Jepara, Artefact and Intangible Values

33
TIPOLOGI PERKEMBANGAN KOTA DAN BUDAYA KOTA JEPARA I PENDAHULUAN Kabupaten Jepara secara lokasi geografisnya terletak di ujung Pulau Jawa, tepatnya di terletak pada posisi 110° 9' 48, 02" sampai 110° 58' 37,40" Bujur Timur, 5° 43' 20,67" sampai 6° 47' 25,83" Lintang Selatan. Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang beribukota di Jepara, dengan jarak tempuh ke Ibukota Provinsi sekitar 71 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan lebih kurang 2 jam. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di Barat dan Utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di Timur, serta Kabupaten Demak di Selatan. Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa, dimana untuk menuju ke wilayah tersebut sekarang dilayani oleh kapal ferry dari Pelabuhan Jepara dan kapal cepat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Selain itu di Kepulauan Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang dapat didarati pesawat terbang berjenis kecil dari Semarang. 1

Transcript of Jepara, Artefact and Intangible Values

Page 1: Jepara, Artefact and Intangible Values

TIPOLOGI PERKEMBANGAN KOTA DAN

BUDAYA KOTA JEPARA

I PENDAHULUAN

Kabupaten Jepara secara lokasi geografisnya terletak di ujung Pulau

Jawa, tepatnya di terletak pada posisi 110° 9' 48, 02" sampai 110° 58' 37,40"

Bujur Timur, 5° 43' 20,67" sampai 6° 47' 25,83" Lintang Selatan. Kabupaten

Jepara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang

beribukota di Jepara, dengan jarak tempuh ke Ibukota Provinsi sekitar 71 km dan

dapat ditempuh dengan kendaraan lebih kurang 2 jam. Kabupaten ini berbatasan

dengan Laut Jawa di Barat dan Utara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Kudus di

Timur, serta Kabupaten Demak di Selatan. Wilayah Kabupaten Jepara juga

meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa, dimana untuk

menuju ke wilayah tersebut sekarang dilayani oleh kapal ferry dari Pelabuhan

Jepara dan kapal cepat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Selain itu di

Kepulauan Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang dapat

didarati pesawat terbang berjenis kecil dari Semarang.

Gambar 1Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah

Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten JeparaTahun 2011-2031

1

Page 2: Jepara, Artefact and Intangible Values

Secara administratif wilayah luas wilayah daratan Kabupaten Jepara

1.004,132 km2 dengan panjang garis pantai 72 km, terdiri atas 14 kecamatan

yang dibagi lagi atas sejumlah 183 desa dan 11 Kelurahan Wilayah tersempit

adalah Kecamatan Kalinyamatan (24,179 km2) sedangkan wilayah terluas

adalah Kecamatan Keling (231,758 km2). Sebagian besar luas wilayah

merupakan tanah kering, sebesar 740,052 km2 (73,70%) sisanya merupakan

tanah sawah, sebesar 264,080 km2 (26,30%)

Gambar 2Peta Administratif Kabupaten Jepara

Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten JeparaTahun 2011-2031

Kabupaten Jepara sebagai salah satu kota di Jawa Tengah yang sampai

saat ini masih membentuk kotanya, dikarenakan letak secara geografis sangat

kurang menguntungkan karena berada di luar jalur pantura sebagai salah satu

moda transportasi utama di Pulau Jawa. Namun posisi geografis ini justru

menjadikan masyarakat Jepara kreatif mencari keunggulan kompetitif atas hasil

karya mereka dalam mengembangkan perekonomian.

Sektor yang paling banyak digeluti adalah industri pengolahan.

Ketekunan masyarakat dalam mengembangkan produk akhir di sektor ini,

menjadikan produk mereka memiliki keunggulan kualitas dibanding daerah lain.

Indikasinya adalah tingkat penerimaan pasar internasional terhadap produk

industri pengolahan dari Jepara. Di motori industri furniture (mebel dan ukir),

2

Page 3: Jepara, Artefact and Intangible Values

berbagai produk industri Jepara saat ini tercatat telah menembus pasar ekspor di

seratus lebih negara di dunia. Di luar industri kayu, Kabupaten Jepara setidaknya

memiliki 10 jenis industri lain yang menjadikan industri pengolahan mampu

menjadi penopang ekonomi masyarakat. Hampir seluruh industri ini berskala

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Sangat dibutuhkan sebuah konsep penataan kota yang sinergi dengan

budaya masyarakat Jepara. Penataan kota seharusnya tidak hanya merancang

bangunan namun juga merancang kehidupan, yaitu pembangunan fisik untuk

memenuhi kebutuhan jasmani rohani masyarakat, baik psikis maupun visual.

Saat ini cenderung kurang manusiawi, karena hanya memperhatikan aspek fisik

serta upaya di dalam peningkatan pendapatan kota. (Heryanto, 2011 : 275).

Identitas kota pun yang merupakan citra mental yang terbentuk dari

ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of

time) yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktifitas social-

ekonomi-budaya masyarakat itu sendiri (Lynch dalam Eko Budihardjo, 1997)

akan semakin memudar. Nilai dan norma sosial sebuah kota merupakan Golden

Area : bukti fisik kekayaan budaya bangsa, sebuah artefak yang menunjukkan

panjang pendeknya sejarah dan peninggalan sebuah masyarakat yang akan

diwariskan pada generasi yang akan datang. (Miarsono, 1997). Budaya dan

hasil karya di dalamnya merupakan salah satu modal penting di dalam

pembangunan merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi

pemahaman dan pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan budaya, demi

memupuk jati diri bangsa. Nilai dan norma sebagai warisan budaya yang

merupakan warisan masa lalu yang menjadi bagian integral dari identitas kota

sekarang.

Bentuk kota adalah hasil interaksi antara masyarakat dengan

lingkungannya, yang dibantu oleh rekayasa teknologi serta diayomi oleh

kebijakan penguasa di dalam memenuhi kebutuhan mereka, baik fisik maupun

psikis. Dalamnya perkembangannya terdapat proses kegiatan politik social

ekonomi,dan budaya yang diadministrasi perilaku moral dan etika para actor

yang diwujudkan dalam suatu kebijakan public dalam suatu kurun waktu tertentu.

(Heryanto, 2011 : 276).

Namun isu globalisasi dampak dari kemajuan teknologi komunikasi di

era keterbukaan, akan membuat kebudayaan dari luar akan semakin dekat dan

proses infiltrasi dalam interaksi social akselerasinya semakin cepat. Jika tidak

3

Page 4: Jepara, Artefact and Intangible Values

semakin cepat di antisipasi, pola-pola infiltrasi sebagai trendsetter akan

menjadi mindset baru bagi generasi yang akan datang. Kekayaan budaya

sebagai jatidiri kota maupun bangsa akan semakin semu dan hilang, akibatnya

kekuatan kita bersaing dengan kota maupun bangsa lain pun akan semakin

lemah.

II. SEJARAH KOTA JEPARA

Sejarah Jepara sebagai kota pelabuhan memang tidak bisa diketahui

awal mulanya, namun sebagai kota pelabuhan yang menghubungkan daratan

dengan lautan, Jepara memegang peranan penting dari distribusi hasil alam

terutama beras, karena kualitas dan harga beras di jepara yang paling bagus dan

murah dari daerah hinterland seperti Juana, Kudus, Pati dan lain sebagainya.

Sebagai kota pelabuhan, Jepara juga mengalami pasang surut mulai dari pusat

perdagangan ramai, berubah menjadi kota pertahanan lalu kemudian hilang

dengan sendirinya.(Lapian dalam Hayati, 2005 : 31)

Dari sisi etimologisnya Jepara dulunya menurut C. Lekkerkerker (Hayati:

2005 :66) berasal dari kata Ujungpara, yang kemudian berubah menjadi Ujung

Mara, dan Jumpara, yang akhirnya berubah menjadi Jepara atau Japara. Kata

Ujung dan Para sendiri berasal dari bahasa jawa, Ujung artinya bagian darat

yang menjorok ke laut dan Para yang artinya menunjukkan arah, yang

digabung menjadi suatu daerah yang menjorok ke laut. Letak geografis memang

menempatkan Jepara di semenanjung yang strategis dan mudah dijangkau oleh

para pedagang. Para dari sumber yang lain diartikan Pepara, yang artinya

bebakulan mrono mrene, yang kemudian diartikan sebuah ujung tempat

bermukimnya para pedagang dari berbagai daerah. (Pemkab Jepara :1988,5)

Namun pada abad ke 7 di Jawa terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-

Ling yang oleh para pakar disamakan dengan Kalingga. Diduga kerajaan itu

berada di Jepara dengan Ibu Kota Kerajaan terletak di sekitar lokasi Benteng

Portugis, di Kecamatan Keling. Pada 618-906 M Kalingga diperintah oleh

seorang raja perempuan bernama Ratu Shima, seorang penganut agama Hindu

yang merintis kerajaannya menjadi kota pelabuhan. (Kompasiana: 2009). Kelak,

kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik yang dating dari

india, arab, Cina, Kamboja, maupun dari Eropa Barat. Jepara kemudian menjadi

sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan dan

menjadi salah satu pintu gerbang masukknya berbagai pengaruh asing.

Akibatnya, di satu sisi telah terjadi proses urbanisasi, di sisi lain terjadi akulturasi

4

Page 5: Jepara, Artefact and Intangible Values

seni dan budaya. Kerajaaan Kalingga berlangsung sejak abad ke 7 sampai abad

ke 9, sesudah itu pusat kerajaan berpindah ke selatan untuk selanjutnya

bergeser ke Timur. (Majapahit).

Pada tahun 1292, Jepara yang saat itu dikuasai oleh Sandang Garba

seorang raja yang juga pedagang kaya, telah termasyur sampai ke negeri

Spanyol, diserang oleh Dandang Gendis yang menguasai Tuban dan Kahuripan

di Delta Sungai Brantas yang sudah maju, karena dianggap menjadi pesaing

sebagai Kota Pelabuhan, dengan dibantu oleh bangsa cina. (Pigeaud dalam

Hayati, 2005:67).

Jepara sendiri waktu itu masih terpisah dengan daratan seperti yang

tampak pada gambar berikut :

Gambar 3Peta Jepara terpisah

Sumber : http://ketoprakjawa.wordpress.com/2011/03/18/1-kadipaten-carangsoka-paranggaruda/

Pada abad ke 11 sampai ke 15 saat masa kejayaan kerajaan Majapahit

menjalin hubungan dengan Campa dan Cina. Para penguasa kearajaan saling

berkunjung dan member upeti, namun yang terjadi kadang-kadang sebaliknya,

saling menyerang dan menguasai untuk meluaskan pengaruh kekuasaan,

wilayah perniagaan, dan daerah perdagangan. Di samping itu, para sufi dan

penyebar agama Islam juga berdatangan, diantaranya, Sunan Gunung Jati Syarif

Hidayatullah, selain sebagai pelopor dan penyebar Islam. Pada masa tersebut

Jepara tengah dipimpin oleh Arya Timur (1470) yang meskipun berada di bawah

kekuasaan Majapahit, namun telah mampu mengembangkan kekuasaannya

hingga ke Bengkulu dan Tanjungpura. Benteng kayu dan bambunya serta

pelabuhannya yang ramai di lukiskan sebagai pelabuhan terbaik selama

perjalanan Tome Pires dai Portugis ke Maluku dalam bukunya Suma Oriental.

5

Page 6: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 4Mantingan dan Pelabuhan Jepara

Sumber : http://ml-embun.blogspot.com/

Pada Tahun 1507 Jepara dipimpin oleh Adipati Unus anak dari Arya Timur dan

semakin berkembang pesat sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan

beras. Kekuatan pertahanannya juga cukup hebat dengan kemampuan

pasukannya pada tahun 1511 yang berperang samapai ke Malaka untuk

mengusir portugis yang akan memonopoli perdagangan dan menguasai pintu

keluar masuk perdagangan di Malaka.

Di mulai dari situlah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam, salah

satunya yang menonjol adalah kerajaan Demak. Pada masa kerajaan ini Jepara

merupakan salah satu daerah kekuasaan Raden Fatah, ayahanda Sultan

Trenggono, Eyang dari Retno Kencana, yang nantinya bergelar Ni mas Ratu

Kalinyamat. Beliau menikah dengan Raden Thoyib, seorang pangeran dari Aceh

yang telah lama melalangbuana sampai cina pada tahun 1536. (Pemkab Jepara,

2007: 13). Raden Thoyib inilah kemudian naik tahta dan berkuasa di daerah

Jepara dengan gelar Sultan Hadlirin bersama Retno Kencana, dan menempati

area kraton di Kalinyamat, sebuah tempat berjarak kurang lebih 18 km dari

Jepara. Kalinyamat atau yang disebut Cherinma atau Cherinhama pada waktu

itu dianggap sebagai daerah yang sacral sebagai tinggalnya para raja-raja

demak, termasuk tempat bertirakatnya Sunan Kalijogo. Sultan Hadlirin kemudian

mengangkat Cie Hwie Gwan,

ayah angkatnya selama di Cina

yang ahli didalam seni ukir dan

pahat, yang ikut dengannya

sebagai patih dengan gelar

Patih Sungging Badar

Duwung. (Sungging=memahat,

Badar=batu, Duwung=Tajam.).

Karena di Jepara tidak

ditemukan batu putih seperti di

Cina, media kayu pun kemudian

digunakan sang Patih untuk

berkreasi yang kemudian

menularkan kemampuan

mengukirnya kepada

masyarakat Jepara secara turun

menurun.

6

Page 7: Jepara, Artefact and Intangible Values

Pada tahun kepemimpinannya Sultan Hadlirin banyak juga menghabiskan

waktunya di Mantingan, sebuah daerah di sebelah selatan Pelabuhan Jepara

yang dijadikannya sebagai tempat perenungan. Di sinilah kemudian dibuatkan

pesanggrahan sebagai tempat beristirahat. Di dekat Pelabuhan Jepara, juga

didirikan sebuah kraton dengan benteng sebagai pusat menjalankan

pemerintahan dan perdagangan di pelabuhan Jepara. Di dekat Pelabuhan juga

didirikan sebuah masjid agung beratap susun lima dengan tipologi atap mirip

dengan arsitektur Cina.

Gambar 5Masjid Jepara Tahun 1660

Sumber : http://ml-embun.blogspot.com/

Di sebelah utara kanal juga didirikan sebuah benteng yang diduga

didirikan pada saat zaman Pangeran Trenggono dengan meriam-meriam buatan

portugis (Crucq, 1940) di atas bukit danaraja, benteng inilah yang digunakan

sebagai tempat pertahanan dari serbuan musuh-musuh Jepara, baik oleh

Mataram nantinya. Benteng ini juga kemudian di modifikasi oleh Pemerintah

Belanda melalui VOC pada tahun 1708 menjadi Benteng Loji VOC. VOC sendiri

datang di Jepara tahun 1613, dan mulai mendapatkan ijin sewa gadai terhadap

pelabuhan Jepara tahun 1680 dari Amangkurat II selaku Raja Mataram, sebagai

balas jasa menumpas pemberontakan Trunojoyo.

7

Page 8: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 6Denah Benteng di Bukit Danaraja oleh van den Heer Cornelis

Speelman (sekarang Benteng VOC) tahun 1677Sumber:http://www.gahetna.nl/collectie/afbeeldingen/kaartencollectie/zoeken/weergave/detail/start/0/tstart/0/q/zoekterm/Kaarte%20van%E2%80%99t%20Fort

%20en%20Stad%20Japara

Salah satu sejarah yang tidak bisa terlepaskan adalah Kapitein Francois

Tack, seorang perwira tinggi Kerajaan Belanda yang memiliki banyak jasa untuk

Kompeni dalam merebut mahkota Kerajaan Majapahit maupun peperangan di

Kediri dan Makasar. Kapten Tack pada waktu itu ditugaskan oleh Pemerintah

Hindia Belanda di Pelabuhan Jepara yang sedang dalam masa kemunduran,

untuk menertibkan kawasan Pantai Utara dan Timur Jawa. Kapten Tack tewas

dibunuh oleh kelompok pimpinan Untung Suropati di Alun-alun Kartosuro, pada

tanggal 8 Februari 1686 saat akan mengadakan perundingan dengan Sunan

Amangkurat II selakui Raja Mataram.(De Graaf, 1989:47) Dalam pertempuran

sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, tentara

VOC sebanyak 75 orang tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pangeran

Puger yang menyamar sebagai anak buah Untung Suropati sendiri berhasil

membunuh Kapten Tack menggunakan tombak Kyai Plered. Makam Kapten

Tack di duga masih berada di lingkungan Benteng VOC hingga saat ini.

8

Page 9: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 7Denah Benteng di Bukit Danaraja oleh van den Heer Cornelis

Speelman (sekarang Benteng VOC) tahun 1677Sumber: http://kitlv.pictura-dp.nl/index.php?

option=com_memorix&Itemid=28&task=result&cp=7

Perkembangan selanjutnya sejarah Jepara di bawah kepemimpinan Ratu

Kalinyamat 1549-1579, menggantikan perang sang suami yang dibunuh atas

suruhan Arya Penangsang sesaat sesudah menemui Sunan Kudus untuk

mengklarifikasi meninggalnya Raden Prawoto, kakak kandung Ratu Kalinyamat

yang juga dibunuh oleh Aryo Penangsang sebagai bagian dendam masa lalu.

Ayah Arya Penangsang, Pangeran Sedo Lepen putra mahkota semestinya

Sulltan Demak dibunuh oleh Prawoto sebagai upaya mengalihkan pewaris tahta

ke ayahnya yaitu Sultan Trenggono.

Ratu Kalinyamat sempat bersumpah dan bertapa, mulai dari benteng

bukit danaraja samapai akhirnya di pertapaan Sonder Tulakan, meninggalkan

atribut ke-Ratu-annya dan bersumpah belum kembali sampi Arya Penangsang

dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh pada tahun 1549 juga Danang

Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya, adik kandung Ratu Kalinyamat yang

bersama-sama berusaha untuk menumpas Arya Penangsang yang selalu

menggerogoti kasultanan Demak.

9

Page 10: Jepara, Artefact and Intangible Values

Selama berkuasa pelabuhan Jepara berkembang semakin pesat, dengan

semakin majunya teknologi galangan perkapalan waktu itu. Tidak hanya

pertahanan, perekonomian pun semakin berkembang, dengan semakin

terjalinnya hubungan yang erat dan solidaritas sesama pedagang pribumi yang

semakin diganggu oleh keberadaan Portugis. Dari segi pemerintahan dan

penataan kota, mulai dibangun Masjid Mantingan sebagai salah satu konsep

Masjid-Makam-Keraton, karena disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada

tahun 1559 dengan sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantingan

ini kebudayaan di kembangkan pada ornament-ornamen yang digunakan berupa

ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang disamarkan. Tipologi bangunan

dengan konsep perpaduan Islam-Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan

serta gapura yang berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di

dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang. Kaligrafi

juga berkembang pesat.

Perkembangan sejarah Jepara selanjutnya adalah pemerintahan oleh

Pangeran Jepara (1579-1599), merupakan anak angkat dari Ratu Kalinyamat.

Pansi Pada masa inilah kemerosotan Kota Jepara sebagai kota pelabuhan mulai

dirasakan. Faktor ekspansi Kerajaan Pajang yang dulunya membiarkan Jepara

berkembang ternyata lambat laiun mulai digerogoti daerahnya karena

pertimbangan ekonomi. Hal ini diperperah dengan kedatangan VOC pada tahun

1613, dengan politik dagang monopolinya. VOC semakin kuat setelah

mendapatkan legalisasi Raja Mataram Amangkurat II untuk membuat benteng

pada tahun 1680.

Setelah era kerajaan Jepara runtuh, diperkirakan terjadi kekosongan

penguasa, sehingga sampai tahun 1616 tidak tercatat sejarah siapa yang

memimpin Jepara. Baru pada tahun tersebut, Jepara tercatat dipimpin oleh Kyai

Demang Laksamana yang kemudian digantikan berurut-urut oleh Kyai Wirasetia,

Kyai Patra Manggala, Kyai Wiradika, Ngabehi Wangsadipa, Kyai Reksa

Manggala, Kyai Waradika, Ngabehi Wangsadipa (jabatan kedua), Ngabehi

Wiradika, Wira Atmaka, Kyai Ngabehi Wangsadipa, Tumenggung Martapura,

Temenggung Sujanapura, Adipati Citro Sumo I, Citro Sumo II, dan Adipati Citro

Sumo ke III yang sekaligus menutup sejarah era kerajaan Mataram di Jepara dan

masuk pada era kekuasaan Belanda .

Pelabuhan Jepara semakin sepi dengan munculnya sedimentasi yang

menyebabkan Jepara yang dulunya terpisah, sekarang menyatu dengan daratan.

10

Page 11: Jepara, Artefact and Intangible Values

Semua aktifitas pelabuhan mulai pindah ke Semarang pada tahun 1697. Factor

lingkungan ini diperparah dengan konflik antara penduduk local dengan VOC

dengan dibakarnya benteng sebanyak 2 kali. Puncaknya pada tahun 1743, Raja

Mataram Kartasura Pakubuwono II, menyerahkan semua pengelolaan pelabuhan

sepanjang Pantai Utara Jawa kepada Belanda sebagai bagian dari balas jasa di

perang Pacina ( Hayati, 2005 : 48)

Selanjutnya Jepara dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III yang kemudian

digantikan oleh Citro sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. Setelah

Adipati Citro Sumo VI, Jepara kemudian dipimpin oleh Temenggung Cendol.

Namun jabatan ini tidak lama, karena Setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari

tuban tahun 1838, ia mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Bupati

Jepara yang kemudian di lanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22

Desember 1857, ia digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung

Citro Wikromo, yang kemudian berturut-turut di gantikan oleh K.R.M.A.A.

Sosroningrat, R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo, dan Sukahar, sekaligus mengakhiri

era kekuasaan Belanda dan masuk pada era pemerintahan militer Jepang. Pada

awal kekuasan Jepang, Bupati Jepara dipercayakan pada R.A.A. Soemitro

Oetoyo yang menjabat hingga awal kemerdekaan, yaitu hingga bulan Desember

1949.

III. BENTUK ARTEFAK FISIK KOTA

Bentuk artefak sebagai peninggalan yang sifatnya fisik terkait dengan

perkembangan sejarah Kota Jepara sebagai Kota Pelabuhan ada dua macam

yaitu yang bersifat bangunan, maupun yang sifatnya toponim berupa pemukiman

atau kelompok masyarakat.

Artefak di masa lampau yang sangat berhubungan dengan sejarah jepara antara

lain

1. Kraton Kalinyamat

Kraton Kalinyamat merupakan tempat tinggal Ratu Kalinyamat yang

dulunya terkenal sebagai tempat bertirakatnya para raja dan petinggi raja-

raja Demak dan Sunan Kalijaga. Kraton ini sampai saat ini belum

ditemukan reruntuhannya, namun berdasarkan informasi warga sekitar,

ketika menggali pondasi bisa dipastikan menemukan batu bata sebagai

reruntuhan kraton. Didalamnya juga diduga terdapat Siti Hinggil dan

Taman Keraton

11

Page 12: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 8Batas Benteng Keraton Kalinyamat

Sumber : analisis

2. Taman Kraton Kalinyamat dan Siti hinggil

Taman Keraton berada di dalam keraton dengan unsure air, kolam dan

kura-kura serta Siti Hinggil sebagai tempat paseban. Konsep taman

keraton ini sama dengan taman-taman keraton seperti di Keraton Jogja

dengan Taman Sari-nya, Cirebon dengan Sunyaragi, yang disamping

menambah keindahan juga sebagai tempat persembunyian.

3. Benteng Keraton Kalinyamat

Di Keraton Kalinyamat dibangun juga benteng sepanjang kurang lebih 5-6

km seluas 4 km2 dengan batu bata 20/25 selebar 2,5 m sebagai jalur

penjagaan. Batas benteng Jalan Jepara Kudus, Kali Bakalan, dan Kali

Krecek

4. Benteng Keraton Jepara

Benteng ini merupakan batas yang mengelilingi aktifitas para petinggi

kerajaan dengan rakyat, diduga berada di seputaran Komplek Kantor

Setda sampai ke Sebelah Barat Pecinan

5. Benteng Pertahanan/Benteng Loji Gunung

Benteng VOC berada di atas bukit berjarak kurang lebih 0,5 km dari Alun-

alun Kota Jepara, sekarang ini menjadi alternatif tempat kunjungan

keluarga yang ingin menikmati pemandangan kota dari atas. Taman yang

12

Page 13: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 9Peta Kawasan Benteng VOC

Sumber : analisis

Gambar 10Pendopo Kabupaten Jepara

Sumber : http://www.jeparakab.go.id/

ada di dalam benteng juga telah dilengkapi 2 (dua) buah gardu pandang

di sisi selatan dan utara

6. Pendopo

Bangunan Pendopo Kabupaten Jepara ini dibangun kurang lebih pada

tahun 1750, yaitu pada era pemerintahan Adipati Citro Sumo III, beliau

merupakan pimpinan pemerintahan yang ke 23 selama kurun waktu 22

tahun (1730-1760), sedangkan ayah RA Kartini merupakan bupati ke 31

selama kurun waktu 24 tahun (1881-1905).

13

Page 14: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 10Foto Masjid Agung Jepara

Sumber : Badan Arsip Daerah Jepara

Gambar 11Foto Masjid Mantingan

Sumber : http://humaspdg.wordpre

ss.com/

7. Masjid Agung

Masjid Agung berdasarkan tipologi penataan tata ruang jawa terutama di

pantura, berada di sebelah selatan alun-alun Kota. Dulunya Masjid ini

bersusun lima, dengan cirri atap mirip arsitektur cina. Namun dalam

perkembangan selanjutnya hanya bersusun tiga.

8. Masjid dan Makam Mantingan

Merupakan perwujudan konsep Masjid-Makam-Keraton, karena

disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada tahun 1559 dengan

sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantingan ini

kebudayaan di kembangkan pada ornament-ornamen yang

digunakan berupa ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang

disamarkan. Tipologi bangunan dengan konsep perpaduan Islam-

Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan serta gapura yang

berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di

dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang

14

Page 15: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 12Foto Alun-alun Kota Jepara

Sumber : japarajadoel.wordpress.com

Gambar 13Foto artefak kota modern

Sumber : download dari berbagai sumber

9. Alun-alun Kota

Alun-alun kota merupakan tempat bertemunya penguasa dengan rakyat,

seiring perkembangannya alun-alun banyak digunakan sebagai ruang

public

Sedangkan Artefak fisik perkembangan kota yang sifatnya sudah modern dan

berhubungan dengan aktifitas masyarakat antara lain :

1. Bangunan Pemerintahan

2. Kawasan Wisata

3. Kluster-kluster industry

4. Stadion

5. Dan lain-lain

15

Page 16: Jepara, Artefact and Intangible Values

Artefak yang sifatnya toponim berupa pemukiman atau kelompok masyarakat,

antara lain :

1. Kriyan

Kemungkinan berasal dari kata rakyan, yang artinya pejabat di masa lalu,

hal ini erat kaitannya dengan letak kampong Kriyan yang dekat dengan

Kalinyamatan.

2. Kauman

Terletak di sekitar Masjid Agung Kabupaten, merupakan kawasan tempat

ulama dan pemuka agama Islam berhuni. Letaknya di sebelah selatan

Alun-alun-kota Jepara

3. Sitinggil

Biasanya dijumpai pada kawasan pemukiman para bangsawan masa lalu.

Sitinggil sekarang ini berada di Kalinyamatan namun berupa tegalan dan

kuburan.

4. Pecinan

Merupakan tempat bermukim masyarakat etnis cina, namun sejak tahun

1910 tidak ditemukan masyarakat pecinan di Jepara, sekarang kawasan

pecinan berada di sebelah utara kawasan Kauman.

5. Kanjengan/Panggang Pungkuran

Merupakan tempat hunian para kanjeng, yaitu para pejabat pemerintah

kabupaten, berada di sebelah timur dan selatan komplek pendopo

kabupaten sekarang, berada di belakang komplek pendopo

(ungkur=belakang)

6. Jobokuto atau Ujungbatu

Jobokuto identik dengan toponim jobo yang berarti kawasan di luar

benteng kerajaan Jepara. Letaknya saat ini yang berada di sebelah barat

pecinan, menguatkan dugaan bahwa dulunya ada benteng keraton

tersendiri yang memisahkan dengan kehidupan sosial di luar.

7. Panggang Pandean

Terletak di debelah timur kawasan pendopo bupati, dulunya merupakan

kawasan pekerja dengan mata pencaharian pandai besi.

16

Page 17: Jepara, Artefact and Intangible Values

IV. BENTUK BUDAYA MASYARAKAT

Bentuk budaya masyarakat Jepara erat hubungannya dengan sejarah kota

Jepara. Budaya masa lalu yang masih berkembang saat ini, adalah mata

pencaharian masyarakat dulunya sebagai Kota Pelabuhan, tentu saja tidak

terlepas dari aktifitas perdagangan. Untuk masyarakat yang berada di

pedalaman rata-rata adalah petani dan pengrajin. Beras dari Jepara terkenal

kualiatas dan murahnya sejak jaman Ratu Kalinyamat. Sedangkan kerajinan,

terutama ukiran mulai dikembangkan oleh Patih Sungging Badar Duwung, yang

ahli di dalam seni ukiran.

Seni ukiran inilah kemudian yang berkembang pesat dan bertahan serta menjadi

budaya khas masyarakat Jepara yang diwariskan turun temurun. World Carving

Center saat ini masih gencar di promosikan sejak 15 Mei 2008, sebagai salah

satu menjual jepara di dunia. Hantaman krisis social tahun 1997 menjadikan

berkah sekaligus bencana. Penjarahan kayu dan didukung oleh harga dollar

yang naik, membuat sebagian besar pengrajin ukiran menjadi gelap mata.

Hasilnya pun bisa langsung dinikmati sekarang. Kayu sebagai bahan ukiran

semakin langka, para investor semakin berkurang akibat high cost management

menyebabkan upah pekerja tinggi,membuat Jepara semakin sulit untuk mem-

branding- kotanya. Memang masih ada pesona Karimunjawa National Park, yang

menjadi surga terumbu karang dan pemandangan eksotisnya. Namun statusnya

sebagai Taman Nasional sendiri bisa mengaburkan jepara sebagai pemangku

daerah administratifnya.

Satu lagi budaya khas yang masih bertahan, yaitu Tenun Troso. Berdasarkan

sejarahnya digeluti oleh warga Desa Troso, Kecamatan Pecangaan. Dari kota

Jepara, desa industri ini berjarak sekitar 15 km. arah tenggara. Keterampilan

membuat tenun ikat sudah dimiliki oleh warga Desa Troso sejak tahun 1935 yang

bermula dari Tenun Gendong warisan turun-temurun. Tahun 1943 mulai

berkembang Tenun Pancal dan kemudian pada tahun 1946 beralih menjadi Alat

Tenun Bukan Mesin (ATBM), hingga sekarang.

Budaya lainnya yang bersifat atraktif berdasarkan data Legenda Jepara ada

banyak sekali, antara lain :

Hari Jadi Jepara yang jatuh setiap tanggal 10 April, bertepatan dengan

naiknya Ratu Kalinyamat menjadi penguasa Jepara tanggal 10 April

1549.

17

Page 18: Jepara, Artefact and Intangible Values

Upacara Jembul Tulakan, sebagai upacara memperingati selesainya

Ratu kalinyamat bertapa di Sonder Tulakan, menggambarkan jembul aryo

penangsang yang terbunuh oleh Danang Sutowijaya

Perang Obor, sebagai tradisi berdasarkan legenda rakyat di Tegalsambi,

sebelah selatan Jepara, biasanya dilaksanakan sesudah panen besar

Pesta Lomban, merupakan pesta sedekah laut satu minggu setelah Hari

Raya Idul Fitri, dengan melarung sesaji ke laut oleh pemimpin Jepara,

dengan harapan mendapat berkah.

Dan lain-lain

Dari segi perilaku dan keseharian sebagai masyarakat pesisir, masyarakat

Jepara terkenal sangat keras dan begitu fanatic terhadap idiologi yang ada.

Contoh yang paling keras adalah konflik pemilu 1999 antara PKB dan PPP di

dongos yang melibatkan pembantaian dan kekerasan antar sesame warga.

Masih ada penyeerbuan dan pembakaran Kantor DPRD pada kerusuhan tahun

1998 yang diakibatkan bisikan dari beberapa tokoh terhadap massa yang

gampang tersulut. Memang tidak seluruh tipologi masyarakat Jepara seperti itu,

seiring dengan perkembangan zaman, era keterbukaan dan demokrasi semakin

membaik dan kondusif

V. PERKEMBANGAN KOTA YANG TERJADI

Perkembangan yang terjadi saat ini, konsep pengembangan kota

berdasarkan sejarah sebagai kota pelabuhan, mulai bergeser karena adanya

factor alam serta interfensi dari pemerintahan. Konsep Kota pelabuhan yang

dulunya membuat Jepara menjadi jaya saat ini tidak ditemukan sisa-sisa

kejayaannya. Dari beberapa artefak yang ada, hanya beberapa yang masih ada,

itupun dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.

Perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh kebijakan penguasa yang

ada. Mulai dari jaman colonial menuju orde baru, Jepara berada di bawah

penguasaan negara asing, baik oleh Belanda maupun Jepang. Di sebelah utara

Jepara terdapat beberapa hutan jenis kayu keras tahunan seperti jati dan

mahoni. Dari perkembangan selanjutnya, saat ini ternyata di bawah jati tersebut

terdapat kekayaan tambang, seperti Felspar. Kemungkinan hal inilah yang

disembunyikan oleh Daendels ketika membuat jalan pos yang tidak melewati

Jepara. Ada kemungkinan Belanda sengaja menyembunyikan kekayaan alam

Jepara dengan ditumbuhi hutan jati dan mahoni.

18

Page 19: Jepara, Artefact and Intangible Values

Pada Masa orde baru, dengan sistem Repelita, Jepara cukup signifikan

membentuk kotanya, yaitu mulai dengan munculnya pabrik pengolah kayu untuk

meubel, pabrik karung goni, industry tenun dan lain sebagainya. Namun dengan

kondisi geografis yang tanpa tersentuh jalur pantura, Jepara harus menciptakan

daya tarik kotanya, salah satunya dengan mengeksplorasi kekayaan budaya,

pertanian dan pariwisata. Cerita keinginan masyarakat dalam meningkatkan nilai

tambah dari produk asli mereka di dalam budaya ukiran dilakukan tidak hanya

karena alasan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga karena alasan

budaya dan kegigihan masyarakat mempertahankan karya dan peradaban

mereka. (Purnomo :2010, 8)

Secara keseluruhan pengembangan kota dipusatkan di Jepara,

kalinyamat sebagai kota kerajaan masaa lalu semakin ditinggalkan, dan masuk di

dalam lingkup kecamatan pecangaan. Penataan Kota yang berusaha untuk

menguri-uri kebudayaan local hanya masih sebatas slogan oleh pemerintah saat

itu. Contoh yang paling mengerikan adalah pemugararan Masjid Mantingan,

dengan mengganti ornament dan bentuk asli. Semangat konservasi memang

belum begitu ada saat itu, hasil pembangunanlah dengan modernisasi itulah

yang menjadi tema pengembangan kota di masa orde baru.

Era Reformasi membawa berkah sekaligus musibah bagi perekonomian

Jepara. Penjarahan besar-besaran hutan pada tahun 1998 mengakibatkan

ekonomi masyarakat saat itu meningkat tajam. Pergerakan uang sangat tinggi di

Jepara, Nilai tukar Dollar yang tinggi, menyebabkan industry meubel menjadi

primadona. Bahan baku kayu curian diolah menghasilkan meubel untuk diekspor

ke luar negeri secara besar-besaran tidak lagi memperhatikan kualitas. Banyak

sekali para spekulan luar negeri yang berkedok investor turut memperkeruh

suasana.

Akibat yang terjadi pada penataan kota, banyak sector public yang

terbengkalai meskipun memiliki potensi pemasukan PAD yang besar namun

tidak berjalan karena tergoda untuk ikut terjun di dunia meubel. Ukiran untuk

sementara terbengkalai, banyak jenis order garden furniture dengan motif

sederhana namun menghabiskan banyak bahan baku diproduksi. Pembangunan

sector public pun menjadi imbas.

Setelah Masa Reformasi bencana pun datang, disaat bahan baku

semakin langka, banyak perushaan meubel yang kolaps karena bayak sekali

yang tidak sanggup bertahan dihantam kebutuhan bahan baku dan permintaan.

19

Page 20: Jepara, Artefact and Intangible Values

Gambar 12Orientasi pasar dan jumlah pekerja meubel

Sumber : jCenter for International Forestry Research (CIFOR), 2007.

Seleksi alam pun terjadi, investasi yang datang semakin sedikit, karena banyak

mereka yang lari ke luar daerah, karena cost economy di Jepara pasca reformasi

sangat tinggi. Banyak pekerja yang tidak mau dibayar murah, padahal di daerah

lain bisa sangat murat. Saat itulah baru terasa betapa pentingnya mencitrakan

sebuah kota di dalam menghadapi daya saing.

Pada 15 Mei 2008, Pemerintah Kabupaten Jepara baru berani mengeluarkan

jargon The World Curving Centre. Namun dalam penataan infrastruktur kota

masih banyak terkendala, terutama dalam pengiriman barang, mulai dari

pengrajin maupun ke pengapalan. Pelabuhan laut terdekat masih di Tanjung Mas

Semarang, pengembangan kluster pun masih terfokus di Tahunan, dan

Mantingan

VI. ANALISIS PERPADUAN PERKEMBANGAN KOTA DAN BUDAYA

Perkembangan kota tidak selalu sejalan dengan perkembangan budaya

masyarakat. Perkembangan kota Jepara yang dulunya merupakan kota

pelabuhan yang termasyur kemudian harus berganti tema menjadi kota berbasis

20

Page 21: Jepara, Artefact and Intangible Values

industry, meskipun tidak meninggalkan basis pertanian. Yang menarik adalah

basis industry yang dipilih sejalan dengan budaya masyarakat Jepara yang dari

dulu secara turun temurun menguasai ukir dan meubel sebagai pangsa

pasarnya. World Curving Centre diapungkan sebagai konsep pengembangan

kota.

Dari beberapa pengalaman yang sudah dilalui oleh masyarakat Jepara,

semakin ke depan sudah mulai bisa bersinergi bareng dengan pengampu

kepentingan untuk mengawal konsep ini. Sudah menjadi bukti nyata bahwa

dalam budaya ukiran dilakukan tidak hanya karena alasan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat tetapi juga karena alasan budaya dan kegigihan

masyarakat mempertahankan karya dan peradaban mereka. Jatuh bangun para

pengusaha, pelaku dan masyarakat sebagai penggerak roda pembangunan

dalam bidang industry ukiran memang masih dihadapkan kendala bahan baku.

Berdasarkan penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR), 2007

bahwa :

sembilan meter kubik kayu bulat menyokong satu pekerja tetap dalam

industri ini selama setahun. Oleh karena hutan tanaman jati di Jawa yang

dikelola dengan baikdapat menghasilkan minimal 9 m³/ha/tahun (Von

Wulfing 1932), maka temuan tersebut berarti satu hektar hutan tanaman

seharusnya menopang satu pekerja tetap selama setahun pada industri

mebel. Menimbang hal tersebut, apabila perusahaan umum Perhutani,

yang mengelola hampir 3 juta ha hutan di pulau Jawa mengkhususkan

satu juta ha untuk hutan tanaman jati atau mahoni, maka pekerjaan bagi

satu juta orang akan terjamin di industri mebel.

konsumsi kayu di Jepara saja (1,5 – 2,2 juta m³) ternyata melebihi angka

produksi resmi dari Departemen Kehutanan untuk seluruh pulau Jawa

(923.632 m³ pada tahun 2004) (Departemen Kehutanan Republik

Indonesia 2004)10. Selain itu, Jepara merupakan salah satu dari sekian

banyak sentra industri produksi mebel di Jawa. Hal ini menimbulkan

pertanyaan mendasar tentang peran agroforestri di pulau Jawa. Semua

ini memunculkan suatu hipotesis baru: sumbangan pasokan kayu dari

agroforestri kepada industri mebel ternyata jauh lebih tinggi daripada

yang diperkirakan sebelumnya, meskipun sebagian dari pasokan tersebut

mungkin berasal dari sumber kayu ilegal di Jawa serta pulau lain di

Indonesia. Namun demikian, hasil temuan kami memberi kesan bahwa

21

Page 22: Jepara, Artefact and Intangible Values

selama ini semua keputusan kebijakan maupun analisis yang

berdasarkan studi terdahulu, ternyata disesatkan oleh taksiran yang jauh

terlalu rendah dalamstudi tersebut.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah penggunaan hak cipta ukiran

jepara oleh oknum-oknum di luar negeri. Hal ini sudah dilakukan antisipasi

dengan membuat sebuah kebijakan yang mengatur tentang hak cipta oleh

pemerintah, yaitu dengan membentuk Lembaga Jepara Indikasi Geografis (IG)

Produk Mebel Ukir Jepara yaitu lembaga yang memberikan Indikasi Geografis

(Geographical Indications) adalah tanda yang menunjukkan produk dari suatu

tempat, wilayah atau daerah tertentu dengan memperhatikan kualitas, reputasi

dan karakteristik produk yang dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia pada

wilayah yang bersangkutan. Mebel ukir Jepara merupakan produk yang memiliki

karakteristik-karakteristik sebagaimana tersebut diatas

Perkembangan kota juga harus mendukung konsep yang telah

diapungkan. Minimal ada pengaturan, regulasi serta penyediaan infrastruktur

yang harus mendukung agar budaya yang menjadi dasar pengembangan kota

bisa disinergiskan

VII KESIMPULAN

Dari keseluruhan di atas bisa disimpulkan bahwa :

1. Perkembangan Kota begitu dinamisnya, konsep awal kota bisa berubah

seiring dengan factor lingkungan (sedimentasi teluk jepara) serta factor

intervensi penguasa selaku pemangku kebijakan.

2. Artefak-artefak yang ada sebagai cerminan kebudayaan sebuah kota

sangat penting untuk mendapatkan citra kota. Kota Jepara sulit untuk

mencitrakan kotanya karena begitu lamanya artefak-artefak tersebut

dibiarkan hilang. Minimal dokumentasi terhadap artefak tersebut ada

sebagai bagian dari sejarah kota

3. Kebudayaan yang berkembang bisa sangat dipengaruhi penataan sebuah

kota. Intervensi Ratu Kalinyamat pada Kota Pelabuhan, Belanda dengan

monopoli perdagangan, Orde baru dengan orientasi hasil, sangat

mempengaruhi budaya terutama yang ada hubungannya dengan mata

pencaharian masyarakat. Budaya yang sifatnya atraktif masih bisa

bertahan dan tetap survive sampai sekarang

22

Page 23: Jepara, Artefact and Intangible Values

4. Percepatan Penataan sebuah kota tidak selalu berjalan beriringan

dengan budaya masyarakat. Loss Society sebagai selisih dari masyarakat

yang tidak mampu mengikuti percepatan inilah yang memiliki nilai budaya

local yang tinggi. Jepara sebetulnya memiliki tipologi jenis ini, namun

masih perlu diteliti lebih dalam sebagai konsekuensi dari pembangunan

5. Kota Jepara memiliki keunikan tentang budaya masyarakat sebagai

masyarakat pesisir yang keras dan cenderung fanatic, dengan budaya

seni ukir sebagai mata pencaharian. Perilaku keduanya ternyata masih

bisa berjalan bersama serta berdampingan dengan kebijakan dan

intervensi peerintah di dalam penataan kota. Di saat dihantam krisis

bahan baku masih bisa mengembangkan dengan bahan baku lain, dan

diversifikasi model, serta hal-hal lain yang ditangkap sebagai peluang

bagi Kota Jepara untuk mencitrakan kotanya.

6. Letak geografis yang terisolir memang telah membentuk masyarakat

Jepara yang tidak akan menyerah dihadapkan dengan kesulitas

aksesbilitas, malah bisa menciptakan sesuatu yang dijadikan daya tarik

dan daya saing di masa yang akan datang

23

Page 24: Jepara, Artefact and Intangible Values

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Legenda Jepara, Jepara 2007

Budihardjo, Prof. Ir. Eko, Arsitektur Pembangunan Dan Konservasi, Djambatan, 1997, Jakarta.

Budihardjo, Prof. Ir. Eko , Arsitektur Dan Kota Di Indonesia, PT ALUMNI, Bandung, 1997

Crucq, K.C. De Verdwenen Kanonnen Van Het Kastel Van Jepara (Hilangnya Meriam Di Istana Benteng Jepara), TBG, Tahun 1940, Jilid LXXX

de Graff, DR. H, penerjemah Dick Hartoko,Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut Di Kartasura Abad XVII, PT Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, 1989.

Hayati, M.S. Dra. Chusnul,et all, Sejarah Ratu Kalinyamat Usulan Sebagai Pahlawan Nasional Dari Jepara, kerja sama Pemerintah Kabupaten Jepara dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Jepara, Desember 2005

Heryanto, Bambang, Roh dan Citra Kota, Brilian Internasional, Surabaya, 2011

Purnomo, H., Irawati, R.H. dan Melati (ed.). Menunggang Badai: Untaian Kehidupan, Tradisi Dan Kreasi Aktor Mebel Jepara. CIFOR, Bogor, Indonesia.2010

Roda, Jean-Marc et al., Atlas Industri Mebel Kayu Di Jepara, Indonesia, Cirad, Cifor, Harapan Prima, Jakarta, 2007

24