JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf ·...

216
. VOLUME 2, NOMOR 2, DESEMBER 2010 ISSN 2085-6644 JCH Volume 2 Nomor 2 Halaman 211-413 Banjarmasin Desember 2010 ISSN 2085-6644 JURNAL CITA HUKUM

Transcript of JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf ·...

Page 1: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

VOLUME 2, NOMOR 2, DESEMBER 2010 ISSN 2085-6644

JCH Volume 2 Nomor 2 Halaman211-413

Banjarmasin Desember 2010

ISSN2085-6644

JURNALCITA HUKUM

Page 2: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

JURNAL CITA HUKUM (JCH)ISSN 2085-6644

Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-413

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, hasil pemikiran atau resensi buku yang berasal dari kajian-kajian hukum. ISSN 2085-6644

Jurnal Cita Hukum (JCH) merupakan perubahan nama dari Jurnal Orientasi (Majalah Pembinaan Pengembangan Hukum dan Kemasyarakatan), ISSN 0216-1592 yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

PelindungDekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Ketua PengarahRachmadi Usman, SH, MH.

Ketua PenyuntingYulia Qamariyanti, SH, M.Hum.

Anggota PenyuntingErlina, SH, MH.

Rahmat Budiman, SH, LLM.

Dewan RedaksiDr.H.Abdurrahman, SH, MH. (Mahkamah Agung RI)

Prof.Dr.H.M.Hadin Muhjad, SH,M.Hum.(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat)

DR. Abdul Halim Barkatullah, SH, MH .(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat)

Alamat:Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Jalan Brigjend H.Hasan Basry Banjarmasin 70123, Telpon. 081351323769/085249774568/081392714980

e-mail: [email protected] dan [email protected]

Dicetak Oleh:CV. Lingkar MediaSidobali UH II/399 Yogyakarta0274- 580296, 6954040,6861550

Page 3: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

JURNAL CITA HUKUM (JCH)ISSN 2085-6644

Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-413

DAFTAR ISI

Susunan Pengelola ............................................................................................. ii

Daftar Isi ............................................................................................................ iii

Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslimdi Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan Rahmat Budiman(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 211-235

Faktor yang Mempengaruhi Pengaduan Tindak Kekerasan dalamRumah Tangga Terhadap Perempuan di Kota BanjarmasinMulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 237-261

Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam ProsesPeradilan Pidana Kasus Narkoba di BanjarmasinAhmad Syaufi(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 263-283

Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 Tahun 2000 dan Perda Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Kebersihan Terhadap Prilaku Membuang Sampah ke SungaiRahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 285-303

Pengembangan Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian dalam RangkaMeningkatkan Perlindungan Terhadap Petani (Studi di Provinsi Kalimantan Selatan)Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 305-341

Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam PenegakanHukum Persaingan UsahaRachmadi Usman(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 343-362

Page 4: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Demokrasi dan Ketatanegaraan IndonesiaM. Rifqinizamy Karsayuda(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin)) ................ 363-373

Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan SyariahDalam Perspektif Hukum Ekonomi SyariahNurunnisa(Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) ................. 375-401Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan danPeranannya dalam Perdagangan InternasionalDermawati Sihite(Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) .................. 403-413

Biodata Penulis .................................................................................................. 415

Indeks Pengarang ............................................................................................... 417

Pedoman Penulisan Jurnal Cita Hukum (JCH) ................................................. 419

Page 5: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

EKSISTENSI HUKUM WARIS ADAT MASYARAKAT SUKU BANJAR MUSLIM DI KECAMATAN GAMBUT KABUPATEN

BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Rahmat Budiman*

*[email protected], Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: This research is related with customary inheritance law in Muslim Banjarese tribe in sub-district of Gambut at Banjar Regency South Kalimantan Province that is focused to find out the existence of customary inheritance law and to find out the aspects of customary inheritance law which is significantly influenced by Islamic law in Muslim Banjarese tribe society. Until nowadays, there live in sub-district of Gambut at Banjar Regency South Kalimantan.The result of research are; it can be identified the substances of customary inheritance law which are still exist until today. The substances cover; the time of heir divided, heir property divided, heir based on customary law, heir share, undivided heir property, formed of determining in regard to safeguarding of children, and the legal standing of agriculture land. Furthermore, the influences of Islamic inheritance law toward customary inheritance law revoked some substances of inheritance law especially in context of Muslim Banjarese tribe society in sub-district of Gambut who was influenced by Islamic inheritance law. The substances of Islamic inheritance law which are implemented in Gambut society cover; the process of heir, using of heir property, property divide, redeem of debt, heir bequest, the legal standing of children and widow or widower.

Keywords : customary inheritance law, Islamic inheritance law, existence

Abstrak: Penelitian yang berkaitan dengan Hukum Waris Adat pada Masyarakat Suku Banjar di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan difokuskan untuk mengetahui eksistensi Hukum Waris Adat dan juga untuk mengetahui aspek dari Hukum Waris Adat yang telah dipengaruhi oleh Hukum Islam pada Masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan pada saat ini. Hasil penelitian menunjukkan:adanya Unsur-unsur Hukum Waris Adat yang masih eksis hingga sekarang. Unsur-unsur tersebut meliputi waktu diadakannya pembagian waris, pembagian harta peninggalan dan harta warisan berdasarkan Hukum Adat, bagian yang diterima ahli waris, adanya harta warisan yang tidak dibagi, wujud dari penetapan terhadap pemeliharaan anak angkat serta kedudukan tanah pertanian. Selanjutnya berkaitan dengan pengaruh Hukum Waris Islam terhadap pewarisan masyarakat setempat, ada beberapa unsur-unsur Hukum Waris dari masyarakat Kecamatan Gambut yang telah dipengaruhi oleh Hukum Waris Islam, unsur-unsur dari Hukum Waris Islam yang diterapkan dalam pewarisan pada masyarakat Kecamatan Gambut meliputi proses pewarisan yang dilakukan ketika pewaris wafat, penggunaan harta peninggalan, pembagian harta warisan secara Hukum Islam, pelunasan utang pewaris, hibah wasiat, kedudukan anak angkat dan kedudukan janda maupun duda.

Page 6: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

212 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Kata kunci: hukum waris adat, hukum waris Islam, eksistensi

Dalam pembinaan Hukum Harta Kekayaan Nasional, Hukum Adat merupakan salah satu unsur, sedangkan di dalam pembinaan Hukum Kekeluargaan dan Hukum Kewarisan Nasional merupakan intinya (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976: 251). Berdasarkan kesimpulan tersebut masuknya Hukum Adat ke dalam Sistem Hukum Nasional bukanlah secara seutuhnya tetapi hanya meliputi konsepsi hukum, asas hukum dan lembaga-lembaga hukumnya saja, itupun setelah ditingkatkan sedemikian rupa agar supaya cocok dengan perkembangan. Melalui hal itulah maka Hukum Adat akan memberikan kontribusinya bagi pembinaan hukum di negara Indonesia.

Adanya sifat dinamis dari Hukum Adat menyebabkan terjadinya perbedaan-per-bedaan dari tiap lingkungan Hukum Adat di Indonesia, serta adanya perkembangan dari Hukum Adat itu sendiri. Oleh karena itu, adat yang dulu dianggap sebagai Hukum Adat, besar kemungkinan pada saat sekarang ini sudah menjadi hukum yang telah mengalami perkembangan dari Hukum Adat sebelumnya sehingga perlunya penelaahan yang men-dalam dan secara terus menerus pada Hukum Adat di Indonesia.

Selain itu proses pembentukan Hukum Adat baru dalam masyarakat berjalan terus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi eksistensi Hukum Adat di Kalimantan Selatan yang masih merupakan The Living Law khususnya yang berkaitan dengan Hukum Waris Adat serta berbagai permasalahan apa saja yang muncul dari adanya Hukum Waris Adat yang masih hidup ini.

Mengenai Hukum Adat Kalimantan Selatan khususnya yang berkaitan dengan Masya rakat Suku Banjar, sebenarnya sudah pernah dilakukan beberapa penelitian dian-taranya penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1976 tentang Warisan Di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Hanya saja penelitian yang dilakukan secara spesifik terhadap satu wilayah yang berskala lebih sempit dan identifikasi permasalahan secara spesifik di wilayah yang lebih sempit itu di Provinsi Kalimantan Selatan masih sangat sedikit, terutama penelitian yang ditujukan mengenai Hukum Waris Adat di beberapa wilayah Kalimantan Selatan seperti tingkat kabupaten maupun wilayah kecamatan. Penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut juga masih perlu ditelaah kembali apakah hasil penelitian itu masih eksis hingga saat ini, mengingat sifat dari Hukum Adat yang dinamis.

Masyarakat Suku Banjar mayoritas memeluk Agama Islam. Hal ini tentunya mempengaruhi segala kegiatan yang terjadi di dalam masyarakat Suku Banjar itu sendiri. Meskipun sebagai penganut agama Islam yang cukup taat, tetapi dalam pelaksanaannya tidak sepenuhnya Hukum Islam ini dapat diterapkan karena masih kuatnya pengaruh adat dari masyarakat setempat.

Adanya dua pengaruh hukum ini yakni Hukum Islam dan Hukum Adat, maka sering kali menimbulkan berbagai persoalan di mana adanya pilihan hukum antara kedua sistem hukum ini yakni apakah tetap menerapkan Hukum Adat yang selama ini masih berlaku atau kah dengan menerapkan Hukum Islam sebagai hukum dari agama yang secara mayoritas dianut masyarakat Suku Banjar.

Page 7: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 213

Mengenai Hukum Waris pada masyarakat Suku Banjar, mengingat mayoritas ber-agama Islam maka seyogyanya Hukum Waris yang dipergunakan adalah Hukum Waris Islam. Namun pada kenyataannya Hukum Waris Islam ini sangatlah sulit untuk di-terapkan secara murni (kaffah) di masyarakat Suku Banjar. Hal ini sebagaimana diuraikan sebelumnya, terjadi karena masih kuatnya pengaruh Hukum Adat yang ada di masyarakat. Namun dengan adanya pilihan hukum antara Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam justru menimbulkan faktor yang saling mempengaruhi dan menimbulkan pluralisme di bidang Hukum Waris yaitu antara Hukum Waris Islam dengan Hukum Waris Adat untuk dapat diterapkan dalam hal praktek pewarisan pada masyarakat Banjar.

Selain adanya aspek yang saling mempengaruhi kedua Hukum Waris tersebut, ternyata faktor-faktor geografis, pendidikan dan mata pencarian utama dari masyarakat Banjar juga menentukan pilihan hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan per-masalahan waris. Segi geografis dan mata pencarian sangatlah menentukan aspek-aspek hukum yang saling mempengaruhi.

Untuk itulah maka hal-hal ini perlu di kaji secara lebih mendalam mengenai adanya pilihan hukum atas pluralisme penerapan Hukum Waris di Provinsi Kalimantan Selatan serta eksistensi dari Hukum Waris Adat pada saat ini dan perlunya penyempitan wilayah penelitian mengingat karakteristik Suku Banjar itu sendiri walaupun merupakan suku yang sama namun memiliki pengaruh dari Hukum Islam terhadap praktek pewarisan yang berbeda-beda dilihat dimana letak geografis mereka bermukim.

Salah satu wilayah di Propinsi Kalimantan Selatan yang mempunyai karakteristik tersendiri dilihat dari sudut geografis dan mata pencarian adalah wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Meskipun Masyarakat Suku Banjar yang bermukim di wi-layah ini masih dalam lingkup Suku Banjar yang ada di Kalimantan Selatan, tetapi mengingat letak geografisnya berbeda dengan wilayah kota dan kecamatan sekitarnya, maka masyarakat Suku Banjar di wilayah ini memiliki praktek pewarisan yang di dalamnya terdapat pilihan hukum dalam hal penerapan Hukum Waris di mana terdapat pengaruh antara Hukum Islam terhadap Hukum Adat setempat.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka dipandang perlu untuk me-lakukan penelitian secara lebih spesifik terhadap eksistensi Hukum Waris Adat di wi-layah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan pada saat ini dan pengaruh Hukum Islam terhadap Hukum Waris Adat dalam Hukum Waris pada wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang diangkat dalam penulisan ini yaitu:

1. Bagaimanakah eksistensi Hukum Waris Adat pada masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan saat ini?

2. Apa sajakah aspek dari Hukum Waris Adat yang telah dipengaruhi oleh Hukum Islam pada Masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan pada saat ini?

Page 8: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

214 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Kewarisan Menurut Hukum Adat

Pengertian Hukum Waris Adat

Pada saat ini masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem hukum waris, yaitu sistem Hukum Waris Adat, sistem Hukum Waris Islam dan sistem hukum waris menurut KUH Perdata. Pengertian dan makna dari Hukum Waris Adat sampai saat ini masih bera-gam. Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap pengertian hukum waris, dikutip beberapa pemikiran konsepsional.

Van Dijk menyatakan bahwa Hukum Waris memuat peraturan hukum yang mengatur pemindahan hak milik harta benda dari generasi yang berangsur mati (yang mewariskan) kepada generasi muda (para ahli waris), (Van Dijk, 2006: 37).

Soepomo menyatakan bahwa hukum adat waris adalah:

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immatericle goederen) dari suatu angkatan manusia (generalie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akibat oleh sebab orang tua meninggal. Memang me-ninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan peng-operan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus hingga angkatan baru yang dibentuk dengan mencar dan menetasnya anak-anak, yang merupakan keluarga-keluarag baru, mempunyai dasar kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang tuanya sebagai fondamen (Imam Sudiyat, 2008: 34-35).

Hukum Waris Adat tidak mengenal hak tiap-tiap ahli waris, tetapi Hukum Waris Adat menetapkan dasar persamaan hak yaitu hak untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan memperoleh harta benda keluarga. Hukum Waris Adat juga meletakkan dasar ketentuan pada proses pelaksanaannya pembagian dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap ahli waris dimana harta ahli waris, karena pelaksanaan pembagian bisa ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang dibagi-bagi. Harta warisan adat tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, harap diperhatikan sifat (macam) asal dan kedudukan hukum daripada barang-barang warisan tersebut (Djaren Saragih, 1984: 149-151).

Hadikusuma merumuskan pengertian proses Pewarisan dalam Hukum Waris Adat yaitu:

Proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan ke-pada para ahli waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para ahli waris setelah pewaris wafat (Hilman Hadikusuma, 1990: 95).

Page 9: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 215

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan oleh Hadikusuma tersebut dinyatakan bahwa proses pewarisan tidak hanya terjadi ketika pewaris telah meninggal dunia, tapi juga dapat dilakukan ketika pewaris belum meninggal dunia. Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan , dan/atau berpesan, berwasiat serta beramanat. Ketika pewaris telah meninggal dunia berlaku cara penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala kerabat. Cara pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut Hukum Islam (Hilman Hadikusuma, 1990: 95).

Pengertian dan Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Pengertian Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya didapat dari kesimpulan yang diperoleh dari ayat-ayat Alquan maupun Hadist yang membahas mengenai Hukum Waris. Djakfar memberikan pengertian Hukum Kewarisan Islam yaitu: “Seperangkat aturan-aturan hukum tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan berapa bagian-bagiannya masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan syariat”(Idris Djakfar dan Yahya Taufik, 1995: 4).

Pengertian Hukum Kewarisan Islam secara istilah, menurut Ash-Shabuni yaitu: “Berpindahnya hak kepemilikan dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i” (Muhammad Ali As-Shabuni, 1996: 33).

METODE PENELITIAN

Sifat dari penelitian adalah yuridis sosiologis yaitu suatu studi hukum yang melihat hukum sebagai gejala atau pranata sosial. Menurut Soerjono Soekanto, di dalam apli-kasinya, sifat dari penelitian yuridis sosiologis ini tidak dikonsep sebagai gejala normatif yang otonom tetapi sebagai pranata sosial yang secara riil akan dikaitkan dengan peraturan yang berlaku, karena kenyataan menunjukkan bahwa dalam masyarakat terutama masyarakat adat senantiasa mempunyai satu aturan dan kebiasaan sendiri (Soejono Soekanto, 2005: 52).

Bahan yang dikumpulkan dalam penelitian ini, diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Untuk Penelitian Kepustakaan: Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer, terdiri dari:

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Staatsblad Nomor 23 tahun 1847;

2. Undang-undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang tertuang di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;

3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;

4. Keputusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 September 1956 Reg. No. 51/K/Sip/1956.

Page 10: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

216 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

5. Keputusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 November 1960, Reg. No. 302/K/SIP/1960;

Bahan hukum sekunder, diantaranya: Berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan pewarisan adat, berbagai hasil penelitian mengenai pewarisan adat, hasil kesimpulan seminar, mengenai pewarisan adat. Dan bahan hukum tersier, terdiri dari: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Inggris Indonesia.

Untuk Penelitian Lapangan: Data yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah data primer, tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah pewarisan adat. Untuk memperoleh data primer tersebut maka ditentukan lokasi dan subyek penelitian. Penentuan lokasi dan subjek penelitian dalam pelaksanaan penelitian lapangan ini di-tentukan sebagai berikut:

Lokasi Penelitian: Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan dimana dari 13 (tiga belas) desa yang terdapat pada Kecamatan Gambut itu dipilih 3 (tiga) desa sebagai sampel penelitian mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan. 3 (tiga) desa yang dipilih adalah Kelurahan Gambut, Desa Malintang Baru, dan Desa Guntung Papuyu. Dipilihnya Kelu-rahan Gambut dikarenakan Kelurahan Gambut terletak di wilayah yang tingkat mo bilitas penduduknya cukup tinggi dan memiliki akses dengan dunia luar yang cukup terbuka karena terletak di wilayah jalan Trans Propinsi Kalimantan yaitu Jalan Ahmad Yani, yang menghubungkan antara Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru serta memiliki wilayah terluas di Kecamatan Gambut yakni 2.722 Ha dengan jumlah penduduk terbesar yakni 14.045 jiwa. Dipilihnya Desa Malintang Baru dikarenakan Desa Malintang Baru memiliki jumlah penduduk yang terkecil di Kecamatan Gambut yakni 509 jiwa dan memiliki lokasi yang berjarak cukup jauh dari Ibukota Kecamatan Gambut tetapi masih memiliki tingkat mobilisasi penduduk karena terletak di wilayah Lingkar Selatan Propinsi Kalsel yang merupakan areal lalu lintas angkutan pertambangan dari Kabupaten Banjar menuju kota Banjarmasin. Dipilihnya Desa Guntung Papuyu dikarenakan Desa Guntung Papuyu merupakan Desa yang terletak di bagian paling Selatan Kecamatan Gambut serta memiliki jarak yang terjauh dari ibukota Kecamatan Gambut dengan jarak ± 18 km namun memiliki tingkat mobilitas penduduk yang sangat rendah karena terkendala oleh sarana dan prasarana transportasi serta akses jalan darat yang masih relatif sulit. Untuk pemilihan tiga wilayah sebagai sampel dari penelitian ini di dasarkan kepada pertimbangan bahwa apabila telah diperoleh hasil yang merupakan tujuan dari penelitian ini maka tidak lagi dibutuhkan pengulangan pengumpulan data pada lokasi penelitian yang lain (Suharsimi Arikunto, 1993: 113).

Subjek Penelitian: Penelitian ini dibatasi hanya Masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya masyarakat suku Banjar Muslim yang telah/pernah melakukan pembagian waris. Adapun yang menjadi subjek penelitian ialah: Responden: Responden pada penelitian ini ialah pewaris dan ahli waris yang pernah melakukan praktek pewarisan. Pewaris adalah orang yang meninggalkan harta kekayaannya yang diwariskan kepada ahli waris. Adapun yang dimaksud dengan ahli waris adalah mereka yang menerima waris dalam hal ini orang-orang yang merupakan keturunan langsung dari si pewaris baik itu sebagai suami atau isteri maupun sebagai anak atau orang lain yang mempunyai hubungan

Page 11: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 217

dengan si pewaris. Semua sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Penentuan sampel yang mengacu pada purposive sampling di dasarkan kepada pertimbangan bahwa apabila telah diperoleh hasil yang merupakan tujuan dari penelitian ini maka tidak lagi dibutuhkan pengulangan pengumpulan data pada lokasi penelitian yang lain.

Satori menguraikan bahwa dalam proses penentuan sampel penelitian kualitatif, jumlah sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya. Dalam purposive sampling ditentukan oleh pertimbangan informasi. Penentuan unit sampel (responden) dianggap telah memadai apabila telah sampai kepada taraf redundancy atau ketuntasan/kejenuhan atas informasi yang telah diperoleh. Penetapan responden bukan ditentukan oleh pemikiran bahwa responden harus mewakili populasi, melainkan responden itu harus dapat memberikan informasi yang diperlukan (Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2009: 58). Dipilihnya 15 (lima belas) responden di dalam penelitian ini karena pada wawancara yang telah dilakukan, hasil dari wawancara yang didapat berupa data primer telah diperoleh secara berulang dan telah di dapat pula ciri- ciri atau sifat-sifat karakteristik sebagai informasi utama yang menjadi ciri-ciri pokok dari populasi yakni masyarakat Kecamatan Gambut. Dalam penelitian ini didapat sampel yang dipergunakan yakni 15 (lima belas) orang res-ponden sehingga data yang diinginkan dalam penelitian ini telah dipenuhi.

Responden yang diperoleh pada penelitian ini terdiri atas responden yang berkedudukan sebagai ahli waris yang dengan rincian sebagai berikut: 5 (lima) orang responden ter-dapat di Kelurahan Gambut, 5 (lima) orang responden terdapat di Malintang Baru, 5 (lima) orang responden terdapat di Desa Guntung Papuyu. Berdasarkan penelusuran dan obser vasi yang dilakukan di lapangan, peneliti tidak berhasil menemukan responden yang merupakan pewaris, sehingga data yang diperoleh di dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan responden yang merupakan ahli waris.

Narasumber pada penelitian diambil dari pihak yang dianggap mengetahui mengenai pewarisan pada wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar. Narasumber yang dipilih diantaranya ialah Pemuka Agama sebanyak 1 (satu) orang. Narasumber lain yang dipilih di dalam penelitian ini selain pemuka agama adalah Kepala Desa atau Pambakal di ketiga desa yang menjadi sampel sebanyak 1 (satu) orang di setiap desa, akademisi yang pernah meneliti sistem kekerabatan dan waris masyarakat Banjar serta akademisi yang mengetahui seluk beluk Hukum Waris Islam masing-masing sebanyak 1 (satu) orang, dan juga Hakim di lingkungan Peradilan Agama Kabupaten Banjar berjumlah 1 (satu) orang.

Untuk memperoleh data primer maupun sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dipergunakan cara dan alat penelitian sebagai berikut:

Untuk Penelitian Kepustakaan: Cara pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi dokumen. Studi dokumen dalam penelitian kuali-tatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Studi do ku mentasi adalah mengumpulkan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam per masalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan me nambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian. Adapun Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan ini adalah dokumen-dokumen

Page 12: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

218 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

yang terkait dengan fokus penelitian. Kaitannya dengan penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan yang dilakukan yaitu dengan cara mempelajari bahan-bahan yang merupakan data sekunder yang berkaitan dengan sistem pewarisan adat dan pewarisan Islam untuk kemudian diolah sebagai landasan teori dan dipergunakan untuk mendukung hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan untuk dapat menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

Untuk Penelitian Lapangan: Pengumpulan data primer dilakukan melalui penelitian di lapangan dengan cara wawancara dan observasi menggunakan alat pengumpulan data berupa pedoman wawancara dan pedoman observasi.

Wawancara: Wawancara ditujukan kepada responden dan narasumber. Wawancara dilakukan dengan mempergunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Bentuk pedoman wawancara dibuat secara bervariasi antara pedoman terstruktur dan pedoman yang tidak terstruktur yang disebut semi struktur. Dalam hal ini mula-mula diadakan beberapa pertanyaan yang sudah terstruktur kemudian dari beberapa pertanyaan diperdalam untuk mendapat keterangan lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih lengkap dan akurat atas jawaban yang telah diberikan oleh responden maupun narasumber.

Observasi: Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara sengaja dan sistematis mengenai fenomena sosial dan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Observasi dilakukan dengan mempergunakan pedoman observasi yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dimana pada metode observasi ini dipergunakan beberapa media sebagai pencatat hasil observasi diantaranya dengan menggunakan format obser-vasi maupun menggunakan alat bantu rekam elektronik. Adapun hasil dari observasi ini kemudian dihimpun dan dipergunakan secara simultan dengan hasil wawancara guna dapat saling melengkapi sehingga antara metode wawancara dan metode obesrvasi ber-sifat komplementer untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bertujuan untuk menye-lesaikan permasalahan yang tertuang di dalam penelitian ini (Ronny Hanintijo Soemitro, 1985: 62-64).

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan cara sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan, data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dipilih dan dihimpun, kemudian disusun dalam suatu kerangka yang sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai asas-asas, dan kaedah-kaedah yang menguasai pelaksanaan pewarisan dan eksistensi pewarisan itu di masa sekarang.

2. Penelitian lapangan, data primer responden diperiksa kembali mengenai keleng-kapannya, kejelasan dan keseragaman datanya. Selanjutnya data tersebut diklasif-ikasikan dan dicatat secara sistematis dan konsisten. Kemudian data tersebut dianalisis dan ditafsirkan secara langsung dan sistematis, dengan menggunakan metode kualitatif.

3. Hasil analisis tersebut menghasilkan metode berfikir yang induktif yaitu dari fakta dan gejala ini kemudian dicoba untuk diabstraksikan dan dicari prinsip-prinsip untuk dibangun suatu hipotesis. Hasil analisis yang mempergunakan metode induktif, yakni dari hasil penelitian dan analisa yang dilakukan terhadap

Page 13: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 219

objek penelitian diharapkan dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh menge-nai eksistensi Hukum Waris Adat pada Masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, langkah-langkah yang ditempuh terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Tahap persiapan: Pada tahap ini dimulai dengan pengumpulan bahan kepustakaan dan dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan usulan penelitian, kemudian dikonsultasikan serta dilakukan perbaikan atau penyempurnaan. Kemudian di lakukan penyusunan pedoman wawancara dan penyusunan surat izin pene-litian.

2. Tahap pelaksanaan: Pada tahap ini dibagi dalam dua bagian, yaitu: Pelaksanaan dalam penelitian kepustakaan dimana dilakukan pengumpulan dan pengkajian data sekunder yang ada hubungannya dengan materi penelitian dan Pelaksanaan dalam penelitian lapangan, dilakukan penentuan responden dan pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner yang telah disusun.

3. Tahap penyelesaian: Pada tahap ini dilakukan berbagai kegiatan yaitu meng-analisa data dari hasil penelitian, dilanjutkan dengan penyusunan laporan awal serta konsultasi dan kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan akhir.

Hambatan yang ditemui di dalam penelitian ini terdapat pada sulitnya memperoleh keterangan dari responden yang dibutuhkan di dalam penelitian ini. Hal tersebut terjadi karena keengganan dari responden untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan waris karena mereka beranggapan hal itu merupakan persoalan di dalam keluarga yang tidak perlu untuk diberitahukan kepada pihak di luar keluarga responden dan juga masih rendahnya tingkat pendidikan dari responden. Untuk mengatasinya, peneliti memberikan pemahaman dengan memeprgunakan bahasa komunikasi yang sederhana kepada respon-den bahwa penelitian ini ditujukan untuk kepentingan perkembangan studi atas hukum waris yang terdapat di wilayah Kecamatan Gambut dan hasil penelitian ini dapat diper-gunakan sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan Pemerintah berkaitan dengan Hukum Waris di seluruh Indonesia.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kecamatan Gambut merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah Ka-bu paten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Gambut sendiri memiliki letak astronomis berdasarkan skala 1 : 50.000 diketahui berada di antara 03°21’17,84” LS–03°29’60”LS dan 114°34’30,81”BT–114°43’4,86”BT. Jumlah penduduk Kecamatan Gambut adalah 31.889 jiwa yang tersebar di 12 (dua belas) desa dan satu (1) kelurahan.

Page 14: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

220 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Deskripsi Responden

Responden pada penelitian ini meliputi pewaris yang berjumlah 9 (sembilan) orang dan ahli waris berjumlah 15 (lima belas orang). Namun berdasarkan penelusuran dan observasi yang dilakukan di lapangan, peneliti tidak berhasil menemukan responden yang merupakan pewaris, sehingga data yang diperoleh di dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan responden yang merupakan ahli waris. Di dalam tabel berikut akan diuraikan data mengenai responden yang dipilih secara acak pada Kecamatan Gambut:

Tabel 1Kedudukan Responden

No Kedudukan Responden Jumlah Persen (%)1 Pewaris 0 02 Ahli Waris 15 1003 Lain-lain 0 0

Total 15 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan observasi yang dilakukan dilapangan, peneliti tidak menemukan adanya responden yang merupakan pewaris pada masyarakat Kecamatan Gambut, sedangkan responden yang berkedudukan sebagai ahli waris pada masyarakat Kecamatan Gambut berjumlah 15 (lima belas) responden atau 100 %.

Eksistensi Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Suku Banjar Muslim yang Bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan Saat Ini

Pengetahuan Masyarakat Kecamatan Gambut terhadap Hukum Waris

Dalam hal masalah pewarisan, masyarakat Kecamatan Gambut dapat mengetahui masalah pewarisan ini melalui media pendidikan, baik merupakan pendidikan yang bersifat formal maupun non formal. Pendidikan formal di dapat melalui pendidikan di sekolah maupun di pesantren, sedangkan pendidikan non formal di dapat melalui ceramah keagamaan maupun pengajian yang diadakan di rumah penduduk maupun di mesjid/surau. Selain itu pengetahuan masyarakat menegnai pewarisan juga diperoleh melalui praktek atau pengalaman dan juga melalui pesan–pesan yang pernah disampaikan oleh orang tua atau leluhur mereka.

Responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa Hukum Waris yang mereka aplikasikan dalam pewarisan adalah Hukum Waris Islam. Namun ada beberapa responden yang menyatakan bahwa penerapan Hukum Waris Islam dalam pewarisan juga disertai dengan Hukum Waris Adat yang masih hidup di masyarakat.

Page 15: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 221

Berdasarkan keterangan yang telah diberikan responden tersebut, maka hasil wawancara mengenai sumber pengetahuan para responden tentang hukum waris dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2Sumber Pengetahuan Tentang Hukum Waris

No Pengetahuan Tentang Hukum Waris Jumlah Persen (%)

1 Pendidikan formal 2 23,32 Pendidikan Informal 5 33,33 Praktek/Pengalaman 6 404 Dari orangtua/leluhur 2 13,35 Tidak memperoleh pengetahuan tentang

hukum waris sama sekali0 0

6 Lain-lain 0 0Total 15 100

Sumber: Data Primer

Mengingat begitu komplex masalah pewarisan maka penyampaian pengetahuan hukum waris oleh masyarakat Kecamatan Gambut dianggap penting sehingga pengetahuan tentang hukum waris ini harus disampaikan secara kontinyu dan berkesinambungan antar generasi ke generasi selanjutnya dari masyarakat Kecamatan Gambut. Hukum waris dari masyarakat Kecamatan Gambut berakar sangat kuat di dalam jiwa warganya, dimana hukum waris tersebut disamping mencerminkan Hukum Waris Islam, namun pengetahuan tentang Hukum Waris Adat yang juga terkandung di dalam hukum waris masyarakat setempat tetap eksis hingga saat ini.

Masih eksisnya Hukum Waris Adat pada masyarakat Kecamatan Gambut dipengaruhi oleh faktor yang utama yakni masih mengalirnya informasi dan pengetahuan Hukum Waris Adat secara turun temurun antar generasi. Namun diantara masih eksisnya hukum Hukum Waris Adat di masyarakat ternyata hukum adat tersebut masih berdampingan dan saling mengisi dengan Hukum Waris Islam. Dalam hal ini peneliti lebih cenderung kepada hasil pemikiran dari Otje Salman yang menyatakan bahwa Hukum Adat maupun Hukum Islam memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan yang lainnya dalam hal keberlakuannya di masyarakat. Adanya kedudukan yang sejajar antara Hukum Adat maupun Hukum Islam menyebabkan tidak adanya suatu sistem hukum pun diantara keduanya yang saling meresepsi. Berlakunya kedua sistem hukum tersebut disebabkan oleh adanya kesadaran hukum masyarakat yang nyata menghendaki bahwa sistem hukum itulah yang berlaku. Adanya anggapan ini lah akan tampak bahwa di antara sistem Hukum Adat dan Hukum Islam terdapat kemungkinan berlaku seiring sejalan dalam suatu masyarakat tertentu. Dengan demikian kedua sistem hukum ini hanya akan berkembang sesuai dengan perkembangan dari masyarakat (Otje Salman, 1993: 25). Keberadaan hukum yang tanggap terhadap dinamika sosial ini di antaranya adalah berlakunya Hukum Adat dan Hukum Islam yang perkembangannya disesuaikan dengan kesadaran hukum dari masyarakat untuk merespon kebutuhan dari masyarakat itu sendiri.

Page 16: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

222 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Dari hal inilah yang kemudian memunculkan sifat dari hukum adat itu sendiri yakni adanya sifat dinamis, dimana hukum adat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Keberadaan Hukum Islam dan Hukum Adat akan dipengaruhi oleh per-kembangan dari kesadaran hukum masyarakat yang menganutnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada masyarakat Kecamatan Gambut dimana adanya pandangan responden yang menyatakan bahwa hukum waris yang mereka terapkan selama ini adalah Hukum Waris Islam. Namun di dalam aplikasi dari pewarisan mereka, unsur-unsur hukum adat masih banyak ditemui dan tetap eksis hingga sekarang meskipun diantara responden ada juga yang berusaha mengaplikasikan Hukum Waris Islam secara murni sepanjang pengetahuan dan kesadaran hukum yang mereka miliki.

Mengingat begitu komplex masalah pewarisan maka penyampaian pengetahuan hukum waris oleh masyarakat Kecamatan Gambut dianggap penting sehingga pengetahuan tentang hukum waris ini harus disampaikan secara kontinyu dan berkesinambungan antar generasi ke generasi selanjutnya dari masyarakat Kecamatan Gambut. Hukum waris dari masyarakat Kecamatan Gambut berakar sangat kuat di dalam jiwa warganya, dimana hukum waris tersebut disamping mencerminkan Hukum Waris Islam, namun pengetahuan tentang Hukum Waris Adat yang juga terkandung di dalam hukum waris masyarakat setempat tetap eksis hingga saat ini.

Masih eksisnya Hukum Waris Adat pada masyarakat Kecamatan Gambut dipengaruhi oleh faktor yang utama yakni masih mengalirnya informasi dan pengetahuan Hukum Waris Adat secara turun temurun antar generasi. Namun diantara masih eksisnya Hukum Waris Adat di masyarakat ternyata Hukum Adat tersebut masih berdampingan dan saling mengisi dengan Hukum Waris Islam. Beberapa pakar Hukum Adat mengutarakan beberapa teori yang berkaitan dengan persentuhan antara Hukum Adat dan Hukum Islam, diantaranya:

Teori Receptio in Complexu: Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Salomon Keyzer (1823–1868) yang kemudian dikembangkan oleh Willem Christian Van den Berg. Menurut teori Receptio in Complexu bahwa orang Islam Indonesia teleh menerima resepsio Hukum Islam secara keseluruhan dalam satu kesatuan. Oleh karena itu hukum mengikuti agama yang dianut penduduk pribumi yakni Hukum Islam bagi pemeluk agama Islam (M. Yahya Harahap, 1993: 59). Namun dalam perkembangannya, teori ini banyak mendapat pertentangan dari para ahli hukum karena di dalam prakteknya di masyarakat hukum agama bukanlah satu-satunya yang diterapkan sebagai hukum adat sehingga. Diantara ahli hukum yang menentang teori Receptio in Complexu ini diantaranya adalah Snock Hurgronye dengan Teori Konflik atau Resepsio.

Teori Konflik atau Resepsio: Teori ini dikembangkan oleh Snock Hurgronye dan Van Vollenhoven. Menurut Teori Konflik bahwa antara Hukum Islam dan Hukum Adat adalah dua unsur yang saling bertentangan, bahkan saling antagonistic. Dalam aplika-sinya di masyarakat, hukum yang mengatur tata tertib masyarakat bukan Hukum Islam tapi yang berlaku adalah Hukum Adat. Di dalam Hukum Adat memang telah ada penga ruh Hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan sebagai norma hukum apabila diterima dan sesuai dengan Hukum Adat (M. Yahya Harahap, 1993: 60). Teori ini menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mempunyai kekuatan hukum ma na-kala tidak diterima oleh masyarakat sebagai Hukum Adat setempat. Adanya pemikirin

Page 17: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 223

atas teori ini ternyata juga para ahli hukum yang tidak setuju terutama para ahli Hukum Islam, diantaranya Hazairin. Beliau berpendapat bahwa teori Konflik dicip-takan oleh kolonial Belanda untuk merintangi perkembangan agama Islam. Selain itu, dalam perkembangannya juga ditemukan adanya unsur-unsur Hukum Adat di dalam masyarakat Adat yang mayoritas memeluk Agama Islam telah digantikan oleh Hukum Islam dikarenakan Hukum Adat tersebut dianggap bertentangan dengan Ajaran Islam yang murni.

Teori Penetration Pasifique, Tolerantie et Constructive: Teori ini dikemukakan oleh Josselin de Jong. Teori ini menyatakan bahwa Agama Islam telah berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan sekaligus telah mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh Islam tersebut telah berjalan secara damai, toleran dan konstruktif. Menurut teori ini tidak ada terjadi peristiwa antagonistik seperti dalam Teori Konflik tetapi berjalan secara rukun, toleran dan membangun kehi-dupan masyrakat. Teori ini pun masih mendapat tentangan dari para ahli hukum karena hanya melihat keberadaan Agama Islam bukan dari ranah hukum. Teori ini hanya melakukan pendekatan dari sudut pandang Antropologis (M. Yahya Harahap, 1993: 61 - 62).

Teori Sinkritism: Teori ini dikemukakan oleh M. B. Hoeker. Teori ini lebih mengarah kepada sinkritisme di dalam Hukum Adat pedesaan di pulau Jawa. Teori ini menjelaskan hubungan adat dan Islam dalam kehidupan penduduk Pulau Jawa sangat erat. Eratnya hubungan kedua unsur tata hukum tersebut berkembang dalam bentuk saling rukun dan saling memberi dan menerima secara kompromis membentuk tatanan baru sehingga tidak terdapat konflik maupun saling menyisihkan (M. Yahya Harahap, 1993: 62). Sama halnya dengan teori Penetration Pasifique, Tolerantie et Constructive, teori Sinkritism ini hanya melakukan pendekatan dari sudut pandang Antropologis.

Teori Resepsio a Contrario: Teori ini merupakan teori persentuhan adat dan Islam yang paling banyak dianut oleh para penulis Islam. Pendukung utama dari teori ini adalah Hamka dan Hazairin. Teori ini menjelaskan bahwa telah berkembang suatu garris hukum di seluruh kepulauan nusantara. Garis hukum itu menyatakan bahwa Hukum Adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam kehidupan pergaulan masyarakat jika Hukum Adat itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari teori ini bahwa hukum adat hanya dapat berlaku manakala hukum adat itu tidak bertentangan dengan Ajaran Islam. Jika norma Hukum Adat tidak sejalan dengan jiwa dan semangat Hukum Islam, maka Hukum Adat yang demikian harus dijauhkan dari kehidupan pergaulan lalu lintas masyarakat.

Berdasarkan uraian beberapa teori persentuhan antara adat dan Islam, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semua teori tersebut mencoba menentukan suatu pengaruh dari keberadaan dua sistem hukum yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Namun pengaruh yang diperoleh dari persentuhan antara teori satu dengan yang lainnya saling bertolak belakang dimana ada kecenderungan dari penganut setiap teori untu mengangkat salah satu sistem hukum yakni Hukum Adat atau kah Hukum Islam pada kedudukan yang lebih tinggi. Dalam hal ini peneliti lebih cenderung kepada hasil pemikiran dari Otje Salman yang menyatakan bahwa Hukum Adat maupun Hukum

Page 18: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

224 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Islam memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan yang lainnya dalam hal keberlakuannya di masyarakat.

Adanya kedudukan yang sejajar antara Hukum Adat maupun Hukum Islam menye-babkan tidak adanya suatu sistem hukum pun diantara keduanya yang saling meresepsi. Berlakunya kedua sistem hukum tersebut disebabkan oleh adanya kesadaran hukum masyarakat yang nyata menghendaki bahwa sistem hukum itulah yang berlaku. Adanya anggapan ini lah akan tampak bahwa di antara sistem Hukum Adat dan Hukum Islam terdapat kemungkinan berlaku seiring sejalan dalam suatu masyarakat tertentu. Dengan demikian kedua sistem hukum ini hanya akan berkembang sesuai dengan perkembangan dari masyarakat (Otje Salman, 1993: 25).

Hukum Adat dan Hukum Islam yang dalam prakteknya selalu bersinggungan merupakan suatu fenomena yang terjadi di dalam tataran Hukum Adat Indonesia. Oleh karena itu unsur-unsur dari Hukum Islam itu sendiri pun juga dapat diterima oleh Hukum Adat. Hal ini sebagai mana yang diuraikan Soepomo mengenai keberadaan Hukum Adat itu sendiri yakni:

Hukum Adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebia-saan dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum Adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan keputusan–keputusan Hakim yang berisi asas–asas hukum dalam ling-kungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum Adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri (R. Soepomo, 2000: 3).

Pendapat dari Soepomo inipun kemudian dijadikan sebagai dasar dari dirumuskannya pengertian Hukum Adat di dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta pada tahun 1975 dimana dalam seminar tersebut dinyatakan Hukum Adat adalah:

“Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Re-pub lik Indonesia yang di sani-sini mengandung unsur agama”(Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976: 14).

Adanya uraian dari pengertian Hukum Adat dimana di dalam Hukum Adat itu sendiri mengandung unsur–unsur agama menunjukkan bahwa keberadaan persentuhan antara Hukum Adat dan Hukum Islam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan Hukum Adat di Indonesia. Hal ini tentunya juga mempengaruhi kesadaran hukum oleh masyarakat dalam penerapan Hukum Adat mereka.

Dalam terminologi Nonet dan Selznick, hukum yang hendak dibangun ke masa depan adalah hukum yang responsif yang bertujuan agar hukum lebih tanggap terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menangani masalah–masalah sosial (Phillipe Nonet da Philip Selznick dalam Winardi, 2008: 103). Keberadaan hukum yang tanggap terhadap dinamika sosial ini di antaranya adalah berlakunya Hukum Adat dan Hukum Islam yang perkembangannya disesuaikan dengan kesadaran hukum dari masyarakat untuk merespon kebutuhan dari masyarakat itu sendiri.

Page 19: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 225

Hal ini juga dikemukakan oleh Soepomo dengan pernyataanya sebagai berikut:

“Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat” (Otje Salman, 1993: 25).

Hal inilah yang kemudian memunculkan sifat dari hukum adat itu sendiri yakni adanya sifat dinamis, dimana hukum adat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Keberadaan Hukum Islam dan Hukum Adat akan dipengaruhi oleh perkembangan dari kesadaran hukum masyarakat yang menganutnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada masyarakat Kecamatan Gambut dimana adanya pandangan responden yang menya-takan bahwa hukum waris yang mereka terapkan selama ini adalah Hukum Waris Islam. Namun di dalam aplikasi dari pewarisan mereka, unsur-unsur hukum adat masih banyak ditemui dan tetap eksis hingga sekarang meskipun diantara responden ada juga yang berusaha mengaplikasikan Hukum Waris Islam secara murni sepanjang pengetahuan dan kesadaran hukum yang mereka miliki.

Adanya kesadaran hukum terhadap hukum adat oleh masyarakat berkenaan dengan hukum waris yang mereka terapkan, maka eksistensi dari Hukum Waris Adat pada masya rakat Kecamatan Gambut masih tetap terjaga. Unsur–unsur dari Hukum Waris Islam yang juga diaplikasikan masyarakat Kecamatan Gambut di dalam hukum waris mereka merupakan wujud kesadaran hukum atas hukum yang terdapat di dalam ajaran Agama Islam yang selama ini mereka anut tetapi tidak mengenyampingkan keberadaan unsur-unsur hukum adat yang telah hidup di masyarakat.

Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam masyarakat Kecamatan Gambut, keberadaan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam berlaku seiring sejalan di dalam aplikasinya dan di dasarkan kepada kesadaran hukum yang tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri. Bahan perbandingan dapat dilihat pada masyarakat Minangkabau dimana dalam pewarisan berlaku ketentuan bahwa bagi harta pusaka berlaku hukum adat, sedangkan ketentuan bagi harta sepencarian berlaku hukum Islam. Dengan adanya kedua sistem hukum waris yakni Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat yang masih eksis hingga saat ini, akan memberikan suatu corak atau ciri khas tersendiri dari hukum waris yang selama ini diaplikasikan oleh masyarakat Kecamatan Gambut.

Praktek Pewarisan Masyarakat Kecamatan Gambut

Sistem pewarisan yang dilaksanakan di daerah penelitian adalah sistem pewarisan individual atau perseorangan. Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat mengu-asai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Proses pewa-risan hanya akan terjadi manakala pewaris telah meninggal dunia.

Harta peninggalan dari pewaris meliputi Biaya pengurusan jenazah dan pemakaman, biaya selamatan, biaya perawatan si mati ketika masih sakit, pelunasan utang-utang dan pemenuhan wasiat dari si mati, harta bawaan dari suami/isteri, pembagian harta perpan-tangan kepada suami atau istri dari si mati. Adapun sisa dari harta peninggalan inilah yang merupakan harta warisan.

Page 20: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

226 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Berkaitan dengan harta peninggalan, pada umumnya harta peninggalan akan dibagikan kepada ahli waris dalam bentuk harta warisan setelah diadakannya selamatan menyeratus hari setelah hari pemakaman. Sebab diadakannya pembagian harta peninggalan pada selamatan menyeratus hari dengan pertimbangan bahwa banyak keluarga maupun ahli waris dari si mati yang akan berkumpul sehingga dapat disaksikan oleh seluruh keluarga si mati. Namun sering kali harta peninggalan ini tetap tidak dibagikan meskipun selamatan menyeratus hari telah diadakan. Hal ini biasanya disebabkan istri dari pewaris (apabila si mati adalah laki-laki) masih hidup sehingga pembagian harta peninggalan akan diatur di kemudian hari berdasarkan kemauan dan persetujuan para ahli waris tetapi hal ini dapat menyebabkan harta warisan itu tidak pernah dibagi sama sekali.

Dalam pelunasan utang pewaris, apabila harta peninggalan tidak mencukupi maka kewajiban pelunasan utang akan beralih kepada ahli waris. Demikian pula dalam ketetapan waris tidak mengenal adanya pembedaan anatara ahli waris ab intestato maupun ahli waris tidak biasa. Bentuk ketetapan waris yang dikenal selain berbentuk tertulis, dapat pula secara lisan dengan kehadiran saksi atau juga kombinasi anatra lisan dan tertulis.

Dalam praktek pewarisan pada masyarakat Kecamatan Gambut memungkinkan ter-jadinya penundaan pembagian waris. Penundaan ini dapat terjadi sejak si mati wafat hingga dilaksanakannya ritual selamatan menyeratus. Namun penundaan ini dapat pula terjadi sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan disebabkan oleh beberapa hal. Selain itu berkenaan dengan meninggalnya pewaris selain menimbulkan adanya harta warisan juga menimbulkan adanya harta perpantangan yang diterima oleh janda atau duda dari si mati. Kedudukan harta perpantangan ini merupakan harta bersama dalam terjadinya perceraian karena adanya pandangan dari masyarakat bahwa kematian meru-pakan salah satu sebab terjadinya perceraian yaitu cerai mati sehingga melahirkan adanya harta bersama yang harus dibagi dengan pasangan yang masih hidup.

Dalam masyarakat Kecamatan Gambut, apabila suami atau isteri meninggal dunia, maka dirasakan adanya suatu keinginan agar keluarga yang ditinggalkan dapat hidup terus dari harta kekayaan yang ada seperti kehidupan sebelum peristiwa kematian itu terjadi. Mungkin sekali keadaan yang tentram dan penuh kekeluargaan seperti sebelumnya akan terganggu apabila harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati seketika dibagi-bagi di antara para ahli waris.

Bagi balu, baik janda maupun duda, dianggap pantas kalau ia diberi sebagian dari harta kekayaan yang ditinggalkan itu sebagai bekal agar dapat terus hidup secara layak sampai ia meninggal dunia. Dengan kata lain, kehidupan balu setelah ditinggal mati suami/istri-nya haruslah tetap sebagaimana keadaan kehidupannya pada waktu pasangannya masih hidup. Bandingkan dengan keputusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Nopember 1960 Reg. nomor 302 K/Sip/1960 yang pada pertimbangan hukumnya menyebutkan, bahwa:

Hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda perempuan merupakan ahli waris terhadap barang-barang asal dari suaminya, dalam arti bahwa sekurang-kurangnya dari barang-barang asal itu sebahagian harus tetap pada tangan janda sepanjang perlu untuk hidup pantas sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi.

Page 21: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 227

Berdasarkan gambaran umum tersebut, telah mencerminkan bagaimana pandangan masyarakat Kecamatan Gambut terhadap pembagian harta warisan mereka. Hal ini me-mungkinkan dalam masyarakat Kecamatan Gambut terjadi harta peninggalan si mati dalam jangka waktu yang sangat lama tinggal dalam keadaan tidak dibagi waris dan tetap dikuasai oleh suami atau isteri yang masih hidup atau juga salah seorang anak dari si mati. “Di dalam keluarga saya pembagian waris tidak dilakukan karena ada perasaan segan kepada keluarga terdekat dan dikhawatirkan akan dicap sebagai orang yang rakus akan harta. Meskipun begitu selama ini di dalam keluarga saya tidak pernah sekalipun mempersoalkan tentang harta warisan yang belum dibagi tersebut karena kami sudah merasa cukup dengan harta yang ada, dan yang lebih penting di dalam keluarga tidak ada percekcokan mengenai harta warisan” (Wawancara dengan responden Saberan di Desa Guntung Papuyu tanggal 22 April 2009).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut menggambarkan bahwa pembagian harta peninggalan bukanlah hal mutlak yang harus dilakukan meskipun dalam waktu yang sangat lama. Keinginan untuk tidak membagi harta peninggalan ini bukanlah suatu ke inginan yang dipaksakan namun berdasarkan hasil musyawarah para ahli waris dan keluarga terdekat. Bandingkan dengan hasil penelitian Fakultas Hukum UNLAM tahun 1973 yang isinya sebagai berikut:

Bahwa mengenai harta perpantangan pada masyarakat banjar pada pokoknya men-jelaskan bahwa dengan meninggalnya pewaris, timbul kewajiban dari para ahli waris untuk menyelenggarakan penguburannya dan membayar utang-utangnya pewa ris, disamping hak mereka untuk mengoperkan seluruh harta peninggalan pewaris. Untuk harta peninggalan pewaris tidak terdapat ketentuan bahwa harta peninggalan itu harus segera dibagi waris, terlebih-lebih apabila pewaris pada saat meninggalnya meninggalkan anak-anak yang belum dewasa, maka seluruh harta peninggalan tetap berada di bawah kekuasaan suami atau istri si mati, dan sekalipun anak-anak pewaris sudah dewasa semua kebiasaannya mereka tidak ingin dibagi-bagi harta peninggalan si mati.(Fakultas Hukum UNLAM, 1973: 18).

Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum UNLAM pada tahun 1973 ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan sekarang, dimana bebe-rapa responden menyatakan bahwa harta peninggalan akan dibagi apabila telah diadakan selamatan menyeratus hari. Hal ini dilakukan karena pewaris telah memiliki anak-anak yang telah dewasa. “Harta warisan dari ayah kami belum akan dibagi selama belum se-ratus hari beliau meninggal, tetapi setelah selamatan menyeratus hari, kami akan mem-bagi harta warisan beliau karena semua keluarga telah berkumpul, sehingga banyak yang menyaksikan pembagian warisan ini, tapi setelah pembagian warisan, kami sebagai anak-anak beliau dengan ikhlas menyerahkan sebagian dari bagian warisan yang kami terima untuk biaya hidup ibu kami serta adik yang masih bersekolah” (Wawancara dengan responden Mustapha Ramadhan di Desa Guntung Papuyu tanggal 29 April 2009).

Responden lain menyatakan bahwa harta peninggalan tetap diadakan pembagian waris meskipun si mati masih memiliki anak-anak yang belum dewasa. Hal ini dikarenakan adanya permohonan dari ahli waris yang lain serta keluarga terdekat pewaris agar harta peninggalan dibagi dengan tujuan untuk menghindari terambilnya bagian warisan dari anak-anak pewaris yang belum dewasa oleh ahli waris yang lain. Hal ini disebabkan

Page 22: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

228 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

adanya perasaan khawatir apabila harta pembagian tidak dibagi akan menyebabkan bagian dari harta warisan anak-anak yang belum dewasa itu akan berkurang karena tidak sengaja tekakat (terambil) oleh ahli waris yang lain.

Tekakat bagian harta warisan dari anak-anak pewaris yang belum dewasa ini dianggap sebagi suatu dosa besar di dalam agama Islam, sehingga untuk menghindari dosa tersebut, sebagian masyarakat Kecamatan Gambut beranggapan perlunya ada pembagian waris atas harta peninggalan, meskipun itu hanyalah merupakan suatu sikap simbolik saja untuk menjalankan perintah ajaran agama Islam. “Ketika ayah meninggal, kami belum melakukan pembagian waris hingga hari keseratus. Setelah selesai selamatan menyeratus hari, kami mengumpulkan keluarga untuk melakukan pembagian harta warisan. Kami melakukan pembagian warisan ini semata-mata bukan karena menginginkannya, namun sekedar untuk menjalankan syariat agama saja. Kami khawatir baik secara sengaja mau-pun tidak sengaja akan terambil bagian harta warisan dari adik kami yang masih kecil, dan apabila itu sampai terjadi maka merupakan suatu dosa yang amat besar” (Wawancara dengan responden Hani Bachrudin di Kelurahan Gambut tanggal 26 April 2009).

Adanya pembagian waris ini ternyata juga tidak hanya dilakukan apabila pewaris mempunyai anak-anak yang belum dewasa. Apabila seluruh ahli warisnya adalah orang yang telah dewasa, juga tetap diadakan pembagian waris ini meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama semenjak pewaris me-ning gal dunia. Jadi penahanan untuk pembagian harta peninggalan agar tidak dibagi waris pada masyarakat Kecamatan Gambut pada masa sekarang masih ditemukan di dalam praktek meski meresapnya ajaran Islam ke dalam hukum waris mereka. “Ketika ayah dan ibu kami meninggal, harta warisan itu tetap dikuasai oleh kakak kami yang ter tua. Bagian warisan itu ia pergunakan untuk usaha hingga bertahun-tahun lamanya. Kami merasa enggan untuk menuntut bagian kami. Setelah kakak kami itu meninggal dunia, barulah kami membagi-bagi warisan dari ayah dan ibu kami disertai dengan pe-nye rahannya secara nyata, dan bagian untuk kakak kami yang telah meninggal itu kami serahkan pada keluarganya, dan pembagian harta warisan tersebut didasarkan pada ajaran agama (Islam)”, (Wawancara dengan responden Elly Rahmah di Desa Guntung Papuyu tanggal 26 April 2009).

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan oleh responden diatas, dapat dilihat bahwa dalam penerapannya, pembagian waris masyarakat Kecamatan Gambut mempunyai beberapa kemungkinan sebagai berikut:

1. Masyarakat Kecamatan Gambut tetap menahan harta warisan sebagai bagian dari harta peninggalan hingga waktu yang tidak ditentukan dengan tujuan untuk membiayai hidup anak-anak dan balu dari pewaris serta adanya keengganan me-lakukan pembagian harta warisan utuk menjaga kerukunan di dalam keluarga;

2. Masyarakat Kecamatan Gambut tetap menahan harta warisan sebagai bagian dari harta peninggalan hingga selesainya selamatan menyeratus hari dan kemudian harta warisan itu dibagi kepada para ahli waris berdasarkan hukum Islam, namun pembagian ini hanya bersifat simbolik untuk kemudian harta itu dikembalikan kepada anak-anak dan balu dari pewaris sebagai biaya hidup mereka;

Page 23: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 229

3. Harta warisan dari harta peninggalan itu dikuasai oleh salah satu ahli waris tanpa diadakan pembagian waris. Pembagian waris baru dilakukan apabila ahli waris yang menguasai harta warisan ini telah meninggal dunia atau ia menginginkan agar diadakan pembagian waris. Pembagian ini bersifat nyata yaitu diadakan pe nye rahan bagian harta warisan kepada setiap ahli waris.

Kemungkinan-kemungkinan mengenai waktu pembagian harta warisan diatas menunjukkan bahwa pada masyarakat Kecamatan Gambut lebih mengedepankan toleransi di dalam keluarga. Dengan adanya penahanan terhadap pembagian warisan tersebut, masyarakat Kecamatan Gambut berusaha untuk tetap menjaga eratnya kerukunan di dalam keluarga serta menjaga perasaan dari anggota keluarga yang ditinggalkan si mati. Meskipun begitu dari wawancara yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa suatu tuntutan terhadap pengurus harta peninggalan yang belum dibagi untuk dilakukan peng-hitungan dan pembagian harta warisan tetap dimungkinkan.

Berdasarkan hasil dari wawancara dengan narasumber yang pernah melakukan penelitian masyarakat Banjar yakni bapak Safwan Sahlul, dalam prakteknya penahanan pembagian warisan sering disebabkan oleh suatu sebab tertentu yang berkaitan dengan eratnya rasa kekeluargaan. Hal yang biasa terjadi adalah karena ibu (istri si mati) masih hidup dan masih mendiami rumah yang seharusnya dibagi. Untuk itu para ahli waris tidak tega mengganggu gugat ketenangan sang ibu untuk menikmati sisa hidupnya di dalam rumah peninggalan si mati. Karena rumah ini belum dibagi, biasanya para ahli waris juga enggan mengutik-utik harta lainnya seperti tanah dan lain-lain, walaupun secara nyata harta tersebut dapat dibagi tanpa mengganggu ketenangan sang ibu. Dalam hal seperti ini harta baru dibagi setelah sang ibu meninggal dunia (Wawancara dengan narasumber Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Banjar H. Mahbub A tanggal 2 Juni 2009).

Penangguhan pembagian harta sering terjadi dengan alasan-alasan seperti:

1. Mempertahankan keutuhan harta yang dianggap sebagai lambang ikatan batin bagi ahli waris, misalnya rumah besar, di tempat mana dulunya semua ahli waris dilahirkan dan dibesarkan;

2. Ahli waris rata-rata termasuk orang yang telah mapan atau berada sehingga merasa malu kalau berebut harta warisan;

3. Nilai harta warisan terlalu kecil kalau dibagi dan mungkin hanya cukup untuk upacara selamatan, sedangkan untuk keperluan tersebut telah ada ahli waris yang mampu untuk membiayainya;

4. Menjaga perasaan orang-orang yang dekat dengan si mati, misalnya janda (ibu), anak yang memelihara si mati semasa sakit yang tidak mampu untuk mencari tempat tinggal sendiri;

5. Belum ada kesepakatan dari ahli waris untuk melakukan pembagian harta waris dan karena ada persengketaan di kalangan ahli waris itu sendiri;

6. Menunggu para ahli waris menjadi dewasa, karena pada waktu pewaris meninggal dunia para ahli waris masih belum dewasa (Wawancara dengan narasumber Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Banjar H. Mahbub A tanggal 2 Juni 2009).

Page 24: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

230 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Dari ke 15 responden, 14 responden menyatakan bahwa proses pewarisan dilakukan setelah pewaris meninggal dunia. Hanya saja ada satu hal yang menarik yaitu salah satu responden menyatakan bahwa dia menerima waris ketika pewaris, dalam hal ini orangtua responden, ketika pewaris masih hidup. Hal ini dinyatakannya dalam wawancara dengan saudara Juariah. “salah satu orang tua saya pada 1988 akan menunaikan ibadah haji, kemudian beliau memanggil saya dan saudara-saudara saya yang lain, kemudian beliau menjelaskan tentang bagian-bagian warisan kepada kami. Hal ini beliau lakukan karena beliau merasa ajalnya sudah dekat ketika melaksanakan ibadah haji nanti, tujuan beliau adalah agar kami tidak behual untuk memperebutkan warisan sehingga beliau membaginya terlebih dahulu sebelum meninggal dunia agar kami mengetahui bagian masing-masing warisan kami, dan beliau meminta tolong pada seorang ulama untuk membantu melakukan pembagian harta warisan” (Wawancara dengan responden Juariah di Desa Malintang Baru tanggal 23 Mei 2009).

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masyarakat Kecamatan Gambut, meskipun sangat jarang, namun masih ada proses pewarisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Hal ini pun pernah dinyatakan di dalam penelitian hukum adat yang pernah dilakukan oleh Fakultas Hukum UNLAM pada tahun 1986 dimana mereka menemukan adanya proes pewarisan yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia meskipun di dalam penelitian itu juga menyebutkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang sangat jarang terjadi.

Dalam penelitian lapangan yang telah dilakukan, penulis tidak menemukan pewaris yang pernah melakukan praktek pewarisan di saat ia masih hidup sehingga untuk menda-patkan data yang diinginkan tidak tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa proses pewarisan dikala pewaris masih hidup sudah sangat jarang dilakukan.

Pewarisan pada waktu masih hidup dilakukan atas kemauan dari orangtua selaku “calon pewaris” yang umumnya merasa bahwa tidak lama lagi ia akan meninggal dunia atau pewaris akan pergi meninggalkan keluarganya dalam waktu yang cukup lama dan jarak yang sangat jauh seperti menunaikan ibadah haji, maka ia menginginkan agar supaya sepeninggalnya nanti tidak akan terjadi sengketa atau keributan mengenai harta yang ditinggalkannya. Motifnya disini adalah untuk mendapatkan ketenangan di alam baqa apabila pewaris meninggal dunia dan pembagiannnya dilakukan di hadapan semua ahli waris. Dalam kesempatan ini pewaris menentukan:

1. Siapa saja yang akan mendapatkan harta warisannya (penentuan ahli waris, hal yang demikian biasa timbul bila pewaris tidak mempunyai anak tetapi ada anak angkat dan ahli waris lain terutama saudara);

2. Penentuan jenis harta untuk masing-masing ahli waris, misalnya tanah sawah untuk anak pertama, rumah untuk anak kedua, kebun utnuk anak ketiga, dan sebagainya.

Penentuan pembagian waris pada waktu masih hidup ini agak mirip dengan peng-hibahan dan wasiat, akan tetapi dalam hal ini harta yang bersangkutan sudah terbagi dan menjadi hak milik dari ahli waris. Tetapi dari hasil wawancara dengan responden bersangkutan, ia merasa segan untuk mengambil bagiannya karena orangtuanya masih hidup kala itu dan secara bersama-sama masih menanggung dan membiayai orangtuanya

Page 25: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 231

dari harta yang ada tanpa mempersoalkan bagian siapa dari harta yang dipakai. Dalam keadaan yang demikian para ahli waris tidak membantah terhadap penetapan yang dibuat oleh pewaris walaupun hal tersebut hanya karena perasaan sungkan belaka. Meskipun begitu, menurut responden tersebut, ketika pewaris meninggal dunia masih saja terjadi persengketaan mengenai harta yang bersangkutan.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada responden, maka dapat diketahui mengenai waktu pembagian waris sebagaimana yang termuat di dalam tabel berikut:

Tabel 3Waktu Pembagian Waris

No Waktu Pembagian Waris Jumlah Persen (%)1 Sebelum pewaris wafat 1 6,72 Pada hari pewaris wafat / sebelum sela-

matan kematian0 0

3 Setelah selamatan kematian 12 804 Ditunda hingga ada kesepakatan dian-

tara ahli waris untuk membagi waris2 13,3

5 Lain-lain 0 0Total 15 100

Sumber: Data Primer

Berkaitan dengan pembagian waris, maka pembagian waris yang diutamakan terlebih dulu adalah pembagian waris yang di dasarkan kepada Hukum Waris Islam. Namun dalam pelaksanaannya pembagian berdasarkan faraid ini tidaklah berlaku secara mutlak karena masyarakat masih memungkinkan terjadinya pembagian waris secara adat yang disebut dengan bapatut yakni pembagian waris yang disesuaikan dengan kebutuhan dari ahli waris atas warisan tersebut serta wujud benda dari harta warisan.

Selain adanya penundaan pembagian waris, di dalam masyarakat juga terdapat adanya harta peninggalan yang tidak dibagi sebagai waris khususnya yang berkaitan dengan tanah pertanian. Harta peninggalan yang tidak dibagi dapat disebabkan oleh Wasiat dari pewaris, ada salah satu ahli yang tergolong tidak mampu secara ekonomi, ada salah satu ahli waris yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian yang ditinggalkan oleh pewaris, atau lahan pertanian itu adalah Tanah Tunggu Haul. Khusus untuk Tanah Tunggu Haul merupakan sebidang tanah yang hasil dari tanah itu diperuntukkan terutama bagi biaya-biaya ritual haul atau selamatan yang dilakukan untuk mendoakan si mati setiap tahunnya.

Tanah Tunggu Haul ini tidak dapat dipindah tangankan atau di bagi sebagai bagian dari harta warisan yang diterima secara individual. Oleh karena itu dalam Masyarakat Kecamatan Gambut Sistem pembagian waris yang diterapkan merupakan system pewarisan individual yang bersifat terbatas.

Page 26: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

232 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

Beberapa unsur dari Hukum Waris Adat pada masyarakat Kecamatan Gambut keber-adaannya masih tetap eksis hingga sekarang meskipun dalam aplikasinya, Hukum Waris Adat ini kadang kala diterapkan bersama-sama dengan unsur-unsur dari Hukum Waris Islam. Adanya pilihan hukum di dalam penerapan antara unsur-unsur Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam ditentukan oleh kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri.

Unsur-unsur tersebut meliputi waktu diadakannya pembagian waris, pembagian harta peninggalan dan harta warisan berdasarkan Hukum Adat, bagian yang diterima ahli waris, adanya harta warisan yang tidak dibagi, wujud dari penetapan terhadap pe-meliharaan anak angkat serta kedudukan tanah pertanian. Berdasar pembagian sistem pewarisan pada masyarakat Gambut, maka pewarisan pada masyarakat Kecamatan Gambut dapat digolongkan dalam sistem pewarisan individual dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian warisan menurut bagiannya masing-masing. Namun dengan adanya tanah tunggu haul atau tanah pedatuan menunjukkan bahwa tidak semua harta warisan akan dibagi-bagi kepada setiap individu ahli waris.

Keberadaan tanah tunggu haul lebih mengarah kepada sistem pewarisan yang bersifat mayorat dimana tidak dilakukan pembagian harta warisan atas tanah tunggu haul tetapi diserahkan kepada salah satu ahli waris untuk dilakukan pengalihan hak penguasaannya. Keberadaan tanah tunggu haul menunjukkan bahwa sistem pewarisan yang terdapat pada masyarakat Kecamatan Gambut bukanlah sistem pewarisan individual, tetapi me-rupakan sistem pewarisan individual yang bersifat terbatas.

Aspek dari Hukum Waris Adat yang telah dipengaruhi oleh Hukum Islam pada Masyarakat Suku Banjar Muslim yang bermukim di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan pada saat ini

Hadirnya unsur-unsur waris dari Hukum Waris Islam ke dalam hukum waris dari masyarakat Kecamatan Gambut tidak menjadikannya bertentangan dengan Hukum Waris Adat yang sudah ada terlebih dulu namun justru memperkaya hukum waris yang di anut masyarakat Kecamatan Gambut. Beberapa unsur dari Hukum Waris Islam yang diterapkan dalam pewarisan masyarakat Kecamatan Gambut diantaranya adalah proses pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat.

Para ahli waris yang diterapkan pada pewarisan di dasarkan kepada ahli waris yang diatur oleh Hukum Islam sebagaimana yang tercantum di dalam Alquran dan Alhadist. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan anak belum menutup kedudukan ahli waris lain yang berhak atas harta warisan. Hal ini juga mempengaruhi kedudukan janda maupun duda yang juga merupakan ahli waris dari si mati. Oleh karena adanya pembagian ahli waris yang berhak berdasarkan Hukum Islam, jumlah bagian harta warisan yang diterima oleh setiap ahli waris pun juga di dasarkan kepada pembagian yang ditetapkan oleh Hukum Waris Islam. Hal ini terjadi karena di dalam Hukum Waris Islam menganut asas pewarisan yang bersifat individual bilateral.

Berkaitan dengan utang pewaris, pelunasan utang yang dilakukan tidak hanya meliputi harta peninggalan dari pewaris saja tetapi kewajiban tersebut juga beralih kepada ahli waris manakala harta peninggalan si mati tidak mencukupi. Hal ini merupakan aplikasi dari ketentuan Hukum Waris Islam dimana pelunasan utang dan wasiat merupakan keutamaan sebelum dilakukan pembagian waris.

Page 27: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 233

Dalam hal hibah wasiat, harta yang dihibahkan tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan si mati. Keberadaan hibah wasiat semacam ini merupakan manifestasi dari Hukum Waris Islam yang mentakan bahwa penghibahan wasiat tidak dibenarkan me-lebihi sepertiga dari harta peninggalan.

Proses pewarisan meliputi kalkulasi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara si mati ketika sakit, pemeliharaan jenazah, pemakaman, wasiat dan pelunasan utang piutang si mati yang diambilkan dari harta peninggalan si mati, penetapan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, penetapan bagian harta warisan yang berhak diterima setiap ahli waris, baik harta warisan yang berupa aktiva maupun pasiva berdasarkan bagian yang telah ditentukan oleh Hukum Waris Islam, penyerahan harta warisan kepada setiap ahli waris berdasarkan bagian yang telah ditentukan.

Hal yang menjadi fokus perhatian dari penelitian ini adalah adanya 2 (dua) sistem hukum yang saling berjalan dalam hal penerapan Hukum Waris pada masyarakat Keca-matan Gambut. Adanya pilihan antara pembagian waris yang didasaran Faraid yakni pembagian waris berdasaran Hukum Waris Islam dan pembagian waris secara adat yakni bapatut, masyarakat Kecamatan Gambut diberikan keleluasaan untuk melakukan pilihan hukum. Pilihan hukum yang dimiliki oleh masyarakat tersebut akan ditentukan oleh kesa daran hukum dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat lah yang akan menentukan sendiri pilihan hukum yang dianggap memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan Hukum Waris Islam akan ditentukan oleh cara masyarakat me mandang Hukum Islam itu secara keseluruhan.

Dalam hukum waris yang diterapkan oleh masyarakat Kecamatan Gambut terdapat beberapa unsur dari Hukum Waris Islam. Keberadaan unsur dari Hukum Waris Islam ini dapat diterima oleh masyarakat. Namun unsur–unsur tersebut tetap menghormati hukum adat masyarakat setempat, bahkan dalam penerapannya unsur-unsur Hukum Waris Islam dapat berjalan bersama dengan Hukum Adat dan dapat mengisi kekosongan hukum yang berkaitan dengan masalah pewarisan.

Unsur-unsur dari Hukum Waris Islam yang diterapkan dalam pewarisan pada masya-rakat Kecamatan Gambut meliputi proses pewarisan yang dilakukan ketika pewaris wafat, penggunaan harta peninggalan, pembagian harta warisan secara Hukum Islam, pelunasan utang pewaris, hibah wasiat, kedudukan anak angkat dan kedudukan janda maupun duda.

Page 28: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

234 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-235, ISSN 2085-6644

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap masyarakat Kecamatan Gambut mengenai eksistensi Hukum Waris Adat mereka, dapat ditarik kesimpulan se-bagai berikut:

1. Beberapa unsur dari Hukum Waris Adat pada masyarakat Kecamatan Gambut keberadaannya masih tetap eksis hingga sekarang meskipun dalam aplikasinya, Hukum Waris Adat ini kadang kala diterapkan bersama-sama dengan unsur-unsur dari Hukum Waris Islam. Adanya pilihan hukum di dalam penerapan antara unsur -unsur Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam ditentukan oleh kesadaran hukum dari masyarakat itu sendiri. Unsur-unsur tersebut meliputi wak tu diadakannya pembagian waris, pembagian harta peninggalan dan harta warisan berdasarkan Hukum Adat, bagian yang diterima ahli waris, adanya harta warisan yang tidak dibagi, wujud dari penetapan terhadap pemeliharaan anak angkat serta kedudukan tanah pertanian.

2. Dalam hukum waris yang diterapkan oleh masyarakat Kecamatan Gambut terdapat beberapa unsur dari Hukum Waris Islam. Keberadaan unsur dari Hu-kum Waris Islam ini dapat diterima oleh masyarakat. Namun unsur–unsur ter-se but tetap menghormati hukum adat masyarakat setempat, bahkan dalam pene rapannya unsur-unsur Hukum Waris Islam dapat berjalan bersama dengan Hukum Adat dan dapat mengisi kekosongan hukum yang berkaitan dengan masalah pewarisan. Unsur-unsur dari Hukum Waris Islam yang diterapkan dalam pewarisan pada masyarakat Kecamatan Gambut meliputi proses pewarisan yang dilakukan ketika pewaris wafat, penggunaan harta peninggalan, pembagian harta warisan secara Hukum Islam, pelunasan utang pewaris, hibah wasiat, kedudukan anak angkat dan kedudukan janda maupun duda.

Saran

1. Menghadapi permasalahan waris yang terjadi di lingkungan masyarakat Suku Banjar yang beragama Islam di Kecamatan Gambut, dalam penyelesaiannya di samping menerapkan unsur-unsur dari Hukum Waris Islam hendaknya juga mem perhatikan Hukum Adat yang masih hidup di masyarakat karena Hukum Adat yang berkaitan dengan waris masih tetap eksis hingga sekarang.

2. Pemerintah dan masyarakat dalam hal ini hendaknya tetap menghormati, men-jaga dan melestarikan keberadaan adat istiadat Bangsa Indonesia di setiap daerah karena dari adat istiadat masyarakat itulah akan lahir hukum adat yang akan mengayomi dan menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat selama tidak bertentangan dengan Dasar Negara yaitu Pancasila dan cita–cita luhur dari Ne-gara Indonesia yang tertuang di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 29: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmat Budiman, Eksistensi Hukum Waris Adat Masyarakat Suku Banjar Muslim... | 235

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung.

Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alphabeta, Bandung.

Ronny Hanintijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Salman, R. Otje, 1993, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung.

Soekanto, Soejono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

Karya Ilmiah dan Penelitian

Aberan, 1999, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Bagi Masyarakat Kotamadya Banjarmasin Kalimantan Selatan, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Fakultas Hukum UNLAM, 1973, Penelitian Harta Perkawinan Masyarakat Banjar, Banjarmasin.

Mahkamah Agung RI, 1976, Laporan Penelitian Hukum Adat Tentang Warisan Di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Jakarta.

Salman, R. Otje, 1992, Pelaksanaan Hukum Waris Di Daerah Cirebon Dilihat Dari Hukum Waris Adat Dan Hukum Waris Islam, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Peraturan Perundangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Keputusan Mahkamah Agung tanggal 2 November 1960, Reg. No. 302 K/SIP/1960.

Page 30: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 31: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGADUAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP

PEREMPUAN DI KOTA BANJARMASIN

Mulyani Zulaeha*Rahmida Erliyani*Dermawati Sihite*

[email protected]., Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Abstract: Although peripheral of law there have protecting woman of hardness in house-hold, but in the reality still many woman which fall victim to. Wife which fall victim to from done by hardness is husband can do denunciating, research in Poltabes Banjarmasin showing from 14 denunciating only 3 continued case. Denunciating do not be continued by because economic factor, fear to be divorced and husband grudge, while denunciating which remain to be continued by because wife do not hold up by force husband physical and as effect discourage.

Keywords: factor, accusation, domestic violence

Abstrak: Walaupun hukum sudah melindungi perempuan/isteri dari kekerasan dalam rumah tangga, tetapi dalam kenyataan banyak perempuan/isteri yang menjadi korban kekerasan. Isteri yang menjadi korban kekerasan yan dilakukan suami dapat melakukan pengaduan. Riset di Poltabes Banjarmasin menunjukkan dari 14 (empat belas) pengaduan hanya 3 (tiga) kasus yang dilanjutkan. Pengaduan tidak dilanjutkan karena faktor eko-nomi, takut untuk diceraikan, dan takut suami dendam. Sedangkan pengaduan yang di-lan jutkan karena isteri tidak tahan dengan kekerasan fisik yang dilakukan suami serta sebagai efek jera.

Kata kunci : faktor, pengaduan, kekerasan dalam rumah tangga

Perempuan adalah makhluk yang mulia,ia memegang peranan penting dalam kehi-dupan karena merekalah yang melahirkan generasi dan turut menentukan kualitas generasi suatu bangsa. Karenanya perempuan patut untuk mendapatkan perlindungan, bebas dari rasa takut dan segala bentuk kekerasan. Akan tetapi saat ini kenyataan berbicara lain, berbagai kasus kekerasan menimpa kaum perempuan baik yang terjadi dalam kehidupan umum maupun didalam lingkup rumah tangga mereka.

Masalah perempuan sebagai korban kekerasan bukanlah suatu fenomena yang baru terjadi dalam masyarakat, tetapi hal ini telah berlangsung sejak lama. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian muncul suatu anggapan masyarakat bahwa kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan bagian dari suatu ritme atau gelombang kehidupan yang biasa terjadi.

Page 32: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

238 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Dalam perspektif feminis berkeadilan gender, maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga diduga kuat karena lemahnya posisi tawar kaum perempuan (Fatimah: 2005). Dengan tingkat ketergantungan yang kuat terhadap kaum laki-laki, maka kemudian ter bentuk dan berkembang bahwa perempuan adalah sebagai manusia kelas dua. Oleh sebab itu kekerasan yang menimpa perempuan khususnya yang terjadi dalam lingkup do mes tik rumah tangga (suami terhadap isteri) dianggap merupakan salah satu aib yang wajib dilindungi dan ditutupi untuk menjaga kehormatan keluarga, walaupun sebenarnya telah ada perangkat hukum yang melindungi pihak perempuan sebagai korban kekerasan untuk memperoleh perlindungan dan keadilan yaitu melalui Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU PKDRT).

Akan tetapi walaupun sudah ada undang-undang yang melindungi pihak perempuan, saat ini kenyataan berbicara lain berbagai kasus kekerasan menimpa kaum perempuan baik yang terjadi di ruang domestik (rumah tangga), maupun kekerasan yang terjadi di-ruang publik (diluar rumah tangga) yang secara kuantitas dan kualitas terus meningkat sepanjang tahun.

Berbagai data menunjukan tentang tindak kekerasan terhadap perempuan di Indonesia semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari data pada akhir tahun 2001 tercatat 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2002 angka ini bertambah menjadi 5.163 (Yurliani: 2005). Kemudian pada tahun 2003 berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan dari berbagai lembaga dan daerah di Indonesia, jumlah korban kekerasan terhadap perempuan ada 5.934 kasus, 2.703 kasus (46 %) diantaranya adalah kasus kekerasan yang terjadi dilingkup domestik (rumah tangga). Sedangkan data Komnas Perempuan tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat men-jadi 22.512 kasus. 16.709 kasus (76 %) diantaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Berdasarkan hasil penelitian tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Banjarmasin tahun 2006, khususnya kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri menunjukkan bahwa jenis kekerasan yang terjadi secara proposional adalah kekerasan fisik dan psikis (33,33 %), kekerasan fisik dan ekonomi (23,80%), kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi (19,00%), kekerasan psikis dan seks (4,8 %), dan kekerasan seks (4,8%) (Rosita Saifuddin, Yurliani dan Diana Haiti: 2006).

Data yang diperoleh dari Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polda Kalimantan Selatan tahun 2006, di Kalimantan Selatan tercatat ada 42 kasus yang korbannya adalah perempuan, 16 diantaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari 16 kasus peng aduan karena kekerasan dalam rumah tangga oleh pihak istri. Sedangkan data dari Pelayanan Perempuan dan Anak di Poltabes Banjarmasin tahun 2006 dan 2007, di Kota Banjarmasin tercatat ada 20 kasus yang korbannya adalah perempuan, 14 diantaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap isteri yang didasarkan pada UU PKDRT, 4 kasus penganiayaan oleh anggota keluarga yang dida-sarkan pada ketentuan pidana KUHP. Selanjutnya menurut data Kejaksaan Negeri Banjarmasin tahun 2006/2007 hanya 3 kasus yang dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selan jutnya diproses di persidangan, sedangkan 11 kasus lainnya tidak dilanjutkan.

Page 33: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 239

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa faktor-faktor yang berpengaruh untuk mendorong isteri melakukan pengaduan atas kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya?

2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan isteri tidak melanjutkan kasus tersebut ke proses selanjutnya?

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Tindak Kekerasan

Kekerasan (violence) menunjukkan suatu tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta, benda atau fisik atau meng-akibatkan kematian pada seseorang (Romli Atmasasmita, 1992: 5). Adapun bentuk per-wujudan tindak kekerasan meliputi perbuatan-perbuatan penganiayaan ringan/berat, memaksa orang melakukan sesuatu yang melanggar hukum, membuat orang pingsan, perkosaan dan sebagainya (Arif Gosita, 2004: 10).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita mengenal ada berbagai macam perbuatan yang dikategorikan suatu tindak pidana kekerasan, misalnya peng-aniayaan, pembunuhan dan sebagainya. Yang dimaksud dengan tindak kekerasan dalam perumusan KUHP meliputi perumusan pada Pasal 89, Pasal 285, Pasal 289, Pasal 335, Pasal 351, 352, dan Pasal 354.

Diundangkannya UU PKDRT dan adanya Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, merupakan upaya menghargai dan melindungi perempuan agar terhindar dari segala bentuk kekerasaan yang mungkin terjadi dan dialaminya dalam keluarga. Memang sudah merupakan kenyataan sosial bahwa ancaman dan tindak kekerasaan sering dialami oleh perempuan dimana saja. Hal tersebut bisa dialami di jalanan, sekolah, pasar, lingkungan pergaulan bahkan dalam keluarganya sendiri. Bentuk kekerasan ini bisa beragam seperti penodongan, ancaman, perampokan atau pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan (Lita Purnama, 2005: 15).

Memang kekerasaan dan perempuan seringkali menjadi hal yang saling terkait, banyak perbincangan dewasa ini mengenai kedua hal tersebut, dikarenakan seringnya ancaman dan tindak kekerasaan terjadi terhadap perempuan dalam sistem sosial dimasyarakat kita. Lebih mengerikan lagi ketika kekerasan itu terjadi di dalam sebuah keluarga yang selayaknya menjadi tempat berteduh yang damai bagi perempuan dan anggota keluarga lainnya. Apalagi jika ternyata tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga tidak terdeteksi atau tidak ada penyelesaian secara yuridis.

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasaan Terhadap Perempuan, membagi ruang terjadinya kekerasaan terhadap perempuan atas tiga lingkup, yaitu di keluarga (domestic), di masyarakat (public domain), serta dilakukan oleh Negara (state). Pemba-gian ruang lingkup ini menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan terlindungi

Page 34: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

240 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

dari intervensi luar yang ingin membantu korban kekerasaan dalam keluarga tersebut. Kekerasaan semacam itu sekarang dikenal dengan sebutan kekerasaan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasaan dalam rumah tangga di negara kita dianggap oleh hukum sebagai suatu ‘kejahatan’.

Kejahatan dalam bentuk kekerasaan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat lebih kita pahami dengan mengacu kepada berbagai peraturan, diantaranya menurut Pasal 1 Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan (PBB 1993) me nyebutkan kekerasaan terhadap perempuan adalah “setiap tindakan bardasarkan perbe daan jenis kelamin, (gender based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi didalam masyarakat secara umum maupun dalam kehidupan pri badi (Rita Serena Kolibonso, 2005: 40).

Menurut hasil konferensi dunia yang ke-4 di Beijing Tahun 1995 bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah “Any act of gender based violence that result in, or is likely to result in, physical, sexual, or physicologcal harm or suffering to women, incluiding threats such acts, coercion or arbitary deprevation of liberty, whether occurring in public or private life ….”(Djannah, “et al”, 2003: 25).

Sedangkan menurut UU PKDRT yang dimaksud dengan kekerasaan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan dan penderitaan fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 4 UU PKDRT).

Jadi ada empat bentuk kekerasaan dalam rumah tangga menurut UU PKDRT (Yurliani, 2005), yaitu:

1. Kekerasaan fisik adalah perbuatan yang akibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat ( Pasal 6 UU PKDRT);

2. Kekerasaan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaaan psikis berat pada seseorang ( Pasal 7 UU PKDRT);

3. Kekerasaan seksual, meliputi; pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap didalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan sek-sual untuk komersil terhadap salah seorang yang berada dalam lingkup rumah tangganya ( Pasal 8 UU PKDRT);

4. Penelantaran rumah tangga yang lazim dikenal dengan sebutan kekerasaan se-cara ekonomi dalam rumah tangga, termasuk menelantarkan orang atau salah seorang dalam rumah tangga yang menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuannya atau karena perjanjian ia wajib memberi kehidupan, pera-watan, atau pemeliharaan pada orang tersebut. Selain itu kekerasan secara eko-nomi termasuk pula pembatasan atau melarang anggota dalam rumah tangga tersebut untuk mencari pekerjaan yang layak di dalam atau diluar rumah dan

Page 35: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 241

mengakibatkan ketergantungan orang tersebut sehingga dapat berada dibawah kendali (Yurliani : 2005).

Ruang Lingkup Rumah Tangga

Adapun ruang lingkup rumah tangga itu meliputi; keluarga batih, keluarga besar, dan mereka yang bekerja pada rumah tangga. Ruang lingkup rumah tangga menurut UU PKDRT, meliputi:

1. Suami, isteri dan anak-anak;

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, peng-asuhan, dan perwalian yang menetap di rumah tangga;

3. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

UU PKDRT ini telah memandang ruang lingkup keluarga atau rumah tangga adalah lebih luas dari pemahaman keluarga inti menurut masyarakat secara umum yang hanya terdiri dari suami, isteri dan anak-anak, tetapi juga melindungi pihak lain yang berada dalam rumah tangga tersebut, baik yang karena hubungan darah, perkawinan dan hu-bungan pekerjaan.

Perlindungan secara yuridis terhadap perempuan dinegara kita memang sudah teraktualisasi dalam berbagai instrumen hukum, diantaranya UU PKDRT yang dikatakan sebagai perkembangan dan pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan. Namun meskipun demikian masih perlu banyak perjuangan untuk menghindarkan perempuan dari tindak kekerasaan dan kesewe-nang-wenangan, tidak hanya subtsansi hukumnya saja tapi dari segi penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasaan terhadap perempuan juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Instrumen Hukum Nasional yang sudah berupaya melindungi perempuan perlu pula ditindak lanjuti dengan penegakan hukum yang baik.

Pengertian Pengaduan dan Delik Aduan

Dalam sebuah sistem penegakan hukum pidana di negara kita melibatkan ber bagai pihak sebagai penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim Pengadilan). Tetapi proses penegakan hukum pidana tidak hanya memerlukan peran para aparat penegak hukum juga diharapkan peran serta para saksi dan saksi korban. Saksi korban dalam hal ini sangat berperan untuk tahap awal proses penegakan hukum pidana. Karena merekalah yang mula-mula dapat melaporkan atau mengadukan tindak pidana yang telah mereka alami.

Adapun pengertian pengaduan menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah: Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Page 36: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

242 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Jadi dalam sistem hukum pidana kita mengenal adanya delik-delik aduan disamping delik-delik lainnya yang bukan merupakan delik aduan. Delik aduan menurut KUHP adalah suatu peristiwa atau tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas adanya pengaduan (permintaan) dari orang atau pihak yang kena peristiwa pidana itu (R. Soesilo, 1996: 30). Kemudian KUHP juga menyebutkan dalam Pasal 75 bahwa Barang siapa yang memasukkan pengaduan tetap berhak untuk mencabut kembali pengaduannya itu dalam tempo tiga bulan sejak hari memasukkannya.

Delik aduan dalam konteks tindak kekerasan dalam rumah tangga berlaku pula ke-ten tuan mengenai delik aduan ini sebagaimana diatur dalam UU PKDRT tetapi keten-tuan mengenai delik aduan ini hanya berlaku bagi korbannya suami atau isteri. Terhadap korban lain selain suami atau isteri maka ketentuan delik aduan ini tidak berlaku, se-hingga proses penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga itu tetap dapat berlanjut atau tetap dapat diproses hukum secara pidana yakni yang dilakukan penyi-dikan oleh kepolisian dan dilanjutkan dengan penuntutan oleh kejaksaan dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Lain halnya untuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya maka berlaku ketentuan mengenai delik aduan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 51, 52, 53 KUHP. Dengan demikian karena berlaku ketentuan mengenai delik aduan sehingga korban tindak kekerasan dalam rumah tangga ini (suami atau isteri) berhak untuk mencabut kembali (tidak melanjutkan) pengaduannya mengenai tindak kekerasan yang dialaminya tersebut.

METODE PENELITIAN

Pendekatan Masalah: Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Metode pendekatan kualitatif untuk menggali informasi apa yang dialami oleh responden melalui wawancara yang mendalam (in depht interview).

Penelitian dilakukan di Kota Banjarmasin, meliputi Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Banjarmasin dan Kejaksaan Negeri Banjarmasin serta di lokasi tempat tinggal korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengadukan kasusnya ke Kepolisian.

Penentuan Responden: Responden yang dijadikan objek penelitian adalah para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mengadukan kasusnya ke Kepolisian.

Teknik Pengumpulan Data: Data adalah kenyataan yang terdapat di lapangan yang merupakan hasil pengamatan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Dengan menggunakan teknik antara lain: (1) Wawancara mendalam dilakukan dengan cara mendatangi dari rumah ke rumah di tempat korban kekerasan dalam rumah tangga yang mengadukan kasusnya ke kepolisian, (2) Wawancara dengan aparat Kepolisian.

Analisa Data: Data yang diperoleh diseleksi dan dikelompokkan. Data tersebut ke mu dian dianalisis dan ditafsirkan, selanjutnya dilakukan pemaknaan dan ditarik ke-simpulan. Untuk pengelompokkan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif tersebut dengan menggunakan tabel prosentase dan dengan Program SPSS versi 12.0.

Page 37: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 243

HASIL PENELITIAN

Menurut data yang diperoleh dari Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepo-lisian Kota Besar (Poltabes) Banjarmasin berkaitan dengan laporan/pengaduan ke kerasan dalam rumah tangga untuk tahun 2006 ada 6 kasus dan tahun 2007 terdapat 12 kasus yang masuk, dimana korbannya adalah pihak perempuan. Dari 18 kasus tahun 2006 dan tahun 2007 tersebut 14 kasus adalah kasus atas dasar kekerasan dalam rumah tangga dimana pihak isteri sebagai orang yang mengadukan suaminya ke polisi, sedang kan 6 kasus lainnya adalah kasus penganiayaan yang korbannya adalah perempuan. Berda-sarkan data di Poltabes Banjarmasin, dari 14 kasus yang ada hanya 3 kasus yang ke-mudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk proses selanjutnya. Sehingga ber-dasarkan data tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian kepada 14 (empat belas) responden yang melakukan pengaduan ke polisi atas dasar kekerasan dalam rumah tang ga tersebut.

Berdasarkan data yang peneliti peroleh dari para responden melalui wawancara, peneliti menginventarisasikan data sebagai berikut:

Tabel 1Usia Responden

No Usia Frekuensi %1.2.3.

18 – 2526 – 3536 – 45

446

28,628,642,8

Jumlah 14 100Sumber : Data Primer

Berdasarkan usia perempuan/isteri yang melakukan pengaduan terhadap suaminya ke polisi atas dasar telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, maka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan 28,6 % adalah berusia antara 18 tahun sampai 25 tahun, 26 tahun sampai 35 tahun adalah juga 28,6 %, dan yang terbanyak adalah rentang usia antara 36 sampai 45 tahun yaitu 42,8 %.

Tabel 2Pendidikan Responden

No Pendidikan Frekuensi %1.2.3.4.

Tidak Tamat SDSDSMPSMA

2642

14,342,828,614,3

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Page 38: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

244 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 14,3 % responden tidak sekolah/tidak tamat SD, 42,8 % berpendidikan terakhir SD, 28,6 % berpendidikan sampai SMP, dan 14,3 % responden berpendidikan SMA. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian tidak ada responden yang berpendidikan sarjana. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak polisi yang membidangi Pelayanan Perempuan dan Anak Poltabes Banjarmasin, perempuan atau isteri yang berpendidikan sarjana tidak mau mengadukan suaminya ke polisi atas dasar Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tetapi kebanyakan mereka hanya untuk me-minta visum bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, yang mana hasil visum tersebut selanjutnya akan mereka jadikan sebagai bukti yang menguatkan dalam proses perceraian di Pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Jadi berdasarkan hasil penelitian, untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga perempuan/isteri yang berpendidikan lebih tinggi cenderung tidak menggunakan jalur hukum pidana melalui pengaduan ke polisi, melainkan melakukan gugatan secara perdata yaitu melalui gugatan perceraian atas dasar tidak ada lagi kecocokan karena sering bertengkar/telah terjadi kekerasan fisik dengan bukti visum et revertum dari kepolisian.

Tabel 3Pekerjaan Responden

No Pekerjaan Responden Frekuensi %1.2.

Tidak BekerjaBekerja Tidak Tetap

131

92,87,2

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Responden yang melakukan pengaduan ke polisi 93 % adalah perempuan atau isteri yang tidak bekerja atau berstatus sebagai ibu rumah tangga, 7 % adalah bekerja (swas-ta), dan tidak ada responden yang berstatus pegawai negeri sipil. Nampak dari hasil penelitian tersebut kebanyakan isteri yang mengadukan suaminya ke polisi karena alasan telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah berstatus tidak bekerja atau ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kanit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Poltabes Banjarmasin Ibu Aiptu Sulastri, pada saat pihak PPA melakukan sosialisasi/seminar UU PKDRT di beberapa kantor pemerintah dan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan bahwa perempuan/isteri yang berstatus pegawai negeri sipil lebih tertutup atas kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi.

Tabel 4Pekerjaan Suami Responden

No Pekerjaan Suami Frekuensi %1.2.

Bekerja TetapTidak Bekerja/BekerjaTidak Tetap

95

64,335,7

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Page 39: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 245

Hasil penelitian menunjukkan suami dari responden yang bekerja sebesar 64,3 %, sedangkan 35,7 % nya adalah tidak bekerja/pekerjaan tidak tetap.

Tabel 5Agama Responden

No Agama Frekuensi %1. Islam 14 100

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian semua responden atau 100 % adalah beragama Islam

Tabel 6Status Perkawinan Responden

No Status Perkawinan Frekuensi %1.2.

Nikah Dibawah Tangan/SiriNikah Resmi

86

57,242,8

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan, 57,2 % pengaduan pihak isteri terhadap suaminya adalah berstatus pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan. Dan 42,8 % nya adalah status pernikahan yang terdaftar di Kantor Urusan Agama. Status perkawinan ini ternyata membawa pengaruh terhadap perlindungan yang diberikan. Berdasarkan wawan cara dengan Kanit Reskrim Poltabes Banjarmasin Bapak Andi Suminto bahwa se orang isteri yang menikah siri (pernikahan bawah tangan) yang tidak didaftarkan, yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga maka kasus yang demikian tidak dapat dilanjutkan dengan menggunakan dasar hukum UU PKDRT, sehingga bagi mereka yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang status perkawinannya adalah dibawah tangan hanya dapat menggunakan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dikenai pasal-pasal penganiayaan.

Hal yang demikian jika dianalisis berdasarkan konsep perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah menurut undang-undang perkawinan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan tiap-tiap perkawinan itu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perka-winan baru dianggap sah sepanjang perkawinan itu didaftarkan dan dibuktikan dengan adanya Akta Nikah.

Berdasarkan penelitian dimana kasus kekerasan dalam rumah tangga yang status per kawinannya adalah nikah dibawah tangan yaitu pernikahan yang dilakukan menurut ketentuan hukum islam tanpa ditindaklanjuti dengan pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama, mengakibatkan perkawinan tersebut dianggap belum ada menurut

Page 40: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

246 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

hukum, hal ini mengakibatkan pihak isteri yang mengadukan suaminya ke polisi dianggap sebagai laporan polisi bahwa telah terjadi suatu penganiayaan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan bukan seorang suami kepada seorang isteri. Oleh karena itu terhadap kasus ini hanya dikenakan tindak pidana penganiayaan yang didasarkan pada pasal-pasal dalam KUHP, bukan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan UU PKDRT.

Data yang diperoleh kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani oleh pihak Poltabes Banjarmasin, 57,2 % berstatus nikah siri maka hal ini menyebabkan kasus dalam rumah tangga itu dialihkan kepada kasus penganiayaan.

Tabel 7Jumlah Anak

No Jumlah Anak Frekuensi %1.2.3.4.

Tidak Punya Anak1 – 2 orang anak3 – 4 orang anak5 – 6 orang anak

1283

7,214,357,121,4

Jumlah 14 100

Sumber : Data Primer

Jumlah anak dari responden berdasarkan hasil penelitian adalah 7,2 % responden tidak/belum punya anak, 14,3 % responden mempunyai anak antara 1 sampai 2 orang, 57,1 % responden mempunyai anak antara 3 sampai 4, dan 21,4 % responden mempunyai anak 5 sampai 6 orang.

Berdasarkan penelitian keberadaan anak adalah salah satu alasan yang menyebabkan banyak pengaduan kemudian dicabut kembali oleh pihak isteri

Pengetahuan Responden Terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengetahui Istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian, responden mengetahui tentang istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengaku mengetahui melalui siaran televisi sebanyak 43 %, melalui siaran radio sebanyak 29 %, kemudian 21 % responden mengetahui istilah

Page 41: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 247

KDRT melalui tetangga atau pihak keluarga, dan hanya 7 % responden mengetahui istilah KDRT melalui sosialisasi Undang-Undang

Mengetahui Isi UU Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)

Sumber : Data Primer

Sebanyak 40 % responden menyatakan mengetahui isi UU Nomor 23 Tahun 2004 adalah mengetahui tentang PKDRT, sedangkan 60 % tidak mengetahui bahwa UU Nomor 23 Tahun 2004 tersebut adalah tentang PKDRT.

Mengetahui Bentuk Perlindungan yang Diberikan Oleh UU Nomor 23 Tahun 2004

Sumber : Data Primer

Sebanyak 40 % responden tahu bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, sedangkan 60 % tidak mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan UU tersebut.

Namun tingkat pengetahuan responden terhadap bentuk perlindungan yang dimak-sud terbatas hanya perlindungan yang diberikan oleh pihak kepolisian saja yaitu bahwa jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada isterinya, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 isteri dapat mengadukan suaminya pada polisi dan pihak isteri sejak saat itu dilindungi oleh polisi. Padahal sebenarnya bentuk perlin-dungan tidak hanya diberikan oleh pihak kepolisian saja melainkan dari berbagai pihak yang terkait yaitu kejaksaan, pengadilan, advokat, dinas sosial, lembaga sosial, relawan, pendamping atau pembimbing rohani.

Page 42: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

248 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Bentuk perlindungan yang diberikan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT adalah:

Pasal 16:1. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan

kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban;

2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani;

3. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan

Pasal 17:Kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban

Pasal 18:Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan

Pasal 19:Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

Pasal 20:Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:

a. Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

b. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, dan;

c. Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban

Pasal 21:1. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus:

a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

2. Pelaksanaan kesehatan yang dimaksud dilakukan disarana kesehatan milik pe-me rintah, pemerintah daerah atau masyarakat

Pasal 22:1. Dalam memberikan pelayanan pekerja sosial harus :

a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;

Page 43: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 249

b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlin-dungan dari kepolisian dan penetapan perintah dari pengadilan;

c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;

d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada kor-ban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

2. Pelayan pekerja sosial sebagaimana dimaksud dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat

Pasal 23:Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:

a. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa pendamping;

b. mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemerik-saan pegadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

c. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didmpingi oleh pendamping ;

d. memberikan dengan aktif penguata secara psikologi dan fisik kepada korban.

Pasal 24:Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban

Pasal 25:Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan advokat wajib:

a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;

c. melakukan koorinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

Pasal 26:1. Korban berhak melaporkan secara langsung dalam rumah tangga kepada

kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara;

2. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.

Page 44: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

250 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Pasal 27:Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, peng asuh atau anak yang bersangkutanyang dilakukan sesuai dengan etentuan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 28:Ketua pengadilan dalam tengang waktu 7 hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan ang-gota keluarga lain kecuali ada alasan yang patut.

Pasal 29:Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

a. korban atau keluarga korban;

b. teman korban;

c. kepolisian;

d. relawan pendamping atau;

e. pembimbing rohani.

Pasal 30:1. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau

tertulis;

2. Dalam hal permohonan dilakukan secara lisan, panitera pengadilan negeri se-tempat wajib mencatat permohonan tersebut;

3. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan, pendamping atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya;

4. Dalam keadaan tertentu permohoan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.

Pasal 31:1. Atas permohonan korban atau kuasanya pengadilan dapat mempertimbangkan

untuk :

a. menetapkan suatu kondisi khusus;

b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlin-dungan

2. Pertimbangan yang dimaksud dapa diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan kekerasan dalam rumah tangga

Pasal 32:1. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun;

2. Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan;

3. Permohonan perpanjangan perintah perlindungan diajukan 7 hari sebelum berakhir masa berlakunya

Page 45: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 251

Pasal 33:1. Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan;

2. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan pengadilan wajib memper-timbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, tenaga sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani

Pasal 34:1. Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat

menya takan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan;

2. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja so-sial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani.

Pasal 35:1. Kepolisian dapat menangkap untuk menangkap untuk selanjutnya melakukan

penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi bertugas;

2. Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibe-rikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 jam;

3. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimak-sud dalam ayat (1).

Pasal 36:1. Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap

pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah per lindngan;

2. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam.

Pasal 37:1. Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara

tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan;

2. Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 jam;

3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.

Pasal 38:1. Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah per-

lindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan;

Page 46: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

252 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

2. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari;

3. Penahanan sebagaimana dimaksud ayat (2)disertai dengan surat perintah pena-hanan.

Mengetahui Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Sumber : Data Primer

Sebanyak 40 % responden mengetahui apa saja bentuk atau ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, sedangkan 60 % tidak mengetahui apa saja bentuk kekerasan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pengetahuan responden berkaitan dengan ben-tuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah terbatas pada kekerasan fisik saja, bentuk kekerasan rumah tangga sesuai dengan UU PKDRT responden tidak mengetahui secara rinci.

UU PKDRT dalam Pasal 5 menyebutkan bentuk larangan kekerasan dalam rumah tangga yaitu meliputi:

1. kekerasan fisik

2. kekerasan psikis

3. kekerasan seksual penelantaran rumah tangga

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6), kekerasan psikisadalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7).

Kekerasan seksual menurut Pasal 8 meliputi:

a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tanggganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu

Sedangkan yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 adalah:

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

Page 47: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 253

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan ke-pada orang tersebut;

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak didalam tau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Mengetahui hak-hak korban menurut UU PKDRT

Sumber : Data Primer

Berdasarkan penelitian, sebanyak 40 % responden mengaku mengetahui apa saja hak-hak korban yang dilindungi oleh UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, sedangkan 60 % tidak mengetahui apa saja hak-hak korban KDRT tersebut.

Pengetahuan responden berkaitan dengan hak-hak yang dilindungi adalah hanya menyangkut tentang hak perlindungan yang diberikan oleh kepolisian kepada orang yang melaporkan atau mengadukan kasus kekerasan dalam rumah tangga saja.

Hak-hak korban menurut Pasal 10 UU PKDRT, korban berhak mendapatkan:

1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lem baga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban

4. perlindungan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

5. pelayanan bimbingan rohani.

Mengetahui Ancaman Pidana bagi Pelaku KDRT

Sumber : Data Primer

Page 48: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

254 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Sebanyak 40 % responden mengetahui ancaman pidana bagi siapa saja yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga menurut UU PKDRT, sedangkan 60 % tidak mengetahui apa saja ancaman pidana tersebut.

Berdasarkan penelitian pengetahuan responden berkaitan dengan ancaman pidana yang dapat dikenakan pada pelaku adalah terbatas pada pengetahuan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan fisik dapat dikenai ancaman pidana berupa pidana penjara. Sedangkan pengetahuan berkaitan apa saja ancaman pidana yang dapat dikenakan, lama pidana penjara, atau pidana denda responden tidak mengetahui.

Ketentuan pidana dalam UU PKDRT diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal 50.

Pasal 44:1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lngkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana pen jara palin lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00;

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kor-ban mendapat jatuh sakit atau luka berat dipidan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00;

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau den-da paling banyak Rp. 45.000.000,00;

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00.

Pasal 45:1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam linkup rumah

tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00;

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00

Pasal 46:Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00

Pasal 47:Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana

Page 49: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 255

penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00

Pasal 48:Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya piker atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00

Pasal 49:Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00, setiap orang yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2)

Pasal 50:Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu , maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu

Faktor/Alasan Perempuan/Isteri Melakukan Pengaduan ke Polisi

Penyebab Terjadinya KDRT

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan 100 % pengaduan yang dilakukan oleh isteri di Poltabes Banjarmasin Tahun 2006 dan Tahun 2007 atas dasar telah terjadi KDRT adalah karena kekerasan fisik. Sedangkan pengaduan karena kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga tidak ada.

Penyebab Terjadinya Kekerasan Fisik

Sumber : Data Primer

Page 50: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

256 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

Responden menyatakan bahwa kekerasan fisik yang dilakukan suami kepadanya adalah 57 % karena faktor ekonomi, 29 % karena terjadinya salah paham, dan 14 % karena cemburu.

Alasan Isteri Melakukan Pengaduan

Sumber : Data Primer

Penelitian menunjukkan mengapa responden melakukan pengaduan ke polisi atas kekerasan fisik yang dideritanya karena perbuatan suami adalah sebanyak 36 % takut perbuatan suami terulang/tidak tahan dengan kekerasan fisik yang selalu dilakukan oleh suami, 14 % minta perlindungan polisi, 21 % mengadukan suami sebagai efek jera bagi suami supaya jangan mengulangi lagi, sebanyak 20 % responden mengetahui hak-hak korban KDRT sehingga ia melakukan pengaduan, dan 9 % karena responden marah atau kesal terhadap suami yang selalu memukul isteri.

Inisiatif Isteri Melakukan Pengaduan

Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian 50 % responden mengaku melakukan pengaduan atas kekerasan yang telah dialaminya karena inisiatif sendiri, 36 % pengaduan karena inisitif/desakan keluarga yang kasihan melihat perilaku suami, dan 14 % pengaduan karena dorongan pihak tetangga yang kesal dengan perilaku suami responden.

Cara Melakukan Pengaduan ke Polisi

Sumber : Data Primer

Page 51: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 257

Hasil penelitian menunjukan 50 % responden melakukan pengaduan dengan datang sendiri ke polisi, 36 % datang bersama pihak keluarga dan 14 % responden melakukan pengaduan ke polisi diantar pihak tetangga

Faktor/Alasan Pihak Perempuan/Isteri Mencabut Pengaduan

Alasan Mencabut Pengaduan

Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mencabut pengaduan karena membayangkan dampak dari pengaduan yang dilakukan yaitu 36 % karena takut dicerai oleh suami, 14 % takut dibunuh oleh suami/dendam suami, dan 50 % karena alasan ekonomi yaitu suami adalah pencari nafkah bagi keluarga, hal ini karena rata-rata pihak isteri tidak bekerja, sehingga jika suami di penjara karena hal ini maka siapa yang akan membiayai hidup isteri dan anak-anak. Karena membayangkan dampak ini maka banyak pengaduan yang dilakukan kemudian dicabut kembali oleh responden.

Inisiatif Mencabut Pengaduan

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan responden mencabut pengaduan atas inisiatif sendiri sebanyak 40 %, 9 % mencabut kembali pengaduan karena dorongan dari keluarga, dan 51 % responden mencabut pengaduan setelah didamaikan atau mendengar saran-saran dari pihak Kepolisian di Lembaga Pelayanan Perempuan dan Anak yang bertindak sebagai

Page 52: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

258 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

seorang mediator dalam perselisihan antara suami dan isteri karena adanya pengaduan/laporan KDRT. Sedangkan inisiatif mencabut pengaduan atas desakan pihak tetangga tidak ada. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa peran Pelayanan Perempuan dan Anak di Poltabes Banjarmasin sangat besar dalam upaya untuk mendamaikan kembali antara suami dan isteri, sehingga pihak isteri mencabut kembali pengaduannya atas suaminya.

Faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pencabutan Pengaduan

Sumber : Data Primer

Berdasarkan hasil penelitian, ternyata faktor atau alasan pihak isteri melakukan pencabutan kembali atas pengaduannya tidak saja datang diri sendiri, dorongan pihak keluarga dan saran-saran dari PPA tetapi ada faktor lain yang juga berpengaruh, yaitu 40 % responden beranggapan karena faktor agama yang mereka anut, 35 % karena faktor budaya yaitu adanya anggapan bahwa masalah KDRT adalah masalah intern sehingga tidak diperlukan campur tangan pihak lain, dan 25 % karena malu jika masalah tersebut sampai diketahui banyak orang.

Faktor/Alasan Pengaduan Tetap Dilanjutkan ke Proses Penegakan Hukum Selanjutnya

Alasan Dilanjutkannya Pengaduan

Sumber : Data Primer

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tetap melanjutkan pengaduannya sampai tahap selanjutnya yaitu persidangan adalah karena betul-betul sudah tidak tahan

Page 53: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 259

lagi dengan kekerasan yang dilakukan pihak suami yaitu sebanyak 67 %, dan sebagai efek jera atas perbuatan suami sebanyak 33 %.

Inisiatif Pengaduan Tetap Dilanjutkan

Sumber : Data Primer

Responden menyatakan bahwa pengaduan dilanjutkan atas dasar keinginan sendiri sebanyak 55 % dan atas dorongan orang tua/keluarga sebesar 45 %, sedangkan inisiatif melanjutkan pengaduan karena saran dari PPA Poltabes Banjarmasin tidak ada

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi seorang isteri mengadukan suaminya ke polisi atas dasar telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga adalah karena pengetahuan isteri tentang istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bentuk ke-kerasan, perlindungan yang diberikan, dan hak-hak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga baik melalui media televisi, radio, tetangga/keluarga dan sosialisasi Undang-Undang;

2. Faktor yang mendorong seorang isteri melakukan pengaduan adalah 100 % karena telah terjadi kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri, dimana dasar pengaduan adalah sebanyak 36 % isteri takut perbuatan suami terulang, 14 % minta perlindungan polisi, 22 % hanya sebagai efek jera, 14 % karena menge-tahui hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga, dan 14 % karena alasan marah/kesal. Kekerasan fisik yang terjadi tersebut karena dipicu oleh faktor eko nomi sebanyak 59 %, sebanyak 29 % karena salah paham antara suami dan isteri dan 14 % karena faktor cemburu;

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi seorang isteri tidak melanjutkan pengaduan adalah setelah didamaikan atau mendengar saran-saran dari pihak Kepolisian di Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Poltabes Banjarmasin yang bertindak sebagai seorang mediator dalam perselisihan antara suami dan isteri karena adanya pengaduan/laporan KDRT, dan isteri membayangkan dampak dari peng-aduan yang dilakukan yaitu 36 % karena takut dicerai, 14 % takut dibunuh suami atau takut suami akan dendam, 50 % karena alasan ekonomi yaitu karena suami

Page 54: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

260 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 237-261, ISSN 2085-6644

adalah pencari nafkah sedangkan isteri kebanyakan tidak bekerja dan punya anak, serta karena banyak;

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi seorang isteri tetap melanjutkan pengaduan adalah sebanyak 67 % karena betul-betul sudah tidak tahan lagi dengan kekerasan fisik yang dilakukan suami, dan 33 % sebagai efek jera bagi suami.

Saran

1. Diharapkan sosialisasi atas hak-hak korban dan bentuk perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga lebih ditingkatkan terutama ke pelosok– pelo-sok pedesaan;

2. Diharapkan peran dari kepolisian khususnya Pelayanan Perempuan dan Anak lebih ditingkatkan.

Page 55: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Mulyani Zulaeha, Rahmida Erliyani, Dermawati Sihite, Faktor yang Mempengaruhi...| 261

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco.

Djannah, F. Rustam, Nuarasiah, Sitorus M dan Batubara. 2003. Kekerasan Terhadap Isteri. Yogyakarta: LKIS.

Fatimah. 2005. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kesetaraan Gender. Makalah yang Disampaikan Dalam Acara Seminar Muslimah Diselenggarakan oleh LDK Unlam Unit AMBH dan KSI Al-Mizan FH Unlam. Banjarmasin, 25 April 2005.

Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Kalibonso, Rita Serena. 2005. Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Jurnal Perempuan.

Purnama, Lita. 2005. Kekerasan Terhadap Anak Perempuan. Jakarta: Jurnal Perem-puan.

Saifuddin, Rosita, Yurliani dan Diana Haiti. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan Di Kota Banjarmasin. Laporan Hasil Penelitian Kajian Wanita. Pusat Studi Gender Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Ko-men tar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politiea.

Yurliani. 2005. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 dan Implikasinya Dalam Menyelesaikan Kekerasan Terhadap Perempuan. Makalah yang Disampaikan Dalam Acara Seminar Muslimah Diselenggarakan oleh LDK Unlam Unit AMBH dan KSI Al-Mizan FH Unlam. Banjarmasin, 25 April 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Page 56: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 57: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

PENERAPAN ASAS-ASAS UMUM SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA KASUS NARKOBA

DI BANJARMASIN

Ahmad Syaufi*

*[email protected]., Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: Result of research indicate that general grounds of criminal justice system which ought to be made as guidance for every component as sub system of criminal jus tice system in criminal justice process of case of narcotic by each sub system on level and become not realistic in empirical level. Besides applying of general grounds of criminal justice system in Banjarmasin, more influenced by code factor which in a few criminal rule can be used for the sake of dependent. This opportunity enable mutual profiting cooperation creation between defendant with enforcer of law.

Keywords: application, ground, criminal justice system

Abstrak: Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas-asas umum sistem peradilan pidana yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi setiap kompunen sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin ternyata masih berada pada tataran ideal-normatif dan menjadi sangat tidak realistik pada tataran yang empirik. Sedangkan penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin lebih dipengaruhi oleh faktor undang-undang yang dalam beberapa rumusan ketentuan pidananya dapat di pilah-pilah penggunaannya untuk kepentingan tersangka/terdakwa. Peluang ini me-mung kinkan terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan antara tersangka/ter-

dakwa dengan penegak hukum.

Kata kunci: penerapan, asas, sistem peradilan pidana

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat (bahan) berbahaya lainnya, atau yang secara sosiologis lebih dikenal dengan sebutan narkoba, intensitasnya akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat dengan latar belakang sosial pelaku yang beraneka ragam. Pelaku penyalahgunaan narkoba ini sudah meliputi hampir di semua lapisan dalam masyarakat tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, dan status sosial, seperti; artis, po-litisi, pegawai negeri sipil/militer, pelajar/mahasiswa, pengusaha, ibu rumah tangga, dan lain-lain. Bahkan pelaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (nar koba) ini juga sudah menyentuh di lingkungan aparat penegak hukum.

Upaya pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan narkoba sebenarnya sudah di mulai sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ke-adaan, undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No-mor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Selain undang-undang tentang narkotika, juga

Page 58: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

264 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta beberapa peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adik-tif lainnya, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasi-onal, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1977 tentang Pere-daran Psikotropika, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 785/Menkes/Per/VII/1977 tentang Ekspor dan Impor Psikotropika, dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 853/Menkes/SK/X/1993 tentang Penunjukan Laboratorium Rumah Sakit sebagai Pemeriksa Narkotika dan Zat Adiktif lainnya.

Sebagaimana sering diberitakan di berbagai media massa, saat ini aparat penegak hukum sedang gencar-gencarnya melakukan razia di tempat-tempat tertentu dalam rang ka mengantisipasi peredaran maupun penyalahgunaan narkoba yang sudah semakin mem prihatinkan. Keberhasilan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, dalam mem bongkar jaringan sindikat internasional pembuat narkoba merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan, namun keberhasilan ini harus pula disertai dengan bagaimana proses hukum selanjutnya terhadap para pelanggar undang-undang ini kemudian dilak-sanakan. Dalam proses hukum inilah sesungguhnya terletak substansi persoalan dalam kaitannya dengan penanggulangan terhadap ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba.

Langkah antisipatif yang dilakukan oleh pemerintah maupun melalui partisipasi masyarakat terhadap ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba serta proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba selama ini ternyata tidak menyurutkan keinginan para pembuat, pengedar, maupun pengguna untuk tetap melakukan aktivitasnya. Hampir setiap hari selalu saja ada pemberitaan di media massa yang memberitakan tentang penggerebekan pesta narkoba maupun penang-kapan terhadap pengedar narkoba.

Banjarmasin sebagai salah satu di antara kota-kota besar yang ada di Indonesia juga tidak luput dari ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba. Intensitas penyalahgunaan narkoba di kota Banjarmasin juga mengalami kecenderungan yang semakin meningkat. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan oleh BNN bekerjasama dengan Puslit Pranata-UI, FISIP-UI, FKM-UI, Banjarmasin merupakan salah satu dari 10 (sepuluh) kota besar di Indonesia yang tertinggi dalam hal penyalahgunaan narkoba di kalangan para pelajar dan mahasiswa (Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, 2005: 4).

Beberapa tahun yang lalu, Polsekta Banjarmasin Tengah berhasil menciduk bandar dan pengedar narkoba dengan barang bukti 130 paket shabu-shabu dan 5,5 butir eks-tasi (Radar Banjarmasin, 2004: 7) serta penangkapan seorang perempuan yang masih di bawah umur (ABG) karena diduga terlibat sebagai pengedar narkoba dengan barang bukti 459 butir pil koplo, dan 2 paket shabu-shabu (Radar Banjarmasin, 2004: 17,23) Bahkan beberapa waktu yang lalu juga ditemukan adanya tanaman ganja (Cannabis sativa) yang tumbuh dengan suburnya di salah satu tempat pemakaman umum yang ada di kota Banjarmasin. Tanaman ini tidak mungkin tumbuh dengan sendirinya kalau tidak ada orang yang membawa bibit dan menanamnya di tempat itu.

Page 59: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 265

Ilustrasi mengenai kasus penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ser ta adanya temuan tanaman ganja sebagaimana tersebut di atas, hanyalah sekedar mem berikan contoh kasus diantara sekian banyak kasus penyalahgunaan narkoba yang sekaligus bisa dijadikan sebagai indikasi sederhana bahwa peredaran narkoba di Banjarmasin sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Dari beberapa kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Banjarmasin, maka proses hukum terhadap pelaku penyalahgunaan nar-koba, yaitu mulai dari tahap penyidikan sampai pada tahap eksekusi atau tahap dimana pelaku sebagai terpidana menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan inilah yang kemudian dijadikan sebagai isu hukum dalam penelitian ini, terutama dalam konteksnya dengan penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin.

Secara teoritik terdapat beberapa asas-asas umum sistem peradilan pidana yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk oleh masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana di semua tahapan proses hukum mulai dari tahap penyidikan sampai tahap eksekusi atau tahap dimana terpidana menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Beberapa asas-asas umum sistem peradilan pidana dimaksud dan yang akan diteliti dalam penelitian adalah sebagai berikut; persamaan di muka hukum (equa-lity before the law), proses hukum yang adil (due process of law), sederhana dan cepat (simplicity and expediency), efektif dan efisien, akuntabilitas.

Masalah dalam penelitian ini kemudian dirumuskan sebagai berikut apakah asas-asas umum sistem peradilan pidana sudah diterapkan oleh masing-masing sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin, dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana oleh masing-masing sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin.

Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba oleh masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana di Banjarmasin. Selain itu, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba oleh masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana di Banjarmasin.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar kejahatan tersebut masih berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila se-bagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan”, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana (Mardjono Reksodiputro, 1994: 84).

Dalam memahami sistem peradilan pidana, maka perlu untuk dipahami terlebih da-hulu mengenai istilah sistem itu sendiri. Sistem berasal dari bahasa Yunani “Systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian dengan hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara te-

Page 60: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

266 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

ratur. Atau dengan kata lain, yakni sehimpunan bagian atau komponen yang saling ber-hubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan (whole), (Tatang M. Amirin, 2001: 1).

Sistem menurut H. Ph. Visser’t Hooft sebagaimana dikutip C. F. G. Sunaryati Harto-no, adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas (Benny K. Harman dan Hendardi, 1999: 11). Menurut William A. Shrode/Dan Voich Jr sebagaimana dikutip oleh Tatang M. Amirin, sistem adalah “a system is a set of interalated parts working indepently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environment” (“sebuah sistem adalah seperangkat bagian yang saling berhubungan, beker ja sedikit bebas, dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan kesatuan lingkungan”), (Bachsan Mustafa, 2003: 4).

Rumusan sistem yang hampir serupa dikemukakan oleh Ludwig Von Bertalanfly sebagaimana dikutip oleh Bachsan Mustaffa telah memberikan definisinya, bahwa “Systems are complexes of elements in interaction, to which certain law can be applied (“sistem adalah himpunan unsur yang paling mempengaruhi, untuk mana hukum tertentu menjadi berlaku”).(Bachsan Mustafa, 2003: 4). Sedangkan Carl J. Frederich sebagaima-na dikutip oleh Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa:

Sistem sebagai suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hu-bungan fungsional, baik antar bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya (Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1981: 171).

Selain itu, R. Subekti sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman, menge-mukakan bahwa; ”sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keselu-ruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan” (Mariam Darus Badrulzaman, 1983: 15).

Sistem ini mempunyai dua pengertian yang penting untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja. Per-tama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu disini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-ba-gian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metoda, atau prosedur untuk mengerjakan se su atu (William A. Shrode & Dan Voich, 1974: 121-133).

Adapun berkenaan dengan ciri-ciri pokok suatu sistem menurut Elias M. Awad seba-gaimana dikutip Tatang M. Amirin menyebutkan bahwa:

1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Boleh dikata-kan dalam kenyataan tidak ada sistem yang benar-benar tertutup. Sesuatu sis-tem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan sebaliknya, dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apa pun dari ling-kungannya;

Page 61: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 267

2. Suatu sistem terdiri dari dua atau lebi subsistem. Dan setiap subsistem terdiri lagi dari subsistem yang lebih kecil. Begitu seterusnya;

3. Diantara subsistem-subsistem itu terdapat saling ketergantungan, satu sama lain saling memerlukan. Satu subsistem memerlukan masukan (input) yang diperolehnya dari subsistem yang lain. Dengan kata lain keluaran (output) satu subsistem diperlukan sebagai masukan bagi subsistem yang lain;

4. Suatu sistem mempunyai kemampuan untuk dengan sendirinya menyesuaikan diri dengan lingkungannya (self-adjustment). Kegiatan ini dimungkinkan karena adanya sistem umpan balik atau balikan (feedback);

5. Sistem itu juga mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self-regu-lation). Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan diatas. Sistem itu mempunyai tujuan atau sasaran (Tatang M. Amirin, 2001: 20).

Dengan demikian sistem hukum pada dasarnya melihat hukum yang terdiri dari se-jumlah unsur/komponen atau fungsi/variabel yang selalu mempengaruhi dan terikat satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu ter-paut dan terorganisir menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senan-tiasa saling pengaruh mempengaruhi (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995/1996: 1). Demikian pula dengan sistem peradilan pidana, di dalamnya terdapat beberapa unsur atau komponen yang dalam bekerjanya masing-masing unsur atau komponen itu terda-pat hubungan yang interdependent atau saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.

Dalam sistem peradilan pidana setidak-tidaknya terdiri dari beberapa komponen se-bagai sub sistem, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Walaupun secara administrasi masing-masing sub sistem itu berdiri sendiri, tetapi anta-ra sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lainnya ada saling keterkaitan, karena semua sub sistem ini bekerja dalam suatu sistem yang dapat diibaratkan seperti “bejana berhubungan”, yang kesemuanya bermuara pada suatu tujuan yang sama, yaitu; (a) men-cegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya (Mardjono Reksodiputro, 1994: 84-85).

Kajian mengenai sistem peradilan pidana ini pada dasarnya masuk dalam wilayah hukum pidana (criminal law), yaitu wilayah hukum yang memuat ketentuan-ketentuan-ketentuan tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan, disertai dengan ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan atau men-gabaikan keharusan tersebut (criminal act); kapan atau dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan atau mengabaikan keharusan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility); dan den-gan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan atau mengabaikan keharusan (criminal procedure).

Namun demikian, apabila dilihat dari adanya beberapa komponen yang merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana, maka sistem peradilan pidana bisa juga dikaji dari aspek birokrasi dan bekerjanya birokrasi dalam konteks sosialnya, terutama kepo-

Page 62: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

268 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

lisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai birokrasi penegak hukum, atau yang oleh Barda Nawawi Arief disebut sebagai badan-badan penegak hu-kum.

Dengan demikian, manakala ada orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan, maka ada desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan pengertian lain, pro-ses hukum terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku kejahatan dilakukan melalui tahapan yang dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan hukuman, bahkan sampai narapidana siap kembali menjadi anggota masyarakat yang baik. Proses hukum yang demikian inilah yang dikenal dengan istilah “sistem peradilan pidana terpadu” (in-tegrated criminal justice system). Tahapan proses hukum ini secara garis besar dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu; tahap pra-persidangan (pre-adjudication), tahap persidangan (adjudication), dan tahap purna-persidangan (post-adjudication).

Selama proses pradilan pidana dilaksanakan, mulai dari tahap penyidikan sampai pada tahap eksekusi atau tahap dimana terpidana menjalani pidananya di lembaga pema-syarakatan, maka terdapat beberapa asas-asas umum sistem peradilan pidana yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk oleh masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana. Untuk lebih memahami mengenai asas-asas umum sistem peradilan pidana, maka alangkah baiknya apabila pada kesempatan ini terlebih dahulu dikemukakan mengenai apa yang dimaksud dengan asas itu sendiri.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia terdapat beberapa pengertian mengenai asas, sebagai berikut:

1. Dasar, alas, pedoman: misalnya, batu yang baik untuk alas rumah;

2. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana pada asasnya saya setuju dengan pendapat saudara;

3. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan negara, dan sebagainya; misalnya, membicarakan asas dan tujuan (W.J. S Purwadarminta, 1985: 176).

Dari ketiga pengertian tersebut dapat dilihat pengertian yang esensial dari asas itu ialah merupakan dasar, pokok tempat menemukan kebenaran dan sebagai tumpuan berpikir, tentang apa yang dimaksud dengan asas hukum banyak pengertian yang dike-mukakan oleh para ahli hukum, yang akan diambil beberapa pendapat mereka.

C.W.Paton sebagaimana dikutip oleh Mahadi mengemukan pengertian asas sebagai A principles is the broad reason, which lies at the base of a rule of law (asas adalah suatu alam pikir yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum), (Mahadi, 1986: 7). Dengan kata lain bahwa unsur-unsur asas adalah sebagai berikut:

1. Alam pikiran;

2. Rumusan luas;

3. Dasar bagi pembentukan norma hukum.

Rumusan asas yang diberikan oleh Paton memberi kesan, seolah-olah tiap norma hukum dapat dikembalikan kepada susunan suatu asas, ternyata kesan itu tidak berala-

Page 63: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 269

san. Dalam praktek terdapat terdapat norma-norma hukum, yang tidak dapat ditelusuri sebagaimana bunyi asas yang mendasarinya. Salah satu contoh yang dikemukakan nor-ma hukum positif dalam bidang lalu lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum untuk menggunakan bagian jalan kiri dari jalan itu. Untuk norma hukum itu sulit dicarikan asasnya tetapi kalau itu menjadi asas maka norma hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas (Mahadi, 1986: 7).

Van Eikema Hommes sebagaimana dikutip oleh Chainur Rasyid menyebutkan bah-wa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang kongkret tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku (Chainur Ra-syid, 2000: 35) Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pemben-tukan hukum positif.

Berbicara mengenai asas hukum, maka sama halnya dengan membicarakan unsur terpenting dan pokok dari peraturan hukum, sehingga tidak berlebihan apabila dikata-kan, bahwa asas hukum ini merupakan ”jantungnya” peraturan hukum (Satjipto Rahar-djo, 1991: 45). Disebut demikian karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum tersebut tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum bukan sekedar kumpulan dan peraturan-peraturan belaka, asas hukum juga meng-andung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya, dengan singkat dapat dikatakan, ba-hwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi ba-gian dari suatu tatanan etis (Satjipto Rahardjo, 1991: 46).

Asas hukum dibagi juga menjadi asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, asas lex posteriori derogat legi priori, asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus (lain) oleh pengadilan. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum (Sudikno Mertokusumo, 1991: 35).

Mardjono Reksodiputro berpendapat, bahwa paling tidak terdapat 10 (sepuluh) asas yang melindungi hak warga negara dan diberlakukannya proses hukum yang adil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Sudikno Mertokusumo, 1991: 16-17) yaitu:

1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;

2. Praduga tak bersalah;

3. Pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (yaitu dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-un-dang dan dilakukan dengan surat perintah;

Page 64: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

270 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

4. Seorang tersangka berhak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwan ter-hadapnya;

5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasihat hukum;

6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;

7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana;

8. Peradilan harus terbuka untuk umum;

9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti-rugi) dan rehabilitasi; serta

10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusan-putusannya.

Persamaan di muka hukum (equality before the law) harus diartikan bahwa semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa ada perlakuan-perlakuan yang ber sifat diskriminatif atau memberikan perlakuan yang berbeda antara yang satu den-gan yang lainnya dengan pemberian hak-hak khusus (special privilege) atas dasar jenis kelamin, suku, ras, agama, golongan, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa, dan lain-lain. Sedangkan proses hukum yang adil (due process of law) harus diartikan bahwa proses hukum terhadap pelaku kejahatan di muka sidang pengadilan haruslah dijalankan atas dasar prinsip peradilan yang bebas dan hakim yang tidak memihak (free and inde-pendence judiciary).

Sederhana dapat dimaknai sebagai suatu proses yang tidak bertele-tele, tidak berbe-lit-belit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak interpretable, mudah dipaha-mi, mudah dilakukan, mudah dilaksanakan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang pencari keadilan, maupun dalam sudut pandang penegak hukum yang mempunya tingkat kualifikasi yang sangat beragam, baik dalam bidang potensi pendidikan yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lain-lain. Terhadap segala ketentuan/aturan yang dipergunakan untuk mengatur dan menyelesaikan prosedur ber-perkara di pengadilan harusnya memenuhi kriteria makna sederhana sebagaimana dise-butkan di atas. Kesederhanaan juga harus dipahami tidak sebatas pada persoalan admi-nistratif belaka, namun juga harus menjadi jiwa dan semangat motivasi penegak hukum dalam gaya dan pola hidupnya sehari-hari. Konsistensi dan komitmen penegak hukum dalam mengamalkan asas sederhana juga harus dimulai dari dirinya sendiri, baru pada institusi peradilan dalam semua tingkatan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, advokad), (Sidik Sunaryo, 2004: 45-46).

Cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/tercapainya keadilan dalam pene-gakan hukum secara cepat oleh pencari keadilan. Baik cepat dalam proses, cepat dalam hasil, dan cepat dalam evaluasi terhadap kinerja dan tingkat produktifitas institusi pera-dilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, advokad). Kecepa-tan proses, hasil dan evaluasi tersebut menggunakan ukuran parameter dan prinsip tepat dan cermat. Tepat dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang di-pergunakan sebagai dasar yuridis keputusannya (tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku secara universal, seperti lex specialist derogate lex generalist dan lain-lain), tepat dalam memilih dan memilah pasal-pasal yang dipergunakan sebagai

Page 65: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 271

dasar dalam pertimbangan keputusannya, tepat dalam mengolah dan memahami secara filosofis (bersandar pada nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat maupun yang terkandung dalam hukum positif) terhadap keputusannya, keadilan masyarakat, mengembalikan dan menjaga keseimbangan sosial, mempunyai manfaat). Demikian juga tidakan penegak hukum harus cermat, dalam arti mengandung unsur kehati-hatian, kete-litian, kesungguhan, dalam proses, hasil maupun evaluasinya (Sidik Sunaryo, 2004: 47).

Murah mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan ada-lah tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan didalamnya, tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadilan mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat mengka-burkan nilai keadilan itu sendiri, keadilan tidak dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas, keadilan tidak dapat dikualifikasikan dalam bentuk dan jenis apa pun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia yang hidup di dunia secara universal (Sidik Sunaryo, 2004: 47-48).

Asas-asas umum sistem peradilan pidana bisa dilihat dalam beberapa ketentuan yang tersebar di dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan beberapa instrumen in-ternasional, yaitu: Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 (Universal Declaration of Human Rights), Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Po-litik dan Sipil, 1996 (International Covenant on Civil and Political Rights).

Apabila asas-asas umum sistem peradilan pidana sebagaimana telah diuraikan di atas menjadi semangat para penegak hukum, maka sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien dapat di wujudkan tanpa harus menggunakan semangat revolusi sosial dan revolusi hukum di Indonesia. Persoalan kualifikasi sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum dalam hal ini, memang menjadi kendala yang serius yang bersifat eksis maupun laten. Pembenahan sistem peradilan pidana untuk menuju kepada suatu sistem peradilan pidana terpadu (integreted criminal justice system) akhinya tidak dapat hanya bergantung dalam pemahaman harfiah dari penegak hukum terhadap asas-asas umum sistem peradilan pidana saja, namun lebih dari itu semua adalah nurani penegak hukum, pencari keadilan, penguasa, legislatif, dan sistem yang membingkai institusi peradilan juga menjadi faktor dominan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum empirik atau nondoktri-nal (Soetandyo Wignyosoebroto, 1999: 6) Penggunaan jenis penelitian ini di dalamnya sekaligus juga menyangkut penelitian normatif atau doktrinal, sehingga ada juga yang menyebut jenis penelitian ini sebagai penelitian socio-legal (C. F. G. Sunaryati Hartono, 1994: 142). Cara penelitian dengan jenis seperti ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran holistik tentang sesuatu masalah.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, terdiri atas data primer, yaitu berupa hasil pengumpulan data melalui pengamatan dan wawancara terhadap responden dan in-

Page 66: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

272 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

forman yang ada hubungannya dengan objek penelitian dan data sekunder, yaitu berupa data yang diperoleh melalui penelusuran beberapa literatur, dan dokumen dari beberapa institusi yang merupakan sub-sistem dalam sistem peradilan pidana yang merupakan objek penelitian.

Objek dalam penelitian ini adalah 5 (lima) badan atau institusi yang merupakan sub-sistem dalam sistem peradilan pidana, yakni Badan Penyidikan (Kepolisian), Badan Penuntutan (Kejaksan), Badan Peradilan, Badan Pelaksana Pidana/Eksekusi (Lembaga Pemasyarakatan), dan Advokat/Pengacara yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banjarmasin.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah responden atau informan yang ada kaitannya dengan salah satu kasus di antara beberapa kasus yang menjadi perhatian publik (masyarakat) yaitu 5 (lima) kasus penyalahgunaan narkoba atau penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat (bahan adiktif) lainnya yang terjadi dan di proses secara hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banjarmasin. Responden atau informan yang dijadikan sampel dalam penelitian, penentuannya dilakukan melalui purposive sampling (Maria SW Sumardjono, 1989: 129). Parameter-parameter penarikan sampel disusun berdasarkan kerangka dan masalah penelitian (Matthew B. Miles & A. Michael Hubberman, 1992: 50-51).

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan sebagai berikut: data primer diperoleh dari kegiatan yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang diteliti dengan cara melakukan kegiatan berupa mengumpulkan keterangan dan informasi mengenai kenya-taan yang hendak diteliti. Upaya untuk mengumpukan keterangan atau informasi ini di lakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Data sekunder dip-eroleh dari data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publi-kasi (Rianto Adi, 2004: 57). yang dalam penelitian hukum lajim disebut sebagai bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier.

Data yang diperoleh tersebut diolah sedemikian rupa dan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Penggunaan analisis kuali-tatif dengan metode deskriptif analitis dimaksudkan karena dalam penelitian ini tidak menggunakan uji statistik dan tidak juga dimaksudkan untuk menggeneralisasikan hasil penelitian.

Hasil penelitian berupa data primer dan data sekunder yang telah diolah dan diana-lisis kemudian dibuat penafsiran sesuai dengan rumusan permasalahan, dan diberikan kesimpulan dan saran sesuai dengan hasil penelitian.

HASIL PENELITIAN

Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana

Harus diakui bahwa dalam suatu penelitian tidaklah begitu mudah untuk memperoleh sumber informasi yang secara sukarela dan terbuka mau memberikan informasi mengenai sesuatu yang ingin diteliti, apalagi pada suatu penelitian yang menyangkut masalah penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana ini. Hal ini sangatlah

Page 67: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 273

beralasan, karena penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana setidak-tidaknya melibatkan beberapa komponen aparat penegak hukum sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana, seperti polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut, hakim sebagai yang memeriksa dan mengadili, lembaga pemasyarakatan sebagai pelaksana putusan, dan pembela/advokat sebagai penasihat hukum tersangka/terdakwa yang melakukan pembelaan terhadap kepentingan hukum tersangka/terdakwa.

Tabel 1Jumlah Perkara Narkoba yang Disidangkan

di PN Banjarmasin Tahun 2005

Bulan Jumlah PerkaraJanuariPebruari MaretApril Mei JuniJuli

AgustusSeptemberNopemberDesember

22 Perkara13 Perkara 23 Perkara15 Perkara14 Perkara15 Perkara12 Perkara14 Perkara12 Perkara25 Perkara 9 Perkara

T o t a l 190 Perkara

Sumber: Pengadilan Negeri Banjarmasin

Dari jumlah total 190 perkara narkoba pada tahun 2005 yang menjalani proses hukum sampai ke Pengadilan, maka terhadap semua terdakwa dijerat karena pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimasud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan pengenaan pasal-pasal yang dilanggar bervariasi, yaitu Pasal 59, 60 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 62, dan Pasal 65. Hal ini dapat terlihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2Pengenaan Pasal Terhadap Terdakwa

di PN Banjarmasin Tahun 2005

Pasal (UU No. 5 Tahun 1997) Jumlah Perkara59606265

25 Perkara92 Perkara24 Perkara49 Perkara

T o t a l 190 Perkara

Sumber: Pengadilan Negeri Banjarmasin

Page 68: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

274 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

Berdasarkan data pada tabel 2 dapat terlihat variasi pasal yang dikenakan terhadap terdakwa, yakni pada tahun 2005 terdapat 92 perkara yang dikenakan Pasal 60 (yakni ayat (4) dan (5)), 49 perkara dikenakan Pasal 65, dan 25 perkara dikenakan Pasal 59, serta 24 perkara terkena Pasal 62.

Tabel 3Jumlah Perkara Narkoba yang Disidangkan

di PN Banjarmasin Januari s.d. Mei 2006

B u l a n Jumlah PerkaraJanuariPebruariM a r e tA p r i lM e i

22 Perkara35 Perkara15 Perkara18 Perkara24 Perkara

T o t a l 114 Perkara

Sumber: Pengadilan Negeri Banjarmasin

Serupa dengan proses hukum perkara narkoba yang sampai ke pengadilan pada tahun 2005, proses hukum terhadap semua perkara narkoba antara bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2005, kepada semua terdakwa juga dijerat karena pelanggaran terhadap keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Namun demikian, pengenaan pasal-pasal yang dilanggar lebih bervariasi, yaitu Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 62, Pasal 65, Pasal 71, dan Pasal 72 dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 4Pengenaan Pasal Terhadap Terdakwa

di PN Banjarmasin Januari s.d. Mei 2006

Pasal (UU No. 5 Tahun 1997) Jumlah Perkara596062657172

11 Perkara49 Perkara 8 Perkara37 Perkara4 Perkara5 Perkara

T o t a l 114 Perkara

Sumber: Pengadilan Negeri Banjarmasin

Penggunaan Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 65 yang ancaman pidananya relatif ringan dibandingkan dengan pasal-pasal pelanggaran yang lain yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam melakukan tuntutan dan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan, baik proses hukum terhadap kasus narkoba yang terjadi selama tahun 2005 maupun yang terjadi pada bulan Januari sampai dengan Mei 2006 terhadap beberapa kasus pelanggaran

Page 69: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 275

dengan kualitas perbuatan yang serupa yang serupa tetapi dikenakan pasal yang berbeda, menjadi salah satu indikator yang menunjukan adanya imvisible hands (bahasa lain dari “mafia peradilan”) dibalik proses hukum terhadap pelaku pelanggaran undang-undang tentang psikotropika. Selain psikotropika, selama kurun waktu tersebut, juga tidak ada kasus narkoba dalam kaitannya dengan penyalagunaan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Padahal dalam kurun waktu tersebut polisi berhasil mengungkap kasus pengiriman paket narkotika melalui pe rusahaan jasa pengiriman barang. Dilihat dari aspek ini ternyata pengenaan pasal-pasal tersebut di atas menunjukan bahwa hukum sesungguhnya tidak equal dalam arti tidak diberlakukan sama untuk setiap orang sesuai dengan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law).

Persamaan di muka hukum (equality before the law) haruslah dimaknai dan dipedo-mani, bahwa:

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) Amandemen II UUD 1945);

2. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 ayat (1) UU No, 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman);

3. Semua orang sama di muka hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini (Pasal 7 Universal Declaration of Human Right/UNHDR);

4. Semua orang sama dihadapan pengadilan dan mahkamah.......”(Pasal 14 angka 1 International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR);

5. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan mem-per oleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kema-nusiaannya di depan hukum (Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 ten tang Hak Asasi Manusia);

6. Setiap orang harus diperlakukan sama di setiap proses hukum;

7. Agama, ras, warna kulit, etnis, status sosial dan/atau ekonomi tidak boleh men-jadi dasar perlakuan diskriminatif.

Pengenaan pasal yang berbeda terhadap pelanggaran dengan kualitas perbuatan yang serupa, yaitu di satu pihak digunakan pasal dengan ancaman pidana yang relatif ringan sedangkan di pihak lain digunakan pasal dengan ancaman pidana yang relatif berat, merupakan perlakuan diskrimiatif sebagai wujud dari pengingkaran terhadap prinsip per samaan di muka hukum.

Pengenaan pasal yang berbeda terhadap pelaku dengan kualitas perbuatan yang sama, terutama dalam kaitannya dengan pengenaan pasal-pasal yang ancaman pidanaya relatif ringan, baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat penuntutan, merupakan

Page 70: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

276 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

buah dari bargaining (tawar menawar) antara pelaku dan atau advokat/penasihat hu-kum dengan penyidik serta jaksa penuntut umum. Tawar menawar ini dalam bentuk berapa besaran rupiah yang harus dikeluarkan oleh pelaku sebagai konpensasi agar ia hanya dikenakan pelanggaran terhadap pasal yang ancaman pidananya relatif ringan. Di tingkat penuntutan tawar menawar yang terjadi selain menyangkut penganaan pasal yang diancamkan, juga menyangkut jumlah tuntutan pidana yang dilakukan oleh jaksa Pe nuntut Umum. Sedangkan tawar menawar dengan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara adalah menyangkut besaran lama putusan yang akan dijatuhkan, sehingga semakin memperbesar peluang terjadinya disparitas pidana, yaitu adanya per-bedaan mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku dengan kualitas perbuatan yang sama dan pasal yang dikenakan sama. Sementara bagi pelaku yang tidak punya bargaining potition (posisi tawar) yang menguntungkan, dalam arti tidak punya kemampuan untuk memperoleh konpensasi pengenaan pasal yang ancaman pidana maupun pidana yang dijatuhkan relatif ringan, dengan sangat “terpaksa” harus menerima apa pun pasal yang akan dikenakan dan pidana yang akan dijatuhkan kepa-danya.

Dengan demikian maka perlakuan diskriminatif ini pada dasarnya tidak terlepas dari status sosial dan/atau ekonomi setiap pelaku. Pada akhirnya perlakuan diskrimnatif sebagai wujud dari pengingkaran terhadap prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) sudah barang tentu akan berimpilkasi terhadap penerapan prinsip proses hukum yang adil (due process of law). Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan: “setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan objektif dan tidak memihak. Bagaimana pengadilan dapat berlaku objektif dan tidak berpihak manakala hakim yang memeriksa dan mengadili perkara juga berperan dalam hal mengingkari prinsip persamaan di muka hukum.

Pengingkaran terhadap prinsip persamaan di muka hukum sesungguhnya bagaikan “bola salju” sehingga pengaruhnya sangat potensial terhadap seluruh prinsip umum dalam sistem peradilan pidana. Artinya, tidak hanya berpengaruh terhadap proses hukum yang adil melainkan juga berpengaruh terhadap prinsip-prinsip yang lain seperti sederhana dan cepat, efektif dan efisien, dan akuntabilitas.

Prinsip sederhana dan cepat dapat dimaknai dan dipedomani sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan; “peradilan dilakukan dengan seder-hana, cepat, dan biaya ringan.” Bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang meme-riksa dan mengadili, prinsip ini bisa dimaknai lain, yaitu peradilan bisa dilakukan dengan sederhana dan cepat tergantung berapa besar “biaya” yang harus dikeluarkan oleh orang yang tersangkut perkara narkoba. Apabila biaya yang dikeluarkan oleh orang yang ter-sangkut perkara narkoba, maka prinsip efektif dan efisien, dalam arti menggunakan sumber dana dengan hemat dan cermat, dapat tercapai dalam maknanya yang lain. Se-dang kan hukum dan keadilan yang dituju proses peradilan dalam prinsip efektif dan efisien menjadi jauh dari sasaran.

Page 71: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 277

Prinsip akuntabiltas yang seharusnya menjadi pedoman dalam proses peradilan pidana kasus narkoba mejadi tidak relevan lagi mengingat adanya “permainan uang” di baliknya. Padahal, prinsip akuntabilitas harus dimaknai dan dipedomani diantaranya:

1. Penegak hukum adalah pelayan masyarakat yang diberikan wewenang oleh publik dan oleh karenanya harus bertanggungjawab kepada publik;

2. Ketaatan pada aturan yang berlaku;

3. Prosedur yang jelas, adil dan layak.

Ketika setiap orang yang tersangkut kasus narkoba menjalani masa penahanan baik pada tingkat penyidikan maupun pada tingkat penuntutan, serta menjalani pidananya sebagai narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan juga terjadi perlakuan diskriminatif. Setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana mempunyai hak nor matif untuk memperoleh penangguhan penahanan, namun demikian tidak setiap orang dapat memperoleh hak tersebut. Demikian juga halnya terhadap orang yang di-sangka atau didakwa melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang narkoba. Subjektifitas penyidik, jaksa, dan hakim sangat berpengaruh dalam hal pemberian hak penangguhan penahanan tersebut. Begitu pula perlakuan petugas lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana kasus narkoba yang sedang menjalani pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan.

Di dalam kenyataan, bahwa ternyata tidak setiap narapidana kasus narkoba yang sedang menjalani pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan memperoleh perlakuan yang sama dari petugas lembaga pemasyarakatan. Ada semacam hak-hak khusus (spe-cial privelege) yang diperoleh narapidana-narapidana tertentu yang berbeda dengan narapidana-narapidana lainnya. Hak-hak khusus ini adalah hak-hak yang diperoleh nara-pidana yang seharusnya tidak boleh diberikan, dalam arti tidak sesuai dengan aturan tata tertib, seperti bebas kunjungan keluarga, kemudahan akses keluar masuk lembaga selama menjalani masa pidana, ketersediaan fasilitas yang lengkap dan berbeda dengan narapidana lainnya, dan lain-lain. Termasuk disini adalah untuk memperoleh remisi (pengu rangan hukuman) yang merupakan hak normatif setiap narapidana. Pertimbangan subjektif petugas lembaga pemasyarakatan sangat berpengaruh dalam hal memberikan penilaian terhadap perilaku setiap narapidana yang akan memperoleh remisi atau besarnya remisi yang akan diberikan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapannya

Dapat terlaksananya peraturan perundang-undangan dengan baik di samping masih tergantung pada keadaan masyarakat untuk mentaati segala ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum juga harus berperan sebagaimana mestinya, baik dalam hal menegakan hukum (law enforcement) maupun dalam hal me-me lihara ketertiban/kedamaian (peace maintenance), (Soerjono Soekanto, 1983: 4-5). Hal yang demikian menunjukan, bahwa walaupun sudah ada ketentuan karena kai dah hukum sudah dinyatakan, akan tetapi tidak mustahil akan terjadi ketidakpatuhan ter-hadap ketentuan imperatif (Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, 1988, 12) .

Page 72: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

278 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

Frasa di atas adalah dalam konteks faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum yang sudah barang tentu juga relevan apabila dihubungkan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana, terutama dalam kaitannya dengan penerapan asas persamaan di muka hukum (equality before the law), proses hukum yang adil (due process of law), sederhana dan cepat (simplicity and expediency), efektif dan efisien, akuntabilitas.

Dalam konteks penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses pera-dilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin, terdapat beberapa faktor yang pengaruhnya sangat signifikan. Selain faktor hukumnya (undang-undang) sendiri, juga adanya faktor pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak tanduk dari aparat penegak hukum, sehingga asas persamaan di muka hukum dan asas proses hu-kum yang adil yang seharusnya menjadi pedoman bagi setiap komponen sebagai sub-sistem dalam sistem peradilan pidana hanya ideal pada tataran normatif tetapi tidak pada tataran yang empirik. Implikasi lebih jauh dari pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak tanduk dari aparat penegak hukum ini adalah menjadikan proses hukum terhadap kasus narkoba tidak lagi menjadi sederhana dan cepat, efektif dan efiesien, bahkan aparat penegak hukum menjadi tidak akuntabel dalam hal penegakan hukum.

Undang-undang sebagai faktor yang dapat mempengarungi penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana, karena rumusan pasal-pasal tindak pidana yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika memberikan peluang yang sangat besar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemilahan pasal-pasal yang nantinya akan dikenakan terhadap pelaku pelanggaran undang-undang tersebut, baik ketika kasus tersebut berada pada tahap penyidikan di kepolisian maupun ketika ber ada pada tahap penuntutan di kejaksaan. Pemilahan ini dimaksudkan adalah agar pe-laku dapat dikenakan hanya pada ketentuan yang ancaman pidananya relatif ringan.

Dalam beberapa ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika terdapat ketentuan pidana yang ancaman pidananya relatif ringan, antara lain Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 65.

Pasal 60 ayat (4):Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 60 ayat (5):Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 65:Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana

Page 73: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 279

penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Beberapa ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut di atas menjadi pilihan ketika terjadi bargaining baik di tingkat penyidikan, penuntutan, mau pun pada tahap proses pemeriksaan di muka sidang pengadilan dalam rangka pen-jatuhan pidana (vonis).

Dalam kasus konkrit, perbuatan yang dilakukan tersangka/terdakwa sesungguhnya memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan mengenai menggunakan/mengedarkan psiko-tropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dengan ancaman pi-dana berupa penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah); atau memenuhi unsur-unsur sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) mengenai mem produksi/mengedarkan psikotropika dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), ayat (2) menyalurkan psikotropika dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Namun melalui peluang yang diberikan oleh penyidik, penuntut umum atau melalui kekuatan lobby yang digunakan oleh tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya, terhadap tersangka/terdakwa yang seharusnya dikenakan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal yang ancaman pidananya relatif berat tersebut di atas karena semua unsur-unsurnya terpenuhi akhirnya hanya dikenakan ketentuan pidana yang anca-man pidananya relatif ringan. Dengan demikian maka faktor hukumnya yang dapat mempengaruhi penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana, khususnya dalam konteks penerapan prinsip persamaan di muka hukum, sangat dimungkinkan karena ada-nya peluang yang diberikan oleh undang-undang untuk itu.

Penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana selain dipengaruhi oleh faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum dan masyarakat juga mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Kedua faktor ini memiliki korelasi apabila dilihat dari aspek bahwa sikap atau tindak tanduk penegak hukum merupakan produk masyarakat. Kecenderungan masyarakat yang selalu berusaha untuk menempuh jalan pintas membuahkan hasil pada pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen. Kalau korelasi ini diibaratkan dengan menebak mana yang lebih dulu antara ayam dengan telur, maka keduanya bisa ayam bisa telur. Selain itu, arogansi atas dasar kewenangan yang ada pada masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana (esprit de corp) juga berpengaruh terhadap penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana.

Menurut Sudarto, bahwa penanggulangan kejahatan belum terwujud hanya dengan terbentuknya undang-undang pidana belaka (Sudarto, 1986: 41). Dalam konteks keten-tuan pidana sebagaimana yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dimaksudkan adalah untuk menanggulangi penyalahgunaan Psikotropika dan Narkotika, maka tidaklah harus diartikan bahwa penanggulangan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika

Page 74: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

280 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

sudah terwujud karena pembentukan undang-undang pada dasarnya lebih pada upaya dalam rangka pencegahan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Asas-asas umum sistem peradilan pidana yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman bagi setiap kompunen sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin ternyata masih berada pada tataran ideal-normatif dan menjadi sangat tidak realistik pada tataran yang empirik;

2. Penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana dalam proses peradilan pidana kasus narkoba di Banjarmasin lebih dipengaruhi oleh faktor undang-undang yang dalam beberapa rumusan ketentuan pidananya dapat dipilah-pilah penggunaannya untuk kepentingan tersangka/terdakwa. Peluang ini memungkinkan terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan antara tersangka/terdakwa dengan penegak hukum.

Saran

1. Agar asas-asas umum sistem peradilan pidana sebagai pedoman bagi setiap komponen sebagai sub-sistem dalam sistem peradilan pidana dapat mendekati ke arah yang realistik pada tataran yang empirik, mekanisme kontrol internal dan eksternal harus lebih di efektifkan. Mekanisme kontrol eksternal dilakukan secara vertikal maupun horizontal dalam tubuh masing-masing institusi yang merupakan sub-sistem dari sistem peradilan pidana. Mekanisme kontrol eksternal dilakukan baik oleh masyarakat maupun antar sub-sistem dalam sistem peradilan pidana;

2. Agar memperkecil pengaruh undang-undang terhadap penerapan asas-asas umum sistem peradilan pidana, maka sudah seharusnya apabila peluang terjadinya pemilahan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa segera dirubah dengan rumusan pasal-pasal yang lebih tegas dan jelas (lex certa). Apabila yang menjadi tujuan adalah hukum dan keadilan, maka esprit de corp masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana harus dikesampingkan.

Page 75: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 281

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto. 2004. Metodelogi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.

Amirin, Tatang M. 2001. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persa-da.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1995/1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.

_______. 2005. Materi Advokasi Pencegahan Narkoba. Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1983. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni.

Harman, Benny K. dan Hendardi. 1999. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI.

Hartono, C. F. G. Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni.

Kusnadi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.

Mahadi. 1986. Sumber-Sumber Hukum. Jakarta: Soeroengan.

Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta Liber-ty.

Miles, Matthew B. & A. Michael Hubberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Mustafa, Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Purwadarminta, W.J. S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pus-taka.

Radar Banjarmasin. 22 Mei 2004. Jaringan Narkoba Digulung.

Radar Banjarmasin. 22 Mei 2004. Nita Memilih Bungkam.

Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Rasyid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Bungai Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

_______. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lem-baga Kriminologi Universitas Indonesia.

Page 76: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

282 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 263-283, ISSN 2085-6644

Shrode, William A. & Dan Voich. 1974. Organization and Management, Basic Systems Concept. Tllahassce Fla: Florida State Univerisity Press.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

_______. dan R. Otje Salman. 1988. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Sumardjono, Maria SW. 1989. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunaryo, Sidik. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press.

Wignyosoebroto, Soetandyo. 1999. ”Lima Konsep Hukum dan Lima Konsep Penelitian”. Makalah yang disampaikan sebagai bahan kuliah pada Program Doktor Ilmu Hu-kum Universitas Diponegoro. Semarang.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Single Convention on Narcotic Drugs 1961.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Phsycotropic Subatances 1971.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Physchotropic Subtances 1988.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Page 77: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Ahmad Syaufi, Penerapan Asas-asas Umum Sistem Peradilan Pidana dalam Proses....| 283

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 ‘Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainnya.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 785/Menkes/Per/VII/1997 tentang Ekspor dan Impor Psikotropika.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 853/Menkes/SK/X/1993 tentang Penunjukan Laboratorium Rumah Sakit Ketergantungan Obat Sebagai Laboratorium Pemeriksa Cairan Tubuh Untuk Mendeteksi Adanya Narkotika dan Zat Adikitif Lainnya Sebagai Penunjang Diagnosis Penyalahgunaan Zat.

Page 78: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 79: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

PENGETAHUAN MASYARAKAT PINGGIRAN SUNGAITENTANG PERDA NOMOR4 TAHUN 2000 DAN

PERDA NOMOR 19 TAHUN 2008TENTANG PENYELENGGARAAN KEBERSIHAN TERHADAP

PRILAKU MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI

Rahmida Erliyani*Mulyani Zulaeha*Dermawati Sihite*

*[email protected]., Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: Rubbish really be classic environment problem at urban affairs. but, till now, not yet found formula correct to overcome it. the mentioned will happen because beside the low society cognizance cleanliness, efforts that done also not yet optimal. River con dition at city Banjarmasin, be member life aortae, now more blacker and shallow. river condition that used member to need bathe, wash, defecate, and cook that now more aggravate with household industrial disposal pollution. based on our monitoring is in rivers at Banjarmasin, seen river colour has becomed black. condition especially bump into rill now hasn’t has flood plain again because used member settlement. Actually to overcome problem city government Banjarmasin take outside law ware that prohibit member throws away rubbish just any, that is by law (perda) No. 4 year 2000 about cleanliness exertion, then at year 2008 also at release perda number 9 year 2008 also hold prohibition existence rule has throwed away rubbish to river. Based on watchfulness result obvious of so much urban community member Banjarmasin that interviewed obvious most of them detect city region government ordinance rule existence Banjarmasin that prohibit to throw away rubbish to river, but obvious this matter doesn’t influence prila society to doesn’t throw away rubbish to river. There are some why does urban community Banjarmasin that river hem throw away rubbish to river, that is because ease reason that is not difficult, easy and near with doesn’t throw away energy, also caused by influence from prila society around (neighbour), there also because reason that thing be family habit since long, also another reason because sanction irresolute from law enforcer apparatus.

Keywords: prila society, rubbish, Banjarmasin rivers.

Abstrak: Sampah memang merupakan persoalan lingkungan klasik di perkotaan. Namun, sampai saat ini, belum ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Hal tersebut terjadi karena di samping rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, upaya yang dilakukan pemerintah juga belum optimal. Kondisi sungai di Kota Banjarmasin, yang menjadi urat nadi kehidupan warga, kini semakin hitam dan dangkal. Kondisi sungai yang digunakan warga untuk keperluan mandi, cuci, buang air besar, dan memasak itu

Page 80: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

286 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

kini semakin diperparah dengan pencemaran limbah industri rumah tangga. Berdasarkan pemantauan kami pada sungai-sungai di Banjarmasin, terlihat warna sungai sudah meng hitam. Kondisi tersebut terutama melanda sungai-sungai kecil yang sekarang sudah tidak mempunyai bantaran lagi karena digunakan pemukiman warga.Sebenarnya untuk mengatasi permasalah tersebut Pemerintah Kota Banjarmasin telah mengeluarkan perangkat hukum yang melarang warga membuang sampah sembarang, yaitu Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2000 teantang Penyelenggaraan Kebersihan, yang kemudian di tahun 2008 juga telah di keluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2008 yang juga memuat ketentuan adanya larangan membuang sampah ke sungai. Berdasarkan hasil penelitian ternyata dari sekian warga masyarakat Kota Banjarmasin yang telah diwawancarai ternyata sebagian besar dari mereka mengetahui akan adanya ketentuan aturan Peme-rintah Daerah kota Banjarmasin yang melarang membuang sampah ke sungai, tetapi ternyata hal ini tidak mempengaruhi prilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat Kota Banjarmasin yang tinggal di pinggiran sungai membuang sampah ke sungai, yakni karena alasan kemudahan yaitu tidak susah, mudah dan dekat serta tidak membuang tenaga, juga karena adanya pengaruh dari prilaku masyarakat sekitar ( tetangga ), ada pula karena alasan hal itu sudah menjadi kebiasaan keluarga sejak lama, juga alasan lainnya karena sanksi yang tidak tegas dari aparat penegak hukum.

Kata kunci: prilaku masyarakat, sampah, sungai-sungai di Kota Banjarmasin

Banjarmasin yang merupakan ibukota Kalimatan Selatan terletak pada posisi 3º 15º - 3º 22º Lintang selatan dan 114º 19º - 114º - 19º bujur timur Banjarmasin berada pada ketinggian 0,16 meter di bawah permukaan laut, dengan kondisi berpaya-paya dan relatif datar. Pada waktu air pasang hampir seluruh wilayah digenangi air. Kota Banjar-masin disebelah selatan dan berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala, disebelah utara dan barat. Serta Kabupaten Banjar disebelah timur dan selatan. Sebagian kondisi tanah-nya adalah rawa-rawa yang tergenang air, oleh karena itu ditambah pengaruh musim hujan dan kemarau iklimnya bersifat tropis (Ahmad Ashadi, 2001).

Karena geografinya yang sarat dengan air menjadikan Banjarmasin sebagai dae-rah yang memiliki banyak sungai. Sampai-sampai kota Banjarmasin disebut sebagai kota seribu sungai, yang mengingatkan orang akan keindahan kota Venesia yang juga memiliki banyak sungai. Sungai bagi masyarakat Banjar menjadi hal sangat penting, bahkan sejak dahulu sungai menjadi sarana transportasi utama dan menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Banjar (Bambang Subiyakto, 2005). Bahkan menurut H.W. Dick bahwa sejak awal abad ke 18 Banjarmasin sudah menjadi pelabuhan Internasional yang didatangi oleh para pedagang Eropa dan Negara-negara Asia lainnya karena kondisi sungainya yang cukup melimpah (Anne Both, 1989). Selain itu dalam sejarah Kerajaan Banjar ternyata sudah sejak lama telah terlibat dalam perdagangan dunia, terutama seba-gai eksportir lada dan dicatat dalam sejarah bahwa sungai merupakan sarana transportasi utamanya.

Tetapi kondisi kondisi tersebut sekarang sudah terlihat sangat berbeda,. Kondisi sungai di Kota Banjarmasin, yang menjadi urat nadi kehidupan warga, kini semakin hitam dan dangkal. Kondisi sungai yang digunakan warga untuk keperluan mandi, cuci,

Page 81: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 287

buang air besar, dan memasak itu kini semakin diperparah dengan pencemaran limbah industri rumah tangga. Berdasarkan pemantauan kami pada sungai-sungai di Banjarmasin, terlihat warna sungai sudah menghitam. Kondisi tersebut terutam melanda sungai-sungai kecil yang sekarang sudah tidak mempunyai bantaran lagi karena digunakan pemukiman warga. Sungai-sungai yang airnya menghitam di antaranya Sungai Pekapuran, Sungai Baru, Sungai Rambai, Sungai Zafri Zamzam, Sungai Antasan, dan Sungai Teluk Dalam. Sungai tersebut kini semakin kritis dan sudah tak berfungsi lagi sebagai aliran drainase. Berbagai sampah rumah tangga terlihat dibuang begitu saja ke sungai. Padahal, sungai tersebut masih digunakan untuk mandi, cuci, buang air besar, bahkan untuk memasak, oleh sebagian penduduk lainnya. Dan salah satu faktor penyebab yang terbesar terhadap kondisi tersebut adalah masalah pembuangan sampah di sungai.

Sampah memang merupakan persoalan lingkungan klasik di perkotaan. Namun, sampai saat ini, belum ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Hal tersebut terjadi karena di samping rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan, upaya yang dilakukan pemerintah juga belum optimal. Kalau kita lihat dibeberapa tempat pembuangan sampah sementara (TPS), pada siang hari masih banyak tumpukan sampah yang tidak terangkut. Belum lagi, beberapa banyak anak sungai yang ”mati” akibat adanya sampah yang terus menumpuk. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pengelola kota adalah masalah sampah. Berdasarkan data-data BPS pada tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar 37,6 %, yang dibuang ke sungai 4,9 %, dan tidak tertangani sebesar 53,3 %. Di Kalimantan Selatan, dengan jumlah penduduk kota 1.347.527 yang tersebar di 11 kota, cakupan yang terlayani oleh adanya pelayanan pemerintah dalam pengelolaan sampah hanya 550.017 jiwa atau 40, 8 % (Bappedda Banjarmasin).

Sebenarnya untuk mengatasi permasalah tersebut Pemerintah Kota Banjarmasin telah mengeluarkan perangkat hukum yang melarang warga membuang sampah sembarang, yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kebersihan. Dalam Perda tersebut disebutkan, warga yang kedapatan membuang sampah sembarangan pada lokasi-lokasi tertentu atau membuang sampah diluar jam yang ditentukan, akan dikenakan denda sejumlah uang atau kurungan badan.Yang kemudian di tahun 2008 ini juga disahkan Perda Nomor 9 Tahun 2008 yang ternyata dalam Perda itu juga mengatur hal yang sama yakni adanya aturan yang melarang orang atau badan hukum tertentu untuk memebuang sampah ke sungai dan jika dilanggar dikenai denda tertentu. Kalau dilihat dari aturan hukumnya, secara tersurat pengaturan bahkan ancaman hukuman dalam Perda tersebut sudah cukup jelas, dan Perda tersebut sudah berjalan cukup lama. Namun sampai saat ini nampaknya ada kecenderungan banyak orang yang membuang sampah di sunga. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk melihat pengaruh dari pengetahuan masyarakat yang tinggal dipinggiran sungai di Kota Banjarmasin terhadap Perda Nomor 4 Tahun 2000 jo Perda Nomor 9 Tahun 2008, terhadap kebiasaan mereka dalam membuang sampah di sungai. Apakah ada hubungannya dari pengetahuan masya-rakat akan keberadaan aturan daerah yang melarang orang untuk membuang sampah ke sungai dengan prilaku mereka dalam hal membuang sampah. Artinya dalam penelitian ini berupaya untuk melihat persoalan prilaku masyarakat selama ini yang sering membuang sampah rumah tangga khususnya ke sembarang tempat terutama banyak yang membuang

Page 82: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

288 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

ke sungai, apakah prilaku tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan adanya larangan terhadap prilaku yang demikian.

Dari latarbelakang tersebut di atas maka dalam hal ini permasalahan yang akan di teliti adalah:

1. Bagaimanakah pengetahuan masyarakat yang tinggal di Pinggiran Sungai di Kota Banjarmasin terhadap Peraturan Daerah h Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaran Kebersihan. Dan Perda Nomor 9 tahun 2008 tentang Penyelengaraan kebersihan, Keindahan, Ketertiban dan Ketentraman?

2. Bagaimana hubungan antara pengetahuan masyarakat akan adanya Peraturan Daerah tersebut dengan prilaku masyarakat pinggiran sungai dalam membuang sampah di sungai?

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Sampah

Sampah, seperti yang dimaksud dalam Perda adalah setiap bentuk barang padat, cair atau gas yang dibuang karena dianggap tidak berguna lagi. Tapi jika kita uraikan lagi, sampah itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi sampah organik, dan non organik (Sri Rezeki, 1997). Artinya sampah yang masih dapat didaur ulang lagi dan sampah yang sama sekali tidak dapat digunakan lagi. Saat ini di beberapa tempat sudah mulai dibudayakan tentang pendaur ulangan sampah ini, diantaranya dengan mengolah sampah-sampah tersebut menjadi produk-produk yang dapat dipergunakan lagi, misalnya dengan membuat kertas daur ulang, dan kerajinan tangan lainnya. Selain itu, sampah juga dapat dibagi menjadi:

1. Sampah (limbah) rumah tangga, yang terdiri dari sampah makanan, sampah sayuran, dan sisa sabun cuci;

2. Sampah (limbah) industri, yang terdiri dari limbah cair ataupun padat yang berasal dari kegiatan industri (Retno Setiawati: 2004).

Pengertian Sungai

Sungai menurut masyarakat Banjar Kalimantan Selatan disebut batang atau batang banyu. Sungai adalah tempat mengalirnya air tawar. Air yang mengalir lewat sungai bisa berasal dari air hujan, mata air atau bisa juga berasal dari es yang mengalir (Glet-ser). Sungai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aliran air yang bermuara pada dua sungai besar yaitu sungai Barito dan sungai Martapura dan berakhir di Laut Kali-mantan.

Gambaran tentang sungai Kalimantan Selatan pada masa lampau dapat diketahui dari hasil laporan perjalanan sungai pada bulan Mei-Juni: 1847 (Tjilik Riwut: 1958), (Amir Hasan Kiai Bondan: 1953). Laporan masa kolonial ini menyebutkan bahwa sekitar 49 sungai besar ditelusuri dengan perahu dan mencatat ada sekitar 184 kampung terletak di tepi kiri dan kanan (pinggiran) disepanjang sungai yang dilalui. Perjalanan bermula di

Page 83: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 289

Marabahan melalui sungai Lirik ke sungai Babahan dan sungai-sungai berikutnya hingga di sungai Balangi dan berakhir pada Mahar di Bahan. Dan gambaran akan keadaan di pinggir sungai tersebut masyarakatnya banyak yang bertani dan mencari ikan. Gambaran akan contoh di atas tidak jauh berbeda dengan keadaan sungai dan kehidupan pada 110 tahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 1957, Presiden Soekarno beserta Menteri dan wartawan dalam dan luar negeri serta tamu lainnya melakukan perjalanan dengan rute yang sama seperti di tahun 1847 dan dalam perjalanan tersebut kondisi dan masyarakat di pinggiran sungainya terlihat tidak jauh berbeda.

Dalam riset yang dilakukan oleh Bambang Subiyakto tentang Arti Penting Perairan Bagi Transportasi Masyarakat Banjar, jumlah sungai (batang) di Kalimantan Selatan mencapai ratusan buah, dari yang lebarnya ratusan meter, bahkan sampai 2 kilometer seperti Muara Barito, sampai cabang-cabang anak sungai dengan lebar beberapa meter saja, dari yang panjangnya ratusan kilometer sampai yang kurang dari satu kilometer.

Berdasarkan sumber-sumber airnya, sungai dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

1. Sungai hujan, yaitu sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara;

2. Sungai Gletser, adalah sungai yang air berasal dari pencairan es. Contohnya sungai yang airnya benar-benar murni dari es saja (ansich) boleh dikatakan tidak ada, namun pada hulu sungai Gangga di India (yang berhulu di pegunungan Himalaya) dan hulu sungai Phein di Jerman (yang berhulu di pegunungan Alpen) dapat dikatakan sebagai contoh dari sungai ini;

3. Sungai campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es (gletser), dari hujan, dan dari sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Digul dan sungai Mambramo di Papua (Irian Jaya).

Berdasarkan debit airnya (volume airnya), sungai dibedakan yaitu:

1. Sungai Permanen, adalah sungai yang debit airnya sepanjang tahun relatif tetap. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan Mahakam di Kalimantan. Sungai Musi, Batanghari dan Indragiri di Sumatera;

2. Sungai Priodik, adalah sungai yang pada waktu musim hujan airnya banyak, sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai jenis ini banyak terdapat di pulau Jawa misalnya sungai Bengawan Solo, dan sungai Opak di Jawa Tengah. Sungai Progo dan sungai Code di daerah Istimewa Yogyakarta serta sungai Brantas di Jawa Timur;

3. Sungai Episodik, adalah sungai pada musim kemarau airnya kering dan pada musim hujan airnya banyak. Contohnya sungai jenis ini adalah sungai Kalada di Pulau Sumba;

4. Sungai Ephemeral, adalah sungai yang ada airnya hanya pada saat musim hujan. Pada hakekatnya sungai jenis ini hampir sama dengan jenis episodik, hanya saja pada musim hujan sungai jenis ini airnya belum tentu banyak.

Page 84: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

290 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

Berdasarkan asal kejadiannya (genetiknya) sungai dibedakan menjadi 5 jenis yaitu:

1. Sungai Konsekuen, adalah sungai yang airnya mengalir mengikuti arah lereng awal;

2. Sungai Subsekuen atau strike valley adalah sungai yang alirannya mengikuti strike buatan;

3. Sungai Obsekuen, adalah sungai yang aliran airnya berlawanan arah dengan sungai konsekuen atau berlawanan arah dengan kemiringan lapisan batuan serta bermuara di sungai subsekuen;

4. Sungai Resekuen, adalah sungai yang alirannya mengalir mengikuti arah kemi-ringan lapisan batuan dan bermuara di sungai subsekuen;

5. Sungai Insekuen, adalah sungai yang mengalir tanpa dikontrol oleh litologi maupun struktur geologi.

Sedangkan berdasarkan struktur geologinya sungai dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Sungai Anteseden, adalah sungai yang tetap mempertahankan arah alirannya walaupun ada struktur geologi (batuan) yang melintang. Hal ini terjadi karena kekuatan arusnya, sehingga mampu menembus batuan yang merintanginya;

2. Sungai Superposed, adalah sungai yang melintang, struktur dan prosesnya dibanding oleh lapisan batuan yang menutupinya.

Berdasarkan pola alirannya sungai dibedakan menjadi 6 macam yaitu :

1. Radial atau menjari, jenis ini dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Radial sentrifugal, adalah pola aliran yang menyebar meninggalkan pusatnya. Pola aliran ini terdapat di daerah gunung yang berbentuk kerucut;

b. Radial Sentrifugal, adalah pola aliran yang mengumpul menuju ke pusat. Pola ini terdapat di daerah basin (cekungan).

2. Dendritik, adalah pola aliran yang tidak teratur. Pola alirannya seperti pohon, dimana sungai induk memproleh aliran dari anak sungainya. Jenis ini biasanya terdapat di daerah datar atau daerah dataran rendah;

3. Trellis, adalah pola aliran yang menyirip seperti daun;

4. Rektangular, adalah pola aliran yang membentuk sudut siku-siku atau hampir siku-siku 90º;

5. Pinate, adalah pola aliran dimana muara-muara anak sungainya membentuk sudut lancip;

6. Anular, adalah pola aliran sungai yang membentuk lingkaran.

Sedangkan wilayah persungaian, menurut ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2004 ten-tang Sumber Daya Air adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah alairan sungai, ada/atau pulau-puyla kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2000 km². Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi

Page 85: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 291

menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau dari laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah tofografis dan batas di laut sampai dengan daerah yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Uraian Singkat Tentang Perda Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2000 dan Perda Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Penyelengaraan Kebersihan

Peraturan Daerah (Perda) tentang Penyelengaraan Kebersihan di wilayah Kota Banjarmasin, sudah dituangkan dalam Perda Nomor 4 Tahun 2000 dan sekarang dalam Perda Nomor 9 Tahun 2008. Kedua Perda tersebut telah mengatur berbagai hal menge-nai penyelenggaran kebersihan kota termasuk kebersihan lingkungan pemukiman dan kebersihan sungai. Ketentuan akan perlunya pengaturan akan kebersihan sungai meru-pakan hal yang juga sudah mendapat pengaturan dalam kedua Perda tersebut, guna memelihara sungai agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Salah satu yang berkenaan dengan kebersihan sungai yang di atur dalam kedua Perda tersebut adalah mengenai adanya aturan yang melarang setiap orang atau badan hukum untuk membuang sampah ke sungai, baik sampah organik, sampah industri, atau sampah rumah tangga ataupun bahan kimia dan atau bahan peledak yang berbahaya.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2000 yang terdiri dari 15 pasal, salah satu pasal yang mengatur tentang larangan membuang sampah ke sungai termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan dalam Pasal 13 menyebutkan mengenai larangan mem-buang sampah ke sungai dan tentang sanksi jika melakukan pelanggarana atas ketentuan larangan membuang sampah di sungai akan dikenai pidana kurungan selama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

Perda Nomor 9 Tahun 2008, juga memuat ketentuan mengenai larangan membuang sampah ke sungai, baik untuk sampah organik maupun sampah an organik. Hal tersebut telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 24. Kemudian dalam pasal tersebut menegaskan adanya sanksi berupa denda jika ada yang melakukan perbuatan membuang sampah ke sungai sebagai suatu pelanggaran dan didenda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (limaratus ribu rupiah).

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian untuk membahas permasalahan tersebut di atas maka dalam hal ini tim peneliti menggunakan metodologi penelitian hukum yakni penelitian hukum empiris, yakni penelitian hukum dengan langsung mencari data ke lapangan dengan menggunakan instrumen pencari data menggunakan wawancara kepada beberapa responden yang menjadi sample dalam penelitian ini. Dalam hal ini lokasi penelitian ini dilakukan di 2 kecamatan yang ada di Kota Banjarmasin ini yakni Kecamatan Banjar-masin Selatan dan Kecamatan Banjarmasin Utara. Dan diambil 5 (lima) kelurahan pada masing-masing kecamatan tersebut sebagai tempat untuk mengambil sampel untuk dijadikan responden yakni sebanyak 10 (sepuluh) orang di masing-masing kelurahan te-rsebut. Orang yang diwawancarai adalah mereka yang bermukim atau bertempat tinggal di pinggiran sungai . Pendekatan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan disini

Page 86: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

292 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

adalah pendekatan kuantitatif dan didukung oleh pendekatan kualitatif disertai dengan analisa deskriptif.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat diketahui ternyata Kota Banjarmasin dipengaruhi oleh dua aliran sungai besar yakni sungai Barito dan sungai Martapura, dengan jarak wilayah kota ini dengan laut kurang lebih 23 km. Adapun muka air sungai itu sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai Martapura mepunyai anak sungai yakni sungai Kuin, sungai Awang yang menyatu dengan sungai Alalak yang bagian utaranya merupakan anak sungai Barito. Di bagian selatan anak sungainya adalah sungai Basirih, Bagau, Kelayan, Pekapuran dan Gardu. Semua sungai ini berhubungan dengan sungai Barito dan merupakan bagian dari sistem Drainase Kota Banjarmasin (Sumber data dari PDAM Bandarmasih Kota Banjarmasin).

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk Kota Banjarmasin rata-rata meningkat, dapat kita lihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 1Tingkat Pertumbuhan Penduduk Kota Banjarmasin

Tahun Jumlah jiwa Rata-rata Pertumbuhan (%)1990 481.371 2,362000 532 .556 1.022001 535.949 0,642002 539.060 0,582003 566.008 2,032004 606.405 1,102005 612.697 1,042006 624.089 1,95

Sumber: BPPS Kota Banjarmasin

Jumlah penduduk yang banyak dengan tingkat pertumbuhan penduduk ini me-nye babkan semakin meningkat kepadatan penduduk Kota Banjarmasin. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 100 (seratus) orang warga masyarakat Kota Banjarmasin yang tinggal dipinggiran sungai di 10 (sepuluh) kelurahan di 2 (dua) kecamatan di Kota Banjarmasin ini yakni kecamatan Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Selatan.

Kecamatan Banjarmasin Utara terdapat di bagian utara Kota Banjarmasin, yang se-belah baratnya berbatasan langsung dengan sungai Barito dan di bagian utaranya berba-tasan dengan Kabupaten Barito Kuala serta di bagian timur berbatasan dengan Kabupa-ten Banjar, kecamatan ini terdiri dari 11 Kelurahan yakni:

1. Kelurahan Alalak Utara;

2. Kelurahan Surgi Mufti;

Page 87: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 293

3. Kelurahan Sungai Jingah;

4. Kelurahan Alalak selatan;

5. Kelurahan Pangeran;

6. Kelurahan Alalak Tengah;

7. Kelurahan Sungai Miai;

8. Kelurahan Kuin Selatan;

9. Kelurahan Kuin Utara;

10. Kelurahan Kuin Cerucuk;

11. Kelurahan Antasan Kecil Timur.

Dari 11 (sebelas) kelurahan itu diambil 5 (lima) kelurahan sebagai lokasi untuk men cari responden sebanyak 50 orang. Untuk satu kelurahan yang telah dipilih sebagai lokasi penelitian akan ditarik 10 (sepuluh) orang sampel, sehingga akan didapat 50 res-ponden dari 5 (lima) kelurahan yang berbeda pada satu kecamatan Banjarmasin Utara. 5 (lima) kelurahan yang dipilih adalah Kelurahan Alalak Utara, kelurahan Sungai Jingah, Kelurahan Sungai Miai, dan kelurahan pangeran serta kelurahan Antasan kecil Timur.

Kemudian di Kecamatan Banjarmasin Selatan terdapat 14 (empatbelas) kelurahan yakni:

1. Kelurahan Mantuil;

2. Kelurahan Pemurus Luar;

3. Kelurahan Murung Raya;

4. Kelurahan Basirih;

5. Kelurahan Pemurus Dalam;

6. Kelurahan Kelayan Selatan;

7. Kelurahan Pemurus Baru;

8. Kelurahan Pekauman;

9. Kelurahan Tanjung Pagar;

10. Kelurahan Kelayan Timur;

11. Kelurahan Kelayan Luar;

12. Kelurahan Kelayan Barat;

13. Kelurahan Kelayan Tengah;

14. Kelurahan Kelayan Dalam.

Adapun dalam penelitian ini diambil 5 (lima) kelurahan sebagai lokasi penelitian yakni Kelurahan Basirih, Kelurahan Mantuil, Kelurahan Kelayan Selatan, Kelurahan Kelayan Tengah, Kelayan Barat. Kelurahan ini dipilih karena di lokasi ini terdapat banyak warga masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai. Sungai yang membelah kota Banjarmasin adalah sungai Martapura yang melewati beberapa kecamatan di Kota

Page 88: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

294 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

Banjarmasin yakni melewati Kecamatan Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin Tengah dan menjadi pembatas antara Kecamatan Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Timur. Anak sungainya banyak tersebar di kecamatan Banjarmasin Selatan dan sebagai di Kecamatan Banjarmasin Timur, sedangkan di wilayah Banjarmasin Utara banyak ter-dapat anak sungai Barito yang bertemu dengan anak sungai Martapura seperti halnya sungai yang melalui wilayah Pasar Lama terus ke Sungai Miai dan dari Sungai Miai meng alir anak sungainya di wilayah Antasan Kecil terus ke sungai Pangeran yang kemu-dian sebagian terus ke sungai Kuin dan berakhir di sungai Barito. Sementara sungai Martapura yang melewati daerah Kecamatan Banjarmasin Selatan banyak anak sungai-nya melewati kelurahan Kelayan baik Kelayan Barat, Tengah dan Kelayan Timur. Dan aliran terusan sungai Martapura melewati kelurahan Kelayan Selatan dan terus ke kelurahan Basirih yang kemudian masuk ke kelurahan Mantuil dan ujungnya berakhir di sungai Barito.

Kemudian jika kita lihat karakteristik responden berdasar usia, jenis kelamin dan pekerjaaan serta tingkat pendidikannya dari 100 (seratus) orang, diuraikan dalam pembahasan ini yakni:

Tabel 2Usia Responden

No. Usia Frekuensi Jumlah Persentase (%)1 15- 25 IIIII IIIII I 11 11 %2 26- 36 IIIII IIIII IIIII IIIII IIIII 36 36%3 37-47 IIIII IIIII IIIII 33 33 %4 48 -58 IIIII IIIII III 14 14 %5 59- 69 IIIII II 6 6 %

Total 100 100 %

Sumber: Data Primer

Dari tabel ini diketahui bahwa responden yang tinggal dipinggiran sungai yang, menjadi sampel dalam penelitian ini berusia dalam jumlah yang paling banyak berkisar antara usia 26-36 tahun. Sebanyak 36 % dari 100 orang responden.

Selanjutnya akan dibahas mengenai nilai mean (rata-rata) median (titik tengah) dan modus. Dapat dihitung dengan pendekatan kuantitatif sebagai berikut dalam table dibawah ini:

Tabel 3Usia Responden

No.Usia

responden (Tahun)

Nilai Tengah

(x)Frekuensi Jumlah

(f)Persentase

(%) f.x Ef

1 15- 25 20 II 11 11 % 220

Page 89: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 295

No.Usia

responden (Tahun)

Nilai Tengah

(x)Frekuensi Jumlah

(f)Persentase

(%) f.x Ef

2 26- 36 31 III 36 36% 11163 37-47 42 IIIII IIIII IIIII 33 33 % 13864 48 -58 53 IIIII IIIII III 14 14 % 7425 59- 69 64 IIIII II 6 6 % 384

Total 100 100 % 3848Sumber: Data Primer

Dari hasil penelitian ini didapatkan data mengenai tingkat pendidikan responden yakni terdapat ada 4 tingkat pendidikan dari tingkat SD (Sekolah Dasar/ sederajat ), SMTP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama/sederajat), SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas/sederajat) dan tingkatan sarjana ( S0, S1, S2 ataupun S3). Adapun hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4Tingkat Pendidikan Responden

No. Pendidikan Frekuensi Jumlah Persentase (%)

1 SD/ Sederajat IIIIIIIIIIIII 13 13 %2 SMP/sederajat IIIII IIIII IIIII IIIIII IIIII IIIII

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII42 42 %

3 SMA/sederajat IIIII IIIII IIIII IIIII IIIII IIIII IIIII IIIII IIII

34 34 %

4 Sarjana IIIIIIIIIII 11 10 %Total 100 100.%

Gambar 1Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden

Page 90: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

296 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

Ternyata dari tabel dan gambar tersebut di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan responden adalah paling banyak berpendidikan SMTP atau sederajat dan sebagian besar juga berpendidikan SMTA/sederajat. Sementara yang berpendidikan sarjana hampir berimbang dengan responden yang berpendidikan Sekolah Dasar atau sederajat.

Responden dalam penelitian ini terdapat dua macam jenis kelamin yakni perempuan dan laki-laki yang dapat berupa anak-anak berusia di atas 15 tahun hingga orang dewasa berupa remaja, orang tua/orang berkeluarga (suami atau isteri), dan juga orang tua yang sudah berumur di atas 50 tahun .Hal ini dapat dilihat dari table dibawah ini:

Tabel 5Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin jumlah prosentasiLaki-laki 34 orang 34 %Perempuan 66 orang 66 %

Jumlah 100 orang 100 %

Sumber: Data Primer

Gambar 2 Perbandingan Responden Laki-laki Dengan Perempuan

0%10%

20%30%

40%

50%60%

70%

1st Qtr

laki-lakiprp

Responden yang menjadi sampel penelitian ini terdiri dari beragam pekerjaannya dari buruh tani hingga PNS, dari pelajar hingga mahasiswa.

Tabel 6Jenis Pekerjaan Responden

No. Pekerjaan Frekuensi Jumlah Persentase (%)

1 Pelajar SMTA/sederajat 1 1 1 %2 Mahasiswa 10 10 10 %3 Buruh tani 9 9 9 %4 Buruh bangunan 6 6 6 %

Page 91: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 297

No. Pekerjaan Frekuensi Jumlah Persentase (%)

5 Pedagang 13 13 13 %6 Karyawan swasta 11 11 11 %7 Ibu rumah tangga 29 29 29 %8 PNS 18 18 18 %9 Tidak bekerja 3 3 3 %

Total 100 100 %

Sumber: Data Primer

Gambaran lebih jelas dapat dilihat pada diagram di bawah ini

Gambar 3Perbandingan Jenis Pekerjaan Responden

Kemudian kita dapat data tentang pengetahuan masyarakat akan keberadaan Peraturan Daerah ( Perda ) Kota Banjarmasin tentang larangan membuang sampah ke sungai yakni Perda Nomor 4 Tahun 2004 dan Perda Nomor 9 Tahun 2008.

Tabel pengetahuan masyarakat tentang Perda Nomor 4 tahun 2004 dan Perda Nomor 9 Tahun 2008.

Tabel 7Tentang Pengetahuan Masyarakat akan Keberadaan Perda No 4 Tahun 2000 dan

Perda No 9 Tahun 2008 Tentang Kebersihan

Pengetahuan masyarakat akan PerdaNo. 4/2000 dan Perda No. 9/2008

Jumlah Prosentasi

Mengetahui 96 96 %Tidak Mengetahui 4 4 %Jumlah 100 100 %

Sumber: Data Primer

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

4th Qtr

pelajar SMTAMahasiswaTaniBuruh bangunanPedagang swastaIbu RTPNSTdk bekerja

Page 92: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

298 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

Gambar 4Perbandingan responden yang tahu akan Perda No.4 Tahun 2000 dengan

responden yg tidak mengetahuinya

Adapun dari jumlah 96 responden yang mengetahui akan adanya larangan membuang sampah ke sungai dalam kedua Perda Kota Banjarmasin tersebut, sebanyak 75 % dari 96 yakni sebanyak 72 orang yang melakukan kegiatan atau berprilaku membuang sampah ke sungai, hanya 24 orang yang tidak membuang sampah ke sungai. Perilaku 24 orang responden yang tidak membuang sampah ke sungai tersebut selain karena adanya penge-tahuan mereka akan adanya larangan membuang sampah ke sungai, j berdasarkan hasil wawancara ternyata juga dipengaruhi oleh adanya fasilitas kebersihan lingkungan yang disediakan pemerintahan desa (kelurahan) setempat di lingkungan tempat tinggal mereka, yakni berupa adanya tempat-tempat sampah yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah desa (kelurahan) kepada setiap rumah warganya dalam suatu Rukun Tetangga (RT) tertentu yang wilayah lingkungan tempat tinggal warganya di pinggiran sungai. Kemudian pemerintah desa (kelurahan) tersebut juga sekaligus menyediakan petugas yang bersedia diserahi tugas mengambil sampah-sampah dari tempat sampah warga RT tersebut yang kemudian mengantarnya ke tempat penampungan sampah sementara (TPS) yang ada di Kota Banjarmasin ini. Adapun fasilitas alat angkutnya berupa sebuah motor dengan bak sampah dibelakangnya yang dapat dimohonkan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, artinya di sediakan oleh Pemko Banjarmasin.

Adapun dari 4 (empat) orang responden yang kami wawancarai yang tidak mengetahui tentang adanya larangan membuang sampah ke sungai dalam kedua Perda tersebut di atas, ternyata keempatnya responden tersebut berprilaku membuang sampah ke sungai. Kalau dilihat tentang alasan mengapa masyarakat Kota banjarmasin ini berprilaku membuang sampah ke sungai, berdasarkan hasil wawancara dengan para responden maka didapatkan data tentang beberapa alasan mereka berprilaku membuang sampah ke sungai, yakni:

1. Karena dekat tempat tinggal dan tidak repot;

2. Karena sudah menjadi kebiasaan keluarga sejak dahulu;

3. Karena terpengaruh prilaku tetangga-tetangganya;

Tidak tahu

4 %

Mengetahui

96%

Page 93: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 299

4. Karena selama ini tidak ada sanksi yang tegas dari PemKo Banjarmasin.

Adapun analisa tentang hubungan antara tingkat pengetahun responden akan adanya larangan membuang sampah ke sungai sebagaimana yang diatur dalam Perda Nomor 4 tahun 2000 jo Perda Nomor 9 Tahun 2008 dengan perilaku masyarakat tersebut dalam hal membuang sampah ke sungai , dapat kita lihat dalam pendekatan kuantitatif di bawah ini:

Tabel 8Tentang Prilaku Responden dalam hal Membuang Sampah ke Sungai

Prilaku membuangsampah ke sungai

Banyaknya orang yang berprilaku

Prosentase

Ya 72 orang 75 %Tidak 24 orang 25%

Jumlah 96 orang 100 %

Sumber: Data Primer

Dari 96 orang yang mengetahui akan keberadaan perda Nomor 4 tahun 2000 tentang adanya ketentuan larangan membuang sampah ke sungai, ternyata dari jumlah itu sebanyak 75 % yakni sejumlah 72 orang tetap berprilku membuang sampah ke sungai, sedangkan sisanya sebnyak 24 orang tidak berprilaku membuang sampah ke sungai.

Berdasarkan data yang didapat di lapangan, ternyata dari 4 responden yang tidak mengetahui keberadaan Perda Nomor 4 Tahun 2000 yang mengatur tentang adanya larangan membuang sampah ke sungai, dapat di lihat tabel di bawah ini:

Tabel 9Prilaku Responden yang Tidak Tahu akan Adanya Larangan dalam Perda Kota

Banjarmasin tentang Penyelengaraan Kebersihan

Prilaku membuang sampah ke sungai

Banyaknya responden yg tidak mengetahui larangan

membuang sampah ke sungai dalam Perda

Prosentasi

Ya 3 75 %Tidak 1 25 %

Jumlah 4 orang 100 %

Sumber: Data Primer

Dari tabel tersebut terlihat ternyata yang tidak mengetahui keberadaan larangan membuang sampah ke sungai sebagaimana yang diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2000, sebanyak 75 % responden berprilaku membuang sampah ke sungai, dan 25 % tidak membuang sampah ke sungai.

Page 94: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

300 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

Dari gambaran tersebut di atas dapat kita ketahui ternyata dari 100 (seratus) orang responden yang menjadi sample dalam penelitian ini, terdapat sebesar 75 orang responden yang membuang sampah ke sungai, sementara sebanyak 25 orang tidak berprilaku membuang sampah ke sungai. Dapat tergambar dalam gambar di bawah ini :

Gambar 5Perbandingan Jumlah responden yg membuang sampah ke sungai dan tidak

membuang sampah ke sungai

Dari tabel-tabel tersebut di atas serta dari gambaran diagramnya terlihat sebanyak 75 orang atau 75 % dari 100 responden ternyata berprilaku membuang sampah ke sungai, walaupun dari sekian besar jumlah responden tersebut mengetahui akan adanya larangan membuang sampah ke sungai yang diatur dalam Perda ( Peraturan daerah ) di Kota Banjarmasin ini. Sementara sebanyak 25 % atau 25 orang responden tidak berprilaku membuang sampah ke sungai. Dapat tergambar dalam tabel di bawah ini:

Tabel 10Hubungan Pengetahuan akan Larangan Membuang Sampah dalam Perda Kota

Banjarmasin dengan Prilaku Membuang Sampah ke Sungai

Variabel Prilaku membuang sampah ke sungai

Jumlah

Pengetahuan akan adanya larangan membuang sampah ke sungai dlm Perda Kota Banjarmasin

YA TIDAK

TAHU 72 24 96TIDAK TAHU 3 1 4

Jumlah 75 25 100

Sumber: Data Primer

25 org tidakmembuangsampah kesungai

75org membuangsampah ke sungai

Page 95: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 301

Dari tabel tersebut kita peroleh data sebagai berikut :

72 24 963 1 475 25 N= 100

Untuk selanjutnya kita akan coba uraikan pendekatan kuantitatif denngan cara menghitung hubungan antara dua variabel yang ada dengan menggunakan rumus Chi Square ( X 2 ), dengan langkah langkah sebagai berikut :

SEL O E O-E (O-E) Σ ( O- E ) E

A 72 72 0 0 0B 3 3 0 0 0C 24 24 0 0 0D 1 1 0 0 0

X hitung = 0

Selanjutnya kita coba hitung X kuadrat table dengan rumus Xkuadrat tabel= ( k-1 ).( b-1 ). ½, sehingga didapat hasil sebagai berikut : Xkuadrat tabel= ( 2-1 ).(2-1 ).1/2 = 1.1.1/2 = ½ = 0,5Maka nilai X tabel adalah 0,5 . Jadi kita dapat lihat bagaimana perbandingan antara Xkuadrat tabel dengan Xkuadrat hitung, yaitu ternyata Xkuadrat hitung lebih kecil dari Xkuadrat tabel. Jadi ini menunjukkan TIDAK ada hubungan antara pengetahuan akan

Langkah pertama kita hitung a = fb + Efk – ( fb + fk) 2N ( Fb + Fk) Diketahui data sbb : Efb = 72 + 24 = 96 Efk = 72 + 3 = 75 Efb = 96 dan Efk = 75 dan N = 100 Maka akan di dapat dihitung a = 96 + 75 – ( 96 +75 ) 2. 100 ( 96+ 75) Maka hasilnya 172- ( 172 ) ternyata hasilnya a adalah 0 200 (172) Kita hitung chi squarenya dengan rumus X kuadrat = ( O- E ) yaitu : E Ea = 96x 75 hasilnya 72 100 Eb = 4 x 75 hasilnya 3 100 Ec = 96 x 25 hasilnya 24 100 Ed = 4 x 25 hasilnya 1 100

Page 96: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

302 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm 285-303, ISSN 2085-6644

adanya larangan membuang sampah dalam PERDA Kota Banjarmasin dengan prilaku mereka dalam hal membuang sampah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bahwa terdapat 5 (lima) kecamatan yang ada di Kota Banjarmasin yang penduduknya sebagian besar bermukim di pinggiran sungai yang tersebar di seluruh wilayah Kota Banjarmasin. Dari hasil penelitian dapat diketahui ternyata sebagian besar masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai di Kota Banjarmasin ini memiliki kecenderungan membuang sampah ke sungai dengan berbagai alasan diantaranya karena kemudahan sebab dekat dan tidak perlu repot harus membuang ke TPS (Tempat Pembuangan Sampah), alasannya karena sudah menjadi kebiasaan keluarga secara turun temurun sejak lama, alain lain karena terpengaruh kebiasaan masyarakat sekitarnya (para tetangga), juga alasan karena selama ini tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka yang membuang sampah ke sungai. Ketika prilaku membuang sampah ke sungai dihubungkan dengan pengetahuan masyarakat akan adanya larangan membuang sampah ke sungai dalam beberapa aturan daerah yang ada di Kota Banjarmasin ini, ternyata hasilnya tidak menunjukkan adanya hubungan antara kedua variabel tersebut. Sebab meskipun rata-rata masyarakat mengetahui keberadaan larangan membuang sampah ke sungai tetapi mereka tetap saja berprilaku membuang sampah ke sungai.

Saran

Mengingat pentingnya kebersihan sungai sebagai bagian dari kegiatan pelestarian lingkungan hidup, juga untuk menjaga fungsi dan kualitas sungai yang ada di kota Banjarmasin, maka seyogyanya pemerintah kota Banjarmasin untuk selalu aktif menggalakkan program pemeliharaan kebersihan lingkungan termasuk pemeliharaan kebersihan sungai dengan selalu mendorong dan memotivasi peran aktif masyarakat.Oleh karenanya sangat diperlukan untuk ditingkatkan program dalam bentuk penyadaran kepada masyarakat misalnya melalui penyuluhan-penyuluhan tentang kebersihan lingkungan dan sungai. Dan perlu penataan kembali pemukiman masyarakat yang berada di pinggiran sungai-sungai yang ada di wilayah kota Banjarmasin, serta terus meningkatkan penegakan hukum dengan baik terutama yang berkanaan dengan pelanggaran akan peraturan-peraturan tentang kebersihan lingkungan dan sungai. Dan Pemerintah kota Banjarmasin juga perlu menambah TPS (Tempat Pembuangan sampah) diupayakan berada dalam tempat yang mudah diakses oleh masyarakat.

Page 97: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rahmida Erliyani, Mulyani Zulaeha, Dermawati Sihite, Pengetahuan Masyarakat.....| 303

DAFTAR PUSTAKA

Ashadi, Ahmad. 2001. Otonomi Masa Depan RI, Jakarta: PT.Grafindo Pustaka Utama.

Subiyakto, Bambang. 2005. Fungsi Integratif Pelayanan Sungai terhadap Perekonomian Kalimantan Selatan pada Masa Dahulu, Jurnal Kandil Edisi 9,Tahun III, Mei-Juli, Banjarmasin.

Both, Anne. 1989 . Sejarah Banjarmasin, Bandung: Balai Pustaka Pendidikan Guru.

Kompas, Selasa 23 Nopember 2005.

Rahmawati, Diana. 2002. Aspek Hukum Bangunan Pinggiran Sungai di Kotamadya Banjarmasin, Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan) Banjarmasin: Perpustakaan Fakultas Hukum Unlam.

Tjilik Riwut. 1958. Kalimantan Memanggil. Jakarta: TP.

Peraturan Perundang-undangan

Perda No.4 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kebersihan.

Perda No.9 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan Kebersihan,Keindahan, Ketertiban dan Ketentraman.

Page 98: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 99: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

PENGEMBANGAN SISTEM BAGI HASILTANAH PERTANIAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN

PERLINDUNGAN TERHADAP PETANI(STUDI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN)

Yulia Qamariyanti*Diana Rahmawati*

Syahrida*Rahmat Budiman*

*[email protected]. Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: Economic development which dominant in urban area generally tend to oppo site with society income in rural area. This condition influence to decrease of land asset level in rural area. Limitation of agricultural land who was owned by farmer be essential problem which not solved yet. Farmer is main producer of food from field which needed by human. Farmer work on their land. While peasant work on other land with product sharing system or be paid with money. They prefer product sharing system because most possible for peasant because basically they can not pay rent in advance and do not have money for working on rice field. The research result, first: product sharing system in South Kalimantan province base on customary law and tradition generation by generation, second: product sharing system in South Kalimantan province not appropriate to Act number 2 of 1960 concerning product sharing agreement, indeed peasant not know about that regulation. Product sharing system in agricultural land in South Kalimantan in Barito Kuala and Banjar district not appropriate to Act number 2 of 1960, in implementation procedure and agriculture product sharing system.

Keywords: product sharing system, Act Number 2 of 1960, Barito Kuala and Banjar District

Abstrak: Perkembangan perekonomian yang kuat di perkotaan umumnya cenderung bertolak belakang dengan tingkat pendapatan masyarakat di pedesaan. Hal ini berpeng-aruh terhadap menurunnya tingkat kepemilikan tanah di pertanian. Dampak nega tif -nya adalah terjadinya proses akumulasi dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang yang berdomisili di perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hubung-annya dengan penguasaan yang biasa dikenal dengan pemilikan tanah absentee/guntai. Sempitnya lahan pertanian yang dimiliki/dikuasai petani jadi soal struktural utama yang belum teratasi. Ketimpangan pemilikan/penguasaan tanah juga jadi sumber ketidakadilan. Petani bekerja di atas tanahnya sendiri untuk memproduksi bahan pangan. Sementara ”petani” yang bekerja di atas tanah pertanian milik orang lain, dengan sistem bagi hasil maupun dibayar upah berupa uang (buruh tani). Sistem bagi hasil ini dipilih daripada sistem sewa tanah karena sistem bagi hasil ini yang paling mungkin dilakukan peta-

Page 100: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

306 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

ni karena pada dasarnya mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membayar uang sewa yang biasanya harus dibayar duluan dan juga tidak mempunyai dana untuk biaya menggarap sawah. Hasil pnelitian adalah, Sistem bagi hasil tanah pertanian yang berla-ku pada masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah berdasarkan hukum adat dan kebiasaan setempat yang berlangsung turun temurun; dan Sistem bagi hasil tanah perta-nian yang berlaku pada masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, bahkan petani tidak mengetahui bahwa ada peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur ten-tang perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia.

Kata Kunci: sistem bagi hasil, pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan

Perkembangan perekonomian yang kuat di perkotaan umumnya cenderung bertolak belakang dengan tingkat pendapatan masyarakat di pedesaan. Hal ini berpengaruh pula terhadap menurunnya tingkat kepemilikan tanah di pertanian. Dampak negatif dari perkembangan ini adalah terjadinya proses akumulasi dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang yang berdomisili di perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hu bungannya dengan penguasaan yang biasa dikenal dengan pemilikan tanah absentee/guntai. Proses akumulasi dan pemusatan penguasaan tanah ini di samping dapat semakin memperbesar frekuensi pelanggaran pemilikan tanah absentee juga semakin memperlebar kesenjangan sosial antara pemilik dan penggarap tanah. Kondisi ini diperburuk dengan semakin mudahnya pemilik tanah untuk menambah tanah dengan cara absentee. Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bisa berangan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai jualnya akan semakin sulit dijangkau oleh penggarap ( Hasmonel, 2008: 1).

Selama ini, sempitnya lahan pertanian yang dimiliki/dikuasai petani jadi soal struk-tural utama yang belum teratasi. Ketimpangan pemilikan/penguasaan tanah juga jadi sumber ketidakadilan. Adapun bahan pangan diproduksi sistem pertanian yang beralaskan struktur agraria. Ketika lahan pertanian menyusut dan ketimpangan tak teratasi, krisis ketersediaan pangan di depan mata. Ketahanan pangan sebagai tujuan dari pembangu-nan pertanian pada gilirannya sangat tergantung pada ketersediaan lahan pertanian dan keadilan pemilikan/penguasaan dan pemanfaatannya bagi petani (Usep Setiawan, 2008: 3).

Gejala sekarang ini terlihat adanya kecendrungan petani menggarap tanah perta-nian tidak diatas tanah milik sendiri, akan tetapi menggarap diatas tanah orang lain yang tinggal di perkotaan dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini lebih dipilih daripada sistem sewa tanah karena sistem bagi hasil ini yang paling mungkin dilakukan petani karena pada dasarnya mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membayar uang sewa yang biasanya harus dibayar duluan dan juga tidak mempunyai dana untuk biaya menggarap sawah. Akan tetapi tidak jarang petani itu mendapatkan hasil dari jerih payahnya hanya sebagian kecil saja dari padi yang dihasilkannya. Sehingga petani akan selalu berada pada garis kemiskinan yang tidak berujung.

Meskipun pemerintah telah menetapkan peraturan tentang bagi hasil dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (disebut dengan UU PBH) akan tetapi tidak efektif di masyarakat, yang sebenarnya bertujuan untuk melindungi

Page 101: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 307

petani dari unsur pemerasan. Dalam praktek di berbagai daerah masyarakat menerapkan ketentuan hukum adat dalam mengatur perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Demikian juga didaerah Kalimantan Selatan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan terutama di daerah Kabupaten Banjar ketentuan UU PBH tidak efektif di masyarakat, hal ini di-sebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat akan adanya undang-undang tersebut dan juga ternyata undang-undang tersebut tidak ditegakkan atau dilaksanakan oleh aparat yang terkait dengan penegakan undang-undang tersebut. Masyarakat lebih memilih hukum kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat yang berasal dari hukum adat.

Bagi hasil yang berlaku pada suatu wilayah merupakan sebuah bentuk kelem bagaan yang telah diakui dan diterima secara sosial. Dalam penelitian Jalal “et al” (2001) dan Saptana “et.al” (2002) berkenaan dengan penguasaan lahan dan penatagunaan lahan pertanian, ditekankan bahwa eksistensi kelembagaan lokal yang ada di masyarakat perlu dijadikan titik tolak dalam pembaharuan agraria. Kelembagaan tersebut akan mem-pengaruhi efektifitas dan efesiensi petani dalam penatagunaan lahan pertanian haruslah meperhitungkan dan mendayagunakan kelembagaan yang telah eksis di perdesaan (Syahyuti: 2005).

Penataan sistem bagi hasil yang lebih adil di Indonesia adalah masalah yang perlu diperhatikan. Bagi hasil adalah salah satu komponen yang cukup penting dalam konteks reforma agraria. Lebih jauh dari itu, ketika penataan ulang penguasaan dan pemilikan (landreform) masih sulit dilakukan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No mor 56 Tahun 1960, maka penataan bagi hasil adalah salah satu bentuk reforma agra-ria yang mungkin dilaksanakan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang diangkat dalam penulisan ini yaitu:

1. Bagaimanakah sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku pada masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan?

2. Apakah sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku pada masyarakat di Pro-vinsi Kalimantan Selatan sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil?

3. Apakah yang menjadi keunggulan dan kelemahan dari sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku di masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan?

4. Bagaimanakan upaya pengembangan sistem bagi hasil tanah pertanian yang da-pat melindungi bagi para petani penggarap dan pemilik tanah pertanian di Pro-vinsi Kalimantan Selatan?

TINJAUAN PUSTAKA

Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti dinegara-negara lain (Parlindungan dalam Syahyuti, 2005). Unsur positif bagi hasiladalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan terjaminnya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak

Page 102: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

308 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik (Parlindungan dalam Syahyuti, 2005).

Secara umum, “bagi hasil” didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut ”deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Parlindungan dalam Syahyuti, 2005). Bagi hasil di pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha.

Transaksi bagi hasil terjadi apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan sebagian (paro) kalau memperduai atau maro serta sepertiga kalau mertelu atau jejuran (Jawa Tengah) hasil tanah kepada pemilik tanah. Dasar diadakannya transaksi yang demikian adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak dapat mengerjakan sendiri tanah tersebut (Bushar Muhammad, 1991).

Maka perjanjian bagi hasil adalah hubungan hukum antara seseorang yang berhak atas tanah dengan pihak lain (kedua), dimana pihak kedua ini diperkenankan mengolah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan dibagi dua antara orang yang berhak atas tanah dan orang yang mengolah tanah itu. Pihak yang kedua ini dinamakan pemaruh (deelbouwer), yang menjadi dasar dari hubungan ini adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah, tetapi tidak mempunyai kesempatan ataupun tidak mempunyai niat untuk mengolah sendiri tanahnya, tetapi ia ingin memperolah hasil dari tanah tersebut, karena itu mengijinkan orang lain untuk mengolah tanah itu dengan ketentuan hasilnya dibagi dua.

Banyaknya praktek sistem bagi hasil ini dilakukan antara lain disebabkan sistem ini tidak merendahkan derajat petani penggarap, tidak mengenal istilah majikan dan buruh, pranata bagi hasil bersifat tolong menolong dan kekeluargaan, sehingga segala se su atunya dapat diselesaikan secara musyawarah, serta bagi hasil sudah membudaya di Indonesia (Mustara, 1993). Namun demikian tradisi Bagi Hasil ini akibat pengaruh per kembangan ekonomi dan keuangan, nampaknya telah bergeser dari sistem yang mengandung prinsip pemerataan ke arah kepentingan ekonomi (Hasmonel, 2008).

Menurut Wiradi bahwa landreform dan agrarian reform diberikan pengertian yang berbeda-beda oleh para ahli. Namun, dapat disimpulkan bahwa landreform adalah salah satu bagian dari agrarian reform. Menurut Cohen, landreform adalah: “...... change in land tenure,especially the distribution of land ownership, thereby achieving the objective of more equality”. Jadi inti dari kegiatan landreform adalah redistribusi tanah, sebagai upaya memperbaiki struktur penguasaan dan pemilikan tanah di tengah masyarakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat diraih dan lebih menjamin keadilan (ALSA KLI UGM, 2006: 1).

Page 103: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 309

Menurut Pasal 1 UUPBH ada beberapa pengertian yang penting, yaitu:

1. Tanah ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan;

2. Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan suatu hak menguasai tanah;

3. Perjanjian Bagi Hasil adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang/badan hukum di pihak lain yang disebut penggarap. Penggarap berdasarkan perjanjian diperkenankan pemilik untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak;

4. Hasil tanah ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen;

5. Petani ialah orang, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.

Dalam Pasal 2 UU PBH disebutkan bahwa yang boleh menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya merupakan milik sendiri atau menyewa, luasnya tidak boleh lebih sekitar 3 hektar.

Pasal 3 UU PBH menyebutkan tentang bentuk perjanjian bagi hasil. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala Desa dimana tanah yang akan digarap berada dengan disaksikan 2 (dua) orang yang berasal masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. Perjanjian bagi hasil itu harus disahkan oleh Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau Pejabat yang setingkat. Kepala Desa dalam setiap kerapatan desa harus mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan di wilayah desanya.

Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang tersebut di dalam surat perjanjian dengan ketentuan (ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 UU PBH):

(1) untuk sawah sekurang-kurangnya 3 tahun;

(2) untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.

Untuk hal khusus, Camat dapat mengizinkan terjadinya perjanjian bagi hasil dengan waktu kurang dari yang ditetapkan diatas, untuk tanah yang diusahakan oleh pemiliknya. Apabila pada waktu berakhinya perjanjian bagi hasil masih ada tanaman yang belum dipanen diatas tanah itu maka perjanjian bagi hasil berlaku terus sampai waktu memanen, tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun. Apabila ragu-ragu menentukan apakah itu sawah atau tanah kering, maka yang memutuskan adalah Kepala Desa. Perjanjian bagi hasil tidak terputus apabila terjadi pemindahan hak milik atas tanah yang bersangktan kepada pihak lain. Apabila terjadi maka semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil beralih kepada pemilik baru. Apabila penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.

Pembagian Hasil Tanah (Pasal 7 UU PBH): Yang menentukan besarnya bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap daerah ditetapkan oleh Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan memperhatikan: (1) jenis tanaman;

Page 104: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

310 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

(2) keadaan tanah; (3) kepadatan penduduk; (4) zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis dan ketentuan-ketentuan adat setempat. Penentuan besar kecilnya bagian pemilik dan penggarap tidak sama ditiap daerah, maka penetapannya diserahkan kepada daerah itu sendiri.

Dalam praktek di masyarakat ternyata peraturan-peraturan tentang perjanjian bagi hasil ini tidak digunakan oleh masyarakat petani, baik petani pemilik tanah maupun petani penggarap, mereka masih mempergunakan hukum adat dan kebiasaan masing-masing di daerah mereka yang sudah berlangsung turun-temurun dari nenek moyang mereka terhadap penetapan pembagian hasil tani yang diperoleh ketika panen (Yulia Qamariyanti, 2006).

Ada beberapa karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya alam reforma agraria. Karakateristik tersebut adalah: Pertama, sudah menjadi pandangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung. Kedua, hubungan tersebut bersandar ke-pada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang. Arus jasa yang tidakseimbang, dimana jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap (Syahyuti, 2005: 7).

METODE PENELITIAN

Penelitian tentang Pengembangan Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian dalam Rangka Meningkatkan Perlindungan Terhadap Petani (Studi di Provinsi Kalimantan Selatan) merupakan lanjutan penelitian dari penelitian mandiri. Untuk penelitian ini maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris yang menitikberatkan pada penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan data primer, selain itu juga diperlukan penelitian kepustakaan (library research) yang berfungsi untuk melengkapi dan menunjang data yang diperoleh dilapangan. Penelitian kepustakaan ini akan menggunakan data sekunder yang berasal dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh (holistik), mendalam dan sistematis tentang Pengembangan Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian dalam Rangka Meningkatkan Perlindungan Terhadap Petani (Studi di Provinsi Kalimantan Selatan). Dikatakan analitis, karena kemudian akan dilaku-kan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti, selain menggambarkan secara jelas tentang asas-asas hukum, kaedah hukum, berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian.

Page 105: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 311

Data yang dikumpulkan dari penelitian lapangan adalah data primer tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti Dalam memperoleh data tersebut ditentukan wilayah dan obyek penelitian.

1. Wilayah Penelitian: Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Provinsi Kali-man tan Selatan. Populasi penelitian tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Selatan yaitu di 12 (dua belas) Kabupaten yang masing-masing mempunyai daerah pertanian dengan sistem perjanjian bagi hasil. Sebagai sampel penelitian, peneliti mengambil wilayah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala.

2. Obyek Penelitian: Sebagai obyek penelitian dalam penelitian ini adalah Kabu-paten Banjar dengan 4 wilayah kecamatan yaitu: (a) Kecamatan Sungai Tabuk (meliputi Desa Sungai Tabuk Kota, Desa Gudang Hirang, Desa Bumbun Jaya dan Desa Pematang Panjang); (b) Kecamatan Beruntung Baru (meliputi Desa Kampung Baru dan Desa Jambu Burung); (c) Kecamatan Kertak Hanyar (meliputi Desa Simpang Empat, Desa Manarap Baru, Desa Manarap Lama dan Desa Sungai Lakum); dan (d) Kecamatan Gambut (meliputi Desa Malintang Baru dan Kelurahan Gambut) dan Kabupaten Barito Kuala dengan 4 wilayah kecamatan yaitu (a) Kecamatan Masdastana (meliputi Desa); (b) Kecamatan Anjir Muara (meliputi Desa Marabahan Baru dan Desa Anjir Muara Kota Tengah); (c) Kecamatan Anjir Pasar (meliputi Desa Barunai Baru dan Desa); dan (d) Kecamatan Rantau Badauh (meliputi Desa Sungai Pantai dan Desa Sungai Gampa). Yang dijadikan obyek penelitian ini adalah yang dikenal sebagai daerah penghasil padi.

Dalam penelitian pendahuluan yang telah dilakukan maka diketahui bahwa sistem perjanjian bagi hasil yang dilakukan antara pemilik tanah dengan penyakap/petani penggarap adalah menggunakan sistem perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, kebiasaan yang berlaku secara turun temurun di masyarakat tersebut.

HASIL PENELITIAN

Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian Yang Berlaku Pada Masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan

Di Indonesia tanaman padi merupakan tanaman pangan yang paling banyak diusaha-kan, termasuk di wilayah Kalimantan Selatan. Hal ini dimungkinkan karena Kalimantan Selatan memiliki lahan yang cukup potensial untuk padi dan didukung oleh air sungai yang cukup dan curah hujan yang tergolong tinggi (Deptan BIP Banjarbaru, 1).

Dalam pengolahan areal lahan pertanian, pemilik tanah bisa bertindak sebagai peta-ni, atau bisa juga diserahkan kepada pihak lain sebagai penggarap/penyakap. Ternyata di wilayah Kalimantan Selatan banyak pemilik tanah yang menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh penggarap/penyakap. Dalam Hukum Adat di Kalimantan Selatan hal terse-but diatas disebut Bagi Hasil. Ternyata istilah Bagi Hasil tidak hanya dikenal di wilayah Kalimantan Selatan tetapi juga daerah lainnya di wilayah Indonesia.

Bagi Hasil dalam beberapa lingkungan Hukum Adat mempunyai istilah yang berbe-da yaitu Memperduai; Minang Kabau, Toyo; Minahasa, Tesang; Sulawesi Selatan, Maro,

Page 106: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

312 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Mertelu; Jawa Tengah, Nengah, Jejuron; Periangan. Dalam literatur berbahasa Inggris, dikenal istilah “tenancy”, yaitu seluruh bentuk penggunaan tanah milik si penggarap. Dalam konteks ini tercakup sewa dan bagi hasil. Orangnya disebut dengan “tenant” atau “share cropper”. Sementara istilah “owner crooper” adalah untuk petani yang sekaligus menggarap tanahnya sendiri, atau disebut “petani penggarap”. Khusus di Amerika Serikat dikenal istilah cash tenant untuk sewa dan share tenant untuk bagi hasil. Di Indonesia, Bagi Hasil dikenal di seluruh daerah (Scheltema dalam Syahyuti, 2005).

Istilah Bagi Hasil, di dalam sistem Hukum Adat di Indonesia walaupun disebut dengan nama dan sebutan yang berbeda tetapi dikenal dan dilaksanakan hampir di selu-ruh pelosok tanah air. Istilah Bagi Hasil di Kalimantan Selatan disebut “mengaroni atau ngaduani banih.“ Sistem Bagi Hasil ini, merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga. Dengan demikian sebagai lembaga Hukum Adat yang sudah membudaya di lingkungan masyarakat, Sistem Bagi Hasil ini sulit untuk dihapuskan di masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian dari daerah yang ada di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan dari sampel yang diambil yaitu daerah Kabupaten Banjar dan Barito Kuala sebagai daerah yang mewakili daerah pertanian di Kalimantan Selatan dengan wilayah penelitian Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala, yang terdiri dari 8 kecamatan yang terbagi 20 desa yang dijadikan sampel penelitian yaitu Kabupaten Banjar terdiri dari 4 wilayah kecamatan yaitu (1) Kecamatan Sungai Tabuk Kota (meliputi Desa Sungai Tabuk Kota, Desa Gudang Hirang, Desa Bumbun Jaya dan Desa Pematang Panjang), (2) Kecamatan Beruntung Baru (meliputi Desa Kampung Baru dan Desa Jambu Burung), (3) Kecamatan Kertak Hanyar (meliputi Desa Simpang Empat, DesaMarap Baru, Desa Menarap Lama dan Desa Sungai Lakum) dan (4) Kecamatan Gambut (meliputi Desa Malintang Baru dan Kelurahan Gambut Barat) dan Kabupaten Barito Kuala dengan wilayah 4 kecamatan yaitu (1) Kecamatan Mandasatana (meliputi Desa Bangkit Baru dan Desa Karang Indah), (2) Kecamatan Anjir Muara (meliputi Desa Marabahan Baru dan Desa Anjir Kota Tengah, (3) Kecamatan Anjir Pasar (meliputi Desa Barunai Baru dan Desa Hilir Mesjid) dan (4) Kecamatan Rantau Badauh (meliputi Desa Sungai Pantai dan dan Desa Pindahan Baru), terlihat bahwa Sistem Bagi Hasil yang banyak dikenal masyarakat disebut dengan istilah “mengaroni“ atau “ngaduani banih“ yang mempunyai ciri khas tertentu dibanding daerah lainya walaupun secara mendasar tidak ada perbedaan yang prinsipil.

Sistem “mengaroni atau ngaduani banih“ di daerah Kalimantan Selatan terutama di daerah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala, saat sekarang banyak dilatar-belakangi karena sebagian besar pemilik tanah pertanian bertempat tinggal di luar wilayah tanah pertanian tersebut atau juga banyak dimiliki orang kota, sehingga daripada tanah pertanian tersebut tidak digarap, kemudian oleh pemilik tanah diadakan perjanjian bagi hasil tanah pertanian, disamping itu juga ada sebagian kecil tanah pertanian yang di bagi hasil, pemiliknya bertempat tinggal di lokasi tanah tersebut berada atau dekat lokasi tanah pertanian yang digarap petani penggarap/penyakap akan tetapi pemilik adalah orang yang mempunyai tanah pertanian yang sangat luas dan banyak sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk menggarap tanah pertaniannya, atau ada juga

Page 107: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 313

pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat menggarap tanah pertaniannya misalnya karena sakit, sudah tua dan lainnya .

Pada umumnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Kalimantan Selatan dila-ku kan dengan cara lisan oleh para pihak yaitu petani penggarap/penyakap dan pihak yang berhak atas tanah atau pemilik tanah tanpa disaksikan kepala desa/ pembakal dan saksi, hal ini dilaksanakan berdasarkan atas asas kepercayaan dan tolong menolong yang merupakan sifat dari masyarakat pedesaan yang berdasarkan Hukum Adat. Perjanjian Bagi hasil dilaksanakan dengan jangka waktu yang tidak ditentukan terlebih dahulu, dan menurut kebiasaan masyarakat setempat Perjanjian Bagi Hasil akan terus dilaksanakan sepanjang tidak ada pemberitahuan dari salah satu pihak untuk berakhirnya atau putusnya Perjanjian Bagi Hasil.

Transaksi tersebut mulai terjadi apabila pihak yang berhak atas tanah atau pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan per janjian, bahwa yang mendapat izin itu harus memberikan bagian tertentu dari hasil tanah perta-nian kepada pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah. Dasar diadakannya transaksi yang demikian adalah pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah ingin memungut ha-sil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, karena ia tidak dapat mengerjakan sendiri tanah tersebut

Maka perjanjian “mengaroni atau ngaduani banih“ adalah hubungan hukum antara seseorang yang berhak atas tanah atau pemilik dengan pihak lain (kedua) atau petani penggarap, dimana pihak kedua yaitu petani penggarap/penyakap ini diperkenankan meng olah tanah yang bersangkutan dengan ketentuan, hasil dari pengolahan dibagi antara orang yang berhak atas tanah/pemilik dan orang yang mengolah tanah itu.

Pihak yang kedua ini dinamakan pihak yang mengaroni yang menjadi dasar dari hubungan ini adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah, tetapi tidak mempunyai kemampuan ataupun tidak mempunyai niat untuk mengolah sendiri tanahnya, tetapi ia ingin memperolah hasil dari tanah tersebut, karena itu mengijinkan orang lain untuk mengolah tanah itu dengan ketentuan hasilnya dibagi. Jadi fungsi Perjanjian Bagi Hasil ini adalah untuk tetap mendapatkan hasil dari tanah tanpa mengerjakan sendiri, sedang-kan bagi pihak penyakap fungsi dari perjanjian itu adalah untuk menggunakan tenaganya meskipun tidak memiliki tanah untuk mendapatkan hasil pertanian.

Dalam transaksi ini terdapat perbedaan dengan transaksi jual, pada transaksi jual motifnya adalah karena orang butuh uang, lalu dia menyerahkan tanahnya, sedangkan pada transaksi Bagi Hasil yang menjadi obyeknya bukan tanah, tetapi hasilnya dari tena-ga kerja yang digunakan dan pada transaksi Bagi Hasil ini tidak diperlukan syarat ban-tuan dari kepala desa (Djaren Sarageh, 1996).

Dalam Perjanjian Bagi Hasil atau “mengaroni” yang dapat mengadakan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah pihak yang berhak atas tanah atau pemilik tanah dengan petani penggarap/penyakap. Maksud pihak yang berhak atas tanah adalah orang tersebut belum tentu adalah sebagai pemilik tanah tetapi ia adalah pihak yang berhak atas tanah misalnya adalah pihak yang menerima gadai tanah (sanda tanah) pertanian, jaminan utang atas tanah pertanian dan lainnya, dapat melakukan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dengan pihak kedua yaitu petani penggarap/penyakap. Karena dalam

Page 108: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

314 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

transaksi tanah yang dapat melakukan transaksi hanyalah orang yang mempunyai hak tanah tersebut. Sedangkan dalam Perjanjian Bagi Hasil transaksi dapat dilaksanakan dengan tanpa syarat harus dilakukan oleh orang yang mempunyai hak milik atas tanah, dasarnya pada transaksi Bagi Hasil, yang menjadi inti dari tindakannya ialah hal meman-faatkan tanah dan tidak menentukan hak atau status dari tanah itu.

Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian atau mengaroni akan terus berlangsung yang jangka waktunya tidak diperjanjikan, dan Perjanjian Bagi Hasil berakhir atau putus tergantung kehendak para pihak atau salah satu pihak yang menginginkan perjanjian putus. Dengan cara cukup memberitahukan bahwa salah satu pihak baik itu dari petani penggarap atau pemilik tanah yang tidak ingin lagi Perjanjian Bagi Hasil diteruskan. Adapun yang bisa menjadi alasan adanya pemutusan Perjanjian Bagi Hasil dari pihak petani penggarap/penyakap antara lain petani penggarap sudah tidak bisa lagi menggarap tanah pertanian tersebut, karena sakit, sudah tua atau lainnya. Sedangkan alasan yang bisa menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil dari pihak pemilik tanah adalah tanah sudah dijual oleh pemilik tanah atau pemilik tanah sudah tidak mempercayai lagi pada petani penggarap, mungkin dalam praktik petani penggarap seringkali tidak jujur dengan hasil panen yang diberitahukannya dikatakan hasilnya tidak baik sehingga petani penggarap/ penyakap tidak memberikan bagian pemilik tanah sesuai perjanjian.

Dalam hal jika perjanjian berakhir atau putus akan tetapi tanaman padi masih be-lum dipanen, maka putus atau berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil tersebut setelah panen dilaksanakan dan pembagian diadakan atau bisa juga dengan sistem ganti rugi terhadap pekerjaan dan biaya yang telah dilakukan oleh petani penggarap/penyakap.

Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dapat berpindah tangan atau dialihkan ke-pada pihak ketiga baik oleh petani penggarap/penyakap kepada orang ketiga (tetangga, kerabat, teman atau pihak lainnya) juga oleh pemilik tanah kepada pemilik tanah baru atau kepada ahli warisnya, sehingga terjadi hubungan baru dengan pihak ketiga terse-but. Akan tetapi perpindahan atau beralihnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian ini terlebih dahulu dengan pemberitahuan oleh salah satu pihak dan disetujui oleh salah satu pihak lainnya.

Sistem mengaroni yang ada di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi lahan pertanian (subur/tidak subur), tempat tinggal pemiliknya juga jauh dari tanah pertanian yang dimilikinya dan dalam perkembangan terakhir sudah ada yang dipengaruhi oleh pertimbangan kepraktisan atau kemudahan dari pemilik tanah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem “mengaroni” atau “ngaduani banih“ yang ada di Kalimantan Selatan terdiri dari beberapa bentuk, yaitu: yang pertama, Sistem “Basilak” atau “ Balah Dua Pahumaan”, kedua, sistem Bagi Tiga dan yang ketiga, ”Sistem Siwa”.

Dari ketiga sistem tersebut masing-masing mempunyai sistem pembagian yang berbeda yaitu untuk “Sistem Basilak atau Balah Dua” sistem bagi hasil yang diterapkan dengan pembagian antara pemilik tanah dengan penggarap/penyakap sama rata, yaitu dengan membagi luas tanah menjadi dua bagian atau istilah dibelah dua, yang kemudian masing-masing pihak akan mempanen di wilayah tanah pertanian yang masing-masing mendapat separo/setengah dari luas wilayah tanah pertanian yang digarap, misalnya luas

Page 109: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 315

tanah sawah yang digarap seluas 50 borongan, maka masing-masing akan mendapat 25 borongan dari luas tanah sawah tersebut. Yang nantinya pada saat panen akan dipanen masing-masing dengan biaya masing-masing. Akan tetapi dalam sistem ini segala biaya bibit, tanam, pupuk dan penggarapan ditanggung atau dibebankan pada petani penggarap/penyakap.

Untuk sistem ”Bagi Tiga“ sistem pembagian yang diterapkan adalah setelah panen yang dilakukan penggarap/penyakap, padi dari hasil tanah pertanian tersebut dibagi 3 (tiga) bagian yang mana petani penggarap/penyakap mendapatkan dua kali bagian atau 2/3 bagian atau 2 x 1/3 bagian, sedangkan pemilik tanah mendapatkan satu bagian atau 1/3 bagian, dengan segala biaya bibit, tanam, pemeliharaan dan pupuk dibebankan pada penggarap/penyakap tanah pertanian.

Dan pada sistem “Siwa“ pada dasarnya sistem ini dapat dikategorikan sewa tanah pertanian dengan pembayaran dilakukan setelah panen, akan tetapi sistem ini lebih tepat dikatagorikan sebagai Sistem Bagi Hasil dengan pembagian dari hasil pertanian yaitu 2 atau 1 blek (kaleng) untuk pemilik tanah dan sisanya untuk penggarap/penyakap. Untuk daerah yang subur biasanyanya banih (padi) yang dihasilkan rata-rata 8-11 blek (kaleng), pembagian untuk pemilik tanah sebesar 2 blek (kaleng) sedangkan untuk daerah yang kurang subur banih (padi) yang dihasilkan kira-kira 4-6 blek (kaleng), besarnya pembagian untuk pemilik tanah hanya 1 blek (kaleng) padi.

Sistem siwa ini peneliti kategorikan sebagai salah satu Sistem Bagi Hasil di masya-rakat Kalimantan Selatan karena pemberian bagian dari pemilik yang besarnya sebanyak 1-2 blek (kaleng), yang besarnya tergantung hasil dan kesuburan tanah pertanian yang digarap, dibayar oleh petani penggarap jika hasil dari pertanian tersebut sesuai dengan yang diperkirakan, akan tetapi jika tanah pertanian tersebut tidak menghasilkan atau gagal panen misalnya karena hama penyakit, bencana alam, banjir dan lainnya si petani penggarap tidak mempunyai kewajiban untuk membayar bagian pemilik tanah sebesar 1-2 blek (kaleng). Dari keadaan inilah menunjukkan bahwa sistem ini adalah salah satu bentuk dari Sistem Bagi Hasil yang ada di Kalimantan Selatan, dan bukan perjanjian sewa.karena kalau perjanjian sewa petani penggarap/penyakap meskipun tanah pertanian tidak menghasilkan hasil pertanian penyewa harus tetap membayar harga sewanya, dan biasanya pembayaran sewa dibayar pada saat perjanjian diadakan.

Dari tiga sistem tersebut pada masyarakat di daerah pertanian Kalimantan Selatan untuk masa sekarang lebih banyak atau lebih menyukai “Sistem Siwa” dan “Sistem Bagi Tiga” pada Kabupaten Banjar terdapat pada Desa Sungai Tabuk, Desa Gudang Hirang, Desa Bumbun Jaya, Desa Pemantang Panjang, Desa Jambu Burung, Desa Simpang Empat, Desa Manarap Baru, Desa Manarap Lama, Desa Malintang Baru dan Kelurahan Gambut Barat, dan pada Kabupaten Barito Kuala terdapat pada Desa Karang Indah, Desa Marabahan Baru, Desa Anjir Muara Kota Tengah, Desa Hilir Mesjid. Mengingat sistem ini oleh petani dianggap lebih menguntungkan bagi petani dan lebih memudahkan pemilik tanah yang tidak perlu repot-repot ikut memanen, dibandingkan “Sistem Basilak” tetapi cukup hanya dengan menerima hasil bersihnya saja.

Meskipun pada daerah tertentu ada juga yang masih menerapkan “Sistem Basilak (belah dua)” seperti yang ada di daerah di Kabupaten Banjar, Kecamatan Beruntung Baru

Page 110: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

316 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Desa Kampung Baru, masyarakat Desa Kampung Baru lebih menyukai sistem ini karena di desa tersebut tanah yang dikerjakan penggarap/penyakap pada umumnya pemiliknya adalah petani dan bertempat tinggal di desa atau dekat desa Kampung Baru. Sistem ini diterapkan karena pemilik tanah pada umumnya adalah petani yang mempunyai kemam-puan dan keahlian untuk memanen atau “mengatam” hasil pahumaan (sawah), meng-ingat sistem basilak ini setelah luas pahumaan (sawah) dibagi dua kemudian masing-masing pihak pemilik dan penggarap/penyakap akan mengatam (memanennya).

“Sistem Siwa” dan “Sistem Bagi Tiga” lebih banyak diterapkan di Kabupaten Banjar terdapat pada Desa Sungai Tabuk, Desa Gudang Hirang, Desa Bumbun Jaya, Desa Peman tang Panjang, Desa Jambu Burung, Desa Simpang Empat, Desa Menarap Baru, Desa Manarap Lama, Desa Malintang Baru dan Kelurahan Gambut Barat, dan pada Kabupaten Barito Kuala terdapat pada Desa Karang Indah, Desa Marabahan Baru, Desa Anjir Muara Kota Tengah, Desa Hilir Mesjid. Hal ini dikarenakan petani penggarap/penyakap beranggapan besarnya bagian lebih menguntungkan petani dilihat dari sistem lainnya, dan juga pemilik tanah yang sebagian besar bertempat tinggal di daerah perkotaan menganggap sistem ini lebih praktis dan tidak merepotkan karena mereka hanya menerima hasil bersih sebanyak 1- 2 blek (kaleng) banih (gabah/padi).

Dalam pelaksanaan sistem bagi hasil “Sistem Bagi Tiga” dan “Sistem Siwa “ segala biaya dan pekerjaan mulai pembibitan, penyiapan lahan, tanam, pemupukan, pemeliha-raan, panen dan membayar zakat dibebankan terhadap petani penggarap/ penyakap. Se-dang kan dalam “Sistem Basilak” pengerjaan dan biaya pembibitan, penyiapan lahan, tanam, pemupukan, pemeliharaan dibebankan kepada petani penggarap/penyakap sedang-kan pengerjaan dan biaya panen dan membayar zakat ditanggung oleh penggarap dan pemilik tanah, sesuai dengan hasil bagiannya masing-masing yang tanah pertaniannya dibagi menjadi dua bagian sama luasnya.

Di Kalimantan Selatan tanaman padi diusahakan di berbagai tipe lahan yaitu lahan pasang surut, lahan kering, lahan tadah hujan, lahan beririgasi dan lahan lebak. Dila-han kering ditanam padi gogo yang luas serta pertanamannya menempati urutan kedua setelah pada sawah (Deptan BIP Banjarbaru: 1). Dengan berbagai tipe lahan ini akan menentukan tanaman yang cocok untuk ditanam, apabila jenis tanaman padi yang ditanam akan menentukan besar tidaknya panen padi yang dihasilkan, jenis padi yang cocok untuk ditanam dan waktu memulai pembibitan dan penanaman di lahan tersebut.

Pembagian beberapa jenis lahan ini menentukan teknik pengolahan dari setiap jenis lahan. Dengan pengolahan tanah yang baik maka hasil produksi akan lebih meningkat, kemudian juga apabila lingkungan lahan yang ditanami bersih akan mencegah hama dan penyakit yang menyerang tanaman, tata air yang baik dapat menunjang keberhasilan produksi padi sehingga akan memuaskan bagi petani yang mengerjakannya, perlu juga diatur mengenai jarak tanam bagi tanaman untuk mencapai hasil yang maksimum. Apabila hal-hal yang tersebut dilaksanakan oleh petani baik pemilik tanah atau peng-garap/penyakap maka hasil panenan akan sangat memuaskan yang akan berimbas pada keuntungan materi apabila hasil panen akan dijual. Karena dengan keuntungan lebih yang akan diterima petani khususnya penggarap/penyakap maka tingkat kesejahteraan mereka akan meningkat juga sehingga tujuan pengentasan kemiskinan akan tercapai. Hal tersebut adalah tujuan hakiki dari setiap penggarap/penyakap walaupun dalam

Page 111: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 317

kenyataannya tidak seperti itu. Dalam hal pelaksanaan perjanjian antara pemilik tanah dengan penggarap/penyakap diharapkan terdapat hubungan yang baik dan dihindarkan perselisihan.

Tetapi bila dalam pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil terjadi perselisihan atau per -sengketaan maka penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan, akan tetapi dalam praktik jarang sekali terjadi sengketa bagi hasil yang besar yang menimbulkan per-masalahan sehingga putusnya Perjanjian Bagi Hasil. Yang terjadi selalu dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau perdamaian dan yang paling terburuk adalah terjadi putusnya perjanjian bagi hasil tersebut.

Dari hasil Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian yang ada dalam praktik masyarakat di Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar baik yang didasarkan pada “sistem basilak”, “sistem bagi tiga” dan “sistem siwa”, pada umum nya masih belum memberikan kesejahteraan kepada petani dalam mencukupi kebu tuhannya sehari-hari mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan biaya pendidikan. Hal ini terungkap pada saat peneliti melakukan observasi dan wawancara terhadap 100 petani penggarap/penyakap sebagai responden.

Dari hasil penelitian terhadap 100 petani penggarap tanah pertanian dengan sistem bagi hasil, penyakap yang dijadikan sampel terungkap bahwa hanya 27 % dari sampel yang mempunyai tanah pertanian dan 73% tidak memiliki tanah pertanian sama sekali. Itupun bagi petani yang memiliki tanah, tanah yang mereka miliki tidaklah luas, oleh karena itu untuk menambah pendapatan mereka melakukan perjanjian bagi hasil atau “mengaroniakan” tanah milik orang lain. Hal ini dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 1Kepemilikan atas Tanah Oleh Petani Penggarap Bagi Hasil/Penyakap

No Kepemilikan Tanah Jumlah Persentase1. Yang Memiliki Tanah 27 27%2. Yang Tidak Memiliki Tanah 73 73%

Jumlah 100 100%

Sumber: Data Primer

Sedangkan luas tanah yang dimiliki oleh petani penggarap bagi hasil/penyakap yang mempunyai tanah adalah:

Page 112: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

318 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Tabel 2Luas Tanah Yang Dimiliki Petani Penggarap Bagi Hasil/

Penyakap (27 Responden)

No. Luas Tanah Yang Dimiliki Jumlah Persentase1. 1 - 10 borongan 23 23%2. 11 - 21 borongan 3 3%3. > 21 borongan 1 1%

Jumlah 27 27%

Sumber: Data Primer, Keterangan : 35 borongan = 1 hektar

Dari luas tanah yang dimiliki 27 responden petani yang menggarap tanah pertanian dengan sistem bagi hasil, terlihat paling banyak hanya mempunyai 1 - 10 borongan tanah pertanian, oleh karena luas tanah pertanian yang dimiliki tidaklah besar yang mana dilihat dari luas yang dimiliki kurang dari 1 hektar (35 borongan), oleh karena itu mereka juga menggarap tanah pertanian milik orang lain dengan sistem bagi hasil.

Sedangkan tempat tinggal pemilik tanah yang tanahnya diadakan perjanjian bagi hasil atau dikaroni oleh petani penggarap/penyakap sebagian besar berada di luar wilayah kecamatan bahkan berada di luar kota dari kedudukan tanah. Dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 3Tempat Tinggal Pemilik Tanah Pertanian

No. Tempat Tinggal Pemilik Tanah Jumlah Persentase (%)1. Dalam Kecamatan yang sama 37 372. Di Luar Kecamatan dari letak

tanah38 38

3 Di Luar Kota /Daerah 25 25Jumlah 100 100

Sumber: Data Primer

Untuk tanah-tanah yang letaknya dekat perkotaan banyak dimiliki oleh orang kota Banjarmasin dan kota sekitarnya, seperti di wilayah Kabupaten Banjar Kecamatan Gambut dan Kecamatan Kertak Hanyar, dan Kecamatan Sungai Tabuk yang sebagian besar tanah yang digarap petani penggarap/penyakap dimiliki oleh orang Kota Banjarmasin atau luar daerah. Demikian juga di Kabupaten Barito Kuala seperti Kecamatan Anjir Pasar dan Kecamatan Anjir Muara, banyak dimiliki orang dari kota Banjarmasin.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak tanah pertanian yang sebenar-

nya berstatus tanah guntai yang dijadikan objek dalam perjanjian bagi hasil di daerah Kalimantan Selatan. Tanah guntai atau tanah absentee adalah pemilikan tanah yang le-tak nya di luar daerah atau kecamatan tempat tinggal yang empunya/pemilik tanah (Ab-sent artinya tidak hadir, tidak ada di tempat). Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 3

Page 113: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 319

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 jo Pasal 10 ayat (2) UUPA. Pada pokoknya dilarang pemilikan tanah-pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik tanah tersebut menurut pertimbangan pada waktu itu, Panitia Landreform Daerah Tingkat II masih memungkinkannya mengerjakan tanah tersebut secara efisien (Boedi Harsono, 2003: 388).

Adapun luas tanah pertanian yang responden garap dengan sistem bagi hasil adalah:

Tabel 4Luas Tanah Pertanian Yang Digarap Petani Penggarap

dengan Sistem Bagi Hasil

No. Luas Tanah Pertanian Yang Dibagi Hasil

Jumlah Persentase

1. 5- 19 borongan 26 26%2 20-29 borongan 24 24%3 30- 39 borongan 18 18%4 40-49 borongan 10 10%5 50 -59 borongan 2 2%6 60-69 borongan 10 10%7 70-79 borongan 6 6%8 80-89 borongan 2 2%9 90-100 borongan 2 2%

Jumlah 100 100%

Sumber: Data Primer, Keterangan : 35 borongan = 1 hektar

Dari tabel tersebut menunjukkan luas tanah pertanian yang digarap petani penggarap dengan sistem bagi hasil, dilihat dari luas tanah pertanian yang dikerjakan petani menunjukkan bahwa luas tanah yang digarap dengan sistem bagi hasil rata-rata dibawah 3 hektar dan hanya 1% yang luas tanah garapannya melebihi 1 hektar.

Sistem Bagi Hasil tanah pertanian yang responden adakan dengan pemilik tanah adalah paling banyak menggunakan sistem siwa dan menggunakan sistem bagi tiga. Hal ini dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Page 114: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

320 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Tabel 5Sistem Bagi hasil Tanah Pertanian Yang di gunakan

No. Sistem Bagi Hasil Jumlah Persentase1. Sistem Besilak ( Belah Dua) 10 10%2. Sistem Siwa 70 70%3. Sistem Bagi tiga ( 1/3) 20 20%

Jumlah 100 100%

Sumber: Data Primer

Dari hasil yang didapat petani dari sistem bagi hasil tanah pertanian yang dilaksanakan apakah mencukupi kebutuhan kehidupan mereka.

Tabel 6Hasil Panen Dari Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian

No. Hasil Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian

Jumlah Persentase

1. Sangat Mencukupi Kebutuhan Hidup 0 0%2 Cukup Mencukupi Kebutuhan Hidup 35 %35%3 Kurang mencukupi kebutuhan Hidup 65 65%

Jumlah 100 100%

Sumber: Data Primer

Untuk mengetahui hal ini dapat dicontohkan kalau diperhitungkan hasil tanah per-tanian untuk luas tanah 1 hektar tanah pertanian yang sama luasnya dengan satuan luas masyarakat setempat seluas 35 borongan (1 Hektar = 35 borongan),yang rata-ratanya hasilnya 8 blek untuk setiap 1 (satu) borongan, maka dapat dikonversikan untuk setiap satu borongan adalah 8 blek x Rp 25.000,- (harga padi per blek) = Rp 200.000,- per 1(satu) borongan, jadi hasil untuk luas 1 hektar rata-rata adalah 35 borongan xRp 200.000,- = Rp 7.000.000,- untuk setiap per 35 borongan (1 hektar).

Akan tetapi hasil tersebut belum dikurangi dari biaya bibit, pupuk dan lainnya dan bagian dari pemilik tanah sesuai dengan yang diperjanjikan. Kalau kita asumsikan dengan di kon versikan hasil tanah pertanian per 35 borongan (1 hektar) adalah Rp 7.000.000,- kemudian dikurangi bagian pemilik tanah mengingat dalam sistem siwa pemilik tanah men dapat 1-2 blek padi per satu borongan, jadi untuk hasil pertanian dari luas tanah 1 hektar/35 borongan adalah 35 borongan x 2 blek x Rp 25.000,- = Rp. 1.750.000,- maka untuk setiap luas 35 borongan (1 hektar) pemilik tanah mendapatkan bagian Rp 1.750.000,- Sedangkan petani mendapatkan Rp 5.250.000,- untuk setiap 35 borongan (1 hektar), akan tetapi hasil ini belum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan petani peng garap bagi hasil/penyakap misalnya biaya pembibitan, upah menyiangi/menyiapkan lahan, biaya tanam, pupuk dan lainnya. Dan diperkirakan dari hasil tersebut petani penggarap akan mendapatkan hasil bersih 50 % dari Rp 5.250.000,- tersebut, yaitu kira-kira Rp 2.625.000,- untuk setiap luas tanah 35 borongan (1 hektar).

Page 115: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 321

Berbeda dengan sistem bagi hasil bagi tiga atau dibagi tiga bagian dimana pemilik tanah mendapatkan 1/3 bagian sedangkan penyakap mendapatkan 2x1/3 kalau kita asum-sikan untuk hasil setiap 1 hektar/35 borongan adalah 8 blek/1 borongan x 35 borongan x Rp 25.000,- (harga padi) = Rp 7.000.000,- per 35 borongan (1 hektar) kemudian dibagi untuk pemilik tanah mendapat 1/3 bagian yaitu 93,34 blek atau dikonversikan dengan nilai uang Rp 2.333.333,- sedangakan petani penggarap/penyakap mendapatkan 2x1/3 bagian yaitu Rp 186,66,- blek atau nilainya sama dengan Rp 4.666.666,- Sedangkan dari hasil bagian yang didapat oleh petani penyakap tersebut belum dikurangi biaya-biaya yang telah dikeluarkan petani penyakap.

Dari asumsi ini terlihat nilai bagian yang didapatkan petani dari hasil tanah pertanian yang dikerjakan dengan sistem bagi hasil untuk yang luas tanahnya 1 hektar, dari asumsi ini dapat dibayangkan bagaimana hasil yang didapat oleh petani penyakap yang luas tanahnya tidak mencapai 1 hektar (35 borongan), tentunya hasil yang didapat jauh lebih rendah dari apa yang diuraikan diatas.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan penggarap/penyakap dengan sis-tem bagi hasil ini masih belum memberikan kesejahteraan pada petani penyakap, meng-ingat hasil yang didapat petani belumlah maksimal hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu luas tanah yang digarap, kesuburan tanah garapan dan sistem bagi hasil dan sistem pembagian yang dilaksanakan dimana pembagian dilakukan tanpa terlebih dahulu dipotong biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap/penyakap.

Oleh karena itu pekerjaan sebagai petani penggarap dalam sistem bagi hasil tanah pertanian perlu didukung pekerjan lainnya untuk menunjang kehidupan, sehingga sebagin besar petani penggarap disamping bertani mereka juga bekerja disektor lain misalnya dengan bekerja sebagai kuli di pasar atau menjadi kuli bangunan, berjualan sayur, men-cari ikan dan lain-lain. Sedangkan bagi petani yang pekerjaannya hanya bertani dengan mengandalkan dari hasil yang didapat dari perjanjian bagi hasil dari pengamatan peneliti hidup dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, dengan rumah yang jauh dari layak dan kehidupan sehari-hari yang pas-pasan.

Pola bertahan di wilayah pertanian dari petani gurem dalam kenyataannya sangat membutuhkan perhatian. Pola saat ini berbeda dengan keadaan di mana desa masih ketat dengan nilai-nilai tradisional mereka. Pola lama biasanya nilai-nilai tradisional desa akan menyelesaikan masalahnya sendiri, misalnya petani gurem yang akhirnya menjadi tuna-kisma ditampung bekerja di tanah-tanah milik saudara-saudara mereka. Tetapi ketika monetisasi masuk kuat ke pedesaan ditambah dengan kondisi semakin sempitnya lahan pertanian maka tidak banyak pilihan untuk mengatasi masalah ini: bertahan di desa sebagai buruh tani atau ke luar desa sebagai buruh bangunan atau bekerja serabutan (Andik Hardiyanto, 1998: 87).

Gejala ini menunjukkan bahwa terlihat adanya kecenderungan banyak petani meng-garap tanah pertanian tidak diatas tanah milik sendiri, akan tetapi menggarap diatas tanah orang lain yang tinggal di perkotaan atau di luar kecamatan banyak dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ini lebih dipilih daripada sistem sewa tanah karena sistem bagi hasil ini yang paling mungkin dilakukan petani karena pada dasarnya mereka tidak mempunyai kemampuan untuk membayar uang sewa yang biasanya harus dibayar duluan

Page 116: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

322 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

dan juga tidak mempunyai dana untuk biaya menggarap sawah. Akan tetapi tidak jarang petani itu mendapatkan hasil dari jerih payahnya hanya sebagian kecil saja dari padi yang dihasilkannya. Sehingga petani akan selalu berada pada garis kemiskinan yang tidak berujung. Petani yang seharusnya adalah produsen utama pangan dari sawah dan ladang, dari petanilah yang menghasilkan berbagai bahan pangan yang dibutuhkan manusia. Petani bekerja di atas tanahnya sendiri untuk memproduksi bahan pangan. Sementara ”petani” yang bekerja di atas tanah pertanian milik orang lain, dengan sistem bagi hasil (disebut petani penggarap) maupun dibayar upah berupa uang (buruh tani) bukanlah petani sejati (Dapartemen Pendididkan dan Kebudayan RI, 1986 dalam Hasmonel, 2008: 10).

Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian Yang Berlaku di Provinsi Kalimantan Selatan Dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Permasalahan penguasaan tanah (pemilikan dan penggarapan) pada hakikatnya sejak dahulu sudah merupakan masalah sosio-ekonomi dengan gejala-gejala yang tidak sehat bagi perkembangan masyarakat (Habibie, 1978). Masalah tersebut kini menjadi kom pleks karena perkembangan itu disertai pula oleh permintaan terhadap tanah yang disebabkan oleh bertambahnya penduduk, meningkatnya lingkungan perumahan dan tanah sebagai obyek investasi sementara golongan ekonomi buat yang bermukim di kota semakin tinggi (Hasmonel, 2008: 2).

Ketimpangan dalam pembagian pendapatan, pada dasarnya berawal dari ketimpangan dalam penguasaan tanah pertanian, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan sum-ber pendapatan utama masyarakat desa. Upaya mendorong pembagian yang merata ser ta memperluas kesempatan kerja, salah satunya dengan melaksanakan bagi hasil atas tanah secara adil. Banyaknya praktik sistem bagi hasil ini dilakukan antara lain juga disebabkan sistem ini tidak merendahkan derajat petani penggarap, tidak menge-nal istilah majikan dan buruh, pranata bagi hasil bersifat tolong menolong dan keke-luargaan, sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan secara musyawarah, serta bagi hasil sudah membudaya di Indonesia (Mustara, 1993). Namun demikian tradisi Bagi Hasil ini akibat pengaruh perkembangan ekonomi dan keuangan, nampaknya telah ber-ge ser dari sistem yang mengandung prinsip pemerataan ke arah kepentingan ekonomi (Depar temen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1986).

Dan apabila kita kaji sistem bagi hasil yang berlaku pada masyarakat Kalimantan Selatan khususnya Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala ditinjau dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. UU PBH lahir pada masa jabatan Menteri Agraria Sadjarwo: dalam rangka untuk melindungi golongan petani yang ekonomis lemah terhadap praktik-praktik golongan yang kuat yang mengandung unsur-unsur eksploitasi. UU PBH ini mengadakan perubahan pada aturan perjanjian bagi hasil itu yang bertujuan untuk memperbaiki kedudukan pihak penggarap. Antara lain mengenai: (1) imbangan pembagian hasil; (2) bentuk perjanjian; (3) jangka waktu perjanjian; (4) siapa-siapa yang diperbolehkan menjadi penggarap.

Page 117: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 323

Mengingat tujuan terbentuknya UU PBH ini yaitu untuk mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil, agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil agar terjamin kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban penggarap dan pemilik. Selanjutnya apabila dikaji menurut UU PBH mengenai Sistem Bagi Hasil yang ada di daerah Kalimantan Selatan apakah sudah sejalan dengan undang-undang tersebut.

Perkembangan perekonomian yang kuat di perkotaan umumnya cenderung bertolak belakang dengan tingkat pendapatan masyarakat di pedesaan. Hal ini berpengaruh pula terhadap menurunnya tingkat kepemilikan tanah di Kalimantan Selatan. Dampak negatif dari perkembangan ini adalah terjadinya proses akumulasi dan pemusatan pemilikan tanah ke tangan segolongan orang yang berdomisili di perkotaan. Penguasaan ini sangat erat hubungannya dengan penguasaan yang biasa dikenal dengan pemilikan tanah absentee/guntai. Proses akumulasi dan pemusatan penguasaan tanah ini di samping dapat semakin memperbesar frekuensi pelanggaran pemilikan tanah absentee juga semakin memperlebar kesenjangan sosial antara pemilik dan penggarap tanah. Kondisi ini diperburuk dengan semakin mudahnya pemilik tanah untuk menambah tanah dengan cara absentee (Hasmonel, 2008: 10).

Dalam perkembangannya penggarap yang tidak mempunyai lahan hanya bisa ber-angan-angan sebab tanah yang dikuasai oleh pemilik (absentee) nilai jualnya akan sema-kin sulit dijangkau oleh penggarap. Masalah yang memerlukan perhatian khu sus adalah sampai saat ini larangan pemilikan tanah absentee tetap berlaku seperti diatur Pasal 10 UUPA, akan tetapi praktik pemilikan tanah absentee justru semakin meningkat. Berbagai cara dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan penduduk setempat atau menggunakan aturan pengecualian pemilikan tanah absentee oleh pegawai negeri, sehingga pemilik modal secara mudah memiliki tanah dengan harga yang murah (Hasmonel: 2).

Bagi hasil, merupakan suatu lembaga hukum Adat yang pada awalnya lebih bersifat sosial ekonomis yang bertujuan menolong sesama warga dan tidak selalu dapat dianggap sebagai usaha bisnis seperti di negara lain (Parlindungan dalam Syahyuti, 2005). Unsur positif bagi hasil adalah perimbangannya didasarkan atas dasar keadilan dan terjaminn-ya kedudukan hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewa-jiban, baik dari penggarap maupun pemilik (Wanjik Saleh dalam Syahyuti, 2005).

Dalam Pasal 2 UU PBH disebutkan bahwa yang boleh menjadi penggarap dalam perjanjian bagi hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya merupakan milik sendiri atau menyewa, luasnya tidak boleh lebih sekitar 3 hektar. Maksud dari undang-undang ini dalam memberikan batasan luas tanah pertanian yang dapat diga-rap, agar tanah-tanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja (termasuk buruh tani), yang akan mengusahakan sendiri, juga agar sebanyak mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan pembatasan ini dapat dicegah, bahwa seseo-rang atau badan hukum yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai penggarap dan mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan demikian akan mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil calon penggarap untuk memperoleh tanah garapan.

Page 118: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

324 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Tanah garapan seluas 3 hektar dipandang sudah cukup untuk memberbekal untuk hidup yang layak.

Praktik perjanjian bagi hasil yang ada di Kalimantan Selatan dalam penelitian banyak ditemukan petani penggarap/penyakap yang menggarap tanah pertanian dengan sistem bagi hasil yang luasnya kurang dari 3 hektar. Hal ini dapat dilihat dari tabel tersebut dibawah ini:

Tabel 7Luas Tanah Pertanian Yang Digarap Petani Penggarap

dengan Sistem Bagi Hasil

No. Luas Tanah Pertanianyang di Bagi hasil

Jumlah Persentase

1. 5 - 19 borongan 26 26%2. 20 - 29 borongan 24 24%3. 30 - 39 borongan 18 18%4. 40 - 49 borongan 10 10%5. 50 - 59 borongan 2 2%6. 60 - 69 borongan 10 10%7. 70 - 79 borongan 6 6%8. 80 - 89 borongan 2 2%9. 90 - 100 borongan 2 2%

Jumlah 100 100%

Sumber: Data Primer, Keterangan : 35 borongan = 1 hektar.

Terlihat dari tabel tersebut diatas luas tanah pertanian yang dijadikan objek perjanjian bagi hasil tanah pertanian hanya 1 % yang luasnya melebihi dari batas maksimal. Akan tetapi mereka tidak mengetahuai adanya ketentuan tentang larangan menggarap tanah pertanian dengan sistem bagi hasil yang tidak boleh melebihi 3 hektar, sehingga menurut peneliti belumlah memadai memberikan hasil yang maksimal pada petani penggarap dengan sistem bagi hasil.

Selanjutnya Pasal 3 UU PBH menyebutkan tentang bentuk perjanjian bagi hasil. Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala Desa dimana tanah yang akan digarap berada dengan disaksikan 2 orang yang berasal masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. Perjanjian bagi hasil itu harus disahkan oleh Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau Pejabat yang setingkat. Kepala Desa dalam setiap kerapatan desa harus mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan di wilayah desanya.

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Kalimantan Selatan dilakukan dengan cara lisan oleh para pihak yaitu petani penggarap/penyakap dan pemilik tanah tanpa di sak-sikan kepala desa/pembakal dan saksi, hal ini dilaksanakan berdasarkan atas asas keper-

Page 119: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 325

cayaan dan tolong menolong yang merupakan sifat dari masyarakat pedesaan yang ber-dasar kan Hukum Adat.

Dalam praktik Perjanjian Bagi Hasil di Kalimantan Selatan dilaksanakan dengan jangka waktu yang tidak ditentukan terlebih dahulu, dan menurut kebiasaan masyarakat setempat perjanjian Bagi Hasil akan terus dilaksanakan sepanjang tidak ada pemberitahuan dari salah satu pihak untuk berakhirnya atau putusnya perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian akan terus berlangsung yang jangka waktunya tidak diperjanjikan, dan perjanjian bagi hasil berakhir atau putus tergantung kehendak para pihak atau salah satu pihak yang menginginkan perjanjian putus. Dengan cara cukup memberitahukan bahwa salah satu pihak baik itu dari petani penggarap atau pemilik tanah yang tidak ingin lagi perjanjian bagi hasil diteruskan. Sehingga tidak jarang adanya perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang melebihi waktu 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun atau perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang kurang dari 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun.

Dalam hal jika perjanjian berakhir atau putus akan tetapi tanaman padi masih belum dipanen, maka putus atau berakhirnya perjanjanjian bagi hasil tersebut setelah panen dilaksanakan dan pembagian diadakan atau bisa juga dengan sistem ganti rugi terhadap pekerjaan dan biaya yang telah dilakukan oleh petani penggarap/penyakap.

Ada pedoman imbangan antara pemilik dan penggarap:

(1) 1 : 1 untuk padi yang ditanam di sawah;

(2) untuk tanaman palawija di sawah dan untuk tanaman di tanah kering, dibagi: 2/3 bagian penggarap dan 1/3 pemilik tanah.

Dalam praktik di masyarakat ternyata peraturan-peraturan tentang perjanjian bagi hasil ini tidak digunakan oleh masyarakat petani, baik petani pemilik tanah maupun petani penggarap, mereka masih mempergunakan hukum adat dan kebiasaan masing-masing di daerah mereka yang sudah berlangsung turun-temurun dari nenek moyang mereka terhadap penetapan pembagian hasil tani yang diperoleh ketika panen .

Di samping itu juga di daerah Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar yang peneliti teliti belum ada Peraturan Daerah yang mengatur sistem pembagian bagi hasil tanah yang sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut. Sehingga dalam praktik masyarakat mengatur sendiri sistem pembagiannya berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat.

Sistem mengaroni yang ada di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi lahan pertanian (subur/tidak subur), tempat tinggal pemiliknya juga yang jauh dari tanah yang dimilikinya dan perkembangan terakhir sudah ada yang dipengaruhi oleh pertimbangan kepraktisan atau kemudahan dari pemilik tanah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem mengaroni yang ada di Kalimantan Selatan terdiri dari bebe-rapa bentuk, yaitu: yang pertama, Sistem “Basilak” atau “Balah Dua Pahumaan”, kedua, Sistem Bagi Tiga dan yang ketiga, ”Sistem Siwa ”.

Dari ketiga sistem tersebut masing masing mempunyai sistem pembagian yang ber beda yaitu untuk “sistem basilak” yaitu sistem bagi hasil yang diterapkan dengan pembagian antara pemilik tanah dengan penggarap/penyakap sama rata, yaitu dengan membagi luas tanah menjadi dua bagian atau istilah dibelah dua, yang kemudian masing-

Page 120: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

326 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

masing pihak akan memanen di wilayah tanah pertanian yang masing-masing mendapat separo dari luas wilyah tanah pertanian yang digarap, misalnya luas tanah sawah yang digarap seluas 50 borongan, maka masing- masing akan mendapat 25 borongan dari luas tanah sawah tersebut. Yang nantinya pada saat panen akan dipanen masing-masing dengan biaya masing-masing. Akan tetapi dalam sistem ini segala biaya bibit, tanam, pupuk dan penggarapan ditanggung atau dibebankan pada petani penggarap/penyakap.

Untuk “sistem bagi tiga” yaitu sistem pembagian yang diterapkan adalah setelah panen yang dilakukan penggarap/penyakap, padi dari hasil tanah pertanian tersebut dibagi tiga (3) bagian yang mana petani penggarap/penyakap mendapatkan dua bagian atau 2/3 bagian, sedangkan pemilik tanah mendapatkan satu bagian atau 1/3 bagian. Akan tetapi segala biaya bibit, tanam, pemeliharaan dan pupuk dibebankan pada penggarap/penyakap tanah pertanian.

Sedangkan dengan “sistem siwa” pada dasarnya sistem ini bisa dikategorikan sebagai sewa tanah pertanian dengan pembayaran dilakukan setelah panen, akan tetapi sistem ini bisa juga dikategorikan sebagai sistem bagi hasil dengan pembagian dari hasil pertanian yaitu 2 atau 1 blek untuk pemilik tanah dan sisanya untuk penggarap/penyakap. Untuk daerah yang subur biasanyanya banih (gabah/padi) yang dihasilkan rata-rata 8 - 11 blek, pembagian untuk pemilik tanah sebesar 2 blek sedangkan untuk daerah yang kurang subur banih (gabah/padi) yang dihasilkan kira-kira 4 - 6 blek, besarnya pembagian untuk pemilik tanah hanya 1 blek padi.

Apabila kita kaji dari undang-undang tentang bagi hasil yang menetapkan besarnya perimbangan pembagian hasil tanah pertanian 1:1 untuk padi yang ditanam di sawah; dan untuk tanaman palawija di sawah dan untuk tanaman di tanah kering, dibagi: 2/3 bagian penggarap dan 1/3 pemilik tanah. Mengingat kondisi tanah pertanian di Kalimantan Selatan pada umumnya adalah jenis sawah dengan tipe lahan basah terutama di daerah Kabupaten Banjar Kecamatan Sungai Tabuk dan Beruntung Baru dan Kabupaten Barito Kuala pada Kecamatan Anjir Pasar dan Rantau Badauh. Tipe lahan pertanian tadah hujan dan pasang surut terdapat pada Kabupaten Banjar ada pada Kecamatan Beruntung Baru, Gambut, Kertak Hanyar dan pada Kabupaten Barito Kuala ada pada Kecamatan Anjir Muara, Mandastana. Berarti untuk kondisi tanah pertanian di Kalimantan Selatan sebagaimana yang ditentukan undang-undang adalah sistem perimbangan pembagian hasil 1 ; 1 atau dibagi dua. Kemudian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1 huruf d, maka yang dimaksud dengan “hasil tanah “ ialah hasil bersih, yaitu hasil bruto (kotor) setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam (tandur) dan panen. Biaya-biaya tersebut diambil dari hasil bruto. Dari ketentuan ini berarti bagian hasil yang dibagi antar pemilik tanah dan petani penggarap adalah hasil bersih dari hasil pertanian setelah dikurangi segala biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya menanam dan panen yang telah dikeluarkan petani penggarap.

Apabila kita kaji sistem pembagian hasil pertanian yang berlaku di masyarakat dari tiga sistem bagi hasil tanah pertanian yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembagian hasil pertanian yang diterapkan pada masyarakat di Kalimantan Selatan tidak sesuai dengan yang ditentukan undang-undang. Dimana seharusnya pembagian dilaku-kan 1:1 dari hasil bersih setelah dikurangi biaya-biaya yang telah dikeluarkan petani penggarap, mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, tanam, pupuk dan zakat.

Page 121: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 327

Dari apa yang telah diuraikan terdahulu menunjukkan bahwa sistem bagi hasil tanah pertanian yang ada di Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil baik dilihat dari prosedur pelaksanaannya hingga sistem pembagian hasil per-taniannya tidak sesuai dengan undang-undang tersebut.

Menurut Syahyuti hal ini terjadi karena merupakan karakteristik sistem bagi hasil yang ada di Indonesia dimana pihak masyarakat kurang memperhatikan fenomena ter-sebut, karena, Pertama, sudah menjadi pandangan yang kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wila-yah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Pihak luar (masyarakat), baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah me rasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung. Kedua, hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim, dan cenderung tidak seimbang. Arus jasa yang tidak seimbang, dimana jasa yang diberikan klien kepada pat-ron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pem bagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap (Wantjik Saleh dalam Syahyuti, 2005: 7).

Keunggulan dan Kelemahan Dari Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian Yang Berlaku Pada Masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan.

Sistem Bagi Hasil tanah pertanian yang berlaku pada suatu wilayah merupakan se-buah bentuk kelembagaan yang telah diakui dan diterima sosial. Performa sistem bagi hasil tanah pertanian di Kalimantan Selatan dan peluang perbaikannya secara umum, bagi hasil didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut deelbouw, merupakan bentuk tertua dalam penguasaan tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM (Wantjik Saleh dalam Syahyuti, 2005: 6).

Bagi hasil tanah di pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, modal dan kerja,dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto (kotor) dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian “sewa”, maka si pemilik tanah masih tetap pemegang kontrol usaha.

Pemerintah telah cukup memberikan perhatian terhadap pentingnya bagi hasil di tengah masyarakat tani. Hal ini terlihat dengan telah dikeluarkannya dua undang-undang tentang Bagi Hasil, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 untuk Perjanjian Bagi Hasil di sektor Pertanian, dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 untuk Bagi Hasil di sektor Perikanan. Namun demikian penerapan peraturan ini sangat lemah karena berbagai alasan.

Karakteristik sistem bagi hasil yang saat ini hidup di Indonesia, yang secara tidak langsung telah membuat pihak luar kurang memperhatikan fenomena dan potensinya

Page 122: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

328 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

dalam reforma agraria. Karakteristik tersebut (Wantjik Saleh dalam Syahyuti, 2005: 7) adalah:

1. Sudah menjadi pandangan kuat pada seluruh pihak, bahwa perjanjian bagi hasil antara seorang pemilik tanah dengan si penyakap merupakan wilayah privat yang bersifat personal, bukan masalah publik. Dengan kata lain, pihak luar, baik pengurus kelompok tani, aparat pemerintahan desa, apalagi pemerintah daerah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi bentuk perjanjian bagi hasil yang berlangsung;

2. Hubungan tersebut bersandar kepada bentuk hubungan patron klien (patron-client relationship). Secara definisi, hubungan patron klien adalah hubungan diadik antara dua pihak yang bersifat sangat personal, intim dan cenderung tidak seimbang (Scott, 1993). Arus jasa yang tidak seimbang, di mana jasa yang diberikan klien kepada patron lebih banyak dibanding sebaliknya, sudah dianggap sebagai takdir. Karena itulah, pembagian bagi hasil yang lebih menguntungkan pemilik, sudah dianggap sebagai hal yang lumrah oleh si penyakap. Apalagi jika dicermati, bahwa bagi hasil terjadi bukan karena si pemilik tidak punya waktu mengerjakan sendiri tanahnya, tapi lebih membutuhkan lahan garapan;

3. Sistem bagi hasil yang terjadi sangat beragam. Keberagaman tersebut juga didu-kung oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 pada bagian Penjelasan butir (2), yaitu : “mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing pihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang ter-sedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lain nya…”. Membolehkan keberagaman tersebut artinya menyulitkan dalam penga tu rannya, dan ini berpeluang untuk membuat hukum yang kurang tegas;

4. Dalam kondisi tekanan penduduk yang tinggi terhadap tanah, maka sistem bagi hasil lebih dipersepsikan sebagai suatu sikap altruis pemilik yang besar kepada penyakap. Bagaimanapun tidak imbangnya pola pembagian, tidak dianggap sebagai suatu hubungan yang eksploitatif.

Sistem Mengaroni yang ada di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi lahan pertanian (subur/tidak subur), tempat tinggal pemiliknya juga yang perkembangan terakhir sudah ada yang dipengaruhi oleh pertimbangan kepraktisan atau kemudahan dari pemilik tanah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem “Mengaroni” atau “Ngaduani banih“ yang ada di Kalimantan Selatan terdiri dari bebe-rapa bentuk, yaitu : yang pertama, Sistem “Basilak” atau “ Balah Dua Pahumaan”, kedua, sistem Bagi Tiga dan yang ketiga, ”Sistem Siwa”.

Apabila kita kaji sebagaimana yang sudah diuraikan tersebut di atas sistem bagi hasil yang diterapkan di Kalimantan Selatan atau yang disebut dengan istilah “mengaroni” menunjukkan beberapa kelebihan dan kelemahan. Keunggulan dari sistem Mengaroni atau Bagi Hasil adalah:

1. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian sebagai lembaga yang lahir berda-sar kan asas kepercayaan dan tolong menolong yang ada di dalam Hukum Adat. Sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan secara musyawarah;

Page 123: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 329

2. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian tidak merendahkan derajat petani penggarap, karena kedudukan petani dan pemilik tanah adalah sebagai patner usaha/kerja dari pemilik tanah dan bukan sebagai buruh tani dengan pemilik tanah atau hubungan antara buruh dan majikan;

3. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian memberikan kesempatan kepada petani yang tidak mempunyai tanah garapan untuk mendapatkan tanah untuk memproduksi hasil pertanian;

4. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian memberikan kesempatan bagi petani yang mempunyai tanah garapan yang tidak terlalu luas untuk menambah lahan yang akan digarapnya untuk menghasilkan tanah pertanian;

5. Menghindari tanah pertanian yang produktif tidak digarap terutama tanah ab-sen tee atau guntai yang tanahnya dimiliki oleh masyarakat kota;

6. Memberikan cara bagi pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah yang tidak mempunyai kemampuan, keahlian bertani untuk mendapatkan hasil atau mem-produktifkan tanah pertanian yang telah dimiliki;

7. Memberikan keuntungan bagi pemilik tanah terutama yang bertempat tinggal jauh dari tanah pertanian tersebut berada, dengan diadakannya perjanjian bagi hasil terhadap tanah yang dimilikinya, secara tidak langsung menempatkan tanah tersebut dalam pemeliharaan dan pengawasan oleh petani penggarap, sehingga pemilik tanah merasa lebih aman terhadap status tanah yang dimilikinya dari tindakan penyerobotan hak atas tanah.

Sedangkan Kelemahan dari sistem mengaroni atau bagi hasil tanah pertanian adalah:

1. Perjanjian bagi hasil/mengaroni dibuat secara lisan tanpa melibatkan aparat desa, dikhawatirkan akan membawa permasalahan di kemudian hari jika ada seng keta dalam perjanjian bagi hasil;

2. Sistem pembagian yang dilakukan cenderung merugikan petani mengingat sistem pembagiannya dari tiga sistem bagi hasil yang berlaku di masyarakat dibagi dari hasil bruto atau kotor tanpa dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani. Kemudian juga besarnya pembagian yang menurut UU PBH seharusnya 1:1 atau satu banding satu dari hasil bersih tidak terlaksana dengan baik. sehingga dengan hasil yang demikian belum memberikan perlindungan yang baik terhadap petani;

3. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian belum memberikan kesejahteraan kepada petani;

4. Sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian belum memberikan perlindungan yang baik terhadap petani.

Upaya Pengembangan Sistem Bagi Hasil Tanah Pertanian di Provinsi Kalimantan Selatan

Page 124: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

330 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Kondisi pemilikan dan penguasaan tanah pertanian saat ini di Indonesia memang parah dalam artian sekitar 73 % dari petani adalah petani tak bertanah. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena petani adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi untuk bekerja di areal pertanian yang sebenarnya bekerja untuk kepentingan orang banyak, karena padi yang mereka hasilkan tidak hanya untuk dinikmati bagi petani sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat lain dengan beraneka pekerjaan, dengan kata lain tanpa ada petani dipertanyakan mengenai ketahanan pangan Negara Indonesia. Petani yang ada di Indonesia sekarang ini adalah sebagian adalah buruh tani, sebagian lainnya mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi hasil. Sedangkan para petani yang mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnya kurang dari 1 Ha (rata-rata 0,6 Ha sawah atau 0,5 Ha tanah kering) yang tentu saja tidak cukup untuk dikategorikan sebagai hidup yang layak.

Dari banyak penelitian, terbukti bahwa UU PBH belum efektif diterapkan, sebaliknya hubungan hukum bagi kebanyakan petani (penggarap/penyakap) dan pemilik tanah masih berdasarkan hukum adat setempat. Beberapa faktor yang menyebabkan UU PBH tidak efektif (Achmad Sodik, 1998: 29-39) adalah:

1. Undang-undang belum memasyarakat, sehingga para pihak, baik pemilik tanah maupun penggarap tidak mengetahui berapa bagian bagi hasil yang harus dite-rima masing-masing pihak, serta bagaimana prosedur melakukan bagi hasil yang benar. Dengan perkataan lain komunikasi hukum belum terjadi dalam masya-rakat;

2. Prosedur atau tatacara melakukan bagi hasil terlalu formalitas. Dilihat dari segi tercapainya kepastian hukum yang baik, akan tetapi dari segi kepentingan praktis (manfaat) terlalu berbelit, apalagi jika hubungan bagi hasil tersebut hanya meliputi tanah yang relatif kecil dan jangka waktu tidak lama. Untuk itu perlu penyederhanaan peraturan, sehingga orang tidak enggan melakukan sesuai dengan prosedur;

3. Posisi tawar pemilik tanah ternyata semakin kuat oleh karena jumlah tanah garapan yang relatif tetap (demand) yang semakin besar karena pertambahan penduduk. Hal ini menyebabkan UU PBH semakin tidak diminati. Jika atas kesa-daran penggarap, penggarap memaksakan penerapan UU PBH, maka penggarap akan terancam tanah garapannya. Hal ini memaksa para penggarap bertindak kooperatif dengan pemilik tanah walaupun hal itu berarti merugikan hak-hak penggarap;

4. Ada kecenderungan para pemilik tanah setelah diberlakukannya UU PBH, meng garap sendiri tanahnya dengan memanfaatkan tenaga kerja sewaan. Para pe milik tanah siap mengantisipasi keadaan demikian, oleh karena tenaga kerja murah. Oleh sebab itu maka pola bagi hasil dari tempat satu dan tempat yang lain bervariasi. Kontribusi masing-masing pihak dalam pengolahan tanah, peme-liharaan tanaman, pemupukan, akan sangat menentukan perbandingan jumlah hasil panen yang diterima oleh masing-masing pihak.

Petani penggarap/penyakap saat ini ada dalam bentuk yang sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ada dua bentuk lama dari hubungan penyakapan, yakni

Page 125: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 331

melalui pembayaran sewa (uang) atau gabah dengan yang ditentukan pemilik; atau sewa dengan pembayaran tertentu dari panen lewat perjanjian bagi hasil. Bentuk yang ter-akhirlah yang dominan saat ini.

Dalam kenyataannya pelaksanaan penyakapan dalam hubungan bagi hasil ini tidak tersentuh oleh kontrol Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Akibatnya, perjanjian bagi hasil muncul dalam bentuk-bentuk yang beragam dan didasarkan pada kondisi hubungan yang tidak seimbang dari sedikit pemilik tanah dan banyaknya petani berlahan sempit dan tak bertanah. Memang, yang melandasi kesepakatan hubungan penyakapan adalah kualitas tanah dan luasnya, tetapi karena posisi tawar yang lemah dari petani penggarap itu, maka mereka harus menanggung beban yang berlebihan dari hubungan penyakapan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian pada Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala, dari 100 responden, 70 % petani penggarap cenderung memilih sistem siwa dengan pem -bayaran tertentu dari panen lewat perjanjian bagi hasil. Karena dianggap lebih meng-untungkan petani penggarap, dibandingkan sistem besilak/belah dua ataupun sistem bagi tiga (1/3). Kecenderungan memilih sistem siwa ini juga dilihat dari kepemilikan tanah pertanian, yang pemilik tanahnya lebih banyak di luar kecamatan atau di luar dae-rah/kabupaten (kepemilikan tanah absentee). Karena dianggap lebih praktis oleh petani penggarap dan pemilik tanah.

Untuk pengembangan sistem perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Provinsi Kali-mantan Selatan, harus berakar dari hukum adat masyarakat setempat, dari hasil penelitian lebih banyak petani penggarap yang memilih sistem perjanjian bagi hasil siwa, yang bisa dikembangkan pada masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan.

Berdasarkan UUPA Pasal 5 menyatakan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan meng-indahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Menurut Peneliti boleh saja perjanjian bagi hasil tanah pertanian menurut hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan UU PBH. Dari memori penjelasan UUPBH, dijelaskan tujuan dari undang-undang ini adalah:

1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil;

2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukannya yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang ingin menjadi penggarap adalah sangat besar.

3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada angka 1 dan 2 di atas maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani penggarap, yang akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanah nya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang

Page 126: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

332 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

ber sangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program yang melengkapi “sandang-pangan” rakyat.

Jika melihat pada Menimbang dari UU PBH dan pada memori penjelasan, maka tujuan utama dari undang-undang perjanjian bagi hasil ini adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada para penggarap, sungguhpun tidak ada niat untuk memberikan perlindungan yang berlebihann terutam pada petani penggarap atau buruh tani tersebut. Sehingga undang-undang itu sendiri bertujuan untuk menegaskan hak-hak dan kewajiban baik dari petani penggarap maupun pemilik lahan pertanian.

Seperti yang dijelaskan pada Bab III Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960, bahwa perlindungan kepada penggarap yang lemah ekonomi dan akan menerima syarat apa saja yang disodorkan oleh pemilik tanah tersebut. Jelaslah mereka tidak dalam kedudukan yang sederajat.

Bagi hasil tanah pertanian harus dipertegas dalam perjanjiannya dengan tepat, se-hingga seluruh biaya eksploitasi mulai dari bibit, penanaman, penyiangan, penggunaan pupuk dan pestisida, panen, pengangkutan, biaya pengolahan oleh kerbau atau manusia atau traktor, pajak, dan termasuk zakat sudah jelas diperjanjikan, kendati berdasarkan penelitian 100% responden pda Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala, tidak mengadakan perjanjian bagi hasil secara tertulis, seperti yang diamanatkan UU PBH. Karena masyarakat pedesaan hidup dalam kesederhanaan dan saling percaya tidak menyu-kai prosedur yang berbelit-belit, sehingga perjanjian bagi hasil cukup dibuat secara tidak tertulis atau lisan. Walaupun perjanjian bagi hasil hanya dilakukan secara lisan, namun pelaksanaannya hampir tidak terjadi sengketa yang berarti (kalaupun ada diselesaikan secara kekeluargaan) kesemuanya berlangsung dengan baik karena masing-masin ingin mendapatkan manfaat dari bagi hasil tersebut dan mematuhi apa yang telah digariskan oleh Hukum Adat dan perjanjian yang mereka buat secara lisan (yang telah disepakati).

Berdasarkan penelitian di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala, para pe tani penggarap tidak mengetahui adanya UU PBH dan tidak berjalan seperti yang diamanatkan undang-undang, hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melak-sanakannya di masa akan datang, apalagi telah dipertegas oleh Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980.

Jika dibandingkan dengan landreform yang berlangsung di Cina Daratan yang dalam kekuasaan Republik Rakyat Cina dan Vietcong, maka dengan penetapan bagi hasil yang dikurangi 25% dan tidak boleh dari dari 32,5% berlaku surut hingga ketentuan itu dan bagi tuan tanah diwajibkan untuk mengembalikan jumlah yang sudah dibayarkan lebih kepada penggarap (AP Parlindungan, 1991: 11).

Beda antara bagi hasil dan persewaan pertanian ialah bahwa dalam Bagi Hasil, tuan tanah dan penggarap membagi risiko, ongkos dan keuntungan dan pada umumnya lebih menguntungkan pemilik tanah, sedangkan dalam persewaan pemilik hanya mengutip uang sewa dan tidak ikut dalam risiko dan biasanya uang sewa dan tidak ikut dalam risiko dan biasanya uang sewanya tinggi sekali (Hustiati, 1990: 93).

Menurut AP. Parlindungan bahwa “keuntungan bagi penggarap dalam sistem bagi hasil yaitu bila panen buruk karena suatu sebab, maka ini merupakan alasan pemaaf

Page 127: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 333

untuk meniadakan bagi hasil. Hal ini tidak mungkin dalam sewa tanah di mana risiko dipikul oleh penggarap sendiri”.

Di Philipina, RA No. 3844 yang diterbitkan tahun 1963, menyatakan tenancy ini tidak sah dan secara otomatis mengubahnya menjadi leasehold walaupun hanya terbatas pada tanah padi dan jagung. Tenancy tidak dibenarkan dalam hubungan antara tuan tanah dan penggarap yang bersifat perorangan, karena bersifat exploitation de I’homme par I’homme. Tidak ada peraturan yang melindungi petani penggarap dalam hal ini (Hustiati, 1990: 96). .

Dalam RA No. 6657, persewaan tanah pertanian dibenarkan sementara menunggu dilaksanakannya OLT. Pasal 6 alenia kedua memberi penyewa hak untuk menentukan pilihannya atas tanah yang ditahan oleh pemilik tanah, apakah tetap sebagai penyewa atau menerima tanah pertanian lainnya. Jika penyewa tetap bertahan sebagai penyewa atas tanah itu, maka DAR akan melindungi dan memperbaiki status ekonomi dan pengu asaan petani atas tanah yang disewakan serta segera menetapkan uang sewanya dan secara periodik memperbaharui serta menyesuaikan struktur uang sewa itu untuk berbagai tanaman di berbagai daerah (Pasal 12), (Hustiati, 1990: 96).

Dari hasil penelitian sistem Bagi hasil tanah menunjukkan ada 3 sistem “ mengaroni atau ngaduani banih “ yang ada di Kalimantan selatan terdiri dari beberapa bentuk, yaitu: yang pertama, Sistem “Basilak” atau “ Balah Dua pahumaan”, kedua, system bagi tiga dan yang ketiga,” Sistem Siwa ,”.

Dari ketiga sistem tersebut masing masing mempunyai sistem pembagian yang berbeda yaitu untuk “Sistem basilak” sistem bagi hasil yang diterapkan dengan pembagian antara pemilik tanah dengan penggarap/penyakap sama rata, yaitu dengan membagi luas tanah menjadi dua bagian atau istilah dibelah dua, yang kemudian masing-masing pihak akan memanen di wilayah tanah pertanian yang masing- masing mendapat separo dari luas wilyah tanah pertanian yang digarap, misalnya luas tanah sawah yang digarap seluas 50 borongan, maka masing- masing akan mendapat 25 borongan dari luas tanah sawah tersebut. Yang nantinya pada saat panen akan dipanen masing-masing dengan biaya masing-masing. Akan tetapi dalam sistem ini segala biaya bibit, tanam, pupuk dan penggarapan ditanggung atau dibebankan pada petani penggarap/penyakap.

Untuk sistem” Bagi Tiga “ sistem pembagian yang diterapkan adalah setelah panen yang dilakukan penggarap/penyakap, padi dari hasil tanah pertanian tersebut dibagi tiga (3) bagian yang mana petani penggarap/penyakap mendapatkan dua kali bagian atau 2/3 bagian atau 2 x 1/3 bagian, sedangkan pemilik tanah mendapatkan satu bagian atau 1/3 bagian, dengan segala biaya bibit, tanam, pemeliharaan dan pupuk dibebankan pada penggarap/penyakap tanah pertanian.

Sedangkan dengan sistem “Siwa “pada dasarnya sistem ini dapat dikategorikan sewa tanah pertanian dengan pembayaran dilakukan setelah panen, akan tetapi sistem ini lebih tepat dikategorikan sebagai sistem bagi hasil dengan pembagian dari hasil per-tanian yaitu 2 atau 1 blek untuk pemilik tanah dan sisanya untuk penggarap/penyakap. Untuk daerah yang subur biasanyanya banih (padi) yang dihasilkan rata-rata 8- 11 blek, pembagian untuk pemilik tanah sebesar 2 blek sedangkan untuk daerah yang kurang

Page 128: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

334 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

subur banih (padi) yang dihasilkan kira-kira 4-6 blek, besarnya pembagian untuk pemilik tanah hanya 1 blek padi.

Jadi sistem siwa ini peneliti kategorikan sebagai salah satu sistem bagi hasil di masya rakat Kalimantan Selatan karena pemberian bagian dari pemilik yang besarnya sebanyak 1-2 blek, yang besarnya tergantung hasil dan kesuburan tanah pertanian yang digarap, dibayar oleh petani penggarap jika hasil dari pertanian tersebut sesuai dengan yang diperkirakan, akan tetapi jika tanah pertanian tersebut tidak menghasilkan atau gagal panen misalnya karena hama penyakit, bencana alam, banjir dan lainnya si petani penggarap tidak mempunyai kewajiban untuk membayar bagian pemilik tanah sebesar 1- 2 blek.

Dari keadaan inilah menunjukkan bahwa sistem ini adalah salah satu bentuk dari sistem bagi hasil yang ada di Kalimantan Selatan, dan bukan perjanjian sewa karena kalau perjanjian sewa petani penggarap/penyakap meskipun tanah pertanian tidak menghasilan hasil pertanian penyewa harus tetap membayar harga sewanya, dan biasanya pembayaran sewa dibayar pada saat perjanjian diadakan.

Dari tiga sistem tersebut pada masyarakat di daerah pertanian kelimantan selatan untuk masa sekarang lebih banyak atau lebih menyukai “sistem siwa” meskipun sistem ini mempunyai kemiripan dengan perjanjian sewa-menyewa tanah akan tetapi peneliti mengklasifikasikan sistem ini sebagai salah satu bentuk dari ssitem bagi hasil karena apabila terjadi kegagalan panen pihak penggarap tidak diharuskan membayar bagian dari pemilik tanah, dan jika hasilnya sedikit dari yang diperkirakan bagian dari pemilik tanah dapat dikurangi dari bagian yang diperjanjikan sebelumnya.

Dari ketiga sistem ini terlihat bahwa sistem siwa yang ada pada masyarakat Kali-mantan Selatan ini dapat dikembangkan dalam rangka meningkatkan perlindungan ter-hadap petani. Dimana sistem ini lebih banyak disukai penyakap mengingat bagian yang didapat petani dianggap lebih menguntungkan dari petani dibanding sistem lainnya, dan bagi pemilik tanah sistem ini lebih disukai karena lebih mudah dan praktis mengingat pemilik pada umumnya berdomisili di kota atau diluar kecamatan/daerah atau yang disebut dengan tanah absentee.

Tanah yang dikuasai secara absentee sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf b Peratu-ran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dijadikan objek landreform karena adanya prinsip bahwa, “tanah harus dikerjakan sendiri oleh pemiliknya dan menghindari cara-cara pemerasan”. Tanah-tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan di mana tanahnya berada menyebabkan, disamping pengusahaan tanahnya tidak ekono mis, juga menimbulkan sistem penghisapan, misalnya disewakan, digadaikan atau dibag-ihasilkan.

Oleh karena itu dalam rangka usaha meningkatkan harkat dan martabat petani kebi jakan pertanahan harus lebih dititikberatkan kepada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa pola pemilikan dan penguasaan tanah tradisional (yang timpang) merupakan penyebab keresahan politik, pembuat ketidakadilan sosial, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus diawali dengan reformasi sosial, karena tidak akan terjadi akselerasi pembangunan ekonomi tanpa adanya transformasi

Page 129: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 335

struktur sosial. Merombak struktur masyarakat agar lebih demokratis Dalam gagasan yang dominan, membagikan tanah kepada petani bertujuan agar mereka memiliki akses terhadap alat/faktor produksi. Ditambah akses terhadap kredit dan teknologi, diharapkan mereka dapat melakukan aktifitas produksi yang akan mempengaruhi peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian, landreform, sebagai bagian terpenting dalam reforma agraria, bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan di pedesaan. Reforma Agraria dan landreform bukan hanya berkaitan dengan pengentasan kemiskinan? Seperti yang ter dapat dalam diskursus yang dominan mengenai reformasi agraria. Ketimpangan struktur agraria bukan hanya menyebabkan kemiskinan akan tetapi juga mempengaruhi hubungan-hubungan politik dan sosial. Dalam banyak hal, kekuasaan politik di pedesaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap tanah. Orang-orang yang memiliki dan menguasai tanah yang luas akan sangat berpengaruh bukan hanya secara ekonomi akan tetapi juga secara politik. Sebagian besar petani kita yang tidak memiliki tanah akan berada dalam posisi yang tergantung secara ekonomi dan lemah secara politik (WWW. Berpolitik.com).

Tujuan landreform diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi peng-hasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Program landreform meliputi (Boedi Harsono, 2003: 370):

1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

2. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”;

3. Redistribusi tanah-tanah yang berlebih dari batas maksimum tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negara;

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan;

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan

6. Penetapan luas maksimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk me lakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Pola landreform yang dikembangkan tampaknya ingin menghargai para petani peng-garap dari obyektif landreform dengan diberi kesempatan untuk menyewa tanah pertanian tersebut untuk digarap dan kemudian setelah dua tahun akan diredistribusikan kepada yang berhak secara prioritas dengan hak milik. Uang sewa itu sendiri akan digunakan untuk pemberikan ganti rugi pada pemilik tanah obyek landreform. Disini juga semakin jelas, bahwa ketidaksiapan dana sangat tampak dalam pelaksanaan landreform.

Berdasarkan hasil penelitian hanya 27% saja petani yang mempunyai tanah, terlihat jelas ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala. Serta fakta semakin bertambahnya jumlah petani tak bertanah sekitar 73% dan berlahan sempit di satu sisi, dan konsentrasi pemilikan tanah luas pada sedikit orang di sisi lain, jelas menunjukkan adanya kondisi yang tidak adil.

Page 130: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

336 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Dalam hal pentingnya perubahan mendasar, untuk meningkatkan kesejahteraan petani penggarap (penyakap), maka pelaksanaan landreform sebagai alternatif jawaban atas masalah tersebut di atas, bukan semata-mata menunjuk pada perlu redistribusi tanah. Lebih dari itu, pelaksanaan landreform menuntut adanya perubahan mendasar dalam sistem dan struktur hukum berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria, dan perubahan itu harus didasarkan pada persepsi kepentingan dan nilai-nilai keadilan rakyat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku pada masyarakat di Provinsi Ka-limantan Selatan adalah berdasarkan hukum adat dan kebiasaan setempat yang berlangsung turun temurun;

2. Sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku pada masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, bahkan petani tidak mengetahui bahwa ada peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia. Sistem bagi hasil tanah pertanian yang ada di Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 baik dilihat dari prosedur pelaksanaannya hingga sistem pembagian hasil pertaniannya;

3. Keunggulan dari sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku di masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan Mengaroni adalah: (a) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian sebagai lembaga yang lahir berdasarkan asas kepercayaan dan tolong menolong yang ada di dalam Hukum Adat. Sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan secara musyawarah; (b) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian tidak merendahkan derajat petani penggarap, karena kedudukan petani dan pemilik tanah adalah sebagai patner usaha/kerja dari pemilik tanah dan bukan sebagai buruh tani dengan pemilik tanah atau hubungan antara buruh dan majikan.; (c) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian memberikan kesempatan kepada petani yang tidak mempunyai tanah garapan untuk mendapatkan tanah untuk memproduksi hasil pertanian; (d) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian memberikan kesempatan bagi petani yang mempunyai tanah garapan yang tidak terlalu luas untuk menambah lahan yang akan digarapnya untuk menghasilkan tanah pertanian; (e) menghindari tanah pertanian yang produktif tidak digarap terutama tanah absentee atau guntai yang tanahnya dimiliki oleh masyarakat kota; (f) memberikan cara bagi pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah yang tidak mempunyai kemampuan, keahlian bertani untuk mendapatkan hasil atau memproduktifkan tanah pertanian yang telah dimiliki; (g) memberikan keuntungan bagi pemilik tanah terutama yang bertempat tinggal jauh dari tanah pertanian tersebut berada, dengan diadakannya perjanjian bagi hasil terhadap tanah yang dimilikinya, secara tidak langsung menempatkan tanah tersebut

Page 131: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 337

dalam pemeliharaan dan pengawasan oleh petani penggarap, sehingga pemilik tanah merasa lebih aman terhadap status tanah yang dimilikinya dari tindakan penyerobotan hak atas tanah. Sedangkan Kelemahan dari sistem bagi hasil tanah pertanian yang berlaku di masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah: (a) perjanjian bagi hasil/mengaroni dibuat secara lisan tanpa melibatkan aparat desa, dikhawatirkan akan membawa permasalahan di kemudian hari jika ada sengketa dalam perjanjian bagi hasil; (b) sistem pembagian yang dilakukan cenderung merugikan petani mengingat sistem pembagiannya dari tiga sistem bagi hasil yang berlaku di masyarakat dibagi dari hasil bruto atau kotor tanpa dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani. Kemudian juga besarnya pembagian yang menurut UU PBH seharusnya 1:1 atau satu banding satu dari hasil bersih tidak terlaksana dengan baik. sehingga dengan hasil yang demikian belum memberikan perlindungan yang baik terhadap petani; (c) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian belum memberikan kesejahteraan kepada petani; (d) sistem mengaroni/bagi hasil tanah pertanian belum memberikan perlindungan yang baik terhadap petani;

4. Upaya pengembangan sistem bagi hasil tanah pertanian yang dapat melindungi bagi para petani penggarap dan pemilik tanah pertanian di Provinsi Kaliman-tan Selatan harus lebih dititikberatkan kepada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Ini didasarkan pada pola pemilikan dan penguasaan tanah tradisional (yang timpang) merupakan penyebab keresahan politik, pembuat ketidakadilan sosial, yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan ekonomi sehingga bisa membuat ketahanan pangan dan angka kemiskinan menurun khususnya di kalangan petani penggarap/penyakap.

Saran

1. Sistem Bagi Hasil tanah pertanian di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hukum adat dan kebiasaan setempat, sebaiknya dibuat aturan tertulis yang bersifat khusus berupa Peraturan Desa yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan, supaya memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi penyakap/penggarap dan pemilik tanah sekaligus.

2. Pelaksanaan sistem Bagi Hasil tanah pertanian di Provinsi Kalimantan Selatan tidak menerapkan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Per janjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, walaupun tidak menerapkan ketentuan undang-undang tersebut, diharapkan tetap memperhatikan rasa keadilan yagn hidup di masyarakat Kalimantan Selatan dan menghindari dari pemerasan ter-hadap petani penggarap. Untuk itu harus dibentuk lembaga aparatur desa yang bertugas mengawasi pelaksanaan sistem bagi hasil tanah pertanian, yang di-bentuk dan dipilih oleh masyarakat desa itu sendiri.

3. Dengan melihat keunggulan dan kelemahan pelaksanaan sistem Bagi Hasil tanah pertanian yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan, diharapkan penataan sistem Bagi Hasil di Provinsi Kalimantan Selatan yang lebih adil dan memberikan kepastian, dapat meningkatkan dan memperbaiki daya penggunaan tanah dan

Page 132: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

338 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

meningkatkan taraf hidup petani penggarap. Hendaknya ada program dari peme-rintah yang memberikan pendidikan kepada penggarap/penyakap, agar sadar, bahwa mereka adalah pelaku ekonomi yang aktif dalam kerjasama usaha, sehing-ga sudah sepantasnya lebih dihargai secara ekonomi.

4. Upaya pengembangan sistem bagi hasil tanah pertanian dapat dijadikan masukan dan kontribusi, untuk secepatnya dapat menyusun kebijakan merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, dan diharapkan menjadi titik tolak dalam pembaharuan keagrarian (landreform Indonesia).

Page 133: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 339

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2002. Lahirnya TAP MPR No. IX/MPR/2001 Sebagai Dasar Dan Arah Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia. Dalam “Jurnal Orientasi” No. 2 Tahun XXIX, April.

ALSA KLI UGM, 2006. Land Reform di Indonesia. Sumber: Alsa Indonesia., diakses tanggal 29 Desember 2008.

Asmin, Werhan. 2002. Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia. Dalam “Jurnal Orientasi” No. 2 Tahun XXIX, April.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1986. t.j.

Departemen Pertanian RI. t.t. Bercocok Tanam Padi Di Berbagai Tipe Lahan. Banjarbaru: Balai Informasi Pertanian.

Hardiyanto, Andik. 1998. Agenda Land Reform. Bandung: Konsorsium Pembaharuan Agraria.

Harsono, Boedi. 1995. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan VI. Jakarta: Djambatan.

-------. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

Hasmonel, Bagi Hasil Tanah Absentee (Studi Kasus di Dataran Tinggi Paseman Kabupaten Lahat). Http/Psi.Ut.ac.id/Jurnal/IIIhmonel htm, diakses tanggal 20 Desember 2008.

Hustiati. 1990. Agrarian Reform Di Phipina Dan Perrbandingannya Dengan Landreform di Indonesia. Bandung : Mandar Maju.

Mudjiono. 1997. Politik dan Hukum Agraria. Cet. I. Yogyakarta : Liberty.

Muhammad, Bushar. 1991. Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: PT.Pradnya Paramita.

Notonagoro. 1974. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta: CV.Pancuran Tujuh.

Parlindungan, AP. 2003. Tanya jawab Hukum Agraria & Pertanahan, Cetakan III. Bandung: CV. Mandar Maju.

--------. 1991. Undang-undang Bagi Hasil Di Indonesia (Suatu Studi Komparatif). Cet. II. Bandung : Mandar Maju.

Qamariyanti, Yulia. 2006. Perjanjian Bagi Hasil Menurut UU No.2 Tahun 1960. Banjar-masin : Fakultas Hukum Unlam.

Ruchiyat, Eddy. 1999. Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Edisi II Cetakan I. Bandung: Alumni.

Sarageh, Djaren, 1996. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Penerbit Tarsito.

Sitorus, Oloan, Monday 25 September 2006, Reforma Agraria dan Sektor Informal,

Page 134: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

340 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 305-341, ISSN 2085-6644

Sumber: Http//222.124.164.132/Arcle Php?Sia=97749 diakses tanggal 28 Desember 2008.

Sodik, Achmad. 1998. Pembaharuan Hukum Pertanahan Nasional Dalam Rangka Pengu atan Agenda Landreform. Dalam “Suara Pembaharuan Agraria”. SPA No. 4 Tahun 1998.

Sumardjono, Maria SW., 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Sudiyat, Iman. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.

Syahyuti. 2005. Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Salah Satu Bentuk Possible Agrarian Reform. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Wiradi, Gunawan. 1997. Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Dalam “Suara Pembaharuan Agraria” SPA No.3.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. Pembaharuan Agraria: Apa Yang Perlu Diagendakan?. Dalam “Suara Pembaharuan Agraria SPA No. 4.

Laporan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar. 2008. Kabupaten Banjar Dalam Angka 2007/2008. Martapura: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Barito Kuala. 2008. Kabupaten Barito Kuala Dalam Angka 2007/2008. Martapura: Badan Pusat Statistik.

Pemerintah Kabupaten Banjar Kantor Ketahanan Pangan, Informasi dan Penyuluh-an Pertanian. 2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Kertak Hanyar. Kertak Hanyar: Balai Penyuluhan Pertanian

-------.2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Gambut Tahun 2009. Gambut: Balai Penyuluhan Pertanian.

-------.2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Sungai Tabuk Tahun 2009. Sungai Tabuk: Balai Penyuluhan Pertanian.

-------.2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Beruntung Baru Tahun 2009. Beruntung Baru: Balai Penyuluhan Pertanian.

Pemerintah Kabupaten Banjar Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masya-rakat. 2008. Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan. Sungai Tabuk: Kecamatan Sungai Tabuk.

Pemerintah Kabupaten Barito Kuala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan. 2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Anjir Muara Tahun 2009. Anjir Muara: Balai Penyuluhan Pertanian.

-------. 2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Anjir Pasar Tahun 2009. Anjir Pasar: Balai Penyuluhan Pertanian.

-------. 2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Model Mandastana Tahun 2009. Mandastana: Balai Penyuluhan Pertanian.

Page 135: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Yulia Qamariyanti, Diana Rahmawati, Syahrida, Rahmat Budiman, Pengembangan.....| 341

-------. 2009. Programa Penyuluhan Pertanian BPP Rantau Badauh Tahun 2009. Rantau Badauh: Balai Penyuluhan Pertanian.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Landreform

UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan kebijaksanaan

Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan Pemberian Hak untuk Keperluan Perusahaan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tatacara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.

Page 136: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 137: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

KELEMBAGAAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Rachmadi Usman*

*[email protected]., Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: Act number 5 of 1999 concerning Prohibition Monopoly Practice and Business Competition Unhealty was made for Business person in their activity in Indonesia base on economic democracy consider with balancing of business person interest and public interest and business interest and etics in business world. Business Competition Con-trol ling Commission (KPPU) was formed for effectivity of implementation this act as independence institution without government influence and the others who have authority to control business competition and give sanction. Institutionally, this institution as auxiliary state’s organ in Indonesia modern system configuration. KPPU task and function are doing law enforcement of business competition, giving recomendation and consideration to government related to policy of business competition and arrangement guidance related to law enforcement of business competition. The authority of KPPU are: (1) administrative power; (2) quasi-legislative power; (3) quasi-judicial power. Law status of KPPU is independence as non structural institution without influence and power of government and the others.

Key words: institution, Business Competition Controlling Commission, competition law enforcement

Abstrak: Dalam rangka mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat dalam kegiatan dunia usaha, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, dan terhindarnya pemusatan ke-ku at an ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, maka diadakan pengaturan hukum persaingan usaha sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 diharapkan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dan kepentingan bisnis dan etika dalam kegiatan dunia usaha. Demi efektivitas implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. KPPU ini dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha-nya agar tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Secara kelembagaan, KPPU berkedudukan sebagai lembaga negara khusus (auxiliary state’s organ) dalam konfigurasi sistem ketatanegaraan modern Indonesia. Tugas dan fungsi KPPU adalah melakukan penegakan hukum persaingan usaha, memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah berkaitan dengan kebijakan persaingan usaha dan

Page 138: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

344 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

menyusun pedoman yang berkaitan dengan penegakan hukum persaingan usaha. Sebagai sebuah lembaga negara diluar konstitusi, KPPU menjalankan sejumlah wewenang sekaligus, yaitu: (1) wewenang administratif (administrative power); (2) wewenang untuk menyusun peraturan (quasi-legislative power) dan (3) wewenang mela ku kan penye lidikan dan penyidikan, serta menjatuhkan sanksi berupa tindakan admi nistratif (quasi-judicial power). Artinya KPPU tidak hanya mengemban tugas dan fungsi dalam wilayah eksekutif, juga legislatif dan yudikatif. Sehubungan dengan itu secara kelem-bagaan, status hukum KPPU bersifat independen sebagai sebuah lembaga non struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.

Kata Kunci: kelembagaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, penegakan hukum persaingan

Dalam rangka menciptakan persaingan usaha yang sehat, kompetitif dan mencegah praktek-praktek monopoli (monopolistik) serta persaingan usaha tidak sehat, pada tahun 1999 diadakan pengaturan mengenai hukum persaingan usaha sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kehadiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini di-maksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat serta memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi.

Pada dasarnya reformasi jualah yang melahirkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada tahap-tahap awal reformasi muncul ketakutan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam per-ekonomian Indonesia, dan dengan berbagai cara berusaha untuk mengatur supply barang atau jasa serta menetapkan harga secara sepihak. Koneksi yang dibangun dengan birokrat membuka kesempatan luas untuk menjadi pemburu rente dengan memanfaatkan proteksi dan berbagai fasilitas dari Negara, akibatnya ketika guncangan ekonomi datang nyaris semua sendi ekonomi rontok. Apa yang awalnya hanya merupakan dampak dari krisis di Thailand akhirnya membongkar kebobrokan ekonomi Indonesia yang dibangun atas pinjaman dari luar negeri (Stefino Anggara, 2009: 157).

Dengan bantuan IMF Indonesia berusaha bangkit kembali. Pembaruan struktural yang di gagas IMF melalui Letter of Intent-nya dilaksanakan oleh Indonesia dengan melakukan deregulasi di berbagai sektor, mengubah ekonomi biaya tinggi Indonesia menjadi ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif, dan efisien. Pembaruan struktural men syaratkan bahwa berbagai rintangan artificial yang menghambat persaingan harus di hapus kan. Hal ini memerlukan seperangkat aturan hukum baru yang mampu menetapkan suatu bentuk persaingan usaha yang sehat dan mempunyai suatu instrument untuk menga wasi hukum tersebut. Melihat momen tersebut, DPR mengajukan usul inisiatif pembentukan undang-undang antimonopoli. Akhirnya terbentuklah Undang-undang No mor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie pada tanggal 5 Maret 1999 (Stefino Anggara, 2009: 157).

Page 139: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 345

Agar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dilaksanakan dengan baik, diben-tuk suatu lembaga yang independen, yang dinamakan dengan ”Komisi Pengawas Per-saingan Usaha” (KPPU) yang bertugas dan mempunyai wewenang untuk mengawasi dan menegakkan hukum persaingan usaha. Kelembagaan KPPU lebih lanjut diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya, KPPU mempunyai tugas dan wewenang dalam bidang penyelidikan dan penyi-dikan, penuntutan dan sekaligus peradilan. Artinya KPPU memiliki kewenangan yang sangat luar biasa dalam melakukan penegakan terhadap hukum monopoli dan persaingan usaha.

Walaupun bukan pengadilan dan bukan penyidik, KPPU adalah penegak hukum dan sebagai lembaga yang sangat tepat untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunctions yang bisa menyelesaikan dan mempercepat pro-ses penanganan perkara persaingan usaha (Syamsul Maarif, 2002: 48).

KPPU mempunyai kewenangan yang sangat luas, meliputi wilayah eksekutif, yudi-katif, legislatif serta konsultatif. Karenanya, lembaga ini memiliki kewenangan konsul-tatif, yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, lem-baga ini mempunyai kewenangan yang terkesan tumpang tindih. Sebab dapat bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa, penuntut (presecuting function), pemutus (adjudication function) dan juga fungsi konsulatif (consultative func-tion), (Partnership For Business Competition, 2003: 4).

Komisi khusus dalam bidang pengawas persaingan usaha juga sudah menjadi ke-biasaan di negara-negara lain. Misalnya, di Amerika Serikat disebut dengan Federal Trade Commission (FTC), di Masyarakat Ekonomi Eropa dengan European Community Commission, di Kana disebut Competition Bereau yang dikepalai oleh Director of Investigation and Research, di Jepang, Korea dan Taiwan disebut dengan Fair Trade Commission, di Perancis disebut dengan Le Conseil De La Cncurrence (Mustafa Kamal Rokan, 2010: 265).

Dapat dikatakan kalau KPPU merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan tugas dan wewenang untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha. Sehubungan dengan itu, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan yang luar biasa dan maha luas kepada KPPU sebagai lembaga penegak hukum yang mem-punyai kewenangan dalam bidang penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Kehadiran KPPU sebagai lembaga penegak hukum menimbulkan permasalahan ber kenaan dengan pengaturan kelembagaannya dalam konteks penegakan hukum per-saing an usaha. Dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain, KPPU mempunyai wewenang yang luar biasa dan sangat luas, sehingga dapat menimbulkan perbedaan pendapat mengenai kelembagaan dan kedudukan hukum KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Page 140: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

346 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

TINJAUAN PUSTAKA

Sebelum tahun 2000 tidak ada mekanisme pasar yang berjalan, intervensi dan dominasi negara begitu besar terkait dengan peran kepentingan negara dalam mengambil kebijakan ekonomi. Sebagai suatu state (baca: rezim), Orde Baru adalah sebuah entitas terpisah di masyarakat. Orde Baru dipandang sebagai ”kerajaan para birokrat”. Subjek kebijakan Orde Baru bukanlah state an sich, melainkan individu-individu para birokrat. Pola patron-clientship akan terbentuk antar birokrat yang kebetulan memegang kekuasaan dengan kelompok kepentingan yang berusaha mencari rente (Stefino Anggara, 2009: 162-163).

Setelah Tahun 2000 Indonesia mulai memberikan ruang yang lebih besar untuk ke-bijakan persaingan (Competition Policy). Peran kebijakan persaingan yang lebih besar ini ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sejak Maret 2000 dan diikuti dengan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada sektor swasta untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Menyusul diberlakukannya hukum persaingan, pembuat kebijakan di Indonesia melahirkan berbagai kebijakan yang menga-rah kepada deregulasi, keterbukaan pasar dan privatisasi kepemilikan negara di berbagai bidang usaha (Stefino Anggara, 2009: 163).

Tujuan yang hendak dicapai dengan dibuatnya berbagai undang-undang mengenai larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju yang telah sangat berkembang masyarakat korporasinya, seperti Amerika Serikat dan Jepang, adalah untuk menjaga kelangsungan persaingan (competition). Persaingan perlu dijaga eksistensinya demi terciptanya efisiensi, baik efisiensi bagi ma-sya rakat konsumen maupun bagi setiap perusahaan. Persaingan akan mendorong se tiap perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya se-efisien mungkin agar dapat men jual barang-barang dan atau jasa-jasanya dengan harga yang serendah-rendahnya. Apabila setiap perusahaan berlomba-lomba untuk menjadi se-efisien mungkin agar memungkinkan mereka dapat menjual barang-barang dan atau jasa-jasanya dengan se murah-murahnya dalam rangka bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain yang men jadi pesaingnya, maka keadaan itu akan memungkinkan setiap konsumen membeli barang yang paling murah yang ditawarkan di pasar yang bersangkutan. Dengan terciptanya efisiensi bagi setiap perusahaan, maka pada gilirannya efisiensi tersebut akan menciptakan pula efisiensi bagi masyarakat konsumen (Sutan Remy Sjahdeini, 2000: 8).

Terdapat dua efisiensi yang ingin dicapai oleh undang-undang antimonopoli, yaitu efisiensi bagi para produsen dan efisisensi bagi masyarakat atau productive efficiency dan allocative efficiency. Productive efficiency ialah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan biaya yang serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya yang sekecil mungkin. Sedangkan allocative efficiency adalah efisiensi bagi masyarakat konsumen. Dikatakan masyarakat konsumen efisien apabila para produsen dapat membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada harga yang para konsumen itu bersedia untuk membayar harga barang yang dibutuhkan itu (Ernest Gellhorn dan William E. Kovacic, dalam Sutan Remy Sjahdeini, 2000: 8).

Page 141: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 347

Ketentuan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah untuk:

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditim-bulkan oleh pelaku usaha; dan

4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Sementara itu dalam Penjelasan Umum atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan pula mengenai tujuan pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, antara lain:

Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk: men-jaga kepentingan umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka me ningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tujuan-tujuan yang hendak dicapai sebagaimana dirinci dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut di atas ternyata antara lain adalah juga efisiensi, baik berupa apa yang disebut allocative efficiency maupun productive efficiency, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 telah menggunakan istilah ”efisiensi ekonomi nasional” untuk allocative efficiency dan istilah ”efisiensi dalam kegiatan usaha” untuk productive efficiency (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 9).

Dari keempat tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat juga dirumuskan menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan di bidang ekonomi dan tujuan meta ekonomi atau tujuan di luar ekonomi (M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Tujuan pertama pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ditetapkan untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Kedua tujuan ini ada di dalamnya saling berdampingan, yaitu menjaga kepentingan umum yang meru pakan tujuan di luar ekonomi, yang memberikan rasa aman dan pasti pada semua pelaku usaha dan masyarakat di dalam berusaha, dan meningkatkan ekonomi nasional adalah merupakan tujuan ekonomi (M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Di dalam tujuan kedua pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ditetapkan lagi tujuan ekonomi yaitu mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan adanya persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha bagi pelaku

Page 142: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

348 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha di dalam menjalankan usahanya masing-masing, ini mencakup tujuan ekonomi dan juga tujuan di luar ekonomi (M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Kemudian ditetapkan tujuan ketiga pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Ini adalah juga merupakan tujuan ekonomi. Ini adalah fungsi persaingan yang normal dari semua Undang-undang Antimonopoli yang ada di dunia ini dan jaminan adanya efisiensi juga merupakan tujuan ekonomi. Dihindarkannya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat akan dapat mencegah adanya konsentrasi ekonomi di tangan tertentu atau di tangan satu kelompok tertentu, yang merupakan tujuan ekonomi (M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Selanjutnya dalam tujuan terakhir ditetapkan tujuan ekonomi, yaitu terciptanya efek tivitas dan efisiensi dalam berusaha (bandingkan M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Jadi pada prinsipnya tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini ada dua, yaitu: tujuan bidang ekonomi dan tujuan di luar ekonomi. Kalau tujuan ekonomi tercapai, yaitu meningkatnya ekonomi nasional, maka tujuan di luar ekonomi juga akan tercapai, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaan Undang-undang Antimonopoli oleh para praktisi hukum, pelaku usaha dan khususnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu kiranya memperhatikan kedua tujuan tersebut, yaitu untuk meningkatkan eko nomi nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan penerapan Undang-undang Antimonopoli tersebut harus tahu dan sadar akan tujuan Undang-undang Antimonopoli tersebut. Dengan demikian, semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang Antimonopoli tersebut mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu meningkatkan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang merupakan tujuan Undang-undang Dasar 1945 (M. Udin Silalahi, 2000: 28).

Untuk menegakkan hukum persaingan usaha Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini juga ditentukan untuk dibentuk sebuah Komisi yang bertujuan untuk mene gakan hukum persaingan atau mengawasi pelaksanaan UU ini yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seperti halnya United States Federal Trade Commision (US FTC) di Amerika Serikat atau Bundeskartelamt di Jerman (Sukendar, 2009: 179).

Dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Per-saingan Usaha dibentuk KPPU. Pembentukan KPPU ini diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 lebih cepat, efisien, dan efektif sesuai dengan asas dan tujuannya. Tugas KPPU juga telah diatur secara rinci dalam ketentuan dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diulangi kembali dalam ketentuan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999.

Page 143: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 349

Tugas KPPU diperinci dalam ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang kemudian diulang dalam ketentuan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999, yaitu meliputi:

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;

2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi domi nan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau per-saingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36;

5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang ber-kaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Antimonopoli ini;

7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan DPR.

Adapun fungsi KPPU sesuai dengan tugas sebagaimana dimaksud di atas, meliputi:

1. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan posisi domi-nan;

2. Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan;

3. Pelaksanaan administratif.

Dengan demikian pada prinsipnya, fungsi dan tugas KPPU adalah melakukan kegiatan penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha dan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan para pelaku usaha. Bilamana terjadi pelanggaran hukum terhadap hukum persaingan usaha, KPPU dalam mengambil tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan dengan memerintahkan pembatalan atau penghentian perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang dilarang serta penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan pelaku usaha tersebut.

Pembentukan KPPU melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang kemudian ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tidak dapat dilepaskan dari konteks realitas nasional yang membutuhkan akan adanya sebuah lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap kegiatan usaha yang memiliki kecenderungan untuk melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Secara eksternal faktor tekanan internasional terhadap Indonesia agar menerapkan hukum anti monopoli guna

Page 144: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

350 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

menjamin iklim usaha yang kondusif juga ikut mendorong lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 (Sukendar, 2009: 179).

PEMBAHASAN

Kedudukan Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang efektif dibentuk dari sinergi positif terhadap kewenangan persaingan usaha di suatu negara. Efektivitas implementasi itu diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga persaingan dalam penegakan hukum persaingan usaha itu sendiri. Negara yang memiliki hukum persaingan usaha berada dalam kondisi aktual yang berbeda dalam sistem penegakan hukum persaingan dan kewenangan lembaga persaingan usahanya (Hermansyah, 2008: 73).

Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Di Amerika Serikat, Departemen Kehakiman mempunyai divisi khusus, yaitu Antitrust Division untuk menegakkan Sher-man Act. Departemen Kehakiman bersama-sama Federal Trade Commission juga ber-tugas menegakkan Clayton Act. Sedangkan untuk menegakkan Robinson Patman Act, khususnya yang menyangkut tindakan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, diserahkan kepada Federal Trade Commission. Masyarakat Ekonomi Eropah dengan European Community Commission, Jepang, Korea dan Taiwan dengan Fair Trade Com-mission (Agus Sardjono, 1998: 33 dan Ayudha D. Prayoga, ”et.al.”(Ed), 2000: 126 dan 128).

Demikian pula dengan Indonesia, pengawasan pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha diserahkan kepada suatu lembaga yang dinamakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di samping lembaga kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Pengawasan dan penegakan pelanggaran hukum persaingan usaha harus dilakukan terlebih dahulu di dan melalui KPPU, kemudian setelah itu baru dapat diserahkan kepada pejabat penyidik kepolisian untuk diteruskan ke pengadilan bilamana pelaku usaha tidak bersedia untuk menjalankan putusan yang telah dijatuhkan KPPU.

Sebenarnya dalam menegakkan hukum persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Pengadilan merupakan tempat penye-lesaian perkara yang resmi dibentuk negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh peng adilan. Alasan yang dapat dikemukakan karena hukum persaingan usaha membutuh-kan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang dan mengerti betul tentang seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang yang tidak saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan ekonomi dan bisnis (Ayudha D. Prayoga, ”et.al.”, (Ed), 2000:126).

Page 145: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 351

Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar tidak bertumpuknya berbagai perkara di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dapat dianggap sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa sepanjang pengertian alternatif disini diluar pengadilan. Di Indonesia lembaga yang demikian, yang sering kali dianggap sebagai kuasi yudikatif sudah lama dikenal (Ayudha D. Prayoga et. al. (Ed), 2000:126).

Pembentukan kelembagaan KPPU ini didasarkan kepada amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang mengamanatkan pembentukan suatu komisi, yang akan mem-punyai otoritas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:

”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.”

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 diketahui bahwa pembentukan KPPU itu dimaksudkan untuk ”mengawasi” pelaksanaan hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Salah satu fenomena yang cukup menarik dalam perkembangan hukum ketatanegaraan modern adalah berkaitan dengan kemunculan lembaga-lembaga negara khusus (auxiliary state’s organ)yang sering disebut dengan komisi-komisi negara dengan dasar pelaksanaan tugasnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Keberadaan lembaga-lembaga negara khusus ini pada dasarnya merupakan suatu kewajaran atau bahkan dapat dikatakan keharusan mengingat semakin tingginya ekspektasi publik akan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik dan terimplementasinya nilai-nilai demokrasi yang dalam kenyataannya selama ini tidak dapat dijalankan dengan baik oleh lembaga-lembaga negara yang ada (Sukendar, 2009: 177).

Di beberapa negara maju, pelaksanaan demokrasi dan seiring dengan perkembangan masalah-masalah yang muncul, tidak cukup hanya dengan mengandalkan cabang-cabang kekuasaan yang diperkenalkan oleh Montesquieu. Cabang-cabang kekuasaan itu dipandang tidak mampu dan tidak efektif lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan justru cabang-cabang kekuasaan itulah yang menjadi masalah utama peme-rintahan berjalan tidak demokratis (Sukendar, 2009: 177).

Reformasi konstitusi melalui amandemen UUD 1945 yang sudah dilaksanakan se-banyak empat kali telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi sistem ketata-negaraan Indonesia. Perubahan tersebut tidak hanya mencakup reposisi kewenangan dari lembaga-lembaga negara yang ada (lembaga-lembaga negara utama) misalnya melalui penghapusan dikotomi antara lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi melalui pereduksian kekuasaan negara yang asalnya dimiliki oleh MPR serta penegasan kewe-nangan legislasi yang dimiliki oleh DPR, tapi amandemen konstitusi juga ditandai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara baru di luar lembaga-lembaga negara utama (Sukendar, 2009: 187).

Page 146: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

352 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

Pembentukan KPPU dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari semangat reformasi yang berlangsung pada waktu itu, meskipun terbentuknya KPPU melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 terlebih dahulu ada sebelum amandemen UUD 1945 yang berlangsung beberapa waktu kemudian (perubahan pertama UUD 1945 berlangsung pada sidang umum MPR tahun 1999), hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan ada-nya lembaga negara diluar lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 memang merupakan sesuatu yang memang sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Sukendar, 2009: 187).

Kedudukan KPPU dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga dapat dilihat sebagai bagian demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan yang saat ini cenderung mengalami pergeseran dari pola lama melalui tiga lembaga negara utama seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Keberadaan KPPU atau lembaga-lembaga negara khusus lainnya juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk koreksi bagi penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara sebelumnya yang dinilai berjalan tidak efektif (Sukendar, 2009: 187).

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPPU memiliki sejumlah kewenangan, sebagaimana dikemukakan secara rinci dalam ketentuan Pasal 36 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. KPPU tidak hanya berwenang menerima laporan dari masya rakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan curang, tetapi proaktif berwenang untuk melakukan penelitian, melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan, menyimpulkan hasilnya, memanggil pelaku usaha, memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, meminta bantuan penyidik, me minta keterangan dari instansi pemerintah, mendapatkan dan meneliti serta menilai dokumen dan alat bukti lain, memutuskan dan menetapkan, serta menjatuhkan sanksi tindakan administratif.

Kewenangan yang diberikan kepada KPPU oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup luas dan terinci dan tidak jauh berbeda dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Komisi di negara lain. Namun demikian, ada kewenangan yang dimiliki oleh Komisi negara lain, tetapi tidak dimiliki oleh Komisi Indonesia, yaitu kewe nangan untuk mengajukan suatu perkara yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat ke pengadilan. Kewenangan seperti ini dimiliki oleh Federal Trade Commission, di mana Federal Trade Commission dapat memasukkan gugatan perdata pada pengadilan distrik atau federal untuk mempertahankan prosedur atau putusan administrasi yang telah ditempuhnya dalam menangani suatu perkara persaingan usaha. Hal yang sama juga dimiliki oleh Komisi Jepang, yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dalam hal yang berhubungan dengan holding company, filing of merger dan waiting period of merger (Ayudha D. Prayoga, ”et.al.”, (Ed), 2000:135).

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, secara lengkap kewenangan yang dimiliki KPPU meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

Page 147: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 353

2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;

4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan f pasal ini, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

8. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penye-lidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;

9. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

11. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

12. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Dapat dilihat bahwa rumusan kewenangan KPPU cakupannya sangat luas, karena ada unsur wewenang administratif, ada unsur quasi legislative power, dan unsur quasi judicial power. Di kemudian hari, tiga kekuasaan yang berada dalam tangan satu lem baga akan banyak menimbulkan persoalan baik dari segi keseimbangan (check and balance) maupun dari segi praktik pelaksanaannya (Johnny Ibrahim, 2006: 265).

Namun sesungguhnya kewenangan KPPU hanya terbatas pada kewenangan admi-nistratif semata-mata. Sungguhpun ada kewenangan yang mirip dengan kewenangan badan penyidik, badan penuntut, bahkan badan pemutus, tetapi itu semua hanya semata-mata dalam rangka menjatuhkan hukum administrasi saja, tidak lebih dari itu. Karena itu, badan penyidik bukanlah suatu polisi khusus, atau badan penyidik sipil, dan juga dia tidak punya kekuatan eksekutorial, yakni keputusan yang sederajat dengan putusan hakim. Karena itu, putusan KPPU dapat langsung dimintakan penetapan eksekusi (fiat executie) pada Pengadilan Negeri yang berwenang tanpa harus beracara sekali lagi di pengadilan tersebut (Munir Fuady, 1999: 103-104).

Page 148: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

354 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

Dalam konteks kelembagaan suatu negara, sebenarnya keberadaan KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary) yang mempunyai tugas multi kompleks dalam mengawasi setiap gerak, langkah serta praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Para pelaku usaha di Indonesia dalam melakukan aktivitas bisnis usahanya semakin massive dalam berbagai bidang dengan tampilan serta berbagai modifikasi strategis untuk memenangkan setiap persaingan (L. Budi Kagramanto, 2008: 232).

Disini dapat dikemukaan terdapat alasan filosofis dan sosiologis dibentuknya lem-baga KPPU ini. Alasan filosofis yang dijadikan dasar pembentukannya yaitu dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat). Dengan kewenangannya yang berasal dari negara ini diharapkan lembaga pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya serta sedapat mungkin mampu untuk bertindak secara independen. Adapun alasan sosiologis yang dijadikan dasar pembentukan KPPU, karena menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain dunia usaha membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri atas orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan hukum, sehingga penyelesaian yang cepat dapat terwujud (Ayudha D. Prayoga, ”et.al.” (Ed), 2000:128).

Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi). Peran sebuah lembaga independen semu negara (qua-si) menjadi penting sebagai upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke demokrasi. Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya sudah diakomodasi oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan ke-adaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya dibentuk pada sector-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-public), yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa kewenangan lembaga negara di sektor yang sama (Andi Fahmi Lubis, ”et.al.”, 2009: 311-312).

Pembentukan KPPU bertujuan untuk menjamin iklim usaha yang kondusif, dengan adanya persaingan yang sehat, sehingga ada kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Selain itu, KPPU ini diben-tuk juga untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan usaha. KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum persaingan usaha, Namur KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administrati-

Page 149: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 355

ve karena kewenangan yang melekat padanyaadalah kewenangan administratif, sehing-ga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif (Andi Fahmi Lubis, ”et.al.”, 2009: 312-313).

Selain mempunyai kewenangan administratif (administrative power), KPPU juga mempunyai kewenangan pula untuk membuat peraturan (quasi-legislative power). Hal ini dapat dicermati dari ketentuan dalam Pasal 35 huruf f Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan, di mana KPPU berwenang untuk mengisi kekosongan hukum dalam rangka pelaksanaan yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Pedoman maupun peraturan yang akan dibuat KPPU tersebut tidak hanya berlaku secara internal saja, tetapi juga berlaku secara eksternal, yakni baik terhadap KPPU maupun pelaku usaha serta instansi lainnya yang terkait dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia.

Integritas dan independensi dari KPPU sangat menentukan untuk mengisi kekosongan-kekosongan peraturan maupun pedoman dalam persaingan usaha. Diharapkan KPPU dapat mengantisipasi semaksimal mungkin intervensi politik atau pengaruh dari pihak-pihak lain (Ayudha D. Prayoga et.al. (Ed),2000:134).

Sangat diharapkan KPPU nantinya dapat benar-benar bertindak proaktif untuk mem-pengaruhi kebijakan Pemerintah dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan prak tek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Seandainya melihat pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak memadai untuk menunjang tugas dan wewenangnya, KPPU dapat mengajukan saran dan pertimbangan kepada Peme rintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenangnya. Demikian pula KPPU juga harus membuat pedoman (guideline) atau aturan main yang jelas, baik baginya sendiri maupun bagi pelaku usaha. Bagaimana prosedur dan proses beracara di KPPU, apakah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 cukup memadai. Kalau tidak, KPPU harus membuat sendiri pedo-man beracara tersebut (Ayudha D. Prayoga, ”et.al.”, (Ed), 2000:134).

Sebagai bahan perbandingan, Komisi Masyarakat Ekonomi Eropa juga dapat meng-usulkan kepada Dewan Menteri untuk mengeluarkan peraturan yang memberikan ke-wenangan-kewenangan tertentu kepada Komisi. Hal ini dilakukan Komisi karena me-lihat kewenangan yang diberikan atau diperoleh dari Article 85 dan 86 Perjanjian Roma kurang memadai bagi Komisi untuk melaksanakan Hukum Persaingan Masyarakat Ekonomi Eropa. Selanjutnya Federal Trade Commission juga mengeluarkan Trade Regulation Rules, yang menetapkan cakupan Section Federal Trade Commission Act untuk praktek-praktek industri tertentu. Bersama-sama dengan Justice Department, Federal Trade Commission mengeluarkan the Justice Departmenet/FTC 1992 Horizontal Merger Guidelines (Ayudha D. Prayoga, ”et.al.”, (Ed), 2000:134).

Dengan dibentuknya KPPU diharapkan dapat melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif antarpelaku usaha. Dalam rangka melakukan tugas dan fungsinya untuk menegakkan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun

Page 150: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

356 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

1999, maka KPPU sekaligus menjalankan fungsi-fungsi eksekutif (administrative power), legislatif (quasi legislative power), yudikatif (quasi judicial power) dan konsultatif .

Status Hukum dan Keanggotaan Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Sudah sewajarnya bilamana KPPU berstatus atau berkedudukan sebagai suatu lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsi mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya usaha agar tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan curang.

KPPU sangat penting dibentuk sebagai lembaga yang independen supaya dalam memutuskan keputusannnya berdasarkan Hukum Antimonopoli, bukan karena petunjuk pemerintah atau pengaruh pihak lain. Dengan kata lain KPPU akan menerapkan Undang-undang Antimonopoli sebagaimana mestinya sehingga terciptanya persaingan usaha yang sehat dan kondusif (M. Udin Silalahi,2007: 272).

Status hukum KPPU sebagai lembaga independen tersebut telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian diper-tegas lagi dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999. Dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan, bahwa:

”Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.”

Sebelumnya ketentuan dalam Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:

”Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Sementara itu dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 dinyatakan, sebagai berikut:

”Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga non struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.”

Hal ini merupakan penegasan secara formal kewajiban pemerintah untuk tidak mem pengaruhi KPPU dalam menerapkan undang-undang. Penekanan ini menunjukkan pentingnya arti kebebasan KPPU, dan kebebasan tersebut juga diakui oleh DPR dan pemerintah. KPPU tidak hanya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, me-lainkan juga dari pengaruh pihak lain, seperti misalnya lembaga kemasyarakatan atau kelompok masyarakat yang memegang kekuasaan keuangan atau ekonomi. Kemandirian KPPU yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut merupakan hak istimewa yang diperlukan untuk dapat melaksanakan undang-undang secara efisien, dan dengan sendirinya KPPU berkewajiban untuk memelihara ketidaktergantungan tersebut dan tidak dapat membuka diri terhadap pengaruh luar (Suyud Margono, 2009: 140).

Page 151: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 357

Jadi, dalam konteks sistem pemerintahan negara, sangat jelas status hukum KPPU ini, yaitu sebagai lembaga independen non struktural, artinya bukan bagian dari dan tidak berada dalam struktur pemerintahan negara (departemen). KPPU dibentuk secara khusus untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Antimonopoli.

Status kelembagaan KPPU yang demikian untuk menghindari suatu struktur ko-mando dari suatu departemen atau lembaga yang lebih tinggi. Artinya secara yuridis KPPU sebagai institusi sudah dibentuk sedemikian rupa supaya tidak ada jalur komando yang memberi perintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya (M. Udin Silalahi, 2007: 272).

Namun demikian, dalam melaksanakan tugasnya mengawasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, KPPU tetap bertanggung jawab kepada Presiden dalam kedudukan sebagai Kepala Negara, berhubung KPPU juga melaksanakan sebagi-an tugas-tugas pemerintahan negara, yaitu melaksanakan undang-undang. Hal ini sesu-ai dengan sistem ketatanegaraan Indonesia dibawah Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan. Atas dasar itulah dalam melaksanakan tugasnya, KPPU dinyatakan bertanggung jawab kepada Pre-siden. Demikian hal ini dinyatakan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa “Komisi bertanggung jawab kepada Presiden”.

Praktek di negara-negara lain yang lebih dahulu mempunyai undang-undang per-saingan usaha, juga memperlihatkan bahwa Komisinya bertanggung jawab kepada kepa-la pemerintahan (Presiden atau Perdana Menteri). Di Amerika Serikat misalnya, dalam Federal Trade Commission Act Section 1 dinyatakan bahwa “…. Any Commissioners may be removed by the President for inefficiency, neglect of duty, or malfeasance in office”. Hal ini juga dapat dilihat pada Section 27 (2) dari Anti Monopoly Act Jepang, yang menyatakan bahwa “The Fair Trdae Commission shall be administratively attached to the Prime Minister”. Di India juga misalnya, di mana Monopolies and Restrictive Trade Commission-nya dibentuk oleh Pemerintah (Ayudha D. Prayoga et.al. (Ed), 2000:129).

Keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sesungguhnya tidak terlalu ditentukan pada independensi KPPU dalam melaksanakan tugas, tetapi banyak ditentukan oleh keanggotaannya. Karenanya KPPU harus mempunyai atau terdiri dari anggota-anggota yang terpilih dan terpercaya (credible) serta memiliki integritas dan komitmen moral yang tinggi, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga yang profesional dalam bidangnya (bandingkan Muchtar, 1999:23).

Walaupun bertanggung jawab kepada Presiden, pengisian keanggotaan KPPU tidak semata-mata di tangan Presiden, akan tetapi melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pula. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 31 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menetapkan sebagai berikut:

Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Page 152: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

358 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

(3) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Jadi, berdasarkan ketentuan di atas, maka pengangkatan dan pemberhentian ang-gota KPPU dilakukan oleh Presiden atas persetujuan DPR, dengan masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan KPPU, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Perpanjangan masa keanggotaan KPPU ini untuk menghindari kekosongan keanggotaan KPPU tersebut tidak boleh lebih dari satu tahun.

Dengan adanya persetujuan dari DPR ini diharapkan anggota KPPU adalah orang-orang yang mempunyai integritas kepribadian dan keilmuan yang tinggi dan benar-benar dapat menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat secara keseluruhan dengan menjaga independensinya. Persetujuan dari rakyat ini sangat penting, karena dapat menaikkan kredibilitas KPPU itu sendiri. Hal ini juga dilakukan oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Jepang (Ayudha D. Prayoga et.al. (Ed), 2000:130).

Dalam dunis bisnis, integritas moral dan kepercayaan merupakan unsur penting yang sangat menentukan. Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya pemilihan Ketua dan anggota KPPU wajib melalui fit and proper test. Sayangnya prosedur rekrutmen calon anggota KPPU tersebut menjadi salah satu kendala untuk memperoleh calon yang benar-benar bermutu, karena pada kandidat yang memiliki kemampuan intelektual dan pro fesional merasa tidak terpanggil untuk mengikuti proses seleksi yang prosedurnya dibuat seperti mencari atau melamar pekerjaan saja. Jika kandidat yang melamar menjadi anggota KPPU hanya karena terdorong untuk mengisi lowongan sebagaimana biasa dalam prosedur mencari pekerjaan, maka sulit sekali memperoleh kandidat anggota KPPU yang ideal. Asumsinya mereka yang merasa memiliki kemampuan dalam dunia profe sional maupun akademisi, mereka dicari karena diperlukan. Mereka bukan lagi mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup mereka telah ter penuhi, jadi tidak perlu antre layaknya mencari pekerjaan biasa. Fenomena seperti itu bukan hanya terjadi dalam menjaring anggota-anggota KPPU, tetapi dalam bentuk lain juga berlaku untuk menduduki jabatan-jabatan lain serta rekrutmen menjadi anggota berbagai komisi lain (Johnny Ibrahim, 2006: 262-263).

Sehubungan dengan itu, maka Pemerintah maupun DPR dalam mengusulkan dan memberikan persetujuan terhadap anggota KPPU sudah seyogyanya harus memper-hatikan persyaratan dan proses rekrutmen keanggotaan KPPU tersebut, sehingga dapat menghasilkan keanggotaan KPPU yang berintegritas dan kapabilitas.

Page 153: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 359

SIMPULAN

Simpulan

Dasar pembentukan KPPU adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang kemudian ditindak-lanjuti dengan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Persaingan Usaha. Kehadiran KPPU merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam rangka untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. KPPU tersebut merupakan lembaga negara khusus atau semacam komisi negara di luar konstitusi yang diberikan tugas dan kewenangan khusus melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi berupa tindak administratif kepada pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Secara kelembagaan, kedudukan hukum KPPU merupakan lembaga negara khusus (auxiliary state’s organ), yang mempunyai sejumlah kewenangan sekaligus dalam bidang eksekutif (administrative power), legislatif, yudikatif maupun konsultatif dalam kon-teks penegakan hukum persaingan usaha. Status hukum kelembagaan KPPU bersifat independen, yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain.

Page 154: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

360 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 1999. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Ban-dung: PT Citra Aditya Bakti.

Ginting, Elyta Ras. 2001. Hukum Antimonopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hermansyah. 2008. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.

Ibrahim, Johnny. 2006. Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasi Penera-pannya Di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.

Juwana, Hikmahanto, Ningrum Natasya Sirait, Ayudha D. Prayoga, Hamid Chalid, Laode M. Syarif, Syarifuddin, Aria Suyudi, dan M. Doddy Kusadrianto. 2003. Peran Lembaga Peradilan Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha. Jakarta: Partnership For Business Competition.

Kagramanto, L. Budi. 2008. Mengenal Hukum Persaingan Usaha: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Surabaya: Laros.

Kusumawati, Lanny. 2007. Hukum Persaingan Usaha. Sidoarjo: Laros.

Lubis, Andi Fahmi, “et.al.”. 2009. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Margono, Suyud. 2009. Hukum Antimonopoli. Yakarta: CV Sinar Grafika.

Nusantara, Abdul Hakim G dan Benny K. Harman. 1999. Analisa dan Perbandingan Undang-undang Antimonopoli (Undang-undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia). Jakarta: PT Elok Komputindo.

Prayoga, Ayudha D., et.al. (Ed). 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS.

Rokan, Mustafa Kamal. 2010. Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Siswanto, Arie. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sitompul, Asrill. 1999. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Usman, Rachmadi. 2004. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 1999. Anti Monopoli. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Page 155: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Rachmadi Usman, Kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam....| 361

Artikel

Anggara, Stefino. 2009. ”Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Peradilan Khusus (Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman)”. Jurnal Hukum Persaingan Usaha Edisi 1. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia.

Gaffar, Firoz. 2006. “Hukum Acara Persaingan Usaha: Telaah Kritis Atas Sejumlah Problem”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 25 Nomor 1. Jakarta: Yayasan Pengem-bangan Hukum Bisnis.

Gisymar, Najib A. 2002. “Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Catatan Peluang Masalah Terhadap Penegakan Hukum UU No. 5 Tahun 1999)”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 19. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.

Maarif, Syamsul. 2003. ”Beberapa Hambatan Dalam Implementasi Hukum Persaingan di Indonesia”, dalam Proceedings Undang-Undang No. 5.1999 dan KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

Muchtar. 1999. “Pemikiran, Filosofi, Prinsip Dasar dan Visi UU No. 5/199”, dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Newsletter Nomopr 37 Tahun X. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. 2003. ”Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Status, Wewenang dan Tugasnya”, dalam Proceedings Undang-Undang No. 5.1999 dan KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

Sardjono, Agus. 1998. “Pentingnya Sistem Persaingan Usaha yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian”. Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.

Silalahi, M. Udin. 2000. “Undang-Undang Antimonopoli Indonesia: Peranan dan Fungsinya Di Dalam Perekonomian Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 10. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. “Latar Belakang, Sejarah, dan Tujuan UU Larangan Mo-nopoli”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 19. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.

Subagiono, Sigit Handoyo. 17 Mei 2010. ”Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Luar Biasa Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Memberikan Putusan”. Dalam http://www.legalitas.org.”, diunduh tanggal 8 Juli 2010.

Sukendar. 2009. ”Kedudukan Lembaga Negara Khusus (Auxiliary State’s Organ) dalam Konfigurasi Ketatanegaraan Modern Indonesia: (Studi Mengenai Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia)”. Jurnal Hukum Persaingan Usaha Edisi 1. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia.

Page 156: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

362 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 343-362, ISSN 2085-6644

Peraturan perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Per-saingan usaha Tidak Sehat.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Page 157: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

DEMOKRASI DAN KETATANEGARAAN INDONESIA

M. Rifqinizamy Karsayuda*

[email protected], Fakultas HukumUniversitas Lambung MangkuratBanjarmasin

Abstract: Democracy ideology that is claimed with several countries, is usual not ideal in practices land. Indonesia as country that people souverignity and rule of law principles in its constitution ruled democracy principles in UDD 1945. This paper will be inventerise teoritical discourse about democracy and look in depth the choice of democracy in Indonesia as possibility choices than other ideology.

Keywords: democracy, Indonesia, constitutional

Abstrak: Ideologi demokrasi yang diklaim oleh berbagai negara sekarang ini kerap kali ditolak lantaran tak seideal gagasannya di ranah implementatif. Indonesia yang secara konstitusional menyatakan diri sebagai penganut kedaulatan rakyat, serta negara hukum menegaskan pengaturan berbagai asas tentang demokrasi dalam UUD 1945. Tulisan ini, selain menginventarisir diskursus teoritikal soal demokrasi, juga memperllihatkan betapa secara yuridis ketatanegaraan pilihan terhadap ideologi ini dianggap paling memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

Kata kunci: demokrasi, Indonesia, ketatanegaraan

Sebagai sebuah ideologi, demokrasi kerap dihadapkan pada dua realita. Di satu pihak, demokrasi biasanya dijadikan ideologi yang menjadi basis bagi terciptanya pemerintahan yang aspiratif. Sedangkan di sisi yang lain, demokrasi kerap ditolak, karena klaim kebe-naran yang dipegang demokrasi bersandar pada kebenaran mayoritas. Bagi para peng-kritik demokrasi, kebenaran mayoritas tidak selamanya menghadirkan kebenaran yang sesungguhnya. Ujung dari kritik terhadap demokrasi ini biasanya ditunjukkan me lalui pelbagai realita penyimpangan demokrasi di berbagai negara belakangan ini. Rea lita yang memperlihatkan ketidaksingkronan antara nilai-nilai demokrasi dengan ter ciptanya keteraturan di masyarakat.

Penolakan terhadap demokrasi sesungguhnya berlangsug sejak ribuan tahun silam, bahkan di masa-masa awal ideologi ini muncul. Arestoteles, seorang filsuf yang amat masyhur, adalah salah seorang penentangnya. Arestoteles beranggapan bahwa, demokrasi adalah bentuk pemerosotan sistem pemerintahan (Sri Soemantri, 1973: 1).

Oleh Aristoteles, demokrasi disebut sebagai mobocracy atau the rule of mob, yaitu pemerintahan yang dilakukan oleh massa, yang pada ujungnya hanya akan melahirkan anarkhisme. Aristoteles nampaknya lebih setuju dengan sistem pemerintahan yang di-ken dalikan oleh sekelompok orang terpelajar (M. Rifqinizamy Karsayuda, 2006: 12). Oleh Aristoteles ini disebut sebagai sistem pemerintahan oligharkhi dalam bentuk yang positif. Ketika pemerintahan dikendalikan oleh ataupun atas nama rakyat mayoritas,

Page 158: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

364 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 363-373, ISSN 2085-6644

maka pemrintahan tersebut sukar dikendalikan, demikian argumen penolakan Arestoteles atas demokrasi.

Meskipun demikian, belakangan hari hampir seluruh negara mengklaim menjadi negara demokrasi, termasuk Indonesia. Klausula Konstitusi kita yang menyatakan bahwa “Kedau latan berada di tangan rakyat” merupakan penerimaan terhadap ide demokrasi secara tersirat.

Tulisan ini mencoba melihat relasi antara ide demokrasi dengan sistem ketatanegaraan yang dibangun di tempat kita, yang secara sederhana dapat ditelusuri dari pelbagai penga turannya dalam UUD 1945.

TINJAUAN PUSTAKA

Tafsir Demokrasi

Sebagaimana substansinya, demokrasi secara makro ditafsirkan sebagai pemeritahan yang berasal dari rakyat sebagaimana asal kata dari demokrasi, yaitu demos yang ber arti rakyat dan cratein yang berarti pemerintahan (Miriam Budiharjo, 1983: 50). Abraham Lincon dalam pidato inagurasi Presiden-nya menyatakan demokrasi sebagai pemerin-tahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berdasarkan tafsir itu, beberapa ilmuwan memberikan kreteria demokrasi, diantaranya Bringhamm, Arend Liyphard dan Afan Gaffar.

Bringhamm memberikan lima kriteria untuk melihat apakah demokrasi betul-betul terwujud dalam suatu negara, kelima kriteria tersebut (Affan Gaffar, 2002: 6) adalah:

1. The legitimacy of government rest on a claim to represent the desire of its citizen. that is, the claim of the government to obedience to its laws is based on the govern ment’s assertion to be doing what they want its to do;

2. The organized arrangement that regulated this bargain of legitimacy is the compe titive political election. Leaders are elected at regular interval, and voters can choose among the alternative candidates;

3. Most adult can participate in the electoral process, both as voters and as candidates for important political office;

4. Citizen voters are secret and not coerced;

5. Citizen and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organi-zation.

Afan Gaffar memberikan kriteria terhadap demokrasi dalam pemahaman empirik, ada empat kriteria yang diberikannya, (Affan Gaffar, 2002: 7-9) yaitu:

1. Akuntabilitas; yakni setiap pejabat publik harus dapat mempertanggung jawab-kan kinerjanya kepada publik (rakyat), termasuk apa saja yang pernah, sedang dan akan dilakukannya;

Page 159: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

M. Rifqinizamy Karsayuda, Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia| 365

2. Adanya rotasi kekuasaan; dalam demokrasi rakyat harus diberikan kesempatan yang sama dalam memangku suatau amanah rakyat secara keseluruhan, dengan jalan terjadinya rotasi kekuasaan yang diatur jelas proses dan temponya;

3. Adanya rekrutmen politik terbuka; yakni jabatan-jabatan yang terdapat dalam institusi politik, semacam partai politik diperuntukkan untuk semua orang, tanpa memandang kolutivisme dan nepotisme. Rekrutmen politik terbuka pada akhirn ya akan mengikis oligarkhi politik dalam suatu negara;

4. Adanya penghargaan terhadap hak-hak dasar, seperti hak untuk berbicara, hak untuk berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk menyuarakan pendapat lewat media massa dan lain-lain.

Menurut Arend Liyphard ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi suatu negara yang menganut paham demokrasi, kriteria tersebut (Arend Liyphard, 1984: 10) adalah:

1. Adanya kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota perkumpulan;

2. Adanya kebebasan menyatakan pendapat;

3. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara;

4. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai jabatan pemerintahan Negara;

5. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk memperoleh dukungan atau suara;

6. Terdapat berbagai sumber informasi;

7. Ada pemilihan yang bebas dan jujur;

8. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan pemerintah, harus ter-gantung keinginan rakyat.

Menurut Sri Soemantri, jika melihat demokrasi dari pengertian harfiah diatas, maka hal tersebut tidaklah mungkin diwujudkan, oleh karena adalah mustahil orang yang ber-jumlah lebih banyak memerintah orang yang lebih sedikit (Sri Soemantri, 1973: 1). Se-hingga menurutnya, Aristoteles dalam membicarakan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada dan yang seharusnya berlaku, beranggapan bahwa demokrasi itu termasuk salah satu bentuk pemerosotan.

Oleh Aristoteles sebagaimana disinggung di pendahuluan tulisan ini, demokrasi biasa disebut sebagai mobocracy atau the rule of the mob yaitu pemerintahan yang dila-kukan oleh massa, sehingga pada akhirnya akan mendatangkan anarki. Argumentasi yang dibangun Aristoteles tersebut ada hubungannya dengan teori siklus pemerintahan yang dikemukakan oleh Polybios. Ia mengatakan bahwa mula-mula pemerintahan itu berbentuk monarki, tetapi kemudian karena manusia itu tidak sama sifatnya, maka apabila keturunan raja-raja tersebut yang merintah itu kemudian menggantikan dan me merintah dengan sewenang-wenang, maka timbullah suatu tirani, dimana raja-raja itu hanay memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri. Kemudian diantara kaum bangsawan timbul perasaan tidak puas dan menggulingkan raja-raja tersebut hingga ter jadilah aristokrasi yang sama serta tidak abadi, maka muncullah oligarkhi, yaitu

Page 160: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

366 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 363-373, ISSN 2085-6644

pemerintahan oleh sekelompok orang demi kepentingan mereka sendiri.dan pemerintahan yang demikian ini akan ditentang kembali oleh rakyat yang melahirkan demokrasi (Sri Soemantri, 1973: 2).

Sehingga apa yang disebutkan Sri Soemantri diatas dapat dipahami dalam kontek demokrasi secara formil, atau dalam makna harfiah, Sehingga adalah menarik untuk melihat demokrasi dari sisi substansinya/isinya. Untuk itu penulis mencoba mengutip pendapat Robert K. Carr sebagai berikut (Robert K. Carr, TT):

A further difficulty about divining democracy is that the term is used to describe both an ideology and an actual governmental mechanism.

people refer to the former when they talk about democratic way of life, and the letter when the talk about democracy in action. In other words, democracy is both theory and practice

(Terjemahan bebas: Suatu hal yang cukup sulit untuk mendefinisikan demokrasi adalah terjadinya pendiskripsian ganda antara demokrasi sebagai suatu ideologi dengan demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan yang dilakukan secara aktual. Masyarakat selalu mengacu pada masa lalu ketika mereka membicarakan demok rasi, baik sebagai pandangan hidup (ideologi), maupun sebagai aksi. Atau dalam bahasa lain, demokrasi akan dimaknai (oleh masyarakat) sebagai teori dan praktek).

Dalam pandangannya, Carr menyatakan bahwa dalam aras praktiknya, demokrasi bukan hanya dimaknai sebagai sebuah ideologi, melainkan juga sebagai sebuah praktek yang terjadi dalam masyarakat, terutama mengenai mekanisme pemerintah dalam menja-lankan pemerintahannya.

Dalam kerangka berpikir demikian, relevan untuk melihat demokrasi dari perspektif ilmu politik, dimana demokrasi dibagi dalam dua pemahaman, yakni; demokrasi dalam arti normatif dan demokrasi dalam arti empirik (Affan Gaffar, 2002: 3). Demokrasi dalam pemahaman normatif merupakan sesuatu yang ideal untuk diselenggarakan oleh suatu negara, nilai ideal terhadap demokrasi ini, biasa dapat ditelusuri lewat konstitusi suatu negara, di Indonesia, demokrasi dalam ranah normatif dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2), maupun Pasal 28 UUD 1945, yang menegaskan:

Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan Undang-undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) ).

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28).

Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dilihat sebagai perwujudan ke-hidupan politik praktis suatu negara sebagaimana parameter-parameter demokrasi yang disusun oleh beberapa pakar diatas (Affan Gaffar, 2002: 4).

Paham demokrasi berdasarkan kriteria-kriteria diatas berdasarkan subjek yang berdaulat atasnya, dapat dibagi menjadi:

1. Demokrasi liberal dan;

2. Demokrasi yang berketuhanan.

Page 161: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

M. Rifqinizamy Karsayuda, Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia| 367

Membagi demokrasi pada dua pemahaman, liberal dan berketuhanan, sesungguhnya mengulang kembali diskursus antara teori kedaulatan rakyat (people sovereignty) dan teori kedaulatan Tuhan (God sovereignty).

Menurut C.S.T Kansil, kedaulatan memiliki tiga karakter, yaitu asli, tertinggi dan tak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan memiliki sifat asli, karena ia bukan berasal dari ke-kua saan lain. Kedaulatan juga merupakan kekuasaan yang tertinggi dan karenanya ia tidak dapat dibagi-bagi dengan kekuasaan yang lain (SF. Marbun, 2002: 26). Jika sum-ber kedaulatan itu adalah rakyat, maka rakyat dianggap sebagai pemilik kekuasaan ter-tinggi. Karena rakyat dianggap supreme, maka pemerintahan yang terbentuk-pun mesti ber dasarkan cara-cara tertentu yang meletakkan rakyat sebagai pembentuknya.

Demokrasi dalam arti liberal biasanya dimaknai mirip dengan logika ini. Demokrasi semata-mata diletakkan sebagai suatu ideologi yang meletakkan rakyat di tempat tertinggi piramida kekuasaan. Dengan logika ini pula, segala bentuk pemerintahan yang terbentuk tanpa mengikutsertakan rakyat dianggap tidak demokratis. Tidak hanya pada titik itu saja, demokrasi liberal juga menempatkan rakyat sebagai sumber pembuatan hukum. Hukum yang demokratis adalah hukum yang dibentuk atas kehendak rakyat, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.

Hampir seluruh penganjur demokrasi mengikuti faham demokrasi liberal ini. Robert A.Dahl misalnya, ketika membahas tentang keuntungan-keuntungan demokrasi, ia menyebutkan pelbagai keuntungan yang semuanya menempatkan rakyat sebagai subjek sekaligus objeknya. Beberapa keuntungan demokrasi yang dikemukakan Dahl, (Robert A. Dahl, 2001: 84-85) antara lain:

1. Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik;

2. Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem yang lain;

3. Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya;

4. Pemerintahan demokratis dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral;

5. Pemerintahan yang demokratis dapat membantu lahirnya persamaan tingkat politik yang relatif sama.

Henry B.Mayo dalam memberikan tafsir demokrasi juga menekankan pembentukan pemerintahan oleh rakyat. Ia menyatakan: “A democratic political system is one in which public policies are made on a majority basis… (Henry B. Mayo, 1960: 70)”. Pertemuan para pakar hukum yang tergabung dalam Commission of Jurist di Bangkok juga membuat rumusan yang tidak jauh berbeda tentang demokrasi, yaitu “ a form of government where the citizens exercise the same right” (Miriam Budiharjo, 1983 : 61).

Sebaliknya, dalam teori kedaulatan Tuhan, yang diangap memiliki kekuasaan ter-tinggi adalah Tuhan. Rakyat atau manusia tetap diberikan otoritas, namun otoritas yang dimiliki rakyat bukanlah otoritas asli, melainkan pemberian dari Tuhan berdasarkan wahyu-wahyu-Nya. Dalam ideologi demokrasi, pengaruh teori kedaulatan Tuhan ini

Page 162: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

368 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 363-373, ISSN 2085-6644

merubah cara berpikir sebagian ahli tentang demokrasi sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat an sich. Disinilah titik awal lahirnya demokrasi berketuhanan.

Abu A’la Al-Maududi misalnya, dalam bukunya Al-Khilafah Wa Al-Mulk menge-mukanan tesis tentang perkawinan teori kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yeng menurutnya melahirkan satu sistem teo-demokrasi. Oleh Maududi, sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat adalah sistem terbaik, sebab selama pemerintahan dipe-gang oleh kelompok tertentu dan sifatnya tertutup hanya akan melahirkan ketidak baikan. Maududi bahkan secara tegas mengkritik praktek di masa-masa kekhalifahan Islam, termasuk kekhilafahan pasca Rasulullah yang dianggap tidak melibatkan peran masyarakat secara luas (Abu A’la Al-Maududi, 1993: 15-35).

Kendati demikian, oleh Maududi, pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat itu harus tunduk pada hukum Allah sebagai sesuatu yang tertinggi. Tuhan menurut Maududi, adalah sesuatu yang tunggal, termasuk dalam penciptaan hukum. Dalam titik inilah, manusia tak punya otoritas untuk menciptakan hukum, kecuali memberi tafsir atas ke-tidakjelasan atau kekosongan hukum berdasarkan kondisi tertentu melalui ijtihad. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi berketuhanan.

PEMBAHASAN

Munculnya gagasan mengenai negara hukum (law state), yaitu negara yang dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku, membuat ideologi demokrasi harus bersentuhan dengan gagasan ini. Sekarang ini, tak ada satu negara-pun yang tak mengakomodir gagasan negara hukum.

Tak ada negara yang diperintah, tanpa hukum yang dijunjung tinggi di negara ter-sebut. Di lain pihak, gagasan negara hukum hanya akan dapat terbentuk jika adanya pemerintahan yang demokratis, sebab hanya pemerintahan yang demokratis yang mau tunduk pada hukum yang dibuat secara aspiratif. Dari relasi itu, lahirlah ciri-ciri dari negara hukum dewasa ini, seperti berikut (Miriam Budiharjo, 1983: 38):

1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam Konstitusi;

2. Terdapatnya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3. Pemilihan Umum yang bebas;

4. Kebebasan untuk menyatakn pendapat;

5. Kebebasan untuk berorganisasi/berserikat dan berkumpul; dan

6. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Teori mengenai negara hukum ini, menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Hans Kelsen yang dilanjutkan oleh muridnya Hans Nawiasky dalam Stafenbau theory menyatakan, konstitusi sebagai gerund norm atau norma dasar dalam suatu negara. Norma dasar itu sangat bersifat asasi dan menjadi ruh bagi terbentuknya peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sebagai gerund norm, konstitusi dapat bersifat tertulis dan tak tertulis (Jimly Asshidiqqie, 2006: 200).

Page 163: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

M. Rifqinizamy Karsayuda, Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia| 369

Dalam negara hukum, pelbagai karakter dan sifat demokrasi sebagaimana dijabarkan di atas dijamin dan diatur dalam konstitusi suatu negara. Pengaturan nilai-nilai demokrasi dalam konstitusi memberikan petunjuk bahwa demokrasi dijadikan ruh bagi tata kelola negara tersebut. Dalam konteks inilah lahir negara yang demokratis berdasarkan kons-titusi.

Dalam ranah ke Indonesiaan, pembahasan terkait negara hukum dapat ditelusuri dari rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: Negara Indonesia adalah negara hukum. Di lain pihak, Indonesia juga meletakkan rakyat sebagai sesuatu yang paling berdaulat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.

Kedua rumusan di atas sekaligus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan konstitusi (UUD 1945) atau dengan kata lain, negara yang berfaham demokrasi konstitusional.

Di dalam UUD 1945 pasca amandemen terdapat karakter demokrasi yang amat menonjol dalam sistem ketatanegaraan kita. Karakter-karakter tersebut dapat ditelusuri dari batang tubuh UUD 1945, yaitu:

1. Adanya mekanisme pembentukan pemerintahan yang aspiratif melalui Pemilihan Umum. Hal ini terlihat dalam pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A), pemilihan umum anggota DPR dan DPD (Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 22C ayat (1)), serta pengaturan tentang pemilihan umum yang dilak-sanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Pasal 22E);

2. Adanya kemungkinan terjadinya rotasi kekuasaan yang terbuka melalui meka-nisme pemilihan umum yang berlangsung setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat (1)), dan pembatasan masa jabatan, seperti pembatasan masa jabatan Pre-siden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7);

3. Adanya pembagian kekuasaan yang tegas antara lembaga-lembaga negara sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Penyelenggaraan fungsi eksekutif dilak-sanakan oleh Presiden dan Wakil Presiden, serta dibantu oleh para menteri (Pasal 4,5,10,11,12,13,14,15,16 dan 17). Pelaksanaan kekuasaan legis latif dilakukan oleh DPR dan DPD (Pasal 19,20,21,22,22A,22B dan 22C) . Pelak-sanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan-peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24). Pelak-sanaan kekuasaan pengawasan/auditif dilakukan oleh BPK (Pasal 23E);

4. Hadirnya lembaga-lembaga negara penunjang (the supporting organ), seperti komisi pemilihan umum (Pasal 22E), Bank Sentral (Pasal 23 D) dan Komisi Yudisial (Pasal 24B) dalam menjalankan tugas ketatanegaraan tertentu;

5. Adanya jaminan kesetaraan hak-hak warga negara dan perlindungan hak asasi manusia, seperti kesamaan hak dalam pemerintahan, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan serta hak-hak lainnya (Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34).

Page 164: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

370 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 363-373, ISSN 2085-6644

Berdasarkan karakter-karakter demokrasi yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, maka negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut ideologi de-mokrasi dengan mengedepankan kedaulatan rakyat sebagai panglimanya. Ide demok-rasi-liberal demikian dianut Indonesia, dikarenakan beberapa alasan:

1. Alasan Sosiologis

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia terdiri dari ribuan suku, serta ratusan agama, mulai dari agama-agama resmi yang diakui negara hingga agama-agama lokal yang dianut oleh komunitas stink tertentu di berbagai wilayah Indonesia.

Keanekaragaman itu, membuat Indonesia tidak mungkin memiliki satu ideologi tunggal, termasuk dalam merumuskan Konstitusinya. Demokrasi ber-ketuhanan misalnya, akan sangat sukar diterapkan di Indonesia, sebab tafsir “Tuhan” akan diterjemahkan beragam oleh beragam komunitas yang ada. Dalam tataran perumusan sumber hukum, akan ditemukan kesulitan, sebab sumber hukum “Tuhan” mana yang dapat dipergunakan.

2. Alasan Politis

Multikultural dan multi-ideologi masyarakat Indonesia membaginya ke-pada setidaknya tiga kelompok ideologi, yaitu : Islam, nasionalis dan sekuler. Ketiga Ideologi itu belakangan mengerucut pada dua kelompok ideologi, Islam dan Nasionalis.

Kedua kelompok ini semakin mengkristal dalam arena politik Indonesia. Kalangan nasionalis yang mendapat ikutan dari kalangan sekuler dan kelompok non-Islam lebih nyaman dengan penggunaan demokrasi-liberal sebagaimana ruh UUD 1945 di atas. Dan tidak pada tempatnya, kalangan Islam untuk memaksakan ideologi Islamnya demi tegaknya teo-demokrasi, sementara kesatuan bangsa adalah jaminannya.

3. Alasan Historis

Secara historis, digunakan ideologi demokrasi dalam Konstitusi kita terkait dengan sejarah terbentuknya republik ini di masa lalu. Dalam teori pembentukan negara, terdapat dua alasan terbentuknya suatu negara.

Pertama: terbentuknya negara berdasarkan kesamaan etnik atau suku. Mun culnya negara atas alasan ini memungkinkan keberlangsungan negara dalam jangka yang panjang, bahkan dalam beberapa kajian, negara-negara yang telah terpecah dapat bersatu kembali atas alasan kesamaan etnik ini Hal ini dapat dilihat dari bersatunya kembali Jerman Barat dan Timur menjadi Konfederasi Jerman, China dan Hongkong, kedepan mungkin antara Korea Selatan dan Utara.

Kedua: negara terbentuk atas alasan persamaan nasib. Nasib dalam konteks ini bias dikarenakan adanya persamaan nasib atas keterjajahan oleh bangsa lain, kemiskinan, keterbelakangan dan lain sebagainya. Indonesia yang sebelum ke-mer dekann terdii dari daerah-daerah memiliki kesamaan atas penjajahn yang

Page 165: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

M. Rifqinizamy Karsayuda, Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia| 371

berlangsung ratusan tahun. Kesamaan nasib terjajah inilah yang menghimpun daerah-daerah tersebut menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.

Secara teoritis, negara yang terbentuk oleh persamaan nasib rawan dengan disintegrasi. Salah satu cara agar disintegrasi itu terhindari adalah dengan membuat banyak konsensus dalam pelbagai perumusan ketatanegaraan. Indonesia memilih demokrasi –liberal dalam konstitusinya sebagai konsensus ke tata negaraan untuk menjaga diri dari disintegrasi.

Pilihan para pendiri negara untuk membentuk negara kesatuan di Indonesia juga dilatar belakangi oleh kekhawatiran akan “retaknya” bangsa ini, jika menggunakan bentuk federal yang konsekwensinya memberikan ruang amat besar bagi setiap daerah yang nyata-nyata berbeda dan berpotensi meretas jalannya masing-masing.

Pilihan membentuk negara menjadi kesatuan dengan tidak begitu banyak memberi ruang aspirasi kepada daerah belakang dikoreksi pula dengan melahirkan kebijakan otonomi daerah. Secara filosofis, otonomi daerah adalah bentuk demokratisasi terhadap daerah dalam pembuatan kebijakannya.

Secara yuridis, terminologi otonomi daerah diatur dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:

“otonomi daerah adalah hak, kekuasaan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dalam rangka menjalankan otonomi daerah tersebut, setiap daerah memiliki keku-asaan dalam berbagai bidang, kecuali yang menjadi kekuasaan pemerintah pusat. Kekuasaan pemerintah pusat tersebut ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu meliputi kekuasaan dalam bidang :

1. Politik luar negeri;

2. Pertahanan;

3. Keamanan;

4. Peradilan;

5. Moneter dan fiskal;

6. Agama.

Berdasarkan aturan di atas, otonomi daerah jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada setiap daerah. Menurut Jimly Asshiddiqie, otonomi daerah di Indonesia dilihat dari pembagian kekuasaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat tidak jauh berbeda dengan di negara yang menganut bentuk federal (Jimly Asshiddiqie, 1999: 12). Hal ini dilandaskan pada teori kekuasaan residu (sisa) atau residual power di suatu negara. Di negara-negara federal umumnya, kekuasaan sisa berada di pemerintahan federal (pusat), sementara kekuasaan yang proporsinya lebih banyak justru berada di negara-negara bagian (Finer, S.E, 1995: 134).

Jika konsekwen menerapkan asas dan pembagian kewenangan otonomi sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan pelbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-

Page 166: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

372 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 363-373, ISSN 2085-6644

undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana disebutkan di atas, maka banyak sekali urusan pemerintahan yang berada di daerah. Sekali lagi ini adalah bagian dari bentuk demokratisasi secara konstitusional dalam pembagian kekuasaan pusat dan daerah di Inonesia.

Sayangnya, selain enam urusan pemerintahan yang masih menjadi hak pemerintah pusat, berbagai urusan yang semetinya diserahkan kepada daerah juga masih diurusi oleh pusat, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyanderaan itu dilakukan dengan membuat regulasi turunan dibawah UU dalam bentuk Peraturan Pemerintah. PP yang dimaksudkan melakukan penyanderaan itu ialah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam PP tersebut, urusan pemerintahan dibagi atas dua jenis, yaitu : urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah, serta urusan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tersebut dinyatakan terdapat 31 urusan yang menjadi urusan pemerintahan (pusat). Sedangkan urusan yang dibagi bersama dengan pemerintahan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.

Beberapa contoh, otonomi yang semestinya menjadi domain urusan daerah, na-mun masih tersandera di tangan pusat adalah, tersanderanya otonomi politik melalui sistem kepartaian yang bersifat nasional, otonomi pendidikan melalui standarisasi dan pengaturan kurikulum nasional, otonomi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam melalui perizinan dan pembagian royalti yang tidak proporsional dan pelbagai ranah otonomi lainnya yang nyatanya masih dikuasai pusat adalah potret pelaksanaan otonomi daerah setengah hati sekarang ini (M. Rifqinnizamy Karsayuda, 2009).

SIMPULAN

Simpulan

Demokrasi sebagai sebuah ideologi nyatanya mendasari kehidupan ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana termaktub dalam klausula Konstitusi Republik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi, demokrasi memiliki nilai-nilai yang selalu dapat disesuaikan dengan pelbagai sistem ketatanegaraan yang tersedia. Demokrasi sesungguhnya dapat tumbuh dalam sistem pemerintahan presidensial, parlementer, bahkan khilafah dalam pengertian tertentu. Ia juga dapat menembus batas bentuk negara, seperti kesatuan, federal, maupun konfederal.

Page 167: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

M. Rifqinizamy Karsayuda, Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia| 373

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, Abu A’la, 1993, Khilafah dan Kerajaan, terjemahan, Jakarta: Penerbit Mizan.

Gaffar, Afan, 2002, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Liyphard, Arend, 1984, Democracies, USA: Yale University, USA.

Finer, S.E.et.al, 1995, Comparing Constitutions. Oxford: Clarendon Press.

Mayo, Henry B, 1960, An Introduction to Democratic Theory, Ney York: Oxford University Press.

Asshiddiqie, 2006, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta: Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 1999, Reformasi Hukum Nasional. Makalah Seminar Kelompok Kerja Nasional Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Sekretariat Negara.

Karsayuda, M.Rifqinizamy, 2009, Memaksimalkan Ruang Otonomi Berbahan Lokal, Makalah yang disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk “IDENTITAS LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH (Studi Kasus Manajemen Ilahiyah di Kabupaten Tanah Bumbu)” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) bekerjasama dengan The Wahid Institute di Hotel Arum Banjarmasin, 20 Juni 2009.

Karsayuda, M.Rifqinizamy, 2006, Pilkada : Perspektif Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Total Media.

Miriam Budiharjo, 1983, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Mandiri.

S.F.Marbun, et.al, 2002, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.

Robert A. Dahl, 2001, On Democracy , edisi terjemahan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sri Soemantri, 1973, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni.

Page 168: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 169: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

LEMBAGA JAMINAN KEBENDAAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH

Nurunnisa*

[email protected], Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: The Guarantee institution Property in syariah economic law is Ar-rahn, because in Islamic law is not deviation of property likes in Burgelijk wet Books but looked halal or haram, and way of owning property is three immediately that is individual process, general process and country process. And its legal consequences as emptiness law should’n be other choice with should to perform connection the guarantee institution property with, Hak Tanggungan, Fidusia, Hipotek and Gadai. It should settlement the guarantee institution property there be still in Civil court not be Religion Court as though in the Act Number 3 of Year 2006 that to mention settlement Economic Law is authority in Religion of Court.

Key words: The Guarantee Institution Property, Syariah Banking, Syariah Economic Law.

Abstrak: Lembaga jaminan kebendaan dalam hukum ekonomi syariah adalah Ar-rahn, karena dalam hukum Islam tidak ada pembedaan kebendaan seperti halnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, akan tetapi melihat kepada halal atau haramnya, dan kepemilikan benda yang terbagi dalam tiga hal yaitu kepemilikan individual, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Dan secara hukum ini menimbulakn kekosongan hukum yang mengakibatkan tidak ada pilihan lain kecuali memilih lembaga jaminan kebendaan konvensional seperti Hak Tanggungan, Fidusia, Hipotek dan Gadai. Hal ini juga meng-akibatkan penyelesaian tentang lembaga jaminan kebendaan akan masuk dalam perkara Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama, padahal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah menyatakan bahwa masalah hukum ekonomi Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

Kata kunci: Lembaga Jaminan Kebendaan, Bank Syariah, Hukum Ekonomi Syariah.

Modal menjadi bagian penting dalam bisnis ataupun kebutuhan hidup, karenanya jika mempunyai rencana dalam mengembangkan usaha faktor modal menjadi kunci utama didalamnya. Untuk mendapatkan modal tambahan, ada banyak sumber dana untuk bisa mendapatnya, misalnya melalui sebuah institusi yang bernama bank. Akan tetapi untuk mendapatkan penyaluran dana baik sebagai modal ataupun pembiayaan yang lain kepada Perbankan maka akan ada persyaratan yang selalu menyertainya. Pada prinsipnya pihak perbankan akan menilai sesuai dengan prinsip 5C, yakni capital (modal), character (karakter), capacity (kapasitas), condition (kondisi) dan collateral (jaminan), karena pada dasarnya pihak bank akan selalu mengutamakan kehati-hatian bagaimana caranya bisa mempertahankan nasabah menjadi loyal. Selain prinsip-prinsip

Page 170: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

376 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

yang diutamakan oleh bank tersebut Perbankan juga memerlukan peraturan perundang-undangan yang melindunginya dalam negara hukum ini. Secara yuridis perbankan diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sejalan dengan waktu, dunia Perbankan juga diramaikan dengan kehadiran Perbankan Syariah, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut memberikan ruang kesempatan untuk munculnya bank yang berprinsipkan syariah. Dan pada akhirnya dunia Perbankan Syariah ini mempunyai nasabah dan pasar yang bisa diperhitungkan dalam dunia ekonomi negara.

Dengan hadirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka secara yuridis sistem Perbankan Syariah sudah memiliki perundang-undangan yang mengaturnya, atau dengan kata lain Perbankan Syariah sudah memiliki payung hukum atas segala aktifitas yang sudah lama tumbuh dan berkembang di masyarakat serta lembaga keuangan dan bank konvensional yang membuka unit usaha syariah.

Pada dasarnya bank mempunyai kewajiban untuk menawarkan pembiayaan ke-pada investor dengan pola yang sudah diatur dalam dunia Perbankan. Dalam pola pem-biayaan ini seorang kreditur yang mendapat fasilitas dari bank secara umum akan ber-tanggungjawab terhadap pihak bank selaku debitur. Pihak kreditur secara umum akan menjamin dipenuhinya kewajiban kepada debitur, dimana jaminan ini berupa jaminan tambahan yang dikonstruksikan sebagai agunan oleh pihak bank, yang nantinya akan diserahkan pihak debitur kepada pihak bank. Mengenai agunan ini didalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam Pasal 1 ayat 23 menyebutkan: ”Jaminan tambahan di-serah kan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasiltas kredit atau pem biayaan berdasarkan prinsip syariah”. Dari pemaparan pasal tersebut diatas dapat dilihat unsur-unsur agunan yang terdapat didalamnya adalah ; (1) jaminan tambahan, (2) diserahkan oleh debitur kepada bank, (3) untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.

Perangkat jaminan bagi Perbankan Syariah itu sendiri belum diatur sedemikian rupa, karenanya masih menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh Perbankan konvensional, ketimbang punya lembaga jaminan tersendiri yang lebih khas syariahnya. Hal ini berawal dari adanya konsep kepemilikannya yang berbeda dan konsep memandang benda yang berbeda pula. Jika dalam perikatan kepemilikan dan kebendaan yang beda ini, maka seharusnya Perbankan Syariah mempunyai ciri-ciri lembaga jaminan yang beda pula, jadi operasional bank-bank syariah bisa mencerminkan syariah itu sendiri.

Perbankan Syariah diperlukan adanya kehalalan sistem sehingga membuktikan bahwa bank syariah dapat menjamin kehalalan produknya yang bersifat lighairih. Me-nyang kut perbuatan dan benda-benda yang menyatu dalam produk syariah semuanya harus zero haram (nilai haram=nol). Artinya, tidak ada toleransi terhadap unsur nonhalal (haram) dalam memberikan produk perbankan syariah tersebut yang terletak pada ada tidaknya unsur bunga (riba), gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian), risywah (suap), tadlis (penipuan), dan dzulm (aniaya) dalam operasional bank syariah. Dalam praktiknya, penilaian di perbankan syariah dapat dilakukan oleh auditor independent yang dalam hal

Page 171: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 377

ini dapat dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dengan demikian perbankan syariah akan memberikan produk unggulan yang halal.

Maka dari uraian tersebut diatas akan menimbulkan pertanyaan bagaimana lembaga jaminan kebendaan Perbankan Syariah dalam perspektif hukum ekonomi syariah?

TINJAUAN PUSTAKA

Bank dan Bank Syariah

Bank adalah perusahaan yang berhubungan dengan perdagangan uang (financial market), menghimpun serta melayani penerimaan deposito dari masyarakat, menyalurkan kredit untuk dipinjamkan menjadi modal investasi atau dana eksploitasi dari kelompok “surplus unit” kepada pihak “deficit unit”. Bank berfungsi sebagai penghimpun dana masya rakat. Pada umumnya dana yang tertumpuk pada suatu bank lebih banyak berasal dari luar, yang terdiri dari dana program pembangunan nasional (pemerintah) yang ber-asal dari pajak yang ditarik dari rakyat dan pinjaman dari luar negeri.

Fungsi Bank yang utama sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Per-bankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan Indonesia dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

Adapun pokok-pokok fungsi perbankan dalam kehidupan bangsa Indonesia (M. Yahya Harahap, 1997: 210) adalah:

1. Bank berfungsi sebagai ”financial intermediary”, berupa Usaha menghimpun dana masyarakat ”surplus unit”; dan selanjutnya menyalurkan kepada ”defisit unit”;

2. Fungsi penghimpun dan penyaluran dana dalam bentuk kegiatan financial inter-nediary bertujuan:

a. menunjang pembangunan nasional, bukan pembangunan perorangan;

b. meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak bukan kesejahteraan perorangan atau kelompok;

c. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, bukan pertumbuhan perekonomian perorangan atau kelompok.

3. Perbankan Indonesia berfungsi melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat melalui kebijaksanaan Prudential Banking dengan cara:

a. yang efisien, sehat, wajar dan persaingan bebas secara nasional dan global. Bukan dengan cara yang serampangan dan persaingan curang;

b. dengan cara menyalurkan dana ke sektor produktif yang perusahaannya memiliki prospek yang ”feasibility” dan ”bankable” (loanable). Bukan untuk konsumtif dan tidak pula untuk kepentingan pengusaha nakal, beritikad buruk dan penipu melalui persekongkolan (concipracy);

Page 172: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

378 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

c. perbankan juga berfungsi mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

Bank bermakna sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, pertama adalah pihak yang berkelebihan dana dan pihak kedua adalah pihak yang kekurangan dana. Sedangkan Bank Syariah terdiri dari dua kata yaitu kata pertama adalah “Bank” dan yang kedua adalah “Syari’ah”. Penggabungan kedua kata tersebut menjadi “bank syariah” adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam (Zainuddin Ali, 2008: 1). Sebagai sebuah lembaga keuangan pada dasarnya bank syariah mempunyai mekanisme menerima deposito dari pemilik modal dan mempunyai kewajiban untuk me-nawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya dengan pola pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam.

Sistem Perbankan dalam ekonomi Islam didasarkan pada konsep pembagian keun-tungan maupun kerugian. Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil, harus juga bersedia mengambil resiko. Bank akan membagi juga kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal mereka (M.Syafi’i Antonio, et.al, 2003: 3).

Salah satu tugas pokok bank adalah pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyedia-an dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang kekurangan dana. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ada beberapa pasal yang memulai menggunakan secara leluasa istilah syariah dengan tidak lagi menggunakan istilah bagi hasil, diantaranya adalah Pasal 1 ayat 12 yang menyatakan “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.

Dalam Undang-undang Perbankan Syariah yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’ dan transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh serta transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Sebagai tambahan adalah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.

Hubungan Perbankan dengan Lembaga Jaminan

Setiap pembiayaan yang dilakukan oleh Perbankan selalu ada perjanjian yang diadakan antara pihak bank dengan pihak yang dibiayai, yang pada dasarnya tercantum pada aturan Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang berbunyi

Page 173: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 379

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 ini juga ketentuan Pasal 6 huruf m mengadakan pengaturan yang berbunyi “menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. Dan pada Pasal 13 huruf c memberikan ketentuan yang berbunyi “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 25 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa “prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.

Dalam perundang-undangan terdahulu pada Pasal 24 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan ditentukan bahwa “Bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan”. Jaminan difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditur yaitu bank, dan wujudnya dapat dinilai dengan uang (jaminan materiil) serta timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditur dengan debitur. Dan dalam Undang-undang Perbankan syariah disebutkan sebagai Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.

Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan (H. Salim, 2004: 22).

Istilah jaminan dipergunakan karena telah lazim dalam bidang ilmu hukum dan berkaitan dengan penyebutan-penyebutan seperti hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan dan sebagainya. Kemudian juga, istilah jaminan telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dan jaminan Fidusia (H. Salim, 2004: 23). Sedangkan dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta pada Tahun 1977 disimpulkan bahwa jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum, sehingga hukum jaminan sangat erat sekali dengan hukum benda (Mariam Darus Badrulzaman, 1983).

Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, pertama jaminan materiil yaitu jaminan kebendaan dan kedua adalah jaminan imateriil yaitu jaminan perorangan. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di

Page 174: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

380 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan (hasil Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional), (H. Salim, 2004: 23-24).

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan pengertian jaminan materil (ke-bendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri memiliki hubungan langsung atas benda tertentu dan dapat dipertahankan ter-hadap siapa pun serta selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jami-nan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu dan terhadap harta kekayaan debitur umumnya (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1985).

Pada jaminan materil terdapat unsur-unsur, yaitu:

1. Hak mutlak atas suatu benda;

2. Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu;

3. Dapat dipertahankan terhadap siapapun;

4. Selalu mengikuti bendanya;

5. Dapat dialihkan kepada pihak lain.

Dan dapat digolongkan menjadi 5 macam, yaitu:

1. Gadai (pand) yang diatur didalam Bab 20 Buku II KUH Perdata;

2. Hipotek yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata;

3. Credietverband yang diatur dalam Stb.1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937 Nomor 190;

4. Hak tanggungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996;

5. Jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999.

Sedangkan pada jaminan perorangan terdapat unsur-unsur, yaitu:

1. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;

2. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

3. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

Dan dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;

2. Tanggung menanggung, atau serupa dengan tanggung renteng;

3. Perjanjian garansi.

Dari kedelapan jenis jaminan tersebut yang masih berlaku adalah gadai, hak tang-gungan, jaminan fidusia, hipotek atas kapal laut dan pesawat udara, borg, tanggung menanggung dan perjanjian garansi. Sedangkan pembebanan hak atas tanah yang

Page 175: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 381

menggunakan lembaga hipotek dan credietverband sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan.

Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga per-bankan atupun lembaga keuangan non-bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat (H.Salim, 2004: 27). Adapun syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah:

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan dan tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya;

2. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, bila perlu dapat di uangkan untuk melunasi hu tangnya si penerima (pengambil) kredit.

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat bagi kreditur berupa terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup dan dapat memberikan kepastian hukum bagi kreditur (H. Salim, 2004: 28). Sedangkan bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan), dan unsur-unsur kredit meliputi:

1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;

2. Didasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam;

3. Para pihak yaitu bank dan pihak lain (nasabah);

4. Kewajiban peminjam yaitu untuk melunasi hutang;

5. Jangka waktu;

6. Adanya bunga.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok. Rutten berpendapat bahwa perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (J. Satrio, 1986). Sedangkan perjanjian pembebanan jaminan merupakan perjanjian ac-cesoir yaitu perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.

Kredit berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan ber-dasarkan prinsip syariah yang sehat, dan untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pem-berian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan bank

Page 176: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

382 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

(Hermansyah, 2007: 72). Dengan tetap menjalankan salah satu keistimewaan yang ut-ama yaitu melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan (M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, 2009: 300).

Dalam Undang-undang Perbankan Syariah Nomor 21 Tahun 2008 disebutkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, bukan Bank Perkreditan Rakyat Syariah sebagaimana kepanjangan yang diberikan untuk BPRS. Pembiayaan merupakan istilah yang sesuai untuk menggambarkan sistem bagi hasil dan bagi resiko. Sedangkan istilah perkreditan lebih sesuai dengan sistem bunga berbunga yang dianut dalam perbankan konvensional (Zubairi Hasan, 2009: 30).

Hukum Ekonomi Syariah

Dalam hukum Islam membedakan ilmu ekonomi dan sistem ekonomi, karena ada 2 (dua) fakta berbeda yaitu (1) dalam pengaturan urusan masyarakat dari segi pemenuhan harta kekayaan (barang dan jasa) melalui teknik produksi, (2) dalam pengaturan urus-an masyarakat dari segi cara memperoleh, memanfaatkan dan mendistribusikan keka-yaan. Pembahasan yang pertama lebih banyak berkaitan dengan kegiatan teknik mem-perbanyak jumlah barang dan jasa serta bagaimana cara menjaga pengadaan, yang mana dikategorikan dalam ilmu ekonomi. Pembahasan kedua sama sekali tidak di pengaruhi oleh banyak dan sedikitnya kekayaan tetapi hanya berhubungan dengan tata kerja (mekanisme) pendistribusian, yang dikategorikan sistem ekonomi (Taqiyuddin an-Nab-hani, 1990: 57-58).

Sistem ekonomi merupakan bagian dari sistem penataan kehidupan masyarakat yang terkait dengan cara pandang atau ideologi tertentu (M. Ismail Yusanto dan M.Arif Yunus, 2009: 14). Dan aktivitas ekonomi sebagai sesuatu yang harus diatur oleh syariah baik dalam segi kepemilikan, cara kepemilikan, metode pengembangan kekayaan dan bagai mana menjaga keseimbangan ekonomi dalam masyarakat. Ini yang membedakan pengertian sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya.

Hukum berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi termasuk milik pribadi. Salah satu proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaannya atau penegakkannya sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, dan lembaga penegak hukum yang terdapat di Indonesia adalah Peradilan Agama. Dan Peradilan Agama adalah salah satu peradilan yang memiliki keunggulan-keunggulan dibanding permasalahan hukum lainnya (Jaih Mubarok, 2004: 1) Dan untuk itu maka terdapat institusi Peradilan yang memiliki kewenangan hukum seperti adanya kewenan-gan Peradilan Agama, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:

1. Perkawinan;

2. Waris;

3. Wasiat;

4. Hibah;

5. Wakaf;

Page 177: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 383

6. Zakat;

7. Infaq;

8. Shadaqah;

9. Ekonomi syariah.

Hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat, sementara Islam merupakan suatu ajaran yang menyeluruh dalam mengatur semua aspek kehidupan. Pembangunan hukum ekonomi Islam sejalan dengan kebutuhan sistem ekonomi Islam yang mengalir wajar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dan seorang sarjana hukum harus menguasai kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah melalui PERMA Nomor 2 Tahun 2008 telah menyebutkan bahwa ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.

Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum yang hidup teratur dalam sistem politik negara (Bernard. L. Tanya, et.al, 2006: 71). Sedangkan sebuah sistem, ke-ber adaan teori dan pemikiran yang dimilikinya tidak akan memiliki pengaruh nyata di tengah masyarakat tatkala teori dan pemikiran itu tidak diterapkan atau tidak disertai dengan metode penerapannya (M. Ismail Yusanto dan M.Arif Yunus, 2009: 15). Pemi-kiran adalah aktifitas berpikir pada diri umat tentang realitas kehidupan yang mereka hadapi, dengan seringnya mereka menggunakan pemikiran yang cemerlang maka akan muncul pada diri mereka metode berpikir yang produktif.

Dan hukum ekonomi syariah adalah norma hukum yang bersumber dari Al-qur’an dan hadis yang mengatur urusan perekonomian umat manusia (H. Zainuddin Ali, 2008: 4). Dan politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang di-pergunakan untuk memecahkan mekanisme pengaturan berbagai urusan manusia, dan politik ekonomi Islam adalah menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan pri-mer (basic needs) setiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya, sesuai dengan kadar kesang-gupannya sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu, dengan kata lain kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudan nilai keadilan alam realitas empiris hidup bersama.

PEMBAHASAN

Pembedaan Benda dan Hak Kebendaan Secara Konvensional dan Syariah

Dalam pandangan hukum konsep benda sangat memegang peranan penting, karena benda akan berkaitan dengan hak pribadi seseorang untuk memilikinya atau tidak memilikinya. Dan benda merupakan sesuatu hal yang diciptakan sang Pencipta dengan segala potensi yang bisa digunakan oleh manusia untuk memakmurkan kehidupan, yang nanti akan dinikmatinya, dimilikinya, dikembangkannya dan dipindah tangankanya kepada orang lain. Inilah yang akan diatur oleh hak kebendaan atas apa yang diperoleh ataupun dialihkan tangankan oleh pemilik benda tersebut.

Page 178: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

384 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

Benda pertama-tama adalah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, akan tetapi ada pula barang yang tidak berwujud termasuk kedalam benda juga, atau dengan kata lain benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat men-jadi objek eigendom (hak milik). Sedangkan hukum kebendaan adalah hukum yang mengatur mengenai sisi positif dari harta kekayaan seseorang, bagaimana cara seseorang meningkatkan harta kekayaannya, apa-apa saja yang merupakan harta kekayaannya dan bagaimana ia mempertahankan harta kekayaannya tersebut dari gangguan orang lain (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981: 13).

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hukum benda mempunyai azas-azas umum yang perlu diingat dalam menafsirkan aturan-aturan hukum benda tersebut, azas-azas tersebut adalah:

1. Merupakan hukum pemaksa yang berarti berlakunya aturan-aturan itu tidak dapat disimpangi oleh para pihak;

2. Dapat dipindahkan;

3. Azas individualitiet;

4. Azas totalitiet;

5. Azas tak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid);

6. Azas prioritiet;

7. Azas Percampuran (vermenging);

8. Perlakuan yang berbeda antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak;

9. Azas Publiciteit;

10. Sifat perjanjian yang merupakan perjanjian yang zakelijk yakni perjanjian untuk mengadakan hak kebendaan.

Kemudian terdapat pembedaan benda kedalam benda bergerak dan benda tidak ber-gerak dibuat dengan tujuan untuk membedakan cara perolehannya yang bisa melalui Bezit, dan cara penyerahannya serta cara pembebanannya. Sehingga menurut ketentuan KUHPerdata benda dapat dibedakan kedalam:

1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud;

2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak;

3. Benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.

Dari rumusan Pasal 528 KUH Perdata dapat diketahui hak kebendaan yang dapat diperoleh atas suatu benda adalah:

1. Keadaan berkuasa atau bezit atas benda;

2. Hak milik atas benda;

3. Hak waris atas benda;

4. Hak pakai hasil;

5. Hak pengabdian tanah;

Page 179: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 385

6. Hak gadai;

7. Hipotek.

Jadi secara garis besar hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUH Perdata dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht), ini dapat atas bendanya sendiri dan dapat juga atas benda milik orang lai;

2. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht).

Sedangkan kedudukan harta dalam Islam memegang peranan penting karena terkait erat dengan kesejahteraan dan perekonomian (Ade Maman Suherman, 2004: 191). Dalam The Penguin Concise Columbia Encyclopedia (1987), Religion diartikan sebagai suatu sistem pemikiran, perasaan, dan perbuatan yang sama dari suatu kelompok yang mem berikan anggotanya suatu objek peribadatan; suatu aturan moral yang berhubungan dengan perbuatan pribadi dan sosial; dan suatu term of reference yang menghubungkan individu-individu kepada kelompoknya dan dunia (Topo Santoso, 2001: 31). Oleh sebab itulah, Islam bukan hanya sekedar sebuah keyakinan yang ada dalam hati saja, akan tetapi merupakan syariat yang dapat dilihat, dan merupakan sesuatu yang sistemik karena mengatur masyarakat sehingga dalam perekonomian juga diatur secara sistemik untuk membuahkan sebuah keteraturan dalam pelaksanaannya., dan tujuan dari hukum pula yaitu keteraturan.

Tenaga manusia hanyalah sarana yang bisa dipergunakan untuk menghasilkan harta kekayaan. Sehingga sesuai fitrahnya, manusia akan berusaha untuk memperoleh harta kekayaan tersebut untuk dikumpulkan. Atas dasar inilah manusia dan harta keka yaan sama-sama merupakan alat yang bisa dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Keduanya merupakan kekayaan yang bisa diraih oleh manusia untuk dikumpulkan. Jadi kekayaan itu sebenarnya merupakan gabungan dari harta dan tenaga manusia.

Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah yang tidak bisa diingkari ataupun dipisahkan, kaidah pertama adalah asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syariah dan kaidah kedua adalah hukum asal suatu benda adalah mubah (boleh) selama tidak ada da-lil yang mengharamkannya (M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, 2009: 22). Perbuatan adalah apa saja yang dilakukan manusia, dan setiap perbuatan harus senantiasa terkait dengan hukum syariah, baik itu mubah, fardlu (wajib), mandub (sunah), haram ataupun makruh, perbuatan berbeda dengan benda yang hukum asalnya memang mubah saja.

Al-Asya’ atau segala sesuatu adalah benda yang dalam kenyataannya senantiasa ter-kait dengan perbuatan manusia. Makanan baik berupa roti, nasi, telur, daging sapi atau babi semuanya berhubungan dengan perbuatan makan. Sedangkan air, madu, susu atau-pun khamr adalah sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan minum. Sebagaimana perbuatan, seluruh benda mempunyai status hukum syariah. Umumnya kita berangga-pan bahwa benda dan perbuatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dengan demikian jika dikehendaki maka keduanya memiliki nilai dan jika keduanya dipisahkan maka dengan sendirinya salah satu diantara keduanya tidak mempunyai nilai apa-apa, sehingga pandangan ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa status hukum perbuatan paralel dengan status hukum benda yang berhubungan dengan

Page 180: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

386 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

perbuatan tersebut. Tetapi ulama yang mendalami nash-nash syariah mendapati bahwa syariah telah menetapkan hukum atas perbuatan ada lima macam status yaitu wajib, su-nah, mubah, makruh dan haram. Ini berbeda dengan hukum benda yang statusnya hanya halal dan haram saja, tidak berlaku sebutan wajib, sunah atau makruh.

Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah, jadi tidak ada seorangpun yang boleh turut campur dalam menentukan halal dan haram tersebut, sehingga orang yang bertindak demikian dengan berlandaskan pendapat pribadi adalah berdosa, mengada-ada dan melampaui batas terhadap Allah. Halal atau haram adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang dapat diindera yang diciptakan oleh Allah seperti benda yang dapat dimakan, dipakai, dikendarai, didiami, yang dapat digunakan atau tidak dapat digunakan. Kita diperbolehkan memanfaatkan segala sesuatu/benda yang ada, yang diperoleh manusia dari usahanya. Benda itu ber-sifat umum, dan dikecualikan sebagian kecil benda yang diharamkan melalui dalil atau nash secara khusus. Dalam Islam ada yang dinamakan sebagai ’ain benda yakni hak-hak yang terkait langsung dengan benda tertentu, sehingga ’ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu bukan benda lain. Dan dalam hukum Islam ’ain lebih luas cakupannya dari sekedar hak kebendaan dalam pengertian hukum barat (Syamsul Anwar,2007: 66).

Jadi dalam hukum Islam ’ain disamping mencakup hak kebendaan dalam pengertian hukum barat meliputi hak-hak yang timbul dari perikatan yang objeknya adalah benda tertentu. Hak-hak kebendaan dalam hukum Islam lebih luas cakupannya daripada konsep hak-hak kebendaan dalam hukum barat karena didalamnya nanti ada terdapat perikatan benda yang mana dalam hukum barat termasuk hak pribadi. Jika dalam hukum barat dikenal pembedaan hak menjadi hak kebendaan dan hak pribadi, maka dalam hukum Islam dikenal ’ain dan dain yang mana dain terkait dengan dzimmah (tanggung jawab) sedangkan ’ain tidak.

Adapun prinsip-prinsip dasar atas hak-hak kebendaan dalam Islam (Ade Maman Suherman, 2004: 191) sebagai berikut:

1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada ditangan orang-orang saleh;

2. Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah mendapatkan pinjaman-Nya;

3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah bagian dari ibadah;

4. Cara kerja yang kotor diharamkan;

5. Hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya diakui;

6. Seseorang dilarang menguasai benda-benda yang sangat diperlukan oleh masya-rakat dan menyangkut hajat hidup orang banyak;

7. Larangan kepemilikan harta yang membahayakan orang lain;

8. Pengembangan harta tidak boleh menimbulkan kerusakan akhlak dan mengor-bankan kepentingan umum;

9. Memperdekat jarak perbedaan antar strata sosial ditengah masyarakat.

Page 181: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 387

Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah telah mengatur tentang Amwal, yang bisa dianggap sebagai benda dan disebutkan dalam Pasal 17 sampai pada Pasal 19. Dan dalam Pasal 18 disebutkan cara perolehan Amwal.

Kepemilikan Benda Dalam Syariah

Kepemilikan menjadi sangat penting dalam pembahasan hukum kebendaan dan hukum jaminan, karena kepemilikan ini sangat mempengaruhi dalam hak atas suatu benda dan benda yang akan dijadikan jaminan apabila memang diinginkan oleh pemiliknya. Suatu kepemilikan tentunya mempunyai rambu-rambu yang tidak bisa diabaikan dalam hukum, karena sebuah kepemilikan tentu mempunyai konsekuensi hak dan kewajiban sebagaimana halnya dengan hukum itu sendiri. Hak milik adalah hubungan antara sese-orang dengan suatu benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut (Lili Rasjidi. 1988: 85). Dan masalah ekonomi muncul karena pandangan/konsep tentang perolehan atau kepemilikan dan jeleknya pengelolaan kepemilikan serta buruknya dis-tribusi kekayaan ditengah-tengah manusia (Taqiyuyuddin an Nabhani: 46). Sehingga masalah tersebut secara mutlak tidak lahir dari hal-hal diluar itu. Maka, pemecahan (solusi) terhadap aspek inilah yang menjadi asas ekonomi. Atas dasar inilah, asas untuk membangun sistem ekonomi Islam berdiri diatas 3 (tiga) kaidah, pertama kepemilikan (property), kedua pegelolaan kepemilikan dan ketiga distribusi kekakayaan ditengah-tengah manusia. Dan Berdasarkan subjek pemiliknya kepemilikan dibagi menjadi tiga macam yakni; pertama adalah kepemilikan individu, dan kedua kepemilikan umum serta yang ketiga adalah kepemilikan negara.

Ekonomi Islam adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari Al-qur’an dan hadis yang mengatur urusan perekonomian umat manusia (H. Zainuddin Ali. 4). Tujuan ekonomi Islam menggunakan pendekatan antara lain: (a) konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, (b) alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas manusia agar ia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan teknologinya guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam, (c) dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan.

Islam hadir dengan membolehkan kepemilikan individu dan membatasinya dengan mekanisme tertentu (bi al-kayf), bukan berdasarkan kuantitas (bi al-kam) (Taqiyuyuddin an Nabhani, TT: 64). Secara fitrah manusia selalu berusaha memperoleh kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya serta selalu berupaya untuk meraih perolehan kekayaan ter-sebut, jadi usaha tersebut selain perkara yang fitrah juga merupakan perkara yang pasti dan harus dilakukan. Sehingga upaya melarang untuk manusia memperoleh kekayaan dan membatasi manusia memperoleh kekayaan dengan takaran tertentu bertentangan dengan fitrah. Akan tetapi, manusia tidak boleh dibiarkan untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya dan mengelolanya dengan cara sesukanya.

Kepemilikan individu adalah salah satu hukum syariah yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu (Taqiyuyuddin an Nabhani, TT: 65). Kepemilikan individu ini memastikan adanya peluang bagi siapa saja yang memilikinya untuk memanfaatkan apa yang dimilikinya itu serta memperoleh kompensasi. Kepemilikan merupakan izin

Page 182: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

388 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

Asy- Syar’i untuk memanfaatkan zat tertentu (Taqiyuyuddin an Nabhani, TT: 66). Sehingga kepemilikan tidak akan ditetapkan kecuali dengan ketetapan dari Asy-Syar’i serta berdasarkan pengakuan Asy-Syar’i atas sebab-sebab kepemilikannya. Jadi hak yang terdapat dalam kepemilikan barang tertentu bukan berasal dari zatnya ataupun dari karakter dasarnya, semisalnya karena manfaat atau tidak. Akan tetapi hak kepemilikan tersebut atau yang membolehkan kepemilikan atas barang, muncul dari adanya izin Asy-Syar’i serta dari ketetapan Allah yang telah menjadikan sebab yang melahirkan akibat yaitu adanya kepemilikan atas zat barang atau benda secara Syar’i. Allah melarang se orang muslim untuk memiliki benda atau barang seperti minuman keras dan babi, sebagaimana Allah mengizinkan jual beli tetapi melarang dan mengharamkan riba. Hak milik individu adalah hak individu yang diakui oleh syariah, dengan hak tersebut sese-orang boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan adanya kontrol, inilah makna hak milik individu. Disamping kegunaannya yang tentu memiliki nilai finansial sebagaimana yang telah ditentukan syariah, hak milik individu juga bermakna bahwa seseorang memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dia miliki sebagaimana dia pun memiliki otoritas atas sejumlah aktivitas yang menjadi pilihannya. Oleh karena itu pembatasan hak milik individu adalah sesuai dengan ketentuan perintah dan larangan Allah.

Pengembangan harta bisa diperoleh beberapa harta baru, harta baru tersebut dipero-leh dari harta lain, yang artinya hal itu hanya merupakan sebab-sebab pengembangan harta, bukan penyebab kepemilikan harta. Jadi sebab-sebab kepemilikan adalah perole-han harta untuk pertama kalinya atau perolehan harta pada asalnya, yang sebelumnya belum dimiliki, sedangkan pengembangan kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki yang artinya harta tersebut memang sudah ada hanya kemu-dian dikembangkan dan ditingkatkan jumlahnya.

Kepemilikan atas tanah dapat terjadi melalui beberapa sebab seperti membeli, wari-san atau hibah/hadiah. Dalam penguasaan tanah, konsep dalam Islam telah menekankan bahwa tanah harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat karena kepemilikan dan penguasaan atas tanah untuk keuntungan segelintir orang (feo-dalisme) bertentangan dengan Islam. Dan pada hakikatnya melakukan pembagian tanah secara merata pada semua penggarap tanah adalah bertentangan dengan Islam, sehingga untuk menghindari hal tersebut Islam menekankan arti pentingnya penggarapan tanah pada pemiliknya sendiri, jika tidak mampu menggarapnya harus diberikan kepada orang lain yang mampu menggarapnya serta melarang menyewakan kepada orang lain. Jika tidak mampu menggarap tanahnya maka hak pemiliknya hanya sebatas maksimal tiga tahun (Abdul Manan, 1997: 137).

Menurut M. Ismail Yusanto dan M. Arief Yusuf kepemilikan umum adalah izin asy-Syar’i kepada masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda, dan yang term-asuk didalam kategori ini adalah yang telah dinyatakan oleh Allah, bahwa semua ter-sebut adalah untuk suatu komunitas, mereka saling membutuhkan dan Allah melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang, oleh karena itulah benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:

Page 183: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 389

1. Fasilitas umum, yaitu apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, jika barang tersebut tidak ada ditengah masyarakat akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mendapatkannya seperti air, padang rumput dan api. Dan individu dilarang untuk memilikinya karena sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan umum masyarakat, jika jumlahnya kecil seperti sumur kecil yang cukup untuk keluarga saja misalnya maka dapat dimiliki individu;

2. Bahan tambang yang tidak terbatas, jika jumlahnya terbatas seperti luqathah (barang temuan) yang dikenai hukum rikaz, dapat dimiliki oleh individu;

3. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu, misalnya jalan, sungai dan laut yang bisa disetarakan dengan sekolah milik negara, rumah sakit, lapangan, tempat penampungan dan sebagainya, di-mana bisa saja milik individu tetapi jika masyarakat sangat membutuhkannya maka tidak boleh hanya dikuasai oleh individu saja.

Adapun kepemilikan negara adalah harta yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Jika harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan kepada individu siapapun meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya, maka harta milik negara boleh diberikan kepada individu tertentu.

Dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang telah mengatur tentang Benda, yang disebutkan sebagai Amwal dan pemilikannya diatur berdasarkan pada asas-asas yang disebutkan dalam Pasal 17 sebagai berikut:

1. Amanah, bahwa pemilikan amwal pada dasarnya merupakan titipan dari Allah SWT untuk didayagunakan bagi kepentingan hidup;

2. Infiradiyah, bahwa pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual dan penya-tuan benda dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha atau korporasi;

3. Ijtima’iyah, bahwa pemilikan benda tidak hanya memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, tetapi pada saat yang sama didalamnya terdapat hak masyarakat;

4. Manfaat, bahwa pemilikan benda pada dasarnya diarahkan untuk memperbesar manfaat dan mempersempit mudharat.

Adapun Pasal 19 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menyebutkan tentang sifat pemilikan amwal, yang mana pada prinsipnya adalah:

1. Pemilikan yang penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat dan tidak dibatasi waktu;

2. Pemilikan yang tidak penuh, mengharuskan adanya kepemilikan manfaat dan dibatasi waktu;

3. Pemilikan yang penuh tidak bisa dihapuskan, tetapi bisa dialihkan;

4. Pemilikan syarikat yang tidak penuh sama dengan kepemilikan terpisah tasharufnya;

Page 184: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

390 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

5. Pemilikan syarikat yang penuh ditasharufkan dengan hak dan kewajiban secara proporsional.

Jika dikaji lebih jauh maka ada hal yang berbeda dalam konsep kepemilikan ini, dimana dalam asas infiradiyah yang menyebutkan pemilikan benda pada dasarnya bersifat individual, dengan sebagaimana pada bahasan sebelumnya bahwa dalam kepemilikan terdapat pembatasan terutama kepemilikan individu. Disinilah nantinya aspek pembeda sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi kapitalis, dimana kepemilikan dapat mempengaruhi sistem hukum dan perilaku perekonomian dalam suatu masyarakat. Jika masyarakat berpikir dan merasakan serta menentukan aturan bahwasanya mereka mempunyai kepemilikan bersama dalam hal kepemilikan umum, maka mereka tidak akan merasa bebas karena terikat kepentingan bersama dalam memperoleh dan menikmati kegunaan dari kepemilikan tersebut. Akan berbeda halnya jika masyarakat berpikir dan merasakan serta menentukan aturan bahwasanya kepemilikan tersebut adalah kepemilikan individu saja, maka mereka merasa bebas dalam menentukan apa yang ingin mereka lakukan dengan kepemilikannya tersebut walaupun secara syar’i sudah ditentukan bahwa benda itu termasuk dalam kepemilikan umum, inilah yang nantinya memberi pengaruh pada perilaku ekonomi liberal dan individualis, yang memperoleh kegunaan harta dari sesuatu yang sebenarnya dalam persfektif ekonomi syariah merupakan milik umum.

Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Dalam Sistem Syariah

Konsep Mudharabah termasuk dalam kategori bekerja yang merupakan salah satu sebab kepemilikan yang sah menurut syariah. Karena itu, seorang pengelola berhak me-miliki harta yang merupakan hasil keuntungan dari perseroan mudharabah karena kerja-nya, sesuai dengan prosentasi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Mudharabah juga merupakan salah satu bentuk perseroan karena merupakan perseroan badan (tenaga) dengan harta. Perseroan adalah salah satu bentuk muamalah yang telah dinyatakan ke-bolehan oleh syariah. Teori perusahaan yang dikembangkan selama ini di Indonesia me-nekankan pada prinsip memaksimalkan keuntungan perusahaan. Namun teori ekonomi dimaksud, bergeser pada sistem nilai yang lebih luas, yaitu manfaat yang didapatkan tidak lagi berfokus hanya kepada pemegang saham, melainkan pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat kehadiran suatu unit kegiatan ekonomi dan keuangan. Sistem ekonomi syariah menekankan konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya pada manfaat disetiap akhir kegiatan, melainkan pada setiap proses tran-saksi. Setiap kegiatan proses transaksi dimaksud, harus selalu mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas-asas keadilan, maka setiap Undang-undang harus dapat diketahui dan dipahami oleh rakyat agar kegunaan menaati hukum tersebut dapat diketahui dan dipahami pula, jadi kehadiran Undang-undang perbankan syariah mesti selalu dikaji untuk dipahami bukan sekedar diketahui saja.

Selama ini yang dimaksud dengan jaminan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah berwujud benda tertentu yang bernilai ekonomis, guna dipakai sebagai pelunasan kredit atau pembiyaan berdasarkan prinsip syariah jika nasabah debiturnya wanprestasi (Rachmadi Usman, 2003: 282). Dalam pengertian yang selama ini sudah menjadi milik dunia perbankan dan milik masyarakat umum bahwa jaminan kredit adalah alternatif terakhir dari sumber pelunasan kredit dalam hal kredit tidak dapat dilunasi oleh nasabah

Page 185: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 391

debitur dari kegiatan usahanya karena kegiatan usahanya itu mengalami kesulitan menghasilkan uang.

Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyebutkan dalam Pasal 40 bahwasanya yang disebutkan adalah agunan bukan jaminan ataupun jaminan kebendaan. Jika pun ada penyebutan pemberian jaminan dalam pasal sebelumya yaitu Pasal 37 berupa kata ”pemberian jaminan” maka kata ini disebutkan dalam kerangka prinsip kehati-hatian. Meskipun keduanya masih dalam satu induk bab tetapi keduanya terpisah dalam prinsip kehati-hatian yang menggunakan pemberian jaminan, sedangkan agunan disebutkan dalam kerangka pengelolaan resiko.

Pengertian jaminan ini sendiri mulanya sejalan dengan agunan, karena tidak ada per-bedaan diantara keduanya yang disebutkan didalam Undang-undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967. Keduanya dibedakan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, yang mana istilah jaminan di Undang-undang yang lama diganti dengan istilah agunan, sedangkan istilah jaminan yang baru adalah keyakinan atas itikad dan kemam-puan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembali-kan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Masyarakat menyerahkan dananya pada bank syari’ah pada dasarnya tanpa jaminan yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasi oleh kepercayaan bahwa pada waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan sejumlah keuntungan (return). Untuk menjaga kepercayaan masyarakat tersebut, bank harus melaksanakan prinsip ke-hati-hatian (prudential). Berdasarkan prinsip tersebut, bank syari’ah menerapkan sistem analisis yang ketat dalam penyaluran dananya melalui pembiayaan, di antaranya dengan mempersyaratkan adanya jaminan bagi pihak nasabah yang hendak mengajukan pembi-ayaan, termasuk pembiayaan yang menggunakan skim mudharabah.

Secara teori memang terdapat adanya perbedaan antara konsep mudharabah dalam fiqh klasik, dengan aplikasinya di perbankan syari’ah, di antaranya mengenai persoa-lan jaminan yang harus diberikan mudharib kepada pihak shahibul mal dalam hal ini bank syari’ah. Menyikapi persoalan ini, para ahli hukum Islam kontemprer, di anta-ranya adalah Muhammad Abdul Mun’im Abu Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah, menyatakan bahwa jaminan untuk pembiayaan mudharabah dalam praktek perbankan syari’ah diperbolehkan dan sangat penting keberadaannya atas dasar 2 (dua) alasan berikut ini: pertama, pada konteks per-ban kan syari’ah saat ini mudharabah yang dilakukan berbeda dengan mudharabah tra-di sional (mudharabah tsunaiyah) yang hanya melibatkan dua pihak shahibul maal dan mudharib, di mana keduanya sudah saling bertemu secara langung (mubasyarah) dan mengenal satu dengan lainnya. Sementara praktek mudharabah di perbankan syari’ah saat ini, Bank berfungsi sebagai lembaga intermediary, memudharabahkan dana sha-hibul mal yang jumlahnya banyak kepada mudharib lain, dan shahibul maal yang jum-lahnya banyak tersebut tidak bertemu langsung dengan mudharib sehingga mereka tidak bisa mengetahui dengan pasti kredibilitas dan kapabilitas mudharib. Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari’ah harus menerapkan asas prudential, di antaranya dengan mengenakan jaminan kepada nasabah penerima pembiayaan. kedua, situasi dan kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal ko-mit men terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur, seperti kepercayaan (trust) dan kejujuran.

Page 186: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

392 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

Berkaitan dengan hal ini, Abdul Mun’im Abu Zaid dalam karyanya yang lain “Al-Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy” juga menyatakan bahwa faktor terbesar yang menjadi hambatan perkembangan Perbankan Syari’ah, khususnya dalam bidang investasi adalah rendahnya moralitas para nasabah penerima dana pembiayaan dalam hal kejujuran (al-shidq) dan memegang amanah (al-amanah). Oleh sebab itu, larangan jaminan dalam mudharabah karena bertentangan dengan prinsip dasarnya yang bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. Namun demikian, meskipun jaminan dalam mudharabah dalam praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil), bukan bertujuan mengembalikan modal bank atau sebagai ganti rugi (dhaman) setiap kerugian atas kegagalan usaha mudharib secara mutlak. Oleh karena itu, jaminan hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran (ta’addi), kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah diten-tukan (mukhalafatu al syurut) yang mana telah tercantum dalam PAPSI (Pedoman Akun tansi Perbankan Syariah) tahun 2003. Disamping itu, kewajiban adanya jaminan dalam mudharabah tidak harus dibebankan kepada mudharib tetapi bank dapat meminta jaminan kepada pihak ketiga yang akan menjamin mudharib bila melakukan kesalahan.

Akan tetapi untuk kedua hal tersebut diatas, yang perlu diingat pertama adalah seperti yang dibahas dalam konsep kepemilikan syariah sebelumnya bahwa pola interaksi atau muamalah masyarakat tidak berubah dalam zaman apapun dan yang berubah adalah produksi barang atau benda sesuai dengan kemajuan zaman sedangkan perbuatan manusia akan selalu terikat dengan hukum syara’ sehingga perbuatan dalam interaksi muamalah akan selalu terikat dengan sebab-sebab kepemilikan (sabab at tamalluk) yang telah di-tentukan oleh syariah karena akan berpengaruh pada sah atau tidaknya kepemilikan sese orang nantinya. Dan yang kedua adalah mengenai sistem interaksi masyarakat yang membentuk moral masyarakat secara keseluruhan, hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh sistem kehidupan yang membentuk karakter masyarakat itu sendiri. Sistem kehidupan ini membentuk karakter pemikiran dan perasaan serta peraturan kehidupan dalam masyarakat tersebut, jika sistem kehidupan liberal ataupun individualis akan membentuk karakter masyarakat liberal yang mempunyai kebebasan tanpa terikat dengan hukum syara’ ataupun ketaatan kepada Allah yang secara kolektif terhapus dalam benak masyarakat tersebut, atau membentuk karakter masyarakat individualis yang lebih perduli terhadap kepentingan pribadi walaupun hal itu melanggar hukum syara, sehingga tidak mengherankan jika moral dalam masyarakat tidak memperdulikan tentang akhlak yang termasuk kedalam bagian syariat Islam itu sendiri.

Hak kebendaan dalam hukum Islam lebih luas cakupannya daripada hak kebendaan dalam hukum barat karena didalamnya terdapat perikatan benda yang dalam hukum barat termasuk hak pribadi. Sedangkan dalam hukum Islam (fiqh) pembahasan jaminan dapat dibagi menjadi dua, yaitu jaminan yang berupa orang (personal guarancy) dan jaminan yang berupa harta benda. Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn. Menurut Wahbah Zu-haili Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memilki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung. Sedangkan menurut terminologi Kafalah adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung)

Page 187: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 393

kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertang-gung)”.

Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat, yaitu:

1. Kafiil (orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri;

2. Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya ialah diketahui oleh orang yang menjamin, ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad penjaminan;

3. Makful ‘anhu (orang yang berutang/yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih hidup (belum mati);

4. Madmun bih atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau dipenuhi, menjadi tanggung-annya (makful anhu), dan bisa diserahkan oleh penjamin (kafiil);

5. Lafadz ijab qabul, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digan-tungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Yang pertama adalah kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah). Dan yang kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenu-han) berupa harta.

Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: pertama, kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain, kedua, kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang jualan ke-pada pembeli, ketiga, kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).

Adapun jaminan kebendaan dalam Islam adalah yang dikenal dengan konsep rahn, Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan menurut is-tilah ar-rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat (Ad-Dardir, 1978: 303). Atau secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ar-rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai (Sayyid Sabiq, 1978: 169 dan Abdurrahman al-Jaziry. 305).

Berdasarkan definisi yang berasal dari ulama madzhab Maliki, obyek jaminan dapat berbentuk materi, atau manfaat, dimana keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat jamin annya (sertifikat

Page 188: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

394 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

sawah), (Ad-Dardir: 325). Akan tetapi berbeda dengan definisi tersebut, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, ar-rahn adalah: Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang t idak bisa membayar hutangnya itu (Ibnu ‘Abidin, 1963: 339 dan As Sarakhsi, TT: 63). Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila hutang tidak dapat di-lunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak. Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul.

Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat (Imam al-Kasani, 1969: 125) sebagai berikut:

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini men-dapatkan persetujuan dari walinya;

2. Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu ar-rahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan apa bila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya;

3. Syarat al-marhum bihi (hutang) adalah:

a. merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berhutang;

b. hutang itu boleh dilunasi dengan agunan itu;

c. hutang itu jelas dan tertentu.

4. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah:

Page 189: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 395

a. barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang;

b. barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan;

c. barang jaminan itu jelas dan tertentu;

d. agunan itu milik sah orang yang berutang;

e. barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain;

f. barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat;

g. barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-

rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahn-kan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jaminan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi hutang. Syarat yang terakhir (kesempurnaan ar-rahn) oleh para ulama disebut sebagai qabdh al-marhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 283 menyatakan “ fa rihanun magbudhah” (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]).

Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan hutang dapat dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (Ibn Rusyd: 268 ; Imam al-Kasani; 135 dan ad-Dardir: 264).

Kaitan prinsip jaminan tentu bisa kita lihat dalam visi perbankan syariah yang ber-bunyi ”Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (Share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong-menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat” (S.Sundari S.Arie, 2004. 13-14). Dalam rangka kehati-hatian itulah maka kemudian Bank Indonesia telah menentukan sasaran realistis untuk mewujudkan visi yang su-dah dicanangkan tersebut kedalam misi yang menjelaskan peran Bank Indonesia dalam mewujudkan iklim yang kondusif untuk mengembangkan perbankan syariah yang is-tiqamah terhadap prinsip-prinsip syariah dan mampu berperan dalam sektor riil, yang meliputi sebagai berikut:

1. Melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan;

2. Mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis resiko guna menjamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya;

Page 190: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

396 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

3. Mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional perbankan syariah;

4. Mendesain kerangka entry and exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas sistem perbankan.

Mempersiapkan konsep jelas bukan hanya sekedar konsep pembiayaan saja, akan tetapi mengawasi dan mengatur resiko yang harus dihadapi oleh pembiayaan itu sendiri. Lembaga jaminan sebagai suatu lembaga yang membantu meng-cover resiko tersebut dan yang mendukung pembiayaan tersebut juga harus terus dikaji dan diperhatikan un-tuk menyesuaikan karakteristik perbankan syariah, dengan mempertimbangkan stabi-litas sistem perbankan pula. Maka dalam operasional pun peningkatan efisiensi mesti dikerangka agar menjadi desain perbankan yang memang sangat diharapkan bergerak dalam sektor riil, hal ini nantinya akan membentuk kerangka sistem ekonomi Islam yang diinginkan kaffah dan Istiqamah. Dan yang paling sederhana adalah membangun sistem jaminan syariah dalam kerangka hukum yang saling harmonis satu sama lain dan berja-lan dengan ajeg tentunya. Pentingnya suatu peraturan hukum ialah karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain (Sudikno Mertokusumo, 1995: 115).

Peraturan itu kemudian turun dalam bentuk peraturan Bank Indonesia, yang secara yuridis merumuskan tentang kafalah dalam pasal 3 Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007, kemudian adapula fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah. Selain itu adapula ketentuan tentang Rahn yang tertuang dalam Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/VI/2002 tentang rahn dan Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas.

Bertolak dari sini maka konsep gadai syariah (rahn) adalah salah satu cara memperoleh uang dengan menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas uang/pinjaman yang diperoleh. Harta milik nasabah dimaksud mempunyai nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya (Zainuddin Ali: 23). Dari sini, pihak bank sebagai wakil yang mengelola keuangan secara baik, ingin menjaga modal yang telah dipercayakan terhadapnya dengan rasa aman, se-hingga untuk meyakinkan hal tersebut jika memang diperlukan pihak bank dapat mena-han benda nasabah yang mempunyai hubungan bisnis juga dengannya. Gadai (Ar-rahn) adalah seseorang yang meminjam harta orang lain dengan memberikan sesuatu barang miliknya yang mempunyai nilai ekonomi, seandainya terjadi kegagalan dalam pembaya-ran, maka orang yang meminjamkan hartanya dapat memiliki barang tersebut.

Konsep Ar-rahn sendiri dalam teori praktis pandangan ekonomi adalah salah satu jenis transaksi dari akad tabarru’ yang merupakan akad transaksi dengan prinsip untuk kebajikan dan non profit oriented serta memberi/meminjamkan (Sunarto Zulkifli, 2004: 24). Sehingga konsep ini sangat serasi dengan jiwa yang ingin dibangun dari perbankan syariah itu sendiri, dan dilain sisi konsep kebendaan yang ada didalamnya terikat dengan prinsip syariah yang khas tersebut.

Sejalan pula dengan hak yang bersifat kebendaan lebih dimenangkan daripada hak yang bersifat perorangan, sehingga terdapat tingkatan-tingkatan dari lembaga jaminan.

Page 191: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 397

Dan gadai merupakan tingkatan pertama dalam lembaga jaminan, oleh karena itu kedudukannya lebih didahulukan. Harus pula ditekankan bahwa lembaga jaminan harus-lah bersifat sederhana, mudah, murah dan efesien, karena lembaga jaminan sangat di-harap kan dapat menunjang kemajuan ekonomi, pembiayaan, penanaman modal dan pem-bangunan serta perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah. Jadi sangatlah menyedihkan jika lembaga jaminan tidak terdapat ciri-ciri dan prinsip-prinsip serta persyaratan yang dapat menampung dan mengimbangi arus perekonomian yang pesat tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), pandangan hukum terhadap ekonomi syariah adalah orang ataupun kelompok serta badan usaha yang memenuhi kebutuhan yang bersifat komersil dan tidak komersil menurut prinsip syariah. Badan usaha ini berarti termasuk didalamnya perbankan syariah, yang mana memiliki sifat ko mersil, tetapi adapula yang bersifat tidak komersil seperti adanya pembiayaan yang ber sifat sosial. Dengan demikian perbankan syariah merupakan lembaga yang lebih unik, diantara dunia perbankan yang memang sudah unik sejak dulu. Walaupun dunia perbankan adalah dunia yang unik, akan tetapi bukan merupakan institusi yang harus lepas dari perekonomian masyarakat yang sangat signifikan. Dan menjamurnya kehadiran perbankan syariah harus pula memperhatikan konsep syariah yang menaunginya bukan sekedar tuntutan pasar yang ingin menaikkan pamor syariah dihadapan publik.

Dengan adanya dukungan ketentuan peraturan baik dari Bank Indonesia maupun fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang memang berkompeten dalam dunia perban-kan dan ekonomi syariah, maka kita terutama pihak perbankan syariah tidak perlu ragu menggunakan kontrak rahn ataupun kafalah dalam menjaminkan benda jika diminta oleh pihak bank sebagai kompensasi dana pembiayaan yang kita dapat dari bank syariah. Dan kita juga perlu mengetahui bahwa ada manfaat yang dapat diambil oleh bank dalam konsep lembaga jaminan syariah dan prinsip Ar-rahn ini, (Muhammad Syafi’I Antonio, TT: 130) yaitu:

1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank;

2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan nasabah penyimpan lainnya bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank;

3. Manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut, dimana jika penahanan berdasarkan Fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum;

Disamping lembaga jaminan kebendaan syariah berupa rahn ini memiliki manfaat, yang terpenting untuk menjadikan prinsip ar-rahn ini layak dilaksanakan dalam sistem perbankan syariah adalah kepentingan produk halal dalam bank syariah itu sendiri. Dan tanpa lembaga jaminan, manajemen resiko perbankan akan mengalami ketidakpastian resiko yang harus dihadapi kedepannya. Bank yang berlebihan mengambil resiko, pasti akan mengalami kesulitan, terutama pada waktu meluasnya kegiatan bisnis dan bibit perbankan yang tidak sehat ini pasti akan menimbulkan kerugian segera terjadinya

Page 192: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

398 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

resesi bisnis yang gawat (A.Hasymi, 1983: 30). Oleh karena itu, perbankan merupakan suatu jenis bisnis yang sangat unik, dan keunikannya adalah mengenai peraturan yang sedemikian banyak memagari seluruh transaksinya. Hal ini sebenarnya merupakan tin dakan preventif untuk mengamankan dana masyarakat yang dihimpun oleh bank, sehingga bank akan tetap eksis sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Dari pihak internal bank, peraturan dibuat sedemikian rupa untuk menghindari resiko yang akan membawa kerugian materil ataupun immateril.

Lembaga jaminan syariah ini khususnya jaminan kebendaan, eksistensi hukumnya memang belum terlihat, akan tetapi dalam prakteknya masih bisa dipergunakan dalam akad antara pihak bank dengan nasabah peminjam. Dan hal yang perlu diperhatikan pula adalah lembaga jaminan kebendaan syariah ini harus mendampingi produk-produk pembiayaan perbankan syariah yang memang diperbolehkan untuk diletakkan adanya jaminan seperti pinjam meminjam, bukan untuk produk pembiayaan yang oleh hukum syara tidak diperbolehkan untuk diletakkan jaminan atasnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Lembaga jaminan kebendaan dalam perspektif hukum ekonomi syariah adalah sebagaimana ada dalam konsep Ar-Rahn, hal ini didasarkan kepada 3 (tiga) alasan, yaitu:

1. Dua kaidah syara’ yang tidak bisa dihindari dan dipisahkan yaitu semua perbuatan terikat dengan hukum syara’ dan benda diperbolehkan selama tidak ada dalil pengharamannya;

2. Hukum Islam tidak membagi benda dengan perbedaan sebagaimana benda keperdataan dalam KUHPerdata, akan tetapi memberi sifat yang selalu mengikuti bendanya yaitu halal atau haram. Dan hak kebendaan dalam Islam yang bersifat lebih luas dari pada hak kebendaan secara konvensional karena mencakup hak kebendaan dalam hukum konvensional tersebut beserta hak pribadinya, dan benda akan terkait dengan perbuatan dimana terikat dengan hukum syara. Oleh karena itu hak kebendaan dalam hukum Islam melingkupi pula perbuatan per-ikatannya;

3. Kepemilikan benda dalam Islam yang terbagi kedalam kepemilikan individu dan kepemilikan umum serta kepemilikan negara, sehingga kepemilikan individu terbatas oleh aturan hukum syara yang melindungi kepemilikan umum secara tegas.

Jadi eksistensi lembaga jaminan kebendaan dalam hukum Islam sangat diakui dengan adanya lembaga Ar-rahn ini. Dan prinsip perekonomian dalam Islam adalah adanya akad sebagaimana kata kunci dalam perbankan syariah yang juga demikian adanya, sehingga akad Rahn lebih serasi dengan akad pembiayaan bank syariah yang melingkupi baik benda bergerak maupun tidak bergerak termasuk didalamnya tanah dan sebagainya serta dari yang berwujud benda secara langsung ataupun hak atas benda yang tidak berwujud secara nyata seperti sertifikat.

Page 193: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 399

DAFTAR PUSTAKA

Kitab/Buku

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1976. Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Restu.

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

-----------------. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

-----------------. 2008. Hukum Gadai Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Ad-Dardir. 1978. Syarh al-Shagir bi Syarh ash-Shawi. Jilid III. Mesir: Dar al-Fikr.

Al-Khatib, Asy-Syarbaini. 1994. Mughni al-Muhtaj. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr.

As Sarakhsi. Tanpa Tahun. Al Mabsut. Jilid XXI. Beirut: Dar al Fikr.

Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah. Vol II Beirut: Darul-Qalam.

Abidin, Ibnu.1963. Radd al-Muhktar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Jilid V. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Kasani, Imam. 1969. Bada’i al-Shana’i fi Tartib al-Syara’i. Jilid VI. Kairo: Tanpa Penerbit.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risa-lah Gusti.

----------------. 2009. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press.

Antonio, Muhammad Syafi’I. 2001. Bank Syariah, dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.

----------------et.al. 2003. Bank Syariah, Analisis Kekuatan Peluang Kelemahan dan Anca-man. Yogyakarta: Ekonisia.

Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Arifin, Busthanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press.

Aman, Mgs.Edy Putra Tje’. 1985. Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty.

Arie, S.Sundari S.2004. Materi Kuliah Hukum Perbankan. Jakarta: Universitas Islam.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1983. Mencari sistem Hukum Benda Nasional. Jakarta: Badan Hukum Nasioanal Departemen Kehakiman.

Bahsan, M. 2002. Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: CV. Rejeki Agung.

Chapra, Umar. 2000. Sistem Moneter Islam. Jakarta: Gema Insani.

Heilbroner, Robert. L. 1986. Tokoh-tokoh Besar Pemikir Ekonomi. Jakarta: UI Press.

Page 194: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

400 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 375-401, ISSN 2085-6644

Harahap, M. Yahya. 1997. Bebeberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum. Buku Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

HS, Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

Hermansyah. 2007. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.

Hasan, Zubairi. 2009. Undang-undang Perbankan Syariah; Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Press, PT. RajaGrafindo Persada.

Jumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti.

M. Faried Wijaya & Soetatwo Hadiwigeno. 1980. Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Perkembangan Teori dan Kebijakan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Manan, Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam.Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

Muljadi, Kartini & Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan: Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta: Prenada Media.

Muhammad. 2007. Aspek Hukum dalam Muamalat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

--------------. 2005. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Perwataatmaja, Karnaen. et.al. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Qardhawi, Yusuf. 2003. Masyarakat Berbasis Syariah Islam, Hukum, Perekonomian, Perempuan. Jakarta: Intermedia

Qudamah, Ibnu. T.th. Al-Mughni. Jilid IV. Riyadh: Matabah al-Haditsah.

Rusyd, Ibn. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, II.

Saeed, Abdullah. 2004. Islamic Banking and Interest: a Study of Riba And Its Contemporary Interpretation, Cet. II. Arif maftuhin (penerjemah), Menyoal Bank Syari’ah. Jakarta: Paramadina.

Subekti, R. 1996. Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan menurut Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-pokok Hukum dan Jaminan Perorangan. Jakarta. BPHN Departemen Kehakiman RI. Yogyakarta: Liberty.

-------------------. 1981. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.

-------------------. 1985. Hukum Jaminan di Indonesia . Jakarta: BPHN Departemen Keha-kiman RI.

Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Page 195: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Nurunnisa, Lembaga Jaminan Kebendaan Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum...| 401

Suhardi, Gunarto. 2003. Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta: Kanisius.

Syam, Ichwan, et.al. 2003. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional. Cet. II. Jakarta: DSN-MUI dan BI.

Syaukani, Imam& A.Ahsin Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

S, Afnil Guza, S. 2008. Himpunan Undang-undang Perbankan Republik Indonesia. Jakarta: Asa Mandiri.

Satrio, J. 1986. Hukum Jaminan Hak-hak Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Sabiq, Sayyid. 1978. Fiqhus Sunnah. Cet. VIII, Vol III. Beirut: Darul-Kitab al-Arabi.

Suhartono. 2008. Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M).

Tanya, Bernard L. dkk. 2006. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya: CV.KITA.

Tim Bank Syari’ah Mandiri. 2005. Apa dan Bagaimana Bank Syari’ah. Jakarta: BSM Cab. Meruya.

Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. Gra-media Pustaka Utama.

-------------------. 2008. Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia: Implementasi dan Aspek Hukum. Banjarmasin: Fakultas Hukum Unlam.

-------------------. 2009. Aspek-aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Banjarma-sin: Fakultas Hukum Unlam.

Widjanarto. 2003. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Pus-taka Utama Grafiti.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2007. Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. RajaGrafindo.

Yusanto, M. Ismail dan M.Arif Yunus. 2009. Pengantar Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar.

Zaid, Muhammad Abdul Mun’im Abu. 2000. Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah. Mesir: al-Ma’had al-Alamy li al-Fikr al-Islamy.

------------------. 1996. Al-Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy wa Tathbiqatuhu fi al-Masharif al-Islamiyah. Cet. I. Mesir: Al-Ma’had al-Alamy li al-Fikr al-Islamy.

Zuhaili, Wahbah. 2002. Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Cet. VI. Beirut: Dar al-Fikr.

Zulkifli, Sunarto. 2004. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim.

Page 196: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 197: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

IMPLEMENTASI ECOLABEL DALAMPENGATURAN HUKUM LINGKUNGAN DAN PERANANNYA DALAM

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Dermawati Sihite*

*[email protected], Fakultas HukumUniversitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

Abstract: The emergence of awareness of the importance of maintaining a healthy environment, whichis based on the occurrence of natural disasters and climate change, have been changing consumer trends in the world. One of these imple mentations is also manifested by the emergence of Ecolabel requirements that require the products produced by these manufacturers to meet the requirement that meet environmentally friendly standards. In Indonesia, legal arrangemets regarding environmentally friendly products are regulated in Law no. 23, 1997, More over, BSN was formed by Presidential Decree No.13 Year 1997, Law no. 8 of 1999, Act. No. 32 of 2009, BI regulation no. 2 years 2005 and giving an Adipura award and properto companies interms of environmental management.

Keywords: the implementation of Ecolabel, environmental laws setting, rolein inter-national trade

Abstrak: Munculnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan yang sehat, yang didasari dengan terjadinya bencana alam dan perubahan iklim yang cukup ekstrem, telah merubah trend konsumen di dunia.. Salah satu implementasi tersebut juga diwujudkan dengan munculnya persyaratan ecolabel yang mewajibkan produk-produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut untuk memenuhi persayaratan yang memenuhi standar ramah lingkungan.Di Indonesia pengaturan hukum mengenai produk yang ramah lingkungan dan aman bagi konsumen diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997. Selain itu, dibentuklah BSN dengan Keppres Nomor 13 Tahun, UU Nomor 8 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan BI Nomor 2 Tahun 2005 dan pemberian Adipura serta pemberian proper kepada perusahan-perusahaan dalam hal pengelolaan lingkungan hidupnya.

Kata kunci: implementasi ekolabel, pengaturan hukum lingkungan, peranan dalam perdagangan internasional

Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini adalah wujud nyata dari gagalnya model pembangunan global (global development models), (Walhi Kertas Krisis, 2008: 3). Pernyataan ini telah disepakati bersama dalam konsolidasi civil society organization di Jakarta pada tanggal 27 Setember 2007 lalu.

Pernyataan ini tidaklah berlebihan mengingat dari banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa keserakahan manusia dan penjarahan besar-besaran terhadap sumber daya alam adalah alasan utama terjadinya krisis dan bencana ekologis dimana-mana. Pemerintah Indonesia sejak awal orde baru telah mengadopsi resep ekonomi

Page 198: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

404 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

per tumbuhan yang dikenalkan oleh lembaga keuangan internasional: eksportasi bahan mentah, revolusi hijau, pembangunan infrastruktur raksasa, yang seluruhnya dibiayai utang. Setelah 32 tahun rejim Suharto berkuasa, Pelanggaran HAM meningkat secara fan tastis.Warga hidup dalam ketakutan, dan ekonomi yang dibiayai utang runtuh pada tahun 1997.

Paska reformasi, resep yang sama tetap diadopsi. Hanya kali ini ditambahkan dengan jurus memotong subsidi kebutuhan dasar, yaitu pendidikan, kesehatan serta Energi, dan privatisasi sektor-sektor tersebut.

Sektor energi merupakan sektor yang penting di Indonesia karena selain sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga sebagai komoditi ekspor.Tetapi pertumbuhan perekonomian ini juga dapat membawa dampak yang negatif bagi sumber daya alam seperti air, udara, dan tanah.Dampak negatif tersebut dapat berupa pencemaran sebagai akibat dari penggunaan energi. Penggunaan energi dapat mencemarkan lingkungan karena adanya limbah padat, limbah cair, dan polutan akibat emisi dari pembakaran energi fosil seperti: partikel, SO2, NOx, dan Carbon Dioxide (CO2).

Sebuah penelitian yang disampaikan di Polandia, menyebutkan, iklim di dunia saat ini berubah sangat cepat melebihi dari yang diperkirakan sebelumnya. Panel Ilmu wan untuk Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan hasil penelitian mereka bulan Februari menya-takan, percepatan perubahan iklim itu tidak hanya dipicu oleh aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar minyak dan penghancuran hutan.Bahkan, tanpa tambahan pe-micu sekalipun, IPCC mengindikasikan, jika tidak ada upaya yang serius, bencana-ben-cana seperti kekeringan, banjir, dan berbagai bencana lainnya yang mengancam kehi-dupan manusia masih akan terjadi hingga akhir abad ini (Suara Pembaharuan, 2008).

Dalam hal strategi yang mesti dilakukan untuk memperlambat dan menstabilkan perubahan iklim, Houghton, menyatakan selain dengan menerapkan dan menjalankan perjanjian internasional yang tertuang dalam konvensi iklim seperti pengurangan emisi karbondioksida dan menjalankan protokol montreal yang menekankan tentang pengu-rangan emisi CFC untuk mencegah efek rumah kaca. Hal lain yang baik untuk dilakukan (Sir John Houghton: 2004) adalah:

1. Mengurangi laju perusakan hutan;

2. Meningkatkan reboisasi;

3. Mengurangi emisi methane;

4. Menggalakan perilaku hemat energi dan konservasi;

5. Meningkatkan penggunaan energi yang terbarukan sebagai sumber pasokan energi.

Faktor terbesar pemicu pemanasan global adalah emisi karbon akibat deforestasi yang menyumbang hampir 20 persen. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, indonesia merupakan negara yang laju pengrusakan hutannya tertinggi di dunia. Di indonesia, laju kerusakan hutan lebih banyak dihasilkan dari proses alih fungsi hutan menjadi industri-industri ekstratif pertambangan dan perkebunan skala besar. Saat ini saja diketahui

Page 199: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Dermawati Sihite, Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.....| 405

kawasan hutan menyusut dari 143 juta hektar menjadi 72 juta hektar akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Hutan telah berjasa dalam keseimbangan iklim, mengurangi polusi, mereduksi, menyerap CO2 dan mengurangi pemanasan global Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek elnino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi ekologis dan biodiversiti besar. Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat persen saja.Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS).

Di Indonesia sendiri, pengunaan lanah dan alih fungsi tanah mengakibatkan pele-pasan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahun.Ironisnya, hanya dalam kurun waktu setngah abad Indonesia menyandang dua rekor sekaligus. Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka pada tahun 2008 gelar tersebut sudah ber-ganti sebagai Negara peghancur hutan tercepat versi Guiness book of record 2008 (Tempo, 2007: 62). Indonesia mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa karena memiliki hutan yang hijau-lebat.Hingga 1950, sekitar 84% daratan negeri ini berupa hutan.Indonesia pun menjadi salah satu dari 10 negeri pemilik hutan alam paling perawan sejagat.Tapi, itu sekitar setengah abad yang lalu.Mulai era orde baru, hutan pun tercabik-cabik.Industri kayu dan bubur kertas tumbuh tak terkendali. Setiap tahun industri ini membutuhkan kayu 74 juta meter kubik sedangkan kemampuan hutan untuk memasok bahan baku secara lestari hanya 20 juta meter kubik. Pembalakan liar pun merajalela, Sebagian besar hutan juga dikonversi menjadi perkebunan. Di era Suharto, sekitar 16 juta hektar hutan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit.

Pasca Suharto tidak lebih baik. Buku Rekor Guiness 2008 mencatat, dalam satu jam hutan seluas 300 lapangan sepakbola hancur. Dalam sepuluh tahun hutan seluas pulau Jawa raib. Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for international forestry research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja (jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hamper separuhnya sudah rusak), Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun. Ini sama dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman (Tempo, 2007: 56). Hal ini mengakibatkan Indonesia muncul sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia sesudah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi (penebangan hutan), kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut disebut-sebut sebagai penyebab utama emisi Indonesia (Dilworth A, Baird N & Kirby (Eds), 2008).

Fakta-fakta tersebut kini diketahui oleh para pemerintah. Selain itu masalah de-fores tasi dilihat sebagai cara yang relatif ”mudah” untuk melakukan mitgasi terhdap peru bahan iklim (Stem, 2006), pertemuan internasional COP 13 dan UN Framework Con vention di Climate Change (UNFCCC) di Bali, memutuskan untuk memfokuskan diri pada kepada penurunan emisi dari deforestasi di negara berkembang (Reducing Emis sions from Deforestation (RED)) sebagai bagian dari usaha-usaha mereka untuk mengurangi perubahan iklim (UNFCCC, 2008).

Page 200: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

406 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

Masalah pemanasan global mendapat perhatian dunia setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan oleh PBB pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit). Setelah KTT Bumi telah diadakan beberapa pertemuan internasional dan hasil yang penting adalah Rapat Tahunan COP (Conference Of the Party) III di Kyoto pada tahun 1997 yang diadakan oleh UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change).

Rapat tersebut mengeluarkan Kyoto Protocol. Isi kesepakatan ini adalah kewajiban bagi negara maju yang disebut Annex I Countries untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 5 % dibawah level tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. Dengan keputusan ini banyak negara maju diperkirakan tidak akan bisa memenuhi target untuk mengurangi emisi di negaranya. Oleh karena itu muncul sistem perdagangan emisi (tradeable emission permit) yang memperbolehkan negara berkembang menjual emisi yang masih rendah kepada negara maju yang kelebihan emisi.

Kesadaran dunia akan kondisi lingkungan yang sudah semakin rusak, yang di-tandai dengan perubahan iklim yang cukup ekstrim di beberapa wilayah mengakibatkan muunculnya perubahan perilaku bagi sebagian besar masyarakat didunia, terutama dalam hal pola konsumsi dan produksi. Salah satu contohnya adalah dengan penggunaan sum-ber-sumber energi terbarukan seperti matahari, angin dan bio fuel.

Salah satu bentuk dari implementasi kesadaran akan pentingnya menjaga lingkung-an adalah diterapkannya standar ecolabel terhadap produk-produk yang akan masuk ataupun keluar dari negaranya. Ecolabel adalah sebuah label pada produk yang menun-jukkan bahwa produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah keles-tarian lingkungan hidup (http//:www.hutanlestari.com/pdf/Ekolabel.pdf, 2009). Dengan demikian, sertifikat ecolabel dapat membantu konsumen memilih produk-produk yang ramah lingkungan. Eropa adalah salah satu Negara yang memberlakukan ecolabel tersebut terhadap barang-barang yang akan di ekspor ke negaranya.Penggunaan ecolabel ini pada awalnya dilakukan untuk produk-produk yang berasal dari hutan alam, seperti kayu dan yang lainnya.Pembeli kayu di negara maju kini menolak suatu produk bila tanpa serti-fikasi Ecolabel.Menurut mereka, kayu tanpa sertifikat itu adalah hasil penebangan liar. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) kayu atau furniture yang melengkapi usahanya den-gan ecolabel kesejahteraannya lebih meningkat.Pengusaha itu mendapatkan pemasukan 10 persen lebih dari usaha sebelumnya (http//:www.greenradio.fm/index.php, 2010).

Indra Setiadewi, Manajer Komunikasi Lembaga Ecolabel Indonesia (LEI) menyam-paikan pengalaman pengusaha kecil furniture di Yogyakarta yang sudah bersertifikat ecolabel. Pengusaha dengan konsumen dari dalam dan luar negeri itu bertambah pmask-annya hingga 10 persen.

Pada perkembangannya ecolabel tersebut tidak hanya diberlakukan bagi produk-produk yang merupakan hasil hutan semata,dimana masalah lingkungan hidup itu saat ini sudah masuk kedalam skema perdagangan internasional, dimana Negara-negara pro-dusen haruslah melengkapi persyaratan-persyaratan tertentu yang menyatakan bahwa produk mereka tersebut ramah lingkungan dan diproduksi dengan cara yang aman, baru-lah produk tersebut dapat masuk kenegara mereka.

Page 201: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Dermawati Sihite, Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.....| 407

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, sedangkan metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif.Dengan melakukan studi terhadap peraturan-peraturan hokum baik instrument hukum internasional dan hukum nasional yang mengatur mengenai per-lindungan konsumen dan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

PEMBAHASAN

Implementasi Pengaturan Ecolabel terhadap Perdagangan Internasional di Indonesia

Globalisasi membuat kendala geogarafis bukan lagi menjadi suatu hambatan dalam melakukan hubungan perdagangan antar negara.Dengan adanya kemajuan teknologi in-formasi, komunikasi, dan transportasi, arus pertukaran barang dan jasa semakin mudah.Hal ini tentu semakin membuka kesempatan luas bagi terjadinya perdagangan tan pa mengenal batas negara. Aktivitas ekspor-impor antara suatu negara dengan negara lain semakin terbuka luas, apalagi setelah WTO mengeluarkan peraturan tidak boleh ada hambatan lain selain hambatan tarif yang menghambat aktivitas perdagangan inter-nasional (http://www. wto .org/english/docs_e/legal_e/17-tbt.pdf , 2009).

Sayangnya, globalisasi selain membawa dampak positif bagi kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, globalisasi juga membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.Globalisasi juga membatasi independensi suatu pemerintahan nasional pada suatu dimensi, namun pemerintah dalam berbagai aspek dapat memanfatkan perangkat–perangkat untuk mengontrol interkasi antara perdagangan, modal, dan arus buruh di satu pihak dan budaya nasional serta lingkungan di pihak lain (World Bank, 2002: 140).

Adanya kebijakan ecolabel di Uni Eropa merupakan salah satu bentuk upaya peme-rintah di negara-negara Uni Eropa dalam melindungi warganya dari dampak buruk glo-balisasi.Globalisasi yang berdampak pada perdagangan bebas memicu negara-negara untuk meningkatkan kapasitas produksi dan industri mereka guna mendapatkan keun-tungan sebesar-besarnya. Meningkatnya polusi akibat tidak terkontrolnya limbah dan asap pabrik yang merupakan hasil dari aktivitas industri secara langsung turut berkon-tribusi bagi pemanasan global. Pengambilan bahan mentah yang dapat mengancam rusaknya ekosistem juga telah menjadi perhatian bagi masyarakat Eropa untuk memilih barangbarang yang bahan mentahnya lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan untuk dikonsumsi. Perubahan cara pandang inilah yang berpengaruh dalam perubahan gaya hidup dan pola perilaku konsumsi masyarakat Eropa.

Ecolabel adalah suatu skema yang dikeluarkan sejak tahun 1992 untuk mendorong produsen memproduksi barang-barang dan jasa yang ramah lingkungan.Ecolabel merupa-kan standar produk ramah lingkungan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa untuk melindungi masyarakatnya dari produk-produk maupun jasayang membahayakan lingkungan (http://ec.europa.eu/environment/ecolabel/about_ecolabel/what_is_ecolabel_en.htm, 2009).

Kebijakan ecolabel ini mencakup banyak hal mulai dari peralatan rumah tangga sampai barang-barang produksi pertanian.Kebijakan ecolabel ini mulai diimplementasikan di

Page 202: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

408 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

Uni Eropa sejak 16 Juli 2008 (http: //ec.europa.eu/environment/ecolabel/about_ecolabel/what_is_ecolabel_en.htm, 2009).

Adapun standar yang harus dipenuhi suatu barang maupun jasa untuk masuk kedalam kriteria yang ramah lingkungan bukan hanya satu faktor, melainkan suatu rangkaian analisa sebuah produk atau jasa dan pengaruhnya terhadap lingkungan, mulai dari pemakaian bahan mentah, cara produksi, distribusi, dan limbah yang dihasilkan. Dengan adanya skema ini diharapkan barang yang masuk ke Eropa akan mempunyai ke ung gulan yang kompetitif dankonsumen akan mendapatkan barang-barang yang tidak berbahaya dan ramah lingkungan.

Namun disisi lain, pemberlakuan pengaturan tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi Negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Sebagai contoh, pemberlakuan per-sya ratan ecolabel terhadap produk yang masuk ke Eropa sedikit banyak telah mem-pengaruhi nilai ekspor produk Indonesia di pasar Eropa.Uni Eropa (UE) merupakan suatu wilayah yang menjadi pasar yang potensial bagi Indonesia dengan jumlah populasi 500 juta jiwa.

Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar ke empat bagi Indonesia.Kontribusi ekspor ke Eropa sekitar 13 persen dari total ekspor Indonesia. Pada Januari-Oktober 2009 ekspor ke Uni Eropa mencapai US$ 10,92 miliar. Namun, nilai ekspor 2009 mengalami penurunan dari periode yang sama pada 2008 sebesar US$ 12,85 miliar (http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/12/08/ brk,20091208-212580,id.html, 2010).

Bagi Indonesia, UE masih merupakan pasar penting dan salah satu sumber penanaman modal asing utama di Indonesia. Perdagangan bilateral kedua negara pada tahun 2008 mencapai USD 28,20 milyar dan terus menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. UE adalah pasar tujuan ekspor Indonesia yang potensial.UE merupakan pasar utama terbesar bagi Indonesia setelah Amerika Serikat dan Jepang. Ekspor Indonesia ke UE pada tahun 2008 tercatat sebesar 15,45 milyar dollar AS , sedangkan impor Indonesia dari UE pada tahun 2008, tercatat sebesar US$ 10,5 milyar dollar AS (http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/12/08/ brk,20091208-212580,id.html, 2010).

Uni Eropa sebagai bentuk kerjasama regional kawasan Eropa dengan 27 negara anggota, jumlah penduduk 499 juta, GDP 16,8 trilyun euro (28% GDP dunia) telah menjadi kekuatan utama ekonomi dan politik global (http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/12/08/ brk,20091208-212580,id. html, 2010).

Saat ini UE merupakan kekuatan dagang terbesar dunia yang menguasai 20% nilai ekspor-impor global.Indonesia mengekspor lebih dari setengah produk non migas seperti olahan manufaktur dan pertanian terutama minyak sawit mentah ke Uni Eropa.Nilai perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa bertumbuh sekitar 6 persen selama 2004-2008 (http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/12/08/ brk,20091208-212580,id.html, 2010).

Ada delapan komoditas utama ekspor Indonesia ke Uni Eropa yang sangat terkait dengan masalah Ecolabel ini, yaitu kayu, pulp dan kertas, rotan, kopi, kakao, kelapa sawit, tuna, dan udang.

Page 203: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Dermawati Sihite, Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.....| 409

Kebijakan ecolabel yang dikeluarkan oleh Uni Eropa ternyata berpengaruh terhadap kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang mulai saat ini sudah menerapkan aturan yang ketat terkait standar produk yang ramah lingkungan.Pemerintah Indonesia telah membuat suatu ketetapan khusus dimana terdapat standar-standar ramah lingkungan yang wajib dipenuhi oleh para pengusaha komoditas ekspor tersebut.Pemerintah Indonesia pada akhirnya juga menerapkan standar ecolabel bagi beberapa komoditas ekspornya.Indonesia mulai menerapkan ecolabel pada tahun 1994 sebagai inisiatif pemerintah atau government driven yang merupakan komitmen politik dalam mengahadapi isu lingkungan hidup guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Namun banyak asumsi yang menyatakan bahwa ecolabel adalah sebuah kebijakan negara-maju untuk mendikte kebijakan negara-negara berkembang dan sebuah alat pro-tek sionis guna melindungi produkproduk dalam negerinya dari “serangan” produk-pro-duk ekspor negara-negara berkembang (www.kapanlagi.com/h/0000196613_print.html, 2009).

Meskipun demikian, dari delapan komoditas ekspor Indonesia yang telah disebutkan, hanya produk kehutanan yang menerapkan ecolabel dan inipun masih terbatas pada komoditas kayu lapis.Salah satu pertimbangannya adalah karena kerusakan hutan yang sangat parah sebagai akibat pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Sedangkan pe ne-rapan ecolabel pada komoditas-komoditas ekspor lainnya, meskipun tekanannya lebih kepada masalah teknis dan manajemen, melalui penerapan ISO (International Stan-dard Operation) dan SNI (Standar Nasional Indonesia), tetapi secara umum telah mem-perhatikan isu lingkungan.

Ecolabel dapat dilihat sebagai suatu kebijakan perdagangan yang terkait erat dengan proteksi lingkungan hidup.Banyak negara, seperti di Uni Eropa melakukan peningkatan perlindungan terhadap kondisi lingkungan mereka sebagai akibat dari globalisasi melalui aksi lokal kolektif.Namun, banyak juga negara yang tidak dapat melakukannya. Adapun kebijakan ecolabel jika dilihat dari perspektif perdagangan bebas akan menjadi salah satu penghambat bagi terciptanya perdagangan bebas yang adil. WTO memang telah mengeluarkan peraturan bahwa penggunaan optimal dari semua sumber daya yang ada di dunia hendaknya sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, walaupun demikian negara-negara anggota WTO tidak mau mengintervensi kebijakan lingkungan internasional (www.kapanlagi.com/h/0000196613_print.html, 2009).

Untuk mengantisipasi tuntutan eksportir/konsumen luar negeri dan meningkatkan daya kristis masyarakat (petani, pelaku bisnis, dan pemerintah) terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sehingga menghasilkan komoditas ekspor berecolabel, yang memberi keuntungan lebih tinggi dibanding dengan yang tidak berecolabel, di-perlukan kebijakan pemerintah mengenai ecolabel baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan-peraturan yang mengikat terutama yang berkaitan dengan komoditas ekspor Indonesia yang berbasis sumber daya alam.

Indonesia juga memanfaatkan Trade Support Programme (TSP) yang digagas oleh Komisi Eropa pada 2005 dalam bentuk kerjasama bantuan teknik untuk meningkatkan perdagangan Indonesia.

Page 204: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

410 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

Pengaturan Hukum Lingkungan mengenai Ecolabel di Indonesia

Perdagangan dan isu lingkungan hidup menjadi hal yang tidak terpisahkan akhir-akhir ini.Hal tersebut dikarenakan perkembangan isu lingkungan hidp itu sendiri yang telah membentuuknya menjadi sesuatu yang lintas sektoral, multi displin dan menuntut keterlibatan multi pihak.Hal tersebut lah yang kemudian melatar belakangi masuknya isu-isu lingkungan hidup dalam kerangka perdagangan di organisasi perdagangan dunia (WTO).Dalam pertemuan WTO di Makaresh, masalah ecolabel sebagai salah satu stan-dard internasional di bidangg lingkungan hidup telah diterima sepanjang hal tersebut dilaksanakan secara non diskriminatif, transparan dan ditangani dengan pendekatan multilateral dan berdasarkan standard-standar internasional.

Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, GATT telah mengeluarkan enam persetujuan (1994) yang termuat baik didalam preambule,batang tubuh, maupun lam-pirannya, yakni Agreement on establishing the WTO (Persetujuan tentang pembentukan organisasi perdagangan dunia), Agreement on agriculture (Persetujuan tentang perta-nian), Agreement on the application of sanitary and phytosanitary measures (persetujuan tentang pelaksanaan perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan), Agreement on technical barriers to trade (persetujuan tentang hambatan teknis dalam perdagangan), agreement on subsidies andcountervailing measures (Persetujuan tentang subsidi dan tindakan-tindakan pengimbang) dan Agreement on technical barriers to trade (persetujuan tentang hambatan teknis dalam perdagangan).

Munculnya pengaturan hukum internasional ini, mau tidak mau memaksa Negara-negara produsen untuk memperketat pengaturan hukum di negaranya dalam mencitakan produk yang ramah lingkungan, agar dapat memasarkan produknya ke pasar internasion-al.Pada prakteknya pengaturan mengenai ecolabel ini muncul dalam bentuk ISO (Inter-national Standar Operation) dan SNI (Standar Nasional Indonesia.Pengaturan ini dihar-apkan dapat mengurangi terjadinya pemanasan global, seperti yang diterapkan di eropa.Misalnya standar euro2 dan euro3 yang dikenal dalam dunia otomotif merupakan standar yang digunakan untuk mengatur emisi gas buang dari suatu kendaraan. Kendaraan yang memenuhi standar euro 2 atau euro 3 berarti telah berhasil mengurangi emisi gas buang sampai level yang dipersyaratkan, yang berarti berkurangnya emisi yang dilepaskan ke udara bebas. Penerapan SNI ISO 14001 yang konsisten dalam perusahaan berarti telah membantu mengurangi emisi yang dilepaskan ke udara, air dan permukaan tanah oleh industri yang ujungnya meminimalkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Di Indonesia pengaturan hukum mengenai produk yang ramah lingkungan dan aman bagi konsumen tersebut sudah muncul dari awal tahun 1990 an, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pokok-pokok pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, dibentuklah Badan Standardisasi Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, meru-pakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional–DSN. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi

Page 205: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Dermawati Sihite, Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.....| 411

Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).KAN mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi (http://www.bsn.or.id/beranda.html, 2010). Sedangkan pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran.Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melin-dungi produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, kesela-matan, kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu men-dorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu memfa-silitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.

Selain BSN, juga terdapat lembaga non pemerintah yang mengeluarkan seritifikasi tersebut, yakni LEI (Lembaga Ecolabel Indonesia).Sertifikasi ecolabel merupakan sertifikasi yang digunakan untuk memberi nilai bahwa suatu produk merupakan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan yang memperhatikan norma-norma lingkungan hidup, norma ekonomi dan norma sosial, sehingga kelestarian sumber daya alam dapat terjaga. Sertifikasi LEI merupakan sertifikasi ecolabel yang dikembangkan oleh LEI (Lembaga Ecolabel Indonesia) yang bertujuan untuk mendorong perbaikan-perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia melalui penerapan standar pengelolaan dengan harapan dapat meng-em balikan jalur pengelolaan hutan dan memperbaiki kondisi pengelolaan hutan agar menjadi lebih baik. Hutan maupun industri yang mengolah hasil hutan perlu melalui proses sertifikasi apabila ingin menghasilkan produk hasil hutan yang bersertifikat. Kawasan hutan yang telah lolos penilaian sertifikasi ditandai dengan adanya sertifikat, sedangkan produk-produk hasil hutan yang telah lolos penilaian sertifikasi ditandai dengan adanya sertifikat dan label. Label berupa logo LEI pada produk-produk kayu memberikan jaminan bahwa keseluruhan produksi, mulai dari sumber bahan baku, hingga ke pengolahan akhir memenuhi nilai-nilai lingkungan, sosial dan ekonomi.

LEI sebagai lembaga resmi yang mengeluarkan ecolabel di Indonesia, menggunakan standar lokal.Meskipun begitu, ecolabel dari Indonesia ini sudah diakui secara interna-sional.Sertifikasi ini diakui di Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat.Negara-negara potensial pasar kayu Indonesia.

Pengaturan Hukum lainnya yang terkait dengan ecolabel dan standarisasi ini adalah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Labelisasi produk dan iklan. Meskipun demikian, secara resminya, skema eco-label ini baru diluncurkan secara resmi pada tahun 2004 yang meliputi tiga katagori produk, yakni tekstil dan produk-produk pakaian jadi, deterjen untuk pemakaian rumah tangga, dan kertas. Selain itu, Indonesia, dalam hal ini Kementrian Lingkungan hidup

Page 206: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

412 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

juga melakukan proses standarisasi ataupun sertifikasi yang dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan dari mekanisme ecolabel ini, yakni pemberian Adipura bagi wilayah yang memenuhi standarisasi tertentu yang dipersyaratkan oleh kementrian Lingkungan Hidup dalam hal kebersihan, serta pemberian proper (dengan menggunakan warna sebagai peringkatnya)kepada perusahan-perusahaan dalam hal pengelolaan lingkungan hidupnya.

Selain itu, masalah lingkungan hidup ini pun juga di internalisasikan ke dalam ke-bijakan internal didalam Bank Indonesia dimana dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 2 Tahun 2005, mempersyaratkan adanya kelengkapan performa lingkungan dalam kebijakan kredit perbankan yang dibuat oleh bank Indonesia. Ketika hasil proper pada tahun 2005 diumumkan, beberapa bank nasional yang melakukan penyesuaian pembayaran bunga sampai 0,5 % terhadap perusahaan yang mendapat kategori proper merah dan hitam dari kredit yang diajukannya (Kementrian LH, 2006).

Pengaturan mengenai ecolabel ini akhirnya dilengkapi dengan keluarnya Undnag-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terutama pada Pasal 43 (3) huruf g yang memberikan insentif dan disinsentif (melalui pendekatan instrument ekonomi lingkungan) dalam beberapa bentuk, termasuk pengembangan sistem label ramah lingkungan.

SIMPULAN

Simpulan

Seiring dengan munculnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan yang sehat, yang didasari dengan terjadinya bencana alam dan perubahan iklim yang cukup ekstrem, maka trend konsumen di dunia pun berubah. Perubahan trend tersebut juga di ikuti dengan keluarnya pengaturan-pengaturan hukum internasional dan hukum nasio-nal yang mewajibkan negara-negara untuk mengurangi emisinya dan melakuka pem-bangunan yang berkelanjutan.Salah satu implementasi tersebut juga diwujudkan dengan munculnya persyaratan ecolabel yang mewajibkan produk-produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut untuk memenuhi persayaratan yang memenuhi standar ramah ling-kungan.

Salah satu dari persyaratan penggunaan ecolabel tersebut adalah untuk barang-barang yang akan di ekspor, dan masuk ke pasar eropa. Kebijakan ecolabel yang dikeluarkan oleh Uni Eropa ternyata berpengaruh terhadap kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang saat ini sudah menerapkan aturan yang ketat terkait standar produk yang ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia telah membuat suatu ketetapan khusus dimana terdapat standar-standar ramah lingkungan yang wajib dipenuhi oleh para pengusaha komoditas ekspor tersebut.Pemerintah Indonesia pada akhirnya juga menerapkan standar ecolabel bagi beberapa komoditas ekspornya.Indonesia mulai menerapkan ecolabel pada tahun 1994 sebagai inisiatif pemerintah atau government driven yang merupakan komitmen politik dalam mengahadapi isu lingkungan hidup guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Page 207: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Dermawati Sihite, Implementasi Ecolabel dalam Pengaturan Hukum Lingkungan.....| 413

DAFTAR PUSTAKA

Dilworth A, Baird N & Kirby (Eds.) (2008) Losing Ground, Friends of the Earth, Life Mosaic and Sawit Watch, [online]: www.foe.co.uk/resource/reports/losingground.pdf.

Dooley K, Griffiths T, Leake H, Ozinga S (2008) Cutting Corners, FERN/Forest Peoples Programme, [online]: www.fern.org/media/documents/document_4312_4313.pdf

Friends of the Earth International (FOEI) (2008) REDD Myths, [online]: www.foei. org/en/publications/pdfs/redd-myths/view, hlm.33. http//:www. hutanlestari. com/pdf/Ekolabel.pdf diunduh pada 22 Desember 2009 pukul 8.00.

Houghton, Sir John, Global Warming; The Complete Briefing 3rd edition, Cambridge University Press, 2004.

http//:www.greenradio.fm/index.php. diunduh pada 18 Juli 2010

http://www. wto .org/english/docs_e/legal_e/17-tbt.pdf diunduh pada 10 Desember 2009 pukul 13.05 WIB.

http://ec.europa.eu/environment/ecolabel/about_ecolabel/what_is_ecolabel_en.htm diunduh pada 11 Desember 2009 pukul 17.35 WIB.

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/12/08/brk,20091208-212580,id.html diunduh pada 17 Juli 2010 pukul 11.00 WIB

http://www.bsn.or.id/beranda.html, diunduh pada 18 Juli 2010, pukul 23.00 wib.

Stern (2006), Stern Review on the Economics of Climate Change, Chapter 25. HM Treasury, UK, www.hmtreasury.gov.uk/independent_reviews/stern_review_eco-nomics_climate_change/sternreview_index.cfm

-----------------Walhi, Kertas krisis (potret Krisis di Indonesia), Crisis Paper disampaikan pada Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup, Jogjakarta, April 2008.

------------------Dunia Belum Sadari Risiko Perubahan Iklim, SUARAPEMBARUAN/ 02 Desember 2008

------------------Kementrian LH, Role of PublicPolicy in Providing Sustainable Consumption Policies: Resources Saving Society and Green Growth, Makalah dalam 2ndGreen Growth Policy Dialogue,Beijing, May 23-25, 2006

------------------Setengah abad dua rekor, Liputan Khusus Perubahan Iklim, Tempo edisi 3-9 Desember 2007.

------------------In memoriam : Zamrud Khatulistiwa, Liputan Khusus Perubahan Iklim, Tempo edisi 3-9 Desember 2007.

World Bank, Globalization, Growth, and Poverty, building an Inclusive World Economy, World Bank Policy Reports (New York : Oxford University Press, 2002).

www.kapanlagi.com/h/0000196613_print.html, diunduh pada 11 Desember 2009 pukul 21.25 WIB.

Page 208: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

414 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 403-413, ISSN 2085-6644

Usep Setiawan, Petanu dan Pengusaha. Harian Rakyat, Jum'at 26 Desember 2008.

Reforma Agraria dan Demokrasi. WWW.Berpolitik.com

Page 209: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

JURNAL CITA HUKUM (JCH)ISSN 2085-6644

Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-413

BIODATA PENULIS

SYAHRIDA, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

ZAKIYAH, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

DIANA RAHMAWATI, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

HJ. ROOSDIANA A. RACHMAN, SH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

TAVINAYATI, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dosen Program Magister Kenotariatan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

BAMBANG SUJATMIKO, SH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Antakusuma, Pangkalan Bun, tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

YULIA QAMARIYANTI, SH, M.Hum., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dosen Program Magister Kenotariatan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sekarang sedang melanjutkan Program Pascasarjana Program Doktor (S3) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dr. ABDUL HALIM BARKATULLAH, S.Ag, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dosen Program Magister Kenotariatan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Page 210: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

416 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, ISSN 2085-6644

Drs. WERHAN ASMIN, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sekarang sedang melanjutkan Program Pascasarjana Program Doktor (S3) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya, Malang.

MIRZA SATRIA BUANA, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

MUHAMMAD RUSMAWARDI, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Antaku-suma, Pangkalan Bun, tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

SOFIA RACHMAN, SH, MH., Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Selatan, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

MULYANI ZULAEHA, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

RAHMAT BUDIMAN, SH, LLM. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

RAHMIDA ERLIYANI, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

DERMAWATI SIHITE, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

AHMAD SYAUFI, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

H. RACHMADI USMAN, SH, MH. Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dosen Program Magister Kenotariatan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

M. RIFQINIZAMY KARSAYUDA, SH, LLM., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

HJ. NURUNNISA, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Page 211: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

JURNAL CITA HUKUM (JCH)ISSN 2085-6644

Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, hlm. 211-413

INDEKS PENGARANG

Ahmad Syaufi 263

Dermawati Sihite 237, 285, 403

Diana Rahmawati 305

M.Rifqinizamy Karsayuda 363

Mulyani Zulaeha 237, 285

Nurunnisa 375

Rahmida Erliyani 237, 285

Rachmadi Usman 343

Rahmat Budiman 311, 305

Syahrida 305

Yulia Qamariyanti 305

Page 212: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

Page 213: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.

PEDOMAN PENULISANJURNAL CITA HUKUM (JCH)

Jurnal Cita Hukum (JCH) menerima naskah tulisan bentuk Hasil Penelitian, Hasil Pemikiran atau Resensi Buku yang berasal dari kajian-kajian hukum untuk dimuat dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Jurnal terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember, namun dalam waktu tertentu akan menerbitkan Edisi Khusus;

2. Artikel yang diterima belum pernah diterbitkan dalam media lain;

3. Artikel ditulis dengan Bahasa Indonesia atau bahasa asing dengan standar penggunaan Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang baik dan benar;

4. Artikel disertai Abstrak dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia masing-masing 100 kata dan kata kunci dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia masing-masing 3 kata;

5. Naskah terdiri dari 15-25 halaman kuarto (A4) dengan spasi tunggal, diketik dengan MS Words, huruf Times New Roman, Font 12;

6. Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan ditulis dengan sistem catatan perut/bodynote/sidenote dengan pedoman sebagai berikut:

a. Satu Penulis ........................ (Abdurrahman, 1996: 12).

b. Dua Penulis ......................... (Tavinayati & Yulia Qamariyanti, 2007: 67).

c. Lembaga/Institusi ............... (IWAPI, 1994: 17).

d. Lebih dari Dua Penulis ....... (Marzuki Usman, ”et.al”, 1997: 75).

7. Daftar Pustaka disusun secara alfabetis dengan mengikuti pedoman sebagai berikut:

a. Buku:

Chazawi, Adawi. 2007. Tindak Pidana atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Malang: Bayu Media.

Echols, John. M dan Hasan Sadily. 1994. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

b. Dokumen Resmi:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI). 1994. Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Wanita. Dalam ”Makalah ” Seminar Pekerja Wanita.

Page 214: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

420 | Jurnal Cita Hukum, Volume 2, Nomor 2, Desember 2010, ISSN 2085-6644

Tanggal 23 April 1994. Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

c. Hasil Penelitian:

Syahrida. 1999. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Wanita Pada Industri Kecil Citra Sasirangan di Kotamadya Banjarmasin. Dalam ”Hasil Penelitian”. Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

d. Artikel dalam Jurnal:

Safaat, Rachmad. 1998. Tindakan Kekerasan Terhadap Buruh Perempuan (Bahasan Awal dengan Analisis Gender). Dalam ”Jurnal Arena Hukum” Nomor 4 Tahun 1. April 1998. Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

e. Artikel dalam Internet:

Andre. 2003. Perburuhan dan Tenaga Kerja: Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. ”http//:www.hukumonline.com.” diakses tanggal 26 Maret 2006.

f. Buku Terjemahan:

Kelsen, Hans (Terjemahan). 2006. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusamedia dan Nuansa.

g. Artikel dalam Koran:

Banjarmasin Post. 15 September 2008. Perlindungan Hukum Konsumen.

Pitunov, B, 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengung-gulan? Majapahit Pos.

h. Peraturan perundang-undangan disusun secara hirarhikal.

8. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: Judul, Nama Penulis, Alamat: e-mail dan instansi, Abstrak (maksimal 100 kata). Kata Kunci (3 kata), Pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, masalah, tujuan penelitian; Tinjauan Pustaka; Metode Penelitian; Hasil Penelitian; Simpulan; Saran; Daftar Pustaka.

9. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: Judul, Nama Penulis, Alamat: e-mail dan instansi, Abstrak (maksimal 100 kata). Kata Kunci (3 kata), Pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, masalah; Tinjauan Pustaka; Pembahasan; Simpulan; Saran; Daftar Pustaka.

10. Semua naskah tulisan ditelaah secara anonim oleh Penyunting atau Mitra Bestari yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis naskah diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari penyunting atau mitra bestari. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis naskah;

11. Penulisan tabel atau gambar diberi nomor urut, judul dan sumber;

Page 215: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

Pedoman Penulisan| 421

12. Resensi buku:

a. Topik atau judul buku yang diresensi berkaitan dengan kajian hukum;

b. Maksimal telah terbit 1 (satu) tahun;

c. Resensi ditulis di kertas ukuran kuarto terdiri dari 5–7 halaman dengan spasi ganda;

d. Menyerahkan scan sampul buku yang diresensi;

e. Melampirkan biodata dan copy identitas yang merensi buku.

13. Naskah tulisan dalam bentuk hard copy (print out) rangkap 2, soft copy (CD atau falsh disk) dapat diserahkan langsung atau dikirim ke Sekretariat Jurnal Cita Hukum (JCH), dengan dilampiri biodata, copy bukti diri, photo 3x4 sebanyak 1 lembar;

14. Naskah tulisan yang dimuat dan diterbitkan akan dikenakan kontribusi biaya pe-nerbitan. Naskah tulisan yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.

15. Naskah tulisan dikirim ke: Pengelola Jurnal Cita Hukum (JCH), d.a. Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Brigjend H.Hasan Basry Banjarmasin 70123, e-mail:[email protected], dan rahmatbudimansh@@@@yahoo.com

16. Contact person: Rachmadi Usman, SH, MH. Hp. 085249774568; Yulia Qamariyanti, SH, M.Hum. Hp: 081351323769; Rahmat Budiman, SH. Hp: 081392714980.

Page 216: JURNAL CITA HUKUM - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/2584/1/JCH V0L 2 NO 2 Des 2010 (1).pdf · Pengetahuan Masyarakat Pinggiran Sungai Tentang Perda Nomor 4 ... Meningkatkan Perlindungan

.