JUMAT, 6 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA AKIN RUNYAM filerasanya melihat rerimbunan pohon dan tanaman...

1
JUMAT, 6 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | 29 Megapolitan AKIN RUNYAM Menjaga Hutan Kota buat Generasi Mendatang K ETIKA memasuki kawasan, senang rasanya melihat rerimbunan pohon dan tanaman hijau tumbuh dengan subur. Kicauan burung pun menyambut kedatangan setiap pengunjung. Jalan masuk yang berkonblok selebar hampir enam meter terlihat bersih tanpa sampah. Suasana itulah yang terasa saat memasuki Hutan Kota Srengseng di Jalan H Kelik, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, kemarin. Penyambutan yang cukup menyenangkan itu sepertinya akan menjamin keindahan hutan kota tersebut. Sayang, keindahan yang di awal terasa nikmat berangsur pudar saat memasuki area dalam hutan kota. Hutan Kota Srengseng yang diresmikan pada 1995 itu terasa kurang mendapatkan perawatan. Papan peringatan bertuliskan ‘Dilarang Buang Sampah Sembarangan’ sepertinya hiasan belaka. Di kawasan yang mempunyai luas sekitar 15 hektare itu, pengunjung dengan mudah menjumpai sampah bertebaran, mulai dari sampah plastik, botol bekas, dan daun-daun kering. Pemandangan tersebut cukup mengganggu pengunjung yang ingin menikmati keaslian alam. Apalagi untuk kawasan Jakarta Barat, kawasan ini menjadi tempat favorit, khususnya bagi warga sekitar Srengseng. Seperti yang pagi itu dilakukan anak-anak dari Madrasah Diniyah Terpadu Plus Hidayatul Anwar, Srengseng. Puluhan anak bersama ibu guru mereka mengunjungi tempat itu karena ingin merasakan suasana pembelajaran di alam terbuka. “Di sini kami mengenal alam. Mengenali nama-nama pohon,” kata Nurhasanah, salah satu guru. Selain menjadi tempat rekreasi dan belajar, Hutan Kota Srengseng juga sering digunakan oleh warga sekitar untuk sarana berolahraga. Pak Amir, salah satunya. Pria berumur 62 tahun ini hampir tiap hari melakukan joging di kawasan hutan kota. Di dalam hutan tersedia jalan setapak dari konblok mengelilingi danau buatan sehingga sangat nikmat untuk berolahraga. Selain karena murah meriah, lokasi hutan kota juga mudah dijangkau. Bahkan sejak tahun 1998, Pemerintah Kota Jakarta Barat mengadakan Betawi Day di tempat ini. Event tahunan tersebut dilangsungkan dengan tujuan memperkenalkan kembali kebudayaan masyarakat Betawi, sekaligus memperingati hari jadi Jakarta. “Bulan Juli kemarin, Pak Fauzi Bowo datang ke sini untuk peringatan ulang tahun Jakarta. Di sini sudah langganan berbagai acara dan lomba tahunan,” ujar Odjo, salah satu polisi hutan. Melihat fungsinya yang demikian dekat dengan masyarakat, ada baiknya Hutan Kota Srengseng yang menjadi salah satu ruang hijau terbuka (RTH) Jakarta, lebih dirawat. Kurang terurus Keadaannya sekarang bisa dibilang butuh perhatian. Sampah-sampah bertebaran, sarana dan prasarana tak terurus. “Kayaknya semua mainan kurang diurus. Perosotan juga rusak,” kata Nurhasanah yang semula ingin mengajak anak didiknya bermain perosotan. Sarana outbond yang ada, wall climbing, dan flying fox juga sudah tak berfungsi lagi. Tak ada petugas yang menjaga sarana bermain itu. Hanya pagar besi setinggi satu meter mengelilingi. Danau di dalam hutan, di mana ada semacam pulau kecil di tengahnya juga kurang terurus. Airnya menggenang berwarna cokelat kehitaman. Sampah-sampah terlihat menggenang hampir di seluruh permukaan. Sungguh tak sedap untuk dipandang. Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 13,9%. Hingga kini baru tercapai 9,6% dari total luas Jakarta sebesar 665 kilometer persegi. Hutan Kota Srengseng adalah salah satu RTH yang seharusnya ikut dijaga dan diperhatikan kelangsungannya. Target itu memang ada baiknya menjadi goal bagi Pemprov DKI. Namun yang tak kalah penting pula adalah bagaimana menjaga RTH yang sudah ada agar tetap lestari. Hutan Kota Srengseng mungkin akan lebih diminati jika keadaannya bersih dan teratur. Masyarakat sendiri seharusnya juga sadar diri untuk memunculkan perannya dalam menjaga keberadaan hutan kota yang sudah ada. Hal yang paling sederhana, tetapi sangat sulit dilakukan, adalah membuang sampah pada tempatnya. Bagaimanapun RTH sangat diperlukan sebagai paru-paru kota. “Kita semua tak ingin generasi kelak kehilangan rimbunnya pohon, tanaman-tanaman hijau, kicauan burung- burung, dan segarnya udara. Bagaimana kita hidup tanpa hutan kota di tengah polusi yang sangat tinggi,” imbuh Amir, yang sudah sangat bergantung pada Hutan Kota Srengseng. (*/J-1) gan menyebabkan HUTAN KOTA SRENGSENG: Seorang pedagang melintas di pinggir hutan kota Srengseng, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Hutan kota ini memiliki peranan penting sebagai daerah resapan air dan tempat rekreasi warga sekitar. MI/GINO F HADI MESKIPUN Jakarta merupakan wilayah otonomi, tata ruang daerah khusus ibu kota tetap tak bisa lepas dari penataan ruang wilayah kota sekeli- lingnya. Pasalnya, kota di sekelilingnya yakni Bogor, Depok, Tangerang, Beka- si, Puncak, dan Cianjur sangat meme- ngaruhi kehidupan Jakarta. Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Imam S Ernawi mengatakan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Ja- karta, Bogor, Depok, Tangerang, Beka- si, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek- punjur) merupakan konsep penataan ruang megapolitan DKI Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. “Aturan itulah yang harus dijadikan pedoman revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta,” Ernawi di Jakarta, Rabu (4/8). Ernawi menegaskan UU dan perpres tersebut telah menegaskan tata ruang megapolitan dan ketentuan ruang ter- buka hijau 30% dari total luas daerah. “Sebenarnya sudah jelas porsi untuk RTH,” tegasnya. Pemerintah daerah, ujar Ernawi, harus menyesuaikan peruntukan lahan dengan RTRW yang baru. Apabila se- telah ada revisi ternyata ada perubahan yang harus dilakukan pada kawasan industri dan perumahan skala besar itu, pemda wajib memberi penggantian. “Penggantian itu diberikan apabila izin sudah sesuai RTRW yang lama. Kalau semua bangunan yang memang dari awal tidak sesuai dengan RTRW yang lama dan tidak mengubahnya agar sesuai revisi RTRW, yah harus dibong- kar,” tuturnya. Pascapenerbitan RTRW baru, pemda harus mengawasi setiap penerbitan izin agar sesuai peruntukannya. Idealnya, pengawasan dilakukan ketika proses penerbitan dan saat pemanfaatan izin. “Makanya kita dorong supaya pemerin- tah daerah itu membentuk aparat pe- ngawasan atau penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bidang penataan ruang supaya penerapan izin itu sesuai perun- tukannya,” jelas dia. Ternyata tata ruang kota-kota di sekeliling Jakarta seperti Depok dan Tangerang juga amburadul dan tak memenuhi RTH 30% dari luas daerah. Kepala Bidang Perencanaan dan In- frastruktur Badan Perencanaan Pem- bangunan Daerah (Bapeda) Kota De- pok Enco Kuryasa mengakui ketidak- taatan pada ketentuan tata ruang. “Banyak perumahan dibangun di bawah jalan, hingga bila musim hujan tiba, tempat tinggal rakyat ini keban- jiran. Hujan turun 15 menit saja, sudah kebanjiran,” katanya. Sebagai wilayah penyangga ibu kota negara, kata Enco, permasalahan ling- kungan dan drainase belum bisa disele- saikan. Saat ini, kota itu kerap dibelit masalah kemacetan. Enco Kuryasa mengemukakan, RUTR 20 tahun mendatang sangat pen- ting. “Perkembangan Depok begitu pesat. Tentunya kita membutuhkan pedoman untuk melakukan untuk melakukan pengawasan dalam pe- ngendalian kota,” katanya. Dari Kota Tangerang dilaporkan pe- merintah setempat kewalahan untuk memenuhi RTH 30% dari total luas daerah. “Sampai saat ini, dari 18,378 hektare luas Kota Tangerang, baru 10% yang menjadi lahan terbuka hijau,” kata Kepala Humas dan Protokoler Pemkot Tangerang Maryoris Namaga. Berdasarkan ketentuan Perda Ren- cana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Tangerang lahan terbuka hijau harus mencapai 25% dari luas total yang ada. Ketentuan itu pun masih belum sesuai UU yang mengatur RTH minimal 30%. Pihak Pemkot Tangerang berjanji akan memenuhi ketentuan RTH dan akan menyesuaikan perda setempat dengan UU. “Kekurangan lahan ter- buka itu akan kami penuhi secara bertahap. Mudah-mudahan setelah Perda RDTR yang baru itu diberlaku- kan pada 2011, semuanya sudah ter- penuhi,” ujarnya. Saat ini, ujar Namaga, pihak Pemkot sedang menyiapkan taman Kota Cikokol di Jalan Raya Jenderal Sudirman, Kota Tangerang, sebagai RTH. (DP/KG/SM/J-5). MI/ROMMY PUJIANTO Kota Penyangga Perburuk Kondisi Ibu Kota ngunan fisik di Ibu Kota yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana bermain serta ruang terbuka membuat masyarakat menyiasati keadaan ANTARA/ANDIKA WAHYU Imam S Ernawi Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum UU dan perpres menegaskan tata ruang dan ketentuan ruang terbuka hijau 30% dari total luas daerah. “Sebenarnya sudah jelas porsi untuk RTH.”

Transcript of JUMAT, 6 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA AKIN RUNYAM filerasanya melihat rerimbunan pohon dan tanaman...

JUMAT, 6 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | 29 Megapolitan

AKIN RUNYAM

Menjaga Hutan Kota buat Generasi MendatangKETIKA memasuki kawasan, senang

rasanya melihat rerimbunan pohon dan tanaman hijau tumbuh dengan subur.

Kicauan burung pun menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Jalan masuk yang berkonblok selebar hampir enam meter terlihat bersih tanpa sampah. Suasana itulah yang terasa saat memasuki Hutan Kota Srengseng di Jalan H Kelik, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, kemarin.

Penyambutan yang cukup menyenangkan itu sepertinya akan menjamin keindahan hutan kota tersebut. Sayang, keindahan yang di awal terasa nikmat berangsur pudar saat memasuki area dalam hutan kota.

Hutan Kota Srengseng yang diresmikan pada 1995 itu terasa kurang mendapatkan perawatan. Papan peringatan bertuliskan ‘Dilarang Buang Sampah Sembarangan’ sepertinya hiasan belaka.

Di kawasan yang mempunyai luas sekitar 15 hektare itu, pengunjung dengan mudah menjumpai sampah bertebaran, mulai dari sampah plastik, botol bekas, dan daun-daun kering.

Pemandangan tersebut cukup mengganggu pengunjung yang ingin menikmati keaslian alam. Apalagi untuk kawasan Jakarta Barat, kawasan ini menjadi tempat favorit, khususnya bagi warga sekitar Srengseng.

Seperti yang pagi itu dilakukan anak-anak dari Madrasah Diniyah Terpadu Plus Hidayatul Anwar, Srengseng. Puluhan anak bersama ibu guru mereka mengunjungi tempat itu karena ingin merasakan suasana pembelajaran di alam terbuka. “Di sini kami mengenal alam. Mengenali nama-nama pohon,” kata Nurhasanah, salah satu guru.

Selain menjadi tempat rekreasi dan belajar, Hutan Kota Srengseng juga sering digunakan oleh warga sekitar untuk sarana berolahraga. Pak Amir, salah satunya. Pria berumur 62 tahun ini hampir tiap hari melakukan joging di kawasan hutan kota.

Di dalam hutan tersedia jalan setapak dari konblok mengelilingi danau buatan sehingga sangat nikmat untuk berolahraga.

Selain karena murah meriah, lokasi hutan kota juga mudah dijangkau. Bahkan sejak tahun 1998, Pemerintah Kota Jakarta Barat mengadakan Betawi Day di tempat ini. Event tahunan tersebut dilangsungkan dengan tujuan memperkenalkan kembali kebudayaan masyarakat Betawi, sekaligus memperingati hari jadi Jakarta.

“Bulan Juli kemarin, Pak Fauzi Bowo datang ke sini untuk peringatan ulang tahun Jakarta. Di sini sudah langganan berbagai acara dan lomba tahunan,” ujar Odjo, salah satu polisi hutan.

Melihat fungsinya yang demikian dekat dengan masyarakat, ada baiknya Hutan Kota Srengseng yang menjadi salah satu ruang hijau terbuka (RTH) Jakarta, lebih dirawat.

Kurang terurus Keadaannya sekarang bisa dibilang butuh

perhatian. Sampah-sampah bertebaran, sarana dan prasarana tak terurus. “Kayaknya semua mainan kurang diurus. Perosotan juga rusak,” kata Nurhasanah yang semula ingin mengajak anak didiknya bermain perosotan.

Sarana outbond yang ada, wall climbing, dan flying fox juga sudah tak berfungsi lagi. Tak ada petugas yang menjaga sarana bermain itu. Hanya pagar besi setinggi satu meter mengelilingi.

Danau di dalam hutan, di mana ada semacam pulau kecil di tengahnya juga kurang terurus. Airnya menggenang berwarna cokelat kehitaman. Sampah-sampah terlihat menggenang hampir di seluruh permukaan. Sungguh tak sedap untuk dipandang.

Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 13,9%. Hingga kini baru tercapai 9,6% dari total luas Jakarta sebesar 665 kilometer persegi. Hutan Kota Srengseng adalah salah satu RTH yang seharusnya ikut dijaga dan diperhatikan kelangsungannya.

Target itu memang ada baiknya menjadi goal bagi Pemprov DKI. Namun yang tak kalah penting pula adalah bagaimana menjaga RTH yang sudah ada agar tetap lestari. Hutan Kota Srengseng mungkin akan lebih diminati jika keadaannya bersih dan teratur.

Masyarakat sendiri seharusnya juga sadar diri untuk memunculkan perannya dalam menjaga keberadaan hutan kota yang sudah ada. Hal yang paling sederhana, tetapi sangat sulit dilakukan, adalah membuang sampah pada tempatnya.

Bagaimanapun RTH sangat diperlukan sebagai paru-paru kota. “Kita semua tak ingin generasi kelak kehilangan rimbunnya pohon, tanaman-tanaman hijau, kicauan burung-burung, dan segarnya udara. Bagaimana kita hidup tanpa hutan kota di tengah polusi yang sangat tinggi,” imbuh Amir, yang sudah sangat bergantung pada Hutan Kota Srengseng. (*/J-1)

gan menyebabkan

HUTAN KOTA SRENGSENG: Seorang pedagang melintas di pinggir hutan kota Srengseng, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Hutan kota ini memiliki peranan penting sebagai daerah resapan air dan tempat rekreasi warga sekitar.

MI/GINO F HADI

MESKIPUN Jakarta merupakan wilayah otonomi, tata ruang daerah khusus ibu kota tetap tak bisa lepas dari penataan ruang wilayah kota sekeli-lingnya. Pasalnya, kota di sekelilingnya yakni Bogor, Depok, Tangerang, Beka-si, Puncak, dan Cianjur sangat meme-ngaruhi kehidupan Jakarta.

Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Imam S Ernawi mengatakan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Ja-karta, Bogor, Depok, Tangerang, Beka-si, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-punjur) merupakan konsep penataan ruang megapolitan DKI Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. “Aturan itulah yang harus dijadikan pedoman revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta,” Ernawi di Jakarta, Rabu (4/8).

Ernawi menegaskan UU dan perpres tersebut telah menegaskan tata ruang megapolitan dan ketentuan ruang ter-buka hijau 30% dari total luas daerah. “Sebenarnya sudah jelas porsi untuk

RTH,” tegasnya. Pemerintah daerah, ujar Ernawi,

harus menyesuaikan peruntukan lahan dengan RTRW yang baru. Apabila se-telah ada revisi ternyata ada perubahan yang harus dilakukan pada kawasan industri dan perumahan skala besar itu, pemda wajib memberi penggantian. “Penggantian itu diberikan apabila izin sudah sesuai RTRW yang lama. Kalau semua bangunan yang memang dari awal tidak sesuai dengan RTRW yang lama dan tidak mengubahnya agar sesuai revisi RTRW, yah harus dibong-kar,” tuturnya.

Pascapenerbitan RTRW baru, pemda harus mengawasi setiap penerbitan izin agar sesuai peruntukannya. Idealnya, pengawasan dilakukan ketika proses penerbitan dan saat pemanfaatan izin. “Makanya kita dorong supaya pemerin-tah daerah itu membentuk aparat pe-ngawasan atau penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di bidang penataan ruang supaya penerapan izin itu sesuai perun-tukannya,” jelas dia.

Ternyata tata ruang kota-kota di

sekeliling Jakarta seperti Depok dan Tangerang juga amburadul dan tak memenuhi RTH 30% dari luas daerah.

Kepala Bidang Perencanaan dan In-frastruktur Badan Perencanaan Pem-bangunan Daerah (Bapeda) Kota De-pok Enco Kuryasa mengakui ketidak-taatan pada ketentuan tata ruang. “Banyak perumahan dibangun di bawah jalan, hingga bila musim hujan tiba, tempat tinggal rakyat ini keban-jiran. Hujan turun 15 menit saja, sudah kebanjiran,” katanya.

Sebagai wilayah penyangga ibu kota negara, kata Enco, permasalahan ling-kungan dan drainase belum bisa disele-saikan. Saat ini, kota itu kerap dibelit masalah kemacetan.

Enco Kuryasa mengemukakan, RUTR 20 tahun mendatang sangat pen-ting. “Perkembangan Depok begitu pesat. Tentunya kita membutuhkan pedoman untuk melakukan untuk melakukan pengawasan dalam pe-ngendalian kota,” katanya.

Dari Kota Tangerang dilaporkan pe-merintah setempat kewalahan untuk

memenuhi RTH 30% dari total luas daerah. “Sampai saat ini, dari 18,378 hektare luas Kota Tangerang, baru 10% yang menjadi lahan terbuka hijau,” kata Kepala Humas dan Protokoler Pemkot Tangerang Maryoris Namaga.

Berdasarkan ketentuan Perda Ren-cana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Tangerang lahan terbuka hijau harus mencapai 25% dari luas total yang ada. Ketentuan itu pun masih belum sesuai UU yang mengatur RTH minimal 30%.

Pihak Pemkot Tangerang berjanji akan memenuhi ketentuan RTH dan akan menyesuaikan perda setempat dengan UU. “Kekurangan lahan ter-buka itu akan kami penuhi secara bertahap. Mudah-mudahan setelah Perda RDTR yang baru itu diberlaku-kan pada 2011, semuanya sudah ter-penuhi,” ujarnya.

Saat ini, ujar Namaga, pihak Pemkot sedang menyiapkan taman Kota Cikokol di Jalan Raya Jenderal Sudirman, Kota Tangerang, sebagai RTH. (DP/KG/SM/J-5).

MI/ROMMY PUJIANTO

Kota Penyangga Perburuk Kondisi Ibu Kota

ngunan fisik di Ibu Kota yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana bermain serta ruang terbuka membuat masyarakat menyiasati keadaan

ANTARA/ANDIKA WAHYU

Imam S Ernawi Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum

UU dan perpres menegaskan tata ruang dan ketentuan ruang terbuka hijau 30% dari total luas daerah. “Sebenarnya sudah jelas porsi untuk RTH.”