Jurnal Asam Ba Sa

88
1 EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI ASAM-BASA ARRHENIUS UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SISWA SMA DALAM MEMBANGUN KONSEP DAN HUKUM SEBAB AKIBAT Eliska Novita, Noor Fadiawati, Ratu Betta Rudibyani, Tasviri Efkar Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan efektifitas pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius untuk meningkatkan keterampilan siswa SMA dalam membangun konsep dan hukum sebab akibat. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA 1 Negeri Natar semester genap Tahun 2011-2012 dengan kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 sebagai sampel. Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan non equivalent control group design. Efektivitas pembelajaran pada penelitian ini ditinjau dari nilai rata- rata n-Gain pada kedua kelas sampel. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai rata- rata n-Gain keterampilan membangun konsep untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen masing-masing adalah 0,22 dan 0,41; dan rata-rata n-Gain keterampilan hukum sebab akibat untuk kelas kontrol dan kelas eksperiman masing-masing adalah 0,17 dan 0,32. Berdasarkan pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan membangun konsep dan keterampilan hukum sebab akibat untuk kelas dengan pembelajaran problem solving lebih tinggi dibandingkan dengan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan membangun konsep dan keterampilan hukum sebab akibat. Kata kunci : pembelajaran problem solving, keterampilan membangun konsep, keterampilan hukum sebab akibat. PENDAHULUAN Ilmu kimia merupakan mata pelajaran dalam rumpun sains yang bertujuan agar siswa mampu menguasai konsep-konsep kimia dan mampu menerapkan konsep kimia tersebut untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari secara ilmiah. Menurut Gallagher (2007) belajar sains merupakan suatu proses memberikan sejumlah pengalaman kepada siswa dan membimbing mereka untuk menggunakan pengetahuan sains, sehingga dengan belajar sains diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan sains yang dimilikinya, atau lebih dikenal dengan keterampilan generik sains.

Transcript of Jurnal Asam Ba Sa

Page 1: Jurnal Asam Ba Sa

1

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI ASAM-BASA ARRHENIUS UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN SISWA SMA DALAM MEMBANGUN KONSEP DAN

HUKUM SEBAB AKIBAT

Eliska Novita, Noor Fadiawati, Ratu Betta Rudibyani, Tasviri Efkar Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan efektifitas pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius untuk meningkatkan keterampilan siswa SMA dalam membangun konsep dan hukum sebab akibat. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA 1 Negeri Natar semester genap Tahun 2011-2012 dengan kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 sebagai sampel. Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan non equivalent control group design. Efektivitas pembelajaran pada penelitian ini ditinjau dari nilai rata-rata n-Gain pada kedua kelas sampel. Model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai rata-rata n-Gain keterampilan membangun konsep untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen masing-masing adalah 0,22 dan 0,41; dan rata-rata n-Gain keterampilan hukum sebab akibat untuk kelas kontrol dan kelas eksperiman masing-masing adalah 0,17 dan 0,32. Berdasarkan pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa peningkatan keterampilan membangun konsep dan keterampilan hukum sebab akibat untuk kelas dengan pembelajaran problem solving lebih tinggi dibandingkan dengan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan membangun konsep dan keterampilan hukum sebab akibat. Kata kunci : pembelajaran problem solving, keterampilan membangun konsep, keterampilan hukum sebab akibat.

PENDAHULUAN

Ilmu kimia merupakan mata pelajaran dalam rumpun sains yang bertujuan agar siswa mampu menguasai konsep-konsep kimia dan mampu menerapkan konsep kimia tersebut untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari secara ilmiah. Menurut Gallagher (2007) belajar sains merupakan suatu proses memberikan sejumlah pengalaman

kepada siswa dan membimbing mereka untuk menggunakan pengetahuan sains, sehingga dengan belajar sains diharapkan siswa memiliki kemampuan berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan sains yang dimilikinya, atau lebih dikenal dengan keterampilan generik sains.

Page 2: Jurnal Asam Ba Sa

2

Materi asam-basa dalam pelajaran kimia merupakan salah satu materi yang dapat diajarkan kepada siswa untuk meningkatkan keterampilan generik sains, hal ini karena banyak-nya aplikasi dan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang menerap-kan konsep asam-basa dan erat kaitan-nya dalam peningkatan keterampilan generik sains siswa, seperti rasa asam pada buah-buahan, air sabun, asam cuka, darah manusia, masalah pencemaran air, pengobatan penyakit maag (asam lambung), dan gas-gas sisa dari kendaraan atau pabrik yang mengandung gas belerang dioksida dan nitrogen oksida yang menyebabkan hujan asam.

Indikator keterampilan generik sains seperti membangun konsep dan hukum sebab akibat penting dikuasi oleh siswa pada materi asam basa, karena teori dan konsep-konsep dalam materi asam-basa sulit untuk dipahami siswa apabila diajarkan dengan bahasa sehari-hari. Untuk memudahkan siswa memahami konsep, diperlukan langkah-langlah sains untuk melatih kemampuan membangun konsep siswa. Langkah-langkah sains seperti praktikum di laboratorium, memberi masalah kepada siswa dan mem-bimbing siswa dalam memecah-kan masalah dapat melatih kemampuan siswa dalam membangun konsep. Selain itu, antara berbagai faktor dari gejala sains yang diamati dalam langkah-langkah membangun konsep membentuk hubungan yang dikenal dengan hukum sebab akibat, oleh karena itu indikator hukum sebab akibat dalam keterampilan generik sains juga perlu dimiliki oleh siswa.

Perencanaan proses pembelajaran yang dilakukan dengan baik tidak menutup kemungkinan adanya

masalah terkait pemahaman konsep siswa. Misalnya, kurangnya pemahaman konsep siswa. Kurangnya pemahaman konsep tersebut dipe-ngaruhi beberapa hal, terutama metode yang digunakan oleh guru ketika mengajar siswa. Setelah me-wawancarai guru kimia di SMA Negeri 1 Natar, didapat bahwa guru telah menggunakan metode pem-belajaran yang baik, siswa diajarkan dengan kegiatan praktikum, diskusi dan latihan. Akan tetapi hanya beberapa konsep saja yang diajarkan dengan praktikum. Pembelajaran yang dilakukan belum melatih keterampil-an membangun konsep dan hukum sebab akibat, melainkan lebih mem-fokuskan bagaimana materi pem-belajaran dapat disampaikan seluruh-nya, hal ini menyebabkan pemahaman siswa terhadap konsep yang akan dicapai menjadi kurang.

Untuk meningkatkan keterampil-an membangun konsep dan hukum sebab akibat, terutama pada materi asam-basa Arrhenius perlu adanya model pembelajaran yang efektif, yaitu model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses yang aktif. Model pembelajaran efektif tersebut diharapkan dapat meningkat-kan keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat siswa, sehingga siswa akan lebih memahami konsep, dalam hal ini konsep-konsep pada materi asam-basa Arrhenius. Dengan penguasaan konsep tersebut siswa dapat menggunakan pengetahu-an sainsnya dalam menyelesaikan suatu masalah serta mampu berpikir dan bertindak berdasarkan keterampilan sains yang dimilikinya.

Kosep-konsep yang harus di-pahami siswa dalam materi asam-basa Arrhenius adalah sifat asam-basa, konsep pH, pKw, pOH dan

Page 3: Jurnal Asam Ba Sa

3

kekuatan asam-basa. Model pembelajaran Problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pem-belajaran, karena melatih siswa menyelesaikan masalah dan memahami konsep-konsep dengan meningkatkan keterampilan mem-bangun konsep dan hukum sebab akibat siswa.

Problem solving merupakan pem-belajaran yang diawali dengan fase orientasi masalah, fase siswa diberikan suatu masalah. Selanjutnya, fase pengumpulan data yaitu fase dimana siswa dengan kelompoknya aktif bekerjasama dan berdiskusi dalam mencari dan mempelajari data terkait dengan masalah yang diberikan untuk mencari pemecahan masalah. Fase berikutnya adalah merumuskan jawaban sementara berdasarkan pada data yang telah diperoleh, dipelajari dan didiskusikan. Kemudian me-nentukan kebenaran jawaban sementara tersebut melalui fase uji hipotesis. Fase yang terakhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, fase ini melatih kemampuan siswa dalam hal menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan. Melalui fase-fase ter-sebut terlihat bahwa orientasi dalam proses pembelajaran problem solving lebih berpusat pada kegiatan siswa.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian kuasi eksperimen yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Problem Solving pada Materi Asam Basa Arrhenius untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa SMA dalam Membangun Konsep dan Hukum Sebab Akibat Untuk Siswa SMA”.

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pembelajaran problem

solving pada materi asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkat-kan keterampilan membangun konsep siswa SMA Negeri 1 Natar?

2. Apakah pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkat-kan keterampilan hukum sebab akibat siswa SMA Negeri 1 Natar?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan efektivitas pem-

belajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius dalam meningkatkan keterampilan mem-bangun konsep siswa SMA Negeri 1 Natar.

2. Mendeskripsikan efektivitas pem-belajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius dalam meningkatkan keterampilan hukum sebab akibat siswa SMA Negeri 1 Natar. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan siswa pengalaman dalam memahami konsep asam-basa Arrhenius melalui pembelajar-an problem solving dengan melatih keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat siswa.

2. Menjadi referensi dan pengalaman bagi guru ketika menggunakan pembelajaran problem solving khususnya pada meteri asam-basa Arrhenius dalam kegiatan belajar mengajar.

3. Sebagai sumber reprensi untuk peneliti lain mengenai pembelajar-

Page 4: Jurnal Asam Ba Sa

4

an problem solving dalam pem-belajaran kimia di SMA maupun tingkat satuan pendidikan lainya.

Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Efektivitas pembelajaran pada

penelitian ini ditinjau dari nilai rata-rata n-Gain pada kedua kelas sampel. Model pembelajaran di-katakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pemahaman awal dengan pemahaman setelah pem-belajaran.

2. Pembelajaran konvensional me-rupakan pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru bidang studi kimia SMA Negeri 1 Natar, yaitu pembelajaran yang meng-gunakan praktikum, diskusi kelompok dan latihan.

3. Pembelajaran problem solving yaitu pembelajaran dengan meng-orientasikan siswa pada masalah, dilanjutkan dengan mencari data, penyusunan hipotesis oleh siswa, menguji hipotesis, dan menarikan kesimpulan. Pembelajaran problem solving yang diterapkan meng-gunakan media LKS disusun untuk melatih keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat. Pembelajaran problem solving yang diterapkan menggunakan metode diskusi kelompok, latihan dan praktikum.

4. Pembelajaran problem solving untuk fase orientasi siswa pada masalah, dalam pelaksaannya siswa diberi suatu masalah kemudian guru membimbing siswa melalui analogi berupa fakta-fakta dan per-tanyaan-pertanyaan, sehingga siswa mengetahui

mengapa masalah tersebut yang harus dipaparkan.

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Natar tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 202 siswa dan tersebar dalam lima kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas XI IPA3 sebagai kelompok eksperimen yang mengalami pem-belajaran problem solving, sedangkan kelas XI IPA2 adalah kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan suatu pertimbangan. Penentuan sampel dalam penelitian ini dipilih peneliti dengan bantuan pihak sekolah. Dalam pelaksanaannya, peneliti meminta pertimbangan dari Ibu Anggun sebagai guru bidang studi kimia yang memahami karakteristik siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Natar dan Ibu Arum sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk menentukan kelas sampel yang akan digunakan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu skor pretes, hasil tes keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat siswa sebelum pembelajaran dan skor postes, hasil tes keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat siswa setelah pembelajaran. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA2 dan XI IPA3 SMA Negeri 1 Natar, yang hadir selama proses pembelajaran dan mengikuti pretes dan postes. Metode dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan

Page 5: Jurnal Asam Ba Sa

5

menggunakan non equivalent control group design.

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran yang diguna-kan, yaitu pembelajaran problem solving dan pembelajaran konven-sional. Sebagai variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat pada materi asam-basa Arrhenius siswa SMA Negeri 1 Natar.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a) Soal pretes adalah materi asam-basa Arrhenius yang terdiri dari 7 butir soal pilihan jamak dan 2 butir soal uraian. (b) Soal postes adalah materi asam-basa Arrhenius yang terdiri dari 7 butir soal pilihan jamak dan 2 butir soal uraian. (c) LKS pada kelas eksperimen yang disesuiakan dengan model pem-belajaran problem solving dan keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat. (d) Lembar aktivitas, yaitu lembar pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran. (e) Lembar penilaian kemampuan guru mengajar.

Penelitian ini menggunakan validitas isi, pengujian validitas isi pada penelitian ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaan-nya. Apabila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai ke-pentingan penelitian yang bersangkutan. Karena berbagai hal

dan keterbatasan peneliti, tim ahli, dalam hal ini pembimbing, merekomendasi-kan pengukuran validitas instrumen saja.

Tahap-tahap yang dilakukan pada penelitian ini terbagi atas: 1. Tahap prapenelitian terdiri dari mengadakan observasi ke sekolah, menentukan kelas sampel, menyusun RPP, mem-buat LKS yang disesuaikan dengan tahapan pembalajaran problem solving dan keterampilan membangun konsep dan hukum sebab, membuat soal-soal pretes dan postes, pengujian validitas instrumen dengan dosen pembimbing. 2. Tahap penelitian, Prosedur pelaksanaan di kelas dibagi menjadi dua yaitu pada kelas XI IPA3 diterapkan model pembelajaran problem solving sedangkan pada kelas XI IPA2 diterapkan pembelajaran konvensional. Dengan tahap : me-lakukan pretes pada kedua kelas, melaksanakan kegiatan pembelajaran materi asam-basa Arrhenius, melaku-kan postes pada kelas, menganalisis data yang diperoleh dan membuat kesimpulan.

Tahapan pada analisis adalah dengan menghitung nilai setiap siswa untuk setiap keterampilan, meng-hitung nilai n-Gain yang selanjutnya digunakan untuk uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata (uji hipotesis). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan data berupa skor pretes dan postes untuk keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat. Data pretes dan postes tersebut selanjutnya digunakan untuk

Page 6: Jurnal Asam Ba Sa

6

mengetahui n-Gain dari masing-masing siswa.

Rata-rata pretes dalam penilaian keterampilan membangun konsep kedua kelas sampel memiliki kemampuan awal yang relatif sama. Setelah proses pembelajaran diterap-kan, perolehan rata-rata postes mem-perlihatkan bahwa keterampilan mem-bangun konsep kedua kelas tersebut mengalami peningkatan. Pada kelas eksperimen, kemampuan awal keterampilan membangun konsep me-miliki rata-rata 46,55. Setelah proses pembelajaran, meningkat sebesar 23,57 dengan rata-rata menjadi 70,12. sedangkan pada kelas kontrol ke-mampuan awal keterampilan mem-bangun konsep memiliki rata-rata 46,58. Setelah proses pembelajaran, meningkat sebesar 13,36 dengan rata-rata menjadi 59,94.

Rata-rata pretes dalam penilaian keterampilan hukum sebab akibat pada kedua kelas sampel relatif sama. Setelah proses pembelajaran diterap-kan, rata-rata postes memperlihatkan bahwa keterampilan hukum sebab akibat kedua kelas tersebut juga mengalami peningkatan. Pada kelas eksperimen, kemampuan awal keterampilan hukum sebab akibat memiliki rata-rata 44,76. Setelah proses pembelajaran, meningkat sebesar 17,5 dengan rata-rata menjadi 62,26 sedangkan pada kelas kontrol kemampuan awal keterampilan hukum sebab akibat memiliki rata-rata 44,66. Setelah proses pembelajaran, meningkat sebesar 11,32 dengan rata-rata menjadi 55,98.

N-Gain untuk keterampilan mem-bangun konsep pada kelas eksperimen adalah 0,41 dan pada kelas kontrol adalah 0,22. Nilai n-Gain untuk keterampilan hukum sebab akibat pada kelas eksperimen

adalah 0,32 dan pada kelas kontrol adalah 0,17. Terlihat bahwa n-Gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol baik dalam penilaian keterampilan membangun konsep maupun dalam penilaian keterampilan hukum sebab akibat siswa.

Setelah menghitung n-Gain, perlu dipastikan apakah data n-Gain ber-populasi normal. Dalam penelitian ini jumlah data keseluruhan sebanyak 74 dengan rincian 35 dari kelas eksperimen dan 39 dari kelas kontrol, dari jumlah tersebut dapat dikatakan data dalam penelitian ini berdistribusi normal. Hal tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan uji normalitas, untuk keterampilan membangun konsep kelas eksperimen harga x2

hitung = 9,238 dan harga x2tabel

= 11,1. Oleh karena x2hitung < x2

tabel maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk keterampilan hukum sebab akibat kelas eksperimen harga x2

hitung = 5,061 dan harga x2

tabel = 11,1. Oleh karena x2

hitung < x2tabel maka sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Untuk keterampilan membangun konsep kelas kontrol harga x2

hitung = 5,625 dan harga x2

tabel = 11,1. Oleh karena x2

hitung < x2tabel maka sampel

berasal dari populasi yang ber-distribusi normal. Untuk keterampilan hukum sebab akibat kelas kontrol harga x2

hitung = 4,749 dan harga x2

tabel = 11,1. Oleh karena x2

hitung < x2tabel maka sampel berasal

dari populasi yang berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dengan kriteria pengujian pada taraf 0.05, tolak Ho hanya jika F hitung F(1 , 2). Berdasarkan ke-simpulan tersebut dapat ditentukan rumus yang akan

Page 7: Jurnal Asam Ba Sa

7

digunakan untuk melakukan uji-t. Berdasarkan uji homogenitas yang telah dilakukan terhadap nilai n-Gain keterampilan membangun konsep siswa didapatkan harga Fhitung = 1,216. Oleh karena Ftabel = 1,730 dan 1,216 < 1,730, maka, data penelitian mempunyai variansi yang homogen. Dengan demikian uji-t di-lakukan menggunakan statistik t’ dengan kriteria pengujian terima Ho jika t’ t1 - dan tolak H0 jika mem-punyai harga-harga lain dimana level signifikan 0,05 dan dk = n1+ n2-2.

Setelah dilakukan perhitungan uji hipotesis dengan uji t, didapatkan harga ttabel sebesar 1,662 dan thitung 1,854. Oleh karena 1,854 > 1,662, artinya rata-rata n-Gain keterampilan membangun konsep siswa pada materi asam-basa Arrhenius yang diterapkan pem-belajaran problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan membangun konsep siswa yang diterapkan pem-belajaran konvensional.

Langkah yang sama dilakukan terhadap nilai n-Gain keterampilan hukum sebab akibat siswa. Berdasar-kan uji homogenitas yang telah dilakukan didapatkan harga Fhitung = 1,161. Oleh karena Ftabel = 1,730 dan 1,161 < 1,730, maka data penelitian mempunyai variansi yang homogen. Dengan demikian uji-t dilakukan menggunakan statistik t’ dengan kriteria pengujian terima Ho jika t’ t1 - dan tolak H0 jika mempunyai harga-harga lain dimana level signifikan 0,05 dan dk = n1+ n2-2.

Setelah dilakukan perhitungan uji hipotesis dengan uji t, didapatkan harga ttabel sebesar 1,662 dan thitung 2,229. Oleh karena 2,229 > 1,662, artinya rata-rata n-Gain keterampilan hukum sebab akibat siswa pada materi asam-basa Arrhenius yang diterapkan pem-belajaran problem

solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan hukum sebab akibat siswa yang diterapkan pem-belajaran konvensional.

Penelitian ini bertujuan men-deskripsikan efektivitas pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius dalam meningkatkan keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat siswa SMA. Setelah melakukan penelitian, peneliti mendapatkan adanya perbedakan pencapaian siswa di kelas eksperimen yang tampak lebih baik dalam proses pembelajaran. Berikut ini merupakan pembahasan setiap fase pembelajaran problem solving selama penelitian berlangsung.

Fase 1. Orientasi siswa pada masalah. Pada fase ini, pembelajaran dimulai dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, mengajukan analogi berupa fakta dalam kehidupan sehari-hari untuk memunculkan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan, me-numbuhkan rasa ingin tahu dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. siswa meng-hubungkan pemahaman awalnya mengenai materi asam-basa dengan pernyataan tersebut. Pelaksanaan fase ini merangsang perkembangan ke-majuan berpikir dan antusias siswa terhadap konsep baru yang akan ia dapatkan saat proses pembelajaran, sehingga dapat memperbaharui pengetahuannya.

Fase 2. Mencari dan pe-ngumpulan data. Pada fase ini siswa dikelompokkan dalam beberapa kelompok yang heterogen, Pem-belajaran berkelompok ini sangat mendukung keefektifan kegiatan belajar. Dalam pelaksaan fase ini siswa aktif bekerjasama dan ber-diskusi dalam mempelajari buku-buku untuk mencari dan

Page 8: Jurnal Asam Ba Sa

8

mengumpulkan data terkait dengan masalah yang di-berikan. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi sebanyak-banyak-nya, kemudian siswa mengkaitkan informasi yang telah dikumpulkan dengan materi asam-basa yang se-belumnya telah mereka pahami, sehingga ditemukan suatu pemecahan yang dapat digunakan sebagai jawab-an sementara. Fase ini jelas dapat melatih keterampilan membangun konsep siswa, karena pada pe-laksanaannya siswa dapat mengetahui hal baru melalaui informasi-informasi yang telah mereka dapatkan.

Fase 3. Menetapkan jawaban sementara. Pada fase ini, siswa diberi kesempatan untuk menge-mukakan ide atau pendapat sebagai jawaban sementara dari masalah, ber-dasarkan pada perolehan informasi yang telah didipelajari dan di-diskusikan dalam kelompok. Fase ini melatih siswa bertanggung jawab, ber-pikir kritis dan kreatif menggunakan wawasannya dalam mengemukakan ide-ide untuk menghubungkan se-jumlah fakta-fakta dengan informasi-informasi yang ada sehingga di-dapatkan jawaban sementara. Fase penyusunan jawaban sementara ini baik dijadikan sebagai dasar di-temukannya suatu kesimpulan, karena membuat siswa lebih terarah pada konsep apa yang harus lebih dipahami secara mendalam.

Fase 4. Menguji kebenaran jawaban sementara. siswa dalam kelompoknya melakukan praktikum berdasarkan prosedur yang telah dipaparkan dalam LKS dengan tujuan untuk menguji jawab-an sementara yang telah mereka tetapkan sebelum-nya. Dalam pelaksanaan kegiatan praktikum setiap siswa

dilatih untuk lebih teliti dalam mengamati per-ubahan warna pada kertas lakmus dan perubahan warna pada indikator universal, sehingga didapatkan data yang akurat. Setelah melakukan kegiatan praktikum, siswa diarahkan untuk menuliskan hasil pengamatan yang mereka peroleh dalam bentuk tabel dan menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat terkait informasi dalam tabel tersebut. Melalui pe-nyusunan tabel hasil pengamatan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, dapat melatih keterampilan mem-bangun konsep dan hukum sebab akibat siswa.

Fase 5. Menarikan kesimpulan. Fase ini dilakukan berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan. Fase ini dapat melatih kemampuan menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan. Pada fase ini guru mem-bantu siswa untuk melakukan evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan (Trianto, 2008). Dalam pelaksana-annya, siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya setelah memperoleh informasi dan melakukan penyelidikan pada fase uji hipotesis. guru memberi pertanyaan yang sama kepada beberapa siswa dalam kelompok yang berbeda, kemudian berdasarkan jawaban dari masing-masing kelompok tersebut, guru bersama-sama siswa berdiskusi untuk mendapatkan kesimpulan.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pembelajaran problem solving

pada materi asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkatkan

Page 9: Jurnal Asam Ba Sa

9

keterampilan membangun konsep siswa.

2. Pembelajaran problem solving pada materi asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkatkan keterampilan hukum sebab akibat siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Angkasa. Bandung.

Arends, R.I. 2008. Learning to Teach. 2008. Edisi VII. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Brotosiswoyo, B.S. 2001. Hakikat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi. Proyek pengembangan Universitas Terbuka, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jakarta.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori belajar. Erlangga. Jakarta

Daman diri. Kerangka Teoretis Dan Perumusan Hipotesis http://www.damandiri.or.id/file/iputuekaikipsingbab2.pdf

Djamarah, S.B dan A. Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Djsastra, Y.D. 1985. Metode-Metode Mengajar 2. Bina Aksara. Bandung.

Gallagher, J.J. 2007. Teaching Science for Understanding : A Practical Guide for School Teachers. New Jersey. Pearson Merrill Prentice Hall.

Liliasari. 2007. Model-Model Pembelajaran Berbasis IT Untuk mengembangkan Keterampilan Generik Sains dan Berpikir Kritis Siswa Sma Pada Topik Hidrilisis Garam. (Penelitian HPTP). Sekolah Pasca SarjanaUPI. Bandung.

Nasution, S. 1992. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Purba, Michael.2002. Kimia 2B untuk SMA Kelas XI. Erlangga. Jakarta.

Purwanto, E.A. dan Sulistyastuti, D.R. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif: Untuk Administrasi Publik dan Masalah-Masalah Sosial. Gaya Media. Yogyakarta. 217 hlm.

Rohman, Ijang dkk. 2010. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA.Prodi IPA, Sekolah Pascasarjana UPI dengan Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia. Bandung

Sudjana, N. 2002. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

_________. 1996. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Trianto.2007. Model-Model Pembela-jaran inovatif berorientasi kon-struktivistik. Prestasi Pustaka. Jakarta.

______. 2010. Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Bandung.

Widodo, Wahono. 2009. Tinjauan Tentang Keterampilan Generik. http://vahonov.files.wordpress.com/2009/07/tinjauan-tentang-keterampilan generik.pdf

Page 10: Jurnal Asam Ba Sa

10

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN

KETERAMPILAN MENGELOMPOKKAN DAN PENGUASAAN KONSEP PADA MATERI LARUTAN NONELEKTROLIT

DAN ELEKTROLIT SERTA REDOKS Hiasinta Rini Utari, Nina Kadaritna, Ila Rosilawati,

Pendidikan Kimia, Universitas Lampung

Abstract: This study was conducted to describe the learning model of problem solving effectiveness in improving the skills and mastery of concepts by classifying students on the material and the electrolyte and nonelectrolyte solution redox. Learning model of problem solving consists of five stages, stage one is to orient students on the issue, the two-stage search for data or information that can be used to solve the problem, while the response phase of the three sets of problems, the four stages of testing the truth of the answer being, and the five stages of drawing conclusions .

The population in this study were all high school science class X School 1 Pringsewu school year 2011/2012. Samples were taken using a purposive sampling technique. Derived class as a class experiment X4 and X5 class as the control class. This study uses quasi-experimental with Non Equivalent Control Group Design. Learning model of problem solving effectiveness is measured by a significant increase in gain. The results showed a mean value of n-Gain the skills group for control and experimental classes respectively 0.61 and 0.68 and the average n-Gain mastery of concepts for the control and experimental classes respectively 0.42 and 0.64.

Based on the hypothesis test, it is known that the class of learning problem solving skills and mastery of the concept of grouping is higher than with conventional learning classes. This shows that learning is more effective in problem solving skills and mastery of concepts by classifying students.

Keywords: Learning problem solving, group skills and mastery of concepts

PENDAHULUAN

Pembelajaran kimia dapat dikaitkan dengan kondisi atau masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, se-perti pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks, banyak sekali masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dihubungkan dengan materi ini, misalnya peman-faatan listrik untuk menangkap ikan

disungai, perkaratan besi, pem-bakaran dan lain sebagainnya. Namun, yang terjadi selama ini guru tidak pernah menghubungkan materi kimia dengan kehidupan sehari-hari, akibatnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi pembela-jaran

Page 11: Jurnal Asam Ba Sa

11

larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks sehingga penguasaan konsep oleh siswa rendah.

Hasil observasi yang dilakukan di SMA Negeri 1 Pringsewu terkait dengan mata pelajaran kimia, bahwa selama ini pembelajaran yang digunakan masih berpusat pada guru. Pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab, dimana Lembar Kerja Siswa (LKS) yang digunakan hanya berisi rangkuman materi dan latihan soal sehingga siswa tidak dapat menemukan konsep pembelajarannya sendiri. Selama ini guru belum menggunakan model pembelajaran yang dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep sehingga siswa kurang terlatih dalam memecahkan masalah, mengemukakan hipotesis, menguji hipotesis, dan mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data yang diperoleh siswa dari pelajaran kimia tersebut. Siswa hanya mencatat dan menghafal materi pembelajaran kimia sehingga minat siswa berkurang pada pembelajaran kimia akibatnya siswa semakin sulit untuk memahami materi kimia.

Salah satu upaya yang dilakukan agar pembelajaran kimia menjadi lebih menarik, mudah dipahami oleh siswa, serta siswa dapat terlatih dalam memecahkan masalah adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah (problem solving). Dengan menggunakan pembelajaran problem solving, anak dapat dilatih untuk memecahkan masalah, mengemuka-kan hipotesis, menguji hipotesis, dan mengambil suatu kesimpulan dari sekumpulan data yang diperoleh siswa dari pembelajaran kimia. Hal tersebut secara tidak langsung dapat membantu siswa untuk meningkatkan penguasaan konsep. Penelitian yang mengkaji

tentang penerapan pembelajaran model problem solving dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa adalah hasil penelitian Lidiawati (2011), yang dilakukan pada siswa SMA kelas XI SMA Negeri 1 Abung, menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran problem solving memberikan kesem-patan kepada siswa untuk meningkat-kan kemampuan mengkomunikasikan dan penguasaan konsep materi koloid. Dalam mempelajari kimia tidak hanya membutuhkan pemahaman serta penguasaan konsep saja tetapi dalam mempelajari kimia siswa dituntut aktif agar siswa mendapat pengalaman belajar secara langsung melalui pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Suyanti, 2010). Pembelajaran Kimia dibangun melalui pengembangan keterampilan proses sains, salah satu hal yang tidak akan terlepaskan dalam keterampilan proses sains adalah keterampilan mengelompokkan. Terampil menge-lompokkan sepertinya bukanlah keterampilan yang begitu penting untuk dikuasai siswa, namun sebaliknya keterampilan inilah yang harus menjadi dasar dalam pengamatan-pengamatan langsung yang mereka lakukan terhadap suatu permasalahan, serta prospek kerja yang mungkin akan dijalani mereka di esok hari yang sangat memerlukan keterampilan misalnya laboran dan apoteker. Melalui pengamatan langsung yang dilakukan pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks, siswa dituntut agar mampu mencari perbedaan serta persamaan (membandingkan) data hasil pengamatan; mengontraskan ciri-ciri dari data-data yang didapat; serta mencari dasar pengelompokkan atau penggolongan. Kemampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan

Page 12: Jurnal Asam Ba Sa

12

indikator keterampilan mengelom-pokkan. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung model problem solving ini mampu meningkatkan keterampilan mengelompokkan siswa.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Problem Solving Dalam Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan dan Penguasaan Konsep Pada Materi Larutan Nonelektrolit dan Elektrolit Serta Redoks”. METODOLOGI PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 1 Pringsewu, pada semester genap tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 282 siswa dan tersebar dalam sembilan kelas.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Maka dtentukan kelas X4 dan X5

sebagai sampel. Kelas X4 sebagai kelas eksperimen yang diterapkan dengan pembelajaran model problem solving, sedangkan kelas X5 sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah pembelajaran diterapkan (posttest) pada siswa kelas eksperi-men dan siswa kelas kontrol.

Metode penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan desain non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan

melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Sebagai variabel bebas adalah pembelajaran yang menggunakan model problem solving dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks siswa SMAN 1 Pringsewu.

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu. Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa soal-soal pretest dan postest yang masing-masing terdiri dari dua bagian, yaitu soal-soal penguasaan konsep berupa pilihan jamak dan soal-soal keterampilan mengelom-pokkan berupa esai. Sebelum instrumen digunakan, instrumen harus diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji validitas. Uji validitas yang digunakan adalah validitas isi dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersang-kutan. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu Dra. Nina Kadaritna, M.Si. sebagai dosen pembimbing penelitian untuk menilainya.

Page 13: Jurnal Asam Ba Sa

13

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran model problem solving dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep siswa, maka dilakukan analisis skor n-Gain. Perhitungan ini bertu-juan untuk mengetahui peningkatan skor pretest dan posttest dari kedua kelas. Kemudian dilakukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah data dari kedua kelompok terdistribusi normal atau tidak dan untuk menentukan uji selanjutnya apakah memakai statistik parametrik atau non parametrik. Untuk data sampel yang berasal dari populasi berdistribusi normal, maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji parametik (Sudjana, 2005). Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan uji-t, yakni uji kesamaan dua rata – rata untuk sampel yang mempunyai varian homogen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap dua kelas yang menjadi sampel penelitian, peneliti memperoleh data berupa skor pretest dan posttest keterampilan mengelom-pokkan dan penguasaan konsep. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan n-Gain dari masing-ma-sing kelas.

Dari hasil perhitungan diperoleh rerata n-Gain keterampilan menge-lompokkan kelas eksperimen sebesar 0,68 sedangkan kelas kontrol sebesar 0,61, hal tersebut menunjukkan bahwa rerata n-Gain keterampilan mengelom-pokkan kelas eksperimen lebih tinggi

bila dibandingkan kelas kontrol. Begitu pula dengan rerata n-Gain penguasaan konsep, pada kelas eks-perimen sebesar 0,64 sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,42, sehingga rerata n-Gain kelas kontrol lebih kecil bila dibandingkan kelas eksperimen.

Berdasarkan rerata n-Gain tersebut, tampak bahwa pembelajaran dengan model problem solving lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep oleh siswa pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks bila dibandingkan dengan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep oleh siswa yang dibelajarkan dengan pembelajaran konvensional. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berlaku untuk keseluruhan populasi, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t.

Sebelum melakukan uji-t, harus diketahui terlebih dahulu apakah data yang diperoleh berdistribusi normal dan berasal dari varians yang homogen atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan Chi-Kuadrat. Uji normalitas pada data keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep dengan menggunakan kriteria pengujian terima Ho hanya jika

hitung tabel dengan taraf

=0,05. Berdasarkan uji normalitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain keterampilan mengelompokkan siswa pada kelas kontrol diperoleh harga

sebesar 5,63643 dengan tabel

sebesar 9,49. Berdasarkan uji normalitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain keterampilan mengelompokkan siswa pada kelas eksperimen diperoleh harga

sebesar 7,775019 dengan tabel

sebesar 9,49. Berdasarkan uji normalitas yang telah dilakukan

Page 14: Jurnal Asam Ba Sa

14

terhadap n-Gain penguasaan konsep oleh siswa pada kelas kontrol diperoleh harga sebesar 4,938568

dengan harga tabel sebesar 9,49.

Berdasarkan uji normalitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain penguasaan konsep oleh siswa pada kelas eksperimen diperoleh harga

sebesar 9,382457 dengan harga

tabel sebesar 12,6. Berdasarkan uji

normalitas untuk perolehan skor keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol menunjukkan bahwa hitung lebih

kecil dari tabel ( hitung <

tabel) dengan taraf =0,05, sehingga n-Gain keterampilan mengelompok-kan dan penguasaan konsep baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji homogenitas pada data keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep dengan menggunakan

rumus dan mengambil

kesimpulan dengan kriteria pengujian tolak Ho hanya jika F F½(1 , 2) dengan taraf =0,05. Berdasarkan uji homogenitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain keterampilan mengelompokkan siswa (per-hitungan terdapat pada lampiran L) diperoleh harga F sebesar 1,588. Oleh karena harga F tabel sebesar 2,095 dan 1,588 < 2,095 (F hitung < F tabel) dapat disimpulkan terima H0, artinya 1 =

2 (data penelitian mempunyai

variansi yang homogen). Dengan demikian uji-t dilakukan menggunakan statistik

dengan kriteria uji

terima Ho jika thitung ttabel dan tolak Ho jika sebaliknya. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh harga thitung sebesar 1,765 dan harga ttabel sebesar 1,68. Oleh karena 1,765 > 1,68, maka dapat disimpulkan tolak H0 dan terima H1. Artinya, rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks yang diterapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan mengelompokkan siswa yang diterapkan pembelajaran konven-sional.

Berdasarkan uji homogenitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain pe-nguasaan konsep oleh siswa diperoleh harga F sebesar 1,07303. Oleh karena harga F tabel sebesar 2,095 dan 1,07303<2,095 dapat disimpulkan terima H0, artinya 1 = 2 (data

penelitian mempunyai variansi yang homogen). Dengan demikian uji-t dilakukan menggunakan statistik

dengan kriteria uji

terima Ho jika thitung ttabel dan tolak Ho jika sebaliknya. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh harga thitung sebesar 2,955 dan harga ttabel sebesar 1,68. Oleh karena 2,955 >1,68 (thitung > ttabel), maka dapat disimpulkan tolak H0 dan terima H1. Artinya, rata-rata penguasaan konsep oleh siswa pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks yang diterapkan pembelajaran dengan model problem solving lebih tinggi daripada rata-rata penguasaan konsep oleh siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Perbedaan tersebut terjadi karena pada kelas kontrol siswa memperoleh informasi langsung dari guru dan kurang berinteraksi dengan siswa lain. Sedangkan pada kelas eksperimen

Page 15: Jurnal Asam Ba Sa

15

menggunakan model problem solving yang memungkinkan siswa untuk mencari informasi sendiri dan lebih banyak interaksi yang terjadi sesama siswa. Selain itu, perbedaan dapat terlihat dari LKS yang digunakan pada kelas eksperiomen dan kelas kontrol. LKS yang digunakan pada kelas eksperimen adalah LKS yang berbasis model problem solving yang terdiri dari adanya masalah, mencari data atau keterangan untuk memecahkan masalah, hipotesis, menguji hipotesis dan kesimpulan. Namun LKS yang digunakan pada kelas kontrol adalah LKS yang hanya berisi ringkasan materi dan latihan soal saja.

Keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep oleh siswa pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit yang dibelajarkan dengan pembelajaran dengan model problem solving lebih baik bila dibandingkan dengan siswa yang dibela-jarkan dengan pembelajaran konvensional, hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi pada tahap pembelajaran berikut ini:

Tahap 1. Ada masalah yang diberikan

Peneliti memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, mengajukan fakta untuk memunculkan masalah, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang diberikan. Tahap ini penting bagi siswa agar mereka memahami apa yang hendak mereka capai dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Dalam pelaksanaannya, tahap ini sangat berpengaruh bagi siswa. Siswa-siswa di kelas ini menjadi lebih antusias dibandingkan dengan siswa di kelas kontrol yang tidak diberikan masalah. Pada tahap ini, siswa dikelompokkan

secara heterogen dan diberi LKS berbasis model problem solving. Pengelompokan ini ternyata memberikan pengaruh yang besar bagi perkembangan potensi siswa. Siswa menjadi lebih aktif berbicara ketika mereka berada dalam lingkungan bersama temannya. Seperti yang terjadi pada siswa dengan nomor urut 01 di kelas eksperimen. Berbeda dari pembelajaran biasanya, siswa yang pendiam ini justru aktif berbicara ketika berada dalam kelompoknya.

Guru menyajikan permasalahan kepada siswa yang tertuang dalam LKS, sehingga dengan adanya permasalahan tersebut siswa ditantang berpikir untuk menyelesai-kan permasalahan yang ada ke dalam bentuk hipotesis. Dalam fase ini minat dan keingintahuan siswa tentang materi yang akan dipelajari berusaha dibangkitkan dengan adanya permasalahan yang disajikan guru. Dari masalah yang diberikan, siswa diminta untuk mendefinisikan masalah tersebut dan menuliskan hasil pemikirannya. Pada pertemuan pertama, masalah yang diberikan adalah siswa diminta untuk mengelompokkan berbagai larutan kedalam larutan nonelektrolit dan elektrolit, sehingga dapat melatih keterampilan mengelompokkan.

Tahap 2. Mencari data atau keterangan untuk menyelesaikan masalah

Permasalahan yang diangkat dalam pembelajaran adalah masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan berhubungan dengan materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks, sehingga dalam mencari data atau keterangan untuk memecahkan masalah tersebut siswa tidak kesulitan. Namun untuk

Page 16: Jurnal Asam Ba Sa

16

beberapa sub materi seperti konsep redoks ditinjau dari peningkatan dan penurunan bilangan oksidasi serta tatanama IUPAC, siswa mendapat kesulitan dalam memecahkan masalah karena belum pernah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari namun hal tersebut dapat diatasi karena siswa dapat mencari data atau informasi dari buku, browsing internet, mencermati LKS, dan bertanya kepada teman kelompok sehingga masalah dapat dipecahkan.

Pada tahap ini, siswa diminta mencari berbagai sumber yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Data atau informasi tentang larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks dicari sebanyak-banyaknya untuk mengali informasi tentang masalah yang dihadapi dan untuk membantu siswa menjawab pertanyaan dalam LKS. Berbeda halnya dengan kelas kontrol, siswa pada kelas kontrol tidak diberikan waktu banyak dan tidak disediakan data-data untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks. Pengetahuan siswa di kelas kontrol hanya diperoleh melalui penjelasan guru semata sehingga secara pengetahuan dan pengalaman belajar sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kelas eksperimen.

Tahap 3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut

Dari permasalahan yang disajikan guru, siswa diharuskan berdiskusi dengan kelompok untuk menuliskan jawaban sementara dalam bentuk hipotesis pada LKS yang disediakan, yang nantinya akan dibuktikan sendiri oleh siswa tentang kebenaran hipotesis yang dibuat. Guru memberikan

kesempatan pada siswa untuk mengemukakan jawaban sementara dan memberikan penjelasan secara bebas berdasarkan pengetahuan awal yang siswa miliki. Pada pertemuan pertama siswa belum terbiasa dan masih mengalami kesulitan dalam merumuskan hipotesis. Hal ini diatasi guru dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan acuan untuk menuntun siswa merumuskan hipotesis, selain itu guru memberikan kesempatan terbuka kepada siswa untuk bertanya. Lama kelamaan siswa terbiasa merumuskan hipo-tesis, dapat terlihat pada pertemuan berikutnya siswa dapat merumuskan hipotesis tanpa bantuan guru dan siswa sedikit bertanya kepada guru. Melalui tahap ini, maka siswa menjadi terlatih untuk mengemukakan hipotesis atas permasalahan yang diberikan.

Tahap 4. Menguji kebenaran jawaban sementara.

Pada tahap ini, siswa melakukan proses penyelidikan untuk mendapatkan fakta mengenai masalah yang diberikan sesuai dengan langkah penyelesaian pada LKS. Siswa menguji kebenaran jawaban sementara tersebut dengan cara melakukan praktikum atau dengan mendiskusikan pertanyaan yang ada dalam LKS. Antusias siswa untuk mengikuti pelajaran cukup tinggi saat dilakukan praktikum. Hal ini disebabkan karena pada pembelajaran sebelumnya tidak pernah dilakukan praktikum. Siswa melakukan praktikum sesuai prosedur percobaan yang ada dalam LKS untuk mengumpulkan data yang akan ditulis pada tabel pengamatan yang tersedia di LKS. Secara keseluruhan siswa melakukan praktikum dengan baik dan benar. Pada saat praktikum terlihat bahwa sebagian besar siswa dapat tertib bekerjasama dengan teman

Page 17: Jurnal Asam Ba Sa

17

sekelompok, namun adapula siswa yang hanya diam tidak ikut serta melakukan percobaan.

Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk mengelompokkan zat-zat yang mereka amati. Dalam hal ini siswa diarahkan untuk mengelompokkan zat-zat berdasarkan persamaan ciri-ciri yang diamati. Hampir semua siswa dapat mengamati gejala arus listrik seperti terjadi perubahan nyala lampu dan timbul gelembung gas dise-kitar elektroda yang diujikan pada masing masing zat, dan hanya sedikit siswa yang kebingungan dalam mengamati gejala arus listrik. Setelah melakukan praktikum, siswa dituntut untuk mengelompokkan zat-zat berdasarkan persamaan dan perbedaan yang diamati dalam LKS yang telah diberikan. Masing-masing siswa dituntut untuk mengerjakan LKS dan mengumpulkan diakhir pembelajaran agar guru dapat mengetahui tingkat keterampilan mengelompokkan dari masing-masing siswa

Setelah mengelompokkan zat-zat yang di uji cobakan, siswa diarahkan untuk menjawab pertanyaan-perta-nyaan singkat untuk menghubungkan antara hasil pengamatan yang dilaku-kan dengan masalah yang diberikan. Kemudian seluruh siswa mendisku-sikan hasil praktikum tersebut dalam masing-masing kelompok untuk men-jawab pertanyaan-pertanyaan yang tersedia di LKS dengan menggunakan data hasil pengamatan dari percobaan yang telah dilakukan. Diskusi antar anggota kelompok dapat membuat pembelajaran menjadi lebih hidup, dan siswa yang bisa dikatakan memiliki tingkat kognitif yang rendah dapat belajar dari anggota kelompoknya yang memiliki tingkat kognitif lebih tinggi, sehingga kemampuan mereka dalam mengelompokkan menjadi terlatih dan menjadi lebih baik. Hal

ini dibuktikan pada pertemuan selanjutnya walaupun belum semua siswa dapat mengelompokkan zat-zat dengan baik, sebagian besar siswa telah mampu mengelompokkan zat-zat berdasarkan perbedaan dan persamaan ciri-ciri yang diamati. Hal ini secara tidak langsung telah melatih keterampilan mengelompokkan dari masing-masing siswa. Berbeda halnya dengan kelas kontrol, pengalaman belajar siswa pada kelas kontrol hanya melalui penjelasan guru semata sehingga keterampilan mengelom-pokkan siswa kurang terlatih.

Tahap 5. Menarik kesimpulan

Pada tahap ini, siswa telah menemukan jawaban dari perma-salahan maka diharapkan siswa dapat mempresentasikan hasilnya dengan yang lain dan memberikan penjelasan sederhana atas jawaban yang diperoleh sehingga pada akhirnya dida-patkan kesimpulan dari peme-cahan masalah tersebut. Melalui pre-sentasi akan terjalin komunikasi dan interaksi antar kelompok, saling berbagi ide atau pendapat, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya, selain itu akan terjalin komunikasi kognitif yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya pikir siswa. LKS berbasis model problem solving disusun lebih detil dengan tahapan sangat terstruktur sehingga memudahkan siswa menemukan konsep. Dengan pembelajaran model problem solving tersebut, siswa dapat belajar secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri, siswa dapat melatih kerjasama dalam kelompok, siswa dapat berinteraksi dengan siswa serta guru, dan mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pembelajaran dengan model

Page 18: Jurnal Asam Ba Sa

18

problem solving sesuai dengan karak-teristik materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks yang lebih banyak membutuhkan pemahaman konsep dan penerapannya. Selama proses pembelajaran, siswa dengan bantuan guru akan menjadi terbiasa menemukan konsep sendiri. Konsep yang diperoleh cenderung mudah diingat dan dipahami. Dari konsep yang diperoleh akan memudahkan siswa untuk menjawab persoalan-persoalan terkait dengan materi yang dipelajarinya. Berdasarkan hasil penilaian afektif, siswa kelas eksperimen me-nunjukkan hasil yang baik, dimana siswa lebih menunjukkan rasa ingin tahu dan ingin berkomunikasi, siswa lebih aktif bertanya, menjadi pendengar yang baik, mengungkapkan pendapat, dan bekerjasama. Kondisi tersebut memberikan suasana rileks, tidak kaku sehingga mendukung pembelajaran siswa yang tidak membosankan. Hal ini menyebabkan siswa memiliki semangat yang lebih tinggi untuk tetap belajar yang berdampak positif terhadap hasil yang dicapai.

Pembelajaran dengan model pro-blem solving pada kelas eksperimen jelas akan memberikan pencapaian yang berbeda dengan kelas kontrol yang tidak mengalami berbagai proses tersebut. Hal ini terbukti dengan lebih baiknya pencapaian kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol baik dalam hal keterampilan mengelompokkannya dan penguasaan konsep. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik pada penelitian ini yang menunjukkan hasil rata-rata keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep yang dilihat dari rata-rata postest kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol.

Ini membuktikan bahwa model problem solving pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks lebih efektif dalam mening-katkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep oleh siswa kelas X SMA Negeri 1 Pringsewu daripada dengan pembelajaran kon-vensional yang telah biasa dilakukan di SMA tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model problem solving lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep oleh siswa pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks. Pembelajaran model problem solving dapat meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks karena pada setiap tahap pembelajarannya dapat melatih keterampilan mengelompokkan dan mengembangkan penguasaan konsep terutama pada tahap menguji kebenaran jawaban sementara (hipotesis), siswa melakukan praktikum kemudian siswa menggunakan hasil pengamatan untuk mengelompokkan suatu zat dan pada tahap menarik kesimpulan, siswa dapat menyimpulkan suatu konsep berdasarkan data atau fakta yang diperoleh saat praktikum.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa pembelajaran model problem solving dapat dipertimbangkan dalam pembelajaran kimia, terutama pada materi larutan nonelektrolit dan elektrolit serta redoks karena terbukti

Page 19: Jurnal Asam Ba Sa

19

efektif dalam meningkatkan keterampilan mengelompokkan dan penguasaan konsep siswa. Dalam pembelajaran model problem solving agar berjalan lebih efektif sebaiknya memperhatikan alokasi waktu, karena dalam pelaksanaannya pembelajaran dengan menggunakan metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama di setiap langkah-langkah pembelaja-rannya. LKS dengan model problem solving sebagai media pembelajaran perlu upaya pengembangan yang lebih baik dan menarik karena mampu menunjang proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Djamarah dan Zain, A. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.

Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Soetardjo. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.

Sudjana, N. 2005. Metoda Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Suyanti, R. 2010. Strategi Pembelajaran Kimia. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Page 20: Jurnal Asam Ba Sa

20

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PROBLEM SOLVING PADA MATERI POKOK ASAM-BASA ARRHENIUS DALAM MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BERBAHASA SIMBOLIK DAN PEMODELAN MATEMATIK SISWA SMA

Isnawati, Noor Fadiawati, Tasviri Efkar, Ratu Betta Rudibyani Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius dalam meningkatkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 1 Natar semester genap tahun ajaran 2011/2012 dengan kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 sebagai sampel, dengan pertimbangan kedua kelas tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama. Metode penelitian ini adalah kuasi eksperiman dengan Non Equivalent Control Group Design. Efektivitas pembelajaran problem solving diukur berdasarkan peningkatan n-Gain yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,01 dan 0,31; dan rata-rata n-Gain keterampilan pemodelan matematik untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,22 dan 0,34. Berdasarkan pengujian hipotesis, diketahui bahwa kelas dengan pembelajaran problem solving memiliki keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik yang lebih tinggi dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving efektif dalam meningkatkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa. Kata kunci : pembelajaran problem solving, keterampilan berbahasa simbolik, keterampilan pemodelan matematik. PENDAHULUAN

Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global. Upaya yang tepat untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan wadah yang dapat dipandang dan seyogianya berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang bermutu adalah pendidikan.

Salah satu kunci utama yang berperan dalam memajukan pendidi-kan adalah guru. Sudjana (2002)

mengemukakan bahwa guru menempati kedudukan sentral, sebab peranannya sangat menentukan. Masih banyak guru yang mengajar kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif serta mengembangkan keterampilan dan pengetahuan. Kegiatan pembelajaran masih terpusat pada guru, sehingga kurang mendukung pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa terutama dalam hal pemecahan masalah. Hal ini dapat berpengaruh pada prestasi belajar siswa.

Page 21: Jurnal Asam Ba Sa

21

Kenyataan di lapangan menunjukkan menunjukkan bahwa proses belajar yang dominan terjadi adalah proses penuangan informasi dari guru kepada siswa, bukan siswa menemu-kan apa yang dipelajari dan bukan pula siswa yang membangun pengetahuannya. Siswa kurang terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, guru menjelaskan materi pembelajaran sedangkan siswa hanya dilibatkan sebagai pendengar tanpa diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran kimia di sekolah secara umum lebih menekankan pada aspek produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori), dimana pemebelajaran lebih didominasi oleh penyajian fakta-fakta dan persamaan matematis. Kondisi seperti ini tentunya menyebabkan motivasi siswa untuk belajar kimia menjadi kurang baik, sehingga selain pemahaman konsep yang rendah, kemampuan siswa untuk memecah-kan masalah pada situasi yang baru juga tergolong rendah. Selain itu, juga menyebabkan siswa lebih banyak mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis, siswa pada umumnya hanya mengenal banyak peristilahan sains secara hapalan tanpa makna.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disebutkan bahwa pendidikan ilmu kimia merupakan wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, yang menekankan pada pemberian pengalaman langsung, sehingga siswa perlu dibantu mengembangkan keterampilan-keterampilan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pengem-bangan keterampilan dalam

pelaksanaan KTSP berdampak pada kegiatan pembelajaran untuk siswa sehingga lebih aktif, kreatif, dan inovatif, terutama dalam mengembangkan keterampilan ber-pikirnya. Salah satu keterampilan sains yang akan dipelajari adalah keterampilan generik sains (KGS).

Ilmu kimia dibangun melalui pengembangan keterampilan generik sains seperti keterampilan berbahasa simbolik, pemodelan matematik dan sebagainya. Keterampilan generik sains tersebut harus ditumbuhkan dalam diri siswa SMA sesuai dengan taraf perkembangannya. Sehingga siswa terlatih untuk lebih berpikir dan bertindak sesuai dengan ilmu yang diperoleh.

Pembelajaran kimia disertai keterampilan generik sains pada materi pokok asam-basa Arrhenius diduga dapat membantu melatih keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa. Keterampilan berbahasa simbolik yang harus dicapai siswa pada materi pokok asam-basa Arhenius adalah menuliskan persamaan reaksi ionisasi beserta fase-fase yang terlibat dalam reaksi ionisasi, menuliskan persamaan derajat ionisasi dan menuliskan persamaan tetapan kesetimbangan air, asam lemah dan basa lemah dari suatu persamaan reaksi.

Dalam hal ini, siswa dituntut untuk menggunakan pemikiran sains berdasarkan prinsip-prinsip sains yang dimilikinya agar siswa mampu mencapai keterampilan tersebut. Menurut Liliasari (2007), untuk memperjelas gejala alam yang dipelajari oleh setiap rumpun ilmu diperlukan bahasa simbolik, agar terjadi komunikasi dalam bidang ilmu tersebut sehingga memper-mudah penyampaian dengan meringkas dalam bentuk bahasa simbolik. Dalam sains

Page 22: Jurnal Asam Ba Sa

22

misalnya mengenal adanya lambang unsur, persamaan reaksi, simbol-simbol untuk reasi searah, reaksi kesetimbangan dan banyak lagi bahasa simbolik yang telah disepakati dalam bidang ilmu tersebut.

Selain keterampilan berbahasa simbolik, siswa juga dituntut untuk mengembangkan keterampilan pemodelan matematik yang dimiliki. Hal ini disebabkan karena keterampilan pemodelan matematik merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki siswa saat mempelajarai sains. Menurut Liliasari (2007), untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang diamati diperlukan bantuan pemodelan matematik agar dapat diprediksikan dengan tepat bagaimana kecenderungan hubungan atau perubahan suatu fenomena alam. Keterampilan pemodelan matematik yang harus dicapai siswa pada materi pokok asam-basa Arrhenius adalah menghitung pH atau konsentrasi suatu larutan dan menentukan nilai tetapan kesetimbangan/tetapan ionisasi asam (Ka) dan basa (Kb).

Hasil observasi yang dilakukan di SMAN 1 Natar menunjukkan bahwa pembelajaran masih di-dominasi menggunakan metode ceramah yang disertai latihan-latihan soal. Selain itu, paradigma lama di mana guru merupakan pusat kegiatan belajar di kelas (teacher centered) masih sering dipertahankan dengan alasan pembelajaran seperti ini adalah yang paling praktis dan tidak menyita banyak waktu. Guru kerap kali memilih mempertahankan gaya mengajarnya, yakni dengan menekankan pembelajaran pada penguasaan sejumlah konsep, hukum-hukum dan teori-teori saja, seperti halnya pada materi pokok asam-basa yang lebih dikondisikan untuk dihafal oleh siswa tanpa memperhatikan

bahwa informasi /konsep yang diberikan guru dapat saja kurang bermanfaat atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali jika hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada siswa melalui jalan satu arah seperti menuang air ke dalam sebuah gelas. Cara pembelajaran seperti itu menyebabkan ke-terampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa kurang terlatih.

Untuk melatih keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa, diperlukan model pembelajaran yang berfilosofi konstruktivisme, yakni pembel-ajaran yang menitikberatkan pada keaktifan siswa dan mengharuskan siswa mem-bangun pengetahuannya sendiri. Salah satu model pembel-ajaran yang diduga dapat memacu dan meningkatkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa adalah model pembelajaran problem solving.

Pembelajaran problem solving adalah sistem pembelajaran yang menuntut siswa belajar untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok. Oleh karena itu, dalam pembelajaran siswa harus aktif agar dapat memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Dengan memecahkan masalah berarti siswa memperoleh sesuatu yang baru, yaitu pelajaran baru yang dihasilkan dari pemikiran siswa saat memecahkan masalah berdasarkan aturan-aturan yang pernah di-pelajarinya. Pembelajaran problem solving memiliki ciri-ciri seperti pembelajaran dimulai dengan adanya pemberian masalah. Biasanya ‘masalah’ memiliki konteks dengan dunia nyata, siswa secara ber-kelompok kecil aktif meng-identifikasi ‘masalah’ yang ada, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait

Page 23: Jurnal Asam Ba Sa

23

dengan ‘masalah’ dan kemudian mencari solusi dari ‘masalah’ tersebut. Saat mencari solusi tersebut diharapkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa terlatih sehingga keretampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa akan meningkat. Dalam pembelajaran problem solving ini guru hanya berperan sebagai penghubung yang membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah serta berperan sebagai pembimbing pada proses pembelajaran yang menyedia-kan peluang kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan baru.

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Pembelajaran Problem Solving pada Materi Pokok Asam-Basa Arrhenius dalam Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Simbolik dan Pemodelan Matematik Siswa SMA ”. Melalui penerapan pembel-ajaran problem solving diharapkan guru mampu meningkatkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa.

METODOLOGI PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 1 Natar semester genap tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 202 siswa dan tersebar dalam lima kelas. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Ber-dasarkan teknik tersebut maka diperoleh kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 sebagai sample penelitian. Kelas XI IPA 2 sebagai kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional, sedang-kan kelas XI IPA 3 adalah kelompok eksperimen yang mengalami

pembelajaran problem solving, dengan pertim-bangan kedua kelas tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa data hasil tes keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa yang diperoleh sebelum penerapan model pembe-lajaran (pretest) dan data hasil tes keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa yang diperoleh setelah penerapan model pembelajaran (posttest). Sumber data dalam penelitian ini ialah siswa-siswi kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 SMAN 1 Natar yang mengikuti proses pembelajaran dan pretest-posttest.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan menggunakan Non Equivalent Control Group Design (Sugiyono, 2009).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang digunakan yaitu pembelajaran problem solving dan pembelajaran konvensional. Sedang-kan variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa pada materi pokok asam-basa Arrhenius.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal pretest-posttest, LKS kimia berbasis pembelajaran problem solving, RPP dan silabus yang sesuai dengan KTSP, lembar penilaian aspek afektif siswa dan lembar penilaian keterlaksanaan RPP. Sebelum instrumen digunakan, instrumen harus diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji validitas.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikata-kan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat

Page 24: Jurnal Asam Ba Sa

24

mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrumen pada penelitian ini menggunakan validitas isi yang dilakukan dengan cara judgment.

Teknik analisis data dilakukan dengan cara menghitung nilai pretest dan posttest keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa, data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung n-Gain keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik, selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis ter-hadap data n-Gain yang terdiri dari uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata (uji-t).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, proses pembelajaran dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan, baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol, dengan materi yang sama yaitu asam-basa Arrhenius. Pertemuan pertama, pembelajaran diawali dengan memberikan pretest baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol dengan materi asam-basa Arrhenius. Setelah itu mulai dari pertemuan ke dua hingga ke empat diberikan perlakuan berupa pembel-ajaran problem solving untuk kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol. Selanjutnya pada pertemuan ke lima diberikan posttest pada kedua kelas dengan soal posttest yang sama.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti memperoleh data berupa nilai pretest dan posttest untuk keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik.

Perolehan rata-rata nilai pretest keterampilan berbahasa simbolik siswa di kedua kelas relatif sama. Hal

ini menunjukkan bahwa kedua kelas memiliki keterampilan berbahasa simbolik yang sama pada awalnya. Setelah pembelajaran diterapkan, terjadi peningkatan keterampilan berbahasa simbolik yang cukup signifikan di kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen rata-rata perolehan nilai keterampilan berbahasa simbolik siswa meningkat sebesar 7,36 dari rata-rata perolehan nilai pada uji kemapuan keterampilan berbahasa simbolik awal siswa sebesar 76,05 menjadi 83,41. Pada kelas kontrol juga terjadi peningkatan keterampilan berbahasa simbolik namun hanya sebesar 0,21 dari rata-rata perolehan nilai pada uji kemampuan keterampilan berbahasa simbolik awal siswa sebesar 76,14 menjadi 76,35.

Perolehan rata-rata nilai pretest keterampilan pemodelan matematik siswa di kedua pun kelas relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas memiliki keterampilan pemodelan matematik yang sama pada awalnya. Setelah pembelajaran diterapkan, terjadi peningkatan keterampilan pemodelan matematik yang cukup signifikan baik di kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Pada kelas eksperimen rata-rata perolehan nilai keterampilan pemodelan matematik siswa meningkat sebesar 20,72 dari rata-rata perolehan nilai pada uji kemampuan keterampilan pemodelan matematik awal siswa sebesar 38,57 menjadi 59,29. Sedangkan pada kelas kontrol rata-rata perolehan nilai keterampilan pemodelan matematik siswa meningkat sebesar 13,78 dari rata-rata perolehan nilai pada uji kemampuan keterampilan pemodelan matematik awal siswa sebesar 37,18 menjadi 50,96.

Untuk mengetahui efektivitas dari pembelajaran problem solving

Page 25: Jurnal Asam Ba Sa

25

dalam meningkatkan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa, maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi (n-Gain) dan pengujian hipotesis.

Rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik siswa pada kelas eksperimen, yaitu 0,31 dan kelas kontrol, yaitu 0,01 dengan kriteria masing-masing untuk kelas eksperimen sedang dan kelas kontrol rendah. Sedangkan Rata-rata n-Gain keterampilan pemodelan matematik siswa pada kelas eksperimen, yaitu 0,34 dan kelas kontrol, yaitu 0,22 dengan kriteria masing-masing untuk kelas eksperimen sedang dan kelas kontrol rendah. Terlihat bahwa rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Hal tersebut mem-buktikan bahwa kelas eksperimen mempunyai peningkatan rata-rata nilai keterampilan ber-bahasa simbolik dan pemodelan matematik yang lebih besar di-bandingkan kelas kontrol.

Setelah diperoleh data n-Gain, selanjutnya untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berlaku untuk keseluruhan populasi, maka di-lakukan pengujian hipotesis yang terdiri dari uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaaan dua rata-rata.

Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Chi-Kuadrat. Hasil perhitungan uji normalitas terhadap data n-Gain keterampilan berbahsa simbolik memperlihatkan bahwa nilai

hitung baik kelas eksperimen maupun

kelas kontrol lebih kecil dari tabel

( hitung < tabel) dengan taraf =

0,05 sehingga disimpulkan terima H0 dan tolak H1. Artinya sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Sedangkan hasil perhitungan uji normalitas terhadap data n-Gain keterampilan pemodelan matematik siswa memperlihatkan bahwa nilai

hitung aik kelas eksperimen maupun

kelas kontrol lebih kecil dari tabel

( hitung < tabel) dengan taraf =

0,05 sehingga disimpulkan terima H0 dan tolak H1. Artinya sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui apakah data penelitian mempunyai tingkat varians yang sama (homogen) atau tidak. Hasil perhitungan uji homogenitas keterampilan berbahasa simbolik siswa memperlihatkan bahwa nilai Fhitung lebih kecil dari Ftabel (Fhitung < Ftabel) dengan taraf nyata = 0,05

sehingga disimpulkan terima H0 dan tolak H1. Artinya = , data

penelitian mempunyai varians yang sama atau homogen.

Oleh karena data penelitian mempunyai varians yang sama atau homogen, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji-t. Hasil perhitungan uji-t keterampilan berbahasa simbolik siswa memper-lihatkan bahwa nilai thitung > t (1- )

sehingga disimpulkan tolak H0 dan terima H1. Artinya rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik siswa pada materi pokok asam-basa Arrhenius yang diterapkan pembel-ajaran problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik siswa dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkat-kan keterampilan berbahasa simbolik siswa.

Page 26: Jurnal Asam Ba Sa

26

Sedangkan hasil perhitungan uji homogenitas data n-Gain keterampilan pemodelan matematik siswa memperlihatkan bahwa nilai Fhitung lebih kecil dari Ftabel (Fhitung < Ftabel) dengan taraf nyata = 0,05 sehingga

disimpulkan terima H0 dan tolak H1. Artinya = , data penelitian

mempunyai varians yang sama atau homogen.

Oleh karena data penelitian mempunyai varians yang sama atau homogen, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji-t. Hasil perhitungan uji-t untuk keterampilan pemodelan matematik siswa memperlihatkan bahwa nilai thitung > t

(1- ) sehingga disimpulkan tolak H0

dan terima H1. Artinya rata-rata n-Gain keterampilan pemodelan matematik siswa pada materi pokok asam-basa Arrhenius yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan pemodelan matematik siswa dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkatkan keterampilan pe-modelan matematik siswa.

Hasil uji statistik di atas, menunjukkan bahwa data penelitian ini berlaku juga untuk populasi dan model pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkat-kan keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa kelas XI SMAN 1 Natar.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan efektivitas pembel-ajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius dalam meningkatkan keterampilan ber-

bahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa SMAN 1 Natar.

Data hasil penelitian me-nunjukkan bahwa pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkatkan keterampilan ber-bahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi pada setiap tahap pembelajaran selama penelitian berlangsung. Tahap 1. Orientasi siswa pada masalah. Pada tahap ini, pembel-ajaran dimulai dengan menyampai-kan tujuan pembelajaran, mengaju-kan analogi berupa fakta dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk pernyataan dan pertanyaan untuk memunculkan masalah dan me-motivasi siswa agar terlibat dalam pemecahan masalah. Tahap ini penting karena dapat merangsang perkembangan kemampuan berpikir dan rasa ingin tahu siswa untuk menyelesaikan masalah dengan tepat. Dimana melalui tahap ini siswa lebih memahami apa yang hendak mereka capai dalam pembel-ajaran yang akan dilakukan. Selain itu, siswa menjadi lebih antusias mengikuti proses pembel-ajaran karena diberikan masalah untuk mereka selesaikan. Tahap 2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini siswa dikelompokkan menjadi 6 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 sampai 7 siswa. Pengelompokkan ini dilaku-kan secara heterogen berdasarkan nilai yang diperoleh siswa pada materi pokok sebelumnya yaitu kesetimbangan kimia. Tujuan di-bentuknya kelompok adalah agar tercipta kerjasama antar siswa dalam

Page 27: Jurnal Asam Ba Sa

27

kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatan pembel-ajaran.

Pengelompokan yang di-lakukan pada tahap ini memberi pengaruh besar bagi perkembangan potensi siswa. Siswa menjadi lebih aktif berbicara ketika mereka berada dalam lingkungan bersama temannya.

Pada tahap ini siswa bekerja sama mencari dan mengumpulkan data dari berbagai macam literatur dengan teliti dan tanggung jawab untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang masalah yang diajukan, dengan cara membaca buku kimia SMA, bertanya kepada guru serta mendiskusikan masalah yang telah diberikan dengan teman satu kelompok.

Kegiatan ini mampu me-ningkatkan aktivitas bertanya siswa. Kebiasaan siswa berbicara dalam kelompok dan motivasi untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mampu merangsang siswa untuk aktif bertanya dan mengeluarkan pendapat di kelas. Tahap 3. Menetapkan jawaban sementara. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menuang-kan ide atau pendapat mereka secara bebas sebagai jawaban sementara dari permasalahan yang diberikan berdasarkan pengetahuan awal mereka dan data yang telah mereka peroleh pada tahap sebelumnya.

Tahap ini merangsang siswa berpikir kreatif dalam menggunakan wawasannya untuk menentukan jawaban sementara dari setiap masalah yang diberikan dan melatih siswa bertanggung jawab atas jawaban sementara yang telah siswa tuliskan.

Tahap 4. Menguji kebenaran jawaban sementara. Pada tahap ini siswa bekerja sama dalam melaku-kan percobaan. Percobaan ini ber-tujuan untuk menguji kebenaran jawaban sementara yang telah mereka rumuskan sebelumnya. Dalam per-cobaan ini siswa dilatih untuk lebih teliti dalam mengamati per-ubahan warna pada kertas lakmus dan perubahan warna pada indikator universal, sehingga di-dapatkan data yang akurat. Selanjutnya siswa menuliskan data hasil pengamatan pada tabel pengamatan yang terdapat dalam LKS kemudian menganalis data hasil percobaan yang mereka peroleh serta berdiskusi dengan teman satu kelompok untuk menjawab per-tanyaan-pertanyaan yang terdapat pada LKS terkait informasi yang terdapat dalam tabel hasil pengamatan tersebut, untuk mempertanggung-jawabkan hipotesis yang telah dirumuskan. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dapat melatih keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa. Tahap 5. Menarik kesimpulan. Pada tahap ini siswa dilatih untuk memberikan penjelasan sederhana atas suatu fenomena yang terjadi berdasarkan pengetahuan dan pe-ngalaman belajarnya dan membuat kesimpulan dari data dan fakta yang telah diperoleh. Setelah siswa me-nemukan jawaban dari per-masalahan, siswa mengkomunikasi-kan hasilnya dengan yang lain, sehingga pada akhirnya dapat membuat kesimpulan dari pemecahan masalah tersebut. Melalui kebebasan untuk mengolah semua informasi yang mereka dapatkan dan mengaitkannya dengan pengetahuan awal yang mereka miliki, proses ini membawa siswa untuk

Page 28: Jurnal Asam Ba Sa

28

mengembangkan kemampuan berpikir mereka. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Rata-rata n-Gain keterampilan

berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa pada materi pokok asam-basa Arrhenius yang diterapkan pembelajaran problem solving lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain keterampilan berbahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa dengan pembel-ajaran konvensional.

2. Pembelajaran problem solving pada materi pokok asam-basa Arrhenius efektif dalam meningkatkan keterampilan ber-bahasa simbolik dan pemodelan matematik siswa.

DaftarPustaka Ali, M. 1992. Strategi Penelitian

Pendidikan. Angkasa. Bandung. Brotosiswoyo, B.S. 2001. Hakikat

Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi. Proyek pengembangan Universitas Terbuka, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Jakarta.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Erlangga. Jakarta.

Djamarah, S.B dan Zain, A. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta

Djsastra, Y.D. 1985. Metode-Metode Mengajar 2. Bina Aksara. Bandung.

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan

Aplikasi. Refika Aditama. Bandung.

Liliasari. 2007. Model-Model Pembelajaran Berbasis IT Untuk mengembangkan Keterampilan Generik Sains dan Berpikir Kritis Siswa Sma Pada Topik Hidrilisis Garam. (Penelitian HPTP). Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung.

Nasution, S. 1992. Berbagai Pende-katan dalam proses Belajar dan Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta.

Nurhadi, B.Y. dan Senduk, A.G. 2002. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang. Malang.

Panen, Paulina, D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruk-tivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.

Sagala, S. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran.Alfabeta. Bandung.

Sudjana, N. 2002. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.

_________. 1996. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidi-kan. Kanisius. Yogyakarta.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistime. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

Page 29: Jurnal Asam Ba Sa

29

EFEKTIVITAS MODEL SILUS BELAJAR PDEODE PADA MATERI

POKOK KESETIMBANGAN KIMIA DALAM MENINGKATKAN

KETERAMPILAN PREDIKSI DAN KETERAMPILAN

KOMUNIKASI SISWA

Meriantika, Noor Fadiawati, Chansyanah Diawati, Nina Kadaritna Pendidikan Kimia, Universitas Lampung

Abstrak : Pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai proses, produk, dan sikap. Untuk memahami hakikat ilmu kimia secara utuh, siswa harus memiliki keterampilan proses sains (KPS). Melatihkan KPS kepada siswa dapat membekali siswa dengan suatu keterampilan berpikir dan bertindak melalui sains untuk menyelesaikan masalah serta menjelaskan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan KPS sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Salah satu model pembelajaran yang dapat melatih dan mengembangkan KPS siswa adalah model siklus belajar Predict – Discuss – Explain – Observe – Discuss - Explain (PDEODE). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model siklus belajar PDEODE pada materi pokok kesetimbangan kimia dalam meningkatkan keterampilan prediksi dan komunikasi siswa. Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan Non-equivalent Control Group Design. Penelitian ini dilakukan di SMA YPU Bandar Lampung kelas XI IPA tahun pelajaran 2011-2012. Efektivitas model siklus belajar PDEODE diukur berdasarkan selisih skor pretest dan posttest (gain ternormalisasi) Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan, diketahui bahwa kelas dengan model siklus belajar PDEODE memiliki keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi yang lebih tinggi dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model siklus belajar PDEODE efektif dalam meningkatkan keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi siswa. Kata kunci: model siklus belajar PDEODE, keterampilan prediksi dan

keterampilan komunikasi. PENDAHULUAN Kimia merupakan salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Pada hakikatnya ada tiga hal yang berkaitan dengan ilmu kimia yaitu, kimia sebagai produk yang berupa fakta, konsep, prinsip,

hukum, dan teori; kimia sebagai proses atau kerja ilmiah; dan kimia sebagai sikap. Berdasarkan tiga hal tersebut maka pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik kimia sebagai proses, produk, dan sikap

Page 30: Jurnal Asam Ba Sa

30

Untuk memahami hakikat ilmu kimia secara utuh, siswa harus memiliki keterampilan proses sains (KPS). KPS adalah semua keterampilan yang terlibat pada saat berlangsungnya proses, seperti mengamati (observasi), inferensi, mengelompokkan, menafsirkan (inter-pretasi), memprediksi, dan mengko-munikasikan. Pentingnya seorang guru melatihkan KPS kepada siswa, karena dapat membekali siswa dengan suatu keterampilan berpikir dan bertindak melalui sains untuk menyelesaikan masalah serta menjelaskan fenomena-fenomena yang ada dalam kehidupannya sehari-hari. Faktanya, pembelajaran kimia yang terjadi di sekolah cenderung hanya menghadirkan konsep-konsep, hukum-hukum, dan teori-teori saja, tanpa menyuguhkan bagaimana proses ditemukannya konsep, hukum, dan teori tersebut, sehingga tidak tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa. Akibatnya pembelajaran kimia menja-di kehilangan daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya menjadi objek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003). Dalam mata pelajaran kimia yang sarat dengan konsep, sangat penting bagi siswa untuk menemukan dan memahami dengan benar konsep dasar yang akan membangun konsep-konsep selanjutnya. Contohnya saja dalam materi kesetimbangan kimia, banyak konsep yang bersifat abstrak yang harus diserap siswa dalam waktu terbatas, sehingga materi kesetim-bangan kimia lebih terkondisikan untuk dihafal oleh siswa. Hal ini membuat siswa mengalami kesulitan dalam menghubungkan ilmu kimia dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak merasakan manfaat dari pembelajaran kesetimbangan

kimia. Akan berbeda hasilnya jika pada materi kesetimbangan kimia siswa dihadapkan pada situasi yang dapat melatih dan mengembangkan KPS. Melalui keterampilan yang terlibat pada saat berlangsungnya proses, pembelajaran akan lebih bermakna dan siswa dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang dipelajari. Dengan demikian siswa akan mampu mengaitkan konsep kesetimbangan kimia dengan kondisi atau masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di dalam mulut terjadi reaksi kesetim-bangan senyawa kalsium hidroksia-patit yang terkandung dalam email gigi, jika seseorang mengonsumi makanan yang mengandung asam akan terjadi pergeseran kesetimbangan yang menyebabkan lapisan email menjadi ke-ropos sehingga timbul sakit gigi; proses pembentukan stalagtit dan stalagmit pada gua-gua di daerah batu kapur; pemanfaatan reaksi kesetimbangan antara asam sianurat dan triklorosianurat untuk mengurangi biaya produksi dalam usaha kolam renang dan bak penampungan air; dan sebagainya. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di SMA YPU Bandar Lampung pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012, menunjukkan bahwa pembelajaran di kelas sebenarnya sudah cukup menarik, guru mengajar menggunakan media berbantuan komputer disertai metode ceramah, tanya jawab, dan latihan. Namun, isi pokok bahasan yang disampaikan hanya berupa kumpulan teori-teori disertai contoh-contoh soal yang menjadi acuan untuk tes formatif bagi siswa. Hal ini justru mendorong siswa menjadi pencatat serta penghafal yang fasih dan pembe-lajaran kimia seolah-olah hanya

Page 31: Jurnal Asam Ba Sa

31

sebatas terjadi di dalam sekolah tanpa adanya keterkaitan dengan lingkungan di sekitar mereka. Pembelajaran kimia yang seolah tak berguna untuk kehidupan mereka ini jelaslah membuat siswa tidak tertarik pada pelajaran kimia. Mengacu pada permasalahan di atas, maka diperlukan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih dan mengembangkan KPS sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Salah satu model pembelajaran yang dapat melatih dan mengembangkan KPS siswa adalah model siklus belajar Predict – Discuss – Explain – Observe – Discuss - Explain (PDEODE). Model siklus belajar PDEODE menyajikan peristiwa sains kepada siswa yang dilanjutkan mengarahkan siswa untuk memprediksikan akibat dari peristiwa sains tersebut. Untuk membuktikan prediksinya, siswa dibimbing melakukan kegiatan observasi, lalu mendiskusikan dan menjelaskan hasil observasi tersebut. Selanjutnya, siswa menghadapkan semua ketidaksesuaian antara prediksi dan hasil observasinya, sehingga siswa dapat menanggulangi kontradiksi-kontradiksi yang mungkin muncul pada pemahaman mereka. Dengan demikian, model siklus belajar PDEODE memberikan kesempatan untuk mengembangkan berbagai kemampuan siswa, diantaranya kemampuan membuat prediksi, mengamati fenomena alam, menggunakan alat dan bahan praktikum, berkomunikasi, dan menjelaskan hasil percobaan. Kemampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan aspek-aspek yang ada dalam KPS. Dengan kata lain, pembelajaran ini sekaligus mampu meningkatkan KPS bagi siswa.

Keterampilan memprediksi sangat diperlukan oleh siswa sebagai bekal dalam profesi yang mungkin akan dijalaninya esok hari; laboran dan pekerja dalam bidang industri misalnya, memprediksi faktor-faktor apa saja yang bisa diubah agar kondisi sistem reaksi optimum sangatlah diperlukan sehingga produk (hasil reaksi) yang diperoleh optimal. Melalui siklus belajar PDEODE, siswa akan disajikan berbagai peristiwa sains pada tahap predict, kemudian siswa dituntut agar mampu memprediksi akibat dari peristiwa sains tersebut sebelum melakukan pengamatan langsung berdasarkan suatu kecenderungan atau pola yang sudah ada. Kemampuan ini tidak lain merupakan indikator keterampilan prediksi. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung siklus belajar PDEODE mampu meningkatkan keterampilan prediksi siswa.

Berdasarkan peristiwa sains yang disajikan, maka siswa dibimbing untuk melakukan kegiatan observasi (pengamatan) pada tahap observe. Melalui kegiatan observasi siswa dituntut agar mampu mencatat data-data narasi yang diperoleh lalu menyajikannya dalam bentuk tabel atau grafik. Kegiatan ini secara tidak langsung melatihkan keterampilan komunikasi dan membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran. Selanjutnya informasi pada tabel atau grafik digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam LKS yang disusun untuk membimbing siswa membuktikan kesesuaian antara prediksi dan hasil observasinya. Kegiatan membaca informasi dari tabel atau grafik juga merupakan bagian dari keterampilan mengkomunikasikan. Jadi selain meningkatkan keterampilan prediksi, siklus belajar PDEODE juga secara

Page 32: Jurnal Asam Ba Sa

32

tidak langsung mampu meningkatkan keterampilan komunikasi siwa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis memandang perlu mengadakan penelitian guna melihat efektivitas model siklus belajar PDEODE. Oleh karena itu, penulis mengadakan penelitian yang berjudul: “Efektivitas Model Siklus Belajar PDEODE pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Dalam Meningkatkan Keterampilan Prediksi dan Keterampilan Komunikasi Siswa”. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA YPU Bandar Lampung tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 195 siswa dan tersebar dalam lima kelas. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling purposif. Pada teknik sampling purposif menurut Sudjana (2002), hanya mereka yang dianggap ahli yang patut memberikan pertimbangan untuk pengambilan sampel yang diperlukan. Sampling purposif akan baik hasilnya ditangan seorang ahli yang mengenal populasi dan dapat segera mengetahui lokasi masalah-masalah yang khas. Menurut Redhana (2009), dalam hal pertimbangan pengambilan sampel yang digunakan adalah tingkat kognitif kedua kelas harus sama dan ada pada tingkat kognitif menengah ke bawah (Setiawan, 2011). Berdasarkan pertimbangan dan saran dari ahli peneliti menunjuk kelas XI IPA 2 sebagai kelas kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional dan XI IPA 4 sebagai kelas eksperimen yang mengalami siklus belajar PDEODE. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan Non-

equivalent Control Group Design (Sugiyono, 2002). Efektivitas model siklus belajar PDEODE dalam meningkatkan keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi siswa dapat diketahui dengan melakukan analisis skor gain ternormalisasi (n-Gain). Rumus n-Gain menurut Meltzer adalah sebagai berikut :

Data n-Gain yang diperoleh kemudian diuji normalitas dan homogenitasnya yang kemudian digunakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis yang dilakukan menggunkan uji t’. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Analisis

Data Hasil penelitian ini adalah data berupa skor pretest dan posttest keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi. Data pretest dan postest ini kemudian digunakan untuk menghitung n-Gain masing-masing siswa dari masing-masing kelas. Data pendukung dalam penelitian ini yaitu data persentase keterlaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), rerata nilai keterampilan afektif siswa, dan rerata nilai keterampilan psikomotor siswa.

Berdasarkan hasil pretest dan postest, diketahui rerata skor keterampilan prediksi siswa di kelas kontrol yang semula 16 meningkat menjadi 25,46 dan rerata skor keterampilan prediksi siswa di kelas eksperimen yang semula 13 meningkat menjadi 25. Sedangkan rerata keterampilan komunikasi siswa di kelas kontrol yang semula adalah 22 meningkat menjadi 27 dan rerata

Page 33: Jurnal Asam Ba Sa

33

skor keterampilan komunikasi siswa di kelas eksperimen yang semula 11,84 meningkat menjadi 41.

Untuk melihat efektivitas kedua model pembelajaran yang diterapkan pada masing-masing kelas, maka dilakukan perhitungan n-Gain untuk keterampilan prediksi maupun kete-rampilan komunikasi siswa. Berda-sarkan hasil perhitungan diperoleh rerata n-Gain keterampilan prediksi untuk kelas eksperimen adalah 0,14 sedangkan untuk kelas kontrol adalah 0,09 dan rerata n-Gain keterampilan komunikasi untuk kelas eksperimen adalah 0,34 sedangkan untuk kelas kontrol adalah 0,04. Berdasarkan rerata n-Gain yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen efektif dalam meningkatkan keterampilan prediksi maupun keterampilan komunikasi.

Selanjutnya, untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berlaku untuk keseluruhan populasi, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t. Uji normalitas dilakukan dengan uji Chi-Kuadrat. Diketahui bahwa

; α = 0,05; dan k = 6 maka daerah tolakan uji ini adalah

dimana

harganya didapatkan dari daftar distribusi 2 adalah sebesar 1,11.

perhitungan uji normalitas terhadap n-Gain keterampilan prediksi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut adalah -78,1120 dan -68,1684; sedangkan hasil perhitungan uji normalitas terhadap n-Gain keterampilan komunikasi pada kelas ekperimen dan kelas kontrol berturut-turut adalah - 65,9049 dan -93,7745. Hasil perhitungan n-Gain untuk keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi baik di kelas

eksperimen maupun kelas kontrol menunjukkan bahwa nilai <

yang berarti terima Ho. Jadi

dapat disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Berdasarkan uji homogenitas yang telah dilakukan terhadap n-Gain keterampilan prediksi siswa didapatkan harga = 1,6985.

Dengan F(0,05)(37,38) dimana

harganya didapatkan dari daftar distribusi F adalah sebesar 1,71. Karena harga < maka

terima , yang artinya data n-Gain

keterampilan prediksi kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang homogen.

Untuk data yang memiliki varians yang homogen, uji-t menggunakan statistik t. Dari hasil uji hipotesis menggunakan statistik t tersebut didapatkan harga thitung sebesar 4,6633 dan harga sebesar 1,67. Karena

thitung > ttabel, maka tolak H0, yang artinya rerata keterampilan prediksi siswa di kelas eksperimen yang diterapkan model siklus belajar PDEODE lebih tinggi dibandingkan dengan keterampilan prediksi siswa di kelas kontrol yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan hasil uji homogenitas terhadap n-Gain keterampilan komunikasi siswa didapatkan harga

= 1,1011. Diketahui bahwa

F(0,05)(37,38) dimana harganya

didapatkan dari daftar distribusi F adalah sebesar 1,71. Karena harga

< maka terima yang

artinya data n-Gain keterampilan komunikasi siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki varians yang homogen.

Page 34: Jurnal Asam Ba Sa

34

Uji t untuk keterampilan komunikasi dilakukan menggunakan statistik t. Berdasarkan perhitungan, didapatkan harga thitung sebesar 33.8652 dan harga

sebesar 1.67. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa harga thitung > ttabel, maka tolak H0, yang artinya rerata keterampilan komunikasi siswa di kelas eksperimen yang diterapkan model siklus belajar PDEODE lebih tinggi dibandingkan dengan siswa di kelas kontrol yang diberi pembe-lajaran konvensional. B. PEMBAHASAN.

Dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas model siklus belajar PDEODE dalam meningkatkan keterampilan prediksi dan keterampilan komunikasi siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia ini, didapatkan beberapa informasi nyata yang membedakan pencapaian siswa di kelas eksperimen dengan siswa di kelas kontrol. Berikut ini merupakan temuan-temuan yang diperoleh pada setiap tahap pembelajaran di kelas eksperimen selama penelitian berlangsung. Tahap 1. Predict. Dalam pelaksanaannya, tahap ini menjadikan siswa-siswi di kelas eksperimen lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Prediksi dibuat oleh siswa berdasarkan pola pengetahuan awal (skema) sudah mereka miliki sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa “dalam pikiran siswa terdapat struktur pengetahuan awal atau schemata”, teori belajar bermakna David Ausubel dalam Dahar, (1989) mengemukakan “belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya

informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat pada struktur kognitif siswa”. Faktor yang penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Tahap 2. Discuss. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi tentang prediksinya, saling bertukar gagasan dan memper-timbangkan secara hati-hati prediksi tersebut. Dalam hal ini guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok yang heterogen selama pembelajaran diterapkan. Pengelompokkan ternyata memberi pengaruh besar bagi perkembangan kemampuan afektif siswa. Siswa menjadi lebih aktif dan berani dalam mengemukakan pendapat ketika mereka melakukannya dalam kelompok bersama teman-temannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vygotsky (1896-1934) bahwa tingkat perkembangan potensial sebagai tingkat yang dapat difungsikan atau dicapai oleh individu dengan bantuan orang lain, seperti teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi (Setiawan, 2011). Vygotsky berpen-dapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa (Abidin, 2011). Tahap 3. Explain. Pada tahap ini, setiap kelompok diminta untuk mencapai suatu kesepakatan prediksi dan menjelaskan alasan dari prediksinya. Pada dasarnya, jika siswa sudah dapat melakukan kegiatan diskusi dengan baik maka siswa tentunya dapat

Page 35: Jurnal Asam Ba Sa

35

mencapai suatu kesepakatan tentang prediksi yang mereka buat dan dapat menjelaskan alasannya. Tahap 4. Observe. Pada tahap ini, siswa mulai melakukan kegiatan praktikum untuk membuk-tikan prediksinya sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada LKS. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Selain itu, fakta yang diperoleh siswa pada kegiatan praktikum seringkali membuat siswa bingung dan menjadi ragu akan prediksi yang telah mereka buat sebelumnya. Kebingungan disertai rasa ingin tahu ini mengisyaratkan bahwa skema siswa mulai berkembang. Hal ini sesuai dengan teori Piaget bahwa pengalaman dan interaksi siswa akan membuat skema berkembang dan diubah dengan proses asimilai dan akomodasi, teori perkembangan fungsi mental Vigotsky dalam Suparno (1997) juga menyatakan bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran siswa dan kegiatan siswa sendiri melalui interaksi dengan lingkungan.

Pada kegitan ini siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan komunikasinya dengan indikator mengubah data dari bentuk narasi ke dalam bentuk tabel. Siswa diarahkan untuk menyajikan data hasil pengamatan ke dalam bentuk tabel. Pembuatan tabel ternyata membutuhkan waktu yang lama karena siswa belum terbiasa membuat tabel sendiri, biasanya tabel hasil pengamatan sudah diberikan dalam LKS dan siswa tinggal mengisikan data yang diperoleh saja. Melalui bimbingan dan latihan yang rutin maka keterampilan komunikasi siswa, terutama untuk indikator mengubah data dari bentuk narasi ke dalam

bentuk tabel, dapat berkembang dengan lebih baik lagi. Tahap 5. Discuss. Pada tahap ini, siswa berdiskusi di dalam kelompoknya masing-masing untuk menjawab pertanyaan-perta-nyaan dalam LKS. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut ber-muara pada perolehan jawaban dari peristiwa sains yang disajikan; yang tidak lain merupakan konsep yang harus mereka kuasai. Jika siswa bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar maka siswa telah membangun sendiri konsep-konsep dari materi yang dipelajari. Selain itu, pertanyaan ini diajukan agar siswa memikirkan tentang sesuai tidaknya prediksi yang mereka buat dengan hasil pengamatan pada kegiatan observe. Beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di LKS tersebut terdapat dalam tabel hasil pengamatan yang telah dibuat siswa sebelumnya. Jadi secara tidak langsung siswa dituntut untuk dapat membaca informasi yang ada dalam tabel. Tujuannya adalah melatih keterampilan komunikasi siswa dengan indikator menyampaikan secara tertulis informasi yang terdapat dalam tabel. Kegiatan menyampaikan secara tertulis informasi yang terdapat dalam tabel tidak begitu sulit bagi siswa. Terlebih lagi tabel tersebut memang dibuat sendiri oleh siswa, sehingga siswa tentunya lebih paham mengenai isi dan maksud dari tabel yang dibuatnya. Sampai pada tahap ini siswa telah dihantarkan menjadi pembelajar yang mandiri yang dituntut agar mampu membangun penge-tahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan dukungan yang ditunjukan Jerome Bruner terhadap discovery learning yang menekankan pentingnya membantu siwa memahami kebutuhan

Page 36: Jurnal Asam Ba Sa

36

akan keterlibatan aktif siwa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery (penemuan pribadi) (Dahar, 1989). Tahap 6. Explain. Setelah melalui proses asimilasi dan akomodasi, siswa mengalami proses menuju keadaan seimbang antara pengetahuan awal dengan konsep yang baru dipelajarinya. Bagi Piaget dalam Dahar (1989) adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (dis-equilibrium). Sehingga tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequ-ilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.

Pada tahap ini peneliti mengamati bahwa siswa telah berhasil dihan-tarkan untuk mengkonstruk penge-tahuan awal mereka dengan penge-tahuan yang sedang mereka pelajari. Proses ini pun membawa siswa untuk mengembangkan kemampuan berpi-kirnya, yaitu melalui kebebasan untuk mengolah semua informasi yang mereka dapatkan dari kegiatan observe dan mengaitkannya dengan prediksi yang mereka buat sebelumnya.

Bedasarkan kegiatan pada tahap-tahap diatas, terlihat jelas bahwa model siklus belajar PDEODE ini merupakan model pembelajaran yang penting sebab memiliki atmosfir yang

dapat menunjang diskusi dan keragaman cara pandang (Costu, 2008). Oleh karena itu, model ini digunakan sebagai kendaraan untuk dapat membantu siswa memaknai pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, media yang disiapkan telah menghantar siswa untuk meningkatkan keterampilan prediksi dan komunikasi yang merupakan aspek dari KPS tingkat dasar. Dengan meningkatnya keterampilan prediksi dan komunikasi siswa, maka penguasaan konsep siswa pun akan meningkat karena konsep merupakan muara dari KPS. SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Model siklus belajar PDEODE

efektif dalam meningkatkan keterampilan prediksi siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia;

2. Model siklus belajar PDEODE efektif dalam meningkatkan keterampilan komunikasi siswa pada materi kesetimbangan kimia;

3. Efektivitas Model siklus belajar PDEODE dalam meningkatkan keterampilan prediksi siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia melalui tahap predict yang melatih siswa dalam menghubungkan pola pikir yang sudah ada/pengetahuan sebelumnya dengan peristiwa sains yang disajikan; dan

4. Efektivitas model siklus belajar PDEODE dalam meningkatkan keterampilan komunikasi siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia melalui tahap discuss, observe, dan explain yang melatih

Page 37: Jurnal Asam Ba Sa

37

siswa mengembangkan keteram-pilan komunikasinya.

B. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa : 1. Model siklus belajar PDEODE

dapat dipakai sebagai alternatif model pembelajaran bagi guru dalam membelajarkan materi pokok kesetimbangan kimia dan materi pokok lain yang memiliki karakteristik yang sama;

2. Dalam pembelajaran mengguna-kan model siklus belajar PDEODE dibutuhkan waktu yang lebih lama daripada pembelajaran konven-sional. Oleh karena itu, diperlukan penataan waktu ulang secara komprehensif agar pembelajaran berbasis konstruktivisme, dalam hal ini model siklus belajar PDEODE, dapat optimal;

3. Agar tahap-tahap pembelajaran dalam penerapan model siklus belajar PDEODE berjalan maksi-mal, hendaknya guru mempersi-apkan lebih awal hal-hal yang menunjang proses diskusi dan observasi yang akan dilakukan siswa;

4. Untuk dapat memudahkan siswa dalam membuktikan prediksinya, hendaknya sekolah menambah referensi buku dan melengkapi sarana dan prasarana labo-ratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. 2011. Teori belajar konstruktivism vygotsky dalam pembelajaran matematika. Diakses 13 April 2012 dari http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-vygotsky.pdf

Ali,M. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Angkasa. Bandung

Anonim. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Depdiknas. Jakarta.

Arends, R.I. 2008. Learning To Teach. Edisi VII. Pustaka pelajar. Yogyakarta.

Çalık, et al. (2007). Investigation The Effectiveness of a Constructivist -Based Teaching Model on Student Understanding of The Dissolution of Gases in Liquids. Journal of Science Education and Technology, 16(3), 257-270.

Costu, et al. Facilitating Conceptual Change in Student’s Under-standing of Boiling Concept. International Journal of Science and Technology Education. 16, 524-536.

Costu, B. 2008. Learning Sience Through the PDEODE Teaching Strategy: Helping Student Make Sense of Everyday Situasions. International Journal of Mathe-matics, Science and Technology Education. 4, (1), 3-9.

Costu, B. dan Ayas, A. (2005). Evaporations in Different Liquid: Secondary Student’s Conceptions. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education. 23, (1), 75-97.

Costu, et al. 2010. Promoting Conceptual Change in The First Year Student’s Understanding of Evaporation. Chemistry Education Research and Practice. 11. 5-16.

Dahar, R.W. 1988. Teori-teori belajar. Erlangga. Jakarta

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta

Duit, R. 1994. ”The Constructivist View in Science Education:

Page 38: Jurnal Asam Ba Sa

38

What it Has to Offer and What Should not be Expected From it”. Makalah pada the International Conference ”Science and Mathematics For The 21st Century: Towards Innofatory Approaches”, Conception, Chile.

Opini. 2010. Teori konstruktivisme. Diakses 13 April 2012 dari http://eduka-si.kompasiana.com /2010/10/06/teori konstruktivisme/

Gallagher, J.J. 2007. Teaching Science for Understanding : A Practical Guide for School Teachers. New Jersey. Pearson Merrill Prentice Hall.

Glaserfelt, E.V. 1989. Constructivism in Education, in Husen, T. and Poslethwaite, T. N. (eds), The International Encyclopedia of Education, Pergamon, Oxford.

Hartono. 2007. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program Pendidikan Jarak Jauh S1 PGSD Universitas Sriwijaya. FKIP Universitas Sriwijaya. Palembang. Proceeding of The First International Seminar on Science Education.ISBN: 979-25-0599-7

Haryanto. 2011. Teori Yang Melan-dasi Pembelajaran Konstruk-tivistik. Diakses 13 April 2012 darihttp://Staff.Uny.Ac.Id/Sites / Default/Files/131656343/Teori-%20konstruktivistik.Pdf

Indrawati. 1999. Keterampilan Proses Sains: Tinjauan Kritis dari Teori ke Praktis. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung

Johari, J. M. C dan M. Rachmawati. 2006. Kimia 2 SMA dan Ma untuk Kelas XI. Erlangga. Jakarta

Purba, M. 2006. Kimia SMA Kelas XI. Erlangga. Jakarta.

Kolari, S., Viskari, E-L and Savander-Ranne, C. (2003). Promoting the conceptual understanding of engineering students through visualization. Global Journal of Engineering Education. 7(2), 189-199.

Kolari, et al. 2005. Improving student learning in an environmental engineering program with a research study project. International Journal of Engineering Education, 21(4), 702-711

Kuhn, T. S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions (2nd. ed.). Chicago: University of Chicago

Philips, D. C. 1995. “The Good, The Bad, and The Ugly: The Many Faces of Construtivism”. Educational Reseacher. 24, (7), 5-12.

Posner, et al. (1982). Accommodation of a scientific conception: Toward a Theory of Conceptual Change. Science Education, 66(2), 211-27.

Redhana, I. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Peta Argumen terhadap Keteram-pilan Berpikir Kritis Siswa pada topik Laju Reaksi (Jurnal Pen-didikan dan Pengajaran). Universitas pendidikan Ganesha.

Sahputra, H. 2011. Prosiding seminar nasional kimia V universitas Islam Indonesia, 2011 , program studi ilmu kimia (fakultas MIPA UII) .

Setiawan, P. 2011. Efektifvitas Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kete-rampilan Mengelompokan Dan Penguasaan Konsep Pada Materi Pokok Asam-Basa. (Skripsi). Tidak diterbitkan.

Page 39: Jurnal Asam Ba Sa

39

Sudjana, N. 2002. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Suja, I. 2006. Profil Kompetensi Keterampilan Proses Sains Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Buleleng. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraj, No. 4 TH.XXXIX Oktober 2006. ISSN 0215 – 8250

Suparno ,P. 1997. Filsafat Konstruk-tivisme Dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.

Sutresna, N. 2008. Kimia Kelas XI. PT. Grafindo Media Pratama. Bandung.

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Prestasi Pustaka. Surabaya.

White, R., & Gustone, R. (1992). Probing understanding. London: The Falmer Press.

Page 40: Jurnal Asam Ba Sa

40

EFEKTIVITAS MODEL SIKLUS BELAJAR PDEODE PADA MATERI

LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP

Rosalia Reny Andini, Noor Fadiawati, Emmawaty Sofia, Nina Kadaritna. pendidikan Kimia, Universitas Lampung. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas model PDEODE pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dalam meningkatkan penguasaan konsep. Model pembelajaran PDEODE yang digunakan terdiri dari enam tahap kegiatan belajar yaitu, prediksi, diskusi, penjelasan, observasi, diskusi, dan penjelasan. Sampel penelitian ini adalah siswa siswi kelas X2 dan X3 SMA Persada Bandar Lampung semester Ganjil Tahun Pelajaran 2011-2012. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Non Equivalent (pretest-postest)Control Group Design. Efektivitas model PDEODE diukur berdasarkan peningkatan gain yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan nilai rerata n-Gain penguasaan konsep untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,40 dan 0,54. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan, diketahui bahwa kelas dengan model PDEODE memiliki penguasaan konsep yang lebih tinggi daripada kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa model PDEODE lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit. Kata kunci: model PDEODE, dan penguasaan konsep. PENDAHULUAN

Sains merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami tentang alam. Belajar sains merupakan suatu proses memberikan sejumlah pengalaman kepada siswa untuk mengerti dan membimbing mereka untuk menggunakan pengetahuan sains tersebut. Pada hakikatnya, sains (termasuk kimia) dipandang sebagai proses, produk, dan sikap. Untuk itu, pembelajaran kimia perlu dikembangkan berdasarkan pada hakikat kimia. Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat,

transformasi, dinamika, dan energetika tentang materi. Oleh karena itu, kimia mempelajari segala sesuatu tentang materi dan perubahannya yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ilmu kimia mempunyai tiga aspek yaitu produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum) temuan saintis dan proses (kerja ilmiah) yang dapat mengembangkan sikap ilmiah. Dengan demikian, pembelajaran kimia perlu memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses, produk, dan sikap.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kompleksnya tingkat berpikir siswa, menuntut guru atau pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang inovatif. Oleh

Page 41: Jurnal Asam Ba Sa

41

karena itu aktifitas dan kreatifitas guru dalam memotivasi siswa untuk terlibat langsung dan aktif dalam pembelajaran merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan belajar dan lancarnya kegiatan belajar mengajar tersebut, yang mana hal ini akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, diantaranya adalah materi pelajaran, tujuan pembelajaran, metode pengajaran, sarana dan prasarana. Salah satu cara untuk meningkatkan hasil belajar siswa adalah dengan menerapkan metode pengajaran yang tepat. Alasannya karena metode pengajaran merupakan bagian yang penting dalam proses belajar mengajar dan kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki anak didik, akan ditentukan oleh penggunaan metode yang tepat, sesuai dengan standar keberhasilan yang terpatri di dalam suatu tujuan. Metode apa yang cocok agar siswa dapat berfikir kritis, logis, dapat memecahkan masalah dengan terbuka, kreatif, dan inovatif serta tidak membosankan merupakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab, karena masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan model pembelajaran yang dikembangkan untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai suatu konsep yang diperoleh, yaitu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme yang dikenal dengan model Predict – Discuss – Explain -Observe-Discuss-Explain (PDEODE). Strategi mengajar dengan model PDEODE merupakan salah satu model pembelajaran yang penting karena dapat memberikan suasana yang mendukung terjadinya diskusi dan keberagaman cara pandang (Costu, 2008). Dalam model pembelajaran ini siswa di

hadapkan pada enam tahap kegiatan belajar yaitu prediksi, diskusi, penjelasan, observasi, diskusi dan penjelasan. Model pembelajaran ini merupakan strategi mengajar yang efektif dalam mengganti dan merubah konsepsi alternatif siswa dengan konsep sains yang sebenarnya. METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Persada Bandar Lampung tahun pelajaran 2011-2012 yang berjumlah 178 siswa dan tersebar dalam lima kelas yaitu X1, X2, X3, X4 dan X5. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah siswa kelas X2 dan X3. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling dikenal juga sebagai sampling pertimbangan. Akhirnya didapatkan kelas X3 sebagai kelompok eksperimen yang mengalami pembelajaran PDEODE, sedangkan kelas X2 sebagai kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah LKS, RPP, soal pretest dan postest, dan lembar observasi. a. Pada kelas eksperimen ada 2 LKS

dengan model pembelajaran PDEODE. Pada kelas kontrol menggunakan LKS biasa.

b. Soal pretest dan posttest yang terdiri dari 10 butir soal pilihan jamak untuk mengukur penguasaan konsep.

Dalam penelitian ini divalidasi dengan cara jugment (validitas isi). Validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali M. 1992). Adapun pengujian validitas isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing penelitian untuk menguji.

Page 42: Jurnal Asam Ba Sa

42

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan data yang diperoleh dari 2 kelas sampel melalui pretest dan posttest penguasaan konsep pada materi pokok larutan elektrolit dan

nonelektrolit, sehingga dapat ditentukan besarnya n-Gain dari masing-masing kelas. Adapun perolehan rata-rata nilai nilai pretest, nilai posttest dan n-Gain penguasaan konsep siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Tabel 3. Perolehan rata-rata nilai pretest, nilai posttest dan n-Gain penguasaan konsep siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen.

KELAS RATA-RATA

PRETEST POSTTEST n - Gain

Kontrol 37,33 62,67 0,40

eksperimen 38,33 73,33 0,54 Berdasarkan nilai rata-rata

pretest dan posttest dari kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka

diperoleh grafik nilai rata-rata penguasaan konsep yang disajikan pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Grafik nilai rata-rata penguasaan konsep

Pada Gambar 2 terlihat bahwa rerata nilai penguasaan konsep awal kelas eksperimen sebesar 38,33 setelah diuji rerata penguasaan konsep akhir sebesar 73,33 dan pada kelas kontrol nilai rerata penguasaan konsep sebesar 37,33 setelah diuji rerata penguasaan konsep akhir sebesar 62,67. Setelah pembelajaran diterapkan, terlihat bahwa terjadi peningkatan penguasaan konsep,

baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Namun, pada kelas kontrol peningkatan penguasaan konsep lebih kecil yaitu sebesar 25,33, sedangkan pada kelas eksperimen peningkatan penguasaan konsep cukup besar yaitu 35. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan konsep kelas eksperimen lebih baik bila dibandingkan kelas kontrol.

Gambar 3. Rata-rata n-Gain penguasaan konsep

Page 43: Jurnal Asam Ba Sa

43

Pada Gambar 3 terlihat bahwa rata-rata n-Gain penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit pada kelas eksperimen sebesar 0,54, sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,4. Hal menunjukkan rata-rata n-Gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.

Sebelum melakukan uji-t, harus diketahui terlebih dahulu apakah data yang diperoleh berdistribusi normal dan

berasal dari varians yang homogen atau tidak. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Sudjana (2002), untuk ukuran sampel yang relatif besar dimana jumlah sampel ≥30, maka distribusi selisih nilai dari data akan mendekati distribusi normal. Pada penelitian ini sampel yang diteliti sebanyak 60 siswa, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa data sampel berdistribusi normal.

Tabel 4. Perolehan data uji homogenitas penguasaan konsep

Kelas Varians

Keterangan

Eksperimen 0,037 1,572 1,84 Homogen

Kontrol 0,024 Pada tabel 4 memperlihatkan

bahwa harga penguasaan

konsep lebih kecil dari Ftabel (1,572 ≤ 1,84) dengan taraf nyata =0,05, maka dapat disimpulkan terima Ho dan tolak H1. Artinya data penelitian memiliki

varians yang homogen, sehingga rumusan yang dipakai untuk melakukan uji-t adalah rumus statistik (4 ) dengan kriteria terima hipotesis H0 jika thitung < ttabel dan tolak H0 jika terjadi sebaliknya

Tabel 5. Nilai uji hipotesis (uji-t) penguasaan konsep

Kelas x S2 ttabel Keterangan

Eksperimen 0.54 0.037 3,20 1.68 Tolak H0 Kontrol 0.40 0.024

Pada tabel 5 memperlihatkan

harga thitung lebih besar dari ttabel (3,20 > 1,68), sehingga dapat disimpulkan tolak Ho dan terima H1. Artinya rata-rata penguasaan konsep siswa pada materi

larutan elektroloit dan nonelektrolit yang diterapkan pembelajaran PDEODE lebih tinggi daripada yang diberi pembelajaran konvensional.

Pembahasan Pembelajaran PDEODE dapat

meningkatkan penguasaan konsep materi larutan elektrolit dan nonelektrolit pada siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Costu (2008), bahwa model PDEODE merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat memberikan suasana yang mendukung terjadinya diskusi dan keberagaman cara pandang. Dalam model

pembelajaran ini siswa di hadapkan pada enam tahap kegiatan belajar yaitu, prediksi, diskusi, penjelasan, observasi, diskusi dan penjelasan. Model pembelajaran ini merupakan strategi pembelajaran yang efektif dalam menggantikan dan merubah konsepsi alternatif siswa dengan konsep sains yang sebenarnya.

Page 44: Jurnal Asam Ba Sa

44

Pembelajaran model siklus PDEODE ini memiliki 6 langkah pembelajaran yaitu prediksi, diskusi, penjelasan, onservasi, diskusi, dan penjelasan. Tahap prediksi. Pada tahap prediksi ini siswa sangat akif dalam menyampaikan prediksi mereka masing-masing. Tahap prediksi ini dapat mengetahui kemampuan awal siswa terhadap materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Prediksi sangat penting dalam model pembelajaran ini, karena dengan membuat sebuah prediksi siswa menjadi penasaran dengan kekuatan prediksi yang telah mereka buat, sehingga siswa berkeinginan untuk mempertahankan dan membuktikan prediksinya tersebut. Tahap diskusi. Kegiatan diskusi dalam pembelajaran PDEODE ini adalah mendiskusikan prediksi dan hasil observasi tentang suatu fenomena yang diberikan oleh guru. Tahap penjelasan. Setelah masing-masing siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan telah mendapatkan suatu kesepakatan tentang fenomena sains yang diberikan guru, setiap kelompok akan membagikan hasil diskusinya dengan kelompok lain pada saat diskusi kelas. Tahap observasi. Untuk mengetahui kebenaran dari prediksi siswa, maka dilakukan obesvasi terhadap suatu fenomena sains. Tahap diskusi. Ketika siswa sudah terlibat dalam kegiatan PDEODE, siswa sudah memiliki suatu prediksi dan penjelasannya sebagai pengetahuan awal, pengetahuan awal tersebut kemudian didiskusikan dalam kelompok atau kelas, pada dikusi ini terjadi perbedaan pendapat dengan teman kelompok atau dengan kelompok lain pada saat diskusi kelas, sehingga pada saat yang bersamaan terjadi revisi dan tinjau ulang pemahaman. Tahap penjelasan. Pada kegiatan ini siswa menghadapkan semua ketidak-sesuaian antara observasi dan prediksi. Dengan

melakukan hal tersebut, siswa mulai menanggulangi perbedaan-perbedaan yang mungkin muncul pada pemahaman mereka.

Dampak dari perlakuan yang diberikan adalah meningkatnya penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit yang diukur dengan nilai n-Gain. Hasilnya, nilai n-Gain pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Dengan demikian terlihat jelas bahwa penggunaan model siklus pembelajaran PDEODE dalam meningkatkan penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit siswa kelas X SMA Persada Bandar Lampung.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: Rata-rata n-Gain penguasaan konsep dengan model siklus PDEODE sebesar 0,54 lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain penguasaan konsep dengan pembelajaran konvensional sebesar 0,40 pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Model siklus belajar PDEODE lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa. DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 1992. Strategi Penelitian

Pendidikan. Angkasa. Bandung. Arikunto, S. 2006. Penilaian Program

Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara. Jakarta Costu, et al. 2008. Perubahan Konseptual, Strategi Mengajar PDEODE (Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain)

Page 45: Jurnal Asam Ba Sa

45

Dan Konsepsi Alternatif Serta Kesulitan Siswa Pada Konsep Ekosistem. Diakses 20 November 2011 dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_bio_0706603_chapter2.pdf

Sudjana,N. 2002. Metode Statistika Edisi Keenam. PT. Tarsito

Page 46: Jurnal Asam Ba Sa

46

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 3E UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP PADA MATERI

LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT

Rosita Wardani, Ila Rosilawati, Noor Fadiawati, Nina Kadaritna Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas pembelajaran Learning Cycle 3E untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Model pembelajaran Learning Cycle 3E merupakan salah satu model pembelajaran yang terdiri dari 3 fase yaitu (1) Fase eksplorasi (exploration) ; (2) Fase penjelasan konsep (explaination); (3) Fase penerapan konsep (elaboration). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa siswi kelas X SMAN 5 Bandar Lampung. Sampel penelitian ini adalah siswa siswi kelas X4 dan X5

SMAN 5 Bandar Lampung semester genap Tahun Pelajaran 2011/2012 yang memiliki kemampuan akademik yang hampir sama. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan Nonequivalent Control Group Design. Efektivitas model Learning Cycle 3E diukur berdasarkan peningkatan N-gain yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata N-gain penguasaan konsep kelas eksperimen 0,34 dan kelas kontrol 0,20. Berdasarkan hasil analisis data N-gain tersebut, menunjukkan bahwa penguasaan konsep yang diberi pembelajaran Learning Cycle 3E lebih tinggi daripada yang diterapkan pembelajaran konvensional, kemudian dilakukan uji hipotesis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Learning Cycle 3E efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Kata kunci: pembelajaran Learning Cycle 3E, penguasaan konsep, larutan

elektrolit dan nonelektrolit. PENDAHULUAN Kimia merupakan ilmu yang termasuk dalam rumpun IPA (ilmu pengetahuan alam) merupakan yang erat kaitannya dengan alam. Salah satu mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun IPA yaitu kimia yang merupakan ilmu yang mem-pelajari tentang komposisi, stuktur, dan sifat materi, beserta segala perubahan yang menyertai terjadinya reaksi kimia. Materi-materi kimia memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda.

Materi kimia sarat dengan konsep, dari konsep yang sederhana sampai konsep yang lebih kompleks dan abstrak, penting bagi siswa untuk menemukan dan memahami dengan benar konsep dasar yang akan mem-bangun konsep-konsep selanjutnya. Banyaknya konsep kimia yang bersifat abstrak yang harus diserap siswa dalam waktu terbatas menjadikan ilmu kimia merupakan

Page 47: Jurnal Asam Ba Sa

47

salah satu mata pelajaran yang sulit dipahami bagi siswa.

Oleh karena itu, ilmu kimia erat kaitannya dengan kehidupan kita. Ilmu kimia yang diajarkan di SMA salah satunya yaitu larutan elektrolit dan nonelektrolit. Materi ini merupakan materi yang penting untuk mempelajari materi kimia yang tingkatannya lebih tinggi, misalnya pada materi elektrokimia yang dipelajari di kelas XII IPA . Pada sel volta menggunakan larutan elektrolit untuk menghasil-kan arus listrik. Contohnya aki kendaraan bermotor yang merupakan salah satu larutan elektrolit, sebagai sumber arus listrik yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menyalakan lampu kendaraan, lampu sen ataupun klakson kendaraan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di SMAN 5 Bandar Lampung, kegiatan pembelajaran yang digunakan cukup baik yaitu siswa melakukan kegiatan praktikum pada materi-meteri tertentu salah satunya yaitu materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Namun pada proses pembelajaran selanjutnya, siswa tidak dilibatkan dalam membangun konsep sendiri, siswa lebih banyak mencatat konsep-konsep yang diberikan atau mendengarkan penjelasan yang disampaikan guru, proses belajar mengajar seperti ini cenderung berpusat pada guru (teacher centered).

Kegiatan pembelajaran ter-sebut tidak sejalan dengan proses pembelajaran yang seharusnya diterapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu proses pembelajaran yang menempat-kan siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered), guru hanya berperan sebagai

fasilitator dan motivator. Oleh karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan pada siswa untuk membantu ketercapaian indikator dalam pem-belajaran. Penggunaan model pem-belajaran yang sesuai akan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga siswa akan termotivasi untuk menggali lebih dalam lagi konsep-konsep kimia yang dapat mempengaruhi pemahaman konsep siswa.

Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan yaitu Learning Cycle 3E . Learning Cycle 3E merupakan model pembelajaran yang dilakukan melalui 3 tahap (fase) pembelajaran. Fase-fase pembelajaran meliputi: (1) fase eksplorasi (exploration); (2) fase penjelasan konsep (explaination); dan (3) fase penerapan konsep (elaboration).

Pada fase eksplorasi (exploration), guru memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum.

Fase penjelasan konsep (explaination), siswa lebih aktif untuk menentukan atau mengenal suatu konsep berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya di dalam fase eksplorasi. Fase penerapan konsep (elaboration), siswa menerap-kan konsep pada contoh kejadian yang lain, baik yang sama tingkatannya ataupun yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran LearningCycle 3E dapat membantu

Page 48: Jurnal Asam Ba Sa

48

siswa menemukan konsepnya sendiri.

Hasil penelitian Aqiqoh (2009) yang dilakukan pada siswa SMAN 10 Bandar Lampung kelas X7 , me-nunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan penerapan model pembelajaran Learning Cycle 3E (LC3E) mampu meningkatkan aktivitas dan penguasaan konsep pada materi hidrokarbon. Selain itu juga hasil penelitian Fitri (2011) yang dilakukan pada SMA Budaya Bandar Lampung kelas X1, menunjukkan bahwa pembelajaran Learning Cycle 3E (LC3E ) mampu meningkatkan keterampilan berkomunikasi dan penguasaan konsep reaksi oksidasi reduksi.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Efektivitas Pembelajaran Learning Cycle 3E Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa Pada Materi Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit”.

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah pembelajaran Learning Cycle 3E efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas pembelajaran Learning Cycle 3E untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi: 1. Siswa

Mendapat pengalaman belajar secara langsung dan mempermudah dalam mengkonstruksi konsep pada

materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.

2. Guru Pembelajaran dengan model Learning Cycle 3E diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.

3. Bagi Peneliti Lain Sebagai bahan/gambaran bagi peneliti lain untuk dapat mengembangkan penelitian seje-nis dengan ruang lingkup yang lebih luas.

Ruang lingkup penelitian adalah: 1. Keefektivan pembelajaran apabi-

la secara statistika hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan N-gain yang signifikan antara pemahaman awal sebelum pembelajaran dan pemahaman setelah pembelajaran.

2. Model pembelajaran Learning Cycle 3E adalah model pembelajaran berbasis konstruktivisme yang terdiri dari 3 fase yaitu (1) Fase eksplorasi (exploration); (2) Fase penjelasan konsep (explaination); (3) Fase penerapan konsep (elaboration). Dalam penerapan pembelajaran ini menggunakan media LKS.

3. Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang digunakan di SMAN 5 Bandar Lampung. Pembelajaran konvensional yang diterapkan menggunakan metode ceramah dimana siswa tidak dibimbing menemukan konsep kimia tetapi konsep diberikan secara langsung serta praktikum pada materi-materi tertentu untuk sebagai pembuktian konsep.

4. Penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit

Page 49: Jurnal Asam Ba Sa

49

berupa nilai siswa yang diperoleh melalui pretest dan posttest.

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMAN 5 Bandar Lampung tahun pelajaran 2011-2012 yang berjumlah 345 siswa dan tersebar dalam 10 kelas yaitu X1-X10.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dari suatu populasi dipilih dengan sengaja berdasarkan pertimbangan. Setelah melalui proses pertimbangan, akhirnya ditentukan bahwa kelas X5 sebagai kelas eksperimen dan kelas X4 sebagai kelas kontrol. Alasan dipilihnya kelas X4 dan XI IPA5 adalah karena ke dua kelas tersebut memiliki kemampuan akademik yang sama. Selanjutnya dua kelas sampel tersebut dibagi menjadi kelas eksperimen di mana akan diterapkan pembelajaran model Learning Cycle 3E, dan kelas kontrol diterapkan pembelajaran konvensional.

Penelitian ini merupakan quasi eksperimen yang menggunakan Nonequivalent Control Group Design (Sugiyono, 2009) dimana sampel dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelas eksperimen (X5) dan kelas kontrol (X4).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Learning Cycle 3E.

2. Variabel terikat Variabel terikat pada penelitian ini adalah penguasaan konsep siswa.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa data hasil tes yang diperoleh sebelum pembelajaran (pretes) dan hasil tes setelah pembelajaran (postes) diberikan pada siswa dan data sekunder meupakan data pendukung berupa data kinerja guru dan data aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari siswa kelas X4 dan X5 SMAN 5 Bandar Lampung, yang mengikuti proses pembelajaran serta mengikuti pretes dan postes.

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan antara lain : 1. Perangkat soal tes tertulis, berupa

soal pretes dan postes. Soal pretes digunakan untuk mengetahui penguasaan konsep siswa yang telah dipelajari sebelumnya (hukum-hukum dasar kimia dan stoikimetri). Sedangkan soal postes untuk mengetahui tingkat penguasaan konsep siswa tentang larutan elektrolit dan nonelektrolit. Jumlah soal pretes maupun postes sebanyak 20 soal pilihan jamak.

2. Lembar observasi aktivitas siswa, yaitu lembar pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran.

3. Lembar kinerja guru, yaitu lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang akan dinilai berupa kecakapan guru dalam mengajar.

Pengujian instrumen pada penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, 1992). Adapun pengujian validitas isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam melakukan judgment diperlu-kan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk

Page 50: Jurnal Asam Ba Sa

50

melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing untuk mengujinya. Langkah-langkah penelitian ini adalah: 1) Melakukan observasi di SMAN 5

Bandar Lampung. 2) Menentukan dua kelas sebagai

kelas ekperimen dan kelas kontrol.

3) Mempersiapkan instrumen. 4) Validasi instrumen berupa soal

pretes dan postes. 5) Melaksanakan pretes di kedua

kelas. 6) Pelaksanaan proses pembelaja-

raan. 7) Pelaksanaan postes. 8) Menganalisis data. 9) Penarikan kesimpulan.

Prosedur pelaksanaan di atas dikelompokkan menjadi dua yaitu pembelajaran Learning Cycle 3E (X5) dan menerapkan pembelajaran konvensional (X4). Adapun prosedur pelaksanaannya sebagai berikut: a. Melakukan pretest dengan soal

yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Pelaksanaan pembelajaran pada materi pokok larutan elektrolit dan nonelektrolit sesuai pembelajaran yang ditetapkan pada masing-masing kelas.

c. Selanjutnya diberikan postet dengan soal materi yang sudah diajarkan.

d. Kemudian menganalisis data dan menguji hipotesis berdasarkan data yang diperoleh serta membuat kesimpulan.

Tahapan pada analisis adalah dengan menghitung nilai N-gain setiap siswa, yang selanjutnya digunakan untuk uji hipotesis berupa uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapat-kan data berupa skor pretes dan postes untuk keterampilan membangun konsep dan hukum sebab akibat. Data pretes dan postes tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui N-gain dari masing-masing siswa.

Rata-rata perolehan nilai pretest tidak terlalu berbeda jauh, sehingga dikategorikan cukup baik menurut Arikunto (2007) dalam penilaian penguasaan konsep. Hal ini me-nunjukkan bahwa kedua kelas memiliki penguasaan konsep awal siswa sama. Setelah pembelajaran diterapkan, terjadi peningkatan penguasaan konsep yang cukup signifikan di kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen rata-rata nilai penguasaan konsep meningkat sebesar 15,3 dari 59,26 menjadi 74,56 dan kelas kontrol rata-rata nilai penguasaan konsep meningkat sebesar 8,97 dari rata-rata nilai rata-rata penguasaan konsep 55,74 menjadi 64,71. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguasaan konsep yang diterapkan pembelajaran Learning Cycle 3E di kelas eksperimen mempunyai peningkatan penguasaan konsep yang lebih tinggi dibanding-kan kelas kontrol.

Setelah diperoleh data N-gain, selanjutnya untuk mengetahui apakah data pada sampel ini berlaku untuk populasi, maka dilakukan uji hipotesis berupa uji normalitas, uji homogenitas dan uji-t (uji perbedaan dua rata-rata) terhadap data N-gain.

Uji normalitas dilakukan dengan chi-kuadrat. Hasil perhitungan uji normalitas terhadap N-gain dengan

Page 51: Jurnal Asam Ba Sa

51

nilai chi-kuadrat ( ) hitung yaitu

2,34 untuk kelas eksperimen sedangkan 3,08 untuk kelas kontrol. Dalam penelitian ini jumlah data keseluruhan sebanyak 38 dengan rincian 34 dari kelas eksperimen dan 34 dari kelas kontrol. nilai hitung

untuk N-gain pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol lebih kecil dari

tabel ( hitung < tabel) dengan

taraf = 0,05, sehingga N-gain pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol berasal dari populasi yang ber-distribusi normal.

Untuk data sampel yang berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji parametrik (Sudjana, 2002).

Setelah dilakukan uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji homo-genitas untuk mengetahui apakah data penelitian mempunyai tingkat varians yang sama (homogen) atau tidak. Hasil perhitungannya yaitu nilai F hitung sebesar 1,61 untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol, sedangkan Ftabel 1,74. Dengan nilai varians 0,0260 untuk kelas eksperimen dan 0,0161 untuk kelas kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai

kelas eksperimen maupun kelas kontrol lebih kecil dari

( < ) dengan taraf

=0,05. Oleh karena itu, varians populasi baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol memiliki varians yang sama atau homogen. sehingga disimpulkan tolak H0 dan terima H1. Artinya , data

panelitian mempunyai varians yang sama atau homogen.

Oleh karena data penelitian mempunyai varians yang sama atau homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t dengan

kriteria pengujian terima Ho jika thitung ≤ t(1-α) pada taraf 0,05 dan tolak Ho jika mempunyai harga-harga lain, dimana level signifikan 0,05 dan dk =n1+ n2-2.

Hasil perhitungan uji-t penguasaan konsep memperlihatkan bahwa > =1,67

dengan taraf = 0,05. Dengan demikian tolak H0 dan terima H1. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran Learning Cycle 3E efektif untuk meningkat-kan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.

Penelitian ini bertujuan men-deskripsikan efektivitas pembelajaran learning cycle 3 E untuk me-ningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. Berdasarkan data penelitian dan analisisnya, model pembelajaran learning cycle 3 E efektif untuk me-ningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi setiap tahap pembelajaran di kedua kelas selama penelitian ber-langsung, penjabarannya sebagai berikut: 1. Kelas Eksperimen 1.1 Fase Exploration

Siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam ber-interaksi dengan lingkungan melalui kegiatan praktikum. Dari kegiatan ini diharapkan muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya

Page 52: Jurnal Asam Ba Sa

52

daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk me-nempuh fase penjelasan konsep.

1.2 Fase Explaination

Pada fase ini (fase penjelasan konsep) siswa dibimbing men-diskusikan data percobaan dengan mengisi LKS untuk menemukan konsep dari materi yang disampaikan, kemudian mereka mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Pada akhir pembelajaran siswa dituntun untuk menyimpulkan kembali pelajaran yang telah mereka pelajari. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna (2007) : pada fase penjelasan konsep, diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi.

1.3 Fase Elaboration

pada fase penerapan konsep (elaboration) pada pertemuan pertama, siswa diminta untuk mengerjakan soal evaluasi yang terdapat pada LKS dan memberi tugas siswa mengenai materi yang telah dipelajari yang berkaitan dengan materi yang telah mereka dapatkan.

Pada fase ini, siswa diajak untuk menggunakan konsep-konsep telah mereka peroleh dari fase-fase sebelumnya untuk meningkatkan

pemahaman konsep siswa. Fakta ter-sebut sesuai dengan pendapat yang di-kemukakan oleh Karplus dan Their dalam Fajaroh dan Dasna (2007) : pada fase terakhir, yakni penerapan konsep, siswa diajak menerapkan pemahaman konsep-nya melalui berbagai kegiatan-kegiatan seperti problem solving atau melakukan percobaan lebih lanjut. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena siswa mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari.

Berbeda dengan kelas eksperimen, kelas kontrol tidak ada tahapan-tahapan dalam pembelajaran seperti halnya pada kelas eksperimen. Dalam kelas kontrol diterapkan metode konvensional, yakni cara pembelajaran seperti biasa yang dilakukan guru sebelumnya, yaitu menggunakan metode ceramah, dan praktikum pada materi-materi tertentu. Langkah-langkah pem-belajarannya hanya terdiri dari pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup. 2. Kelas Kontrol 2.1 Kegiatan Awal

Awal proses pembelajaran disampaikan indikator, tujuan pem-belajaran, dan diberikan pertanyaan sekedar untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Lalu mengiformasikan kepada siswa bahwa akan diadakan praktikum, dan meminta siswa berkumpul dengan kelompoknya masing-masing yang telah dibuat secara acak sebelumnya untuk memudahkan pengamatan pada kegiatan praktikum. Pada kegiatan selanjutnya, kelompok-kelompok yang telah dibuat tidak diberdayakan, sehingga siswa

Page 53: Jurnal Asam Ba Sa

53

bergerak dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 2.2 Kegiatan Inti

Pada kegiatan inti, sebelum

kegiatan praktikum dilakukan, terlebih dahulu dijelaskan konsep atau materi yang akan dipelajari serta memberi petunjuk langkah mengenai prosedur percobaan yang akan dilakukan. Kemudian meminta siswa melakukan praktikum dengan kelompoknya masing-masing. Dengan kata lain praktikum yang dilakukan hanya untuk membuktikan konsep yang telah dijelaskan oleh guru. Pada saat kegiatan praktikum berlangsung siswa terlihat kurang antusias dalam mengikuti praktikum. Hal ini dikarenakan pada awal pembelajaran guru telah menjelaskan konsep dan memberitahukan informasi penting yang seharusnya dapat mereka ketahui sendiri selama proses praktikum, sehingga guru lebih mendominasi sebagai pusat informasi dengan memberikan ceramah pada kegiatan awal maupun kegiatan inti dalam setiap pertemuan lebih banyak terjadi. Pada kegiatan pembelajaran, media yang digunakan hanya LKS dan buku cetak pegangan yang dimiliki oleh siswa. Siswa cenderung menghafal daripada memahami konsep sehingga penguasaan konsep siswa kurang maksimal.

2.2 Kegiatan Akhir

Pada tahap akhir pembelajaran, guru hanya mengajak siswa untuk bersama-sama menyimpulkan tentang materi yang telah dipelajari, tanpa memberikan soal evaluasi untuk meningkatkan pemahaman konsep yang telah meraka dapatkan.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pembelajaran Learning Cycle 3E

efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit dibandingkan pembelajaran konvensional.

2. Rata-rata N-gain penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit yang diberi pembelajaran Learning Cycle 3 E lebih tinggi daripada yang diberi pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan. Angkasa. Bandung.

Aqiqoh, S. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 3 Fase Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Penguasaan Konsep Pada Materi

Hidrokarbon (PTK Kelas X7 Sma Negeri 10 Bandar Lampung Tp 2009-

2010). Skripsi. FKIP Unila. Bandar Lampung. Tidak diterbitkan.

Arends, R.I. 2008. Learning to Teach. 2008. Edisi VII. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Arikunto, S. .2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Djamarah, S.B. dan A. Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta.Jakarta.

Fajaroh, F. Dan I W. Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learning cycle). Universitas Negeri Malang. Malang.

Page 54: Jurnal Asam Ba Sa

54

Fitri. 2011. Efektivitas Pembelajaran Learning Cycle 3E untuk Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi dan Pengua-saan Konsep Reaksi Oksidasi Reduksi. Skripsi. FKIP Unila. Bandar Lampung. Tidak diterbitkan.

Lawson. 2005. The learning Cycle. www.google.co.id. 2005. 16 Desember 2010. http://www.sahra.arizona.edui/education/pbl_workshop/TheLearningCycle

Pannen, P. D. Mustafa, dan M. Sekarwinahyu. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Dikti. Jakarta.

Purba, M. 2006. KIMIA SMA Kelas X. Erlangga. Jakarta.

Rachmawati, J.M.C dan Johari, M. Kimia 1 SMA kelas X. Esis. Jakarta.

Sagala, S. 2010 . Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Ban-dung

Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali Pers. Jakarta.

Sudjana, N. 2002. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendi-dikan. Kanisius. Jakarta.

Tim Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. UNILA. Bandar Lampung. Tidak diterbitkan.

Trianto. 2007. Model-Model Pembe-lajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Prestasi Pustaka. Jakarta.

_____. 2010. Model-Model Pembe-lajaran Terpadu. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 55: Jurnal Asam Ba Sa

55

EFEKTIVITAS MODEL SIKLUS BELAJAR PDEODE PADA MATERI POKOK KESETIMBANGAN KIMIA DALAM MENINGKATKAN

PENGUASAAN KONSEP SISWA Siti Destriyah, Noor Fadiawati, Chansyanah Diawati, Emmawaty Sofya Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Abstrak : Ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran berpengaruh pada penguasaan konsep siswa. Seringkali model yang dipakai mendorong siswa menjadi pencatat serta penghafal yang fasih dan pembelajaran kimia seolah-olah hanya sebatas terjadi di dalam sekolah tanpa adanya keterkaitan dengan lingkungan di sekitar mereka. Oleh karena itu, peneliti menerapkan model siklus belajar PDEODE. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh karakteristik model pembelajaran siklus belajar PDEODE yang efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kesetimbangan kimia. Model siklus belajar PDEODE terdiri dari 6 tahapan yakni predict-discuss-explain-observe-discuss-explain. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMA YP Unila Bandar Lampung kelas XI IPA2 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA4 sebagai kelas eksperimen. Penelitian ini menggunakan Non-equivalent Control Group Design. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata n-Gain penguasaan konsep untuk kelas kontrol dan eksperimen masing-masing 0,12 dan 0,25. Berdasarkan uji hipotesis, diketahui bahwa kelas dengan pembelajaran siklus belajar PDEODE menghasilkan n-Gain lebih tinggi dibandingkan kelas dengan pembelajaran konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran siklus belajar PDEODE lebih efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa. Kata kunci : siklus belajar PDEODE, pembelajaran konvensional, dan penguasaan

konsep. PENDAHULUAN

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di SMA YPU Bandar Lampung pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012, menunjukkan bahwa pembelajaran di kelas sebenarnya sudah cukup menarik, guru mengajar menggunakan pembelajaran berbasis power point disertai metode ceramah, diskusi dan latihan soal pada setiap pembelajaran materi kimia. Namun, isi pokok bahasan yang disampaikan hanya berupa kumpulan teori-teori disertai contoh-contoh soal yang dapat dijadikan acuan untuk tes formatif

bagi siswa. Hal ini justru mendorong siswa menjadi pencatat serta penghafal yang fasih dan pembelajaran kimia seolah-olah hanya sebatas terjadi di dalam sekolah tanpa adanya keterkaitan dengan lingkungan di sekitar mereka. Pada pembelajaran ini siswa cenderung hanya bertindak sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh guru, tanpa berusaha sendiri untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencapai tujuan belajarnya.

Page 56: Jurnal Asam Ba Sa

56

63

Mereka tidak dapat menjadi seorang siswa mandiri yang dapat membangun konsep dan pemahamannya sendiri. Dengan demikian, siswa tidak terlatih dan menjadi malas untuk bertanya kepada guru atau kepada teman, memberi pendapat dan sanggahan, serta menjawab pertanyaan dari guru atau teman. Pembelajaran kimia yang seolah tak berguna untuk kehidupan mereka ini jelaslah membuat siswa tidak tertarik pada pelajaran kimia.

Lebih dari itu, dengan maksud memberikan kenyamanan bagi siswa, guru kerap kali memilih mempertahankan gaya mengajarnya, yakni dengan menekankan pembelajaran pada penguasaan sejumlah konsep, hukum-hukum dan teori-teori saja, seperti halnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang lebih dikondisikan untuk dihafal oleh siswa tanpa memperhatikan bahwa informasi/konsep pada siswa dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama sekali kalau hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada siswa melalui satu arah seperti menuang air ke dalam sebuah gelas (Trianto, 2010).

Dalam melakukan proses pembelajaran guru dapat memilih beberapa model mengajar. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran siklus belajar PDEODE. Model pembelajaran siklus belajar PDEODE ini digunakan sebagai kendaraan untuk dapat membantu siswa memaknai pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Model siklus belajar PDEODE terdiri dari 6 tahapan yakni tahap predict, menyajikan peristiwa sains kepada siswa yang dilanjutkan mengarahkan siswa untuk mempre-

diksikan akibat dari peristiwa sains tersebut. Pada tahap ini siswa dianjurkan untuk menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya. Kemudian tahap discuss, siswa mendiskusikan tentang prediksinya, saling bertukar gagasan serta mempertimbangkan secara hati-hati prediksi tersebut. Lalu tahap explain, pada tahap ini guru memberikan kesempatan pada setiap kelompok untuk mencapai suatu kesepakatan tentang prediksi mereka. Selanjutnya observe, tahap ini dilakukan untuk membuktikan prediksinya, siswa dibimbing melakukan kegiatan observasi (pengamatan), selanjutnya discuss dan explain, mendiskusikan dan menjelaskan hasil observasi sampai pada tahap menghadapkan semua ketidakesuaian antara prediksi dan observasi, sehingga siswa dapat menangulangi kontradiksi-kontradiksi yang mungkin muncul pada pemahaman mereka Melalui Model siklus belajar PDEODE memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian guna melihat efektivitas model pembelajaran ini dalam upaya meningkatkan penguasaan konsep siswa khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian dengan judul “Efektivitas Model Siklus Belajar Pdeode Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Dalam Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa”. METODOLOGI PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA YPU Bandar Lampung tahun ajaran

Page 57: Jurnal Asam Ba Sa

57

63

2011/2012 yang berjumlah 195 siswa dan tersebar dalam lima kelas. Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah siswa kelas XI IPA2 dan XI IPA4 SMA N 1 Terbanggi Besar. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling purposif. Pada teknik sampling purposif menurut Sudjana (2002), hanya mereka yang dianggap ahli yang patut memberikan pertimbangan untuk pengambilan sampel yang diperlukan. Sampling purposif akan baik hasilnya ditangan seorang ahli yang mengenal populasi dan dapat segera mengetahui lokasi masalah-masalah yang khas. Menurut Redhana (2009), dalam hal pertimbangan pengambilan sampel yang digunakan adalah tingkat kognitif kedua kelas harus sama dan ada pada tingkat kognitif menengah ke bawah (Setiawan, 2011). Maka ditentukan kelas XI IPA2 dan XI IPA4 sebagai sampel. Kelas XI IPA4 sebagai kelompok eksperimen yang mengalami pembelajaran siklus belajar PDEODE, sedangkan kelompok berikutnya adalah kelompok kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah pembelajaran dite-rapkan (posttest) siswa. Sedangkan sumber data adalah siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol.

Metode penelitian ini adalah quasi eksperimen. Rancangan penelitian yang digunakan adalah non-equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Di dalam penelitian ini

tes dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Tes yang dilakukan sebelum perlakuan disebut pretest dan sesudah perlakuan disebut posttest.

Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu model pembelajaran siklus belajar PDEODE dan pembelajaran konvensional. Sebagai variabel terikat adalah penguasaan konsep pada materi pokok kesetimbangan kimia siswa SMA YPU B.Lampung. Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa soal-soal pretest dan posttest yang masing-masing terdiri dari soal-soal penguasaan konsep bentuk soal pilihan ganda dan soal uraian.

Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan soal yang sama. Soal pretest adalah materi laju reaksi (pengetahuan awal siswa pada materi laju reaksi) yang terdiri dari terdiri dua puluh soal pilihan ganda dan empat soal uraian. Sedangkan soal posttest adalah materi kesetimbangan kimia yang terdiri dari terdiri dua puluh soal pilihan ganda dan empat soal uraian. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Dalam konteks pengujian kevalidan instrumen dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu cara judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.

Instrumen ini menggunakan validitas isi. Validitas isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur (Ali, 1992). Adapun pengujian kevalidan

Page 58: Jurnal Asam Ba Sa

58

63

isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersang-kutan. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ketelitian dan keahlian penilai, maka peneliti meminta ahli untuk melakukannya. Dalam hal ini dilakukan oleh Ibu Dr. Noor Fadiawati,M.Si. dan Dra. Chansyanah Diawati,M.Si. sebagai dosen pembimbing penelitian untuk mengujinya.

Untuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran digunakan n-Gain. N-Gain merupakan perbandingan antara selisih skor pretest dan skor posttest dengan selisih skor maksimum dan skor pretest. Kemudian dilakukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah data dari kedua kelompok terdistribusi normal atau tidak dan untuk menentukan uji selanjutnya apakah memakai statistik parametrik atau non parametrik. Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik yaitu uji perbedaan dua rata - rata, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1). Uji statistik ini sangatlah bergantung homogenitas kedua varians data, karena kedua varians kelas sampel homogen ( ) maka uji yang dilakukan

menggunakan rumus uji-t, dengan kriteria pengujian adalah terima Ho jika t t(1 - ). HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pretest dan posttest keterampilan prediksi yang diujikan pada dua kelas sampel yaitu kelas IX IPA4 sebagai kelas eksperimen dan IX IPA2 sebagai kelas kontrol, diperoleh data berupa skor pretest dan posttest penguasaan konsep. Data tersebut selanjutnya dianalisis untuk menghitung n-Gain masing-masing siswa.

Diperoleh rerata skor penguasaan konsep awal kelas kontrol sebesar 13,0; setelah ditest penguasaan konsep akhir diperoleh rerata skor sebesar 20,0; sedangkan pada kelas eksperimen, rerata skor penguasaan konsep awal siswa sebesar 25,0 setelah ditest keterampilan memprediksi akhir diperoleh rerata skor sebesar 42,0. Setelah pembelajaran diterapkan, tampak terjadi peningkatan penguasaan konsep, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen peningkatan penguasaan konsep lebih besar yaitu sebesar 17,0; sedangkan pada kelas kontrol peningkatan penguasaan konsep lebih kecil yaitu 7,0. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan konsep kelas eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan kelas kontrol. Rerata n-Gain dalam penguasaan konsep kelas kontrol sebesar 0,12 sedangkan kelas eksperimen sebesar 0,25, hal tersebut menunjukkan bahwa rerata n-Gain penguasaan konsep kelas kontrol lebih kecil bila dibandingkan kelas eksperimen.

Berdasarkan rerata n-Gain tersebut, tampak bahwa pembelajaran siklus belajar PDEODE efektif dalam

Page 59: Jurnal Asam Ba Sa

59

63

meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berlaku untuk keseluruhan populasi, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t.

Sebelum dilakukan uji-t perlu diketahui apakah data berdistribusi normal atau tidak serta apakah data memiliki varians yang homogen atau tidak. Hasil uji normalitas penguasaan konsep kesetimbangan kimia siswa kelas eksperimen dan kontrol berdasarkan n-Gain yang diperoleh adalah pada kelas eksperimen x2

tabel sebesar 1,11 dan x2

hitung -101,48 dan kelas kontrol x2

tabel sebesar 1,11 dan x2hitung -58,91.

Dengan kriteria uji terima H0 jika

tabelhitung22 dan pada taraf

kepercayaan (α) = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa n-Gain penguasaan konsep kedua kelas berdistribusi normal.

Selanjutnya peneliti melakukan uji homogenitas pada data keterampilan memprediksi dengan menggunakan rumus statistik (3) yang terdapat dalam Bab III dan diambil kesimpulan dengan kriteria pengujian tolak Ho hanya jika F F(1 , 2) pada taraf 0,05. Dari kesimpulan yang diperoleh, dite-ntukan rumusan yang dipakai untuk melakukan uji-t.

Berdasarkan uji homogenitas yang dilakukan diperoleh harga Fhitung pada penguasaan konsep 0,74. Oleh karena harga Ftabel sebesar 1,71 dan 0,74< 1,71 sehingga disimpulkan tolak H1 dan terima H0. Artinya data penelitian mempunyai variansi yang homogen sehingga rumusan yang dipakai untuk melakukan uji-t adalah rumus statistik (4) dengan kriteria tolak Ho jika thitung > t(1-α) dan terima Ho jika terjadi sebaliknya. Setelah

dilakukan perhitungan diperoleh harga thitung sebesar 5,13 dan harga t1 -

sebesar 1,67. Bila dibandingkan

1,67 ≤ 5,13 sehingga disimpulkan terima H1 dan tolak Ho. Artinya rata-rata Ho pada materi kesetimbangan kimia yang diterapkan pembelajaran siklus belajar PDEODE lebih tinggi daripada rata-rata penguasaan konsep dengan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan data penelitian dan analisisnya, rata-rata n-Gain pengu-asaan konsep siswa pada pembelajaran siklus belajar PDEODE lebih tinggi daripada rata-rata n-Gain penguasaan konsep siswa pada pembelajaran konvensio-nal. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran siklus belajar PDEODE efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi kesetimbangan kimia pada siswa kelas XI IPA SMA YPU B.Lampung.

Model pembelajaran siklus belajar PDEODE ini efektif dalam mening-katkan penguasaan konsep, selain itu dalam kegiatan pembelajarannya siswa lebih aktif dalam berdiskusi dalam kelompoknya, mengisi LKS, bertanya pada guru, dan membuat kesimpulan. Siswa juga lebih aktif mengembangkan karakter rasa ingin tahu dan lebih komunikatif serta meningkatkan keterampilan sosial siswa yaitu bertanya, mengemukakan pendapat, menjadi pendengar yang baik, berkomunikasi, dan bekerja sama. Hal ini sesuai dengan tahap-ta-hap model siklus belajar PDEODE yang dapat meningkatkan kegiatan pembelajaran siswa yang lebih aktif seperti kegiatan-kegiatan di atas, yaitu : Tahap 1. Predict Pada tahap ini, guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, menyajikan

Page 60: Jurnal Asam Ba Sa

60

63

suatu peristiwa sains kepada siswa, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat prediksi terhadap akibat (outcome) dari peristiwa sains tersebut. Tahap ini penting bagi siswa untuk melatih dan mengembangkan prediksi siswa. Melalui keterampilan yang terlibat saat berlangsungnya proses, maka siswa akan memahami konsep dari materi yang dipelajari secara utuh. Dalam pembelajaran IPA, aspek proses perlu ditekankan bukan hanya pada hasil akhir dan berpikir benar lebih penting dari pada memperoleh jawaban yang benar. Dalam pelaksanaannya, siswa diberi kesempatan untuk menuangkan pendapatnya berdasarkan penge-tahuan mereka. Sesuai dengan pendapat Piaget (Dahar, 1988) yang menyatakan bahwa para siswa diharapkan mempunyai pendapat sendiri walaupun pendapatnya itu mungkin salah, mengemukakannya, mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atas jawabannya. Ungkapan keyakinan secara jujur, akhirnya memupuk equilibrasi konstruktif dan membuat para siswa lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar. Tahap ini menjadikan siswa-siswi di kelas eksperimen menjadi lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran dibandingkan dengan siswa pada kelas kontrol, sebab siswa di kelas kontrol disajikan suatu peristiwa sains dan tidak diberikan kesempatan untuk membuat suatu prediksi. Memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta, konsep, dan prinsip dalam ilmu

pengetahuan (Dimyati dan Mudjiono, 2006). Tahap 2. Discuss

Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi tentang prediksinya, saling bertukar gagasan dan memper-timbangkan secara hati-hati prediksi tersebut. Dalam hal ini guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok yang heterogen selama pembelajaran diterapkan.

Selain itu, pengelompokkan siswa dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa dengan cara bertanya kepada temannya yang lain ataupun dengan gurunya dan juga berani menyampaikan pendapat.

Kelompok disusun secara heterogen berdasarkan skor pretest siswa. Awalnya pengelompokan ini membuat suasana kelas menjadi gaduh dan suasana belajar menjadi tidak kondusif. Hal ini dikarenakan banyak siswa yang mengeluh dan merasa tidak cocok dengan anggota kelompoknya. Siswa bersikeras agar dapat membentuk kelompok sendiri. Namun guru menjelaskan kepada siswa bahwa pembentukan kelompok ini dilakukan secara heterogen agar siswa dapat saling bertukar gagasan dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain, sehingga memudahkan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Tahap 3. Explain

Pada tahap ini, setiap kelompok diminta untuk mencapai suatu kesepakatan tentang prediksi mereka. Kegiatan ini dapat melatih siswa untuk bersikap jujur dan sportif dalam menerima prediksi yang lebih baik dari siswa lain. Kegiatan explain dalam pelaksanaannya menjadi satu bagian yang tak

Page 61: Jurnal Asam Ba Sa

61

63

terpisahkan dengan kegiatan discuss. Jika siswa sudah dapat melakukan kegiatan diskusi dengan baik maka siswa tentunya dapat mencapai suatu kesepakatan tentang prediksi yang mereka buat. Oleh sebab itu penjelasan tahap ini secara singkat dan lebih menekankan pada kelebihan dari tahap explain ini. Tahap 4. Observe

Pada tahap ini, siswa mulai melakukan kegiatan praktikum untuk membuktikan prediksinya sesuai dengan langkah-langkah yang ada pada LKS.

Dalam pelaksanaannya, guru mengamati bahwa kegiatan ini mampu meningkatkan kemampuan psikomotor siswa. Tuntutan untuk dapat membuktikan prediksi kelompoknya mampu memotivasi siswa agar menjadi lebih aktif dan teliti dalam melakukan percobaan. Berbeda dengan kegiatan pembelajaran yang biasa dilakukan, dalam kegiatan ini hampir semua siswa dari setiap kelompok mempunyai peran masing-masing dalam melakukan percobaan. Tahap 5. Discuss

Siswa berdiskusi di dalam kelompoknya masing-masing untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan da-lam LKS. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bermuara pada perolehan jawaban dari peristiwa sains yang disajikan; yang tidak lain merupakan konsep yang harus mereka kuasai. Jika siswa bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar maka siswa telah membangun sendiri konsep-konsep dari materi yang dipelajari. Selain itu, pertanyaan ini diajukan agar siswa memikirkan tentang sesuai tidaknya prediksi yang mereka buat

dengan hasil pengamatan pada kegiatan observe. Pada tahap ini siswa akan mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium) antara prediksi yang sudah mereka miliki dengan pengamatan yang mereka lakukan. Hal ini sesuai dengan kegiatan akomodasi yang diungkapkan Piaget dalam Dahar (1988), yaitu pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Tahap 6. Explain

Setelah siswa melakukan diskusi dalam kelompoknya, guru meminta perwakilan 2 kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok. Pada pertemuan pertama, perwakilan dua kelompok maju secara bersamaan menyampaikan hasil pengamatannya, kemudian secara bergantian menyampaikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam LKS. Guru membantu siswa mengoreksi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam LKS. Jika ada jawaban siswa yang salah, maka guru langsung memperbaikinya. Kemudian guru meminta siswa menjelaskan sesuai atau tidaknya prediksi yang telah mereka buat dengan hasil observasi dan diskusi yang telah dilakukan. Dalam hal ini guru menunjuk siswa dari beberapa kelompok secara acak untuk memberikan penjelasan. Penunjukan secara acak yang dilakukan menuntut siswa agar selalu siap dan tidak mengandalkan teman-temannya.

Page 62: Jurnal Asam Ba Sa

62

63

Perkembangan siswa terlihat dengan makin baiknya aktivitas siswa setiap tahapannya setelah pertemuan satu yang artinya siswa sudah mulai terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model siklus belajar PDEODE efektif dalam meningkatkan pengasaan konsep materi kesetimbangan kimia. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan, maka dapat disimpulkan rata-rata n-Gain penguasaan konsep dengan model pembelajaran siklus belajar PDEODE lebih tinggi dari pada rata-rata penguasaan konsep dengan pembelajaran konvensional pada materi asam-basa SMA YPU Bandar Lampung.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bagi calon peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian serupa agar lebih memperhatikan pengelolaan waktu

dalam proses pembelajaran sehingga pembelajaran lebih efektif dan maksimal. Model pembelajaran siklus belajar PDEODE dapat dipakai sebagai alternatif model pembelajaran bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat disesuaikan dengan materi dan karakteristik siswa. DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 1992. Strategi Penelitian

Pendidikan. Angkasa. Bandung. Dahar, R.W. 1988. Teori-teori

belajar. Erlangga. Jakarta Dimyati dan Mudjiono. 2006.

Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.

Setiawan, Pury A. 2011. Efektifvitas Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Keterampilan Mengelompokkan Dan Penguasaan Konsep Pada Materi Pokok Asam-Basa. (Skripsi). Tidak diterbitkan

Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Bandung.

Page 63: Jurnal Asam Ba Sa

64

63

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH PADA MATERI

ASAM-BASA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBERIKAN PENJELASAN SEDERHANA

DAN PENJELASAN LANJUT SISWA Susi Susanti, Noor Fadiawati, Nina Kadaritna, Chansyanah Diawati Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Abstrak : The aim of this research was to describe problem based learning effectivity on acid-base major to increase simple clarification and advance clarification’s skill of student. The population in this research was all student XI IPA grade of SMAN 1 Pringsewu, which XI IPA1 and XI IPA4 as sample in the academic year 2011-2012. This research used quasi experiment method with non-equivalent control group design. The efectivity of problem based learning was measured based on increasing significant n-Gain. Results of this researh showed average of n-Gain simple clarification’s skill to experiment and control class were 0,40 and 0,16; and average of n-Gain advance clarification’s skill to experiment and control class were 0,31 and 0,08. Based in hypothesis test were known the students which applied problem based learning class had simple clarification and advance clarification higher than the student which applied conventional class. This show that problem based learning was effective to increase simple clarification and advance clarification’s skill. Key words: problem based learning, simple clarification, and advance clarification. PENDAHULUAN

Memasuki abad ke-21, sistem pendi-dikan nasional menghadapi tantang-an yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu ber-saing di era global. Menurut Aryana (2004) SDM yang berkualitas tinggi harus memiliki berbagai kemampu-an, antara lain: kemampuan bekerja sama, berpikir kritis-kreatif, mema-hami berbagai budaya, menguasai teknologi informasi, dan mampu bel-ajar mandiri sehingga SDM ini dapat bersaing dalam mengisi pasar kerja. Upaya yang tepat untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan satu-satunya wadah yang dapat dipandang berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang bermutu tinggi adalah pendidikan. Menurut

Komarudin (Trianto, 2010) salah satu perubahan paradigma pembelajaran adalah ori-entasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher center-ed) beralih berpusat pada murid (student centered); metodologi yang se-mula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pende-katan yang semula lebih banyak ber-sifat tekstual berubah menjadi kon-tekstual. Semua perubahan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mem-perbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Di samping itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga menghendaki agar suatu pembelajar-an pada dasarnya tidak hanya mem-pelajari tentang konsep, teori, dan fakta, tetapi juga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Page 64: Jurnal Asam Ba Sa

64

Salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir (Depdiknas, 2003). Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya antara lain ditentukan oleh keteram-pilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Pem-bentukan fitrah moral dan budi peke-rti, inkuiri dan berpikir kritis disaran-kan sebagai tujuan utama pendidikan sains dan merupakan dua hal yang bersifat sangat berkait-an satu sama lain (Ennis, 1985; Garrison & Archer, 2004).

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan yang saat ini sedang menjadi fokus perhatian di berbagai negara. Menu-rut Ennis (1985), berpikir kritis ada-lah berpikir secara beralasan dan re-flektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilaku-kan. Keterampilan berpikir kritis su-dah semestinya menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Pembelajaran perlu dikondisikan agar siswa dapat mengembangkan keterampilan berpi-kir kritis (teaching for thinking). Dengan kata lain, siswa harus diberi pengalaman-pengalaman bermakna selama pembelajaran agar dapat mengembangkan keterampilan berpi-kir kritisnya.

Namun apa yang terjadi, banyak kritik yang ditujukan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan kon-sep sejumlah informasi/konsep bela-ka. Hasil observasi yang telah penu-lis lakukan di SMAN 1 Pringsewu sebelum penelitian dilakukan. Ber-dasarkan hasil observasi, penulis mengetahui bahwa pembelajaran kimia di kelas masih berpusat pada guru (taeacher

centered) dan siswa sebagai hanya menjadi pencatat serta penghafal yang fasih. Selain itu, pembelajaran kimia seolah-olah hanya sebatas terjadi di dalam seko-lah tanpa adanya keterkaitan dengan lingkungan di sekitar mereka.

Model pembelajaran berbasis masalah (selanjutnya disigkat PBM) merupakan suatu model pembelajar-an yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyeli-dikan nyata yang membutuhkan penyelesaian yang nyata. Ketika me-nerapkan PBM, seringkali siswa menggunakan bermacam-macam ke-terampilan, prosedur pemecahan ma-salah, dan berpikir kritis. Dalam hal ini, pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan ker-jasama di antara siswa-siswa. Guru memandu siswa menguraikan renca-na pemecahan masalah menjadi ta-hap-tahap kegiatan dan memberikan contoh mengenai penggunaan kete-rampilan dan strategi yang dibutuh-kan supaya tugas-tugas tersebut da-pat diselesaikan. Selain itu, guru ju-ga harus mampu menciptakan sua-sana kelas yang fleksibel dan berori-entasi pada upaya penyelidikan oleh siswa (Trianto, 2010). Dengan demi-kian, dengan menerapkan PBM sis-wa dapat mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata dan juga dapat me-latihkan keterampilan berpikir kritis.

PBM memberikan dorongan kepada siswa untuk tidak hanya se-kedar berpikir sesuai yang bersifat konkret, tetapi lebih dari itu berpikir terhadap ide-ide yang abstrak dan kompleks. Dengan kata lain, PBM melatih siswa untuk memiliki kete-rampilan berpikir kritis (Trianto, 2010). Dalam melatihkan keteram-pilan berpikir kritis tidak akan ter-

Page 65: Jurnal Asam Ba Sa

65

lepaskan dari keterampilan memberi-kan penjelasan sederhana dan penje-lasan lanjut. Kemampuan member-kan penjelasan sederhana dan penje-lasan lanjut merupakan hal yang sangat penting dalam mengembang-kan kete-rampilan berpikir kritis. Dalam proses pembelajarannya guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang dapat melatih siswa untuk menguasai kemampuan meru-muskan pertanyaan, mengidentifikasi alasan yang dinyatakan, dan menja-wab pertanyaan yang menggunakan kata tanya mengapa yang merupakan indikator dari keterampilan membe-rikan penjelasan sederhana; dan me-latih siswa untuk menguasai kemam-puan untuk merekonstruksi argumen yang merupakan indikator keteram-pilan memberikan penjelasan lanjut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menganggap perlu menga-dakan penelitian untuk mengungkap efektifitas model pembelajaran ini. Maka penulis melakukan penelitian yang berjudul “Efektivitas Pembel-ajaran Berbasis Masalah Pada Materi Asam-Basa Dalam Meningkatkan Keterampilan Memberikan Penjelas-an Sederhana dan Penjelasan Lanjut Siswa. METODOLOGI PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Pringsewu tahun ajaran 2011-2012 yang berjumlah 133 siswa dan tersebar dalam empat kelas. Dalam penelitian ini diambil dua kelas sebagai sampel.

Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah siswa kelas XI IPA1 dan XI IPA4 SMAN 1 Pringsewu. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. yaitu teknik pengambilan

sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Maka diten-tukan kelas Kelas XI IPA1 sebagai kelompok eksperimen dan kelas XI IPA4 sebagai kelompok kontrol.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretest) dan hasil tes setelah pembelajaran dite-rapkan (posttest) siswa. Sedang-kan sumber data adalah siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol.

Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Rancangan pene-litian yang digunakan adalah non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Di dalam penelitian ini tes dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Tes yang dilakukan sebe-lum perlakuan disebut pretest dan sesudah perlakuan disebut posttest.

Sebagai variabel bebas adalah model pembelajaran yang digunakan, yaitu PBM dan pembelajaran kon-vensional. Sebagai variabel terikat adalah keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut pada materi asam-basa siswa SMAN 1 Pringsewu. Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa silabus dan RPP yang sesuai dengan standar KTSP, LKS kimia berbasis masalah, soal-soal pretest dan posttest yang masing-masing terdiri dari soal-soal keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut dalam bentuk pilihan ganda hubungan antar hal dan soal uraian.

Agar data yang diperoleh sa-hih dan dapat dipercaya, maka instru-men

Page 66: Jurnal Asam Ba Sa

66

yang digunakan harus valid, bersifat reliabel atau ajeg, dapat membedakan kelompok atas dan ke-lompok bawah, serta memiliki taraf kesukaran yang tidak terlalu mudah dan juga tidak terlalu sulit. Karena berbagai keterbatasan, pengujian ke-validan hanya dilakukan mengguna-kan validitas isi (content validity). Adapun pengujian kevalidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi butir soal, terutama kesesuaian antara tujuan pe-nelitian, tujuan pengukuran, indi-kator, dan butir-butir soalnya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kese-suaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen dianggap valid untuk digu-nakan dalam mengumpulkan data sesuai kepentingan penelitian yang bersangkutan. Oleh karena dalam melakukan judgment diperlukan ke-telitian dan keahlian penilai, maka dalam hal ini dilakukan oleh Ibu Dr. Noor Fadiawati, M.Si. dan Dra. Nina Kadaritna, M.Si. sebagai dosen pem-bimbing penelitian untuk menguji-nya.

Untuk mengukur efektivitas suatu pembelajaran digunakan n-Gain. N-Gain merupakan perban-dingan antara selisih skor pretest dan skor posttest dengan selisih skor maksimum dan skor pretest. Kemu-dian dilakukan normalitas yang ber-tujuan untuk mengetahui apakah data dari kedua kelompok terdistribusi normal atau tidak dan untuk menen-tukan uji selanjutnya apakah meng-gunakan statistik parametrik atau non parametrik. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan Sudjana (2005) apabila data pada masing-masing sampel ≥ 30, maka data dianggap berdistribusi normal. Dalam penelitian ini jumlah data keseluruhan sebanyak 66 dengan rincian 33 dari kelas kontrol dan 33 dari kelas eks-perimen sehingga

dapat dikatakan data sampel pada penelitian ini ber-distribusi normal. Selanjutnya dila-kukan uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak.

Selanjutnya dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, hipotesis di-rumuskan dalam bentuk pasangan hi-potesis nol (H0) dan hipotesis alter-natif (H1). Uji statistik ini sangatlah bergantung homogenitas kedua vari-ans data, untuk varians kelas sampel

homogen ( ) maka uji yang dilakukan menggunakan rumus uji-t, dengan kriteria pengujian adalah teri-ma Ho jika t t(1 - ). Varians kelas sampel yang tidak homogen

) maka uji dilakukan meng-gunakan rumus uji-t’ dengan kriteria pengujian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data skor pretest dan posttest. Data ini merupakan data keterampilan memberikan penje-lasan sederhana (merumuskan per-tanyaan, mengidentifikasi alasan yang dinyatakan, mengapa?) dan da-ta keterampilan memberikan penje-lasan lanjut (merekonstruksi argu-men). Data ini selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya n-Gain dari masing-masing kelas. Hasil ra-ta-rata skor pretest, posttest, n-Gain keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut sis-wa di kelas kontrol dan eksperimen disajikan dalam tabel 4 dan 5. Tabel 4. Rata-rata skor pretest, post-test, n-Gain keterampilan memberi-kan penjelasan sederhana siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Page 67: Jurnal Asam Ba Sa

67

Tabel 5. Rata-rata skor pretest, post-test, n-Gain keterampilan memberi-kan penjelasan lanjut siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Gambar 2. Rata-rata n-Gain kete-rampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Keterangan: 1. Rata-rata n-Gain keterampilan

memberikan penjelasan sederhana siswa

2. Rata-rata n-Gain keterampilan memberikan penjelasan lanjut siswa

Berdasarkan perolehan rata-rata n-

Gain dapat diketahui bahwa keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut sis-wa pada materi asam-basa dengan PBM lebih efektif dibanding pengu-asaan

keterampilan memberikan pen-jelasan sederhana dan penjelasan lan-jut siswa dengan pembelajaran kon-vensional. Selanjutnya, untuk meng-etahui apakah data yang diperoleh berlaku untuk keseluruhan populasi, maka dilakukan pengujian hipotesis.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menguji normalitas, homo-genitas, dan perbedaan dua rata-rata terhadap data rata-rata n-Gain ke-terampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut. Mengacu pada pendapat yang dike-mukakan Sudjana (2005) apabila da-ta pada masing-masing sampel ≥ 30, maka data dianggap berdistribusi normal. Dalam penelitian ini jumlah data keseluruhan sebanyak 66 deng-an rincian 33 dari kelas kontrol dan 33 dari kelas eksperimen sehingga dapat dikatakan data sampel pada pe-nelitian ini berdistribusi normal.

Selanjutnya dilakukan uji homogenitas dan pengujian hipotesis keterampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut anta-ra kelas eksperimen dan kelas kon-trol. Berdasarkan uji homogenitas, diperoleh harga Fhitung untuk kete-rampilan memberikan penjelasan se-derhana sebesar 2,328 dan pada taraf 0,05 diperoleh harga Ftabel = 1,719. Nilai Fhitung untuk keterampilan memberikan penjelasan sederhana ini lebih besar dari Ftebel. Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dengan kriteria tolak Ho jika F ≥ F 1/2α (υ1,υ2) dan terima sebaliknya maka dapat disimpulkan terima H1 atau dengan kata lain data sampel bersifat tidak homogen.

Berdasarkan uji homogenitas, karena data sampel untuk keteram-pilan memberikan penjelasan seder-hana bersifat tidak homogen maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan menggunakan statistik t’ dengan kri-

Kelas Rata-Rata

Pretest Posttest n-Gain

Kontrol 6,08 8,85 0,157 Eksperimen 4,30 11,36 0,397

Kelas Rata-Rata Pretest Posttest n-

Gain Kontrol 3,09 4,45 0,079

Eksperimen 2,00 6,94 0,308

Page 68: Jurnal Asam Ba Sa

68

teria uji tolak Ho jika

dan terima Ho jika mem-punyai harga-harga lain. Dari hasil perhitungan, diperoleh harga t’ = 4,707 dan pada taraf 0,05 diperoleh

= 1,678. Oleh karena t’

> maka dapat disimpul-kan tolak Ho dan terima H1. Artinya rata-rata keterampilan memberikan penjelasan sederhana siswa pada materi asam-basa yang diterapkan PBM lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan memberikan penjelasan sederhana siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional.

Berdasarkan uji homogenitas untuk keterampilan memberikan pen-jelasan lanjut diperoleh harga Fhitung = 1,217 dan pada taraf 0,05 diperoleh Ftabel = 1,719. Nilai Fhitung untuk keterampilan memberikan penjelasan lanjut ini lebih kecil dari Ftebel.

Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dengan kriteria tolak Ho jika F ≥ F1/2α(υ1,υ2) dan terima seba-liknya maka dapat disimpulkan terima Ho atau dengan kata lain data sampel bersifat homogen.

Berdasarkan uji homogenitas, karena data sampel bersifat homogen maka dilakukan uji perbedaan dua rata-rata menggunakan statistik t dengan kriteria pengambilan kepu-tusan tolak H0 jika thitung > t(1-α) dan tolak sebaliknya. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh harga thitung = 28,463 dan pada taraf 0,05 diperoleh ttabel =1,678. Harga thitung ini lebih besar dari ttabel maka dapat disim-pulkan terima H1. Artinya rata-rata keterampilan memberikan penjelasan lanjut siswa pada materi asam-basa yang diterapkan PBM lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan memberikan penjelasan sederhana

siswa yang diterapkan pembelajaran konvensional. Hal ini sesuai dengan fakta yang terjadi pada tahap-tahap pembelajaran di kedua kelas tersebut. Tahap 1. Mengorientasikan siswa pada masalah.

Pada tahap ini diawali dengan guru menyampaikan indikator pembelajaran dan mangajukan feno-mena atau cerita untuk memunculkan permasalahan. Pengajuan masalah ini didukung dengan gambar atau slide. Dalam pelaksanaannya, tahap ini berpengaruh besar bagi siswa.

Pada pertemuan pertama, siswa diberi masalah berupa feno-mena pncemaran air yang terjadi di Indonesia umumnya dan di tempat tinggal sekitar mereka. Setelah meli-hat fenomena tersebut, siswa diberi pertanyaan yang menantang, “Ada berapa jenis ikan yang hidup di sung-ai tersebut?”. Siswa mulai penasaran apa hubungan kondisi air sungai dengan materi kimia yang akan mereka pelajari. Siswa mulai terlihat tertarik untuk memulai pelajaran kimia. Setelah itu, siswa mem-bandingkan dengan air sungai yang terdapat di Pringsewu yang dibawa oleh siswa, lalu membandingkan dengan kriteria air bersih.

Ketika siswa membawa air sungai dari tempat tinggalnya yang terdekat dan mengidentifikasi air sungai itu dengan kriteria air bersih sehingga siswa dapat melihat air sungai tersebut tercemar atau tidak. Adapun hal ini sesuai dengan per-nyataan Piaget bahwa struktur intelektual terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkung-annya yang disebut proses asimilasi. Proses Asimilasi saja tidak cukup sehingga terjadi ketidaksetimbangan, lalu siswa harus mengadakan ako-modasi yaitu dengan

Page 69: Jurnal Asam Ba Sa

69

menggunakan kriteria air bersih sebagai pemban-ding. Pada saat siswa dapat meme-cahkan masalah dengan baik dan menyimpulkannya, terjadilah kese-timbangan. Maka, siswa berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Dahar,1989).

Pada pertemuan kedua, siswa diberi permasalahan “Bagaimanakah rasa dari asam jawa, air belimbing, dan air jeruk? Mengapa asam jawa, air belimbing, dan air jeruk sama-sama mempunyai rasa masam? Apa yang menyebabkan sifat asam itu?” Selanjutnya pada pertemuan ketiga siswa diberikan masalah mengenai hubungan konsentrasi ion H+ dengan derajat keasaman suatu larutan. Guru memberikan permasalahan, keasaman suatu larutan bergantung pada konsentrasi H+ yang ada dalam larutan tersebut. Namun jika kita menyatakan keasaman suatu larutan dalam 1 x 10-1M atau 5 x 10-2 M. Bukankah hal yang akan membingungkan orang awam? Ba-gaimanakah seharusnya menyatakan keasaman suatu larutan? Dan pada pertemuan keempat, siswa diberi masalah berupa data pengujian data hantar listrik bebrapa larutan asam kuat, asam lemah, basa kuat, dan basa lemah. Selanjutnya siswa diberi permasalahan, “dengan konsentrasi yang sama apakah pH asam kuat sama dengan asam lemah? dengan konsentrasi yang sama apakah pH basa kuat sama dengan basa lemah? Tahap 2. Mengorganisasi siswa.

Dalam PBM dibutuhkan pengem-bangan keterampilan kerja sama di antara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masa-lah secara bersama (Trianto, 2010). Berkenaan dengan hal tersebut, pada tahap ini guru membagi siswa dalam 6 kelompok sehingga siswa dapat be-

kerja sama dalam memecahkan ma-salah yang diberikan. Pembagian ke-lompok dilakukan secara heterogen, dalam satu kelom-pok terdiri dari 5 atau 6 orang dalam masing-masing kelompok terdapat siswa yang memiliki kemampuan tinggi, rendah dan sedang.

Dalam PBM, belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan koope-ratif (Rusman, 2010). Hal senada ju-ga diungkapkan oleh Arends (Trian-to, 2010) yang menyatakan bahwa salah satu karateristik PBM adalah kolaborasi, siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau deng-an kelompok kecil. Dengan berke-lompok dan adanya interaksi sosial di antara siswa akan lebih memudah-kan siswa dalam menyelesaikan ma-salah yang diberikan. Hal ini terbuk-ti dalam proses pembelajaran, siswa lebih aktif dalam penyelidikan dan diskusi serta tidak sungkan dalam menyampaikan pendapat. Artinya pembelajaran dengan cara berkelom-pok merupakan proses sosial kon-truksi yang dihubungkan oleh bahasa dan interaksi sosial (Vigotsky dalam Trianto, 2010).

Pada tahap ini, guru berperan untuk membantu siswa merencana-kan penyelidikan dan tugas-tugas pe-laporan guna memecahkan masalah yang diberikan (Trianto, 2010). Da-lam hal ini, guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis PBM kepada masing-masing kelom-pok. Di dalam LKS tersebut berisi urutan penyelsaian masalah yang di-susun dalam bentuk petunjuk pelak-sanaan penyelidikan, pertanyaan-per-tanyaan, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa. Dengan de-mikian, siswa dapat menyelesaikan masalah secara sistematis. Seperti yang terjadi pada kelompok II dan VI dalam proses pembelajarannya ke-

Page 70: Jurnal Asam Ba Sa

70

lompok-kelompok tersebut melaku-kan tahapan-tahapan sesuai dengan LKS dan laporan hasil diskusinya menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini menunjuk-kan bahwa media yang tepat dibu-tuhkan untuk menuntun siswa agar menjadi penyelidik yang aktif dan mampu memilih metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang diberikan (Ibrahim & Nur, 2005). Tahap 3. Membimbing penye-lidikan mandiri dan kelompok.

Pada tahap ini guru mem-bantu siswa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dan memberikan informasi yang dibutuh-kan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Pada tahap ini, ter-lihat siswa aktif berdiskusi dan ber-tanya kepada guru atau teman dalam kelompoknya. Tahap ini membutuh-kan waktu yang lebih lama diban-dingkan tahap-tahap yang lain.

Pada tahap ini, siswa secara berkelompok diminta untuk mela-kukan tahapan-tahapan penyelesaian masalah secara sistematis. Pada langkah pertama, siswa dilatih untuk merumuskan petanyaan yang tidak lain adalah salah satu indikator kete-rampilan memberikan penejalasan sedehana. Pada awalnya, siswa mengalami kesulitan dalam meru-muskan pertanyaan karena belum pernah dilatihkan sebelumnya. Un-tuk itu, guru memberikan penjelasan dan contoh yang mudah dimengerti oleh siswa. Beberapa rumusan masalah yang dibuat oleh siswa yaitu apa pengaruh pencemaran limbah terhadap tingkat keasaman air sungai dan hubungan derajat keasaman dengan kelayakan pakai?; layakkah air sungai di kotamu dikonsumsi?; seberapa parah pencemaran air sung-ai di kotamu?; dan bagaimana penga-ruh

terhadap ekosistem sungai di tempatmu? Selanjutnya, siswa dibimbing untuk membuat hipotesis. Kemudian siswa dibimbing untuk membuat hipotesis dari rumusan masalah yang mereka buat.

Selanjutnya siswa dibimbing untuk melakukan penyelidikan. Di sini siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya dan guru bertindak sebagai pembimbing yang menyediakan bantuan (Ibrahim & Nur, 2005). Dengan melakukan penyelidikan, siswa mendapatkan pengalaman dan menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang sedang dipelajari. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Bruner (Trianto, 2010) yang menya-rankan bahwa agar siswa-siswa hen-daknya belajar melalui partisipasi se-cara aktif dengan konsep-konsep dan prisip-prinsip, agar mereka mem-peroleh pengalaman dan melalui eks-perimen-eksperimen yang mengizin-kan mereka untuk menemukan prin-sip-prinsip itu sendiri. Pada tahap penyelidikan ini membutuhkan wak-tu yang cukup lama. Hal ini dikare-nakan kebanyakan siswa belum mengetahui cara penggunaan alat percobaan dengan baik.

Ketika proses penyelidikan, siswa banyak yang bertanya. Kebia-saan siswa ber-bicara dalam kelom-pok dan motivasi untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mam-pu merangsang siswa untuk aktif bertanya dan mengeluarkan pendapat di kelas. Seperti yang berhasil di-amati pada siswa dengan No. Urut 1, 9, 19, 20, 22, 28, 29 dan 30. Motivasi untuk mendapatkan infor-masi tersebut mampu menjadikan-nya lebih aktif bahkan dari siswa yang tingkat kemampuannya lebih tinggi sekalipun. Pada tahap ini sis-wa tersebut telah

Page 71: Jurnal Asam Ba Sa

71

dihantarkan menja-di pembelajar yang mandiri yang dituntut agar mampu membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini se-suai dengan dukungan yang ditunjuk-kan Jerome Bruner terhadap discove-ry learning yang menekankan pen-tingnya membantu siswa mema-hami kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery (penemuan pribadi) (Arends, 2008).

Setelah siswa memperoleh data yang dibutuhkan selanjutnya sis-wa dibimbing untuk menjawab per-tanyaan-pertanyaan yang terdapat di LKS. Pertanyaan-pertanyaan di LKS telah disusun secara sistematis dan menuntut siswa untuk memberikan alasan atas jawaban yang mereka berikan berdasarkan hasil penyelidikan dan pengetahuan yang mereka miliki tentang asam-basa. Dengan demikian, secara tidak lang-sung siswa dilatih untuk meningkat-kan keterampilan memberikan pen-jelasan sederhana dengan indikator mengapa. Pada pertemuan pertama, siswa masih terlihat bingung untuk memberikan alasan atas jawaban yang mereka berikan. Namun, pada pertemuan berikutnya, siswa sudah dapat memberikan penjelasan dengan baik.

Berikutnya, siswa dilatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks. Untuk men-jawab pertanyaan yang diberikan, siswa membutuhkan asumsi-asumsi berdasarkan pemahaman dan konsep yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, secara tidak langsung sis-wa telah dilatihkan untuk merekons-truksi argumen yang merupakan indi-kator keterampilan memberikan pen-jelasan lanjut. Dalam melatihkan ke-terampilan ini lebih sulit dibanding-kan dengan indikator keterampilan yang lain karena dibutuhkan pemaha-man

siswa yang baik mengenai mate-ri yang dipelajari.

Selanjutnya, siswa dilatih un-tuk mengidentifikasi alasan yang dinya-takan yang merupakan indi-kator keterampilan memberikan pen-jelasan sederhana. Indikator ini dila-tihkan pada tahap latihan soal-soal. Siswa diberikan beberapa soal latih-an berupa soal pilihan ganda hubung-an antar hal dan soal benar atau sa-lah. Siswa dilatih untuk mengidenti-fikasi alasan yang diberikan atas penyataan yang diberikan yang se-lanjutnya siswa menentukan hu-bungan antar penyataan dan alasan yang diberikan. Pada awalnya, siswa sama sekali belum mengerti cara pengerjaan bentuk soal hubungan antar hal meskipun sudah diberikan petunjuk pengerjaannya. Hal terse-but dikarena-kan siswa belum terbiasa dalam mengerjakan soal dalam ben-tuk hubungan antar-hal, siswa terbiasa menjawab soal-soal pilihan ganda biasa atau essay. Dengan latihan-latihan yang diberikan akhir-nya sebagian siswa sudah menguasai keterampilan ini.

Salah satu masalah yang cu-kup rumit bagi peneliti dalam penge-lolaan PBM adalah bagaimana me-nangani siswa baik individual mau-pun kelompok yang dapay menyele-saikan tugas lebih awal maupun yang terlambat. Dengan kata lain, kece-patan penyelesaian tugas tiap indi-vidu maupun kelompok berbeda-beda (Trianto, 2010). Hal tersebut terjadi pada kelompok I dan IV, yang dalam proses penyelesaian masalah kelompok-kelompok tersebut terting-gal dari kelompok yang lain. Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Salah satu karakteristik PBM yaitu PBM menuntut siswa untuk

Page 72: Jurnal Asam Ba Sa

72

menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan masalah yang mereka temukan. Produk ini juga dapat berupa laporan, model fisik atau video maupun pro-gram komputer (Trianto, 2010). Da-lam hal ini produk yang dihasilkan siswa berupa laporan hasil penye-lidikan dan diskusi.

Pada tahap ini, siswa diminta untuk menyajikan atau mempresen-tasikan hasil penyelidikan dan dis-kusi masing-masing kelompok. Pada pertemuan pertama penelitian, tahap ini berjalan dengan baik, hampir se-luruh kelompok menyajikan hasil diskusi dan memberikan masukan terhadap kelompok lain. Namun, pada pertemuan berikutnya, tahap ini kurang berjalan dengan baik. Hal tersebut dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk penyelidikan lebih lama dibanding pertemuan yang pertama. Tahap 5. Menganalisis dan menge-valuasi proses pemecahan masalah.

Pada tahap ini, guru meminta siswa untuk merekonstruksi pikiran dan kegiatan siswa selama tahap pembelajaran (Trianto,2010). Dalam hal ini, guru membantu siswa menga-nalisis dan mengevaluasi proses ber-pikir mereka sendiri dan keteram-pilan penyelidikan yang mereka gu-nakan dengan cara mengarahkan sis-wa untuk menyimpulkan pemecahan masalah yang diberikan. Tahap ini jelas membantu siswa dalam upaya mengembangkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Evaluasi yang diberikan terbukti membuka pi-kiran siswa untuk melihat kekurang-an mereka dan memotivasi mereka untuk terus mengembangkan ke-mampuan dalam menyelesaikan ma-salah yang diberikan sampai pada akhirnya kemampuan mereka ber-kembang secara utuh.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. PBM lebih efektif dibandingkan

pembelajaran konvensional pada materi asam-basa dalam mening-katkan keterampilan memberikan penjelasan sederhana siswa.

2. PBM lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional pada materi asam-basa dalam mening-katkan keterampilan memberikan penjelasan lanjut siswa.

3. Peningkatan rata-rata n-Gain kete-rampilan memberikan penjelasan sederhana dan penjelasan lanjut siswa terjadi pada semua indikator yang diamati pada materi asam-basa.

DAFTAR PUSTAKA Akinoglu, O dan Tandogan, R.O. 2007.

“The Effect of Problem-Based Active Learning in Science Education on Student Academic Achievment, Attitude, and Concept Learning”. Eura-sia Journal of matematics, Science, and Technology, Vol 3. Diakses dari http://www.Ejmste.com. pada tanggal 5 Maret 2012.

Dahar, R.W. 1989. Teori–Teori Bela-jar. Erlangga. Jakarta.

Depdiknas. 2003. Pedoman khusus pengembangan silabus dan peni-laian kurikulum 2004. Direkto-rat Pendidikan Menengah Umum.

Ennis, R.H. 1985. Goals for A Criti-cal Thiking Curriculum. Costa, A.L. (Ed). Developing Minds A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandra, Virginia: Assosiation for Super-visions

Page 73: Jurnal Asam Ba Sa

73

and Curriculum Development (ASCD).

Ibrahim, M. dan Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masa-lah. Surabaya: Unesa University Press.

Redhana, I.W. dan Liliasari. 2008. Program Pembelajaran Kete-rampilan Berpikir Kritis Pada Topok Laju Reaksi Untuk Siswa SMA. Diakses tanggal 30 Desember 2011.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. 2006. Dasar-dasar Evaluasi dalam Pendidi-kan. Jakarta: Bumi Aksara.

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Page 74: Jurnal Asam Ba Sa

74

THE EFFECTIVENESS OF PDEODE-CYCLE LEARNING MODEL IN TEACHING ELECTROLIT AND NON-ELECTROLIT LEARNING MATERIAL IN ORDER TO IMPROVESTUDENT’S ABILITY TO

COMMUNICATE Vanessa Nurul Ainy, Noor Fadiawati, Emmawaty Sofia, Ratu Beta Rudibyani. pendidikan Kimia, Universitas Lampung. Abstrak : This reserach is done in rder to describe pdeode-cycle learning model in teaching electrolit and non-electrolit learning material in order to improve the ability to communicate. This model has six steps of learning activity, namely; prediction, discussion, explanation, observation, discussion, and explanation. The samples of this readearch are students of X2 and X3 of SMA persada bandar lampung at the academic year 2011/2012. The sampling method used was purpossive sampling. A quasi-experimental method with non-equivalent (pretest-posttest) control group design. The effectiveness of pdeode cycle model was measured by the gain. The result of this reserach shows that the average score of n-gain in control group and experimental group were 0.41 and 0.52 respectively. Based on the hypothesis analysis, it is found that class taught by using pdeode has better the ability in communication than class taught by conventional model. It can be concluded that pdeode learning model is more effective in improving the ability to communicate the concept of electrolic and non-electrolit solution. Key word: pdeode-cycle learning model, communicating ability

PENDAHULUAN

Ilmu kimia merupakan cabang dari IPA yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi. Pembelajaran kimia di sekolah cenderung hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Akibatnya pembalajaran menjadi kehilangan daya tariknya dan munculnya kejenuhan siswa dalam belajar sains.

Pada hakikatnya, sains (termasuk kimia) dipandang sebagai proses, produk, dan sikap. Untuk itu, pembelajaran kimia perlu dikem-bangkan berdasarkan pada ha-kikat kimia. Kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berda-

sarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika, dan energetika tentang materi. Oleh karena itu, kimia mempelajari segala sesuatu tentang materi dan perubahannya yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Ilmu kimia merupakan produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, teori, prinsip, hukum) temuan saintis dan proses (kerja ilmiah) yang dapat mengembangkan sikap ilmiah. Dengan demikian, pembelajaran kimia perlu memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses, produk, dan sikap.

Salah satu pembelajaran yang bisa digunakan yaitu menggunakan pendekatan keterampilan Proses sains

Page 75: Jurnal Asam Ba Sa

75

(KPS). Keterampilan proses sains (KPS) pada pembelajaran sains lebih menekankan pembentukan ketera-mpilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya.

Satu hal yang tidak akan terlepaskan dalam keterampilan proses sains adalah keterampilan berkomuni-kasi. Terampil berkomunikasi penting bagi siswa dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang kelak mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pengamatan langsung seperti melakukan percobaan pada materi reaksi elektrolit dan nonelektrolit, siswa dituntut mampu mendiskusikan hasil percobaan, memberikan data empiris hasil percobaan atau pengamatan da-lam bentuk tabel, menyusun, membaca tabel, menje-laskan hasil percobaan dan menyampaikan laporan secara siste-matis. Kemampuan-kemampuan ini merupakan indicator keterampilan ber-komunikasi. Penulis merasa perlu me-nerapkan model pembelajaran PDEODE (predict-discuss-explain-observe-discuss-explain) karena meru-pakan salah satu model pembelajaran yang cocok dan mampu meningkatkan keterampilan berkomunikasi dalam diskusi dan observasi siswa.

Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan model pembelajaran yang dikembang-kan untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai suatu konsep, yaitu model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme yang dikenal dengan model siklus PDEODE. Strategi mengajar dengan model siklus PDEODE merupakan salah satu model pembelajaran yang penting karena dapat memberikan suasana yang mendukung terjadinya diskusi dan keberagaman cara pandang (Costu, 2008). Dalam model pembelajaran ini siswa dihadapkan

pada enam tahap kegiatan belajar yaitu prediksi, diskusi, penjelasan, observasi, diskusi dan penjelasan. Model pembelajaran ini merupakan strategi mengajar yang efektif dalam mengganti dan merubah konsep alternative siswa dengan konsep sains yang sebenarnya. METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Persada Bandar Lampung tahun pelajaran 2011-2012 yang berjumlah 178 siswa dan tersebar dalam lima kelas yaitu X1, X2, X3,X4 dan X5.

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas X1 dan X2 yang memiliki kemampuan penguasaan konsep. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling dike-nal juga sebagai sampling pertim-bangan yaitu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan (berdasarkan saran dariahli). Purposif sampling akan baik hasilnya di tangan seorang ahli yang mengenal populasi.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah LKS, RPP, soal pretest dan postest, dan lembar observasi. c. Pada kelas eksperimen ada 2 LKS

dengan model pembelajaran PDEODE. Pada kelas kontrol menggunakan LKS biasa.

d. Soal pretest dan posttest yang terdiri dari 10 butir soal pilihan jamak untuk mengukur penguasaan konsep.

Dalam penelitian ini divalidasi dengan cara jugment (validitas isi).. Adapun pengujian validitas isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing penelitian untuk menguji.

Page 76: Jurnal Asam Ba Sa

76

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, didapatkan data yang diperoleh dari 2 kelas sampel melalui pretest dan posttest keterampilan berkomunikasi pada materi pokok larutan elektrolit dan nonelektrolit, sehingga dapat ditentukan besarnya n-Gain dari masing-masing kelas. Adapun perolehan rata-rata nilai nilai pretest, nilai posttest dan n-Gain keterampilan berkomunkasi siswa di kelas kontrol dan kelas eksperimen. Tabel 3. Data nilai keterampilan berkomunikasi

Kelas Nilai rata-rata

n-Gain pretest posttest

eksperimen

35,87 69,47 0,52

Kontrol

31,47 60,4 0,41

Berdasarkan nilai rata-rata pretest dan posttest dari kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka diperoleh grafik nilai rata-rata keterampilan berkomunikasi yang disajikan pada Gambar 2 berikut:

Pada Gambar 2 terlihat bahwa perolehan skor pretest keterampilan berkomunikasi pada kelas eksperimen relatife tidak berbeda dengan kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berkomunikasi siswa di kedua kelas adalah sama sebelum diterapkan pembelajaran yang berbeda. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diterapkan model pembelajaran yang berbeda di kedua kelas tersebut terlihat bahwa rata-rata nilai keterampilan berkomunikasi siswa di kelas eksperimen dan di kelas kontrol mengalami peningkatan. Siswa pada kelas control meng-alami peningkatan sebesar 28,93 yang semula nilai rata-rata keterampilan berkomunikasi 31,47 meningkat menjadi 60,4 dan kelas eksperimen mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu 33,6 yang semula nilai rata-rata keterampilan berkomunikasi 35,87 meningkat menjadi 69,47.

Selanjutnya, perolehan nilai keterampilan berkomunikasi siswa digunakan untuk mendapatkan n-Gain seperti yang disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 3 seperti berikut :

Gambar 2. Grafik nilai rata-rata keterampilan berkomunikasi

Gambar 3. Rata-rata n-Gain keterampilan berkomunikasi

Pada Gambar 3 terlihat bahwa

indeks gain keterampilan berkomunikasi pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada kelas eksperimen lebih tinggi dari-pada kelas

Page 77: Jurnal Asam Ba Sa

77

kontrol. Nilai indeks gain keterampilan berkomunikasi pada kelas eks-perimen adalah 0.52 dan pada kelas kontrol adalah 0.41.

Sebelum dilakukan uji-t, harus diketahui terlebih dahulu apakah sampel berdistribusi normal dan berasal dari varians yang homogen atau tidak. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji normalitas karena menurut Sudjana (2002) jika jumlah sampel dalam pene-litian lebih dari atau sama dengan 30 maka sampel tersebut dianggap berdistribusi normal. Pada penelitian ini sampel berjumlah 30 orang, maka sampel penelitian ini dianggap berdistribusi normal. Setelah mengetahui sampel berdistribusi normal, maka dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui apakah data sampel memiliki varians yang sama (homogen) atau tidak.

Berdasarkan uji homogenitas yang dilakukan (perhitungan terlampir dalam Lam-piran), didapatkan harga Fhitung untuk keterampilan berkomunikasi siswa adalah 1,375. Nilai ini lebih besar daripada Ftabel = 1,84 maka dapat disimpulkan data sampel terima H0 atau dengan kata lain data sampel bersifat homogen.

Setelah dilakukan uji homogenitas, maka selanjutnya dilakukan uji perbedaan dua rata-rata yang menggunakan uji parametik, yaitu melalui uji-t. Karena data pene-litian mempunyai variansi yang homogen sehingga rumusan yang dipakai untuk melakukan uji-t adalah rumus statistik dengan kriteria terima H0 jika

dan terima H1 jika terjadi

sebaliknya. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh harga thitung sebesar 3,089 dan harga ttabel sebesar 1,67. Bila dibandingkan 3,089 1,67 sehingga disimpulkan tolak H0 dan terima H1. Artinya rata-rata

keterampilan berkomunikasi siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan dengan menggunakan model PDEODE lebih tinggi daripada rata-rata keterampilan berkomunikasi siswa dengan pembelajaran konvensional. PEMBAHASAN

Pembelajaran PDEODE dapat meningkatkan penguasaan konsep materi larutan elektrolit dan nonelektrolit pada siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Costu (2008), bahwa model PDEODE merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat memberikan suasana yang mendukung terjadinya diskusi dan keberagaman cara pandang. Dalam model pembelajaran ini siswa di hadapkan pada enam tahap kegiatan belajar yaitu, prediksi, diskusi, penjelasan, observasi, diskusi dan penjelasan. Model pembelajaran ini merupakan strategi pembelajaran yang efektif dalam menggantikan dan merubah konsepsi alternatif siswa dengan konsep sains yang sebenarnya.

Pembelajaran model siklus PDEODE ini memiliki 6 langkah pembelajaran yaitu prediksi, diskusi, penjelasan, onservasi, diskusi, dan penjelasan. Tahap prediksi. Pada tahap prediksi ini siswa sangat akif dalam menyampaikan prediksi mereka masing-masing. Tahap prediksi ini dapat mengetahui kemampuan awal siswa terhadap materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Prediksi sangat penting dalam model pembelajaran ini, karena dengan membuat sebuah prediksi siswa menjadi penasaran dengan kekuatan prediksi yang telah mereka buat, sehingga siswa berkeinginan untuk mempertahankan dan membuktikan prediksinya tersebut. Tahap diskusi. Kegiatan diskusi dalam

Page 78: Jurnal Asam Ba Sa

78

pembelajaran PDEODE ini adalah mendiskusikan prediksi dan hasil observasi tentang suatu fenomena yang diberikan oleh guru. Tahap penjelasan. Setelah masing-masing siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan telah mendapatkan suatu kesepakatan tentang fenomena sains yang diberikan guru, setiap kelompok akan membagikan hasil diskusinya dengan kelompok lain pada saat diskusi kelas. Tahap observasi. Untuk mengetahui kebenaran dari prediksi siswa, maka dilakukan obesvasi terhadap suatu fenomena sains. Tahap diskusi. Ketika siswa sudah terlibat dalam kegiatan PDEODE, siswa sudah memiliki suatu prediksi dan penjelasannya sebagai pengetahuan awal, pengetahuan awal tersebut kemudian didiskusikan dalam kelompok atau kelas, pada dikusi ini terjadi perbedaan pendapat dengan teman kelompok atau dengan kelompok lain pada saat diskusi kelas, sehingga pada saat yang bersamaan terjadi revisi dan tinjau ulang pemahaman. Tahap penjelasan. Pada kegiatan ini siswa menghadapkan semua ketidak-sesuaian antara observasi dan prediksi. Dengan melakukan hal tersebut, siswa mulai menanggulangi perbedaan-perbedaan yang mungkin muncul pada pemahaman mereka.

Dampak dari perlakuan yang diberikan adalah meningkatnya penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit yang diukur dengan nilai n-Gain. Hasilnya, nilai n-Gain pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Dengan demikian terlihat jelas bahwa penggunaan model siklus pembelajaran PDEODE dalam meningkatkan penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit siswa kelas X SMA Persada Bandar Lampung.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:

Rata-rata n-Gain keterampilan berkomunikasi dengan model siklus PDEODE lebih tinggi dari pada rata-rata n-Gain keterampilan berkomu-nikasi dengan pembelajaran konven-sional pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.

Model siklus PDEODE lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi pada materi elektrolit dan nonelektrolit. DAFTAR PUSTAKA Ali, M. 1992. Strategi Penelitian

Pendidikan. Angkasa. Bandung. Arikunto, S. 2006. Penilaian Program

Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara. Jakarta.

Costu, et al. 2008. Perubahan Konseptual, Strategi Mengajar PDEODE (Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain) Dan Konsepsi Alternatif Serta Kesulitan Siswa Pada Konsep Ekosistem. Diakses 20 November 2011 dari http://repository.upi.edu/operator/upload/s_bio_0706603_chapter2.pdf.

Hariwibowo. 2009. Makalah Pembelajaran-Proses:Pendekatan Keterampilan Proses. www.yahoo.com. CERPEN LUBIS GRAFURA. Lubis Grafura (Ed). 26 Mei 2009. 30 Desember 2010 http://lubisgrafura.wordpress.com/2009/05/26/makalah-pembelajaran-proses-pendekatan-keterampilan-proses/

Page 79: Jurnal Asam Ba Sa

79

Purba, M. 2006. Kimia Kelas X. Erlangga. Jakarta. Sudjana,N. 2002. Metode Statistika Edisi Keenam. PT. Tarsito.

Page 80: Jurnal Asam Ba Sa

80

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING PADA MATERI KESETIMBANGAN KIMIA DALAM MENINGKATKAN

KETERAMPILAN MENGKOMUNIKASIKAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA

Reza Wintia Agustiana, Noor Fadiawati, Nina Kadaritna, Chansyanah Diawati Pendidikan Kimia, Universitas Lampung Abstract, the accuracy in choosing and applying a correct learning model will significantly influence styudents’ level of understanding. In order to achieve high understanding, as well as the ability to communicate the concept, a learning model and an approach which are able to guide the students into a more meaningful learning are needed. The objective of this reserach is to describe the effectiveness of guided inquiry learning model toward the chemical equilibrum material in order to develop the ability to understand and communicate the concept of the students. The samples of this research are the students XI IPA 1 and XI IPA 2 of SMA Gajah Mada Bandar Lampung academic year of 2011/2012. Tlent control grup designhis reserach used quasi-experiment method with non-equivalent control group design. The data analysis was done by using statistical analysis n-gain and t-test. Based on the hypothesis analysis, it is found that students taught by using guided inquiry learning model have significantly better ability in communicating the concept than students taught by using conventional model. In the other hand, a better understanding of the concept is found to be igher at students taught by using conventional model than students at experimental class. It means that guided inquiry learning model is effective at developing the ability to communicate the concept, but not the understanding of the concept of chemical equilibrum. Key Word: guided inquiry learning model, the ability to communicate, and mastery of the concept.

PENDAHULUAN

Sains merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami tentang alam. Belajar sains merupakan suatu proses membe-rikan sejumlah pengalaman kepada siswa untuk mengerti dan membim-bing mereka dalam menggunakan pengetahuan sains tersebut.

Untuk dapat memahami hakikat sains yakni sains sebagai proses dan

produk, siswa harus memiliki kemam-puan Keterampilan Proses Sains (KPS) yaitu semua keterampilan yang terlibat pada saat berlangsungnya sains.

Ilmu kimia merupakan mata pelajaran dalam rumpun sains, oleh karena itu yang diperoleh siswa tidak hanya kimia sebagai produk dan juga dapat melatih cara berpikir siswa untuk memecahkan masalah terutama

Page 81: Jurnal Asam Ba Sa

81

yang berkaitan dengan ilmu kimia secara ilmiah yaitu kimia sebagai proses.

Pembelajaran kimia di sekolah siswa hanya mendapatkan kimia sebagai produk tanpa membimbing siswa dalam proses ditemukannya konsep, hukum, dan teori, sehingga tidak tumbuh sikap ilmiah dalam diri siswa. Akibatnya pembelajaran kimia menjadi kehilangan daya tariknya dan lepas relevansinya dengan dunia nyata yang seharusnya menjadi objek ilmu pengetahuan tersebut (Depdiknas, 2003).

Kurikulum yang digunakan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung yaitu kurikulum Tingkat Satuan Pend-idikan (KTSP), yang dalam proses pembelajarannya menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator dan moti-vator, namun pada kenyataanya para-digma lama guru merupakan pusat kegiatan belajar di kelas (teacher centered) masih dipertahankan dengan alasan pembelajaran seperti ini adalah yang paling praktis dan tidak menyita banyak waktu.

Dengan demikian, perlu meng-gunakan suatu pendekatan yang dapat membekali siswa dengan suatu keterampilan berpikir dan bertindak melalui pengembangan KPS. KPS pada pembelajaran sains lebih mene-kankan pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan, mengkomunikasikan dan mengko-munikasikan hasilnya. Guru perlu melatihkan KPS untuk dapat membe-kali siswa dengan suatu keterampilan berpikir dan bertindak melalui sains untuk menyelesaikan masalahnya serta menjelaskan fenomena yang ada dalam kehidupan sehari-hari. KPS seperti keterampilan inferensi dengan indikator mampu menjelaskan

hasil pengamatan dari fakta terbatas dan mampu membuat kesimpulan tentang suatu fenomena setelah mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi. Guru juga perlu menerapkan model pelajaran yang mampu meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran dan membantu siswa dalam menemukan konsep, salah satu model pembela-jaran yang dapat memfasilitasi hal tersebut dan mampu melatihkan KPS siswa saat proses penemuan konsep adalah dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing.

Model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan langkah-langkah yaitu mengajukan masalah atau pertanyaan oleh guru, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Melalui kegiatan prakti-kum dan diskusi kelompok dan LKS konstruktif, siswa dilatih untuk dapat memahami konsep kesetimbangan dengan menggunakan kemampuan sains yang telah dimiliki oleh siswa itu sendiri dan pengetahuan itu akan lebih mudah untuk diingatnya.

Pembelajaran inkuiri terbimbing dapat membentuk dan mengembang-kan ”Self-Concept” pada diri siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide yang lebih baik, membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi pro-ses belajar yang baru,mendorong sis-wa untuk berpikir, bekerja atas inisiatifnya sendiri, bersikap obyektif, jujur dan terbuka, situasi proses belajar menjadi lebih aktif, dapat mengembangkan bakat atau kecaka-pan individu, memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri (Roestiyah, 1998). Melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan (1) Dapat membangkitkan semangat siswa, (2)

Page 82: Jurnal Asam Ba Sa

82

Dapat mengarahkan cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar, (3) Dapat mengajak siswa untuk menemukan masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi kesetimbangan kimia sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Kimia berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, salah satunya materi kesetimbangan., Pentingnya menghubungkan materi kesetimba-ngan ini dengan kehidupan sehari-hari sebagai landasan pendekatan pembe-lajaran yang ditujukan untuk: (1) Memotivasi belajar siswa, (2) Melatih berpikir kritis, kreatif, (3) Mengem-bangkan keterampilan proses. Akan tetapi dalam pembelajaran kesetim-bangan kimia di SMA Gajah Mada Bandar Lampung lebih terkondisikan untuk dihafal oleh siswa, akibatnya siswa mengalami kesulitan menghu-bungkannya dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, dan tidak mera-sakan manfaat dari pembelajaran kese-timbangan kimia.

Berdasarkan observasi dan wa-wancara dengan guru kimia di SMA Gajah Mada Bandar Lampung pada awal semester ganjil Tahun Pelajaran 2011-2012, diperoleh informasi yaitu rendahnya penguasaan konsep siswa, masalah yang dihadapi siswa adalah sebagian besar siswa masih mengang-gap kimia sebagai mata pelajaran yang sulit dipahami, khususnya pada materi kesetimbangan kimia. Sulitnya mema-hami materi tersebut dikarenakan sela-ma ini pada proses pembelajaran lebih memfokuskan pada ketuntasan materi pelajaran dan pada proses pembela-jarannya siswa tidak dibimbing untuk menemukan konsep, tidak dilatihkan KPS dan tidak dan dilakukannya praktikum hanya pada materi tertentu

dan hanya untuk membuktikan teori yang telah diberikan. Pembelajaran ini cenderung membuat siswa menjadi pasif karena proses pembelajaran lebih didominasi oleh guru, siswa kurang aktif dilibatkan dalam proses memba-ngun konsep karena hanya mengan-dalkan informasi materi dari guru. Sehingga siswa tidak terlatih dan menjadi malas untuk bertanya kepada guru atau kepada teman, memberi pendapat dan sanggahan, serta menjawab pertanyaan dari guru. Untuk lebih memahami dan membuk-tikan teori pada materi kesetimbangan kimia yang dijelaskan oleh guru perlu dilakukan percobaan. Sedangkan eksperimen sangat jarang dilakukan di SMA Gajah Mada Bandar Lampung karena fasilitas di laboratorium kurang memadai terutama alat-alat untuk melakukan percobaan.

Beberapa hasil penelitian yang mengkaji penerapan model Inkuiri ter-bimbing adalah Wulanda (2010) yang melakukan penelitian pada siswa kelas XI IPA1 dan XI IPA2 SMA Negeri 1 Pringsewu, telah melaporkan bahwa penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi pokok Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kurniasari (2011) yang mela-kukan penelitian kuasi eksperimen pada siswa kelas XI IPA Semester ganjil SMA Negeri 1 Kauman Tulungagung pada Materi Pokok Laju Reaksi, melaporkan bahwa (1) Keter-laksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi pokok laju reaksi telah berlangsung cukup baik, (2) Model inkuiri terbimbing lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan ha-sil belajar siswa, (3) Sikap ilmiah siswa yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing lebih tinggi dibandingkan siswa yang dibelajarkan

Page 83: Jurnal Asam Ba Sa

83

dengan konvensional pada materi laju reaksi dengan persentase siswa kelas eksperimen yang memiliki sikap ilmiah sangat baik mencapai 32,6 % sedangkan kelas kontrol hanya mencapai 13,3%. Pembelajaran inkuiri terbimbing diya-kini menjadi salah satu model pembelajaran yang dapat memperbaiki proses pembelajaran dalam mening-katkan keterampilan mengkomuni-kasikan dan penguasaan konsep kimia siswa.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian pada siswa kelas XI IPA SMA Gajah Mada Bandar Lampung tahun Pelajaran 2011-2012 yang berjudul “ Efektivitas Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing pada materi kesetimbangan kimia dalam Meningkatkan keterampilan Mengkomunikasikan dan Pengua-saan Konsep Siswa SMA Gajah Mada Bandar Lampung”. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektivitas model

pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi kesetimbangan kimia dalam meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan siswa SMA Gajah Mada Bandar Lampung?

2. Bagaimanakah efektivitas model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi kesetimbangan kimia dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa SMA Gajah Mada Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Efektivitas model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi kesetimbangan kimia dalam meningkatkan keterampilan meng-komunikasikan siswa SMA Gajah Mada Bandar Lampung.

2. Efektivitas model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi

kesetimbangan kimia dalam meningkatkan penguasan konsep siswa SMA Gajah Mada Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru, dan sekolah yaitu :

1. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat memberikan pe-ngalaman belajar secara langsung kepada siswa, mempermudah siswa dalam menemukan konsep kesetimbangan kimia.

2. Pembelajaran inkuiri terbimbing menjadi salah satu alternatif model pembelajar-an yang inovatif, kreatif, dan produktif bagi guru dalam memilih model pembelajaran sebagai upaya meningkatkan keterampilan meng-komunikasikan dan penguasaan konsep siswa.

3. Sumbangan pemikiran dan infor-masi dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran kimia di sekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1. Efektivitas yaitu model pembelajaran dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifkan antara

Page 84: Jurnal Asam Ba Sa

84

pemahaman awal dengan pemahaman setelah pembelajaran (gain yang signifikan).

2. Model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah pembelajaran dengan siswa di-bimbing untuk menemukan konsep kimia dengan langkah-langkah merumuskan ma-salah atau pertanyaan oleh guru, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, dan membuat kesimpulan Gulo dalam Trianto (2010).

3. Pembelajaran konvensional meru-pakan pembelajaran yang tidak membimbing siswa untuk mene-mukan konsep kimia tetapi konsep diberikan secara langsung dan praktikum dilakukan hanya untuk membuktikan konsep.

4. Keterampilan mengkomunikasikan mampu membaca dan mengkom-pilasi informasi dalam grafik atau diagram, menggambar data empiris dengan grafik, tabel, atau diagram, menjelaskan hasil percobaan me-nyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan jelas

5. Penguasaan konsep kesetimbangan berupa nilai siswa pada materi kesetimba-ngan kimia yang diperoleh melalui pretest dan posttest.

METODE PENELITIAN

Populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Gajah Mada Bandar Lampung tahun pelajaran 2010-2011 yang berjumlah 150 siswa dan tersebar dalam empat kelas Sampel adalah bagian dari populasi (Moh.Nazir, 2005).

Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai sampel adalah bagian dari

populasi penelitian (siswa kelas XI IPA SMA Gajah Mada Bandar Lampung). Adapun pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berda-sarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Dengan maksud untuk menda-patkan kelas yang sama, dengan tingkat kemampuan kognitif mene-ngah ke bawah, penulis meminta kepada pihak sekolah, dalam hal ini Wakil Kepala Sekolah bidang Kuri-kulum yang memahami karakteristik siswa di sekolah tersebut untuk menentukan kelas yang akan dijadikan sampel. Akhirnya penulis menentukan kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 sebagai sampel. Kelas XI IPA 1 sebagai kelompok eksperimen yang menga-lami Inkuiri tebimbing, sedangkan kelompok berikutnya adalah kelom-pok kontrol yang mengalami pembelajaran konvensional.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang bersifat kuantitatif yaitu data hasil tes sebelum pembelajaran diterapkan (pretes) dan hasil tes setelah pembe-lajaran diterapkan (postes) siswa.

Sumber data dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. Data hasil pretes dan postes kelompok kontrol

2. Data hasil pretes dan postes kelompok eksperimen

Penelitian ini menggunakan desain non equivalent control group design yaitu desain kuasi eksperimen dengan melihat perbedaan pretest maupun posttest antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Instrumen adalah alat yang berfungsi untuk mempermudah pelak-sanaan sesuatu. Instrumen pengum-

Page 85: Jurnal Asam Ba Sa

85

pulan data merupakan alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk melaksanakan tugasnya mengumpul-kan data (Arikunto, 1997).

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan berupa soal-soal Pretes dan Postes yang masing-masing terdiri dari dua bagian, yaitu soal-soal pengu-asaan konsep yang berupa pilihan jamak dan soal-soal keterampilan proses sains dalam bentuk esai.

Dalam pelaksanaannya kelas kontrol dan kelas eksperimen diberi-kan soal yang sama. Soal pretes adalah materi pokok sebelumnya (laju reaksi) yang terdiri dari 20 butir soal pilihan jamak dan 4 soal keterampilan kesetimbangan yang berbentuk soal esai. Sedangkan soal postes adalah materi pokok kesetimbagan yang terdiri dari 20 butir soal pilihan jamak dan 4 soal keterampilan mengkomu-nikasikan yang berbentuk soal esai.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Dalam konteks pengujian kevalidan instru-men dapat dilakukan dengan dua ma-cam cara, yaitu cara judgment atau penilaian, dan pengujian empirik.

Penelitian ini menggunakan keva-lidan isi. Kevalidan isi adalah kesesuaian antara instrumen dengan ranah atau domain yang diukur. Adapun pengujian kevalidan isi ini dilakukan dengan cara judgment. Dalam hal ini pengujian dilakukan dengan menelaah kisi-kisi, terutama kesesuaian antara tujuan penelitian, tujuan pengukuran, indikator, dan butir-butir pertanyaannya. Bila antara unsur-unsur itu terdapat kesesuaian, maka dapat dinilai bahwa instrumen

dianggap valid untuk digunakan dalam mengumpulkan data sesuai kepenti-ngan penelitian yang bersangkutan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap dua kelas yang menjadi sampel penelitian, peneliti mendapatkan data berupa skor pretest dan posttest penguasaan konsep dan keterampilan mengkomunikasikan.

Perolehan data pretest dan posttest ini kemudian digunakan untuk mengetahui n-Gain dari masing ma-sing siswa dari masingmasing kelas. diperoleh bahwa ratarata n-Gain untuk keterampilan mengkomunikasikan pada kelas eksperimen yaitu 0.58 dengan indeks gain sedang, dan rata-rata n-Gain pada kelas kontrol yaitu -0,03 dengan indeks gain rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa kelas eksperimen mempunyai peningkatan rata-rata nilai keterampilan mengko-munikasikan yang lebih tinggi diban-dingkan kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran inkuri terbimbing. rata-rata n-Gain untuk penguasaan konsep pada kelas eksperimen yaitu 0,29 dengan indeks gain rendah, dan rata-rata n-Gain pada kelas kontrol yaitu 0,39 dengan indeks gain rendah. rata-rata n-Gain kelas eksperimen mem-punyai rata-rata nilai lebih rendah dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal tersebut membuktikan bahwa kelas eksperimen mempunyai pening-katan rata-rata nilai penguasaan konsep yang lebih rendah dibanding-kan kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing.

Setelah diperoleh data rata-rata n- Gain, untuk mengetahui apakah data

Page 86: Jurnal Asam Ba Sa

86

pada sampel ini dapat berlaku untuk populasi, maka kemudian dilakukan analisis dari data-data tersebut. Berda-sarkan data yang diperoleh dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians terhadap gain ternormalisasi. Dalam penelitian ini jumlah siswa dimasing-masing kelas lebih dari 25, maka data dianggap berdistribusi normal (Sudjana, 2002). Selanjutnya dilakukan uji homogenitas terhadap n-Gain keterampilan mengkomunika-sikan dan penguasaan konsep untuk kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Uji homogenitas bertuju-an untuk mengetahui apakah kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai tingkat varians yang sama (homogen) atau tidak. nilai ııııııı n-Gain untuk keterampilan mengkomu-nikasikan kelas eksperimen maupun kelas kontrol lebih kecil dari ıııııı (ııııııı < ıııııı) dengan taraf a =0,05. Oleh karena itu, varians populasi n-Gain keterampilan mengkomunikasi-kan baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol memiliki varians yang sama atau homogen. Sedangkan nilai ııııııı n-Gain untuk penguasaan konsep kelas eksperimen maupun kelas kontrol memiliki varians yang tidak sama atau tidak homogen.

Kemudian setelah uji homogenitas, uji dilanjutkan dengan menggunakan statistik parametrik uji-t, yaitu dengan menggunakan uji kesamaan dua rata-rata. Setelah dilakukan perhitungan menggunakan uji-t, nilai ııııııı > ıııııı dengan taraf a = 0,05. Dengan demikian H0 ditolak. Oleh karena itu, ada perbedaan rata-rata n- Gain keterampilan mengkomunikasikan an-tara kelas eksperimen dan kelas kontrol. nilai ııııııı < ııııııdengan taraf a = 0,05. Dengan demikian H0 diterima. Oleh karena itu, ada perbe-daan rata-rata indeks n-gain pengua-

saan konsep antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis data yang dapat dilihat pada tabel 11, memperlihatkan ııııııı ı 0,163 < ıııııı=1,67 dengan taraf a = 0,05. Dengan demikian H0 diterima. Oleh karena itu, n-gain penguasaan konsep yang diberi pembelajaran mengguna-kan model pembelajaran inkuiri terbimbing lebih rendah daripada dengan yang diberi pembelajaran konvensional.

Dari hasil uji statistik di atas, menunjukkan bahwa hasil penelitian ini berlaku untuk populasi, dan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing efektif dalam meningkatkan keteram-pilan mengkomunikasikan tetapi tidak efektif dalam meningkatkan pengua-saan konsep kesetimbangan kimia pada siswa kelas XI IPA SMA Gajah Mada Bandar Lampung. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis, dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pembelajaran inkuiri terbimbing

tidak efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia;

2. Pembelajaran inkuiri terbimbing lebih efektif dibandingkan pembe-lajaran konvensional dalam me-ningkatkan keterampilan mengko-munikasikan siswa pada materi pokok kesetimbangan kimia;

3. Pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi kesetimbangan kimia dapat meningkatkan keterampilan mengkomunikasikan siswa karena

Page 87: Jurnal Asam Ba Sa

87

pada setiap tahap pembelajarannya dapat melatih dan mengembangkan keterampilan mengkomunikasikan, terutama pada tahap mengum-pulkan data, siswa dilatih mengko-munikasikan, dapat berupa tabel atau grafik berdasarkan data atau fakta yang diperoleh saat praktikum

B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan bahwa : 1. Pembelajaran inkuiri terbimbing

dapat dipakai sebagai alternatif model pembelajaran bagi guru dalam membelajarkan materi po-kok kesetimbangan dan materi pokok lain yang memiliki karak-teristik yang sama;

2. Untuk dapat memudahkan siswa dalam proses penyelidikan, hendaknya sekolah menambah referensi buku;

3. Untuk hasil penerapanpembelajaran yang lebih baik, akan sangat baik untuk benarbenar membawa siswa pada masalah yang memang sangat dekat dengan kehidupan mereka sehingga pembelajaran yang dilakukan akan menghasilkan suatu konsep yang dapat mereka pahami dengan lebih baik;

4. Guru harus lebih peka terhadap aktivitas siswa, terlebih siswa yang bergerak di luar instruksi yang diberikan.

5. Mempertimbangkan waktu dan me-rencanakan pembelajaran inkui dengan matang, karena pembelajaran inkuiri tidak dituntut untuk kuantutas materi yang disampaikan tetapi kualitas materi yang disampaikan

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Basori, A. 2010. Kimia Untuk SMA. Bina Sarana Edukasi. Jakarta

Dahar, R. W. 1996. Teori-Teori belajar. Erlangga. Jakarta.

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.

Djamarah, S.B. dan Aswan Zein. 2000. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Fatimah, Siti. 2010. Pembelajaran Guid Discovery Melalui Media LKS Konstruktif Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dan Keterampilan Proses Sains Pada Materi Pokok Laju Reaksi (PTK Pada Siswa Kelas XI IPA 3 SMA YP Unila TP. 2009- 2010). (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.

Hartono. 2007. Profil Keterampilan Proses Sains Mahasiswa Program Pendidikan Jarak Jauh SI PGSD Universitas Sriwijaya. Seminar Proceeding of The International Seminar of Science Education, 27 Oktober 2007. Bandung

Hapsari, A. P. 2011. Perbandingan Penguasaan Konsep Laju Reaksi antara Pembelajaran Menggunakan Metode Tanya jawab Berbasis Keterampilan Generik Sains dengan Tanya Jawab Konvensional pada Siswa SMA YP Unila Bandar Lampung. (Skripsi). FKIP Unila. Bandar Lampung.

Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Inkuiri.http://herfis.blogspot.

Page 88: Jurnal Asam Ba Sa

88

com/2009/07/pembelajaraninkuiri. html. Tanggal Akses : 25 April 2011.

Parning dan Horale. 2006. Kimia 2B SMA Kelas XI. Jakarta : Yudistira

Purba, M. 2006. Kimia SMA Kelas XI. Erlangga. Jakarta.

Rasito, A. 2007. Upaya Meningkatkan Hasi Belajar Kimia Siswa Dengan Pembelajara Konstruk-tivisme Menggunakan Metode Eksperimen Disertai LKS. PTK Pada Siswa Kelas XI IPA 4 SMAN 1 Natar TP 2006/2007. (Skripsi). FKIP Unila: Bandar Lampung.

Roestiyah. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.

Sagala, S. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Bandung.

Suparno, P. 1997. Filsafat Kostruk-tivisme Dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta

Sutresna, N. 2006. Kimia untuk Kelas XI. Jakarta . Grafindo

Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Rineka Cipta. Jakarta.

Sudjana, N. 1996. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung.

Trianto. 2007. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prenada Media Group. Jakarta.