JURNAL 2
-
Upload
erwin-skilly -
Category
Documents
-
view
28 -
download
0
description
Transcript of JURNAL 2
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 1
ANALISIS POTENSI ANTIBAKTERI TEH ROSELLA TERHADAP HISTOLOGI USUS
HALUS MENCIT AKIBAT PAPARAN Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
Oleh : Ervina Dewi1, Widya Sari
2 dan Khairil
3
(1Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jabal Ghafur,
2Dosen Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala,3Dosen
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala Darussalam)
ABSTRACT
This research aimed to know the ability of rosela tea to repair of small intestine destructed due
to EPEC intervention. A completely randomized-block design was used 6 treatments and 4 repetition
of each treatment. The treatments were aquadest (P0), EPEC and aquadest (P1), EPEC and
nifuroxazide antibiotic (P2), EPEC and 250 ml/kg bw rosela tea (P3), 500 ml/kg bw rosela tea (P4), and
750 ml/kg bw rosela tea (P5). Paraffin method was apllied of microscopic structure observation. The
parameters observed was alteration of small intestine mucosal due to EPEC intervention. A variance
analysis followed by Duncan Multiple Range Test was tested to the data alteration of small intestine
due to EPEC intervention. The result showed that rosela tea could significant on increased of length
intestine mucosal. In conlusion, the rosela tea has ability increased of length intestine mucosal due to
EPEC.
Key word : EPEC, Rosela Tea, Intestine Mucosal
I. PENDAHULUAN
Penggunaan tanaman berkhasiat obat
semakin luas di kalangan masyarakat karena
merupakan bagian dari kebudayaan bangsa
Indonesia. Sampai sejauh ini kandungan kimia,
khasiat/kegunaan maupun efek sampingnya belum
banyak diteliti secara ilmiah (1). Tanaman
berkhasiat obat merupakan obat tradisional yang
perlu dioptimalkan pemanfaatannya (2). Tanaman
berkhasiat obat yang sekarang banyak dikonsumsi
di masyarakat adalah bunga rosela (Hibiscus
sabdariffa L.).
Berbagai penelitian telah membuktikan
bahwa tanaman rosela memiliki efek
cardiprotective, anti oksidatif, hypocolesterolemi
dan hepatoprotective, menginduksi apoptosis
pada sel kanker [3, 4]. anti koagulasi, anti
hipertensi [5], menstimulasi gerak peristaltik usus
dan fungsi ginjal [6, 7]. dan antibakteri [8, 9] dan
antidiare dan antiimflamasi [10,11].
Potensi sebagai obat tradisional tanaman
rosela disebabkan oleh adanya kandungan bahan
aktif. Tanaman rosela mengandung asam-asam
organik, polisakarida, glikosida jantung, flavonoid,
saponin, dan alkaloid yang berkhasiat sebagai obat
[3, 4, 12]. Selain itu juga mengandung antosianin
dan vitamin C sebagai antioksidan dan tanin yang
berpotensi sebagai antidiare [13].
Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak
rosela telah terbukti efektif dalam menghambat
pertumbuhan berbagai bakteri patogen pada
manusia dan hewan [3]. Hasil penelitian
Rostinawati (2009) [9] menunjukkan bahwa
ekstrak etanol kelopak rosela mengandung
senyawa yang memiliki aktivitas sebagai
antibakteri secara in vitro. Aktivitas
antibakteri dapat dilihat pada konsentrasi 1
g/ml terhadap bakteri Escherichia col,
Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus
dengan diameter hambatan masing-masing
sebesar 27,8 mm, 30,8 mm, dan 27,8 mm.
Selain itu juga menghambat pertumbuhan
Streptococcus pyogenes [14], Staphylococcus
sp. [15], dan Streptococcus sanguinis [16].
Hasil penelitian membuktikan bahwa
adanya aktivitas antibakteri dalam tanaman
menunjukkan bahwa tanaman tersebut
memiliki aktivitas antidiare [17]. Aktivitas
antibakteri kelopak rosela disebabkan oleh
adanya kandungan flavonoid dan tanin [13].
Flavonoid membentuk kompleks dengan
protein ekstraseluler dan protein terlarut serta
membentuk kompleks dengan struktur
tertentu pada dinding sel bakteri seperti
adhesion, polipeptida dan enzim [18]. Secara
in vitro, tanin menunjukkan aktivitas
antibakteri dengan cara mengkerutkan
dinding dan membran sel bakteri, inaktivasi
enzim dan inaktivasi materi genetik dengan
menekan pembentukan dalam sintesis DNA
[19]. Secara in vivo, menyatakan bahwa tanin
memiliki aktivitas antibakteri menghambat
enzim yang diproduksi oleh bakteri untuk
mendegradasi mucin. Dalam usus mampu
mengendapkan protein sehingga terjadi
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 2
penurunan sekresi yang membuat mukosa usus
lebih resisten terhadap invasi bakteri [13].
Diare merupakan penyakit yang ditandai
dengan bertambahnya frekuensi buang air besar
disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja
dari penderita [20]. Diare dapat terjadi akibat
adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Escherichia coli. Salah satu serotipe bakteri E. coli
yang dapat menyebabkan infeksi adalah
Enteropathogenic E. coli (EPEC) [21]. Dalam
saluran pencernaan, EPEC melekat pada
permukaan mukosa usus dan menyebabkan
terjadinya perubahan struktur sel epitel.
Selanjutnya, EPEC melakukan invasi menembus
sel mukosa sehingga menyebabkan terjadinya
iritasi dan diare [22].
II. METODOLOGI
A. Bahan
Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus
musculus) berumur 2 bulan dengan berat badan
20-30 g, kelopak bunga rosela isolat Aceh, isolat
bakteri EPEC koleksi Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan No.
ATCC 25922, media Nutrient Broth, Nutrient
Agar, larutan Mc. Farland standar No. 2, akuades,
xilol, entelan, albumin mayer, paraffin 56-58%,
bouin, antibiotik Nifuroxazide, alkohol seri,
pewarna HE, NaCl fisiologis, kaca benda, kaca
penutup dan pakan.
Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak lengkap (RAL) yang terdiri atas
6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri atas
Po: Kontrol negatif (Hanya diberikan akuades),
P1: Kontrol positif (pemberian EPEC dan
akuades), P2: pemberian EPEC dan antibiotik
nifuroxazide dosis 500 mg, P3: pemberian EPEC
dan teh rosela dosis 250 ml/Kg bb, P4: pemberian
EPEC dan teh rosela dosis 500 ml/Kg bb, dan P5:
pemberian EPEC dan teh rosela dosis 750
ml/Kgbb.
2. Prosedur Penelitian
a. Penyiapan Hewan Coba
Mencit perlakuan diaklimatisasi selama tujuh
hari di kandang percobaan. Mencit perlakuan
diberi pakan dan minuman secara ad libitum.
Pemeliharaan dan pemberian perlakuan dilakukan
dalam keadaan aseptis.
b. Pembuatan Teh Rosela
Kelopak bunga rosela segar dipisahkan
dari bagian buahnya, kemudian dicuci dengan
air mengalir, ditiriskan dan dikeringkan [23].
Selanjutnya ekstraksi rosela dengan
menyeduh 2 g bubuk rosela [5]. ke dalam 250
ml air selama 20 menit pada suhu 60oC [24].
c. Inokulasi EPEC dan Pemberian
Antibakteri
Inokulasi EPEC dan pemberian
antibakteri pada hewan coba dilakukan secara
intubasi oesophagus [13, 21, 22]. Kultur
EPEC disegarkan terlebih dahulu pada media
Nutrient Broth (NB) selama 24 jam dan
diinkubasi pada suhu 37°C. Selanjutnya 1 ose
kultur tersebut diinokulasikan ke media
pertumbuhan Nutrient Agar dan diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC, sebagai kultur
kerja.
EPEC yang dicekok ke mencit disiapkan
dengan cara mengencerkan kultur kerja
dengan larutan NaCl fisiologis 0.9 % [23]
hingga konsentrasi suspensi EPEC setara
dengan larutan Mc. Farland Standar No. 2
yaitu setara dengan 6,0 x 108 CFU/ml. Jumlah
inokulasi EPEC pada hewan coba mengacu
pada Arief et al. (2010) [21]., yaitu sebanyak
1 ml x 108 CFU/ml per ekor tikus per hari
selama 7 hari. Pemberian EPEC selama tujuh
hari berturut-turut mampu menyebabkan tikus
diare tanpa menyebabkan kematian [13,21].
Dosis antibiotik nifuroxazide yang
diberikan mengacu pada penggunaan dosis
standar antibiotik nifuroxazide pada manusia
dewasa yaitu 500 mg dan teh rosela mengacu
pada Ali et al. (2011) [10] dan Hossain et al.
(2012) [11] yaitu dosis 250 ml/kg bb, 500
ml/kg bb dan 750 ml/kg bb. Lama pemberian
antibiotik nifuroxazide dan teh rosela
mengikuti lama pemberian antibiotik empiris
yaitu selama 72 jam yang diberikan setiap 8
jam [25]. Pemberian senyawa antibakteri
dimulai pada hari ke 1 (satu) setelah
pencekokan EPEC dihentikan [21].
d. Pengambilan Organ dan Pembuatan
Sediaan Histologis
Hewan coba diterminasi setelah 5 jam
pemberian antibakteri dihentikan. Hewan
diterminasi secara discolasio servicalis [21].
Selanjutnya dilakukan bedah bangkai, organ
usus halus segera diambil dan selanjutnya
dibuat sediaan histologis dengan metode
parafin. Spesimen dimasukkan ke dalam
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 3
larutan fiksatif Bouin, kemudian dehidrasi dengan
alkohol seri 70 % sampai alkohol absolut, kliring
dalam xilol, infiltrasi dan embedding dalam blok
parafin 56 - 58 oC. Sediaan disayat dengan
ketebalan 5 mikron menggunakan mikrotom putar.
Setiap ulangan dibuat 4 sayatan dengan interval 10
sayatan dan diletakkan di atas kaca benda yang
telah diberi larutan perekat. Untuk mengamati
mukosa usus halus, maka sediaan usus halus
diwarnai dengan metode pewarnaan Hematoxylin
Eosin (HE) [26].
Pengamatan ketebalan lapisan mukosa usus
halus dilakukan dengan mikroskop cahaya pada
pembesaran 10 x 10. Setiap sayatan diamati
sebanyak 3 lapangan pandang sehingga setiap
ulangan terdapat 12 lapangan pandang.
Pengukuran ketebalan mukosa usus dilakukan
dengan menggunakan eyepiece micrometer.
e. Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati adalah perubahan
ketebalan lapisan mukosa usus halus feses mencit
yang dipaparkan EPEC.
f. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan
analisis varian. Selanjutnya dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan [27].
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap perubahan histologi
lapisan mukosa usus halus mencit pada berbagai
perlakuan menunjukkan bahwa paparan EPEC
selama tujuh (7) hari berturut-turut mampu
menyebabkan kerusakan lapisan mukosa usus
halus. Selanjutnya pemberian senyawa antibakteri
(antibiotik nifuroxazide dan teh rosela) mampu
memperbaiki kerusakan lapisan mukosa usus halus
akibat paparan EPEC. Pengaruh antibiotik
nifuroxazide dan teh rosela terhadap perubahan
histologi usus halus akibat paparan EPEC dapat
dilihat pada Gambar 1.
a b
c d
Gambar 1. Ketebalan Lapisan Mukosa Usus
Halus Akibat Paparan EPEC dan Antibakteri
(ditunjuk oleh tanda panah). a kontrol negatif
(Po), b. kontrol positif (P1) c. EPEC dan
antibiotik nifuroxazide (P2), d. EPEC dan teh
rosela dosis 750 ml/kg bb (P5).
Gambar 1.b menunjukkan bahwa
paparan EPEC menyebabkan kerusakan
mukosa usus halus yang sangat parah.
Kondisi ini dapat diamati pada perlakuan P1
yang hanya dipaparkan EPEC. Hal ini
ditandai dengan rusaknya hampir semua vili
usus halus. Kerusakan yang terlihat berupa
terjadinya erosi vili dari lapisan mukosa usus
halus. Erosi vili merupakan kehilangan
sebagian epitel pada lapisan mukosa usus
halus [28]. Erosi vili mengakibatkan
ketebalan lapisan mukosa usus halus menjadi
lebih rendah (P1) [29] dibandingkan dengan
perlakuan lain antibakteri walaupun
sebelumnya telah dipaparkan EPEC.
Selanjutnya, pemberian antibakteri mampu
memperbaiki kerusakan lapisan mukosa usus
halus akibat paparan EPEC. Hal ini ditandai
dengan sedikitnya bagian usus yang
mengalami erosi vili dan terjadi peningkatan
ketebalan lapisan mukosa usus halus.
Rerata ketebalan lapisan mukosa usus
halus mencit berbagai perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 2. Kerusakan lapisan mukosa
usus halus akibat paparan EPEC selama 7 hari
menyebabkan rendahnya lapisan mukosa usus
halus (P1) dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Selanjutnya pemberian antibakteri
(P2, P3, P4 dan P5) dapat meningkatkan
kembali ketebalan lapisan mukosa usus halus
yang sebelumnya telah rendah akibat paparan
EPEC.
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 4
Gambar 2. Rerata Ketebalan Lapisan Mukosa
Usus Halus
Peningkatan ketebalan lapisan mukosa usus
halus akibat pemberian teh rosela menunjukkan
adanya aktivitas antiinflamasi dari teh rosela.
Peningkatan ketebalan lapisan mukosa usus halus
terjadi seiring dengan peningkatan dosis teh rosela
yang diberikan.
Analisis varian terhadap perubahan
ketebalan lapisan mukosa usus halus mencit akibat
paparan EPEC pada berbagai perlakuan antibakteri
menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang
berbeda nyata. Hasil uji jarak berganda Duncan
terhadap rerata perubahan ketebalan lapisan
mukosa usus halus mencit pada berbagai
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata Ketebalan Lapisan Mukosa Usus
Halus Mencit (mm)
Perlakuan X ± SD
Po: Kontrol negatif (akuades) 0,2721b ± 0,0296
P1: Kontrol positif (EPEC) 0,1790c ± 0,0165
P2: EPEC dan antibiotik
nifuroxazide dosis 500 mg 0,3053
ab ± 0,0397
P3: EPEC dan teh rosela dosis
250 ml/Kg bb 0,2862
ab ± 0,0531
P4: EPEC dan teh rosela dosis
500 ml/Kg bb 0,2948
ab ± 0,0252
P5: EPEC dan teh rosela dosis
750 ml/Kg bb 0,3361
a ± 0,0469
Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda
(a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05)
Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan P1
berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P0, P2,
P3, P4, dan P5. Perlakuan P0 tidak berbeda nyata
dengan P2, P3, P4 dan berbeda nyata (P<0,05)
dengan perlakuan P5.
Berdasarkan Tabel 4.1, rerata ketebalan
lapisan mukosa usus halus mencit tertinggi
terdapat pada perlakuan P5 yaitu 0,3361 mm.
Selanjutnya diikuti oleh P2 sebesar 0,3053 mm, P4
sebesar 0,2948 mm, P3 sebesar 0,2862 mm, P0
sebesar 0,2721 mm dan terendah terdapat
pada perlakuan P1 yaitu 0,1790 mm.
Penurunan ketebalan lapisan mukosa usus
halus mencit perlakuan P1 terjadi secara
bermakna (P<0,05) dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan P2, P3, P4 tidak
berbeda nyata dengan P0. Namun demikian, P5
berbeda nyata dengan perlakuan P0.
Penurunan ketebalan lapisan mukosa
usus halus pada perlakuan P1 disebabkan oleh
kerusakan lapisan mukosa usus halus akibat
paparan EPEC. Hasil penelitian membuktikan
bahwa paparan EPEC pada hewan coba
menyebabkan ketebalan lapisan mukosa usus
halus mengalami penurunan dengan
menunjukkan terjadinya kerusakan atau
hilangnya mikrovili usus halus [13, 29].
Kerusakan lapisan mukosa usus halus
pada perlakuan P1 diduga disebabkan oleh
proses infeksi yang dilakukan oleh EPEC
dalam usus halus. EPEC dapat menginfeksi
usus halus dan menyebabkan luka pada
lapisan mukosa usus halus. EPEC merupakan
salah satu serotipe E. coli patogen yang dapat
membentuk koloni di permukaan sel epitel
mukosa usus halus dan menyebabkan
kerusakan pada vili usus [22].
Bakteri EPEC yang dipaparkan pada
mencit dapat melekat dengan baik pada
mukosa usus halus mencit. Hal ini dapat
terjadi karena pada mukosa usus halus
mengandung senyawa yang dapat memediasi
perlekatan EPEC. Umumnya perlekatan
bakteri pada sel epitel inang berguna untuk
mencegah tersapunya bakteri oleh mukus
yang membasahi permukaan jaringan. Mukus
ini terbentuk dari mucin yang merupakan
glikoprotein yang menyusun mukus tersebut
[30]. Glikoprotein inilah yang dapat
menyebabkan bakteri melekat baik secara
spesifik maupun secara alami [31].
Perlekatan EPEC pada mukosa usus
halus diduga juga disebabkan oleh enzim
yang dihasilkan oleh EPEC. Enzim ini
berguna untuk memperantarai proses
perlekatan EPEC dengan mukosa usus halus
sehingga EPEC dapat melekat kuat. EPEC
menghasilkan enzim protease ekstraseluler
yang dapat mendegradasi mucin pada mukosa
usus halus sehingga dapat melekat. Perlekatan
EPEC menyebabkan kerusakan pada lapisan
mukosa usus halus [13]. Sumber lain juga
menambahkan bahwa mekanisme patogenitas
EPEC pada hewan coba terjadi melalui jalur
cell signaling [32]. Patogenitas EPEC diawali
00.10.20.30.4
Po P1 P2 P3 P4 P5Ke
teb
alan
La
pis
an M
uko
sa
Usu
s H
alu
s
Perlakuan
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 5
dengan penempelan pada sel epitel usus halus dan
membentuk lesi attaching and effacing (A/E) [33,
34, 35]. Ciri dari patogenitas A/E terletak pada
tumpuannya di permukaan sel inang dan
menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus halus
[13].
Perlekatan EPEC diduga bukan hanya
karena adanya enzim protease ekstraseluler, tetapi
juga dipengaruhi oleh hidrofobilitas dan muatan
ion di permukaan, pengikatan molekul pada
bakteri (ligand) dan interaksi reseptor dengan sel
inang. Interaksi antara bakteri dengan sel inang
dibantu oleh molekul permukaan spesifik. EPEC
mempunyai sifat perlekatan ke sel usus halus yang
diperantarai oleh pilus [30].
Tahap awal penempelan EPEC pada sel
epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus
(BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili usus
halus diganggu dan EPEC mensekresikan
beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan
mensekresikan reseptor Tir (Translocated Intimin
Receptor) ke dalam sel inang [36]. EPEC
kemudian mengikat Tir melalui protein membran
luar, intimin. Transduksi sinyal terjadi dalam sel
inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC),
inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+.
Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin,
menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada
akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal
setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan
formasi pedestal-like structure [36]. Hasil
penelitian lain juga membuktikan bahwa paparan
EPEC mampu menginduksi penyusunan kembali
filament aktin di usus halus [34].
EPEC memiliki locus of enterocyte
effacement (LEE), yang membantu (menginduksi)
perkembangan lesi A/E [37, 38]. LEE terdiri dari
gen eae yang mengkode intimin, protein membran
terluar yang berikatan dengan protein di dalam
membran inang, sehingga dapat membentuk lesi
A/E. Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke
membran inang sehingga terfosforilasi pada satu
atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor
untuk pengikatan intimin. Kemudian sel epitel
kehilangan mikrovili dan membentuk cup and
pedestal pada tempat melekatnya koloni EPEC.
Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu
menginduksi perubahan transport elektrolit ke sel
inang [39, 40].
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian
senyawa antibakteri teh rosela (P3, P4 dan P5)
mampu memperbaiki perubahan histologi lapisan
mukosa usus halus yang berbeda nyata dengan
kelompok kontrol positif (P1). Pemberian teh
rosela mampu memperbaiki kerusakan vili usus
akibat paparan EPEC. Hal ini ditandai dengan
berkurangnya tingkat erosi vili pada usus
halus. Menurunnya tingkat kerusakan mukosa
usus halus menyebabkan meningkatnya
ketebalan lapisan mukosa usus halus.
Rerata ketebalan lapisan mukosa usus
halus mengalami peningkatan sesuai dengan
dosis teh rosela yang diberikan. Rerata
ketebalan lapisan mukosa usus halus pada
perlakuan P3, P4 dan P5 lebih tinggi
dibandingkan P0, walaupun secara statistik
perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata
dengan P0 sedangkan P5 berbeda nyata
dengan P0. Peningkatan rerata ketebalan
lapisan mukosa usus pada perlakuan teh
rosela juga tidak berbeda nyata dengan
perlakuan antibiotik nifuroxazide. Hal ini
disebabkan oleh aktivitas antiinflamasi dari
antibiotik nifuroxazide dan teh rosela.
Peningkatan rerata ketebalan lapisan
mukosa usus pada perlakuan teh rosela
disebabkan oleh semakin tingginya dosis teh
rosela yang diberikan. Peningkatan ketebalan
lapisan mukosa usus halus menunjukkan
bahwa teh rosela mampu memperbaiki
kerusakan lapisan mukosa usus halus akibat
paparan EPEC. Perbaikan ini diperlihatkan
dengan berkurangnya bagian usus halus yang
rusak akibat paparan EPEC. Perbaikan
ketebalan lapisan mukosa usus halus pada
mencit perlakuan teh rosela yang sebelumnya
telah dipaparkan EPEC diduga disebabkan
oleh adanya kandungan tanin, flavonid,
antosianin dan vitamin C dalam teh rosela
yang berperan sebagai antioksidan serta
kemampuan regenerasi sel-sel usus halus
mencit. Hasil penelitian membuktikan bahwa
kandungan tanin yang terkandung dalam teh
rosela diketahui dapat menghambat aktivitas
enzim protease ekstraseluler yang diproduksi
oleh EPEC untuk mendegradasi mucin pada
lapisan mukosa usus halus. Akibatnya, EPEC
tidak dapat melekat pada epitel usus. Tanin
juga diketahui mampu mengendapkan protein
sehingga terjadi penurunan sekresi usus yang
membuat mukosa usus halus lebih resisten
[13]. Selain itu, tanin dapat mengkerutkan
dinding dan membran sel bakteri sehingga
mengganggu permeabilitas sel bakteri dan
menyebabkan kematian karena tidak mampu
melalukan aktivitas hidup. Tanin juga
berinteraksi dengan membran sel, inaktivasi
enzim dan inaktivasi materi genetik dengan
menekan pembentukan dalam sintesis DNA
[19].
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 6
Teh rosela diduga mampu meningkatkan
gerakan peristaltik usus halus. Gerakan peristaltik
merupakan gerakan yang terjadi pada otot-otot
pada saluran pencernaan yang menimbulkan
gerakan semacam gelombang sehingga
menimbulkan efek mendorong isinya (makanan)
yang masuk ke dalam saluran pencernaan ke
bagian bawah [41]. Gerakan peristaltik akibat
pemberian teh rosela memungkinkan sedikitnya
proses penyerapan di usus halus. Hasil penelitian
sebelumnya juga menyebutkan bahwa kelopak
bunga rosela mampu meningkatkan gerakan
peristaltik usus [7]. sehingga dapat digunakan
sebagai obat pencahar perut [15].
Peningkatan ketebalan vili pada lapisan
mukosa usus halus akibat pemberian teh rosela
diduga sebagai kompensasi dari aktivitas teh
rosela yang mampu meningkatkan gerakan
peristaltik usus halus. Gerakan peristaltik usus
menyebabkan pendorongan isi usus meningkat
[41]. Peningkatan gerakan peristaltik usus memicu
penurunan laju penyerapan air dan nutrisi di usus
halus dan menyebabkan diare. Untuk mencegah
hal tersebut terjadi, diduga terjadi peningkatan
multiplikasi sel-sel usus halus sehingga vili-vili
usus halus menjadi lebih panjang.
Kemampuan multiplikasi sel-sel lapisan
mukosa usus halus menunjukkan bahwa sel usus
halus mampu memperbaiki kerusakan (regenerasi)
sel. Regenerasi sel merupakan suatu proses
dimana suatu sel atau jaringan yang mengalami
kerusakan diganti oleh sel yang memiliki fungsi
yang sama. Kemampuan regenerasi ditandai
dengan adanya kemampuan sel untuk membelah
dan proliferasi. Sel usus halus tergolong ke dalam
jenis sel yang labil, yaitu sel-sel yang mengalami
kemampuan regenerasi dan kecepatan
pengembalian yang tinggi. Sel usus halus akan
terus membelah dan proliferasi pada kehidupan
post-natal. Biasanya memiliki waktu hidup yang
pendek dan waktu penembalian yang cepat [28].
KESIMPULAN
Pemberian teh rosela mampu memperbaiki
kerusakan lapisan mukosa usus halus dan
meningkatkan ketebalan lapisan mukosa usus
mencit akibat paparan EPEC.
REFERENSI
Katno, 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan
Efektifitas Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Jawa Tengah: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TO-OT), Badan Penelitian
dan Pengembangan kesehatan
Departemen Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2007. Kebijakan Obat
Tradisional Nasional. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik
Indonseia Nomor :
381/MENKES/SK/III/2007.
Ali, B. H., Naser A. W., and Gerald B.
2005. Phytochemical,
Pharmacological and Toxicological
Aspects of Hibiscus sabdariffa L.:
A Review. Phytotherapy Research.
(19). 369 – 375.
Mahadevan, N., Shivali dan P. Kamboj.
2009. Hibiscus sabdriffa Linn.-
Anoverview. Natural Product
Radiance. Vol 8 (1). Pp 77-83.
Widyanto, P. S. dan Nelystia, A. 2009.
Rosella, Aneka Olahan, Khasiat &
Ramuan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Okasha M. A. M., Abubakar M. S., Bako
I. G. 2008. Study of The Effect of
Aqueous Hibiscus sabdariffa Linn
Seed Extract on Serum Prolactin
Level of Lactasing Female Albino
Rats. European Journal of Scientific
Research vol 22 (44) pp: 575-583.
Mardiah, Sarwani, R.W. Ashadi dan A.
Rahayu 2009. Budidaya dan
Pengolahan Rosela Di Merah
Segudang Manfaat. Jakarta :
Agromedia pustaka.
Lymyati, D. A dan Lisa S. 2008 Aktivitas
Antibakteria Ekstrak Kelopak
Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn)
terhadap Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Jurnal
Obat Bahan Alam. Vol 7 (1). Hal:
47-53.
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 7
Rostinawati, T. 2009. Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus
sabdariffa L.) terhadap Escherichia coli,
Salmonella typhi dan Staphylococcus
aureus dengan Metode Difusi Agar.
Penelitian Mandiri. Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran Jatinangor.
Ali, M.K., Ayesa A., Nripendra N. B., Utpal
K. K., and Shamina A. 2011.
Antinociceptic, Anti-Inflamatory, and
Antidiarrheal Activities of Ethanolic
Calyx Extract of Hibiscus sabdariffa
Linn. (Malvaceae) In Mice. Journal of
Chinese Integrative Medicine. Vol 9. No
6.
Hossain, H., Shubhra K., Dey, Arpona H.,
Sariful I. H., Arif A., dan Saima S.
2012. Evaluation of Antidiarrhoeal
Potential of the Ethanolic Extract of
Three Bangladeshi Medicinal Plants.
International Journal of Pharmaceutical
and Phytopharmacological Research.
1(6): 371-374.
Olaleye, M. T. 2007. Cytotoxicity and
antibacterial activity of Methanolic
extract of Hibiscus sabdariffa. Journal
of Medicinal Plants Research 1: 9-013.
Fitrial, Y. 2009. Analisis Potensi Biji dan
Umbi Teratai (Nymphaea pubescens
wild) untuk Pangan Fungsional
Prebiotik dan Antibakteri Escherichia
coli Enteropatogenik K.1.1. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Del Pozo-Insfran, D., C. H. Brenes and S. T.
Talcott. 2003. Antioxidant and
antimicrobial properties of Hibiscus
sabdariffa L. as affected by the presence
of naturally occurring cofactors.
Chicago: IFT Annual Meeting Chicago.
Zuhrotun. A., Rini H., dan Sri A. F. K. 2009.
Pemanfaatan Ekstrak Air Kelopak
Bunga Rosella (Hibiscus sabdriffa L.)
Asal Kabupaten Bandung Barat Sebagai
Antiinfeksi Terhadap Beberapa Genus
Bakteri Staphylococcus. Penelitian
Peneliti Muda (LITMUD) UNPAD.
Fakultas Farmasi Universitas
Padjadjaran.
Suwandi. T. 2012. Pengembangan
Potensi Antibakteri Kelopak Bunga
Hibiscus sabdariffa L (Rosela)
Terhadap Streptococcus sanguinis
Penginduksi Gingivitis Menuju
Obat Herbal Terstandar. Disertasi.
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia.
Dewanti, S. dan M. T. Wahyudi, 2011. Uji
Aktivitas Antimikroba Infusum Daun
Salam (Folia syzygium polyanthum
Wight) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Escherichia coli Secara In-Vitro.
Cowan. M.M. 1999. Plant Products as
Antimicrobial Agents. Clinical
Microbiology Review, 12 (4).
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella
typhimurium Terhadap Ekstrak
Daun Psidium guajava L.
Bioscientiae. Volume 1 (1).
Halaman 31-38.
Depkes R. I., 2002. Rencana Strategi
Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, 2001-2004, Depkes RI,
Jakarta.
Arief, I.I., B. Sri L. J., M. Astawan dan
A. B. Witarto. 2010. Efektivitas
Probiotik Lactobacillus plantarum
2C12 dan Lactobacillus acidophilus
2B4 Sebagai Pencegah Diare pada
Tikus Percobaan. Media
Peternakan, Vol. 33, No. 3.
Astawan. M., T. Wresdiyati, I. I. Arief,
dan E. Suhesti. 2011. Gambaran
Hematologi Tikus Putih (Rattus
norvegicus) yang Diinfeksi
Escherichia coli Enteropatogenik
dan Diberikan Probiotik. Media
Peternakan, hlm. 7-13.
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 8
Junaidi, 2012. Analisis Potensi Bakterisidal
Ekstrak Kelopak Bunga Rosela
(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap
Bakteri Escherechia coli ESBL dan
MRSA. Tesis. Program Studi Kesehatan
Masyarakat Veteriner Program Pasca
sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Kartini, H. N., 2012. Pengaruh Lama
Penyeduhan dan Lama Penyimpanan
terhadap Aktivitas Antioksidan Teh
Rosela (Hibiscus sabdariffa).
Repository.upi.edu. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Permenkes RI. 2011. Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Gridley, W. F., 1960. Manual of Special
Staining Technic. 2nd
Ed. London: Mc.
Graw – Hill Book Company Inc.
Gomez, K. A dan Gomez, A. A. 1995.
Prosedur Statistik untuk Penelitian.
Jakarta: UI Press.
Undewood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan
Sistematik. Vol. 1. Edisi 2. Terjemahan
dari General and Systematic Pathology
oleh Sarjadi. Jakarta: EGC.
Setiorini, Y. 2012. Deteksi Secara
Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA)
Pada Usus Halus Tikus Yang Diberi
Bakteri Asam Laktat (BAL) Dan
Enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC). Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Brooks G.F., Butel J. S., Morse S. A. 2007.
Mikrobiologi Kedokteran Jawetz Melick
& Adenberg. Edisi ke-22. Jakarta: EGC.
Bourlioux, P., B. Kolletzko, F. Guarner and V.
Braesco. 2003. The Intestine and Its
Microflora are Partners For The
Protection Of The Host : Report On The
Danone Symposium “The Inteligent
Intestine”. Am. J.Clin. Nutr. 78 :
675-83.
Law, R. J., Lihi G. A., Llan R dan B.
Brett F. 2013. Infections
Escherichia coli In Vitro and In
Vivo Model Systems for Studying
Enteropathogenic . Cold Spring
Harb Perspect Med.
Donnenberg, M. S dan James B. K. 1992.
Enteropathogenic Escherichia coli.
Infect. Immun. 60(10):3953 - 3961.
Savkovic, S. D., Jeenilee V., Jerold R. T.,
Kristina A. M. dan Geil H. 2005.
Infection Escherichia coli Mouse
Model of Enteropathogenic. Infect.
Immun. Vol. 73(2):1161 -1170.
Spehlmann, M. E., Sara M. Dann, Petr
Hruz, Elaine, Hanson, Declan F.
McCole dan Lars E. 2009. CXCR2-
Dependent Mucosal Neutrophil
Influx Protects against Colitis-
Associated Diarrhea Caused by an
Attaching/Effacing Lesion-Forming
Bacterial Pathogen. The Journal of
Immunology. Vol. 183:3332-3343.
Sharma, R., Samuel T., Farol L. T.,
Rajani P. K., V. K. Viswanathan
dan Gail H. 2006. Balance of
bacterial pro- and anti-inflammatory
mediators dictates net effect of
enteropathogenic on intestinal
epithelial cells. Am J Physiol
Gastrointest Liver Physiol.
290:G685-G694.
Clarke, S.C., R. D. Haigh, P. P. E.
Freestone dan P. H. Williams. 2003.
Virulence of Enteropathogenic
Escherichia coli, a Global
Pathogen. Clin. Microbiol. Vol.
16(3):365 – 378.
Karam M. R. A., Bouzari S., Oloomi M.,
Aslani M. M., dan Jafari A. 2010.
Phenotypic and Genotypic
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 9
Characterization of Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) strains in
Tehran, Iran. Iranian Journal of
Microbiology. Vol. 2(1). Halaman: 3-7.
Blanco, M., Schumacher S., Tasara T.,
Zweifel C., Blanco. J. E., dan Dahbi G.
2005. Serotypes, intimin variants and
other virulence factors of eae positive
Escherichia coli strains isolated from
healthy cattle in Switzerland.
Identification of a new intimin variant
gene (eae- η2). BMC Microbiol. Vol.
(5): 1-11.
Blanco, M., Blanco J. E., Dahbi G., Mora A.,
Alonso M. P., Varela G. 2006. Typing
of intimin (eae) genes from
enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC) isolated from children with
diarrhea in Montevideo Uruguay:
identification of two novel intimin
variants (µB and ξR/ß2B). J Med
Microbiol. Vol. (55): 1165–1174.
Guyton, A. C dan Hall, J. E. 1997. Fisiologi
Kedokteran, edisi 9. Terjemahan dan
Text Book Of Medical Physiology, oleh
I. Setiawan, L. M. A. K. A. Tengadi, A.
Santoso. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.