau mewajibkan masyarakat melakukan ba-
nyak hal untuk mendapatkan pelayanan dari
birokrasi, namun pada saat yang sama hak-
hak masyarakat kurang mendapat perhatian.
Kondisi seperti ini mermunjukkan masih
berlangsungnya pemerintahan yang bad gov-
ernance.
Kedua, Ketidakseimbangan antara hak dan
kewajiban yang sering ditemukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik menun-
jukkan inkonsistensi birokrasi dalam mewu-
judkan transparansi. Birokrat berdalih bahwa
trasparansi birokrasi telah berlangsung ketika
prosedur pelayanan telah dipajang dipapan
pengumuman atau melalui media massa,
padahal yang diumumkan itu adalah hal-hal
yang berkaitan dengan kewajiban termasuk
sanksi bagi pengguna jasa layanan, yang tidak
mentaati prosedur dan ketentuan dalam
pelayanan publik, sementara yang berkaitan
dengan hak-haknya jarang sekali diumumkan.Demikian juga kewajiban penyelenggara
layanan jarang diumumkan termasuk sanksi
yang diterima jika layanan publik yang
diberikan kepada masyarakat tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Suatu hal
yang perlu dijelaskan bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan publik yang
sessuai dengan pradigma good governance
adalah kharusan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban antara masyarakat pengguna jasa pelayanan dengan birokrasi
penyelenggara pelayanan.
Konsep transparansi sering digunakan
secara tumpang tindih dengan paradigma lain
dalam good governance seperti accountability
dan responsiveness . Konsep transparansi
menunjuk pada suatu keadaan dimana segala
aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan
publik dilaksanakan secara terbuka (bersifat terbuka) dan dapat diketahui dengan mudah
oleh para stakeholders. Dimensi-dimensi
pelayanan publik yang seharusnya dilakukan
secara terbuka seperti persyaratan, biaya,
waktu, tempat, waktu dan personnel (Waluyo,
2005), serta hak dan kewajiban penyeleng-
gara (birokrasi) seluruhnya dipublikasikan
secara terbuka sehingga mudah diakses bagi
mereka yang membutuhkan.
Karena itu, setidaknya ada tiga indikatoryang dapat digunakan untuk mengukur trans-
paransi pelayanan publik. Pertama, tingkat
keterbukaan proses penyelenggaraan pelaya-
nan publik yang mencakup persyaratan,
biaya, waktu yang dibutuhkan dan mekanis-
me yang harus dipenuhi. Hal ini dimaksudkan
agar seluruh stakeholders mengetahui dan
mempersiapkan diri untuk melakukan pelaya-
nan publik. Kedua, seberapa mudah peraturan
pelayanan dipahami oleh masyarakat dan
stakeholders lainnya. Maksud dari “memahami”
bukan hanya dalam artilateral tetapi juga
makna dibalik semua peraturan tersebut.
Diperlukan penjelasan mengenai persyaratan,
biaya, prosedur dan batas waktu setiap jenis
pelayanan publik. Jika semua hal ini diketahui
secara jelas oleh masyarakat, maka diharap-
kan akan terjadinya kepatuhan dalam mela-
kukan pelayanan publik. Publikasi informasi
mengenai berbagai aspek pelayanan publik
tersebut menjadikan masyarakat tidak lagibanyak bertanya mengenai apa yang harus
dilakukan dalam pelaksanaan suatu jenis pela-
yanan publik. Hal ini penting, karena setiap
jenis pelayanan publik memiliki standar
pelayanan tersendiri dalam hal biaya, waktu,
tempat, prosedur serta personnel penyeleng-
garaan pelayanan publik.
Transparansi tidak hanya berkaitan
dengan kelancaran penyelenggaraan pela-
yanan publik, tetapi juga berkaitan dengankepercayaan, dan menghilangkan kecurigaan
yang memang sudah lama mendera birokrasi
134Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 59/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
di Indonesia. Dewasa ini telah terjadi kecu-
rigaan dalam berbagai aspek kehidupan dan
aktivitas pelayanan publik, terutama pela-
yanan publik yang dilaksanakan oleh biro-
krasi pemerintahan. Kecurigaan ini berawal
dari berbagai pengalaman masyarakat ketika
berhubungan dengan birokrasi publik, baik masa lalu maupun saat ini. Sehingga tidak
mengherankan jika masyarakat memper-
tanyakan setiap kebijakan yang berkaitan
dengan pelayanan publik, terutama masalah
biaya yang sebenarnya diperlukan untuk
suatu jenis pelayanan publik. Ketiga, kemu-
dahan memperoleh informasi yang benar
mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
Sering terjadi, dimana informasi diterimaoleh masyarakat berbeda dengan kebijakan
yang sebenarnya. Lain yang diputuskan lain
pula yang disampaikan. Untuk menghindari
hal-hal yang demikian atau miskomunikasi,
maka diperlukan informasi yang benar-benar
valid sehingga masyarakat menaruh keperca-
yaan kepada birokrasi pemerintahan. Agak
sulit mempercayai suatu informasi jika
komunikatornya tidak dipercaya. Karena itu,
komunikator yang baik adalah mereka yang
mampu menyampaikan apa yang sebenarnya
menjadi keputusan organisasi.
D. PENUTUP
Ketatapemerintahan yang baik ( good gov-
ernance) merupakan suatu peadaban baru
yang menjadi paradigma sistem pemerin-
tahan yang mengedepankan pelayanan publik
yang berkualitas, dimana didalamnya biro-
krasi dituntut tidak saja berperan sebagaiadministrator, komunikator (katalik), tetapi
juga sebagai pelayan publik yang diharpkan
mampu menciptakan pelayanan yang berori-
entasi pada customer satisfaction yakni
birokrasi yang mampu memberikan pelaya-
nan publik yang memuaskan bagi masya-
rakat. Salah satu dimensi pelayanan publik
yang berkualitas yang menjadi tanggung
jawab birokrasi adalah transparansi dalam
berbagai aspek pelayanan publik.Pelayanan publik yang berkualitas meru-
pakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
135Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
yang tidak dapat diabaikan oleh organisasi
pemerintahan. Hal ini menjadi penting
dipahami, karena masih ada birokrat yang
masih belum sungguh-sungguh mengutama-
kan pelayanan publik tersebut dalam menja-
lankan fungsi pemerintahan. Pelayanan publik
yang berkualitas harus memenuhi syarat seperti tangibility, reliable, responsiveness, as-
surance, dan empathy . Jadi pelayanan publik
yang dikehendaki dalam good governnce
adalah pelayanan publik yang memiliki standar
tertentu, bukan pelayanan publik seperti
masa lalu yakni pelayanan publik yang lamban,
biaya tinggi, berbelit-belit, waktu yang lama
serta ditandai dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
DAFTAR PUSTAKA
Colebatch, H.K, 2009, “Governance As A Con-
ceptual Development In The Analysis
Of Policy” Critical Policy Studies, Vol. 3,
No. 1, April 2009, (pp 58–67)
Denhart, Janet V and Robert B. Denhard,
2003. New Public Service: Serving Not
Steering. London : M.E. Sharpe.
Dwiyanto, Agus .2002. Reformasi Birokrasi
Publik Indonesia. Yogyakarta : PSKK
UGM
Frederickson, H. George, 1984. Administrasi
Negara Baru (New Publivc Adminis-
tration), diterjemahkan oleh Al Ghoze,
Jakarta : LP3ES.
Hutter, Bridget M and Jones, Clive J, 2007,“From Government To Governance:
External Influences On Business Risk
Management” Regulation & Gover-
nance (2007) 1, (pp 27–45)
Keban. Y.T. 2008. Enam Dimensi Stratetgis
Administrasi Publik. Yogyakarta: Gava
Media.
Kettl. D.F. 2002. The Transformation of Gover-nance. Baltimore and London : The
John Hopkins University Press.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 60/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
*********
Kristiadi, J.B., 1998. Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dalam Usaha
Meningkatkan Pelayanan Publik pada
Abad XXI, Bandung, FISIP-UNPAD.
Kumorotomo, Wahyudi, 1994. Etika Admi-
nistrasi Negara. Jakarta : PT. GrafindoPersada.
Osborne, David and Ted Gaebler, 1996. Rein-
venting Government (Mewirausahakan
Birokrasi), Jakarta : PPM.
Osborne David And Peter Plastrik, 2000.
Memangkas Birokrasi. Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha,
Jakarta : PPM.
136Reformasi Pelayanan Publik
Sebagai Strategi Mewujudkan Good Governance - Muhammadiah
Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan
Manajemen Publik. Tangerang :
Pustaka Arif
Sarundajang. 2005. Babak Baru Sistem Peme-
rintahan Daerah. Jakarta : Kata Hasta
Pustaka
Waluyo. 2007. Manajemen Publik; Konsep,
Aplikasi dan Implementasinya Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta :
Mandar Maju.
Zeithaml, V.A. Parasuraman dan L.L.Berry.
1990. Delivering Quality Services Balanc-
ing Customer Perception and Expecta-
tion, New York : The Free Press
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 61/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
Measuring the quality of public services in the Building Permit in the one-stop services office of Bone
Regency, using indicators of the ability of the apparatus, system services and influential factor in the
service of Building permit. The data was collected through interviews, observation and documentation, as
a way to know the description of the organizational structure, education and training, ability to work
completion on schedule, the convenience in obtaining services, clarity of information, security and protection
services to consumers in the Office of One-Stop Services (KPTSA) of Bone Regency. The factors that affect
the public service of Building Permit (IMB), among others; timeliness, ease of filing, the accuracy of
service, the cost of service. Factor is a barometer of the consumer or the use of the service, so whether or
not the services provided by the government back to the things mentioned above. In the public service
should further develop the quality of human resources and democratization, leadership model must shift
from power to the approach of expertise (from macho to maestro) and democratic in spirit, close to the
subordinates and apply humanistic model of bureaucracy is putting a human in its proportions.
Keywords: Quality, One-Stop Services, Local Government
ABSTRAK
Mengukur kualitas pelayanan publik dalam Izin Bangunan di kantor pelayanan satu atap Kabupaten Bone,
dengan menggunakan indikator kemampuan aparatur, sistem layanan dan faktor yang berpengaruh dalampelayanan Membangun izin. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, sebagai
cara untuk mengetahui gambaran struktur organisasi, pendidikan dan pelatihan, kemampuan untuk bekerja
selesai sesuai jadwal, kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, kejelasan layanan informasi, keamanan
dan perlindungan kepada konsumen di Kantor Pelayanan Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pelayanan publik Izin Mendirikan Bangunan (IMB), antara lain; ketepatan
waktu, kemudahan pengajuan, akurasi pelayanan, biaya pelayanan. Faktor adalah barometer konsumen
atau penggunaan layanan, sehingga apakah layanan yang diberikan oleh pemerintah kembali ke hal-hal
tersebut di atas. Dalam layanan publik lebih lanjut harus mengembangkan kualitas sumber daya manusia
dan demokratisasi, model kepemimpinan harus bergeser dari kekuasaan ke pendekatan keahlian (dari
macho untuk maestro) dan berjiwa demokratis, dekat dengan bawahan dan menerapkan model birokrasi
humanistik adalah meletakkan manusia dalam proporsinya.
Kata kunci: Kualitas, Pelayanan Satu Atap, Pemerintah Daerah
137Keywords: quality, one-stop services, local government
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
PEMERINTAH DAERAH
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA
Kabupaten Bone)
Rabina YunusFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Universitas Hasanuddin
Jl. P. Kemerdekaan Km. 10 Tamalarea Makassar, Kampus Unhas Tamalanrea Makassar,
Telp. (0411) 585024, 586200 (ext. 2211, 2100)
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 62/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
138Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan merupakan tugas utama yang
hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi nega-
ra dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas
digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelaya-nan pokok aparatur terhadap masyarakat,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memaju-
kan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan melaksanakan keterti-
ban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu komitmen dalam pembentukan
pemerintahan adalah kerelaan warga negara
untuk taat kepada aturan-aturan hukum, kese-diaan untuk mendukung setiap kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan peme-
rintah berkewajiban memberikan perlindu-
ngan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaan komitmen itu kemudian
timbul suatu jalinan hubungan yaitu hubu-
ngan pemerintahan. Hubungan ini terjadi
antara Pemerintah dan yang diperintah atau
masyarakat bahwa masing-masing pihak
mempunyai posisi dan peran tertentu. Peme-
rintah berperan sebagai penyedia pelayanan
kebutuhan bagi masyarakat, sedangkan
masyarakat berperan sebagai penerima
pelayanan dari pemerintah.
Tugas pemerintah pada hakekatnya
adalah mengatur dan melayani masyarakat
dengan sebaik-baiknya. Komitmen ini hanya
bisa dipegang kalau rakyat merasa bahwa
pemerintahan yang berjalan masih mengarah
pada upaya untuk melindungi dan melayani
masyarakat. Tugas pelayanan umum ( publicservice) kepada masyarakat lebih menekankan
kepada mendahulukan kepentingan masyara-
kat, mempermudah urusan masyarakat, mem-
persingkat waktu proses pelaksanaan urusan
masyarakat dan memberikan kepuasan
kepada masyarakat.
Lahirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik merupakan tantangan ter-
sendiri dalam peningkatan kualitas pelayanan
publik, terutama bagi organisasi pemerintahdaerah dalam meningkatkan kepuasan ma-
syarakat sebagai pelanggan layanan publik.
Salah satu jenis pelayanan publik yang
diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bone
yang banyak mendapat keluhan dari masya-
rakat adalah pelayanan bidang IMB (Izin
Mendirikan Bangunan).
Mengingat pentingnya kebutuhan akan
fasilitas perumahan yang menjadi salah satukebutuhan pokok dari masyarakat, dimana
untuk membangun fasilitas perumahan terse-
but dibutuhkan adanya suatu izin pendirian.
Namun dalam proses mendapatkan IMB terse-
but, masyarakat sering mengeluhkan pelaya-
nan IMB oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu
Atap (KPTSA), diantaranya adalah masih ada-
nya penyimpangan baik dari segi prosedur,
biaya maupun waktu penyelesaiannya. Ber-
bagai keluhan masyarakat terhadap pelayananIMB yang diberikan oleh Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap secara implisit menunjuk-
kan bahwa kualitas pelayanan publik khusus-
nya bidang IMB tersebut masih rendah.
Pemerintah sebagai pemegang otoritas
urusan pelayanan publik tampaknya lupa diri
yang kemudian melakukan berbagai penyim-
pangan. Masyarakat sebagai pihak yang
harus mendapatkan pelayanan dari peme-
rintah, yang secara langsung dapat merasakan
manfaatnya sekaligus yang menanggung
konsekuensi buruk dari pelayanan, karena itu
diperlukan sikap proaktif masyarakat dalam
melakukan pengawasan masyarakat terhadap
aktivitas pemerintah dalam memberikan pela-
yanan kepada masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskansebagai berikut :
1) Bagaimana kualitas pelayanan publik
bidang IMB pada Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap (KPTSA) Di Kabu-
paten Bone?
2) Bagaimana sistem pelayanan IMB pada
Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
(KPTSA) Di Kabupaten Bone?
3) Faktor-faktor apakah yang mempenga-
ruhi kualitas pelayanan publik bidangIMB pada Kantor Pelayanan Terpadu
Satu Atap (KPTSA) Di Kab. Bone?.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 63/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini dapat dirumuskan
yaitu :
1. Menganalisis aspek yang menentukan
kualitas pelayanan publik bidang IMB
di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap(KPTSA) Di Kabupaten Bone dilihat
dari aspek struktur organisasi, kemam-
puan aparat, dan sistem pelayanan.
2. Menganalisis sistem pelayanan IMB
pada Kantor Pelayanan Terpadu Satu
Atap (KPTSA) Di Kabupaten Bone.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas pelayanan
bidang IMB di Kantor Pelayanan Ter-
padu Satu Atap (KPTSA) Di KabupatenBone seperti Ketepatan waktu, kemu-
dahan dalam pengajuan, akurasi pela-
yanan bebas dari kesalahan dan biaya
pelayanan.
D. KONSEP PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian pelayanan (melayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan
terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekat-
nya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia
tidaklah diadakan untuk melayani dirinya
sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat
serta menciptakan kondisi yang memungkin-
kan setiap anggota masyarakat mengembang-
kan kemampuan dan kreativitasnya demi
mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998).Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan
pelayanan baik dan profesional.
Pelayanan publik ( public services) oleh
birokrasi publik tadi adalah merupakan salah
satu perwujudan dari fungsi aparatur negara
sebagai abdi masyarakat di samping sebagai
abdi negara. Pelayanan publik ( public ser-
vices) oleh birokrasi publik dimaksudkan
untuk mensejahterakan masyarakat (warganegara) dari suatu negara kesejahteraan (wel-
fare state).
Pelayanan umum oleh Lembaga Adminis-
trasi Negara (1998) diartikan sebagai segala
bentuk kegiatan pelayanan umum yang dila-
ksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat,
di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau
jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan ma-syarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ukuran/standar pelayanan publik yang
profesional, yang artinya pelayanan publik di-
cirikan oleh adanya akuntabilitas dan respon-
sibilitas dari pemberi pelayanan (aparatur
pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut :
1. Efektif, lebih mengutamakan pada pen-
capaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran;2. Sederhana, mengandung arti prosedur/
tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-
belit, mudah dipahami dan mudah dilak-
sanakan oleh masyarakat yang meminta
pelayanan;
3. Kejelasan dan kepastian (transparan),
mengandung akan arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai :
a. Prosedur/tata cara pelayanan;
b. Persyaratan pelayanan, baik persyara-
tan teknis maupun persyaratan admin-
istratif;
c. Unit kerja dan atau pejabat yang ber-
wenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan;
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata
cara pembayarannya;
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/peja-
bat penanggungjawab pemberi pelaya-
nan, waktu penyelesaian, rincian waktu/
tarif serta hal-hal lain yang berkaitan de-
ngan proses pelayanan wajib diinforma-
sikan secara terbuka agar mudah diketa-
hui dan dipahami oleh masyarakat, baik
diminta maupun tidak diminta;
5. Efisiensi, mengandung arti :a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal berkaitan langsung dengan
Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus139
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 64/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keter-paduan
antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan;
b. Dicegah adanya pengulangan pemenu-
han persyaratan, dalam hal proses pe-
layanan masyarakat yang bersangku-tan mempersyaratkan adanya keleng-
kapan persyaratan dari satuan kerja/
instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung
arti pelaksanaan pelayanan masyarakat
dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan;
7. Responsif, lebih mengarah pada dayatanggap dan cepat menanggapi apa yang
menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi
masyarakat yang dilayani;
8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap
apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani yang
senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemu-
kakan bahwa pelayanan umum adalah menda-
hulukan kepentingan umum, mempermudah
urusan publik, mempersingkat waktu pelak-
sanaan urusan publik dan memberikan kepu-
asan kepada publik (publik umum). Senada
dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan
bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan landasan faktor material melalui
sistem, prosedur dan metode tertentu dalam
usaha memenuhi kepentingan orang lainsesuai dengan haknya. Dalam versi pemerin-
tah, definisi pelayanan publik dikemukakan
dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelaya-
nan Publik yaitu segala bentuk pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah di
pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk ba-
rang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupundalam rangka pelaksanaan ketentuan pera-
turan perundang-undangan.
Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus140
Berdasarkan uraian diatas, dapat disim-
pulkan bahwa dalam menentukan kualitas
pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh
faktor struktur organisasi, kemampuan apa-
rat dan sistem pelayanan. Ketiga faktor ini
saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan dalam ikut menentukan tinggirendahnya dan baik buruknya suatu pela-
yanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Kualitas pelayanan publik mempunyai
indikator ketepatan waktu, kemudahan dalam
pengajuan, akurasi pelayanan yang bebas dari
kesalahan dan biaya pelayanan. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh faktor struktur
organisasi, kemampuan aparat dan sistem
pelayanan. Semakin baik faktor struktur orga-
nisasi, kemampuan aparat dan sistem pela-yanan maka kualitas pelayanan publik akan
semakin baik pula dan semakin dapat memu-
askan masyarakat sebagai pengguna hasil
pelayanan, dengan demikian. Sehingga kualitas
pelayanan publik yang berkualitas dapat ter-
capai, akan hal tersebut kami paparkan dalam
bentuk kerangka pikir peneltian berikut ini ;
E. METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode pende-
katan kualitatif dengan tujuan menggambar-
kan penyusunan program secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan jenis penelitian
asosiatif yang berupaya menafsirkan data
Kerangka Pikir Penelitian
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 65/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
141Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
3) Keputusan Bupati Bone (Nomor 15
Tahun 2008) Tentang Penunjukkan
Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
di Kabupaten Bone Sebagai Tempat
Pelayanan Permohonan Izin Mendiri-
kan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan
Bangunan (IPB) dan Izin PerpanjanganPenggunaan Bangunan (IPPB) Khusus
Rumah Tinggal.
Permohonan surat Izin Mendirikan Ba-
ngunan (IMB) dapat dilakukan oleh perora-
ngan, kelompok, badan hukum atau instansi
pemerintah maupun swasta. Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) diperlukan semata-mata
bertujuan agar adanya tertib bangunan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi sistempelayanan publik, khususnya dalam pelayanan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada kantor
pelayanan terpadu satu atap yakni (a), struk-
tur organisasi, (b), kemampuan aparat (c), sis-
tem pelayanan. Keinginan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik merupakan idaman
dari masyarakat, keinginan tersebut berang-
kat dari suatu asumsi dasar tentang pembentu-
kan pemerintahan itu sendiri, yaitu untuk
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat-
nya melalui pelayanan yang diberikan, bahwa
hal ini hanya dapat diwujudkan jika pengelo-
laan pemerintahan dilakukan oleh organisasi
pemerintahan yang benar-benar konsisten
terhadap masyarakat dan bangsanya.
1. Kemampuan Aparat
Pembahasan mengenai kemampuan
aparat ini, akan diawali dari konsep bahwa
kemampuan aparat dalam penelitian ini
adalah suatu keadaan yang menunjukkanpengetahuan, kemampuan dan kemauan
dari aparat untuk melaksanakan tugas da-
lam rangka memperlancar tujuan organi-
sasi. Kemampuan sumber daya manusia
(aparat) pada suatu lembaga sangat menen-
tukan perkembangan lembaga tersebut.
Kemampuan aparat secara formal dapat
dilihat dari tingkat pendidikannya, kemam-
puan penyelesaian pekerjaan sesuai jadwal,
namun dalam proses pelaksanaan pelaya-nan sesuai tugas pokok dan fungsinya
diatur dalam struktur organisasi.
yang berkenaan dengan fakta, keadaan, varia-
bel dan fenomena yang terjadi saat penelitian
berlangsung.
Pemilihan informan dilakukan secara pur-
posive, artinya teknik penentuan informan
dipilih secara sengaja dengan pertimbangan
bahwa informan tersebut dianggap mampumemberikan informasi atau data yang relevan
dengan permasalahan penelitian. Informan
penelitian ini adalah pegawai pada kantor
pelayanan satu atap. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara pengamatan secara
intensif (observation), wawancara yang
dilakukan secara mendalam (in depth inter-
view ) dan teknik dokumentasi serta telaah
kepustakaan.
F. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pelayanan publik yang diberikan oleh apa-
rat pemerintah dalam suatu birokrasi peme-
rintahan sudah menjadi rahasia umum bahwa
kualitasnya rendah. Namun hal ini tidak men-
jadikan alasan utama untuk tetap pesimistik
atas perubahan yang mungkin terjadi dalam
paradigma pelayanan yang selama ini menem-
patkan aparat dengan birokrasinya pada
posisi yang harus dilayani, tetapi harus beru-
bah kepada paradigma yang menempatkan
pengguna jasa (konsumen) pada posisi yang
lebih tinggi. Pelaksanaan pelayanan publik
khususnya pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di Kabupaten Bone.
Pemerintah Kabupaten Bone telah
melimpahkan kewenangan tersebut kepada
Pemerintah Kantor Pelayanan Terpadu Satu
Atap di Kabupaten Bone. Adapun peraturanyang mendasari pelaksanaan kewenangan
pelayanan IMB di Kantor Pelayanan Terpadu
Satu Atap di Kabupaten Bone adalah sebagai
berikut :
1) Undang-undang Republik Indonesia
(Nomor 28Tahun 2002) Tentang
Bangunan Gedung.
2) Peraturan Pemerintah Republik Indo-
nesia (Nomor 45 Tahun 1998) Ten-
tang Perubahan Atas Peraturan Peme-rintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang
retribusi Daerah.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 66/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
2. Struktur Organisasi
Dalam hal restrukturisasi dan reorgani-
sasi Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
(KPTSA) Kabupaten Bone telah lama
muncul ide untuk dilakukan, seperti yang
terungkap dari hasil wawancara yang
dikemukakan Bapak AS sebagai berikut :
“Baiknya untuk Kantor Pelayanan Terpadu
Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone biar
tetap eksis dibuat struktur organisasi
sendiri, sehingga adanya eselon bagi Kepala
Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
(KPTSA) Kabupaten Bone nantinya. Jadi
semua kegiatan pelayanan terpusat di satu
tempat, dan instansi yang terkait menem-
patkan personilnya di Kantor PelayananTerpadu Satu Atap (KPTSA) itu. Ini tentu
akan lebih efisien dan efektif “
(Wawancara, 7 Mei 2011).
Berdasarkan dari apa yang dikemukakan
oleh salah seorang informan maka dapat
dianalisa bahwa dengan keberadaan
Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
(KPTSA) Kabupaten Bone dalam hal
struktur organisasi dari segi tingkat pem-
bagian tugas pokok dan fungsi sudah
terlihat adanya pembagian tugas pokok
dan fungsi yang jelas. Karena dalam pelak-
sanaan sehari-hari petugas yang bertugas
di Kantor Pelayanan Terpadu Satu Atap
(KPTSA) Kabupaten Bone hanya berju-
mlah 10 (sepuluh) orang, yang terdiri
dari : 1 orang petugas Tata Usaha (TU); 8
orang petugas loket pelayanan; 1 orang
petugas bagian umum pengamatan penu-
lis bahwa dari 10 (sepuluh) orang yangbertugas ini, kelemahan yang terlihat ada-
lah hanya beberapa petugas yang bersta-
tus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS),
sedangkan yang lainnya pegawai yang
berstatus Rollsstaads atau yang lebih dike-
nal dengan pegawai honorer.
3. Sistem Pelayanan.
Tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam
pelaksanaan pelayanan publik, khususnyapada izin mendirikan bangunan (IMB)
terlaksana dengan baik, demikian pula
dengan pelaksanaan tugas antar instansi
juga terlaksana dengan baik, walaupun de-
ngan waktu yang kurang efisien dikare-
nakan setiap urusan pelayanan baru akan
diproses setelah terku-mpul beberapa
formulir pengajuan dan baru dibawa ke
instansi terkait. Hal ini diungkapkan olehBapak YA sebagai berikut:
“Pengurusan IMB dilakukan bilamana,
kalau yang mengurus IMB dalam satu hari
sudah terkumpul banyak baru dibawa ke
Bagian perizinan untuk diproses. Sedang-
kan kalau masih sedikit menunggu dulu
yang mengurus besoknya baru diproses” .
(Wawancara 15 Mei, 2011).
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa
dalam hal pelayanan publik yang dilakukan
pada Kantor pelayanan terpadu satu atap,
nampak terjadi sistem pelayanan berdasar-
kan tingkat hubungan antara atasan dan
bawahan, disisi lain masih terlihat adanya
budaya bugis yang sangat mempengaruhi
dalam hubungan bapak dengan anak. Hal
ini disebut budaya paternalisme yang
memandang atasan sebagai pihak yang
harus dihormati oleh bawahannya, selain
itu bawahan hanya dipandang sebagai
alat untuk menjalankan perintah atasannya,
sehingga ada kecenderungan bahwa
aparat birokrasi yang telah menjadi pim-
pinan mempertahankan kedudukannya
karena dirasakan mampu memberikan
keuntungan finansial dan sosial.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
kemampuan aparat yang semakin tinggidan semakin baik maka akan berpenga-
ruh terhadap kualitas pelayanan yaitu
akan semakin baik.Tetapi dalam kasus di
Kabupaten Bone ini dalam hal kemam-
puan aparat, indikator pendidikan aparat
ternyata tidak sesuai dengan konsep yang
ada. Dimana dalam konsep yang ada
semakin tinggi pendidikan aparat maka
kemampuannnya semakin baik, tetapi
kasus di Kabupaten Bone tingkat pendi-dikan aparat tidak membawa pengaruh
yang significant terhadap kemampuan
142Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 67/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
aparat dalam hal kualitas pelayanan.
Indikator lain dalam variabel kemampuan
aparat adalah kemampuan penyelesaian
pekerjaan sesuai jadwal, dengan maksud
bahwa prosedur yang dilakukan oleh pe-
ngguna jasa tidak memerlukan waktu
yang ditunda-tunda dalam melaksanakanpelayanan terhadap masyarakat. Perma-
salahan kemampuan aparat dalam mela-
kukan kerja sama di Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten
Bone, terlihat masih menjadi kendala
demikian pula halnya kerja sama antara
atasan dan bawahan kurang tercipta
dengan baik, bawahan hanya meminta
petunjuk atasan kalau merasa bingung
dalam memutuskan sesuatu kebijakanyang akan dilakukan, hal ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh Bapak RA sebagai
berikut:
“Sebagai pegawai apabila ada pekerjaan
yang tidak pas, maka harus minta petunjuk
atasan soalnya sebagai bawahan harus
loyal. Loyalitas itu wajar-wajar saja, supaya
setiap tindakan yang kita ambil itu benar.
Jadi, kebijakan tetap ada di tangan atasan”
(Wawancara 15 Mei, 2010).
Sebagai institusi yang bertugas melayani
publik dalam hal ini masyarakat, Kantor
Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA)
Kabupaten Bone yang diwakili oleh Kepala
Kantor secara periodik memberikan per-
tanggungjawaban kepada bapak Bupati
Bone. Hal-hal yang dilaporkan adalah
mengenai laporan keuangan hasil pema-
sukan dari Kantor Pelayanan TerpaduSatu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone. Hal
Ini penting sekali karena laporan keua-
ngan tersebut akan dipertanggungja-
wabkan kepada masyarakat dalam ben-
tuk pembangunan melalui Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
4. Kenyamanan dalam memperoleh
pelayanan
Kenyataan yang ada di Kantor PelayananTerpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten
Bone menunjukkan bahwa faktor kenya-
manan bagi masyarakat kurang diperha-
tikan. Hal ini terlihat dari kondisi ruang
pelayanan yang tidak memperhatikan
faktor kenyamanan berdasarkan stándar.
5. Kejelasan informasi
Selain hal tersebut diatas, dalam men-dukung sistem pelayanan, pihak Kantor
Pelayanan Terpadu Satu Atap (KPTSA)
Kabupaten Bone juga memberikan keje-
lasan informasi tentang pelayanan yang
diberikan berkaitan dengan pelayanan
publik yang diberikan. Hal tersebut dila-
kukan sebagai upaya dalam rangka men-
jalin hubungan dengan masyarakat seba-
gai pihak yang harus dilayani dengan baik.
Apabila ada keluhan dari masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik,
masyarakat dapat mengadukan keluhan
tersebut melalui media massa Radar Bone
(milik Pemda Kabupaten Bone) atau
melalui radio Suwara Daya Indah. Berkai-
tan dengan perlindungan terhadap dam-
pak hasil pelayanan, Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten
Bone seperti yang telah dijelaskan sebe-
lumnya bahwa pihak Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten
Bone menjamin dan memberikan perlin-
dungan terhadap konsumen apabila ada
kesalahan.
G. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KUALITAS
PELAYANAN
Salah satu indikator dalam memperoleh
kualitas pelayanan publik yang baik maka yangperlu untuk diperhatikan adalah ketepatan
waktu pelayanan yang berkaitan dengan wak-
tu tunggu dan proses. Semakin cepat dan tepat
waktu dalam proses pelayanan, maka akan
membuat pengguna jasa semakin puas, selain
itu kemudahan dalam pengajuan permohonan
dan kelengkapan administrasi yang menyang-
kut prosedur atau tata cara, tidak berbelit-belit,
mudah dipahami dan dilaksanakan.
Sementara itu, indikator berikutnya aku-rasi pelayanan yang berkaitan dengan apakah
pelayanan tersebut bebas dari kesalahan,
143Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 68/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
menunjukkan dalam setiap permohonan
pelayanan masih diketemukan kesalahan-
kesalahan yang berkaitan dengan hal-hal
teknis, misalnya kesalahan dalam proses
mencetak dokumen. Hal ini patut sebenarnya
masih dapat dianggap wajar, tetapi sebagai
konsumen yang ingin mendapat pelayananyang terbaik seharusnya setiap kesalahan
hendaknya dapat dikurangi bahkan tidak
terdapat kesalahan sedikitpun.
Indikator terakhir dalam menentukan kua-
litas pelayanan publik di Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten Bone
yang dilakukan dalam penelitian ini meru-
pakan indikator besarnya biaya pelayanan,
faktor biaya pelayanan dianggap penting
karena faktor ini paling rawan dan krusialsekali di mata banyak pihak. Penetapan
besarnya biaya pelayanan telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bone,
karena sangat membantu dalam memperoleh
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
H. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kualitas pelayanan publik di Kantor Pela-
yanan Terpadu Satu Atap (KPTSA) Kabupaten
Bone dapat dikatakan masih rendah, hal ini
disebabkan antara lain; Masih tidak konsis-
tennya antara waktu tunggu dengan waktu
penyelesaian dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat sebagai konsumen.,
Belum adanya sistem yang terkomputerisasi
dan terintegrasi online dengan instansi terkait.
Pelayanan kepada masyarakat dilayani dengan
tanggap dan cepat, namun daya inisiatif dan
kreativitas masih kurang, terlalu prosedural.
2. Saran
Perlunya peningkatan kualitas pelayanan
publik terhadap pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) maka di harapkan pendidi-
kan dan pelatihan lebih ditingkatkan, demikian
pula dengan ketepatan waktu melayani sehing-
ga disarankan untuk melaksanakan pelayanan
dengan sistem on line terhadap berbagai uru-
san pelayanan publik pada Kantor PelayananTerpadu Satu Atap kabupaten Bone. Dilihat
dari kemampuan aparat, harus melaksanakan
prinsip ‘The right man in the right place’ maka
dalam pendelegasian tugas dan wewenang
serta pemberian kesempatan kepada pegawai
untuk memegang tanggung jawab perorangan
harus jauh dari pola pendekatan hubungan
pribadi, tetapi lebih ditekankan pada objek-
tifitas kualitas keahlian dan kecakapanindividu penerima wewenang.
DAFTAR PUSTAKA
Linquist, Evert, 2006 , “Organizing for Policy
Implementation: The Emergence and
Role of Implementation Units in Policy
Design and Oversight” Journal of Com-
parative Policy Analysis, Vol. 8, No. 4,
December 2006 (pp.311–324) http://www.tandfonline.com/page/terms-
andconditions, diakses (09 Agustus
2011)
Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan
Umum di Indonesia, Bumi Aksara,
Jakarta.
Osborne, David dan P. Plastrik, 1997, Banishing
Bureaucracy : The Five Strategies for
Reinventing Government , New York,
Addison–Wesley.
Supranto, 2001, Pengukuran Tingkat Kepuasan:
Untuk Menaikkan Pangsa Pasar , Rineka
Cipta, Jakarta.
Tobirin, 2008, “Penerapan Etika Moralitas
Dan Budaya Malu Dalam Mewujudkan
Kinerja PNS Yang Profesional” Civil
Service: Jurnal Kebijakan & ManajemenPNS, Vol.II No. 2 (2008) (Hal. 53-79)
Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah
dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, Insan Cendekia,
Surabaya.
Zeithaml, Valarie A., (et.al), 1990, Delivering Quali-
ty Services: Balancing Customer Percep-tions and Expectations, The Free Press,
A Division of Macmillan Inc., New York.
144Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 69/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
DOKUMEN PUBLIK
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
Peraturan Bupati Bone N0. 74 tahun 2008
Tentang Rincian tugas, fungsi dan tata kerjakepala unit, sekertaris, kepala bagian tata usaha,
kepala bidang dan sub bagian pada unit pe-
layanan terpadu perizinan Kabupaten Bone.
145Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
(Kasus Pelayanan IMB pada KPTSA Kabupaten Bone) - Rabina Yunus
Peraturan Daerah Kabupaten Bone N0. 25 Ta-
hun 2009 Tentang Izin Mendirikan Bangunan
Keputusan Bupati Bone (Nomor 15 Tahun
2008) Tentang Penunjukkan Kantor Pelayanan
Terpadu Satu Atap di Kabupaten Bone Sebagai
Tempat Papelayanan Permohonan Izin Mendi-rikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Ba-
ngunan (IPB) dan Izin Perpanjangan Pengguna-
an Bangunan (IPPB) Khusus Rumah Tinggal.
*********
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 70/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
ABSTRACT
The government will continue to strive to make efforts to reform the bureaucracy, as an integral
part of improving government management and enhance the dignity of the government in the eyes of
the international community and the world. However, increasingly based on that, the reform is not
easy, because he did not take place in a vacuum chamber. Bureaucratic reforms face cultural constraints,
structural and even mental constraints of bureaucracy, in addition to technical constraints. The problems
are now required is a renewed commitment of the leaders or officials at central and local levels to
continue to push reforms through e-government bureaucracy. Important conclusions can be drawn
from this study is that e-government is implemented seriously and consistently will greatly support the
transparency of public services. What also must be understood by government officials is that the use
of e-government still requires consistent monitoring systems. In addition to extensive knowledge of
information technology, e-government must also be supported by good integrity among policy makers
and pelaksannya. Teknoogi information does make many things easier and more efficient.
Keywords: Bureaucracy, E-Government, Information Technology
ABSTRAK
Pemerintah akan terus berusaha melakukan upaya untuk mereformasi birokrasi, sebagai bagianintegral untuk meningkatkan manajemen pemerintahan dan meningkatkan martabat pemerintah di mata
masyarakat internasional dan dunia. Namun, semakin berdasarkan itu, reformasi tidak mudah, karena ia
tidak terjadi dalam ruang vakum. Reformasi birokrasi menghadapi kendala budaya, hambatan struktural
dan bahkan mental birokrasi, di samping kendala teknis. Masalah sekarang yang dibutuhkan adalah
komitmen baru dari para pemimpin atau pejabat di tingkat pusat dan daerah untuk terus mendorong
reformasi melalui e-government birokrasi. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari penelitian ini
adalah bahwa e-government dilaksanakan dengan serius dan konsisten akan sangat mendukung
transparansi pelayanan publik. Yang juga harus dipahami oleh pejabat pemerintah adalah bahwa
penggunaan e-government masih memerlukan sistem monitoring rutin. Selain pengetahuan luas tentang
teknologi informasi, e-government juga harus didukung oleh integritas yang baik di antara pembuat
kebijakan dan pelaksannya. Informasi teknoogi tidak membuat banyak hal lebih mudah dan lebih efisien.
Kata kunci: Birokrasi, E-Government, Teknologi Informasi
146
REFORMASI BIROKRASI MELALUI E-GOVERNANCE :
PELUANG ATAU TANTANGANDALAM PELAYANAN PUBLIK ?
Zainuddin MustapaFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Timur
Jl. Rappocini Raya No.171-173 Makassar
Telp.(0411) 421974, Fax (0411) 852111
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 71/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa147
A. PENDAHULUAN
Dukungan pemerintah terhadap perkem-
bangan e-government di Indonesia mulai tam-
pak pada periode awal tahun 1990-an, mes-
kipun lembaga-lembaga yang berkompeten
bagi pengembangan sistem informasi dalamorganisasi publik sebenarnya sudah ada pada
beberapa dasawarsa sebelumnya. Terkait
dengan pengembangan e-government, peme-
rintah telah mengeluarkan Inpres No-3 tahun
2003 mengenai Strategi Pengembangan E-
government. Namun dengan rumusan renca-
na pengembangan egovernment yang masih
abstrak dalam aturan tersebut, tampak-nya
masih banyak perbedaan pemahaman di
antara para pejabat pemerintah sendiri.Dalam pandangan umum, e-government se-
jauh ini masih dipahami sebatas sebagai
pembuatan situs web oleh organisasi peme-
rintah. Belum banyak yang memahami secara
luas bahwa tahap-tahap perkembangan
pemanfaatan teknologi informasi dalam
organisasi publik itu bisa berbeda-beda
mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat
yang semakin beragam. Tetapi kurang jelas-
nya konsep e-government itu dapat dimaklumi
karena cakupan tugas-tugas pemerintah yang
sangat luas dengan kebutuhan di masing
masing daerah yang beragam.
Secara umum, tahap pengembangan e-
government dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) tahap informatif, 2) tahap interaktif, dan
3) tahap transaktif. Tahap informatif mengan-
dung arti bahwa pembukaan situs web oleh
organisasi pemerintah sebatas digunakan
sebagai sarana penyampaian informasi
tentang kegiatan pemerintahan di luar me-dia elektronik maupun non-elektronik yang
selama ini ada. Tahap interaktif berarti peng-
gunaan teknologi internet yang memung-
kinkan kontak antara pemerintah dan masya-
rakat melalui situs web dapat secara online
sehingga memungkinkan interaksi yang
lebih interaktif dan terbuka. Sedangkan tahap
transaktif adalah penggunaan teknologi inter-
net yang memungkinkan transaksi pelayanan
publik melalui situs web. Misalnya, kemung-kinan untuk membayar pajak, melakukan
permintaan formulir, atau transaksi lainnya
melalui internet. Seperti diketahui tugas utama
birokrasi adalah untuk menjalankan pemerin-
tahan dan juga sebagai struktur yang menja-
min kelancaran pemerintahan.
Namun pada kenyataannya, birokrasi me-
miliki kelemahan dalam pelaksanaannya dilapa-
ngan, ia memiliki citra buruk yang melekat dalam dirinya (the bad sides of bureaucracy )
terutama dalam praktik pelayanan publik
sehari-hari, khususnya di Negara sedang ber-
kembang yang mewarisi tradisi birokrasi yang
korup dan kurang berpihak pada rakyat yang
mestinya mereka layani, diminta ataupun tidak.
Apabila kita bertanya kepada kritikus pemerin-
tahan tentang penilaian mereka terhadap prak-
tik birokrasi, maka kita akan mendapatkan
gambaran kebalikan dari identitas teoritissebagaimana yang dikemukakan oleh pengga-
gasnya. Kegalauan itu tidak saja dilontarkan
oleh ilmuwan Negara sedang berkembang na-
mun juga dalam banyak kasus di Negara maju.
Secara teoritis pun banyak orang mem-
ber penilaian negative, sebagian bagian dari
sifat birokrasi yang kaku dan formalistis,
sebab tidak semua urusan masyarakat dan
pmerintahan bisa didekati dengan pendekatan
formalistis. Contohnya, orang miskin yang
belum memiliki stempel miskin dari birokrasi
lokal. Mereka tidak bisa mendapatkan hak-
haknya yang asasi misalnya memperoleh pe-
rawatan dan pengobatan karena dia tak men-
dapati dirinya memiliki kartu keterangan
miskin. Kritikan itu berisi poin-poin yang
umumnya negatif, dapat dilihat seperti contoh
berikut ini : [bureaucracy] evokes the slowness,
the ponderousness, the routine, the complica-
tion of procedures, and the maladapted re-
sponses of bureaucratic organizations to theneeds which they should satisfy, and the
fustations which their members, clients, or sub-
jects consequently endure.
Dikatakan bahwa gambaran bagi organi-
sasi birokratik adalah keadaan yang lamban,
yang membosankan, yang rutin, yang rumit
prosedunya, dan yang buruk adaptasinya
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang harus
mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita
akan rasa frustasi yang terus-menerus dira-sakan oleh para anggotanya, kliennya atau
subyeknya.
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 72/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Pengidentikan birokrasi dengan berbagai
hal yang bernada negative memang bukanlah
sesuatu hal yang baru. Bagi banyak ahli biro-
krasi tetap memiliki varriasi konotasi, tergan-
tung kelompok social yang menyampaikan
keluhan. Golongan tertentu dengan jabatan
tinggi mengeluh tentang hilangnya keistime-waan, yang oleh tradisi ada, bisa dibatasi oleh
birokrasi. Kalangan pengusaha mengeluhkan
campur tangan birokrasi dalam perdagangan,
para seniman mengeluhkan pekerjaan tulis-
menulis mereka yang tak kunjung masuk
urusan utama birokrasi, para ilmuwan menge-
luhkan kedunguan para pelaksana tugas atau
PNS yang bekerja lamban dan seenaknya
sendiri, para negarawan mengeluhkan penun-
daan penyusunan dan pelaksanaan agendapemerintahan. Dalam sebuah masyarakat dan
ekonomi yang semakin digerakkan oleh
inovasi teknologi, birokrasi di Negara-negara
sedang berkembang harus berhadapan
dengan proses tuntutan yang baru yaitu :
efesiensi, produktifitas, akses rakyat terhadap
informasi yang ada dalam birokrasi serta
tuntutan kepastian dan rasa aman dan rasa
nyaman (convenience).
Dalam proses Negara yang menuju
demokrasi selalu terdapat tuntutan dan bahkan
kebutuhan akan hak-hak “masyarakat yang
diperintah” harus diletakkan seiring dengan
tujuan-tujuan pembangunan. Secara umum
diketahui bahwa diluar lingkungan birokrasi,
secara historis, inovasi-inovasi teknologi telah
menghasilkan kualitas kehidupan yang
meningkat dengan kata lain kalau mau maju
ya harus ada inovasi.
Bagi seorang pemimpin pemerintahan
yang baik, pelayanan yang baik adalah visiyang selalu ingin diciptakannya dalam
menjamin perbaikan pemerintahan secara
keseluruhan. Dan tampaknya dari ber-bagai
segi pemerintahan ada keyakinan : tak ada
satu cara yang baku, tak ada “cara terbaik”
kea rah pemerintahan yang baik. Dan dalam
pekembangannya yang sekarang e-govern-
ment berhasil-berhasil menjadi alternative
yang umum diterapkan di Negara sedang ber-
kembang dalam reformasi pemerintahannya.
B. KONSEP DASAR E-GOVERNMENT
Pengertian tentang e-government telah
banyak dikemukakan para praktisi maupun
akademisi sehingga definisi yang ada mengan-
dung penekanan yang berbeda-beda. Bank
Dunia (2001) mendefinisikan E-government
sebagai penggunaan teknologi informasi oleh
instansi pemerintah seperti Wide Area Net-works (WAN), Internet, mobile computing)
yang dapat digunakan untuk membangun
hubungan dengan masyarakat, dunia usaha,
dan instansi pemerintah lainnya.
Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa
e-government adalah penggunaan teknologi
informasi untuk membuka pemerintah dan
informasi pemerintah untuk memungkinkan
dinas-dinas pemerintah untuk berbagi
informasi demi kemanfaatan publik, untuk memungkinkan terjadinya transaksi secara
online dan untuk mendorong pelaksanaan
demokrasic. Selanjutnya variasi tentang
definisi e -government dapat disajikan sebagai
berikut:
E-government applies concepts of electronic
commerce (e.g. information and marketing
through Web sites, selling to customers on-
line) to government operations.
Refers to the federal government’s use of
information technologies (such as Wide Area
Networks, the Internet, and mobile com-
puting) to exchange information and ser-
vices with citizens, businesses, and other
arms of government..
Government activities that take place by digi-
tal processes over a computer network usu-
ally use the Internet, between the govern-
ment and members of the public and enti-
ties in the private sector, especially regulated entities. These activities generally involve the
electronic exchange of information to ac-
quire or provide products or services, to place
or receive orders, to provide or obtain in-
formation, or to complete financial trans-
actions. The anticipated benefits of e-govern-
ment include reduced operating costs for
government institutions and regulated en-
tities, increased availability since govern-
ment services can be accessed from virtu-ally any location, and convenience due to
round-the-clock availabiliry.
148Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 73/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Teman-teman di atas apabila direlokasikan
dengan manfaat yang diperoleh melalui
penerapan e-government masih sangat jauh.
Melalui e-government paradigma pelayanan
public bergeser dari paradigma birokratis
menjadi paradigma e-government yang
mengedepankan efesiensi, transparansi, danfleksibilitas, yang akhirnya bermuara pada
kepuasan pengguna layanan public. Manfaat
lain e-government dikemukakan oleh Euro-
pean Commision;
Transforming government into a dynamic,
productivity-driven concept and set of Institu-
tions (for example through reengineering).
Providing interactive user-driven services to
citizens and businesses which maximise. fu46lment and security, whilst generating
trust and confidence.
Using ICT to support good governance so
that democracy is characterised by accoun-
tability, openness and transparency, and that
articulation between the different parts of
society, including government, is flexible, ef-
fective and beneficial to the common good.
Supporting the general role of government in
underpinning and promoting the wealth, wel-
fare and sustainable development of society.
E -government Indonesia yang masih
dalam tingkatan interaksi belum dapat
mentransformasi pelayanan publik yang
lebih baik. Bahkan untuk komunikasi
eksternal pun masih belum dapat dimanfaat-
kan dengan baik walaupun sarana interaksi
yang ada berupa forum, email, chat, polling,
dan lainnya sudah disediakan pada setiap
website pemerintah. Sarana interaksi belumdapat ditujukan untuk komunikasi formal
maupun informal, juga untuk umpan balik
langsung yang cepat seperti yang disampai-
kan oleh Alfred dalam tabel di atas, apalagi
untuk sarana provid ing interactive user-
driven services to citizens and businesses
which maximise fulfilment and security, whilst
generating trust and confidence sebagaimana
pendapat European Commision.
Keadaaan di atas, menunjukkan tanta-ngan penerapan e-government di Indonesia
masih sangat banyak di antaranya dari segi
sumber daya manusia, perangkat keras, dan
organisasi. Kemampuan sumberdaya manu-
sia atau peopleware terutama para pejabat
birokrasi maupun staff dalam menggunakan
Internet yang masih terbatas. Hal ini terbukti
dari masih sangat tergantungnya birokrasi
dalam pengembangan e-government terhadappihak luar.
Operasionalisasi e-government juga tidak
berjalan lancar ditandai dengan sarana
interaksi yang disediakan tidak dimanfaatkan
dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa
paradigma pelayanan publik berbasis e-
goverment memerlukan persiapan yang lebih
serius, bukan hanya implementasi aplikasi
saja tapi harus bisa melalukan transformasi
budaya, seperti ditekankan oleh EurepeanCommision: “ Adding ICT to government services,
however, does not itself produce “e-Government”
- new technologies must be implemented hand
in hand with organisational change and new
skills if convenient, service-oriented services are
to flow”.
Aspek hardware yakni berkaitan dengan
teknologi dan infrastuktur juga menjadi
tantangan. Terbatasnya hardware dan soft-
ware serta masih sedikitnya instansi peme-
rintah yang terhubung pada jaringan baik
lokal (LAN) maupun global (Internet)
menyebabkan perkembangan e-government
tidak dapat berjalan lancar. Sebenarnya
melalui implementasi e-government komuni-
kasi internal antar dinas pernerintah dapat
lebih terjalin, namun demikian karena
keadaan infrastruktur jaringan yang masih
terbatas maka e-government akhirnya hanya
dimanfaatkan untuk komunikasi eksternal
yang juga belum maksimal.Berdasarkan aspek organisasi atau
organoware, seringkali instansi pemerintah
dalam mengoperasionalkan e-government
menemui kendala dalam aspek organisasi.
Kendala ini ditandai dengan tidak fleksibelnya
Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT)
birokrasi yang dapat mewadahi perkemba-
ngan baru model pelayanan publik melalui e-
government. Para admin e-government di
beberapa daerah yang selalu memonitorpengaduan masyarakat tidak mempunyai
wewenang dan kemampuan untuk langsung
149Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 74/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
berinteraksi dengan masyarakat misalnya
dalam memberikan jawaban. Sedangkan
untuk meminta pejabat atau pegawai yang
terkait untuk menjawab pertanyaan yang
telah diajukan masyarakat, para admin ter-
sebut tidak mempunyai wewenang. Ham-
batan organoware lainnya adalah belum ada-nya regulasi yang mengijinkan transaksi
melalui media elektronik dapat dianggap sah.
Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE
namun belum ada Juklak dan Juknis di samping
SOT dan regulasi. Tantangan organoware
berikutnya adalah terbatasnya dana yang
tersedia untuk pengembangan dan operasio-
nalisasi e-governent di daerah. Pemerintah
pusat hanya menyediakan kerangka kebija-
kan dan panduan tidak disertai dengan alokasidana sehingga harus ditanggung oleh daerah
yang bersangkutan.
C. E-GOVERNANCE SEBAGAI TREN GLO-
BAL MODERNISASI BIROKRASI
Selama lima tahun belakangan ini, ilmuwan
pemerintahan dan juga badan-badan resmi
PBB untuk pelayanan publik terus meng-
evaluasi dan sekaligus mencari strategi yang
jitu dalam rangka mengembangkan standar
mutu pelayanan publik bagi Negara-negara
berkembang. Tidak kurang dari UNPAN
(www.unpan.org) dan World Public Sector
misalnya, selalu saja mengembangkan ide dan
menfasilitasi pengembangan sistem baru
dalam rangka perbaikan pelayanan publik
(better publik services).
Mengapa perbaikan pelayanan publik
dikaitkan dengan keberanian inovasi dalam
birokrasi dan pentingnya introduksi IT (Infor-mation Technology ) untuk perbaikan sistem
pelayanan, peningkatan produktifitas, efesi-
ensi dan bahkan demokrasi dan apa masalah
yang akan dihadapi Negara-negara berkem-
bang seperti Indonesia?
Dari sisi akademis, seperti telah ada ke-
simpulan umum, bahwa tren aplikasi e-gover-
nment dalam pemerintahan serta hasil yang
telah dicapai oleh beberapa Negara maju
mengesankan bahwa Negara yang inginmemperbaiki pelayanan publiknya, sedikit
atau banyak ia harus berani berinovasi dalam
manajemen pelayanan dan peningkatan mutu
pelayanan publiknya. Dengan kata lain seolah
ada adagium : “tidak aka nada perbaikan mutu
pelayanan publik tanpa inovasi. Tidak ada
inovasi tanpa aplikasi IT dalam birokrasi.
Dengan kata lain tidak ada pelayanan yang
baik tanpa e-government ”.Kutipan pengertian dibawah ini adalah
contohnya : Government–a publik organization
– is part of a broader governance system. It is a
means to a goal. These days, government is seen
predominantly as a publik organization set up
by a society for the purpose of pursuing that
society’s development objectives. This comprises
articulating the society’s development-related
demands, proposals and needs, aggregating them
and implementing respon sive solution. Enjoy-ment of publik consent constitutes the source of
government’s legitimacy. Trans-parency is a con-
dition sine qua non for government’s account-
ability vis-à-vis its oversight body. E-government
is a gover-nment that applies ICT to transform
its internal and external relationships. Throught
the application of IT to its operations, a govern-
ment does not alter its functions or its obliga-
tion to remain useful, legitimate, transparent
and accountable. If anything, this application
raises society’s expectations about the perfor-
mance of government, in all respects, to a much
higher level.
Kutipan di atas memberi pengertian seka-
ligus penilaian bahwa e-government adalah
aplikasi teknologi informasi dan komunikasi
dalam dan dengan pihak luar diharapkan
meningkatkan performance pemerintahan
dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan
peningkatan kualitas pemerintahan. Demikian
pula terbukti semakin maju sesuatu Negarasemakin tinggi tingkat e-government.
D. PERAN NEGARA-NEGARA MAJU
MENUJU E-GOVERNMENT
Deskripsi berikut ini akan menampilkan
peringkat kesiapan e-government secara global
untuk 25 negara teratas di dunia. Kebanyakan
Negara-negara dengan ekonomi maju dan ber-
pendapatan tinggi menduduki peringkat teratas jika dibandingkan dengan rata-rata
Negara lain. Meski mayoritas Negara tersebut
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa150
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 75/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa151
adalah Negara industry maju, namun beberapa
Negara berpendapatan menengah dengan
ekonomi sedang berkembang atau sedang
beranjak menuju maju, memperlihatkan ada-
nya trend “pengejaran akan ketertinggalan”.
Secara keseluruhan, Amerika Utara dan
Eropa memimpin di seluruh dunia. Negara-
negara Asia Tengah-Selatan dan Afrika me-miliki kesiapan e-government yang terendah.
Tak diragukan bahwa yang mendasari gamba-
ran ringkas secara agregat ini ialah tingkatan
pembangunan ekonomi, social dan politik dari
Negara-negara yang bersangkutan.
Salah satu factor primer turut berperan
dalam menyumbangkan angka kesiapan e-
government yang tinggi ialah investasi di masa
lalu dalam sumber daya telekomunikasi dan
manusia. Rendahnya kesiapan e-government di Asia tengah-selatan dan Afrika merupakan
sebuah cerminan dari sangat rendahnya indeks
Peringkat Kesiapan E-Government
Secara Global 25 Negara Teatas
Sumber : United Nations ; World Publik Sector Report
telekomunikasi dan sangat rendahnya indeks
Modal Sumber Daya Manusia.
Disparitas dalam tingkat kesiapan e-govern-
ment bukan hanya mencerminkan rendahnya
level sumber daya infrastruktur dan modal
sumber daya manusia beberapa bagian di
seluruh dunia. Disparitas itu juga menunjuk-kan besaran kesenjangan yang ada. Indicator-
indikator di Amerika Utara dan Eropa sekitar
5 -10 lebih tinggi dalam hal basis sumber daya
manusianya dan sekitar 4-20 kali dalam hal
pembangunan infrastrukturnya. Sebagai
misal, jika AS dijadikan pembanding. Bahkan
meskipun 40 persen penduduknya tidak on-
line, tingkat kesiapan telekomunikasi di Afrika
dan Asia tengah dan selatan hanya 1/20 dari
AS. Asia tengah dan selatan yang merupakansepertiga jumlah penduduk dunia memiliki
sekitar 20 persen dari rata-rata kapasitas
modal sumber daya manusia AS. Ebarnya
disparitas ini berakhir pada “kesenjangan
digital” (digital divide).
Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi telah menawarkan solusi untuk
meningkatkan kinerja pelayanan publik yang
lebih berbasis pada good governance. Peman-
faatan e-government bagi birokrasi diharap-
kan dapat menjadi alternatif bagi reformasi
birokrasi menuju pelayanan yang lebih baik.
Untuk mendukung keberhasilan dalam
penerapan e-government, pemerintah pada
tahun 2003 telah mengeluarkan beberapa
panduan yaitu Panduan Pembangunan Infras-
truktur Portal Pemerintah, Panduan Manaje-
men Sistem Dokumenen Elektronik Pemerin-
tah, Panduan Penyusunan Rencana Pengem-
bangan e-government Lembaga, Pedoman
Penyelenggaraan Diklat ICT dalam Menunjange-government, Pedoman tentang Penyelengga-
raan Situs Web Pemerintah Daerah.
Kemudian dilengkapi dengan panduan
yang dikeluarkan pada tahun 2004 meliputi:
standar mutu dan jangkauan pelayanan serta
pengembangan aplikasi (e-services), kebijakan
tentang kelembagaan, otorisasi, informasi dan
keikutsertaan swasta dalam penyelenggaraan,
kebijakan pengembangan pemerintahan yang
baik dan manajemen perubahan, panduantentang pelaksanaan proyek dan pengang-
garan e-government aplikasi e-government
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 76/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
pemerintah pusat dan daerah. Kemudian pada
tahun 2006, Pemerintah membentuk Dewan
Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
(Detiknas) melalui Keppres C-006 yang salah
satu tugasnya untuk mempercepat proses
implementasi e-government. Namun demikian
keberhasilan penerapan e-government belumterlihat signifikan.
E. APLIKASI E-GOVERNMENT DI NEGARA
BERKEMBANG
Terdapat harapan bahwa masuknya IT
dalam birokrasi dan terdapatnya keberanian
inovasi dalam berbagai hal akan menghantar
pemerintah pada fase kemajuan seperti yang
dicapai oleh dunia industry , perbankan danperguruan tinggi di luar instansi pemerintahan.
Tak bisa dipungkiri bahwa jika sebuah Negara
atau subsistem pemerintahan telah berani
mengintroduksi kegagapan teknologi atau
kesenjangan digital (Digital Divide), hal itu
akan membuka kesempatan yang luas bagi pen-
capaian pembaharuan di subsistem yang lain.
Hal ini berlaku bagi semua Negara, sebera-
papun level pembangunan ekonomi mereka,
level pembangunan sumber daya manusia
mereka dan apapun konteks social dan cul-
tural yang ada dalam komunitas atau Negara
tersebut. Jika bisa mengatasi GAPTEK dan
berani bertarung melawan cara-cara lama yang
lamban dan birokratis maka harapan akan
kemajuan lain akan tercapai.
Penggunaan dan optimalisasiteknologi
dasar dan menengah dalam birokrasi memung-
kinkan berlangsungnya komunikasi internal
dan eksternal pemerintah secara cepat, tepat,
sederhana berjangkauan luas dan memilikikesanggupan menjalin jaringan. Inovasi dan
introduksi IT dalam birokrasi bisa dimanfaatkan
untuk menurunkan biaya dan meningkatkan
efektivitas, yang merupakan dua fitur yang di-
inginkan dari semua kerja pemerintahan, dan
yang terutama dalam hal pelayanan publik.
Penggunaan dan optimalisasi mesin yang
tepat dalam subsistem birokrasi juga bisa di-
gunakan untuk optimalisasi waktu, dimana
komunikasi dapat dilakukan dari luar jamkantor sekalipun dan dari jarak yang amat jauh
sekalipun. Apabila sistem IT digunakan jam
kerja bisa bertambah 24 jam setiap sehari
administrasi publik yang berfungsi 24 jam
setiap hari selama 7 hari seminggu, yang
memiliki transparansi dan akuntabilitas,
terbentuk jaringan kerja, dan memiliki mana-
jemen iformasi dan penciptaan pengetahuan.
Selain itu, IT bisa memberikan perlengkapankepada masyarakat untuk bisa berpartisipasi
secara sungguh-sungguh dalam sebuah proses
politik yang inklusif sehingga melahirkan
dukungan publik yang selalu mengikuti infor-
masi (well-informed) yang merupakan basis
yang paling utama bai legitimasi pemerintahan.
Dari sudut pandang ini, inovasi di tangan
pemerintah bisa menjadi sebuah alat yang
efektif untuk menambahkan nilai publik. Jelas,
maksimalisasi nilai publik pada akhirnya akanbergantung pada penentuan mengenai kapan,
bagaimana dan dimana memanfaatkan kapa-
sitas-kapasitas komunikasi yang baru yang
bisa didapat oleh pemerintah lewat aplikasi IT
dalam kerja mereka.
Masalah lain dalam inovasi dan peng-
gunaan IT khususnya di Negara-negara se-
dang berkembang seperti Indonesia adalah
terbatasnya keterampilan dan kultur birokrasi
sipil. Pegawai negeri sipil haruslah sanggup
dan bersedia untuk mendukung e-government
atau setidaknya harus bersedia belajar dan
berubah. Kultur yang ada dalam tubuh biro-
krasi sipil menentukan penilaian terhadap
kemungkinan kehilangan yang akan dihasilkan
oleh penerapan e-government terhadap individu
pegawai negeri sipil dan juga terhadap kekua-
tan dan efektivitas dari lobi anti-perubahan.
Demikian juga dengan masalah koordinasi.
Koordinasi dan upaya yang dibutuhkan baik
dalam maupun antar pemerintah haruslahdiperkuat terlebih dulu sebelum aplikasi e-
government diterapkan untuk menghindari
penggandaan, menjamin interoperabilita dan
memenuhi ekspektasi-ekspektasi para peng-
guna. Kerangka legal, e-government memun-
culkan kebutuhan-kebutuhan legal yang
khusus dan hal ini harus disadari dan dihadapi
sejak awal. Infrastruktur harus dinilai ber-
dasarkan latar belakang kebutuhan dan hasil
yang diinginkan. Keterbatasan infrastrukturakan membatasi hasil maupun pengemba-
ngan yang direncanakan. Sebaliknya, jika
152Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 77/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
152
berlebihan melampaui kebutuhan, ada bahaya
dan akan menjadi perlengkapan yang membe-
bani kantor yang mahal dan mubazir.
Pemimpin sektor publik harus berkomit-
men terhadap e-government , memimpin dan
membangun dukungan luas baginya, dan be-
rani untuk belajar. Hal ini akan menghadirkantanda-tanda positif yang sangat penting yang
dibutuhkan oleh birokrasi sipil dari pucuk
pimpinannya. Publik harus memiliki keterli-
batan pribadi dalam pengembangan e-govern-
ment . Hal ini harus diperkuat dengan secara
aktif, sungguh-sungguh dan kontinyu mengun-
dang partisipasi masyarakat dalam pengem-
bangan aplikasi e-government sehingga apli-
kasi IT akan membentuk kebiasaan hidup dan
kerja masyarakat. Harus ada visi dan rencana-rencana untuk menjembatani jurang-jurang
yang ada dalam keterampilan dan akses. Jika
tidak, baik administrasi publik maupun masya-
rakat tak akan bisa berharap akan bisa melek
dan sanggup menggunakan IT, yang merupakan
bahan penting bagi keberhasilan e-government .
Juga dalam hal ini diperlukan Kemitraan.
Sejak awal, pemerintah harus melihat
organisasi-organisasi di luar pemerintahan
sebagai mitranya dalam ha sumber keuangan,
peningkatan keterampilan, akses yang lebih
baik dan kapasitas yang memadai untuk
membentuk jaringan IT. Kemitraan tak boleh
dijalin dengan mengorbankan transparasi,
akuntabiltas atau kelayan investasi secara
ekonomis. Juga perlunya monitoring dan
evaluasi. Menetapkan tanggung jawab yang
jelas dan tolak ukur yang realistis bagi pengem-
bangan e-government merupakan sebuah
bahan penting bagi keberhasilan yang akan
dicapai dan bagi pembangunan transparansidan akuntabilitas secara menyeluruh dalam
sector publik.
Alasan mendesak bagi para pengguna e-
government adalah persepsi akan nilai tambah.
Setiap rancangan pengembangan e-govern-
ment haruslah memasukkan sebuah perhitu-
ngan nilai tambah yang bisa diberikannya
kepada individu penggunanya. Hal ini paling
bisa dicapai jika perhitungan tersebut dengan
perhitungan para pengguna. Akses dan kete-rampilan. Penerapan e-government haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga para
pengguna potensial e-government bisa betul-
betul memanfaatkannya secara mudah dalam
hal waktu, biaya, dan usaha. Solusi-solusi
imajinatif bagi peningkatan level kemudahan
penggunaan ini haruslah menjadi bagian dari
setiap rencana pengembangan e-government .
Solusi-solusi tersebut harus dipertimbangkan,namun sekaligus mentrasendensi, tingkat
akses dan keterampilan individu.
Privasi dan keamanan. Factor keamanan
dan privasi apapun pendefinisiannya secara
cultural–haruslah ditegaskan sejak awal se-
cara terbuka dan ditangani secara potensial.
Publik dibatasi untuk tidak melanggar wilayah
privasi dan rahasia ini dan setiap berita (bahkan
yang bersifat informal) harus dibatasi agar
tidak menjadi sebuah kemunduran yang besaryang memiliki konsekuensi-konsekuensi jang-
ka panjang. Seperti kita ketahui, didalam desa-
kan masyarakat akan pelayanan publik yang
baik, proses pembangunan yang mengharus-
kan keterlibatan pemerintah, masyarakat dan
synergy dunia luar. Penerapan e-government
paling baik jika dilakukan dalam bidang-bidang
yang dianggap sebagai terkait erat dengan
prioritas. Kebutuhan-kebutuhan pembangu-
nan oleh masyarakat. Alasan lain mengapa harus
inovatif ialah tuntutan efisiensi dan efektivi-
tas sebagai criteria kunci sukses pemerintah.
Namun harus diakui banyak masalah
terjadi kalau IT diterapkan ditengah setanah
seperti yang kita lihat bahwa kemampuan
pemerintah untuk menggunakan IT dalam
gerak kerjanya dibatasi oleh kondisi keter-
sediaan pendanaan (awal). Bukan operasi
awal proyek percontohan e-government
harus dimulai dengan pemahaman yang baik
mengenai biaya yang dibutuhkan dan denganmenjamin pendanaan setelah dilakukan
analisis yang seksama terhadap biaya pene-
rapan. Manakala mungkin dan layak, pen-
danaan tersebut harus dipandang sebagai
sebuah investasi bisnis dan bisa diharapkan
akan menghasilkan kembalian.
F. CATATAN AKADEMIK E-GOVERNMENT
DAN PELAYANAN PUBLIK
Menurut hemat kita, upaya dalam rangka
untuk memperbaiki birokrasi kita, sistem
Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 78/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
birokrasi, pembenahan personel maupun
budaya yang melingkupinya, dan aplikasi IT
dalam birokrasi memang penting. Cepat atau
lambat Indonesia akan mengejar efisiensi dan
produktifitas pelayanan publiknya sesuai
dengan demand masyarakat sekitarnya. Den-
gan kata lain fasilitas e-government di tingkat pusat dan propinsi di Indonesia memang perlu
mendapat dukungan yang pantas.
Pengalaman banyak Negara mengisyarat-
kan, bahwa apabila dalam periode yang terlalu
panjang, suatu birokrasi tak kunjung menam-
pakkan kesungguhannya termasuk dalam
peningkatan pelayanan publiknya maka trust
kepada pemerintah akan turun dan pemerintah
akan selalu tertinggal dalam memperbaiki diri.
Di Indonesia, pembenahan birokrasi biasa-nya dilakukan melalui pendekatan incremental,
perubahan yang sedikit demi sedikit, dengan
harapan antara lain agar didapatkan peruba-
han yang terencana ( guidance development ).
Demikian pula introduksi IT dalam pemerin-
tahan akan menyertai pembenahan pening-
katan mutu pelayanan. Terlalu tinggi nafsu
untuk mentransformasikan birokrasi tradi-
sional dengan modernitas akan bisa berakibat
ongkos social politik yang terlalu mahal, mi-
salnya robohnya berupa jaminan kelanjutan
tersedianya lapangan kerja dalam pemerin-
tahan yang tak tergantikan oleh mesin. Tapi,
masalahnya ialah, transformasi semangat
pemerintahan yang modern dengan meng-
gunakan teknologi komunikasi dan informasi
ke dalam kalangan birokrasi, tidaklah simple.
Ia akan menghadapi berbagai pintu-pintu
(barier ) antara lain, berupa pertanyaan
berikut ini;
Pertama, mulai dari manakah transformasiitu dilakukan? Sebab pada prakteknya nanti,
orang akan dihadapkan pilihan-pilihan yang
beragam. Sebab adalah sulit mentransformasi
ide itu pada semua level birokrasi, desa/ke-
lurahan, kecamatan, kabupaten/kotamadya,
level propinsi, level pusat atau keseluruhan se-
cara berbarengan. Dan, pilihan-pilihan stra-
ting point itu akan membawa konsekuensi-
konsekuensi sendiri. Pilihan harus dimulai
secara berbarengan, umpamanya, membawakonsekuensi: mudah diucapkan, sulit dilak-
sanakan karena mekanisme evaluasi jadi bias.
Kedua, oleh siapakah atau lembaga apakah
yang bertanggung jawab sebagai pelaksana
dalam kaitan transformasi jiwa wirausaha ini
dalam sistem birokrasi?. Sebab selama ini,
instansi yang terdekat dengan tugas pembena-
han, semisal Depdagri, Menkominfo, Lem-
baga Administrasi Negara (LAN), Kemente-rian Negara Peningkatan Aparatur Negara,
atau bahkan induk-induk departemen belum
tampak secara institusional mengagendakan
transformasi jiwa entrepreneur ini sebagai-
mana yang diidealkan dan diangankan banyak
orang. Walaupun, dimeja-meja diskusi mereka
menyetujui ide ini.
Ketiga, sudah adakah atau apa sajakah isi
(content ) dari proses transformasi itu, yang
dapat dijadikan bahan rujukan spesifik dariproses dalam birokrsai kita?. Persoalan yang
muncul kemudian adalah, belum adanya me-
kanisme transformasi inovasi dan IT ini dalam
sistem kelembagaan pemerintah dimana
mereka bekerja. Jadi justru tataran sistemnya
yang belum siap menerima usulan ini. Masuk-
nya jenis-jenis tugas-tugas baru dalam peme-
rintahan; yaitu industrialisasi, perdagangan
antar Negara, investasi asing, pengelolaan
bantuan luar negeri, hal-hal baru yang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, meng-
haruskan pejabat di daerah bekerja dengan
kemampuan yang optimal. Apabila prasyarat
diatas dapat terpenuhi maka harapan akan
peningkatan pelayanan publik akan dapat diti-
ngkatkan dalam waktu cepat.
G. KESIMPULAN
Kinerja e -government Indonesia belum
dapat dirasakan secara signifikan baik olehpihak internal maupun eksternal pemerintah.
Beberapa tantangan dan hambatan masih
banyak yang harus dihadapi. Namun demikian
seiring dengan telah disahkannya Undang-
undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) maka terbesit harapan
e-government akan dapat lebih dirasakan oleh
masyarakat. Di samping itu pemerintah juga
sudah mengeluarkan statemen yang akan
menurunkan tarif Internet sampai 40%, halini akan semakin memberikan peluang yang
lebih besar bagi penerapan e-government
154Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 79/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
untuk masa yang akan datang.
Menjadi sangat penting sekarang ini adalah
pembaharuan komitmen para pemimpin atau
pejabat di tingkat pusat maupun daerah untuk
terus mendorong reformasi birokrasi melalui
e-government . Kesimpulan penting yang dapat
ditarik dari studi kasus kedua kota ini ialahbahwa e-government yang dilaksanakan secara
serius dan konsisten akan sangat menunjang
transparansi pelayanan public . Yang juga
harus dipahami oleh para pejabat pemda ialah
bahwa pemanfaatan e-government tetap me-
merlukan sistem pengawasan yang konsisten.
Selain pengetahuan yang luas tentang teknolo-
gi informasi, e-government juga harus diduku-
ng oleh integritas yang baik di antara para
perumus kebijakan dan pelaksannya. Tekno-logi informasi memang membuat banyak hal
semakin mudah dan semakin efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin, 1970. Bereaucracy , New York,
Praeger Publisher
Luthans, 1989. Fred Organizational Behaviour,
4th Edition. Mc Graw–Hill Series in Man-
agement.
Said, M. Mas’ud, 1987. Perspektif perilaku
birokrasi. Jakarta Rajawali
——————————, 1997. Debirokrasi
Birokrasi Indonesia, UMM Press
Malang,
——————————,2007. Birokrasi di
Negara Birokratis, UMM Press Malang.
Thoha, Miftah, 2002, Reformasi birokrasi
Pemerintahan. Seminar Good Gover-
nance di Bappenas.
Anonim. (2007). “Ada TI Ada Reformasi Biro-
krasi”, majalah e-Indonesia, Vol III (20).
Garson, D. (1999). Information Technology and
Computer Applications in Public Adminis-
tration: Issues and Trends, Hershey: Idea.
Senn, J A. (1990). Information Systems in Man-
agement, California: Wadsworth.
Wilcoks, L. & Harrow, J. (eds.) (1992) Redis-
covering Public Service thlana-gement,
London: McGraw-Hill.
Yusof, M.M. (2005). Information Systems and
Executives’Role: The Pre-electronic Govern-
ment Era Experience, Selangor: Utusan.
Heeks, R. (2005). The Implementation of Infor-
mation Systems in Public Organisations.
Indrajit, R.E. (2002). Electronic Government,
Yogyakarta: Andi Offset.
Kumorotomo, W& Margono, S.A. (2004). Sistem
Informasi Manajemen dalam Organisasi
Publik, Yogyakarta: Gama Press.
Rosenau, James N (2007), “Governing The Un-
governable: The Challenge Of A Global Dis-
aggregation of Authority”, Regula-tion &
Governance (2007) 1, pp 88–97.
Rouben, L. (ed.). (1999) Citizens and the New
Governance: Beyond New Public Man-
agement, Amsterdam: IOS Press.
Starling, G. (2006). Managing the Public Sec-tor, Boston: Wadsworth Publishing.
Stiglitz, J. (2005). Globalization and Its Discon-
tents, New York: New Harper.
155Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
*********
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 80/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
76Reformasi Birokrasi Melalui e-Governance :
Peluang atau Tantangan Dalam Pelayanan Publik ? - Zainuddin Mustapa
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 81/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
Petunjuk PenulisanJurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan
ISI ARTIKEL
Artikel yang dipublikasikan Jurnal OTORITAS IlmuPemerintahan meliputi hasil penelitian dan nonpenelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review)tentang masalah-masalah negara, masyarakat, danlembaga intermediary, serta pemerintahan secaraumum.
Artikel yang dimuat dalam jurnal diprioritaskan artikelhasil penelitian dan belum pernah atau akan diterbitkan
dalam media cetak lain.
Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indone-sia dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm)minimal 15 halaman dan maksimal 25 halaman.Berkas naskah (file) dibuat pada program olah dataMicrosof Word dilengkapi dengan nama penulis, judulartikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, besertanomor telepon/faks.
ARTIKEL HASIL PENELITIAN
Judul Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik NamaPenulis Lengkapi dengan nama dan alamat lembagatempat kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dantelp/faks untuk koresponden dengan penulis.
Abstrak Merupakan miniatur (segala sedikit) isi darikeseluruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode,hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata.
Key Word (Kata Kunci)Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiridari 3 hingga 5 konsep.
Pendahuluan (tanpa sub judul)Memuat latar belakang maslah penelitian, uraian danfokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teoridan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyatamendukung pemecahan permasalahan dan tujuanpenelitian.
Metode
Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian dilakukandesign penelitian, populasi, sampel, instrumen, skalapengukuran, dan teknik analisis data.
Hasil Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi denganillustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik).
Pembahasan Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkandengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasilpenelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasidan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan,ketajaman analisis dan sintesis secara kritis.
Simpulan Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dariperpaduan antara hasil dengan pembahasan danbukan hanya rangkuman.
ARTIKEL NON PENELITIAN
Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama denganformat hasil penelitian.
Pendahuluan (tanpa sub judul)
Sub JudulSub JudulSub Judul
Tabel Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe TimesNew Roman berukuran 10 point. Singkatan yang adadi dalam tabel diberikan kepanjangan singkatantersebut dibawah tabel.
Gambar Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalamprogram pengolahan data (Microsoft Office). Angka dan
huruf keterangan gambar menggunakan huruf bertipeArial berukuran 9 point.
Daftar Pustaka/Rujukan Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber daripustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi, tesis,skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah) dan tahunterbitan lebih 80 % adalah 10 tahun terakhir, diurutkansecara alphabet dan kronologis.
Kutipan dalam artikel Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung
atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan harusmencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan dannomor halaman.
} sesuai dengan kebutuhan
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 82/84
Vol. I, No. 2, Oktober 2011
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 83/84
Naskah dapat dikirim memalui E-mail, CD, atau via pospaling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan
ke :Redaksi Ilmu PemerintahanJurnal OTORITAS
Alamat :
Gedung F1 Lt.1 Pusat PerkantoranJurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259 Makassar 90221Telp. 0411 - 866972 ext. 107
Fax. 0411 - 865588Email: [email protected]
atau [email protected]
7/16/2019 Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan Vol.1 No.2 Oktober 2011.pdf
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-otoritas-ilmu-pemerintahan-vol1-no2-oktober-2011pdf 84/84
Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1
Pusat Perkantoran FISIPUnismuh Makassar
ISSN 2088 3706