Jurnal Ilmu Poltik
-
Upload
retno-purwaningtias -
Category
Documents
-
view
9 -
download
4
description
Transcript of Jurnal Ilmu Poltik
Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan Minapolitan dalam
Menyejahterakan Nelayan di Kota Medan
JURNAL
Disusun Oleh:
Retno Purwaningtias
NIM : 071211331010
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
DEPARTEMEN : POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Gasal Tahun 2015/2016
Halaman Persetujuan Pembimbing
Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan Minapolitan dalam
Menyejahterakan Nelayan di Kota Medan
Jurnal ini telah disetujui dan memenuhi persyaratan kelulusan studi S1
Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Dosen Pembimbing
(Prof. Dr. Budi Prasetyo, Drs., M.Si)
NIP. 196507191990031002
Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Kebijakan Minapolitan dalam
Menyejahterakan Nelayan di Kota Medan
Oleh:
Retno Purwaningtias
Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Email: [email protected]
Abstrak
Implementasi kebijakan adalah proses yang sangat kompleks karena terkadang terdapat
masalah-masalah yang tidak dapat diprediksi dilapangan. Pada penelitian ini implementasi
kebijakan digunakan untuk mengukur sejauh mana Kebijakan Minapolitan dalam bentuk
Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai hasil yang diinginkan sesuai dengan
tujuan Minapolitan. Interaksi antaraktor dalam penelitian ini menjadi bagian penting dari proses
implementasi Kebijakan Minapolitan, karena merupakan sebuah proses sosial dan politik yang
mempertemukan keberadaan pemerintah, masyarakat dan kelompok nelayan, serta swasta dalam
proses implementasi kebijakan. Dengan metode deskriptif, penelitian dipaparkan berdasarkan
fakta-fakta yang peneliti peroleh di lapangan. Hasil penelitian yang menggunakan teori
implementasi Grindle ini menunjukkan bahwa dari tiga tujuan kebijakan minapolitan, hanya
satu tujuan yang telah terpenuhi, yaitu pengembangan dan pembangunan fisik di kawasan
minapolitan. Hal ini terjadi karena program-program yang berhubungan dengan proyek-proyek
pembangunan dijadikan ladang emas oleh para pelaksana kebijakan untuk melakukan
penyelewengan anggaran. Sedangkan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat nelayan
terutama nelayan buruh belum tercapai karena disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang
dimaksud berasal dari faktor sosial dan faktor dari pelaksana kebijakan. Selanjutnya dinamika
dan proses implementasi kebijakan minapolitan di Kecamatan Medan Belawan membentuk suatu
relasi kekuasaan yang terlihat diantara para aktor yang terlibat dalam Kebijakan Minapolitan.
Relasi yang terlihat jelas adalah antara nelayan buruh dan nelayan juragan, serta nelayan buruh
dengan PT. Smart. Kekuatan-kekuatan dalam penguasaan sumber daya dapat mempengaruhi
siapa yang akan berhasil mendapatkan apa dalam Kebijakan Minapolitan.
Kata Kunci: Implementasi, Kebijakan, Minapolitan, Masyarakat Nelayan, Interaksi Aktor,
Kesejahteraan
Abstract
Policy implementation is a very complex process because sometimes there are problems
that can not be predicted in field. In this study, the policy implementation used to measure the
extent to which Minapolitan policy in the form of regulation of the Ministry of Maritime Affairs
and Fisheries achieve the desired results in accordance with the purpose Minapolitan. Interaction
between actors in this study an important part of the process of policy implementation
Minapolitan, because it is a social and political process that brings the presence of government,
communities and groups of fishermen, as well as the private sector in the process of policy
implementation. Descriptive method, presented research based on the facts that researchers
obtained in the field. Results of this studies which using the theory Grindle implementation
shows that of the three policy goals, only one goal has been success, namely the development
and physical development in Minapolitan. This occurs because the programs related to
development projects made the gold fields by implementing policies to make budget fraud.
While the goal for the welfare of fishing communities, especially fishermen of workers has not
been achieved because it is caused by several factors. Factors which is derived from social
factors and factors of implementator of the policy. Furthermore, the dynamics and the process of
policy implementation in the district of Medan Belawan Minapolitan form a visible power
relations between the actors involved in Minapolitan Policy. Relationships that are clearly visible
between laborers and fishermen fishing skipper, as well as fishing workers with PT. Smart. The
forces in control of resources can influence who will succeed to get what in Minapolitan policy.
Keywords: Implementation, Policy, Minapolitan, Fishermen Society, Interaction of Actor,
Welfare
Pendahuluan
Mensejahterakan masyarakat pesisir adalah isu yang sangat layak untuk dimasukkan
dalam sebuah agenda kebijakan. Hal ini karena sekitar kurang lebih 60 persen penduduk
Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan bekerja sebagai nelayan (Dahuri, 2003: 243).
Keberadaan para nelayan di pesisir tersebut tidak hanya dijadikan sebagai tempat mencari
nafkah, namun aktivitas mereka sudah menjadi sebuah tradisi turun temurun. Hampir seluruh
nelayan (khusunya nelayan buruh) hidup dalam lingkaran kemiskinan. Penyebab kemiskinan
tersebut dikarenakan tidak adanya kepastian pendapatan yang mereka terima dari hasil tangkap.
Selama ini kondisi menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah dalam membantu
menyelesaikan persoalan tersebut yang membuat para nelayan kecil tetap bergantung pada
pemilik sumber daya (nelayan-nelayan juragan).
Dengan potensi sektor perikanan dan kelatutan yang cukup besar, kesejahteraan nelayan
justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk
miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa
upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp.
30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang
buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi
perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir
(Indonesia Fight Poverty, 2015).
Kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat nelayan, terutama nelayan buruh yang
merupakan fokus kajian kebijakan tulisan ini adalah kebijakan Minapolitan yang digagas oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) di tahun 2010 dan berjalan hingga sekarang. Tujuan
dari dibuatnya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pemerataan
pendapat dengan budidaya ikan dan pengolahan ikan.
Faktanya adalah sebelum ataupun sesudah Kebijakan Minapolitan diimplementasikan
masyarakat nelayan di Kecamatan Medan Belawan masih menjadi kelompok masyarakat yang
tergolong miskin. Padahal setelah adanya Kebijakan Minapolitan komoditas yang menjadi
produk unggulan di Kecamatan Belawan sepeti ikan teri, ikan tongkol, ikan kembung dan cumi-
cumi terus meningkat. Perkembangan produksi lima tahun terakhir untuk ikan teri mencapai
4.658 ton, ikan tongkol 1.140 ton, ikan kembung 4.215 ton dan cumi-cumi mencapai 5.770 ton
(Data UPT PPS Belawan, 2015).
Kondisi masyarakat nelayan buruh di Kecamatan Medan Belawan yang masih berada
pada keadaan miskin, bahkan ketika musim angin darat (tidak melaut) tidak jarang para nelayan
harus berhutang kepada saudara dekat atau kepada tetangga dekat untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Dan ketika mereka sedang musim angin darat, tradisi menjual barang-barang
rumah tanggapun mereka lakukan agar dapat memenuhi kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu
tingkat pendidikan Nelayan buruh dan keluarganya juga tergolong rendah, dimana pendidikan
terakhir mayoritas buruh dan keluarganya hanya mampu tamat SD (Sekolah Dasar).
Kebijakan Minapolitan telah berjalan selama kurang lebih lima tahun, meskipun
demikian kebijakan tersebut belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat nelayan,
terutama dibidang ekonomi. Padahal Kebijakan Minapolitan ini sasarannya adalah untuk
kepentingan masyaralat nelayan.
Berkaitan dengan uraian sebelumnya, maka pengtinglah kiranya untuk menganalisis
bagaimana proses dan dinamika implementasi Kebijakan Minapolitan di di Kecamatan Medan
Belawan. Apa yang menjadi kendala-kendala yang dihadapi para pelakasana kebijakan, apakah
mereka memiliki kepentingan sendiri, sehingga tidak mempedulikan nasib para nelayan buruh di
Kecamatan Medan Belawan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Dalam konteks penelitian ini, penulis berupaya mendapatkan data-data lapangan dari informan,
dokumen maupun observasi yang relevan dengan permasalahan implementasi kebijakan
minapolitan serta interaksi antar aktor yang terlibat didalamnya. Kemudian penulis akan
berusaha menjelaskan gambaran fenomena, situasi, dan realitas yang ada dilapangan dengan
malihat Kesesuaian antara apa yang dicatat sebagai data dan apa yang sebenarnya terjadi di
lapangan.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan selama bulan November 2015. Lokasi
Penelitian adalah zona inti kawasan minapolitan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Belawan dan zona pendukung di wilayah Kecamatan Medan Belawan. Informan dibedakan
menjadi dua, yaitu informan kunci dan informan utama. Wawancara diawali dari informan kunci,
yaitu pihak UPT PPS Belawan dan DPRD Komisi B Kota Medan karena kedua pihak tersebut
dirasa sangat mengetahui tentang Kebijakan Minapolitan. Selanjutnya yaitu informan utama
yang merupakan informan yang terlibat langsung pada pelaksanaan kebijakan minapolitan, yaitu
pihak PT. Smart, Dispotmar dan empat masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan buruh (dua
orang), nelayan perorangan dan nelayan juragan.
Data yang diperoleh dilapangan dianalisis menggunakan teknik analisis transkrip. Proses
analisis transkrip ini terdiri dari tiga proses, yaitu proses penyaringan data, kategorisasi data dan
penerikan kesimpulan. Proses pertama yaitu penyaringan data. Pertama-tama peneliti menyaring
semua informasi yang didapat dilapangan dengan cara membuatkan ringkasan hasil wawancara
dengan para informan. Kemudian proses kedua mengkatagorisasikan data berdasarkan aspek-
aspek dari pertanyaan ketika wawancara yang ingin dianalisis, misal aspek pengetahuan proses
implementasi kebijakan, aspek perubahan dalam masyarakat dan lain-lain. Proses ini dilakukan
dengan membuat tabel-tabel yang dapat dibandingkan jawaban informan satu dengan yang
lainnya. Terakhir adalah proses penarikan kesimpulan dari hasil membandingkan jawaban dari
para informan yang berbeda-beda.
Kajian Teoritik
Teori Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle
Menurut teori implementasi Grindle terdapat dua indikator untuk mengukur keberhasilan
dari kebijakan, yaitu isi atau kontent kebijakan dan konteks atau lingkungan implementasi. Isi
atau kontent kebijakan mencakup: kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat
yang diperoleh, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, pelaksana-
pelaksana program dan sumber daya yang disediakan. Sedangkan konteks atau lingkungan
implementasi meliputi: kekuasaan, kepentingan & strategi aktor yang terlibat, karakteristik
lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap dari kelompok sasaran (Wahab, 2008:
180).
Implementasi kebijakan Grindle berasumsi bahwa kebijakan merupakan proses
administrasi dan politik yang mana didalam perumusannya melibatkan banyak aktor yang
memiliki kepentingan. Dikatakan proses administrasi karena didalamnya dalam dilihat dari
proses-proses administrasi implementasi kebijakan, seperti proses interaksi antara aparatur
kecamatan dengan aparatur kelurahan. Sedangkan proses politik dilihat dari proses pengambilan
keputusan yang melibatkan banyak aktor dan tentu saja keterlibatan mereka didasari atas
kepentingan subjektif. Hasil output kebijakan yang diperoleh nantinya ditentukan oleh isi dari
program-program kebijakan yang sudah tercapai dan juga interaksi dari para pembuat kebijakan.
Implementasi kebijakan adalah tahapan yang paling berat. Hal ini karena masalah-masalah
yang tidak dijumpai didalam teori maupun konsep akan muncul di lapangan. Ancaman yang
paling utama adalah konsistensi implementasi itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi
kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu
dengan tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih (Nurdin, 2013: 37).
Proses implementasi kebijakan dapat dilihat dengan mengukur atau membandingkan antara
hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan. Dengan melihat
skema yang dikembangkan grindle kita akan memahami dengan mudah proses implementasi
kebijakan dan juga dapat mengukur keberhasilan suatu kebijakan (Grindle, 1980: 7).
Pembahasan
Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan merupakan wilayah maritim yang
berbatasan langsung pada Selat Malaka. Penduduknya yang bermatapencaharian sebagai nelayan
berjumlah sekitar 6.724 orang. Kecamatan Medan Belawan secara geografis terletak diantara
03°- 48° Lintang Utara dan 98°- 42° Bujur Timur. Di sebelah barat dan timur Kecamatan Medan
Belawan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Medan Labuhan dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka. Ada enam
keluarahan yang ada di Kecamatan Medan Belawan, yaitu Keluarahan Belawan I, Kelurahan
Belawan II, Kelurahan Belawan Bahari, Keluarahan Belawan Bahagia, Kelurahan Belawan
Sicanang dan Kelurahan Bagan Deli.
Di Kecamatan Medan Belawan terdapat sebuah pelabuhan perikanan yang dijadikan
sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi perikanan tangkap. Pelabuhan
perikanan tersebut dikenal dengan nama Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan.
Pelabuhan Perikanan Samudera merupakan zona inti minapolitan yang berbasis perikanan
tangkap, sedangkan lingkungan sekitar kawasan minapolitan disebut sebagai zona pendukung
minapolitan.
Aktifitas yang berlangsung di PPS Belawan setiap harinya sangat ramai. Kurang lebih
ada 40 kapal perikanan dengan berbagai ukuran keluar masuk pelabuhan setiap harinya.
Meskipun demikian, ramainya aktifitas di pelabuhan ini belum disertai dengan sistem
pengelolaan yang baik, terutama dari sistem pendataan perikanan yang mencakup jumlah
produksi perikanan, jumlah armada penangkap ikan dan jumlah nelayan yang ada.
Sejalan dengan konsep industrialisasi perikanan tangkap, adapun komoditas yang
menjadi produk unggulan di PPS Belawan adalah sepeti ikan teri, ikan tongkol, ikan kembung
dan cumi-cumi. Perkembangan produksi lima tahun terakhir untuk ikan teri mencapai 4.658 ton,
ikan tongkol 1.140 ton, ikan kembung 4.215 ton dan cumi-cumi mencapai 5.770 ton.
Di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan terdapat kurang lebih 6.724 orang
nelayan. Pendapatan Nelayan di PPS Belawan ditentukan berdasarkan alat tangkap serta
kebijakan masing-masing pemilik kapal. Pola pembagian pendapatan nelayan didasarkan pada
pengupahan/gaji, bagi hasil dan bonus hasil tangkapan. Sebenarnya pendapatan nelayan dapat
dibedakan berdasarkan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan, seperti pukat ikan
atau pukat tarik, purse seine, pukat teri dan kapal jalur (kapal alat bantu lampu. Untuk pukat tarik
sistem penggajian atau upah sebesar Rp50.000 – Rp60.000 per hari. Target hasil untuk pukat
tarik tergantung besar kapal, untuk pemilik kapal diatas 10 ton per trip. Apabila melebihi target,
tekong (nakhkoda) mendapat bonus sebesar delapan sampai sepuluh persen dari hasil penjualan.
Hasil ikan pasifik dibagi dua antara tekong dengan pemilik kapal. Ikan pasifik adalah ikan yang
diolah menjadi pelet (makanan ikan). Nelayan buruh (ABK) tidak berhak atas hasil tangkapan
dari ikan pasifik. Untuk alat tangkap purse seine (pukat jalur) dibagi menjadi dua, yaitu tarik
pinggir (< 30 GT) dan tarik tengah ( > 30 GT). Upah ABK (nelayah buruh) sebesar Rp50.000 –
Rp60.000 per hari, setiap satu ton tangkapan mendapat bonus Rp25.000 untuk ABK serta bonus
ikan makan 50 kg bila mendapatkan dua ton dan berlaku kelipatan. Selanjutnya yaitu alat
tangkap pukat teri dengan upah yang diterima ABK sebesar Rp50.000 – Rp60.000 per hari. Bila
hasil tangkapan ikan teri mencapai 30 tak (1 tak = 35 kg) akan mendapatkan Rp15.000 per orang
dan berkelipatan. Terakhir adalah alat tangkap kapal jalur (kapal alat bantu lampu) dengan sistem
penggajian sebesar Rp50.000 – Rp60.000 per hari. Bila menggunakan sistem bagi hasil, 70
persen untuk pemilik kapal (nelayan juragan) dan 30 persen untuk tekong dan ABK sebanyak 30
persen (antara tekong dengan ABK sebesar 50/50 bagian.
Kebijakan minapolitan diformulasikan dalam rangka mengoptimalkan hasil perikanan
dan kelautan yang tujuan akhirnya adalah mensejahterakan masyarakat pesisir nelayan. Semua
fasilitas sarana dan prasarana dibangun di kawasan minapolitan untuk mendukung kegiatan
perikanan dan kebutuhan para nelayan. Namun pembangunan tersebut tampaknya tidak begitu
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan, terutama untuk nelayan buruh
dan nelayan perorangan yang mengalami keterasingan relatif. Hal ini karena semua kegiatan
berpusat pada Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, sehingga fokus kebijakan masih pada
pembangunan sarana zona inti kawasan minapolitan dan kurang memperhatikan kesejahteraan
nelayan-nelayan kecil.
Kurangnya pengaruh kebijakan terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan buruh
dikarenakan adanya pola hubungan dominasi yang dilakukan para teuke (pemilik kapal) dan
tekong (pengemudi kapal). Nelayan buruh memiliki ketergantuungan yang tinggi pada teuke dan
tekong meskipun dihadapkan pada sistem bagi hasil yang kurang adil. Hal ini karena nelayan
buruh tidak memiliki sumber daya alat tangkap untuk melaut. Terdapat hubungan dominasi yang
terbentuk dari adanya interaksi antara nelayan buruh dengan nelayan juragan. Nelayan juragan
adalah nelayan besar yang memiliki sumber daya alat tangkap. Hal ini membuat posisi tawar
nelayan nelayan buruh terhadap nelayan juragan lebih lemah, karena nelayan buruh lebih
membutuhkan kerja. Oleh sebab itu nelayan buruh harus pasrah jika dihadapkan dengan sistem
bagi hasil yang tidak adil.
Bagi nelayan buruh di Kecamatan Medan Belawan, terbatasnya pendidikan hanya sampai
bangku Sekolah Dasar (SD), keterampilan, pengalaman dan peluang kerja diluar sektor
perikanan, pekerjaan menjadi nelayan buruh adalah hal yang harus diambil. Oleh karena itu
mereka sangat membutuhkan kesempatan untuk bekerja pada nelayan juragan. Hubungan
demikian akan berkembang menjadi hubungan patron-klien dimana merasa harus balas budi
pada nelayan juragan yang telah mempekerjakan mereka (Kinseng, 2014: 176).
Ketika sekali melakukan perjalanan melaut, yang bertanggung jawab terhadap anak buah
kapal (nelayan buruh) adalah tekong. Teuke disini hanya sebagai pemilik kapal, tidak terlibat
secara langsung dalam kegiatan melaut. Namun, jika terjadi kerusakan selama melaut, yang
bertanggung jawab adalah teuke. Sistem bagi hasil yang berlangsung adalah 50 : 50 antara
tekong dan teuke. 50 persen yang didapat oleh tekong kemudian digunakan untuk menggaji para
nelayan buruh. Ilustrasinya seperti ini, tekong bersama lima awak kapal pergi melaut untuk
mencari ikan. Hasil tangkap selama tiga hari 30 juta, 5 juta digunakan untuk kebutuhan selama
melaut, hasil bersihnya adalah 25 juta. 25 juta ini dibagi tiga (bagian teuke, tekong dan ABK),
hasilnya adalah sekitar 8,3 juta. Untuk teuke 8,3 x 2 = 16,6 juta. 8,3 juta diberikan pada tekong
untuk menggaji kelima nelayan. Selama sehari nelayan diberi upah rata-rata 60 ribu, kalau tiga
hari berarti 180 ribu. Sehingga 900 ribu digunakan untuk menggaji kelima nelayan selama tiga
hari. Ini berarti tekong bersih menerima 7,4 juta selama tiga hari melaut. Jauh sekali hasil yang
didapat para nelayan. Mereka yang menggunakan tenaga untuk menangkap ikan namun hanya
diberi upah sangat minim. Bagi hasil yang kurang adil ini dijadikan alasan pembenar bagi para
teuke dan tekong dikarenakan tanggung jawab mereka lebih besar, sehingga hasil pendapatan
yang mereka terima harus jauh lebih besar. Hubungan dominasi seperti itu terus berlangsung
hingga sekarang.
Ketergantungan nelayan buruh pada nelayan juragan sangat menghambat munculnya
kesadaran untuk melawan sistem dominasi yang berlangsung. Oleh sebab itu masyarakat nelayan
buruh di Kecamatan Medan Belawan jarang ada yang mau bergabung dalam Kelompok HNSI.
Setiap aspirasi yang mereka sampaikan dalam bentuk protes atau penentangan, pada akhirnya
tidak ada perubahan.
Bantuan yang disalurkan melalui HNSI serta pelatihan yang diadakan di zona inti
Minapolitan tidak pernah tersentuh oleh mereka. Bantuan dan pelatihan-pelatihan hanya
dirasakan oleh para nelayan juragan. Banyak nelayan juragan yang mendapatkan kapal gratis
dari pemerintah. Merekapun semakin terampil dalam mengelola hasil tangkap yang baik
sehingga penghasilan mereka dapat meningkat. Tidak ada yang salah jika ada yang mengatakan
bahwa Kebijakan Minapolitan telah berhasil diimplementasikan, karena memang adanya
kebijakan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan, yakni nelayan juragan yang
memiliki dan menguasai sumber daya diantara para masyarakat nelayan. Siapa yang memiliki
sumber daya, dialah yang dapat berkuasa.
Keadaan yang sedemikian rupa menciptakan peluang bagi para pelaksana program yang
terlibat dalam implementasi Kebijakan Minapolitan di Kecamatan Medan Belawan. Mereka
mengajukan anggaran dana ke DPRD untuk program Minapolitan sesuai dengan kondisi
masyarakat nelayan yang ada di Kecamatan Medan Belawan. Namun karena dilapangan bantuan
hanya tersalur pada nelayan juragan yang jumlahnya sangat sedikit, sebagian anggaran yang
telah cair akan mudah diselewengkan. Seperti kasus korupsi yang dilakukan Kepala Dinas
Pertanian dan Kelautan yang menyelewengkan anggaran untuk bantuan kapal bubuh ikan yang
kini sedang dalam proses peyidikan KPK. Oleh karena itu kebijakan ini lebih mengarah pada
pembangunan fisik, dimana dalam proyek pembangunan banyak celah yang dapat digunakan
untuk meraup keuntungan yang mengarah pada penyelewengan anggaran program kebijakan.
Selain relasi antara nelayan buruh dan nelayan juragan, ada fenomena relasi yang
dibentuk antara nelayan buruh dan PT. Smart. Meski berdasarkan wawancara data yang
mengatakan bahwa PT. Smart paling banyak berkontribusi dalam pembangunan kawasan
Minapolitan, juga banyak isu yang beredar yang peneliti temui melalui data sekunder bahwa
antara PT. Smart dan nelayan buruh pernah terlibat konflik. Konflik muncul karena limbah
pabrik yang mengotori Laut Belawan dan Sungai Paluh Perta yang membuat ikan-ikan menjadi
susah untuk ditangkap. Untuk mengatasi isu tersebut akhirnya pada tahun 2013 memulai
program CSR. Strategi ini sangat efektif karena tidak lama kemudian isu negatif berbalik arah.
PT. Smart di kawasan Minapolitan Kecamatan Medan Belawan telah besar dan keberadaannya
diketahui oleh orang banyak. Padahal seharusnya permasalahan limbah diselesaikan dengan cara
yang menyelesaikan permasalahan limbah tersebut, bukan malah membuat strategi yang
menggalang simpati masyarakat nelayan buruh untuk menutupi kesalahannya.
Peneliti melihat disini bahwa aktor yang memiliki kekuatan dalam implementasi
Kebijakan Minapolitan di Kecamatan Medan Belawan adalah mereka yang memiliki sumber
daya, seperti nelayan juragan dan PT. Smart. Nelayan juragan terus eksis dalam program-
program Kebijakan Minapolitan yang seharusnya ditujukan ke masyarakat nelayan buruh juga,
namun karena keterbatasan yang dimiliki nelayan buruh membuat mereka tidak berdaya
dihadapkan dalam situasi demikian. Sedangkan PT. Smart semakin berlenggang karena
kesalahan pembuangan limbah yang mereka lakukan seolah dimaafkan oleh masyarakat nelayan
lantaran bantuan-bantuan disalurkan.
Ketidaktahuan masyarakat nelayan terhadap Kebijakan Minapolitan yang ditujukan untuk
mereka adalah karena adanya keterasingan relatif masyarakat nelayan (Mulyadi. 2005: 58). Para
nelayan yang tinggal dilingkungan terpencil di sepenjang tepi laut membentuk masyarakatnya
sendiri, terutama nelayan-nelayan buruh lepas dan nelayan perseorangan. Keterasingan ini
semakin besar ketika para nelayan tersebut dihadapkan dengan pekerjaannya yang lebih sering
menghabiskan waktu dilaut sehingga jauh dari aktivitas di darat. Dan ketika tidak sedang musim
melaut, para nelayan lebih memilih menghabiskan waktu dengan keluarga dan mencari
penghasilan sendiri dengan mencari kerang atau kepiting di tepi pantai dan jual ke para teuke. Ini
semua mereka lakukan untuk menghidupi keluarganya. Kondisi tempat tinggal mempengaruhi
pembentukan karakter sosial masyarakat nelayan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pembangunan dari masyarakat nelayan itu sendiri (Mulyadi, 2005: 59). Hal ini juga yang
mendukung para nelayan hanya pendidikan rendah.
Karakteristik tempat tinggal di tepi laut yang jauh dari masyarakat daratan membuat
nelayan menjadi terasing secara sosial. Keterasingan ini juga mempengaruhi sikapnya terhadap
anggota masyarakat lain yang bukan nelayan. Terbukti ketika peneliti mengunjungi pemukiman
para nelayan untuk diwawancarai, mereka tidak ada yang mau dan memilih menghindar dengan
alasan sibuk, mau melaut dan alasan lainnya.
Kesejahteraan masyarakat nelayan yang belum berubah sejak sebelum maupun setelah
adanya kebijakan pembangunan kawasan Minapolitan juga disebabkan dari pola konsumsi
masyarakat nelayan sendiri. Ketika nelayan mendapatkan hasil tangkap yang banyak, semua
penghasilan yang ia dapatkan akan segera mereka belanjakan pula semuanya. Namun ketika
tidak mendapatkan hasil tangkap, mereka menjual semua barang yang mereka punya. Mereka
mempunyai pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depan, artinya setiap kali
mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih maka pada saat itu pula mereka akan
membelanjakan atau menghabiskannya. Misalnya mereka membeli perhiasan, pakaian, dan
sebagainya. Terkadang mereka juga meminta pinjaman kepada saudara yang biasanya
dialokasikan oleh para nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan
dapur, membayar listrik dan kebutuhan jajan. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut menyebabkan
para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
Jika nelayan tidak ada hasil tangkapan dan juga tidak memiliki uang simpanan maka
sangat disesalkan sekali jika mereka harus menjual barang-barang mereka untuk kebutuhan
sehari-hari. Pada umumnya masyarakat nelayan kaya (juragan) yang melakukan gaya hidup
konsumtif, dengan penghasilan diatas rata-rata nelayan tradisional mereka dapat membelanjakan
apa yang mereka anggap perlu meskipun terkadang bukan berupa kebutuhan pokok seharihari.
Dalam hal ini nelayan buruh sering berinteraksi dengan nelayan juragan dan meniru gaya hidup
konsumtif mereka.
Dalam teori implementasi Merilee S. Grindle. Ada dua faktor yang mempengaruhi
keberhasilan sebuah kebijakan, yaitu faktor konten atau isi kebijakan dan faktor konteks atau
lingkungan kebijakan. Faktor isi kebijakan meliputi enam indikator, yaitu Kepentingan yang
terpengaruhi oleh kebijakan, jenis manfaat yang diperoleh, derajat perubahan yang diinginkan,
kedudukan pembuat kebijakan, pelaksana-pelaksana program dan sumber daya yang disediakan.
Sedangkan faktor konteks kebijakan meliputi tiga indikator yang terdiri dari kekuasaan,
kepentingan & strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa serta kepatuhan
dan daya tanggap dari kelompok sasaran. Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Medan
Belawan, ada dua faktor penyebab masyarakat nelayan belum sejahtera, yaitu faktor sosial dan
faktor dari pelaksana-pelaksana kebijakan. Faktor sosial disebabkan oleh keterasingn relatif dan
gaya hidup konsumtif nelayan Kecamatan Medan Belawan, sedangkan faktor pelaksana
kebijakan disebabkan dari sikap korup oknum pejabat yang bertanggungjawab dalam distribusi
bantuan untuk masyarakat nelayan.
Kesimpulan
Dari pembahasan penelitian ini, maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi
Peraturan Kementrian Kelautan dan Perikanan nomor 10 tahun 12 tentang Minapolitan di
Kecamatan Medan Belawan yang berpusat di Pelabuhan Perikanan Samudera belum sepenuhnya
berhasil. Dari tiga tujuan kebijakan Minapolitan, hanya satu tujuan yang telah terpenuhi, yaitu
pengembangan dan pembangunan fisik di kawasan Minapolitan. Hal ini terjadi karena program-
program yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan dijadikan ladang emas oleh
para pelaksana kebijakan untuk melakukan penyelewengan anggaran. Sedangkan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan seolah terlupakan oleh para pelaksana
kebijakan. Tidak ada indikasi dari pelaksana kebijakan untuk mengarah kesana dan berupaya
untuk mencari solusi. Hal ini membuat kondisi masyarakat nelayan buruh di Kecamatan Medan
Belawan semakin memprihatinkan.
Relasi yang terlihat jelas adalah antara nelayan buruh dan nelayan juragan, serta nelayan
buruh dengan PT. Smart. Relasi yang dibentuk antara nelayan buruh dan nelayan juragan
menunjukkan sebuah hubungan dominasi dan hubungan patron-klien. Hubungan dominasi dapat
dilihat dari sistem bagi hasil yang tidak adil dan kepasrahan nelayan buruh untuk mau
menerimanya. Sedangkan relasi yang terbentuk antara nelayan buruh dan PT. Smart dapat dilihat
dari strategi yang digunakan PT. Smart untuk mengaburkan kesadaran masyarakat nelayan
seolah-olah membiarkan melakukan pencemaran pada Laut Belawan yang dapat mengurangi
hasil tangkap nelayan dengan strategi penyaluran bantuan. Strategi tersebut adalah cara agar
masyarakat mau menerima (kesalahan) dan tidak melakukan aksi-aksi yang merugikan
perusahaan.
Ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat nelayan di Kecamatan Medan Belawan
belum sejahtera meskipun Kebijakan Minapolitan telah berjalan selama kurang lebih lima tahun.
Faktor yang dimaksud berasal dari faktor sosial dan faktor dari pelaksana kebijakan. Faktor
sosial disebabkan oleh keterasingan relatif yang dialami oleh nelayan buruh dan sikap konsumtif
masyarakat nelayan buruh. Sedangkan faktor pelaksana kebijakan disebabkan oleh mental korup
pelaksana program.
Daftar Pustaka
Buku
Dahuri, Rokhman. (2003) Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Keberlanjutan
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Grindle, Merilee S. (1980) Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey:
Princeton University Press.
Kinseng, Rilus. A (2014) Konflik Nelayan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mulyadi. (2005) Ekonomi Kelautan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahab, Solichin Abdul. (2008) Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.
Skripsi
Nurdin, Asrul. Implementasi kebijakan peraturan daerah no 2 tahun 2008 tentang pembinaan
anak jalanan, gelandagan, pengemis, dan pengamen di kota makassar, Departemen Ilmu
Politik dan Pemerintahan, Universitas Hasanuddin, 2013.
Website
Kemiskinan Nelayan dan Kepedulian Kita (2014) [diakses tanggal 14 September 2015]
http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/05/21/kemiskinan-nelayan-dan-kepedulian-
kita/.