Jurnal Desember 2012

121
I Vol. 5 No. 3 Desember 2012 ISSN 1978-6506 Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012 Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Hal. 241-343 Jakarta Desember 2012 ISSN 1978-6506 MERENGKUH PENGAKUAN

Transcript of Jurnal Desember 2012

Page 1: Jurnal Desember 2012

I

Vol. 5 No. 3 Desember 2012

ISSN 1978-6506

Terakreditasi LIPI No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012

Jurnal Yudisial

Vol. 5 No. 3 Hal. 241-343

Jakarta Desember 2012

ISSN 1978-6506

MERENGKUH PENGAKUAN

Page 2: Jurnal Desember 2012

II

DIS

CLA

IME

R

MIT

RA

BE

STA

RI Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas

sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi Desember 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum. (Pakar Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Hukum Pidana)

4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. (Pakar Hukum Pidana)

Page 3: Jurnal Desember 2012

III

Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-

putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat

Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215

Email: [email protected]

DIS

CLA

IME

R

Page 4: Jurnal Desember 2012

IV

PE

NG

AN

TARPenanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si.

Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan)

Penyunting : 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)

2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)

3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)

4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)

5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)

6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer)

7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP.

Arnis Duwita Purnama, S.Kom.

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita, S.S.

3. Romlah Pelupessy, S.E.

4. Ahmad Baihaki, S. Kom.

5. Arif Budiman. S.Sos.

6. Drs. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya, S.T.

8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.

TIM

PE

NY

US

UN

Page 5: Jurnal Desember 2012

V

PE

NG

AN

TAR MERENGKUH PENGAKUAN

Jurnal terakreditasi menjadi status baru Jurnal Yudisial yang diterbitkan Komisi Yudisial. Status ini melekat seiring penyerahan sertifikat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012 pada tanggal 30 Oktober

2012. Sertifikat itu telah menetapkan Jurnal Yudisial sebagai majalah ilmiah terakreditasi sejak 1 Oktober 2012 dan berlaku selama tiga tahun mendatang.

Dalam terminologi Bahasa Indonesia, pengakuan bermakna pengesahan, yang memiliki persamaan kata dengan akreditasi, legalisasi, dan pengukuhan. Dalam kerangka tulisan ini, definisi akreditasi sebagai penilaian dan pengakuan lembaga pemerintah/pemangku otorisasi terhadap status hasil karya ilmiah. Status “terakreditasi” juga identik sebagai pernyataan kepada publik jika memenuhi standar mutu yang sudah ditetapkan.

Pengakuan dengan label akreditasi ini hasil kerja keras dari pengelola, mitra bestari, dan dewan penyunting tanpa terkecuali. Tidak mudah untuk merengkuh akreditasi lantaran LIPI telah menetapkan beragam prasyarat ketat yang harus dipenuhi tanpa proses tawar-menawar. LIPI dan Kemendiknasbud, dua lembaga yang memiliki otoritas akreditasi majalah ilmiah, telah menetapkan standar baru tahun ini dengan hasil akhir, terakreditasi atau tidak terakreditasi. Penilaian itu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya kategori akreditasi terbagi dalam tiga kelompok, A, B, dan C.

Alhamdulillah, meski pengajuan ini baru pertama kali dilakukan, dan memperoleh nilai 78.25 dan menyandang status majalah ilmiah terakreditasi. Hasil itu patut disyukuri lantaran tidak sedikit majalah ilmiah harus rela “bersabar” lantaran belum memenuhi syarat yang ditetapkan dalam pengajuan akreditasi. Lantas, apa makna penting dari akreditasi ini? Pertama, sebagai bentuk pengakuan lembaga publik terhadap seluruh proses dan hasil karya Jurnal Yudisial sehingga menempatkannya sejajar dengan penerbitan serupa yang terlebih dulu menyandang status akreditasi. Kedua, kontribusi nyata Jurnal Yudisial dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan khususnya kajian putusan hakim di tanah air. Keberadaan Jurnal Yudisial diharapkan mampu membawa misi sebagaimana amanat termaktub dalam UUD 1945.

Status akreditasi mengandung makna tanggung jawab. Makna itu hanya menyisakan satu pilihan yaitu tetap menjaga dan mempertahankan mutu Jurnal Yudisial sesuai dengan syarat yang sudah ditetapkan. Di akhir kata, selaku Pemimpin Redaksi mengucapkan terima kasih kepada pengelola, mitra bestari dan penulis sehingga Jurnal Yudisial edisi kali ini dapat hadir di hadapan Anda.

Terima kasih

Tertanda

Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

Page 6: Jurnal Desember 2012

VI

DA

FTA

R IS

I Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012

PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN KERUGIAN POTENSIAL DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP ............................................................ 241Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKTLiza Farihah & Femi Angraini, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

DISPARITAS HUKUMAN DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN ...................................... 261Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smgdan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.Wahyu Nugroho, Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta

PENGUATAN ARGUMENTASI FAKTA-FAKTA PERSIDANGANDAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM .................................. 283Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MAMarwan Mas, Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar

PEMIHAKAN HAKIM TERHADAP KEADILAN SUBSTANTIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH .......... 298Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTYBambang Sutiyoso, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

DOKTRIN PATEN DALAM SENGKETA APPLE MELAWAN SAMSUNG .................................................................... 316Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/KG ZA 11-730Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok

MENCARI JARUM ‘KAIDAH’ DI TUMPUKAN JERAMI ‘YURISPRUDENSI’ .......................................................................... 331Kajian Putusan Nomor 777 K/Pid.Sus/2009Shidarta, Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara, Jakarta

ISSN 1978-6505

Page 7: Jurnal Desember 2012

VII

UDC 341.64: 349.601

Farihah L & Angraini F (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial dalam Perkara Tata Usaha Negara Terkait Lingkungan Hidup

Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 241-260

Manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan hidupnya karena kesinambungan kehidupan manusia tersebut bergantung pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, setiap orang diberikan hak untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi menjamin pemenuhan hak atas lingkungan tersebut. Salah satu bentuk perwujudan hak aktif tersebut adalah dengan mengajukan gugatan ke PTUN apabila terdapat Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Aparat penegak hukum membutuhkan prinsip kehati-hatian dalam penegakan hukum lingkungan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Prinsip kehati-hatian dipergunakan dalam menetapkan kerugian potensial yang ditimbulkan oleh suatu keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan lingkungan.

(Liza Farihah & Femi Angraini)

Kata kunci: lingkungan hidup, prinsip kehati-hatian, kerugian potensial.

UDC 343.23

Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid, Jakarta)

Disparitas Hukuman dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Kajian Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 261-282

Disparitas hukuman dalam perkara pidana merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari terhadap vonis apapun. Namun hal tersebut akan menimbulkan masalah ketika perbedaan tersebut tidak beralasan. Penulis menemukan terjadi disparitas hukuman dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan atas putusan hakim No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Beberapa hasil kajian terhadap kedua putusan ini terungkap antara lain: (1) kedua putusan menunjukkan hakim dalam perkara pencurian dengan pemberatan atas kedua putusan ini kurang memperhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat, tidak bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya, dan masih kental pola pikir positivistis atau legistis, yaitu dengan digunakannya teori pencegahan khusus dan menerapkan sistem residivis; (2) dalam sudut pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas putusan hakim pada perkara pencurian dengan pemberatan dalam konteks kedua putusan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisasi dengan cara mempertimbangkan pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 5 No. 3 Desember 2012Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.

Page 8: Jurnal Desember 2012

VIII

bersifat perbuatan lahiriah dan hal-hal yang bersifat subjektif seperti motivasi dan kesengajaan, juga memperhatikan akibat dari perbuatan, bobot kejahatan, cara melakukan, sikap batin (kesalahan), dan relevansi dengan hakikat delik. Hakim jangan hanya mengacu pada pertimbangan formal.

(Wahyu Nugroho)

Kata kunci: disparitas hukuman, pencurian dengan pemberatan, sistem peradilan pidana.

UDC 343.153

Mas M (Fakultas Hukum, Universitas 45, Makassar)

Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan dan Teori Hukum dalam Putusan Hakim

Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 283-297

Membangun citra dan wibawa hakim tidak terlepas dari kualitas putusannya yang harus dibarengi dengan pemahaman ilmu hukum yang luas. Hakim harus mampu menilai dan menganalisis fakta-fakta yang terungkap dalam sidang mengenai kesalahan terdakwa, kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum yang dilandasi teori hukum, doktrin, dan asas hukum. Untuk memenuhi harapan tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan struktur filosofis, juridis, dan sosiologis dalam memeriksa dan memutus perkara, karena dapat menimbulkan kerusakan terhadap keseluruhan sistem yang akan dijalankan. Kemandirian hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan tidak boleh hanya dinilai dari aspek ketepatan penerapan hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan dan memahami rasa keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

(Marwan Mas)

Kata kunci: argumentasi, fakta hukum, teori hukum, putusan hakim.

UDC 349.422

Sutiyoso B (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Pemihakan Hakim Terhadap Keadilan Subtantif dalam Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah

Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTY

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 298-315

Tulisan ini mengkaji putusan hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam perkara perdata Nomor 44/PDT/2011/PTY terkait sengketa kepemilikan tanah. Pengkajian putusan dilakukan secara komprehensif, dengan mencermati kasus posisinya, dasar hukum yang digunakan, pertimbangan hukum, amar putusannya dan selanjutnya dilakukan analisis dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, putusan hakim secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata. Kedua, putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis dalam pertimbangan hukumnya dan telah berupaya menggali nilai-nilai nonyuridis yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, harus diakui dalam putusan tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi sumber-sumber hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan doktrin. Terakhir, hakim banding dalam sikapnya ternyata lebih berpihak pada keadilan substantif dibandingkan keadilan prosedural. Hal ini dapat terlihat ketika akta jual beli tanah dalam kasus ini dianggap tidak sah dan memiliki kekuatan hukum

Page 9: Jurnal Desember 2012

IX

karena akta jual beli Nomor 299/2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT itu diperoleh dengan surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1992.(Bambang Sutiyoso)

Kata kunci: kepemilikan tanah, keadilan substantif.

UDC 342.72/.73

Romadhon RF & Nautika MF (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Doktrin Paten dalam Sengketa Apple Melawan Samsung

Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/KG ZA 11-730

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 316-330

Sengketa paten yang menyita perhatian publik di akhir tahun 2011 sampai 2012 adalah perkara antara Samsung melawan Apple. Sengketa dua perusahaan raksasa tersebut telah memasuki ranah persidangan di berbagai negara seperti di Inggris, Belanda, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Putusan pengadilan terhadap sengketa itu berbeda satu dengan yang lain, di beberapa negara memutuskan memenangkan Samsung, dan di beberapa negara lain memenangkan Apple. Salah satu putusan pengadilan yang menjadi kajian dalam tulisan ini ialah putusan Pengadilan Den Haag 396957/KG ZA 11-730 terkait klaim paten yang memenangkan Apple. Putusan ini menjadi kajian yang menarik lantaran berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, langkah inventif, dan utilitas. Sebagaimana putusan hakim, Samsung dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga ponsel pintar keluaran Samsung dilarang beredar di pasaran Belanda.

(Rico Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika)

Kata kunci: doktrin paten, kebaruan, langkah inventif, utilitas.

UDC 342.352: 340.14

Shidarta (Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Mencari Jarum ‘Kaidah’ di Tumpukan Jerami ‘Yurisprudensi’

Kajian Putusan Nomor 777 K/Pid.Sus/2009

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 331-343

Ada demikian banyak putusan hakim yang diberi label ‘yurisprudensi’. Sebuah yurisprudensi harus memuat kaidah yang mengandung penemuan hukum di dalamnya. Selain itu, kaidah yurisprudensi itupun harus memiliki nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber formal hukum. Dalam tulisan ini, secara arbiter telah dipilih satu putusan Mahkamah Agung yang di dalam situs resmi MA dinyatakan sebagai yurisprudensi. Oleh karena tidak ditemukan rumusan kaidah yurisprudensinya, maka dalam tulisan ini dilakukan upaya identifikasi terhadap kaidah tersebut. Hasil dari identifikasi tersebut paling tidak telah menemukan empat proposisi yang termuat dalam premis mayor sejumlah silogisme dan keempat proposisi ini dapat dianggap sebagai kaidah yurisprudensi tersebut. Sayangnya, kaidah-kaidah yang teridentifikasi inipun belum mampu menunjukkan kualitas suatu yurisprudensi karena ketiadaan penemuan hukum yang berkontribusi signifikan bagi khazanah sumber formal hukum.

(Shidarta)

Kata kunci: yurisprudensi, kaidah yurisprudensi, penemuan hukum.

Page 10: Jurnal Desember 2012

X

JURNAL YUDISIAL

ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 5 No. 3 Desember 2012The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge

UDC 341.64: 349.601

Farihah L & Angraini F (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Precautionary Principle and Potential Damage in a Case of State Administrative Decision Related to Environment

An Analysis on Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 241-260

Human beings as living creatures cannot be separated with their environment on which our life and well-being depend. Therefore, every person is given a right to active role in environmental protection and management in order to ensure the fulfillment of his/her right to environment. One way to embrace the right is by filing a lawsuit to the state administrative court in case an administrative decision is not in accordance with the principles of environmental protection and management. The precautionary principle becomes essential for officials who enforce the environmental law to prevent any irreversible damage. Such a principle is also an instrument in determining potential damages caused by state administrative decisions related to the environment.

(Liza Farihah & Femi Angraini)

Keywords: environment, precautionary principle, potential damage.

UDC 343.23

Nugroho W (Fakultas Hukum, Universitas Sahid, Jakarta)

Disparity of Sentencing in the Criminal Case of Theft Under Aggravating Circumstances

Analyses on Decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 261-282

Disparity of sentencing in criminal case is hardly to be avoided. The problem of disparity emerges when there is not supported with enough and appropriate reasons as revealed by the author in court decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg in the criminal case of theft under aggravating circumstances. The author of this article concludes that: (1) both verdicts show that the judges did not pay enough attention to criminogenic factors existing in society as well as to the punishment objective as a means to behavior rehabilitation. On the other hand, judges all appeared to contribute to a mind-set characterized by a desire to follow legal positivism or legism. They preferred to impose special precaution theory and apply recidivist system. (2) In the perspectives of those judges and some academics, the disparity on the cases of theft under aggravating circumstances may not be eliminated, but at least, it is still possible to be minimized. The minimization can be done by considering the guidelines in terms of physical actions and subjective factors such as motivation and intention. Other considerations

Page 11: Jurnal Desember 2012

XI

are the consequences of action, crime weighting, crime modus operandi, attitude, and the nature of crime. Hopefully, judges will never ponder formal consideration only.

(Wahyu Nugroho)

Keywords: disparity of sentence, theft under aggravating circumstances, criminal justice system.

UDC 343.153

Mas M (Fakultas Hukum, Universitas 45, Makassar)

Strenghtening the Argument on Legal Facts and Legal Theories in Judge-Made Laws

An Analysis on Decision Number 181 K/Pid/2007/MA (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 283-297

Improving the image and authority of judges has something to do with the quality of their decisions that must be coupled with a broad understanding of legal science. Judges must be able to assess and analyze the facts as revealed during the trial regarding defendant’s fault, then pour them in legal reasoning based on the right legal theories, doctrines, and principles. To meet these expectations, judges must not ignore the philosophical, juridical, and sociological structures in examining and deciding cases. Ignoring the above mentioned aspects will terribly affect to the functions of the overall legal system. Independence of judges in the hearing and passing decisions should not only be viewed from the aspect of accuracy in applying the legal basis, but also from the full attention to and understanding of justice, truth, and living laws.

(Marwan Mas)

Keywords: argument, legal fact, legal theory,

judge-made law.

UDC 349.422

Sutiyoso B (Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Judges’ Unfairness Regarding the Substantive Justice in a Land Ownership Dispute

An Analysis on Decision Number 44/PDT/2011/PTY (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 298-315

This article discusses a land ownership dispute revealed in decision of the Yogyakarta’s Appealate Court Number 44/PDT/2011 PTY. The author scrutinizes all aspects of the decision ranging from the fundamentum petendi, legal basis, petitum up to the dictum and enriches his analyses by using both primary and secondary data. He concludes that: (1) in general, this decision has been in line with all essentials of civil procedural law and the panel of judges has been succesful to disclose all elements of the arguments either those of the plantiff or of the defendant; (2) the decision shows the implementation of appropriate legal reasoning and the ability to explore living values in our society. Unfortunately, the panel of judges still presents it based upon a lack of references like precedential decisions and/or legal doctrines. In this case, the panel takes the substantive justice into account rather than procedural justice. This preference can be seen as the panel of judges ignores the validity of the notary public’s deed Number 2999/2008 in which it was conveyed based on the absolute power of attorney that is considered against the Home Affairs Minister’s Instruction Number 14 Year 1992.

.(Bambang Sutiyoso)

Keywords: land ownership, substantive justice.

Page 12: Jurnal Desember 2012

XII

UDC 342.72/.73

Romadhon RF & Nautika MF (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok)

Patent Doctrines in the Apple VS Samsung Dispute

An Analysis on the Den Haag Court Number 396057/KG ZA 11-730 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 316-330

The patent case between Apple versus Samsung has attracted a lot of attention in late 2011 to 2012. This huge case between the two most well-known companies occurred in some countries such as in the United Kingdom, South Korea, United States of America, the Netherlands, and many others. The verdicts also varied in respective countries, some of them were won by Apple and others by Samsung. The focus of this article is about the patent claim as revealed in the verdict of The Hague’s Court Number 396957/KG ZA 11-730 that was won by Apple. The issue is interesting since three claims of Apple were incompatible for patent protection, i.e. novelty, inventive steps, and utility. Samsung was considered faulty because it has infringed Apple’s EP 868 so Samsung’s smartphones are prohibited in the Netherland’s market.

(Rico Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika)

Keywords: patent doctrine, novelty, inventive steps, utility.

UDC 342.352: 340.14

Shidarta (Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Looking for a Needle in a Haystack: a Struggle to Find Out ‘Norms of Precedent’

An Analysis on Decision Number 777 K/Pid.Sus/2009 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(3), 331-343

There are so many judge-made laws regarded as precedential decisions. Any precedential decision should contain certain norms derived through a law-making process (rechtsvinding). Such norms of precedent should contribute ‘added values’ to the collection of formal legal sources. In this article, the author arbitrary chooses one of supreme-court decisions downloaded from the official website of the Indonesian Supreme Court (MA). The decision has been labelled as ‘precedential decision’ but without any statement of the precedential norm. Having identified the decision, the author of this article provides at least four propositions depicted from all major premises of four syllogisms. These propositions can be considered norms of precedent. Regrettably, all of them fail to demonstrate the quality of a precedential decision since the lack of law-making contribution to the formal legal sources.

(Shidarta)

Keywords: precedential decision, norm of percedent, law making.

Page 13: Jurnal Desember 2012

Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 241

AbstrAct

Human beings as living creatures cannot be separated with their environment on which our life and well-being depend. Therefore, every person is given a right to active role in environmental protection and management in order to ensure the fulfillment of his/her right to environment. One way to embrace the right is by filing a lawsuit to the state administrative court in case an administrative decision is not in accordance with the principles of environmental protection and management. The precautionary principle becomes essential for officials who enforce the environmental law to prevent any irreversible damage. Such a principle is also an instrument in determining potential damages caused by state administrative decisions related to the environment.

Keywords: environment, precautionary principle, potential damage.

ABSTRAK

Manusia sebagai makhluk hidup tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan hidupnya karena kesinambungan kehidupan manusia tersebut bergantung pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, setiap orang diberikan hak untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi menjamin pemenuhan hak atas lingkungan tersebut. Salah satu bentuk perwujudan hak aktif tersebut adalah dengan mengajukan gugatan ke PTUN apabila terdapat Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Aparat penegak hukum membutuhkan prinsip kehati-hatian dalam penegakan hukum lingkungan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Prinsip kehati-hatian dipergunakan dalam menetapkan kerugian potensial yang ditimbulkan oleh suatu keputusan tata usaha negara yang berkaitan dengan lingkungan.

Kata kunci: lingkungan hidup, prinsip kehati-hatian, kerugian potensial.

PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN KERUGIAN POTENSIAL DALAM PERKARA TATA USAHA NEGARA

TERKAIT LINGKUNGAN HIDUP

Kajian Putusan Nomor 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

PRECAUTIONARY PRINCIPLE AND POTENTIAL DAMAGE IN A CASE OF STATE ADMINISTRATIVE DECISION

RELATED TO ENVIRONMENT

Liza Farihah & Femi AngrainiFakultas Hukum Universitas Indonesia

Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424Email: [email protected], [email protected]

An Analysis on Decision Number 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT

Diterima tgl 11 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

Page 14: Jurnal Desember 2012

242 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

PENDAHULUANI.

UUD NRI 1945 secara tegas menjamin bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 28H UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan merupakan hal yang sangat esensial bagi kehidupan manusia sehingga hak atas lingkungan tersebut diletakkan dalam kerangka hak asasi manusia. Hak atas lingkungan tersebut kemudian melandasi pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang menggantikan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan peraturan lainnya.

UUPLH memberikan hak yang tidak hanya berupa hak pasif sebagai hak warga negara yang menjadi kewajiban negara untuk dipenuhi tetapi juga memberikan hak aktif untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan mengenai hak aktif maupun pasif ini tercermin dari bunyi Pasal 5-7 Bab III UUPLH tersebut. Hak aktif setiap warga negara dapat terlihat dari pengaturan Pasal 5 ayat (3) UUPLH yaitu setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang kemudian dipertegas dalam Pasal 7 UUPLH tersebut. Hak aktif masyarakat lainnya juga dapat terlihat dalam Pasal 37 UUPLH yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke

penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi kewajiban negara, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat menjadi hal penting sebagai upaya mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Upaya tersebut dilakukan melalui tindakan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan, serta penegakan hukum. Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik (Syahrin, 2011).

Manusia sebagai makhluk hidup dan lingkungan hidupnya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan hidup mencakup seluruh lingkungan alam seperti lingkungan fisik, biologi, dan sosial. Definisi lingkungan hidup menurut UUPPLH yang menyempurnakan definisi dalam UUPLH sebagai “Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Definisi lingkungan hidup yang diberikan UUPLH tidak secara tegas menyebutkan pengaruh terhadap “alam itu sendiri”.

Berdasarkan definisi lingkungan hidup baik yang diberikan UUPLH atau UUPPLH, dapat dilihat bahwa lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang mencakup keseluruhan

Page 15: Jurnal Desember 2012

242 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 243

keanekaragaman hayati dan non-hayati yang keseluruhannya mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Istilah keanekaragaman hayati (biological diversity) merujuk pada tingkat keanekaragaman sumber daya alam yang dimiliki pada daerah tertentu. Istilah ragam hayati mencakup tiga tingkat pengertian berbeda, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman spesies dan keanekaragaman ekosistem (Badan Lingkungan Hidup Bengkulu Utara, 2011: 1-2).

Pentingnya keanekaragaman hayati sebagai sumber daya alam bagi kehidupan manusia dan makhluk hidupnya lainnya menjadikannya sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan. Dengan diberikannya peran aktif pada masyarakat untuk mengajukan keberatan maka masyarakat secara tidak langsung ikut pula di dalam proses penegakan hukum, bahkan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan. Dengan begitu masyarakat dapat lebih dekat dan terlibat dalam proses pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, masyarakat juga ikut serta serta mempertahankan hak asasinya dari rencana kegiatan dan/atau usaha yang dapat merugikannya dan lingkungan

Salah satu kasus yang cukup mencolok mengenai penerapan hak aktif ini adalah tindakan yang dilakukan beberapa yayasan yang terlibat dalam perlindungan lingkungan dan konsumen yang mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 56903 sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard) tertanggal 7 Februari 2001. Para Penggugat merasa bahwa surat keputusan tersebut berpotensi memberikan kerugian bagi masyarakat yang diwakili oleh yayasan-yayasan tersebut.

Kasus kapas transgenik tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat luas di awal tahun 2001. Surat keputusan yang menjadi objek gugatan ini menjadi permasalahan karena dikeluarkan tanpa dilengkapi dokumen AMDAL sebagai prasyarat dikeluarkan izin usaha yang seharusnya dipenuhi PT Mngro sebagai pemrakarsa kegiatan. Dokumen AMDAL ini menjadi sangat penting karena kegiatan yang akan dilakukan PT Mngro berkaitan dengan tanaman transgenik yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi lingkungan.

Prinsip teknologi transgenik adalah pemindahan satu atau beberapa gen, yaitu potongan DNA yang menyandikan sifat tertentu dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya sehingga makhluk hidup tersebut memiliki sifat tertentu yang tidak dimiliki sebelumnya. Teknologi yang sama digunakan pada kasus kapas transgenik yang merupakan hasil introduksi gen sehingga memiliki sifat-sifat tertentu yang menguntungkan. Terdapat empat karakteristik tanaman kapas transgenik, jenis pertama disebut “kapas Bt” yang toleran terhadap serangga hama sedangkan 3 jenis lainnya toleran terhadap herbisida, Glyphosate (Roundup), Bromoxynil (BXN), dan Sulfonylurea (SU).

Salah satu bentuk hasil rekayasa genetis pada tanaman transgenik adalah ketahanan tanaman terhadap CBW, dengan mengintroduksi gen Bt yang berhubungan dengan ketahanan serangga hama hasil isolasi bakteri tanah Bacillus thurigiensis yang dapat memproduksi protein kristal yang bekerja seperti insektisida (insecticidal crystal protein) yang dapat mematikan serangga hama. Jenis kapas yang dikembangkan di daerah Sulawesi Selatan pada awal tahun 2001 ini termasuk jenis kapas Bt yang mematikan bagi serangga hama. Teknologi kapas

Page 16: Jurnal Desember 2012

244 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

Bt ini juga memiliki implikasi baik dari segi petani maupun lingkungan itu sendiri.

Petani yang menggunakan teknologi ini kemudian akan bergantung pada perusahaan besar untuk benih, pupuk, dan obat-obatan yang kemungkinan hanya dapat disediakan oleh perusahaan besar. Implikasi terhadap lingkungan berkaitan dengan risiko dampak lingkungan yang ditimbulkan karena dapat membahayakan organisme lainnya

Pada prinsipnya, tanaman kapas ini disisipi gen khusus yang dapat membunuh serangga apabila memakan tanaman tersebut. Tentunya hal ini kemudian mempengaruhi keanekaragaman hayati dan ekosistem di mana tanaman kapas tersebut berada. Hal ini dikarenakan pola hidup tanaman kapas tersebut berubah maka tempat hidupnya berpotensi untuk berubah. Usaha yang berpotensi risiko seperti inilah yang perlu didukung dengan dokumen AMDAL sebagai prasyarat dikeluarkannya izin usahanya.

Pada kenyataannya, surat keputusan yang menjadi objek gugatan dikeluarkan tanpa adanya dokumen AMDAL. Majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini menganggap bahwa surat keputusan tersebut telah dibuat sesuai dengan prinsip kehati-hatian, tidak perlu disertai dokumen AMDAL, dan tidak dimaksudkan untuk berlaku secara permanen.

Majelis hakim melihat bahwa Tergugat telah menggunakan prinsip kehati-hatian sebelum mengeluarkan surat keputusan dan kewajiban untuk AMDAL bagi Tergugat tidak dipersyaratkan. Majelis hakim berpandangan bahwa surat keputusan ditujukan untuk uji coba penanaman di lapangan dan pemanfaatan secara terbatas kapas transgenik dalam jangka waktu satu tahun, dengan disertai pemantauan

dan evaluasi. Kemudian, uji coba tersebut akan ditinjau kembali jika berdampak negatif terhadap keamanan hayati, lingkungan, dan kesehatan manusia.

Dari pertimbangan ini, majelis hakim melihat bahwa surat keputusan belum menghasilkan kerugian bagi siapapun. Mengenai dasar gugatan Penggugat mengenai kerugian potensial akibat dikeluarkannya surat keputusan tersebut, majelis hakim menimbang bahwa peradilan tata usaha negara melakukan penilaian yang bersifat a posteriori, yaitu setelah terjadinya akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu, majelis hakim memutuskan bahwa gugatan Penggugat harus ditolak seluruhnya (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT halaman 174-185).

Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang kajian penulis karena dalam kasus ini dokumen AMDAL tidak hanya sebagai prasyarat dikeluarkannya suatu izin usaha melainkan juga sebagai wujud prinsip kehati-hatian dalam kegiatan yang memiliki kerugian potensial. Sifat kerusakan lingkungan yang sangat sulit dipulihkan (irreversible) menjadikan prinsip kehati-hatian dalam melihat kerugian potensial menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara lingkungan.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana penerapan precautionary principle (prinsip kehati-hatian) dalam hukum lingkungan sebagai alasan gugatan berupa potential damage (kerugian potensial) dalam perkara tata usaha negara?

Page 17: Jurnal Desember 2012

244 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 245

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Dalam kajian putusan ini, diperlukan studi pustaka mengenai precautionary principle (prinsip kehati-hatian) dalam hukum lingkungan, potential damage (kerugian potensial) yang menjadi dasar gugatan, dan kewajiban memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

1. Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian)

Preventiative principle dan Precautionary principle adalah prinsip yang pada awalnya diadopsi dalam deklarasi dan kemudian diadopsi dalam berbagai konvensi sebagai bentuk pengejawantahan dari prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini merupakan perkembangan dalam kebijakan nasional maupun internasional yang bertujuan melindungi manusia dan lingkungan hidup dari bahaya yang serius dan tidak bisa dipulihkan. Precautionary principle atau prinsip kehati-hatian ini menekankan pada bagaimana melakukan pencegahan agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran. Lebih jauh lagi, prinsip ini juga mengatur mengenai pencegahan agar tidak terjadinya kerusakan lingkungan hidup (Wibisana, 2008: 214).

Pencegahan tersebut dilakukan pada kegiatan dan/atau usaha yang belum diketahui seberapa luas dan besar kerugian dan/atau kerusakannya. Pencegahan dilakukan dengan melakukan langkah nyata, meskipun belum adanya bukti ilmiah mengenai seberapa luas dan besar akibat yang mungkin terjadi. Namun prinsip ini hanya akan berlaku pada perkiraan yang berdampak serius dan kerusakan yang tidak

dapat dipulihkan kembali terhadap lingkungan hidup (Freestone dan Hey, 1996: 12). Prinsip ini berkembang begitu cepat di seluruh belahan bumi sebagai prinsip yang sudah jelas kebenarannya (axiomatic) sebagai prinsip dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup (Freestone dan Hey, 1996: 12).

Prinsip kehati-hatian menjadi prinsip yang penting dan diadopsi dalam berbagai kebijakan setelah dituangkan dalam Deklarasi Rio 1992 yang dihasilkan pada The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil tanggal 3-14 Juni 1992. Prinsip 15 Deklarasi Rio 1992 menyatakan bahwa:

”In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradation” (Freestone, 1994: 193-218).

Prinsip kehati-hatian menunjukkan bahwa kehati-hatian perlu dilakukan oleh negara dalam pembuatan kebijakannya. Kegiatan yang memiliki kemungkinan untuk menyebabkan dampak yang serius dan tidak dapat dipulihkan inilah yang dalam prinsip ini haruslah dicegah. Dalam hal ini, kurangnya kepastian ilmiah tidaklah dapat dijadikan alasan untuk melakukan penundaan bagi upaya pencegahan.

Secara eksplisit, laporan dari United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP) menyatakan bahwa “Believe that, in order to archieve sustainable development, policies must be based on the precautionary

Page 18: Jurnal Desember 2012

246 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

principle” (United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP, 1990: 8).

Konsep pencegahan dini ini memang telah diterima dan diterapkan secara luas dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kaitannya dengan prinsip kehati-hatian ini, dikemukakan bahwa “Science does not always provide the insights needed to protect the environment effectively, and that undesirable effect my result if measures are taken only when science does provide such insights” (Freestone and Hey, 1996: 12).

Selanjutnya, Freestone dan Hey juga mengemukakan bahwa “The essence of precautionary concept, the precautionary principle, is that once a risk has been identified, the lack of scientific proof of cause and effect shall not be used as a reason for not taking action to protect the environment” (Freestone dan Hey, 1996: 13).

Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan unsur-unsur dalam penerapan prinsip kehati-hatian:

1. Once a risk has been identified. Apabila telah teridentifikasinya kerugian yang mungkin timbul.

2. Where there are threats of serious or irreversible damage. Apabila adanya ancaman yang serius atau ancaman tersebut tidak dapat dipulihkan kembali akibatnya sehingga berdampak selamanya pada lingkungan. Serious dan irreversible damage tidak menentu ukurannya dan harus dilihat kasus per kasus.

3. Lack of scientific certainty. Apabila terdapat kurangnya kemampuan untuk

mengukur kemungkinan akan akibat atau dampak yang akan terjadi. Sehingga terdapat uncertainty atau ketidakyakinan atas kepastian mengenai besar dan luasnya dampak yang akan terjadi.

2. Potential Damage (Kerugian Potensial)

Kerugian potensial atau yang belum terjadi dibagi menjadi dua yaitu potential damage dan potential risk. Potential damage diartikan bahwa kerusakan atau kerugian pada lingkungan hidup belum terjadi. Kita bisa saja tidak memiliki pengetahuan atas seberapa besar dampak yang akan terjadi dan seberapa mungkin dampak tersebut akan terjadi. Tetapi kita dapat pula memiliki pengetahuan atas besaran dampak saja, atas kemungkinan (probabilitas) munculnya dampak saja, atau atas kedua-duanya.

Apabila potensi besaran dampak dan probabilitasnya diketahui, maka potential damage dapat dikategorikan sebagai potential risk, dan bagi kondisi ini berlaku pencegahan menurut prinsip pencegahan. Dalam potential risk meski kerusakan atau kerugian sama-sama belum terjadi dan sangat berpotensi terjadinya hal tersebut, tetapi telah dapat diperkirakan seberapa besar dan luas dampaknya, sehingga di sini terdapat perbedaan yaitu pada pengetahuan manusia akan luas dan besarnya dampak yang akan terjadi. Apabila kita uraikan kembali mengenai unsur potential damage adalah:

1. Belum terjadinya kerusakan dan/atau kerugian; dan

2. Kerusakan dan/atau kerugian tersebut berpotensi untuk terjadi.

Perlu disoroti bahwa potential damage adalah possible yang bermakna kerusakan dan/

Page 19: Jurnal Desember 2012

246 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 247

atau kerugian itu mungkin terjadi tetapi belum akurat seberapa besar dan luas akibatnya untuk terjadi. Potential damage bukan probable, yaitu kemungkinan dengan tingkat keakuratan akibat yang lebih jelas. Hal ini disebabkan dalam potential damage belum diketahui seberapa besar dan luas kerusakan dan/atau kerugian yang akan terjadi disebabkan keterbatasan pengetahuan, teknologi atau bukti ilmiah. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penanganan khusus yang berbeda untuk potential damage dibandingkan dengan penanganan potential risk.

3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan mengenai AMDAL terdapat dalam Pasal 1 angka 21. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa AMDAL adalah “kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Kemudian, dalam Pasal 15 ayat (1) undang-undang yang sama disebutkan bahwa “setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.”

Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan hal ini, dibentuklah PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya akan disebut sebagai PP AMDAL).

Definisi AMDAL dalam peraturan pemerintah ini sama dengan definisi dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 ayat (1) PP AMDAL menyatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;

h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;

i. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahanan negara.

Page 20: Jurnal Desember 2012

248 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

B. Analisis

1. Ketiadaan Dokumen AMDAL Sebelum Penerbitan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB.430/2/2001

Inti dari surat keputusan yang digugat adalah mengatur pelepasan secara terbatas kapas Transgenik Bt dengan syarat dilaksanakan hanya pada kabupaten tertentu di wilayah Sulawesi Selatan, berlaku dalam jangka waktu satu tahun, kemudian dievaluasi, dan hasil penanaman varietas tersebut belum dapat digunakan untuk pangan pakan atau pakan. Prasyarat ini pada satu sisi dianggap sebagai bentuk prinsip kehati-hatian sedangkan di sisi lain persyaratan tersebut tidak dapat dianggap sebagai bentuk prinsip kehati-hatian karena tidak didukung dengan dokumen AMDAL. Pada dasarnya, pihak yang diharuskan mengeluarkan AMDAL bukanlah Pemerintah yang dalam kasus ini adalah Menteri Pertanian, melainkan pemrakarsa kegiatan, yaitu PT. Mngro yang kemudian menjadi Tergugat II Intervensi 1. Surat keputusan tersebut kemudian digugat oleh gabungan beberapa yayasan yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan dan konsumen atas dasar legal standing sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

1. Yayasan lembaga pengembangan Hukum lingkungan Indonesia/ Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).

2. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

3. Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia/Biotani Indonesia.

4. Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS).

5. Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM).

6. Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (KONPHALINDO).

7. Yayasan Biodinamika Pertanian.

Permasalahan kemudian timbul ketika gugatan perkara lingkungan ini masuk dalam Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya unsur kerugian dalam Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yaitu yang dapat menjadi pihak Penggugat di dalam perkara atau sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam ketentuan hak gugat legal standing pada Pasal 38 ayat (1) UUPLH diatur bahwa “untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan”.

Tujuan pelestarian lingkungan hidup ini tentunya tidak terbatas pada segi kerugian yang telah ditimbulkan di lingkungan hidup melainkan pula usaha untuk menyelamatkan lingkungan. Akan tetapi, hak gugat ini seolah tidak sejalan dengan syarat penggugat dalam pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU PTUN karena unsur kerugian dalam perkara lingkungan ini belum dirasakan para Penggugat. Satu hal yang dapat menjembatani hal ini adalah adanya prinsip kehati-hatian dalam melihat adanya kerusakan potensial yang akan dibahas kemudian. Salah satu bentuk diperhatikannya prinsip kehati-hatian ini adalah dengan membuat AMDAL sebelum usaha

Page 21: Jurnal Desember 2012

248 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 249

atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi lingkungan dilaksanakan. Ketiadaan dokumen AMDAL inilah yang menjadi permasalahan dalam kasus ini.

Penggugat merasa bahwa surat keputusan a quo tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPLH dan PP AMDAL. Penggugat mendasarkan alasannya pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-undang No. 23 Tahun 1999 serta Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Pada intinya, Penggugat merasa bahwa setiap usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL. Usaha dan atau kegiatan yang dimaksud khususnya adalah introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik.

Jenis usaha dan atau kegiatan tersebut wajib memiliki AMDAL yang ditetapkan Menteri setelah mendengar dan memperhatikan saran dan pendapat menteri lain dan atau Pimpinan Lembaga Non Departemen yang terkait. AMDAL tersebut merupakan syarat untuk mendapatkan izin melakukan usaha dana atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Sebelum menyusun AMDAL untuk mendapatkan izin lingkungan, terlebih dahulu harus diumumkan kepada masyarakat tentang usaha dan atau kegiatan yang dimaksud.

Penggugat merasa bahwa pelepasan kapas transgenik tersebut dapat memicu menimbulkan dampak lingkungan. Kapas Bt hasil rekayasa genetika varietas Delta pine (DP) 5690 telah disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuriengiensis) yang tahan hama karena dapat membunuh jenis serangga-serangga

tertentu. Toksin yang dapat membunuh serangga-serangga tersebut memiliki potensi besar untuk menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati, perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super yang sulit diberantas, dan pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia. Hal tersebutlah yang menjadi alasan para Penggugat bahwa kegiatan atau usaha yang akan dilakukan PT Mngro selaku Tergugat II Intervensi 1 harus dilengkapi dengan AMDAL. Ketiadaan AMDAL dalam pemberian izin usaha tersebut mengakibatkan para Penggugat mengajukan gugatan.

Melihat definisi AMDAL dalam UUPLH, tersebut frasa “dampak besar dan penting” yang berarti perubahan lingkungan hidup yang mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Bila kita melihat Pasal 3 ayat (1) huruf PP AMDAL, jelas bahwa salah satu usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup adalah introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik.

Bentuk dan jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib AMDAL juga dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 39 Tahun 1996 yang diperbaharui dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000. Apabila dalam pelaksanaannya, instansi yang bertanggung jawab mempunyai keraguan tentang jenis rencana usaha atau rencana kegiatan yang tidak terdapat dalam lampiran keputusan menteri lingkungan hidup tersebut maka instansi tersebut wajib meminta kepastian penetapan wajib AMDAL kepada Menteri Lingkungan Hidup secara tertulis.

Page 22: Jurnal Desember 2012

250 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

Dengan demikian tidak ada celah alasan bagi tidak dibuatkannya AMDAL atas usaha dan atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi lingkungan hidup termasuk juga pada perkara ini. Dalam kasus kapas transgenik, maka pemrakarsa usaha atau kegiatan wajib terlebih dahulu membuat AMDAL karena kategori kegiatan yang dilakukan adalah introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999.

AMDAL tidak hanya menjadi dokumen wajib pemrakarsa usaha dan atau kegiatan yang memiliki dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup melainkan juga merupakan syarat terbitnya izin usaha yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP AMDAL, AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Atas AMDAL yang disetujui kemudian dikeluarkan Keputusan Kelayakan Lingkungan sebagai syarat mendapatkan izin usaha dan atau kegiatan.

Pada rentang waktu berlakunya UUPLH, tidak dikenal adanya izin lingkungan dan izin PPLH namun pada waktu berlakunya Undang-undang No. 32 Tahun 2009, izin lingkungan dan izin PPLH merupakan syarat yang harus dipenuhi setelah AMDAL untuk mendapatkan izin usaha. Secara umum, AMDAL bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup serta mengurangi dampak negatif serendah mungkin. Hal pokok yang menjadi tujuan AMDAL adalah mengidentifikasi, memperkirakan, dan mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi terhadap lingkungan hidup sehingga dapat mengoptimalkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif dari suatu usaha dan atau kegiatan.

Dalam kasus kapas transgenik ini, PT Mngro sebagai pemrakarsa kegiatan kapas transgenik tidak membuat AMDAL dan Menteri Pertanian yang menjabat pada waktu mengeluarkan surat keputusan tentang pelepasan terbatas kapas transgenik tanpa AMDAL tersebut.

Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip pengelolaan dan pelestarian lingkungan karena kegiatan PT Mngro tersebut berpotensi mempengaruhi lingkungan sekalipun kerugian tersebut belum terjadi. Tanpa dipenuhinya AMDAL tersebut maka sesuai Pasal 2 ayat (1) PP AMDAL, izin usaha yang dikeluarkan menteri pertanian tersebut menjadi tidak sah. Surat keputusan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara di mana objek sengketa adalah sebuah keputusan tata usaha negara.

Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa kegiatan pelepasan secara terbatas kapas transgenik tidak wajib dilengkapi dengan dokumen AMDAL kurang dapat diterima. Alasan dari hal ini adalah jelas bahwa kegiatan ini termasuk dalam kategori kegiatan yang wajib dilengkapi dokumen AMDAL seperti dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f PP AMDAL, yaitu introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik. Pertimbangan majelis hakim yang melihat bahwa kegiatan introduksi tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik tidak termasuk dalam kegiatan yang wajib dilengkapi dokumen AMDAL, mengabaikan bukti tertulis berupa Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup tanggal 29 September 2000 Nomor B.1882/MENLH/09/2000 yang ditujukan kepada Menteri Pertanian dan Kehutanan, yang pada angka 2 surat tersebut menyatakan:

“Rencana kegiatan transgenik yang dilakukan oleh PT Mngro di Sulawesi

Page 23: Jurnal Desember 2012

250 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 251

Selatan sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 masuk dalam kategori kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 178).

Meskipun terdapat bukti tertulis bahwa dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 39 Tahun 1996 yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000, kegiatan introduksi tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik, tidak termasuk sebagai kegiatan yang wajib AMDAL, kita harus mempertentangkannya dengan pertimbangan majelis hakim yang lain pada poin 2.5. Dalam poin 2.5, majelis hakim menimbang bahwa menteri yang harus menentukan perlu atau tidaknya AMDAL dalam suatu usaha dan/atau kegiatan adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 12 jo Pasal 3 ayat (1) PP AMDAL sehingga Menteri Pertanian tidak berwenang menetapkan suatu usaha dan/atau kegiatan wajib dilengkapi AMDAL atau tidak. Dari sini, dapat terlihat bahwa seharusnya majelis hakim dapat melihat bahwa berdasarkan pertimbangannya mereka sendiri dalam poin 2.5, kewenangan penentuan diperlukannya AMDAL atau tidak berada pada Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, sesuai dengan surat Menteri Negara Lingkungan Hidup tanggal 29 September 2000, kegiatan pelepasan secara terbatas kapas transgenik wajib dilengkapi dokumen AMDAL. Seharusnya, majelis hakim tidak mengabaikan bukti tertulis ini dan tidak mempertentangkan poin pertimbangan yang satu dengan yang lain karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

2. Kedudukan Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial

Saat perkara tata usaha negara ini diperiksa dan diputus pada tahun 2001, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pertama, kita melihat kedudukan dari prinsip kehati-hatian di Indonesia.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997, tidak ada pengaturan secara spesifik mengenai prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 1997 mengenai asas, tujuan, dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup, hanya disebutkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dari sini, dapat dilihat bahwa dalam UU Nomor 23 Tahun 1997, prinsip kehati-hatian belum diatur secara jelas.

Kita tidak bisa menyatakan bahwa Indonesia tidak mengenal prinsip kehati-hatian hanya dengan melihat UU Nomor 23 Tahun 1997. Indonesia telah meratifikasi 2 (dua) konvensi dalam Konferensi Rio de Janeiro yang mengandung prinsip kehati-hatian, yaitu melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change. Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia menganut prinsip kehati-hatian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Page 24: Jurnal Desember 2012

252 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

Selain itu, prinsip kehati-hatian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari kewajiban kepemilikan AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Pengaturan mengenai AMDAL ini menunjukkan pengaturan lebih lanjut mengenai prinsip kehati-hatian di Indonesia.

Selanjutnya, kita akan melihat mengenai kedudukan potential damage (kerugian potensial) dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Pasal 53 mengatur mengenai kepentingan yang dirugikan atas suatu keputusan tata usaha negara. Pasal 53 ayat (1) UU PTUN, menyatakan bahwa:

“seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.”

Kepentingan yang dirugikan yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU PTUN ini adalah kepentingan yang telah terjadi secara faktual dan bukan merupakan perkiraan atas kerugian yang akan terjadi dari dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dalam peradilan tata usaha negara, sifat penilaian yang dilakukan oleh badan peradilan adalah a posteriori, yaitu setelah terjadinya akibat yang secara faktual benar-benar terjadi dan bukannya berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena

itu, kerugian potensial dalam gugatan tata usaha negara tidak dikenal karena kerugian harus sudah terjadi berdasarkan pengaturan dalam UU PTUN.

3. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial

Sebagai contoh, Australia adalah salah satu negara yang mengadopsi prinsip kehati-hatian dalam proses penegakan hukum lingkungan. Australia juga memiliki pengadilan khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan dan lingkungan hidup, yaitu Land and Environment Court (LEC) di negara bagian New South Wales. LEC memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan atas keputusan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Federal yang berkaitan dengan pertanahan dan lingkungan. Salah satu putusan yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah putusan Hakim Paul Stein yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara antara Leatch v National Parks and Wildlife Service pada tahun 1993. Putusan ini sangat progresif karena Hakim Paul Stein di sini mengabulkan gugatan Penggugat atas dasar precautionary principle (prinsip kehati-hatian).

Kasus ini bermula dari dikeluarkannya izin pembangunan jalan melintasi Taman Nasional New South Wales melewati North Nowra sampai ke Princes Highway termasuk jembatan melintasi Bomaderry Creek oleh Director General of the National Parks. Atas izin tersebut, memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun jalan dengan konsekuensi rusaknya ekosistem di area pembangunan. Oleh sebab itu Lembaga Swadaya Masyarakat setempat mengajukan gugatan atas izin tersebut karena bukti-bukti menunjukkan bahwa pada pembangunan jalan tersebut tidak ada

Page 25: Jurnal Desember 2012

252 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 253

keyakinan ilmiah mengenai perlindungan yang diberikan pada spesies yang tinggal di daerah tersebut sehingga dapat membahayakan spesies endemik yang dilindungi di daerah tersebut yaitu Giant Burrowing Frog. Nama latin dari spesies endemik ini adalah Heleioporus australiacus yang merupakan spesies kodok raksasa yang tinggal di pesisir tenggara New South Wales, Australia.

Hakim Paul Stein mengatakan bahwa soal mungkin atau tidaknya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam hukum nasional bukanlah masalah penting. Menurutnya lebih penting melakukan langkah pencegahan dengan berhati-hati pada kegiatan dan/atau usaha yang mungkin akan berdampak serius dan tidak dapat dipulihkan akibatnya, meskipun dampak atau akibat tersebut masih mengandung ketidakpastian (uncertainty). Pada akhirnya Stein berkeyakinan bahwa prinsip kehati-hatian adalah pilihan yang sangat relevan dan harus diterapkan dalam menangani kasus ini bahwa:

“relevant to have regard to the precautionary principle or what I refer to as consideration of whether a cautious approach should be adopted in the face of scientific uncertainty and the potential for serious or irreversible harm to the environment” (Leatch v National Parks and Wildlife Service, 1993: 6).

Dalam pertimbangannya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, Hakim Stein tidak melihat bagaimana kekuatan mengikat dari prinsip ini. Hakim Stein fokus bahwa prinsip ini menyediakan langkah yang harus diambil ketika adanya ketidakpastian ilmiah akan akibat serius dan tidak dapat dipulihkan yang mungkin terjadi pada lingkungan hidup.

Hal yang disoroti oleh Hakim Stein adalah scarcity of scientific knowledge sehingga dalam pertimbangan hukumnya, Stein menyatakan bahwa tidak adanya taksiran yang cukup mengenai besar dan luasnya kerugian yang akan terjadi akibat pembangunan tersebut dan tidak menentukan jalan alternatif dalam menanggulangi akibat dari pembangunan tersebut sangatlah berbahaya dan tidak seharusnya dilakukan. Meskipun pada akhirnya pengadilan memutuskan untuk membatalkan proyek yang telah disetujui tersebut, tidak menutup kemungkinan apabila kemudian ada proyek yang sama tetapi dengan segala prediksi yang lebih akurat, alternatif pencegahan kerusakan lingkungan yang lebih baik dengan kemajuan teknologi yang dicapai dapat dijalankan.

Namun, dalam kasus ini Hakim Stein telah mengambil langkah yang begitu progresif dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam putusannya dengan membatalkan kebijakan yang telah disetujui padahal kerugian proyek tersebut belum terjadi secara nyata. Hal itu dikarenakan ia menimbang bahwa terancamnya spesies yang dilindungi adalah suatu dampak yang akan terjadi ketika proyek tersebut tidak memberikan alternatif penanggulangan yang baik dan kurangnya kepastian dari akibat yang dihasilkan. Dengan hal ini, hakim telah membentuk preseden baru sebagai bentuk kontrol bagi pembuat kebijakan agar lebih hati-hati dalam membuat suatu keputusan.

Putusan Hakim Stein menuai banyak komentar. Salah satu komentar yang dilontarkan adalah dari Brian Preston yang menyatakan bahwa:

“First, the decision was the first judicial decision to refer to the precautionary

Page 26: Jurnal Desember 2012

254 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

principle, and in any detailed way. Secondly, it was also the first judicial decision tendeavour to translate soft law (from international and national law) into hard law. Thirdly, not only did the decision turn soft law into hard, but Stein showed by his reasoning how courts can do so, by proper interpretation of the applicable statutory provisions. Fourthly, Stein’s decision challenged the classical, declaratory theory of judicial decision-making of which Blackstone was the chief exponent. This held that judges do not, and cannot, make law; they merely discover and declare it. Under this theory, there would have been no scope for application of the precautionary principle, as the legislature had not expressly adopted it in the NPW Act or the Court Act. Fifthly, Stein’s decision in Leatch began a process of demystification and familiarization with the concept of the precautionary principle. Sixthly, Stein’s decision provided an illustration of how decision-makers can use, and legitimately use, the precautionary principle in exercising discretionary statutory powers, including those to determine applications for approval to carry out development that impacts on the environment” (Leatch v National Parks and Wildlife Service, 1993: 7).

Keenam hal tersebut telah mengubah cara pandang hakim khususnya mengenai bagaimana prinsip kehati-hatian diterapkan dalam usaha perlindungan atas lingkungan hidup.

Bila kita membandingkan kasus Leatch v National Parks & Wildlife Service dengan kasus kapas transgenik, kita dapat melihat kesamaan permasalahan yang menjadi pokok sengketa yaitu

gugatan atas keputusan pemerintah yang digugat ke pengadilan atas dasar kerugian potensial atau belum terjadi yang memiliki dampak besar dan serius. Penggugat dalam kasus kapas transgenik menyatakan bahwa kegiatan pelepasan bibit kapas transgenik berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

Hal tersebut senada dengan kasus Leatch v National Parks di mana proyek pembangunan jalan melintasi taman nasional mengakibatkan hilangnya habitat spesies endemik tertentu yang mengakibatkan terancamnya kehidupan spesies tersebut. Artinya, dalam kedua kasus ini gugatan sama-sama didasari atas kerugian potensial. Adanya kerugian potensial menyebabkan penerapan prinsip kehati-hatian menjadi pertimbangan penting dalam memutus kasus-kasus tersebut.

Pelepasan bibit kapas transgenik dan pembangunan jalan yang menjadi isi masing-masing kebijakan tentu memiliki sisi positifnya masing-masing. Pelepasan kapas transgenik diyakini dapat meningkatkan hasil produksi, meningkatkan pendapatan petani dan akhirnya pada peningkatan kesejahteraan warga (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 261). Pembangunan jalan juga memiliki sisi positif. Pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan perekonomian dan mengurangi beban infrastruktur yang sudah ada. Artinya, kegiatan dan/atau usaha tersebut sama-sama memiliki keuntungan, namun, kesamaan adanya unsur uncertainty menyebabkan keuntungan-keuntungan tersebut harus menunggu kepastian mengenai akibat negatif yang ditimbulkan. Sampai hal tersebut diketahui, penerapan precautionary action dengan menundanya menjadi jalan terbaik.

Page 27: Jurnal Desember 2012

254 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 255

4. Kritik Atas Pertimbangan Hakim

Terdapat tiga kritik terhadap pertimbangan majelis hakim dalam putusan ini selain masalah ketiadaan dokumen AMDAL. Pertama, kritik terhadap pertimbangan hakim kurang komprehensif dalam menyatakan pelepasan secara terbatas kapas transgenik aman untuk dilakukan. Kedua, kritik terhadap penerapan prinsip kehati-hatian dalam kasus pelepasan secara terbatas kapas transgenik ini. Ketiga, kritik terhadap pertimbangan hakim yang kurang memandang perkara lingkungan secara khusus dan berbeda dari perkara tata usaha negara lainnya.

(a). Kritik terhadap Pertimbangan Hakim yang Kurang Komprehensif dalam Menyatakan Pelepasan Secara Terbatas Kapas Transgenik Aman untuk Dilakukan

Dalam kasus ini, baik Penggugat, Tergugat dan Majelis Hakim pada dasarnya masih belum memahami mengenai dampak yang akan diakibatkan oleh kapas transgenik ini. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan berikut ini.

Penggugat dalam gugatannya menyatakan bahwa kegiatan ini akan berdampak negatif pada lingkungan hidup karena kapas transgenik ini akan menyebabkan dampak sebagai berikut:

1. Menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati berupa terbunuhnya suatu jenis hewan atau menurunnya populasi suatu jenis tanaman yang bukan merupakan sasaran dari racun ini;

2. Terjadinya perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super yang sulit diberantas; dan

3. Pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi manusia (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 25).

Dari ketiga pernyataan tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar. Pertama, apakah benar kapas transgenik ini menimbulkan terbunuhnya suatu jenis hewan atau menurunnya populasi tanaman yang bukan merupakan sasaran dari racun ini? Tergugat dalam menjawab hal ini menyatakan bahwa Tergugat melakukan kajian toksin protein yang dihasilkan oleh gen Bt terhadap organisme bukan sasaran yang hasilnya menunjukkan bahwa setelah diujikan pada 14 spesies serangga berbeda yang diberi makan toksin protein Cry1A dengan dosis 100 kali lipat dari yang ada pada tepung sari dan madu tanaman kapas transgenik hanya memiliki aktifitas biologi yang spesifik pada Lepidoptera. Hal ini menunjukkan bahwa Bt aman dan tidak ada pengaruhnya pada manusia, tikus, kelinci maupun domba. Dengan begitu Tergugat berkilah bahwa kegiatan ini aman (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 43).

Selain itu saksi ahli yang diajukan Penggugat menyatakan bahwa apabila bakteri tersebut sampai ke tanah akan merusak struktur tanah dan mengganggu ekosistem antropda pada tanah. Selain itu juga akan merusak fauna tanah. Pernyataan ini berlawanan dengan pernyataan Tergugat. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Ecological Society of America, seperti yang dikutip oleh Wibisana, “if Bt toxin kills pests insects, its also has the potential to kill other insects” (Wibisana, 2008: 438). Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun pernyataan aman dikemukakan oleh Tergugat, pendekatan kehati-hatian sangat perlu untuk dilakukan. Karena hasil labolatorium mungkin saja berbeda

Page 28: Jurnal Desember 2012

256 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

dengan keadaan di lapangan (Wolfenbarger dan phifer, 2000: 2090-2091).

Berbagai penelitian lain justru menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh dari toksin Bt pada serangga lain (Ervin, 2003: 6). Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa memang apa yang dikemukakan Penggugat adalah suatu yang mungkin terjadi. Meskipun sulit dalam memprediksikan kerugiannya, kita harus tetap hati-hati akan bahaya yang mungkin terjadi itu. Oleh sebab itu, apabila hal ini termasuk dalam kegiatan yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, Tergugat telah menafikkan kemungkinan yang mungkin terjadi dan bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dengan secara yakin menyatakan aman tanpa menganalisis kemungkinan negatifnya.

Kedua, Penggugat menyatakan bahwa “kegiatan ini memungkinkan terjadinya perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma super yang sulit diberantas” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 25). Apakah hal tersebut telah sesuai? Atas pernyataan tersebut Tergugat menyatakan bahwa “perpindahan gen dari kapas transgenik ke kerabat liarnya tidak dimungkinkan karena di Sulawesi Selatan tidak ada kerabat liar kapas dan juga kapas bukan tanaman asli Indonesia dan tidak mungkin menyerbuki tanaman yang bukan kerabatnya” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 43).

Ketiga, apakah betul kapas transgenik tersebut dapat menimbulkan gulma super sehingga sulit diberantas seperti yang dikemukakan oleh Penggugat? Ahli dari Penggugat menyatakan bahwa “kapas transgenik akan menimbulkan toleransi pada hama, sehingga menimbulkan kekebalan yang cepat pada serangga yang

merusak daun sampai ke batang” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 154), sedangkan Saksi Ahli yang diajukan baik oleh Tergugat maupun Tergugat II Intervensi 1 dan Tergugat II Intervensi 2 sama sekali tidak menyangkal atau membahas mengenai timbulnya toleransi terhadap hama maupun gulma. Hal tersebut juga terjadi pada pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim. Majelis hakim tidak mempertimbangkan kemungkinan terjadinya dampak gulma super dan lebih mempertimbangkan bukti bahwa Tergugat telah melakukan serangkaian analisis risiko dari kegiatan.

(b). Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kasus Pelepasan Kapas Transgenik

Bila kita menelusuri putusan, penerapan prinsip kehati-hatian yang dibawa Penggugat dalam dasar gugatannya kurang jelas sehingga terjadi ketidakjelasan gugatan yang menyatakan Tergugat telah sewenang-wenang dengan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan hakim kesulitan dalam memahami apa yang Penggugat maksud dengan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim bahwa Tergugat telah mempertimbangkan semua kepentingan tersangkut sehingga prinsip kehati-hatian terbukti telah cukup dilakukan dalam melakukan uji coba lapangan secara terbatas kapas transgenik (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 183). Selain itu, majelis hakim menimbang bahwa Tergugat telah memenuhi prinsip kehati-hatian sebelum menerbitkan surat keputusan a quo, yaitu:

“melakukan pengumuman pada masyarakat sebelum diterbitkannya keputusan ini, mendengarkan pendapat dari Ketua Komisi

Page 29: Jurnal Desember 2012

256 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 257

Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik dan dinyatakan aman, memperhatikan rekomendasi TP2V yang memberi rekomendasi pelepasan kapas transgenik, melakukan risk assessment berupa uji labolatorium dan uji daya hasil” (lihat Putusan No. 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT hal. 182-183).

Selanjutnya, kita akan melihat apakah hal tersebut telah sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang dikenal dalam Pasal 15 Deklarasi Rio de Janeiro 1992. Merujuk pada Pasal 15 Dekarasi Rio, penerapan prinsip kehati-hatian harus memenuhi unsur sebagai berikut ini, yaitu:

1. Once a risk has been identified. Apabila telah teridentifikasinya kerugian yang mungkin timbul.

2. Where there are threats of serious or irreversible damage. Apabila adanya ancaman yang serius atau ancaman tersebut tidak dapat dipulihkan kembali akibatnya sehingga berdampak selamanya pada lingkungan. Serious dan irreversible damage ini tidak menentu ukurannya dan harus dilihat kasus per kasus.

3. Lack of scientific certainty. Apabila terdapat kurangnya kemampuan untuk mengukur kemungkinan akan akibat atau dampak yang akan terjadi. Sehingga terdapat uncertainty atau ketidakyakinan.

Once a risk has been identified. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa GMO atau transgenik dengan racun Bt pasti memiliki risiko dampak kerugian. Seperti menyebabkan rusaknya ekosistem, dapat membunuh serangga lain yang bukan sasaran atau menyebabkan munculnya

serangga yang resisten terhadap racun. Kesemua risiko tersebut menjadi dampak kerugian yang mungkin terjadi apabila tidak ditangani dengan baik dan benar. Seperti misalnya menanam 30% lahan saja dengan tanaman transgenik dan sisanya dengan tanaman nontransgenik. Kurangnya pengetahuan dan teknologi akan menyebabkan risiko terjadinya kerugian semakin besar ketimbang telah teridentifikasi dampak apa saja yang akan timbul, sehingga dapat langsung dilakukan pencegahannya. Minimnya pengetahuan akan kegiatan pelepasan kapas transgenik ini, maka besar kemungkinan risiko yang ditakutkan tadi akan terjadi sehingga dapat dikatakan unsur ini terpenuhi.

Where there are threats of serious or irreversible damage. Dampak negatif yang disebutkan sebelumnya dapat dikatakan sebagai ancaman serius dan tidak dapat dipulihkan apabila hal tersebut terjadi. Kerusakan lahan pertanian atau perkebunan dapat dikategorikan sebagai ancaman yang serius. Selain itu apabila telah terjadi kondisi di mana hama sudah kebal terhadap pestisida apapun, maka kondisi tersebut adalah kondisi yang tidak dapat dipulihkan kembali. Hal inilah yang menjadi pemicu mengapa harus dilakukannya precautionary action atas suatu kerugian potensial dari kegiatan dan/atau usaha.

Lack of scientific certainty. Unsur ini telah terpenuhi melihat bagaimana Penggugat dan Tergugat dalam hal ini tidak terlalu memahami inti permasalahan sehingga tidak banyak perdebatan mengenai pembuktian bahwa kegiatan ini aman atau tidak. Ketidaktahuan tersebut menyebabkan uncertainty pada kegiatan ini. Melihat hal ini, perlu dilakukan precautionary action dalam menanggapi kasus ini. Tergugat sendiri menyatakan bahwa ia telah melakukan serangkaian uji yang merupakan implementasi

Page 30: Jurnal Desember 2012

258 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

dari prinsip kehati-hatian. Dan menurut hakim, hal tersebut telah cukup. Namun, yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian di sini adalah bukan saja dengan melakukan kehati-hatian dalam membuat keputusan.

Prinsip kehati-hatian bukan hanya soal apa yang harus dilakukan sebelum mengeluarkan kebijakan agar kegiatan dan/atau usaha tersebut aman bagi lingkungan, namun juga mengambil langkah apabila terdapat ketidakyakinan akan dampak yang serius dan tidak dapat dipulihkan dari kegiatan tersebut dengan melakukan langkah pencegahan yaitu menghentikan kegiatan sampai jelas akan besar dan luas dari dampak yang ditimbulkan.

(c). Kritik terhadap Pertimbangan Hakim yang Kurang Memandang Perkara Lingkungan Secara Khusus

Pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa maksud dan tujuan yang melatarbelakangi diterbitkannya surat keputusan tersebut adalah untuk melakukan uji coba penanaman di lapangan dan pemanfaatan secara terbatas kapas transgenik. Hal ini dijadikan justifikasi bahwa belum ada kepentingan yang dirugikan setelah surat keputusan tersebut dikeluarkan. Seharusnya, majelis hakim dapat mengembalikan pemahaman kerugian potensial ini kepada prinsip kehati-hatian yang dianut dalam hukum lingkungan.

Majelis hakim seharusnya bisa melihat perkara ini tidak hanya terbatas pada definisi kepentingan yang dirugikan dalam UU PTUN dan sifat a posteriori dalam peradilan tata usaha negara tetapi juga melihat prinsip yang melandasi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Prinsip kehati-hatian digunakan dalam melihat suatu kerugian potensial atas

dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara untuk membuktikan apakah pelaku/pemrakarsa kegiatan telah menggunakan prinsip ini dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bila prinsip ini telah terlanggar, jelas bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan tidak sesuai dengan tujuan pelestarian dan perlindungan lingkungan. Prinsip kehati-hatian yang telah terlanggar, mengindikasikan terjadinya kerusakan lingkungan atau dampak buruk lainnya. Seharusnya hakim dapat memperluas pandangannya akan kerugian yang akan ditimbulkan dari surat keputusan a quo dalam perkara ini.

Gugatan tata usaha negara tentang lingkungan, sebaiknya dipandang secara khusus karena kasus mengenai lingkungan berbeda dengan kasus mengenai keputusan tata usaha negara biasa. Bila suatu keputusan tata usaha negara tentang izin lingkungan hanya bisa digugat saat kerugian telah terjadi, kerusakan lingkungan nyata terjadi di depan mata kita. Seperti yang kita ketahui bersama, kerusakan lingkungan bukan hal yang mudah untuk dipulihkan. Oleh karena itu, jika kita harus menunggu telah terjadi kerugian nyata baru mengajukan gugatan, tidak ada gunanya lagi karena telah terjadi kerusakan lingkungan. Bila telah terjadi kerusakan lingkungan yang merupakan kerugian yang nyata, masyarakat tentunya akan lebih memilih untuk mengajukan gugatan ganti rugi melalui jalur perdata. Namun, yang pasti ganti rugi atas kerusakan lingkungan ini tidak akan bisa memulihkan kondisi lingkungan seperti sebelumnya (irreversible).

SIMPULANIV.

Simpulan yang didapat setelah melakukan analisis atas permasalahan yang ada adalah:

Page 31: Jurnal Desember 2012

258 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Prinsip Kehati-Hatian dan Kerugian Potensial (Liza Farihah & Femi Angraini) | 259

a. Penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam hukum lingkungan sebagai alasan gugatan berupa kerugian potensial (potential damage) dalam perkara tata usaha negara belum dilakukan dengan baik oleh para Penggugat, Tergugat maupun Majelis Hakim. Ketiga pihak ini belum memahami dengan baik mengenai prinsip kehati-hatian dan penerapannya dalam melihat adanya suatu kerugian potensial atas diterbitkannya suatu keputusan tata usaha negara.

b. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menolak gugatan karena sifat peradilan tata usaha yaitu a posteriori. Hal ini membuat majelis hakim belum dapat melakukan penilaian terhadap kegiatan dan potensi dampaknya sebelum kegiatan tersebut dilakukan atau sebelum akibat merugikan dari kegiatan tersebut benar-benar terjadi secara nyata. Di samping itu, Majelis Hakim telah lalai melihat arti prinsip kehati-hatian terhadap lingkungan karena hanya melihat serangkaian publikasi, rekomendasi, dan risk assessment mengenai pelepasan secara terbatas kapas transgenik.

c Gugatan tentang lingkungan hidup merupakan hal yang tidak bisa disamakan dengan gugatan tata usaha negara lainnya karena sifat kerugiannya jauh berbeda. Ketika terjadi kerusakan potensial terhadap lingkungan maka hal tersebut harus ditanggulangi dengan tindakan preventif sehingga kerusakan yang ditakutkan tidak akan terjadi. Hal tersebut sama dengan prinsip kehati-hatian dengan tujuan menghindari terjadinya kerusakan pada lingkungan hidup mengingat sifat

lingkungan hidup yang susah untuk dipulihkan (irreversible).

DAFTAR PUSTAKA

Cameron, James & Juli Abouchar. 1996. The Status of the Precautionary Principle in International Law, dalam The Precautionary Principle and International Law, The Challenge of Implementation. Hague: Kluwer Law International.

David Freestone. 1994. The Road from Rio: International Environmental Law after the Earth Summit. Journal of Environmental Law 6.

Freestone, David & Ellen Hey. 1996. Origins and Development of the Precautionary Principle, dalam The Precautionary Principle and International Law, The Challenge of Implementation. Hague: Kluwer Law International.

Indonesia, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Indonesia, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 39 Tahun 1996 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3939.

Page 32: Jurnal Desember 2012

260 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260

Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI 1945.

Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699.

Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059.

Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Nomor 77 Tahun 1986.

Indroharto. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara Buku II: Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Keanekaragaman Hayati, www.blhbu.net/index.php?option=com_content&view =article&id=27%3 Akeanekaragaman-hayati&catid=10&Itemid=18, diunduh pada 5 November 2012 pukul 11.16 WIB

Preston, Brian J. 2009. Jurisprudence On Ecologically Sustainable Development: Paul Stein’s Contribution”, Makalah disampaikan pada Symposium in Honour of Paul Stein AM, Sydney.

Putusan Leatch v National Parks & Wildlife Service tahun 1993 di Land and Environmental Court Act, New South Wales, Australia.

Report of the United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP) Ministerial Meeting in the Environment.

Soemaryono & Anna Erliyana. 1999. Tuntunan Praktik Beracara Di Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Duta Prima.

Syahrin, Alvi. Seminar Nasional mengenai “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan”, 24 Mei 2011.

Wibisana, M.R.A.G. 2008. Law and Economic Analysis of the Precautionary Principle. Desertasi Doktor Maastricht University, Maastricht.

Wolfenbarger, L.L & P.R. Phifer. 2000. The Ecological Risks and Benefits of Genetically Engineered Plants, Science, Vol. 290.

Page 33: Jurnal Desember 2012

260 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 241 - 260 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 261

DISPARITAS HUKUMAN DALAM PERKARA PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

Kajian terhadap Putusan Nomor 590/Pid.B/2007/PN.Smgdan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.

DISPARITY OF SENTENCING IN THE CRIMINAL CASE OFTHEFT UNDER AGGRAVATING CIRCUMSTANCES

Wahyu NugrohoFakultas Hukum Universitas Sahid

Jl. Prof. Dr. Soepomo SH No. 84 Tebet, JakartaEmail: [email protected]

Analyses on Decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smgand Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg

Diterima tgl 14 Mei 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

ABSTRAK

Disparitas hukuman dalam perkara pidana merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari terhadap vonis apapun. Namun hal tersebut akan menimbulkan masalah ketika perbedaan tersebut tidak beralasan. Penulis menemukan terjadi disparitas hukuman dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan atas putusan hakim No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Beberapa hasil kajian terhadap kedua putusan ini terungkap antara lain: (1) kedua putusan menunjukkan hakim dalam perkara pencurian dengan pemberatan atas kedua putusan ini kurang memperhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat, tidak bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya, dan masih kental pola pikir positivistis atau legistis, yaitu dengan digunakannya teori pencegahan khusus dan menerapkan sistem residivis; (2) dalam sudut pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas putusan hakim pada perkara pencurian dengan

pemberatan dalam konteks kedua putusan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisasi dengan cara mempertimbangkan pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan lahiriah dan hal-hal yang bersifat subjektif seperti motivasi dan kesengajaan, juga memperhatikan akibat dari perbuatan, bobot kejahatan, cara melakukan, sikap batin (kesalahan), dan relevansi dengan hakikat delik. Hakim jangan hanya mengacu pada pertimbangan formal.

Kata kunci: disparitas hukuman, pencurian dengan pemberatan, sistem peradilan pidana.

AbstrAct

Disparity of sentencing in criminal case is hardly to be avoided. The problem of disparity emerges when there is not supported with enough and appropriate reasons as revealed by the author in court decisions Number 590/Pid.B/2007/PN.Smg and Number 1055/Pid.B/2007/PN.Smg in the criminal case of theft under aggravating circumstances. The author of this article concludes that: (1) both verdicts show

Page 34: Jurnal Desember 2012

262 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

that the judges did not pay enough attention to criminogenic factors existing in society as well as to the punishment objective as a means to behavior rehabilitation. On the other hand, judges all appeared to contribute to a mind-set characterized by a desire to follow legal positivism or legism. They preferred to impose special precaution theory and apply recidivist system. (2) In the perspectives of those judges and some academics, the disparity on the cases of theft under aggravating circumstances may not be eliminated, but at least, it is still

possible to be minimized. The minimization can be done by considering the guidelines in terms of physical actions and subjective factors such as motivation and intention. Other considerations are the consequences of action, crime weighting, crime modus operandi, attitude, and the nature of crime. Hopefully, judges will never ponder formal consideration only.

Keywords: disparity of sentence, theft under aggravating circumstances, criminal justice system.

PENDAHULUANI.

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka Indonesia selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Waluyo, 2004: 33).

Idealnya sebagai negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atas supremasi hukum yaitu hukum mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Asas yang demikian selain ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), juga dapat disimak dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dinyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Sutarto, 2003: 19).

Putusan pengadilan akan berdimensi kemanusiaan apabila berpijak kepada asas equality before the law dan presumption of innocence, karena kedua asas ini mengandung nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang juga harus dilindungi dan diperhatikan oleh penegak hukum khususnya bagi hakim yang wewenang memutus perkara. Putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan.

Hakim dalam menjatuhkan pemidanaannya, tentunya selain berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan (positif), juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, asas kemanfaatan, efektivitas dalam menjalankan pemidanaan dan perubahan perilaku yang menimbulkan efek jera pasca keluarnya dari lembaga pemasyarakatan.

Hakim dalam putusannya tanpa mempertimbangkan aspek tersebut, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di dalam memberikan pidana. Hal tersebut nampak banyak terjadinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) dalam prakteknya di

Page 35: Jurnal Desember 2012

262 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 263

pengadilan. Kasus penerapan pidana tersebut menurut Molly Cheang sebagaimana dikutip oleh Muladi dinamakan disparitas putusan hakim atau dikenal dengan istilah disparitas hukuman (pidana) (disparity of sentencing) (Muladi, 1992: 119).

Disparitas putusan hakim ini akan berakibat fatal, bilamana dikaitkan dengan administrasi pembinaan narapidana. Terpidana setelah membandingkan antara pidana yang dikenakan kepadanya dengan orang-orang lain kemudian merasa menjadi korban (victim) dari ketidakpastian atau ketidakteraturan pengadilan akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai di dalam tujuan pemidanaan.

Optik dari tujuan pemidanaan akan terlihat suatu persoalan berat, sebab merupakan suatu indikator dan manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system). Sistem tersebut akan berjalan dengan efektif ketika terjadi koordinasi yang baik antar sub sistem-sub sistem dan memiliki visi yang sama di dalam penegakan hukum (law enforcement).

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Semarang pada Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg merupakan sampel penelitian yang ditemukan adanya disparitas putusan hakim dari ratusan putusan dalam perkara yang sama.

Pada dasarnya hakim mempunyai berbagai pertimbangan di dalam menjatuhkan berat

ringannya pidana kepada terdakwa, diantaranya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang. Di antaranya yang terdapat di dalam undang-undang yaitu pada peringanan pemidanaan, yaitu: pembantuan (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP dan hal-hal yang memberatkan, yaitu perbarengan tindak pidana (concursus) dalam Pasal 63 sampai 71 KUHP. Dari putusan-putusan tersebut nampak adanya disparitas pidana, yaitu Putusan No. 590/Pid.B/2007 dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan, sedang Putusan No. 1055/Pid.B/2007 dijatuhi pidana penjara selama satu tahun enam bulan.

Sudah disinggung di atas bahwa disparitas sendiri secara letterlijk sering diartikan dengan istilah perbedaan pidana. Namun ini bukan menjadi persoalan dalam hukum pidana, karena pada hakekatnya hakim memutus perkara pasti disparitas. Hal itu merupakan suatu konsekuensi atau akibat mutlak karena pertama, kebebasan hakim dan kedua, melihat secara kasuistik yang ditanganinya. Artinya dalam kasus yang sama, orang yang melakukan delik berbeda, alasan melakukan delik berbeda dan dengan kondisi yang berbeda-beda pula.

Disparitas yang dimaksud di sini ialah perbedaan yang tidak berdasarkan landasan yang reasonable (beralasan), yaitu dengan tidak dilandasi dengan filosofi atau tujuan yang sama, kriteria yang sama, penilaian atau ukuran yang sama dan pertimbangan hakim yang sama pula.

Di dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan sangatlah berbeda dengan jenis-jenis pencurian yang lain. Menurut KUHP, Pencurian pada umumnya diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: pencurian biasa, pencurian

Page 36: Jurnal Desember 2012

264 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

dengan pemberatan, pencurian ringan dan pencurian dengan kekerasan (Soerodibroto, 2006: 223). Masing-masing pencurian tersebut terdapat ketentuan yang berlainan dalam hal pemidanaannya. Namun, di sini yang penulis fokuskan hanya satu jenis pencurian saja, yaitu pencurian dengan pemberatan.

Disparitas pidana mencolok terjadi dalam putusan hakim di Pengadilan Negeri Semarang. Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg. Seperti dikemukakan di awal bahwa penulis melakukan kajian terhadap dua putusan tersebut yang dianggap tampak terjadi disparitas. Artinya penerapan pidana yang tidak sebanding antar terdakwa dalam perkara yang sama.

RUMUSAN MASALAHII.

Salah satu masalah yang menarik dari disparitas putusan hakim ini dalam perkara pencurian dengan pemberatan adalah beberapa putusan yang tidak beralasan (reasonable). Hal ini sangat mengganggu pula bagi criminal justice system (sistem peradilan pidana) dan mengundang perhatian lembaga legislatif (pembuat undang-undang) serta lembaga-lembaga lain yang terlihat di dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.

Permasalahan tersebut antara lain:

1. Bagaimana disparitas putusan hakim dapat terjadi atas tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg di Pengadilan Negeri Semarang?

2. Bagaimana persepsi dari praktisi dan kalangan akademisi tentang disparitas

Putusan Hakim No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

a. STUDI PUSTAKA

1. Pengertian Disparitas Pidana

Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing sebagaimana disadur oleh Muladi, yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah “the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas (Muladi, 1992: 119). Di samping itu menurut Jackson yang dikutip oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana.

Pada dasarnya kita mengenal beberapa sistem hukum yang berbeda bahwa setiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diadakan klasifikasi sistem hukum yang ada di dunia dalam beberapa keluarga hukum (legal families). Rene David hanya membagi keluarga hukum menjadi empat, yaitu The Romano-Germanic family (sistem hukum yang didasarkan pada Civil Law Romawi), The Common Law family, The family of Socialist Law, konsepsi-konsepsi hukum dan tata sosial lainnya (keluarga hukum agama dan hukum tradisional) (Arief, 2003: 66-68).

Page 37: Jurnal Desember 2012

264 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 265

Konsekuensi logis akibat dijajah Belanda, maka Indonesia memakai Civil Law System. Pandangan hukum sistem ini dimulai dengan perumusan hukum yang abstrak, di mana hukum diidentikkan dengan undang-undang. Kemudian atas dasar perantaraan hakim rumusan-rumusan abstrak tersebut lalu diterapkan terhadap kasus konkrit, baru hukumnya muncul yang sering disebut kaedah konkrit.

2. Pengertian dan Unsur-Unsur Pencurian dengan Pemberatan

a. Pengertian Delik Pencurian dengan Pemberatan

Delik pencurian dengan pemberatan pada dasarnya berbeda dengan pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Istilah pencurian dengan pemberatan ini digunakan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena sifatnya, maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya. Pencurian jenis ini dinamakan juga pencurian dengan kualifikasi (gegualificeerd diefstal).

Unsur-unsur yang memberatkan ancaman pidana dalam pencurian dengan kualifikasi disebabkan karena perbuatan itu ditujukan kepada obyeknya yang khas atau karena dilakukan dengan cara yang khas dan dapat terjadi karena perbuatan itu menimbulkan akibat yang khas (Sudarsono, 2001: 207). Sedangkan Wirjono di dalam Hermien Hadiati Koeswadji menerjemahkannya dengan pencurian khusus, sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu (Koeswadji, 1985: 28).

b. Unsur-Unsur Delik Pencurian dengan Pemberatan

Perbuatan tindak pidana dalam pemberatan

ini merupakan suatu ajaran sifat melawan hukum secara formil. Artinya bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan delik, dapat dikatakan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana (delik) (Sapardjadja, 2002: 25).

Tindak pidana pencurian yang masuk kategori pemberatan terdapat di dalam Pasal 363 KUHP yang bunyi Pasalnya: (KUHAP & KUHP, 2006: 121-122).

Ayat Pertama, Pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun:

1. Pencurian ternak;

2. Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, bencana banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, pemberontakan dalam kapal atau bencana perang;

3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau pekarangan yang tertutup di mana terdapat rumah kediaman dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak;

4. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;

5. Pencurian yang untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang dicuri itu dilakukan dengan jalan membongkar (braak), mematahkan (verbreking) atau memanjat (inkliming) atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ayat Kedua, Jika pencurian tersebut pada

Page 38: Jurnal Desember 2012

266 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

no. 3 disertai dengan salah satu hal tersebut pada no. 4 dan 5 maka dijatuhi pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun.

Kemudian unsur-unsur dari tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana bunyi pasal di atas adalah: (Koeswadji, 1985: 30).

a. Pencurian ternak (vee). Di negeri Belanda yang merupakan unsur yang memberatkan adalah pencurian dari padang rumput, tempat penggembalaan (weide). Berhubung di Indonesia ini ternak merupakan hewan piaraan yang sangat penting bagi rakyat, maka pencurian ternak sudah dianggap berat, tak peduli dicuri dari kandang ataupun dari tempat penggembalaan.

b. Dalam butir 2 dari Pasal 363 KUHP juga disebut pencurian pada waktu ada bencana, kebakaran, dan sebagainya. Alasan untuk memperberat ancaman pidana pada pencurian semacam ini adalah karena timbulnya kericuhan, kekacauan, kecemasan yang sangat memudahkan pencurian. Barang yang dicuri tidak perlu barang-barang yang terkena bencana, tetapi segala macam barang yang karena adanya bencana tersebut tidak atau kurang mendapat penjagaan. Si pelaku harus menggunakan kesempatan itu untuk mempermudah pencuriannya.

c. Macam unsur pemberatan yang ketiga adalah pencurian pada malam hari di dalam sebuah rumah kediaman, dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak. Apa yang dimaksud dengan “malam hari” sudah jelas, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Pasal 98 KUHP, yang mengatakan: “Malam berarti masa antara

matahari terbenam dan matahari terbit.” Di negeri Belanda perumusannya agak lain (Pasal 311 WvS) yaitu: “pencurian pada waktu istirahat malam” (voor de nachtrust bestemde tijd).

d. Unsur pemberatan keempat yaitu: apabila pencurian itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih (twee of meerverenigde personen). Istilah “bersama-sama” (verenigde personen) menunjukkan, bahwa dua orang atau lebih mempunyai kehendak melakukan pencurian bersama-sama. Jadi di sini diperlukan unsur, bahwa para pelaku bersama-sama atau bersekutu dalam kaitannya dengan “mededaderschap” yang mempunyai kesengajaan (gezamenlijk opzet) untuk melakukan pencurian. Menurut Pasal 55 KUHP “Mededaderschap” terdiri dari empat macam perbuatan yang dapat berupa:

i. Melakukan sendiri atau pelaku (pleger).

ii. Menyuruh orang lain untuk melakukan (doenpleger).

iii. Turut serta melakukan kejahatan (medepleger).

iv. Menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan (uitlokker).

Tidak cukup apabila para pelaku itu secara kebetulan bersama-sama melakukan pencurian di tempat yang sama. Apabila seorang pencuri melakukan pencurian di suatu tempat, kemudian seorang pencuri lain ingin melakukan juga di tempat tersebut tanpa sepengetahuan pencuri yang pertama, maka hal ini tidak pula termasuk istilah mencuri bersama-sama sebagaimana

Page 39: Jurnal Desember 2012

266 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 267

diisyaratkan oleh Pasal 363 (1) butir 4 KUHP.

e. Unsur pemberatan kelima adalah dengan menggunakan cara-cara:

i. Merusak Maksudnya di dalam melakukan

pencurian tersebut disertai dengan perbuatan perusakan terhadap sebuah benda. Misalnya memecah kaca jendela.

ii. Memotong Maksud dari memotong yakni di

dalam melakukan pencurian tersebut diikuti dengan perbuatan-perbuatan lain. Misalnya: memotong pagar kawat.

iii. Memanjat Mengenai perbuatan memanjat dapat

ditafsirkan secara autentik pada Pasal 99 KUHP ialah: yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada, tetapi bukan untuk masuk atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali, begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.

iv. Memakai anak kunci palsu Mengenai hal ini diterangkan

dalam Pasal 100 KUHP ialah: “Yang dimaksud anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci”. Contoh: kawat, paku atau obeng digunakan untuk membuka sebuah slot itu adalah benar-benar sebuah anak kunci, namun itu bukan merupakan anak kunci yang biasa

dipakai oleh penghuni rumah untuk membuka slot itu.

v. Memakai perintah palsu Menurut Yurisprudensi yang

dimaksud dengan perintah palsu hanyalah menyangkut perintah palsu untuk memasuki tempat kediaman dan pekarangan orang lain. Perintah palsu tersebut berwujud perintah yang kelihatannya seperti surat perintah asli yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, tetapi sebenarnya bukan. Misalnya: seorang pencuri yang mengakui petugas dinas air minum yang memasuki rumah dengan alasan akan memperbaiki pipa-pipa ledeng dengan menunjukkan surat perintah resmi, akan tetapi sebenarnya ia bukan petugas Dinas Air Minum dan yang ditunjukkan bukan surat perintah resmi.

vi. Memakai pakaian jabatan palsu Pakaian jabatan palsu adalah seragam yang dipakai oleh seseorang yang tidak berhak untuk itu. Sering terjadi di dalam masyarakat bahwa seorang pencuri mengenakan pakaian jaksa atau polisi sehingga pakaian seragamnya tadi ia dapat memasuki rumah korban dengan mudah.

3. Aliran Pembentuk Pola Pikir Hakim

Keberadaan sistem hukum di Indonesia yang menganut civil law menyebabkan beraneka ragam framework atau kerangka berpikir hakim di dalam memutus perkara. Hal ini dilandasi dengan beberapa aliran yang membentuk pola pikir hakim Indonesia dalam memeriksa dan memutus perkara antara lain:

Page 40: Jurnal Desember 2012

268 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

1). Aliran Legisme

Umumnya para ilmuwan (hukum) berpendapat bahwa mula-mula ahli-ahli hukum Romawi yang menghendaki bahwa peraturan-peraturan hukum itu hendaknya dituliskan. Bukan itu saja, malahan lebih jauh lagi hendaknya himpunan peraturan hukum itu ditetapkan dengan pasti dalam kitab undang-undang dan hanya himpunan undang-undanglah yang hendak dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum. Tidak ada hukum, kecuali hukum undang-undang, hukum adat (adatrecht) hanya ada apabila ditunjuk atau diperbolehkan oleh hukum undang-undang.

Menurut ajaran Trias Politica Montesquieu, dalam rangka pemindahan kekuasaan, tugas pembentukan hukum adalah semata-mata hak luar biasa dari pembentuk undang-undang. Teori kedaulatan dari rakyat adalah kekuasaan yang tertinggi, sedang undang-undang adalah sebagai pernyataan kehendak itu. Maka tidak ada sumber lain kecuali undang-undang tersebut. Sesuai dengan teori Montesquieu ataupun J.J. Rosseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan pengadilan adalah pasif saja, hanya terompet undang-undang dan bertugas memasukkan hal yang konkrit dalam peraturan undang-undang dengan jalan silogisme secara deduksi logis. Dengan demikian, yang berkuasa untuk merubah hukum adalah pembentuk undang-undang. Hakim dan para anggota masyarakat harus berpikir dalam suatu sistem yang dianut oleh pembentuk undang-undang.

Pandangan legisme ini berkuasa di Eropa antara 1830-1880, dan menganggap undang-undang itu lengkap, merupakan pengecualian adalah portalis, perencana Code Civil (1804), yang berpendapat bahwa kitab undang-undang

meskipun tampaknya lengkap, tetapi tidak pernah selesai, sebab ribuan permasalahan yang tidak terduga akan diajukan kepada hakim. Undang-undang yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah, sedangkan manusia tidak pernah berhenti dan perkembangan itu selalu akan menimbulkan peristiwa baru. Oleh karena itu, beberapa permasalahan akan diserahkan kepada kebiasaan, para sarjana hukum dan pendapat hakim.

Van Apeldoorn mengatakan bahwa tugas hakim pada abad ke-19 ialah semata-mata pekerjaan intelek. Hakim adalah subsumptie-automaat, yakni tugasnya hanya melakukan subsumptie atas hal yang akan diputuskan ke dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk hal tersebut. Hakim sekedar mempelajari undang-undang, mengadakan analisa, menemukan jalan untuk hal-hal yang tegas dengan jalan deduksi logis melalui silogisme (Apeldoorn, 1996: 382).

2). Aliran Begriffsjurisprudenz dan Rechtsvinding

Menurut Soedjono seperti halnya telah dikutip oleh Sudarsono benar bahwa hakim terikat pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti pandangan aliran legisme. Hakim juga memiliki kebebasan apa yang dinamakan “kebebasan terikat” atau “keterikatan yang bebas”. Tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman (Sudarsono, 2001: 116-117).

Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa, hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara obyektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusan dan bukan a priori menemukan putusannya, sedang pertimbangannya baru kemudian dikonstuir. Peristiwa yang sebenarnya akan diketahui hakim

Page 41: Jurnal Desember 2012

268 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 269

dari pembuktian. Jadi bukannya putusan itu lahir dalam proses secara a priori dan kemudian baru dikonstruksi atau direka pertimbangan pembuktiannya, tetapi harus dipertimbangkan lebih dahulu tentang terbukti tidaknya, baru kemudian sampai pada putusannya.

Setelah hakim menganggap terbukti peristiwa yang menjadi sengketa, berarti bahwa hakim telah dapat mengkonstatir peristiwa yang menjadi sengketa, maka hakim harus menentukan peraturan hukum yang menguasai sengketa antara kedua belah pihak. Hakim harus menemukan hukumnya dan mengkualifikasi peristiwa yang telah dianggapnya terbukti (Mertokusumo dan Pitlo, 1999: 32-33).

Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia nuvit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soal kedua belah pihak sehingga hakim dalam mempertimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak (Pasal 176 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg.).

Aliran ini berpendapat bahwa sekalipun benar undang-undang tidak lengkap, akan tetapi tetap dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri. Oleh karena itu mempunyai daya ekspansi. Lebih lanjut dikatakan oleh aliran ini, bahwa meskipun undang-undang mempunyai daya yang meluas, akan tetapi cara memperluas hukum tersebut hendaknya norm logisch dan dipandang dari segi dogmatik, sebab hukum itu merupakan satu kesatuan atau struktur tertutup logis, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Brinz, bahwa ia adalah suatu Logische Geschlossenheit. Menurut pandangan aliran ini tugas hakim ialah semata-mata pekerjaan intelek, hakim adalah subsumtie otomat, hakim sama

sekali tidak membentuk hukum, bahkan hanya membuka tabir pikiran-pikiran yang terletak dalam undang-undang. Hakim hanya mengisi kekosongan tersebut dengan jalan membuat konstruksi hukum. Misalnya dengan jalan abstraksi, determinasi, argumentum a contrario dan lain-lain.

Kelemahan dari aliran ini adalah bahwa ia terlalu mendewa-dewakan ratio dan logika dalam rangka meluaskan undang-undang sampai terbentuknya hukum. Kemudian sudah puas apabila dengan kepastian hukum dapat terjamin, dan memang inilah yang menjadi tujuan dari aliran ini. Sedangkan mengenai keadilan dan kemanfaatan sosial diabaikan.

3). Aliran Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule

Aliran ini tidak dapat menerima dasar-dasar pikiran, legisme dan Begriffsjurisprudenz antara lain H. Kantorowicz, E. Erlich, O. Bulow, E. Stampe, E. Fuchs, menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap dan bukanlah satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menemukan hukum itu. Lebih lanjut dikatakan oleh penganut aliran ini, bahwa demi untuk mencapai keadilan hakim, bahkan menyimpang dari undang-undang.

Menurut mereka hanya undang-undang yang sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan keadilanlah yang harus dilaksanakan oleh para pejabat (termasuk hakim) yang dijadikan parameter dari keyakinan hakim sendiri, yang kedudukannya bebas semutlak-mutlaknya.

Dikatakan oleh aliran ini bahwa hakim mempunyai kebebasan, bukan saja untuk menambah kekosongan undang-undang, akan

Page 42: Jurnal Desember 2012

270 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

tetapi juga untuk memperbaiki dan kalau perlu menghapuskan undang-undang, apabila dianggapnya bertentangan dengan apa yang mereka sebut Fretes Rechts.

Kelemahan dari aliran ini akan menimbulkan ketidakhormatan terhadap undang-undang dan seterusnya kepada kepastian hukum, akan hilang karena faktor-faktor subyektif yang ada pada hakim sendiri. Sebab mau tidak mau hakim dan para alat-alat administrasi negara dalam prakteknya terpengaruh atau terikat oleh kepentingan-kepentingan terdekat yang mengelilinginya, baik kepentingan pribadi, maupun kepentingan keluarga, teman, golongan dan sebagainya. Apa yang disebut dengan kepentingan dan kesadaran atau rasa keadilan masyarakat akan merosot menjadi kepentingan, kesadaran atau rasa keadilan subyektif sang hakim.

4). Aliran Soziologische Rechtsschule

Pokok pikiran dari aliran ini adalah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenangan dari hakim dalam rangka penerapan suatu aturan hukum menurut aliran Freirechtsschule tadi. Aliran tersebut pada dasarnya tidak setuju adanya kebebasan bagi para pejabat hukum untuk mengenyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya, undang-undang tetap harus dihormati. Sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang. Berdasarkan aliran ini, hakim hendaknya melandaskan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, agar putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), dan demikian inilah dikatakan “hukum yang sebenarnya” (het

recht der werkeljkheid).

5). Aliran Sistem Hukum Terbuka

Eksponen dari aliran ini adalah Paul Scholten yang memberikan penjelasan pada pokoknya mengatakan “hukum itu merupakan suatu sistem”, ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun sistematik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asasnya.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Perlu diketahui bahwa kebebasan hakim bukanlah dimaksudkan sebagai hak istimewa dari para hakim untuk dapat berbuat sebebas-bebasnya. Dalam pengertian kebebasan hakim di sini adalah menyangkut masalah:

a. Sifat kebebasan hakim

Tugas hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan hukum, yang di dalamnya tersimpul bahwa hakim sendiri dalam memutuskan suatu perkara, harus juga berdasarkan hukum. Artinya tidak boleh bertentangan dengan hukum, sebab hakim bertugas mempertahankan tertib hukum menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya. Para pihak yaitu jaksa, penasehat hukum, korban, terdakwa serta seluruh masyarakat (dalam hal perkara yang sedang diperiksa oleh hakim menarik perhatian umum). Mereka mengharapkan bahwa hakim itu akan menjalankan hukum yang berlaku atas kasus yang

Page 43: Jurnal Desember 2012

270 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 271

ditanganinya, tidak hanya sesuai dengan hukum, namun juga sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Hal tersebut ditegaskan di dalam Bab IV mengenai Hakim dan Kewajibannya pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1): Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 8 ayat (2): Dalam mempertimbangkan berat-ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Dari Pasal di atas mengandung makna bahwa sifat kebebasan hakim itu merupakan suatu keharusan yang diberi batas-batas oleh peraturan yang berlaku, sebab hakim diberi kebebasan hanya seluas dan sejauh hakim dengan keputusannya itu untuk mencapai suatu keadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai living law dalam masyarakat serta mempertimbangkan berat-ringannya pidana dan sifat-sifat dari terdakwa.

b. Seberapa jauh kebebasan hakim dalam menangani semua perkara

Menurut Sudarto, bahwa ada pembatasan kebebasan hakim dalam melaksanakan tugas peradilan dipandang dari segi lain bahwa dalam suatu pelaksanaan tugas/wewenang judisialnya, sifat kebebasan hakim ini tidak mutlak, sebab tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila (Sudarto, 1981: 37-37).

B. ANALISIS

1. Posisi kasus

a. Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg.

Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan terhadap AS setelah mendengar tuntutan pidana dari Penuntut Umum tertanggal 14 Agustus 2007 yang pada pokoknya menuntut:

1. Menyatakan terdakwa AS bersalah melakukan tindak pidana pencurian sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-3, 4 dan 5 KUHP.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AS dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) buah layar monitor dan 1 (satu) buah tralis kaca nako dikembalikan kepada PT MS lewat SK.

b. 1 (satu) buah lampu senter, 2 (dua) buah obeng warna kuning, 1 (satu) besi kunci roda, 2 (dua) bungkus plastik, 1 (satu) buah parang, dirampas untuk dimusnahkan.

4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)

Page 44: Jurnal Desember 2012

272 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu dari saksi-saksi yang bersesuaian satu dengan yang lainnya, dan dari keterangan terdakwa dan adanya barang bukti dalam perkara ini, selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan apakah fakta-fakta tersebut dapat memenuhi semua unsur dari pasal yang didakwa dan apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis berkesimpulan bahwa semua unsur untuk adanya perbuatan pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3, 4 dan 5 KUHP telah terpenuhi adanya, sehingga terdakwa akan ditanyakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana dalam pasal tersebut.

Unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) ke-3, 4 dan 5 KUHP yaitu:

i. Barang siapa (subyek hukum), yaitu AS;

ii. Mengambil barang sesuatu, terdakwa telah mengambil barang-barang berupa satu buah monitor merk. LG, satu buah keyboard warna putih dan satu dos marimas berisi 500 biji, yang mana barang tersebut adalah milik saksi SK;

iii. Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, barang-barang tersebut di atas adalah milik SK;

iv. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, Terdakwa telah mengambil barang-barang tersebut tanpa seizin dari pemiliknya dan untuk dimilikinya;

v. Dilakukan di malam hari, terdakwa melakukannya pada hari Selasa, tanggal 17 April 2007 sekitar pukul 04.00 WIB

dibantu oleh rekannya DD;

vi. Dengan cara merusak, terdakwa dibantu oleh DD mengambil barang-barang tersebut, oleh terdakwa cara masuk ke ruang hingga sampai barang ditangannya dengan cara merusak kaca nako dan merusak asbes dengan alat besi leter L milik terdakwa.

Menimbang, bahwa sebelum majelis menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, akan dipertimbangkan lebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana, sebagai berikut:

Hal-hal yang memberatkan:

a. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;

b. Perbuatan terdakwa merugikan PT MS.

Hal-hal yang meringankan:

a. Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi;

b. Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya;

c. Terdakwa belum pernah dihukum.

Mengingat akan Pasal 363 ayat (1) ke-3, 4 dan 5 KUHP dan Pasal 191 ayat (1), (2) dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, serta pasal lain dari undang-undang yang berkenaan.

Majelis hakim mengadili:

1. Menyatakan terdakwa AS telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian.

2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.

Page 45: Jurnal Desember 2012

272 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 273

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.

5. Menyatakan barang bukti berupa:

a. 1 (satu) buah layar monitor dan 1 (satu) buah tralis kaca nako dikembalikan kepada PT MS lewat SK.

b. 1 (satu) buah lampu senter, dua buah obeng warna kuning, 1 (satu) buah besi kunci roda, 2 (dua) bungkus plastik, 1 (satu) buah parang, dirampas untuk dimusnahkan.

6. Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah).

B. Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg.

Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa dengan hakim majelis telah menjatuhkan putusan kepada 2 (dua) terdakwa dengan nama SS dan IT.

Telah mendengar tuntutan Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut agar Pengadilan Negeri Semarang memutuskan:

1. Menyatakan terdakwa SS dan terdakwa IT telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah melakukan tindak pidana “pencurian dengan pemberatan” sebagaimana yang diatur dan diancam pidana Pasal 363 ayat (1) ke 3, 4, 5 KUHP dalam dakwaan tunggal;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

SS dan terdakwa IT berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun, khususnya terhadap terdakwa SS dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan;

3. Menyatakan barang bukti berupa : satu (1) unit play station 2 merk Sony, satu (1) unit Laptop Compaq warna silver, dikembalikan kepada saksi JSN;

4. Menetapkan agar mereka terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000, (seribu rupiah).

Menimbang, bahwa terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana seperti diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 (1) ke-3,4,5 KUHP, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: unsur orang, unsur mengambil benda/barang, unsur menguasai benda/barang secara melawan hukum, unsur waktu pada malam hari di atas pekarangan tertutup, dilakukan oleh dua orang, dan membuka pintu rumah dengan cara merusak/cara-cara kekerasan.

Menimbang, bahwa dari hasil keseluruhan di persidangan, ternyata saling berhubungan satu sama lain sehingga perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 (1) ke-3,4,5 KUHP;

Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan para terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tersebut di atas, maka majelis berkeyakinan para terdakwa telah bersalah;

Menimbang, bahwa oleh karena para terdakwa dihukum, maka harus pula dibebani membayar ongkos perkara;

Namun sebelum pengadilan menjatuhkan putusan, harus dipertimbangkan hal-hal yang

Page 46: Jurnal Desember 2012

274 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

meringankan dan memberatkan;

Yang meringankan:

a. Para terdakwa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan;

b. Para terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari;

c. Mereka terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga;

Yang memberatkan:

a. Perbuatan para terdakwa meresahkan masyarakat;

b. Para terdakwa telah menikmati hasil perbuatannya;

c. Mereka terdakwa pernah di hukum;

Mengingat ketentuan hukum dan undang-undang yang bersangkutan, terutama Pasal 363 (1) ke-3,4,5 KUHP;

Mengadili menyatakan terdakwa SS dan terdakwa IT terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “pencurian dengan pemberatan”.

Oleh karena itu, menghukum para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.

2. Analisis Disparitas Putusan Hakim Pidana Pencurian Dengan Pemberatan terhadap Putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dan Putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg di Pengadilan Negeri Semarang

Putusan hakim dengan No. 590/ Pid. B/ 2007 PN.Smg melihat pertimbangan alasan pemberat

dan peringan bagi terdakwa, terkandung secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain merupakan tujuan dari pemidanaan yaitu pertama, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna dan yang kedua, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Tujuan di atas, dirumuskan dalam Konsep KUHP 2005 berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat guna melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini diklasifikasikan oleh Helbert L. Paker yang dikutip Zainal Abidin dengan pandangan utilitarian yang selalu berorientasi ke depan (forward-looking) (Abidin, 2005: 16).

Dalam melakukan pemidanaan, terdapat beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh hakim sebelum sampai kepada putusannya. Pertimbangan hakim terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pertimbangan yang bersifat yuridis berupa dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal yang mengaturnya. Kedua, pertimbangan yang bersifat non yuridis, berupa alasan pemberat di luar KUHP.

Putusan tersebut memerhatikan ratio decidendi, yaitu alasan yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya, di antaranya berupa pertimbangan yang memberatkan dan meringankan para terdakwa secara implisit mempunyai tujuan pemidanaan, yang merupakan filosofi dari penjatuhan pidana (philosophy of sentencing). Filosofi hakim tersebut adalah untuk memperbaiki, merawat atau mengobati terpidana saat menjalani pemidanaan di

Page 47: Jurnal Desember 2012

274 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 275

Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat perlu adanya keseimbangan nilai yang terjamin untuk memulihkan konflik dari perbuatan kejahatan, terutama tindak pidana pencurian tersebut (www.legalitas.org).

Menurut penulis, pemberatan pidana bagi pelaku pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) dapat juga terjadi manakala memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 363 (1) 1e, 2e, 3e dan 4e KUHP. Misalnya obyeknya adalah ternak; atau dilakukan dalam keadaan terjadi bencana alam seperti kebakaran, letusan, banjir dan sebagainya; atau dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah; atau dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih; ataupun dilakukan dengan jalan membongkar, memanjat dan sebagainya. Dalam hal ini maksimum pidana dinaikkan dari lima tahun menjadi tujuh tahun penjara. Kalau pencurian pada waktu dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup (Pasal 363 ayat (1) ke 3e KUHP) disertai lagi dengan salah satu hal yang disebut dalam ayat (1) ke 4e dan 5e, maka maksimum pidananya dinaikkan menjadi sembilan tahun, yakni yang terdapat dalam Pasal 363 ayat (2) KUHP.

Secara teoritis, semua delik yang dimaksud di dalam Pasal 363 (1) ke 1e, 2e, 3e, 4e dan 5e serta ayat (2) merupakan delik yang berdiri sendiri. Jadi penuntut umum harus mendakwakan berupa dakwaan komulatif karena terjadi perbarengan perbuatan (concursus realis) yang menurut Pasal 65 KUHP berbunyi:

ayat (1): Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.

ayat (2): Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Dalam putusan hakim dengan No. 1055/ Pid.B/2007/PN.Smg, yang ternyata perbuatan terdakwa masuk dalam klasifikasi recidive atau pengulangan tindak pidana (Arief, 1993: 66). Hal ini dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu delik dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan yang in krach van gewijsde, kemudian melakukan suatu delik lagi, yaitu dari terdakwa SS dan IT. Menurut teori pemidanaan, recidive merupakan alasan untuk memperberat pemidanaan.

Sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. Adapun yang dimaksud dengan kelompok jenis adalah bahwa kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.

Perbuatan terdakwa I SS dan terdakwa II IT merupakan kelompok jenis kejahatan mengenai kejahatan terhadap harta benda, terdakwa I pernah melakukan delik “pencurian dengan kekerasan” sedangkan terdakwa II juga melakukan delik “pencurian biasa”. Dalam hal ini hakim menjatuhkan pidana bersandar kepada teori pencegahan khusus untuk ditujukan kepada si pelaku delik yang mempunyai sifat “membuatnya menjadi tidak berdaya”. Sebab dalam hal pemberatannya, ternyata terdakwa sebelumnya pernah di hukum yang itu tidak menimbulkan efek jera, lagi pula meresahkan masyarakat. Para terdakwa sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Maka

Page 48: Jurnal Desember 2012

276 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

pidana yang dijatuhkan terhadapnya bersifat membinasakan atau membuatnya tidak berdaya (Chazawy, 2007: 165-166).

Hakim melihat pertimbangan alasan pemberat dan peringan bagi terdakwa, terkandung secara implisit filosofi penjatuhan pidana yang tiada lain merupakan tujuan dari pemidanaan yaitu: pertama, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; kedua, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Tujuan tersebut di atas, dirumuskan dalam Konsep KUHP 2005 berlandaskan pada teori pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat guna melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan ini diklasifikasikan oleh Helbert L. Packer yang dikutip Zainal Abidin dengan pandangan utilitarian yang selalu berorientasi ke depan (forward-looking) (Abidin, 2005: 16).

Penegakan hukum dalam hukum pidana dapat tercapai apabila tujuan dari pemidanaan itu terpenuhi yang tidak sekedar menjatuhkan pidana terhadap seseorang (pandangan retributif), akan tetapi makna filosofi dari pemidanaan itu dapat dirasakan oleh terpidana dan berdampak positif saat terpidana selesai menjalani masa pemidanaannya yaitu setelah ia keluar dari rumah tahanan dan kembali di masyarakat (pandangan utilitarian) (Sholehuddin, 2004: 83).

Dalam hal ini, hakim yang memeriksa perkara pencurian dengan pemberatan ini semestinya memerhatikan filosofi pemidanaan dan menggunakan pemikiran yang progresif, sehingga tidak terjebak dalam pola pikir yang legistik.

Berdasarkan unsur-unsur pidana atas dua putusan di Pengadilan Negeri Semarang atas delik pencurian dengan pemberatan tersebut, perbuatan terdakwa tidak masuk dalam rumusan point ke-2 Pasal 363 (1) KUHP. Maka ketentuan tentang concursus realis tidak lagi diterapkan.

Pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan tersebut, Adami Chazawi menyebutnya sebagai dasar pemberatan pidana khusus. Maksudnya ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana pencurian dengan kualifikasi pemberatan tersebut.

Selanjutnya jika dilihat dari berat ringannya ancaman pidana, tindak pidana pencurian dengan pemberatan ini masuk dalam jenis/kualifikasi yang diperberat. Sedangkan cirinya ialah harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah lagi satu atau lebih dari unsur khusus yang bersifat memberatkan.

Bervariasinya putusan pemidanaan oleh hakim antara putusan yang satu dengan lainnya, yaitu putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg, dengan putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg kepada masing-masing terdakwa dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan (kualifikasi) merupakan disparitas pidana, karena hakim kurang memerhatikan landasan, kriteria dan ukuran yang sama diantara para pelaku dalam tindak pidana yang sama, yang dapat menyebabkan ketidakadilan atas terpidana setelah membandingkan dengan terpidana yang lainnya dalam jenis perkara yang sama dan nantinya akan menjadikan terpidana itu sikap anti rehabilitasi dan demoralisasi di Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan.

Page 49: Jurnal Desember 2012

276 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 277

Dari dua putusan tersebut, maka penyebab dari adanya disparitas pemidanaan pada perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah pertama, secara umum dilihat dari aspek yuridis bahwa undang-undang (KUHP) secara umum mengandung sistem perumusan indefinite, artinya tidak ditentukan secara pasti. Dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP dikatakan “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.........”.

Dari sini pembuat undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk memilih rentang waktu antara minimal satu hari sampai dengan maksimal tujuh tahun penjara; kedua, pelakunya berbeda-beda, ada yang berperan sebagai pleger (pelaku utama), doenpleger (orang yang menyuruhlakukan), medepleger (orang yang turut serta) dan uitlokker (penganjur); ketiga, barang yang diambil bervariasi mulai dari barang dengan tingkat harga terendah sampai yang tertinggi; keempat, cara melakukan pencurian berbeda-beda. Ada yang dengan memanjat pagar besi atau naik pada lubang angin (jendela) samping rumah, merusak dengan memecah kaca jendela atau yang lain, mencongkel jendela dengan memakai anak kunci palsu yaitu besi leter L dan obeng; dan kelima, motif melakukan pencurian bervariasi, ada yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, dimiliki secara pribadi dan dijual lalu dibelikan makanan dan minuman. Selain itu juga terdapat faktor pemberatan dan peringanan pidana.

Berikut ini merupakan temuan dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa di luar undang-undang (KUHP) dalam beberapa putusan, khususnya perkara pencurian dengan pemberatan di Pengadilan Negeri Semarang ialah sebagai berikut:

1. Hal-hal yang memberatkan:

a. Perbuatan para terdakwa meresahkan masyarakat

b. Para terdakwa telah menikmati hasil perbuatannya

c. Mereka terdakwa pernah dihukum

d. Perbuatan para terdakwa telah merugikan korban / saksi korban

2. Hal-hal yang meringankan:

a. Para terdakwa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan

b. Para terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari

c. Para terdakwa berterus terang (mengakui) akan perbuatannya

d. Terdakwa merasa bersalah

e. Mereka terdakwa masih mempunyai tanggungan keluarga

f. Para terdakwa belum pernah dihukum

g. Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya

3. Persepsi Praktisi dan Akademisi tentang Disparitas Putusan Hakim

Disparitas putusan hakim pada umum bukanlah merupakan suatu permasalahan besar di dalam hukum pidana. Hakim di dalam menjatuhkan putusan pidana pasti disparitas. Di sini yang menjadi permasalahan disparitas yang tidak beralasan. Memang secara yuridis, hukum itu bersifat kaku, tetapi sifat kekakuan hukum tersebut berubah manakala hukum itu diterapkan

Page 50: Jurnal Desember 2012

278 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

oleh kekuasaan yudikatif (aplikatif), dalam hal ini hakim sebagai pemutus perkara di pengadilan.

Disparitas dalam konteks penjatuhan pidana bukanlah dipahami sebagai perbedaan. Berdasarkan wawancara khusus penulis dengan Barda Nawawi Arief, disparitas putusan hakim yang dimaksud adalah disparitas yang tidak didasarkan kepada landasan yang beralasan (reasonable) berupa filosofi atau tujuan yang sama, kriteria dan ukuran yang sama (wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012). Kemudian juga beberapa perkara yang ditangani oleh hakim sifatnya kasuistis, pelakunya berbeda, jenis kejahatannya berbeda, cara melakukannya pun berbeda. Jadi, di dalam menjatuhkan pidananya pun tidak boleh disamaratakan dengan terdakwa yang lain.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa dampak dari disparitas putusan hakim itu ada beberapa kemungkinan. Tentunya bagi masyarakat, disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar, pertama, bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap masyarakat. Kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan tidak sama dengan pelaku yang lainnya. Ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan. Keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan. Dan terakhir, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System (Wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012).

Selain itu, adagium di masyarakat yang juga azas dalam hukum pidana mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus sesuai dengan kesalahannya masing-masing. Apabila ini dirasa bertentangan, maka dapat memunculkan perbuatan main hakim sendiri

karena disparitas tersebut tidak mempunyai landasan yang reasonable.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa terpidana akan membandingkan dengan terpidana yang lainnya, yang kemudian setelah membandingkannya merasa menjadi korban (victim) “the judicial caprice”, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. (Muladi dan Arief, 2005: 56).

Dari sini akan tampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indikator dan manifestasi daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal Justice System).

Dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan, merupakan jenis perkara pencurian dengan kualifikasi atau diperberat ancaman hukumannya karena melihat adanya unsur-unsur yang memiliki sifat khas. Misalnya pencurian yang obyeknya adalah hewan ternak/piaraan atau dilakukan pada waktu ada musibah/ bencana alam, atau unsur-unsur lainnya yang terdapat dalam Pasal 363 ayat (1) KUHP. Oleh karena itulah peran dari pelakunya berbeda-beda, barang yang dicuri beragam, motif, cara dan waktu melakukannya pun juga tidak sama (wawancara dengan Bp. Fatchurrachman, S.H., seorang hakim Pengadilan Negeri Semarang, 2012).

Disparitas putusan hakim atas kasus pencurian dengan pemberatan akan berakibat fatal apabila dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut

Page 51: Jurnal Desember 2012

278 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 279

apabila tidak segera diatasi atau paling tidak diminimalisir, akan berdampak luas yaitu muncul ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan, kemudian ketidakpuasan masyarakat karena ketidakadilan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.

Kasus pencurian dengan pemberatan yang kebanyakan pelakunya berasal dari kelas ekonomi bawah tidak akan menjadi efek jera ketika putusan hakim dalam perkara yang sama akan dijatuhkan sanksi pidana yang tidak seimbang, sesuai dengan bobot barang yang dicuri dan sarana serta cara bagaimana mengambil barang tersebut. Ketidakadilan hakim terhadap putusan para terdakwa sangat berpotensi menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan masyarakat luas, terutama pada diri terpidana, yang merasa diperlakukan tidak adil dengan terpidana lainnya.

Hal ini tentu saja lama-kelamaan akan menumbuhkan kebencian terhadap criminal justice system yang berujung kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Jadi hemat penulis, perlu adanya kesatuan visi antar sub sistem di dalam penegakan hukum.

Secara sosiologis, tindak pidana pencurian khususnya dengan pemberatan mudah terjadi kapan dan di manapun berada di lingkungan sekitar, sebab pada tindak pidana pencurian jenis pemberatan ini seringkali terjadi dengan adanya faktor-faktor kriminogen di masyarakat sekitar. Oleh karena itu fenomena dari tindak pidana ini paling banyak di masyarakat, di mana yang paling dominan dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan mayoritas para pelakunya adalah tingkat kelas ekonomi menengah ke bawah atau dapat dikatakan berstatus sosial rendah.

Disparitas pemidanaan sulit untuk dihilangkan, namun kalau diminimalisir

sangatlah dimungkinkan. Untuk mengatasi atau meminimalisir adanya disparitas putusan hakim itu, khususnya dalam perkara tindak pidana pencurian dengan pemberatan di atas, maka diperlukan pengintegrasian visi dan misi oleh aparat penegak hukum, yang tidak hanya hakim saja memutus perkara dalam peradilan pidana, tetapi juga lembaga kesatuan yang berperan di dalam criminal justice system atau sistem penyelenggaraan hukum pidana secara integrated/terpadu dalam melaksanakan tugasnya. Serangkaian sub sistem inilah yang akan berperan dalam penegakan hukum pidana. Sedangkan yang paling dominan menentukan masa depan baik tidaknya terpidana adalah di Lembaga Pemasyarakatan, bukan semata-mata dari putusan hakim (wawancara dengan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., 2012).

Hakim hendaknya diberikan pedoman pemidanaan (straftoemetingsleidraad) yang sama untuk mempertimbangkan sebelum kepada putusannya. Misalnya pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan lahiriyah dan hal-hal yang bersifat subyektif, yaitu: motivasi, kesengajaan, apa akibat dari perbuatannya, apa bobotnya, cara dia melakukan, sikap batinnya (kesalahannya), apakah memang perbuatannya itu relevan atau tidak dengan hakikat deliknya, jangan hanya pertimbangan formal dan kemudian apakah perbuatan tersebut melawan hukum secara materiil apa tidak, jangan hanya melihatnya secara formal.

Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa dampak dari disparitas putusan hakim itu ada beberapa kemungkinan, tentunya bagi masyarakat. Disparitas pidana dalam arti yang tidak memberi dasar (reasonable), pertama, bisa menimbulkan ketidakpercayaan terhadap masyarakat; kedua, terjadi rasa ketidakpuasan karena diperlakukan

Page 52: Jurnal Desember 2012

280 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

tidak sama dengan pelaku yang lainnya; ketiga, kemudian memunculkan rasa ketidakadilan; keempat, menimbulkan kebencian kepada sistem, khususnya di lembaga pengadilan; dan kelima, dapat menghasilkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam Criminal Justice System (petikan wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 2012).

Adagium di masyarakat yang juga azas dalam hukum pidana Indonesia mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, artinya pidana harus sesuai dengan kesalahannya masing-masing. Apabila ini dirasa bertentangan, maka dapat memunculkan perbuatan main hakim sendiri karena disparitas tersebut tidak mempunyai landasan yang reasonable.

Di dalam Rancangan KUHP Nasional Tahun 2008 terdapat pedoman pemidanaan, yaitu Pasal 55 ayat (1) yang memuat: a) Kesalahan pembuat tindak pidana; b) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c) Sikap batin pembuat tindak pidana; d) Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e) Cara melakukan tindak pidana; f) Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g) Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j) Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan (www.legalitas.org.).

SIMPULANIV.

Disparitas hakim dalam memutus perkara yang sama bukanlah hal yang kurang penting dalam hukum pidana indonesia, sebab praktiknya di beberapa pengadilan khususnya di tingkat

pertama perkara-perkara tindak pidana ringan banyak terjadi disparitas. Persoalan disparitas dalam hukum pidana selalu ada, namun yang perlu mendapat perhatian adalah disparitas yang kurang reasonable (beralasan). Dari hasil kajian penulis terhadap putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg dengan putusan No. 1055/Pid.B/2007/PN.Smg di Pengadilan Negeri Semarang dapat disimpulkan:

Kedua putusan menunjukkan hakim dalam perkara pencurian dengan pemberatan atas kedua putusan ini kurang memerhatikan faktor-faktor kriminogen yang ada di masyarakat dan tidak bersandarkan kepada tujuan pemidanaan yang mengarahkan narapidana sebagai sarana untuk memperbaiki perilakunya, hanya berfungsi sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan. Selain itu, masih kental pola pikir hakim yang positivistik atau legistik.

Dalam putusan No. 590/Pid.B/2007/PN.Smg hakim menjatuhkan pidana bersandar kepada teori pencegahan khusus untuk ditujukan kepada si pelaku delik yang mempunyai sifat “membuatnya menjadi tidak berdaya”. Sedangkan dalam putusan No. 1055/ Pid.B/2007/PN.Smg, hakim menerapkan sistem recidivis, yakni sistem pemberatan pidana di atas dengan jenis recidive khusus terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP.

Dalam sudut pandang hakim dan kalangan akademisi, disparitas putusan hakim pada perkara pencurian dengan pemberatan dalam konteks kedua putusan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan, paling tidak diminimalisir. Hal tersebut karena faktor pertimbangan hakim atas putusan tersebut dalam mengungkap fakta-fakta di persidangan. Disparitas yang menyolok

Page 53: Jurnal Desember 2012

280 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Wahyu Nugroho) | 281

mengenai delik yang sama ataupun dapat disamakan perlu dihadapi dengan langkah-langkah yang akan membatasi kemungkinan-kemungkinan itu hingga garis minimum. Cara memiminalisirnya yaitu salah satunya di dalam konsep KUHP dicantumkan pedoman pemidanaan (straftoemetingsleiddrad).

Artinya pedoman yang sama untuk dipertimbangkan oleh hakim dengan diberi pedoman yang sama. Misalnya pedoman yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat perbuatan lahiriyah dan hal-hal yang bersifat subyektif, yaitu motivasi, kesengajaan, haruslah memerhatikan apa akibat dari perbuatan, apa bobotnya, apa cara dia melakukan, kemudian sikap batinnya (kesalahannya), apa memang perbuatannya itu relevan atau tidak dengan hakikat deliknya, jangan hanya pertimbangan kepada formal.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 3. Cet. I. Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Apeldoorn, Van. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.26. Jakarta: Pradnya Paramita.

Arief, Barda Nawawi. 1993. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

______________. 2003. Perbandingan Hukum Pidana. Ed. 2. Cet. V. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Chazawy, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana

I. Ed. I. Cet. III. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Djamali, R. Abdoel. 2003. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hood, Roger & Sparks, Richard. 1974. Key Issues in Criminologi. World University Library. McGraw-Hill Book Company. New York-Toronto.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (HIR).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Koeswadji, Hermien Hadiati dkk. 1985. Delik Harta Kekayaan, Asas-asas, Kasus dan Permasalahannya. Cet. I. Surabaya: PT Sinar Jaya.

Konsep KUHP Tahun 2008, Pasal 54 tentang ”Tujuan Pemidanaan” . www.legalitas.org.

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Cet. I. Yogyakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Ed. I. Cet. 3. Bandung: Alumni.

Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Cet. 2. Semarang: Alumni.

Sapardjadja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Ed. I. Cet. I. Bandung: PT Alumni.

Page 54: Jurnal Desember 2012

282 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282

Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Cet. 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soerodibroto, R. Soenarto. 2006. KUHP & KUHAP. Ed. 5. Cet. 12. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudarsono. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. III. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sutarto, Suryono. 2003. Hukum Acara Pidana Jilid I. Cet. III. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Ed. I. Cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika.

Wawancara dengan Bp. Fatchurrachman, S.H., (Hakim Pengadilan Negeri Semarang). 2012.

Wawancara dengan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., M.H., (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang & Ketua Tim Perumus Konsep KUHP Tahun 2007-2008). 2012.

Wawancara dengan Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang). 2012.

Page 55: Jurnal Desember 2012

282 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 261 - 282 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 283

ABSTRAK

Membangun citra dan wibawa hakim tidak terlepas dari kualitas putusannya yang harus dibarengi dengan pemahaman ilmu hukum yang luas. Hakim harus mampu menilai dan menganalisis fakta-fakta yang terungkap dalam sidang mengenai kesalahan terdakwa, kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum yang dilandasi teori hukum, doktrin, dan asas hukum. Untuk memenuhi harapan tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan struktur filosofis, juridis, dan sosiologis dalam memeriksa dan memutus perkara, karena dapat menimbulkan kerusakan terhadap keseluruhan sistem yang akan dijalankan. Kemandirian hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan tidak boleh hanya dinilai dari aspek ketepatan penerapan hukumnya saja, tetapi juga harus memperhatikan dan memahami rasa keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Kata kunci: Argumentasi, fakta hukum, teori hukum, putusan hakim.

AbstrAct

Improving the image and authority of judges has something to do with the quality of their decisions that must be coupled with a broad understanding of legal science. Judges must be able to assess and analyze the facts as revealed during the trial regarding defendant’s fault, then pour them in legal reasoning based on the right legal theories, doctrines, and principles. To meet these expectations, judges must not ignore the philosophical, juridical, and sociological structures in examining and deciding cases. Ignoring the above mentioned aspects will terribly affect to the functions of the overall legal system. Independence of judges in the hearing and passing decisions should not only be viewed from the aspect of accuracy in applying the legal basis, but also from the full attention to and understanding of justice, truth, and living laws.

Keywords: argument, legal fact, legal theory, judge-made law.

PENGUATAN ARGUMENTASI FAKTA-FAKTA PERSIDANGANDAN TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM

Diterima tgl 5 Mei 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

Kajian Putusan Nomor 181 K/Pid/2007/MA

STRENGHTENING THE ARGUMENT ON LEGAL FACTS AND LEGAL THEORIES IN JUDGE-MADE LAWS

Marwan MasFakultas Hukum Universitas 45 Makassar

Jl. Urip Sumoharjo KM. 4, MakasarEmail: [email protected]

An Analysis on Decision Number 181 K/Pid/2007/MA

Page 56: Jurnal Desember 2012

284 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

PENDAHULUANI.

Kasus ini bermula terdakwa DI selaku Direktur PT BI baik bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan SU, AJ, MA alias AS, AH, dan MP, pada sekitar bulan April 2003 sampai bulan Maret 2004 bertempat di Cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan telah melakukan beberapa perbuatan melawan hukum. Mereka memperkaya diri sendiri atau bersama orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Terdakwa bersama AH dan MP melakukan pertemuan untuk membahas masalah investasi dalam bentuk PMA (penanaman modal asing) atau PMDN (penanaman modal dalam negeri). Pertemuan menyepakati untuk menggunakan PT GG, PT STC, PT APP, PT MGA dan PT BP seolah-olah sebagai eksportir.

Pada kenyataannya, perusahaan itu hanya nama saja dan tidak pernah beroperasi atau fiktif. Perusahaan itu seolah-olah telah mengambil barang dari luar negeri dengan pembayaran menggunakan fasilitas kredit Letter of Credit (L/C) sehingga sepintas telah melakukan transaksi jual beli. L/C diterbitkan seolah-olah benar dari Bank Penerbit (Wastreet Bank, Cool Island Bank, Dubai Bank, Kenya Bank, dan Ross Bank) yang disetorkan ke Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lebih dari itu, dokumen kelengkapan Export Bill Of Loading (B/L) juga tidak pernah diterbitkan oleh perusahaan pelayaran dalam menjalankan kegiatan tersebut, Terdakwa bersama AW sepakat mengangkat SU selaku Direktur PT BI yang dituangkan dalam akta pendirian PT BI Nomor 18 Tanggal 27 Januari 2003 di hadapan Notaris Soe, S.H. Perbuatan Terdakwa bersama-sama dengan SU, AJ, dan MA yang mengakibatkan kerugian bagi negara cq.

PT. Bank Negara Indonesia sebagai badan hukum milik negara sebesar Rp.49.269.000.000,- (empat puluh sembilan milyar dua ratus enam puluh sembilan juta rupiah), dan dalam bentuk US$ sebesar $2.999.990.00,- atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu.

Akibat tindakan tersebut, jaksa penuntut umum mendakwakan dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Kedua, jaksa juga mendakwakan dakwaan kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) Sub a, b, c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Proses hukum kemudian berlanjut, Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa ke persidangan dan meminta Majelis Hakim agar memutuskan DI bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa DI dengan hukuman mati, dengan perintah terdakwa tetap ditahan, menghukum Terdakwa DI untuk membayar denda sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan kurungan, dan menyatakan barang bukti sebanyak 56 bukti, dan 6 bukti yang dipergunakan untuk perkara lain, dirampas untuk negara, serta membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

Page 57: Jurnal Desember 2012

284 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 285

Pada tanggal 20 Juni 2006, hakim tingkat pertama setelah melakukan memeriksa pada akhirnya memutuskan Terdakwa DI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut, menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun, menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan, menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang dijatuhkan, memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan, menetapkan semua barang bukti (yang tercantum dalam putusan) dan perkara yang dipergunakan untuk perkara lain (yang tercantum dalam putusan) dirampas untuk negara, dan membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah);

Terhadap putusan tersebut, Terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. PT Jakarta berdasarkan Nomor: 175/Pid/2006/PT.DKI, memutuskan menerima permintaan Banding dari penuntut umum, dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 114/Pid.B/2006/PN.Jak.Sel., dengan memperbaiki amar putusan menggabungkan butir kedua dan ketiga, penggantian kata “subsider” dengan kalimat, “Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan,” mengurangkan masa penangkapan atas pidana yang dijatuhkan, penggantian kata, “memerintahkan” menjadi “menetapkan” yang berhubungan dengan penahanan terdakwa. Putusan PT ini dibacakan pada tanggal 2 Oktober 2006

Terdakwa menilai putusan tersebut tidak tepat sehingga mengajukan upaya hukum

kasasi di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa DI tersebut, dan membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Putusan tertanggal 20 Pebruari 2007 itu dibacakan oleh Hakim Agung tertuang dalam putusan Nomor: 181 K/Pid/2007/MA.

RUMUSAN MASALAHII.

Mengacu pada latar belakang perkara di atas, beberapa masalah diidentifikasi untuk dianalisis sebagai berikut ini:

1. Sejauhmanakah kelemahan Surat Dakwaan Penuntut Umum sehingga tidak semua tuntutannya dikabulkan oleh Majelis Hakim?

2. Apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim sudah memenuhi ketentuan hukum acara untuk menguatkan argumentasi terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

1. Surat Dakwaan

Dakwaan Penuntut Umum (PU) sangat memegang peranan penting sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Menuntut seorang terdakwa di depan sidang pengadilan agar dijatuhi pidana, harus diawali dengan pemeriksaan melalui penyelidikan dan penyidikan yang dituangkan dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) Penyidik.

Page 58: Jurnal Desember 2012

286 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

BAP yang dinyatakan lengkap oleh PU, dilimpahkan oleh penyidik bersama terdakwa dan barang bukti (alat bukti). PU membuat surat dakwaan kemudian melimpahkan BAP ke pengadilan dengan permohonan agar hakim memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Pembuatan surat dakwaan oleh PU sebagai syarat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, diatur dalam Pasal 143 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan permintaan agar segera mengadili perkara dimaksud.

Pengertian surat dakwaan tidak diuraikan secara jelas dalam KUHAP, tetapi menurut M. Yahya Harahap (1988: 414-415) surat dakwaan dapat diartikan sebagai:

Surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

M. Yahya Harahap (1988a: 415-416) menegaskan, ada dua hal yang penting diingat dan diperhatikan dalam surat dakwaan, yaitu: (1). perumusan surat dakwaan harus konsisten dan sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan, (2). surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pengertian surat dakwaan di atas didasarkan pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang mengatur syarat-syarat surat dakwaan. Surat dakwaan harus sinkron dengan hasil penyidikan, harus benar-benar sejalan dan seiring dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan, merupakan surat dakwaan palsu dan tidak benar untuk dibawa ke sidang pengadilan.

Materi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan, tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik dalam berkas perkara penyidikan. Apabila surat dakwaan menyimpang dari hasil pemeriksaan surat penyidikan menurut M. Yahya Harahap (1988a: 415) maka: “hakim dapat menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima atas alasan isi rumusan surat dakwaan kabur (obscuur libel)”. Terdakwa hanya dapat dijatuhi pidana jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan.

Akan tetapi, M. Yahya Harahap (1988: 416) memberikan jalan keluar perihal surat dakwaan yang tidak boleh menyimpang dari pasal yang dilanggar terdakwa, sebagai berikut:

Jadi kadang-kadang hasil pemeriksaan penyidikan bisa memberikan gambaran peristiwa pidana yang bersifat ganda, sehingga tidak selamanya upaya menarik kesimpulan hasil pemeriksaan itu mulus dan mudah. Jika penuntut bertemu dengan hasil pemeriksaan penyidikan yang seperti itu, dia diberi kesempatan menyusun surat dakwaan yang berbentuk kumulasi atau berbentuk alternatif dengan syarat, tidak boleh menyimpang dari data dan fakta yang terkumpul dari hasil pemeriksaan penyidikan. Misalnya, hasil pemeriksaan penyidikan memberikan fakta bahwa terdakwa ikut menerima bagian hasil curian. Dari fakta ini, penuntut umum mempunyai kebebasan dan kewenangan menarik kesimpulan fakta tersebut berupa surat dakwaan: berupa tindak pidana penadahan (Pasal 480 KUHPidana), atau bisa berupa tindak pidana turutserta melakukan pencurian.

Page 59: Jurnal Desember 2012

286 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 287

Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan pandangan Andi Hamzah (1996: 173), bahwa:

Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya. Penuntut umum dapat mengubah pasal undang-undang yang disebut oleh polisi untuk menyesuaikan dakwaan dengan fakta-fakta dan data, dan menyusun dakwaan berdasarkan perumusan delik tersebut. Misalnya, polisi mencantumkan Pasal 352 KUHPidana (penganiayaan ringan) dengan fakta-fakta dan data hasil pemeriksaan yang dibuat polisi dan visum et repertum, penuntut umum dapat mengubah pasal yang dicantumkan polisi menjadi Pasal 351 (penganiayaan biasa), dan menyusun dakwaan sesuai unsur-unsur Pasal 351 tersebut.

Pandangan di atas sejalan dengan pertimbangan hukum putusan MA (yurisprudensi) dalam putusannya tanggal 28 Maret 1957 Nomor 47/K.Kr/1956 yang menyatakan bahwa: “…yang menjadi dasar tuntutan pengadilan adalah surat tuduhan (dakwaan), jadi bukan tuduhan (dakwaan) yang dibuat polisi”.

Mencermati putusan (yurisprudensi) tersebut, sebetulnya tidak mengenyampingkan pendapat M. Yahya Harahap, karena juga berpendapat bahwa terdakwa dipidana didasarkan pada pasal-pasal pidana yang ditegaskan di dalam surat dakwaan, bukan pada pasal-pasal pidana yang disangkakan penyidik.

Syarat-syarat surat dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, adalah:

a. Syarat formil: surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani penuntut umum berisi, nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

b. Syarat materiil, memuat dua unsur:

a. uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;

2. menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus delicti dan locus delicti).

Apabila syarat materiil surat dakwaan tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP akan ”batal demi hukum”. Sedangkan, jika syarat formil yang tidak terpenuhi dalam surat dakwaan, akibatnya hanya ”dapat dibatalkan” sebagaimana dinyatakan M. Yahya Harahap (1988: 420). Di dalam praktik, kesalahan atau kekeliruan penuntut umum memenuhi syarat formil surat dakwaan memang dapat dibatalkan karena dianggap tidak terlalu prinsip seperti kekeliruan menulis umur atau tanggal lahir terdakwa.

2. Pertimbangan Hukum

Begitu pentingnya peranan pertimbangan hukum bagi hakim dalam putusannya, sehingga konsekuensi dari profesi hakim secara substansial (Mas, Disertasi, 2005: 149) dapat ditafsirkan menjadi dua makna:

a. Hakim merupakan profesi yang khusus, sehingga diberi perangkat khusus pula dalam bentuk kemandirian atau kemerdekaan

Page 60: Jurnal Desember 2012

288 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

untuk menyelenggarakan peradilan yang jujur, adil, dan berwibawa. Pihak luar tidak dibenarkan campur tangan atas tugas-tugas peradilan yang diemban oleh hakim.

b. Kemandirian atau kemerdekaan, bukan berarti kebebasan tanpa batas, tetapi hakim harus memerankan nuraninya sebagai tanggung jawab moral atas putusan yang dijatuhkan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa membekali dirinya dengan pemahaman ilmu hukum yang luas, sebagaimana ditekankan oleh Soedikno Mertokusumo (1993: 45-46), bahwa:

Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebagai dasar dari putusannya.

Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim yang secara teoretis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, setiap hakim perlu lebih mendalami bagaimana sistem peradilan Eropa Kontinental yang biasa disebut civil law system dan secara teori dianut di Indonesia.

Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang. Hakim tidak terikat secara rigit pada putusan hakim sebelumnya, seperti yang berlaku pada sistem peradilan common law melalui asas the binding of preseden atau keterikatan hakim pada preseden (Ali, 1996: 317). Hakim-hakim lain

di Indonesia memang boleh mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara sejenis, tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat seperti dimaksud Pasal 1917 KUHPerdata bahwa ”putusan pengadilan hanya mengikat para pihak, tidak mengikat hakim lain”.

Tugas dan tanggung jawab hakim dalam sistem peradilan Eropa Kontinental adalah memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara sekaligus menerapkan hukumnya. Metode berpikir hakim dilakukan secara deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke yang khusus. Hakim berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto (aturan khusus) yang sedang diadili (Ali, 1996: 317). Indonesia yang secara teori menganut sistem peradilan Eropa Kontinental, para hakim sering pula mengikatkan diri pada preseden, tetapi sebaliknya di Inggris, hakim sering melepaskan diri dari keterikatan terhadap preseden jika kebutuhan warga masyarakat menghendaki lain.

Sebaliknya, metode berpikir hakim di negara Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law) pada prinsipnya menggunakan metode induktif (berpikir dari yang khusus ke umum), yaitu putusannya senantiasa didasarkan pada kasus in-konkreto atau aturan khusus yang kemudian dikonkretkan menjadi aturan umum. Putusan hakim berlaku sebagai preseden bagi hakim-hakim lain pada perkara sejenis, terutama pada bagian ratio decidendi dengan tujuan agar hakim lebih cepat menjatuhkan putusan atas perkara yang sedang ditanganinya (Ali, 1996: 317).

Dengan demikian, Sistem Hukum Anglo Saxon lebih menekankan pada hukum kasus (case law) dan menempatkan penekanan yang

Page 61: Jurnal Desember 2012

288 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 289

khusus melalui pendekatan induktif (inductive reasoning) dan preseden (asas the binding forse of precedent). Pendekatan induktif berarti hakim menciptakan prinsip umum yang didapatkan dari peristiwa yang terjadi berulang-ulang dalam kondisi yang sama atas peristiwa tertentu. Sedangkan preseden merupakan bentuk (form) yang sistematik dari pelaporan kasus-kasus, struktur, dan organisasi yang jelas dari pengadilan. Saat pengambilan putusan, setiap anggota majelis hakim memberikan pertimbangan hukum (ratio dicendi) berdasarkan pendekatan induktif.

Pertimbangan hukum dapat dijadikan rujukan (reference) saat membuat putusan yang sama terhadap kasus yang sama berdasarkan tingkat hierarki pengadilan. Setiap pertimbangan hukum dapat dianalisis dan dikritik oleh warga masyarakat, kalangan akademik, dan praktisi hukum yang lain. Putusan yang berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun putusan sebelumnya atas kasus yang sama mengikat berdasarkan prinsip preseden, tetapi tetap dapat dikoreksi oleh masyarakat (Mas, Disertasi, 2005: 159).

Pertimbangan hukum yang mengandung rasio dari anggota hakim majelis pada sistem peradilan Eropa Kontinental seperti Indonesia, dimuat dalam surat putusan. Setelah putusan yang didasarkan melalui musyawarah atau suara terbanyak, tetapi ada anggota majelis hakim (minoritas) yang tidak setuju dengan pendapat dan putusan mayoritas anggota majelis hakim, dapat mengajukan keberatan dan argumentasi, yang disebut prinsip pendaat berbeda (dissenting opinion). Prinsip ini merupakan kelanjutan keberatan dan argumentasi yang konsisten dari anggota majelis hakim yang memiliki pendapat berbeda atau tidak setuju dengan pendapat dan putusan mayoritas anggota majelis hakim.

Dissenting opinion oleh anggota majelis hakim menurut penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP, harus dituangkan dalam berita acara sebelum putusan diambil yang bersifat rahasia. Pada negara-negara Sistem Hukum Anglo Saxon, pendapat para Juri yang bersifat ”dissenting” harus dipublikasikan kepada masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat menilai secara objektif dan memberikan kritik secara bebas masukan yang informatif bagi lembaga peradilan.

Keberadaan dissenting opinion memang tidak menentukan benar atau tidaknya pendapat hakim yang berbeda itu, tetapi paling tidak dapat dijadikan bahan kajian dan penilaian secara objektif oleh kalangan akademisi, praktisi hukum, dan warga masyarakat. Penerapan dissenting opinion juga merupakan ”pendekatan hukum progresif” dalam setiap pengambilan putusan sebagai bagian dari objektivitas dan pendidikan hukum terhadap masyarakat.

Dibolehkannya “pendapat lain” dari salah seorang anggota majelis hakim saat pengambilan putusan, diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, sebagai berikut:

Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. putusan diambil dengan suara terbanyak;

b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP: “apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat

Page 62: Jurnal Desember 2012

290 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia”. Pendekatan ”hukum progresif” yang ditekankan Satjipto Rahardjo telah dipraktikkan dalam putusan hakim, pendapat berbeda tidak lagi ”bersifat rahasia” karena dicantumkan dalam putusan hakim, bahkan dibacakan dalam sidang terbuka oleh anggota majelis hakim yang berbeda pendapat. Artinya, sifat rahasia (ketertutupan) pendapat berbeda tidak lagi berlaku dan harus diketahui oleh masyarakat.

Apabila dalam musyawarah tidak tercapai kata mufakat secara bulat atau suara terbanyak tidak dipenuhi, maka putusan diambil berdasarkan “pendapat hakim” yang menguntungkan terdakwa (in dubio proreo). Meski dalam putusan yang diteliti ini tidak ada Anggota Majelis Hakim yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), tetapi cukup penting diapresiasi sebagai upaya memanifestasikan keterbukaan putusan hakim di masa datang.

Salah satu hal yang juga penting dimanifestasikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, adalah bagaimana hukum difungsikan menjadi faktor penggerak untuk mengubah pola pikir dan sikap masyarakat. Konsep ini dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai “law is a tool of social engineering” atau “hukum sebagai alat perekayasa sosial”. Roscoe Pound (Ali, 1988: 59) menjelaskan butir-butir penting yang perlu diketahui dan diterapkan oleh pembuat undang-undang dan hakim (juris) agar putusannya dapat menjadi sarana rekayasa sosial (law is a tool of social engineering), sebagai berikut:

a. Mempelajari efek kemasyarakatan yang konkrit dari lembaga-lembaga serta doktrin-doktrin hukum.

b. Melakukan telaah sosiologis dalam mempersiapkan suatu perundang-undangan,

melalui:

1) membuat perbandingan antara peraturan yang satu dengan lainnya;

2) mempelajari bagaimana hukum perundang-undangan itu beroperasi dalam masyarakat, serta bagaimana efek yang ditimbulkannya.

c. Melakukan telaah tentang bagaimana agar suatu peraturan hukum memiliki efektivitas yang tinggi.

d. Mempelajari efek sosial dari yang ditimbulkan oleh doktrin-doktrin hukum pada masa lalu yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis.

e. Hakim diberikan kebebasan yang lebih banyak untuk menggunakan penalarannya untuk mempersoalkan kasus yang diperiksanya, sehingga dapat memenuhi tuntutan keadilan di antara pihak-pihak yang mencari keadilan di pengadilan.

3. Pembuktian

Pembuktian kesalahan terdakwa sangat memegang peranan penting, karena jika teknik pembuktian tidak dilaksanakan dengan baik oleh PU, hakim, dan penasihat hukum, terdakwa dapat bebas dari hukuman. Pengertian pembuktian menurut M. Yahya Harahap (1988: 793) adalah:

a. Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan terdakwa.

b. Ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang

Page 63: Jurnal Desember 2012

290 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 291

boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Lebih lanjut M. Yahya Harahap (1988: 793-794) menguraikan eksistensi pembuktian yang dianut pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, yaitu:

a. Pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, penuntut umum, terdakwa, dan penasihat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.

b. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang dijatuhkannya, maka di dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang secara “limitatif” sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP.

Dapat disimpulkan, pembuktian dalam hukum acara pidana pada hakikatnya merupakan ketentuan yang membatasi pelaksana peradilan dalam mencari dan menemukan kebenaran materiil. Hakim, PU, terdakwa atau penasi hat hukum, terikat pada ketentuan dan penilaian alat bukti yang ditentu kan undang-undang. Hakim dalam setiap putusannya harus didasarkan pada alat-alat bukti sah yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP.

Demikian pengertian pembuktian yang merupakan cara atau teknik yang harus diikuti atau dilaksanakan oleh PU, hakim, dan penasihat hukum. Untuk mewujudkan prinsip kebenaran materiil dalam memeriksa perkara korupsi di sidang pengadilan, para pelaksana

peradilan betul-betul dituntut mengetahui dan memahami hakikat pembuktian. PU yang harus membuktikan dakwaannya di depan sidang pengadilan, sedangkan terdakwa atau penasihat hukumnya yang melemahkan dakwaan PU, serta hakim yang akan menilai pembuktian tersebut, diharapkan memiliki integritas moral dan wawasan pengetahuan ilmu hukum yang luas dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hukum.

Adapun alat bukti sah yang akan dinilai hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:

1. Alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sistem pembuktian yang dianut dalam peradilan pidana Indonesia (Mas, Disertasi, 2005: 123) adalah “pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel)”, bahwa bersalah tidaknya terdakwa ditentukan oleh hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara “sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif” dengan sistem pembuktian “menurut keyakinan hakim (la-convention raiconne) atas alasan yang logis”. Untuk menentukan kesalahan terdakwa pada sistem pembuktian “menurut undang-undang secara negatif”, didasarkan pada kekuatan alat-alat bukti sah yang ditentukan undang-undang dan

Page 64: Jurnal Desember 2012

292 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

hakim harus meyakini kebenarannya. Penerapan sistem pembuktian ini merupakan perpaduan antara “aspek objektif” dari alat bukti sah dengan “aspek subjektif “dari penilaian hakim terhadap alat bukti. Prinsip pembuktian ini, juga disebut sebagai “prinsip minimum pembuktian”.

Untuk menentukan kesalahan terdakwa agar dapat dijatuhi pidana, mengacu pada Pasal 183 KUHAP, yaitu harus ditunjang oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti sah yang terungkap dalam sidang pengadilan dan diyakini kebenarannya oleh hakim. Inilah dasar hukum penggunaan “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sedangkan tujuan pembuktian ini tersurat dalam Penjelasan Pasal 183 KUHAP, yaitu untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang, serta menjamin terwujudnya kebenaran sejati atau kebenaran materiil.

4. Dasar Hukum Putusan Hakim

Pengertian putusan pengadilan (hakim) secara tegas diatur dalam Pasal 1 Angka 11 KUHAP, sebagai berikut:

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Gatot Supramono (1991: 52) mengemukakan tujuan penjatuhan putusan hakim yaitu: “…untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya”. Sedangkan Leden Marpaung (1995: 36) memberikan batasan bahwa: “Putusan

yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan”. Dapat dikatakan, lahirnya putusan hakim terhadap suatu perkara pidana, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diperiksa oleh hakim. Prosesnya dimulai dari penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik, penuntutan oleh PU, serta pemeriksaan di sidang pengadilan sampai ada putusan hakim.

Dasar hukum penjatuhan putusan hakim dapat dilihat dalam Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, sebagai berikut:

Pasal 191:

1. Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

2. Jika pengadilan berpendaat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

3. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

Pasal 193

1. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak idana yang didakwakan kepadanya, maka

Page 65: Jurnal Desember 2012

292 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 293

pengadilan menjatuhkan pidana.

2. a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.

b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

Mengenai sahnya putusan hakim diatur dalam Pasal 195 KUHAP: ”Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Putusan hakim ada yang berisi pemidanaan dan yang berisi pembebasan bagi terdakwa.

Putusan pemidanaan sifatnya menghukum terdakwa, karena yang bersangkutan dalam sidang pemeriksaan pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh PU. Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum, meskipun perbuatannya terbukti di depan sidang pengadilan, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Berkaitan dengan hal itu, Andi Zainal Abidin Farid (1995: 259), mengemukakan:

Walaupun suatu perbuatan sesuai dengan uraian delik yang ditetapkan dalam perundang-undangan pidana, namun perbuatan itu tidak melawan hukum secara materiil maka perbuatan itu bukan delik.

B. Analisis

1. Surat Dakwaan

Bentuk surat dakwaan PU adalah “Surat Dakwaan Alternatif”, yaitu antara dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain saling mengecualikan, dan memberi pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya. Saling mengecualikan mengandung arti, jika dakwaan pertama telah terbukti, hakim tidak perlu lagi membuktikan dakwaan berikutnya. Dakwaan alternatif digunakan pada tindak pidana yang mempunyai kaitan atau persinggungan antara dua atau lebih pasal yang dilanggar sesuai dengan corak dan ciri tindak pidana tersebut.

Surat Dakwaan dalam perkara yang dianalisis ini sudah memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, baik syarat formil maupun syarat materiil. Surat dakwaannya diberi tanggal dan ditandatangani, serta menguraikan identitas terdakwa, yaitu: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. PU juga menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan, serta menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dan tempat tindak pidana itu dilakukan (tempus delicti dan locus delicti).

Salah satu aspek yang perlu dikaji adalah munculnya ”tuntutan hukuman mati” sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I Butir 1 UU Nomor 20 Tahun 2001, yang ternyata pasal tersebut dapat diancam pidana mati, tetapi tidak dicantumkan dalam Surat Dakwaan. Hal tersebut

Page 66: Jurnal Desember 2012

294 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

menjadi salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan Majelis Hakim sehingga tuntutan PU tidak dikabulkan.

Lantaran PU tidak mendakwakan sejak awal Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I Butir 1 UU Nomor 20 Tahun 2001, sehingga PU mestinya mencermati ketentuan ”perubahan surat dakwaan” yang diatur dalam Pasal 144 KUHAP, yang hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagai berikut:

1. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.

2. Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

3. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Pengaturan perubahan surat dakwaan memang tidak secara tegas diatur tentang apa yang boleh diubah, apakah perubahan hanya pada syarat materiil atau pada syarat formil, sehingga acapkali menimbulkan silang pendapat dalam praktik. Akan tetapi, dalam pertimbangan hukum Putusan MA Nomor 15K/Kr/1969 (yurisprudensi), dan diperkuat oleh beberapa pendapat ahli hukum pidana bahwa perubahan itu dapat dilakukan pada:

1. Kesalahan mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dalam surat dakwaan.

2. Perbaikan kata-kata atau redaksi surat dakwaan sehingga mudah dimengerti dan disesuaikan dengan perumusan delik dalam undang-undang pidana.

3. Perubahan dakwaan yang tunggal menjadi dakwaan alternatif mengenai perbuatan yang sama.

Kelemahan surat dakwaan PU terletak pada tidak sinkronnya antara yang didakwakan dengan tuntutan, sehingga Majelis Hakim tidak mengabulkan tuntutan pidana mati. Seandainya didakwakan, maka Penuntut Umum harus menguraikan secara cermat dan jelas maksud Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I Butir 1 UU Nomor 20 Tahun 2001, bahwa dalam hal tindak pidana korupsi seperti dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dilakukan dalam ”keadaan tertentu”, pidana mati dapat dijatuhkan. Terdakwa telah memenuhi salah satu unsur keadaan tertentu, yaitu ”pengulangan tindak pidana (residivis)” di mana terdakwa sudah pernah dinyatakan bersalah melakukan korupsi dan telah menjalani hukuman, sehingga hakim dapat mengabulkan tuntutan PU menjatuhkan pidana mati bagi terdakwa.

Langkah ini dapat digolongkan sebagai pendekatan ”hukum progresif” seperti telah diuraikan di atas. Korupsi merupakan ”kejahatan luar biasa (extraordinary crime)” yang harus ditangani dengan cara luar biasa pula, agar menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor yang sudah antri di berbagai lembaga negara untuk mewujudkan niatnya. Hukum harus didesain agar lebih “bertenaga” melalui pendekatan hukum progresif yang mengutamakan “tujuan (keadilan subtansial)” ketimbang “prosedur (keadilan prosedural)”. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh ketentuan prosedural dalam

Page 67: Jurnal Desember 2012

294 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 295

memeriksa dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa korupsi yang melakukan kejahatan luar biasa. Pendekatan hukum progresif menekankan agar hakim melepaskan diri dari cara berpikir legalistik-positivistik, apalagi keberadaan hukum tidak terpisah dari realitas kehidupan sosial dan akar moralitas masyarakat (Marwan Mas, Media Indonesia, 9 Januari 2012).

2. Tuntutan Penuntut Umum

Setelah tuntutan diajukan, Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Penasihat Hukum untuk mengajukan pembelaan yang pada intinya memohon agar terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan PU, serta memulihkan harkat dan martabat terdakwa. Penasihat Hukum menilai, judex facti (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum karena hanya mengambil-alih pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri, tanpa memberikan alasan atau argumentasi yuridis, sehingga putusan judex facti tidak cukup dan tidak lengkap dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveed).

Keberadaan tuntutan senantiasa terkait dengan Pembelaan Penasihat Hukum, karena keduanya merupakan proses dialogis atau jawab-menjawab sebelum putusan dijatuhkan oleh hakim (Pasal 182 ayat 1 KUHAP). Memang kelemahan yang prinsipil dalam Tuntutan PU karena tiba-tiba mengajukan “tuntutan pidana mati”, padahal tidak didakwakan seperti telah diuraikan di atas. Tetapi hakim mestinya tidak serta-merta mengabaikan tuntutan pidana mati dari PU, karena sifat korupsi termasuk kejahatan luar biasa yang perlu disikapi dengan cara luar biasa pula. Itulah salah satu cara memerangi dan mengikis habis perilaku korupsi di negeri ini, minimal mengurangi intensitasnya.

Meskipun tuntutan pidana mati tidak dikabulkan lantaran tidak didakwakan, tetapi PU mampu meyakinkan Majelis Hakim bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut yang merugikan keuangan negara atau perekonornian negara. Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara 20 tahun dan denda sebanyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), dan jika tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan, serta terdakwa tetap ditahan.

Pada aspek lain, mestinya PU mempertegas dalam Tuntutan mengenai “pidana tambahan” berupa “pembayaran uang pengganti” yang jumlahnya paling banyak sesuai harta benda yang diperoleh dari korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999). Untuk menguatkannya, PU harus menguraikan bahwa penjatuhan pidana penjara atau kurungan sebagai “pidana pengganti”, apabila terdakwa “tidak mampu membayar uang pengganti” dan untuk memenuhinya, harta benda terdakwa disita untuk negara.

3. Pertimbangan Putusan Hakim

Menyimak fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang diurai dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, didasarkan pada fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan sebagai dasar bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak sesuai sesuai dakwaan. Hakim secara umum cukup cermat menguraikan fakta-fakta persidangan dalam pertimbangan hukumnya, bahkan aktif mencari dan menemukan kebenaran materiil dengan menilai secara objektif alat-alat bukti sah yang diajukan oleh Penuntut Umum.

Mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan yang dikemukakan Majelis Hakim,

Page 68: Jurnal Desember 2012

296 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297

merupakan implementasi dari Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan: “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Salah satu hal-hal yang memberatkan dikemukakan hakim, bahwa Terdakwa telah pernah dihukum dalam kasus korupsi perkara Bank Duta sebagai pengulangan tindak pidana korupsi. Sayang, pertimbangan yang memberatkan ini tidak diikuti dengan penjatuhan pidana berat berupa pidana mati sebagai salah satu syarat “keadaan tertentu” seseorang dapat dijatuhi pidana mati.

Pertimbangan yang memberatkan juga cukup apresiasif diurai Majelis Hakim, paling tidak sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana “seumur hidup” sesuai ancaman pasal yang didakwakan PU dan terbukti di depan persidangan. Meskipun tetap mempertimbangkan hal-hal yang meringankan, tetapi dibandingkan dengan aspek yang memberatkan, sebetulnya jauh lebih beralasan jika Majelis Hakim menjatuhan pidana mati karena unsur “keadaan tertentu” sudah terpenuhi, yaitu terdakwa sudah yang kedua kalinya terbukti melakukan korupsi. Hali ini dimaksudkan agar memberikan rasa takut bagi yang lain atau calon koruptor untuk mewujudkan niatnya.

SIMPULANIV.

Meskipun surat dakwaan PU memenuhi syarat formil dan materiil menurut Pasal 143 ayat (2) KUHAP, tetapi Surat Dakwaan tidak sinkron dengan Tuntutan Pidana Mati yang menyebabkan Majelis Hakim tidak mengabulkannya lantaran sebelumnya tidak mendakwakan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal I butir 1 UU

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Inilah kelemahan mendasar surat dakwaan PU yang menyebabkan tidak semua tuntutannya dikabulkan oleh Majelis Hakim Kasasi.

Pertimbangan hukum Majelis Hakim belum sepenuhnya memenuhi ketentuan hukum acara pidana, termasuk tidak didukung oleh teori ilmu hukum, doktrin, dan asas-asas hukum yang cukup untuk menguatkan argumentasi terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan. Antara lain pada “sifat melawan hukum” belum diurai secara jelas tentang perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah melanggar hukum, dan hanya menimbang tentang alasan terdakwa bahwa tidak mengetahui dana tersebut berasal dari pemohon L/C fiktif BNI Tbk. Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang menurut Majelis Hakim harus dikesampingkan.

Majelis Hakim juga tidak konsisten dengan pertimbangan hukumnya mengenai hal-hal yang memberatkan bahwa: “Terdakwa pernah dihukum dalam kasus korupsi Bank Duta”. Idealnya, Majelis Hakim menjatuhkan “pidana mati” karena salah satu “keadaan tertentu” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sudah terpenuhi. Pendekatan “hukum progresif” mestinya sudah diapresiasi hakim, karena secara substansial rakyat memandang perilaku korupsi melanggar hak-hak mendasar rakyat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, tetapi karena uang negara yang dikorup menyebabkan pemenuhan hidup yang lebih baik itu tidak terpenuhi.

Page 69: Jurnal Desember 2012

296 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 283 - 297 Penguatan Argumentasi Fakta-fakta Persidangan (Marwan Mas) | 297

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1988. Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum, dan Penemuan Hukum oleh hakim. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS.

______________. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama.

Farid, A. Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.

Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I. Jakarta: Garuda Mertropolitas Pers.

______________. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Marpaung, Leden. 1995. Putusan Bebas, Masalah, dan Pemecahannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Mas, Marwan. 2005. “Putusan Bebas dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Suatu Kajian Sosio-Yuridis)”. Disertasi (belum diterbitkan). Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

______________. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua (Revisi). Bogor: Ghalia Indonesia.

______________. Media Indonesia. Harapan Baru Pemberantasan Korupsi. Edisi, Senin 9 Januari 2012, Jakarta.

Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim yang Batal demi Hukum. Jakarta: Djambatan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1980 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Page 70: Jurnal Desember 2012

298 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

PEMIHAKAN HAKIM TERHADAP KEADILAN SUBSTANTIF DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH

Diterima tgl 20 September 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

Kajian Putusan Nomor 44/PDT/2011/PTY

JUDGES’ UNFAIRNESS REGARDING THE SUBSTANTIVE JUSTICE IN A LAND OWNERSHIP DISPUTE

Bambang SutiyosoFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Jl. Tamansiswa No. 158, Yogyakarta Email: [email protected]

An Analysis on Decision Number 44/PDT/2011/PTY

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji putusan hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam perkara perdata Nomor 44/PDT/2011/PTY terkait sengketa kepemilikan tanah. Pengkajian putusan dilakukan secara komprehensif, dengan mencermati kasus posisinya, dasar hukum yang digunakan, pertimbangan hukum, amar putusannya dan selanjutnya dilakukan analisis dengan merujuk pada data primer dan sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, putusan hakim secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata. Kedua, putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis dalam pertimbangan hukumnya dan telah berupaya menggali nilai-nilai nonyuridis yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, harus diakui dalam putusan tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi sumber-sumber hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan

doktrin. Terakhir, hakim banding dalam sikapnya ternyata lebih berpihak pada keadilan substantif dibandingkan keadilan prosedural. Hal ini dapat terlihat ketika akta jual beli tanah dalam kasus ini dianggap tidak sah dan memiliki kekuatan hukum karena akta jual beli Nomor 299/2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT itu diperoleh dengan surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1992.

Kata kunci: kepemilikan tanah, keadilan substantif.

AbstrAct

This article discusses a land ownership dispute revealed in decision of the Yogyakarta’s Appealate Court Number 44/PDT/2011 PTY. The author scrutinizes all aspects of the decision ranging from the fundamentum petendi, legal basis, petitum up to the dictum and enriches his analyses by using both primary and secondary data. He concludes that: (1) in general, this decision has been in line with all essentials of civil procedural law and the panel of judges has been succesful to disclose all elements of

Page 71: Jurnal Desember 2012

298 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 299

PENDAHULUANI.

Penelitian ini berupaya mengkaji putusan hakim dalam perkara perdata No. 44/PDT/2011/PTY yang terkait dengan kasus sengketa kepemilikan tanah. Putusan ini merupakan pemeriksaan perkara tingkat banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan diputuskan tepatnya pada tanggal 10 Januari 2012. Sebelumnya perkara tersebut telah diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sleman, yaitu perkara nomer 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn tertanggal 14 Februari 2011.

Dari sisi waktu, putusan ini masih relatif baru dan sangat mungkin pihak-pihak terkait masih dalam proses upaya hukum lebih lanjut di tingkat kasasi MA. Meskipun sebenarnya kasus sengketa kepemilikan tanah merupakan kasus yang sering terjadi dalam masyarakat, tetapi faktor penyebabnya sangat kasuistis dan dikarenakan oleh beberapa hal, seperti masalah pewarisan, jual beli, hibah dan lain-lain. Dalam konteks itulah, dalam tulisan ini akan dipaparkan lebih lanjut berbagai hal yang terkait dengan putusan No. 44/PDT/2011/PTY, mulai dari kasus posisinya, dasar hukum yang digunakan, pertimbangan hukum dan amar putusannya. Selanjutnya dilakukan analisis dengan seksama oleh peneliti dengan merujuk pada data primer dan sekunder untuk mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi yang diharapkan.

Perkara ini melibatkan TS melawan JAH dan SH yang bermula TS membeli sebidang tanah milik IS seluas 593 m2 yang berstatus HGB di Kabupaten pada tahun 2004 dan sudah ditempati selama tujuh tahun. Pada tahun 2007 JAH memperoleh surat kuasa IR (untuk menjual obyek sengketa tanah Sertifikat dan dalam perkembangannya, ternyata akhirnya JAH sendiri yang ternyata sekaligus sebagai pihak pembelinya yang tertuang dalam Akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 di hadapan Notaris/PPAT Sutrisno, SH. Oleh karena itu dalam perkembangannya TS kemudian mengugat rekonpensi keduanya.

Gugatan yang telah diajukan tersebut, selanjutnya majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman dalam putusannya No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn. tanggal 14 Februari 2011 dalam diktum/amarnya menyatakan sebagai berikut: Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian, Menyatakan bahwa Penggugat I adalah pemilik sah atas sebidang tanah HGB seluas 593 m2 dan sebuah bangunan rumah di atasnya yang terletak di dusun Jambon, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman yang tercantum dalam sertifikat HGB No. 434, Desa/Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Prop. DIY, NIB 13.04.01.05..547, Nomor surat Ukur/Gambar Situasi 02263/Trihanggo/1990, tertanggal 24-02-1996.

the arguments either those of the plantiff or of the defendant; (2) the decision shows the implementation of appropriate legal reasoning and the ability to explore living values in our society. Unfortunately, the panel of judges still presents it based upon a lack of references like precedential decisions and/or legal doctrines. In this case, the panel takes the substantive justice into account rather than procedural justice.

This preference can be seen as the panel of judges ignores the validity of the notary public’s deed Number 2999/2008 in which it was conveyed based on the absolute power of attorney that is considered against the Home Affairs Minister’s Instruction Number 14 Year 1992.

Keywords: land ownership, substantive justice.

Page 72: Jurnal Desember 2012

300 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

Majelis hakim juga menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat dan menghukum Tergugat untuk mengosongkan tanah obyek sengketa setelah putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dan menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.

Terhadap putusan tersebut, pada TS mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tanggal 27 April 2011 dengan menyatakan mengabulkan permohonan banding dari pemohon banding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn tanggal 14 Februari 2011, dan mengadili sendiri dengan menerima eksepsi dari tergugat konpensi/Pembanding konpensi/terbanding rekonpensi, menolak gugatan para penggugat konpensi dan mengabulkan gugatan rekonpensi dari penggugat rekonpensi.

Dalam putusan PN Sleman maka hakim melihat akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, maka akta jual beli atas obyek sengketa tersebut tidak berdasar hukum dan tidak sah, maka dengan demikian sertifikat HGB No. 434 dapat dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka penggugat konpensi/terbanding tidak dapat disebut sebagai pemilik dari tanah HGB seluas 593 M2 beserta bangunan yang berdiri di atasnya yang terletak di dusun Jambon, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman yang tercantum dalam sertifikat HGB No. 434, Desa/Kelurahan Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Prop. DIY, NIB 13.04.01.05..547, Nomor surat Ukur/Gambar Situasi 02263/Trihanggo/1990, tertanggal 24-02-1996.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara pihak penggugat konpensi/terbanding dengan pihak tergugat konpensi/pembanding. Para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/para pembanding/para terbanding/para pembanding berpendirian bahwa tanah dan bangunan obyek sengketa adalah miliknya karena tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut telah dibelinya dari IS, pada tanggal 17 Januari 2007 dengan harga Rp.650.000.000,- tetapi tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut ditempati tergugat konpensi/penggugat rekonpensi/pembanding/terbanding. Sedangkan tergugat konpensi/penggugat rekonpensi/pembanding/terbanding berpendirian bahwa tanah dan bangunan obyek sengketa adalah miliknya karena tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut telah ditempati sejak tahun 2004 dan telah dibelinya sejak tahun 2004 dari IS.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan uraian dan pendahuluan yang sudah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Hakim telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata?

2. Apakah putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis) dalam pertimbangan hukumnya dan telah telah berupaya menggali nilai-nilai non yuridis yang ada dalam masyarakat?

3. Bagaimanakah keberpihakan Hakim dalam menentukan kebenaran yang dipilih dalam

Page 73: Jurnal Desember 2012

300 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 301

memutuskan perkara tersebut, apakah sikap Hakim berpihak terhadap kebenaran substantif ataukah terhadap kebenaran prosedural?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

A. Studi Pustaka

Dalam bagian studi pustaka ini, dikemukakan beberapa kajian pustaka berdasarkan literatur yang relevan, terutama membahas mengenai kepemilikan tanah, putusan dalam perkara perdata dan upaya hukum yang dapat dipergunakan, serta pencarian format ideal keadilan putusa. Kajian ini penting, karena semua penyelesaian sengketa keperdataan, termasuk di dalamnya menyangkut penyelesaian sengketa kepemilikan tanah di pengadilan pada dasarnya juga melewati prosedur dalam hukum hukum acara perdata untuk mendapatkan keadilan yang diharapkan. Dengan demikian diharapkan kajian pustaka ini dapat memberikan kontribusi terhadap bagian analisis nantinya.

1. Kepemilikan Tanah

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama Pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka.

Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur). (Error! Hyperlink reference not valid. diakses tanggal 16 Maret 2012).

Dalam tulisan tersebut juga digambarkan setidaknya ada tiga faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu:

a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.

b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

c) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena

Page 74: Jurnal Desember 2012

302 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Ironisnya ketika masyarakat miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampangnya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya.

2. Putusan Hakim

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak (Mertokusumo, 1998: 175).

Pada umumnya tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang baik dan berkekuatan hukum yang tetap, artinya suatu putusan hakim yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan yang tidak dapat diubah lagi. Dengan putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya,

apabila tidak ditaati secara sukarela, maka berlakunya dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara (“dengan kekuatan umum”). Putusan hakim dijatuhkan setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan oleh hakim atas fakta-fakta yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara selesai dilakukan. Atas fakta-fakta tersebut hakim telah menetapkan (mengkonstatasi) kebenarannya dan mengetrapkan hukum yang berlaku atau menetapkan hubungan hukumnya antara kedua belah pihak yang berperkara (mengkualifisir) (Wardah dan Sutiyoso, 2007: 221).

Hal ini dalam praktek, dapat dibaca dalam perumusan pertimbangan-pertimbangan “mengenai duduk perkaranya” dan kemudian pertimbangan-pertimbangan mengenai hukumnya”. Baru kemudian hakim memberi konstitusinya yang dirumuskan dalam diktum putusan. Dalam dunia peradilan dibedakan antara “putusan” (dalam bahasa Belanda disebut “vonnis” untuk putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, “gewijsde” untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht) dan “penetapan” hakim (dalam bahasa Belanda disebut “beschikking”).

Suatu putusan diambil untuk memutusi atau menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa (“perkara”) yang lazimnya terjadi dalam peradilan yang disebut “jurisdiksi contentiuse”, sedangkan suatu penetapan diambil berhubung dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan “yurisdiksi voluntair”, seperti misalnya pengangkatan wali, permohonan penggantian nama, merubah atau menambah akta-akta catatan sipil, permohonan kelahiran, pengangkatan anak, permohonan wali atau pengampu, pengesahan pengangkatan anak, penetapan pembuatan grosse kedua dari akta-akta, penetapan conservatoir beslag, permohonan status Indonesia ataukah

Page 75: Jurnal Desember 2012

302 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 303

asing, penetapan ahli waris dan lain-lainnya.

Di samping dua jenis peradilan tersebut termasuk hukum acara perdata juga tugas-tugas yang sifatnya administratif yaitu tindakan dalam hal pengadilan (hakim) melakukan suatu tindakan yang tidak berdasarkan suatu pemeriksaan terhadap dua pihak yang saling berhadapan di mana yang satu dapat membantah apa yang diajukan oleh yang lain, misalnya penetapan hari sidang, suatu perintah melakukan penyitaan, panggilan saksi, eksekusi terhadap putusan yang inkracht, eksekusi bij voorraad, yang kesemuanya dituangkan dalam suatu penetapan hakim, pengukuhan putusan P4D/P4P atau yang sejenisnya, legalisasi tanda tangan, menelitian syarat kewarganegaraan, menguji permohonan pewarganegaraan dan menyumpahnya jika permohonan itu dikabulkan Presiden, menerima pernyataan mengikuti status suami-Indonesia atau istri-asing dan sebagainya. Dengan demikian dalam sistimatik peradilan volunter dapat dibeda-bedakan menjadi peradilan volunter yang murni dan peradilan volunter yang sifatnya administratif belaka.

3. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Jenis-jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedurnya dan isinya. Dilihat dari segi prosedurnya, putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan akhir dan putusan bukan akhir (Pasal 185 (1) HIR/196 (1) RBg).

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu, (Mertokusumo, 1998: 192), seperti misalnya, putusan contradictoir, putusan verstek, putusan perlawanan (verzet), putusan serta merta, putusan diterimanya tangkisan principaal (verweer ten

principale) dan tangkisan (exeptief verweer), putusan banding, putusan kasasi, dan lain-lain.

Jika dilihat menurut sifatnya, putusan akhir dalam amar atau diktumnya, dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu:

a. Yang bersifat “condemnatoir”, yakni yang amarnya berbunyi “menghukum dan seterusnya”, misalnya putusan yang menghukum tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada penggugat, untuk menyerahkan suatu barang atau mengosongkan sebuah persil, melakukan atau melarang tergugat melakukan suatu perbuatan/keadaan tertentu.

b. Yang bersifat “declaratoir”, yakni yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum, seperti misalnya putusan yang menyatakan penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa, atau yang menyatakan penggugat adalah ahli waris dari si pewaris X dan sebagainya. Juga putusan yang penolakan terhadap menolak gugatan tergolong dalam putusan yang bersifat declaratoir.

c. Yang bersifat “constitutief”, yaitu yang amarnya meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat. Juga suatu putusan yang menyatakan seorang pailit, pengangkatan wali ataupun pengampu, dan sebagainya (Wardah dan Sutiyoso, 2007: 223).

Dari tiga macam sifat putusan tersebut apabila dilihat dari segi pelaksanaannya atau eksekusinya, maka mengenai hal demikian ini

Page 76: Jurnal Desember 2012

304 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

hanya dapat ditujukan terhadap putusan yang bersifat “condemnatoir” saja. Dengan putusan yang bersifat condemnatoir maka suatu prestasi dibebankan kepada pihak yang dikalahkan (tergugat) yang artinya pihak yang kalah wajib memenuhi prestasinya. Sebaliknya hak yang diperoleh pihak yang menang (penggugat) dapat dilaksanakan dengan paksa melalui pengadilan (execution force).

Suatu putusan “declaratoir” tidak memerlukan pelaksanaan atau eksekusi, karena tidak diperlukan sesuatu perbuatan dari salah satu pihak. Keadaan yang dinyatakan sah dengan putusan tersebut, sudah menjadi sah pada saat putusan itu diucapkan oleh hakim. Begitu juga halnya dengan putusan yang bersifat “constitutif”, yang juga tidak memerlukan sesuatu perbuatan dari sesuatu pihak. Begitu putusan diucapkan oleh hakim, begitu ikatan perkawinan antara suami istri telah putus atau begitu orang yang dimintakan kepailitannya, telah berada dalam keadaan pailit, dengan segala akibatnya.

Putusan bukan akhir disebut juga putusan sela atau putusan antara ialah putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara. Menurut Pasal 185 (1) HIR/ 196 (1) RBG, sekalipun harus diucapkan dalam persidangan juga, tetapi tidak dibuat secara terpisah artinya tidak dibuat dalam bentuk dokumen tersendiri terlepas dari berkas perkaranya, melainkan hanya dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.

Kecuali HIR/RBg membedakan putusan akhir dan putusan bukan akhir, RV mengenal pembedaan beberapa jenis putusan yang dapat digolongkan kedalam putusan bukan akhir yaitu:

a. Putusan preparatoir yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna

mengadakan putusan akhir misalnya putusan hakim yang menolak pengunduran saksi, atau putusan untuk menggabungkan dua perkara. Putusan praeparatoir ini tidak mempengaruhi materi perkara.

b. Putusan interlocutoir ialah putusan yang memuat perintah untuk melakukan pembuktian yang dapat mempengaruhi materi perkara atau bunyi putusan akhir, misalnya memerintahkan untuk pemeriksaan setempat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan dokumen, pengambilan sumpah dan sebagainya.

c. Putusan insidentil ialah putusan yang dijatuhkan berhubung dengan adanya insiden yaitu adanya kejadian yang menunda jalannya proses perkara. Misalnya sementara proses pemeriksaan sedang berlangsung salah satu pihak mengajukan permohonan bahwa seseorang saksi supaya didengar, seseorang pihak ketiga dipanggil untuk ikut menyertai pemohon yang dikenal dengan proses acara vrijwaring atau adanya permohonan dari pihak ketiga untuk ikut serta dalam proses yang dikenal dengan voeging ataupun tussenkomst.

d. Putusan provisionil ialah putusan yang berkenaan dengan tuntutan provisionil yaitu permohonan agar sebelum hakim menjatuhkan putusan, atau proses pemeriksaan perkara berjalan, sementara diadakan tindakan–tindakan pendahuluan atau untuk melakukan tindakan tertentu mengenai hal yang bersifat mendesak untuk kepentingan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Misalnya dalam perkara perceraian, suami agar tetap membayar nafkah yang tiba-tiba telah dihentikan.

Page 77: Jurnal Desember 2012

304 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 305

Putusan provisional ini selalu mengandung pelaksanaan serta merta. Sehingga jika dalam putusan akhir gugatan pokok perkara ditolak, atau putusan hakim yang lebih tinggi membatalkan, maka timbul kesulitan dalam pemulihannya (restitution in integrum) sama dengan pelaksanaan putusan serta merta (executie bij voorraad). Oleh karena itu pada tanggal 30 Desember 1965 Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1965 yang menginstruksikan agar untuk melaksanaan putusan provisionil harus mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung lebih dahulu. Ketentuan ini dicabut oleh SEMA No. 16 Tahun 1969 yang kemudian melimpahkan persetujuan pelaksanaan putusan provisional tersebut kepada Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukum Pengadilan Negri yang memutus perkara tersebut.

Sebagaimana putusan akhir, putusan sela juga tidak mengikat hakim, bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela wenang untuk merobah putusan sela tersebut jika ternyata terdapat kesalahan (Mertokusumo, 1998: 195).

Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan: putusan yang mengabulkan gugatan penggugat, gugatan tidak diterima dan gugatan ditolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan ataupun tidak melawan hak misalnya gugatan telah memenuhi syarat formil maupun materiil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak beralasan misalnya alasan atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Sedangkan gugatan dinyatakan tidak diterima, jika gugatan melawan hak atau melawan hukum misalnya gugatan atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertarohan.

4. Upaya Hukum dalam Perkara Perdata

Demi keadilan dan kebenaran putus hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika ia menghendakinya. Hakim tidak dapat memaksa atau menghalanginya.

Upaya hukum dibedakan menjadi upaya hukum biasa dan upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diajukan, maka pihak yang berkepentingan tidak dapat mengajukan upaya hukum lagi, demikian juga jika yang berkepentingan menerima putusan hakim. Selama upaya hukum biasa dalam proses pemeriksaan, putusan yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika putusan itu mengandung putusan serta merta. Jenis upaya hukum biasa ialah : perlawanan (verzet), banding dan kasasi.

Upaya hukum istimwewa hanya terbuka untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti (in kracht). Pada asasnya terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan pasti tidak mungkin lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi. Namun dengan alasan-alasan yang dimuat dalam undang-undang, maka putusan yang telah in kracht dapat diperbaiki sepanjang mengenai kekeliruannya yaitu dengan mengajukan upaya hukum istimewa. Jenis upaya

Page 78: Jurnal Desember 2012

306 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

hukum luar biasa atau istimewa adalah: peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Upaya hukum istimewa tidak menghentikan pelaksanaan putusan hakim.

5. Format Ideal Keadilan Putusan

Diskursus pentingnya pencarian format ideal keadilan putusan dalam peradilan masih membuka ruang kajian yang lebih dalam, karena kompleksitasnya masalah penegakan hukum di Indonesia, termasuk banyaknya konsep keadilan, implementasinya serta penentuan tolok ukur keadilan itu sendiri masih berbeda-beda. Terhadap wacana penegakan substantif di lembaga peradilan, sepanjang tidak mengabaikan keadilan proseduralnya adalah hal yang patut diapresiasi (Sutiyoso, 2010).

Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan formalitas legal semata. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi aroma yang cukup kuat dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. ( Abdul Ala, Pembumian Keadilan Substantif, dalam http://www.sunan-ampel.ac.id, akses 5 Juni 2012)

Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, setidaknya itulah pernyataan yang kerap dicetuskan

oleh Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Menurut Mahfud, menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum ( http://erabaru.net/opini/65-opini/10099-menegakkan-keadilan-jangan-sekedar-menegakkan-hukum, diakses 10 Juni 2012).

Tekad Mahkamah Konstitusi semacam itu bahkan ditegaskan dalam situsnya, yaitu ”mengawal demokrasi dan menegakkan keadilan substantif”. Beberapa terobosan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang lebih mengutamakan keadilan substantif dibanding keadilan formal-prosedural di antaranya adalah saat Mahkamah Konstitusi membolehkan penggunaan KTP dengan sejumlah syarat tertentu dalam pemilu oleh warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di samping itu Mahkamah Konstitusi dalam persidangan judicial review pernah membuka rekaman hasil penyadapan KPK terhadap percakapan Anggodo yang kemudian membuka tabir adanya ”markus” dalam proses penegakan hukum.

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga turunlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan sudah diterapkan. Akan tetapi mengapa terhadap penegakan hukum

Page 79: Jurnal Desember 2012

306 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 307

yang demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas. Inilah masalahnya, yaitu tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice). Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan alasan terikat dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku bahkan dalam beberapa hal justru melenceng.

Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para hakim untuk menggali hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik dan agar masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, yang diperlukan adalah penegakan hukum yang berkeadilan, dan itulah yang didamba-dambakan oleh masyarakat banyak.

Untuk itu dalam panggung penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiran para penegak hukum yang bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil, sebagaimana dalam cita hukum tradisional bangsa Indonesia diistilahkan dengan “ratu adil” atau seperti yang diimpikan oleh filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato dengan konsep “raja yang berfilsafat” (filosopher king) ribuan tahun yang silam (Fuady, 2003: 53).

Meskipun demikian antara keadilan prosedural dan keadilan substantif semestinya tidak dilihat secara dikotomi, tetapi ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait erat satu sama lain. Oleh karena itu dalam keadaan normal, mestinya keadilan prosedural dan keadilan substantif harus dapat disinergikan dan diakomodir secara proporsional. Tetapi dalam hal terjadi benturan

yang tidak dapat dikompromikan, keadilan substantiflah yang perlu didahulukan. Dengan demikian, mestinya penegakkan keadilan substantif juga harus bersifat selektif kasuistik dengan didukung argumentasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

B. Analisis

Berdasarkan kajian dan analisis secara seksama terhadap putusan PTY No. 44/PDT/2011/PTY dan hasil wawancara dengan hakim yang bersangkutan, yaitu Maria Anna Samiyati, SH. MH. pada hari Rabu, tanggal 14 Maret 2012 di ruang rapat Pengadilan Tinggi Yogyakarta, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemenuhan Prosedur Hukum Acara Perdata

Pada dasarnya putusan No. 44/PDT/2011/PTY pada dasarnya sudah memuat hal yang harus ada dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG. Dalam hal ini putusan tersebut sudah memuat tentang kepala putusan, identitas para pihak, ringkasan nyata gugatan dan jawaban, alasan atau pertimbangan hakim dalam putusan, amar putusan, hari/tanggal musyawarah dan pembacaan putusan, dan biaya perkara.

Putusan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta ini juga sudah berupaya mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 54 HIR atau 284, 180, dan 181 RBG, yang digunakan di dalam putusan hakim Pengadilan Negeri , di antaranya berupa bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat dan keterangan ahli.

Page 80: Jurnal Desember 2012

308 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

Majelis hakim PT tidak menggunakan alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan hakim PN. Meskipun demikian, ada perbedaan pendapat dalam hal bukti yang dipergunakan oleh hakim PN dan hakim PT. Hakim PN dengan mendasarkan alat bukti surat berupa akta jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 menyatakan sebagai alat bukti yang kuat bagi pihak penggugat (JAH) sebagai pemilik sah atas sebidang tanah sertifikat HGB No. 434 NIB. 13.04.0105.04547 yang dibelinya dari IS pada tahun 2007. Sedangkan hakim PT berpendapat bahwa akta jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 yang didasarkan pada surat kuasa mutlak No. 11 tanggal 17 Januari 2007 untuk menjual obyek sengketa tanah Sertifikat HGB No. 434 NIB. 13.04.01.05.04547 di mana JAH sebagai pemegang surat kuasa penjual untuk melakukan jual beli atas obyek sengketa, adalah tidak sah karena dinilai melanggar Instruksi Menteri dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

Adapun penerapan hukum pembuktian sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Dalam hal ini putusan tersebut mendasarkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

Hakim PT sudah memuat secara proporsional antara argument penggugat dan di dalam pertimbangannya. Hal ini terlihat dalam pertimbangan hukumya yang memberikan penilaian terhadap memori banding maupun kontra

memori banding yang berisi argumen penggugat/para terbanding dan tergugat/ pembanding.

Berdasarkan pencermatan dalam putusan, didapatkan data bahwa hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis hakim PT dalam pengambilan keputusan ternyata berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan, yaitu hari, tanggal musyawarah adalah Senin, 9 Januari 2012, sedangkan hari, tanggal putusan diucapkan pada hari Selasa, 10 Januari 2012.

Dengan demikian berdasarkan uraian dan kajian di atas, dapat dikemukakan bahwa putusan hakim PT tersebut telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku.

2. Pembuktian dalam Putusan Hakim

Dasar gugatan/jawaban yang digunakan para pihak adalah sengketa kepemilikan tanah yang didasarkan atas hubungan hukum jual beli, yaitu baik pihak penggugat maupun tergugat pada awalnya sama-sama membeli dari pihak penjual, IS. Tergugat telah melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, yaitu membeli tanah tersebut pada tahun 2004 dari pihak penjual (IS) dengan bukti berupa kwitansi pembayaran yang sudah dibayarkan lunas senilai Rp.215.000.000,- (Dua ratus lima belas juta rupiah).

Sedangkan pihak penggugat membeli pada tahun 2007 dengan mendasarkan pada akta jual beli No. 2299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 yang didasarkan pada surat kuasa mutlak No. 11 tanggal 17 Januari 2007 untuk menjual obyek sengketa tanah Sertifikat HGB No. 434 NIB. 13.04.01.05.04547 di mana JAH sebagai pemegang surat kuasa penjual untuk melakukan jual beli atas obyek sengketa, yang ternyata penggugat akhirnya menjadi pembelinya sendiri.

Page 81: Jurnal Desember 2012

308 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 309

Berdasarkan atas gugatan/jawaban yang diajukan para pihak, majelis hakim PT memutuskan secara berbeda, yaitu dengan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Sleman, No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn. tanggal 14 Februari 2011. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman sebelumnya mengabulkan gugatan para penggugat, yaitu bahwa perbuatan hukum memberikan kuasa untuk menjual kepada JAH selaku Penggugat konpensi adalah sah menurut hukum, sehingga proses jual beli yang telah dilakukan penggugat dengan penjual juga berarti sah menurut hukum. Sementara itu majelis Hakim PTY berpendapat bahwa tergugat konpensi TS adalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 NIB. 13.04.01.05.04547, luas 593 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat (14 Januari 2011) adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : tanah kosong dan sawah

Sebelah selatan : sawah

Sebelah timur : sawah

Sebelah barat : rumah tetangga

Yang telah dibangun, ditempati, dan dihuni selama tujuh tahun dengan cara jual beli yang sah adalah dapat dibenarkan menurut hukum.

Majelis hakim PTY dalam memutuskan perkara tersebut tidak menggunakan yurisprudensi maupun doktrin hukum sebagai salah satu sumber hukumnya, tetapi dengan mendasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku. Meskipun demikian berdasarkan pada hasil wawancara dengan Hakim PTY, putusan hakim PTY menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat atau hukum kebiasaan, di mana bahwa tanah merupakan aset yang sangat penting

dalam kehidupan masyarakat, yang digambarkan dengan semboyan: ”sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pati”.

Majelis Hakim PTY sudah mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan yang digunakan dalam putusan PN, meskipun dalam putusannya majelis hakim PTY akhirnya membatalkan putusan PN. Hal ini dikarenakan hakim PTY lebih mengutamakan kebenaran substantifnya, dibandingkan kebenaran proseduralnya.

Meskipun akta jual beli No. 299/2008 yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT H. Sutrisno secara prosedural memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna (Pasal 165 HIR), sehingga harus dipercaya dan dianggap benar menurut hukum, tetapi ternyata secara substantif/materiil perolehan haknya melanggar ketentuan diktum ke-2 huruf b dari Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1992 tanggal 6 Maret 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai pemindahan Hak Atas Tanah. Dengan demikian akta jual beli No. 299/2008 tanggal 25 Nopember 2008 tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, maka akta jual beli atas obyek sengketa tersebut tidak berdasar hukum dan tidak sah, maka dengan demikian sertifikat HGB No. 434 dapat dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Amar putusan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta ada beberapa kategori, yaitu dalam bagian konpensi, dalam pokok perkara, dalam rekonpensi, dan dalam konpensi dan rekonpensi. Sehingga bunyi amar putusan juga ada beberapa macam, yaitu menguatkan, menolak, mengabulkan, maupun berupa pernyataan sesuai kategori dalam amar putusan di atas. Selengkapnya amar putusan hakim PTY sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

Page 82: Jurnal Desember 2012

310 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

Dalam eksepsi, putusan hakim PTY bersifat menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 133/Pdt.G/2010/PN.Slmn tanggal 14 Februari 2011 yang dimintakan banding tersebut. Sedangkan dalam pokok perkara, putusan hakim PTY menyebutkan:

Mengabulkan gugatan para penggugat • konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding untuk sebagian sepanjang mengenai:

- Menyatakan bahwa para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding adalah pasangan suami istri yang sah.

- Menolak gugatan para penggugat konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding untuk selain dan selebihnya.

Dalam rekonpensi, putusan hakim PTY menyatakan:

Mengabulkan gugatan penggugat • rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding untuk sebagian sepanjang mengenai:

- Menyatakan secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding dalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 luas 59 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat tanggal 14 Januari 2011 adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : tanah kosong dan sawah

Sebelah selatan : sawah

Sebelah timur : sawah

Sebelah barat : rumah tetangga

Yang telah dibangun, ditempati dan dihuni selama 7 tahun dengan cara jual beli yang sah dan dapat dibenarkan oleh hukum.

- Menyatakan secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding adalah pemilik bangunan rumah berlantai dua dan bangunan rumah berlantai satu dan garasi yang dibangun oleh penggugat rekonpensi /tergugat konpensi/pembanding/terbanding.

- Menyatakan secara hukum jual beli yang dilakukan oleh tergugat rekonpensi dengan dasar akta kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 adalah cacat hukum dan tidak sah.

- Menyatakan secara hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat konpensi/terbanding/pembanding adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

- Menolak gugatan penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding untuk yang lain dan selebihnya.

Selanjutnya dalam konpensi dan rekonpensi, majelis hakim PTY menyatakan sebagai berikut : ”Menghukum para penggugat

Page 83: Jurnal Desember 2012

310 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 311

konpensi/para tergugat rekonpensi/para terbanding/para pembanding secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat peradilan, yang di tingkat banding sejumlah Rp.150.000,- (Seratus lima puluh ribu rupiah)”.

Dasar pertimbangan hakim PTY pada dasarnya sudah relevan menjadi dasar dan ”reasoning” dari amar putusan yang sudah dipaparkan di atas. Hal ini nampak dari korelasi yang jelas antara masing-masing bagian pertimbangan hukum yang melatarbelakangi munculnya amar atau diktum putusan.

Dengan demikian berkaitan dengan hukum perdata materiil, putusan hakim PT telah memperhatikan kelengkapan sumber hukum terkait unsur-unsur substansial dari dasar gugatan/jawaban yang dikemukakan para pihak

3. Penalaran Hukum yang Logis dalam Putusan

Majelis hakim PTY sudah memberikan analisis secara tuntas terhadap fakta dan hukumnya sebelum menjatuhkan amar putusan. Hal ini tercermin dalam bagian pertimbangan hukumnya yang menganalisis baik aturan hukum formilnya seperti mengenai eksepsi, maupun hukum materielnya misalnya terkait sah atau tidaknya perbuatan hukum penggugat konpensi/tergugat rekonpensi, yaitu bahwa secara hukum jual beli yang dilakukan oleh penggugat konpensi/ tergugat rekonpensi dengan dasar akta kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 adalah cacat hukum dan tidak sah. Kemudian majelis hakim PTY juga menyatakan secara hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat konpensi/terbanding/pembanding adalah tidak

sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Fakta hukum judex factie yang diungkapkan dalam putusan hakim PT sudah disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah dipahami. Hal ini dapat terlihat dalam bagian pertimbangan hukumnya yang memberikan penilaian mulai dari bagian dalam konpensi, pokok perkara, rekonpensi sudah dengan mudah dipahami. Meskipun demikian, mengingat dalam perkara tersebut juga ada gugatan rekonpensi dan baik penggugat maupun tergugat juga mengajukan banding, seringkali penyebutan pihak-pihak sering kurang jelas, karena di beberapa tempat hanya disebut pengugat/tergugat/pembanding/terbanding.

Majelis hakim PTY pada dasarnya telah melakukan penafsiran terhadap hukum dan kebsahan akta jual beli yang dibuat oleh Notaris /PPAT dengan menggunakan metode penemuan hukum penafsiran di luar penafsiran gramatikal dan otentik, yaitu dengan mendasarkan pada penafsiran komparasi (perbandingan) dan penafsiran historis. Interpretasi komparatif digunakan untuk memperbandingkan aturan hukum satu dengan yang lain yang lebih tepat penggunannya, dalam hal ini tidak hanya melihat pada kekuatan pembuktian akta otentik yang menurut Pasal 165 HIR merupakan bukti yang kuat dan sempurna, tetapi juga dengan melihat secara materiil/substantive bagaimana peraturan hukum lainnya memberikan pengaturan, baik dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1992 maupun dalam PP No. 24 Tahun 1997 yang ternyata memberikan larangan penggunaan surat kuasa mutlak terkait dengan pemindahan hak atas tanah. Sedangkan interpretasi historis digunakan untuk melihat melihat bagaimana sejarah terjadinya suatu fakta hukum terkait dengan jual beli yang dilakukan para pihak, karena faktanya

Page 84: Jurnal Desember 2012

312 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

obyek sengketa tersebut dilakukan proses jual beli sampai dua kali dengan pihak yang berbeda, di mana jual beli yang kedua pada tahun 2007 antara JAH dengan IS dilakukan tanpa sepengetahuan pembeli pertama TS yang telah membeli dari IR pada tahun 2004.

Dalam menjatuhkan putusan, hakim PT hanya melakukan penemuan hukum berupa penafsiran (interpretation) tetapi tidak menggunakan metode konstruksi hukum (eksposisi). Karena metode konstruksi hukum digunakan kalau terjadi kekosongan hukum (recht vacuum), yaitu peristiwa konkritnya tidak dijumpai pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Hakim harus melakukan penciptakan hukumnya (rechtschepping). Dalam putusan PT ini, peristiwa konkritnya (sengketa kepemilikan tanah terkait dengan jual beli tanah) sudah ada pengaturan hukumnya, sehingga cukup dengan melakukan penafsiran saja apabila ada ketidakjelasan dalam peraturan hukumnya (Sutiyoso, 2009: 134).

Berdasarkan kajian dan identifikasi dari Putusan Hakim PTY ini, maka dapat dikemukakan bahwa konklusi dalam putusan hakim PT ini sudah runtut dan sistematis yang didukung oleh pertimbangan fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi yang dipaksakan atau dengan kata lain bahwa putusan hakim PTY tersebut sudah didukung dan sesuai dengan pertimbangan fakta dan hukumnya. Dengan demikian putusan tersebut telah mencerminkan penalaran hukum yang logis, runtut dan sistematis.

4. Nilai-nilai yang hidup dalam Masyarakat

Dalam menetapkan amar putusan hakim PT, dapat terindikasi majelis hakim PT telah mempertimbangkan adanya pertimbangan

faktor-faktor non-yuridis, terutama faktor sosial dan faktor ekonomi. Faktor sosial yang tampak dengan adanya nilai-nilai kemasyarakatan yang ditampung sebagai bahan pertimbangan majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY, di antaranya pembeli tanah, Teddy Sulistiono, tergugat konpensi, lebih dulu melakukan pembelian tanahnya dengan Ir. Suryanto, pada tahun 2004 dan telah memberikan sejumlah uang kepada penjual. Sedangkan JAH melakukan transaksi jual beli dengan IS baru pada tahun 2007. Sehingga kepentingan pembeli pertama harus mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan jual beli yang telah dilakukannya. Sedangkan pertimbangan faktor ekonomi tampak bahwa tanah memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam masyarakat, sehingga harus dipertimbangkan secara sungguh dalam putusan agar obyek sengketa berupa tanah dapat diserahkan kepada pihak-pihak yang secara hukum dapat membuktikan secara sah kepemilikannya.

Faktor-faktor non yuridis, baik faktor sosial maupun faktor ekonomi yang disebutkan di atas sudah sejalan dengan bunyi amar putusan tersebut. Dalam salah satu amar putusan PT menyatakan bahwa secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding adalah pemilik sah tanah obyek sengketa HGB No. 434 luas 59 M2 dengan batas-batas sesuai hasil pemeriksaan setempat tanggal 14 Januari 2011, yang telah dibangun, ditempati dan dihuni selama 7 tahun dengan cara jual beli yang sah dan dapat dibenarkan oleh hukum. Kemudian dalam amar putusan PT juga menyatakan bahwa secara hukum penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/terbanding adalah pemilik bangunan rumah berlantai dua dan bangunan rumah berlantai satu dan garasi yang dibangun oleh penggugat rekonpensi/tergugat konpensi/pembanding/

Page 85: Jurnal Desember 2012

312 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 313

terbanding. Dengan demikian secara hukum jual beli yang dilakukan oleh tergugat rekonpensi dengan dasar akta kuasa menjual no. 11 dan akta jual beli no. 299 adalah cacat hukum dan tidak sah, serta menyatakan secara hukum sertifikat HGB No. 434 luas 593 M2 yang tercatat atas nama tergugat rekonpensi/ penggugat konpensi/terbanding/pembanding adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Berdasarkan uraian dan hasil analisis di atas, putusan hakim PTY telah menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (aspek non-yuridis), terutama faktor sosial dan faktor ekonomi yang sejalan dengan bunyi amar putusan tersebut.

5. Profesional Hakim dan Pemihakan Kebenaran Substantif

Berdasarkan uraian dan pemaparan yang sudah disampaikan sebelumnya, maka pada dasarnya hakim PTY telah berlaku profesional dalam menjalankan tugasnya dalam memutuskan perkara tersebut. Hal ini tampak antara lain bahwa dalam putusan tersebut sudah memenuhi kaidah-kaidah baik dalam hukum materiel maupun hukum formiel. Bahkan hakim PTY sudah mendasarkan pada kebenaran substantif dalam menjatuhkan putusannya tersebut. Kebenaran substantif inilah yang diharapkan dapat menyentuh pada problematika yang sesungguhnya, tidak sekedar hanya mengacu pada aturan formal regularitas semata-mata.

Penilaian terhadap putusan PT sebagaimana di atas juga sejalan dengan deskripsi umum dari hasil pengkajian data primer. Data primer dalam hal ini didasarkan pada hasil wawancara peneliti dengan nara sumber hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta, yaitu Ibu Maria Anna Samiyati, SH., MH. pada hari Rabu, tanggal 14 Maret 2012,

di Ruang Rapat Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Adapun beberapa catatan penting yang ditemukan di antaranya adalah terkait kompleksitas perkara, dasar hukum yang digunakan, penalaran hukum dan penemuan hukum, pertimbangan non yuridis, serta kontribusi dari hakim tinggi yang bersangkutan. Perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY sebenarnya relatif cukup kompleks, karena menyangkut kasus masalah tanah, namun majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY tidak menemukan kerumitan dalam memutus perkara tersebut, karena sejak mengkonstatasi peristiwa konkrit, mengkualifisir peristiwa hukumnya dan mengkonstitusi hukumnya dapat berjalan dengan baik.

Peristiwa konkritnya sudah ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kalau ada ketidak jelasan, metode penemuan hukum yang digunakan adalah penafsiran (interpretation). Pengadilan Tinggi Yogyakarta (judex factie) dalam hal ini majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY tidak memerlukan proses persidangan (pemeriksaan) ulang dengan menghadirkan para pihak yang berperkara. Pertimbangan tidak perlu menghadirkan para pihak lagi di persidangan Pengadilan Tinggi Yogyakarta, karena sudah adanya bukti surat yang cukup, misalnya adanya pemakaian/penggunaan surat kuasa mutlak yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, juga dilakukan adanya elaborasi (penelaahan lebih dalam) yang dilakukan oleh majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY, dengan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dan menemukan adanya pelanggaran/kesalahan di antaranya penggunaan surat kuasa mutlak yang bertentangan dengan peraturan perundang-

Page 86: Jurnal Desember 2012

314 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315

undangan yang berlaku. Dasar hukum lain yang digunakan oleh majelis hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY di antaranya, adanya pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

Dasar hukum lain yang perlu ditambahkan adalah karena salah satu pihak yang berperkara melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang penggunaan kuasa mutlak, yang pada persidangan tingkat pertama tidak dipertimbangkan. Pertimbangannya lebih menekankan kepada kebenaran substansial daripada kebenaran proseduralnya.

Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY tidak adanya intervensi dari pihak manapun yang mempengaruhi kebebasan hakim dalam memutus perkara tersebut. Kesemua hakim pemeriksa perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY berperan aktif dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut sehingga tidak ada salah satu majelis yang berperan lebih dominan. Mengingat tidak ada perbedaan pendapat dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Nomor 44/PDT/2011/PTY, maka pengambilan keputusan untuk memutus perkara tersebut dengan musyawarah mufakat dan keputusan yang bulat.

Setelah dilakukan elaborasi dalam penelitian ini, maka rekomendasi yang dapat disampaikan adalah hakim tinggi yang memeriksa perkara No. 44/PDT/2011/PTY sudah bertindak professional dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya, sehingga hakim yang bersangkutan cukup layak untuk dipromosikan pada jenjang

karir yang lebih tinggi nantinya sebagai Hakim Agung. Meskipun putusan dalam perkara No. 44/PDT/2011/PTY memang belum sepenuhnya mengakomodir sumber-sumber hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan doktrin, tetapi tidak berpengaruh terhadap logika dan penalaran hukum yang sudah runtut dan sistematis yang tertuang dalam bagian pertimbangan hukumnya.

SIMPULAN IV.

Berdasarkan uraian dan hasil analisis sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan terkait Putusan Hakim PTY No. 44/PDT/2011/PTY sebagai berikut:

a. Putusan hakim secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara perdata yang berlaku dan dapat membuktikan unsur-unsur yang ada dalam gugatan atau jawaban gugatan dengan berpedoman pada bukti-bukti yang diatur dalam hukum acara perdata.

b. Putusan hakim telah mencerminkan penalaran hukum yang logis (runtut dan sistematis) dalam pertimbangan hukumnya dan telah telah berupaya menggali nilai-nilai non yuridis yang ada dalam masyarakat. Meskipun harus diakui dalam putusan PTY No. 44/PDT/2011/PTY memang belum sepenuhnya mengakomodir sumber-sumber hukum secara lengkap, misalnya yurisprudensi dan doktrin, tetapi tidak berpengaruh terhadap logika dan penalaran hukum yang sudah runtut dan sistematis yang tertuang dalam bagian pertimbangan hukumnya. Oleh karena itu, mengacu pada hasil kajian putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim PTY sudah bertindak professional dalam menyelesaiakan perkara tersebut.

Page 87: Jurnal Desember 2012

314 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 298 - 315 Pemihakan Hakim Terhadap keadilan Substantif (Bambang Sutiyoso) | 315

c. Hakim PTY dalam sikapnya ternyata lebih berpihak pada kebenaran substantif di bandingkan dengan kebenaran prosedural. Hal ini dapat terlihat meskipun akta jual beli No. 299/2008 yang dibuat dihadapan Notaris / PPAT mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan sempurna, tetapi karena cara perolehan akta jual beli No. 299/2008 yang ternyata di dasarkan surat kuasa mutlak yang substansinya bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1992, maka akta jual beli tersebut dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2003. Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

http:/ /erabaru.net/opini/65-opini/10099-menegakkan-keadilan-jangan-sekedar-menegakkan-hukum.

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/analisis-hukum-terhadap-kasus-sengketa-tanah-proyek-pemukiman-tni-al-di-pasuruan-dihubungkan-dengan-undang-undang-nomor-5-tahun-1960-tentang-poko-k-agraria/ diakses tanggal 16 Maret 2012.

http://www.sunan-ampel.ac.id/publicactivity/detail.php?id=28

Instruksi Menteri dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah

Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Mertokusumo, Sudikno. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuatan Akta Tanah

Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: BPHN Departemen Kehakiman RI, Bina Cipta.

Sutiyoso, Bambang. 2009. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.

Sutiyoso, Bambang. 2010. Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan. Yogyakarta: Jurnal Hukum FH UII.

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria

Wardah, Sri & Sutiyoso, Bambang. 2007. Hukum acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.

Page 88: Jurnal Desember 2012

316 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

ABSTRAK

Sangketa paten yang menyita perhatian publik di akhir tahun 2011 sampai 2012 adalah perkara antara Samsung melawan Apple. Sangketa dua perusahaan raksasa tersebut telah memasuki ranah persidangan di berbagai negara seperti di Inggris, Belanda, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Putusan pengadilan terhadap sengketa itu berbeda satu dengan yang lain, di beberapa negara memutuskan memenangkan Samsung, dan di beberapa negara lain memenangkan Apple. Salah satu putusan pengadilan yang menjadi kajian dalam tulisan ini ialah putusan Pengadilan Den Haag 396957/KG ZA 11-730 terkait klaim paten yang memenangkan Apple. Putusan ini menjadi kajian yang menarik lantaran berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, langkah inventif, dan utilitas. Sebagaimana putusan hakim, Samsung dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga ponsel pintar keluaran Samsung dilarang beredar di pasaran Belanda.

Kata kunci: doktrin paten, kebaruan, langkah inventif, utilitas.

DOKTRIN PATEN DALAM SENGKETA APPLE MELAWAN SAMSUNG

Riko Fajar Romadhon & M. Fathan NautikaFakultas Hukum Universitas Indonesia

Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424Email: [email protected]

Kajian Putusan Pengadilan Den Haag 396057/KG ZA 11-730

PATENT DOCTRINESIN THE APPLE VS SAMSUNG DISPUTE

Diterima tgl 14 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

An Analysis on the Den Haag Court Number 396057/KG ZA 11-730

AbstrAct

The patent case between Apple versus Samsung has attracted a lot of attention in late 2011 to 2012. This huge case between the two most well-known companies occurred in some countries such as in the United Kingdom, South Korea, United States of America, the Netherlands, and many others. The verdicts also varied in respective countries, some of them were won by Apple and others by Samsung. The focus of this article is about the patent claim as revealed in the verdict of The Hague’s Court Number 396957/KG ZA 11-730 that was won by Apple. The issue is interesting since three claims of Apple were incompatible for patent protection, i.e. novelty, inventive steps, and utility. Samsung was considered faulty because it has infringed Apple’s EP 868 so Samsung’s smartphones are prohibited in the Netherland’s market.

Keywords: patent doctrine, novelty, inventive steps, utility.

Page 89: Jurnal Desember 2012

316 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 317

PENDAHULUANI.

Apple dan Samsung merupakan produsen ternama yang memproduksi smartphone dan tablet computer. Keduanya produk itu menggunakan teknologi multi touch di mana Apple sendiri terkenal dengan produk andalannya yaitu iPhone (iPhone 4 dan iPhone 4s) dan iPad (iPad 1 dan iPad 2) sedangkan Samsung mengandalkan produk bernama Galaxy.

Apple pertama kali mengenalkan generasi pertama iPhonenya pada tahun 2007 sedangkan untuk iPad pertama kali dikenalkan pada tahun 2010. Tidak hanya Apple, Samsung juga mengeluarkan produk yang tidak kalah canggih yaitu Samsung Galaxy S (Samsung Galaxy S I dan Samsung Galaxy S II) dan Samsung Galaxy Tabnya pada tahun 2010.

Apple dan Samsung merupakan rival dalam hal penjualan Smartphone maupun Tablet computer namun sebenarnya keduanya memiliki hubungan kerjasama yang saling membutuhkan. Faktanya, Samsung merupakan penyedia semiconductor utama untuk Apple dan Operating System (OS) dari produk Apple. Selain rivalitas dalam hal penjualan smartphone maupun tablet computer, kedua produsen ternama itu merupakan rival dalam pemegang lisensi paten. Sengketa dalam bidang hak kekayaan intelektual antara Apple dengan Samsung dan ini terjadi di sembilan negara di seluruh dunia seperti Amerika Serikat (Distrik California), Belanda, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Inggris, Australia, Perancis dan Itali. Sengketa dalam bidang HKI ini meliputi patent, design patent, trademark, serta industrial design.

Sengketa antara keduanya diawali saat Samsung meluncurkan produk Galaxy-

nya (Galaxy S maupun Galaxy Tab). Apple menyebutkan bahwa Samsung (Galaxy S dan Galaxy Tab) secara jelas meniru design produk Apple (iPhone dan iPad). ( http://www.phonedog.com/videos/phonedog-live-recap-4-22-11-apple-vs-samsung-/ diakses pada 5 Maret 2012). Selanjutnya pada april 2011 Apple menyerang Samsung karena mengkopi desain iPhone dan iPad. (http://www.pcworld.com/article/245493/apple to samsung dont make thin diakses pada 6 Maret 2012.) pada waktu yang hampir bersamaan, Samsung juga menyerang balik dan menyatakan bahwa Apple telah melanggar 10 paten Samsung (seperti 3G dan teknologi wireless).

Sengketa antara Apple dan Samsung di Belanda sendiri dimulai sejak Juni 2012 dan diputus pada 24 Agustus 2011, dan pertikaian keduanya terjadi di negara lain hingga tahun 2012 dimana Samsung sebagai pihak tergugat yaitu Samsung Electronic Co. Limited, Samsung Electronic Benelux B.V, Samsung Electronic Europe Logistic B. V, dan Samsung Electronic Overseas B. V.

Pada proses persidangan yang berjalan, terdapat tiga klaim paten yang diajukan oleh Apple. Paten pertama adalah European Patent Portable Electronic Device For Photo Management (EP 868), kedua adalah European Patent for Touch Event Model (EP 948) dan European Patent for Unlocking a by Performing Gestures on an Unlock Image (EP 022). Selain tiga paten itu, Perkara antara Apple dengan Samsung ini tidak sebatas pada tiga paten saja, melainkan meliputi juga design patent seperti EC design patent for pocket computer; EC design patent for apparatus for recording and playback of sound or image; EC design patent for electronic devices; dan EC design patent for graphical user interface.

Page 90: Jurnal Desember 2012

318 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

Apple menyatakan bahwa device buatan Samsung, baik Tablet computer maupun Smartphone, telah melanggar ketiga patent tersebut. Smartphone yang dianggap melanggar patent Apple adalah Galaxy S GT-19000; Galaxy Ace GT-S5830; dan Galaxy S II GT-19100. Sedangkan untuk tablet computer adalah Galaxy Tab GT-P1000; Galaxy Tab 10.1v GT-P7100; dan Galaxy Tab 10.1 GT-P7510.

Pada pokoknya, Apple meminta hakim untuk memutuskan bahwa kedua produk keluaran Samsung telah melanggar ketiga European Patent Apple sehingga Apple meminta kepada Hakim agar Samsung berhenti memproduksi masal, mengimpor, menawarkan maupun menjual kedua produk tersebut. Apple, dalam tuntutan tambahannya, menuntut agar pihak Samsung menarik kembali smartphone maupun tablet computer yang telah mereka jual dan memberikan notifikasi kepada konsumen mereka sebagai berikut:

“Dear [name of buyer]. Some time ago we supplied you with

tablet computer from the Galaxy range. In particular, this involves tablet computer of the type Galaxy Tab (GT-P1000) and Galaxy Tab 10.1v (GT-P7100) [fill in with other infriging tablet computers].

By judgement of [date of judgement], the judge interlocutory proceedings of the Court of the Hague has ruled that manufacturing, warehousung, offering, selling and/or delivering of these products INFRINGES the patent rights, design patents and/or copyright of Apple Inc., in any case that we have acted unlawfully towards Apple Inc. We ask you to return to us the Galaxy Tablets we supplied to you, if you still have any of them in stock, within 14 days of the

date signing of this letter. Of course, we shall reimburse you for the price paid as well as the shipping costs. For the record we would like to mention the fact that by storing, offering and/or selling of the mentioned Galaxy tablet computers you are infringing the intellectual property rights of Apple Inc.”

Selain itu, Samsung juga harus memberikan notifikasi dalam website mereka (www.samsung.nl) sebagai berikut:

“Recently we offered the sale of tablet computers from the Galaxy range in the Netherland. In particular, this involves the tablet computer of the type Galaxy Tab (GT-P1000) and Galaxy Tab 10.1v (GT-P7100).

By judgement of [date judgement], the judge in interlocutory proceedings of the Court The Hague has ruled that the sale of these tablet computers infringes the patent rights, design patents and/or copyright of Apple Inc., in any cases that we have acted unlawfully towards Apple Inc., an forbid us from dealing any further in these Galaxy tablet computers on the Dutch market.”

Berikut tabel European Patent yang dilanggar oleh Samsung:

Tab Tab 10.1v Tab 10.1

EP 868 X X X

EP 948 X X

EP 022 X X X

S S II Ace

EP 868 X X X

EP 948 X

EP 022 X X X

Page 91: Jurnal Desember 2012

318 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 319

Kasus ini disidangkan di berbagai negara dimana putusannya satu dengan yang lain berbeda. Di Inggris, Samsung memenangkan gugatan melawan Apple. Hakim pengadilan di Inggris, memerintahkan Apple mengakui secara terbuka bahwa Samsung tidak menjiplak desain iPad seperti yang dituduhkan selama ini.

Putusan berbeda di Pengadilan Belanda yang memenangkan Apple. Pengadilan di Hague, Belanda, memutuskan Samsung melanggar paten Apple terkait teknologi untuk menghubungkan ponsel atau tablet ke internet. Putusan pengadilan Den Hag itu tertuang dalam putusan 396957/KG ZA 11-730. Putusan yang sama berada di pengadilan Amerika Serikat. Dewan juri sembilan orang di pengadilan federal San Jose, California, AS, memutuskan Samsung telah melakukan pelanggaran paten dan harus membayar Apple sebesar USD 1.051 miliar atau sekitar Rp 9,5 triliun sebagai ganti rugi.

Berdasarkan Maka dari itu, penulis akan mengkaji dan menelaah lebih mendalam mengenai syarat patentabilitas suatu invensi dengan studi kasus terhadap putusan 396957/KG ZA 11-730 mengenai sengketa paten antara Apple dengan Samsung.

RUMUSAN MASALAHII.

Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, terdapat beberapa rumusan permasalahan yang menjadi pembahasan dalam jurnal ini adalah, sebagai berikut bagaimana doktrin paten patentabilitas produk komputer dalam sangeka Apple dan Samsung berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Deen Haag nomor 396957/KG ZA 11-730?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Pokok pembahasan utama dalam jurnal ini terkait dengan tiga patent yang diklaim dimiliki oleh Apple, yaitu Patent terkait Portable Electronic Devices For Photo Management, Touch Gesture Event, dan Unlocking by Performing Gestures on an Unlock Image. Sebelum melakukan pembahasan lebih jauh, perlu diketahui bahwa ketiga paten yang diklaim Apple merupakan sebuah program komputer yang mana program komputer tersebut melekat pada Operating System dari smartphone maupun tablet computer. Perlu diingat juga bahwa perlindungan paten hanya dapat diberikan terhadap suatu invensi sesuai dengan syarat patentabilitas suatu invensi. Secara sederhana apabila suatu invensi telah mendapatkan perlindungan patent maka invensi tersebut diasumsikan telah lolos dalam tahap pengujian sehingga layak diberikan perlindungan paten.

Patentabilitas Suatu Invensi Kaitannya dengan Program Komputer

Esensi dari suatu program komputer sebenarnya adalah keberadaan “perintah” ataupun “instruksi” yang berfokus kepada proses agar suatu perangkat keras sehingga berfungsi sebagaimana yang ditentukan. Jadi sepatutnya yang menjadi kata kunci dari hal ini, adalah kejelasan dari instruksi itu sendiri sehingga jika suatu program tidak lengkap dan/atau tidak jelas instruksinya, ia bukan merupakan suatu program. Menurut WIPO menjelaskan mengenai program komputer sebagai For the purpose of the law: computer program means a set of instruction capable, when incorporated in a machine-radable medium, of causing a machine having information-processing capabilities to indicate,

Page 92: Jurnal Desember 2012

320 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

perform or achieve a particular function, task or result.”

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer didefinisikan sebagai sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.”

Program komputer perlu untuk dilindungi oleh hukum khususnya rezim Hak kekayaan Intelektual. Perlindungan ini dimaksudkan untuk melindungi inovasi dalam program komputer tersebut. Terdapat dua elemen penting dalam sebuah program komputer, yaitu The Underlying Process dan Sistem dari Operasi Algoritma, dan Serangkaian instruksi yang menjelaskan proses secara detail. (Makarim, 2005; 291)

Elemen yang pertama dapat dipersamakan dengan proses atau sistem sehingga akan dapat dilindungi oleh paten. Sementara itu, elemen yang kedua merupakan ekspresi dari serangkaian instruksi yang dituangkan dari bentuk tertulis jelas dapat dilindungi oleh hak cipta. (Smith; 2000; 57) Perlindungan terhadap program komputer sebaiknya diberikan dalam bentuk perlindungan tahap demi tahap. Tidak semua hal tentunya bisa dilindungi dengan paten. Ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut:

1. Novelty. Novelty memiliki arti kebaruan. Novelty merupakan sine qua non dari setiap invensi.( Rosenberg: 1977; 89) Novelty disini memiliki arti yang ambigu dan mencakup aspek aspek subyektif maupun obyekti. Pertanyaan mendasar dari Novelty

disini adalah invensi tersebut “baru” dilihat dari sudut pandang apa? Secara subyektif maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah suatu invensi dapat dikatakan “baru” apabila ahli-ahli dalam bidang invensi terkait tidak bisa mengantisipasi invensi tersebut. Disisi lain suatu invensi secara obyektif dikatakan “baru” ketika invensi tersebut tidak bisa diantisipasi oleh prior art. Prior art disini diartikan sebagai suatu invensi yang sudah ada sebelumnya bukan yang sebelumnya tidak diketahui (previously unknown). Invensi sendiri didefinisikan sebagai ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses

2. Tidak ada sistem yang memberikan perlindungan paten terhadap sistem invensi yang sudah diketahui. Sejalan dengan itu, peraturan paten yang sekarang berlaku mensyaratkan bahwa invensi yang dipatenkan haruslah baru dalam pengertian tidak hanya membentuk seni, di mana invensi tersebut pada sat itu tidak ditemukan dalam bentuk-bentuk (baik produk, proses, informasi tentang keduanya, atau yang lainnya) yang telah tersedia kepada masyarakat baik tertulis atau deskripsi lisan, dipergunakan, atau dengan cara lain.

3. Inventive Step. Kadang-kadang suatu invensi disebut baru dalam artian invensi ini tidak pernah diumumkan sebelumnya. Kemudian muncul pertanyaan mendasar terkait dengan hal ini yaitu seberapa banyak atau perbedaan apa yang terdapat dalam suatu invensi sehingga invensi

Page 93: Jurnal Desember 2012

320 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 321

tersebut berbeda dengan prior art? Perlu diketahui bahwa perbedaan haruslah ada dalam suatu invensi dan perbedaan itu haruslah mengandung langkah-langkah yang inventif walaupun perbedaan tersebut kecil.

Berdasarkan hal ini walaupun perbedaan antara invensi yang sebelumnya dikenal dengan invensi yang diajukan mungkin kecil sekali namun kantor paten haruslah menganggap hal tersebut sebagai langkah inventif. Pemeriksaan untuk membuktikan apakah suatu invensi tersebut merupakan langkah inventif merupakan hal yang sulit dalam praktik karena pemeriksaan dibuat atas dasar apa yang dikenal umum dalam bidang kreasi tertentu, serta apakah anggapan dan sudah dikenali oleh para ahli dalam bidang tersebut.

Utility. Utilitas disini artinya bahwa setiap invensi harulah dapat diterapkan dalam segala jenis industri. WIPO sendiri menyebutkan bahwa suatu invensi haruslah memberikan solusi teknis (offer a technical solution). Justice Story menuliskan pendapatnya mengenai utility sebagai:

“by useful invention is meant such a one as may to be applied to some beneficial use in society, in contradistinction to an invention, which is injurious to the morals, the health, or the good order of society. It is not necessary to establish, that the invention is of such general utility, as to supercede all other inventions now in practice to accomplish the same purpose. It is sufficient, that it has no obnoxious or mischievous tendency, that it may be applied to practical uses, and that so far as it is applied, it is salutory. If its practical utility be very limited, it will follow that it will be of little profit to the

inventor; and if it be triffling, it will be sink into utter neglect. The law, however, does not look to the degree of utility; it simply requires, that it shall be capable of use, and that the use is such as sound morals and policy do not discountenance or prohibit.” (Rosenberg,1977: 110)

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa utility disini memiliki arti bahwa suatu invensi tersebut memiliki fungsi teknis dan bermanfaat.

Syarat patentabilitas suatu invensi sebagaimana telah secara sederhana disebutkan di atas, didukung oleh adanya doktrin-doktrin yaitu:

1. Doctrine of Equivalents yang menyebutkan bahwa: “A product or process that does not literally infringe upon the express terms of a patent claim may nonetheless be found to infringe if there is equivalence between the elements of the zccused product or process and the claimed elements of the patented invention. (Merges: 2003: 231). Berdasarkan doktrin ini dapat disimpulkan bahwa suatu invensi atau proses yang secara harafiah tidak melanggar klaim patent (literal infringement) dapat dinyatakan melanggar apabila memiliki kesamaan elemen atau proses dari suatu invensi.

2. Doctrine of Anticipation yang menyatakan bahwa “if the differences between the subject matter sought to be patented and the prior art are such that the subject matter as a whole would have been obvious at the time the invention was made to a person having ordinary skill in the art to which said subject matter pertains.” (Merges: 2003: 231).

Page 94: Jurnal Desember 2012

322 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

Jika merujuk pada penjelasan tersebut maka terdapat dua poin utama dari doktrin ini, yaitu: (i) suatu invensi haruslah tidak dapat diantisipasi oleh ahli-ahli di bidang tersebut (claimed invention); (ii) invensi tersebut tidak dapat diantisipasi sebelumnya oleh prior art.

3. Doctrine of Best Mode. Doktrin ini pada dasarnya merupakan kewajiban dari seorang inventor. Amerika merupakan salah satu negara yang menganut doktrin ini dan disebutkan sebagai “A statutory bargained-for-exchange by which a patentee obtains the right to exclude others from practicing the claimed invention for a certain time period, and the public receives knowledge of the preferred embodiements for practicing the claimed invention.” (Merges: 2003: 231). Artinya disini, inventor wajib membuka dokumen invensinya terhadap publik setelah invensi yang ia klaim mendapatkan perlindungan paten. Indonesia juga menganut doktrin ini. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten yang menyebutkan bahwa seorang inventor wajib untuk mencantumkan deskripsi tentang invensi secara lengkap; memuat tata cara melakukan invensi tersebut; menampilkan deskripsi-deskripsi gambat yang berkaitan untuk memperjelas invensi; memberikan abstraksi invensi. Ketentuan lebih detil terkait hal ini juga diatur dalam Peraturan Pemerintah

4. Doctrine of Technical Action. Doktrin ini terkait dengan syarat utilitas dari suatu invensi yang artinya suatu invensi apabila ingin mendapatkan perlindungan paten, maka invensi tersebut haruslah memiliki

kegunaan teknis. Doctrine of Technical Action sudah diadopsi sejak tahun 1933. Tujuan utama dari adanya doktrin ini adalah untuk memastikan suatu invensi tetap menjunjung tinggi konsep utilitas. (Borking,1985: 160)

Pengujian Paten

Merujuk pada kasus Apple melawan Samsung, secara sederhana apabila suatu invensi telah mendapatkan perlindungan paten maka invensi tersebut diasumsikan telah lolos dalam tahap pengujian sehingga layak diberikan perlindungan paten. Namun bagaimana dengan faktanya? Berikut penjelasannya:

1. PortableElectronic Device For Photo Management (EP 868)

European Patent EP 2059868 (EP 868) terkait dengan userinterface untuk menggerakkan objek digital berupa foto atau elektronik dokumen lainnya dengan cara melakukan scrolling pada touchscreendisplay. EP 868 memungkinkan user untuk melakukan scrolling pada objek digital berupa foto yang terdapat pada foto galeri ataupun dokumen elektronik dengan gaya yang elegan dan menarik.

Invensi yang diklaim pada EP 868 adalah perlindungan terhadap metode untuk membuat digital object kedua berupa foto atau dokumen elektrik muncul seketika setelah dilakukan scrolling pada objek digital pertama (walaupun dalam keadaan zoomed) serta efek bounce back yang terjadi seketika apabila terdapat distraksi dalam melakukan scrolling pada objek digital pertama baik berupa foto ataupun

Page 95: Jurnal Desember 2012

322 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 323

digital dokumen. EP 868, sebagaimana dijelaskan di atas, menurut klaim dari pihak Samsung dikatakan tidak valid karena sama dengan prior art yaitu WO 03/081458 (WO 458). Kesamaannya adalah WO 458 secara sederhana merupakan metode untuk melihat maupun menavigasikan dokumen elektronik dengan menggunakan sentuhan terhadap layar pada device yang memiliki layar kecil seperti PDA, telepon atau lainnya. Terdapat beberapa metode dalam WO 458 untuk menavigasikan dokumen elektronik yang ukurannya jauh lebih besar daripada layar pada device salah satunya adalah fitur “snap”. Perbedaan mendasar yang terdapat dari kedua fitur ini adalah:

a. EP 868 didalamnya terdapat fitur bounce back. Hal ini tentunya diklaim lebih canggih dari fitur snap yang terdapat dalam WO 458. Fitur bounce back juga diklaim sebagai solusi untuk mempermudah user dalam berinteraksi secara fleksibel dengan devicenya.

b. EP 868 memungkinkan user untuk melakukan fungsi zoom in dan zoom out pada device hal ini berbeda dengan WO 458 yang tidak mengenal fungsi tersebut di dalamnya. Pengoperasian WO 458 sebatas menggunakan touch screen dan tracking motion tool.

c. EP 868 tidak mengenal logical column sebagaimana WO 458.

Namun Hakim berpendapat lain dan menyatakan bahwa EP 868 adalah valid karena efek bounce back tidak ditemukan dalam prior art (WO 458). Hakim dalam putusannya menjelaskan bahwa: “To this respect, in the state

of the art (WO 458), it was unknown to make first one swipe (first movement) and then to let the digital object bounce back, and only then to show the next photo as soon as second swipe (second movement) is performed. Judging at this time, this is not evident either for WO 458. That document reveals however swiping through columns. In this context applies that when a “horizontal motion threshold is exceeded, the next column is shown but when the threshold is not exceeded, the column will bounce back and “snap into alignment with the logical column”. The mandatory bounce back can not be found in WO 458 nor is there any indication to that effect. Consequently EP 868 considered being valid for the time being.”

Hakim dalam perkara ini menyebutkan bahwa EP 868 valid. Validitas suatu invensi ditentukan oleh tiga faktor yaitu kebaruan, nonobviousness, dan utilitas. Ketiga faktor ini memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Faktor kebaruan terkait dengan apakah invensi tersebut telah ada sebelumnya dan apakah terdapat hal baru (lompatan teknologi) yang terkandung dalam invensi tersebut. Terkait dengan hal baru (lompatan teknologi) ini haruslah sesuatu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya (nonobviousness). Hal baru (lompatan teknologi) tersebut tentunya merupakan solusi atas permasalahan teknis (memiliki kegunaan teknis/utilitas). Adapun EP 868 jika dilihat dari ketiga faktor ini adalah sebagai berikut:

a. Kebaruan atau Novelty. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, secara sederhana faktor kebaruan terkait dengan apakah suatu invensi tersebut sudah ada sebelumnya atau terdapat lompatan teknologi baru dalam invensi tersebut. EP 868 bukanlah merupakan

Page 96: Jurnal Desember 2012

324 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

sesuatu yang baru, terdapat invensi setipe dengan EP 868 yaitu WO 458. Namun perlu diketahui disini bahwa EP 868 menawarkan hal baru yang sebelumnya,sebagaimana diklaim Apple, tidak terdapat dalam WO 458. Hal baru yang ditawarkan oleh Apple dalam klaimnya adalah fitur bounce back dan fungsi zoom dimana user dapat secara bebas melihat dokumen elektronik yang ukurannya jauh lebih besar daripada layar device bersangkutan.

Kedua hal baru sebagaimana klaim Apple ini tentunya perlu ditinjau dari dua sisi yaitu subjektif dan dan kedua objektif. Terkait dengan kebaruan yang sifatnya subjektif, muncul pertanyaan apakah fitur bounce back dan zoom dapat diantisipasi oleh ahli-ahli dalam bidang teknologi pada waktu itu. Selanjutnya terkait dengan sifat objektifnya muncul pertanyaan apakah fitur bounce back dan zoom telah diantisipasi oleh prior art, dalam hal ini WO 458.

b. Inventive Steps. Faktor selanjutnya adalah mengenai inventive steps. Poin penekanan utama dalam inventive steps ini adalah seberapa banyak suatu invensi memiliki perbedaan dengan prior art. Perbedaan kecil walaupun mengandung langkah inventif dapat diberikan perlindungan paten. Jika mengacu pada kasus Apple melawan Samsung, perbedaan antara EP 868 dengan WO 458 adalah fitur bounce back. Jika mengacu pada pendapat

Learned hand menurut doktrin small structure, EP 868 dapat diberikan perlindungan paten. Namun perlu diingat bahwa perbedaan kecil tersebut haruslah tidak dapat diantisipasi sebelumnya oleh prior art. Terkait dengan hal ini dapat dilihat dalam penjelasan doctrine of anticipation dan doctrine of equivalents.

Secara sederhana doctrine of anticipation menyebutkan bahwa suatu invensi yang akan dipatenkan (should be patented) haruslah memiliki lompatan teknologi yang mana lompatan tersebut tidak dapat diprediksi oleh prior art. Jika mengacu pada kasus Apple melawan Samsung maka EP 868 haruslah memiliki lompatan teknologi yang tidak bisa diprediksi oleh prior art (WO 458). Untuk mengetahui terprediksi atau tidaknya suatu invensi oleh prior art tentulah harus melihat kedua dokumen paten yang bersangkutan, dalam hal ini dokumen paten EP 868 dan dokumen paten WO 458.

Dokumen paten WO 458, menurut pandangan hakim, tidak menjelaskan sama sekali atau indikasi adanya fitur bounce back jika input layar sentuh tidak menerima sentuhan (terdapat distraksi pada saat sentuhan pertama). Jika terjadi distraksi terhadap sentuhan pertama pada WO 458, maka dokumen elektronik akan otomatis menyesuaikan dengan logical column. Namun perlu diingat bahwa fitur bounce back sebagaimana

Page 97: Jurnal Desember 2012

324 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 325

klaim Apple hanya sebatas animasi atau pemanis suatu UserInterface. Baik WO 458 maupun EP 868 sama-sama menjelaskan apabila sentuhan pertama terkena distraksi yang menyebabkan device tidak lagi menerima input berupa sentuhan. Perbedaan keduanya adalah dalam WO 458 menggunakan efek snap sedangkan EP 868 menggunakan efek bounce back. Atas basis doctrine inilah EP 868 dapat dikatakan tidak memiliki unsur langkah inventif. Doktrin kedua yang digunakan untuk menganalisis unsur langkah inventif dari EP 868 adalah Doctrine of Equivalent. Doctrine of equivalents menyebutkan bahwa: “A product or process that does not literally infringe upon the express terms of a patent claim may nonetheless be found to infringe if there is equivalence between the elements of the accused product or process and the claimed elements of patented invention.”

Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu produk atau proses yang secara harafiah tidak melanggar paten (karena memiliki kegunaan yang berbeda) justru dapat dinyatakan melanggar paten juka ada kesamaan elemen dari produk atau proses dari paten penemuan sebelumnya. Berdasarkan doktrin ini perlu dilihat apakah WO 458 sebagai prior art memiliki kesamaan terhadap EP 868. Jika kita lihat secara seksama dalam patent claim kedua invensi ini, keduanya sama sama terkait dengan

metode untuk mengoperasikan elektronik dokumen yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan dengan ukuran layar suatu device. Baik WO 458 maupun EP 868 dapat menavigasikan dokumen elektronik dengan menggunakan sentuhan vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu berdasarkan pada doctrine of equivalents antara WO 458 dengan EP 868 memiliki kesamaan pada pokoknya terkait dengan dua hal tersebut.

c. Utilitas

Penekanan utama dari utility disini adalah suatu invensi harus memiliki fungsi teknis. Poin penting dari fungsi teknis disini adalah invensi tersebut offers a technical solution. Fungsi teknis dari suatu invensi tentunya dapat dilihat dalam dokumen paten terkait (EP 868 maupun WO 458). EP 868 dalam dokumen patennya sebatas menyebutkan fungsi teknis dari invensi ini yaitu “The disclosed embodiement relates generally to portable electronic devices, and more particularly, to portable devices for photo management, such as digital photographing, photo editing and emailing photos.”

Fungsi teknis sebagaimana yang diklaim Apple dalam dokumen patennya sama sekali tidak menunjukkan adanya suatu permasalahan yang terpecahkan (technical solutions) atas adanya invensi EP 868. EP 868 sebatas

Page 98: Jurnal Desember 2012

326 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

menyebutkan mengenai fungsi dari patennya itu sendiri. Lain halnya dengan dokumen paten WO 458 yang secara jelas menyebutkan bahwa: “The following description relates generally to a viewing and navigation aid for displaying information on an electronic device having limited display capability.”

Dapat dilihat bahwa di atas terdapat kata “an electronic device having limited display capability”. Hal tersebut menyebutkan mengindikasikan bahwa WO 458 merupakan solusi teknis atas permasalahan suatu device yang memiliki keterbatasan ukuran layar. Kemudian terdapat doctrine of best mode yang menyatakan bahwa “A best mode is a statutory bargained for exchange by which a patentee obtains the right to exclude others from practicing the claimed invention for a certain time period, and the public receives knowledge of the preferred embodiements for practicing the claimed invention.”

Artinya disini Apple sebagai pihak pemohon paten apabila invensinya diberikan perlindungan paten maka Apple memiliki kewajiban untuk menunjukkan bagaimana invensi mereka dalam dokumen paten. Kembali lagi pada kasus Apple melawan Samsung, artinya disini Apple sebagai patentee dalam dokumen paten EP 868 memiliki kewajiban untuk menunjukkan kepada publik bahwa invensinya merupakan technical solution

terhadap permasalahan yang ada. Namun sayangnya hal ini tidak dilakukan oleh pihak Apple.

Berdasarkan penjelasan sederhana di atas, maka saya merasa keberatan terkait dengan pernyataan hakim yang menyatakan bahwa EP 868 valid. EP 868 tidak dapat dikatakan valid karena invensi tersebut tidak memiliki nilai kebaruan, dapat diantisipasi oleh prior art, dan gagal untuk menunjukkan solusi teknis terkait permasalahan yang dihadapi.

2. Touch Event Model (EP 948)

European Patent EP 2098948 (EP 948) merupakan paten yang dimiliki Apple terkait dengan userinterface untuk mengoperasikan device buatannya dengan menggunakan input berupa sentuhan. Lompatan inovasi yang dilakukan oleh Apple disini adalah user tidak hanya dapat mengoperasikan device buatan Apple dengan satu sentuhan, melainkan dapat mengoperasikannya dengan menggunakan lima sentuhan sekaligus (multi-touch event).

Samsung dalam persidangan menyatakan bahwa pengoperasian device buatannya tidak mengikuti apa yang dimaksudkan dalam EP 948. EP 948 dalam invensi Apple mengenal adanya Exclusive Touch. Exclusive touch secara sederhana disini artinya device akan berbeda fungsinya apabila dioperasikan dengan menggunakan satu sentuhan atau dengan beberapa sentuhan sekaligus. Hakim dalam putusannya juga menyebutkan bahwa “Judging at this time, the samsung products under attack do not fall under the extent of protection of EP 948. The invoked claims in fact prescribe that with “each view” an “exclusive touch flag” is associated. At this state of affairs does not require further discussion.”

Page 99: Jurnal Desember 2012

326 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 327

3. Slide to Unlock (EP 022)

European Patent EP 1964022 (EP 022) terkait dengan fitur untuk membuka device yang terkunci dengan cara menggerakkan digital objek terhadap instruksi yang sudah tertera pada layar device. Apple mengklaim bahwa metode untuk membuka device dengan gesture merupakan hal yang baru dan berbeda. Namun Samsung menyatakan bahwa teknologi swipe to unlock milik Apple sama dengan yang dimiliki oleh Neonode Inc. Faktanya, terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya yaitu dalam EP 022 instruksi untuk membuka suatu device dijelaskan dengan jelas/slide to unlock (menggerakkan digital objek sesuai dengan instruksi yang tertera pada layar). Apple dalam menegaskan dua perbedaan penting terkait dengan EP 022 yaitu pertama invensi slide to unlock lebih userfriendly (EP 022 providing a more user friendly procedure) dan kedua user harus menggerakkan digital objek pada predefined path yang artinya user memiliki interaksi dengan hardwaredevice Apple (User has interaction with the devices). Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu invensi perlu memenuhi unsur kebaruan, memiliki langkah inventif dan memiliki kegunaan untuk dapat diberi perlindungan paten. Terkait dengan EP 022 maka untuk menyatakan valid tidaknya paten ini maka perlu dibedah dengan menggunakan ketiga unsur ini, yaitu:

a. Kebaruan atau Novelty

Kebaruan pada dasarnya memiliki arti invensi yang terdapat dalam EP 022 sebelumnya tidak pernah ada (previously unknown) atau tidak ada sistem yang memberikan perlindungan paten terhadap invensi tersebut. Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang mendaftarkan invensinya untuk

mendapatkan perlindungan paten, maka orang tersebut harus mengecek terlebih dahulu apakah invensinya tersebut sudah ada yang serupa sebelumnya. Jika dalam kasus di atas maka seharusnya Apple melakukan pengecekan di European Patent Office. Kemudian barulah EPO akan melakukan eksaminasi terkait apakah invensi tersebut dapat diberikan perlindungan paten. Eksaminasi ini berbeda beda tiap negara dan masing-masing negara memiliki examination guidelines-nya sendiri.

Samsung dalam sengketa ini menyatakan bahwa EP 022 invalid karena telah ada invensi sebelumnya yang memiliki fitur serupa dengan slide to unlock yang diklaim oleh pihak Apple. Invensi tersebut dimiliki oleh Neonode Nim.Inc yang telah didaftarkan terlebih dahulu pada tahun 2003. Neonode Nim merupakan handphone yang dibuat secara khusus untuk dioperasikan dengan satu jari serta menggunakan sensor sentuhan. Neonode Nim dalam dokumen patennya telah menyebutkan mengenai fungsi slide to unlock yang setipe dengan EP 022. Berdasarkan alasan inilah pihak Samsung menyatakan bahwa EP 022 tidak valid.

b. Inventive Steps

Unsur kedua yang perlu dipenuhi adalah bahwa suatu invensi haruslah mengandung langkah yang inventif. Artinya disini invensi tersebut haruslah memiliki lompatan invensi yang

Page 100: Jurnal Desember 2012

328 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

besar yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya (nonobviousness). Kata prediksi disini memiliki unsur subjektifitas yang sangat tinggi. Oleh karenanya terdapat dua parameter untuk menentukan apakah suatu invensi ini dapat diprediksi atau tidak yaitu yang pertama apakah invensi ini dapat diantisipasi oleh ahli-ahli di bidangnya dan yang kedua adalah apakah invensi ini tidak dapat diantisipasi oleh prior art.

Terkait dengan antisipasi terdapat doktrin yang dapat digunakan, yaitu doctrine of anticipation. Secara sederhana, doctrine of anticipation disini menyebutkan bahwa suatu invensi yang akan dipatenkan (should be patented) harus memiliki lompatan teknologi yang mana lompatan tersebut tidak dapat diprediksi oleh prior art. Mengacu pada kasus Apple melawan Samsung maka EP 022 harus memiliki lompatan teknologi yang tidak bisa diprediksi oleh prior art (Neonode Nim). Mengetahui terprediksi atau tidaknya suatu invensi oleh prior art tentu harus melihat kedua dokumen paten yang bersangkutan, dalam hal ini dokumen paten EP 022 dan dokumen paten Neonode Nim. Fitur slide to unlock yang terdapat dalam EP 022, untuk mengetahui apakah EP 022 terprediksi, haruslah disebutkan dalam dokumen paten Neonode Nim. Mengacu pada dokumen paten Neonode Nim (US 8095879 B2) yang dipublikasikan pada Juni

2004, fitur slide to unlock sudah dijelaskan di dalamnya. Dokumen paten tersebut secara sederhana menjelaskan bahwa untuk melakukan aktivasi device dari Neonode Nim maka user perlu melakukan sentuhan horizontal pada predefined path. Hal ini jelaslah setipe dengan fitur slide to unlock yang terdapat dalam EP 022. Dikatakan setipe karena dalam EP 022 user haruslah menggerakan digital object terhadap predefined path. Berdasarkan basis inilah EP 022 dikatakan invalid.

c. Utilitas.

Poin penting dari utility disini adalah invensi tersebut haruslah memberikan solusi teknis (offer a technical solution). Terkait dari solusi teknis yang dipecahkan disini biasanya sudah terdapat dalam dokumen paten yang bersangkutan. EP 022 dalam dokumen patenya tidak menyebutkan secara jelas terkait dengan technical problems yang dapat diatasi oleh invensi mereka, berbeda halnya dengan Neonode Nim yang menyebutkan bahwa: “It is a problem to provide a user-friendly interface that is adapted to handle a large amount of information and different kinds of traditional computer-related applications on a small handheld computer unit. It is a problem to provide a user interface that is simple to use, even for inexperienced users of computers or handheld devices. It is a problem to provide a small handheld computer

Page 101: Jurnal Desember 2012

328 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Doktrin Paten Dalam Sengketa Apple Melawan Samsung (Riko Fajar Romadhon & M. Fathan Nautika ) | 329

unit with an easily accessible text input function. It is also problem to provide a simple way to make the most commonly used functions for navigation and management available in the environment of a small handheld computer unit.”

Berdasarkan ketiga parameter di atas, maka EP 022 dapat dikatakan invalid. Hakim dalam putusannya beranggapan sama dengan menyatakan “the EP 022 cannot presently be deemed to be inventive, the claim relating to it must be unseccessful on that account, and no ruling is needed as to whether there is a case of infringement.”

Putusan pada sengketa antara Apple dan Samsung di Belanda cukup mengagetkan banyak pihak. Putusan tersebut menunjukkan bahwa Samsung, khususnya untuk Smartphones, melanggar paten Apple (EP 868 saja). Padahal berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, inventive steps, maupun utility. Samsung sebagaimana keputusan hakim, dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga Smartphones keluaran Samsung tidak boleh lagi beredar di pasaran Belanda.

Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa Forbids the defendants from violating the Dutch part of EP 868 after the passage of 7 weeks and one day after the serving of the judgement in any manner, directly or indirect;y by manufacturing, storing, offering, importing, marketing, selling and/or otherwise dealing with smartphones Halaxy S, S II, and Ace. Orders the defendants to pay an immediately payable penalty of EUR 100,000 to the plaintiffs for each day or part of a day or, to be chosen by plaintiffs, of EUR

100,000 per violating products, whereby it can be granted to the defendants that the prohibitions such as taken up under 5.1 and 2.2 are not to be complied with either entirely or not throughly.

SIMPULANIV.

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Konsep dasar syarat patentabilitas suatu invesi dalam kaitannya dengan Hak Kekayaan Intelektual dalam perkara Apple melawan Samsung di Belanda belum diterapkan dengan baik oleh Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut. dalam pertimbangannya majelis hakim menerima gugatan dari pihak Apple dan ini mengindikasikan bahwa Majelis Hakim belum memahami dengan baik mengenai syarat kebaruan, non-obviousness, dan utilitas.

Putusan ini cukup mengagetkan banyak pihak jarena Samsung, khususnya untuk Smartphones, melanggar paten Apple (EP 868 saja), padahal berdasarkan doktrin-doktrin yang ada ketiga klaim paten Apple tidak memenuhi unsur kebaruan, inventive steps, maupun utility. Samsung sebagaimana keputusan hakim, dianggap telah melanggar EP 868 milik Apple sehingga Smartphones keluaran Samsung tidak boleh lagi beredar di pasaran Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Borking, John j. 1985. Third Party Protection of Software and Firmware. Elsevier Science Publisher:Netherlands.

http://www.pcworld.com/article/245493/apple to samsung dont make thin diakses pada 6 Maret 2012.)

http://www.phonedog.com/videos/phonedog-

Page 102: Jurnal Desember 2012

330 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330

live-recap-4-22-11-apple-vs-samsung-/ diakses pada 5 Maret 2012).

Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta:Badan Penerbit FHUI.

Merges, Robert P. 2003. Intellectual Property in The New Technological Age. Ed. 3. Aspen Publisher:New York.

Putusan Pengadilan Den Haag 396957/KG ZA 11-730 Antara Apple v. Samsung.

Rosenberg, Peter. 1977. Patent Law Fundamentals. Ed. 3. c.l.: Clark Boardman Company.

Smith, Graham J H. Internet Law and Regulation. Ed. 3. c.l.: Sweet&Maxwell, c.t.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

Page 103: Jurnal Desember 2012

330 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 316 - 330 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 331

AbstrAct

There are so many judge-made laws regarded as precedential decisions. Any precedential decision should contain certain norms derived through a law-making process (rechtsvinding). Such norms of precedent should contribute ‘added values’ to the collection of formal legal sources. In this article, the author arbitrary chooses one of supreme-court decisions downloaded from the official website of the Indonesian Supreme Court (MA). The decision has been labelled as ‘precedential decision’ but without any statement of the precedential norm. Having identified the decision, the author of this article provides at least four propositions depicted from all major premises of four syllogisms. These propositions can be considered norms of precedent. Regrettably, all of them fail to demonstrate the quality of a precedential decision since the lack of law-making contribution to the formal legal sources.

Keywords: precedential decision, norm of percedent, law making.

ABSTRAK

Ada demikian banyak putusan hakim yang diberi label ‘yurisprudensi’. Sebuah yurisprudensi harus memuat kaidah yang mengandung penemuan hukum di dalamnya. Selain itu, kaidah yurisprudensi itupun harus memiliki nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber formal hukum. Dalam tulisan ini, secara arbiter telah dipilih satu putusan Mahkamah Agung yang di dalam situs resmi MA dinyatakan sebagai yurisprudensi. Oleh karena tidak ditemukan rumusan kaidah yurisprudensinya, maka dalam tulisan ini dilakukan upaya identifikasi terhadap kaidah tersebut. Hasil dari identifikasi tersebut paling tidak telah menemukan empat proposisi yang termuat dalam premis mayor sejumlah silogisme dan keempat proposisi ini dapat dianggap sebagai kaidah yurisprudensi tersebut. Sayangnya, kaidah-kaidah yang teridentifikasi inipun belum mampu menunjukkan kualitas suatu yurisprudensi karena ketiadaan penemuan hukum yang berkontribusi signifikan bagi khazanah sumber formal hukum.

Kata kunci: yurisprudensi, kaidah yurisprudensi, penemuan hukum.

MENCARI JARUM ‘KAIDAH’ DI TUMPUKANJERAMI ‘YURISPRUDENSI’

ShidartaFakultas Humaniora Universitas Bina NusantaraJl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Jakarta 11480

Email: [email protected]

Kajian Putusan Nomor777 K/Pid.Sus/2009

LOOKING FOR A NEEDLE IN A HAYSTACK: A STRUGGLE TO FIND OUT ‘NORMS OF PRECEDENT’

Diterima tgl 14 November 2012/Disetujui tgl 23 November 2012

An Analysis on Decision Number 777 K/Pid.Sus/2009

Page 104: Jurnal Desember 2012

332 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

PENDAHULUANI.

Dalam rangka mempelajari sumber-sumber formal hukum, setiap mahasiswa (peserta didik)di bangku kuliah pendidikan tinggi hukum biasanya akan diberi pengertian bahwa yurisprudensi adalah salah satu dari sumber hukum dalam arti formal. Memang harus disadari bahwa yurisprudensi di dalam sistem keluarga civil lawtidak menoreh garis kekuatan preseden yang mengikat (the binding force of precedent) sebagaimana layaknya yurisprudensi di dalam keluarga sistemcommon law. Kendati demikian, dari waktu ke waktu peranan yurisprudensi di dalam perkembangan sistem hukum di semua keluarga sistem hukum, dirasakan justru makin menguat.

Alasan dari penguatan peranan yurisprudensi dapat mudah dimaklumi mengingat skeptisisme yang kian tumbuh terhadap kemampuan peraturan perundang-undangan dalam mengakomodasi peristiwa-peristiwa konkret yang terjadi di lapangan.Skeptisisme aturan (rule-skepticism) ini semula disuarakan paling lantang oleh penganut realisme hukum, termasuk gerakan-gerakan kaum realis yang lebih fokus pada isu-isu tertentu, seperti kaum penstudi hukum kritis (critical legal studies), teoretikus ras kritis (critical race theorist), dan penstudi femenisme.

Dalam tradisi sistem hukum Indonesia, perhatian terhadap peran yurisprudensi ini tidak pernah benar-benar mendapat tempat istimewa. Secara normatif, hakim memang dianjurkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), akan tetapi dalam kenyataannya para hakim belum termotivasi untuk melahirkan yurisprudensi yang bernas di dalam putusan-

putusan mereka. Padahal, harus disadari bahwa peraturan perundang-undangan yang diproduksi akhir-akhir ini makin terkesan sarat kepentingan politik tersembunyi (hidden political agendas), sebagaimana terlihat antara lain dari makin seringnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji material atas suatu undang-undang yang notabene baru saja diberlakukan.

Setiap dua tahun sekali Mahkamah Agung memang menerbitkan buku yang menghimpun putusan-putusan pengadilan dan menobatkannya sebagai yurisprudensi.Terlepas dari metode penyeleksiannya yang belum pernah diinformasikan secara terbuka ke publik dan ritme terbitnya yang terlalu lama, upaya publikasi buku himpunan seperi itu tetap patut dihargai.Untuk mengatasi kelemahan itu sebenarnya bisa dimanfaatkan situs resmi Mahkamah Agung, yang secara cepat mampu menayangkan putusan-putusan pengadilan secara on-line.

Pada halaman pertama tiap putusan itu selalu dicantumkan kriteria apakah suatu putusan merupakan yurisprudensi atau bukan yurisprudensi. Persoalan muncul ketika pengakses situs mempertanyakan apa kaidah yurisprudensi yang ada di dalam putusan itu? Artinya, jika tidak dapat dipastikan apa yang menjadi kaidah yurisprudensinya, maka patut juga diragukan apakah putusan itu memang bernilai yurisprudensi?

Dalam terminologi leksikal, kaidah yurisprudensi ini termasuk dalam ratio decidendi, yaitu alasan penjatuhan putusan (the rationale for the decision).Untuk menguji ketepatan pengklasifikasian suatu putusan sebagai yurisprudensi, maka dalam artikel ini akan dibahas satu putusan yang dipilih secara acak.Seperti halnya pada semua putusan yang berlabel

Page 105: Jurnal Desember 2012

332 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 333

‘yurisprudensi’ dalam situs itu, ternyata tidak ditemukan rumusan tentang kaidah yurisprudensi yang terkandung di dalam putusan dimaksud.Putusan yang diambil sebagai contoh dalam tulisan ini adalah putusan Mahkamah Agung dengan No.777 K/Pid.Sus/2009, yang diunduh pada awal bulan Oktober 2012.

Majelis hakim kasasi pada putusan No. 777 K/Pid.Sus/2009ini diketuai oleh H. MT, didampingi dua orang hakim anggota, yaitu H. AAAS dan DD. Tercatat bahwa hakim agung DD membuat dissenting opinion dalam putusan ini.

Perkara dalam putusan ini adalah tentang tuntutan tindak pidana korupsi di PT Telekomunikasi Denpasar terkait pelaksanaan perjanjian kerja sama penyediaan usaha jasa kartu panggil, dengan para terdakwa: Ir. IWH (Terdakwa I); SBP (Terdakwa II); GB (Terdakwa III) dan SWS (Terdakwa IV).Fundamentum petendi kasus ini bermula dari perjanjian kerjasama operasi (KSO) antara PT TI dan PT BSI pada tanggal 20 Oktober 1995.Perjanjian KSO ini dapat dikatakan merupakan embrio dari perjanjian-perjanjian berikutnya yang menjadi cikal bakal lahirnya perkara pidana dalam kasus ini.

Salah satu perjanjian dimaksud terjadi pada tanggal 16 Agustus 2001, ketika Terdakwa I selaku Kakandatel Denpasar menandatangani perjanjian kerjasama field trial project dan credit debit calling card dengan PT KDN. Kerja sama ini meliputi usaha jasa kartu panggil (CDCC) berupa out going call dan in coming call dengan menggunakan perangkat PT TI berupa E1, yang dapat menyambungkan suara dari gateway milik PT KDN ke jaringan tetap milik PT TI. Di dalam perjanjian telah disepakati mengenai pembagian pendapatan, akan tetapi Terdakwa IV tetap memerintahkan kepada Terdakwa III untuk

melakukan negosiasi harga dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.Akhirnya, usulan ini disepakati oleh Terdakwa I dan II dengan penggunaan pola sewa sebesar US$ 7500/E1/bulan baik untuk panggilan ke fixed-telephone (PSTN) maupun seluler. Hal tersebut dilakukan tanpa mengubah melalui adendum terlebih dahulu.

Pada akhir bulan Agustus 2001 dipasang instalasi terhadap peralatan milik PT KDN dalam perangkat PT TI dengan cara perangkat milik PT KDN berupa gateway disambungkan ke E1 yang disewa ke perangkat milik PT Telkom di sentral lokal Kaliasem. Kemudian pada tanggal 6 September 2001 sesuai perintah Terdakwa I telah dilakukan aktivitas E1 milik PT. Telkom jenis E1 primary rate access (PRA) oleh seseorang bernama MFP tanpa ada perintah tertulis (work order) dan tanpa ada permintaan tertulis dari PT KDN. Dengan dilakukannya instalasi dan aktivitas tersebut maka PT. KDN dapat menyalurkan suara (percakapan) dari luar negeri ke arah tujuan penerima telepon di seluruh wilayah Indonesia.

Meskipun kerjasama jasa CDCC ini hanya meliputi out going call dan in coming call, ternyata dalampelaksaannya Terdakwa I, III, dan IV juga melakukan usaha penyaluran trafik dari luar negeri ke Indonesia (terminating) dengan menggunakan teknologi VOIP. Dalam penyaluran trafik yang menggunakan perangkat E1 milik PT Telkom itu, berarti PT KDN telah bertindak sebagai penyelenggara jasa Internet teleponi untuk keperluan publik yang dapat menyalurkan suara dengan menggunakan protokol internet secara komersial yang terhubung ke jaringan telekomunikasi.

Sesuai ketentuan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No.

Page 106: Jurnal Desember 2012

334 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

199/DIRJEN/2001 tanggal 6 September 2001 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Jasa Internet Teleponi untuk Keperluan PubIik (ITKP), peyelenggaraan jasa internet untuk keperluan publik diselenggarakan berdasarkan izin dari Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel). Selain itu sesuaidengan ketentuan Pasal 16 Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DlRJEN/2001, penyelenggara jasa internet teleponi untuk keperluan publik harus menyediakan fasilitas minimal yang lazim dikenal dengan istilah teknis: NOC, POP, jaringan data dengan protokol IP, dan beberapa kanal suara TDM (nxE1).

Dalam menyelenggarakan usaha penyaluran trafik tersebut PT KDN tidak memiliki izin ITKP dan tidak memiliki fasilitas sebagai penyelenggara ITKP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Keputusan Dirjen Postel di atas, maka Terdakwa I meminta Terdakwa II selaku Ketua Koperasi Siporennu untuk bertindak seolah-olah sebagai pihak yang menyalurkan trafik dengan memanfaatkan izinInternet Service Provider (ISP) yang dimiliki oleh Koperasi Siporennu. Permintaan ini disetujui. Selanjutnya sekitar bulan Januari 2002 s.d Februari 2002 baru dibuat Perjanjian Kerjasama dengan dibuat tanggal mundur dan mengubah skema bisnis yang semula Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PT. Telkom dengan PT KDN diubah menjadi perjanjian kerjasama antara PT Telkom dengan Koperasi Siporennu dan Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Siporennu dengan PT.KDN.

Ada sejumlah angka yang disebut-sebut sebagai perkiraan kerugian negara dalam kasus ini,yakni sekitar Rp.27.689.043.165. Angka lain yang muncul justru lebih besar yaitu Rp.36.122.211.839 yang timbul akibat biaya airtime dan interkoneksi yang harus dibayar

oleh PT Telkom (vide keterangan ahli Samono dari BPKP Pusat, Judi Achmadi ahli tarif PT Telkom, dan Alexander Ketja Palit, ahli tarif di bidang retail). Selain soal hitung-hitungan angka, rupanya keberadaan peraturan juga menjadi titik perbedaan pandangan yang penting dalam kasus ini karena majelis hakim kasasi berpendapat aturan yang relevan untuk dikenakan pada peristiwa ini baru muncul tahun 2002, yaitu keputusan Menteri Perhubungan No.KM 23/2002, tanggal26 Maret 2002 tentang Internet Telepon Service Provider (ITSP).

Atas dasar kasus posisi tersebut, maka JPU menuntut para terdakwa dengan primer Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. jo Pasal 55 ayat (1)ke 1 KUHP. Subsidair adalah Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 22 Maret 2010 tersebut menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Terdakwa I dan II dan membatalkan putusan PT Denpasar. Majelis kasasi berpendapat majelis hakim tingkat pertama dan kedua telah salah menerapkan hukum serta telah pula melanggar hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Penggunaan jasa telekomunikasi dengan teknologi voice over Internet protocol

Page 107: Jurnal Desember 2012

334 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 335

(VoIP) untuk kepentingan publik pada waktu kejadian perkara ini tahun 2001 belum diatur (tiada hukum yang melarangnya). Baru tahun 2002 ada peraturan, yaitu keputusan Menteri Perhubungan No. KM 23/2002 tentang Internet Telepon Service Provider (ITSP) yang pada pokoknya menyatakan bahwa VoIP untuk kepentingan publik harus ada izin dari Dirjen. Oleh karena pada waktu kejadian tidak ada hukum yang melarang perbuatan Terdakwa, akan tetapi Pengadilan Negeri Denpasar telah menghukum Terdakwa I yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar Hal ini jelas salah menerapkan atau meIanggar hukum yang berlaku yaitu ketentuan hukum Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

2. Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Tinggi Denpasar (judex facti) menyatakan Terdakwa bersaIah sebagaimana didakwakan dalam dakwaan subsidair, padahal saksi-saksi di bawah sumpah, yaitu Sutia menerangkan bahwa bisnis VoIP beIum ada dasar hukum yang mengaturnya. Saksi SS menyatakan Terdakwa I selaku Kandatel memang diperbolehkan menggunakan E1 yang belum dimanfaatkan (idle)dan saksi DM antara lain menerangkan bahwa pada tahun 2001 belum ada regulasi yang mengatur bisnis VoIP, sehingga penentuan tarif sewa E1 cukup dilakukan dengan negosiasi atau kesepakatan kedua belah pihak. Terbukti bahwa pemanfaatan peluang bisnis ini menguntungkan bagi perusahaan Wilayah KandateI Denpasar, sebagaimana keterangan saksi-saksi di bawah sumpah, yaitu Kabag Pengembangan DM dan Kadin

Sentradaya KandateI Denpasar MFP yang menyatakan bisnis E1 yang ditawarkan PT KDN akan menguntungkan. Sesuai dengan misi perusahaan dan budaya ‘inovasi, kerjasama, adaptif dan teladan’ (IKAT) dan tidak melawan hukum karena pada waktu itu tidak ada peraturan hukum yang melarang. Jadi, putusan Pengadilan Negeri Denpasar yang menyebutkan bahwa TerdakwaI telah terbukti memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu Korporasi” dalam arti melawan hukum jo putusan Pengadilan Tinggi Denpasar adalah tidak benar karena tidak terbukti sama sekali;

3. Fakta bahwa Terdakwa I (pemohon kasasi) pada mulanya tidak kenal dengan Terdakwa IV dan Terdakwa III dari PT KDN. Jadi, tidak mungkin Terdakwa I sebagai orang yang tidak kenal bisa dikatakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Dari keterangan saksi-saksi SPS, MFP, DM dan KRP, terbukti bahwa Terdakwa I sama sekali tidak aktif mengadakan perhubungan dengan PT KDN. Di sisi lain, terhadap saksi ANA dari Divre VII Makassar, Terdakwa I berkewajiban menaati atasannya yaitu Kepala Divre VII Makassar yang membawahi Kandatel Denpasar. Dengan demikian, niat Terdakwa I untuk berbuat melanggar hukum tidak terbukti.

4. Bahwa judex facti melanggar hukum yang berlaku karena menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa I (Pemohon Kasasi) padahal seharusnya membebaskan Terdakwa (Pemohon Kasasi) dari segala dakwaan, karena Terdakwa (Pemohon Kasasi) tidak

Page 108: Jurnal Desember 2012

336 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

terbukti melakukan perbuatan pidana yaitu pada perbuatan Terdakwa I memanfaatkan teknologi VoIP belum ada peraturan hukum yang melarangnnya. Ternyata judex facti membebaskan Terdakwa III dan Terdakwa IV dari dakwaan primair dan subsidair. Putusan judex facti ini selain melanggar hukum yang berlaku juga tidak adil karena membeda-bedakan orang. Hal ini melanggar hukum yang berlaku yaitu Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sudah diubah sebagaimana Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.

5. Judex facti juga melanggar hukum yang berlaku yaitu Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu sudah terbukti dari keterangan saksi SA, saksi SU, dan saksi DM menerangkan bahwa pada 2001 itu (pada saat kejadian) belum ada peraturan yang mengatur tentang teknologi VoIP, sehingga seharusnya Terdakwa I (Pemohon Kasasi) dibebaskan dari segala dakwaan. Akan tetapi Terdakwa (Pemohon Kasasi) telah dijatuhi hukuman. Hal ini jelas melanggar ketentuan hukum PasaI 6 Undang-undang Nomor: 4 tahun 2004 tentang Kekusaan Kehakiman yang berbunyi: “Tidak Seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh Undang-undang” ;

6. judex facti salah menerapkan hukum pembuktian karena sudah jelas Terdakwa terbukti tidak bersalah melakukan perbuatan dalam dakwaan primair maupun dalam dakwaan subsidair, karena Terdakwa I (Pemohon Kasasi), memanfaatkan teknologi VoIP karena

dalam jabatannya dimungkinkan pada waktu Terdakwa I (Pemohon Kasasi) menjabat KepaIa Kandatel Denpasar berupaya menguntungkan perusahaan (PT Telekomunikasi Indonesia) sesuai dengan misi perusahaan dan budaya IKAT (inovasi, kerjasama, adaptif dan teladan) dan tidak melanggar hukum karena pada saat itu tidak ada peraturan yang melarang. Hal ini jelas diterangkan oleh saksi Kabag Pengembangan DM dan Kadinsentradaya Kandatel Denpasar MFP di bawah sumpah dipersidangan perkara ini. Keterangan saksi-saksi ini bersesuaian satu sama lain tetapi tidak diterapkan oleh judex facti. Apabila diterapkan, maka Terdakwa I (Pemohon Kasasi) seharusnya dibebaskan dari segala dakwaan. Dalam hal ini judex facti tidak menerapkan ketentuan hukum Pasal 185 ayat (6) huruf a KUHAP;

7. judex facti salah menerapkan hukum pembuktian yaitu dengan menyatakan:“Terdakwa I (Pemohon Kasasi) bersalah dan dijatuhi hukuman, sedangkan di pihak lain membebaskan Terdakwa III dan Terdakwa IV dari dakwaan primair dan subsidair, padahal Penuntut Umum memakai pula Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam dakwaannya. Di dalam perkara ini terbukti Terdakwa I (pemohon Kasasi) juga tidak kenal dengan Terdakwa III dan Terdakwa IV itu. Oleh karena itu sudah seharusnya Terdakwa I (Pemohon Kasasi) dibebaskan dari segala dakwaan daIam perkara ini.”

RUMUSAN MASALAHII.

Fokus permasalahan dalam tulisan ini lebih kepada upaya mencari justifikasi penetapan

Page 109: Jurnal Desember 2012

336 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 337

putusan ini sebagai suatu yurisprudensi sebagaimana tertera dalam situs resmi Mahkamah Agung. Dalam konteks itu pula, ingin diidentifikasi rumusan-rumusan kaidah yurisprudensi yang mungkin dapat digali dari pertimbangan-pertimbangan majelis hakim kasasi. Untuk itu, berangkat dari tujuh butir pertimbangan majelis hakim kasasi di atas, dapat diangkat permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja proposisi yang berpotensi menjadi kaidah yurisprudensi dalam putusan hakim ini?

2. Apakah kaidah yurisprudensi yang diformulasikan tersebut memiliki kualitas sebagai penemuan hukum untuk disumbangkan kepada khazanah sumber-sumber formal hukum?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISISIII.

Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum yang penting dalam khazanah sumber-sumber formal hukum di dalam keluarga sistem hukum manapun. Perbedaan gradasi dalam penempatannya dalam daftar sumber-sumber formal hukum memang lebih mengemuka pada keluarga sistem common law daripada civil law, kendati kian hari dirasakan ada kecenderungan kedua keluarga sistem itu makin mendekat satu sama lain.

Putusan-putusan pengadilan di berbagai negara Eropa Kontinental sudah sejak lama diperkaya dengan kutipan referensi berupa putusan-putusan hakim terdahulu, di luar peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, putusan-putusan pengadilan di negara-negara bersistem common law juga makin sarat dengan acuan-acuan legislasi, di samping tentu saja

putusan-putusan kasuistik yang memiliki perseden mengikat (the binding force of precedent).

Istilah ‘yurisprudensi’ diambil dari bahasa Belanda ‘jurisprudentie’ tetapi tampaknya tidak secara persis dapat dialihbahasakan menjadi ‘jurisprudence’ dalam bahasa Inggris. Istilah yang lazim dipakai untuk yurisprudensi dalam kosa kata Inggris adalah judge-made law, case law, precedent, atau precedential decision.

Karakteristik yurisprudensi dalam literatur sistem civil law terbilang unik. Ia berasal dari putusan-putusan hakim yang berkarakter kasuistis, individual, dan konket (in concreto). Hakim-hakim dalam keluarga sistem ini sejak lama diajarkan untuk tidak menjadikan putusan konkret itu sebagai sebuah aturan umum (lihat Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesië). L.A.J. van Apeldoorn (1985: 171), misalnya, menyebutkan putusan pengadilan di negara-negara dengan tradisi civil law bukan sebagai sumber hukum, melainkan sekadar faktor yang membantu pembentukan hukum.

Seperti disebutkan di atas, ternyata pandangan demikian mulai bergeser. Pengadilan juga mulai dibebani untuk menciptakan hukum melalui berbagai metode penemuan hukum.Bahkan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diberi otoritas untuk melakukan uji material, yang notabene putusannya terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang berimplikasi sebagai aturan general.Artinya, ketentuan Pasal 21 AB sebenarnya harus dibaca secara berbeda saat ini.

Dalam tradisi common law, pada hakikatnya semua putusan pengadilan berpotensi untuk menjadi yurisprudensi, atau paling tidak terikat di dalam rangkaian mata rantai yurisprudensi. Para hakim di sana selalu disibukkan pada pencarian

Page 110: Jurnal Desember 2012

338 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

dasar preseden atas kasus-kasus yang tengah ditangani. Dalam hal tidak ditemukan alasan mendasar yang kuat (ratio decidendi) untuk menyimpang dari preseden, hakim-hakim tesebut akan tetap bertahan menjustifikasi preseden itu dan memasukkan putusan mereka sendiri ke dalam rangkaian pembenaran atas preseden tersebut. Dalam hal ini, tingkat prediktabilitas atau kepastian hukum akan terjaga.

Hal yang sedikit berbeda terjadi dalam tradisi civil law.Di sini tingkat prediktabilitas putusan hakim tidak dibangun melalui rangkaian preseden, melainkan bersandar pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang diformulasikan secara abstrak (in abstracto). Hakim-hakim benalar dengan menerapkan silogisme yang memposisikan premis mayornya secara konsisten, berangkat dari pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Ada asumsi bahwa dengan menggunakan basis premis mayor yang sama, kepastian hukum akan lebih terjaga daripada menggunakan putusan hakim. Pemikiran seperti ini sesungguhnya tidak selalu benar.

Mekanisme penjatuhan putusan dengan penggunaan preseden jelas lebih detail karena dasar hukum dan fakta yang tercantum dalam tiap-tiap putusan mendapat perhatian yang sama untuk ikut dipertimbangkan. Di sini hakim-hakim akan mencari titik berdiri yang sama antara kasus yang tengah ditanganinya dengan kasus-kasus serupa sebelumnya. Sementara pada keluarga civil law, hakim-hakim tidak termotivasi untuk mempelajari detail kasus-kasus terdahulu, dalam arti seberapa jauh fakta-faktanya memiliki perbedaan dan persamaan satu sama lain. Bahkan ketika muncul yurisprudensi, biasanya yang dicermati hanyalah kaidah yurisprudensinya saja, tidak sampai menyentuh rangkaian fakta pada putusan-putusan itu. Hal ini mengakibatkan pengutipan

yurisprudensi pada putusan-putusan pengadilan, khususnya yang ditemukan di Indonesia, menjadi sangat sumir (dangkal), seadanya, tanpa elaborasi, apalagi disertai tinjauan kritis.

Salah satu penyebab yang dapat diidentifikasi adalah karena hakikat yurisprudensi itu sendiri ternyata sangat kabur dalam literatur para penegak hukum.Terminologi “yurisprudensi tetap” dan “yurisprudensi tidak tetap” misalnya, makin membuktikan kegamangan para aparat penegak hukum dalam memposisikan arti penting sumber hukum yang satu ini.Buku yurisprudensi terbitan Mahkamah Agung tidak secara serius diperlakukan sebagai referensi wajib, bahkan kerap kaidah-kaidahnya ditabrak oleh para hakim, tanpa disertai catatan apapun.

Fenomena yang lebih serius muncul dalam situs resmi Mahkamah Agung yang justru secara membingungkan memberi label yurisprudensi pada sekian banyak putusan tanpa pernah memperlihatkan di mana nilai lebih dari putusan-putusan berpredikat yurisprudensi itu. Tidak ada informasi terkait indikator penilaian putusan-putusan berkategori yurisprudensi ini, termasuk siapa pejabat yang berwenang menetapkannya.

Dalam beberapa paragraf di muka telah disinggung tentang ratio decidendi. Perlu dicatat bahwa ratio decidendi (plural: rationes decidendi) ini biasanya dibedakan dengan obiter dictum (plural: obiter dicta), yaitu fakta atau pernyataan irelevan, yang terungkap atau disampaikan selama proses di persidangan. Nilai suatu putusan tentu terletak pada ratio decidendi ini, bukan pada obiter dicta. Kendati demikian, tidak mudah untuk mengungkapkan formulasi ratio decidendi karena kerap tidak dituangkan secara eksplisit di dalam putusan hakim. Perlu kejelian untuk dapat membongkar landasan pemikiran hakim itu dan

Page 111: Jurnal Desember 2012

338 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 339

menyajikannya kembali sebagai sebuah atau beberapa proposisi standar, yang pada gilirannya dapat dinilai derajat kebenarannya.

Kaidah yurisprudensi sebagai formulasi atas hasil penemuan hukum termasuk dalam kriteria ratio decidendi. Kaidah yurisprudensi terkadang tidak secara sadar dirumuskan dan baru terpikirkan kemudian oleh orang lain yang membaca putusan itu di kemudian hari. Hanya saja, tidak mungkin ada hakim yang beritikad baik bersedia menyembunyikan ratio decidendi dalam putusannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sir Alfred Denning (1955: 178), “In order that a trial should be fair, it is necessary, not only that a correct decision should be reached, but also that it should be seen to be based on reason; and that can only be seen if the judge himself states his reason.”

Apabila fokus tulisan ini dikembalikan ke objek kajian, yakni putusan Mahkamah Agung Nomor 777 K/Pid.Sus/2009, maka setelah melalui rangkaian pengkajian, berhasil ditemukan formulasi ratio decidendi yang diderivasi dari pertimbangan-pertimbangan hukum.Ada dua rangkaian silogisme yang dapat dijadikan tolok ukur menerapkan ratio decidendi tersebut.

Premis mayor “Semua perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan” adalah salah satu alasan atau dasar pertimbangan yang paling penting dalam putusan ini. Ini adalah sebuah ratio decidendi. Justru atas dasar proposisi dalam premis mayor inilah maka dapat dimunculkan konklusi yang menyatakan bahwa inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah tindakan di luar objek pemidanaan.

Dalam doktrin hukum pidana, proposisi yang tertuang dalam premis mayor ini merupakan sebuah prinsip hukum yang dikenal dengan asas legalitas. Oleh karena struktur silogisme kategoris seperti di atas menggunakan logika deduksi yang memperagakan sistem logika tertutup (closed logical system), maka sekilas terkesan tidak ada yang salah dalam rumusan di atas.

Skeptisisme terhadap aturan dalam premis mayor (rule-skepticism) barangkali tidak mampu menjawab kemungkinan adanya logika melompat (jumping to conclusion) dalam silogisme tersebut, tetapi bagaimana dengan skeptisisme terhadap fakta (fact-skepticism)? Sikap skeptis terhadap fakta ternyata menunjukkan bahwa dalam premis minor pun ada kemungkinan terjadi kesesatan irelevansi (ignoratio elenchi).

Premis minor yang berbunyi “Inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun

P e r m i s mayor

Semua perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan.

P r e m i s minor

Inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Konklusi Inisiatif Terdakwa I mengikat perjanjian dengan pihak lain untuk pemanfaatan teknologi VoIP pada tahun 2001 adalah tindakan di luar objek pemidanaan.

Page 112: Jurnal Desember 2012

340 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

2001 adalah perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan” ternyata diberi pertimbangan yang berbeda, bukan berkenaan dengan ada tidaknya izin dari Dirjen Postel, melainkan lebih pada penetapan tarif.

Terkait tentang hal di atas, majelis hakim kasasi mendasarkan asas legalitasnya tidak pada ketentuan mana yang lebih dulu berlaku, melainkan menilik pada materi muatannya. Menurut majelis, alasan bahwa perjanjian kerja sama (PKS No. 196/28/HK.801/RE7-DPR 00/2001) antara antara Kandatel Denpasar dengan Koperasi Siporennu adalah terminasi VolP (penyaluran traffic incoming dan traffic outgoing).

Perbedaan penyaluran trafik percakapan (voice) atau percakapan telepon biasa, sehingga untuk itu tidak dapat diterapkan ketentuan tarif retail sebagaimana diatur KM.9/1999 tentang Tarif Jasa Telepon dan Birofax Dalam Negeri jo.KM.12/1999 Tentang Tarif Jasa Jaringan Digital Pelayanan Terpadu (JDPT). Tarif VolP baru diatur pada tahun 2002 melalui KM 23/2002 tertanggal 26 Maret 2002 dan setelah diaturpun ternyata dalam Pasal 14 dan Pasal 15 yang mengatur tentang Tarif dan Biaya, menyebutkan bahwa tarif jasa internet teleponi tersebut ditetapkan oleh penyelenggara jasa internet teleponi yang dihitung dengan mengacu pada dasar biaya (cost based). Lalu dinyatakan, bahwa besarnya biaya akses dan biaya sewa jaringan telekomunikasi ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan penyelenggara jasa internet telepon.

Padahal, tarif JDPT/ISDN itu adalah tarif telepon biasa yang dipergunakan juga diwilayah Divre VII, karena ini trafik VolP maka tarifnya

berdasarkan mekanisme pasar.Dengan perkataan lain, tarifnya tidak dapat ditentukan dengan tarif berdasarkan KM 9/1999 dan KM 12/1999.Bahwa jika tidak ada aturan yang mengatur sebagaimana asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.

Fakta lain yang juga tidak ikut dipertimbangkan adalah adanya perjanjian antara Koperasi Siporennu dan PT KDN, yang dibuat untuk menyiasati ketiadaan izin Dirjen Postel yang seharusnya dikantongi oleh PT KDN. Artinya, terlepas dari urusan tarif yang lebih bersinggungan dengan tata cara perhitungan dan ada tidaknya kerugian negara dalam kasus ini, maka fakta lain menunjukkan para pihak secara sadar mengetahui adanya penyimpangan aturan ini dan ada upaya-upaya untuk menutupi penyimpangan ini.

Persoalannya adalah apakah penyimpangan demikian merupakan kesalahan (schuld) di dalam hukum pidana? Untuk itu, ada satu silogisme kedua yang tidak secara eksplisit muncul dalam pertimbangan putusan, namun kuat diduga muncul sebagai ratio decidendi majelis hakim:

P e r m i s mayor

Semua pelanggaran izin usaha yang bebas dari ancaman pemidanaan adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana.

P r e m i s minor

Luputnya PT KDN memenuhi ketentuanKeputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DIRJEN/2001 adalah pelanggaran izin usaha yang bebas dari ancaman pemidanaan.

Page 113: Jurnal Desember 2012

340 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 341

Perspektif yang memisahkan secara tegas domain hukum administrasi dengan hukum pidana tampaknya secara dominan dipegang cukup erat oleh kebanyakan pakar hukum pidana di Indonesia.Kecenderungan pemikiran seperti ini diperkuat oleh pendekatan (ajaran) sifat melawan hukum pidana formal dalam tindak pidana korupsi yang telah dikukuhkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Dalam sejarah hukum Indonesia, Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 572 K/Pid/2003, misalnya, juga telah membebaskan Terdakwa AT dengan menggunakan dasar pemikiran yang sama.

Silogisme ketiga yang dapat diformulasikan dari putusan ini adalah pandangan hakim tentang perhitungan kerugian negara. Setelah melalui perhitungan ulang, pihak JPU meyakini bahwa seharusnya hak PT TI yang bisa didapat dari perjanjian kerja sama tersebut adalah sebesar Rp27.689.043.165,00. Kenyataannya, uang yang masuk dari PT KDN hanya sekitar Rp1.736.015.500,00.

Bahkan menurut keterangan yang terungkap di persidangan, uang inipun ternyata hanya digunakan untuk biaya operasional Kandatel Denpasar dan untuk pembelian mobil Terdakwa I. Majelis hakim berpendapat, taksiran pendapatan Rp27 milyar lebih itu hanyalah asumsi, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara.

Di sini terlihat bahwa mayoritas anggota majelis hakim menilai kerugian negara haruslah riil, tidak termasuk potential lost. Apabila dibentangkan ke dalam format silogisme, akan tampak rumusan sebagai berikut:

Majelis hakim kasasi sendiri tampaknya tidak bersepakat bulat tentang dasar perhitungan kerugian negara ini. Salah satu hakim anggota, DD ketika memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) malahan lebih suka memakai perhitungan kerugian negara sebesar Rp36.122.211.839. Ia juga tidak sependapat dengan penilaian bahwa judex facti tidak cukup dalam memberikan pertimbangan dalam putusannya (onvoldoende gemotiveerd).

Cara pandang yang menolak model perhitungan potensial mulai ditinggalkan dalam beberapa jenis tindak pidana. Kerugian potensial di dalam tindak pidana lingkungan hidup,

P e r m i s mayor

Semua besaran kerugian negara yang riil dihitung di luar asumsiadalah jumlah kerugian negara menurut perhitungan yang sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

P r e m i s minor

Besaran kerugian potensial sebesar Rp27 milyar yang diderita PT Telkomadalah bukan besaran kerugian negara yang riil dihitung di luar asumsi.

Konklusi Besaran kerugian potensial sebesar Rp27 milyar yang diderita PT Telkom adalah bukan jumlah kerugian negara menurut perhitungan yang sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Konklusi Luputnya PT KDN memenuhi ketentuan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 199/DIRJEN/2001 adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana.

Page 114: Jurnal Desember 2012

342 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343

misalnya, biasanya juga mencakup dampak luas dari kerusakan lingkungan yang tidak mungkin hanya dinilai secara riil dari banyaknya tumpukan kayu yang berhasil disita.

Rusaknya ekosistem dan perlunya sekian puluh tahun untuk memulihkan lingkungan serta dampak negatif yang terus mengancam selama ekosistem belum terpulihkan, adalah kerugian potensial yang harus ikut diperhitungkan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tampaknya juga membutuhkan terobosan tentang tata cara perhitungan kerugian negara, sehingga asumsi kerugian potensial seyogianya tidak boleh ditutup kemungkinannya.

Silogisme terakhir yang dapat diajukan sebagai ratio decidendi adalah terkait dengan rasa keadilan yang dicerna oleh majelis hakim. Dalam perkara yang sama, Terdakwa III dan IV telah diberikan kebebasan, sehingga mayoritas anggota majelis berpendapat seharusnya Terdakwa I pun diberi ganjaran yang sama. Silogisme yang muncul kurang lebih sebagai berikut:

Pada silogisme di atas, premis mayor yang secara implisit diberi makna: “Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan dengan keadilan” adalah sebuah proposisi yang lazim dikenal sebagai asas similia similibus, yang dipandang sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Berangkat dari pasal ini, apabila dikonstruksikan secara a-contrario, maka jika ada sejumlah terdakwa telah dijatuhi pidana, maka demi keadilan, terdakwa lain yang juga melakukan tindakan dalam kasus yang sama, juga seharusnya ikut dipidana. Lagi-lagi, alur pemikiran demikian justru tidak secara konsisten dijaga oleh Mahkamah Agung sendiri. Sebagai contoh, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 (kasus AT), tatkala Terdakwa II H. DS selaku Ketua Yayasan Raudhatul Jannah dan Terdakwa III WS selaku Direktur PT. BLTB, telah dijatuhi pidana, ternyata Terdakwa I AT justru dibebaskan.

SIMPULANIV.

Seandainya kita dapat membenarkan klaim dari situs resmi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa putsuan Nomor 777K/

P e r m i s mayor

Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan dengan keadilan.

P r e m i s minor

Putusan Judex Facti yang menghukum Terdakwa I sementara membebaskan Terdakwa III dan IV adalah bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya.

Konklusi Putusan Judex Facti yang menghukum Terdakwa I sementara membebaskan Terdakwa III dan IV adalah bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya.

Page 115: Jurnal Desember 2012

342 | Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 3 Desember 2012: 331 - 343 Mencari jarum ‘Kaidah’ di Tumpukkan Jerami ‘ Yurisprudensi’ (Shidarta) | 343

Pid.Sus/2010 ini adalah yurisprudensi, maka setidaknya ada empat proposisi yang layak untuk diidentifikasi sebagai ‘calon-calon’ kaidah yurisprudensi tersebut.

1. Semua perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundang-undangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan.

2. Semua pelanggaran izin usaha yang bebas dari ancaman pemidanaan adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana.

3. Semua besaran kerugian negara yang riil dihitung di luar asumsi adalah jumlah kerugian negara menurut perhitungan yang sah sesuai dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan dengan keadilan.

Kaidah yurisprudensi pada hakikatnya mengandung penemuan hukum baru yang lahir melalui terobosan terhadap ketidaklengkapan atau ketiadaan sumber-sumber formal hukum.Lazimnya, kaidah yurisprudensi yang memiliki nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber formal hukum adalah kaidah yang memperluas makna, bukan mempersempit makna.Dari keempat proposisi di atas, tampak bahwa tidak ada satupun yang mengandung penemuan hukum baru, sekaligus juga memperluas makna sebuah konsep hukum.

Teknik pencarian kaidah yurisprudensi sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ini,

dapat menjadi metode yang lebih komprehensif dalam mencermati kualitas putusan-putusan yang terlanjur berlabelkan ‘yurisprudensi’. Semangat dan langkah untuk mencermati putusan-putusan hakim akan mendorong lahirnya putusan-putusan yang didukung pertimbangan yang bernas (motivering vonis). Jangan sampai terjadi, pencarian kita terhadap kaidah-kaidah yurisprudensi yang mencerahkan itu bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.

DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorn, L.J. van.1985. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. Jakarta: Pradnya Paramita.

Denning, Sir Alfred. 1955. The Road to Justice. London: Stevens & Sons.

Peczenik, Aleksander. 1989. On Law and Reason. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Savelos, Elias E. & Richard F. Galvin. 2000. Reasoning and the Law: the Elements. Stamford: Wadsworth.

Shidarta.2006. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Utomo.

Vandevelde, Kenneth J. 1996. Thinking Like A Lawyer: An Introduction to Legal Reasoning. Oxford: Westview Press.

Page 116: Jurnal Desember 2012

BIODATA PENULIS

Liza Farihah, memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012. Penulis mengambil fokus studi Hukum Administrasi Negara dan Konstitusi. Selama masa kuliahnya, Penulis aktif dalam kegiatan organisasi internal kampus seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI dan menjabat sebagai Manajer Penelitian pada tahun 2010. Tidak hanya terlibat dalam dunia akademis dan organisasi, Penulis juga aktif dalam kegiatan menulis dan meneliti. Penulis merupakan pemimpin tim penelitian berjudul “Analisis Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi dengan Alasan Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliuran Yang Nyata di Mahkamah Agung”, sebuah penelitian yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Penulis juga mendapat banyak penghargaan dalam berbagai bidang kompetisi mahasiswa seperti runner up Lomba Debat Hukum Nasional Universitas Padjajaran pada tahun 2011, second runner up sebagai pembicara terbaik dalam kompetisi yang sama, anggota tim yang memperoleh medali emas pada cabang Quiz di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia pada tahun 2010. Kontak 08568417888.

Femi Angraini, memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2012. Penulis memilih program Hukum Acara/Praktisi sebagai fokus studinya. Fokus kajian Penulis dalam bidang penelitian adalah Hukum Acara Pidana baik teori maupun prakteknya. Penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan penelitian selama masa kuliahnya. Pada tahun 2010, Penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI. Di samping kegiatan organisasi, Penulis juga terlibat dalam berbagai penelitian dalam bidang hukum. Penulis merupakan salah satu anggota tim penelitian berjudul “Analisis Perkara Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi dengan Alasan Kekhilafan Hakim atau Suatu Kekeliuran Yang Nyata di Mahkamah Agung”, sebuah penelitian yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Pada tahun yang sama Penulis juga terlibat sebagai anggota tim penelitian yang berjudul “Monitoring Legal Aid in Indonesia: The Rights of Suspect/Defendant to Access Legal Counsel”. Kontak 081317734652.

Marwan Mas, lahir di Bulukumba Sulawesi Selatan tahun 1962. Saat ini dosen Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar. Pendidikan terakhir S3 Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin tahun 2005. Mengajar matakuliah Pengantar Ilmu Hukum (untuk S1), Teori Hukum di Pascasarjana, Sosiologi Hukum, Hukum Acara Pidana, Tindak Pidana Korupsi, dan Hak Asasi Manusia. Menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum” yang diterbitkan Ghalia Indonesia. Mengikuti berbagai pertemuan ilmiah dan narasumber pada seminar, diskusi, dan lokakarya di tingkat nasional dan regional. Aktif menulis di Jurnal Ilmiah dan berbagai media cetak, baik lokal (Harian Fajar dan Tribun Timur Makassar) maupun koran nasional (Kompas, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara Karya, dan Koran Tempo).Kontak 08164381641.

Page 117: Jurnal Desember 2012

Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986. Hijrah dari Blora Jawa Tengah ke Jakarta untuk mengembangkan keilmuan sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. Pengajar muda ini menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 2009 dan S2 melalui jalur program Beasiswa Kementerian Pendidikan Nasional konsentrasi Hukum Ekonomi & Teknologi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, selesai tahun 2011. Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini tercatat pernah menjadi staff legal dan tim penyuluh hukum di Lembaga Bantuan Hukum Jawa Tengah tahun 2009 hingga sekarang. Kemudian dengan pikiran progresifnya, bersama-sama generasi satjipto muda program Pascasarjana Ilmu Hukum angkatan 2008 dan angkatan 2009, sepakat untuk mendirikan Satjipto Rahardjo Institute di Semarang sebagai staff peneliti yang konsen di bidang pengkajian hukum progresif dalam lingkaran penegakan hukum di Indonesia. Kontak 085741204128.

Bambang Sutiyoso, lahir di Banjarnegara tanggal 20 Januari 1971. Menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UII Tahun 1994, meraih gelar Magister Humaniora dalam bidang ilmu hukum dari Program Pasca Sarjana UGM tahun 2001 dan sekarang sedang menempuh program doktor Ilmu Hukum di FH UGM. Diangkat sebagai tenaga pengajar / dosen tetap mata kuliah hukum acara di Fakultas Hukum UII Yogyakarta sejak tanggal 1 April 1995 dan mengajar di program Magister Hukum UII mulai tahun 2005. Pada tahun 1996 dilantik sebagai pengacara praktek di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan sebagai Advokat sejak tahun 2004 (N.I.A. : A.96.11156). Selain aktif mengajar, juga produktif menulis buku-buku hukum dan jurnal. Pernah dipercaya menjadi Tim Eksaminator putusan gugatan “darah” Udin dari tingkat PN sampai kasasi MA pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Indonesian Court Monitoring (ICM) dan pernah menjadi konsultan hukum di Ruang Sahabat Keluarga (RSK) Jogjakarta. Jabatan yang pernah dipegang antara lain sebagai Ketua Umum KKS (Kelompok Kerja Sosial) UPAKARA-Yogyakarta 1993-1994, Sekretaris pimpinan FH UII tahun 1996, Ketua Takmir Masjid Al Azhar FH UII tahun 1996-1998, Ketua IKAPURA-Banjarnegara 1996-1997, Kabid Kajian dan Penelitian Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII tahun 1997-1998, Ketua Departemen Hukum Acara FH UII tahun 2001-2006 dan sekaligus menjadi anggota senat UII, dan diberi amanah sebagai Sekretaris Program Studi Fakultas Hukum UII (2006-2010), Wakil Direktur Corner Institut Yogyakarta (2008 s/d sekarang), Ketua KUB UPAKARA Sleman Yogyakarta (2008 s/d sekarang), serta Kabid. Litbang Peradi Kota Yogyakarta (2009-2013). Jabatan akademik Lektor Kepala diperolehnya sejak tanggal 1 Juli 2005 berdasarkan S.K. Mendiknas RI Nomor 40870/A2.7/KP/2005 dan lulus sertifikasi dosen (serdos) pada gelombang pertama bulan November 2008. Kontak 08122705602.

Riko Fajar Romadhon, selama masa kuliah merupakan mahasiswa yang aktif di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan fokus studi Hukum Bisnis. Penulis memperoleh gelar sarjana hukumnya pada tahun 2012. Fokus kajian Penulis dalam penelitiannya adalah Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Bisnis Internasional. Selama masa studinya, Penulis juga terlibat dalam kegiatan organisasi baik internal maupun eksternal seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI sebagai peneliti dan Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai Kepala Departemen Pengabdian Masyarakat pada tahun 2011.

Page 118: Jurnal Desember 2012

Penulis juga terlibat memiliki pengalaman penelitian sebagai volunteer di Legal Aid Institute. Di samping kegiatan akademis dan organisasi, Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan penelitian yang salah satunya adalah Penelitian Besar Mahasiswa dalam Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Pada tahun 2011, Penulis mendapat penghargaan sebagai runner up dalam Contract Drafting Competition yang diselenggarakan oleh Bussiness Law Society, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hingga saat ini, Penulis masih terlibat aktif dalam berbagai kegiatan penelitian. Kontak 085643380500.

M. Fathan Nautika, memperoleh gelar sarjana hukum pada tahun 2012 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan program studi Hukum Administrasi Negara dan Konstitusi. Fokus kajian dalam penelitiannya adalah Hukum Lingkungan baik segi administrasi maupun prakteknya. Akan tetapi, Penulis juga tertarik dalam bidang hukum lain seperti Hak Asasi Manusia dan Hukum Progresif. Selama masa kuliahnya, Penulis terlibat secara aktif dalam kegiatan organisasi baik internal maupun eksternal seperti Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI sebagai Manajer Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia pada tahun 2010 dan Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota Departemen Pengembangan Masyarakat pada tahun 2009. Kontak 081210640002.

Shidarta, lahir di Pangkalpinang (1967). Saat ini ia adalah dosen program sarjana dan pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Katolik Parahyangan ini mengasuh beberapa mata kuliah, antara lain Filsafat Ilmu, Filsafat Hukum, Penalaran Hukum, dan Hukum Perlindungan Konsumen. Beberapa buku terkait bidang-bidang tersebut telah dipublikasikannya dalam ranah filsafat hukum, penalaran hukum, metode penelitian hukum, sosiologi hukum, dan perlindungan konsumen. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi anggota tim pakar penelitian dan salah seorang Mitra Bestari Jurnal Yudisial dari Komisi Yudisial Republik Indonesia. Komunikasi dengan yang bersangkutan dapat dilakukan melalui Kontak 0818861497.

Page 119: Jurnal Desember 2012

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAH

1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH

Judul NaskahJudul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis

di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan Identitas PenulisNama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.

Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad TariganFakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

email [email protected].

Page 120: Jurnal Desember 2012

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN I.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH II.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

SIMPULANIV.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

1. Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...2. Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52); 3. Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);4. Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

Page 121: Jurnal Desember 2012

Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah yang kredibel.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:[email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected].

Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atauArnis (08121368480).

Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57

Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.