Jurnal

12
SINUSITIS MAKSILARIS ODONTOGEN : SEBUAH REVIEW Ringkasan Sinusitis maksilaris odontogen adalah sebuah kondisi yang dikenal baik di komunitas otolaringologi maupun ahli gigi. Keadaan ini terjadi ketika membran Schneiderian didesak oleh unit dentoalveolar yang bermasalah. Sinusitis jenis ini berbeda dalam hal patofisiologi, mikrobiologi, diagnostik dan penatalaksanaannya dibandingkan dengan sinusitis yang disebabkan karena hal lain, oleh karena itu, kegagalan untuk mengidentifikasi masalah pada gigi secara akurat biasanya menyebabkan kegagalan terapi dan penatalaksanaan pada sinusitis maksilaris odontogen. Penyakit yang sulit disembuhkan pada salah satu sisi yang berhubungan dengan drainase yang berbau tidak sedap merupakan gejala yang paling umum pada sinusitis odontogen. Computed tomography (CT) scan resolusi tinggi dan cone-beam volumetric CT dapat membantu mengidentifikasi penyakit gigi. Kadang-kadang perawatan gigi saja dapat mengatasi sinusitis maksilaris odontogen, namun terkadang diperlukan juga penatalaksanaan yang disertai prosedur functional endoscopic sinus surgery (FESS) dan Caldwell-Luc. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan review tentang penyebab, gejala, dan penatalaksanaan sinusitis maksilaris odontogen. Kejadian sinusitis maksilaris odontogen masih sangat sedikit dibahas terbukti dari sedikitnya literatur yang membahas tentang hal ini.

description

tugas

Transcript of Jurnal

SINUSITIS MAKSILARIS ODONTOGEN : SEBUAH REVIEW

RingkasanSinusitis maksilaris odontogen adalah sebuah kondisi yang dikenal baik di komunitas otolaringologi maupun ahli gigi. Keadaan ini terjadi ketika membran Schneiderian didesak oleh unit dentoalveolar yang bermasalah. Sinusitis jenis ini berbeda dalam hal patofisiologi, mikrobiologi, diagnostik dan penatalaksanaannya dibandingkan dengan sinusitis yang disebabkan karena hal lain, oleh karena itu, kegagalan untuk mengidentifikasi masalah pada gigi secara akurat biasanya menyebabkan kegagalan terapi dan penatalaksanaan pada sinusitis maksilaris odontogen. Penyakit yang sulit disembuhkan pada salah satu sisi yang berhubungan dengan drainase yang berbau tidak sedap merupakan gejala yang paling umum pada sinusitis odontogen. Computed tomography (CT) scan resolusi tinggi dan cone-beam volumetric CT dapat membantu mengidentifikasi penyakit gigi. Kadang-kadang perawatan gigi saja dapat mengatasi sinusitis maksilaris odontogen, namun terkadang diperlukan juga penatalaksanaan yang disertai prosedur functional endoscopic sinus surgery (FESS) dan Caldwell-Luc.Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan review tentang penyebab, gejala, dan penatalaksanaan sinusitis maksilaris odontogen. Kejadian sinusitis maksilaris odontogen masih sangat sedikit dibahas terbukti dari sedikitnya literatur yang membahas tentang hal ini.

Kata kunci: sinusitis maksilaris odontogenik, functional endoscopic sinus surgery, cone-beam volumetric computed tomography.

PENGENALANSekitar 10-12% kasus sinusitis maksilaris odontogen dikaitkan dengan infeksi gigi. Namun, dalam penelitian baru-baru ini lebih dari 30-40% kasus sinusitis maksilaris kronis disebabkan oleh masalah pada gigi. Hal ini terjadi ketika membran sinus terdesak oleh beberapa kondisi seperti infeksi pada gigi atas posterior, lesi pada rahang dan gigi, trauma gigi, atas atau karena penyebab iatrogenik seperti pada komplikasi operasi gigi dan implan atau pada prosedur pembedahan maksilofasial. Hubungan anatomi yang berdekatan antara gigi atas dengan sinus maksilaris menyebabkan perkembangan infeksi periodontal odontogen hingga menjadi sinusitis maksilaris. Dinding tulang, yang memisahkan sinus maksilaris dari akar gigi sangat bervariasi dari tidak ada sama sekali, di mana akar gigi hanya ditutupi oleh membran mukus, hingga dinding setebal 12 mm. Sinusitis maksilaris juga dapat disebabkan oleh osteomyelitis maksilaris, kista radikular, trauma mekanik pada mukosa sinus selama perawatan akar gigi.Penyakit ini berbeda dalam patofisiologi, mikrobiologi, diagnostik, dan penatalaksanaan dibandingkan dengan sinusitis karena penyebab lain, meskipun gejala klinisnya tidak terlalu jelas. Oleh karena itu, salah diagnosis dapat menyebabkan kegagalan terapi medis maupun bedah. Radiografi dua dimensi biasa digunakan sebagai alat diagnostik sinusitis maksilaris odontogen, tetapi hal ini sering sulit untuk dilakukan karena banyak struktur melapisi daerah tersebut.Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan review mengenai penyebab umum, gejala, diagnosis, dan penatalaksanaan sinusitis maksilaris odontogen. Pencarian pada database Cochrane Library, PubMed, dan Science Direct dengan kata kunci sinusitis maksilaris odntogen, sinusitis dengan gejala gigi, diagnosis, tata laksana, fistula oroantral, Caldwell-Luc, FESS, menghasilkan 35 artikel yang memenuhi kriteria. 7 di antara artikel tersebut merupaka review, 5 artikel berhubungan dengan gambaran radiografi pada sinusitis maksilaris odontogen, 12 artikel tentang adalah tentang penatalaksanaan operatif, 10 berhubungan dengan fistula oroantral, dan 1 artikel tentang augmentasi sinus setelah terapi operatif radikal.

ETIOLOGIPada sebuah meta-analisis oleh Arias-Irimia, penyebab paling umum dari sinusitis maksilaris odontogen adalah iatrogenik (55,97%). Etiologi lain yang mungkin adalah periodontitis (40,38%) dan kista odontogen (6,66%). Fistula oroantral dan akar gigi yang tersisa, yang merupakan komplikasi ekstraksi gigi sekaligus penyebab iatrogenik sinusitis maksilaris odontogen, secara bersama-sama bekontribusi sebesar 47,56% di antara penyebab iatrogenik. Penutupan fistula oroantral dan benda asing yang nonspesifik merupaka penyebab 19,72% kasus iatrogenik. Penyebab iatrogenik lain adalah ekstrusi material endodentik pada sinus maksila (22,27%), amalgam yang tersisa setelah apikoektomi (5,33%), operasi preimplantologi penaikan sinus maksila (4,17%), dan implan gigi yang tidak diposisikan dengan baik atau implan yang bermigrasi ke sinus maksila (0,92%).Di sisi lain, Lee and Lee membuat bagan sebuah analisis retrospektif pada 27 pasien dengan sinusitis maksilaris odontogen, dan didapatkan bahwa pemasangan implan merupakan penyebab terbanyak yaitu sebesar 37%. Komplikasi dari ekstraksi gigi merupakan penyebab terbanyak kedua yaitu sebesar 29,6%. Kista dentygenous berkontribusi sebesar 11,1%, sedangkan kista radikuler dan karies gigi berkontribusi sebesar 7,4% pada sinusitis maksilaris odntogen.Mengenai gigi yang terlibat, gigi molar memiliki frekuensi paling sering penyebab sinusitis maksilaris odontogen, yaitu sebesar 47,68%. Gigi molar pertama adalah yang paling besar pengaruhnya (22,51%), diikuti dengan gigi molar ketiga (17,21%), dan gigi molar kedua (3,97%). Sedangkan untuk gigi premolar hanya berpengaruh sekitar 5,96% pada kasus, gigi premolar kedua yang paling berpengaruh (1,98%). Gigi caninus hanya berpengaruh sebesar 0,66% pada kasus sinusitis maksilaris odontogen.

GAMBARAN KLINISGejala sinusitis odontogen adalah adanya gejala sinonasal seperti sumbatan hidung unilateral, rinore, dan napas berbau busuk. Brook menambahkan gejala lain seperti sakit kepala, nyeri atau adanya tekanan pada sinus maksilaris salah satu sisi, dan lendir yang mengalir ke tenggorok (post nasal drip). Gejala lain seperti nyeri gigi dan gigi menjadi lebih sensitif tidak berarti bahwa penyebabnya adalah odontogenik. Jarangnya keluhan pada gigi mungkin disebabkan karena patensi kompleks osteomeatal (KOM) pada sinus maksilaris, yang memungkinkan keluarnya tekanan dari dalam sinus. Pada case series dengan 21 pasien yang menderita sinusitis odontogen, hanya 29% yang mengeluh nyeri pada giginya. Penemuan ini penting untuk tetap memikirkan kemungkinan infeksi odontogen walaupun tanpa disertai nyeri pada gigi. Nyeri di gigi sebelah atas juga bisa menunjukkan adanya sinusitis primer, hal ini karena adanya nyeri alih ke gigi.Gejala-gejala sinonasal dominan pada pasien sinusitis odontogen, namun gejala-gejala ini tidak membedakan sinusitis odontogen dengan sinusitis karena penyebab lain. Selain itu, tidak ada salah satu gejala dari berbagai gejala sinonasal yang mendominasi pada sinusitis odontogen. Dalam data retrospektif dari 27 pasien dengan sinusitis odontogen, Lee dan Lee melaporkan bahwa rinore purulen pada satu sisi merupakan gejala yang paling umum yang ditemukan pada 66,7% pasien sinusitis odontogen. Kemudian diikuti oleh nyeri pipi ipsilateral pada sepertiga dari pasien, sedangkan 26% pasien mencium bau busuk. Case series oleh Longhini melaporkan bahwa sumbatan hidung unilateral merupakan gejala yang paling umum dan mengganggu, lalu diikuti oleh nyeri pada wajah. Case series ini melaporkan bahwa gejala mencium bau busuk terjadi pada 48% pasien dan gigi nyeri terjadi pada 29%. Oleh karena itu, kelainan pada sinus unilateral yang disertai bau busuk merupakan satu-satunya penemuan klinis yang paling mungkin untuk membedakan antara sinusitis odontogen dengan sinusitis non-odontogen.

DIAGNOSISDiagnosis sinusitis maksilaris odontogen yang akurat sangatlah penting karena patofisiologi, mikrobiologi, dan tatalaksananya berbeda dengan sinusitis maksilaris lainnya. Mengenali sinusitis odontogen merupakan hal yang penting karena jika kita gagal dalam melihat kelainan gigi akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam terapi dan bisa menyebabkan gejala yang persisten. Pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan yang bermanfaat dalam diagnosis sinusitis dan dapat mengetahui apakah sumber infeksinya adalah odontogenik. Foto panoramik merupakan pemeriksaan radiologi standar dalam praktik kedokteran gigi. Gambaran ini berguna untuk mengevaluasi hubungan antara tempat tumbuhnya gigi dengan sinus, pneumatisasi, dan pseudokista. Gambaran overlap palatum durum membatasi kegunaan foto panoramik untuk evaluasi lebih lanjut. Foto panoramik lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi akar gigi, gigi, atau benda asing di dalam sinus. Namun, foto panoramik kurang akurat jika dibandingkan dengan foto Waters dalam hal dentifikasi sinus maksilaris, hanya saja foto panoramik memberikan informasi yang lebih detail mengenai bagian terbawah sinus.Pemeriksaan gigi juga menggunakan foto polos yang berfungsi untuk mengevaluasi kelainan pada gigi dan periodontal. Foto polos ini terbukti memiliki sensitivitas 60% untuk karies dentis dan sekitar 85% untuk kelainan periodontal. Menurut Longhini dan Ferguson, 86% dari evaluasi gigi yang dilakukan gagal dalam mengidentifikasi adanya penyakit gigi pada pasien sinusitis odontogen. Oleh karena itu, pada kasus suspek sinusitis odontogen, harus diberikan perhatian yang serius pada gambaran radiologisnya. Selain itu, apabila pada pemeriksaan gigi tidak didapatkan kelainan, hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa penyebab sinusitisnya berasal dari gigi terutama pada pasien rhinosinusitis kronis yang sulit disembuhkan.Pemeriksaan CT scan merupakan gold standard dalam diagnosis sinusitis maksilaris karena resolusinya yang tinggi dan kemampuannya dalam melihat perbedaan antara tulang dan jaringan lunak. Case series oleh Patel menyatakan bahwa semua pasien sinusitis odontogen menunjukkan tanda-tanda kelainan gigi pada hasil pemeriksaan CT scan, dengan 95% pasien menunjukkan abses periapikal pada gambarannya. Cone beam CT (CBCT) adalah peralatan baru yang memanfaatkan sekitar 10% dari dosis radiasi CT scan konvensional dan mampu melihat tulang secara lebih detail. Dosis radiasi untuk CBCT adalah sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan foto panoramik. Teknik ini cukup populer dilakukan oleh dokter gigi terutama dalam menilai ketebalan dinding sinus maksilaris. CBCT memiliki keuntungan yang lebih besar daripada CT scan konvensional karena memiliki resolusi yang lebih tinggi terutama pada kasus-kasus sinusitis maksilaris odontogen yang rumit.

TATALAKSANATatalaksana yang dilakukan bersama-sama pada penyakit gigi dan sinusitis akan menjamin penyembuhan dari infeksi dan selanjutnya bisa mencegah kekambuhan serta komplikasi. Eliminasi sumber infeksi (misalnya dengan menghilangkan akar eksternal gigi dari rongga sinus, ekstraksi, dan terapi kanal akar gigi yang sakit) diperlukan untuk mencegah kambuhnya sinusitis. Meskipun telah dikengembangan penatalaksanaan untuk rinosinusitis kronis dengan functional endoscopic, penatalaksanaan dengan pendekatan eksternal dan eksplorasi yang ekstensif dari sinus yang bermasalah sering digunakan dalam penatalaksanaan sinusitis maksilaris odontogen. Metode ini merupakan metode yang traumatik dan memiliki risiko komplikasi yang lebih besar saat pascaoperasi daripada operasi sinus dengan menggunakan endoskopi.Pertimbangan penting lainnya adalah mengenai rekonstruksi tulang dari sinus maksilaris, mengingat sinusitis maksilaris odontogen lebih sering terjadi pada lansia, yang kemungkinan membutuhkan rehabilitasi prostetik saat sinusitis maksilaris odontogen telah berhasil diatasi. Pada prosedur Caldwell-Luc klasik, di mana lapisan antral dihilangkan, lapisan mukosiliar digantikan oleh mukosa nonfungsional yang menyebabkan kerusakan sinus. Selain itu, prosedur Caldwell-Luc memiliki risiko saat operasi seperti perdarahan dan kerusakan saraf infraorbital. Risiko segera pasca operasi yaitu wajah bengkak, ketidaknyamanan pada pipi, nyeri, perdarahan, dan peningkatan suhu. Risiko jangka panjang misalnya asimetri wajah, wajah dan gigi mati rasa atau paresthesia, fistula oroantral, luka gingivolabial, dakriosistitis, nyeri wajah, sinusitis berulang, poliposis berulang, dan sklerosis dinding antral. Dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sinus maksilaris pascaoperasi, maka akan sulit untuk melakukan rekonstruksi tulang untuk rehabilitasi prostetik.Pada prosedur functional endoscopic sinus surgery (FESS) dilakukan tindakan antrostomi tengah dan pengangkatan jaringan, polip, dan benda asing melalui lubang antrostomi tengah sehingga akan memelihara mukosa dan fungsi mukosa. Metode ini dapat menggantikan metode Caldwell-Luc pada beberapa kasus.Oroanthral commmunication (OAC) merupakan komplikasi yang umum pada operasi gigi. Ekstraksi gigi pada maksila posterior merupakan penyebab utama OAC dan berkontribusi sebesar 80% dari kasus OAC. Berhasilnya penatalaksanaan OAC sangat tergantung pada penutupan primer defek tersebut dan penatalaksaan medis yang adekuat. Saat sinus communication telah terdiagnosis setelah operasi gigi seperti ekstraksi, ukuran defek harus dinilai. Defek lebih kecil dari atau sebesar 5 mm biasanya menutup secara spontan pada pasien normal. Penggunaan barrier yang dapat diabsorpsi seperti sponge gelatin yang dapat diabsorpsi (Gelfoam, Ferrosan Inc., Soeborg, Denmark) dan penjahitan luka sangat bermanfaat. Jika ukuran defek lebih dari 5 mm, diindikasikan penutupan primer dan umumnya dapat dicapai dengan teknik bedah standar seperti buccal advancement flaps, palatal island flaps, palatal pedicle flaps, gold foils, atau buccal fat pad pedicle flaps. Penting sekali untuk melakukan usaha rekonstruksi pada lingkungan sinus yang tidak mengalami kelainan. Melakukan operasi pada lokasi OAC saat terjadi infeksi akut pada sinus itu sendiri biasanya akan menyebabkan kegagalan pada operasi tersebut.Oroanthral fistula (OAF) adalah hubungan yang tidak alami antara mulut dan sinus maksila yang tertutup epitel dan dapat terisi jaringan granulasi atau poliposis yang berasal dari membran mukus sinus. Hal ini sering terjadi karena penatalaksanaan OAC diatrogenik yang tidak adekuat. Pada`beberapa kasus, hubungan rongga mulut dan sinus maksila terjadi karena ekstraksi gigi lateral atas yang penyembuhannya terganggu karena adanya gumpalan darah di dalamnya di mana tumbuh jaringan granulasi, dan pada tepi vestibulusnya terjadi penyempitan karena migrasi sel-sel epitelial lamina propria ginggival, yang menutup tepi vestibulus dan sebagian tumbuh ke dalam kanal. Saat arus udara berjalan dari sinus, melewati alveoli, dan menuju ke rongga mulut, hal ini dapat memfasilitasi terbetuknya kanal fistula, yang menghubungkan sinus dengan rongga mulut. Dengan adanya fistula, sinus secara permanen terbuka, yang memungkinkan masuknya mikroflora dari rongga mulut ke sinus maksila sehingga dapat terjadi inflamasi dengan segala konsekuensi yang dapat terjadi.Gejala adanya OAF mirip dengan gejala OAC. Discharge yang purulen dapat mengalir dari fistula, yang tidk selalu dapat terlihat. Juga, saat pasien minum, pasien dapat merasakan seakan-akan sebagian cairan yang diminumnya memasuki hidung dari salah satu sisi rahang dan kadang-kadang keluar cairan dari lubang hidung pada sisi yang sama. Ketika lubang hidung ditutup dengan jari dan pasien diminta meniup melalui hidung, udara akan mendesis dari fistula ke dalam rongga mulut. Selain itu, suatu uji dengan pemeriksaan kasar dapat mengkonfirmasi adanya kanal fistula. Fistula tersebut harus secepatnya ditutup karena adanya fistula tersebut dapat memudahkan terjadinya inflamasi sinus karena adanya infeksi dari rongga mulut. Jika penutupan fistula tidak berhasil dengan intervensi bedah multipel atau merupakan OAF yang sudah terjadi dalam jangka lama, dapat terjadi hiperplasia membran mukus sinus maksila, yang dapat diatasi dengan prosedur bedah, yaitu metode Caldwell-Luc. Literatur terbaru menyarankan operasi endoskopik untuk prosedur ini.KESIMPULANInsidensi sinusitis odontogen tidak tercatat dengan baik pada banyak literatur. Studi terbaru menyatakan insidensi sinusitis odontogen yang lebih besar daripada laporan sebelumnya, mendekati angka 30-40% dari semua kasus sinusitis maksilaris kronis. Penyebab paling sering adalah iatrogenik dan periodontitis marginal/apikal. Gejala dan hasil penemuan fisik pada sinusitis odontogen dan non-odontogen serupa, dengan sejumlah kecil pasien yang positif ditemukan kelainan gigi. Selain itu, evaluasi gigi dengan hanya radiografi gigi atau panoramik sering gagal mendiagnosis kelainan gigi pada pasien sinusitis maksilaris odontogen, sehingga evaluasi pada pasien rhinosinusitis kronis yang sulit disembuhkan, khususnya unilateral atau berhubungan bau busuk, sangat direkomendasikan untuk dilakukan CT sinus atau CBVCT dengan inspeksi seksama terhadap adanya abses periapikal. Terdapat banyak pilihan pada penatalaksanaan sinusitis maksilaris odontgen. Karena pendekatan yang non-traumatik, rendahnya komplikasi, dan hasil lapisan antral yang lebih baik, prosedur FESS lebih populer digunakan daripada prosedur Caldewell-Luc untuk penatalaksanaan CMSDO pada beberapa tahun ini. Namun, beberapa situasi tetap memerlukan pendekatan eksternal.