JURNAL HUKUM · 2019-07-29 · mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan...
Transcript of JURNAL HUKUM · 2019-07-29 · mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan...
JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN INDONESIA
Volume 5 Nomor 1, Oktober 2018
ISSN: 2655-514X
Indonesian Center for Environmental Law
Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai
volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan
nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik
perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis
tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum
internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan;
(2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah
hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui
surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
Vol. 5 Issue 1 / Oktober / 2018
ISSN: 2655-514X
Website: www.icel.or.id/jurnal
E-mail: [email protected]
Diterbitkan oleh:
INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail
sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. x)
Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Telp. (62-21) 7262740, 7233390
Fax. (62-21) 7269331
Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.
Tata Letak : Tim JHLI
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka
ii
R E D A K S I D A N M I T R A B E S T A R I
Dewan Penasehat
Dr. Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Astrid Debora S.M., S.H., M.H
Redaktur Pelaksana
Marsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M
Yanuar Filayudha, S.Hum
Dewan Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Rino Subagyo, S.H.
Dyah Paramita, S.H., LL.M. Raynaldo G. Sembiring, S.H.
Margaretha Quina, S.H., LL.M
Mitra Bestari
Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M
Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam
penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.
iii
Rika Fajrini, S.H., M. GES Ohiongyi Marino, S.H. Isna Fatimah, S.H. Wenni Adzkia, S.H. Fajri Fadhillah, S.H. Angela Vania, S.H Adrianus Eryan, S.H
P E N G A N T A R R E D A K S I
“Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”
ebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making)
adalah kebijakan yang dibuat berlandaskan bukti-bukti yang mendukung
lahirnya kebijakan tersebut. Kebijakan yang berlandaskan bukti yang tepat
tentunya akan menghasilkan kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Namun
demikian, masih sering ditemui kebijakan yang tidak disertai dengan landasan bukti
yang tepat.
Payung hukum formal untuk perumusan kebijakan berbasis kajian bukti yang
tepat memang secara eksplisit belum ada. Namun demikian, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebetulnya
telah mengatur mengenai kebutuhan penelitian baik hukum maupun penelitian
lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebelum menerbitkan
sebuah regulasi. Hasil penelitian ini secara formal dituangkan dalam Naskah
Akademik.
Namun demikian, Naskah Akademik hanya diwajibkan ada pada suatu
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat. Mengingat tidak semua regulasi dikenai kewajiban
didahului dengan Naskah Akademik, tidak heran kemudian banyak regulasi yang
tidak disertai dengan landasan yuridis, filosofis, dan historis termasuk landasan
ilmiah. Banyak regulasi muncul dengan tujuan menyelesaikan persoalan suatu hal,
namun kemudian menimbulkan persoalan lainnya. Ditambah lagi, ada regulasi-
regulasi yang didahului dengan perumusan Naskah Akademik, namun Naskah
Akademik yang ada hanya memenuhi standar formal UU 12 Tahun 2011, bukan
substansi yang menjadi kewajibannya.
Selain mengatur kewajiban pembuatan Naskah Akademik untuk regulasi
tertentu, Bab XI UU 12 Tahun 2011, telah mengatur pula mengenai Partisipasi
Masyarakat dalam perumusan regulasi. Disebutkan bahwa masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Masukan tersebut dapat disampaikan melalui: (a) rapat
dengar pendapat umum (b) kunjungan kerja; (c) sosialisasi; dan/atau (d) seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi. Untuk memudahkan keterlibatan tersebut, setiap
rancangan Peraturan Perundang-undangan diatur harus dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.
Faktanya, tidak jarang masyarakat hanya dilibatkan di akhir proses dan sebagai
formalitas saja. Selain itu, akses tersebut seringkali sulit diperoleh. Biasanya informasi
K
iv
mengenai rancangan regulasi hanya ada di situs resmi pembuat regulasi. Tidak semua
kelompok masyarakat terbiasa mengakses situs resmi pembuat regulasi. Ditambah
lagi, tidak semua rancangan regulasi tersedia di situs resmi pembuat regulasi.
Bagaimana mungkin suatu kebijakan dikatakan dapat berdampak baik apabila
kebijakan tersebut tidak didasarkan pada analisis data akurat, baik dari informasi
yang disampaikan oleh masyarakat itu sendiri, pendapat ahli, hasil penelitian, dan
informasi dari para pemangku kepentingan ataupun fakta di lapangan? Catatan
tersebut menjadi dasar Redaksi mengambil tema “Perumusan Kebijakan Berbasis
Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy Making) dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
Berbagai catatan kritis dan analisis yang terdapat di dalam tulisan-tulisan yang
dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu memantik diskusi yang lebih dalam
mengenai: (1) Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang
bersangkutan dalam tataran norma? (2) Bagaimana persoalan-persoalan yang
dihadapi dalam mengimplementasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang
bersangkutan? (3) Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan
mengembangkan hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?
Dalam jurnal kali ini, Penulis pertama, Agus Efendi dkk mengulas tentang tidak
konsistennya kebijakan energi di Indonesia, kaitannya terhadap pemberlakuan
standar emisi gas buang Euro 4. Penulis kedua, Windu Kisworo membahas tentang
aplikasi prinsip-prinsip terkait bukti ilmiah di Amerika Serikat dalam pembuktian
perkara perdata lingkungan di Indonesia. Penulis ketiga, Perdinan dkk menjelaskan
tentang telaah inisiatif dan kebijakan Indonesia dalam proses adaptasi perubahan
iklim dan ketahanan pangan. Penulis keempat, Shafira Anindia Alif Hexagraha
menulis tentang trajektori ko-produksi di Indonesia dari telaah geografi kritis.
Melengkapi tulisan tersebut, Penulis kelima, Grita Anindarini Widyaningsih mencoba
membedah kebijakan perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia. Penulis ke-enam,
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M mengulas Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun
2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta
Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikenal dengan istilah Inpres
Moratorium Sawit.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah
mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini dan
melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat dan
Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota Sidang
Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan substantif
bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G. Wibisana, S.H.,
LL.M., Ph.D dan Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., LL.M. yang telah melakukan blind
peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini.
v
Akhir kata, JHLI Vol. 5 Issue 1 (Oktober 2018) ini tidak lepas dari kekurangan.
Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk
memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.
Jakarta, Oktober 2018 Redaksi
vi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
ISSN: 2655-514X
VOLUME 05, NOMOR 1, OKTOBER 2018
HALAMAN 1-159
D A F T A R I S I
Redaksi & Mitra Bestari…………………………………………………………. iii
Pengantar Redaksi……………………………………………………………….. iv Daftar Isi…………………………………………………………………………... vii Daftar Gambar …………………………………………………………………… viii Daftar Tabel………………………………………………………………………. ix
Artikel Ilmiah
1. Inkonsistensi Kebijakan Energi di Indonesia: Kaitannya terhadap
Pemberlakuan Standar Emisi Gas Buang Euro 4
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, dan Ni Luh Putu Chintya
Arsani………………………………………………………………………….
1-23
2. Aplikasi Prinsip-Prinsip terkait Bukti Ilmiah (Scientific Evidence) di
Amerika Serikat dalam Pembuktian Perkara Perdata Lingkungan di
Indonesia
Windu Kisworo……………………………………………………………… 24-59
3. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan
Kebijakan
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi, dan Woro Estiningtyas …………... 60-87
4. Trajektori Ko-Produksi Kota di Indonesia: Telaah Geografi Kritis
Shafira Anindia Alif Hexagraha…………………………………………... 88-116
Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia
Grita Anindarini Widyaningsih…………………………………………... 117-136
Ulasan Peraturan: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan
Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M………………………………… 137-153
Daftar Indeks……………………………………………………………………... 154-159
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia……………........ x
vii
D A F T A R G A M B A R
Gambar 1. Luas panen (kiri) dan distribusi spasial produktivitas (kanan)……………………………………………………………..
65
Gambar 2. Jaringan suplai beras di Indonesia. Sumber: dimodifikasi dari kompilasi rantai pasok beras di Indonesia yang dijelaskan………………………………………………………….
67
Gambar 3. Produksi beras nasional. Tahun El-Nino, Tahun La-Nina. Selisih produksi beras adalah perbedaan produksi tahun berjalan dengan tahun sebelumnya…………………………….
68
Gambar 4. Produksi, Konsumsi, dan Surplus Beras Indonesia tahun 1990 – 2013…………………………………………………………
70
Gambar 5. Identifikasi dampak perubahan iklim global terhadap iklim wilayah di Indonesia. Sumber: dikompilasi dari berbagai laporan penelitian………………………………………………...
71
Gambar 6. Identifikasi dampak perubahan iklim terhadap produksi padi in Indonesia………………………………………………….
71
Gambar 7. Hasil kompilasi bentuk adaptasi perubahan iklim…………. 73 Gambar 8. Program Peningkatan Produksi Padi Nasional dan Paket
Teknologi Anjuran. Sumber: dimodifikasi dari Pratiwi………
78
Gambar 9. Identifikasi kebijakan sektor pertanian terkait adaptasi perubahan iklim…………………………………………………..
79
viii
D A F T A R T A B E L
Tabel 1. Perbandingan Arah Kebijakan Energi dengan
Energi Trilemma Indeks……………………………………………. 123
Tabel 2. Perbandingan Potensi dan Perencanaan Pembangkit…………… 129
Tabel 3. Perbandingan Rencana Pembangunan Pembangkit Berbasis
Energi Terbarukan dalam RUEN dan RUPTL………………….... 132
Tabel 4. Perkembangan Penambahan Kapasitas per Tahun untuk
PLTA, PLTP, dan PLTS………………….………………….………... 133
ix
1
INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA:
KAITANNYA TERHADAP PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI
GAS BUANG EURO 4
Agus Efendi1, Alia Yofira Karunian2, Ni Luh Putu Chintya Arsani3
Abstrak Disahkannya Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak pada 31 Desember 2014 lalu menandakan komitmen Indonesia dalam mengurangi penggunaan energi tak ramah lingkungan. Perpres No. 191 Tahun 2014 ini membatasi pendistribusian Premium untuk wilayah yang menghasilkan gas buang kendaraan bermotor dengan jumlah besar seperti Jawa dan Bali. Namun, pada 24 Mei 2018 lalu, Presiden Jokowi mengesahkan Perpres No. 43 Tahun 2018 yang kembali mewajibkan pendistribusian Premium di wilayah Jawa dan Bali. Rencana ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan baku mutu emisi gas buang Euro 4 yang diadopsi melalui Permen LH No. 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Artikel ini mengaplikasikan metode penelitian audit kebijakan. Simpulan dari artikel ini adalah evidence-based policy making tidak diimplementasikan dalam perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018. Meskipun bukti ilmiah menunjukkan bahwa Premium tidak memenuhi standar Euro 4, Pemerintah tetap bersikeras mewajibkan kembali pendistribusian Premium di wilayah Jawa dan Bali. Kata kunci: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4
Abstract The enactment of Presidential Regulation No. 191 Year 2014 concerning Provision, Distribution and Retail Price of Fuel Oil on December 31st 2014 signified Indonesia's commitment in reducing the use of not environmentally friendly energy. This regulation limits Premium distribution to areas that produce large amounts of motor vehicle exhaust e.g. Java and Bali. However, on 24th May 2018, President Jokowi promulgated Presidential Regulation No. 43 Year 2018 which will again require Premium distribution in Java and Bali. This plan is contrary to Indonesia's commitment to implement the Euro 4 emission quality standard adopted through Ministerial Regulation No. 20 of 2017 concerning the Exhaust Emission Standards of New Type Motor Vehicle with M, N, O Category. This article applies policy-audit research methodology. This article’s conclusion is, the evidence-based policy making is not
1 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan program kekhususan
Hukum Internasional. 2 Penulis adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan saat ini bekerja sebagai Peneliti
Muda di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 3 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
2
implemented in the promulgation of Presidential Regulation No. 43 Year 2018. Although the scientific evidence shows that Premium does not meet Euro 4 standards, the Government still insists to again require the Premium distribution in Java and Bali. Keywords: Evidence-based policy making, Premium, Euro 4
I. Pendahuluan
Secara global, dalam rentang waktu
1990 hingga 2015, tingkat kematian yang
disebabkan oleh polusi udara meningkat
sejumlah 20% dari 3,5 juta orang menjadi
4,2 juta orang.4 Mengontrol emisi gas
buang kendaraan bermotor adalah hal
yang sangat penting untuk dilakukan
demi mengurangi polusi udara.5 Upaya
untuk mengontrol emisi gas buang
kendaraan bermotor dimulai sejak tahun
1990 saat Uni Eropa mengeluarkan
peraturan yang mewajibkan
penggunaan katalis untuk mobil bensin
yang disebut standar Euro 1. Hal ini
bertujuan untuk memperkecil kadar
bahan pencemar yang dihasilkan
kendaraan bermotor. Selanjutnya secara
bertahap Uni Eropa memperketat
4 Cohen AJ, Brauer M, Burnett R, et al., “Estimates and 25-year Trends of the Global Burden of
Disease Attributable to Ambient Air Pollution: An Analysis of Data from the Global Burden of Diseases Study 2015,” The Lancet, 389 (2017), hlm. 1907.
5 Helotonio Carvalho, “The Global Burden of Air Pollution-Associated Deaths - How Many Are Needed for Countries to React?”, Elsevier Vol.1, (2017), hlm.179.
6 Anton Suhartono, “Akan Diberlakukan pada 2018, Apa Itu Standar Emisi Euro4?”, https://news.okezone.com/read/2017/04/03/15/1657747/akan-diberlakukan-pada-2018-apa-itu-stan dar-emisi-euro4, diakses pada 7 September 2018
peraturan menjadi standar Euro 2 (1996),
Euro 3 (2000), Euro 4 (2005), Euro 5 (2009),
dan Euro 6 (2014). Indonesia juga mulai
memberlakukan standar emisi gas buang
Euro 4 dengan berbagai pertimbangan.
Standar emisi gas buang Euro 4 pada
bahan bakar minyak adalah emisi gas
buang yang memiliki kadar gas CO
maksimal 1 gr/km, HC 0,1 gr/km, NOx
0,08 gr/km dan untuk mesin diesel
memiliki kadar gas maksimal CO 0,50
gr/km, HC+NOx 0,3 gr/km, pm 0,025
gr/km.6 Untuk mengetahui apakah
suatu bahan bakar minyak dapat
memenuhi standar baku mutu emisi gas
buang Euro 4, dapat dilihat dari bilangan
oktan bahan bakar tersebut. Bilangan
oktan digunakan sebagai istilah untuk
menyatakan mutu bensin sebagai bahan
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
3
bakar berkompresi tinggi. Semakin
tinggi bilangan oktan, maka semakin
baik mutu bahan bakar tersebut,7
semakin sedikit emisi gas karbon
dioksida yang dihasilkan,8 dan semakin
lambat bahan bakar tersebut terbakar.
Hal ini membuat residu yang tertinggal
pada mesin sangat sedikit atau bahkan
tidak ada sehingga tidak ada gangguan
pada kinerja mesin.9
Kategori bahan bakar yang
memenuhi standar emisi gas buang Euro
4 adalah bahan bakar bernilai oktan
minimal 9210 e.g., Pertamax dengan
bilangan oktan 92, Pertamax Plus dengan
bilangan oktan 95 dan Pertamax Turbo
dengan bilangan oktan 98.11 Karenanya,
bahan bakar seperti Premium dengan
7 Romany M. Webb, Increasing Gasoline Octane Levels to Reduce Vehicle Emissions: A Review of Federal
and State Authority (New York: Sabin Center for Climate Change Law, 2017), hlm. 20. 8 Tim Theiss, et.al., Summary of High-Octane, Mid-Level Ethanol Blends Study 2, (Oak Ridge: Oak Ridge
National Laboratory, 2016), hlm. 2. 9 Ibid. 10 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Standar Emisi Euro 4 Segera Diberlakukan
Di Indonesia”, http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/579, diakses pada 3 September 2018. 11Praga Utama, “Ini Beda Premium, Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Plus”,
https://bisnis.tempo.co/read/678224/ini-beda-premium-pertalite-pertamax-dan-pertamax-plus/full&view=ok, diakses pada 3 September 2018.
12 Ibid. 13 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O, Nomor PM 20 Tahun 2017, Lampiran I (C).
14 Arief Hermawan, “Indonesia Masih Terbelakang Soal Standar Emisi Kendaraan”, https://tirto.id/ indonesia-masih-terbelakang-soal-standar-emisi-kendaraan-cjxJ, diakses pada 3 September 2018.
bilangan oktan 88 dan Pertalite dengan
bilangan oktan 9012 tidak memenuhi
standar emisi gas buang Euro 4.13
Premium sendiri sudah tidak beredar di
pasar dunia karena tidak memenuhi
standar emisi gas buang internasional,
selain karena bilangan oktan yang terlalu
rendah yaitu 88, kini standar emisi gas
buang internasional sudah meningkat
menjadi Euro 6.14
Pemberlakuan standar emisi gas
buang ini bukan tanpa alasan.
Perubahan iklim global yang
diakibatkan oleh peningkatan aktivitas
manusia (antropogenik) yang berimbas
pada peningkatan gas rumah kaca,
menjadi alasan utama diberlakukannya
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
4
standar emisi gas buang.15 Emisi gas
antropogenik yang lazim ditemukan di
seluruh dunia (baik sebagai polusi udara
perkotaan dan deposisi atmosfer lintas
batas) adalah, sulfur oksida (SOx),
nitrogen oksida (NOx), karbon
monoksida (CO), ozon (O3), jejak organik
(aldehida, benzena dan hidrokarbon
plyaromatic), beberapa jenis jejak logam
(terutama timbal (Pb)) dan partikulat
tersuspensi, serta polusi udara dari
kapal.16 Pembakaran bahan bakar fosil,
khususnya dari kendaraan bermotor,
menghasilkan 2 (dua) nitrogen oksida;
nitrogen oksida (NO dan nitrogen
dioksida (NO2), yang secara kolektif
dikenal sebagai NOx),17 yang kemudian
turut berkontribusi dalam peningkatan
antropogenik dari gas rumah kaca dan
pada akhirnya akan mengakibatkan
pemanasan global dan kerusakan
lingkungan.
15 Patricia Birnie, et.al., International Law & the Environment, 3rd ed., (UK: Oxford University Press,
2009), hlm. 336. 16 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, 2nd ed., (UK: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 323. 17 Ibid. 18 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, “Impor Bensin RON 88 Direkomendasikan
Dihentikan”, https://migas.esdm.go.id/post/read/Impor-Bensin-RON-88--Direkomendasikan-Dihentikan, diakses pada 30 Mei 2018.
19 Abdul Aziz, “Inkonsistensi Pemerintah Soal Kebijakan BBM Premium” https://tirto.id/inkon sistensi-pemerintah-soal-kebijakan-bbm-premium-cKAF, diakses pada 4 September 2018.
Sebagai upaya untuk menyesuaikan
diri dengan standar emisi gas buang
internasional, Presiden Jokowi
kemudian membentuk Tim Reformasi
Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi pada
tahun 2014. Beberapa rekomendasi yang
diberikan oleh Tim Reformasi Tata
Kelola Minyak dan Gas Bumi adalah
menyarankan penghentian impor bahan
bakar beroktan 88 (Premium) atau bahan
bakar lainnya yang beroktan rendah dan
menggantinya dengan Pertamax yang
beroktan 9218 serta pengalihan produksi
kilang domestik dari bensin beroktan 88
menjadi beroktan 92.19
Rekomendasi ini juga didukung oleh
munculnya Peraturan Presiden No. 191
Tahun 2014 tentang Penyediaan,
Pendistribusian dan Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak (selanjutnya
disebut Perpres No. 191 Tahun 2014).
Perpres ini mengatur pengecualian
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
5
penyaluran bahan bakar minyak
beroktan 88, termasuk Premium, di Jawa
dan Bali.20 Perpres ini dinilai sebagai
langkah awal pemerintah untuk
menghapus bahan bakar tak ramah
lingkungan secara bertahap. Pada tahun
2017, standar emisi gas buang Euro 4
secara resmi diberlakukan di Indonesia
melalui Permen LH dan Kehutanan No.
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/20
17. Adapun masa transisi yang diberikan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) terkait
penerapan standar emisi Euro 4 adalah
paling lambat 1 tahun 6 bulan untuk
kendaraan bermotor berbahan bakar
bensin, CNG dan LPG21 serta 4 tahun
untuk kendaraan bermotor berbahan
bakar diesel.22 Setelah mengalami
pengunduran oleh KLHK selama 6
(enam) bulan, penghitungan masa
transisi penerapan Euro 4 ini akan
20 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar
Minyak, Perpres No. 191 Tahun 2014, Ps. 3 ayat (3). 21 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Op, cit., Ps 8 ayat (1) huruf a. 22 Ibid., Ps 8 ayat (1) huruf b. 23 Safyra Primadhyta, “KLHK Undur Masa Transisi Penerapan Standar Emisi Euro 4”
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180417094301-85-291322/klhk-undur-masa-transisi-penerapan-standar-emisi-euro-4, diakses pada 30 Agustus 2018.
24 Alanna Petroff, “These countries want to ban gas and diesel cars”, http://money.cnn.com/2017/09/11/ autos/countries-banning-diesel-gas-cars/index.html, diakses pada 29 Juni 2018.
dimulai terhitung Maret 2019
mendatang.23
Sayangnya, konsistensi pemerintah
dalam menjalankan rekomendasi-
rekomendasi yang diberikan oleh Tim
Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas
Bumi ini tidak berlangsung lama. Pada
Juli 2017, pada saat negara-negara lain
berencana menerapkan kebijakan
mengurangi emisi gas buang dengan
melarang penggunaan kendaraan
bermotor berbahan bakar minyak,24
Pemerintah Indonesia sebaliknya
mengumumkan bahwa Indonesia akan
kembali mewajibkan pendistribusian
bahan bakar minyak beroktan rendah
seperti Premium di seluruh wilayah
Indonesia. Kebijakan mewajibkan
kembali pendistribusian Premium ini
kemudian tercantum dalam Perpres No.
43 Tahun 2018 yang disahkan oleh
Presiden Jokowi pada 24 Mei 2018 lalu.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
6
Pemberlakuan Peraturan Presiden ini
mengakibatkan masyarakat
mempertanyakan kembali komitmen
Pemerintah Indonesia dalam
mengontrol emisi gas buang kendaraan
bermotor guna mengurangi polusi udara
di Indonesia.
Prinsip pengambilan kebijakan yang
harus didasari oleh bukti ini disebut juga
sebagai prinsip evidence-based policy
making. Dalam pengimplementasian
evidence-based policy making, pemerintah
dituntut untuk memiliki kemampuan
untuk mengelola kebijakan hingga
manfaatnya dirasakan oleh orang
banyak.25 Dengan ditetapkannya Perpres
ini muncul satu pertanyaan yakni:
sudahkah prinsip evidence-based policy
making diimplementasikan dengan baik
dalam proses perumusan Perpres No. 43
Tahun 2018?
25 Sudi Fahmi, “Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Jurnal Hukum, 2, 18 (2011), hlm. 217. 26 EVY/OIN, “Kuota Premium Jawa-Bali Dibatasi”,
https://nasional.kompas.com/read/2010/09/22/09102483/kuota.premium.jawa-bali.dibatasi, diakses pada 4 Oktober 2018.
II. Komitmen Indonesia dalam
Mengurangi Energi Tak Ramah
Lingkungan
A. Komitmen Berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 191 Tahun 2014
Perpres No. 191 Tahun 2014 yang
diundangkan pada tanggal 31 Desember
2014 memuat beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan komitmen Indonesia
dalam mengurangi energi yang tak
ramah lingkungan. Pasal 3 mengatur
bahwa pemerintah melalui Perpres
tersebut, membatasi pendistribusian
Jenis BBM Khusus Penugasan atau BBM
jenis Bensin RON minimum 88
(Premium) untuk wilayah Jawa dan Bali.
Pembatasan pendistribusian didasari
atas alasan tingginya konsumsi Premium
pada wilayah Jawa dan Bali.26 Konsumsi
Premium yang tinggi tersebut turut
berkontribusi dalam kualitas udara
bersih di wilayah Jawa dan Bali.
Menurut data yang dirilis oleh
Greenpeace Indonesia, Jakarta dan
Denpasar menempati posisi 5 (lima)
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
7
besar sebagai kota dengan kualitas udara
terburuk di dunia.27 Karenanya,
pembatasan pendistribusian Premium di
wilayah Jawa dan Bali tersebut juga
merupakan sebuah bentuk kesadaran
Pemerintah akan besarnya
permasalahan lingkungan yang
ditimbulkan oleh gas buang sisa
pembakaran BBM yang mengandung
bahan-bahan pencemar seperti CO2
(Carbon Dioksida), NOx (Nitrogen Oksida),
CO (Carbon Monoksida), VHC (Volatile
Hydro Carbon) dan partikel lainnya.
Bahan-bahan tersebut berpotensi
memicu dampak negatif terhadap
manusia maupun ekosistem bila
melebihi konsentrasi tertentu.28
Kebijakan mengenai pembatasan
pendistribusian Premium untuk wilayah
Jawa dan Bali tersebut sejalan dengan
beberapa peraturan yang berkaitan
dengan pengendalian pencemaran udara
dan permasalahan lingkungan lainnya.
Peraturan perundangan tersebut antara
27 KumparanSAINS, “Jakarta dan Denpasar Masuk Daftar Kota Berpolusi Udara Terburuk Dunia”,
27 Juli 2018, https://kumparan.com/@kumparansains/jakarta-dan-denpasar- masuk-daftar-kota-berpolusi-udara-terburuk-dunia-27431110790555072, diakses pada 4 Oktober
2018. 28 Sugiarti, “Gas Pencemar Udara Dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia,” Jurnal Chemica, Vol.
10, (2009), hlm. 50.
lain; Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara, serta Permen LH tentang Baku
Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor. Peraturan-peraturan tersebut
membebankan tanggung jawab kepada
Pemerintah untuk mengatur semua
usaha atau kegiatan agar tidak
mencemari lingkungan, khususnya
dalam kegiatan transportasi dimana
pemerintah diwajibkan untuk
menggunakan BBM yang ramah
lingkungan.
B. Komitmen secara Internasional
mengenai Pengendalian dan
Pengurangan Energi Tak Ramah
Lingkungan
Perubahan iklim merupakan salah
satu permasalahan lingkungan yang
menjadi perhatian utama dari banyak
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
8
negara di dunia. Salah satu penyebab
utama dari perubahan iklim tersebut
adalah meningkatnya emisi gas rumah
kaca yang memicu suhu global rata-rata
di permukaan bumi meningkat.
Peningkatan suhu permukaan bumi
tersebut diperkirakan akan
menyebabkan naiknya permukaan laut
dan bergesernya zona iklim. Kesadaran
luas bahwa risiko kerugian ekonomi dan
lingkungan yang timbul akibat
perubahan iklim akan sangat tinggi,
mendorong masyarakat internasional
melakukan tindakan untuk
mengendalikan potensi perubahan
iklim. Berbagai macam tindakan, seperti
negosiasi antara negara-negara terus
dilaksanakan. Negosiasi yang
dilaksanakan oleh negara-negara
tersebut bertujuan untuk membentuk
sebuah “world-wide agreement”.29
“World-wide agreement” atau
perjanjian internasional ini berkaitan
dengan pengendalian dan pengurangan
energi tak ramah lingkungan, khususnya
29 Carlo Carraro, International Environmental Agreements on Climate Change, (Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers, 1999), hlm. 1. 30 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Framework Convention on Climate Change,
(resolution/adopted by the General Assembly, 20 Januari 1994, A/RES/48/189), Ps 2.
yang berkaitan dengan permasalahan
Emisi Gas Buang Kendaraan. Meskipun
terdapat beberapa permasalahan
mengenai pengendalian dan
pengurangan energi tak ramah
lingkungan masih belum dapat
dipecahkan, namun negosiasi antar
negara tersebut akhirnya mampu untuk
merumuskan sebuah perjanjian
internasional. Perjanjian internasional
tersebut yaitu United Nations Framework
Convention on Climate Change
(selanjutnya disingkat UNFCCC).
UNFCCC merupakan sebuah
konvensi internasional yang memiliki
tujuan untuk mencapai “stabilization of
greenhouse gas concentrations in the
atmosphere at a level that would prevent
dangerous anthropogenic interference with
the climate system”30. Selain itu UNFCCC
juga berisi komitmen dari negara-negara
untuk menerapkan langkah-langkah
penting dalam hal pengurangan
kegiatan yang menghasilkan emisi dan
mampu mencemari lingkungan udara.
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
9
Selain UNFCCC, terdapat sebuah
perjanjian internasional yang juga
memiliki tujuan untuk mengendalikan,
mengurangi atau mencegah emisi gas
rumah kaca, yaitu Kyoto Protocol to the
United Nations Framework Convention on
Climate Change (selanjutnya disingkat
Protokol Kyoto). Protokol Kyoto
memiliki hubungan yang erat dengan
UNFCCC karena Protokol tersebut
dibentuk dan diadopsi pada konferensi
ketiga dari negara anggota UNFCCC
atau the Third session of the Conference of
Parties (COP3) yang diadakan di Kyoto,
Jepang pada tahun 1997. Indonesia telah
meratifikasi Protokol Kyoto dengan
Undang-Undang 17 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to the United
Nations Framework Convention on Climate
Change pada tanggal 28 Juli 2004.31
Sama halnya dengan UNFCCC,
Protokol Kyoto juga berisi komitmen-
komitmen dari negara-negara anggota
dalam mencapai tujuan untuk
31 Marsudi Triatmodjo, “Implikasi Berlakunya Protokol Kyoto-1997 Terhadap Indonesia”, Jurnal
Hukum Internasional, Vol. 2, (2005), hlm. 302. 32 Ludivine Tamiotti, Trade and Climate Change: A Report by the United Nations Environment
Programme and the World Trade Organization, (UNEP: Earthprint, 2009), hlm. 71-72. 33 Ashwani Kumar, et.al, Biofuels: Greenhouse Gas Mitigation and Global Warming: Next Generation
Biofuels and Role of Biotechnology, (India: Spinger, 2018), hlm. 6.
membatasi atau mengurangi emisi gas
rumah kaca, dengan cara menerapkan
dan/atau merinci kebijakan dan
tindakan lebih lanjut untuk membatasi
dan mengurangi emisi gas rumah kaca.32
Selain itu, Protokol Kyoto secara umum
dipandang sebagai langkah pertama
yang penting menuju rezim
pengurangan emisi global yang benar-
benar diharapkan akan mampu
menstabilkan konsentrasi gas rumah
kaca.33
Namun demikian, pada masa ini
Protokol Kyoto dianggap kurang adil
dan kurang efektif dalam mengikat
negara-negara anggota untuk ikut
terlibat dalam mengatasi perubahan
iklim yang semakin parah.
Ketidakadilan dan ketidakefektifan
tersebut dikarenakan Protokol Kyoto
hanya membebankan kewajiban kepada
negara-negara maju untuk membatasi
atau mengurangi emisi gas rumah kaca
serta menciptakan kestabilan iklim
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
10
(Annex I Protokol Kyoto), namun
cenderung membebaskan negara-negara
berkembang dari kewajiban tersebut.
Kebijakan tersebut menyebabkan
kewajiban negara-negara dalam
mengurangi atau membatasi emisi gas
rumah kaca tidak merata sehingga
mengakibatkan sulit tercapainya
kestabilan iklim global di bumi.34
Meskipun Indonesia bukan
merupakan negara anggota Annex 1 dari
Protokol Kyoto, Pemerintah Indonesia
kemudian mengesahkan Perpres Nomor
61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca. Perpres ini disusun untuk
menindaklanjuti kesepakatan COP13,
COP15, COP16 dan memenuhi
komitmen Pemerintah Indonesia dalam
pertemuan G-20 di Pittsburg untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca.35
Dalam bidang energi dan transportasi,
Perpres ini mengatur bahwa salah satu
34 Christoph Böhringer, The Kyoto Protocol: A Review and Perspectives, Discussion Paper No. 03-61,
ZEWl-Zentrum für Europäische Wirtschaftsforschung/Center for European Economic Research (2003), hlm. 11.
35 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011, bagian Menimbang huruf b.
36 ibid, Lampiran I, hlm. 10. 37 Climate Focus, “The Paris Agreement Summary”, Climate Focus Client Brief on the Paris
Agreement III, Briefing Note, (2015), hlm. 1.
kebijakan yang digunakan untuk
menunjang penurunan emisi gas rumah
kaca di Indonesia adalah penggunaan
bahan bakar yang lebih bersih (fuel
switching).36
Seiring berjalannya waktu,
ketidakefektifan Protokol Kyoto tersebut
berujung pada pelaksanaan Konferensi
Antar Negara Anggota (Conference of the
Parties/COP21) dari UNFCCC ke-21 yang
diadakan di Paris pada tanggal 12
Desember 2015. Dalam COP21 tersebut,
196 negara-negara anggota dari
UNFCCC mengadopsi Paris Agreement
(Perjanjian Paris). Perjanjian Paris
merupakan sebuah kerangka kerja baru
yang mengikat secara hukum sebagai
upaya yang dikoordinasikan secara
internasional untuk mengatasi
perubahan iklim.37 Tujuan utama dari
Perjanjian Paris, sebagaimana diatur
dalam Pasal 2, adalah untuk menahan
kenaikan suhu rata-rata global di bawah
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
11
2°C (dua derajat Celcius) di atas tingkat
di masa pra-industrialisasi dan
melanjutkan upaya untuk menekan
kenaikan suhu ke 1,5°C (satu setengah
derajat Celcius) di atas tingkat pra–
industrialisasi.
Indonesia menandatangani
Perjanjian Paris pada 22 April 2016, dan
dilanjutkan dengan ratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia
telah berkomitmen untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca (mitigasi) pada
tahun 2030 sebesar 29% dengan
kemampuan sendiri dan sampai dengan
41% bila dengan dukungan
internasional.38
III. Evidence-Based Policy Making
dalam Perumusan Peraturan
Presiden Nomor 43 Tahun 2018
Gagasan evidence-based policy making
merupakan sebuah gagasan yang
38 Nur Masripatin, et.al., Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution), (Jakarta:
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK RI, 2017), hlm. 2-4. 39 I Plewis, Educational Inequalities and Education Action Zones, dalam C. Pantazis dan D. Gordon
(eds), Tackling Inequalities: Where Are We Now and What Can Be Done, (Bristol: Policy Press, 2000), hlm. 96.
40 Philippe, Op.cit., hlm. 6. 41 Suzuette S. Soomai, “The Use and Influence of Scientific Information in Environmental Policy
Making: Lessons Learned from Nova Scotia”, Proceedings of the Nova Scotian Institute of Science Vol.47 Part.1, (2012), hlm. 158.
menitik beratkan pada perumusan
kebijakan lingkungan yang hanya dapat
diadopsi ketika didasari ada bukti ilmiah
yang meyakinkan.39 Evidence-based policy
making hadir sebagai sebuah bentuk
pencegahan kerusakan lingkungan yang
mungkin timbul40 sebagai akibat
kegagalan suatu kebijakan yang diambil
oleh pembuat kebijakan.41
Peran kajian bukti ilmiah dalam
pengembangan dan implementasi
kebijakan terlihat dari berbagai cara
antara lain: pertama, kajian bukti ilmiah
berperan sebagai sumber informasi
mengenai efektivitas masing-masing
opsi kebijakan yang akan diambil
sehingga mempermudah pengambil
kebijakan dalam mengambil keputusan
tentang kebijakan mana yang harus
diambil. Kedua, kajian bukti ilmiah dari
evaluasi kebijakan berperan sebagai
sumber informasi bagi pengambil
kebijakan untuk memutuskan apakah
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
12
kebijakan tersebut dapat dilanjutkan
atau diperlukannya penyesuaian
kebijakan demi efektivitas kebijakan itu
sendiri.42
Pada dasarnya, proses pengambilan
kebijakan lingkungan memiliki ciri
interdisipliner, yang tercermin dalam
proses pembuatannya yaitu ketika para
ahli hukum, peneliti, dan para ilmuwan
berintegrasi untuk memformulasikan
suatu kebijakan lingkungan.43 Oleh
karena itu, bukti kajian ilmiah yang
dibutuhkan untuk mendukung
kebijakan harus juga bersifat
interdisipliner, luas, dan jangka
panjang.44 Selain itu, bukti kajian ilmiah
tersebut harus dikumpulkan secara
cermat dan sistematis45 serta relevan,
representatif dan valid.46
42 Ian Sanderson, “Evaluation, Policy Learning and Evidence-Based Policy Making”, Public
Administration, Vol.80, No.1, (2002), hlm. 4. 43 C. Brodhag dan S. Taliere, “Sustainable Development Strategies: Tools for Policy Coherence”,
Natural Resources Forum Vol.30 No.2, (2006): hlm.136-145.; lihat juga B.W. Head, “Three Lenses of Evidence-Based Policy”, Australian Journal of Public Administration Vol.67 No.1, (2008), hlm. 1-11.
44 Louise Shaxson, et.al., “Developing an Evidence-based Approach to Environmental Policy Making: Insights from Defra’s Evidence & Innovation Strategy”, Science & Technology Policy Research Electronic Working Paper, No. 181, (2009), hlm. 2.
45 Court, et.al. Policy Engagement: How Civil Society Can be More Effective, (London: Overseas Development Institute, 2006), hlm. 5.
46 Palmira Permata Bachtiar, “Producing Evidence to Inform Policy Process in Indonesia: The Challenges on the Supply Side”, dalam The SMERU Research Institute, “Towards Pro-poor Policy Through Research”, Newsletter No.32, (2011), hlm. 4.
47 Carol Hirschon Weiss, “What Kind of Evidence in Evidence Based Policy?” disampaikan dalam Harvard University, 3rd International Interdisciplinary Evidence-Based Policies and Indicator Systems Conference, 2001, hlm. 288-289.
Berdasarkan muatannya, terdapat 4
(empat) jenis bukti kajian ilmiah yang
memiliki dampak pada proses
pengambilan kebijakan, antara lain:47
data deskriptif (biaya hidup, penerimaan
pajak, tingkat pasar saham, tingkat
pengangguran, tingkat kesejahteraan
masyarakat, dampak kesehatan), temuan
analitik (penelitian yang
mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan suatu hal), bukti evaluatif
(mengkaji efektivitas kebijakan yang
ada), dan analisis prediktif kebijakan
(menghitung keuntungan dan kerugian,
kemungkinan biaya dan manfaat, serta
hasil yang diharapkan dari masing-
masing alternatif kebijakan).
Dalam kehidupan nyata, bukti dapat
muncul dari berbagai elemen
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
13
masyarakat seperti institusi akademik,
badan-badan pemerintahan dan
lembaga swadaya masyarakat48 serta
hadir dalam berbagai bentuk. Sebagai
contoh, Pemerintah Inggris
mendefinisikan bukti sebagai
pengetahuan pakar, hasil penelitian
yang dipublikasikan, data statistik, hasil
konsultasi dengan pemangku
kepentingan (stakeholders), dokumen
evaluasi kebijakan sebelumnya, internet,
hasil konsultasi, dokumen hitungan
biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran
dari pemodelan ekonomi dan statistik.49
Beralih ke dalam implementasi
evidence-based policy making pada
perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018
yang berisi mengenai perubahan
peraturan mengenai penyediaan,
pendistribusian dan harga jual eceran
bahan bakar minyak di Indonesia. Pada
24 Mei 2018, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM)
mengumumkan bahwa Presiden Jokowi
48 Suzuette, op.cit., hlm. 156. 49 UK Cabinet Office, Modernising Government White Paper, (London: Centre for Management and
Policy Studies, 1999), hlm. 33. 50 TW, “Presiden Jokowi Teken Perpres Nomor 43 Tahun 2018, Premium Wajib Tersedia di Jamali”,
https://migas.esdm.go.id/post/read/presiden- jokowi-teken-perpres-nomor-43-tahun-2018-pertamina-wajib-distribusikan-premium-di-jamali, diakses pada 1 Juni 2018.
51 Abdul Aziz, Op.cit.
telah resmi menandatangani Perpres No.
43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Perpres No. 191 Tahun 2014 tentang
Penyediaan, Pendistribusian dan Harga
Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.50
Melalui Perpres No. 43 Tahun 2018 ini,
Pemerintah menetapkan kembali Jawa
dan Bali sebagai wilayah penugasan
penyediaan dan pendistribusian
premium.
Sejak pertama kali diberlakukan,
Perpres No. 43 Tahun 2018 ini telah
menuai banyak kritik dari masyarakat.51
Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah: sudahkah pemerintah
mengimplementasikan prinsip evidence-
based policy making dalam perumusan
Perpres No. 43 Tahun 2018?
Salah satu cara untuk menelusuri
implementasi evidence-based policy making
dalam proses perumusan suatu
peraturan perundang-undangan di
Indonesia adalah dengan mempelajari
naskah akademik yang mendasari
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
14
peraturan perundangan-undangan
tersebut. Sayangnya, UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mewajibkan
pembuatan naskah akademik hanya
untuk Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.52 Sehingga dalam
proses perumusan jenis peraturan
perundang-undangan lainnya, seperti
Peraturan Presiden, naskah akademik
tidak menjadi dokumen prasyarat.
Ketika ditelusuri melalui situs
Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum Nasional
(JDIHN/www.jdihn.bphn.go.id),
dokumen kajian dan analisis yang
mendasari pembentukan Perpres No. 43
Tahun 2018 juga tidak dapat ditemukan.
Penulis hanya dapat menelusuri alasan
yang mendasari pemberlakuan Perpres
52 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011,
LN No. 82 tahun 2011, TLN No. 5234, Ps 1 Angka 11. 53 Shintaloka Pradita Sicca, “Pemerintah Ungkap Alasan Pertamina Harus Jual Premium di Jamali”,
https://tirto.id/pemerintah-ungkap-alasan-pertamina-harus-jual-premium-di-jamali-cHzF, diakses pada 30 Agustus 2018.
54 Lani Diana Wijaya, “Presiden Jokowi Resmi Teken Revisi Perpres 191/2014 Soal Premium”, https://bisnis .tempo.co/read/1092758/presiden-jokowi-resmi-teken-revisi-perpres-1912014-soal-premium, diakses pada 26 Mei 2018.
55 Sekretariat Kabinet RI, “Perpres dan Permen Direvisi, Archandra: Presiden Instruksikan Jamin Pasokan dan Harga Premium”, https://setkab.go.id/perpres-dan-permen-di revisi-archandra-presiden-instruksikan-jamin-pasokan-dan-harga-premium/, diakses pada 31 Agustus 2018.
No. 43 Tahun 2018 dari pernyataan-
pernyataan yang dikemukakan oleh
Kementerian ESDM.
Dirjen Migas Kementerian ESDM,
Djoko Siswanto menjelaskan bahwa
pemberlakuan Perpres No. 43 Tahun
2018 adalah upaya Pemerintah untuk
menjaga harga BBM dan daya beli
masyarakat di tengah meningkatnya
harga minyak mentah dunia.53 Selain itu,
Pemerintah juga menyatakan bahwa
Perpres No. 43 Tahun 2018 diberlakukan
untuk menanggulangi kelangkaan
premium di sejumlah daerah di
Indonesia54 dan sebagai upaya preventif
terjadinya inflasi.55
Jika melihat data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), pada Juli 2018 memang
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
15
terjadi inflasi sebesar 0,28 persen56
dengan kenaikan harga bensin dan tarif
pulsa ponsel sebagai dua komoditas
yang dominan memberikan
andil/sumbangan inflasi dalam kategori
transpor, komunikasi dan jasa
keuangan.57 Namun, apakah dengan
hanya mempertimbangkan dampak
ekonomi jangka pendek saja cukup?
Selain mengkaji dampak ekonomi
jangka pendek, Pemerintah juga harus
mempertimbangkan dampak ekonomi
jangka panjang,58 dampak lingkungan
dan dampak sosial sebelum menerbitkan
suatu kebijakan.59 Dari segi dampak
lingkungan, sebuah studi menunjukkan
bahwa penggunaan bahan bakar
beroktan tinggi akan berdampak pada
pengurangan produksi emisi karbon
56 BPS, “Inflasi sebesar 0,28 persen pada Juli 2018. Inflasi tertinggi terjadi di Sorong sebesar 1,47
persen.”, https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/08/01/1435/inflasi-sebesar-0-28-persen-pada- juli-2018--inflasi-tertinggi-terjadi-di-sorong-sebesar-1-47-persen-.html, diakses pada 31 Agustus 2018.
57 BPS, “Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi,” No.59/08/Th.XXI, 2018, hlm. 4. 58 UK Strategic Policy Making Team Cabinet Office, Professional Policy Making for the Twenty First
Century, (London: UK Cabinet Office, 1999), Chapter. 4.1. 59 Philip Davies, “The State of Evidence-Based Policy Evaluation and Its Role in Policy Formation,”
National Institute Economic Review Vol.219, No.1, (2012), hlm. R.48. 60 Romany, Op.cit., hlm. 9. 61 Mark Z. Jacobson, “On the Causal Link Between Carbon Dioxide and Air Pollution Mortality”,
Geophysical Research Letters, Vol.35, (2008), hlm. 2-5. 62 Nicholas Rees, Clear the Air for Children, the Impact of Air Pollution on Children, (US: UNICEF, 2016),
hlm. 30. 63 Jordi Sunyer, et.al., “Association between Traffic-Related Air Pollution in Schools and Cognitive
Development in Primary School Children: A prospective cohort study”, PLOS Medicine 12 (3), (2005), hlm. 19.
dioksida kendaraan bermotor.60 Emisi
karbon dioksida sendiri dapat
menyebabkan pemanasan global,
kenaikan air laut, cuaca ekstrim,
meningkatnya angka kematian dan
penyakit seperti asma dan kanker.61
Dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat tersebut juga memiliki
dampak sosial baik bagi orang dewasa
maupun anak-anak. Sebuah studi
menunjukkan bahwa polusi udara dapat
menyebabkan gangguan kognitif ringan
pada orang dewasa62 dan menghambat
perkembangan kognitif pada anak-
anak.63 UNICEF melaporkan bahwa
hubungan kausalitas antara polusi udara
dan timbulnya berbagai penyakit pada
anak pada akhirnya menyebabkan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
16
rendahnya tingkat kehadiran64 dan
prestasi akademik anak di sekolah.65
Selain lebih ramah lingkungan,
penggunaan bahan bakar beroktan
tinggi ternyata juga lebih baik dari segi
dampak ekonomi jangka panjang. Dalam
perumusan Perpres No. 43 Tahun 2018,
Pemerintah Indonesia tidak
mempertimbangkan dampak ekonomi
jangka panjang seperti penghematan
penggunaan bahan bakar.66 Biaya terkait
perancangan dan produksi mesin yang
dapat digunakan untuk bahan bakar
beroktan tinggi pun relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan penghematan
biaya bahan bakar selama masa pakai
kendaraan.67 Selain itu, penggunaan
bahan bakar beroktan tinggi juga
diperkirakan akan secara langsung
menghemat 7,9-14,1 miliar dollar
Amerika Serikat per tahun68 atau setara
dengan 117-209 triliun rupiah per tahun.
64 Jianghong Liu dan Gary Lewis, “Environmental Toxicity and Poor Cognitive Outcomes in
Children and Adults”, Journal of Environmental Health, 76, 6 (2014), hlm.130–138. 65 Mohai Paul, et.al., “Air Pollution around Schools Is Linked to Poorer Student Health and
Academic Performance,” Health Affairs, 30, 5 (2011), hlm. 852–862. 66 Raymond L. Speth, et.al., Economic and Environmental Benefits of Higher-Octane Gasoline, (US:
American Chemical Society, 2014), hlm.6566-6567. 67 Ibid. 68 Ibid.
Penjelasan di atas menunjukkan
bahwa pemberlakuan Perpres No. 43
Tahun 2018 ini tidak memperhitungkan
dampak jangka panjang baik dari segi
lingkungan, sosial maupun ekonomi.
Hal ini terlihat dari tindakan Pemerintah
yang mengesampingkan pemberlakuan
standarisasi Euro 4 bagi kendaraan
bermotor di Indonesia dengan kembali
mewajibkan pendistribusian premium di
seluruh wilayah Indonesia.
Sudah saatnya bagi pemerintah
Indonesia untuk kembali menjalankan
komitmennya dalam mengurangi
penggunaan energi tak ramah
lingkungan di Indonesia. Komitmen ini
hanya akan terealisasi jika pemerintah
Indonesia mulai mengimplementasikan
prinsip evidence-based policy making
dalam proses perumusan kebijakan-
kebijakannya, guna mengetahui bentuk
kebijakan terbaik yang berwawasan
lingkungan.
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
17
IV. Penutup
Gagasan evidence-based policy making
adalah gagasan yang menitikberatkan
pada perumusan kebijakan lingkungan,
yang hanya dapat diadopsi ketika
didasari ada bukti ilmiah yang
meyakinkan. Dalam
mengimplementasikan evidence-based
policy making, diperlukan analisa
terhadap berbagai dampak seperti
dampak ekonomi, lingkungan dan sosial
dari suatu kebijakan. Dalam hal
pemberlakuan Perpres No. 43 Tahun
2018, pemerintah Indonesia tidak secara
seksama mempertimbangkan dampak
jangka panjang ekonomi, lingkungan
dan sosial dari Perpres ini. Hal ini juga
terlihat dari ketiadaan bukti ilmiah yang
dapat diakses publik di balik pembuatan
kebijakan tersebut. Kebijakan untuk
kembali mewajibkan pendistribusian
bahan bakar beroktan rendah seperti
Premium di seluruh wilayah Indonesia
ini merupakan langkah mundur dalam
pemberlakuan standar Euro 4 di
Indonesia.
Ke depannya, guna merealisasikan
komitmen Indonesia untuk mengurangi
penggunaan energi tak ramah
lingkungan, penting bagi Pemerintah
Indonesia untuk melakukan harmonisasi
kebijakan-kebijakan lintas sektor,
khususnya sektor energi dan
lingkungan. Salah satu langkah untuk
mewujudkan harmonisasi kebijakan-
kebijakan lintas sektor tersebut dapat
dilakukan dengan
mengimplementasikan prinsip evidence-
based policy making di berbagai sendi
pemerintahan. Hal ini dilakukan guna
terciptanya kebijakan yang tidak hanya
menguntungkan dalam kacamata
ekonomi jangka pendek, namun juga
kebijakan yang memberi dampak positif
pada lingkungan di Indonesia.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
18
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, United
Nations Framework Convention on
Climate Change, resolution /
adopted by the General Assembly,
20 January 1994, A/RES/48/189.
_____, Kyoto Protocol to the United Nations
Framework Convention on Climate
Change, 1997, 37 ILM 22, UN Doc.
FCCC/CP/1997/7/Add.1
Indonesia. Undang-undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 Tahun 2009, LN No.
140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
_____. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru
Kategori M, Kategori N, dan Kategori
O, Nomor PM 20 Tahun 2017
_____. Peraturan Presiden tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca. Perpres No. 61 Tahun
2011.
_____. Peraturan Presiden tentang
Penyediaan, Pendistribusian, dan
Harga Jual Eceran Bahan Bakar
Minyak. Perpres No. 191 Tahun
2014.
Buku
Birnie, Patricia, et.al. International Law &
the Environment, 3rd ed. UK:
Oxford University Press. 2009.
Carraro, Carlo. International
Environmental Agreements on
Climate Change, Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers.
1999.
Court, et.al. Policy Engagement: How Civil
Society Can be More Effective,
London: Overseas Development
Institute. 2006.
Djamin, Djanius. Pengawasan dan
Pelaksanaan Undang-undang
Lingkungan Hidup. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2007.
Kumar, Ashwani, et.al. Biofuels:
Greenhouse Gas Mitigation and
Global Warming: Next Generation
Biofuels and Role of Biotechnology,
India: Springer. 2018.
Masripatin, Nur, et.al. Strategi
Implementasi NDC (Nationally
Determined Contribution). Jakarta:
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
19
Dirjen Pengendalian Perubahan
Iklim, KLHK RI. 2017.
Plewis, I. Educational Inequalities and
Education Action Zones, dalam C.
Pantazis and D. Gordon (eds).
Tackling Inequalities: Where Are We
Now and What Can Be Done.
Bristol: Policy Press. 2000.
Sands, Philippe. Principles of International
Environmental Law, 2nd ed. UK:
Cambridge University Press.
2007.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan.
Jakarta: Pancuran Alam. 2009.
Speth, Raymond L. et.al. Economic and
Environmental Benefits of Higher-
Octane Gasoline. US: American
Chemical Society. 2014.
Tamiotti, Ludivine. Trade and Climate
Change: A Report by the United
Nations Environment Programme
and the World Trade Organization,
UNEP/Earthprint. 2009.
Weiss, Carol Hirschon. What Kind of
Evidence in Evidence Based Policy?
Harvard University. 3rd
International Interdisciplinary
Evidence-Based Policies and
Indicator Systems Conference.
2001.
Jurnal
AJ, Cohen, Brauer M, Burnett R, et. al.
“Estimates and 25-year trends of
the global burden of disease
attributable to ambient air
pollution: an analysis of data from
the Global Burden of Diseases
Study 2015.” The Lancet Vol. 389,
(2017).
Brodhag, C. dan S. Taliere. “Sustainable
Development Strategies: Tools for
Policy Coherence,” Natural
Resources Forum Vol.30 No.2.
(2006).
Carvalho, Helotonio. “The Global
Burden of Air Pollution-
Associated Deaths - How Many
Are Needed for Countries to
React?” Elsevier Ltd. (2017).
Davies, Philip. “The state of evidence-
based policy evaluation and its
role in policy formation,” National
Institute Economic Review Vol.219,
No.1. (2012).
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
20
Fahmi, Sudi. “Asas Tanggung Jawab
Negara Sebagai Dasar
Pelaksanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
Jurnal Hukum No. 2 Vol.18. (2011).
Head, B.W. “Three Lenses of Evidence-
Based Policy.” Australian Journal of
Public Administration Vol.67 No.1.
(2008).
Jacobson, Mark Z. “On the Causal Link
Between Carbon Dioxide and Air
Pollution Mortality,” Geophysical
Research Letters, Vol.35. (2008).
Liu, Jianghong dan Gary Lewis.
“Environmental Toxicity and
Poor Cognitive Outcomes in
Children and Adults,” Journal of
Environmental Health, Vol.76, No.6.
(2014).
Paul, Mohai, et.al. “Air Pollution around
Schools Is Linked to Poorer
Student Health and Academic
Performance,” Health Affairs,
Vol.30, No.5. (2011).
Sanderson, Ian. “Evaluation, Policy
Learning and Evidence-Based
Policy Making,” Public
Administration, Vol.80, No.1.
(2002).
Soomai, Suzuette S. “The Use and
Influence of Scientific Information
In Environmental Policy Making:
Lessons Learned from Nova
Scotia,” Proceedings of the Nova
Scotian Institute of Science Vol.47
Part.1. (2012).
Sugiarti. “Gas Pencemar Udara dan
Pengaruhnya Bagi Kesehatan
Manusia.” Jurnal Chemica. Vol. 10.
(2009).
Sunyer, Jordi, et.al. “Association between
Traffic-Related Air Pollution in
Schools and Cognitive
Development in Primary School
Children: A prospective cohort
study.” PLOS Medicine 12(3).
(2005).
Triatmodjo, Marsudi. “Implikasi
Berlakunya Protokol Kyoto-1997
Terhadap Indonesia.” Jurnal
Hukum Internasional, Vol. 2. (2005).
Lain-Lain
Alanna Petroff. “These Countries Want
to Ban Gas and Diesel Cars.”
http://money.cnn.com/
2017/09/11/autos/countries-
banning-diesel-gas-
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
21
cars/index.html, diakses pada 29
Juni 2018.
Bachtiar, Palmira Permata. Producing
Evidence to Inform Policy Process in
Indonesia: The Challenges on the
Supply Side, dalam The SMERU
Research Institute, Towards Pro-
poor Policy Through Research,
Newsletter No. 32. 2011.
Böhringer, Christoph. The Kyoto Protocol:
A Review and Perspectives,
Discussion Paper No. 03-61, ZEW-
Zentrum für Europäische
Wirtschaftsforschung/Center for
European Economic Research
(2003).
BPS. “Inflasi sebesar 0,28 persen pada
Juli 2018. Inflasi tertinggi terjadi di
Sorong sebesar 1,47 persen.”,
https://www.bps.go.id/pressrel
ease/2018/08/01/1435 /inflasi-
sebesar-0-28-persen-pada-juli-
2018--inflasi-tertinggi-terjadi-di-
sor ong-sebesar-1-47-persen-
.html, diakses pada 31 Agustus
2018.
BPS. Perkembangan Indeks Harga
Konsumen/Inflasi,
No.59/08/Th.XXI, 2018.
Climate Focus, “The Paris Agreement
Summary”, Climate Focus Client
Brief on the Paris Agreement III,
Briefing Note, (2015).
EVY/OIN. "Kuota Premium Jawa-Bali
Dibatasi."
https://nasional.kompas.com/re
ad/2010/09/22/09102483/kuota.
premium.jawa-bali.dibatasi.
diakses pada 4 Oktober 2018.
Hermawan, Arief. “Indonesia Masih
Terbelakang Soal Standar Emisi
Kendaraan”,
https://tirto.id/indonesia-masih-
terbelakang-soal-standar-emisi-
kendaraan-cjxJ. diakses pada 3
September 2018.
Hermawan. “Inkonsistensi Pemerintah
Soal Kebijakan BBM Premium”
https://tirto.id/inkonsistensi-
pemerintah-soal-kebijakan-bbm-
premium-cKAF. diakses pada 4
September 2018.
Kementerian ESDM. “Impor Bensin
RON 88 Direkomendasikan
Dihentikan.”
https://migas.esdm.go.id/post/
read/Impor-Bensin-RON-88--
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 1-23
22
Direkomendasikan-Dihentikan,
diakses pada 30 Mei 2018.
Kementerian ESDM. “Presiden Jokowi
Teken Perpres Nomor 43 Tahun
2018, Premium Wajib Tersedia di
Jamali.”
https://migas.esdm.go.id/post/
read/ presiden-jokowi-teken-
perpres-nomor-43-tahun-2018-
pertamina-wajib-dis tribusikan-
premium-di-jamali. diakses pada
1 Juni 2018.
KLHK RI. “Standar Emisi Euro 4 Segera
Diberlakukan di Indonesia.”
http://ppid.menlhk.go.id/siaran
_pers/browse/579, diakses pada
3 September 2018.
KLHK RI. “Asas Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
http://www.menlh.go.id/asas-
perlindungan-dan-pengelolaan-
lingkungan-hidup/d diakses
pada 30 Mei 2018.
Kumparan SAINS. “Jakarta dan Denpasar
Masuk Daftar Kota Berpolusi Udara
Terburuk Dunia”, 27 Juli 2018,
https://kumparan.com/@kumpa
ransains/jakarta-dan-denpasar-
masuk-daftar-kota-berpolusi-
udara-terburuk-dunia-
27431110790555072. diakses pada
4 Oktober 2018.
Lani Diana Wijaya. “Presiden Jokowi
Resmi Teken Revisi Perpres
191/2014 Soal Premium.”
https://bisnis.tempo.co/read/10
92758/presiden-jokowi-resmi-
teken-revisi-perpres-1912014-
soal-premium, diakses pada 26
Mei 2018.
Rees, Nicholas. Clear the Air for Children,
the Impact of Air Pollution on
Children. US: UNICEF. 2016.
Sekretariat Kabinet RI. “Perpres dan
Permen Direvisi, Archandra:
Presiden Instruksikan Jamin
Pasokan dan Harga Premium”,
https://setkab.go.id/perpres-
dan-permen-direvisi-archandra-
presiden-instruksikan-jamin-
pasokan-dan-harga-premium/,
diakses pada 31 Agustus 2018.
Shaxson, Louise. et.al. 2009. Developing an
Evidence-based Approach to
Environmental Policy Making:
Insights from Defra’s Evidence &
Innovation Strategy. Science &
Agus Efendi, Alia Yofira Karunian, Ni Luh Putu Chintya Arsani INKONSISTENSI KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA: KAITANNYA TERHADAP
PEMBERLAKUAN STANDAR EMISI GAS BUANG EURO 4
23
Technology Policy Research
Electronic Working Paper.
Shaxson, Louise. Pelajaran untuk
Membangun dan Mengelola Basis
Bukti untuk Kebijakan,
Kementerian PPN/Bappenas
Working Paper, No. 10. 2016.
Suhartono, Anton. “Akan Diberlakukan
pada 2018, Apa Itu Standar Emisi
Euro4?”,
https://news.okezone.com/read
/2017/04/03/15/1657747/akan-
diberlakukan -pada-2018-apa-itu-
standar-emisi-euro4, diakses pada
7 September 2018.
Surat Menteri KLHK kepada Presiden
Jokowi Nomor
S.108/Menlhk/Setjen/PKL.3/3/
2018.
Tempo. “Kebijakan Energi Jokowi Tak
Konsisten.”
https://koran.tempo.co/read/42
9636/kebijakan-energi-jokowi-
tak-konsisten, diakses pada 11
April 2018.
Theiss, Tim. et.al. Summary of High-
Octane, Mid-Level Ethanol Blends
Study 2. Oak Ridge: Oak Ridge
National Laboratory. (2016).
Utama, Praga. “Ini Beda Premium,
Pertalite, Pertamax, dan Pertamax
Plus”,
https://bisnis.tempo.co/read/67
8224/ini-beda-premium-
pertalite-pertamax-dan-
pertamax-plus. diakses pada 3
September 2018.
UK Cabinet Office. Modernising
Government White Paper. London:
Centre for Management and
Policy Studies. 1999.
UK Strategic Policy Making Team
Cabinet Office. Professional Policy
Making for the Twenty First
Century. London: UK Cabinet
Office, 1999.
Webb, Romany M. Increasing Gasoline
Octane Levels to Reduce Vehicle
Emissions: A Review of Federal and
State Authority, New York: Sabin
Center for Climate Change Law.
2001.
24
APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH
(SCIENTIFIC EVIDENCE) DI AMERIKA SERIKAT DALAM
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI
INDONESIA
Windu Kisworo69
Abstrak
Pengaturan terkait bukti ilmiah dalam penanganan kasus lingkungan di pengadilan di Indonesia masih bersifat umum. Sementara di Amerika Serikat, aturan yang sangat rinci tentang bukti ilmiah telah lama ada dan dipraktekkan dalam pembuatan putusan pengadilan. Tulisan ini akan mengidentifikasi tantangan dalam mendayagunakan bukti ilmiah dalam penanganan kasus lingkungan di pengadilan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari pengaturan dan metode yang digunakan di Amerika. Tulisan ini menggunakan pendekatan doktrinal terhadap peraturan dan putusan. Tulisan ini fokus pada dua hal yang Penulis anggap relevan dengan konteks Indonesia saat ini: aspek keberadaan metode ilmiah yang valid serta pengetahuan khusus yang mendasari pendapat ahli. Tulisan ini menyimpulkan bahwa hukum dan peraturan di Indonesia memuat berberapa prinsip-prinsip umum yang ada di Amerika Serikat. Namun demikian belum dianggap cukup dan diperlukan penguatan hukum terkait dua hal diatas. Kata Kunci: bukti ilmiah, metode ilmiah, pengetahuan khusus
Abstract The Indonesian regulations concerning the scientific evidence in handling environmental cases in court are still broad. Meanwhile, the United States has a very long established and detail guideline on scientific evidence both under statues and cases laws. This article aims to identify challenges in utilising scientific evidence in handling environmental cases in Indonesia by taking a lesson from the United States. This article will employ a doctrinal approach to specific laws, regulation and court decision. This article will only focus on two aspects relevant for Indonesia: the existing of the valid scientific method and specialised knowledge of an expert witness. This article concludes that the existing law and regulation contains some general principle from the United States. However, it is not adequate. Policy reforms need to further research on the above two aspects. Keywords: scientific evidence, scientific method, specialised knowledge
69 Penulis saat ini sedang menyelesaikan studi Doktoral di Macquarie Law School, University of
Macquarie, Australia.
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
25
I. Pendahuluan
Bukti ilmiah memiliki peranan
yang sangat penting dalam
penanganan kasus lingkungan. Bukti
ilmiah diperlukan untuk membuktikan
adanya hubungan kausalitas (sebab-
akibat) antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan dampak
yang ditimbulkan.70 Tingkat
kesuksesan penanganan perkara-
perkara lingkungan di pengadilan
seringkali bergantung pada adanya
bukti ilmiah dan bukti teknis lainnya.71
Hukum lingkungan, baik di tingkat
nasional maupun internasional,
merupakan bidang hukum yang sangat
kompleks. Pada saat yang sama, ilmu
pengetahuan, ekonomi dan teknologi
terus berubah dengan cepat,
70 Valerie Mike, Understanding Uncertainties in Medical Evidence: Profesional and Public Responsibilities,
dalam Acceptable Evidence: Science and Value in Risk Management, 118 (Deborah G. Mayo & Rachelle D. Holladers eds., 1991) sebagaimana dikutip oleh Keum J Park, “Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven,” 7(2) (1996) Fordham Environmental Law Review, hlm. 486.
71 Keum J Park, op. cit., hlm. 483. 72 George Pring and Catherine Pring, Environmental Courts & Tribunals - A Guide for Policy Makers
(UNEP) | ELAW (2016), hlm. 46 73 George Pring and Catherine Pring, Greening Justice: Creating & Improving Environmental Courts &
Tribunals (The Access Initiative, 2009), hlm. 73. 74 Katherine Bishop, Science Advance so Quickly Nowadays. We can’t just Count Scientific Noses’,
Leap of Science Create Quandaries on Evidence, N.Y. TIMES, April 6, 1990, Sebagaimana dikutip oleh Keum J Park, ‘Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven’ 7(2) Fordham Environmental Law Review, hlm 487.
75 Periode ini dimulai pada tahun 2000-an pada saat Mahkamah Agung mulai melakukan pelatihan hukum lingkungan bagi hakim dan penegak hukum lainnya. Berberapa putusan kasus kebakaran
mendahului perkembangan hukum
lingkungan itu sendiri.72 Oleh karena
itu, hanya mengikuti perkembangan
hukum lingkungan tanpa disertai
pemahaman sains tidaklah cukup bagi
penegak hukum.73 Hal ini terutama
berlaku bagi hakim dalam menangani
perkara lingkungan di pengadilan,
khususnya dalam proses pembuktian.
Para hakim perlu memiliki
pengetahuan yang memadai tentang
sains dan metodologi ilmiah untuk
menghasilkan keputusan yang tepat.74
Dalam kurun waktu 15 (lima belas)
tahun terakhir, bukti ilmiah telah
banyak didayagunakan dalam berbagai
perkara lingkungan di pengadilan di
Indonesia.75 Di satu sisi, perkembangan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
26
ini menunjukan adanya harapan bagi
perbaikan putusan perkara
lingkungan,76 namun perlu diakui
masih terdapat beberapa putusan
pengadilan yang dianggap
bermasalah.77 Secara umum dapat
dikatakan bahwa masih banyak
tantangan untuk mendayagunakan
bukti ilmiah dalam penanganan
perkara lingkungan. Hakim masih
menghadapi kesulitan untuk
memaknai bukti ilmiah sebagai bukti
hukum karena terbatasnya
pemahaman hakim tentang sains.78
Padahal pemahaman hakim tentang
sains sangat diperlukan untuk
menentukan dan mengaplikasikan
hutan diantaranya kasus Surya Panen Subur (2013), Kalista Alam (2015), Jatim Jaya Perkasa (2016), Bumi Mekar Hujau (2016), Waringin Argo Jaya (2017), Nasional Sago Prima (2017).
76 Putusan yang dianggap sebagai ‘putusan landmark’ adalah putusan kasus Mandalawangi (2003) yang menerapkan prinsip precautionary principle, Putusan Kalista Alam (2015) dimana pengadilan mendayagunakan bukti ilmiah seperti bukti hotpsot dari citra satelit dalam pembuktian, serta Putusan kasus kebakaran hutan PT. Waringin Argo Jaya (2017) dimana hakim menerapkan prinsip strict liability dalam hal pembuktian.
77 Yenrizal, “Opini: Berkaca Pada Putusan Kasus PT. BMH”, http://www.mongabay.co.id/2016/01/13/opini-berkaca-pada-putusan-kasus-pt-bmh/, diakses pada 12 September 2018.
78 MVT, “Hakim Seringkali Abaikan Bukti Ilmiah,” http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d4cf9774f064/hakim-seringkali-abaikan-bukti-ilmiah-, diakses pada 23 Juli 2018.
79 Wawancara dengan Justice Brian J. Preston, Ketua Pengadilan Land & Environment Court, New South Wales, Australia, 7 Maret 2018.
80 Pelatihan hukum lingkungan bagi para penegak hukum dilakukan sejak tahun 2000 oleh Mahkamah Agung berkerjasama dengan beberapa lembaga hukum lingkungan di Indonesia dan Australia. Sejak dibentuk sistem sertifikasi hakim lingkungan pada tahun 2013 telah dilatih sebanyak kurang lebih 1500 peserta yang terdiri dari 600 hakim.
fakta-fakta ilmiah ke dalam kerangka
hukum, sehingga dapat dihasilkan
suatu putusan yang tepat dan
akuntabel.79
Menyadari kendala tersebut,
Mahkamah Agung telah melakukan
berbagai inisiatif untuk memperbaiki
kualitas putusan, antara lain dalam
bentuk pelatihan hukum lingkungan
bagi para penegak hukum.80 Dalam
pelatihan tersebut, materi tentang bukti
ilmiah dan bukti hukum merupakan
materi yang wajib diberikan kepada
para hakim. Upaya lebih lanjut terus
dilakukan dalam skema sistem
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
27
sertifikasi hakim lingkungan.81 Sistem
ini mengatur bahwa perkara
lingkungan ditangani oleh hakim yang
telah lulus sertifikasi. Hakim yang telah
mendapat sertifikat diharapkan dapat
menerapkan ilmu tentang bukti ilmiah
dan bukti hukum yang telah mereka
peroleh selama pelatihan.
Selain itu Mahkamah Agung juga
menyusun pedoman penanganan
perkara lingkungan yang memuat
ketentuan tentang bukti ilmiah dan
ahli.82 Namun demikian, pada banyak
kasus, Hakim memberikan bobot yang
lebih berat kepada bukti selain bukti
ilmiah dalam membuktikan
pencemaran/perusakan lingkungan.83
Hakim yang berlatar belakang hukum
masih kesulitan memahami data-data
ilmiah yang disampaikan oleh ahli
81 Pada tahun 2013, untuk memastikan keberlanjutan dari pelatihan ini dibentuk Sistem Sertifikasi
Hakim Lingkungan oleh Mahkamah Agung dimana kasus lingkungan ditangani oleh hakim yang telah memperoleh sertifikasi.
82 Indonesia, Mahkamah Agung, Keputusan Ketua tentang Pedoman Penanganan Kasus Lingkungan, SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013.
83 Wawancara dengan Fauzul Abrar, S.H pada tanggal 17 Juli 2018. 84 Wawancara dengan Raynaldo Sembiring, Peniliti pada Indonesian Center for Environmental
Law pada tanggal 5 Juli 2018. 85 Terkait penegakan hukum lingkungan, Pring menyebutkan faktor-faktor tersebut termasuk
diantaranya kemauan politik dari pemerintah, tingkat korupsi, dan dorongan masyarakat untuk pertanggungjawaban lingkungan. Lihat George Pring and Catherine Pring, Greening Justice: Creating & Improving Environmental Courts & Tribunals (The Access Initiative, 2009), hlm. 19.
86 George Pring and Catherine Pring, op. cit., hlm. 19.
untuk dikonversi menjadi fakta-
hukum.84
Tulisan ini bertujuan untuk melihat
sejauh mana aplikasi prinsip terkait
bukti ilmiah di Amerika Serikat dalam
proses pembuktian perkara perdata
lingkungan di Indonesia. Penulis
menyadari terdapat banyak aspek yang
perlu dipertimbangkan dalam
melakukan perbandingan hukum.85
Menjadikan model dan pilihan desain
(ketentuan hukum) dari satu negara ke
negara lain membutuhkan analisis
yang mendalam untuk memastikan
bahwa model dan pilihan desain
tersebut (aplikasi) sesuai dengan
kondisi politik dan kondisi khusus
lainnya dari suatu yurisdiksi.86 Oleh
karena itu, tulisan ini hanya
merupakan penelitian awal yang
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
28
memerlukan penelitian lanjutan yang
lebih mendalam dengan
mempertimbangkan aspek-aspek
tersebut.
Sebagai analisis awal, tulisan ini
terbatas pada 2 (dua) aspek dalam
pembuktian dan penggunaan bukti
ilmiah yang dianggap penting,
berdasarkan pengalaman
pendayagunaan bukti ilmiah dalam
perkara lingkungan di pengadilan di
Amerika Serikat. Kedua aspek tersebut
adalah: pertama, aspek keberadaan
metode ilmiah yang valid; kedua,
pengetahuan khusus yang mendasari
pendapat ahli. Namun demikian,
tulisan ini juga akan mengidentifikasi
beberapa hal yang perlu diperkuat
dalam mendayagunakan bukti ilmiah
di pengadilan, baik dari segi
pengaturan maupun praktek dalam
penanganan kasus perdata lingkungan
sebagai masukan untuk penelitian
lanjutan.
87 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim Jaya Perkasa; lihat juga Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim Jaya Perkasa.
Bagian pertama tulisan ini akan
menjelaskan hubungan antara ilmu
pengetahuan dan hukum. Tujuan yang
diharapkan adalah untuk meberikan
pemahaman tentang kedudukan bukti
ilmiah dalam suatu perkara. Bagian
kedua akan menjelaskan secara singkat
prinsip-prinsip penanganan perkara
lingkungan di Amerika Serikat,
khususnya pedoman bagi hakim untuk
menilai apakah suatu bukti ilmiah
adalah bukti yang dapat diandalkan
(reliable). Bagian ini akan digunakan
sebagai kerangka analisis untuk
mengidentifikasi berbagai hal yang
perlu diperkuat dalam
mendayagunakan bukti ilmiah dalam
penanganan kasus perdata lingkungan
di pengadilan di Indonesia. Dalam
proses identifikasi ini, bagian ketiga
akan menganalisis kebijakan serta
pendayagunaan bukti ilmiah dalam
perkara Jatim Jaya Perkasa.87 Pada bagian
akhir, tulisan ini akan menganalisis
aplikasi prinsip Daubert dalam proses
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
29
pembuktian perkara perdata
lingkungan di Indonesia serta
memberikan beberapa rekomendasi
bagi kebijakan dan penguatan
kapasitas penegak hukum, khususnya
hakim, dalam mendayagunakan bukti
ilmiah dalam penanganan kasus
lingkungan di pengadilan.
II. Bukti Ilmiah dalam Proses
Pembuktian di Pengadilan
Pendayagunaan bukti ilmiah
dalam proses pembuktian di
pengadilan erat kaitannya dengan
sains. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefiniskan sains sebagai
pengetahuan sistematis yang diperoleh
dari sesuatu observasi, penelitian, dan
uji coba yang mengarah pada
penentuan sifat dasar dari sesuatu yang
sedang dipelajari atau diselidiki.88
Secara sederhana, sains dapat juga
dipahami dengan melihat perannya
dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang sifatnya mendasar.89
88 Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, https://kbbi.web.id/sains, diakses 10 September /2018. 89 Keum J Park, op. cit., hlm. 483. 90 Ibid. 91 Ibid. 92 Ibid.
Misalnya terhadap pertanyaan
bagaimana kita dapat meyakini bahwa
suatu teori atau teknik bukan
merupakan sekedar keyakinan atau
opini, melainkan merupakan sains?
Jawaban yang sifatnya umum dari
sudut pandang ilmiah adalah dengan
mendasarkannya pada suatu ‘metode
ilmiah’.90 Hal ini menunjukan bahwa
pendapat para ilmuwan diakui karena
kesimpulan mereka (seharusnya)
diperoleh berdasarkan metode ilmiah
yang dapat dipertanggungjawabkan.91
Dengan demikian, paling tidak ada dua
hal yang penting untuk diperhatikan
ketika mendiskusikan sains. Pertama,
mendiskusikan sains harus
mempertimbangkan fakta bahwa tidak
mudah untuk menentukan sesuatu
adalah ilmiah (scientific) atau tidak – hal
ini dikenal sebagai masalah
demarkasi.92 Kedua, tingkat
kekhususan dalam ilmu-ilmu tertentu
begitu luas sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat mampu
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
30
memahami semua hal yang perlu
diketahui tentang satu bidang sains.93
Di dalam praktek pembuktian di
pengadilan, hubungan antara sains dan
hukum sangat kompleks. Beberapa ahli
berpendapat kompleksitas tersebut
terjadi karena tujuan yang melekat
pada keduanya. Hukum dan sains
kadang-kadang memiliki tujuan yang
saling bertentangan, karena masing-
masing telah berkembang sebagai
reaksi terhadap kebutuhan sosial dan
intelektual yang berbeda.94 Tujuan
hukum di satu sisi dianggap sebagai
sarana untuk menyelesaikan konflik
manusia secara adil, sementara tujuan
sains di sisi lain, dipahami sebagai
upaya untuk mencari 'kebenaran'.95
Oleh karena itu, tujuan untuk mencapai
'keadilan' dari sudut pandang hukum
tidak sama dengan menemukan
kebenaran 'hasil yang valid secara
93 Ibid. 94 Ibid. 95 John I. Thornton, Uses and Abuses of Forensic Science, in Science and Law: An Essential Alliance 79,
86 (William A. Thomas, ed., 1983) sebagaimana dikutip dalam Keum J Park, "Judicial Utilization of Scientific Evidence in Complex Environmental Torts: Redefining Litigation Driven," Fordham Environmental Law Review, hlm. 494.
96 Richard L Markus, "Discovery Along the Litigation/Science Interface," Brooklyn Law Review Vol. 57 (1991), hlm. 384.
97 April Muirden and John Bailey, "Presenting Scientific Evidence in Environmental Court Cases: How Science and Law Meet," Environmental Planning and Law Journal, Vol. 25 hlm. 12.
ilmiah' dari sudut pandang sains.96 Di
dalam proses penanganan perkara di
pengadilan, ketidakcocokan antara
sains dan hukum ini seringkali terjadi.
Para ahli di satu sisi mempunyai
kebutuhan untuk menjelaskan adanya
suatu ketidakpastian (uncertainty),
sedangkan pengacara di sisi lainnya
melihat proses pemeriksaan tersebut
sebagai kesempatan untuk
melemahkan nilai bukti ilmiah,
terutama jika hal itu dianggap
menguntungkan mereka.97
Mengingat hal tersebut hakim
perlu memiliki kemampuan untuk
menilai suatu bukti ilmiah. Dalam
perkara-perkara tertentu, hakim dapat
mengandalkan kemampuannya sendiri
untuk menilai bukti ilmiah tersebut.
Namun, dalam perkara-perkara
lingkungan yang sulit dan kompleks,
besar kemungkinan hakim
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
31
memerlukan bantuan ahli untuk
menilai bukti ilmiah. Dalam hal
demikian, hakim membutuhkan ahli
yang memiliki pengetahuan khusus
yang relevan dengan perkara yang
sedang diperiksa. Pertanyaannya
kemudian, apakah yang dimaksud
dengan ‘pengetahuan khusus’
(specialised knowledge)? Dalam kondisi
seperti apa pengadilan membutuhkan
ahli yang memiliki ‘pengetahuan
khusus’? Pertanyaan ini hanya
sebagian kecil dari pertanyaan penting
yang timbul dalam perkara lingkungan
yang melibatkan penggunaan bukti
ilmiah, ketidakpastian (uncertainty) dan
efek ekologi yang timbul yang tidak
dapat dipulihkan (irreverseable effect to
environment).
98 Selain Amerika, sistem di Australia juga memuat pengaturan secara khusus terkait bukti ilmiah,
khususnya dalam menentukan diterimanya pendapat ahli terkait sains. Pasal 79 dari Evident Act
mengatur bahwa: ‘If a person has specialised knowledge based on the person’s training, study or experience, the
opinion rule does not apply to evidence of an opinion of that person that is wholly or substantialy based on that
knowledge’. Ada tiga hal yang menjadi elemen atau kondisi dari ketentuan terkait ‘pengetahuan khusus’
di atas untuk menentukan suatu pendapat ahli dapat diterima sebagai suatu bukti. Pertama, ahli yang
dihadirkan harus memiliki 'pengetahuan khusus'. Kedua, pengadilan menilai bahwa saksi memperoleh
pengetahuan khusus tersebut berdasarkan pelatihan, studi atau pengalaman tertentu. Pada bagian ini,
pengadilan biasanya mempertanyakan kualifikasi pendidikan saksi, keanggotaan ahli dalam
masyarakat yang relevan dengan pengetahuan khusus, publikasi yang relevan, pengalaman sebagai
saksi, dan sebagainya Ketiga, bahwa opini yang disampaikan didasarkan oleh keahlian yang dimiliki
(‘is wholly or substantially based on that knowledge’). Bagian ini mengharuskan pengadilan untuk menilai
apakah ahli memiliki ‘pengetahuan khusus’ (a body of special knowledge), yang dapat memberikan dasar
untuk menyampaikan pendapat yang relevan.
III. Pengaturan tentang Bukti
Ilmiah di Amerika Serikat
Berbagai negara telah mengatur
tentang peran bukti ilmiah dalam
proses pembuktian di pengadilan.
Salah satu negara yang dianggap
memiliki aturan dan sistem
pembuktian yang ketat dan rinci dalam
perkara lingkungan, terutama yang
berkaitan dengan persyaratan
diterimanya bukti ilmiah (admissibility),
adalah Amerika Serikat.98 Selain dalam
bentuk aturan tertulis, sistem hukum di
Amerika Serikat juga mengakui
putusan hakim sebagai sumber hukum.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
32
A. Rule 702, Federal Rules of Evidence
Di Amerika Serikat, bukti ilmiah
diatur dalam Federal Rule of Evidence,
Rule 702 yang berbunyi:
“A witness who is qualified as an expert by knowledge, skill, experience, training, or education may testify in the form of an opinion or otherwise if:
a) the expert’s scientific, technical, or other specialized knowledge will help the trier of fact to understand the evidence or to determine a fact in issue;
b) the testimony is based on sufficient facts or data;
c) the testimony is the product of reliable principles and methods; and
d) the expert has reliably applied the principles and methods to the facts of the case.99”
Ketentuan tersebut pada
prinsipnya menyatakan bahwa seorang
saksi yang memiliki keahlian
berdasarkan pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, pelatihan
atau pendidikan yang ia miliki, dapat
menjadi ahli dan mengemukakan
pendapatnya di pengadilan apabila:
a) pengetahuan ilmiah,
pengetahuan teknis, dan
99 Amerika Serikat, Federal Rules of Evidence, Rule 702. 100 D. Tex, Cano v. Everest Mineral Corp., 362 F. Supp.2d 814 (2005). 101 Ibid.
pengetahuan khusus lainnya
yang dimiliki ahli dimaksud
dapat membantu hakim dalam
mengungkap fakta, untuk
memahami bukti atau
menentukan fakta dalam suatu
perkara;
b) pendapat ahli didasarkan pada
fakta atau data yang memadai;
c) pendapat ahli didasarkan pada
prinsip dan metode ilmiah yang
benar dan dapat diandalkan;
d) ahli menerapkan prinsip dan
metode ilmiah tersebut dalam
proses pembuktian, untuk
mengungkapkan fakta dalam
perkara yang sedang diperiksa.
Di dalam kasus Cano v. Everest
Mineral Corp.100, berberapa Penggugat
mempermasalahkan penyakit kanker
yang diakibatkan dari paparan
Uranium-238 yang bersumber dari
tambang uranium yang dimiliki oleh
Everest Mineral di sekitar tempat tinggal
mereka.101 Penggugat mendalilkan
bahwa salah satu biji uranium jatuh ke
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
33
jalan dan terlindas oleh truk yang
sedang lewat. Hal ini mengakibatkan
penyebaran debu uranium dan
kontaminasi pada makanan dan
sumber air.102 Pengadilan Wilayah
Western Texas meminta kepada
penggugat untuk membuktikan bahwa
paparan debu uranium tersebut adalah
penyebab dari masalah kesehatan
mereka (dalam kasus ini adalah
penyakit kanker). Hanya satu dari ahli
yang disampaikan oleh penggugat
yang memberikan kesaksian tentang
hubungan kausalitas tersebut. Dr.
Malin Dollinger dengan metodologi
baru yang dia ciptakan menunjukan
bahwa debu uranium adalah faktor
yang paling dominan terhadap
kanker.103 Terkait dengan Rule 702,
102 Ibid. 103 Ibid. Berdasarkan hasil eksaminasi terhadap catatan medis dari korban serta penelitian
independen, Dr. Malin Dollinger mengklaim bahwa ionisasi radiasi dari U-238 lebih mungkin menghasilkan pemecahan untai ganda (double-strand breaks) dalam DNA dengan kemampuan untuk memperbaiki (an impaired ability to repair). Ia menemukan bahwa dosis yang lebih tinggi mengarah ke risiko yang lebih tinggi secara proporsional.
104 Ibid. 105 Cancer Council of Australia, “What is Oncology?” https://www.cancer.org.au/health-
professionals/oncology/, diakses 10 September 2018. Onkologi adalah sub-spesialisasi obat yang didedikasikan untuk penyelidikan, diagnosis, dan pengobatan penderita kanker atau kemungkinan kanker (suspected). Ini termasuk obat pencegahan, onkologi medis (kemoterapi, imunoterapi, terapi hormon, dan obat lain untuk mengobati kanker), onkologi radiasi (terapi radiasi untuk mengobati kanker), dan bedah onkologi (operasi untuk mengobati kanker).
106 Dominic J Nardi, Jr., "Do Indonesian Judges Need Scientific Credibility? Indonesia v. PT Newmont Minahasa Raya and the Use of Scientific Evidence in Indonesian Courts," Georgetown International Environmental Law Review, Vol. 21 issue 113, (2009), hlm. 137.
hakim menyetujui latar belakang Dr.
Malin Dollinger dengan berberapa
pertimbangan:104 (1) ahli adalah
professor di bidang kedokteran klinis
pada School of Medicine, University of
Southern California; (2) Ahli telah
menyelesaikan studinya di bidang
kedokteran di Yale University; (3) ahli
telah menyelesaikan program selama
tiga tahun tentang onkologi.105
Namun demikian, kriteria ini
bukanlah satu-satunya cara bagi hakim
untuk menilai bukti ilmiah. Kriteria ini
paling tidak membantu hakim
menyaring ahli yang tidak
kompeten.106 Di dalam kasus Cano v.
Everest Mineral Corp, walaupun hakim
menerima ahli sebagai ahli yang
kompeten dengan 3 (tiga)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
34
pertimbangan diatas, namun tidak
menjamin bahwa kesaksiannya adalah
kesaksian yang kredibel (admissible).
Salah satu keberatan yang disampaikan
oleh pihak Tergugat adalah belum
adanya konsensus dari metodologi
yang digunakan oleh Dr. Malin
Dollinger serta belum pernah
dilakukan peer review.107 Hakim setuju
dengan bantahan Tergugat dan juga
menilai bahwa ahli tidak
memperhatikan bukti lain yang
bertentangan.108 Salah satunya adalah
Laporan dari the U.N. Scientific
Committee on the Effect of the Atomic
Radiation yang menunjukan tingkat
paparan yang berbeda dari berberapa
jenis kanker yang disebabkan oleh
Uranium.109
B. Perkara Daubert v Merrell Dow
Pharmaceuticals, Inc
Selain merujuk pada Rule 702,
hakim di Amerika Serikat juga
107 Cano v. Everest Mineral Corp., op. cit. 108 Ibid. 109 Ibid. 110 Supreme Court of The United States, Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc. (1993) 113 S. Ct
113 S. (1993). 111 D.C. Cir, Frye v United States 293F (1923), 1014.
seringkali merujuk pada putusan
Mahkamah Agung ketika menangani
perkara yang melibatkan bukti ilmiah
dan pendapat ahli, termasuk dalam
perkara lingkungan. Putusan tersebut
adalah putusan perkara Daubert v
Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc.110
(Putusan Daubert) yang memberikan
kriteria yang lebih ketat dalam menilai
suatu bukti ilmiah (dikenal sebagai
kriteria Daubert).
Putusan Daubert memperjelas
putusan dalam perkara Frye v Amerika
Serikat yang mengakui pendapat ahli
sebagai bukti ilmiah yang didasarkan
pada general acceptance rule.111 General
acceptance rule, atau yang lebih dikenal
sebagai ‘Frye rule’ menyatakan bahwa
suatu pendapat ahli hanya dapat
diterima (admissible) jika menggunakan
teknik yang secara umum telah
mendapat pengakuan dari suatu
komunitas sains yang relevan sebagai
teknik yang andal (reliable). Namun,
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
35
kesulitan seringkali timbul karena
penanganan perkara lingkungan sering
mengandalkan pada teori dan
metodologi ilmiah yang baru.112 Hakim
dalam perkara Daubert menolak general
acceptance sebagai satu-satunya syarat
diterimanya suatu bukti ilmiah dan
menambahkan agar pendapat ahli yang
dijadikan bukti ilmiah memenuhi
kriteria sebagai berikut:113
1. Teori atau metode ilmiah yang
digunakan telah teruji
(falsifiability)
Untuk menentukan apakah
suatu ilmu merupakan
pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) perlu dilakukan
pengujian (to falsify) yang
didasarkan pada observasi
secara empiris.114 Contoh klasik
failsifiability dapat dilihat dalam
112 Steven M. Egesdal, The Frye Doctrine and Relevancy Approach Controversy: An Empirical Evaluation,
Geo.L.J. Vol. 7 (1986), hlm. 1769. 113 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, op. cit. 114 Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, edisi 2, 1968, hal 47, sebagaimana dikutip oleh
Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, “Daubert v. Merrell Dw Pharmaceutical, INC.: Redefining the Basis for Admissibility of expert Scientific Testimony”, Cordozo Law Review, 15 (1993), hlm. 1888; lihat Brian J Preston, "Science and the Law: Evaluating Evidentiary Reliability" (tulisan disampaikan pada the Australian Conference of Planning and Environment Courts and Tribunals, Adelaide, 4-7 September 2002), hlm. 280-282.
115 5th Cir. Christophersen v. Allied-Signal Corp, 939 F.2d 1106 (1991), cert. denied, 112 S. Ct. 1280 (1992).
116 Ibid.
perkara Christophersen v. Allied-
Signal Corp dimana penggugat
mendalilkan bahwa bahan yang
digunakan untuk membuat
baterai nikel adalah penyebab
penyakit kanker usus besar yang
menyebabkan kematian.115 Ahli
dari pihak penggugat
memberikan kesaksian adanya
kaitan antara hasil paparan
terhadap nikel dan kadmium
dengan sel karsinoma pada usus
besar penderita.116 Kesaksian
tersebut didasarkan pada
beberapa studi yang dia yakini
mengindikasikan adanya kaitan
antara nikel dan kadmium
dengan sel karsinoma di dalam
paru-paru. Namun demikian
pengadilan menolak kesaksian
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
36
tersebut.117 Pertimbangan hakim
didasarkan pada tidak adanya
preseden di dalam epidemiologi
kanker terkait kesimpulan ahli
tersebut.118 Epidemiologi kanker
adalah studi tentang distribusi
dan determinasi dari
kemungkinan perkembangan
kanker. Epidemiologi kanker
dapat digunakan untuk
mengidentifikasi peristiwa yang
meningkatkan atau
menurunkan insiden kanker
pada populasi tertentu.119 Tidak
ada seorang pun ahli, termasuk
ahli itu sendiri, yang telah
mencoba untuk menyimpulkan
(corroborate) hipotesa yang
menyatakan kesamaan
pathogenic dari kanker pada
organ yang berbeda dapat
diartikan bahwa kanker
117 Ibid. 118 Ibid. 119 nature.com, https://www.nature.com/subjects/cancer-epidemiology, diakses 10 September
2018. 120 Ibid., hlm. 1280. 121 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, op. cit. 122 Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, “Daubert v. Merrell Dw Pharmaceutical, INC.:
Redefining the Basis for Admissibility of expert Scientific Testimony”, Cordozo Law Review 15 (1993), 1896.
diakibatkan pada penyebab
yang sama.120
2. Teori atau metode ilmiah
memiliki unsur kesalahan
(potential error rate) yang rendah
dan didasarkan pada standar
operasi yang benar (maintenance
of operating standards)
Analisis potential error rate tidak
digunakan untuk menilai suatu
teori, melainkan digunakan
dalam menilai prosedur
sistematis untuk menghasilkan
tahapan sains.121 Berbeda
dengan falsifiability, yang
mensyaratkan teknik yang
dipakai adalah teknik yang
valid, analisis potential error rate
dilakukan untuk memastikan
validitas dari teknik yang
dipakai serta penerapan yang
tepat dalam suatu kasus.122
Contoh penggunaan potential
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
37
error rate dapat dilihat dari tes
jenis DNA seseorang. Setiap
DNA manusia mempunyai
keunikan tersendiri. Namun
demikian, tidak semua teknik
yang dipakai untuk mengetahui
jenis DNA seseorang dapat
mendeteksi keunikan tersebut
dengan tingkat akurasi yang
tinggi.123 Suatu teknik misalnya
sudah dibuktikan dengan dasar
teori yang valid. Namun
demikian apabila teknik ini
tidak didukung oleh peralatan
yang beroperasi secara baik,
teknisi yang berkualitas dalam
pengoperasian, pengoperasian
dengan prosedur yang benar,
maka akan dapat menghasilkan
hasil yang tidak akurat.124
Terkait dengan kondisi tersebut,
validitas suatu standar operasi
123 Ibid. 124 Paul C. Giannelli, The Admissibility of Novel Scientific Evidence: Frye v. United States, a half
century later, 80 COLUM. L.REV. 1197, 1201 (1980) sebagaimana dikutip oleh Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit.
125 Lihat 11th Cir, United States v. Else, 743 F.2d 1465, 1474 (1984) sebagaimana dikutip oleh Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit.
126 Sejauh mana suatu klaim ilmiah dapat dikatakan sebagai ‘good science’ akan tergantung pada sejauh mana klaim tersebut telah melewati proses ‘peer review’ dan publikasi yang berkualitas dari komunitas ilmiah yang relevan.
127 Clifton T. Hutchinson dan Danny S. Ashby, op. cit., 1900. 128 Ibid.
tidak hanya ditentukan apakah
ahli telah mengunakan teknik
yang valid, tetapi juga apakah
ahli tersebut mengoperasikan
teknik tersebut secara benar.125
3. Teori atau teknik yang
digunakan telah direview (peer
review) dan dipublikasikan.126
Peer review adalah metode yang
sudah terinstitusionalisasi untuk
mereview masuk akalnya
(plausibility) suatu output yang
bersifat sains serta tingkat
ketepatan (correctness) dari suatu
metodologi dan analisis yang
digunakan untuk menghasilkan
output tersebut.127 Proses peer
review yang ketat menentukan
sejauh mana suatu klaim tentang
suatu pengetahun dianggap
sebagai suatu sains.128 Menurut
hakim dalam perkara Daubert,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
38
proses yang ketat tersebut akan
mendeteksi secara seksama
adanya kesalahan subtantif
(substantive flaws) atas
metodologi yang dipakai.129
Namun demikian, hakim dalam
perkara Daubert menyatakan
peer review bukan sebagai
penilaian yang sifatnya
mutlak.130 Misalnya, klaim
tentang sains yang masih sangat
baru (novel) tidak secara
otomatis dapat dianggap tidak
melewati proses peer review yang
cukup.131 Klaim tersebut perlu
ditimbang dengan standar
validasi yang lain sebelum dapat
dikecualikan sebagai suatu
bukti.132
C. Catatan Kritis Terhadap Kriteria
Daubert
Putusan Daubert secara prinsip
telah mengubah panduan proses
129 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc, op. cit. 2797. 130 Ibid. 131 Ibid. 132 Ibid. 133 David E Bernstein, “The Admissibility of Scientific Evidence after Daubert v. Merrell Dow
Pharmaceuticals, Inc.” Cardozo Law Review 15, (1993), hlm. 2139.
penerimaan bukti ilmiah di pengadilan
Amerika Serikat. Hakim tidak lagi
hanya mengunakan proses penilaian
berdasarkan general acceptance rules
sebagaimana yang ditentukan dalam
perkara Frye. Sejak perkara Daubert,
hakim perlu melakukan penilaian
terhadap setiap bukti ilmiah, pendapat
ahli serta bukti-bukti lain yang relevan.
Beberapa orang berpendapat
bahwa Kriteria Daubert akan
mendorong proses pembuktian dan
penggunaan bukti ilmiah di pengadilan
secara lebih ketat.133 Namun demikian,
ada juga yang meragukan kemampuan
hakim untuk membuat putusan yang
tepat terkait dengan sains, mengingat
Kriteria Daubert membutuhkan
pemahaman tentang sains yang
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
39
mumpuni.134 Dengan menerapkan
Kriteria Daubert secara ketat,
pengadilan mungkin saja tidak sadar
telah mengenyampingkan suatu bukti
ilmiah yang secara keseluruhan
sebenarnya dapat mendukung
argumentasi ilmiah.135 Untuk
mencegah hal ini terjadi, hakim harus
melakukan penilaian secara
keseluruhan terhadap semua bukti
ilmiah (terintegrasi). Namun, ini
merupakan beban yang sangat berat
buat hakim karena mensyaratkan
hakim memiliki kemampuan layaknya
seorang ilmuwan.136
IV. Pendayagunaan Bukti Ilmiah
dalam Perkara Lingkungan
Perdata di Indonesia
Persyaratan diterimanya pendapat
ahli sebagai bukti ilmiah sebagaimana
diterapkan di Amerika Serikat dapat
menjadi referensi yang menarik bagi
134 Carl F Cranor, “A Framework for Assessing Scientific Arguments: Gaps, Relevance and
Integrated Evidence,” Journal of Law & Policy, Brooklyn Law School Vol. 15 (7) (2007), hlm. 8. 135 Dominic J Nardi, Jr., op. cit., hlm. 119. 136 Carl F Cranor, op. cit., hlm. 25. Misalnya, dalam suatu peristiwa paparan bahan kimia beracun,
hakim mungkin menghadapi kesulitan dalam menilai kesimpulan ahli tentang kadar kontaminasi produk yang dikumpulkan dari 'berbagai jenis bukti yang relevan dan sufisien'.
137 Daubert v Merrell Dow Pharmaceuticals, Inc. op. cit. 138 Wawancara dengan Justice Brian J. Preston, Ketua Pengadilan Land & Environment Court, New
South Wales, Australia.
Indonesia. Tulisan ini mengidentifikasi
setidaknya ada dua aspek penting
dalam membahas bukti ilmiah dan
kesaksian ahli yang relevan dengan
Indonesia. Pertama, keberadaan
metode ilmiah yang valid. Artinya,
bukti ilmiah harus diperoleh
berdasarkan metode sains.137 Kedua,
aspek pengetahuan khusus. Aspek ini
memastikan bahwa opini yang
disampaikan didasarkan oleh keahlian
yang dimiliki. Artinya, setelah suatu
opini atau bukti ilmiah diterima
sebagai suatu pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge), tahapan
selanjutnya adalah memastikan apakah
pendapat ahli tersebut didasarkan pada
keahlian yang diperoleh berdasarkan
pendidikan, pelatihan dan pengalaman
di bidang yang terkait dengan masalah
yang dibahas dalam kasus.138
Selanjutnya, tulisan ini akan
membahas sejauh mana hukum di
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
40
Indonesia mengatur bukti ilmiah serta
implementasinya dalam penanganan
perkara di pengadilan melalui
pendekatan doktrinal. Tulisan ini
dengan sengaja membatasi peraturan
yang dikaji, yakni Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata dan
Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung No. 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup.139 Untuk membantu
menganalisis, akan digunakan satu
studi kasus, yaitu putusan perkara
kebakaran hutan yang terdiri dari
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.
dalam perkara Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
v. PT. Jatim Jaya Perkasa serta Putusan
Pengadilan Tinggi. DKI No.
727/PDT/2016/PT.DKI dalam perkara
139 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit. 140 Ketika tulisan ini dibuat, Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juni 2018 menolak permohonan
kasasi yang diajukan oleh JJP. Putusan kasasi menguatkan putusan yang dibuat oleh Pengadilan Tinggi DKI. https://www.badungkab.go.id/instansi/dislhk/baca-berita/2047/Angin-Segar-Penegakan-Hukum-Karhutla-dari-MA.html. Tulisan ini tidak memasukan pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam melakukan analisis dikarenakan dokumen putusan belum dapat diakses di Mahkamah Agung.
141 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata [Het Herzein Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui], diterjemahkan oleh Tim Visi Yustisia, (Jakarta, Visi Media Pustaka, 2015), ps 1865.
antara Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia v. PT. Jatim
Jaya Perkasa.140
A. Peraturan tentang Bukti Ilmiah di
Indonesia
Pembuktian hukum perdata
didasarkan pada suatu prinsip bahwa
barang siapa mempunyai sesuatu hak
atau, guna membantah hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.141 Berdasarkan
prinsip ini, dalam persidangan hakim
akan memberikan beban pembuktian
kepada para pihak untuk
membuktikan dalil-dalil yang
disampaikan. Terhadap alat-alat bukti
yang disampaikan tersebut, hakim
selanjutnya melakukan penilaian
sejauh mana kekuatan alat bukti
tersebut berdasarkan ketentuan yang
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
41
berlaku.142 Berbeda dengan hukum
pembuktian pidana yang mencari
kebenaran material,143 dalam
pembuktian hukum perdata hakim
mencari kebenaran formil. Hal ini
berarti bahwa kekuatan alat bukti yang
sah menurut hukum bersifat
‘mengikat’ hakim dalam pengambilan
keputusan.
KUHPerdata mengenal berberapa
jenis alat bukti, yaitu: alat bukti tertulis,
kesaksian, persangkaan, pengakuan,
dan sumpah.144 Sementara itu Pasal 154
HIR menentukan bahwa keterangan
ahli dapat digunakan apabila
diperlukan. Pendapat ahli berfungsi
untuk menambah keyakinan hakim
dan sifatnya tidak dapat berdiri sendiri.
Namun demikian, bukti ilmiah tidak
disebutkan secara khusus dalam jenis-
jenis alat bukti dalam hukum tersebut.
142 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, edisi 1, (Jakarta: Kencana
Perdana Media Group, 2012), hlm. 51. 143 Indonesia. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun
1981, TLN No. 3258, ps 183 “seseorang hanya dapat dihukum apabila hakim berdasarkan alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi serta terdakwa tersebut telah bersalah melakukannya.”
144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara, op. cit. Ps 1866. 145 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit. hlm. 23. 146 Ibid. 147 Ibid.
Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung No. 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup menentukan bahwa bukti
ilmiah dapat digunakan dalam perkara
lingkungan. Tujuan bukti ilmiah dalam
kasus lingkungan adalah untuk
menambah keyakinan hakim serta
memberikan panduan bagi hakim
untuk menilai keotentikan suatu alat
bukti.145 Pedoman tersebut
memberikan contoh-contoh bukti
ilmiah, antara lain hasil analisis
laboratorium, penghitungan ganti rugi
akibat pencemaran dan/atau
kerusakan yang disampaikan oleh
ahli.146 Pedoman juga menyatakan
bahwa untuk dapat menjadi bukti
hukum, bukti ilmiah tersebut harus
didukung dengan keterangan ahli di
persidangan.147 Berdasarkan ketentuan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
42
tersebut, hakim menilai bukti-bukti
yang dihadirkan oleh para pihak secara
keseluruhan. Artinya, Hakim
menentukan validitas dengan melihat
kesesuaian suatu bukti dengan bukti
lain dalam rangka menemukan
peristiwa hukum serta membuat
kesimpulan.148
Lebih lanjut Pedoman tersebut
mengatur apabila hakim dihadapkan
pada beberapa pendapat ahli yang
bertentangan, hakim berdasarkan
keyakinannya memilih keterangan
(yang paling kredibel)149 dengan
memberikan pertimbangan alasan
dipilihnya keterangan alat bukti yang
disampaikan oleh ahli tersebut.150
Hakim juga dapat menunjuk ahli lain
atau menerapkan prinsip kehati-
hatian.151 Terkait dengan penanganan
kasus lingkungan yang banyak
148 Putusan Kalista Alam (2015) menjadi ‘standar’ yang dipakai oleh putusan pengadilan
selanjutnya dalam membuktikan adanya kebakaran hutan dengan penilaian secara keseluruhan dari bukti ilmiah yang disampaikan penggugat yang terdiri dari data hotspot berdasarkan rekaman citra satelit, hasil verifikasi lapangan serta hasil analisis data di laboratorium.
149 Tambahan dari penulis. 150 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit., hlm. 23. 151 Ibid. 152 Pedoman memberikan contoh-contoh dari bukti ilmiah seperti analisa hasil laboratorium, data
hotspot serta interpretasinya. Untuk dapat menjadi bukiti hukum, bukti ilmiah harus didukung dengan keterangan ahli di persidangan. Surat/dokumen pendukung pengambilan contoh harus dilakukan oleh orang/organisasi yang kredibel dan terakreditasi serta dibuat berita acara secara rinci.
153 Indonesia, Mahkamah Agung, op. cit., hlm. 48.
melibatkan bukti ilmiah, Pedoman ini
sudah banyak digunakan dan
membantu dalam pembuktian yang
melibatkan bukti ilmiah dan
keterangan ahli.152
Pedoman ini juga memberikan
kriteria khusus yang harus dimiliki
oleh seorang ahli untuk dapat bersaksi
di pengadilan dalam kasus lingkungan.
Kriteria tersebut meliputi: (1) memiliki
disiplin ilmu sesuai dengan perkara
yang dibuktikan melalui ijazah,
minimal S2 (akademis) atau mendapat
pengakuan masyarakat sebagai ahli; (2)
pernah menyusun atau membuat karya
ilmiah atau penelitian relevan (pakar);
(3) aktif dalam seminar atau lokakarya
dan tercantum daftar riwayat hidup
(CV).153
Peraturan yang berlaku saat ini
terlihat sudah mengakomodir
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
43
pendapat ahli dan bukti ilmiah dalam
proses pembuktian di pengadilan.
Namun, masih ada beberapa hal yang
perlu dipertegas, antara lain tentang
prosedur penilaian suatu bukti ilmiah
atau keterangan ahli sebagai bukti yang
relevan, prosedur untuk menentukan
validitas bukti ilmiah dan penentuan
kriteria pengetahuan khusus bagi ahli.
Artinya, pedoman tidak secara khusus
memberikan pedoman untuk
menentukan suatu bukti ilmiah sebagai
sesuatu yang bersifat sains, diperoleh
melalui metode yang valid yang sudah
mendapatkan pengakuan dari
komunitas sains yang relevan. Terkait
dengan kriteria ahli, prasyarat yang
ditentukan masih bersifat umum yang
tidak memberikan pedoman kepada
hakim untuk memastikan bahwa
pendapat ahli didasarkan pada
keahlian khusus yang terkait.
154 Ann Jeannette Glaubber, dkk, “Kerugian dari Kebakaran Hutan: Analisa Dampak Ekonomi dari
Krisis Kebakaran Tahun 2015”, Laporan Pengetahuan lanskap Berkelanjutan Indonesia No.1 World
Bank Group, 2016, hlm. 1.
B. Bukti Ilmiah dalam Proses
Pembuktian Perkara Jatim Jaya
Perkasa
Kebakaran hutan merupakan
permasalahan yang terjadi hampir
setiap tahun di Indonesia. Kebakaran
hutan terbesar terjadi pada pada kurun
waktu 1997-1998. Sejak saat itu, hampir
setiap tahun berturut-turut, terjadi
kebakaran hutan di berbagai wilayah.
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BPNB) memperkirakan
bahwa kerugian negara yang
ditimbulkan dari kebakaran hutan
antara tahun 1997-2015 mencapai 221
triliun rupiah.154
Banyak terdapat perkara
kebakaran hutan yang memiliki
dimensi bukti ilmiah. Salah satu
perkara kebakaran hutan yang
memiliki dimensi sains adalah putusan
perkara P.T. Jatim Jaya Perkasa (JJP).
Alasan dipilihnya perkara JJP karena
perkara ini memiliki perdebatan
penting terkait dengan aspek
keberadaan metodologi yang andal
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
44
serta aspek pengetahuan khusus terkait
bukti ilmiah. Hal tersebut dapat dilihat
dari perbedaan pertimbangan hakim
pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi terkait bukti ilmiah dalam
perkara tersebut. Pembahasan
perbedaan tersebut dalam kerangka
akademis dapat menjadi pelajaran dan
masukan yang penting khususnya bagi
penguatan hakim.
Perkara ini dimulai pada tahun
2013, ketika Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK)
mengajukan gugatan kepada PT. JJP ke
Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir,
Riau. Dalam gugatannya, KLHK
mendalilkan bahwa perusahaan
tersebut telah lalai dalam melakukan
pembukaan lahan, sehingga
menyebabkan terbakarnya lahan
gambut seluas 1000 ha di
wilayahnya.155 Akibat dari kelalaian
tersebut, Penggugat memperkirakan
negara menderita sebesar Rp.
491.025.500.000,00 156
155 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit. hlm. 15. 156 Ibid., hlm. 38. 157 Ibid., hlm. 166. 158 Ibid., hlm. 167. 159 Ibid., hlm. 170.
PN Rokan Hilir mengabulkan
gugatan KLHK sebagian dengan
menyatakan bahwa P.T. JJP
bertanggung jawab terhadap terjadinya
kebakaran.157 Namun, PN tidak sepakat
dengan penggugat terkait total luas
wilayah yang terbakar.158 Menurut PN,
total luas kawasan yang terbakar
hanyalah 120 ha, jauh lebih kecil dari
perhitungan Penggugat. Akibatnya,
PN menentukan nilai ganti kerugian
yang jauh lebih kecil dari tuntutan
Penggugat, yakni kerugian materiel
sebesar Rp. 7.196.188.475,00. Di
samping itu PN juga mengharuskan
P.T. JJP melakukan tindakan
pemulihan lingkungan terhadap lahan
yang terbakar dengan nilai sebesar Rp.
22.277.130.853,00.159
Atas putusan PN tersebut, KLHK
mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi (PT) Riau. Dalam putusannya,
Majelis Hakim PT menguatkan
putusan PN dan menyatakan bahwa
telah terjadi kebakaran di wilayah kerja
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
45
P.T. JJP. Namun, Majelis Hakim PT
menolak pertimbangan Majelis Hakim
PN terkait dengan luas wilayah
kebakaran. Majelis Hakim PT
menentukan bahwa luas wilayah yang
terbakar jauh di atas perhitungan
Majelis Hakim PN, yakni 1000 ha.160
Sebagai konsekuensi, Majelis Hakim PT
menghukum Tergugat untuk
membayar kerugian materiel yang juga
sangat besar, yakni Rp.
119.888.500.000,00 serta melakukan
tindakan pemulihan lingkungan
terhadap lahan yang terbakar dengan
nilai sebesar Rp. 371.137.000.000,00.161
Tulisan ini berpendapat bahwa
terdapat 3 (tiga) hal terkait bukti ilmiah
yang saling bertentangan yang
diajukan oleh para pihak dalam
perkara PT. JJP ini, yang pada
gilirannya mempengaruhi putusan
hakim. Pertentangan pertama, terkait
160 Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, op. cit. hlm. 79. 161 Ibid., hlm. 81. 162 Untuk memberikan keyakinan awal apakah benar terjadi kebakaran pada titik-titik hotspot
tersebut telah dilakukan pemeriksaan melalui aplikasi Google Earth dengan mengecek citra yang
terekam oleh satelit pada lokasi-lokasi yang terindikasi adanya titik panas – menunjukan bahwa hotspot
yang terindikasi di titik koordinat yang terbukti masuk wilayah usaha perkebunan. 163 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 9. (1)
Titik koordinat lokasi lahan bekas kebakaran benar terjadi di wilayah PT. JJP; (2) Telah terjadi kebakaran di areal HGU Tergugat khususnya pada lahan inti pada areal kosong tanpa tanaman dan pada areal yang telah ditanami sawit tapi dengan kualitas yang sangat tidak baik; (3) memastikan bahwa
lokasi terjadinya kebakaran lahan.
Kedua, luas wilayah yang terbakar.
Ketiga, besarnya nilai kerugian
lingkungan dan biaya pemulihan yang
diperlukan.
1. Lokasi Terjadinya Kebakaran
Terkait dengan lokasi terjadinya
kebakaran, Ahli dari pihak Penggugat
memberikan bukti data hotspot yang
diperoleh dari satelit MODIS pada
periode bulan Juni 2013. Berdasarkan
data tersebut, peristiwa kebakaran
lahan terindikasi terjadi sejak awal Juni
2013 di berbagai titik yang berbeda.162
Untuk memastikan bahwa titik hotspot
tersebut adalah titik api kebakaran,
Penggugat melakukan verifikasi
lapangan yang dilakukan oleh tim yang
ditunjuk oleh KLHK, yang
beranggotakan para ahli dan staf pada
tanggal 6 November 2013.163 Sementara
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
46
itu, Tergugat berpendapat perlu
dilakukan proses rekognisi dan proses
verifikasi secara real time untuk
memastikan bahwa sebuah hotspot
adalah benar-benar titik api (firespot).164
Tergugat menyatakan bahwa verifikasi
lapangan yang dilakukan oleh
Penggugat pada tanggal 6 November
2013 tersebut bukan merupakan
verifikasi yang dilakukan secara real
time.165
Majelis Hakim juga menerima
pendapat Ahli pihak Tergugat yang
menyatakan bahwa cuaca yang sangat
ekstrim pada periode Mei hingga Juni
2013 berkontribusi pada terjadinya
kebakaran.166 Kondisi ini menyebabkan
adanya temperatur yang sangat tinggi
yang dapat memindahkan materiel
yang terbakar yang berasal dari tanah
masyarakat.167 Ditambah dengan
keterangan saksi masyarakat soal api
kebakaran terjadi bukan tanpa alasan tetapi merupakan bagian dari upaya melakukan penyiapan lahan dengan pembakaran melalui pembiaran; (4) tidak tersedianya sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan di seputar areal yang terbakar; (5) lahan bekas terbakar merupakan lahan gambut; dan (6) Ditemuinya berberapa tanda-tanda fisik bekas kebakaran hutan.
164 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 47. 165 Ibid., hlm. 48. 166 Ibid, hlm. 138 - 139. 167 Ibid, hlm. 139. 168 Ibid, hlm. 157. 169 Ibid, hlm. 15. 170 Ibid, hlm. 16.
yang bersumber dari lahan masyarakat,
Majelis Hakim menerima eksepsi
Tergugat (berdasarkan pendapat para
Ahli) tentang sumber api yang bukan
berasal dari kegiatan Tergugat.168
2. Luas Wilayah yang Terbakar
Terkait dengan luas wilayah yang
terbakar, ahli dari pihak Penggugat
menentukan luas wilayah yang
terbakar berdasarkan verifikasi secara
fisik dengan menggunakan metode
sampling.169 Contoh diambil di 5 (lima)
blok lokasi kebakaran dalam wilayah
Tergugat. Salah satu contoh diambil
dari lahan yang tidak terbakar, sebagai
data kontrol untuk membandingkan
kondisi kandungan tanah yang
terbakar dengan kondisi tanah yang
tidak terbakar.170 Berdasarkan metode
tersebut, ahli dari pihak Penggugat
menyimpulkan bahwa luas wilayah
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
47
yang terbakar adalah 1.000 ha.171
Tergugat menolak hasil
perhitungan tersebut dan menyatakan
bahwa perhitungan tersebut hanya
berdasarkan asumsi dan tidak valid.
Luas yang terbakar menurut Tergugat
hanya seluas 113,9 ha.172 Tergugat
mendasarkan luas tersebut pada
pengakuan Penggugat atas wilayah
yang terbakar pada saat kunjungan
lapangan.173 Tergugat
mempertanyakan tentang metode
sampling yang dilakukan. Walaupun
hanya dilakukan terhadap lima lokasi
blok yang terbakar, tetapi dijadikan
dasar kesimpulan oleh ahli Penggugat
untuk menentukan jumlah
keseluruhan areal yang terbakar
sebesar 1000 ha.174 Majelis Hakim PN
menerima eksepsi yang disampaikan
Tergugat tersebut dengan dasar bukti
luas wilayah terbakar dan saksi-saksi
171 Ibid, hlm. 16. 172 Ibid, hlm. 59 173 Ibid, hlm. 57. Penggugat menyatakan bahwa wilayah yang terbakar terletak pada Blok S3 D-E,
Blok S4, S5, S6, S7, S8 dan S9 A, B, C, D dan E, Blok T4, T5, T6, T7, T8 dan T9. 174 Ibid, hlm. 57. 175 Ibid, hlm. 166. ‘Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-28 bahwa lahan Tergugat yang terbakar
adalah pada sebagian blok S dan T seluas 120 Ha, dan dari bukti P-28 tersebut yang apabila
dihubungkan dengan keterangan saksi Handa Saputra dan Tukiman bahwa hanya sebagian lahan di
blok S dan T yang terbakar, maka dengan demikian Majelis Hakim menetapkan bahwa lahan Tergugat
yang terbakar adalah seluas 120 ha…’
yang disampaikan Tergugat.175
Namun, Majelis Hakim PT
menolak pertimbangan tersebut.
Hakim menerima perhitungan dengan
menggunakan metode sampling yang
diajukan oleh ahli dari pihak
Penggugat dalam menentukan luas
wilayah kebakaran hutan. Selain itu,
Majelis Hakim juga mengakui metode
untuk menentukan titik hotspot yang
dijadikan dasar penghitungan, dengan
alasan bahwa metode tersebut sudah
diakui secara ilmiah. Kaidah hukum
yang mendasari pertimbangan hakim
adalah bahwa pembuktian dalam
kerusakan lingkungan tidak hanya
menggunakan keterangan saksi-saksi,
tapi yang paling penting adalah
pembuktian ilmiah, verifikasi di
lapangan dan analisa di
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
48
labolatorium.176
3. Besarnya Nilai Kerugian yang
Ditimbulkan Serta Biaya
Pemulihan Lingkungan
Penggugat mendasarkan
penghitungan ganti kerugian serta
biaya pemulihan akibat kebakaran
lahan berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan No. 7 Tahun 2014 tentang
Ganti Kerugian Akibat Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan.177
Menurut Penggugat, kebakaran lahan
yang terjadi di wilayah Tergugat
mengakibatkan kerugian lingkungan,
yang terdiri dari kerugian ekologis178
serta kerugian ekonomis berupa
hilangnya umur pakai. Sedangkan
biaya pemulihan yang diajukan
176 Ibid., hlm. 78. 177 Dari uraian tersebut, total kerugian lingkungan adalah sebesar Rp. 119.885.500.000 dan total
biaya pemulihan adalah Rp. 371.137.000.000. 178 Terdiri dari biaya pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air,
pengendalian erosi, pembentuk tanah, pendaur ulang unsur hara, pengurai limbah, dan kerugian atas hilangnya keanekaragaman hayati dan sumberdaya genetika, kerugian akibat terlepasnya Karbon ke udara (terdiri dari lepasnya Karbon dan hilangnya perosot Karbon/Carbon Reduction).
179 Salah satunya adalah tidak dilakukannya pemeriksaan dalam waktu yang cepat (real time) atas terlepasnya gas rumah kaca.
180 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 167. Hakim berpendapat karena tidak ada peraturan yang menetapkan besara ganti rugi, selain melalui penghitungan ahli, maka majelis hakim dapat menerima besaran ganti rugi sebagaimana disebutkan Penggugat dalam gugatannya. Hal lain yang menjadi pertimbangan hakim terkait besarnya ganti kerugian adalah: (1) hutan tidak rusak rempurna dan masih dapat ditanah kembali; (2) kebakaran bukan berasal dari lahan Tergugat melainkan dari lahan masyarakat yang merembet ke lahan Tergugat;
penggugat terdiri dari: biaya
pemulihan lahan gambut bekas
terbakar, biaya pembelian kompos,
biaya angkut, biaya penyebaran
kompos, dan biaya pemulihan untuk
mengaktifkan fungsi ekologis.
Tergugat menolak perhitungan
serta nilai yang ditentukan tersebut.179
Majelis Hakim PN menerima metode
penghitungan yang disampaikan oleh
Penggugat, namun sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya, Majelis
Hakim tidak sepakat dengan luas
wilayah yang terbakar. Berdasarkan hal
tersebut, Majelis Hakim PN hanya
mengabulkan ganti rugi dan
pemulihan sesuai dengan luas wilayah
terbakar, yakni 120 ha.180
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
49
Berbeda dengan putusan PN,
Majelis Hakim PT mengabulkan
seluruh nilai ganti kerugian dan biaya
pemulihan yang diajukan oleh
Penggugat. Putusan Majelis Hakim
tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa kebakaran terjadi
di wilayah yang sangat luas, yaitu 1000
ha. Di samping itu Majelis Hakim PT
juga mempertimbangkan bahwa
kebakaran lahan tersebut telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan
hidup yang dampaknya berpotensi
tidak dapat dipulihkan lagi.181
V. Federal Rule of Evidence 702,
Kriteria Daubert dan
Pendayagunaan Bukti Ilmiah di
Indonesia
Sebagaimana disampaikan
sebelumnya, penggunaan bukti ilmiah
di Amerika Serikat didasarkan pada
Federal Rules of Evidence, Rule 702 dan
Kriteria Daubert. Tulisan ini melihat
bahwa aturan dan kriteria tersebut
sangat ketat dan rinci, sehingga dapat
(3) dengan kedua hal tersebut majelis hakim menganggap adil apabila dibebankan kepada Tergugat separo (1/2) dari nilai kerugian yang timbul di lahan Tergugat.
181 Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 727/PDT/2016/PT.DKI, op. cit. hlm. 79.
membantu hakim dalam menilai bukti
ilmiah dalam proses pembuktian di
pengadilan. Apabila aturan dan kriteria
tersebut digunakan untuk
menganalisis pendayagunaan bukti
ilmiah dalam penanganan perkara di
pengadilan di Indonesia, maka
diharapkan dapat membantu
mengidentifikasi kekurangan yang
ada.
A. Keberadaan Metodologi Sains
yang Andal
Kriteria Daubert mensyaratkan
agar teori dan metode yang digunakan
dalam menentukan bukti ilmiah telah
teruji secara ilmiah (falsifiability test),
potential error rate-nya rendah, telah
melalui peer review dan telah diterima
oleh komunitas ilmiah (general
acceptance). Jika menggunakan kriteria
tersebut, terlihat bahwa Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup yang dikeluarkan Mahkamah
Agung belum memberikan arahan
bagaimana menilai suatu bukti ilmiah
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
50
atau bagaimana memastikan
keterangan ahli didasarkan pada teori
atau metode ilmiah. Pedoman hanya
memberikan acuan yang perlu
dilakukan oleh hakim bila terjadi
perbedaan antara bukti ilmiah dan
keterangan ahli.
Terkait dengan data hotspot,
walaupun hakim menerima telah
terjadinya kebakaran di lahan
Tergugat, Majelis Hakim PN tidak
memberikan pertimbangan secara
khusus tentang validitas bukti hotspot
yang disampaikan oleh Penggugat
terkait verifikasi secara real time. Hal ini
penting untuk dilakukan untuk
memastikan validitas bukti ilmiah.
khususnya apakah metode yang
dilakukan dalam menentukan titik
koordinat kebakaran telah dilakukan
dengan metode yang valid dan
pelaksanaan dilakukan dengan cara
yang benar. Dalam kriteria Daubert,
proses ini terkait dengan pengujian
standar operasi yang benar
(maintenance of operating standards).
182 Ibid.
Sementara itu, Majelis Hakim PT
tampaknya telah menggunakan salah
satu Kriteria Daubert, yakni prinsip
general acceptance. Di sini, Majelis
Hakim PT menilai apakah bukti ilmiah
didasarkan atas suatu metode yang
valid. Misalnya, Majelis menilai data
hotspot dihasilkan oleh foto citra satelit
yang dianggap sudah diakui secara
ilmiah dan data tersebut telah
diverifikasi dan dianalisis di
laboratorium oleh ahli kebakaran
hutan.182 Namun demikian, Majelis
belum secara rinci menilai keberadaan
metode yang valid dalam menentukan
penyebab serta dampak terjadinya
kebakaran.
Terkait dengan penyebab
kebakaran, Majelis Hakim PN belum
membandingkan keterangan ahli
Penggugat yang menjelaskan bukti
hotspot, hasil verifikasi lapangan, dan
analisis laboratorium dengan pendapat
ahli Tergugat tentang pengaruh cuaca
terhadap pemicu kebakaran di wilayah
Tergugat. Majelis tidak menilai apakah
teori atau metode yang mendasari
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
51
pendapat ahli Tergugat adalah valid.
Selain itu, Majelis Hakim PN tidak
secara khusus menilai terkait
metodologi. Hakim tidak menilai
apakah metode sampling tepat
digunakan untuk menentukan luas
seluruh wilayah yang terbakar. Dari
pertimbangan Majelis Hakim PN diatas
dapat dilihat bahwa Majelis Hakim PN
lebih memberikan bobot yang lebih
berat kepada bukti selain bukti ilmiah
dalam membuktikan
pencemaran/perusakan lingkungan.
Hal ini dapat menunjukan adanya
kebutuhan pemahaman ilmiah yang
memadai bagi hakim.
Sementara itu, terkait dengan
dampak kebakaran, ahli-ahli dari
Penggugat menyatakan bahwa
ketebalan gambut yang terbakar
bervariasi sampai kedalaman 75 cm,
sedangkan ahli-ahli dari pihak
Tergugat menyampaikan ketebalan
gambut yang terbakar hanya sampai
kedalaman 15 cm.183 Majelis Hakim PN
mengakui hal ini disebabkan oleh tidak
samanya pengambilan titik sampel.
183 Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr., op. cit., hlm. 165.
Namun demikian, pertimbangan
tersebut tidak disertai dengan
pemeriksaan secara rinci apakah
sampel tersebut adalah sampel yang
relevan dengan kebakaran. Validitas
dari sampel tersebut akan menentukan
apakah pendapat Ahli adalah pendapat
yang kredibel. Terdapat kaitan yang
sangat erat antara opini, metodologi
serta data yang digunakan. Artinya
menilai apakah suatu opini adalah
opini yang valid dapat diuji dengan
memastikan apakah opini tersebut
diperoleh melalui metodologi yang
tepat terhadap data-data yang relevan.
Sehingga walaupun metodologi yang
dipakai sudah tepat tapi data yang diuji
bukan data yang relevan atau valid,
maka opini menjadi tidak valid.
B. Aspek Pengetahuan Khusus
(Specialized Knowledge)
Rule 702, Federal Rule of Evidence
menentukan bahwa suatu pendapat
ahli merupakan bukti ilmiah jika
didasarkan pada data atau fakta yang
akurat, serta diperoleh dari prinsip dan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
52
metode ilmiah yang dapat diandalkan.
Di Indonesia, peraturan yang ada
belum mengatur kriteria yang jelas
terkait pendapat ahli, sedangkan
kriteria yang ditetapkan dalam
Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan juga masih sangat luas.
Pedoman, misalnya, belum mengatur
tentang perlunya ahli memiliki
pengetahuan khusus (specialized
knowledge) yang sesuai dengan
kebutuhan perkara.
Dalam perkara P.T. JJP, Penggugat
menghadirkan Ahli untuk menjelaskan
besar dan nilai kerugian lingkungan
serta biaya pemulihan yang
diperlukan. Majelis Hakim menerima
penjelasan Penggugat tentang latar
belakang dan keahlian khusus yang
dimiliki oleh para Ahli serta
kredibilitas laboratorium yang
dipakai.184 Putusan Majelis Hakim juga
184 Prof. Bambang Hero Saharjo. M.Agr. telah memperoleh penunjukan dari Menteri Lingkungan
Hidup berdasarkan Surat Penunjukan ahli Nomor SPA-03/Dep.V/LH/HK/12/2014 tanggal 31 Desember 2014 dan juga sebagai Kepala Laboratorium Kebakatan Lahan Fakultas Kehutanan IPB dan anggota Tim Panel Pakar Kebakaran Hutan dan Lahan ASEAN, Chair Souteast Wildlife Network-UNISDR yang bernaung di bawah PBB. Sedangkan DR. Ir. Basuki Wasis, M.Si. adalah peneliti IPB dalam masalah kerusakan lingkungan khususnya kerusakan tanah gambut dan telah sering diminta sebagai ahli dalam penanganan kasus lingkungan oleh aparat penegak hukum.
185 Justice Brian J. Preston, Economic Valuation of the Environment, (makalah disampaikan pada Land and Environment Annual Conference, 28 May 2015, Manly, Australia, 13-17).
186 Ibid., hlm. 14.
sudah dengan jelas menerima
penghitungan ganti kerugian yang
disampaikan oleh ahli Penggugat.
Namun demikian, dalam
menganalisis pertimbangan hakim
tersebut dari aspek pengetahuan
khusus, tulisan ini menganggap
penting untuk membahas lebih lanjut
bagaimana Majelis Hakim menerima
keterangan ahli soal penghitungan
ganti kerugian? kriteria apa yang
dipakai oleh Majelis hakim untuk
menilai bahwa ahli tersebut adalah ahli
yang memiliki pengetahuan khusus?
Sementara itu, secara teori proses
valuasi lingkungan terdiri dari
berberapa tahap. 185 Tahap pertama
adalah menjelaskan ruang lingkup dari
analisis yang dibutuhkan (the scope of
analysis required).186 Kedua,
mengidentifikasi dampak terhadap
lingkungan (identify all the
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
53
environmental impacts).187 Ketiga,
mengkuantifikasi dampak yang telah
diidentifikasi (quantify the environmental
impacts).188 Tahapan terakhir adalah
melakukan penghitungan keuangan
(monetise the environmental impacts).189
Terkait dengan masalah diatas, SK
KMA No. 36 No. 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pedoman Penanganan Kasus
Lingkungan sendiri membolehkan
penghitungan kerugian lingkungan
hidup dilakukan oleh ahli kerusakan
lingkungan. Pada saat pembentukan,
SK ini merujuk pada ketentuan Permen
LH No. 13 tahun 2011 tentang Kerugian
Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup terkait siapa yang dapat
melakukan penghitungan kerugian.
Permen ini sudah diganti oleh
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
(Permen LH) No. 7 tahun 2014 tentang
Kerugian Lingkungan Hidup Akibat
Pencemaran dan/atau Kerusakan
187 Ibid., hlm.15. 188 Ibid., hlm.16. 189 Ibid., hlm. 17. 190 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang
Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, No. 7 tahun 2014, Pasal 4.
Lingkungan Hidup yang masih
memuat pengaturan pengaturan yang
sama, yakni ahli pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan dapat
melakukan penghitungan kerugian
lingkungan.190
Kemudian, pasal 4 Permen LH No.
7 Tahun 2014 tentang Kerugian
Lingungan Hidup Akibat Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup juga membedakan antara ahli
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan dengan ahli valuasi
ekonomi lingkungan hidup.
Berdasarkan ketentuan ini, pertanyaan
kritis diatas dapat diuji dengan
beberapa pertanyaan lanjutan sebagai
berikut.
Pertama, Rule 702 menyatakan
bahwa seorang saksi yang memiliki
keahlian berdasarkan pengetahuan,
keterampilan, pengalaman, pelatihan
atau pendidikan yang ia miliki, dapat
menjadi ahli dan mengemukakan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
54
pendapatnya di pengadilan. Apakah
ahli kerusakan lingkungan tersebut
memiliki pengetahuan, pengalaman,
pendidikan serta pelatihan terkait
dengan substansi yang ada pada
tahapan-tahapan tersebut? Kedua,
apakah penghitungan ganti kerugian
yang disampaikan oleh ahli kerusakan
lingkungan telah menguraikan
keempat tahapan diatas?
Pertanyaan-pertanyaan diatas
perlu dijawab melalui penelitian yang
lebih mendalam dalam kerangka yang
lebih luas - perbandingan sistem
penilaian bukti ilmiah dalam kasus
lingkungan di Indonesia dengan
dengan sistem di Amerika serta negara-
negara lain yang dianggap menarik.
Terkait dengan aspek pengetahuan
khusus, salah satu aspek penelitian
dapat ditekankan pada penentuan
kriteria serta tahapan apa yang perlu
dilakukan oleh seorang ahli dalam
melakukan valuasi lingkungan akibat
kebakaran hutan. Sehingga beberapa
ahli mungkin perlu dilibatkan untuk
suatu alat bukti terkait bukti ilmiah.
Pada akhirnya, kemampuan hakim
untuk memastikan apakah pendapat
ahli tersebut dilakukan dengan
metodologi yang valid menjadi salah
satu faktor kunci dalam menilai
kredibilitas dari suatu bukti ilmiah. Hal
ini mensyaratkan kemapuan hakim
yang memadai tentang sains yang
relevan (sufficient level of relevant
scientific knowledge), pedoman yang
jelas dan metode pelatihan yang
komprehensif terkait bukti ilmiah.
VI. Penutup
Kriteria Daubert memuat prinsip-
prinsip penting dalam melihat apakah
suatu bukti imiah adalah bukti yang
dapat diandalkan. Secara umum
pengaturan hukum di Indonesia sudah
memuat prinsip-prinsip dari kriteria
Daubert sebagaimana telah diuraikan
diatas. Selain itu prinsip-prinsip
tersebut juga telah secara umum
digunakan dalam penanganan perkara
perdata lingkungan. Namun demikian,
hal ini belum dapat dianggap cukup.
Terdapat berberapa tantangan yang
dihadapi di lapangan. Tulisan ini
menyimpulkan bahwa tantangan yang
ada di lapangan adalah bahwa aturan
yang ada selama ini belum
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
55
memberikan panduan yang lengkap
untuk menilai validitas bukti ilmiah
yang diajukan dalam persidangan dan
pengetahuan khusus yang dimiliki oleh
ahli. Untuk itu, peraturan dan
pedoman tentang pembuktian dalam
perkara lingkungan di pengadilan
perlu disempurnakan. Perhatian
khusus perlu diberikan pada aspek
penggunaan metode ilmiah dalam
menentukan validitas bukti ilmiah,
serta pendapat ahli yang harus
didasarkan oleh pengetahuan khusus.
Aspek-aspek lain yang relevan dan
penting perlu diidentifikasi lebih lanjut
secara komprehensif.
Namun demikian, perlu diakui
bahwa penyempurnaan peraturan
yang diusulkan tersebut akan
memberikan tantangan tersendiri bagi
hakim. Pengaturan yang detail berarti
mensyaratkan hakim untuk memiliki
pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) yang memadai. Tentunya
hakim tidak diharapkan untuk dapat
memiliki pemahaman layaknya
seorang ilmuwan. Namun, hakim
diharapkan mampu merumuskan
pertanyaan-pertanyaan penting dalam
menilai validitas bukti ilmiah dan
kualifikasi saksi ahli, agar dapat
memberikan pendapat ilmiah yang
relevan dengan perkara. Oleh sebab itu,
penguatan hukum tersebut juga perlu
didukung dengan adanya pelatihan
khusus bagi hakim, dengan materi dan
metode yang tepat. Metode yang
dipakai harus dapat membantu hakim
dalam memilah dan memilih bukti
ilmiah yang relevan, dan menerapkan
ke dalam suatu perkara.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
56
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Federal Rules of Evidence, Rule 702,
diundangkan pertama kali pada
tahun 1975.
Indonesia. Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. UU No. 8 Tahun
1981. LN No. 76 Tahun 1981,
TLN No. 3258.
Indonesia, Mahkamah Agung,
Keputusan Ketua tentang
Pedoman Penanganan Kasus
Lingkungan, SK KMA No.
36/KMA/SK/II/2013.
Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup tentang Kerugian
Lingkungan Hidup Akibat
Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup,
No. 7 tahun 2014.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata [Het Herzein Inlandsch
Reglement/Reglemen Indonesia
yang Diperbaharui],
diterjemahkan oleh Tim Visi
Yustisia, (Jakarta, Visi Media
Pustaka, 2015).
Putusan Pengadilan
D.C. Cir. Frye v United States 293F
(1923), 1014.
11th Cir. United States v. Else, 743 F.2d
1465, 1474 (1984).
5th Cir. Christophersen v. Allied-Signal
Corp, 939 F.2d 1106 (1991), cert.
denied, 112 S. Ct. 1280 (1992).
Supreme Court of The United States.
Daubert v Merrell Dow
Pharmaceuticals, Inc. (1993) 113 S.
Ct 113 S. (1993).
D. Tex. Cano v. Everest Mineral Corp., 362
F. Supp.2d 814 (2005).
Mahkamah Agung, Putusan No. 651
K/PDT/2015.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
Putusan No.
108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Putusan No. 456/Pdt.G-
LH/2016/PN.Jkt.Sel.
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No.
727/PDT/2016/PT.DKI.
Buku
Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Asas-
Asas Hukum Pembuktian Perdata.
edisi 1. Jakarta: Kencana
Perdana Media Group. 2012.
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
57
Glaubber, Ann Jeannette. et. al.,
“Kerugian dari Kebakaran
Hutan: Analisa Dampak
Ekonomi dari Krisis Kebakaran
Tahun 2015.” Laporan
Pengetahuan lanskap
Berkelanjutan Indonesia No.1.
World Bank Group. 2016.
Mayo, Deborah G. dan Rachelle
D. Acceptable Evidence. New
York: Oxford University Press.
1991.
Popper, Karl R. The Logic of Scientific
Discovery. edisi 2. New York:
Routledge. 1968.
Pring, George and Pring, Catherine.
Greening Justice: Creating &
Improving Environmental Courts
& Tribunals. The Access
Initiative. 2009.
_____, Environmental Courts & Tribunals
- A Guide for Policy Makers
(UNEP) | ELAW (2016).
Artikel
Bernstein, David E. “The Admissibility
of Scientific Evidence after
Daubert v. Merrell Dow
Pharmaceuticals, Inc.” Cordozo
Law Review 15 (1993).
Bishop, Katherine. “Science Advance so
Quickly Nowadays. We can’t
just Count Scientific
Cranor, F. Carl, “A Framework for
Assessing Scientific Arguments:
Gaps, Relevance and Integrated
Evidence. “Journal of Law &
Policy, Brooklyn Law School Vol.
15 (7) (2007).
Egesdal, M. Steven, “The Frye Doctrine
and Relevancy Approach
Controversy: An Empirical
Evaluation,” 74, Geo.L.J. (1986).
Giannelli, Paul C. “The Admissibility of
Novel Scientific Evidence: Frye
V. United States, A Half Century
Later.” Columbia Law Review Vol.
80 No. 6. (1980).
Hutchinson, Clifton T. dan Ashby S.
Danny. “Daubert v. Merrell Dw
Pharmaceutical, INC.:
Redefining the Basis for
Admissibility of expert Scientific
Testimony.” Cordozo Law Review
15 (1993).
Markus, L. Richard. "Discovery Along
the Litigation/Science
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 24-59
58
Interface." Brooklyn Law Review
Vol. 57 (1991).
Muirden, April. dan John Bailey.
"Presenting Scientific Evidence
in Environmental Court Cases:
How Science and Law Meet"
Environmental Planning and Law
Journal Vol. 25 (2008).
Nardi, Jr, J. Dominic, "Do Indonesian
Judges Need Scientific
Credibility? Indonesia v. PT.
Newmont Minahasa Raya and
the Use of Scientific Evidence in
Indonesian Courts." Georgetown
International Environmental Law
Review Vol. 21 Issue 113.
Park J. Keum, “Judicial Utilization of
Scientific Evidence in Complex
Environmental Torts:
Redefining Litigation Driven.”
Fordham Environmental Law
Review Vol. 7 No. 2 (1996).
Preston, J. Brian. "Science and the Law:
Evaluating Evidentiary
Reliability." (tulisan
disampaikan pada the
Australian Conference of
Planning and Environment
Courts and Tribunals, Adelaide,
4-7 September 2002).
_____. “Economic Valuation of the
Environment.” (makalah
disampaikan pada Land and
Environment Annual Conference,
28 May 2015, Manly, Australia).
Thornton, John I. “Uses and Abuses of
Forensic Science.” American Bar
Association Journal. Vol. 69 Issue
3. (1983)
Lain-Lain
Cancer Council of Australia, “What is
Oncology?”
https://www.cancer.org.au/he
alth-professionals/oncology/,
diakses 10 September 2018.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring,
https://kbbi.web.id/sains,
diakses 10 September 2018.
Katherine Bishop, Science Advance so
Quickly Nowadays. We can’t
just Count Scientific Noses’,
Leap of Science Create
Quandaries on Evidence, N.Y.
TIMES, April 6, 1990.
MVT, “Hakim Seringkali Abaikan
Bukti Ilmiah,”
Windu Kisworo APLIKASI PRINSIP-PRINSIP TERKAIT BUKTI ILMIAH (SCIENTIFIC EVIDENCE) DI
AMERIKA SERIKAT DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA
59
http://www.hukumonline.com
/berita/baca/lt4d4cf9774f064/h
akim-seringkali-abaikan-bukti-
ilmiah-, diakses pada 23 Juli
2018.
Wawancara dengan Justice Brian J.
Preston, Ketua Pengadilan Land
& Environment Court, New
South Wales, Australia, 7 Maret
2018.
Wawancara dengan Raynaldo
Sembiring, Peniliti pada
Indonesian Center for
Environmental Law pada
tanggal 5 Juli 2018.
Wawancara dengan Fauzul Abrar, S.H
pada tanggal 17 Juli 2018.
Yenrizal, “Opini: Berkaca Pada Putusan
Kasus PT. BMH”,
http://www.mongabay.co.id/2
016/01/13/opini-berkaca-pada-
putusan-kasus-pt-bmh/, diakses
pada 12 September 2018.
60
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN: TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
Perdinan191, Tri Atmaja192, Ryco F. Adi2 dan Woro Estiningtyas193
Abstrak
Dalam dua dekade terakhir, berbagai program intensifikasi penggunaan sarana produksi pertanian (misal: bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, dan perbaikan irigasi) telah berdampak terhadap peningkatan produksi beras nasional. Di balik keberhasilan program tersebut, fluktuasi kondisi iklim memberikan tantangan dalam mempertahankan stabilitas produksi nasional. Kondisi tersebut dapat diperparah dengan adanya potensi dampak negatif perubahan iklim yang berakibat pada penurunan produktivitas ataupun peningkatan serangan hama dan penyakit. Ancaman lainnya adalah peningkatan fenomena iklim ekstrem yang dapat menyebabkan bencana banjir dan kekeringan, sehingga berimplikasi pada gagal panen ataupun gagal tanam. Memperhatikan kondisi tersebut, tulisan ini membahas berbagai inisiatif adaptasi yang dilakukan melalui langkah praktis dan didorong oleh regulasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Praktik adaptasi dilakukan melalui insiatif mandiri berdasarkan kearifan lokal maupun bantuan pemerintah. Iniastif pemerintah terkait adaptasi dilakukan melalui Pedoman Umum Langkah-Langkah Adaptasi Perubahan Iklim (Pedum) dan langkah praktis dalam strategi budidaya yang responsif terhadap perubahan iklim. Kata Kunci: Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, Adaptasi, Padi Abstract In the last two decades, programs on intensifying the use of agricultural inputs (e.g. seed support, subsidized fertilizer, organic fertilizer, and irrigation improvement) have increased national rice production. Apart from the success of the programs, fluctuations in climatic conditions present challenges in maintaining national production stability. These conditions can be exacerbated by the potential negative impacts of climate change, which may decrease crop productivity or increase pest and disease attacks. Another threat is the escalation of extreme climate events that can lead to climatic hazards such as flood and drought, resulting in crop damage or crop failure. Considering the climatic impacts, this paper discusses various adaptation initiatives undertaken through practical measures and regulations issued by the Indonesian government. The adaptation practices are done through independent initiatives based on local wisdom as well as government assistance. The government initiatives on
191 Penulis adalah dosen dan peneliti pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut
Pertanian Bogor. 192 Penulis adalah peneliti pada PIAREA. 193 Penulis adalah peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan
Pertanian.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
61
adaptation are endorsed through the Guidelines for Climate Change Adaptation Measures (Pedum) and Practical Steps related to climate responsive farming. Keywords: Climate Change, Food Security, Adaptation, Rice
I. Pendahuluan
Pemenuhan suplai bahan pangan
utama sangat penting dalam menjaga
stabilitas suatu negara. Mengacu pada
dokumen Rencana Pembangunan
Pertanian Indonesia 2015-2019, beras
merupakan makanan pokok bagi
sebagian besar (> 95%) penduduk
Indonesia. Sebagai bahan makanan
utama, beras memainkan peran
penting dalam perekonomian dan
pembangunan nasional. Beras penting
untuk perekonomian Indonesia dengan
pertimbangan: (1) sistem agrobisnis
padi memperkuat ketahanan pangan
nasional; (2) kegiatan pertanian padi
dan kontributor utama sistem
pertanian nasional padat karya; dan (3)
banyak petani padi masih dianggap
miskin dan dengan demikian sensitif
terhadap kerugian produksi.194
194 P. Simatupang dan I.W. Rusastra, “Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi dalam
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia”, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004), hlm. 31-52.
Sektor pertanian pada 5 (lima)
tahun terakhir (2015-2019) mengacu
pada Paradigma Pertanian untuk
Pembangunan (Agriculture for
Development) yang memosisikan sektor
pertanian sebagai penggerak
transformasi pembangunan yang
berimbang dan menyeluruh mencakup
transformasi demografi, ekonomi,
antar-sektoral, spasial, institusional,
dan tata kelola pembangunan.
Paradigma tersebut memberikan
arahan bahwa sektor pertanian
mencakup berbagai kepentingan yang
luas dan multifungsi. Selain sebagai
sektor utama tumpuan ketahanan
pangan, sektor pertanian memiliki
fungsi strategis lainnya termasuk
untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan lingkungan dan sosial
(kemiskinan, keadilan, dan lain-lain)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
62
serta penyedia sarana wisata
(agrowisata).
Mempertimbangkan posisi
strategis beras dalam pembangunan
nasional Indonesia dan paradigma
sektor pertanian ke depan, produksi
padi nasional mendapatkan perhatian
besar dari pemerintah Indonesia.
Berdasarkan laporan Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun 2017
produksi beras nasional mencapai 81,38
juta ton Gabah Kering Giling (GKG).
Produksi tersebut lebih besar
dibandingkan dekade sebelumnya
yaitu sebesar 57,15 juta ton GKG pada
tahun 2007. Peningkatan produksi
beras nasional tersebut diindikasikan
sebagai keberhasilan program
intensifikasi pertanian yang terkait
dengan peningkatan penggunaan
sarana produksi pertanian (misal:
bantuan benih, pupuk bersubsidi,
195 Purdiyanti Pratiwi, “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional”, (Bogor:
Departemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor, 2008), hlm. 61-158. 196 Gerrit Hoogenboom, "Contribution of Agrometeorology to The Simulation of Crop Production
and Its Applications", Agricultural and Forest Meteorology 103, No. 1-2 (2000): hlm. 137-157, lihat juga Raymond P. Motha and Wolfgang Baier, "Impacts of Present and Future Climate Change and Climate Variability on Agriculture in The Temperate Regions: North America", Climatic Change 70, No. 1-2 (2005), hlm. 137-164, dan llihat F. N. Tubiello, J.-F. Soussana and S. M. Howden, "Crop and Pasture Response to Climate Change", Proceedings of The National Academy of Sciences 104, No. 50 (2007), hlm. 19686-19690.
197 William Cline, "Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country,” Choice Reviews Online 45, No. 04 (2007), hlm. 97-98.
pupuk organik, dan perbaikan
irigasi).195 Di balik keberhasilan inovasi
teknologi pertanian tersebut, fluktuasi
kondisi iklim, khususnya kejadian
iklim ekstrem, memberikan sebuah
tantangan dalam menjaga stabilitas
produksi padi nasional. Pertumbuhan
dan perkembangan padi yang
berimplikasi pada produksi padi juga
dipengaruhi oleh variabilitas iklim.196
Perubahan iklim global berdampak
nyata pada produksi tanaman pangan.
Secara global, perubahan iklim
diproyeksikan dapat menurunkan
produksi tanaman, terutama di wilayah
pertanian yang terletak di lintang
rendah akan mengalami dampak
negatif.197 Dampak negatif tersebut
dikarenakan wilayah lintang rendah
memiliki suhu udara yang berada pada
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
63
batas toleransi tanaman (di bawah 10oC
dan di atas 29oC).198
Berdasarkan simulasi model
tanaman, dilaporkan bahwa kenaikan
suhu 1oC dan kenaikan curah hujan 5%
akan menurunkan produktivitas padi
hingga 0,33 ton/ha.199 Sementara itu,
kejadian iklim ekstrem yang seringkali
berakibat pada kejadian banjir dan
kekeringan di Indonesia juga
berdampak negatif terhadap produksi
tanaman pangan. Proyeksi pemanasan
global dapat meningkatkan frekuensi
kejadian El Niño–Southern Oscillation
(ENSO) yang ditandai dengan kejadian
El Niño dan La Niña. El Nino
merupakan kejadian dimana musim
panas yang relatif lebih panjang
sehingga berimplikasi pada kejadian
kekeringan, sementara La Nina
ditandai dengan intensitas curah hujan
tinggi yang berdampak pada banjir.200
Memahami potensi dampak
perubahan iklim diperlukan langkah
198 G. S. L. H. V Prasada Rao, Agricultural Meteorology (Thrissur: PHI Learning Pvt. Ltd, 2008), hlm.
58-61. 199 Peter Rene Hosang, J. Tatuh, dan Johannes E. X. Rogi, “Analisis Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Produksi Beras Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2013-2030,” Jurnal Eugenia 18, No. 3 (2012), hlm. 249-256.
200 A. Timmermann et al., "Increased El Niño Frequency in A Climate Model Forced by Future Greenhouse Warming", Nature 398, no. 6729 (1999): hlm. 694-697.
antisipasi atau dikenal dengan istilah
adaptasi perubahan iklim. Adaptasi
perubahan iklim diarahkan untuk
memanfaatkan dampak positif dan
meminimimalkan dampak negatif
perubahan iklim. Kegiatan adaptasi
dapat dilakukan melalui perbaikan
insfrastruktur maupun melalui
pengembangan kapasitas petani dan
komoditas. Khusus sektor pertanian,
pemerintah Indonesia telah menyusun
langkah dan strategi adaptasi
perubahan iklim untuk pengembangan
pertanian terhadap dampak perubahan
iklim dalam Pedoman Umum Adaptasi
Perubahan Iklim (Pedum) yang
diterbitkan pada 2011 oleh
Kementerian Pertanian. Tulisan ini
akan membahas mengenai dampak
perubahan iklim terhadap produksi
tanaman pangan dengan fokus
komoditas beras, serta inisiatif strategi
adaptasi perubahan iklim dan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
64
kebijakan pendukung implementasi
upaya adaptasi di Indonesia.201
Metode yang digunakan dalam
penulisan ini adalah desk study dengan
melakukan pengumpulan data dan
informasi terkait dengan penelitian di
bidang tanaman padi, perubahan iklim,
dan kebijakan terkait pertanian dan
perubahan iklim. Analisis terhadap
data sekunder terkait sektor beras
dalam lingkup nasional juga dilakukan
untuk memperkuat hasil telaah
berbagai dokumen terkait kebijakan
dan program peningkatan produksi
beras nasional. Hasil tulisan
diharapkan dapat menjadi salah satu
referensi terkait informasi adaptasi
perubahan iklim sektor tanaman padi
sejalan dengan upaya ketahanan
pangan nasional.
II. Distribusi Sentra Produksi Padi
dan Rantai Pasok Beras
Merujuk data luas panen padi
nasional yang dikeluarkan BPS tahun
2015, wilayah Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat memiliki luas
panen terbesar untuk produksi padi di
Indonesia (Gambar 1). Luas panen total
tahun 2015 berturut-turut adalah 2,15
juta/ha, 1,88 juta/ha dan 1,86 juta/ha,
setara sekitar 15,2%, 13,3%, dan 13,2%
dari luas panen padi nasional. Sentra
produksi padi di Jawa Timur adalah
Jember, Cilacap untuk Jawa Tengah,
sementara Indramayu adalah daerah
produksi utama padi di Jawa Barat.
201 Naskah disampaikan pada Lokakarya dan Seminar Nasional Adaptasi dan Mitigasi Perubahan
Iklim, Bogor, 13-14 September 2017.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
65
Gambar 1. Luas Panen (Kiri) dan Distribusi Spasial Produktivitas (Kanan) Padi di Indonesia Tahun 2015202
Berdasarkan wilayah sebaran,
mayoritas daerah pertanaman padi
tumbuh pada tipe iklim monsun
terutama di Pulau Jawa (Gambar 1).
Jenis iklim dan tanah wilayah tersebut
cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan padi. Wilayah pulau
Jawa, termasuk di dalamnya Provinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat, merupakan wilayah yang
berkontribusi paling banyak dalam
produksi nasional, yaitu sebanyak 36
juta ton atau sekitar 52,9%. Kemudian
disusul oleh produksi dari Pulau
Sumatera yang memiliki produksi padi
antara 1 sampai 4 juta ton. Produksi
dari Pulau Kalimantan menempati
posisi ketiga, yakni dengan tingkat
produksi sebesar 0,5 sampai 2 juta ton.
Sedangkan, Pulau Sulawesi berada di
posisi keempat karena memiliki tingkat
produksi padi relatif bervariasi.
Terakhir, produksi padi terendah
202 Badan Pusat Statistik (BPS), “Tanaman Padi Per Provinsi”,
https://www.bps.go.id/site/resultTab, diakses 3 September 2018.
berada di wilayah Indonesia Timur
khususnya wilayah Papua (Gambar 1).
Walaupun demikian, padi yang
diproduksi oleh petani secara umum
tidak dapat langsung diakses oleh
konsumen terakhir. Hal ini karena
sistem distribusi yang dikenal dengan
sebutan rantai pasok, membuat
beberapa jalur rantai untuk
mendistribusikan hasil panen padi dari
petani untuk sampai kepada konsumen
(Gambar 2).
Secara umum, padi yang dipanen
petani akan melewati kegiatan pasca
panen seperti pengeringan dan
penggilingan untuk menghasilkan
beras. Beras tersebut kemudian
disimpan untuk dijual melalui
supermarket atau pedagang besar yang
menjual beras ke pengecer atau pasar
tradisional kecil. Jalur lainnya, pabrik-
pabrik kecil yang memproses padi
menjadi beras mengirimkan beras ke
Koperasi Unit Desa (KUD) atau unit
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
66
usaha yang dimiliki masyarakat yang
kemudian mengirimkan beras ke
Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog
merupakan perusahaan milik negara
yang dapat menjual beras dengan
harga lebih rendah untuk keperluan
rumah tangga, terutama kepada yang
kurang mampu, melalui program
distribusi beras yang disebut Beras
Sejahtera (Rastera). Upaya ini
menunjukkan komitmen pemerintah
untuk membantu petani dan rumah
tangga mengakses makanan pokok dan
menjaga ketahanan pangan.
Saat ini dengan berkembangnya
teknologi informasi dan transportasi,
para pelaku dalam rantai pasok dapat
berkoordinasi untuk meningkatkan
kinerja distribusi beras di Indonesia.
Dengan rantai pemasaran dipersingkat
dan perbaikan fasilitas yang sesuai,
biaya transaksi dapat dikurangi.
Sebagai contoh, perbaikan dalam
teknologi komunikasi dapat
mempermudah koordinasi, sehingga
menghemat waktu. Perbaikan sarana
transportasi dapat meningkatkan
efektivitas distribusi beras dari satu
daerah ke daerah lain.
Gambar 2. Jaringan Suplai Beras di Indonesia203
203 Disarikan berdasarkan hasil rekapitulasi dari berbagai sumber
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
67
III. Produksi dan Kebutuhan Padi
Nasional
Selama periode 1993 – 2013, terjadi
peningkatan produksi padi dari 48,1
juta ton Gabah Kering Giling (GKG)
pada tahun 1993 menjadi 71,3 juta ton
GKG pada tahun 2013.204 Dengan
menggunakan faktor konversi GKG ke
beras sebesar 0,62, produksi beras
nasional disajikan pada Gambar 3.
Total produksi tahunan cukup
fluktuatif dengan terjadinya
penurunan produksi pada tahun-tahun
tertentu (1993, 1996, 2000, 2005, 2010).
Penurunan tersebut diidentifikasi
terkait dengan kejadian fenomena
ENSO yang berdampak pada kejadian
iklim ekstrem pemicu kejadian banjir
dan kekeringan di Indonesia.
Walaupun demikian, secara
keseluruhan produksi beras tahunan
nasional menunjukkan tendensi
adanya peningkatan dari tahun ke
tahun, dengan peningkatan cukup
besar terjadi pada tahun 2006 – 2008.
Gambar 3. Produksi Beras Nasional. Tahun El-Nino, Tahun La-Nina. Selisih
Produksi Beras Adalah Perbedaan Produksi Tahun Berjalan Dengan Tahun Sebelumnya205
204 BPS, op. cit. 205 Ibid.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
68
Jika dibandingkan dengan negara-
negara Asia lain yang mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokoknya,
maka konsumsi beras di Indonesia
termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini
dapat dilihat melalui Survei Sosial
Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh
BPS pada tahun 2015. Survei tersebut
menyebutkan bahwa konsumsi beras
per kapita per Maret 2015 adalah
sebesar 98 kilogram per tahun. Jumlah
ini meningkat dibanding tahun
sebelumnya yang hanya 97,2 kg per
tahun.
Dengan tingkat konsumsi rata-rata
sekitar 98 kilogram per kapita per
tahun (kg/kapita/tahun), Indonesia
melampaui Malaysia (80
kg/kapita/tahun), Thailand (70
kg/kapita/tahun), Jepang (50
kg/kapita/tahun), dan Korea (40
kg/kapita/tahun).206 Lebih lanjut,
estimasi pemenuhan kebutuhan beras
nasional, dengan menggunakan asumsi
tingkat konsumsi beras, yaitu: 139
206 Ibid. 207 Kementan, “Buletin Konsumsi Pangan,” Vol. 9 No. 1 Tahun 2018, hlm. 11-19. 208 Popi Rejekiningrum, Model Optimasi Surplus Beras Untuk Menentukan Tingkat Ketahanan Pangan
Nasional, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2013), hlm. 1-14.
kilogram per kapita per tahun
(kg/kapita/tahun), 130 kilogram per
kapita per tahun (kg/kapita/tahun),
120 kilogram per kapita per tahun
(kg/kapita/tahun), 113 kilogram per
kapita per tahun (kg/kapita/tahun)
dan 114,6 kilogram per kapita per
tahun (kg/kapita/tahun) untuk tahun
2017 dan 2018,207 produksi padi
nasional diperkirakan tetap masih
mencukupi kebutuhan (konsumsi)
nasional atau dengan kata lain
Indonesia masih mengalami ‘surplus’
beras.
Analisis surplus beras dilakukan
dengan cara mengurangi estimasi total
produksi beras dengan total konsumsi
beras nasional. Perbedaan nilai surplus
beras dikarenakan perbedaan asumsi
tingkat konsumsi per-kapita.208 Berikut
estimasi nilai surplus dapat dilihat
pada Gambar 4.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
69
Gambar 4. Produksi, Konsumsi, dan Surplus Beras Indonesia tahun 1990 – 2013209
IV. Dampak Perubahan Iklim
Terhadap Tanaman Pangan
Dampak perubahan iklim global
terhadap kondisi iklim wilayah di
Indonesia ditandai dengan berubahnya
parameter iklim permukaan, yaitu:
suhu udara dan curah hujan.
Perubahan parameter iklim seringkali
ditunjukkan oleh analisis
kecenderungan perubahan temporal
suhu udara dan curah hujan.
Berdasarkan kompilasi informasi
analisis kecenderungan dari berbagai
sumber,210 fenomena perubahan iklim
209 Ibid. 210 Perdinan, Rizaldi Boer, and Kiki Kartikasari. “Linking Climate Change Adaptation Options For
Rice Production And Sustainable Development In Indonesia,” J.Agromet 22(2), (2008), hlm. 94-107.
ditandai dengan peningkatan suhu
udara rata-rata dan minimum
permukaan, perubahan intensitas dan
periode kejadian hujan yang bervariasi
(Gambar 5).
Fenomena perubahan iklim
tersebut memiliki implikasi terhadap
produksi tanaman pangan yang
bervariasi, yang dikarenakan adanya
variasi spasial di Indonesia. Secara
umum, suhu udara dilaporkan
meningkat, sementara curah hujan
mengalami perubahan pola dan
besaran yang bervariasi pada berbagai
wilayah di Indonesia. Sebagai
tambahan, kompilasi berbagai
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
70
penelitian yang dilakukan di Indonesia
menunjukkan adanya potensi dampak
negatif perubahan iklim terhadap
produksi padi berupa penurunan
produktivitas ataupun peningkatan
serangan hama dan penyakit (Gambar
6).
Gambar 5. Identifikasi Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Iklim Wilayah di Indonesia211
Gambar 6. Identifikasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Padi di Indonesia212
211 Perdinan et. al., “Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan
Kebijakan,” (makalah disampaikan pada FGD IESR, 18 Oktober 2016), hlm. 13. 212 Ibid. hlm. 15.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
71
V. Inisiatif Adaptasi Perubahan
Iklim
A. Identifikasi Strategi Adaptasi
Perubahan Iklim
Dalam implementasi strategi
adaptasi, peran pemerintah sangat
diperlukan terutama dalam kegiatan-
kegiatan adaptasi yang memerlukan
investasi relatif tinggi. Kegiatan
adaptasi tersebut di antaranya: 1)
pengembangan dan percepatan adopsi
teknologi usaha tani yang lebih
produktif dan adaptif terhadap
perubahan iklim, 2) penyediaan
infrastruktur pertanian yang efektif
untuk mendukung aplikasi teknologi
adaptif perubahan iklim tersebut, 3)
pengembangan jaringan informasi
213 Sumaryanto, “Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Tanaman Pangan Menghadapi
Perubahan Iklim,” Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi 30 No. 2 (2012), hlm. 73-89. 214 Surmaini, et. al. "Upaya Sektor Pertanian Dalam Menghadapi Perubahan Iklim." Jurnal Litbang
Pertanian 30 No. 1, (2010) hlm. 1-7. 215 Zainal Lamid, “Integrasi Pengendalian Gulma dan Teknologi Tanpa Olah Tanah Pada Usaha
Tani Padi Sawah Menghadapi Perubahan Iklim," Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 4 No. 1 (2011), hlm. 14-28.
iklim–pertanian, 4) pengembangan
kelembagaan perlindungan petani
terhadap dampak negatif iklim ekstrem
pada usaha tani, dan 5) kebijakan harga
masukan dan keluaran usaha tani yang
kondusif untuk pendapatan petani.213
Teknologi adaptasi yang dilakukan
dapat berupa: 1) penyesuaian waktu
dan pola tanam, 2) penggunaan
varietas unggul tahan kekeringan,
rendaman, dan salinitas, 3) teknologi
panen hujan, dan 4) teknologi irigasi.214
Teknologi lain yang dapat diterapkan
adalah dengan cara teknologi
penanaman Tanpa Olah Tanah
(TOT).215 Lebih jauh, bentuk adaptasi
lainnya terkompilasi pada Gambar 7.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
72
Gambar 7. Hasil Kompilasi Bentuk Adaptasi Perubahan Iklim216
Kegiatan adaptasi perubahan iklim
bila ditilik lebih lanjut dalam tataran
praktis, bukanlah hal baru bagi petani
di Indonesia. Berdasarkan telaah studi
yang dilakukan sebelumnya,217 salah
satu contohnya adalah sistem
pertanaman padi di Indramayu. Petani
di Indramayu melakukan penanaman
kembali jika memungkinkan, setelah
lahan pertanian yang terendam banjir
menjadi surut. Dalam kondisi
kekeringan, petani akan mencari
berbagai sumber air untuk mengairi
lahan pertanian. Pompa air sering
digunakan untuk mendapatkan air dari
tanah atau sungai. Pemerintah juga
216 Surmaini et. al., op. cit. 217 Perdinan, et.al. op. cit.
memberikan bantuan dengan
memberikan akses petani ke pompa air.
Pelaksanaan strategi adaptasi
untuk pertanian merupakan hal
mendasar yang perlu dilakukan baik
oleh petani maupun dengan bantuan
pihak lain. Namun, kegiatan praktis
adaptasi oleh petani seringkali
didasarkan oleh nalar dan pengalaman
di lapangan, belum disandingkan
dengan telaah empiris atau penelitian
ilmiah.
Di sisi lain, bantuan pemerintah
baik dari segi penelitian ilmiah
maupun sarana dan prasarana belum
didukung sepenuhnya dengan
kapasitas petani. Namun, sejauh ini
petani dan pemerintah Indonesia telah
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
73
berusaha dalam memadukan aksi lokal
dan strategi nasional sebagai aksi
adaptasi pertanian yang terintegrasi.
Hal mendasar strategi nasional ini
adalah agar pelaksanaannya dapat
terstruktur, masif dan tepat sasaran.
Peningkatan kapasitas untuk petani
juga dilakukan sebagai respon dalam
meningkatkan kemampuan adaptasi
petani baik dalam merespons
perubahan iklim maupun dalam
manajemen lahan, hama, dan pestisida.
Sebagai contoh antara lain Program
Kampung Iklim, Analisis Usaha Tani
Padi (AUTP) ataupun program
pemahanan informasi iklim seperti
Kalender Tanam (Katam). Artinya,
program adaptasi yang dilakukan saat
ini sudah diarahkan agar dapat lebih
efektif dan efisien agar tepat sasaran
maupun tepat aksi.
Sebagai contoh, di Indramayu
masyarakat telah mulai dapat
membaca informasi iklim seperti curah
hujan dan dapat menginterpretasikan
secara sederhana ketersediaan air dari
curah hujan. Demikian juga dengan
218 Kurniadi, “Penyusun Bahan Adaptasi Perubahan Iklim BPLHD Provinsi Jawa Barat,”
(disampaikan di BPLHD Purwakarta, 23 Desember 2013), hlm. 14.
kalender tanam, pemerintah melalui
Kementerian Pertanian dan badan
penelitian pertanian terkait telah
menyediakan informasi kalender
tanam nasional dalam tingkat
kecamatan. Manfaat dari informasi ini
adalah petani dapat menanam sesuai
dengan prediksi cuaca/iklim.
Sementara, itu telah terbentuk pula
Proklim. Proklim merupakan program
yang memberikan pengakuan terhadap
partisipasi aktif masyarakat dalam
melaksanakan upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim yang
terintegrasi, sehingga dapat
mendukung target penurunan emisi
gas rumah kaca nasional dan
peningkatan ketahanan masyarakat
terhadap dampak perubahan iklim.218
B. Dukungan Pemerintah Terkait
Adaptasi Perubahan Iklim
Beras merupakan komoditas
strategis sebagai bahan pangan utama
di Indonesia. Dengan pertimbangan
tersebut, pemerintah melakukan
berbagai intervensi untuk memenuhi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
74
kebutuhan konsumsi beras nasional.
Berbagai program intervensi diarahkan
untuk mengoptimalkan produksi beras
dan kemampuan para petani.
Meskipun program-program terkait
peningkatan produksi padi nasional
dilakukan jauh sebelum dampak
perubahan iklim terhadap produksi
tanaman menjadi perhatian, program-
program tersebut terkait dengan fokus
kegiatan adaptasi perubahan iklim,
yaitu mempertahankan dan/atau
meningkatkan produksi.
Dalam Pedoman Umum Balai
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Tahun 2011, strategi adaptasi
diarahkan pada penyesuaian kegiatan
dan teknologi terhadap dampak
perubahan iklim global melalui
program aksi adaptasi pada sektor
tanaman pangan dan hortikultura yang
menjadi prioritas utama. Sektor
tersebut diprioritaskan dengan tujuan
untuk mendukung ketahanan pangan
nasional.
219 Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Pedoman Umum Adaptasi
Perubahan Iklim Sektor Pertanian, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, 2011), hlm. 24.
220 Ibid.
Strategi adaptasi perubahan iklim
untuk sektor pertanian
dikategorisasikan secara umum
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
langkah adaptasi yang bersifat
struktural dan non-struktural.219
Adaptasi struktural merupakan
kegiatan peningkatan ketahanan sistem
produksi pangan melalui upaya
perbaikan kondisi fisik, yang
kegiatannya meliputi: pembangunan
dan perbaikan jaringan irigasi,
pembangunan dam, waduk, dan
embung. Sementara, adaptasi non-
struktural dilakukan melalui kegiatan:
pengembangan teknologi budidaya
toleran cekaman iklim, penguatan
kelembagaan dan peraturan,
pemberdayaan petani dalam
memanfaatkan informasi iklim. Detil
kegiatan juga telah dijabarkan dalam
Pedum, sebagai berikut:220
1. Adaptasi Struktural
a. Pemetaan kondisi jaringan irigasi
dan menyusun program
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
75
rehabilitasi jaringan irigasi di
Jawa dan rencana
pengembangan wilayah irigasi
baru di luar Jawa. Informasi
perubahan iklim perlu
dipertimbangkan terkait
kegiatan jaringan irigasi.
b. Penetapan wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang perlu
direhabilitasi untuk
mengantisipasi dampak negatif
kejadian iklim ekstrem (misal:
banjir dan kekeringan) yang
diproyeksikan meningkat akibat
perubahan iklim.
2. Pendekatan Non-Struktural
a. Regulasi berkaitan dengan
konversi lahan pertanian,
penyusunan database wilayah
rawan terkonversi, penetapan
prioritas wilayah pengembangan
pertanian pangan.
b. Penetapan program terstruktur
untuk meningkatkan adopsi
petani terhadap teknologi baru,
seperti varietas unggul baru
toleran kekeringan, banjir, dan
salinitas tinggi.
c. Peningkatan program
pengembangan teknologi
pemanfaatan informasi iklim
seperti “Kalender Tanam” yang
lebih bersifat dinamis dan
terpadu. Saat ini Kalender Tanam
sudah tersedia dan dapat diakses
melalui
www.katam.litbang.pertanian.g
o.id. Pengembangan sistem
jaringan stasiun klimatologi
pertanian di kawasan sentra
produksi diperlukan untuk
meningkatkan sistem Kalender
Tanam.
d. Pengembangan Sekolah Lapang
Iklim (SLI) dalam upaya
peningkatan kapasitas petani
dalam memanfaatakn informasi
iklim untuk mendukung
kegiatan pertanian. Kegiatan SLI
sudah dilakukan oleh
Kementerian Pertanian
(Kementan) melalui Direktorat
Perlindungan Tanaman dan
Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) pada
tahun 2000-an.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
76
e. Pelembagaan pemanfaatan
informasi iklim dalam menyusun
langkah strategis, taktis, dan
operasional dalam mengatasi
masalah keragaman dan
perubahan iklim. Diperlukan
alur penyampaian informasi
iklim yang jelas, mulai dari
penyedia jasa informasi sampai
ke pengguna akhir dan
penguatan kapasitas tenaga di
dinas terkait di daerah dalam
menerjemahkan informasi iklim
ke dalam bentuk dampak dan
penentuan langkah strategis,
taktis, dan operasional.
Dalam penyusunan strategi
adaptasi diperlukan informasi
pendukung. Informasi tersebut
disusun berdasarkan beberapa kajian,
yaitu: (a) identifikasi dampak dan
tingkat kerentanan sektor pertanian
(sumber daya dan sistem produksi); (b)
identifikasi karakteristik dan potensi
sumber daya lahan dan air; dan (c)
identifikasi kesiapan teknologi dan
model Sistem Usaha tani Terpadu
(SUT) adaptif. Sebagai ringkasan
berbagai inisiatif yang telah dilakukan
pemerintah, berikut ini disajikan
berbagai program yang telah dilakukan
pemerintah Indonesia sejak tahun 1950-
an untuk meningkatkan produksi beras
nasional (Gambar 8). Berbagai inisiatif
ini meliputi adaptasi struktural dan
non-struktural. Melalui berbagai
kebijakan produksi padi nasional terus
meningkat seiring dengan perbaikan
produktivitas dan luas areal panen.
Peningkatan produksi mencapai
puncaknya pada tahun 1984 saat
Indonesia berswasembada beras.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
77
Gambar 8. Program Peningkatan Produksi Padi Nasional dan Paket Teknologi221
C. Kebijakan Nasional dalam
Mendukung Adaptasi Perubahan
Iklim
Adanya fenomena perubahan iklim
menambah tantangan sistem pertanian
tanaman pangan, khususnya padi di
Indonesia. Pengaruh perubahan iklim
bersifat multidimensi pada sektor
pertanian, mulai dari sumber daya,
infrastruktur pertanian, dan sistem
produksi pertanian. Pengaruh tersebut
dibedakan dengan 2 (dua) indikator,
yakni kerentanan dan dampak.
Kerentanan merupakan kondisi yang
mengurangi kemampuan beradaptasi
terhadap perubahan iklim. Sementara,
221 Perdinan et al, op. cit., hlm. 20. 222 Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, op. cit., hlm. 45-50
dampak adalah potensi kerugian atau
keuntungan dalam bentuk fisik
maupun sosial-ekonomi akibat
kejadian perubahan iklim. Inisiatif
adaptasi perubahan iklim untuk
mengurangi kerentanan dan dampak
perubahan iklim sektor pertanian
terdapat pada Pedum. Adapun
program dan kebijakan untuk
mengurangi kerentan dan dampak
perubahan iklim adalah sebagai
berikut:222
1) Pengembangan sistem
komunikasi seperti Jaringan
Informasi Iklim Pertanian (SJII),
Sistem Peringatan Dini (SPD),
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
78
dan Sekolah Lapang Iklim
(SLI/SL-PTT).
2) Pengembangan kelembagaan
petani, penyiapan tool atau
pedoman (Permentan
No.47/2006, Permentan
No.14/2009, UU No.41/2009),
blueprint pengelolaan
kekeringan dan banjir, atlas
kalender tanam, dan lain-lain.
3) Perakitan dan pengembangan
model Sistem Usaha tani
Terpadu “SUT” dan inovasi
teknologi adaptif.
4) Penyesuaian dan
pengembangan infrastruktur
pertanian (Jaringan Irigasi
Tingkat Usaha Tani (JITUT),
Jaringan Irigasi Tingkat Desa
(Jides), serta pemanfaatan lahan
sub-optimal, terutama lahan
kering dan lahan rawa untuk
pangan, lahan gambut, dan
lahan yang sudah dibuka
(sudah ada izin) dan/atau lahan
terlantar.
5) Pengembangan Kawasan
Rumah Pangan Lestari (KRPL),
pemanfaatan pekarangan yang
ramah lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan
dan gizi keluarga, serta
peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani melalui
partisipasi masyarakat.
6) Perlindungan, proteksi, dan
bantuan bagi petani, seperti,
subsidi, asuransi, modal,
Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Kebijakan terkait dukungan
terhadap langkah adaptasi perubahan
iklim ditujukan untuk menjaga
ketahanan pangan nasional. Upaya
intervensi dapat dilakukan melalui
jaringan produksi, manajemen
pascapanen, distribusi, dan konsumsi.
Walaupun demikian, selama ini
kebijakan nasional lebih
memprioritaskan intervensi pada
sektor produksi. Hal ini dikarenakan
kondisi petani sebagai pemain utama
dalam sektor produksi masih sangat
rentan pada cekaman perubahan iklim.
Dalam rangka perlindungan dan
pemberdayaan petani untuk menjaga
ketahanan pangan maka diterbitkan
berbagai aturan sebagai pedoman
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
79
untuk mengatur dan menghadapi
kondisi yang ada. Identifikasi kebijakan
terkait upaya adaptasi perubahan iklim
disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Identifikasi kebijakan sektor pertanian terkait adaptasi perubahan iklim223
Selanjutnya berbagai kebijakan
adaptasi perubahan iklim yang
didorong pemerintah terfokus pada
peningkatan kapasitas petani dan
infrastruktur pertanian. Salah satu
kebijakan yang mendukung hal
tersebut adalah Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Permen LHK) No. 33 Tahun 2016
223 Indonesia, Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU No.
16 Tahun 2006, LN No. 92 tahun 2006, TLN No.4660. lihat juga Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 19 Tahun 2013, LN No. 131 tahun 2013, TLN No. 5433, Ps. 7 ayat (2) huruf f, Ps. 34, dan Ps. 35. Dan lihat Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 2009, LN No. 167 Tahun 1999, TLN No.3888, Ps. 1 ayat (1) dan (3), Ps. 37 ayat (2).
tentang Pedoman Penyusunan Aksi
Adaptasi Perubahan Iklim.
Peraturan tersebut memuat arahan
dalam pelaksanaan adaptasi
perubahan iklim secara umum sebagai
proses untuk memperkuat dan
membangun strategi antisipasi dampak
perubahan iklim pada wilayah dan
sektor spesifik termasuk pertanian.
Peraturan tersebut juga memberikan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
80
arahan rinci terkait kebutuhan dalam
tahapan pelaksanaan penyusunan aksi
adaptasi sebagaimana telah dituliskan
pada Pasal 4 yang berisi: 1) Identifikasi
target cakupan wilayah dan/atau
sektor spesifik dan masalah dampak
perubahan iklim; 2) Penyusunan kajian
kerentanan dan risiko iklim; 3)
Penyusunan pilihan aksi adaptasi
perubahan iklim; 4) Penetapan prioritas
aksi adaptasi perubahan iklim; dan 5)
Pengintegrasian aksi adaptasi
perubahan iklim ke dalam kebijakan,
rencana, dan/atau program
pembangunan. Adanya tahapan
tersebut mempermudah penyusunan
aksi adaptasi perubahan iklim.
Dukungan kebijakan adaptasi
perubahan iklim secara umum lebih
ditujukan pada arahan jangka
menengah, dengan fokus utamanya
adalah meningkatkan dan menguatkan
beberapa aspek seperti kapasitas lokal
dan pengelolaan pengetahuan.224
Arahan kebijakan mengenai
konvergensi adaptasi perubahan iklim
224 Direktur Adaptasi Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan
dan Kehutanan, “Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia,” (disampaikan di Jakarta, 26-27 April 2018), hlm. 15-19.
dan pengurangan risiko bencana juga
menjadi aspek penting yang perlu
diprioritaskan, dengan pertimbangan
kondisi ketahanan pangan saat ini juga
rentan terhadap potensi bencana yang
muncul akibat perubahan iklim.
Implementasi dari kebijakan yang
dilakukan mendorong penerapan
teknologi adaptif yang mampu
meminimalisasi potensi dampak
negatif perubahan iklim terutama yang
berkaitan dengan penurunan risiko
pada semua sektor pembangunan
(pertanian, sumber daya air, ketahanan
energi, kehutanan, maritim dan
perikanan, kesehatan, pelayanan
publik, infrastruktur dan sistem
perkotaan).
Kebijakan yang diterbitkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) di atas (Permen
33/2016) telah sejalan dengan
Kementerian Pertanian melalui
Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan dengan diterbitkannya
Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
81
Penerapan Penanganan Dampak
Perubahan Iklim (PPDPI) pada tahun
2018. PPDPI bertujuan
memberdayakan petani dalam
pengamanan areal pertanaman padi
dari dampak perubahan iklim melalui
penerapan teknologi adaptif di lahan
usaha taninya, terutama pada daerah
yang rawan terkena banjir/kekeringan
serta mengurangi risiko kehilangan
hasil akibat dampak perubahan iklim
(banjir/kekeringan).225
VI. Penutup
Walaupun berbagai upaya
peningkatan produksi padi domestik
sudah dilakukan sejak awal tahun
1950-an dan pemerintah melalui
Kementan juga telah menerbitkan
Pedum, tetap terdapat tantangan untuk
meningkatkan produksi padi domestik
mengingat potensi dampak perubahan
iklim. Persoalannya saat ini adalah
bagaimana implementasi Pedum
tersebut dapat direncanakan sesuai
225 Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Penerapan Penanganan Dampak Perubahan Iklim, (Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, 2018), hlm. 1-5.
kebutuhan dan dilakukan oleh para
petani.
Pedum sektor pertanian ini
ditujukan untuk memberikan arahan
dan meningkatkan pemahaman dalam
mengidentifikasi dampak perubahan
iklim sekaligus mendorong dan
mengarahkan upaya dan program aksi
adaptasi pertanian untuk mengurangi
atau memanfaatkan variabilitas dan
dampak perubahan iklim baik dalam
bentuk struktural maupun non-
struktural.
Dalam perjalanannya, Pedum ini
mendapat respons yang sangat baik
dari tataran pemerintah selaku
pemangku kewenangan maupun
petani sebagai pelaksana. Lebih lanjut,
permen LHK No.33 Tahun 2016 yang
memuat arahan pelaksanaan adaptasi
perubahan iklim merupakan kebijakan
pendukung pelaksanaan Pedum
tersebut. Kedua kebijakan saling
relevan dan berkesinambungan. Pada
dasarnya pelaksanaan adaptasi secara
luas dapat mengikuti arahan kebijakan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
82
Permen LHK 33/2016, sementara
Pedum menjabarkan upaya adaptasi
pada sektor pertanian secara khusus.
Secara terarah strategi adaptasi yang
terdapat pada Pedum dapat dilakukan
mengikuti arahan pada Permen LHK
33/2016.
Sementara pada tataran pelaksana,
petani terbantu dengan adanya
dukungan insfrastruktur maupun
kebijakan daerah. Pelaksanaan Pedum
ini sebagai contoh seperti yang
dilakukan di daerah Jawa Barat dengan
studi kasus di Indramayu melalui
pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim dan
pemanfaatan Kalender Tanam
Terpadu. Pada praktiknya petani
terbantu dalam memahami informasi
iklim dan mengantisipasi kejadian
iklim ekstrem, mengamati unsur iklim,
dan menggunakannya dalam
mendukung usaha tani, serta terbantu
dalam menerjemahkan informasi
prakiraan iklim untuk menyusun
strategi budidaya lebih tepat.
Meskipun demikian, implementasi
Pedum tidaklah mudah. Tantangan
yang ditemukan dalam pelaksanaan
adaptasi perubahan iklim sektor
pertanian sekaligus dalam
implementasi Pedum di atas adalah
adanya kesenjangan kapasitas petani
dan insfratruktur pendukung
pelaksanaan adaptasi tersebut.
Ketersediaan perlengkapan sarana
pembelajaran yang kurang memadai
dan minimnya pengetahuan petani
membuat proses implementasi berjalan
lambat.
Selain itu, terdapat kesenjangan
antara pembuat informasi iklim
(BMKG) dengan permintaan pengguna
di sektor pertanian dan pembuat
kebijakan. Informasi prediksi onset atau
awal musim tidak segera diperoleh
pengguna akibat keterbatasan akses
dan kurangnya pemahaman atau
interpretasi informasi. Meskipun
demikian, beberapa informasi iklim
sudah tersedia walaupun belum
maksimal. Hal ini mengharuskan
adanya langkah-langkah yang
koordinatif dan kooperatif dengan
berbagai pengguna infomasi
iklim/perubahan iklim yang akan
memberikan hasil yang
menguntungkan untuk semua pihak
khususnya untuk sektor pertanian.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
83
Dalam upaya mendukung dan
menjawab tantangan tersebut terutama
dalam pelaksanaan adaptasi,
ketersediaan data dan informasi serta
ketersediaan alat simulasi dan sistem
pendukungnya diperlukan untuk
perencanaan aksi adaptasi dalam skala
luas. Tantangan lain adalah
pengetahuan petani dan akses
terhadap lembaga keuangan yang
relatif masih terbatas. Contohnya,
pengetahuan petani mengenai Katam
berbasis web agak terhambat karena
pendidikan petani yang kurang,
sehingga diperlukan peran serta
penyuluh yang andal yang memahami
kalendar tanam dan dapat
menerjemahkan sesuai kebutuhan
petani. Upaya pemerintah untuk
mendukung petani padi terhadap
pengenalan varietas baru sebagai salah
satu pilihan adaptasi juga masih perlu
ditingkatkan, misalnya: dalam
kebijakan terkait bantuan benih.
Pemerintah juga perlu
mempertimbangkan suplai benih
unggul dengan mempromosikan
inventor lokal dari daerah asal sentra
produksi padi.
Lebih lanjut, keterlibatan
pemerintah dalam kegiatan
peningkatan kapasitas petani perlu
diteruskan. Kegiatan peningkatan
kapasitas dapat dilakukan melalui
pelatihan/workshop, contohnya dalam
pengenalan varietas baru, teknologi,
dan kegiatan pascapanen. Selanjutnya,
ketersediaan lembaga keuangan dan
akses petani terhadap bantuan modal
untuk mengakses sarana pertanian juga
dapat dilakukan untuk
mempromosikan pilihan adaptasi.
Misalnya tersedianya informasi
manajemen pertanian (dosis
pemupukan dan jenis pupuk, sistem
pertanaman, pengairan) yang sesuai
kondisi iklim, sebagai bagian dari
bantuan permodalan. Skema akses
permodalan tersebut perlu dibangun
melalui kerjasama dengan lembaga
keuangan mikro dalam upaya
mendukung inisiatif kemitraan dan
kerjasama berbagai pihak agar target
ketahanan pangan nasional dapat
terwujud.
Arahan ke depan, proses dan
implementasi Pedum memerlukan
upaya yang sistematis dan terintegrasi
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
84
dengan strategi yang andal, serta
komitmen, dan tanggung jawab
bersama dari berbagai pemangku
kepentingan dan para pihak. Selain itu,
untuk dapat menjaga keberlanjutan
implementasi di lapangan, susunan
strategi atau pilihan adaptasi perlu
disediakan sebagai pilihan. Di samping
itu, rekomendasi adaptasi yang
disediakan untuk daerah pertanian
juga perlu disesuaikan dengan
kapasitas dan kondisi lokal. Kesesuaian
dan kesiapan daerah perlu menjadi
pertimbangan, dikarenakan beda
daerah akan beda perlakuan dan
pemahaman, serta adanya variasi
dalam ketersediaan sarana pendukung.
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
85
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang
Kehutanan, UU No. 41 Tahun
1999, LN No. 167 Tahun 1999,
TLN No.3888.
_____, Undang-Undang Sistem
Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan, UU
No. 16 Tahun 2006, LN No. 92
tahun 2006, TLN No.4660.
_____, Undang-Undang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani, UU
No. 19 Tahun 2013, LN No. 131
tahun 2013, TLN No. 5433.
Buku
Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementerian
Pertanian. Pedoman Umum
Adaptasi Perubahan Iklim Sektor
Pertanian. Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementerian
Pertanian. 2011.
Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan Kementerian Pertanian.
Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Penerapan Penanganan Dampak
Perubahan Iklim. Jakarta:
Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan Kementerian
Pertanian. 2018.
Ministry of Environment. Climate risk
dan adaptation assessment for the
agriculture sector- Greater Malang.
Jakarta: Ministry of
Environment. 2012.
Prasada Rao, G. S. L. H. V. Agricultural
Meteorology. Thrissur: PHI
Learning Pvt. Ltd. 2008.
Artikel
Cline, William. "Global Warming and
Agriculture: Impact Estimates
by Country". Choice Reviews
Online 45, No. 04 (2007): 45-2135-
45-2135.
Förster, Hannah, et.al. "Sea-Level Rise
in Indonesia: on Adaptation
Priorities in The Agricultural
Sector". Regional Environmental
Change 11, No. 4 (2011). hlm. 893-
904.
Hoogenboom, Gerrit. "Contribution of
Agrometeorology to The
Simulation of Crop Production
and Its
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 60-87
86
Applications". Agricultural and
Forest Meteorology 103, No. 1-2
(2000): 137-157.
Hosang, Peter Rene, J. Tatuh, dan
Johannes E. X. Rogi. 2012.
"Analisis Dampak Perubahan
Iklim Terhadap Produksi Beras
Provinsi Sulawesi Utara Tahun
2013-2030." Jurnal Eugenia no.
Volume 18 No. (3) (2012). Hlm.
249-256.
Lamid, Zainal. “Integrasi Pengendalian
Gulma dan Teknologi Tanpa
Olah Tanah Pada Usaha Tani
Padi Sawah Menghadapi
Perubahan Iklim." Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian 4
No. 1 (2011). Hlm. 14-28.
Motha, Raymond P., and Wolfgang
Baier. "Impacts of Present and
Future Climate Change and
Climate Variability on
Agriculture in The Temperate
Regions: North
America". Climatic Change 70,
No. 1-2 (2005): 137-164.
Muslim, C. Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam Mempertahankan
Produktivitas Tanah Padi Sawah
(Studi Kasus Di Kabupaten
Indramayu). Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan, Vol. 13 No. 3
(2013). hlm. 211-222.
Kementerian Pertanian. “Buletin
Konsumsi Pangan.” Vol. 9 No. 1
Tahun 2018.
Perdinan, Kiki Kartikasari, and Marissa
Malahayati. “Linking Climate
Change Adaptation Options For
Rice Production and Sustainable
Development In Indonesia.”
J.Agromet 22(2). (2008).
Sumaryanto. “Strategi Peningkatan
Kapasitas Adaptasi Petani
Tanaman Pangan Menghadapi
Perubahan Iklim.” Jurnal Forum
Penelitian Agro Ekonomi 30 No. 2
(2012). hlm. 73-89.
Surmaini, et. al. "Upaya Sektor
Pertanian Dalam Menghadapi
Perubahan Iklim." Jurnal Litbang
Pertanian 30 No. 1, (2010). hlm. 1-
7.
Timmermann, A. et al. "Increased El
Niño Frequency in A Climate
Model Forced by Future
Greenhouse
Perdinan, Tri Atmaja, Ryco F. Adi dan Woro Estiningtyas
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN:
TELAAH INISIATIF DAN KEBIJAKAN
87
Warming." Nature 398. No. 6729
(1999): hlm. 694-697.
Tubiello, F. N., J.-F. Soussana, and S. M.
Howden. "Crop and Pasture
Response to Climate
Change". Proceedings of The
National Academy of Sciences 104,
No. 50 (2007): 19686-19690.
Lain-Lain
Badan Pusat Statistik (BPS). “Tanaman
Padi Per Provinsi.”
https://www.bps.go.id/site/re
sultTab. diakses 3 September
2018.
Direktur Adaptasi Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim
Kementerian Lingkungan dan
Kehutanan. “Arah Kebijakan
dan Sasaran Adaptasi
Perubahan Iklim di Indonesia.”
(disampaikan di Jakarta, 26-27
April 2018).
Kurniadi. “Penyusun Bahan Adaptasi
Perubahan Iklim BPLHD
Provinsi Jawa Barat.”
(disampaikan di BPLHD
Purwakarta, 23 Desember 2013).
Perdinan et. al., “Crop Insurance Based
on Weather Index for Climate
Risk Management in Indonesia.”
CCROM. 2015.
_____. “Adaptasi Perubahan Iklim dan
Ketahanan Pangan: Telaah
Inisiatif dan Kebijakan.”
(makalah disampaikan pada
FGD IESR, 18 Oktober 2016).
Pratiwi, Purdiyanti. “Efektivitas dan
Perumusan Strategi Kebijakan
Beras Nasional.” Bogor:
Departemen Agribisnis, Institut
Pertanian Bogor. 2008.
Rejekiningrum, Popi, Model Optimasi
Surplus Beras Untuk Menentukan
Tingkat Ketahanan Pangan
Nasional. Jakarta: Universitas
Terbuka. 2013.
Simatupang P. dan I.W. Rusastra.
“Kebijakan Pembangunan
Sistem Agribisnis Padi dalam
Ekonomi Padi dan Beras
Indonesia.” Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen
Pertanian. 2004.
88
TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH
GEOGRAFI KRITIS
Shafira Anindia Alif Hexagraha226
Abstrak
Perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjanjikan kebijakan publik yang lebih andal dengan landasan empiris dan ilmu pengetahuan yang kuat. Namun begitu, sebagai suatu proses politik, perumusan kebijakan publik berbasis bukti tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan yang melingkupinya. Demikian pula halnya yang terjadi dalam produksi kota di Indonesia, terus terbentuk melalui berbagai produksi ruang yang diantaranya melalui proses determinan yaitu perencanaan tata ruang. Lewat lensa ko-produksi pengetahuan dan telaah kekuasaan dalam geografi kritis, tulisan ini mengeksaminasi ketelitian tindakan komunikatif dalam perencanaan tata kota di bawah peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan beberapa kemungkinan dalam trajektori perumusan kebijakan perencanaan tata kota, terutama jika ilmu pengetahuan hendak lebih dalam dilembagakan ke dalam perencanaan yang berbasis bukti dan menguji kecenderungan peran ilmu pengetahuan dalam pluralitas aktor produksi kota sebagai kopula bebas nilai, narasi yang terkonsolidasi kekuasaan atau kemungkinan refleksif lainnya. Kata Kunci: kebijakan berbasis bukti, geografi kritis, penataan ruang, produksi ruang Abstract Evidence-based policy making promises more reliable policy with fortified empirical and scientific bases. However, as a political process, evidence-based policy making can never be entirely separated from the influences of circumventing power. Such manner is also discovered in production of cities in Indonesia which are perpetually formed through various modes of production of spaces such as spatial planning as a determining process. Adopting Jasanoff’s co-production of knowledge and power analytical framework from critical geography studies, this article examines the rigorousness of communicative action in city planning under Indonesian laws concerning under Indonesian laws concerning spatial planning and explore several possibilities within the trajectory if science is to be deeply incorporated into evidence-based city planning primarily, interrogates inclination of science as value-free copula, consolidated narratives of power, or other reflexive possibilities within the plurality of actors in production of space. Keywords: evidence-based policy, critical geography, spatial planning, production of space
226 Penulis adalah sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia.
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
89
I. Pendahuluan
Perencanaan tata kota merupakan
salah satu manifes kemampuan
manusia mengendalikan masa depan
berikut lingkungan yang ditempatinya
untuk mengonstruksikan masa depan
secara kolektif227 yang dilakukan
melalui pengandaian dan rekayasa
konstan akan masa depan kehidupan
manusia berikut alam yang saling
mempengaruhi.228 Pengandaian dan
rekayasa konstan merupakan
rasionalitas-instrumental229 dalam
perencanaan tata kota yang pada
akhirnya akan melahirkan suatu
tatanan ‘komunitas yang dihendaki’
(intentional communities).230
Perencanaan tata kota dapat
227 Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Spatial Planning and Urban Development: Critical
Perspectives, (New York: Springer, 2010), hlm. 69-73. 228 George Chadwick, A Systems View of Planning Theory: Towards a Theory of the Urban and Regional
Planning Process, (Oxford: Pengamon Press, 1981), hlm. 25. 229 John Friedmann dan Carol Kuester, “Planning Education in the Late 20th Century: An Initial
Inquiry” Journal of Planning Education and Research Vol. 14.1 (1994), hlm. 55-64 dalam Phillip Allmendinger, Planning in Post Modern Time (New York: Routledge, 2001), hlm. 95.
230 Michael Elliott, “History and Theories of Planning,” (disampaikan pada School of City and Regional Planning, Georgia Technological University, Atlanta, 7 Februari 2014), hlm. 26.
231 Sokongan argumentasi bahwa dalam penciptaan berbagai teks otoritatif seperti peraturan perundang-undangan maupun kebijakan publik lainnya yang dibentuk baik oleh penguasa, instansi politik maupun masyarakat yang terlibat lazim terjadi kompromi sebab subjek sebagai pembawa pengetahuan dan kepentingan menghadirkan aspirasi yang bisa saja merupakan persepsinya untuk kepentingan khalayak umum, kelompok tertentu maupun dirinya sendiri. Macam-macam derajat kompromi dalam politik kebijakan publik tersebut dibahas dalam Amy Gutmann dan Dennis Thompson, “The Mindset of Political Compromise”, Perspectives on Politics 8(4) 2010, pp. 1125-1143, hlm. 1134-1137. Lihat juga Samantha Besson, The Morality of Conflict: Reasonable Disagreement and the Law, (Oxford and Portland: Hart Publishing, 2005).
dipersepsikan dari berbagai proyek
intelektual terarah yang terjadi pada
dan untuk membentuk suatu konstitusi
spasial yaitu kota yang merupakan
suatu ruang publik. Seharusnya, tidak
sulit dipahami bahwa proyek
intelektual ini merupakan imajinasi
keruangan yang diandaikan oleh
publik dan diputuskan pula secara
kolektif. Namun, distorsi kekuasaan
yang terlampau banal di ruang publik
telah menjadikan skema kolektif
sebagai suatu kerangka kerja yang
terlalu rumit untuk diandaikan
maupun dipraktikkan. Begitu pula
yang sejauh ini dipertahankan di dalam
hukum oleh para subjek yang terlibat
dalam perumusannya.231
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
90
Lebih lanjut, tantangan yang
diekspos oleh urbanisasi
sesungguhnya turut mengubah tatanan
institusi ekonomi, politik, dan sosial
kota menjadi semakin terpolarisasi.232
Ekses orientasi terhadap pertumbuhan
yang dibawa urbanisasi meningkatkan
kompetisi ekonomi dalam kota yang
berdampak pada dorongan untuk
mengutamakan strategi pertumbuhan
dalam perencanaan ruangnya dan
membebankan dampak negatif yang
ditimbulkannya pada kepentingan-
kepentingan lain.233 Kontur akses dan
kesejahteraan yang tidak merata dan
menajamnya kompetisi ekonomi di
perkotaan yang tidak disertai dengan
strategi pengendalian urbanisasi, turut
232 Charles Goldblum, “Urban Policies in South-East Asia: Questioning the Right to the City,”
(Geneva: UNESCO and UN Habitat, 2006), hlm. 87. Lihat juga Alison Brown dan Annali Kristiansen, Urban Policies and the Right to the City: Rights, Responsibilities, and Citizenship, (Geneva: UNESCO and UN Habitat, 2009), hlm. 9.
233 Feinstein dalam Sarah Mina Bassett, The Role of Spatial Justice in The Regeneration of Urban Spaces, (Illinois: University of Illinois, 2013), hlm. 3.
234 Fran Tonkiss, Space, the City, and Social Theory: Social Relations and Urban Forms, (Cambridge: Polity, 2005), hlm. 3.
235 Alan Harding and Talja Blokland, Urban Theory: A Critical Introduction to Power, Cities, and Urbanism in the 21st Century, (London: Sage Publisher, 2014), hlm. 128.
236 Kolektivitas sebagai unsur intrinsik dari perencanaan tata ruang ditemukan dalam berbagai literatur. Di antaranya sebagai berikut:
1) Edward Soja, Seeking Spatial Justice, (Minneapolis: University of Minnesota Press), hlm. 72. 2) Pier Carlo Palermo and Davide Ponzini, Op. Cit, hlm. 69-73. 3) Tore Sager, Collective Action: Balancing Public and Particularistic Interests, pp. 26-41 dalam
Rachel Weber dan Randall Crane, The Oxford Handbook of Urban Planning, hlm. 34. 4) Floyd Hunter, Community Power Structure: A Study of Decision Makers, (Chapel Hill: University
of North Carolina Press, 1953), hlm. 11.
meminggirkan kelompok yang
memiliki penuturan dan pemaknaan
selain materi terhadap kota. Misalnya
dalam hal keseharian dan semantik
berbudaya yang secara esensial
membentuk dan termasuk dalam relasi
sosial dari kota.234 Modus produksi
kota yang demikian membentuk kota
secara simultan menjadi produk dan
pelaku reproduksi ketidaksetaraan,
sebab para agensi gagal berperan
dalam membentuk representasi yang
utuh dan setara akan kota.235
Representasi yang tidak sempurna
dalam produksi ruang secara intrinsik
bertentangan dengan perencanaan tata
ruang yang bersifat kolektif.236
Kelemahan ini juga terkandung dalam
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
91
hukum penataan ruang Indonesia
sebagaimana tercermin dalam Pasal 65
ayat (1) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini
dikarenakan pemerintah ditempatkan
sebagai aktor sentral dalam penataan
ruang, sedangkan masyarakat
diposisikan sebagai komplemen
semata tanpa disertai dengan kekuatan
yaqng bersifat determinan dalam
pengambilan keputusan.237
Padahal, selain dalam aspek
pengambilan keputusan, representasi
yang menyeluruh pada perencanaan
tata ruang idealnya diupayakan
melalui praksis pemberdayaan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mulai
mengakui adanya ketidaksetaraan
237 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan
Ruang, PP No. 68 Tahun 2010, LN No. 118 Tahun 2010, TLN No. 5160, mengatur tentang bagaimana masyarakat dalam berpartisipasi dalam penataan ruang yang penguraiannya dirinci menurut tahapan penataan ruang yakni pada tahap: 1) perencanaan tata ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3) pengendalian pemanfaatan ruang. Akan tetapi, dalam peraturan ini tidak ada pengaturan yang mengoptimasi peran masyarakat secara lebih aktif pada pengambilan keputusan dalam urusan penataan ruang melainkan sebatas menjabarkan hak dan kewajiban dalam penataan ruang yang memiliki konsekuensi berupa insentif maupun disinsentif.
238 Jürgen Habermas, Postmetaphysical Thinking, (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), hlm. 42. 239 Craig Calhoun (Ed.), Habermas and the Public Sphere, (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), hlm. 2. Lihat juga Jürgen Habermas dalam bukunya yang berjudul Between Facts and Norms: Contributions
to a Discourse Theory of Law and Democracy, (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), hlm. 8 dan hlm. 31, menuturkan bahwa rasionalitas prosedural yang komunikatif mampu meredam ketegangan antara faktisitas dan validitas sehingga mampu membentuk legitimasi yang solid dalam suatu tindakan komunikatif dalam ruang publik.
dalam masyarakat dan membongkar
pusaran-pusaran deliberasi yang
tertutup, untuk kemudian
bertransformasi menjadi ruang-ruang
diskursus publik yang terpluralisasi.238
Sehingga, rasionalitas prosedural yang
komunikatif digunakan dalam
pengambilan keputusan ke
depannya.239
Kegagalan agensi
merepresentasikan kota dan distorsi
terhadap kolektivitas dalam ketentuan
hukum perencanaan tata kota
merupakan contoh temuan masalah
hasil telaah geografi kritis. Selayaknya
aliran studi kritis pada berbagai
disiplin, geografi kritis merupakan
suatu studi yang berpancang pada
tanggung jawab teoritis dan etis,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
92
bersifat tidak bebas nilai, dan memiliki
komitmen dalam progresivitas politik
maupun perubahan sosial.240 Secara
khusus, geografi kritis menjabarkan
relasi sosio-spasial yang memproduksi
kesenjangan dalam ruang dengan
mengakui adanya ketidaksetaraan,
mengenali berbagai poros kekuasaan,
dan komitmen terhadap politik yang
memberdayakan, serta perubahan
sosial.241 Eksaminasi geografi kritis
dalam tulisan ini memperdalam
tindakan komunikatif yang mampu
memberikan abstraksi terhadap
kesetaraan dalam diskursus publik
secara normatif, namun secara teknis
tidak menjelaskan bagaimana
pengetahuan terbentuk di dalamnya.
Tulisan ini hendak melengkapi tinjauan
abstrak-normatif Habermas, terutama
mengenai rasionalitas komunikatif,
dengan modus pembentukan
pengetahuan secara intersubjektif yang
dijelaskan oleh Jasanoff melalui ‘co-
production’ (ko-produksi). Untuk itu,
240 Ben Agger, Critical Social Theories: An Introduction, (Boulder: Westview Press, 1998), hlm. 180
dalam Nicholas Blomley, Uncritical Critical Geography? Progress in Human Geography 30, 1 (2006), hlm. 6.
241 Phil Hubbard, et al, Thinking Geographically: Space, Theory and Contemporary Human Geography, (London: Bloomsbury Publishing, 2002), hlm. 62 dan hlm. 73.
tulisan ini berupaya menjawab
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana telaah geografi
kritis dalam mengurai
diskursus kekuasaan dan
pengetahuan dalam
penataan ruang di
Indonesia?
2. Bagaimana geografi kritis
mengandaikan upaya-upaya
untuk mewujudkan
kesetaraan dalam
perumusan kebijakan
penataan ruang di
Indonesia?
Adapun yang menjadi ruang
lingkup tulisan ini adalah peraturan
perundang-undangan yang berkenaan
dengan perencanaan tata kota di
Indonesia yaitu UU No. 26 Tahun 2007
dan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten,
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
93
dan Kota (Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018), yang mengetengahkan
bahwa perencanaan tata kota menurut
ketentuan tersebut merupakan suatu
perumusan kebijakan yang intensif
bukti. Pada bagian selanjutnya, tulisan
ini menjelaskan telaah pokok yang
menjawab bagaimana perencanaan tata
kota berbasis bukti (evidence-based city
planning) dapat mempertajam distorsi
dalam relasi sosio-spasial perencanaan
tata kota di Indonesia atau sebaliknya,
dan dapat pula menjadi medium yang
memberdayakan.
II. Interaksi Penataan Ruang dan
Perumusan Kebijakan: Senarai
Distorsinya di Indonesia
Dari perspektif hukum
administrasi, penataan ruang
sebagaimana dikenali menurut UU No.
26 Tahun 2007 merupakan suatu tata
cara operasional (administrasi sebagai
242 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indnesia, 1981) dalam
dalam Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.
243 Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara Sektoral: Tindakan Administrasi Negara Bab dalam Harsanto Nursadi (ed.), Hukum Administrasi Negara Sektoral, (Depok: Center for Law and Good Governance Studies dan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016), hlm. 11.
244 Indonesia, Undang-Undang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN No. 4725, Ps. 1 angka 5.
245 Indonesia, Ibid., Ps. 1 angka 5 juncto angka 13
proses)242 yang muncul sebab adanya
tujuan berupa kondisi ruang tertentu
yang ditetapkan secara memaksa
(dwingend recht) dan juga berlaku
sebagai pedoman umum bagi
perumusan RTRW dan prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan pada
pelaksanaannya.243 UU No. 26 Tahun
2007 merangkai penataan ruang
sebagai suatu proses yang terdiri dari
tahapan berupa: 1) perencanaan tata
ruang, 2) pemanfaatan ruang, dan 3)
pengendalian pemanfaatan ruang.244
Secara lebih terperinci,
perencanaan tata ruang merupakan
salah satu tahapan penataan ruang
yang terdiri dari rangkaian proses
penyusunan rencana tata ruang dan
penetapan rencana tata ruang.245
Perencanaan tata ruang termasuk ke
dalam tindakan hukum publik atau
pernyataan kekuasaan organ
administrasi, dalam hal ini adalah
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
94
pemerintah menyusun rencana tata
ruang dan menimbulkan akibat hukum
tertentu berupa hak, kewenangan, dan
kewajiban dalam bidang penataan
ruang.246
Hak, kewenangan, dan kewajiban
bagi pemerintah dan masyarakat
sebagaimana diatur dalam UU No. 26
Tahun 2007 merupakan basis bagi
pemetaan aktor dalam penataan
ruang.247 Basis dari pemetaan aktor
penataan ruang diatur dalam Pasal 7
ayat (2) juncto ayat (3) UU No. 26 Tahun
2007 yang menetapkan kewajiban
atributif kepada pemerintah baik pusat
maupun daerah untuk
menyelenggarakan perancangan dan
pelaksanaan tata ruang dengan
keharusan untuk tetap menghormati
hak yang dimiliki orang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.248
Telaah semantik terhadap
ketentuan tersebut menunjukan bahwa
246 Ridwan HR, Hukum Administasi Negara (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Rajawali Press, 2013), hlm.
109-111. 247 Hak dan kewajiban masyarakat, secara individual diatur dalam Indonesia, Penataan Ruang,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725), Pasal 60-62. Di dalam undang-undang tersebut juga diatur kewenangan Pemerintah pusat pada Pasal 8 dan 9 dan kewenangan pemerintah kota dalam Ps 11.
248 Ibid., Ps. 7 ayat (2) juncto ayat (3). 249 Michel de Certau, The Practice of Everyday Life, (Berkeley: University of California Press, 1984),
hlm. 113-116.
pengaturan tersebut menempatkan
pemerintah sebagai pemegang kendali
utama dalam perencanaan tata ruang,
sedangkan masyarakat, yang dalam
ketentuan tersebut dikenali dalam
satuan individual, dibahasakan
menjadi entitas pasif yang haknya tetap
dihormati. Walaupun pada bagian
selanjutnya, yakni Pasal 65 UU No. 26
Tahun 2007 diatur bahwa masyarakat
dapat berpartisipasi dalam
perencanaan tata ruang, semantik
pemetaan aktor penataan ruang dalam
UU No. 26 Tahun 2007 ini problematis
sebab masyarakat ditempatkan sebagai
subordinat dalam proses tersebut.
Padahal, sesungguhnya masyarakat lah
yang mengalami ruang tersebut sehari-
hari.249
Selain pembahasaan di dalam UU
No. 26 Tahun 2007 yang membuat
pertentangan antara bagaimana
pemerintah yang membentuk ruang
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
95
dan masyarakat yang mengalaminya,
UU No. 26 Tahun 2007 juga tidak
memberikan peran aktif yang setara
antara pemerintah dan masyarakat
dalam penataan ruang, termasuk
bagaimana forum-forum yang terdapat
di dalam proses tersebut mampu
mengaktivasi peran masyarakat agar
lebih kontributif dan dipertimbangkan
sebagai aktor yang membentuk ruang
secara kolektif.
Selain melihat dari aktor yang
terlibat, investigasi terhadap
perencanaan tata kota sebagai suatu
pembentukan kebijakan juga perlu
ditelaah dari substansi yang menjadi
pertimbangan. Dalam hal ini, UU No.
26 Tahun 2007 mensyaratkan sejumlah
aspek yang menjadi perhatian sebagai
berikut:250
1. kondisi fisik wilayah Indonesia
yang rentan terhadap bencana;
2. potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan; kondisi
ekonomi, sosial, budaya, politik,
hukum, pertahanan keamanan,
250 Ibid., Ps. 6 ayat (1).
lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi
sebagai suatu kesatuan; dan
3. geostrategi, geopolitik, dan
geoekonomi.
Lebih rinci lagi, Permen ATR/Ka.
BPN No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan
berbagai data, informasi, serta olahan
ilmiah yang berbeda pada setiap
tahapan perencanaan kota. Untuk
tahapan persiapan perencanaan tata
kota, terdapat berbagai data yang
disyaratkan, diantaranya adalah data
dan informasi yang berkaitan dengan:
1) kependudukan; 2) sosial dan budaya
keruangan; 3) kondisi fisik lingkungan
perkotaan; 4) pengunaan lahan
eksisting; 5) peluang ekonomi dan
potensi lestari lingkungan hidup; 6)
sarana dan prasarana kota; 7) ekonomi
wilayah; 8) kemampuan keuangan
pembangunan daerah; 9) kelembagaan
pembangunan daerah; 10) kebijakan
bidang penataan ruang terkait; 11)
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) kota; 12)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
96
kebijakan sektoral; 13) pertanahan; 14)
klimatologi; 15) pasar properti
perkotaan; 16) utilitas perkotaan; 17)
pola mobilitas perkotaan; 18) profil
bangunan bersejarah dan bernilai
pusaka budaya; 19) izin pemanfaatan
ruang eksisting; dan 20) konektivitas
informasi.251
Setelah tahap persiapan dan
pengumpulan data serta informasi,
dilanjutkan ke tahap pengolahan dan
analisis data. Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 mensyaratkan
sejumlah analisis data untuk menjadi
bukti validitas perumusan rencana tata
kota yang setidaknya memuat:252
1. analisis kebijakan spasial dan
sektoral;
2. analisis kedudukan dan
peran kota dalam wilayah
yang lebih luas;
3. analisis fisik wilayah;
251 Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018, Lampiran III, hlm. 98-99.
252 Ibid., hlm. 100-102. Peraturan ini mengarahkan agar pengolahan dan analisis data dengan kesebelas aspek sebagaimana terperinci pada badan teks untuk menjadi dasar bagi perumusan tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota. Ringkasan normatif aspek-aspek ini diatur dalam Ps. 7 ayat (3).
4. analisis sosial
kependudukan;
5. analisis ekonomi wilayah;
6. analisis sebaran ketersediaan
dan kebutuhan sarana dan
prasarana wilayah kota;
7. analisis penguasaan tanah
yang menghasilkan status
penguasaan tanah publik
dan privat;
8. analisis bentuk dan struktur
kota serta arah
pengembangannya dalam
kurun waktu perencanaan;
9. analisis lingkungan hidup;
10. analisis pengurangan resiko
bencana; dan
11. analisis kemampuan
keuangan pembangunan
daerah.
Olahan dan hasil analisis
terhadap kesebelas aspek di atas
beserta data dan informasi yang
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
97
menjadi referensi ini menunjukkan
bahwa perencanaan tata kota, secara
materiel merupakan perumusan
kebijakan yang berbasis bukti. Hal ini
juga dipertegas dengan adanya
ketentuan keahlian subjek yang terlibat
dalam proses perencanaan tata kota,
yakni pemerintah daerah kota beserta
tim ahli yang diketuai oleh profesional
perencana wilayah dan kota yang
bersertifikat dengan pengalaman di
bidang terkait minimal 10 (sepuluh)
tahun dan juga harus memiliki
pengalaman berpraktik di kota yang
rencana tata ruangnya hendak disusun.
Komposisi keahlian dari tim ahli
tersebut juga ditentukan yakni terdiri
dari bidang keahlian: 1) sistem
informasi geografis; survei dan
pemetaan; 3) ekonomi wilayah; 4)
infrastruktur; 5) transportasi; 6)
lingkungan; 7) kebencanaan; 8)
kependudukan; 9) sosial budaya; 10)
pertanahan; 11) hukum; dan bidang
keahlian lainnya yang sesuai dengan
253 Ibid., hlm. 95-96. 254 Nancy Cartwright, Evidence for Policy and Wheresoever Rigor is a Must, (London: The London
School of Economics and Political Science, 2012), hlm. 5 dan hlm. 84. 255 Ibid., hlm. 34-36. 256 Ibid., hlm. 35.
karakteristik wilayah.253 Ketentuan
keahlian subjek yang terlibat pada
dasarnya memang merupakan salah
satu fitur prominen dari perumusan
kebijakan berbasis bukti.254 Peran ahli
dalam perumusan kebijakan berbasis
bukti dianggap sebagai suatu
mekanisme yang menentukan validitas
internal dalam suatu perumusan
kebijakan.255
Namun demikian, keberadaan ahli
dan mekanisme validasi internal
menurut Cartwright tidak menjadikan
suatu perumusan kebijakan berbasis
bukti lengkap. Mekanisme pembuktian
validitas secara eksternal tetap
diperlukan agar suatu proses ilmiah
dalam perumusan kebijakan publik
menjadi sahih ketika diterapkan secara
nyata pada target populasi.256 Untuk
menguji relevansinya dengan target
populasi terkait, validasi eksternal
dapat dilakukan dengan beberapa
prosedur yang bersifat dialogis, seperti
diskusi dan debat yang dikaitkan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
98
dengan rujukan pada pengetahuan
yang sahih, proyeksi, dan praktik-
praktik lampau serupa pada target
populasi dari suatu kebijakan.257
Pada rangkaian proses
perencanaan tata kota yang diatur
dalam Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018, dalam tahapan
pengumpulan data dan informasi
diarahkan pula untuk melibatkan
masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan melalui: 1) permintaan
data dan informasi perorangan
dan/atau kewilayahan yang
diketahui/dimiliki oleh masyarakat; 2)
permintaan masukan, aspirasi, dan
opini awal usulan rencana penataan
ruang; dan 3) penjaringan informasi
terkait potensi dan masalah penataan
ruang, untuk bersama seluruh data dan
informasi yang dipersyaratkan
kemudian didokumentasikan dalam
Buku Fakta dan Analisis.258 Ketiga
sarana tersebut tidak tampak sebagai
suatu sarana yang cukup dialogis
257 Ibid., hlm. 35-36. 258 Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, op. cit.,
Lampiran III, hlm. 100. 259 Ibid., hlm. 103.
sebagai suatu validasi eksternal oleh
karena ketiga sarana tersebut terjadi
pada tahap pengumpulan data dan
informasi tanpa disertai dengan forum
diskursif dimana para pihak yaitu
pemerintah, tim ahli, dan masyarakat
melakukan suatu komunikasi
intersubjektif dan mengambil
keputusan.
Tampaknya, validasi eksternal
terhadap dokumentasi pengetahuan
dalam perencanaan tata kota baru
terjadi pada tahap penyusunan konsep
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota menurut Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 dapat dilakukan
antara lain melalui konsultasi publik,
lokakarya, diskusi kelompok
terpumpun, seminar maupun bentuk
komunikasi 2 (dua) arah lainnya.259
Namun demikian, Permen tersebut
tidak menjelaskan dalam hal apa dan
bagaimana forum tersebut
diselenggarakan.
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
99
Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun
2018 terlalu fokus pada hal-hal apa saja
yang harus dilakukan oleh pemerintah
dan materi yang perlu turut serta
dalam merencanakan tata kota.
Padahal, terdapat hubungan yang
secara efektif saling mempengaruhi
antara organisasi ruang (organization of
space) dengan hubungan-hubungan
sosial. Akibatnya, masyarakat
teralienasi oleh suatu koersi baik dalam
proses penciptaan ruang (creation of
space) maupun dalam ruang yang
tercipta (created space).260 Demikian,
kota menjadi ruang yang merupakan
produk pengetahuan dan imajinasi
yang dihendaki oleh yang berkuasa
atau pemerintah, berdasarkan Permen
ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun 2018.
Investigasi lebih lanjut mengenai
pembentukan pengetahuan dapat
ditelusuri melalui ko-produksi: suatu
upaya untuk memahami studi tentang
sains dan teknologi melalui dua rute.
Pertama, rute konstitutif yang mencoba
260 David Harvey, Social Justice and the City (Revised Edition), (London: The University of Georgia
Press, 2009), hlm. 310. 261 Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-
Production of Science and Social Order (New York: Routledge, 2004), hlm. 19.
untuk memahami bagaimana orang-
orang mempersepsikan elemen dari
alam dan masyarakat serta
memisahkan sebagian dari
pengalaman dan pengamatannya pada
suatu realitas yang terpisah dari politik
dan budaya. Kedua, rute interaksional
yang bertujuan untuk menjelaskan
keterkaitan antara praktik sosial dan
ilmiah yang terjadi dalam suatu tatanan
sosio-teknis yang ada dengan berfokus
pada konflik di dunia yang telah
terpisahkan ke dalam yang alami dan
sosial.261
Dapat dipahami juga bahwa ko-
produksi merupakan proposisi
bagaimana manusia mengetahui dan
menampilkan dunia yang tidak
terpisah dengan berbagai cara untuk
hidup di dalamnya. Pengetahuan
berikut perwujudan materielnya secara
bersamaan merupakan produk dari
suatu upaya sosial dan bersifat
konstitutif atas dimensi sosial
kehidupan. Hal tersebut tertanam
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
100
dalam berbagai praktik sosial,
identitas, norma, kebiasaan, wacana,
instrumen, dan lembaga.262 Sebagai
suatu kerangka analisis, ko-produksi
dapat ditinjau dari pembentukan
berbagai aspek, yakni:263
1. identitas;
2. institusi;
3. diskursus; dan
4. representasi.
Kontur identitas pada ko-produksi
kota dalam UU No. 26 Tahun 2007 dan
Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun
2018 tidak menunjukkan kepekaan
yang berarti. Permen ATR/Ka. BPN
No. 1 Tahun 2018 hanya menyebutkan
12 kelompok bidang keahlian yang
dibutuhkan dalam Tim Ahli
perencanaan tata kota. Selebihnya,
kedua peraturan perundang-undangan
tersebut tidak memberikan identifikasi
lain yang berkenaan dengan identitas
seperti kebangsaan, agama, gender,
kelas, afiliasi politik, maupun afiliasi
lainnya yang bersifat tunggal maupun
jamak bertindak dan berpengaruh
262 Ibid., hlm. 2-3. 263 Ibid., hlm. 6. 264 Amartya Sen, Identity and Violence, (London: Penguin Books, 2006), hlm. 35-45.
dalam ko-produksi kota.264 Padahal,
bagaimana hukum menunjukkan
kepekaan maupun persepsi dirinya
terhadap identitas merupakan suatu
poin penting untuk lebih jauh
menerangkan seberapa representatif
suatu kebijakan dirumuskan, serta
bagaimana diskursus dan institusi
dibentuk.
Perlu dipahami bahwa, idealnya,
kerangka normatif tidak membatasi
persepsinya pada identitas tunggal.
Sebab, persepsi yang terbatas ini dapat
menciptakan ilusi yang berujung pada
kekerasan yang ditimbulkan dari
koersi untuk membatasi pengalaman
dan konsekuensi historis yang
ditanggung baik oleh individu maupun
kelompok dengan pembatasan pada
satu dimensi tertentu saja untuk
menjadi identitasnya. Pengenalan
terhadap identitas ini tetap diperlukan,
namun dilakukan dengan pendekatan
yang komprehensif sehingga dengan
jelas dapat diterangkan bagaimana
posisi dan perannya dalam kehidupan
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
101
bermasyarakat, termasuk dalam
aktualisasi kewarganegaraannya265
seperti partisipasi dalam
merencanakan tata kota.266
Institusi, dalam pengertiannya
sebagai subjek, yang terdapat dalam
perencanaan tata kota menurut UU No.
26 Tahun 2007 dan Permen ATR/Ka.
BPN No. 1 Tahun 2018 hanya merujuk
pada pemerintah dan masyarakat.
Maka, untuk memetakan distribusi
kekuasaan dalam penataan ruang
cukup dengan mengamati kedua
subjek tersebut. Meski demikian, perlu
diakui pula mengenai adanya berbagai
sistem lain yang mempengaruhi seperti
ekonomi dan politik.
Namun demikian, jika hendak
dikontekstualisasikan dengan
bagaimana skema perumusan
kebijakan berbasis bukti
mempengaruhi penataan ruang
265 Konsep kewarganegaraan dapat dibedah melalui perangkat teoretis (pasca) strukturalisme
yang mengenali kewarganegaraan sebagai salah satu bentuk subjektivisasi yang dibentuk melalui proses diskursif antara kekuasaan dan pengetahuan. Hal ini dapat didalami lebih lanjut dalam Michel Foucault, Madness and Civilisation, (London: Tavistock, 1967).
266 Alan Harding dan Talja Blokland, Op.cit, hlm. 37. 267 Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory, (New York:
Oxford University Press, 2007), hlm. 76. 268 Ibid., hlm. 63-86. Jasanoff mengkritik Latour yang pada hal tersebut kurang memperhatikan
konflik-konflik berdimensi moral dan politik yang pada umumnya menyertai pembentukan dan jalannya suatu sistem pemerintahan.
sebagai suatu proses, actor-network
theory dari Bruno Latour dapat menjadi
suatu perangkat teoretis yang relevan.
Latour menjelaskan bagaimana actor-
network juga dapat memberikan agensi
kepada suatu hal yang non-manusia
(non-human).267 Skema perumusan
kebijakan berbasis bukti memperkuat
agensi pengetahuan (sebagai agensi
non-manusia) dalam jejaring peran
yang ada pada suatu masyarakat.
Dalam hal itu pun, Latour mengakui
bahwa kekuasaan di sepanjang jejaring
tidak terdistribusi dengan setara
sekalipun di sepanjang jejaring tersebut
kekuasaan dikonfrontasi oleh berbagai
pertentangan. Bagaimanapun,
kekuasaan cenderung terkonsentrasi di
sekitar penguasa yang memegang
kendali terhadap berbagai instrumen-
instrumen sebagai perantaranya.268
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
102
Jika skema perumusan kebijakan
berbasis bukti hendak diinkorporasi ke
dalam perencanaan tata kota, maka
hendaknya beberapa hal perlu
diketahui terlebih dahulu: Model
perumusan kebijakan berbasis bukti
apa yang akan digunakan? Bagaimana
status-quo penguasaan terhadap
instrumen-instrumen perencanaan tata
kota dan bagaimana perubahan yang
akan terjadi jika akan lebih
mengandalkan perumusan kebijakan
berbasis bukti? Bagaimana penguasaan
terhadap instrumen tersebut hendak
didistribusikan agar skema perumusan
kebijakan berbasis bukti sedapat
mungkin menghasilkan tata kota
menjadi representasi kehendak yang
paling demokratis?
Dalam hal pembentukan
diskursus, Permen ATR/Ka. BPN No. 1
Tahun 2018 tidak memberikan
gambaran yang jelas mengenai
bagaimana berbagai opsi forum dialog
publik yang disediakan ini dapat
269 Alan Harding and Talja Blokland, Op.cit, hlm. 36. 270 Craig Calhoun, “Community without Propinquity Revisited: Communications Technology and
the Transformation of the Urban Public Sphere,” Sociological Inquiry, Vol. 68, No. 3 August 1998, pp. 373-397, (Austin: University of Texas), hlm. 377-378.
menjadi suatu arena diskursif.
Peraturan teknis tersebut hanya
memberikan pilihan forum dialog
dengan publik tanpa disertai dengan
pengaturan yang lebih esensial
mengenai representasi yang sangat
berkepentingan dengan legitimasi
suatu kebijakan. Representasi ini
berkaitan dengan bagaimana forum
tersebut diselenggarakan dan hak-hak
setiap pihak yang terlibat di dalamnya
termasuk jika memiliki keberatan
terhadap data dan informasi, analisis,
maupun keputusan yang diambil.
Dengan pendekatan post-positivist¸
relasi antar subjek dan relasi antara
objek telaah dengan penelaah
(researcher and the researched)269 tidak
terilustrasikan dalam peraturan
tersebut yang seharusnya sudah cukup
merinci kualitas dan basis struktural
dari diskursus.270 Isu onto-epistemologi
dari subjektivitas penelaah memiliki
implikasi terhadap status dari
kebenaran yang disampaikan dalam
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
103
suatu diskursus publik. Isu metodologi
terletak pada subjektivitas dari objek
telaah yakni mengenai pentingnya
menemukan pengalaman yang terjadi
pada alam ‘life-world’ dengan
sedemikian representatif terhadap
kenyataan.271 Hal demikian esensial
untuk dijabarkan karena kondisi
masyarakat tidak setara dengan
berbagai kesenjangannya, terdapat
kelompok minoritas yang perlu
dilindungi dari tirani mayoritas dan
menciptakan kesempatan yang
beragam dalam diskursus publik.272
III. Persepsi Geografi Kritis atas
Penataan Kota: Trajektori Ideal
Studi geografi kritis merupakan
bagian dari studi kritis yang berupaya
untuk memahami secara rasional
segala karakter penindasan yang
terdapat di masyarakat dan
mendorong pembacanya turut
271 Alan Harding and Talja Blokland, op. cit., hlm. 37.
Bruno Latour dalam Sheila Jasanoff, States of Knowledge, menjelaskan bahwa pemisahan tersebut (nature-culture divide) adalah mekanisme komunitas barat memilah dari sekian banyak jaringan hibrida yang melandasi eksistensi kognitif dan material komunitasnya menjadi ‘alam’ dan ‘budaya’. 272 Craig Calhoun, op. cit, hlm. 386. 273 Nicholas Blomley, “Uncritical Critical Geography?”, Progress in Human Geography 30, 1 (2006),
hlm. 88. 274 Ibid., hlm. 92.
berkomitmen dalam praksis
transformatif yang membebaskan
korban penindasan dari segala bentuk
ketidakadilan.273 Secara khusus,
geografi kritis membuka disiplin
geografi untuk berinteraksi secara
intelektual dengan berbagai disiplin
lain yang dapat menguraikan
penindasan maupun kesenjangan yang
terjadi sekaligus membentuk kembali
konsep tentang kemungkinan relasi
sosio-spasial. Lebih jauh dari
identifikasi ilmiah dan penjabaran
teoretis, studi geografi kritis
berkomitmen untuk melakukan
transformasi melalui praksis progresif,
di antaranya dengan menjadikan
pengetahuan sebagai katalis
pemberdayaan untuk melawan
penindasan dan mewujudkan imajinasi
ruang yang setara.274
Salah satu gagasan paling penting
dalam praktik dan teori pengetahuan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
104
dan pemerintahan (knowledge and
governance) adalah ko-produksi yang
diusung oleh Jasanoff. Ko-produksi
sejalan dengan studi geografi kritis
dalam menjadikan pengetahuan
sebagai salah satu modalitas
pemberdayaan untuk mewujudkan
ruang yang setara. Hal ini karena ko-
produksi memiliki suatu persepsi
utama dimana pengetahuan, tindakan,
dan identitas bersifat saling bergantung
dan berpengaruh satu sama lain.275
Jasanoff menjelaskan, presentasi
dari fakta dan hipotesis ilmiah kerap
diterapkan secara beragam (multifacade)
bergantung dengan identitas sang
penutur dan peserta-kepada siapa
gagasan tersebut disampaikan.276
Objektivitas pengetahuan ketika
diterapkan dalam perumusan
kebijakan publik, dengan sendirinya
menempatkan pengetahuan itu sendiri
dalam kontestasi. Hal ini karena
perumusan kebijakan publik dalam
49 Sheila Jasanoff, The Idiom of Co-production dalam Sheila Jasanoff (ed.), States of Knowledge: The Co-
Production of Science and Social Order, (New York: Routledge, 2004), hlm. 3-11. 276 Sheila Jasanoff, “Contested Boundaries in Policy-Relevant Science”, Social Studies of Science, Vol.
17 No. 2 (May 1987), pp. 195-230, hlm. 195-197. 277 Ibid., hlm. 198-209. 278 Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 112.
suatu pemerintahan memiliki kerangka
proses yang juga diciptakan oleh
politik dan menjadi manifes suatu
kekuasaan formal dengan
dilembagakannya ke dalam suatu
peraturan perundang-undangan
tertentu yang mengatur siapa saja
aktor-aktor yang dilibatkan, bagaimana
mereka terlibat (hak, kewajiban, alur,
proses), dan sejauh apa dialektika
dimungkinkan di dalamnya.277
Penataan ruang sebagai salah satu
perumusan kebijakan publik perlu
memikirkan bagaimana elemen-elemen
tersebut hendak dikonstruksikan.
Salah satu pengonsepan ulang
yang merupakan bagian dari tradisi
intelektual kritis ini dilakukan oleh
Henri Lefebvre terhadap ruang.
Menurutnya, ruang bukan semata
kenyataan material pasif yang bebas
nilai terhadap segala yang terjadi di
dalamnya.278 Pengonsepan ulang yang
dilakukan oleh Lefebvre menghasilkan
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
105
3 (tiga) wujud ruang, yaitu:279 1) space as
perceived (representation of space)
menjelaskan representasi sebagai
bentuk instrumental dari pengetahuan
yang secara inheren mereduksi
pengalaman empiris untuk
menghadirkan representasi terbatas
dan biasanya narasi ini disampaikan
dalam bentuk tulisan;280 2) space as
conceived (representational space) yakni
ruang sebagai suatu dimensi empiris
yang menjadi tempat hidupnya
berbagai material substantif sekaligus
simbolis dan biasanya terwujud
melalui seni atau penggambaran
manusia terhadap ruang yang dekat
secara emosional dengan
kesehariannya;281 dan 3) space as lived
(spatial practice/phenomenological space)
pada pengertian ini ruang dipahami
dalam dimensi proseduralnya yakni
sebagai suatu format sosio-spasial yang
279 Ibid., hlm. 33 bandingkan dengan Alan Harding and Talja Blokland, op. cit, hlm. 176. 280 Henri Lefebvre, op. cit, hlm. 43-47, 163-164. Lefebvre juga menyatakan dalam hlm. 230:
“The object of knowledge is, precisely, the fragmented and uncertain connection between elaborated representations of space on the one hand and representational spaces (along with their underpinnings) on the other; and this object implies (and explains) a subject—that subject in whom lived, perceived and conceived (known) come together within a spatial practice. ‘Our’ space thus remais qualified (and qualifying) beneath the sediments left behind by history, by accumulation and by quantification.”
281 Ibid., hlm. 33 dan hlm. 41-42. 282 Ibid., hlm. 33, 42-45, 64, dan 298. 283 Neil Brenner and Christian Schmid, “Towards a New Epistemology of the Urban?”, City:
Analysis of Urban Trends, Culture, Theory, Policy, and Action, 19:2-3 (2015), pp. 151-182, hlm. 155.
secara dialektis memproduksi,
diproduksi, dan direproduksi. Sebagai
suatu kenyataan fenomenologis,
menurut Lefebvre, ruang terlebih
dahulu dialami sebelum dikonsepsikan
dengan perpaduan ideologi dan
pengetahuan dalam suatu praksis
sosial.282
Ketiga wujud ruang tersebut
merupakan dukungan argumentatif
dari pandangan yang disampaikan
Lefebvre yang menyatakan bahwa saat
ini ruang perlu dibayangkan dan
dikonsepsi kembali sebagai suatu
prasyarat politik dan epistemologi
untuk memahami masyarakat.283
Sayangnya, secara akademis sekalipun,
baik studi geografi kritis maupun
urban kritis di Indonesia masih menjadi
titik buta. Padahal, untuk dapat
menentukan modus produksi ruang
yang sesuai dengan konstitusi spasial,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
106
sejarah, dan perubahan yang
berlangsung, perlu perjuangan kolektif
yang melintasi batasan-batasan disiplin
untuk membedah dan memahami
berbagai hal yang relevan.
Pembedahan ini dilakukan terutama
dengan menghadirkan kelompok
rentan yang teralienasi karena sistem
atau kooptasi dominan tertentu, ke
dalam diskursus publik.284
Tren perumusan kebijakan berbasis
bukti pada dasarnya membuka potensi
bagi aktivitas ilmu pengetahuan untuk
menjadi alat yang menghadirkan
persepsi lain dan menyetarakan
kekuasaan narasi dominan. Di sisi lain,
perumusan kebijakan berbasis bukti
pada dasarnya juga dapat lebih jauh
mengasingkan kenyataan kelompok
terpinggir karena status quo
penguasaan ilmu pengetahuan pun
berada pada tangan yang sama dengan
multi-nodal superiority dari kapital dan
politik yang memiliki kemampuan
untuk menjaga eksklusivitas sumber
284 David Harvey, Op. Cit, hlm. 261-262. 285 Sheila Jasanoff, op. cit, hlm. 2. 286 Karl Marx, Capital: Critic of Political Economy, (London: Penguin Classics, 2004), hlm. 875 287 Alan Harding dan Talja Blokland, Op. Cit, hlm. 35.
daya untuk kepentingannya, termasuk
ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
terlihat misalnya dari cari pandang
yang hanya mengakui metodologi
restriktif dalam perumusan kebijakan
berbasis bukti.285 Untuk itu, perlu
disadari bahwa ilmu pengetahuan
yang menjadi bahan pokok dalam
perumusan kebijakan berbasis bukti ini
diakui sebagai suatu sumber daya yang
perlu dikuasai secara adil agar dalam
konteks ko-produksi kebijakan berbasis
bukti, publik yang merupakan
produsen tidak terceraikan dari sarana
produksinya.286
Lebih jauh lagi, kritik-kritik
Marxist soal penguasaan ilmu
pengetahuan juga pada pokoknya
mengetengahkan fungsi pengetahuan
sebagai suatu agensi yang oleh
karenanya tidak hanya semata-mata
berfokus pada penemuan kebenaran
objektif, melainkan perlu juga untuk
memperhatikan aspek-aspek
subjektif.287 Oleh karenanya, untuk
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
107
menghindarkan dari bencana
“akumulasi dengan perampasan”
(accumulation by dispossesion)288
sebagaimana yang telah terjadi pada
berbagai sarana produksi lainnya, ilmu
pengetahuan—termasuk metodologi
dan riset yang menjadi sarana politis—
dalam diskursus publik yang
dilakukan dengan pluralisasi pusat-
pusat deliberasi politik itu sendiri.289
Kota sebagai suatu ruang,
merupakan kenyataan substansial
sekaligus arena diskursif yang terus
memproduksi dan mereproduksi
maknanya secara kolektif.290 Dengan
demikian, pendekatan teori urban
kritis, dalam wujud abstrak kota ini
memberikan kesempatan untuk
288 David Harvey, Spaces of Capital: Towards a Critical Geography, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 2001), hlm. 281. 289 Myra Marx Ferree, et. al., “Four Models of the Public Sphere in Modern Democracies,” Theory
and Society 31 (2002), hlm. 300. 290 Henri Lefebvre, Op. Cit, hlm. 402-405. 291 Neil Brenner, What is Critical Urban Theory?, in Neil Brenner (ed.), Cities for People, Not For Profit,
(New York: Routledge, 2012), hlm. 22. “It insists that another, more democratic, socially just, and sustainable form of urbanization is possible, even if such possibilities are currently being suppressed through dominant institutional arrangements, practices, and ideologies. In short, critical urban theory involves the critique of ideology (including social-scientific ideologies) and the critique of power, inequality, injustice, and exploitatopm, at once within and among cities.”
292David Harvey, Justice, Nature and The Geography of Difference, (Oxford: Blackwell, 1996), hlm. 296 bandingkan dengan. Henri Lefebvre. Op.cit., hlm. 112.
293 Andy Merrifield, “The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian Reconceptualization,” City, Vol. 15 Nos. 3-4, June-August (2011), hlm. 472.
294 Benedict Spinoza, Theological-Political Treatise, Ed. Jonathan Israel, Trans. Michael Silverthorne and Jonathan Israel, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007) hlm. 202.
membayangkan kembali konsep kota
yang ideal.291 Perencanaan tata kota
merupakan salah satu arena
perumusan kebijakan publik yang
dapat menjadi sarana bagi masyarakat
untuk melakukan perlawanan atau
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Peran ini diperlukan untuk
mewujudkan kehendak kolektifnya
dalam membentuk kota sebagai suatu
lanskap politik dan merealisasikan
imajinasi keruangannya.292
Perencanaan tata kota merupakan
suatu praksis aktif293 dimana
masyarakat baik secara individual
maupun kolektif berdemokrasi untuk
mewujudkan kesetaraan.294
Perencanaan tata kota sebagai praksis
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
108
aktif juga disampaikan oleh Fainstein
yang mengutarakan bahwa hal tersebut
merupakan tindakan berkesadaran
dalam menentukan tujuan dan cara
perkembangan suatu kota atau wilayah
urban. Menurut Fainstein, praksis aktif
tersebut mengutamakan pada
mekanisme perumusan kebijakan yang
ditentukan secara kolektif.295
Menurut telaah teori kritis296
perencanaan tata kota tidak tidak
hanya dilakukan dengan menentukan
tujuan atau imajinasi tata kota secara
kolektif saja, tetapi juga dengan
menentukan mekanisme perumusan
tujuan itu secara kolektif berdasarkan
nilai kesetaraan, demokrasi,
keberagaman, dan mutualitas.297 Maka,
penting untuk merumuskan bersama
bagaimana perencanaan tata kota pada
khususnya dapat memastikan bahwa
secara prosedural, masyarakat,
pemerintah, dan berbagai pemangku
295 Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, dalam Sophie Body-Gendrot and Robert
Beauregard (eds)., The Urban Moment, (Thousand Oaks: Sage, 1999), hlm. 249-250. 296 Fainstein dalam Susan Fainstein, Justice, Politics and the Creation of Urban Space, pp. 18-44, dalam
Andy Merrifield and Erik Swyngendouw, eds., The Urbanization of Injustice, (New York: New York University Press, 1997), menguraikan bahwa secara umum pendekatan teori kritis terhadap studi urban kontemporer mencakup tiga pendekatan yaitu: 1) ekonomi politik, 2) pascastrukturalisme, dan 3) populisme urban.
297 Susan Fainstein, Can We Make the Cities We Want?, op. cit. hlm. 250 298 Ibid., hlm. 249.
kepentingan dengan setara dapat
menjalani diskursus tersebut. Hal ini
juga penting untuk mendapatkan akses
yang setara ke berbagai sumber daya
yang relevan seperti informasi publik
dan akuntabilitas sumber daya yang
menjadi bahan pertimbangan
pengambilan keputusan dalam
penataan kota. Artinya, peraturan
perundang-undangan yang menjadi
pedoman penataan kota selain
mengatur kewenangan pemerintah
dalam bidang tersebut perlu juga
mengatur hak masyarakat dalam
penataan kota. Hak ini antara lain
mencakup prosedural keterlibatan
pada penataan kota dan juga hak
substantif lainnya yang berkaitan
dengan penataan kota seperti hak atas
tanah, akses terhadap ruang publik,
informasi publik, layanan perkotaan,
dan kualitas lingkungan hidup yang
layak.298
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
109
Pentingnya pelibatan masyarakat
secara aktif dalam berbagai bidang
pemerintahan termasuk tata ruang
memiliki urgensi dari aspek peran
keaktoran dalam kewarganegaraan
(citizenship). Peran masyarakat perlu
lebih jauh dilembagakan dalam
penataan kelembagaan serta dimensi
normatif dari reformasi hukum dan
politik yang tuntutannya saat ini
semakin meningkat. Kelestarian dan
kualitas demokrasi kontemporer
sangat mengandalkan desain
institusional dan kultur wargawi299
yang aktif.300 Hal ini selain perlu
dilembagakan dengan kokoh juga
perlu dipertahankan termasuk dengan
cara yang memungkinkan masyarakat
untuk terlibat dalam membentuk dan
menguji institusi beserta keputusan
yang dibuatnya.
299 Wargawi adalah kultur yang terbangun secara dinamis oleh komunitas yang menjadi warga. 300 Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx Sampai
Agamben, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017), hlm. 16. 301 Andy Merrifield, “The Right to The City and Beyond: Notes on a Lefebvrian
Reconceptualization,” City, Vol. 15 No. 3-4, June-August 2011, hlm. 469-473.
IV. Penutup: Ko-produksi Ruang
dalam Trajektori Hukum
Penataan Kota Indonesia
Ko-produksi yang dituturkan oleh
Jasanoff mengetengahkan poin penting
mengenai perumusan kebijakan yang
dalam hal ini adalah penataan kota
berbasis bukti (evidence-based city
planning) untuk mengarah ke
peningkatan diskursus dan
representasi. Sebagaimana Jasanoff
mengutip Sartre, kegagalan untuk
menghadirkan representasi dan
diskursus hanya akan menjadikan
perumusan kebijakan publik yang
practico-inert dimana penataan kota
menjadi sarana kebijakan publik yang
dilakukan oleh penguasa untuk
meminggirkan masyarakat. Lebih
spesifik lagi, sebagaimana yang
dituturkan oleh Merrifield, kegagalan
membentuk kultur penataan kota
sebagai suatu praksis aktif hanya akan
mewujudkan kota sebagai suatu
totalitas pasif.301
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
110
Jasanoff dan jejak pemikiran
geografi kritis menyimpulkan bahwa
pengetahuan, sebagai salah satu
modalitas penataan kota, dapat
dikelola menjadi suatu kekuatan yang
refleksif dan mengkonsolidasi
kekuasaan. Gagasan ideal ini juga telah
disinggung oleh Lefebvre yaitu
penataan ruang sebagai suatu praksis
yang dapat membaurkan berbagai
dimensi praksis secara bersamaan,
terutama untuk menjadi tindakan
afirmatif terhadap kelompok yang
secara representatif dan empiris
mengalami diskriminasi.302
Terakhir, kedua ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam
bidang penataan kota yang berlaku di
Indonesia sebagaimana diulas dalam
tulisan ini belum mengakomodasi
syarat institusional diskursus ideal
tersebut. Sebagian besar ketentuan
perundang-undangan masih sebatas
mengatur tentang kewenangan yang
dimiliki pemerintah dalam penataan
ruang dan mengakui adanya hak
masyarakat untuk terlibat. Sehingga,
302 Henri Lefebvre, Metaphilosophy, (London: Verso, 2016), hlm. 77.
untuk berkomitmen dalam penataan
ruang sebagai suatu praksis aktif,
pengaturan mengenai dimensi hak
prosedural dalam penataan ruang
penting untuk diatur dan diterapkan
agar medium prosedural tersebut
dapat berperan efektif pula sebagai
suatu ruang demokrasi produksi ruang
yang memberdayakan.
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
111
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Penataan
Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN
No.68 Tahun 2007, TLN No. 4725.
Indonesia, Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional tentang
Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, Kabupaten dan
Kota, Nomor PM 1 Tahun 2018.
Buku
Agger, Ben. Critical Social Theories: An
Introduction. Boulder: Westview
Press. 1998.
Allmendinger, Phillip. Planning in Post
Modern Time. New York:
Routledge. 2001.
Bassett, Sarah Mina. The Role of Spatial
Justice in The Regeneration of
Urban Spaces. Illinois: University
of Illinois. 2013.
Brenner, Neil. Cities for People, Not for
Profit: Critical Urban Theory and
the Right to the City. Edited by
Margit Mayer, Neil Brenner and
Peter Marcuse. New York:
Routledge. 2012.
Brown, Alison, and Annali Kristiansen.
Urban Policies and the Right to the
City: Rights, Responsibilities, and
Citizenship. Geneva: UNESCO
and UN Habitat. 2009.
Cartwright, Nancy. Evidence for Policy
and Wheresoever Rigor is a Must.
London: The London School of
Economics and Political Science.
2012.
Certau, Michel de. The Practice of
Everyday Life. Berkeley:
University of California Press.
1984.
Chadwick, George. A Systems View of
Planning Theory: Towards a
Theory of the Urban and Regional
Planning Process. Oxford:
Pengamon Press. 1981.
Craig(ed.), Calhoun. Habermas and the
Public Sphere. Cambridge, MA:
MIT Press. 1992.
Goldblum, Charles. Urban Policies in
South-East Asia: Questioning the
Right to the City. Geneva:
UNESCO and UN Habitat. 2006.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
112
Habermas, Jürgen. Between Facts and
Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and
Democracy. Cambridge, MA:
MIT Press. 1996.
_____. Postmetaphysical Thinking.
Cambridge, MA: MIT Press.
1994.
Harding, Alan, and Talja Blokland.
Urban Theory: A Critical
Introduction to Power, Cities, and
Urbanism in the 21st Century.
London: Sage Publisher. 2014.
Harvey, David. Justice, Nature, and the
Geography of Difference. Oxford:
Blackwell. 1996.
_____. Social Justice and the City. Revised
Edition. London: The University
of Georgia Press. 2009.
_____. Spaces of Capital: Towards a
Critical Geography. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
2001.
Hubbard, Phil. et. al. Thinking
Geographically: Space, Theory and
Contemporary Human Geography.
London: Bloomsbury
Publishing. 2002.
Hunter, Floyd. Community Power
Structure: A Study of Decision
Makers. Chapel Hill: University
of North Carolina Press. 1953.
Jasanoff, Sheila. States of Knowledge: The
Co-Production of Science and Social
Order. New York: Routledge.
2004.
Jasanoff, Sheila. "The Idiom of Co-
Production ." In States of
Knowledge: The Co-Production of
Science and Social Order, by Sheila
Jasanoff (ed.). New York:
Routlegde. 2004.
Latour, Bruno. Reassembling the Social:
An Introduction to Actor-Network-
Theory. New York: Oxford
University Press. 2007.
Lefebvre, Henri. Metaphilosophy.
London: Verso. 2016.
_____. The Production of Space.
Massachusetts: Blackwell. 1991.
Marx, Karl. Capital: Critic of Political
Economy. London: Penguin
Classics. 2004.
Merrifield, Andy, and Erik
Swyngendouw (eds.). The
Urbanization of Injustice. New
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
113
York: New York University
Press. 1997.
Nursadi, Harsanto. Hukum Administrasi
Negara Sektoral, Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2016.
Palermo, Pier Carlo, dan David
Ponzini. Spatial Planning and
Urban Development: Critical
Perspectives. New York:
Springer. 2010.
Robet, Robertus, and Hendrik Boli
Tobi. Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx
sampai Agamben. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri. 2017.
Sager, Tore. Collective Action: Balancing
Public and Particularistic Interests.
dalam The Oxford Handbook of
Urban Planning, by Rachel
Weber and Randall Crane, 26-41.
New York: Oxford University
Press. 2012.
Sen, Amartya. Identity and Violence.
London: Penguin Books. 2006.
Soja, Edward. Seeking Spatial Justice.
Minneapolis: University of
Minnesota Press. 2010.
Spinoza, Benedict. Theological-Political
Treatise. Edited by Jonathan
Israel. Translated by Michael
Silverthorne and Jonathan Israel.
Cambridge: Cambridge
University Press. 2007.
Tonkiss, Fran. Space, the City and Social
Theory: Social Relations and Urban
Forms. Cambridge: Polity. 2005.
Weber, Rachel, and Randall Crane. The
Oxford Handbook of Urban
Planning. New York: Oxford
University Press. 2012.
Artikel
Agger, B. (1998). Critical Social Theories:
An Introduction. Boulder:
Westview Press.
Allmendinger, P. (2001). Planning in
Post Modern Time. New York:
Routledge.
Bassett, S. M. (2013). The Role of Spatial
Justice in The Regeneration of
Urban Spaces. Illinois: University
of Illinois.
Blomley, N. (2006). Uncritical Critical
Geography? Progress in Human
Geography, 30, 87-94.
Brenner, N., & Schmid, C. (2015).
Towards a New Epistemology
of the Urban? City: Analysis of
Urban Trends, Culture, Theory,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
114
Policy, and Action, 19(2-3), 151-
182.
Brown, A., & Kristiansen, A. (2009).
Urban Policies and the Right to the
City: Rights, Responsibilities, and
Citizenship. Geneva: UNESCO
and UN Habitat.
Calhoun, C. (1998, August).
Community without
Propinquity Revisited:
Communications Technology
and the Transformation of the
Urban Public Sphere.
Sociological Inquiry, 68(3), 373-
397.
Cartwright, N. (2012). Evidence for
Policy and Wheresoever Rigor is a
Must. London: The London
School of Economics and
Political Science.
Certau, M. d. (1984). The Practice of
Everyday Life. Berkeley:
University of California Press.
Chadwick, G. (1981). A Systems View of
Planning Theory: Towards a
Theory of the Urban and Regional
Planning Process. Oxford:
Pengamon Press.
Craig(ed.), C. (1992). Habermas and the
Public Sphere. Cambridge, MA:
MIT Press.
Elliott, M. (2014). History and Theories
of Planning. School of City and
Regional Planning Georgia
Technological University. Atlanta.
Fainstein, S. (1997). Justice, Politics and
the Creation of Urban Space. In
A. Merrifield, & E.
Swyngendouw (eds.), The
Urbanization of Injustice (pp. 18-
44). New York: New York
University Press.
Ferree, M. M., Gamson, W. A.,
Gerhards, J., & Rucht, D. (2002).
Four Models of the Public
Sphere in Modern Democracies.
Theory and Society, 31, 289-324.
Goldblum, C. (2006). Urban Policies in
South-East Asia: Questioning the
Right to the City. Geneva:
UNESCO and UN Habitat.
Habermas, J. (1994). Postmetaphysical
Thinking. Cambridge, MA: MIT
Press.
Habermas, J. (1996). Between Facts and
Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and
Democracy. Cambridge, MA:
MIT Press.
Harding, A., & Blokland, T. (2014).
Urban Theory: A Critical
Introduction to Power, Cities, and
Urbanism in the 21st Century.
London: Sage Publisher.
Harvey, D. (1996). Justice, Nature, and
the Geography of Difference.
Oxford: Blackwell.
Harvey, D. (2001). Spaces of Capital:
Towards a Critical Geography.
Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Shafira Anindita Alif Hexagraha TRAJEKTORI KO-PRODUKSI KOTA DI INDONESIA: TELAAH GEOGRAFI KRITIS
115
Harvey, D. (2009). Social Justice and the
City (Revised Edition ed.).
London: The University of
Georgia Press.
Hubbard, P., Bartley, B., Fuller, D., &
Kitchin, R. (2002). Thinking
Geographically: Space, Theory and
Contemporary Human Geography.
London: Bloomsbury
Publishing.
Hunter, F. (1953). Community Power
Structure: A Study of Decision
Makers. Chapel Hill: University
of North Carolina Press.
Jasanoff, S. (2004). States of Knowledge:
The Co-Production of Science and
Social Order. New York:
Routledge.
Jasanoff, S. (2004). The Idiom of Co-
Production . In S. J. (ed.), States
of Knowledge: The Co-Production
of Science and Social Order. New
York: Routlegde.
Latour, B. (2007). Reassembling the
Social: An Introduction to Actor-
Network-Theory. New York:
Oxford University Press.
Lefebvre, H. (1991). The Production of
Space. Massachusetts: Blackwell.
Lefebvre, H. (2016). Metaphilosophy.
London: Verso.
Marx, K. (2004). Capital: Critic of
Political Economy. London:
Penguin Classics.
Merrifield, A. (2011, June-August). The
Right to the City and Beyond:
Notes on a Lefebvrian
Reconceptualization. City, 15(3-
4), 468-476.
Merrifield, A., & Swyngendouw (eds.),
E. (1997). The Urbanization of
Injustice. New York: New York
University Press.
Nursadi, H. (2016). Hukum
Administrasi Negara Sektoral:
Tindakan Administrasi Negara.
In H. N. (ed.), Hukum
Administrasi Negara Sektoral.
Depok: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Palermo, P. C., & Ponzini, D. (2010).
Spatial Planning and Urban
Development: Critical Perspectives.
New York: Springer.
Robet, R., & Boli Tobi, H. (2017).
Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx
sampai Agamben. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri.
Sager, T. (2012). Collective Action:
Balancing Public and
Particularistic Interests. In R.
Weber, & R. Crane, The Oxford
Handbook of Urban Planning (pp.
26-41). New York: Oxford
University Press.
Sen, A. (2006). Identity and Violence.
London: Penguin Books.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 88-116
116
Soja, E. (2010). Seeking Spatial Justice.
Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Spinoza, B. (2007). Theological-Political
Treatise. (J. Israel, Ed., M.
Silverthorne, & J. Israel, Trans.)
Cambridge: Cambridge
University Press.
Tonkiss, F. (2005). Space, the City and
Social Theory: Social Relations and
Urban Forms. Cambridge: Polity.
Weber, R., & Crane, R. (2012). The
Oxford Handbook of Urban
Planning. New York: Oxford
University Press.
117
Membedah Kebijakan Perencanaan Ketenagalistrikan di Indonesia
Grita Anindarini Widyaningsih303
I. Pendahuluan
Saat ini, tingginya angka emisi gas
rumah kaca menjadi fokus di berbagai
negara, termasuk Indonesia. Sebagai
pemicu adanya pemanasan global, dan
yang lebih jauh adalah perubahan
iklim, berbagai negara kini gencar
menginventarisasi dan melakukan
langkah-langkah strategis untuk
mengendalikan tingginya angka
tersebut. Indonesia sendiri, menurut
dokumen strategi penerapan Nationally
Determined Contribution (NDC),
nyatanya telah mencapai 1.334 M Ton
CO2e per 2010 untuk angka emisi gas
rumah kaca304. Tidak hanya itu, angka
ini diperkirakan akan meningkat 3,9%
pada tahun 2030 dan akan semakin
meningkatkan risiko naiknya
temperatur global kedepannya.
Sebagai tindak lanjut dari
permasalahan ini, Indonesia telah
berkomitmen untuk berusaha
303 Penulis adalah Asisten Peneliti Indonesian Center for Environmental Law 304 Nur Masripatin, et.al. Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution, (Jakarta: KLHK,
2017), hlm. 9.
menurunkan emisi gas rumah kaca
dengan mengadopsi Paris Agreement to
the United Nations Framework Convention
on Climate Change dan meratifikasinya
melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang
Pengesahan Paris Agreement to the
United Nations Framework Convention on
Climate Change (Persetujuan Paris atas
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim). Adapun fokus dari konvensi
tersebut adalah menahan kenaikan
suhu rata-rata global di bawah 20C di
atas tingkat di masa pra-industrialisasi
dan melanjutkan upaya untuk
menekan kenaikan suhu 1,50C di atas
tingkat pra-industrialisasi.
Lebih jauh, adanya komitmen dari
Paris Agreement tersebut kemudian
diejawantahkan dalam Nationally
Determined Contribution. Dalam
dokumen ini, Indonesia
menyampaikan komitmen untuk
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
118
menurunkan emisi gas rumah kaca
(mitigasi) pada tahun 2030 sebesar 29%
dengan kemampuan sendiri dan
sampai dengan 41% bila dengan
dukungan internasional, dibandingkan
dengan tanpa aksi mitigasi305.
Terdapat 5 (lima) sektor yang
menjadi fokus upaya penurunan emisi
tersebut, yakni kehutanan, energi,
pertanian, industri, dan limbah. Dari
kelima sektor tersebut, sektor energi
menempati peringkat kontribusi kedua
dalam upaya penurunan emisi, yakni
11%. Hal ini diperlukan karena
memang tingkat emisi yang dihasilkan
dari sektor energi mencapai 453,2
MTON CO2e per 2010 dengan rata-rata
pertumbuhan tahunan tertinggi hingga
20 tahun ke depan, yakni 6,7%306.
Melihat hal tersebut, NDC 2017 telah
menetapkan arahan untuk
dekarbonisasi dalam pengembangan
energi ke depannya.
Tentunya, komitmen NDC ini
perlu untuk diterjemahkan dalam
dokumen-dokumen perencanaan
energi, khususnya sektor
305 Ibid., hlm. 8.
306 Ibid., hlm. 9.
ketenagalistrikan yang sejalan dengan
komitmen tersebut. Adapun dalam
pemaparan dokumen NDC, untuk
usaha mitigasi dari sektor energi
mengacu pada penetapan yang ada di
dalam Kebijakan Energi Nasional.
Kebijakan ini menetapkan bahwa
dalam hal bauran penyediaan energi
utama, setidaknya harus
mengakomodir 23% dari energi
terbarukan pada tahun 2025.
Untuk mencapai target tersebut,
Penulis berpendapat bahwa perlu
melihat bagaimana perencanaan
proyek ketenagalistrikan di Indonesia.
Adapun perencanaan proyek
ketenagalistrikan di Indonesia
didasarkan atas 4 (empat) dokumen
perencanaan, yakni:
a) Kebijakan Energi Nasional
(KEN): KEN adalah sebuah
kebijakan pengelolaan energi
yang memuat tujuan, sasaran,
hingga arah kebijakan energi
nasional. Adapun kebijakan ini
ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
119
2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional;
b) Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN): RUEN
adalah sebuah dokumen yang
berisi tentang penjabaran lebih
rinci dari KEN, dan memuat
kondisi energi nasional saat ini
serta ekspektasi masa
mendatang, hingga kebijakan
dan strategi pengelolaan energi
nasional. Ditetapkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2017 tentang Rencana
Umum Energi Nasional, RUEN
kemudian telah
mengidentifikasi potensi
sumber daya energi per
provinsi dan target
pembangunan pembangkit
listrik tersebut hingga tahun
2050;
c) Rencana Umum
Ketenagalistrikan Nasional
(RUKN): RUKN merupakan
sebuah dokumen yang bersifat
indikatif yang berisikan
tentang rencana
pengembangan penyediaan
tenaga listrik ke depan, kondisi
penyediaan tenaga listrik saat
ini, proyeksi kebutuhan tenaga
listrik untuk 20 (dua puluh)
tahun ke depan, dan potensi
sumber energi primer di
wilayah provinsi tersebut.
Adapun hingga saat ini RUKN
belum ditetapkan, meskipun
rancangan final dari dokumen
terkait telah dapat diakses
bebas. Oleh karena itu, artikel
ini menggunakan rancangan
RUKN tahun 2018 sebagai
bahan analisis;
d) Rencana Umum Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL):
RUPTL merupakan dokumen
yang berisi daftar proyek
infrastruktur penyediaan
tenaga listrik. Dokumen ini
merupakan pedoman
pengembangan sistem tenaga
listrik di wilayah usaha PLN
untuk sepuluh tahun
mendatang. Adapun RUPTL
yang menjadi acuan artikel ini
adalah RUPTL 2018-2027, yang
disahkan dalam Keputusan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
120
Menteri ESDM No. 1567
K/21/MEM/2018.
Berangkat dari hal tersebut, artikel
ini bertujuan untuk mengkaji apakah
arah kebijakan ketenagalistrikan di
Indonesia dalam dokumen-dokumen
tersebut telah sejalan satu dengan
lainnya? Lebih jauh, artikel ini juga
mengkaji apakah perencanaan
ketenagalistrikan di Indonesia juga
telah sesuai dengan target yang ingin
dicapai dalam dokumen NDC?
Sebagai pengecualian, perlu untuk
dipahami bahwa penyusunan rencana
untuk penyediaan tenaga listrik
dibedakan menjadi 2 (dua), yakni
penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum dan penyediaan
tenaga listrik yang dilakukan secara
terintegrasi dalam 1 (satu) wilayah
usaha oleh satu badan usaha307. Untuk
mempersempit lingkup pembahasan
dalam artikel ini, pengaturan terkait
perencanaan ketenagalistrikan yang
307 Indonesia (a), Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 2012, LN No. 28 tahun 2012, TLN No. 5281, Ps. 7 juncto Indonesia (b) Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, PP No. 23 Tahun 2014, LN No. 75 Tahun 2014, TLN No. 5530, Ps. 8.
akan dibahas terbatas pada yang terkait
dengan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum.
II. Arah Kebijakan Perencanaan
Ketenagalistrikan di Indonesia
Menurut Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014
tentang Kegiatan Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik, penyusunan rencana
penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum ini dilaksanakan
sesuai dengan Rencana Umum
Ketenagalistrikan dan RUPTL. Lebih
jauh, Rencana Umum
Ketenagalistrikan ini dibagi menjadi 2
(dua), yakni RUKN dan Rencana
Umum Ketenagalistrikan Daerah
(RUKD).
Apabila ditilik kembali ke dasar
hukumnya, Pasal 8 ayat (3) PP No. 23
Tahun 2014 menjelaskan bahwa RUKN
itu sendiri disusun berdasarkan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan
Rencana Umum Energi Nasional
(RUEN). Adapun terkait dengan
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
121
RUPTL, secara implisit dijelaskan
dalam RUEN bahwa RUEN berfungsi
sebagai rujukan dalam penyusunan
RUPTL. Meskipun masih ada
kerancuan akibat hukum dari
terminologi “disusun berdasarkan”
dan “sebagai rujukan” dalam
konstruksi pengaturan tersebut,
setidaknya perlu ada garis merah arah
kebijakan perencanaan
ketenagalistrikan di Indonesia dalam
keempat dokumen tersebut.
Untuk mengkaji konsistensi arah
kebijakan perencanaan
ketenagalistrikan tersebut, tulisan ini
mencoba untuk berangkat dari
pendekatan Energy Trilemma Index (ETI)
yang dipublikasikan oleh World Energy
Council untuk mengukur performa
kebijakan energi di masing-masing
negara. Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga)
dimensi untuk mengukur indeks ini,
yakni308:
(1) Energy Security: bagaimana
manajemen penyediaan
energi dari dalam negeri
maupun dari sumber
308 Lianlian Song, et.al., “Measuring National Energy Performance via Energy Trilemma Index: A
Stochastic Multicriteria Acceptability Analysis”, Energy Economics (2017), hlm. 313.
eksternal. Selain itu juga
bagaimana ketersediaan
infrastruktur dan sejauh apa
keterlibatan perusahaan di
bidang energi untuk dapat
berpartisipasi memenuhi
permintaan energi untuk
sekarang dan akan datang;
(2) Energy Equity: bagaimana
keterjangkauan dan
aksesibilitas warga negara
tersebut terhadap
penyediaan energi; serta
(3) Environmental Sustainability:
bagaimana pencapaian
terhadap efisiensi energi dan
pengembangan terhadap
energi terbarukan atau
energi rendah emisi.
Apabila diterjemahkan ke dalam
dokumen perencanaan energi dan
ketenagalistrikan di Indonesia terkait
dengan langkah-langkah untuk
memenuhi seluruh aspek dalam ETI
tersebut, maka arah kebijakan
pengembangan energi dan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
122
ketenagalistrikan di Indonesia dapat
dipetakan sebagai berikut:
Aspek
KEN RUEN
Energy
Security309
a) Pengembangan Energi dengan
mengutamakan sumber daya
energi setempat;
b) Pengembangan Energi dan
Sumber Daya Energi
diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan energi
dalam negeri;
c) Menggunakan batubara
sebagai andalan pasokan
energi nasional dan
meminimalkan penggunaan
minyak bumi;
d) Sasaran dari kebijakan ini
adalah terpenuhinya kapasitas
pembangkit listrik pada tahun
2025 sekitar 115 GW dan tahun
2050 sekitar 430 GW serta
peran batu bara dalam bauran
energi primer minimal 30% di
tahun 2025 dan 25% di tahun
2050
a) Dalam hal menggunakan
batubara sebagai pasokan energi
nasional, RUEN terlihat
menempatkan batubara sebagai
opsi terakhir. Bahwa
berdasarkan lampiran RUEN,
dijelaskan bahwa setelah
memaksimalkan penggunaan
energi terbarukan,
meminimalkan penggunaan
minyak bumi dan
mengoptimalkan pemanfaatan
gas bumi dan energi baru,
kekurangan kebutuhan dalam
negeri dipenuhi dengan
batubara, khususnya dengan
teknologi energi bersih.
b) Dalam hal pemenuhan kapasitas
pembangkit masih mengacu
pada KEN yakni 115 GW pada
2025
309 World Energy Council, Membedah Perencanaan Ketenagalistrikan,
http://www.djk.esdm.go.id/pdf/Coffee%20Morning/Juli%202016/Membedah%20Perencanaan%20Ketenagalistrikan%20Nasional%20--%20Dr.%20Hardiv%20HS.pdf, diakses pada 18 Oktober 2018. Pada presentasi ini dijelaskan beberapa aspek untuk memenuhi energy security meliputi: a) Mengembangkan cross-border transaction, b) Mengembangkan energi rendah karbon dalam bauran energy mix nasional dan sesuai dengan kapasitas daerah setempat; c) Menumbuhkan investasi berskala besar untuk pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan; d)pengembangan energi efisiensi; e) Memastikan penyediaan energi yang berkelanjutan dan infrastruktur untuk mendukung pengembangan pembangkit tersebut. Adapun untuk membatasil lingkup artikel ini dan untuk menyelaraskan dengan isu terkait target dalam NDC, aspek energy security yang akan dibahas hanya terfokus pada pengembangan energi dengan mengoptimalkan potensi daerah setempat dan usaha untuk pengembangan energi rendah karbon.
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
123
Energy Equity 1) Memprioritaskan penyediaan
energi bagi masyarakat yang
belum memiliki akses
terhadap energi listrik, gas
rumah tangga, dan energi
untuk transportasi, industri,
dan pertanian;
2) Sasaran kebijakan ini adalah
tercapainya rasio elektrifikasi
sebesar 85% pada tahun 2015
dan mendekati 100% pada
tahun 2020
1) Adapun hal ini juga diukur dari
tercapainya rasio elektrifikasi
sebesar 100% pada 2020.
Environmental
Sustainability
1) Memaksimalkan penggunaan
energi terbarukan dengan
memperhatikan tingkat
keekonomian
2) Sasaran dari kebijakan ini
adalah tercapainya bauran
energi dari energi terbarukan
paling sedikit 23% pada tahun
2025 dan 31% pada tahun 2050.
1) Terkait dengan pengembangan
energi terbarukan, hal yang
perlu diperhatikan selain terkait
ke-ekonomian (harga), namun
juga perlu diperhatikan
lingkungan, peningkatan
aktivitas ekonomi, dan
penyerapan tenaga kerja
2) Dalam RUEN, ditetapkan
bahwa rencana jumlah total
pembangkit dari EBT adalah 45
GW310 atau sekitar 33% dari
total keseluruhan pembangkit
pada 2025. Oleh karena itu,
target pembangkit ini terlihat
ditetapkan lebih besar daripada
yang ada di KEN.
Tabel 1. Perbandingan Arah Kebijakan Energi dengan Energy Trilemma Index311
310 Adapun angka 45 GW tersebut dapat dicapai dari pemodelan sebagai berikut: a) Panas Bumi
7,2 GW; b) Air 17,9 GW; c) Minihidro dan Mikrohidro 3 GW; d) Bioenergi 5,5 GW; e) Surya 6,5 GW; f) Angin/Bayu 1,8 GW; dan g) Energi terbarukan lainnya 3,1 GW.
311 Data ini dihimpun oleh Penulis berdasarkan: a) Indonesia (c), Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, PP No. 79 Tahun 2014, LN No. 300 Tahun 2014, TLN No. 5609; dan b) Indonesia (d), Peraturan Presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional, LN No. 43 Tahun 2017.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
124
Dari data tersebut, dapat terlihat
bahwa pada dasarnya untuk
perencanaan ketenagalistrikan secara
umum, kebijakan dalam RUEN telah
menerjemahkan amanat-amanat yang
ada di dalam KEN dengan baik, bahkan
menargetkan pengembangan
pembangkit dari EBT secara lebih
ambisius daripada yang ditetapkan di
dalam KEN. Disamping itu, dengan
ditetapkannya batubara dengan
teknologi bersih sebagai opsi terakhir
sebagai pemenuhan energi nasional
setelah mempertimbangkan energi
terbarukan, juga menajamkan
komitmen RUEN untuk menggenjot
pengembangan energi terbarukan.
Namun, perlu diperhatikan bahwa
target pembangunan 45 GW yang
tercantum dalam RUEN kemudian
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok,
yakni: a) Committed Project, sebesar
26.632,7 MW atau 26 GW dan b)
Potential Project 18.520,5 MW atau 18
GW. Tidak jelas bagaimana penjelasan
dari adanya committed project dan
potential project ini. Sekalipun begitu,
apabila perencanaan ini hanya
bergantung pada committed project saja,
maka pada dasarnya perencanaan
dalam RUEN sudah sesuai dengan
amanat KEN, yakni 23% bauran untuk
energi primer.
Kini pertanyaannya adalah apakah
komitmen yang dibangun oleh KEN
dan RUEN ini kemudian
diterjemahkan secara sejalan dalam
dokumen pelaksananya, yakni RUKN
dan RUPTL? Terlebih ketika berbicara
mengenai RUPTL. Dalam dokumen ini,
target perencanaan yang dibangun
dalam KEN dan RUEN kemudian perlu
untuk diatur lebih lanjut per proyek
dalam RUPTL. Untuk itu, penting
untuk dikritisi dengan memperhatikan
Energy Trilemma Index, apakah
kebijakan dalam RUPTL dan nantinya
dalam RUKN telah disusun sejalan
dengan dokumen induknya? Lebih
jauh, perlu untuk ditilik lebih jauh pula
apakah rencana proyek pembangkit
yang ditetapkan dalam RUPTL telah
sejalan dengan komitmen penurunan
emisi gas rumah kaca yang tertera
dalam NDC Indonesia?
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
125
III. Mengulik RUKN dan RUPTL:
Apakah sejalan dengan dokumen
perencanaan induknya?
Bab ini mencoba menjawab
pertanyaan apakah kebijakan
perencanaan dalam RUKN dan RUPTL
telah disusun dengan
mempertimbangkan komitmen
perencanaan dokumen induknya
maupun potensi yang ada di masing-
masing daerah. Untuk itu, ETI tetap
digunakan sebagai alat analisis dalam
pembahasan ini. Karena tulisan ini
lebih terfokus pada bagaimana
perencanaan ketenagalistrikan di
Indonesia dapat dijadikan alat untuk
mengurangi jumlah emisi gas rumah
kaca, artikel ini akan lebih fokus pada
aspek energy security dan environmental
sustainability dalam indeks ETI
tersebut.
312 Christian Winzer, “Conceptualizing Energy Security”, EPRG Working Paper (University of
Cambridge, 2011), 4-5. Bahwa dalam artikel ini dijelaskan lebih lanjut beberapa hal berikut: a) Menurut Department of Energy and Climate Change (2009), security of supply ini dijelaskan sebagai
berikut: “Secure energy means that the risks of interruption to energy supply, are low” b) Menurut International Energy Agency (2001), security of demand dijelaskan sebagai berikut:
“Energy security is defined in terms of the physical availability of supplies to satisfy demand at a given price”
c) Menurut Noel dan Findlater (2010), terkait penyeimbangan antara supply dan demand dapat dijelaskan sebagai berikut: “Security of gas supply refers to the ability of a country’s energy supply system to meet final contracted energy demand in the event of a gas supply disruption”.
A. Membedah Aspek Energy
Security Dalam RUKN dan
RUPTL
Pada dasarnya, belum ada
kesepakatan tunggal terkait dengan
definisi Energy Security. Namun Winzer
membagi penjelasan terkait energy
security ke dalam 3 (tiga) hal, yakni: a)
Security of Supply; b) Security of Demand;
dan c) Kemampuan untuk
menyeimbangkan supply dan demand312.
Dalam artikel ini, telah dijelaskan
sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) hal
yang menjadi fokus dalam menilai
penerapan aspek energy security dalam
RUKN dan RUPTL. Pertama, apakah
kapasitas pembangkit yang
direncanakan untuk dibangun akan
mencapai 115 GW; Kedua, apakah
kedua dokumen perencanaan ini
benar-benar menggunakan potensi
sumber daya setempat sebagai
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
126
tumpuan untuk pengembangan
pembangkit listrik di daerah tersebut.
Adapun untuk memenuhi aspek
kedua, hal yang penting untuk
dipertimbangkan adalah apakah
memang RUPTL telah didesain untuk
memaksimalkan penggunaan energi
terbarukan serta mengoptimalkan gas
bumi sebelum pada akhirnya memilih
untuk menggunakan batubara sebagai
pasokan energi setempat – seperti yang
diamanatkan dalam RUEN.
Untuk melihat penerapan
aspek-aspek tersebut dalam RUKN
dan RUPTL, berikut adalah tabel
perbandingan untuk beberapa
provinsi besar:
Daerah Potensi Sumber
Daya Energi
Setempat
(RUKN)
Potensi Sumber
Daya Energi
Setempat (RUEN)
Perencanaan
Pembangkit (RUPTL)
hingga 2025
Aceh
sampai
Lampung
PLT Air/PLT
Minihidro / PLT
Mikrohidro
Paling besar adalah
Surya dan di dalam
RUEN telah
direncanakan
untuk
pembangunan PLT
Surya dengan
kapasitas yang
lebih besar
dibandingkan
pembangkit listrik
berbasis tenaga air
tersebut313
Adapun di provinsi-
provinsi terkait, berikut
adalah pembangkit listrik
yang menjadi tumpuan di
daerah tersebut hingga
2025:
1) Aceh: PLT Air (716
MW)
2) Sumatera Utara: PLTU
Batubara (2,100 MW)
3) Sumatera Barat: PLTU
Batubara 406,5 MW,
namun berdasarkan
pembangkit eksisting.
313 Lihat, Indonesia (d)., Op.cit., Lampiran I, dari data yang dihimpun dalam lampiran tersebut
dapat dilihat bahwa berikut adalah perbandingan potensi PLT Air, PLTM, dan PLT Surya di beberapa provinsi di daerah Aceh hingga Lampung yang dianggap representatif: a) Aceh: PLTS 7,881 MW, PLTM 1,538 MW, PLTA 5,062 PLTA ; b) Sumatera Utara: PLTS 11,821 MW, PLTM 1,024 MW, PLTA 3,808 MW; c) Lampung: PLTS 2,238 MW, PLTM 352 MW; d) Jambi: PLTS 8,847 MW, PLTM 447 MW. Untuk data potensi PLTA di Lampung dan Jambi, data tergabung dalam sistem Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung, yakni 3,102 MW.
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
127
Untuk pembangkit
baru diutamakan PLT
Air
4) Riau: Pembangkit
Listrik Berbasis Gas
(1,223.1 MW),
Pembangkit listrik
berbasis air tidak
direncanakan untuk
dibangun, PLTS hanya
dalam skala kecil
5) Bangka Belitung:
Pembangkit Listrik
Berbasis Gas (225
GW), Pembangkit
listrik berbasis air
tidak direncanakan
untuk dibangun, PLTS
hanya dalam skala
kecil
6) Jambi: PLTU Batubara
(1,212 MW)
7) Bengkulu: PLT Panas
Bumi (220 MW),
rencana
pengembangan
pembangkit listrik
lainnya ditumpukan
kepada batubara (200
MW), sementara
pembangkit berbasis
air hanya untuk
kapasitas sangat kecil
8) Lampung: PLTU
Batubara (400 MW)
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
128
Sumatera
Bagian
Selatan
PLTU Mulut
Tambang
Sumatera Selatan
memang memiliki
potensi batubara
paling besar
dibandingkan
seluruh provinsi di
Indonesia. Selain
itu, Sumatera
Selatan juga
memiliki potensi
tenaga surya
terbesar
Tumpuan pembangkit
hingga 2025 adalah PLTU
Mulut Tambang, yakni
3.290 MW, diikuti dengan
PLTP dengan 360 MW.
Hanya sedikit potensi
tenaga surya yang
dibangun.
Jawa dan
Bali
PLT Panas Bumi Jawa Barat
merupakan
provinsi dengan
cadangan panas
bumi terbesar di
Indonesia.
Disamping itu,
Provinsi
Yogyakarta
memiliki potensi
tenaga surya yang
sangat besar, yakni
lebih dari 11.000
MW.
Tumpuan pembangkit
hingga 2025 adalah PLTU
Batubara dengan
penambahan jumlah
kapasitas 12.386 MW
hingga 2025. Adapun
untuk panas bumi
menjadi tumpuan kedua
dengan penambahan
kapasitas adalah 2.503
MW
Kalimantan
Utara
PLT Air Tidak terlihat
jumlah potensinya
di dalam RUEN.
Namun, di dalam
RUKN tercatat
jumlah potensi
adalah 3.282 MW.
Namun, jumlah ini
masih lebih sedikit
dibandingkan
potensi tenaga
Penambahan kapasitas
pembangkit tertinggi
bertumpu pada
PLTGU/PLTG-MG,
yakni sejumlah 141 MW.
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
129
surya yang
mencapai 4.643MW
Sulawesi
Utara
PLT Panas Bumi Tenaga surya dan
tenaga bayu/angin.
Adapun potensi
untuk tenaga surya
adalah mencapai
2.113 MW.
Sementara itu,
untuk tenaga bayu
mencapai 1.214
MW
Penambahan kapasitas
terbesar bertumpu pada
PLTU Batubara, yakni 356
MW. Disamping itu juga
PLTGU/PLTG-MG
sebesar 330 MW.
Sulawesi
Tengah
dan Selatan
PLT Air PLT Air, PLT Surya,
dan PLT Bayu
memiliki potensi
yang sangat besar.
Penambahan PLT Air
menjadi tumpuan
kapasitas pembangkit
terbesar dengan rencana
penambahan pembangkit
960 MW di Sulawesi
Selatan dan 320 MW di
Sulawesi Tengah
Maluku
dan
Maluku
Utara
PLTG/PLT-MG,
namun untuk
Ambon dan
Halmahera
dapat
diprioritaskan
PLT Panas Bumi
PLTG/PLT-MG.
Disamping itu,
potensi PLT Bayu
juga tergolong
besar, yakni 3.188
MW.
PLTG/PLT-MG menjadi
tumpuan pembangkit,
yaitu dengan
penambahan pembangkit
sebanyak 575 MW.
Tabel 2. Perbandingan Potensi dan Perencanaan Pembangkit
Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa tidak semua penetapan dalam
RUKN terkait potensi sumber daya
energi setempat yang harus
dikembangkan sesuai dengan potensi
sumber daya terbesar yang terdata
dalam RUEN. Terlebih ketika rencana
ini diterjemahkan ke dalam RUPTL.
Dari beberapa provinsi besar yang
dipilih untuk dijadikan analisis, terlihat
bahwa RUPTL belum didesain untuk
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
130
menggunakan potensi energi setempat
sebagai tumpuan pembangkit listrik di
daerah tersebut. Justru, di beberapa
provinsi, PLTU Batubara tetap
digunakan sebagai pembangkit
andalan di provinsi setempat,
sekalipun RUEN telah menyatakan
bahwa seharusnya batubara digunakan
sebagai pilihan terakhir dalam
penyediaan energi di suatu daerah.
Sulawesi Utara adalah contoh tidak
digunakannya potensi sumber daya
setempat. Ketika tenaga surya dan
tenaga angina diidentifikasi sebagai
potensi terbesar dari daerah terkait,
namun di sisi lain RUPTL menetapkan
bahwa penambahan kapasitas terbesar
bertumpu pada PLTU Batubara. Pun
ketika menelisik ke pengembangan di
Jawa dan Bali, baik Jawa Barat maupun
Banten misalnya, masing-masing
memiliki potensi energi surya dan
314 Lihat, Indonesia (d)., Ibid. Dalam lampiran Peraturan tersebut terlihat bahwa potensi energi
surya untuk Jawa Tengah adalah 8,753 MW dan Banten adalah 2,461 MW. Selain itu untuk potensi energi bayu untuk Jawa Tengah adalah7,036 MW dan 1753 untuk Banten.
315 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2018 s.d 2027, Kepmen No. 1567 K/21/MEM/2918. Tercatat dalam RUPTL adalah bahwa rencana pembangkit untuk PLTU-B untuk Banten adalah 4,637 MW untuk Banten dan 4,845 MW untuk Jawa Tengah hingga 2025. Jumlah ini sangat berbanding terbalik dengan pengembangan PLTS dan PLTB; dimana untuk di Jawa Tengah hanya dialokasikan 100 MW untuk PLTS dan PLTB, serta di Banten hanya 300 MW untuk PLTS dan PLTB.
energi angin yang sangat besar sebagai
potensi setempat314. Namun justru
dalam pengembangan pembangkit
listrik, PLTU Batubara-lah yang
menjadi pilihan, sementara itu
pengembangan untuk PLTS dan PLTB
sangat minim dan tidak sebanding315.
Karenanya, perlu untuk dikaji kembali
lebih lanjut bagaimana proses
pengambilan keputusan oleh PT. PLN
(Persero) untuk pada akhirnya
menetapkan suatu potensi sumber
daya alam menjadi sumber energi
tumpuan daerah tersebut.
Selain perlu mengkritisi proses
pengambilan kebijakan di PT. PLN
(Persero) sendiri, perlu juga melihat
bagaimana rencana target penambahan
kapasitas untuk mencapai 115 GW
pada tahun 2025. Pada kenyataannya,
RUPTL juga belum didesain untuk
memenuhi target total kapasitas
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
131
tersebut. Hingga saat ini, baru sekitar
53 GW316 kapasitas terpasang. Selain
itu, apabila keseluruhan jumlah
rencana pembangkit dalam RUPTL
dijumlahkan dengan kapasitas yang
telah terpasang, baru sekitar 104 GW317
yang akan terpasang pada tahun 2025.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan
perencanaan untuk pemenuhan
kapasitas pembangkit pada tahun 2025.
Oleh karena itu, dari aspek pemenuhan
kapasitas pembangkit dapat dikatakan
bahwa RUPTL-pun belum didesain
untuk pemenuhan energy security di
Indonesia.
B. Pemenuhan Environmental
Sustainability
Untuk menilai pemenuhan aspek
environmental sustainability, Penulis
mencoba mengkaji apakah RUPTL
telah didesain untuk memenuhi
rencana pengembangan pembangkit
dari energi baru dan terbarukan
sebanyak 23% atau sekitar 26 GW.
Sekalipun dari aspek perencanaan
dalam RUEN, target pengembangan
EBT adalah 33%, namun terlihat bahwa
10%-nya adalah potential projects dan
bukan committed projects. Mengingat
belum jelasnya definisi dari potential
projects dan committed projects, artikel ini
menggunakan committed projects
sebagai landasan analisis. Berikut
adalah perbandingan tabel
perencanaan pembangunan
pembangkit listrik berbasis energi baru
terbarukan antara RUEN dan RUPTL
hingga tahun 2025:
Jenis Pembangkit Rencana
pembangunan
dalam RUEN
Rencana
pembangunan
dalam RUPTL
Panas Bumi 7.241,5 MW 6.184,7 MW
Air 13.986,7 MW 10.847,9 MW
Minihidro dan Mikrohidro 1.572,1 MW 986,5 MW
316 Data diolah oleh Penulis dengan menghimpun seluruh jumlah kapasitas pembangkit terpasang
per provinsi yang terdapat dalam lampiran RUPTL 2018-2027. 317 Data diolah oleh Penulis dengan menghimpun jumlah seluruh rencana kapasitas pembangkit
per provinsi dan per jenis pembangkit yang terdapat dalam lampiran RUPTL 2018-2027.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
132
Bioenergi 2.006 MW 187,5 MW
Surya 540,5 MW 149,81 MW
Angin 913,9 MW 1.030,75 MW
EBT lainnya 372 MW 320,5 MW
Total 26.632,7 MW 19.697,66 MW
Tabel 3. Perbandingan Rencana Pembangunan Pembangkit
Berbasis Energi Terbarukan dalam RUEN dan RUPTL
Berdasarkan data yang
dihimpun tersebut, tergambar
informasi bahwa pada dasarnya
perencanaan dalam RUPTL
memang belum di desain untuk
mencapai target 23% bauran
energi baru dan terbarukan
tersebut. Apabila seluruh
kapasitas pembangkit yang sudah
ada per provinsi ditambahkan
dengan rencana pembangunan
pembangkit listrik hingga 2025,
maka terlihat bahwa kapasitas
maksimum dari pengembangan
pembangkit listrik berbasis energi
baru terbarukan hanya sekitar
maksimum 17%. Angka ini adalah
jumlah dengan catatan bahwa
seluruh proyek akan berjalan
lancar.
Selain itu, perlu juga
mengkritisi komitmen dari
Pemerintah untuk memenuhi
target pembangunan pembangkit
berbasis Energi Baru Terbarukan
(EBT) ini. Berdasarkan data yang
diperoleh dari RUPTL 2018-2027,
pada awal tahun 2018 hingga
2024, pengembangan pembangkit
listrik berbasis EBT masih belum
terlihat secara masif. Namun,
pada tahun 2025 terjadi
penambahan angka pembangkit
listrik berbasis EBT yang sangat
drastis. Berikut adalah tabel
perkembangan pembangkit listrik
berbasis EBT (khususnya PLTA,
PLTS, dan PLTP) per tahun
hingga 2025:
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
133
Dari data tersebut, perlu
dikaji lebih lanjut bagaimana
perencanaan pengembangan
kapasitas pembangkit berbasis
energi baru terbarukan. Mengapa
pada akhirnya pengembangan
kapasitas pembangkit listrik
tersebut menjadi bertambah 4
(empat) kali lipat mendekati
tahun 2025? Pola pengembangan
kapasitas pembangkit seperti ini
tentu terlihat tidak realistis dan
perlu untuk dipertanyakan lebih
lanjut. Tidak hanya itu, perlu juga
mempertanyakan terkait rencana
pengembangan kapasitas
pembangkit untuk PLTS maupun
PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu/Angin).
318 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral., Op.cit., V-35
319 Indonesia (d)., Ibid.
Berdasarkan data yang
dihimpun dari RUEN,
keseluruhan potensi energi untuk
surya dan angin pada dasarnya
sangat besar. Apabila potensi
energi seluruh Indonesia
dijumlahkan, PLTS dapat
mencapai 207 GW dan PLTB
mencapai 61 GW319. Namun,
dalam penetapan rencana
pembangkit di RUPTL, untuk
PLTS ditetapkan hanya 172,58
MW dan PLTB hanya sekitar 1
GW. Hal ini jauh dibawah rencana
penambahan pembangkit PLTU
Batubara yang mencapai 25 GW
dari 2018-2027.
Memang dapat dipahami
bahwa kedua energi ini termasuk
Pembangkit Rencana Kapasitas Pembangkit (dalam MW)
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
PLTA 66 287 193 755 315 196 115 2.041
PLTP 210 150 221 235 405 445 355 2.537
PLTS - - - - - - 520 2.420
Tabel 4. Perkembangan Penambahan Kapasitas per Tahun untuk PLTA, PLTP, dan
PLTS318
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
134
dalam energi yang bersifat
intermittent (bersifat sewaktu-
waktu), sehingga
pengembangannya cukup sulit
dan memiliki tantangan dalam
pengembangan sistem
transmisinya320. Namun, Penulis
berpendapat seharusnya
Pemerintah dapat lebih
mendorong pengembangan
infrastruktur untuk menyokong
integrasi grid (jaringan) untuk
pembangkit yang bersifat
intermittent tersebut daripada
terus mendorong pembangunan
PLTU Batubara atas alasan lebih
ekonomis dan untuk memenuhi
energy security. Untuk itu, Penulis
berargumen bahwa perencanaan
ketenagalistrikan di Indonesia,
khususnya RUPT belum didesain
pula untuk memenuhi aspek
environmental sustainability.
320 J.O. Petinrin dan M. Shaaban, “Overcoming Challenges of Renewable Energy on Future Smart
Grid”, Telkomnika 10 (Jakarta 2012), hlm. 230. Bahwa dalam artikel tersebut dijelaskan dalam pengembangan grid yang konvensional sangat bergantung pada konsistensi aliran listrik yang dapat masuk ke dalam grid tersebut. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, mengingat dengan sifatnya yang intermittent, konsistensi aliran listrik-pun menjadi tidak stabil dan fluktuatif.
IV. Penutup
Berdasarkan pemaparan pada bab
sebelumnya, maka terdapat dua hal
yang menjadi kesimpulan dalam
penulisan artikel ini, yakni:
(1) Bahwa berdasarkan
penelusuran konsistensi arah
kebijakan ketenagalistrikan di
dalam empat dokumen
perencanaan ketenagalistrikan,
terlihat bahwa perencanaan
kebijakan ketenagalistrikan di
Indonesia belum sejalan satu
sama lain. Ketidakkonsistenan
yang paling jelas terlihat dalam
komitmen untuk menggunakan
batubara sebagai pilihan
terakhir dalam pemenuhan
energi di masing-masing
daerah. Selain itu, hal yang juga
perlu diperhatikan adalah
terkait dengan target-target
perencanaan antara satu
dokumen dengan dokumen
Grita Anindarini Widyaningsih MEMBEDAH KEBIJAKAN PERENCANAAN KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA
135
lainnya. Bahwa terdapat
ketidakkonsistenan dalam
dokumen-dokukem
perencanaan tersebut antara
target jumlah pemenuhan
kapasitas pembangkit secara
keseluruhan serta target
pembangkit listrik berbasis EBT
pada tahun 2025.
(2) Berkaitan dengan target untuk
pengurangan emisi gas rumah
kaca dari sektor energi dalam
NDC, artikel ini melihat bahwa
RUPTL belum disusun untuk
mendukung komitmen
tersebut. Bahwa proyek-proyek
pembangkit tenaga listrik yang
ditetapkan dalam RUPTL
belum dirancang untuk
memenuhi target 23%
pengembangan energi
terbarukan. Sebaliknya,
penambahan kapasitas
pembangkit yang bertumpu
pada batubara tetap menjadi
tumpuan. Selain itu, hal yang
perlu juga diperhatikan adalah
adanya pola pengembangan
pembangkit listrik berbasis EBT
yang tidak realistis. Adapun
dari temuan dalam RUPTL,
rencana pembangunan
pembangkit listrik berbasis EBT
pada tahun 2018-2024 masih
dalam angka yang sangat
minim, kemudian pada tahun
2025 meningkat drastis hingga
empat kali lipat. Hal ini tentu
menimbulkan keraguan terkait
bagaimana strategi yang
dilakukan untuk pemenuhan
kapasitas tersebut. Lebih jauh,
artikel ini melihat bahwa
pemenuhan target
pengurangan emisi gas rumah
kaca di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Nationally
Determined Contribution (2017)
akan semakin sulit apabila tidak
diterjemahkan secara baik
dalam kebijakan-kebijakan
perencanaan ketenagalistrikan
tersebut.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 117-136
136
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang
Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik, Peraturan Pemerintah
No. 14 tahun 2012, LN No. 28
tahun 2012, TLN No. 5281
_____. Peraturan Pemerintah tentang
Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012
tentang Kegiatan Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik, PP No.
23 Tahun 2014, LN No. 75 Tahun
2014, TLN No. 5530.
_____. Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral, Keputusan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral tentang
Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik PT. Perusahaan Listrik
Negara (Persero) Tahun 2018 s.d 2027,
Kepmen No. 1567 K/21/MEM/2918.
Buku
Masripatin, Nur, et.al. Strategi
Implementasi NDC (Nationally
Determined Contribution).
Jakarta: Dirjen Pengendalian
Perubahan Iklim, KLHK RI.
2017.
Lain-lain
Petinrin, O. dan M. Shaaban,
“Overcoming Challenges of
Renewable Energy on Future
Smart Grid”, Telkomnika 10.
Jakarta. 2012.
Song, Lianlian, et.al., “Measuring
National Energy Performance via
Energy Trilemma Index: A
Stochastic Multicriteria
Acceptability Analysis”. Energy
Economics. 2017.
Winzer, Christian “Conceptualizing
Energy Security”, EPRG Working
Paper University of Cambridge.
2011.
World Energy Council, Membedah
Perencanaan Ketenagalistrikan,
http://www.djk.esdm.go.id/pd
f/Coffee%20Morning/Juli%202
016/Membedah%20Perencanaa
n%20Ketenagalistrikan%20Nasi
onal%20--
%20Dr.%20Hardiv%20HS.pdf,
diakses pada 18 Oktober 2018.
137
ULASAN PERATURAN:
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI
PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA
PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (INPRES
MORATORIUM SAWIT)
Henri Subagiyo321 dan Astrid Debora S.M322
I. Pendahuluan
Pada tanggal 19 September 2018
lalu, Presiden menerbitkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018
tentang Penundaan dan Evaluasi
Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit
serta Peningkatan Perkebunan Kelapa
Sawit atau lazim disebut Inpres
Moratorium Sawit. Keluarnya Inpres
ini dilatarbelakangi oleh beberapa
persoalan mendasar dalam perkebunan
kelapa sawit, antara lain lemahnya tata
kelola perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan, kepastian hukum,
kelestarian lingkungan hidup termasuk
penurunan emisi Gas Rumah Kaca,
perlunya pembinaan petani kelapa
321 Henri Subagiyo adalah Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law. 322 Astrid Debora S.M adalah Peneliti dan Deputi Monitoring, Evaluasi, dan Manajemen
Pengetahuan Indonesian Center for Environmental Law.
sawit, dan peningkatan produktivitas
kelapa sawit.
Patut diakui bahwa sektor
perkelapasawitan selama ini telah
memberikan kontribusi bagi Indonesia.
Namun di sisi lain, berbagai persoalan
yang muncul mulai dari tingkat lokal,
nasional hingga internasional tidak
dapat pula diabaikan. Berbagai
persoalan tersebut setidaknya telah
menjadi isu penting yang semakin
berkembang hingga menimbulkan
reaksi internasional, khususnya
rencana Uni Eropa untuk melarang
impor minyak kelapa sawit dari
Indonesia.
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
138
Greeenpeace mencatat selama
periode 2015-2017 terjadi deforestasi
seluas 1,6 juta ha dimana 19 persen
terjadi di konsesi kelapa sawit.323 Data
ini menjustifikasi bahwa ekspansi sawit
telah memberikan pengaruh pada
deforestasi.
Di sisi lain, Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI menyatakan
telah mengidentifikasi sekitar 15 juta ha
lahan di kawasan hutan. Dari 15 juta ha
tersebut, 11 juta ha tercatat sebagai
lahan perkebunan termasuk kelapa
sawit. Sedangkan dari 11 juta ha
tersebut teridentifikasi hanya sekitar
2,3 juta ha yang memiliki izin
perkebunan sawit.324
Pada bulan Mei 2016, Menteri
Perdagangan Thomas Lembong
menyebutkan bahwa 40 persen dari
total 11 juta ha lahan persebunan
kelapa sawit produktivitasnya rendah.
323Tane Hadiyantono, “Polemik Inpres Moratorium Lahan Sawit,
“https://industri.kontan.co.id/news/polemik-inpres-moratorium-lahan-sawit, diakses pada 25 Oktober 2018.
324 Andri Donnal Putera, “Moratorium Kebun Kelapa Sawit, izin di 2,3 Juta Hektar Lahan Dievalusi”, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/19/125834526/moratorium-kebun-kelapa-sawit-izin-di-23-juta-hektar-lahan-dievaluasi, Lihat juga https://economy.okezone.com/read/2018/10/19/320/1966224/menteri-lhk-evaluasi-izin-2-3-juta-ha-lahan-sawit, diakses pada 31 Oktober 2018.
325 Septian Deny, “Ini Alasan Pemerintah Ingin Moratorium Izin Lahan Kelapa Sawit”, https://www.liputan6.com/bisnis/read/2516363/ini-alasan-pemerintah-ingin-moratorium-izin-lahan-kelapa-sawit, diakses pada 25 Oktober 2018.
Oleh karena itu, dengan moratorium
yang berarti menghentikan
ekstensifikasi lahan, diharapkan
pemerintah dapat menfokuskan pada
peningkatan produktivitas.325
Beberapa permasalahan di atas
melatarbelakangi terbitnya Inpres
Moratorium Sawit. Diharapkan,
dengan terbitnya Inpres ini
memberikan semangat baru bagi upaya
untuk terus memperbaiki tata kelola
hutan dan lahan.
II. Materi Muatan Moratorium Sawit
Inpres Moratorium Sawit
memberikan perintah kepada beberapa
Menteri terkait, yaitu: Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian,
Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Menteri Dalam
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
139
Negeri, Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal, Para Gubernur,
dan Para Bupati/Walikota. Masing-
masing memiliki tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan bidang
kerjanya.326
1. Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian
Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian
bertanggungjawab untuk
melakukan koordinasi
penundaan dan evaluasi
perizinan perkebunan kelapa
sawit serta peningkatan
produktivitas perkebunan
kelapa sawit. Kegiatan-kegiatan
yang wajib dilakukan dalam
rangka pelaksanaan koordinasi
tersebut antara lain:
a. Memverifikasi data
pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa
sawit, peta Izin Usaha
Perkebunan atau Surat
326 Indonesia. Instruksi Presiden tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa
Sawit Serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres Nomor 8 Tahun 2018, Bagian Kesatu-Ketujuh.
Tanda Daftar Usaha
Perkebunan, Izin Lokasi, dan
Hak Guna Usaha (HGU);
b. Menetapkan standar
minimun kompilasi data;
c. Melakukan sinkronisasi
dengan pelaksanaan
Kebijakan Satu Peta yang
berkaitan dengan
kesesuaian: perizinan yang
dikeluarkan oleh
kementerian/lembaga
dengan pemerintah daerah,
Izin Usaha Perkebunan
dengan HGU, dan keputusan
penunjukan atau penetapan
Kawasan hutan dengan
HGU;
d. Menyampaikan hasil rapat
koordinasi kepada Menteri,
gubernur, dan/atau
bupati/walikota terkait
dalam rangka pengambilan
keputusan sesuai
kewenangannya mengenai:
(1) penetapan kembali areal
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
140
yang berasal darik hutan
yang telah dilakukan
pelepasan atu tukar menukar
kawasan hutan sebagai
kawasan hutan; (2)
penetapan areal yang berasal
dari kawasan hutan yang
telah dilakukan pelepasan
sebagai tanah negara; (3)
norma, standar, prosedur,
dan kriteria (NSPK) Izin
Usaha Perkebunan atau
Surat Tanda Daftar Usaha
Perkebunan; (4) penetapan
tanah terlantar dan
penghentian proses
penerbitan atau pembatalan
HGU; dan/atau (5) langkah-
langkah hukum dan/atau
tuntutan ganti rugi atas
penggunaan Kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa
sawit berdasarkan verifikasi
data dan evaluasi atas
pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa
sawit.
2. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan bertanggung jawab
untuk:
a. Melakukan penundaan
pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa
sawit bagi: (1) permohonan
baru; (2) permohonan yang
telah diajukan namun belum
melengkapi persyaratan atau
telah memenuhi persyaratan
namun berada pada kawasan
hutan yang masih produktif,
atau (3) permohonan yang
telah mendapat persetujuan
prinsip namun belum ditata
batas dan berada pada
kawasan hutan yang masih
produktif.
Penundaan tersebut
dikecualikan untuk
permohonan pelepasan atau
tukar menukar kawasan
hutan untuk perkebunan
kelapa sawit yang telah
ditanami dan diproses
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
141
berdasarkan ketentuan Pasal
51 PP 104 Tahun 2015 tentang
Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan.
b. Melakukan penyusuan dan
verifikasi data pelepasan
atau tukar menukar kawasan
hutan untuk perkebunan
kelapa sawit yang
mencakup: nama dan nomor,
lokasi, luas, peruntukan, dan
tanggal penerbitan.
c. Melakukan evaluasi
terhadap: (1) pelepasan atau
tukar menukar Kawasan
hutan yang dimanfaatkan
sebagai perkebunan kelapa
sawit yang belum
dikerjakan/dibangun, masih
berupa hutan produktif,
dan/atau terindikasi tidak
sesuai dengan tujuan
pelepasan atau tukar
menukar dan
dipindahtangankan pada
pihak lain; (2) perkebunan
kelapa sawit yang berada
dalam kawasan hutan tetapi
belum mendapatkan
pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan; (3)
pelaksanaan pembangunan
areal hutan yang bernilai
konservasi tinggi (High
Conservation Value Forest
(HCVF) dari pelepasan
kawasan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit,
Hasil evaluasi tersebut
disampaikan kepada Menteri
Koordinator Bidang
Perekonomian.
d. Melakukan identifikasi
perkebunan kelapa sawit
yang terindikasi berada
dalam kawasan hutan.
e. Menindaklanjuti hasil rapat
koordinasi dengan Menteri
terkait mengenai: (1)
penetapan kembali areal
yang berasal dari kawasan
hutan yang telah dilakukan
pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan
sebagai kawasan hutan;
dan/atau (2) langkah-langah
hukum dan/atau tuntutan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
142
ganti rugi sesuai ketentuan
peraturan perundang-
undangan atas penggunaan
kawasan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit
berdasarkan verifikasi data,
evaluasi atas pelepasan atau
tukar menukar kawasan
hutan untuk perkebunan
kelapa sawit.
f. Melakukan identifikasi dan
melaksanakan ketentuan
alokasi 20% untuk
perkebunan rakyat atau
pelepasan kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa
sawit.
3. Menteri Pertanian
Menteri Pertanian bertanggung
jawab untuk:
a. Menyusun dan
memverifikasi data dan peta
Izin Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit dan
pendaftaran Surat Tanda
Daftar Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit secara nasional
mencakup: nama dan nomor,
lokasi, luas, tanggal
penerbitan, peruntukan, luas
tanam, dan tahun tanam.
b. Melakukan evaluasi
terhadap: (1) proses
pemberian Izin Usaha
Perkebunan dan pendaftaran
Surat Tanda Daftar Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit;
(2) Izin Usaha Perkebunan
dan Surat Tanda Daftar
Usaha Perkebunan Kelapa
Sawit yang telah diterbitkan;
dan (3) pelaksanaan
kewajiban perusahaan
perkebunan yang memiliki
Izin Usaha Perkebunan
Kelapa Sawit atau izin usaha
perkebunan untuk budidaya
kelapa sawit untuk
memfasilitasi pembangunan
kebun masyarakat paling
kurang 20% dari total luas
areal lahan yang diusahakan
oleh perusahaan
perkebunan.
Hasil evaluasinya
disampaikan kepada Menteri
Koordinator Bidang
Perekonomian.
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
143
c. Menindakanjuti hasil rapat
koordinasi mengenai NSPK
Izin Usaha Perkebunan atau
Surat Tanda Daftar Usaha
Perkebunan.
d. Meningkatkan pembinaan
kelembagaan petani sawit
dalam rangka optimalisasi
dan intensifikasi
pemanfaatan lahan untuk
peningkatan produktivitas
sawit.
e. Memastikan setiap
perkebunan kelapa sawit
untuk menerapkan standar
Indonesian Sustainable Palm
Oil (ISPO).
4. Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional
Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional
bertanggung jawab untuk:
a. Menyusun dan
memverifikasi data HGU
yang mencakup: nama dan
nomor, lokasi, luas, anggal
penerbitan, dan peruntukan.
b. Melakukan evaluasi
terhadap : (1) kesesuaian
HGU perkebunan kelapa
sawit dengan peruntukan
tata ruang; (2) realisasi
pemanfaatan HGU
perkebunan kelapa sawit; (3)
peralihan HGU kepada
pihak lain tanpa pendaftaran
Badan Pertanahan Nasional;
dan (4) pelaksanaan
perlindungan dan/atau
pembangunan areal hutan
yang bernilai konservasi
tinggi/HCVF dari pelepasan
kawasan hutan untuk
perkebunan kelapa sawit.
Hasil evaluasinya
disampaikan kepada Menteri
Koordinator Bidang
Perekonomian.
c. Menindaklanjuti hasil rapat
koordiasi mengenai: (1)
penetapan tanah terlantar
yang berasal dari pelepasan
atau tukar menukar kawasan
hutan sesuai ketentuan
peraturan perundang-
undangan; (2) penghentian
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
144
proses penerbitan HGU
dalam hal proses perolehan
haknya tidak dilakukan
sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan atau
pembatalan HGU
perkebunan kelapa sawit
yang telah ditetapkan
sebagai tanah terlantar; (3)
pengembalian tanah yang
berasal dari pelepasan atau
tukar menukar kawasan
hutan sebagai kawasan
hutan sesuai ketentuan
peraturan perundang-
undangan apabila belum
diproses dan/atau
diterbitkan Hak Atas
Tanahnya; (4) penetapan
tanah yang berasal dari
pelepasan kawasan hutan
sebagai tanah negara sesuai
ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
(5) pengembalian tanah yang
berasal dari pelepasan atau
tukar menukar kawasan
hutan disampaikan kepada
gubernur untuk diusulkan
kepada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
menjadi kawasan hutan.
d. Melakukan percepatan
penerbitan hak atas tanah
kepada masyarakat dalam
rangka pelaksanaan hak
masyarat seluas 20% dari
pelepasan kawasan hutan
dan dari HGU perkebunan
kelapa sawit.
e. Melakukan percepatan
penerbitan hak atas tanah
pada lahan-lahan
perkebunan kelapa sawit
rakyat.
5. Menteri Dalam Negeri
Menteri Dalam Negeri
bertanggung jawab untuk
melakukan pembinaan dan
pengawasan kepada gubernur
dan bupati/walikota dalam
pelaksanaan penundaan dan
evaluasi perizinan perkebunan
kelapa sawit, serta peningkatan
produktivitas perkebunan
kelapa sawit.
6. Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
145
Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal bertanggung
jawab untuk menunda
permohonan penanaman modal
baru untuk perkebunan kelapa
sawit atau perluasan
perkebunan kelapa sawit yang
telah ada, yang lahannya berasal
dari pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan,
kecuali yang menjadi tanggung
jawab Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
7. Gubernur
Gubernur bertanggung jawab
untuk:
a. Melakukan penundaan
penerbitan
rekomendasi/izin usaha
perkebunan kelapa sawit
dan izin pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit
baru yang berada pada
kawasan hutan, kecuali yang
menjadi tanggung jawab
Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
b. Mengumpulkan dan
memverifikasi data dan peta
izin lokasi dan izin usaha
perkebunan atau Surat
Tanda Daftar Usaha
Perkebunan yang mencakup:
nama dan nomor, lokasi,
luas, tanggal penerbitan,
peruntukan, luas tanam, dan
tahun tanam.
c. Menyampaikan hasil
pengumpulan dan verifikasi
kepada Menteri Pertanian
(yang menyangkut Izin
Usaha Perkebunan) dan
Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (yang
menyangkut Izin Lokasi).
d. Menindaklanjuti
rekomendasi hasil rapat
koordinasi mengenai
pembatalan Izin Usaha
Perkebunan atau Surat
Tanda Daftar Usaha
Perkebunan yang berada di
dalam kawasan hutan.
e. Menyampaikan usulan
kepada Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan untuk
penetapan areal yang berasal
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
146
dari pengembalian tanah
dari pelepasan atau tukar
menukar kawasan hutan
menjadi kawasan hutan.
8. Bupati/Walikota
Bupati/Walikota bertanggung
jawab untuk:
a. Melakukan penundaan
penerbitan
rekomendasi/izin usaha
perkebunan kelapa sawit
dan izin pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit
baru yang berada pada
kawasan hutan, kecuali yang
menjadi tanggung jawab
Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
b. Mengumpulkan data dan
memetakan seluruh area
perkebunan pada wilayah
kabupatennya yang
diusahakan oleh badan
usaha maupun
perseorangan, yang
mencakup peruntukan, luas
tanam, dan tahun tanam.
c. Mengumpulkan data dan
peta serta memverifikasi Izin
Lokasi dan Izin Usaha
Perkebunan atau Surat
Tanda Daftar Usaha
Perkebunan yang mencakup:
nama dan nomor, lokasi,
luas, tanggal penerbitan,
peruntukan, luas tanam, dan
tahun tanam.
d. Mengumpulkan data dan
peta perkebunan rakyat pada
wilayah kabupatennya yang
berada pada kawasan hutan
dan di luar kawasan hutan
(Area Penggunaan Lain).
e. Menyampaikan hasil
pengumpulan data kepada
gubernur dengan tembusan
kepada Menteri Pertanian,
Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, dan Menteri
Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
f. Menindaklanjuti
rekomendasi hasil rapat
koordinasi mengenai
pembatalan Izin Usaha
Perkebunan atau Surat
Tandar Daftar Usaha
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
147
Perkebunan yang berada di
dalam kawasan hutan.
Sebagai koordinator, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian
melaporkan pelaksanaan Inpres ini
kepada Presiden secara berkala setiap 6
(enam) bulan atau sewaktu-waktu
diperlukan.327 Sebagai penutup, Inpres
ini memerintahkan bahwa pelaksanaan
penundaan perizinan perkebunan
kelapa sawit dan evaluasi atas
perizinan perkebunan kelapa sawit
yang telah diterbitan, dilakukan paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Inpres ini
dikeluarkan dan pelaksanaan
peningkatan produktivitas kelapa
sawit dilakukan secara terus
menerus.328
III. Catatan Kritis Inpres
Moratorium Sawit: Prasyarat
Keberhasilan
Diskursus mengenai kebutuhan
moratorium kelapa sawit
sesungguhnya telah berlangsung lama.
Tidak heran, ketika Presiden pada
September lalu menerbitkannya,
327 Ibid., Bagian Kesembilan. 328Ibid., Bagian Kesebelas.
beberapa kalangan, terutama
masyarakat sipil yang peduli terhadap
isu perbaikan tata kelola hutan dan
lahan mengapreasiasinya.
Inpres Motarorium Sawit
hanyalah langkah awal dalam
mewujudkan tata kelola perkebunan
sawit yang ramah lingkungan.
Terdapat beberapa prasyarat bagi
keberhasilan pelaksanaan Inpres ini.
A. Sinkronisasi Data Perizinan
Antar Sektor dan Data Lapangan
Dalam melakukan evaluasi usaha
perkebunan kelapa sawit memerlukan
sinkronisasi berbagai data perizinan
dan pendukungnya, misalnya izin
lokasi, Amdal atau UKL-UPL, izin
lingkungan, izin usaha perkebunan,
izin pelapasan kawasan hutan, Hak
Guna Usaha, dan sebagainya. Selain itu
juga dibutuhkan verifikasi kesesuaian
data lapangan dari aktifitas
perkebunan yang ada. Oleh karena itu,
ketersediaan dukungan data menjadi
sangat penting. Berdasarkan
pengalaman Program Review
Perizinan Kegiatan Ekstraktif (Hutan,
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
148
Tambang, dan Kebun) yang dilakukan
oleh ICEL bersama dengan jaringan
organisasi masyarakat sipil di beberapa
daerah tahun 2015-2018, banyak
ditemukan indikasi bahwa pemerintah,
khususnya pemerintah daerah tidak
memiliki dukungan ketersediaan data
perizinan. Lemahnya database perizinan
akan menjadi tantangan terbesar pada
kegiatan ini.
B. Penegakan Hukum
Berbagai pelanggaran
perkebunan sawit sesunguhnya bukanl
hal yang baru. Tantangan terbesar
bukan pada identifikasi pelanggaran,
melainkan bagaimana menindaklanjuti
berbagai temuan pelanggaran yang
ada. Sebagai contoh, Panitia Khusus
Monitoring Perizinan dan Lahan
Perkebunan DPRD Provinsi Riau tahun
2016 telah menemukan ribuan hektar
hutan digarap secara ilegal oleh 33 (tiga
puluh tiga) perusahaan perkebunan
329 M. Syukur, “Apa Kabar Kasus 33 Perusahaan Sawit Perambah Hutan Riau?”,
https://www.liputan6.com/regional/read/2830617/apa-kabar-kasus-33-perusahaan-sawit-perambah-hutan-riau, diakses pada 1 November 2018.
330 EoF Investigative Report, “Kebun sawit beroperasi dalam kawasan hutan di Provinsi Riau tanpa izin maupun pelanggaran lainnya”, https://www.eyesontheforest.or.id/reports/kebun-sawit-beroperasi-dalam-kawasan-hutan-di-provinsi-riau-tanpa-izin-maupun-pelanggaran-lainnya, diakses pada 1 November 2018.
sawit. Temuan ini telah dilaporkan
kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
Namun hingga saat ini belum jelas
bagaimana kelanjutan penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum.329
Koalisi Eyes on the Forest, pada
tahun 2017 menemukan 10 (sepuluh)
perusahaan perkebunan sawit yang
terindikasi berada dalam Kawasan
hutan. Diperkirakan luas 10 (sepuluh)
perusahaan yang teridentifikasi sekitar
73.047 ha dan hanya memiliki HGU
sekitar 40.005 ha. Hal ini berarti, ada
penanaman kebun di luar hak yang
diberikan. Ironisnya, izin HGU tersebut
ada yang berada pada kawasan
hutan.330 Bahkan pada bulan Maret
2017, Pansus DPRD Provinsi Riau
menyatakan terdapat 1,8 juta ha
perkebunan sawit dari total 4,2 juta ha
yang terindikasi tanpa izin pelepasan
kawasan hutan dan diperkirakan
merugikan negara sebesar 34 Triliun
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
149
hanya dari kehilangan nilai pajak.331
Sayangnya, hingga saat ini belum jelas
bagaimana tindak lanjut penegakan
hukum terhadap pelanggaran tersebut.
Titik tekan materi Inpres
Moratorium lebih kepada evaluasi
perizinan melalui sinkronisasi data
perizinan dan data lapangan.
Sayangnya, Inpres Moratorium ini
tidak mengatur secara rinci mengenai
tindak lanjut pasca dilakukannya
evaluasi. Tidak ada instruksi terhadap
lembaga penegak hukum dalam Inpres
tersebut. Padahal stagnan-nya
penegakan hukum selama ini menjadi
kendala terbesar dalam membereskan
persoalan pelanggaran perkebunan
sawit yang terjadi.
Belajar dari pengalaman review
perizinan yang dilakukan oleh ICEL
tahun 2015-2018, terdapat beberapa
tipologi pelanggaran perkebunan sawit
yang membutuhkan penanganan yang
berbeda meskipun sebagian besar
memerlukan tidak lanjut penegakan
331 Chaidir Anwar Tanjung, “1,8 Juta Ha Kebun Sawit di Riau Ilegal, Negara Rugi Rp 34 Triliun”,
https://news.detik.com/berita/d-3436256/18-juta-ha-kebun-sawit-di-riau-ilegal-negara-rugi-rp-34-triliun, diakses pada 1 November 2018.
hukum. Beberapa tipologi tersebut
antara lain:
1. Pelanggaran akibat persoalan
kebijakan atau konflik regulasi.
Misalnya, usaha perkebunan
sudah ada sebelum penetapan
kawasan hutan atau adanya
konflik penetapan kawasan
hutan dengan rencana tata
ruang wilayah. Terhadap tipe
pelanggaran seperti ini
diperlukan kebijakan transisi
hingga waktu tertentu dengan
dapat dibarengi disinsentif,
termasuk memulihkan
kerusakan yang diakibatkan
oleh usahanya tersebut
sepanjang tidak ditemukan
adanya pelanggaran prosedural
yang dilakukan oleh pelaku
usaha;
2. Pelanggaran administrasi
perizinan. Misalnya izin usaha
yang dikeluarkan meskipun
jelas-jelas berada di kawasan
hutan ataupun dikeluarkan
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
150
dengan melanggar ketentuan
prosedur izin yang berlaku.
Terhadap pelanggaran seperti
ini perlu didalami kemungkinan
adanya praktek-praktek korupsi
di balik pelanggaran
administrasi tersebut. Dalam hal
ini ada banyak kasus yang dapat
dijadikan contoh, salah satunya
praktek korupsi yang
melibatkan mantan Gubernur
Annas Maamun tahun 2016 atas
suap alih fungsi kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa sawit.
Terhadap kasus seperti ini juga
diperlukan tindakan hukum
yang berkonsekusi terhadap
para pelaku usaha karena
keterlibatannya dalam praktek
korupsi perizinan.
3. Pelanggaran usaha tanpa izin
atau pelaksanaan usaha yang
melanggar kewajiban izin.
Terhadap tipe ini perlu
dilakukan penegakan hukum
secara tegas untuk memulihkan
dampak akibat pelanggaran
yang dilakukannya sekaligus
sebagai bentuk upaya
memberikan efek jera (deterrent
effect) bagi pelanggar maupun
pendidikan kepada publik.
C. Peran Serta Publik
Peran serta publik dalam
moratorium sawit sangat diperlukan
bagi keberhasilan pelaksanaan Inpres
ini meskipun tidak diatur di dalamnya.
Beberapa alasan mengapa peran serta
publik diperlukan, antara lain:
1. Evaluasi yang dilakukan
berdasarkan Inpres ini
utamanya untuk
mengidentifikasi adanya
pelanggaran yang sangat
mungkin hal ini terjadi karena
kontribusi atau keterlibatan
orang dalam, baik pada level
keputusan administrasi
perizinan, pengawasan maupun
penegakan hukum. Oleh
karenanya, potensi adanya
conflict of interest pun sangat
tinggi. Dengan adanya peran
serta publik hasil dan proses
evaluasi akan memungkinkan
bagi publik untuk memberikan
informasi, klarifikasi maupun
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
151
melakukan pengawasan selama
evaluasi dilakukan mupun
tindak lanjutnya, terlebih jika
terdapat perbedaan hasil
dengan kondisi di lapangan;
2. Debagaimana disampaikan
sebelumnya, salah satu
tantangan besar bagi
pelaksanaan evaluasi ini adalah
ketersediaan data di lembaga
pemerintah sendiri, khususnya
pemerintah daerah. Dengan
adanya peran serta publik,
dimungkinkan pemerintah
untuk mendapatkan input data
dan informasi dari publik
sehingga memudahkan kerja
pemerintah dalam melakukan
verifikasi dan menindaklanjuti
hasilnya;
3. Dikarenakan salah satu tujuan
pelaksanaan Inpres ini untuk
memitigasi dampak usaha sawit
terhadap lingkungan hidup
maupun masyarakat yang
merupakan kepentingan publik,
maka sudah sewajarnya publik
terlibat dalam prosesnya.
Beberapa langkah yang dapat
dilakukan Pemerintah dalam
mendorong peran serta publik dalam
pelaksanan Inpres ini, antara lain:
1. Membentuk kelembagaan tim
kerja yang terdiri dari berbagai
unsur, selain instansi sektoral
pemerintah juga akademisi,
praktisi maupun masyarakat
sipil. Akademisi, praktisi
maupun masyarakat sipil yang
ditunjuk akan lebih baik jika
terdiri dari berbagai latar
belakang yang relevan misalnya
pemetaan, pertanian,
kehutanan, hukum maupun
kalangan organisasi masyarakat
sipil yang bergerak di bidang
hutan dan lahan. Tim ini selain
berada di tingkat nasional juga
perlu dibentuk untuk tingkat
lokal. Selain itu, dapat
dipertimbangkan pada tim
tersebut unsur-unsur penegak
hukum yang relevan untuk
mendukung tindak lanjut hasil
evaluasi.
2. Membentuk kanal informasi
publik. Kanal informasi publik
JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA, Vol. 5 No.1 Tahun 2018 Halaman 137-153
152
sangat diperlukan untuk
mendorong peran serta publik
dalam memberikan masukan
mengenai data atau informasi di
lapangan guna mendukung
proses verifikasi yang berjalan.
Berbagai kanal publik milik
pemerintah yang selama ini ada
dapat dioptimalkan, misalnya
situs LAPOR (Layanan Aspirasi
dan Pengaduan Online Rakyat)
melalui
https://www.lapor.go.id/ yang
terhubung dengan berbagai
kementerian maupun situs atau
aplikasi pengaduan lainnya
yang dimiliki oleh kementerian.
D. Agenda Kerja dan Target yang
Terukur
Mengingat Inpres ini muncul di
akhir periode Pemerintahan Presiden
Jokowi-JK, banyak kalangan yang
sebetulnya meragukan hasil dari
kebijakan ini dalam waktu dekat.
Terlebih lagi tahun 2019 adalah tahun
politik yang kemungkinan besar
menyita banyak kerja dan perubahan
situasi politik. Di sisi lain Inpres ini
hanya berlaku 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan atau berakhir pada
September 2021. Oleh karena itu,
agenda kerja dan target terukur yang
disepakati oleh tim maupun diketahui
publik sangat diperlukan.
Selain itu, pendekatan kerja secara
pararel sangat diperlukan, misalnya
untuk tipe-tipe pelanggaran yang jelas
dan nyata perlu segera dilakukan
tindak lanjut tanpa menunggu semua
proses usaha selesai di evaluasi.
Langkah ini diperlukan mengingat
proses penegakan hukum umumnya
membutuhkan waktu yang tidak
singkat dan langkah ini diperlukan
khususnya bagi pelanggaran yang
menimbulkan dampak secara
lingkungan maupun sosial masyarakat.
IV. Penutup: Pekerjaan Rumah terkait
Implementasi Inpres Moratorium
Sawit
Meskipun memiliki kelemahan
dalam pengaturannya, Inpres
Moratorium Sawit mau tidak mau
wajib dijalankan oleh pihak terkait agar
tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Keberhasilan agenda penting yang
Henri Subagiyo dan Astrid Debora S.M ULASAN PERATURAN: INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8
TAHUN 2018 TENTANG PENUNDAAN DAN EVALUASI PERIZINAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERTA PENINGKATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(INPRES MORATORIUM SAWIT)
153
diatur Inpres Moratorium Sawit sangat
ditentukan oleh strategi implementasi
yang mumpuni dari penerima mandat
pada akhir periode Pemerintahan
Jokowi-JK. Karenanya, selain ada
beberapa prasyarat keberhasilan di
atas, beberapa pekerjaan rumah yang
perlu dituntaskan untuk mendukung
pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit,
diantaranya:
1. Penegasan kembali mengenai
peran aparat penegak hukum
(polisi dan jaksa) serta unit kerja
teknis di Kementerian terkait
yang membidangi penegakan
hukum. Tanpa adanya
penegakan hukum yang baik,
akan sulit memberikan efek jera
bagi pelaku-pelaku pelanggaran
dan kejahatan sawit serta
kawasan hutan dan lahan.
2. Pemerintah wajib menata
kembali bisnis ‘persawitan’ dari
hulu hingga hilir. Pemerintah
juga perlu memperhatikan
pertumbuhan usaha
perkebunan lainnya, tidak
hanya bergantung pada
komoditas sawit saja.
3. Perlu adanya review kebijakan
menyeluruh yang berpengaruh
sebagai faktor pemicu bagi
pelanggaran-pelanggaran di
bidang perkebunan sawit.
Misalnya aspek kebijakan
tumpang tindih tata ruang,
perlindungan kawasan
ekosistem penting seperti
gambut, sistem perizinan, ISPO,
dan lain-lain.
4. Keterbukaan informasi dan
pelibatan publik dalam
kebijakan moratorium sawit.
Publik yang selama ini menaruh
perhatian terkait dengan hutan
dan lahan perlu dilibatkan
untuk memperkuat proses input
dan akuntabilitas dari agenda-
agenda penting selama
moratorium berjalan.
154
Indeks Subjek
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
Volume 05 Nomor 1 Oktober 2018
A
Actor-Network Theory, 101
Adaptasi, 60, 63, 64, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84
Adaptation, 60, 85
Agreement, 8
Agriculture, 61, 62, 85, 86
Ahli, 11, 24, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38,
39, 41, 42, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 96,
97, 98
Air, 15, 19, 33, 47, 72, 73, 76, 80, 126, 127
Air, 2, 15, 19, 20, 22, 123, 126, 128, 129, 131
Akuntabel, 27
Amerika Serikat, 15, 24, 28, 29, 32, 34, 35, 38, 39, 48
Angin, 40, 123, 131, 133
Antropogenik, 3
Atmosfer, 4
B
Badan Urusan Logistik
Bulog, 65
Bahan Bakar, 2, 3, 4, 5, 10, 13, 14, 15, 16
Baku, 1, 2
Bali, 1, 4, 6, 7, 13, 21, 128, 130
Banten, 130
Batubara, 122, 124, 125, 127, 129, 134, 135
BBM, 4, 6, 7, 14, 21
Beras Sejahtera
Rastera, 65
Bioenergi, 123, 131
Bukti, 1, 6, 11, 12, 16, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51,
53, 54, 59, 88, 92, 96, 97, 101, 105, 109
Bukti Hukum, 27, 41
Bukti Ilmiah, 1, 11, 16, 24, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 34,
35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 48, 49, 50, 51, 53, 54
C
Cartwright, 97, 111, 115
Citizenship, 108
Climate, 3, 8, 9, 10, 18, 19, 21, 23, 60, 61, 62, 63, 69, 85,
86, 87, 117, 125
Climate Change, 3, 8, 9, 18, 19, 23, 60, 61, 62, 69, 86,
87, 117, 125
Creation Of Space, 99
Critical Geography, 88
Curah Hujan, 62, 69, 73
D
Daerah Aliran Sungai
DAS, 75
Dampak, 7, 12, 14, 15, 16, 17, 26, 50, 52, 60, 62, 63,
70, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 90, 150, 151,
152
Daubert, 29, 34, 35, 37, 38, 39, 48, 49, 53, 56, 57
Deforestasi, 138
Dekarbonisasi, 118
Deliberasi, 91, 106
Demokrasi Kontemporer, 108
Deposisi, 4
Determinan, 88, 91
Determinasi, 36
Diesel, 5
Diskursif, 98, 100, 102, 106
Distorsi, 89, 91, 93
Distribusi, 36, 64, 65, 66, 78, 101
Doktrinal, 24, 40
Domestik, 4, 81
Dwingend Recht, 93
E
EBT, 123, 124, 131, 134, 135
Ekologi, 31
Ekosistem, 7, 153
155
Eksepsi, 46
Ekspansi, 138
El Niño, 63, 86
El Niño–Southern Oscillation
ENSO, 63
Elektrifikasi, 122
Emisi, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 14, 21, 23, 73, 117, 118,
121, 124, 125, 134, 137
Emisi Gas Buang, 1, 2, 3, 4, 5
Emisi Gas Rumah Kaca, 9, 10, 117, 135
Energi, 1, 6, 8, 10, 16, 23, 80, 118, 119, 121, 122, 123,
124, 125, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135
Energi Baru Terbarukan, 131, 132, 133
Energi Baru Terbarukan (EBT), 132
Energi Terbarukan, 118, 121, 122, 123, 124, 125, 134,
135
Energy Equity, 121, 122
Energy Security, 121, 122, 125, 136
Energy Trilemma Index
ETI, 121, 123, 124, 136
Environmental Sustainability, 121, 123, 131
Environmentally, 1
Epidemiologi, 36
Euro 4, 1, 2, 3, 5, 16, 22
Evaluatif, 12
Evidence, 1, 6, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 24, 25, 32, 88, 93,
109
Evidence-Based Policy, 11
Evidence-Based Policy Making, 1, 6, 11, 12, 13, 16, 17,
88
F
Fainstein, 107, 108, 116
Federal, 3, 23, 32, 48, 51, 56
Firespot, 45
Fluktuasi, 60, 62
Food Security, 61
Fosil, 4
Frye, 35, 37, 38, 56, 57
Fuel, 1
G
Gabah Kering Giling
GKG, 62, 66
Gambut, 44, 45, 47, 50, 51, 78, 153
Ganti Rugi, 41, 48, 140, 141
Gas, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 48, 73, 117, 118, 122,
124, 125, 134
Geografi, 88, 91, 92, 103, 105, 109
Geografi Kritis, 103
Global, 2, 3, 7, 9, 10, 15, 19, 62, 63, 69, 70, 74, 117
Gugatan, 43, 44
H
Habermas, 91, 92, 111, 112, 114, 115
Hak Guna Usaha, 139, 147
Hakim, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 36, 38, 39, 40, 41,
42, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 59
Henri Lefebvre, 104, 107, 109
Hidrokarbon, 4
High Conservation Value Forest, 141
Hotspot, 42, 45, 47, 49, 50
Hukum Administrasi, 93
Hukum Lingkungan, 26, 27
Hukum Perdata, 40
Hukum Publik, 93
Hutan, 26, 27, 40, 41, 43, 45, 47, 48, 50, 53, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
151, 153
Hutan Produktif, 141
I
Indonesia, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 18,
20, 21, 22, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 39, 40, 41, 42,
43, 48, 49, 51, 52, 53, 56, 57, 58, 60, 61, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 76, 77, 79, 80, 85, 86, 87,
88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 105, 109, 111, 113,
115, 117, 118, 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127,
128, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 139
Indonesian Sustainable Palm Oil, 143
Indramayu, 64, 72, 73, 82, 86
Industrialisasi, 10, 117
Infrastruktur Pertanian, 71, 77, 78, 79
Instruksi Presiden, 137, 139
Intensifikasi, 60, 62, 143
Intermittent, 133, 134
Intersubjektif, 92, 98
Investigasi, 95
Irigasi, 60, 62, 71, 74
ISPO, 143, 153
Izin Usaha Perkebunan, 139, 140, 142, 143, 145, 146
156
J
Jakarta, 6, 10, 18, 19, 22, 29, 40, 44, 45, 48, 50, 56, 57,
61, 68, 74, 80, 81, 85, 87, 93, 117, 133, 136
Jasanoff, 88, 92, 99, 101, 102, 103, 104, 106, 109, 112,
115
Jawa, 1, 4, 6, 7, 13, 21, 64, 65, 73, 75, 82, 87, 128, 130
Jawa Barat, 64, 65, 73, 82, 87, 128, 130
Jawa Tengah, 64, 65, 130
Jawa Timur, 64, 65
Jepang, 8, 68
K
Kadmium, 36
Kanker, 15, 33, 34, 36
Karbon Dioksida, 15
Karsinoma, 36
Kasus, 24, 26, 27, 28, 29, 33, 34, 37, 39, 40, 41, 42, 51,
53, 59, 82, 148, 150
Katalis, 2, 103
Kawasan Hutan, 141
Kawasan Rumah Pangan Lestari
KRPL, 78
Keahlian, 32, 39, 43, 51, 52, 96, 97, 100
Kebakaran, 26, 27, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49,
50, 53
Kebakaran Hutan, 43
Kebijakan, 1, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 21, 23, 29,
63, 71, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 88, 89, 92, 95,
96, 97, 100, 101, 102, 104, 105, 107, 109, 118, 119,
120, 121, 122, 123, 124, 130, 134, 135, 149, 152,
153
Kebijakan Berbasis Bukti, 97, 101, 105
Kebijakan Energi, 118
Kebijakan Energi Nasional
KEN, 118, 119, 120, 123
Kebijakan Publik, 88, 89, 97, 104, 107, 109
Kebijakan Sektoral, 95
Kehutanan, 80, 118, 151
Kehutanan, 3, 5, 18, 29, 40, 43, 51, 79, 80, 85, 87, 138,
140, 144, 145, 146
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
(KLHK), 5, 43, 80
Kendaraan, 1, 2, 3, 4, 5, 15, 16, 21
Keputusan, 11, 26, 41, 91, 98, 102, 108, 109, 130, 139,
150
Kerugian Ekologis, 47
Kerugian Lingkungan, 52
Kesaksian, 24, 33, 34, 36, 39, 41
Kesehatan, 12, 15, 33, 80
Ketahanan Pangan, 60, 68, 70, 87
Ketenagalistrikan, 118, 120, 121, 123, 125, 134, 135
Kewajiban Atributif, 94
Kewarganegaraan, 100, 108
Kilang, 4
Koersi, 98, 100
Komitmen, 1, 5, 6, 8, 9, 10, 16, 65, 84, 91, 117, 118,
124, 132, 134, 135
Konstitusi Spasial, 89, 105
Konsumsi, 6, 67, 68, 74, 78
Kontaminasi, 33, 39
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Perubahan Iklim, 117
Koperasi Unit Desa
KUD, 65
Ko-Produksi, 88, 99, 100, 103
Kopula, 88
Korea, 68
Kyoto, 8, 9, 10, 18, 20, 21
L
La Niña, 63
Lahan, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 72, 73, 75, 76, 78, 81, 95,
138, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 151, 153
Latour, 101, 102, 112, 115
Laut, 7, 15
Lefebvre, 104, 105, 109, 112, 115, 116
Life-World, 102
Lingkungan, 3, 5, 6, 7, 18, 19, 20, 22, 27, 28, 29, 39, 40,
41, 43, 47, 49, 51, 52, 56, 79, 80, 87, 138, 140, 144,
145, 146
LPG, 5
M
Mahkamah Agung, 26, 27, 28, 34, 40, 41, 42, 49, 56
Majelis Hakim, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51
Malaysia, 68
Marxist, 106
Merrifield, 107, 109, 112, 115, 116
Metode Ilmiah, 24, 29, 30, 33, 35, 36, 39, 49, 51, 54
Mikrohidro, 123, 126, 131
Mineral, 4, 13, 33, 34, 56, 130, 133, 136
Minihidro, 123, 126, 131
Moratorium Sawit, 137, 138, 147, 152
Multi-Nodal Superiority, 106
Mutu, 1, 2
157
N
Naskah Akademik, 13
Nationally Determined Contribution, 10, 18, 117, 135,
136
NDC, 10, 18, 118, 120, 122, 124, 135, 136
Nikel, 35
Nitrogen Oksida, 4
Nitrogen Oksida, 7
O
Oil, 1
Oktan, 2, 3
Organik, 4, 60, 62
Organisasi Ruang, 98
Organization Of Space, 98
Ozon, 4
P
Padi, 60, 61, 64, 66, 71, 73, 77, 86, 87
Panas Bumi, 123, 127, 128, 129, 131
Paris, 10, 21, 117
Paris Agreement, 10, 21, 117
Partikulat, 4
Partisipasi, 73, 78, 100
Pathogenic, 36
Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup,
24
Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim
(Pedum), 63
Peer Review, 34, 37, 38, 49
Pemanasan Global, 4, 117
Pembangkit Listrik, 119, 122, 125, 126, 127, 129,
130, 131, 132, 133, 134, 135
Pembangunan, 61, 74, 80, 95, 96, 119, 124, 126, 131,
132, 134, 135, 141, 142, 143
Penataan Ruang, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98,
101, 109, 110
Pencemaran, 7, 28, 41, 50, 52
Penciptaan Ruang, 99
Pendapat Ahli, 32, 35, 39, 43, 50, 51, 53, 54
Penegakan Hukum, 28, 148, 149, 150, 152, 153
Pengacara, 31
Pengadilan, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 36, 38, 40,
41, 42, 43, 48, 53, 54
Pengadilan Negeri (PN), 43
Pengadilan Tinggi (PT), 44
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
PUAP, 78
Pengetahuan Khusus, 24, 29, 31, 32, 33, 39, 42, 43,
51, 53, 54
Penggugat, 33, 35, 42, 44, 47
Peran Serta Publik, 150
Peraturan, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 13, 18, 40, 42, 47, 52, 56,
79, 85, 91, 92, 96, 102, 111, 118, 119, 120, 123,
130, 136
Perdata, 39, 40, 56, 57
Perencanaan Tata Kota, 88, 89, 91, 92, 95, 96, 97, 98,
100, 101, 107
Perencanaan Tata Ruang, 88, 90, 91, 93, 94
Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, 137, 139
Perkara, 34, 39, 40, 41, 43, 49, 51
Perkara Perdata Lingkungan, 29
Permen ATR/Ka. BPN No. 1 Tahun 2018, 92, 95, 96,
97, 98, 100, 101, 102
Persetujuan Paris, 117
Pertalite, 3, 23
Pertamax, 3, 4, 23
Perubahan Iklim, 10, 19, 60, 63, 69, 70, 71, 73, 74, 77,
79, 80, 81, 85, 86, 87, 136
PLN, 119, 130
PLTB, 130, 133
PLTS, 126, 127, 130, 132, 133
PLTU Batubara, 126, 127, 128, 129, 130, 133, 134
Pluralitas, 88
Plyaromatic, 4
Policy, 1, 2, 6, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 88
Polusi, 2, 4, 5, 15
Post-Positivist, 102
Praksis Aktif, 107, 109, 110
Premium, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 13, 14, 16, 21, 22, 23
Production Of Space, 88
Produksi, 4, 14, 15, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68,
69, 70, 74, 75, 76, 77, 78, 81, 83, 88, 90, 92, 99, 100,
103, 105, 106, 109, 110
Produksi Ruang, 88, 90, 105, 110
Program Review Perizinan Kegiatan Ekstraktif, 147
Prominen, 97
Protokol Kyoto, 8, 9
Putusan, 24, 26, 27, 32, 34, 35, 38, 40, 41, 43, 44, 45,
48, 59
R
Rasio Elektrifikasi, 122
Refleksif, 88, 109
Regulation, 1, 24
Rekayasa, 89
158
Rekayasa Konstan, 89
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),
95
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), 95
Rencana Pembangunan Pertanian, 61
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), 98
Rencana Umum Energi Nasional, 119, 120, 123
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, 119
Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik, 119
Representasi, 90, 91, 99, 102, 104, 109
Residu, 3
Restriktif, 106
Rice, 60
RUKD, 120
RUKN, 119, 120, 124, 125, 126, 128, 129
Rumah Kaca, 3, 7, 8, 9, 10, 48, 73, 117, 118, 124, 125,
135
RUPTL, 119, 120, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132,
133, 135
S
Sains, 26, 27, 29, 30, 32, 35, 37, 38, 39, 42, 43, 53, 58,
99
Sartre, 109
Sawit, 45, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145,
146, 147, 148, 149, 150, 151, 153
Scientific Evidence, 2, 24
Scientific Method, 25
Security Of Demand, 125
Security Of Supply, 125
Sekolah Lapang Iklim
SLI, 75, 78, 82
Sel, 36
Semantik, 90, 94
Sinkronisasi, 139, 147, 149
Sosio-Spasial, 92, 93, 103, 105
Space As Conceived, 104
Space As Lived, 105
Space As Perceived, 104
Spatial Planning, 88
Specialised Knowledge, 25, 31, 32
Stakeholders, 12
Status Quo, 106
Suhu, 7, 10, 62, 69, 117
Sulfur, 4
Sumber Daya Energi, 119
Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan, 139, 140,
142, 143, 145, 146
Surplus, 68
Surya, 26, 123, 126, 129, 131
T
Tanah, 46, 47, 51, 65, 72, 96, 108, 140, 143, 144, 146
Teknologi Penanaman Tanpa Olah Tanah, 71
Temperatur, 46, 117
Tergugat, 34, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50
Thailand, 68
Thomas Lembong, 138
Titik Api, 45
Titik Panas, 45
Trajektori, 88
Transisi, 5, 149
Transportasi, 7, 10, 66, 97, 122
U
Udara, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 15, 22, 47, 62, 69
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, 91, 94
UNFCCC, 8, 9, 10
Uni Eropa, 2, 137
UNICEF, 15, 22
United Nations Framework Convention On Climate
Change, 8, 18, 117
Urbanisasi, 89
V
Valid, 12, 24, 25, 29, 31, 37, 39, 43, 46, 49, 50, 53
Validitas, 24, 37, 41, 42, 49, 54, 91, 96, 97
Valuasi, 51, 52, 53
Varietas Unggul, 71, 75
W
World Energy Council, 121, 122, 136
World-Wide Agreement, 8
159
Indeks Pengarang
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia
Volume 05 Nomor 1 Oktober 2018
A
Agus Efendi, 1
Alia Yofira Karunian, 1
Astrid Debora S.M, 137
G
Grita Anindarini Widyaningsih, 117
H
Henri Subagiyo, 137
N
Ni Luh Putu Chintya Arsani, 1
P
Perdinan, 60
R
Ryco F. Adi, 60
S
Shafira Anindia Alif Hexagraha, 88
T
Tri Atmaja, 60
W
Windu Kisworo, 24
Woro Estiningtyas, 60
PEDOMAN PENULISAN
Term of Reference
Jurnal Hukum Lingkungan
Vol. V Issue 2, April 2019
Dinamika Politik terhadap Kebijakan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
Latar Belakang
Salah satu catatan dalam pendekatan perumusan kebijakan berbasis kajian bukti
yang tepat (evidence based policy-making) adalah pentingnya untuk menganalisis
berbagai aspek ilmiah sebelum menentukan aturan main suatu kebijakan.
Dibutuhkan dukungan dari berbagai aktor yang berkepentingan langsung maupun
tidak langsung, ketersediaan data dan alat untuk menganalisis, kemampuan
menganalisis data, ruang partisipasi, serta keterbukaan informasi. Apabila seluruh
dukungan tersebut telah tersedia, dibutuhkan political will dari penguasa atau
pembuat kebijakan untuk menentukan arah kebijakan, pro perlindungan dan
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam atau sebaliknya.
Momentum Pemilu 2019 menjadi sarana bagi kita untuk kembali mengevaluasi
pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dan catatan untuk perbaikan pasca
perubahan periode pemerintahan. Berganti atau tidak pucuk pimpinan tertinggi di
Indonesia, dapat dipastikan akan tetap terjadi perubahan struktur organisasi dan
pemangku kepentingan setidaknya di beberapa sektor pemerintahan, termasuk
legislatif. Bagaimana dinamika politik yang telah dan akan terjadi mempengaruhi
kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya alam?
Sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup,
JHLI mengundang akademisi dan praktisi hukum dan kebijakan lingkungan hidup,
untuk menyumbangkan gagasan mengenai Dinamika Politik terhadap Kebijakan
x
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan:
(1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/hukum
internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan
lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap
kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan.
Tema dan Topik
JHLI Volume 5 Nomor 2, April 2019 memuat tulisan yang mengangkat tema umum:
Dinamika Politik terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.
Beberapa topik yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut
adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah, dan bahan beracun berbahaya (B3); (2)
Pengelolaan sampah; (3) Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati; (4)
Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan lingkungan; (8)
Tata ruang dan lingkungan hidup; (9) Perubahan Iklim; (10) Perikanan; (11)
Keterbukaan informasi; dan lain-lain.
Untuk setiap topik1, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih pertanyaan
kunci berikut:
1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan
dalam tataran norma?
2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplementasikan
norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?
1 Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk mempermudah penulis dalam
memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup
tema besar.
xi
3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan
hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?
Prosedur Pengiriman
Untuk Volume 5 Nomor 2, April 2019, Penulis diharapkan mengirimkan abstrak
paling lambat 30 November 2018 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi
asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis
yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 31
Januari 2019.
Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik yang
ditujukan ke [email protected] dengan di-cc ke [email protected].
Pemilihan Tulisan
Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan dengan
aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti ICEL.
Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima.
Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh Redaksi,
yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi yang terdiri dari
para peneliti ICEL dan Mitra Bestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorarium
yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi dan
merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk
melakukan perbaikan substansi maupun teknis terhadap tulisannya.
xii
Persyaratan Formil
A. Umum
Naskah harus ditulis dalam Bahasa Indonesia, belum pernah dipublikasikan, atau
dalam pertimbangan dimanapun. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan
ilmiah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk
prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan
kaki. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah daftar
pustaka.
B. Badan Naskah
1. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin
tepi dalam 3 cm, tepi luar 2 cm, atas 4 cm, dan bawah 3 cm. Tulisan
menggunakan huruf Book Antiqua berukuran 12 pt, spasi satu setengah (1,5)
tanpa spasi antar paragraf, dengan panjang naskah 4000-5000 kata.
Subjudul harus mengikuti, kaidah sebagai berikut:
a. Tingkat satu: angka romawi kapital (I, II, III, …);
b. Tingkat dua: alfabet kapital (A, B, C, …);
c. Tingkat tiga: angka arab (1, 2, 3, …);
d. Tingkat empat: alfabet kecil (a, b, c, …);
e. Tingkat lima: angka romawi kecil (i, ii, iii, …).
Sementara itu, pengaturan heading harus mengikuti, kaidah berikut:
a. Heading 1: Judul
b. Heading 2: Abstrak, subjudul tingkat 1 (I, II, III, dst), Daftar Pustaka,
dan Daftar Tabel/Gambar
c. Heading 3: subjudul tingkat 2 (A, B, C, dst)
d. Heading 4: subjudul tingkat 3 (1, 2, 3, dst)
2. Subjudul pertama harus berisi Pendahuluan dan terakhir berisi Penutup.
3. Kalimat pertama setiap paragraf harus menjorok ke dalam/first line sejauh
lima ketikan atau 0,75cm.
4. Kutipan langsung kurang dari 20 kata harus ditempatkan dalam paragraf
dengan menggunakan tanda kutipan (“........”). Sedangkan kutipan langsung
lebih dari 20 kata harus ditempatkan terpisah dari paragraf dengan margin kiri
1,27 cm, rata kanan kiri, dengan huruf miring dan jarak satu spasi.
C. Catatan Kaki
xiii
1. Semua kutipan, tabel, dan/atau gambar harus mencantumkan referensi,
dengan catatan kaki format Chicago yang menjorok ke dalam/first line sejauh
lima ketikan atau 0,75 cm, sebagaimana contoh berikut ini:
Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), hlm. 342-344;
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8,
Edisi ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201-
208;
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der
Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),
hlm. 7;
“Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak,” Sinar Harapan,
15 Januari 2014;
Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,
http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
2. Sementara jika terjadi pengulangan sumber referensi maka menggunakan Ibid.,
untuk referensi yang dirujuk kembali secara berurutan dan op. cit. untuk
referensi yang dirujuk kembali secara tidak berurutan, kemudian ditambahkan
informasi nomor halaman jika berbeda halaman.
D. Daftar Pustaka
Daftar pustaka ditulis pada akhir naskah, dengan judul “DAFTAR PUSTAKA,”
ditulis dalam huruf Book Antiqua 12, spasi satu setengah (1,5), format
menggantung/hanging, dan alfabetis. Jika sumber beragam, maka harus
dikelompokan menjadi:
a) Peraturan perundang-undangan
b) Putusan Pengadilan
c) Buku
d) Artikel jurnal/media massa
xiv
e) Lain-lain
Adapun contoh penulisan Daftar Pustaka adalah sebagai berikut:
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU
No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau
Kerusakan Lingkungan Hidup. No. 7 tahun 2014.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata [Het Herzein Inlandsch
Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui], diterjemahkan oleh Tim
Visi Yustisia. Jakarta. Visi Media Pustaka, 2015.
Putusan pengadilan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.
Mahkamah Agung, Putusan No. 651 K/PDT/2015.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt. Sel.
Buku
Dewiel, Boris. “What is the People? A Conceptual History of Civil Society,” dalam
Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of British Columbia
Press. 2000.
Sands, Phillipe. Principles of Environmental Law. Cambridge: Cambridge University
Press. 2007.
Artikel Jurnal/Media Massa
Rahayu, Muji Kartika. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan
MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 3,
September 2006.
Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15 Januari
2014.
xv
Lain-Lain
Burchi, Tefano. “Current Developments and Trends in Water Resources
Legislation and Administration”. (disampaikan pada the 3rd Conference of
the International Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain:
AIDA, 11-14 Desember 1989.
Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,
http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.
xvi