JURNAL 2

9
Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 1 ANALISIS POTENSI ANTIBAKTERI TEH ROSELLA TERHADAP HISTOLOGI USUS HALUS MENCIT AKIBAT PAPARAN Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) Oleh : Ervina Dewi 1 , Widya Sari 2 dan Khairil 3 ( 1 Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jabal Ghafur, 2 Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, 3 Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala Darussalam) ABSTRACT This research aimed to know the ability of rosela tea to repair of small intestine destructed due to EPEC intervention. A completely randomized-block design was used 6 treatments and 4 repetition of each treatment. The treatments were aquadest (P 0 ), EPEC and aquadest (P1), EPEC and nifuroxazide antibiotic (P 2 ), EPEC and 250 ml/kg bw rosela tea (P 3 ), 500 ml/kg bw rosela tea (P 4 ), and 750 ml/kg bw rosela tea (P 5 ). Paraffin method was apllied of microscopic structure observation. The parameters observed was alteration of small intestine mucosal due to EPEC intervention. A variance analysis followed by Duncan Multiple Range Test was tested to the data alteration of small intestine due to EPEC intervention. The result showed that rosela tea could significant on increased of length intestine mucosal. In conlusion, the rosela tea has ability increased of length intestine mucosal due to EPEC. Key word : EPEC, Rosela Tea, Intestine Mucosal I. PENDAHULUAN Penggunaan tanaman berkhasiat obat semakin luas di kalangan masyarakat karena merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Sampai sejauh ini kandungan kimia, khasiat/kegunaan maupun efek sampingnya belum banyak diteliti secara ilmiah (1). Tanaman berkhasiat obat merupakan obat tradisional yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya (2). Tanaman berkhasiat obat yang sekarang banyak dikonsumsi di masyarakat adalah bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa tanaman rosela memiliki efek cardiprotective, anti oksidatif, hypocolesterolemi dan hepatoprotective, menginduksi apoptosis pada sel kanker [3, 4]. anti koagulasi, anti hipertensi [5], menstimulasi gerak peristaltik usus dan fungsi ginjal [6, 7]. dan antibakteri [8, 9] dan antidiare dan antiimflamasi [10,11]. Potensi sebagai obat tradisional tanaman rosela disebabkan oleh adanya kandungan bahan aktif. Tanaman rosela mengandung asam-asam organik, polisakarida, glikosida jantung, flavonoid, saponin, dan alkaloid yang berkhasiat sebagai obat [3, 4, 12]. Selain itu juga mengandung antosianin dan vitamin C sebagai antioksidan dan tanin yang berpotensi sebagai antidiare [13]. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak rosela telah terbukti efektif dalam menghambat pertumbuhan berbagai bakteri patogen pada manusia dan hewan [3]. Hasil penelitian Rostinawati (2009) [9] menunjukkan bahwa ekstrak etanol kelopak rosela mengandung senyawa yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri secara in vitro. Aktivitas antibakteri dapat dilihat pada konsentrasi 1 g/ml terhadap bakteri Escherichia col, Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus dengan diameter hambatan masing-masing sebesar 27,8 mm, 30,8 mm, dan 27,8 mm. Selain itu juga menghambat pertumbuhan Streptococcus pyogenes [14], Staphylococcus sp. [15], dan Streptococcus sanguinis [16]. Hasil penelitian membuktikan bahwa adanya aktivitas antibakteri dalam tanaman menunjukkan bahwa tanaman tersebut memiliki aktivitas antidiare [17]. Aktivitas antibakteri kelopak rosela disebabkan oleh adanya kandungan flavonoid dan tanin [13]. Flavonoid membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan protein terlarut serta membentuk kompleks dengan struktur tertentu pada dinding sel bakteri seperti adhesion, polipeptida dan enzim [18]. Secara in vitro, tanin menunjukkan aktivitas antibakteri dengan cara mengkerutkan dinding dan membran sel bakteri, inaktivasi enzim dan inaktivasi materi genetik dengan menekan pembentukan dalam sintesis DNA [19]. Secara in vivo, menyatakan bahwa tanin memiliki aktivitas antibakteri menghambat enzim yang diproduksi oleh bakteri untuk mendegradasi mucin. Dalam usus mampu mengendapkan protein sehingga terjadi

description

JURNAL 2

Transcript of JURNAL 2

Page 1: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 1

ANALISIS POTENSI ANTIBAKTERI TEH ROSELLA TERHADAP HISTOLOGI USUS

HALUS MENCIT AKIBAT PAPARAN Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)

Oleh : Ervina Dewi1, Widya Sari

2 dan Khairil

3

(1Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jabal Ghafur,

2Dosen Jurusan

Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala,3Dosen

Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Syiah Kuala Darussalam)

ABSTRACT

This research aimed to know the ability of rosela tea to repair of small intestine destructed due

to EPEC intervention. A completely randomized-block design was used 6 treatments and 4 repetition

of each treatment. The treatments were aquadest (P0), EPEC and aquadest (P1), EPEC and

nifuroxazide antibiotic (P2), EPEC and 250 ml/kg bw rosela tea (P3), 500 ml/kg bw rosela tea (P4), and

750 ml/kg bw rosela tea (P5). Paraffin method was apllied of microscopic structure observation. The

parameters observed was alteration of small intestine mucosal due to EPEC intervention. A variance

analysis followed by Duncan Multiple Range Test was tested to the data alteration of small intestine

due to EPEC intervention. The result showed that rosela tea could significant on increased of length

intestine mucosal. In conlusion, the rosela tea has ability increased of length intestine mucosal due to

EPEC.

Key word : EPEC, Rosela Tea, Intestine Mucosal

I. PENDAHULUAN

Penggunaan tanaman berkhasiat obat

semakin luas di kalangan masyarakat karena

merupakan bagian dari kebudayaan bangsa

Indonesia. Sampai sejauh ini kandungan kimia,

khasiat/kegunaan maupun efek sampingnya belum

banyak diteliti secara ilmiah (1). Tanaman

berkhasiat obat merupakan obat tradisional yang

perlu dioptimalkan pemanfaatannya (2). Tanaman

berkhasiat obat yang sekarang banyak dikonsumsi

di masyarakat adalah bunga rosela (Hibiscus

sabdariffa L.).

Berbagai penelitian telah membuktikan

bahwa tanaman rosela memiliki efek

cardiprotective, anti oksidatif, hypocolesterolemi

dan hepatoprotective, menginduksi apoptosis

pada sel kanker [3, 4]. anti koagulasi, anti

hipertensi [5], menstimulasi gerak peristaltik usus

dan fungsi ginjal [6, 7]. dan antibakteri [8, 9] dan

antidiare dan antiimflamasi [10,11].

Potensi sebagai obat tradisional tanaman

rosela disebabkan oleh adanya kandungan bahan

aktif. Tanaman rosela mengandung asam-asam

organik, polisakarida, glikosida jantung, flavonoid,

saponin, dan alkaloid yang berkhasiat sebagai obat

[3, 4, 12]. Selain itu juga mengandung antosianin

dan vitamin C sebagai antioksidan dan tanin yang

berpotensi sebagai antidiare [13].

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak

rosela telah terbukti efektif dalam menghambat

pertumbuhan berbagai bakteri patogen pada

manusia dan hewan [3]. Hasil penelitian

Rostinawati (2009) [9] menunjukkan bahwa

ekstrak etanol kelopak rosela mengandung

senyawa yang memiliki aktivitas sebagai

antibakteri secara in vitro. Aktivitas

antibakteri dapat dilihat pada konsentrasi 1

g/ml terhadap bakteri Escherichia col,

Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus

dengan diameter hambatan masing-masing

sebesar 27,8 mm, 30,8 mm, dan 27,8 mm.

Selain itu juga menghambat pertumbuhan

Streptococcus pyogenes [14], Staphylococcus

sp. [15], dan Streptococcus sanguinis [16].

Hasil penelitian membuktikan bahwa

adanya aktivitas antibakteri dalam tanaman

menunjukkan bahwa tanaman tersebut

memiliki aktivitas antidiare [17]. Aktivitas

antibakteri kelopak rosela disebabkan oleh

adanya kandungan flavonoid dan tanin [13].

Flavonoid membentuk kompleks dengan

protein ekstraseluler dan protein terlarut serta

membentuk kompleks dengan struktur

tertentu pada dinding sel bakteri seperti

adhesion, polipeptida dan enzim [18]. Secara

in vitro, tanin menunjukkan aktivitas

antibakteri dengan cara mengkerutkan

dinding dan membran sel bakteri, inaktivasi

enzim dan inaktivasi materi genetik dengan

menekan pembentukan dalam sintesis DNA

[19]. Secara in vivo, menyatakan bahwa tanin

memiliki aktivitas antibakteri menghambat

enzim yang diproduksi oleh bakteri untuk

mendegradasi mucin. Dalam usus mampu

mengendapkan protein sehingga terjadi

Page 2: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 2

penurunan sekresi yang membuat mukosa usus

lebih resisten terhadap invasi bakteri [13].

Diare merupakan penyakit yang ditandai

dengan bertambahnya frekuensi buang air besar

disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja

dari penderita [20]. Diare dapat terjadi akibat

adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Escherichia coli. Salah satu serotipe bakteri E. coli

yang dapat menyebabkan infeksi adalah

Enteropathogenic E. coli (EPEC) [21]. Dalam

saluran pencernaan, EPEC melekat pada

permukaan mukosa usus dan menyebabkan

terjadinya perubahan struktur sel epitel.

Selanjutnya, EPEC melakukan invasi menembus

sel mukosa sehingga menyebabkan terjadinya

iritasi dan diare [22].

II. METODOLOGI

A. Bahan

Bahan yang digunakan adalah mencit (Mus

musculus) berumur 2 bulan dengan berat badan

20-30 g, kelopak bunga rosela isolat Aceh, isolat

bakteri EPEC koleksi Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan No.

ATCC 25922, media Nutrient Broth, Nutrient

Agar, larutan Mc. Farland standar No. 2, akuades,

xilol, entelan, albumin mayer, paraffin 56-58%,

bouin, antibiotik Nifuroxazide, alkohol seri,

pewarna HE, NaCl fisiologis, kaca benda, kaca

penutup dan pakan.

Metode Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan adalah

Rancangan Acak lengkap (RAL) yang terdiri atas

6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri atas

Po: Kontrol negatif (Hanya diberikan akuades),

P1: Kontrol positif (pemberian EPEC dan

akuades), P2: pemberian EPEC dan antibiotik

nifuroxazide dosis 500 mg, P3: pemberian EPEC

dan teh rosela dosis 250 ml/Kg bb, P4: pemberian

EPEC dan teh rosela dosis 500 ml/Kg bb, dan P5:

pemberian EPEC dan teh rosela dosis 750

ml/Kgbb.

2. Prosedur Penelitian

a. Penyiapan Hewan Coba

Mencit perlakuan diaklimatisasi selama tujuh

hari di kandang percobaan. Mencit perlakuan

diberi pakan dan minuman secara ad libitum.

Pemeliharaan dan pemberian perlakuan dilakukan

dalam keadaan aseptis.

b. Pembuatan Teh Rosela

Kelopak bunga rosela segar dipisahkan

dari bagian buahnya, kemudian dicuci dengan

air mengalir, ditiriskan dan dikeringkan [23].

Selanjutnya ekstraksi rosela dengan

menyeduh 2 g bubuk rosela [5]. ke dalam 250

ml air selama 20 menit pada suhu 60oC [24].

c. Inokulasi EPEC dan Pemberian

Antibakteri

Inokulasi EPEC dan pemberian

antibakteri pada hewan coba dilakukan secara

intubasi oesophagus [13, 21, 22]. Kultur

EPEC disegarkan terlebih dahulu pada media

Nutrient Broth (NB) selama 24 jam dan

diinkubasi pada suhu 37°C. Selanjutnya 1 ose

kultur tersebut diinokulasikan ke media

pertumbuhan Nutrient Agar dan diinkubasi

selama 24 jam pada suhu 37oC, sebagai kultur

kerja.

EPEC yang dicekok ke mencit disiapkan

dengan cara mengencerkan kultur kerja

dengan larutan NaCl fisiologis 0.9 % [23]

hingga konsentrasi suspensi EPEC setara

dengan larutan Mc. Farland Standar No. 2

yaitu setara dengan 6,0 x 108 CFU/ml. Jumlah

inokulasi EPEC pada hewan coba mengacu

pada Arief et al. (2010) [21]., yaitu sebanyak

1 ml x 108 CFU/ml per ekor tikus per hari

selama 7 hari. Pemberian EPEC selama tujuh

hari berturut-turut mampu menyebabkan tikus

diare tanpa menyebabkan kematian [13,21].

Dosis antibiotik nifuroxazide yang

diberikan mengacu pada penggunaan dosis

standar antibiotik nifuroxazide pada manusia

dewasa yaitu 500 mg dan teh rosela mengacu

pada Ali et al. (2011) [10] dan Hossain et al.

(2012) [11] yaitu dosis 250 ml/kg bb, 500

ml/kg bb dan 750 ml/kg bb. Lama pemberian

antibiotik nifuroxazide dan teh rosela

mengikuti lama pemberian antibiotik empiris

yaitu selama 72 jam yang diberikan setiap 8

jam [25]. Pemberian senyawa antibakteri

dimulai pada hari ke 1 (satu) setelah

pencekokan EPEC dihentikan [21].

d. Pengambilan Organ dan Pembuatan

Sediaan Histologis

Hewan coba diterminasi setelah 5 jam

pemberian antibakteri dihentikan. Hewan

diterminasi secara discolasio servicalis [21].

Selanjutnya dilakukan bedah bangkai, organ

usus halus segera diambil dan selanjutnya

dibuat sediaan histologis dengan metode

parafin. Spesimen dimasukkan ke dalam

Page 3: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 3

larutan fiksatif Bouin, kemudian dehidrasi dengan

alkohol seri 70 % sampai alkohol absolut, kliring

dalam xilol, infiltrasi dan embedding dalam blok

parafin 56 - 58 oC. Sediaan disayat dengan

ketebalan 5 mikron menggunakan mikrotom putar.

Setiap ulangan dibuat 4 sayatan dengan interval 10

sayatan dan diletakkan di atas kaca benda yang

telah diberi larutan perekat. Untuk mengamati

mukosa usus halus, maka sediaan usus halus

diwarnai dengan metode pewarnaan Hematoxylin

Eosin (HE) [26].

Pengamatan ketebalan lapisan mukosa usus

halus dilakukan dengan mikroskop cahaya pada

pembesaran 10 x 10. Setiap sayatan diamati

sebanyak 3 lapangan pandang sehingga setiap

ulangan terdapat 12 lapangan pandang.

Pengukuran ketebalan mukosa usus dilakukan

dengan menggunakan eyepiece micrometer.

e. Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati adalah perubahan

ketebalan lapisan mukosa usus halus feses mencit

yang dipaparkan EPEC.

f. Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan

analisis varian. Selanjutnya dilanjutkan dengan uji

jarak berganda Duncan [27].

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap perubahan histologi

lapisan mukosa usus halus mencit pada berbagai

perlakuan menunjukkan bahwa paparan EPEC

selama tujuh (7) hari berturut-turut mampu

menyebabkan kerusakan lapisan mukosa usus

halus. Selanjutnya pemberian senyawa antibakteri

(antibiotik nifuroxazide dan teh rosela) mampu

memperbaiki kerusakan lapisan mukosa usus halus

akibat paparan EPEC. Pengaruh antibiotik

nifuroxazide dan teh rosela terhadap perubahan

histologi usus halus akibat paparan EPEC dapat

dilihat pada Gambar 1.

a b

c d

Gambar 1. Ketebalan Lapisan Mukosa Usus

Halus Akibat Paparan EPEC dan Antibakteri

(ditunjuk oleh tanda panah). a kontrol negatif

(Po), b. kontrol positif (P1) c. EPEC dan

antibiotik nifuroxazide (P2), d. EPEC dan teh

rosela dosis 750 ml/kg bb (P5).

Gambar 1.b menunjukkan bahwa

paparan EPEC menyebabkan kerusakan

mukosa usus halus yang sangat parah.

Kondisi ini dapat diamati pada perlakuan P1

yang hanya dipaparkan EPEC. Hal ini

ditandai dengan rusaknya hampir semua vili

usus halus. Kerusakan yang terlihat berupa

terjadinya erosi vili dari lapisan mukosa usus

halus. Erosi vili merupakan kehilangan

sebagian epitel pada lapisan mukosa usus

halus [28]. Erosi vili mengakibatkan

ketebalan lapisan mukosa usus halus menjadi

lebih rendah (P1) [29] dibandingkan dengan

perlakuan lain antibakteri walaupun

sebelumnya telah dipaparkan EPEC.

Selanjutnya, pemberian antibakteri mampu

memperbaiki kerusakan lapisan mukosa usus

halus akibat paparan EPEC. Hal ini ditandai

dengan sedikitnya bagian usus yang

mengalami erosi vili dan terjadi peningkatan

ketebalan lapisan mukosa usus halus.

Rerata ketebalan lapisan mukosa usus

halus mencit berbagai perlakuan dapat dilihat

pada Gambar 2. Kerusakan lapisan mukosa

usus halus akibat paparan EPEC selama 7 hari

menyebabkan rendahnya lapisan mukosa usus

halus (P1) dibandingkan dengan perlakuan

lainnya. Selanjutnya pemberian antibakteri

(P2, P3, P4 dan P5) dapat meningkatkan

kembali ketebalan lapisan mukosa usus halus

yang sebelumnya telah rendah akibat paparan

EPEC.

Page 4: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 4

Gambar 2. Rerata Ketebalan Lapisan Mukosa

Usus Halus

Peningkatan ketebalan lapisan mukosa usus

halus akibat pemberian teh rosela menunjukkan

adanya aktivitas antiinflamasi dari teh rosela.

Peningkatan ketebalan lapisan mukosa usus halus

terjadi seiring dengan peningkatan dosis teh rosela

yang diberikan.

Analisis varian terhadap perubahan

ketebalan lapisan mukosa usus halus mencit akibat

paparan EPEC pada berbagai perlakuan antibakteri

menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang

berbeda nyata. Hasil uji jarak berganda Duncan

terhadap rerata perubahan ketebalan lapisan

mukosa usus halus mencit pada berbagai

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Ketebalan Lapisan Mukosa Usus

Halus Mencit (mm)

Perlakuan X ± SD

Po: Kontrol negatif (akuades) 0,2721b ± 0,0296

P1: Kontrol positif (EPEC) 0,1790c ± 0,0165

P2: EPEC dan antibiotik

nifuroxazide dosis 500 mg 0,3053

ab ± 0,0397

P3: EPEC dan teh rosela dosis

250 ml/Kg bb 0,2862

ab ± 0,0531

P4: EPEC dan teh rosela dosis

500 ml/Kg bb 0,2948

ab ± 0,0252

P5: EPEC dan teh rosela dosis

750 ml/Kg bb 0,3361

a ± 0,0469

Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda

(a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata

(P<0,05)

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan P1

berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan P0, P2,

P3, P4, dan P5. Perlakuan P0 tidak berbeda nyata

dengan P2, P3, P4 dan berbeda nyata (P<0,05)

dengan perlakuan P5.

Berdasarkan Tabel 4.1, rerata ketebalan

lapisan mukosa usus halus mencit tertinggi

terdapat pada perlakuan P5 yaitu 0,3361 mm.

Selanjutnya diikuti oleh P2 sebesar 0,3053 mm, P4

sebesar 0,2948 mm, P3 sebesar 0,2862 mm, P0

sebesar 0,2721 mm dan terendah terdapat

pada perlakuan P1 yaitu 0,1790 mm.

Penurunan ketebalan lapisan mukosa usus

halus mencit perlakuan P1 terjadi secara

bermakna (P<0,05) dibandingkan dengan

perlakuan lainnya. Perlakuan P2, P3, P4 tidak

berbeda nyata dengan P0. Namun demikian, P5

berbeda nyata dengan perlakuan P0.

Penurunan ketebalan lapisan mukosa

usus halus pada perlakuan P1 disebabkan oleh

kerusakan lapisan mukosa usus halus akibat

paparan EPEC. Hasil penelitian membuktikan

bahwa paparan EPEC pada hewan coba

menyebabkan ketebalan lapisan mukosa usus

halus mengalami penurunan dengan

menunjukkan terjadinya kerusakan atau

hilangnya mikrovili usus halus [13, 29].

Kerusakan lapisan mukosa usus halus

pada perlakuan P1 diduga disebabkan oleh

proses infeksi yang dilakukan oleh EPEC

dalam usus halus. EPEC dapat menginfeksi

usus halus dan menyebabkan luka pada

lapisan mukosa usus halus. EPEC merupakan

salah satu serotipe E. coli patogen yang dapat

membentuk koloni di permukaan sel epitel

mukosa usus halus dan menyebabkan

kerusakan pada vili usus [22].

Bakteri EPEC yang dipaparkan pada

mencit dapat melekat dengan baik pada

mukosa usus halus mencit. Hal ini dapat

terjadi karena pada mukosa usus halus

mengandung senyawa yang dapat memediasi

perlekatan EPEC. Umumnya perlekatan

bakteri pada sel epitel inang berguna untuk

mencegah tersapunya bakteri oleh mukus

yang membasahi permukaan jaringan. Mukus

ini terbentuk dari mucin yang merupakan

glikoprotein yang menyusun mukus tersebut

[30]. Glikoprotein inilah yang dapat

menyebabkan bakteri melekat baik secara

spesifik maupun secara alami [31].

Perlekatan EPEC pada mukosa usus

halus diduga juga disebabkan oleh enzim

yang dihasilkan oleh EPEC. Enzim ini

berguna untuk memperantarai proses

perlekatan EPEC dengan mukosa usus halus

sehingga EPEC dapat melekat kuat. EPEC

menghasilkan enzim protease ekstraseluler

yang dapat mendegradasi mucin pada mukosa

usus halus sehingga dapat melekat. Perlekatan

EPEC menyebabkan kerusakan pada lapisan

mukosa usus halus [13]. Sumber lain juga

menambahkan bahwa mekanisme patogenitas

EPEC pada hewan coba terjadi melalui jalur

cell signaling [32]. Patogenitas EPEC diawali

00.10.20.30.4

Po P1 P2 P3 P4 P5Ke

teb

alan

La

pis

an M

uko

sa

Usu

s H

alu

s

Perlakuan

Page 5: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 5

dengan penempelan pada sel epitel usus halus dan

membentuk lesi attaching and effacing (A/E) [33,

34, 35]. Ciri dari patogenitas A/E terletak pada

tumpuannya di permukaan sel inang dan

menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus halus

[13].

Perlekatan EPEC diduga bukan hanya

karena adanya enzim protease ekstraseluler, tetapi

juga dipengaruhi oleh hidrofobilitas dan muatan

ion di permukaan, pengikatan molekul pada

bakteri (ligand) dan interaksi reseptor dengan sel

inang. Interaksi antara bakteri dengan sel inang

dibantu oleh molekul permukaan spesifik. EPEC

mempunyai sifat perlekatan ke sel usus halus yang

diperantarai oleh pilus [30].

Tahap awal penempelan EPEC pada sel

epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus

(BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili usus

halus diganggu dan EPEC mensekresikan

beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan

mensekresikan reseptor Tir (Translocated Intimin

Receptor) ke dalam sel inang [36]. EPEC

kemudian mengikat Tir melalui protein membran

luar, intimin. Transduksi sinyal terjadi dalam sel

inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC),

inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+.

Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin,

menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada

akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal

setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan

formasi pedestal-like structure [36]. Hasil

penelitian lain juga membuktikan bahwa paparan

EPEC mampu menginduksi penyusunan kembali

filament aktin di usus halus [34].

EPEC memiliki locus of enterocyte

effacement (LEE), yang membantu (menginduksi)

perkembangan lesi A/E [37, 38]. LEE terdiri dari

gen eae yang mengkode intimin, protein membran

terluar yang berikatan dengan protein di dalam

membran inang, sehingga dapat membentuk lesi

A/E. Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke

membran inang sehingga terfosforilasi pada satu

atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor

untuk pengikatan intimin. Kemudian sel epitel

kehilangan mikrovili dan membentuk cup and

pedestal pada tempat melekatnya koloni EPEC.

Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu

menginduksi perubahan transport elektrolit ke sel

inang [39, 40].

Berdasarkan hasil penelitian, pemberian

senyawa antibakteri teh rosela (P3, P4 dan P5)

mampu memperbaiki perubahan histologi lapisan

mukosa usus halus yang berbeda nyata dengan

kelompok kontrol positif (P1). Pemberian teh

rosela mampu memperbaiki kerusakan vili usus

akibat paparan EPEC. Hal ini ditandai dengan

berkurangnya tingkat erosi vili pada usus

halus. Menurunnya tingkat kerusakan mukosa

usus halus menyebabkan meningkatnya

ketebalan lapisan mukosa usus halus.

Rerata ketebalan lapisan mukosa usus

halus mengalami peningkatan sesuai dengan

dosis teh rosela yang diberikan. Rerata

ketebalan lapisan mukosa usus halus pada

perlakuan P3, P4 dan P5 lebih tinggi

dibandingkan P0, walaupun secara statistik

perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata

dengan P0 sedangkan P5 berbeda nyata

dengan P0. Peningkatan rerata ketebalan

lapisan mukosa usus pada perlakuan teh

rosela juga tidak berbeda nyata dengan

perlakuan antibiotik nifuroxazide. Hal ini

disebabkan oleh aktivitas antiinflamasi dari

antibiotik nifuroxazide dan teh rosela.

Peningkatan rerata ketebalan lapisan

mukosa usus pada perlakuan teh rosela

disebabkan oleh semakin tingginya dosis teh

rosela yang diberikan. Peningkatan ketebalan

lapisan mukosa usus halus menunjukkan

bahwa teh rosela mampu memperbaiki

kerusakan lapisan mukosa usus halus akibat

paparan EPEC. Perbaikan ini diperlihatkan

dengan berkurangnya bagian usus halus yang

rusak akibat paparan EPEC. Perbaikan

ketebalan lapisan mukosa usus halus pada

mencit perlakuan teh rosela yang sebelumnya

telah dipaparkan EPEC diduga disebabkan

oleh adanya kandungan tanin, flavonid,

antosianin dan vitamin C dalam teh rosela

yang berperan sebagai antioksidan serta

kemampuan regenerasi sel-sel usus halus

mencit. Hasil penelitian membuktikan bahwa

kandungan tanin yang terkandung dalam teh

rosela diketahui dapat menghambat aktivitas

enzim protease ekstraseluler yang diproduksi

oleh EPEC untuk mendegradasi mucin pada

lapisan mukosa usus halus. Akibatnya, EPEC

tidak dapat melekat pada epitel usus. Tanin

juga diketahui mampu mengendapkan protein

sehingga terjadi penurunan sekresi usus yang

membuat mukosa usus halus lebih resisten

[13]. Selain itu, tanin dapat mengkerutkan

dinding dan membran sel bakteri sehingga

mengganggu permeabilitas sel bakteri dan

menyebabkan kematian karena tidak mampu

melalukan aktivitas hidup. Tanin juga

berinteraksi dengan membran sel, inaktivasi

enzim dan inaktivasi materi genetik dengan

menekan pembentukan dalam sintesis DNA

[19].

Page 6: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 6

Teh rosela diduga mampu meningkatkan

gerakan peristaltik usus halus. Gerakan peristaltik

merupakan gerakan yang terjadi pada otot-otot

pada saluran pencernaan yang menimbulkan

gerakan semacam gelombang sehingga

menimbulkan efek mendorong isinya (makanan)

yang masuk ke dalam saluran pencernaan ke

bagian bawah [41]. Gerakan peristaltik akibat

pemberian teh rosela memungkinkan sedikitnya

proses penyerapan di usus halus. Hasil penelitian

sebelumnya juga menyebutkan bahwa kelopak

bunga rosela mampu meningkatkan gerakan

peristaltik usus [7]. sehingga dapat digunakan

sebagai obat pencahar perut [15].

Peningkatan ketebalan vili pada lapisan

mukosa usus halus akibat pemberian teh rosela

diduga sebagai kompensasi dari aktivitas teh

rosela yang mampu meningkatkan gerakan

peristaltik usus halus. Gerakan peristaltik usus

menyebabkan pendorongan isi usus meningkat

[41]. Peningkatan gerakan peristaltik usus memicu

penurunan laju penyerapan air dan nutrisi di usus

halus dan menyebabkan diare. Untuk mencegah

hal tersebut terjadi, diduga terjadi peningkatan

multiplikasi sel-sel usus halus sehingga vili-vili

usus halus menjadi lebih panjang.

Kemampuan multiplikasi sel-sel lapisan

mukosa usus halus menunjukkan bahwa sel usus

halus mampu memperbaiki kerusakan (regenerasi)

sel. Regenerasi sel merupakan suatu proses

dimana suatu sel atau jaringan yang mengalami

kerusakan diganti oleh sel yang memiliki fungsi

yang sama. Kemampuan regenerasi ditandai

dengan adanya kemampuan sel untuk membelah

dan proliferasi. Sel usus halus tergolong ke dalam

jenis sel yang labil, yaitu sel-sel yang mengalami

kemampuan regenerasi dan kecepatan

pengembalian yang tinggi. Sel usus halus akan

terus membelah dan proliferasi pada kehidupan

post-natal. Biasanya memiliki waktu hidup yang

pendek dan waktu penembalian yang cepat [28].

KESIMPULAN

Pemberian teh rosela mampu memperbaiki

kerusakan lapisan mukosa usus halus dan

meningkatkan ketebalan lapisan mukosa usus

mencit akibat paparan EPEC.

REFERENSI

Katno, 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan

Efektifitas Tanaman Obat dan Obat

Tradisional. Jawa Tengah: Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Obat dan Obat Tradisional

(B2P2TO-OT), Badan Penelitian

dan Pengembangan kesehatan

Departemen Kesehatan RI.

Kemenkes RI. 2007. Kebijakan Obat

Tradisional Nasional. Keputusan

Menteri Kesehatan Republik

Indonseia Nomor :

381/MENKES/SK/III/2007.

Ali, B. H., Naser A. W., and Gerald B.

2005. Phytochemical,

Pharmacological and Toxicological

Aspects of Hibiscus sabdariffa L.:

A Review. Phytotherapy Research.

(19). 369 – 375.

Mahadevan, N., Shivali dan P. Kamboj.

2009. Hibiscus sabdriffa Linn.-

Anoverview. Natural Product

Radiance. Vol 8 (1). Pp 77-83.

Widyanto, P. S. dan Nelystia, A. 2009.

Rosella, Aneka Olahan, Khasiat &

Ramuan. Jakarta : Penebar

Swadaya.

Okasha M. A. M., Abubakar M. S., Bako

I. G. 2008. Study of The Effect of

Aqueous Hibiscus sabdariffa Linn

Seed Extract on Serum Prolactin

Level of Lactasing Female Albino

Rats. European Journal of Scientific

Research vol 22 (44) pp: 575-583.

Mardiah, Sarwani, R.W. Ashadi dan A.

Rahayu 2009. Budidaya dan

Pengolahan Rosela Di Merah

Segudang Manfaat. Jakarta :

Agromedia pustaka.

Lymyati, D. A dan Lisa S. 2008 Aktivitas

Antibakteria Ekstrak Kelopak

Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn)

terhadap Staphylococcus aureus dan

Streptococcus pyogenes. Jurnal

Obat Bahan Alam. Vol 7 (1). Hal:

47-53.

Page 7: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 7

Rostinawati, T. 2009. Aktivitas Antibakteri

Ekstrak Etanol Bunga Rosella (Hibiscus

sabdariffa L.) terhadap Escherichia coli,

Salmonella typhi dan Staphylococcus

aureus dengan Metode Difusi Agar.

Penelitian Mandiri. Fakultas Farmasi

Universitas Padjadjaran Jatinangor.

Ali, M.K., Ayesa A., Nripendra N. B., Utpal

K. K., and Shamina A. 2011.

Antinociceptic, Anti-Inflamatory, and

Antidiarrheal Activities of Ethanolic

Calyx Extract of Hibiscus sabdariffa

Linn. (Malvaceae) In Mice. Journal of

Chinese Integrative Medicine. Vol 9. No

6.

Hossain, H., Shubhra K., Dey, Arpona H.,

Sariful I. H., Arif A., dan Saima S.

2012. Evaluation of Antidiarrhoeal

Potential of the Ethanolic Extract of

Three Bangladeshi Medicinal Plants.

International Journal of Pharmaceutical

and Phytopharmacological Research.

1(6): 371-374.

Olaleye, M. T. 2007. Cytotoxicity and

antibacterial activity of Methanolic

extract of Hibiscus sabdariffa. Journal

of Medicinal Plants Research 1: 9-013.

Fitrial, Y. 2009. Analisis Potensi Biji dan

Umbi Teratai (Nymphaea pubescens

wild) untuk Pangan Fungsional

Prebiotik dan Antibakteri Escherichia

coli Enteropatogenik K.1.1. Disertasi.

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian

Bogor.

Del Pozo-Insfran, D., C. H. Brenes and S. T.

Talcott. 2003. Antioxidant and

antimicrobial properties of Hibiscus

sabdariffa L. as affected by the presence

of naturally occurring cofactors.

Chicago: IFT Annual Meeting Chicago.

Zuhrotun. A., Rini H., dan Sri A. F. K. 2009.

Pemanfaatan Ekstrak Air Kelopak

Bunga Rosella (Hibiscus sabdriffa L.)

Asal Kabupaten Bandung Barat Sebagai

Antiinfeksi Terhadap Beberapa Genus

Bakteri Staphylococcus. Penelitian

Peneliti Muda (LITMUD) UNPAD.

Fakultas Farmasi Universitas

Padjadjaran.

Suwandi. T. 2012. Pengembangan

Potensi Antibakteri Kelopak Bunga

Hibiscus sabdariffa L (Rosela)

Terhadap Streptococcus sanguinis

Penginduksi Gingivitis Menuju

Obat Herbal Terstandar. Disertasi.

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Indonesia.

Dewanti, S. dan M. T. Wahyudi, 2011. Uji

Aktivitas Antimikroba Infusum Daun

Salam (Folia syzygium polyanthum

Wight) Terhadap Pertumbuhan Bakteri

Escherichia coli Secara In-Vitro.

Cowan. M.M. 1999. Plant Products as

Antimicrobial Agents. Clinical

Microbiology Review, 12 (4).

Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella

typhimurium Terhadap Ekstrak

Daun Psidium guajava L.

Bioscientiae. Volume 1 (1).

Halaman 31-38.

Depkes R. I., 2002. Rencana Strategi

Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan, 2001-2004, Depkes RI,

Jakarta.

Arief, I.I., B. Sri L. J., M. Astawan dan

A. B. Witarto. 2010. Efektivitas

Probiotik Lactobacillus plantarum

2C12 dan Lactobacillus acidophilus

2B4 Sebagai Pencegah Diare pada

Tikus Percobaan. Media

Peternakan, Vol. 33, No. 3.

Astawan. M., T. Wresdiyati, I. I. Arief,

dan E. Suhesti. 2011. Gambaran

Hematologi Tikus Putih (Rattus

norvegicus) yang Diinfeksi

Escherichia coli Enteropatogenik

dan Diberikan Probiotik. Media

Peternakan, hlm. 7-13.

Page 8: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 8

Junaidi, 2012. Analisis Potensi Bakterisidal

Ekstrak Kelopak Bunga Rosela

(Hibiscus sabdariffa L.) terhadap

Bakteri Escherechia coli ESBL dan

MRSA. Tesis. Program Studi Kesehatan

Masyarakat Veteriner Program Pasca

sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda

Aceh.

Kartini, H. N., 2012. Pengaruh Lama

Penyeduhan dan Lama Penyimpanan

terhadap Aktivitas Antioksidan Teh

Rosela (Hibiscus sabdariffa).

Repository.upi.edu. Universitas

Pendidikan Indonesia.

Permenkes RI. 2011. Pedoman Umum

Penggunaan Antibiotik. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor: 2406/MENKES/PER/XII/2011.

Gridley, W. F., 1960. Manual of Special

Staining Technic. 2nd

Ed. London: Mc.

Graw – Hill Book Company Inc.

Gomez, K. A dan Gomez, A. A. 1995.

Prosedur Statistik untuk Penelitian.

Jakarta: UI Press.

Undewood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan

Sistematik. Vol. 1. Edisi 2. Terjemahan

dari General and Systematic Pathology

oleh Sarjadi. Jakarta: EGC.

Setiorini, Y. 2012. Deteksi Secara

Imunohistokimia Imunoglobulin A (IgA)

Pada Usus Halus Tikus Yang Diberi

Bakteri Asam Laktat (BAL) Dan

Enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC). Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Brooks G.F., Butel J. S., Morse S. A. 2007.

Mikrobiologi Kedokteran Jawetz Melick

& Adenberg. Edisi ke-22. Jakarta: EGC.

Bourlioux, P., B. Kolletzko, F. Guarner and V.

Braesco. 2003. The Intestine and Its

Microflora are Partners For The

Protection Of The Host : Report On The

Danone Symposium “The Inteligent

Intestine”. Am. J.Clin. Nutr. 78 :

675-83.

Law, R. J., Lihi G. A., Llan R dan B.

Brett F. 2013. Infections

Escherichia coli In Vitro and In

Vivo Model Systems for Studying

Enteropathogenic . Cold Spring

Harb Perspect Med.

Donnenberg, M. S dan James B. K. 1992.

Enteropathogenic Escherichia coli.

Infect. Immun. 60(10):3953 - 3961.

Savkovic, S. D., Jeenilee V., Jerold R. T.,

Kristina A. M. dan Geil H. 2005.

Infection Escherichia coli Mouse

Model of Enteropathogenic. Infect.

Immun. Vol. 73(2):1161 -1170.

Spehlmann, M. E., Sara M. Dann, Petr

Hruz, Elaine, Hanson, Declan F.

McCole dan Lars E. 2009. CXCR2-

Dependent Mucosal Neutrophil

Influx Protects against Colitis-

Associated Diarrhea Caused by an

Attaching/Effacing Lesion-Forming

Bacterial Pathogen. The Journal of

Immunology. Vol. 183:3332-3343.

Sharma, R., Samuel T., Farol L. T.,

Rajani P. K., V. K. Viswanathan

dan Gail H. 2006. Balance of

bacterial pro- and anti-inflammatory

mediators dictates net effect of

enteropathogenic on intestinal

epithelial cells. Am J Physiol

Gastrointest Liver Physiol.

290:G685-G694.

Clarke, S.C., R. D. Haigh, P. P. E.

Freestone dan P. H. Williams. 2003.

Virulence of Enteropathogenic

Escherichia coli, a Global

Pathogen. Clin. Microbiol. Vol.

16(3):365 – 378.

Karam M. R. A., Bouzari S., Oloomi M.,

Aslani M. M., dan Jafari A. 2010.

Phenotypic and Genotypic

Page 9: JURNAL 2

Sains Riset Volume 4 – No. I, 2014 9

Characterization of Enteropathogenic

Escherichia coli (EPEC) strains in

Tehran, Iran. Iranian Journal of

Microbiology. Vol. 2(1). Halaman: 3-7.

Blanco, M., Schumacher S., Tasara T.,

Zweifel C., Blanco. J. E., dan Dahbi G.

2005. Serotypes, intimin variants and

other virulence factors of eae positive

Escherichia coli strains isolated from

healthy cattle in Switzerland.

Identification of a new intimin variant

gene (eae- η2). BMC Microbiol. Vol.

(5): 1-11.

Blanco, M., Blanco J. E., Dahbi G., Mora A.,

Alonso M. P., Varela G. 2006. Typing

of intimin (eae) genes from

enteropathogenic Escherichia coli

(EPEC) isolated from children with

diarrhea in Montevideo Uruguay:

identification of two novel intimin

variants (µB and ξR/ß2B). J Med

Microbiol. Vol. (55): 1165–1174.

Guyton, A. C dan Hall, J. E. 1997. Fisiologi

Kedokteran, edisi 9. Terjemahan dan

Text Book Of Medical Physiology, oleh

I. Setiawan, L. M. A. K. A. Tengadi, A.

Santoso. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran, EGC.