JENDER

8
1 KONSEP DAN ANALISIS JENDER Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd Pengantar Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan. Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat. Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan. Bukan hanya itu, dalam banyak situasi hal ini mendorong digunakannya analisis gender dalam mencandra banyak persoalan yang menyangkut ketidakadilan sosial, terutama yang menimpa kaum perempuan. Gender, apa itu? dimana dia? Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan

description

Pengeertian JENDER

Transcript of JENDER

  • 1

    KONSEP DAN ANALISIS JENDER

    Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd

    Pengantar

    Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi yang dilirik

    setelah kelompok laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam

    mayarakat tersebut secara tidak sadar biasanya dikonstruksikan oleh budaya setempat

    sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam

    masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk

    perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam

    konteks budaya peran yang diembannya haruslah memiliki kesetaraan.

    Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan

    perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat.

    Terkait dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang

    kuat dalam memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini

    pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas

    perempuan. Bukan hanya itu, dalam banyak situasi hal ini mendorong digunakannya

    analisis gender dalam mencandra banyak persoalan yang menyangkut ketidakadilan

    sosial, terutama yang menimpa kaum perempuan.

    Gender, apa itu? dimana dia?

    Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin

    yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan,

    berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan

  • 2

    tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender

    sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang

    dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Faqih, 1999), dengan begitu tampak jelas

    bahwa pelbagai pembedaan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan biologis,

    tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan

    peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan dalam setiap bidang

    masyarakat (Kantor Men. UPW, 1997). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa

    gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi

    sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat berubah

    dari waktu ke waktu sesuai kontruksi masyarakat yang bersangkutan tentang posisi

    peran laki-laki dan perempuan.

    Kerancuan dalam mempersepsi perbedaan seks dalam kontek sosial budaya dan

    status, serta peran yang melakat pada relai laki-laki perempuan pada akhirnya

    menumbuhsuburkan banyak asumsi yang memposisikan perempuan sebagai sub-

    ordinat laki-laki. Ketimpangan relasi laki-laki-perempuan ini muncul dalam

    anggapan, laki-laki memiliki sifat misalnya assertif, aktif, rasional, lebih kuat,

    dinamis, agresif, pencari nafkah utama, bergerak di sektor publik, kurang tekun.

    Sementara itu di lain sisi, perempuan diposisikan tidak assertif, pasif, emosional,

    lemah, statis, tidak agresif, penerima nafkah, bergerak di sektor domestik, tekun, dll.

    Berkembangnya peradaban mestinya menyadarkan banyak kalangan bahwa asumsi

    yang muncul dan selalu melekat pada perempuan tidak selamanya benar, demikian

    juga sebaliknya. Sebab, pada kenyataan empiris banyak ditemukan kasus yang

    membuktikan bahwa hal tersebut tidak selamanya berlaku linier. Namun dalam

    kenyataannya mempergunakan analisis gender dalam relasi hubungan laki-laki dan

  • 3

    perempuan kerap mengalami hambatan baik di kalangan laki-laki sendiri (terutama),

    juga di kalangan perempuan.

    Dalam analisisnya Fakih (1999) mencatat beberapa hal yang menyebabkan

    terjadinya penolakan penggunaan analasis tersebut. Pertama, mempertanyakan status

    perempauan identik dengan menggugat konsep-konsep yang telah mapan. Kedua,

    adanya kesalahpahaman tentang mengapa permasalahan kaum perempuan

    dipersoalkan? Ketiga, diskursus tentang relasi laki-laki perempuan pada dasarnya

    membahas hubungan kekuasaan yang sangat pribadi, yang melibatkan pribadi

    masing-masing serta menyangkut "hal-hal khusus" yang dinikmati oleh setiap

    individu.

    Bagi penulis, penolakan itu terjadi salah satunya juga disebabkan "main frame"

    budaya lebih mengedepankan peran laki-laki dibanding perempuan, sehingga

    sebenarnya penolakan itu terjadi dilakukan oleh institusi "abstrak" yang bernama

    budaya. Setidaknya kasus penelitian Kohlberg tentang tahapan pengembangan moral

    membuktikan analisis ini, bahwa pada banyak budaya --apapun-- posisi laki-laki lebih

    dikedepankan. Imanuel Kant tentang imperatifnya, yang menyatakan bahwa sulit

    dipercaya perempuan mampu menerima prinsip-prinsip imperatif (kategoris,

    hipotesis).

    Fenomena-fenomena tersebut lebih menyadarkan kita bahwa gender ternyata ada

    dalam konsep sosial masyarakat. Dalam paparannya Sugiah (1995) menyimpulkan

    bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial

    budaya jender. Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang

    menyebabkan terjadinya gender adalah pemposisian peran anak laki-laki dan anak

    perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak

  • 4

    yang sebanarnya merupakan hak universal. (Kerap terjadi orang tua menyatakan anak

    laki-laki tidak boleh menangis, secara tidak sengaja hal ini mengisyaratkan bahwa

    anak perempuan boleh; anak perempuan harus bermain pasar-pasaran, boneka dan

    lain-lain permainan yang identik sebagai permainan perempuan, dan sebaliknya anak

    laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan).

    Selain itu dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasi

    pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak,

    anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah --tentunya juga

    mengerjakan pekerjaan yang identik laki-laki--. Proses pewarisan nilai ini pada

    akhirnya akan menjadikan anak terus memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh

    anak laki-laki dan apa yang tidak boleh dilakukannya, demikian juga untuk anak

    perempuan ada seperangkat aturan yang tidak boleh dilanggarnya karena budaya

    melarangnya, konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran gender (gender role

    ideology, Matsumoto, 1996).

    Mengatasi bias Gender

    Banyak lagi kasus-kasus di masyarakat yang mentengarai terjadinya gias gender,

    baik dalam situasi pendidikan, organisasi sosial, kemasyarakatan dan politik, struktur

    pelaku ekonomi, apresiasi pekerjaan. Hal yang sama juga terjadi dalam pendekatan

    pembangunan yang dilaksankan, yang jika dicandra secara cermat betapa perempuan

    kerap dalam posisi obyek penyerta pembangunan. Rasionalitas atas itu semua

    menjadikan maraknya dilakukan pendekatan perlunya melakukan posisi ulang atas

    perempuan dalam pembangunan.

    Gagasan itu marak untuk kalangan dunia ketiga, yang kemudian dikenal dengan

    istilah WID (Woment in development, perempuan dalam pembangunan) --konsep

  • 5

    WID marak tatkala pemerintah Amerika mengumumkan the percy amendment to the

    1973 Assistance Act (Undang-undang bantuan luar negeri) tahun 1970-an yang secara

    tegas mencantumkan perempuan dalam program pembangunan internasional, pada

    akhirnya program-program tersebut mempengaruhi PBB, yang menjadikan tahun

    1976-1985 sebagai International Decade of Women--.

    Pada awalnya WID menjadi "main program" di banyak negara berkembang --juga

    yang dilakukan di Indonesia-- yang memberi perhatian pada perempuan, dan tatkala

    model ini dimunculkan banyak kalangan yang menyakininya sebagai alternatif terbaik

    bagi penyertaan perempuan dalam proses pembangunan yang sedang berjalan. Namun

    belakangan muncul kritik atas metode ini, sebab pada kenyatannya metode ini justru

    melanggengkan dominasi laki-laki atas wamota di dunia ketiga melalui proses

    penjinakan (kooptasi/cooptation), dan pengekangan (regulasi/regulation).

    Pada akhirnya kritik-kritik ini melahirkan metode baru yang dikenal dengan GAD

    (Gender and Development, gender dan pembangunan). Ada beda antara WID, dan

    GAD, yang pada operasionalnya akan tetap terjadi pemisah ataupun pemersatu relasi

    laki-laki dan perempuan. Pada WID, digunakan untuk meningkatkan kemampuan

    perempuan agar memiliki kesejajaran dengan laki-laki melalui program khusus untuk

    perempuan, sehingga dalam aktivitasnya hanya menyertakan perempuan saja.

    Sementara itu, GAD adalah program pembangunan yang bersifat umum untuk laki-

    laki dan perempuan sehingga hasil-hasil pembangunan tidak berdampak negatif

    terhadap perempuan.

    Gender dalam Konsep Penelitian

    Adanya konsep gender yang kerap merugikan posisi kaum perempuan mendorong

    hadirnya analisi yang lebih sesuai dengan situasi tersebut. Analisis gender merupakan

  • 6

    analisis yang digunakan untuk menganalisis posisi, dan relasi perempuan laki-laki

    dalam masyarakat untuk mengidentifikasi potensi, dan kebutuhan spesifik mereka

    masing-masing. Adapun yang menjadi tugas utama analisis jender adalah memaknai,

    fenomena-fenomena yang terkait dengan relasi perempuan laki-laki dalam konsep

    budaya, serta implikasinya dalam aspek kehidupan lainnya.

    Dalam kasus penelitian berperspektif gender, maka analisis ini menduduki peran

    yang sangat strategis. Namun harus diingat, bahwa penelitian berprespektif gender

    bukan sekadar penelitian yang menjadikan wanita sebagai obyek penelitian (penelitian

    ini disebut penelitian kewanitaan, bukan berprespektif gender), tetapi yang

    menganalisis relasi antara laki-laki dan perempuan pada situasi sosial dan budaya

    yang ada.

    Dalam penelitian berperspektif gender, maka harus ditengarai oleh beberapa hal

    seperti:

    1. Tujuan penelitian adalah mengangkat derajat perempuan dan memunculkan isu

    tentang perempuan. Lebih dari itu, penelitian dimaksudkan sebagai upaya

    mengubah konstruk budaya yang bias gender, sehingga secara langsung proses

    penelitian ditujukan bagi upaya penyadaran kedudukan dan status perempuan.

    2. Penelitian dilakukan dalam konteks "gender sensitive","gender conscious","gender

    balance" dan meninggalkan paradima androsentrisme. Dengan begitu dalam

    konsep ini dikembangkan paradigma gender non-sexist yang mengakui keabsahan

    gagasan, pengalaman, kebutuhan dan kepentingan laki-laki dan perempuan secara

    seimbang.

    3. Penelitian harus meninggalkan parameter yang bias laki-laki.

  • 7

    4. Penelitian bukan sekadar mengambil obyek di sekitar persoalan perempuan, tetapi

    menjadikan perempuan sebagai subyek otonom dan berguna bagi perempuan itu

    sendiri dalam upaya mengubah kondisinya saat ini.

    5. Dalam penelitian tersebut perempuan hendaklah dipandang sebagai subyek yang

    memiliki unifikasi inividual dan holistik. Dengan begitu hendaklah perempuan

    diberi kesempatan untuk berbicara sendiri atas nama dirinya sendiri dan tentang

    dirinya.

    6. Dalam pengumpulan data peneliti hendaklah melakukan pendekatan secara

    partisipatif dengan mengikuti aktivitas keseharian wanita, dalam upayanya

    melakukan penyadaran, penyetaraan dan pembebasan. Terkait dengan hal ini,

    proses wawancara dilakukan secara mendalam. Agar proses pengumpulan data

    membawa hasil baik dalam dilakukan proses participant observation, interview

    mandalam, studi etnografis, analisis dokumen, case study, oral history, experiential

    analysis.

    7. Dalam kaitannya dengan point 6, maka relasi peneliti dan subyek peneliti tidak

    berjarak, dan melakukan intersubyektifitas sebagai upaya melakukan empati

    terhadap subyek yang diteliti. Dengan begitu dalam penelitiannya, peneliti tidak

    menempatkan dirinya secara hirarkis.

    8. Menyadari bahwa perempuan sebagai individu yang unik, maka pendekatan

    penelitian tidak membatasi dalam satu lingkup kajian keilmuan sajat, sehingga

    peluang interdisipliner lebih menjadikan proses penelitian membawa hasil yang

    memuaskan bagi perempuan.

    9. Orientasi penelitian sedapat mungkin pada pemecahan masalah perempuan, yang

    dilakukan oleh subyek penelitian itu sendiri.

  • 8

    10.Desain penelitian sedapat mungkin bersifat lentur (re-design), sehingga banyak

    fenomena yang dapat terungkap secara mendalam.(Muhammad Idrus 17111199)

    Daftar Pustaka

    Echols, John. M. dan Hassan Shadily. 1976. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:

    Gramedia.

    Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar.

    Kantor Menteri Negara UPW. 1997. Petunjuk Penyusunan Perencanaan

    Pembangunan Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta:

    Kantor Men.UPW.

    Matsumoto, David. 1996. Culture and psychology. Pacific Grove: Brooks/Cole

    Publishing Company.

    Sugiah, Siti. 1995. Konsep Jender dalam Program Pembangunan Makalah

    Pelatihan Metodologi Studi Jender dan Pembangunan, IPB Bogor.