JUMAT, 23 DESEMBER 2011 2011 Tahun Krisis Kenegaraan · Hiruk pikuk politik dan berbagai kasus...

1
HILLARIUS U GANI K RISIS kenegaraan yang akut terjadi se- panjang tahun 2011. Tidak hanya me- nimpa pemimpin negara, krisis juga terjadi di hampir seluruh institusi negara. Bahkan Presiden selaku pemimpin tertinggi telah ter- jebak dalam kesibukannya mengelola pencitraan, bukan mengelola krisis yang nyata di depan mata. Demikian benang merah dari reeksi akhir 2011 bertajuk Merawat Persatuan, Menjun- jung Kedaulatan yang digelar Megawati Institute, di Jakarta, kemarin. Hadir dalam acara itu pengamat politik Yudi Latif, anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta, dan budayawan Mohamad Sobari. Menurut Yudi yang juga Di- rektur Eksekutif Reforms Insti- tute, contoh krisis yang paling menonjol sepanjang 2011 ialah kasus hukum yang menimpa penyelenggara negara. “Lihat saja, satu per satu, jaksa, hakim, dan polisi di- tangkap. Sebanyak 250 kepala daerah mau ditangkap KPK. Lalu ada kasus pelanggaran HAM di Mesuji, Lampung,” tuturnya. Baginya, hal itu bukan masa- lah personal, dalam arti kesa- lahan orang per orang. Namun, itu diakibatkan perkembangan demokrasi yang salah arah. Untuk itu, harus ada perom- bakan dalam sistem demokrasi, termasuk dengan membenahi institusi-institusi yang sudah terlampau korup. “Mental pemimpin yang nyaman dalam situasi kacau seperti ini juga harus dihabisi. Lebih baik kita ini jadi gerom- bolan kambing yang dipimpin oleh serigala ketimbang men- jadi gerombolan serigala yang dipimpin seekor kambing,” ujarnya. Di acara yang sama, Sobari mengkritisi sikap pemerintah yang tidak mampu mengayomi rakyat. Presiden telah kehi- langan karisma karena politik pencitraan yang salah kaprah. “Pemimpin harus menda- tangi rakyat, tidak hanya me- mimpin dari jauh. Karisma bukan datang dari surga, tapi datang dari bumi. Pemimpin harus berkeringat bersama rakyat. Jika ini dilakukan, tidak diragukan dia akan mengin- spirasi,” kata Sobari. Tidak produktif Hiruk pikuk politik dan berbagai kasus korupsi men- dominasi perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 2011. Sayangnya, kegemparan itu membuat habis energi semua pihak sehingga melewatkan kesempatan pertumbuhan ekonomi regional yang sebe- narnya sedang meningkat. “Momentum ekonomi tidak termanfaatkan secara baik. Ketika China, India, dan Singa- pura tumbuh dengan tinggi, kita malah menghabiskan ener- gi untuk permasalahan yang tak pernah tuntas. Tahun 2011 benar-benar menjadi tahun yang unproductive,” ujar Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat ditemui di Gedung DPR Jakarta, kemarin. Menurut Pramono, banyak- nya persoalan politik dan hu- kum yang tidak terselesaikan menjadi faktor utama tersen- datnya pertumbuhan ekonomi di 2011. “Kasus ‘cecak-buaya’, Sus- no, Gayus, Nazar, Nunun, dan persoalan lain yang tidak juga beres. Yang ada hanya hiruk pikuk yang luar biasa sementara persoalan itu sendiri tumpang-tindih dan tertimbun begitu saja,” papar Pramono. (HZ/*/P-2) [email protected] 2011 Tahun Krisis Kenegaraan Harus ada perombakan dalam sistem demokrasi, termasuk dengan membenahi institusi- institusi yang sudah terlampau korup. PARTAI Amanat Nasional (PAN) tetap mendorong sistem proporsional terbuka digu- nakan dalam Pemilu 2014 men- datang. Ketimbang mengem- balikan ke sistem proporsional tertutup dengan nomor urut, lebih baik menyempurnakan sistem proporsional terbuka. “Sistem proporsional terbuka itu meningkatkan hubungan yang intensif antara caleg terpi- lih dan pemilihnya karena yang terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Meski partai menempatkan yang bersangku- tan di nomor sepatu, tetapi bila mendapatkan suara terbanyak, dapat terpilih,” tutur Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PAN Viva Yoga Mauladi di Jakarta, kemarin. Ia menilai tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya per- saingan yang tidak sehat di antara caleg dan sistem propor- sional terbuka itu. Baginya, justru hal itu yang menjadi bahan perbaikan un- tuk menyempurnakan sistem tersebut. “Kalau misal ada kecurangan dan penyimpangan yang di- lakukan caleg, di UU atau di in- ternal partai perlu dirumuskan kode etik sebagai landasan nilai moral dalam berkompetisi,” tuturnya. Ditambahkannya, sistem proporsional terbuka juga akan menghilangkan budaya nepo- tisme dan oligarki dari pim- pinan partai karena suasana kompetisi yang bebas terbuka sehingga mampu meningkat- kan kualitas pemilu. PAN sendiri, sambung dia, sejak pemilu 1999, dalam me- nentukan caleg terpilih sudah berdasarkan suara terbanyak. Hal itu dilakukan PAN meski pada pemilu 1999 dan 2004 sistem yang dipakai adalah proporsional tertutup dengan memilih tanda gambar partai. (Wta/P-2) PAN Tetap ingin Proporsional Terbuka MERAWAT PERSATUAN: Budayawan M Sobari (kanan), moderator Budiarto Shambasy, dan Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta (kiri) berbicara dalam diskusi refleksi akhir tahun di Megawati Institute, Jakarta Pusat, kemarin. Diskusi ini bertemakan Merawat persatuan dengan menjunjung tinggi kedaulatan. MI/SUSANTO 4 JUMAT, 23 DESEMBER 2011 P OLKAM

Transcript of JUMAT, 23 DESEMBER 2011 2011 Tahun Krisis Kenegaraan · Hiruk pikuk politik dan berbagai kasus...

Page 1: JUMAT, 23 DESEMBER 2011 2011 Tahun Krisis Kenegaraan · Hiruk pikuk politik dan berbagai kasus korupsi men-dominasi perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 2011. Sayangnya, kegemparan

HILLARIUS U GANI

KRISIS kenegaraan yang akut terjadi se-panjang tahun 2011. Tidak hanya me-

nimpa pemimpin negara, krisis juga terjadi di hampir seluruh institusi negara.

Bahkan Presiden selaku pemimpin tertinggi telah ter-jebak dalam kesibukannya mengelola pencitraan, bukan mengelola krisis yang nyata di

depan mata.Demikian benang merah

dari refl eksi akhir 2011 bertajuk Merawat Persatuan, Menjun-jung Kedaulatan yang digelar Megawati Institute, di Jakarta, kemarin.

Hadir dalam acara i tu pengamat politik Yudi Latif, anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta, dan budayawan Mohamad Sobari.

Menurut Yudi yang juga Di-rektur Eksekutif Reforms Insti-tute, contoh krisis yang paling menonjol sepanjang 2011 ialah kasus hukum yang menimpa penyelenggara negara.

“Lihat saja, satu per satu, jaksa, hakim, dan polisi di-tangkap. Sebanyak 250 kepala daerah mau ditangkap KPK. Lalu ada kasus pelanggaran HAM di Mesuji, Lampung,” tuturnya.

Baginya, hal itu bukan masa-lah personal, dalam arti kesa-lahan orang per orang. Namun, itu diakibatkan perkembangan demokrasi yang salah arah. Untuk itu, harus ada perom-bakan dalam sistem demokrasi, termasuk dengan membenahi institusi-institusi yang sudah terlampau korup.

“Mental pemimpin yang nyaman dalam situasi kacau seperti ini juga harus dihabisi. Lebih baik kita ini jadi gerom-bolan kambing yang dipimpin oleh serigala ketimbang men-jadi gerombolan serigala yang dipimpin seekor kambing,” ujarnya.

Di acara yang sama, Sobari mengkritisi sikap pemerintah yang tidak mampu mengayomi rakyat. Presiden telah kehi-langan karisma karena politik pencitraan yang salah kaprah.

“Pemimpin harus menda-tangi rakyat, tidak hanya me-mimpin dari jauh. Karisma bukan datang dari surga, tapi datang dari bumi. Pemimpin harus berkeringat bersama rakyat. Jika ini dilakukan, tidak diragukan dia akan mengin-spirasi,” kata Sobari.

Tidak produktifHiruk pikuk politik dan

berbagai kasus korupsi men-dominasi perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 2011.

Sayangnya, kegemparan itu membuat habis energi semua pihak sehingga melewatkan kesempatan pertumbuhan ekonomi regional yang sebe-narnya sedang meningkat.

“Momentum ekonomi tidak termanfaatkan secara baik. Ketika China, India, dan Singa-pura tumbuh dengan tinggi,

kita malah menghabiskan ener-gi untuk permasalahan yang tak pernah tuntas. Tahun 2011 benar-benar menjadi tahun yang unproductive,” ujar Wakil Ketua DPR Pramono Anung saat ditemui di Gedung DPR Jakarta, kemarin.

Menurut Pramono, banyak-nya persoalan politik dan hu-kum yang tidak terselesaikan menjadi faktor utama tersen-datnya pertumbuhan ekonomi di 2011.

“Kasus ‘cecak-buaya’, Sus-no, Gayus, Nazar, Nunun, dan persoalan lain yang tidak juga beres. Yang ada hanya hiruk pikuk yang luar biasa sementara persoalan itu sendiri tumpang-tindih dan tertimbun begitu saja,” papar Pramono. (HZ/*/P-2)

[email protected]

2011 Tahun Krisis KenegaraanHarus ada perombakan dalam sistem demokrasi, termasuk dengan membenahi institusi-institusi yang sudah terlampau korup.

PARTAI Amanat Nasional (PAN) tetap mendorong sistem proporsional terbuka digu-nakan dalam Pemilu 2014 men-datang. Ketimbang mengem-balikan ke sistem proporsional tertutup dengan nomor urut, lebih baik menyempurnakan sistem proporsional terbuka.

“Sistem proporsional terbuka itu meningkatkan hubungan yang intensif antara caleg terpi-lih dan pemilihnya karena yang terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Meski partai menempatkan yang bersangku-tan di nomor sepatu, tetapi bila mendapatkan suara terbanyak, dapat terpilih,” tutur Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PAN Viva Yoga Mauladi di Jakarta, kemarin.

Ia menilai tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya per-saingan yang tidak sehat di antara caleg dan sistem propor-sional terbuka itu.

Baginya, justru hal itu yang

menjadi bahan perbaikan un-tuk menyempurnakan sistem tersebut.

“Kalau misal ada kecurangan dan penyimpangan yang di-lakukan caleg, di UU atau di in-ternal partai perlu dirumuskan kode etik sebagai landasan nilai moral dalam berkompetisi,” tuturnya.

Ditambahkannya, sistem proporsional terbuka juga akan menghilangkan budaya nepo-tisme dan oligarki dari pim-pinan partai karena suasana kompetisi yang bebas terbuka sehingga mampu meningkat-kan kualitas pemilu.

PAN sendiri, sambung dia, sejak pemilu 1999, dalam me-nentukan caleg terpilih sudah berdasarkan suara terbanyak. Hal itu dilakukan PAN meski pada pemilu 1999 dan 2004 sistem yang dipakai adalah proporsional tertutup dengan memilih tanda gambar partai. (Wta/P-2)

PAN Tetap ingin Proporsional Terbuka

MERAWAT PERSATUAN: Budayawan M Sobari (kanan), moderator Budiarto Shambasy, dan Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta (kiri) berbicara dalam diskusi refleksi akhir tahun di Megawati Institute, Jakarta Pusat, kemarin. Diskusi ini bertemakan Merawat persatuan dengan menjunjung tinggi kedaulatan.

MI/SUSANTO

4 JUMAT, 23 DESEMBER 2011POLKAM