jurnal baru
-
Upload
brandon-jones -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
Transcript of jurnal baru
![Page 1: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/1.jpg)
PENDAHULUAN
Korupsi merupakan penyakit yang menjangkiti seluruh negeri di dunia.
Tidak terkecuali di Indonesia. Bermacam-macam pandangan yang melahirkan
stigma yang berbeda pula. Namun apapun pandangan setiap orang tentang
korupsi, kita sampai pada kesimpulan bahwa korupsi adalah “benalu sosial” yang
merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Sehingga digolongkan dalam
tindak kejahatan yang sangat luar biasa.
Indonesia merupakan negeri dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.
Namun perkara yang sangat dilematis tengah dihadapi bangsa ini adalah kejahatan
korupsi yang tumbuh subur disegala bidang dan lapisan masyarakat. Bahkan tidak
tanggung-tanggung pejabat sekelas Mentri Agama pernah ada yang terlibat
dengan kasus korupsi. Tidak hanya itu, sebuah pemberitaan di TV telah
menayangkan adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan Al-Qur’an. Dimana
letak nilai-nilai Islam? Apakah ajaran agama ini tidak mampu membendung
perilaku umatnya agar meninggalkan perkara yang merusak tatanan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pemidanaan dalam sistem
hukum Indonesia dan sistem hukum Islam terhadap pemidanaan tindak pidana
korupsi. Serta, proses eksekusi terhadap tindak pidana korupsi dalam sistem
hukum Indonesia dan sistem hukum Islam.
Korupsi dalam sistem hukum Indonesia dan sistem hukum Islam
Dari berbagai literatur yang ada, kata korupsi berasal dari bahasa latin yakni
corruptio atau corruptus yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat,
tidak jujur, tidak bermoral, berkhianat, menyimpang dari kesucian, dan
sebagainya. Dari bahasa latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris
yaitu corruption, corrupt; Prancis, corruption; dan Belanda, yaitu corruptive
(korruptie). Asumsi kuat menyatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun
kebahasa Indonesia yakni “korupsi”.(Hartati,2008)
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindank Pidana
Korupsi menyebutkan tiga unsur korupsi yakni : memperkaya diri sendiri atau
![Page 2: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/2.jpg)
orang lain atau suatu korporasi, perbuatan melawan hukum, merugikan keuangan
atau perekonomian negara.
Sementara menurut pandangan Islam, kata korupsi memang tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an ataupun Hadis. Namun bukan berarti korupsi tidak dilarang
dalam ajaran Islam. Karena jika dilakukan penelusuran terhadap sejarah
peradaban Islam pada masa Rasulullah saw. Terdapat beberapa peristiwa yang
mengandung unsur sama dengan korupsi. Diantara peristiwa tersebut adalah :
peristiwa hilangnya Buludru Merah pada saat perang Badar, peristiwa harta
rampasan perang pada saat perang Uhud, peristiwa ghulul manik-manik pada saat
penaklukan khaibar, peristiwa pemberian hadiah.(Irfan,2008)
Peristiwa hilangnya Buludru Merah pada saat perang Badar. Hilangnya
buludru merah yang disebutkan dalam HR. Tirmizi yang menyangkakan rasulullah
yang mengambil buludru tersebut. Sehingga turun firman Allah SAW Qs. Ali
Imran Ayat 161 yang menegaskan bahwa tidak mungkin seorang nabi berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang (ghulul). Peristiwa hilangnya beludru merah
seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya Qs. Ali
Imran [3] : 161 yang berbunyi :
Artinya :“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
Peristiwa harta rampasan perang pada saat perang Uhud. Peristiwa ini
disimpulkan bahwa pada awalnya pasukan Rasulullah saw berhasil mengalahkan
kaum musyrikin, karena melihat musuh lari kocar-kacir maka pasukan pemanah
yang ditempatkan di depan sebagai pelindung rasulullah saw berhamburan berebut
harta rampasan perang dan seketika kemenangan mereka menjadi kekalahan.
Peristiwa ghulul manik-manik pada saat penaklukan khaibar. Pada saat itu
seseorang dari Bani Asyja’ meninggal dunia, akan tetapi nabi justru
![Page 3: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/3.jpg)
memerintahkan para sahabatnya untuk menyalatkan jenaza tersebut. Lalu para
sahabat terheran. Dan nabi menjelaskan “sesungguhnya kawanmu telah
melakukan ghulul dalam perang”. Zaid mengatakan bahwa kemudian para
sahabat memeriksa barang-barangnya, lalu ditemukan manic-manik (mutiara)
milik orang Yahudi yang harganya di bawah dua dirham.
Peristiwa pemberian hadiah. Peristiwa ini terjadi ketika seseorang yang
bernama Ibn At-Tabaiyah ditugaskan untuk menjadi pejabat pemungut zakat di
Bani Sulaim. Ketika dalam suatu tugasnya ia menerimah sebuah hadiah dari
seseorang yang membayarkan pajak. Kemudian mengatakan hal tersebut kepada
rasulullah, rasulullah saw berdiri diatas mimbar dan mengumumkan hal tersebut.
Hal tersebut dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari.
Beberapa peristiwa diatas memperlihatkan betapa perbuatan korupsi
dilarang oleh agama Islam. Hal ini dikarenakan korupsi yang merupakan
perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dilakukan dengan
jalan yang tidak benar / melalui kecurangan atau disebut dengan jalan yang bathil.
Larangan ini ditegaskan dalam Qs. Al-Baqarah [2] ayat 188 yang berbunyi :
Artinya :“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Beberapa jalan yang bathil diantaranya harta yang didapatkan melalui jalan:
risywah (suap menyuap), Ghulul (penggelapan), Khianat, dan Ghazab
(mengambil hak/harta secara paksa).(Irfan,2008)
Risywah yakni pemberian yang diberikan kepada seseorang untuk suatu
tujuan tertentu yang biasanya dalam rangka membenarkan sesuatu yang salah dan
menyalahkan sesuatu yang benar. Beberapa nash dalam al-Qu’an dan sunnatullah
telah menegaskan haramnya risywah sebagaimana dalam firmal Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 188 dimana larangan memakan harta yang lain
![Page 4: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/4.jpg)
dengan jalan yang bathil. Sedangkan hadist rasulullah saw. yang menjelaskan
tentang keharaman risywah diungkap secara sharih (tegas dan jelas), antara lain
sebagai berikut:
� �ِم الُح�ْك في �ِش�ي َت �ُم�ْر� َو�ال اِش�ي الْر� َع�َل�ى الَله �ُة� �ْع�َن ل
Artinya : “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (H.R. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Ghulul (penggelapan). Penjelasan tentang ghulul terdapat dala Qs. Ali
Imran [3] ayat : 161 yang berbunyi :
Artinya : "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya."
Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta
rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul
masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar. Kemudian, istilah ghulul dipakai
untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan
Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena
jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT.
Dalam Islam sendiri, Islam telah memerintahkan untuk berlaku amanah dan
melarang untuk berbuat khianat. Hal tersebut telah ditegaskan dalam firman Allah
SWT dalam Qs. Al-Anfaal [8] : 27, yang berbunyi :
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
Ghazab (mengambil hak/harta secara paksa). Dari definisi yang
dikemukakan para ulama diatas terlihat jelas bahwa ghasab tidak sama dengan
![Page 5: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/5.jpg)
mencuri, karena mencuri dilakukan secara sembunyi sedangkan ghasab dilakukan
secara terang-terangan dan sewenang-wenang. Bahkan ghasab sering diartikan
sebagai menggunakan/memanfaatkan harta orang lain tanpa seijin pemiliknya,
dengan tidak bermaksud memilikinya.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan
Umum Universitas Hasanuddin Makassar. Adapun jenis penelitian yang
digunakan digukanan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-
normatif yang arahnya lebih berfokus pada studi kepustakaan.
Metode pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
menggunkan teknik studi kepustakaan yaitu teknik atau prosedur telaah dengan
berpedoman pada beberapa asas hukum, kaidah kaidah hukum, maupun prinsip-
prinsip hukum yang berkaitan dengan substansi peraturan perundang undangan
yang bersifat umum dan khusus. . Sehingga dapat menjawab isu hukum yang
terkait dengan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum Indonesia
dan sistem hukum Islam.(Marzuki,2005)
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif,
kemudian disajikan secara kualitatif. Yaitu usaha untuk menjelaskan,
menguraikan, dan menggambarkan permasalahan-permasalahn yang berkaitan
dengan penelitian ini untuk mendapatkan sebuah kesimpulan.
HASIL
Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia
Pemidanaan tindak pidana korupsi dalam hukum Indonesia telah ditentukan
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi.
![Page 6: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/6.jpg)
Dimana dalam undang-undang ini menetapkan pemidaan terhadap tindak pidana
korupsi terdiri atas : pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana Pokok yang terdiri atas : pidana mati, pidana penajara dan pidana
denda. Pidana mati dalam undang-undang tindak pidana korupsi dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu.
“Keadaan tertentu” yang dimaksud adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberat pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, becana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi. (pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999).
Pidana penjara dalam undang-undang tindak pidana korupsi ditetapkan seumur
hidup atau batas minimal adalah 1 (satu) tahun penjara dan batas maksimal adalah
20 tahun penjara. Akan tetapi terdapat pengecualian dalam pasal 12A yakni
terhadap tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima
juta rupiah) dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun tanpa menetapkan batas
minimalnya. Pidana denda dalam ketentuan undang-undang tindak pidana
korupsi yakni minimal Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan maksimal Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Seperti halnya pidana penjara, pengecualian
pidana denda diatas diberikan pada tindak pidana korupsi yang nilainya kurang
dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), dimana pidana denda yang diberikan paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), hal tersebut diatur dalam pasal
12A.
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana dendan yang
ditetapkan, maka sesuai dengan pasal 30 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Jika
pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan”. Sementara
besarnya pidana kurungan pengganti denda diatur dalam pasal 30 ayat (3) yang
berbunyi : “Lamanya pidanan kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan
paling lama enam bulan”. Akan tetapi jika ada pemberatan pidana maka lamanya
pidana kurungan pengganti denda bisa mencapai delapan bulan, hal ini diatur
dalam pasal 30 ayat (5) yang berbunyi : “jika ada pemberatan pidana denda
![Page 7: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/7.jpg)
disebabkan disebabkan karena pembarengan atau pengulangan, atau karena
ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan”.
Mengenai pidana tambahan diatur dalam pasal 18 ayat (1) berbunyi :
“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah :
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang
yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terdakwa.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan : “Jika terpidana tidak membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta benda dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam ayat (3) : “Dalam hal terpidana
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Indonesia
Korupsi dalam pandangan hukum Islam bukanlah merupakan jarimah hudud
(had) dan bukan pula merupakan jarimah qishas. Namun, bukan berarti korupsi
tidak dapat dihukum, karena pada dasarnya korupsi merupakan perbuatan yang
telah dilarang oleh syara’ namun jenis janjinya belum diatur / disebutkan dalam
Al-Qur’an ataupun hadis Nabi saw. Hak ini jelas menggolongkan korupsi
kedalam jarimah ta’zir. Sehingga penetapan sanksi/uqabah diserahkan kepada ulil
![Page 8: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/8.jpg)
amri (penguasa) yang penetapannya tetap mengacuh pada AL-Qur’an dan Hadis
Nabi saw.(Al-Faruq,2009)
Adapun uqabah yang dapat dijatuhakan terhadap tindak pidana korupsi
sebagai jarimah ta’zir adalah sebagai berikut : sanksi ta’zir yang berkaitan dengan
badan, sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi ta’zir
yang berkaitan dengan harta.(Irfan,2013)
Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan terdiri atas : hukuman mati dan
hukuman jilid. Hukuman mati adalah menjatuhkan hukuman kepada seseorang
yang telah dinyatakan bersalah dengan cara menghilangkan nyawanya. Dalam
hukum Islam, pemberian hukuman mati terhadap jarimah ta’zir masih menjadi
perdebatan, beberapa ulama menyatakan bahwa pidana mati terhadap jarimah
ta’zir diperbolehkan, namun ada pula yang melarang penjatuhan hukuman mati
sebagai sanksi ta’zir. Hukuman Jilid, jilid atau lebih dikenal dengan hukuman
cambuk adalah hukuman yang dilakukan dengan memukul terhukum dengan
cambuk atau alat sejenis lainnya seperti tongkat, batang dahan. Jilid sendiri
merupakan salah satu dari jenis jarimah hudud. Namun, hal ini juga berlaku dalam
jarimah ta’zir dengan memberikan kewenangan kepada qadhi (hakim) untuk
menetapkan jumlahnya yang disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi dan
tempat kejadian.
Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang yang terdiri
atas : hukuman penjara merupakan perampasan kemerdekaan terhadap seseorang
yang telah ditetapakan besalah yang dilakukan dengan menempatkan seseorang
didalam suatu ruangan. Pemenjaraan secara syar’I adalah menghalangi seseorang
untuk mengatur dirinya sendiri. Pemenjaraan bisa dilakukan di rumah, masjid,
penjara atau tempat-tempat lainnya. Hukuman Pengasingan, Pengasingan adalah
membuang seseorang ditempat yang jauh. Sebagaimana yag tercantum dalam Al-
Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 33 yang artinya :
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan embuat kerusakan di muka bumi ini, hanyalah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
![Page 9: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/9.jpg)
Dari ayat tersebut diketahui bahwa hukuman pengasingan (di buang) telah
diatur di dalam nash Al-Qur’an, ini berarti bahwa hukuman pengasingan
merupakan hukuman had. Namun, dalam prakteknya, hukuman pengasingan juga
diterapkan terhadap hukuman ta’zir.Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada
kepada pelaku jarimah yag dikhawatirkan dapat memberi pengaruh buruk
terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka akan terhindar dari
pelaku tersebut.
Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta yang terdiri atas : Al-Itlaf
(menghancurkannya), penghancuran terhadap barang sebagai hukuman ta’zir
berlaku untuk barang-barang yang menandung kemudaratan. Misalnya, kahilafa
Umar Bin Khattab pernah memutuskan membakar kios minuman keras milik
Ruwaisyid. Al-Gayir (mengubahnya), hukuman ta’zir yang berupa mengubah
harta pelaku, antara lain merubah patung yang disembah oleh orang muslim
dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip pohon atau vas bunga.
Al-Tamlik (memilikinya), hukuman ta’zir berupa pemilikan harta pelaku, antara
lai Rasulullah saw. Melipat gandakan denda bagi pelaku pencuari buah-buahan
disamping hukuman cambuk. Demikian pula keputusan khalifah Umar yang
melipat gandakan bagi orang yang menggelakan barang temuan. Hukuman denda
tersebut, dapat merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri, namun bisa saja
hukuman denda digabungkan dengan hukuman pokok yang lainnya, misalnya :
hukuman denda yang disertai dengan cambukan.
Selain hukuman ta’zir yang telah disebutkan diatas, masih ada beberapa
hukuman ta’zir yang lain, yaitu : peringatan keras, dihadirkan di hadapan
persidangan, nasehat, celaan, pengucilan, pemecatan, pengumuman kesalahan
secara terbuka, seperti diberitakan dimedia cetak dan elektronik.
Selain ‘uqabah tersebut, Nurul Irfan (Korupsi dalam Hukum Pidana Islam :
2011) berpendaat bahwa sanksi moral, sanksi sosial, dan sanksi akhirat tidak bisa
ditemkan dalam berbagai rumusan pasa undang-undang No. 31 tahun 1999
(sebagaimana telah dirumuskan dalam UU No.21 tahun 2000) tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini bisa dimengerti karena bahasa
hukum berbeda dengan bahasa moral atau akhlak. Bahasa hukum pidana dengan
![Page 10: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/10.jpg)
berbagai rumusan pasal-pasalnya lebih pada pelalsanaan tekhnis penerapan
sanksi-sanksi, baik berupa pidana kurungan, pidana penjara, pidana seumur hidup,
pidana denda maupun pidana mati. Tidak ada satupun jenis denda yang
dihubungkan dengan persoalan moral atau akhlak.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dikualifikasikan
sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga memerlukan
penangan yang luar biasa pula (extra ordinary measure). Oleh karena itu, dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, memuat
ketentuan-ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya,
yakni menentukan ancaman pidana minimum khusus/stesel pemidanaan minimum
yang dapat dilihat pada 2 (dua) bentuk pokok korupsi yang diatur pada pasal 2 dan
3 undang-undang korupsi yang masing-masing menentukan adanya pidana
minimal khusus terhadap masing-masing perbuatan baik dalam bentuk pidana
penjara maupun dalam bentuk pidana denda, pidana denda yang lebih tinggi, dan
ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang melakukan korupsi dalam “keadaan tertentu”. Selain itu,
undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi
yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Jika dilihat dari sudut pandang agama dalam hal ini Islam, terlihat jelas
bahwa perilaku korupsi sangat bertentangan/bersebrangan dengan ajaran agama
Islam. Dimana dalam pandangan agama Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin
sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun batin.
Ajaran Islam menghendaki agar manusia (umat Islam) dalam melakukan sesuatu
harus sesuai dengan fitrahnya, yakni apa yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadis yang merupakan sumber hukum yang tertinggi. Pemeliharaan akan
kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam agar umat manusia tidak
terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kezaliman baik terhadap dirinya sendiri
![Page 11: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/11.jpg)
maupun orang lain. Diantara kebijaksanaan dan kasih sayang Allah SWT kepada
hamba-Nya ialah Dia menetapkan sanksi yang menjerakan bagi setiap pelaku
maksiat yang merusak tatanan kehidupan manusia dan merusak keamanan harta
mereka.
Dari beberapa peristiwa tersebut terlihat bahwa Nabi saw tampaknya tidak
melakukan kriminalisasi perbuatan korupsi yang terjadi di zamannya. Dalam
menangani korupsi tampak lebih banyak melakukan pembinaan moral dengan
menanamkan kesadaran untuk untuk menghindari perbuatan korupsi dan
mengingatkan hukum uhkrowi yang akan ditimpakan terhadap pelakunya. Dengan
berbagai kesempatan Nabi saw. mengingatkan bahwa pelaku korupsi akan masuk
neraka sekaligus jumlah nominalnya amat kecil seperti seutas tali sepatu atau
sebuah mantel. Barangkali karena jumlah nominal korupsi yag dilakukan di
zamannya amat kecil, Nabi saw. tidak melakukan pendekatan kriminalisasi
tindakan korupsi. Namun demikian dalam hukum syariah tidak berarti bahwa
perbuatan korupsi tidak dapat dipidana. Dalam syariat ada sistem pidana ta’zir,
yaitu suatu kewenangan yang diberikan kepada memilik kewenangan untuk
melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap kejahatan dalam Al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw karena nominal korupsi di zaman Nabi saw. kecil, mungkin juga
beliau dengan sengaja untuk menyerahkan kepada kebijakan umatnya sendiri
untuk melakukan kriminalisasi korupsi sesuai dengan perkembagan taraf
kehidupan masyarakat dizamannya masing-masing.(Anwar,2008)
Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. menyatakan bahwa kelak dihari
kiamat seorang koruptor sama sekali tidak bisa mengelak dan menyembunyikan
aib yang pernah dilakukannya. Walaupun kriteria harta yang akan ditampakkan
diakhirat kelak, sebagaimana disebut dalam hadis di atas hanya terbatas kambing,
sapi, dan unta yang masing-masing akan mengeluarkan suaranya. Hal ini bukan
berarti jika harta yang dikorupsi berupa uang jutaan rupiah atau jutaan dollar tidak
akan ditampakkan. Ini adalah transparansi hukuman didepan Allah SWT.
Siapapun tidak bisa mengelak, mulut bisa terkunci tetapi tangan berbicara dan
kakipun menyaksikan semua perbuatan yang pernah dilakukan semasa hidup di
dunia.
![Page 12: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/12.jpg)
KESIMPULAN DAN SARAN
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi di bumi
Indonesia tercinta ini, sebab peraktek korupsi sudah menjadi semacam wahab
penyakit yang senantiasa menggerogoti tubuh manusia dan terjadi pada semua lini
dan sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itulah maka tidak
salah apabila ada yang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bahagian dari
budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian maka untuk mencegah dan
memberantasnyapun bukanlah merupakan pekerjaan mudah bagaikan membalik
telapak tangan, akan tetapi diperlukan keseriusan, keterpaduan dan komitmen dari
pemerintah dan aparat penegak hukum dan bila perlu bangsa Indonesia harus
menyatakan perang terhadap korupsi, sebab tanpa ini maka mustahil korupsi dapat
dibasmi dibumi nusantara.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi adalah menjatuhkan hukuman setimpal kepada para pelaku tindak pidana
korupsi, menjatuhkan hukuman penjara dan denda yang seberat-beratnya, selain
itu memaksa para pelaku korupsi mengembalikan atau mengganti kerugian negara
sesuai besarnya harta yang dikorupsi agar tercapai pemulihan terhadap keuangan
dan perekonomian negara.
Selain hal tersebut, pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi
dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai agama terhadap seluruh warga
masyarakat terutama terhadap pejabat dan penegak hukum agar menajalnkan
hukum sebagaimana mestinya dengan tidak melakukan pengkhinatan terhadap
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Memberikan pelajaran sejak dini
tentang bahaya melakukan korupsi yang akan membawa dampak negatif baik bagi
didri sendiri maupun orang lain dan pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia
tetapi diakhirat akan lebih berat lagi. Dan yang paling terpenting adalah
menambah hukuman terhadap pelaku korupsi seperti yang diterapkan oleh
Rasulullah saw., memeberikan sanksi moral dengan jalan dikucilkan, dicela
ataupun diasingkan.
![Page 13: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/13.jpg)
Abstrak
Korupsi merupakan “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya sehingga korupsi dikualifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan memerlukan penangan yang luar biasa pula (extra ordinary measure). Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pemidanaan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum Indonesia dan sistem hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-normatif. Dimana penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Dengan mengakaji undang-undang yang mengatur tentang pemidanaan tindak pidana korupsi (UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999) dan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist serta hasil Ijtihat para fuqaha dalam menetapkan uqabah terhadap korupsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya persamaan dan perbedaan dalam sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi didalam dua sistem hukum Indonesai dan sistem hukum Islam.
Kata Kunci : Korupsi, pemidanaan, uqabah ta’zir
Abstract
Corruption is a social parasite that damage the structure of government, and the main obstacle to the running of the government and development in general therefore, qualified as a crime of corruption is extra ordinary crime so requere extra ordinary measure. This study aims to determine how the criminal acts of corruption in the Indonesiaan legal system and the legal system of Islam. The research method used is a normative legal research. Where this research was conducted through library, reviewing the law governing sentencing of corruption ( UU No. 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999) and examine the verses of Qur’an and hadith and jurists ijtihat in setting sactions against corruption. The results showed that the similarities and differences in criminal sanctions in the two legal systems reffered yamg. Additionaly sanctions so low against corruption cause his growing corruption in Indonesian.
Keyword : corruption, punishment, sanctions ta’zir
![Page 14: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/14.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruk Abdullah. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009.
Ali,Zainuddin.Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2006. ____________.Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2007.Arief,Basrief.Korupsi dan Upayah Penangan Hukum (Kapita Selekta), Jakarta :
PT.Adika Remaja Indonesia. 2006Hamid,Arfin.HUKUM ISLAM Persfektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar
dalam Memahami Realitasnya di Indonesia).Makassar:PT.Umitoha Ukhuwa Grafika.2011.
Hartanti,Evi.Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika. 2008. Irfan,Nurul.FIQIH JINAYAH. Jakarta : AMZAH. 2013_________.Korupsi dan Hukum Pidana Islam.Jakarta : Amzah.2011.Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2005Masdar F. Mas’udi, dkk. Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama (Mewacanakan Fiqih Anti Korupsi). Yogyakarta : Gama Media. Wardi,Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
2004._____________.Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sianar Grafika. 2005.
JurnalSamsul Anwar. Korupsi Dalam Persfektif Hukum Islam. Dosen UIN Yogyakarta.
2008
Undang-UndangUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia Legal
Center Publishing, 2002.Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2009. Yogyakarta :
Pustaka Grhatama.KUHP dan KUHAP.R.SOENARTONO SOERODIBROTO.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupasi.
![Page 15: jurnal baru](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022071921/55cf9b12550346d033a49e2c/html5/thumbnails/15.jpg)
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM INDONESIA DAN SISTEM HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIDANAAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
COMPARATION OF INDONESIAN LEGAL SYSTEM AND THE LEGAL SYSTEM OF ISLAM AGAINST THE
CRIMINALIZATION OF CORRUPTION
Sulastryani1, M.Sukri Akub1, H.M.Arfin Hamid2
1Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar2Bagian Hukum Pidana Islam Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat korespondendsi :
SulastryaniFakultas HukumUniversitas HasanuddinMakassar, 90245HP : 085299073115Email : [email protected]