Jurnal CAP

25
LAPORAN JURNAL READING Community-Acquired Pneumonia DISUSUN OLEH : Lydia Marchelina (406138156) Regina Widjaja (406138070) Sicilia Reynita Salim (406138140) PEMBIMBING : dr. Bambang Adi Setyoko, Sp.PD FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

description

journal reading rsud kudus

Transcript of Jurnal CAP

Page 1: Jurnal CAP

LAPORAN JURNAL READING

Community-Acquired

Pneumonia

DISUSUN OLEH :Lydia Marchelina (406138156)

Regina Widjaja (406138070)

Sicilia Reynita Salim (406138140)

PEMBIMBING :

dr. Bambang Adi Setyoko, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

Page 2: Jurnal CAP

Pneumonia Komunitas

Sejak lama pneumonia diakui sebagai penyebab utama kematian dan telah

dipelajari secara intensif sejak tahun 1800-an, yang hasilnya memberikan banyak

perkembangan wawasan dalam mikrobiologi modern. Meskipun telah dilakukan penelitian

dan perkembangan agen antimikroba, pneumonia masih merupakan penyebab utama

komplikasi dan kematian. Pneumonia Komunitas adalah sindrom dimana terjadi infeksi

akut pada paru-paru orang-orang yang belum pernah dirawat di rumah sakit baru-baru ini

dan tidak terpapar secara rutin terhadap sistem pelayanan kesehatan.

Penyebab

Dalam era preantibiotic, 95% kasus pneumonia disebabkan oleh Streptococcus

pneumoniae. Pneumokokus tetap merupakan penyebab Pneumonia Komunitas (PK) yang

paling sering diidentifikasi, namun frekuensinya sudah berkurang, dan sekarang hanya

terdeteksi sekitar 10 hingga 15% dari kasus rawat inap di Amerika Serikat. Faktor-faktor

yang diakui berkontribusi pada penurunan ini termasuk meluasnya penggunaan vaksin

polisakarida pneumokokus pada orang dewasa, hampir secara keseluruhan penggunaan

vaksin konjugasi pneumokokal pada anak-anak,9 dan penurunan jumlah perokok. Di Eropa

dan belahan dunia lainnya dimana vaksin pneumokokus lebih jarang digunakan dan tingkat

perokok tinggi, pneumokokus tetap menjadi penyebab utama dari banyaknya kasus PK.

Bakteri lain yang menyebabkan PK termasuk Haemophilus influenzae,

Staphylococcus aureus, Moraxella catarrhalis, Pseudomonas aeruginosa, dan basil gram

negative lainnya (Tabel 1). Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami PK yang disebabkan oleh H. influenzae dan

Mor. catarrhalis. P. aeruginosa dan basil gram negative lain juga menyebabkan PK pada

orang yang memiliki COPD atau bronkiektasis, terutama pada mereka yang memakai

glucocorticoids. Terdapat variasi yang luas dalam pelaporan insiden PK yang disebabkan

oleh Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydophila pneumoniae (disebut bakteri atipikal

penyebab PK), tergantung pada teknik diagnostik yang digunakan. Baru-baru ini tersedia

teknik polymerase chain-reaction (PCR) yang akan membantu untuk menjelaskan hal ini.

Bakteri tipe lain yang menjadi penyebab pneumonia yaitu legionella sp. yang terjadi pada

Page 3: Jurnal CAP

lokasi geografis tertentu dan cenderung mengikuti paparan tertentu. Campuran

mikroaerofilik dan bakteri anaerob (disebut flora oral) sering terlihat pada pewarnaan

Gram dari sputum, dan organisme ini mungkin berperan pada kasus-kasus yang tidak

ditemukan penyebabnya.

Selama wabah influenza, virus influenza yang beredar menjadi penyebab utama PK

yang cukup serius sehingga memerlukan rawat inap, dengan infeksi bakteri sekunder

sebagai contributor utama. Respiratory syncytial virus, Parainfluenza virus, human

metapneumovirus, adenovirus, coronavirus, dan rhinovirus biasanya terdeteksi pada

pasien dengan PK, tetapi mungkin tidak jelas sampai sejauh mana beberapa organisme ini

menyebabkan penyakit atau membuat pasien cenderung mengalami infeksi sekunder oleh

bakteri patogen. Virus lain yang menyebabkan PK termasuk Middle East Respiratory

Syndrome CoronaVirus (MERS-CoV), yang baru-baru ini muncul di Semenanjung Arab

(Arabian Peninsula), dan avian-origin influenza A (H7N9), yang baru-baru ini muncul di

Cina.

Mikobakteria Nontuberculous, di daerah endemis, jamur seperti spesies

Histoplasma dan Coccidioides menyebabkan infeksi subakut yang ditandai dengan batuk,

demam, dan infiltrat paru baru. Coxiella burnetii mungkin dapat menyebabkan pneumonia

akut dengan batuk, demam tinggi, sakit kepala parah, dan aminotransferase yang

meningkat. Kita tidak bisa menitikberatkan pada salah satu penyebab yang mungkin, bisa

infeksius atau non-infeksius (Tabel 1). Sebagian besar studi tentang penyebab PK

dilakukan di rumah sakit pelayanan kesehatan tingkat tersier, yang mungkin tidak

mewakili populasi pada umumnya, meskipun patogen serupa telah dilaporkan dalam studi

outpatients.26,27 Meskipun upaya yang paling teliti untuk menentukan penyebabnya, tidak

ada penyebab yang ditemukan pada sekitar separuh pasien yang dirawat inap untuk PK di

Amerika Serikat, menunjukkan area yang penting bagi penelitian di masa depan.

Page 4: Jurnal CAP

Tabel 1. Penyebab Infeksius dan Noninfeksius pada Konsisten Sindrom dengan

Pneumonia Komunitas (PK) yang Membutuhkan Penanganan di RS*

Penyebab paling

sering

Penyebab yang jarang Penyebab yang tidak umum

Infeksius

Streptococcus

pneumonia,

Haemophilus

influenzae,

Staphylococcus

aureus, Influenza

virus, other respiratory

viruses €

Pseudomonas

aeruginosa atau

batang gram negative

lainnya,

Pneumocystis

jirovecii, Moraxella

catarhalis, kombinasi

microarophilic dan

flora oral anaerob

Mycobacterium tuberculosis ,

nontuberculous mycobacteria ,

noncardia sp.,legionella sp.,

Mycoplasma pneumonia,

£Chlamydophila pneumonia,

£Chlamydophila psittaci , Coxiella

burnetii , Histoplasma capsulatum ,

Coccidioides sp., Blastomyces

desmatitidis, Cryptococcus dan

Aspergillus sp.

Noninfeksius

Edem pulmo, Ca paru,

ARDS

Infark Pulmo Cryptogenic organizing pneumonia,

pneumonia eosinofil, Pneumonia

interstisial akut, sarcoidosis, vaskulitis

(granulomatosis dengan polyangiitis),

pulmonary alveolar proteinosis,

toksisitas obat, pneumonitis radiasi.

*Penyebab dari pneumonia bervariasi bergantung pada populasi pasien, status imun host, dan

wilayah geografik. Tidak ada penyebab yang ditentukan pada sekitar setengah dari pasien dengan

CAP meskipun telah dilakukan penyelidikan yang intensif. Flora normal, terutama streptokokus

dari saluran napas atas, mungkin menjadi penyebab bagi banyak kasus.

Page 5: Jurnal CAP

€.Penggunaan rutin uji polimerase-chain-reaction (PCR) telah secara substansial meningkatkan

deteksi agen berikut ini, yang meliputi virus parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus,

coronavirus, metapneumovirus manusia, dan rhinovirus.

£ . Frekuensi organisme ini dalam menyebabkan CAP tidak pasti karena teknik serologi telah dapat

diandalkan. Sekarang dengan adanya uji PCR bisa memberikan informasi yang dapat dipercaya di

masa depan.

Pendekatan Diagnosis

Tipikal yang khas pada pneumonia yaitu ditandai dengan infiltrat baru di paru-paru

yang terlihat dari chest imaging yang disertai dengan demam, batuk, produksi sputum,

sesak napas, temuan fisik adanya konsolidasi, dan leukositosis. Kebingungan dan nyeri

dada pleuritik sering tampak. Namun, beberapa pasien dengan pneumonia (terutama

mereka yang sudah lanjut usia) tidak batuk, berdahak, atau memiliki peningkatan jumlah

sel darah putih, dan sekitar 30% (termasuk proporsi yang lebih besar dari pasien lanjut

usia) demam saat masuk, Infiltrat paru baru mungkin sulit untuk diidentifikasi pada pasien

dengan penyakit paru-paru kronis, pada pasien obesitas, dan bagi mereka yang hanya

tersedia chest radiography portable, atau mungkin tersedia namun disebabkan karena

penayakit yang noninfeksius atau tidak menular. Dalam sebuah penelitian, 17% dari pasien

yang dirawat di rumah sakit karena PK tidak memiliki infeksi; edema paru, kanker paru-

paru, dan disebabkan oleh penyebab-penyabab lain (Tabel 1). Meskipun praktisi perlu

mempertimbangkan beragam penyebab-penyebab yang mirip seperti sindrom pneumonia

sebelum meresepkan terapi antimikroba secara empiris, pertimbangan tersebut harus

diimbangi dengan kesadaran bahwa, untuk pasien dengan PK yang cukup berat sehingga

membutuhkan perawatan di rumah sakit, inisiasi dini dari terapi antimikroba meningkatkan

kemungkinan hasil yang baik.

Teknik Untuk Menentukan Penyebab

Pada pasien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dokter harus melakukan

upaya untuk menentukan organisme penyebab. Seperti upaya yang memungkinkan dokter

untuk memberikan pengobatan langsung terhadap pathogen spesifik dan memfasilitasi

pendekatan rasional untuk mengubah terapi jika pasien tidak memiliki respon terhadap

Page 6: Jurnal CAP

pengobatan empiris atau memiliki reaksi obat yang merugikan. Terapi patogen secara

langsung sangat mendorong pengelolaan antibiotik, mengurangi biaya perawatan dan

mengurangi risiko komplikasi seperti infeksi Clostridium difficile. Pada pasien dirawat di

rumah sakit dengan PK, kami mendukung dilakukannya pewarnaan Gram dan kultur

sputum, kultur darah, pengujian untuk legionella dan antigen pneumokokus dalam urin,

dan tes PCR multipleks untuk Myc. pneumoniae, Chl. pneumoniae, dan virus-virus

pernapasan, seperti halnya pemeriksaan lain sesuai yang diindikasikan pada pasien dengan

faktor risiko atau paparan tertentu. Konsentrasi prokalsitonin serum rendah (<0,1 µg per

liter) dapat membantu untuk mendukung keputusan untuk menahan atau menghentikan

antibiotik.

Pemeriksaan mikroskopis sekresi paru dapat memberikan informasi langsung

tentang organisme penyebab yang mungkin. Hasil pada pewarnaan pewarnaan Gram dan

kultur sputum positif pada lebih dari 80% kasus pneumonia pneumokokus ketika spesimen

berkualitas baik (> 10 sel inflamasi per sel epitel) dapat diperoleh sebelumnya, atau dalam

6 sampai 12 jam setelah, inisiasi antibiotik. Hasil panen berkurang dengan bertambahnya

waktu setelah antibiotik telah dimulai dan dengan menurunnya kualitas sputum sample.32

Nebulisasi dengan salin hipertonik (disebut induksi dahak) dapat meningkatkan

kemungkinan mendapatkan sampel yang valid.

Kultur darah positif pada sekitar 20 sampai 25% dari pasien rawat inap dengan

pneumokokus pneumonia tetapi dalam sedikit kasus pneumonia yang disebabkan oleh H.

influenzae atau P aeruginosa dan jarang dalam kasus-kasus yang disebabkan oleh Mor.

catarrhalis. Secara hematogen pneumonia yang disebabkan oleh Staph. aureus, kultur

darah hampir selalu positif, tetapi hanya sekitar 25% dari kasus-kasus dimana inhalasi atau

aspirasi berperan dalam terjadinya PK.

Teknik diagnostik baru penting dalam menegakkan penyebab PK. Enzymelinked

Immunosorbent Assay (ELISA) dari sampel urin terdeteksi pneumokokus dinding sel

polisakarida pada 77-88% pasien dengan bakteremia pneumokokus pneumonia dan 64%

dengan nonbacteremia pneumonia. Uji multipleks-capture lebih sensitif untuk

pneumokokus dengan kapsul polisakarida namun belum tersedia untuk penggunaan klinis

di Amerika Serikat.12 ELISA untuk antigen legionella dalam urin, positif pada sekitar 74%

pasien dengan pneumonia yang disebabkan oleh Legionella pneumophila serotipe 1,

Page 7: Jurnal CAP

dengan peningkatan sensitivitas pada peyakit yang lebih parah. Melakukan kultur sputum

dengan menggunakan media selektif diperlukan untuk mendeteksi spesies legionella

lainnya.

PCR adalah teknik yang sangat sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi

respiratory pathogen, terutama virus. Tes PCR yang tersedia secara komersial dapat

mendeteksi virus pernapasan yang paling penting seperti Myc. pneumoniae dan Chl.

pneumoniae. Untuk influenza, PCR jauh lebih sensitif dibandingkan tes antigen cepat dan

telah menjadi standar untuk diagnosis. Dengan menggunakan PCR, virus pernapasan

diidentifikasi dalam 20 sampai 40% dari orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan

PK. Namun, hasil interpretasi dari hasil yang positif mungkin sulit, karena virus

pernafasan dapat menjadi penyebab langsung pneumonia atau merupakan factor

predisposisi pasien menderita pneumonia. Oleh karena itu, hasil positif pada PCR tidak

mengesampingkan kemungkinan adanya pneumonia bakterial. Hampir 20% dari pasien

dengan PK yang telah terbukti menderita pneumonia bakteri dengan koinfeksi dengan

virus.

Deteksi bakteri dalam sampel pernafasan menggunakan PCR juga bermasalah.

Dalam kebanyakan kasus, bakteri yang menyebabkan pneumonia mencapai paru-paru

setelah berkoloni pada saluran napas atas, sehingga hasil PCR positif mungkin

mencerminkan kolonisasi atau infeksi.44 Dalam satu penelitian di Afrika, PCR kuantitatif

pada swab nasofaring yang diperoleh dari pasien dengan PK, yang sebagian besar

penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), positif dalam 82% dari pasien

yang menderita pneumokokus pneumonia, dengan sedikit hasil positif palsu. Generalisasi

penggunaan metode ini untuk pasien tanpa AIDS di negara-negara berkembang masih

harus ditetapkan lebih lanjut.

Treatment

Penilaian untuk keparahan penyakit

Penilaian mungkin membantu memprediksikan keparahan penyakit dan menolong

menentukan apakah pasien memerlukan perawatan rumah sakit atau memerlukan

ICU.Keputusan untuk dirawat di rumah sakit akhirnya tergantung keputusan dokter..

Page 8: Jurnal CAP

Namun semua faktor yang dipertimbangkan dalam sistem skoring perlu dipertimbangkan,

sebab PSI (Pneumonia severity Index) sangat bergantung usia. peningkatan score pada

dewasa muda perlu dijadikan peringatan.

Penilaian SMART-CHOP (evaluasi TD sistolik, infiltrat multilobar, albumin, laju

napas, takikardi, kesadaran, oksigen, dan gas darah) yang mana dibuat untuk

memprediksikan apakah seseorang perlu dirawat di ICU sudah dilaporkan dengan

sensitifitas 92% dibandingkan PSI 75% dan 35% untuk CURB-65.

Baru saja ditemukan bahwa PSI lebih sensitif daripada SMART-CHOP dan jauh

lebih sensitif daripada CURB-65 untuk memprediksikan apakah perlu dirawat di ICU.

PEDOMAN UNTUK TERAPI EMPIRIS

Pedoman terapi empiris antimikroba pada CAP telah memberikan kontribusi untuk

keseragaman yang lebih besar pada pengobatan dan penggunaannya pada pasien rawat

inap yang telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik. Sejak diagnosis CAP dibuat, terapi

antimikroba harus dimulai sesegera mungkin dan diberikan ditempat dimana diagnosis

tersebut dibuat. Sebuah periode target awal adalah 4 jam dari kontak awal dengan sistem

perawatan medis sampai pemberian antibiotik yang kemudian berubah menjadi 6 jam, hal

ini terjadi karena data sasaran memiliki kualitas yang rendah dan penggunaan periode

sasaran mengakibatkan overdiagnosis pada CAP dan penggunaannya tidak tepat pada agen

antimikroba.

Pada tahun 2012, periode sasaran sudah tidak digunakan sama sekali dan

digantikan oleh rekomendasi pada pengobatan dan perawatan dimana diagnosis pneumonia

pertama kali ditegakkan. Pasien rawat jalan dengan CAP umumnya diperlakukan secara

empiris. Penyebab infeksi biasanya tidak dicari karena memerlukan biaya besar untuk

pengujian diagnostik. Untuk pasien rawat jalan tanpa penyakit atau baru-baru yang

menggunakan agen antimikroba, pedoman IDSA/ATS merekomendasikan makrolid

(asalkan <25% dari pneumokokus di masyarakat memiliki tingkat tinggi resistensi makrolid)

atau doksisiklin. Pasien rawat jalan dengan penyakit atau baru-baru menggunakan agen

antimikroba, pedoman merekomendasikan penggunaan levofloxacin atau moksifloksacin sendiri

atau beta-laktam (misalnya : amoksisilin-klavulanat) ditambah makrolid.

Page 9: Jurnal CAP

Sebaliknya, pedoman dari Amerika Serikat dan Swedia merekomendasikan amoksisilin

atau penisilin sebagai terapi empiris CAP pada pasien rawat jalan. Beberapa faktor juga

mendukung penggunaan beta laktam sebagai terapi empiris untuk CAP pada pasien rawat jalan.

Pertama, kebanyakan dokter tidak mengetahui tingkat resistensi pneumokokus dalam komunitas

mereka, dan strain pneumoniae lebih rentan terhadap penisilin daripada makrolid atau doksisiklin.

Kedua, meskipun prevalensi strain pneumoniae sebagai penyebab CAP mengalami penurunan,

tampaknya tidak cocok mengobati pasien dengan makrolid atau doksisiklin yang 15 sampai 30%

dari strain pneumonia resisten. Di beberapa bagian dunia, tingkat resistensi pneumokokus untuk

makrolid jauh lebih tinggi. Ketiga, jika pasien tidak memiliki respon yang cepat untuk beta-

laktam,makrolid atau doksisiklin dapat diganti untuk mengobati infeksi bakteri atipikal seperti

yang disebabkan oleh Myc.Pneumoniae.

Di Amerika Serikat, karena sepertiga dari H.Influenzae terisolasi dan mayoritas dari

Mor.Catarrhalis yang terisolasi menghasilkan beta-laktamase, amoksisilin-klavulanat mungkin

memiliki peranan yang kuat terutama pada pasien dengan penyakit paru-paru yang mendasari.

Untuk pasien CAP yang membutuhkan perawatan Rumah Sakit dan tanpa penyebab infeksi yang

jelas, pedoman IDSA/ATS merekomendasikan tindakan terapi empiris dengan beta-laktam

ditambah makrolid atau kuinolon. Rejimen ini telah dipelajari secara ekstensif dan ini pada

umumnya menghasilkan perawatan baik sekitar 90% dari pasien CAP dengan keparahan ringan

atau sedang.Untuk pasien yang membutuhan perawatn ICU, pedoman merekomendasikan minimal

beta-laktam ditambah baik makrolid atau kuinolon. 3 hal spesial yang disebutkan.

Pertama, ketikan influenza terjadi di masyarakat, pasien dengan CAP harus diterapi

dengan oseltamivir bahkan jika sudah lebih dari 48 jam telah berlalu sejak awal gejala. Jika

kemungkinan infeksi influenza terlalu tinggi, pengobatan harus dilanjutkan bahkan jika tes deteksi

cepat antigen relatif tidak sensitive negatif, hasil negatif pada PCR untuk virus influenza mungkin

untuk penghentian terapi anti-influenza.Karena tingginya tingkat superinfeksi bakteri, ceftriaxone

dan vankomisin atau linezolid (untuk MRSA (methicilin-resistant Staph.Aureus)) juga harus

diberikan kecuali pemeriksaan spesimen pernafasan menunjukkan tidak ada bakteri pada

pewarnaan Gram dan tidak ada bukti infeksi bakteri lainnya. Droplet dan tindakan pencegahan

terhadap kontak harus digunakan bila curiga influenza. Kedua, pada pasien yang berisiko tinggi

untuk Staph.Aureus pneumonia (misalnya, mereka yang memakai glukokortikoid atau mereka

yang terkena influenza), vankomisin atau linezolid harus ditambahkan untuk mengobati MRSA.

Ceftaroline, yang aktif terhadap Staph.Aureus, termasuk MRSA serta Str. Pneumoniae dan

H.Influenza akhirnya dapat menggantikan ceftriaxone ditambah vankomisin atau linezolid sebagai

regimen anti-MRSA meskipun belum disetujui oleh Food and Drug Administration untuk

mengobati MRSA pneumonia. Ketiga, ketika P.Aeruginosa adalah pertimbangan seperti pada

Page 10: Jurnal CAP

pasien dengan penyakit paru-paru structural seperti PPOK atau bronkiektasis (terutama jika mereka

mendapat pengobatan dengan glukokortikoid atau obat imunosupresif lainnya). Pedoman IDSA

/ATS merekomendasikan penggunaan dua obat antipseudomonal karena sulit untuk memprediksi

pola kerentanan spesies pseudomonas. Terapi awal mungkin empiris, tetapi antibiotik harus

disesuaikan dengan organisme penyebab.

TERAPI EMPIRIS

Pedoman IDSA/ATS ditulis dalam upaya untuk mengembangkan rekomendasi yang akan

memberikan terapi antimikroba yang sesuai untuk sebagian besar pasien dengan CAP. Pendekatan

terhadap pemilihan regimen antimikroba yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara

kegagalan terapi dimana disatu sisi mencoba untuk menutup semua kemungkinan penyebab lain.

Seorang pasien yang mendapat temuan onset akut seperti menggigil dan demam,batuk

dengan produksi sputum,nyeri dada pleuritis,peningkatan sel darah putih, atau tingkat serum

procalsitonin yang lebih dari 0,25 mg/l merupakan kekhasan dari pneumonia bakteri seperti

pneumococcal pneumoniae.

Beberapa pasien harus dirawat di Rumah sakit (jika indikasi berdasarkan PSI) dan

diberikan beta-laktam (misal : ceftriakson atau ampisilin sulbaktam) ditambah makrolid atau

kuinolon (levofloksasin atau moxifloksasin). Jika faktor resiko terhadap infeksi P.aeruginosa

meningkat, kita menggunakan antipseudomonal beta-laktam (misal : cefepime atau piperacilin-

tazobactam). Berbeda dengan pedoman IDSA/ATS yang merekomendasikan penggunaan dua agen

antipseudomonal dan biasanya menggunakan agen antipseudomonal kedua untuk pasien yang

sudah sakit berat.

Tabel 2. Gambaran Klinis terkait dengan penyebab spesifik dari CAP.

Bakteri tipikal atau Legionella pneumonia

Kondisi hiperakut

Syok septic

Tidak ada gejala saluran pernafasan atas

Awalnya penyakit saluran pernafasan atas yang diikuti oleh tanda-tanda akut

(menunjukkan infeksi virus dengan superinfeksi bakteri)

Page 11: Jurnal CAP

Jumlah sel darah putih >15.000 atau <6000

Konsolidasi lobaris atau segmental

Kadar prokalsitonin >0,25 mg/l

Bakteri atipikal pneumonia (Mycoplasma atau Chlamydophila)

Tidak ada faktor yang mendukung adanya bakteri pneumonia.

Dalam keluarga ada yang pneumonia

Batuk >5 hari tanpa tanda akut lainnya.

Tidak ada produksi sputum

Jumlah sel darah putih dapat normal atau meningkat minimal

Prokalsitonin <0,1 mikrogram per liter

Pneumonia non-bakteri (virus)

Tidak ada tanda-tanda pneumonia bakteri

Terpapar/kontak pada pasien

Terdapat gejala pernafasan atas

Bercakan infiltrat paru

Jumlah sel darah putih normal atau meningkat minimal

Proklasitonin <0,1 mikrogram per liter

Pneumonia influenza

Tidak ada tanda-tanda pneumonia bakteri tipikal

Lingkungan banyak yang terkena influenza

Tiba-tiba muncul sindrom seperti flu

Tes diagnostik positif untuk virus influenza

Page 12: Jurnal CAP

Tabel 3. Terapi Empiris pada CAP

Rawat Jalan

Khas pneumonia bakteri : amoksisilin-klavulanat + azitromisin jika legionella.

Levofloksasin/moksifloksasin digunakan sebagai pengganti

Khas pneumonia influenza : oseltamivir infeksi bakteri sekunder

Pneumonia virus selain influenza : simtomatis

Pneumonia disebabkan Mycoplasma/chlamydophila : azitromisin atau doksisiklin

Rawat Inap

Terapi awal empiris : beta-laktam (ceftriaxone,cefotaxime,ceftaroline) + azitromisin.

Levofloksasin/moksifloksasin dapat digunakan sebagai pengganti

Kemungkinan influenza : oseltamivir

Influenza dengan infeksi bakteri sekunder : ceftriaxone/cefotaxime + vankomisin atau

linezolid selain oseltamivir

Staph.aureus : vankomisin atau linezolid disamping regimen antibakteri

Pseudomonas : antipseudomonal beta-laktam (piperasilin-

Tazobactam,cefepime,meropenem,atau cilastatin imipenem) + azitromisin

Pada pasien yang memiliki kategori ringan dari sindrom ini dan yang tidak memerlukan

perawatan Rumah Sakit, klavulanat-amoksisilin dapat diberikan sebagai parenteral beta-laktam.

Kuinolon harus digunakan secara bijak dan hanya pada pasien rawat jalan yang memiliki penyakit

tersebut atau baru saja menggunakan antibiotik kelas lain. Akan lebih baik bila mengobati mereka

dan mengobservasi mereka.Jika mereka sudah memulai terapi agen antibacterial untuk tipikal

pneumonia bacterial,obat ini dapat dihentikan terutama jika penelitian dari awal menunjukkan hasil

bakteri negatif. Jika di masyarakat terjadi influenza secara aktif dan memiliki sindrom menetap

(misalnya, timbul mendadak,demam,batuk,dan mialgia), oseltamivir harus diberikan kecuali bila

hasil PCR negatif pada influenza. Bukti non-influenza pada saluran pernapasan didapatkan dari

hasil PCR pada pasien merupakan hal yang mendukung pilihan tanpa antibiotik. Infeksi

Myc.pneumonia lebih mungkin terjadi pada orang dewasa muda yang memiliki demam ringan dan

batuk non-produktif selama 5 hari atau lebih tanpa criteria akut, terutama jika penyakit

Page 13: Jurnal CAP

berkembang di dalam keluarga. Pengobatan untuk infeksi Myc.pneumonia dengan menggunakan

makrolid merupakan hal yang tepat terutama jika hasil dari pemeriksaan menunjukkan virus

negatif.

Ketika pasien dirawat di Rumah Sakit dengan CAP dan tidak ada organisme penyebab

yang teridentifikasi, banyak klinisi yang mengganggap bahwa infeksi bakteri yang menjadi

penyebab dan harus diberikan terapi antibacterial spectrum luas. Beberapa studi menunjukkan

bahwa penggunaan biomarker dapat membedakan bakteri pneumonia dan non-bakteri pneumonia.

Dalam metaanalisis dari percobaan acak,petunjuk prokalsitonin untuk penggunaan antibiotik

berkaitan dengan penurunan penggunaan antibiotik tanpa meningkatkan mortalitas atau kegagalan

terapi. Karena substansi yang tumpang tindih pada prokalsitonin antara masing-masing pasien,

pengujian tersebut hanya salah satu dari beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam keputusan

untuk tidak menggunakan antibiotik.

DURASI TERAPI

Pada awal era antibiotik, pneumonia dirawat selama sekitar 5 hari, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa dosis tunggal penicillin G prokain dapat menyembuhkan. Durasi standar

pengobatan kemudian berkembang menjadi 5-7 hari. Meta-analisis dari studi menunjukkan waktu

pengobatan 7 hari atau kurang dari 7 hari, 8 hari atau lebih dari 8 hari tidak menunjukkan

perbedaan, dan studi prospektif menunjukkan bahwa 5 hari pengobatan sama efektifnya dengan 10

hari pengobatan dan 3 hari pengobatan sama dengan 8 hari pengobatan. Namun demikian, para

praktisi telah secara bertahap meningkatkan durasi pengobatan untuk CAP 10 sampai 14 hari.

Sebuah pendekatan yang bertanggung jawab untuk menyeimbangkan pengelolaan antibiotik

dengan kekhawatiran terapi insufisiensi antibiotik akan membatasi pengobatan 5 sampai 7 hari

terutama pada pasien rawat jalan atau pasien rawat inap yang memiliki respon cepat terhadap

terapi.

Pneumonia yang disebabkan oleh Staph.aureus atau basil gram negatif yang cenderung

merusak dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya abses kecil sehingga terapi yang diberikan

akan lebih lama, tergantung ada atau tidaknya penyakit yang menyertai dan respon terhadap terapi.

Pada pneumonia akibat Staph.aureus yang penyebaran secara hematogen membutuhkan terapi

setidaknya 4 minggu, tetapi pada pneumonia lobaris/segmental yang disebabkan oleh Staph.aureus

dapat diobati selama 2 minggu. Kavitasi pneumonia dan abses paru-paru biasanya dirawat selama

beberapa minggu, dan beberapa ahli melanjutkan pengobatan sampai semua kavitas dapat terobati.

Page 14: Jurnal CAP

Kurangnya respon terapi terhadap pasien CAP harus diperhatikan kembali secara lengkap bukan

hanya untuk pemilihan antibiotik alternatif.

Obat imunomodulator

Macrolid menghambat intracellular signaling pathway yang penting dan menekan

produksi fator transkripsi, seperti factor nuclear dan activator protein 1 yang mana

menurunkan produksi sitokin inflamasi dan molekul molekul adesi. Banyak tapi tidak

semua studi menunjukkan penambahan macrolid pada pemakaian beta laktam untuk

pengobatan pneumococcal pneumonia atau semua penyebab CAP menurunkan morbiditi

dan mortaliti dengan menghambat respon inflamasi.

Statin memblok sintesis 3hydroxy 3methylglutaryl koenzim A (HMG-CoA)

reductase, menghambat pyrophosphate dan geranylgeranyl phirophospate (yang

dibutuhkan untuk aktivasi protein G) dengan mengurangi respon inflamasi. Studi observasi

menunjukkan hasil yang lbih baik pada pasine dengan penggunaan statin pada waktu

terkena pneumoni pertamakali walaupun pasien tersebut memiliki penyakit penyerta yang

berhubungan dengan penyakit arteri koroner. Tidak ada data pada percobaan acak untuk

menguji efek macrolid atau statin pada pasien CAP. Kemungkinan besar keuntungan

macrolid adalah melawan hal terkecil yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sudden

cardiac death pada pasien dengan terapi azitromisin. Studi lain menunjukkan hasil yang

masih konflik. Pada percobaan acak penambahan simvastatin pada pasien dengan

ventilator dihentikan dengan segera karena tidak ada keuntungan yang terlihat setelah 28

hari sakit.

Page 15: Jurnal CAP

Alasan Kurangnya Respon terapi CAP

organisme yang tepat namun tidak sesuai dengan pilihan jenisAB ataupun

dosisnya

Organisme yang resisten terhadap AB

Dosis tidak tepat

Organisme yang tepat, AB tepat, dosis tepat, namun infeksi terlokalisir

(paling sering empiema)

Obstruksi (kanker paru atau benda asing)

Identifikasi mikroorganisme penyebab yang tidak tepat

Penyebab noninfeksi

Drug induce fever

adanya infeksi yang terjadi bersamaan namun tidak diketahui

Komplikasi Noninfeksius

Pneumonia influenza dan penumonia bakteria berhubungan dengan penyakit

jantung akut. di Rumah sakit, miokard infark dan aritmia (paling sering AF) ditemukan

pada 7 - 10% pasien yang menderita CAP yang paling buruk sampai gagal jantung pada

hampir 20% dan 1 atau lebih dari komplikasi ini timbul pada 25% pasien. ini karena

miokard infark timbul ketita inflamasi pulmonal melepaskan sitokin yang dapat

menyebabkan terjadinya plak aterosklerosis.

Mekanisme dari AF belum diketahui. Aritmia ini mungkin hilang sendiri dalam

beberapa minggu. Gagal jantung menggambarkan stress dari jantung bersamaan dengan

menurunnya oksigenasi. Kelainan jantung ini berhubungan dengan meningkatnya

kematian.

Page 16: Jurnal CAP

Hasil

Tingkat kematian pada pasien CAP yang dirawat di rumah sakit sekitar 10-12%

Setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 18% pasien dirawat kembali setelah 30 hari.

Banyak pasien terutama usia tua memakan waktu berbulan bulan untuk kembali sehat dan

beberapa tidak sembuh. Mereka yang bertahan sampai 30 hari meninggal setelah 1 tahun

dan pada kasus pneumokokal pneumonia, meninglat sampai 3- 5 tahun yang meyakinkan

bahwa CAP membatasi kualitas hidup

Petunjuk selanjutnya

Meskipun dengan usaha yang sangat maksimal, tidak ada organisme penyebab

yang teridentifikasi pada setengah pasien pneumoni. Tidak jelas proporsi apa dari kasus

kasus ini yang berhubungan dengan infeksi oleh bakteri patogen tipikal atau atipikal flora

oral virus atau patogen lain. Peningkatan penggunaan PCR akan menguraikan frekuensi

antara legionella, chlamydophila, dan spesies micoplasma, dan juga patogen lain yang

menyebabkan CAP. Masih harus ditentukan apakah penggunaaan test diagnostik yang

sensitf seperti PCR akan meningkatkan penggunaan terapi empiris dan menurunkan

ketergantungan pada terapi AB empiris. Peningkatan resistensi AB pada bakteri dapat

meningkatan kesulitan dalam memilih regimen yang efektif. Percobaan acak masih

diperlukan untuk menetukan apakah aktifitas anti inflamasi dari macrolid atau statin

memiliki keuntungan dalam mengobati CAP.

Page 17: Jurnal CAP