Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia (Studi …repository.ub.ac.id/5066/1/Hesti...
Transcript of Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia (Studi …repository.ub.ac.id/5066/1/Hesti...
-
Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia
(Studi Sejarah Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh
Pertelevisian Indonesia)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Bidang Minat
Utama Komunikasi Massa
Oleh :
Hesti Kusuma Wardhani
135120201111023
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
ABSTRAK
Hesti Kusuma Wardhani, 135120201111023, Jurusan Ilmu Komunikasi.
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Brawijaya. JEJAK SEJARAH
PERKEMBANGAN PERTELEVISIAN DI INDONESIA (Studi Sejarah
Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh Pertelevisian di Indonesia)
Pembimbing: Nisa Alfira, S.I.Kom., M.A.
Ishadi Soetopo Kartosapoetro atau yang akrab disapa dengan nama Ishadi
SK merupakan “ikon” pertelevisian di Indonesia. Pengalamannya selama 40 tahun
di dunia televisi membuatnya memiliki catatan tersendiri tentang dinamika
pertelevisian di Indonesia. Mengawali karier sebagai seorang reporter di TVRI
kemudian berganti status menjadi Direktur Utama TVRI, sempat bekerja di TPI
dan kemudian mendirikan Trans TV dan sekarang menjabat sebagai Komisaris
Utama Trans TV.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pemikiran
Ishadi SK sebagai praktisi di dunia televisi. Sebagai seorang praktisi televisi yang
telah berkiprah di masa orde baru dan reformasi sudah hal yang pasti jika dirinya
memiliki catatan tersendiri tentang perkembangan pertelevisian di Indonesia.
Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
perkembanagan pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran Ishadi SK.
Penelitian ini menggunakan perspektif komunikasi historis dengan pendekatan
sociology of knowledge dan sociology of media, dengan metode kualitatif.
Hasil dari pemetaan data yang didapatkan peneliti menunjukkan pada pola
pemikiran Ishadi SK tentang ekonomi politik media yang mengatakan bahwa
industri media memang tidak dapat lepas dari praktik ekonomi politik media yang
dibuktikan dengan adanya kontrol dan kaitan media dengan pemerintahan. Selain
itu pemikirannya mengenai manajemen media yang mengatakan bahwa sumber
daya manusia memiliki peran yang penting terhadap media itu sendiri.
Kata Kunci: Ishadi SK, Studi Pemikiran, Komunikasi Historis, Sociology of
Knowledge, Sociology of Media, Ekonomi Politik Media, Manajemen Media.
-
vi
ABSTRACT
Hesti Kusuma Wardhani, 135120201111023, Communication Major, Politics
and Social Sciences Department, Brawijaya University, The History Trail of
Indonesian Broadcasting Development (The Study of Ishadi SK’s Intellection
On Communication History as Indonesian’s Broadcasting figure). Mentor:
Nisa Alfira, S.L.Kom., M.A.
Ishadi Soetopo Kartosapoetro or well known as Ishadi SK, is an icon of
television broadcasting industry in Indonesia. He is being experienced in the
Industry for 40 years. It makes him possessing his own record about the dynamic
of television broadcasting industry in Indonesia. He was the president director of
National Television “Televisi Republik Indonesia (TVRI)” before began his
career as a journalist. He got to work in Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), and
then founded new media called as Trans TV, currently he is the main
commissioner in Trans TV.
This current research aims to achieve deeper understanding of Ishadi SK’s
thought as practitioner in the industry. As practitioner within the new order
(Indonesian:orde baru) and reformation era, he holds a record of the industry’s
development. Thus, the research will result a proper depiction of Indonesia’s
television broadcasting industry through Ishadi SK. The research uses historical
communication perspective with sociology of knowledge and sociology of media
approach. It uses qualitative method.
Based on research, the result shows mindset of Ishadi SK about media
politic and economy. It asserts the media industry will be regularly intertwined
with politic and economy practice. It has been proven by the existence of
government control and media-government relation. The other thoughts of Ishadi
SK asserts that human resources factor have important role toward media.
Keywords: Ishadi SK, Intellection study, Historical Communication, Sociology of
Knowledge, Sociology of Media, Economy and Politics of media, Management of
Media
-
vii
Daftar Riwayat Hidup
Personal Info
Nama : Hesti Kusuma Wrdhani
Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 28 Desember 1994
Alamat : Jalan Mendut 64 b, Patihan
Madiun
Nomor Handphone : 082233604971
E-mail : [email protected]
Personality
ENFJ-T (Based on MBTI Test)
Ekstraverted, Intuitive, Feeling, Judging, Turbulent
- On Time
- Responsible
- Dicipline
- Loyal
Eduction
Periode Instansi Pendidikan
2001-2007 SD Negeri 03 Madiun Lor
2007-2010 SMP Negeri 1 Madiun
2010-2013 SMA Negeri 2 Madiun
2013-2017 Universitas Brawijaya Malang
Organization Experience
-
viii
Periode Jabatan Organisasi
2013-2014
Staf Magang Divisi
PSDM
Himpunan Mahasiswa Ilmu
Komunikasi (HIMANIKA)
2013-2014 Anggota Pers Kampus
Unit Aktifitas Pers Kampus
Mahasiswa (Kavling10)
2014-2016 Staf Tetap Divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Ilmu
Komunikasi (HIMANIKA)
Working Experience
Brilio.com : Reporter (Freelance) Mei –
Desember 2016
Yankes Event Organizer : Event Manager
Malangtimes : Reporter (Internship) Juli-Agustus
2016
Arema FC :Event Manager (Arema Goes To
School) 2016-2017
PT Olride Kreasi Digital : Content Creator September 2016 –
September 2017
Skills
• Microsoft Office
• Good Communication
• Hard Worker
Language
Indonesia 100
-
ix
English 75
Interest
Mass Communication
Event Management
Creative Industries
-
x
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
senantiasa memberi petunjuk, membimbing, dan menguatkan di sepanjang waktu.
Atas rahmat dan karuni-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya,
dengan judul JEJAK SEJARAH PERKEMBANGAN PERTELEVISIAN DI
INDONESIA (Studi Sejarah Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh
Pertelevisian Indonesia)
Penulis menyadari, dengan adanya bantuan dan dorongan moril dari
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
• Ibu Nanik Kustini S.Pd dan Bapak Ir. Suwardojo yang tak pernah lelah
untuk mendoakan dan memotivasi penulis dari lahir sampai penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Indah Kusuma Wardani S.Psi yang menjadi
tempat bertukar pikiran, berkeluh kesah dan menjadi teman terbaik untuk
berbagi sejak kecil sampai sekarang.
• Bapak Dr. Antoni selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Brawijaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian studi pemikiran. Dan juga menginspirasi
-
xi
mahasiswanya untuk terus mengeksplorasi penelitian-penelitian dalam
ranah Ilmu Komunikasi.
• Ibu Nisa Alfira, S.I.Kom, MA selaku pembimbing skripsi yang telah baik
hati, dan sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini. Pembimbing yang paling rajin untuk membuka bimbingan bagi
mahasiswa-mahasiswanya. Pembimbing yang memberikan penulis
kesempatan untuk melakukan penelitian skripsi studi pemikiran tokoh.
• Bapak Bambang Semedhi mantan dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial Ilmu Politik atas kesediaannya untuk menjadi informan dan
memberikan penulis gambaran tentang tokoh yang penulis teliti.
• Bapak Drs. Eduard Lukman, M.A, Sekertaris Program Pascasarjana
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, atas segala kebaikan dan
kerendahan hati yang diberikan sehingga penulis mendapatkan ilmu baru.
Informan sekaligus guru bagi penulis yang megajarkan banyak hal diluar
penelitian ini.
• Dr. Ishadi Soetopo Kartosapoetro, M.Sc , Ishadi SK atau yang akrab
disapa Pak Is selaku Komisaris Trans Media dan tokoh yang penulis
jadikan sebagai subjek penelitian. Kerendahan hati dan kebaikan yang
diberikan, serta ilmu kehidupan yang jarang orang lain bisa dapatkan
secara langsung dari praktisi sekaliber beliau. Terimaksih telah
meluangkan waktu untuk berbagi informasi dengan peneliti, ditemani
segelas teh hangat dan sepiring ketoprak.
-
xii
• Tevtia Syeisha L atas kebaikannya membuka kan jalan penulis untuk dapat
berkomunikasi dengan orang-orang hebat, dan tempat untuk bertukar
pikiran, berkeluh kesah selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Mbak
Andini K Warman atas kebaikan hati dan motivasinya untuk bersama-
sama dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai deadline. Yolla Marta
Kusuma atas segala bimbingan dan kesabarannya atas pertanyaan-
pertanyaan yang penulis ajukan.
• Sinta Ayu Hapsari atas semua kebaikan, dan menjadi sahabat terbaik
untuk berbagi suka dan duka selama di perantauan. Alvinia Yuliareza
Gutomo, Prapti Dwi Astuti, Jenn Shinta Alifia, Pipit Ika Ramadhani dan
Mahathadea Abellysa Hutapea atas segala canda dan tawa yang kita
habiskan bersama, kalian meringankan beban perkuliahan ini.
• Tectona Indah, dan Rochadi Mahalalita atas persahabatan selama sepuluh
tahun. Auliya Ulfa, Dana Puspita, Dessy Ratna Wandari, dan Winanda
Rizky atas motivasinya.
• Panji Aldiansyah Ismail, Masaji Reinhard, Jerry Hannan Sabirin atas
kebaikan, dukungan dan kesediaan untuk berbagi keluh kesah. Muhammad
Faza Abadi dan Rama Rachii untuk selalu menjadi yang terdepan dalam
membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
• Untuk seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
angkatan 2013. Terimakasih atas kebersamaannya selama menjadi
mahasiswa baru, berada di kelas dan menanti dosen di lantai 3.SUKSES!!!
-
iv
-
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar1. Hermeneutika Dialogis Gadamer..........................................................51
-
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Studi Penelitian Terdahulu.......................................................................39
Tabel 2. Sumber Data.............................................................................................47
-
vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran.........................................................................43
-
131
-
132
132
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemunculan awal ilmu komunikasi selalu dikaitkan dengan aktivitas
retorika pada zaman Yunani kuno. Simonson, dkk. (2013, h.13) mengatakan
bahwa pada abad ke-17 sampai awal abad ke-18 komunikasi hadir ketika para
filsuf, ahli/profesor bidang retorika, ahli bahasa, pakar ekonomi politik,
antropolog, dan sosiolog memberi perhatian yang lebih terhadap bahasa dan
komunikasi sosial. Ilmu Komunikasi muncul dari tulisan maupun pemikiran para
ahli tersebut. Komunikasi muncul sebagai sebuah ide yang semakin penting dalam
merasakan pembangunan dan organisasi pengetahuan, masyarakat, kehidupan
politik, dan diri sendiri.
Pada tahun 1884 barulah studi mengenai komunikasi di Eropa
berkembang. Perkembangannya membahas bidang surat kabar (zaitungskunde)
dan juga merambah ke bidang elektronika (zaitungswissenchat) (Cangara,2014).
Perkembangan Ilmu Komunikasi tak luput dari peran para pelopor yang
berkontribusi untuk menjadikan komunikasi sebagai sebuah kajian keilmuan yang
penting. Rogers (1997,h.xxi) mengatakan bahwa para pelopor tersebut antara lain
Gabriel Tarde, Georg Simmel, Robert E.Park, George Herbert Mead, Kurt Lewin,
Harold Laswell, Paul Lazarsfield, Carl I Hovland, Nobert Wiener, dan juga
Claude E. Shannon.
-
Pada tahun 1930 setelah Perang Dunia II berlangsung kajian Publisistik
dikenalkan oleh Walter Hagemann sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak hanya
mencakup surat kabar saja, namun juga radio, film dan retorika. Namun terdapat
perbedaan dalam penamaan “publisistik”, seperti di Amerika Serikat yang
memberikan istilah Ilmu Komunikasi atau Jurnalisme untuk sebuah studi tentang
media dan persuratkabaran. (Rogers, 1997, h. 34-36). Namun lebih lanjut Rogers
dalam buku A History of Communication mengatakan bahwa pelembaga Ilmu
Komunikasi sesungguhnya adalah Wilbur Schramm. Ilmu Komunikasi semakin
mendapatkan perhatian tersendiri di kalangan para peneliti, sehingga
perkembangannya dapat dijadikan sebagai sebuah “sejarah” tersendiri yang
semakin mendorong para akademisi komunikasi untuk memberikan perhatian
yang lebih. Hal ini sebagaimana dijelaskan Simonson (2013, h.13),
“...we can conceive communication history in more spacious terms,understanding it as written, spoken or other mediated representations ofsignifying events and practices in the past. From this perspective, every culturehas at least some analogue to communication history”.
Nerone dalam bukunya The Future of Communication History
menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok ahli komunikasi, ilmuwan yang
berkecimpung dalam studi komunikasi perspektif historis. Pertama memiliki
keterkaitan aliran dengan “Canadian School” dan pioner Amerika Serikat seperti
James W.Carey dan Neil Postman, yang berfokus pada perkembangan teknologi
komunikasi. Kedua adalah ilmuwan yang terkait dengan sejarah jurnalistik klasik
dan sejarah kebebasan pers, yang fokusnya seputar kontribusi lembaga media
terhadap perkembangan kebebasan demokrasi. Kelompok yang pertama memiliki
-
kecenderungan yang menekankan pada “bentuk” sedangkan yang kedua
menekankan pada “isi”. (Nerone, 2006, h.254)
Secara umum, disisi lain para ahli bidang komunikasi mengakui kajian
mengenai sejarah komunikasi sebagai sebuah kajian yang kurang berkembang.
Seperti sebutan yang diberikan oleh Schudson (1991, h.175) “ The writing of
communication history is woefully underdeveloped”. Salah satu sebab Schudson
berpendapat seperti di atas dikarenakan meskipun perkembangan media
komunikasi menjadi sebuah institusi sudah besar, akan tetapi apa yang “diangkat”
oleh media justru hanya berpusat kepada perhatian daripada media yang menjadi
pengusungnya. Media sebagai sebuah lembaga memiliki perbedaan karakter
dibandingkan lembaga lain seperti negara, karena tentunya media memiliki
tingkat otonomi tersendiri, selain itu media juga dapat menjadi “ independent
influence” terhadap perubahan politik, sosial dan kebudayaan. Meskipun
demikian, pada kenyataanya media lebih dilihat sebagai latar belakang dan bukan
sebagai pelaku atau subjek historis utama.
Hal serupa juga pernah disampaikan Elizabeth Eisenstein (dalam Zelizer,
2008), lebih lanjut Eisenstein mengatakan bahwa belum adanya studi sistematis
dari dampak teknologi mesin cetak terhadap kebudayaan.
“The real poverty of “techno-history,” however, is not to be found in the work oferitude determinists such as Marshall McLuhan, Elizabet Eisenstein, and NeilPostman, but in the pronouncements of overzealous new media scholars whochampion the latest technology –notably the internet- as an agent ofrevolutionary human change”. (Zelizer, 2008,h.17)
Banyak tokoh komunikasi yang turut berkontribusi dalam mengkaji lebih
lanjut tentang kajian komunikasi perspektif historis, di antaranya adalah Everett
-
M. Rogers yang melakukan studi melalui bukunya yang berjudul “A History of
Communication: A Biographical Approach” (1997). Selain itu Charles Wright
Mills dengan karyanya yang berjudul The Sociological Imagination (1959).
Melalui buku tersebut Mills memberikan kritikan pada gaya Lazarsfeld sebagai
analisis sosial, khususnya pada tingkat individu (Antoni, 2004, h.168). “The
Handbook of Communication History” (2013) juga turut memperkaya khazanah
pengetahuan yang berkaitan dengan kajian komunikasi perspektif sejarah. Buku
karya Peter Simonson dkk tersebut mengatakan bahwa komunikasi perspektif
sejarah merupakan sebuah kajian baru sekaligus merupakan praktik yang cukup
lama, maka dari itu apakah kita akan mendefinisikan secara konseptual utuh atau
kesadaran diri kolektif, hal inilah yang akan terus digali dari komunikasi
perspektif sejarah (Simonson, 2013, h.13)
Selain itu Robert T. Craig yang juga turut andil dalam pembuatan buku
tersebut menyatakan pendapatnya bahwa kajian komunikasi sejarah masih
terbatas pada Amerika Utara dan Eropa Barat saja, “ the first and most urgent task
is to de-Westernize the field’s historiography-to produce histories of the field
beyond North America and Western Europe” (2013, h.102). Craig dkk telah
memberikan jalan untuk dapat mencoba melakukan kajian perkembangan ilmu
komunikasi di Asia, namun masih hal tersebut masih terbatas pada Cina, Jepang
dan Korea. Hal ini kemudian dinilai penting untuk mengkaji perkembangan
komunikasi di luar kawasan tersebut, misalnya di kawasan Asia Tenggara
khususnya Indonesia. Kajian tersebut dapat berupa kajian melalui pemikiran
tokoh-tokoh komunikasi yang ada di Indonesia, baik praktisi maupun akademisi
-
yang telah lama ada dan berkecimpung di bidang Ilmu Komunikasi. Sehingga
besar harapannya agar dapat terlihat corak pemikiran para tokoh komunikasi
Indonesia dari zaman revolusi hingga saat ini.
Penelitian mengenai pemikiran tokoh tersebut tentunya dapat dikaji
dengan menggunakan studi pemikiran. Ibrahim (2004, h.20) mengatakan bahwa
studi pemikiran adalah studi yang dapat melihat inti gagasan yang terkandung di
dalam karya para pemikir. Menarik, apabila hal tersebut dikaitkan dengan biografi
atau latar belakang pemikir yang dikaji. Lebih lanjut Ibrahim berpendapat bahwa
selain mengaitkan dengan biografi tokoh, akan lebih relevan jika dikaitkan juga
dengan konteks sosial di mana pemikiran tersebut muncul. Hal inilah yang
kemudian disebut dengan pendekatan sociology of knowledge. Berger&Luckmann
(1990,h.1) mengatakan bahwa sebuah kenyataan itu dibangun secara sosial, dan
sosiologi pengetahuan atau sociology of knowledge lah yang harus menganalisa
proses terjadinya hal tersebut. Menurut Ibrahim (2004, h.20) sudut pandang
komunikasi dapat difungsikan sebagai panduan untuk menjelaskan posisi dari
seorang pemikir (komunikator) dalam masyarakatnya (khalayak), dan bagaimana
pengaruh (efek) wacana pemikirnya (pesan) dalam rentan waktu tertentu.
Berdasarkan pernyataan di atas, pemikiran studi tokoh berada di posisi
yang fleksibel untuk dikaitkan dengan kajian apapun, sesuai dengan apa yang
dimiliki oleh tokoh tersebut. Penelitan studi pemikiran tokoh dapat dijadikan
sebagai upaya dalam melakukan dewesternisasi kajian jurnalisme. Wasserman
dan Faust (1994) mengatakan bahwa dewesternisasi merupakan upaya sebuah
bagian dalam menawarkan perspektif lain di luar perspektif yang sudah
-
berkembang, dalam hal ini perspektif Barat. Hal ini dilakukan agar masyarakat
dapat menerima dalam bentuk wacana akademik, mengingat teori-teori mengenai
pers dan jurnalisme lebih banyak bersifat kontekstual dan bergantung pada situasi
sebuah negara yang memiliki ideologi, budaya, situasi politik, latar sejarah dan
karakter masyarakat yang khas.
McDougall (dalam Mondry, 2008) berpendapat bahwa jurnalisme
merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan kemudian melaporkan
peristiwa tersebut. Kegiatan itu merupakan bentuk tugas yang dijalankan oleh
jurnalis (wartawan atau reporter) dalam memunculkan informasi berupa berita
bagi masyarakat melalui media cetak maupun elektronik. Pada penelitian kali ini,
peneliti akan lebih jauh membahas tentang sejarah komunikasi melalui perspektif
pemikiran tokoh pertelevisian di Indonesia yakni Ishadi SK. McQuail (2012, h.4)
mengatakan bahwa televisi merupakan saluran utama dan perwujudan sebuah
kebudayaan, sebagai gambaran realitas sosial dari identitas sosial, gagasan,
kepercayaan, dan nilai-nilai. Televisi dengan frekuensi yang intens dan terus
menerus, pengaruhnya dapat membuat apa yang ada dalam pikiran penonton
televisi sama dengan apa yang disajikan televisi (Infante, dkk,. 2003). Hal inilah
yang menjadikan televisi sebagai bagian dari kekuatan sebuah lembaga
masyarakat dan memiliki pengaruh yang kuat dalam bentuk konstruksi realitas
sosial dan budaya (Littlejohn dan Foss, 2005).
Senada dengan pendapat McQuail menurut Williams (dalam Fickers,
2013, h.239) mengatakan bahwa “As did television—as both “technology and
cultural form”. Lebih jauh Fickers menjelaskan bahwa hal ini didasarkan pada
-
sejarah televisi yang secara dinamis dapat berubah, sesuai dengan perkembangan
zaman dan keadaan sosial, politik, ekomoni dan budaya suatu negara. Sebagai
contoh di Indonesia, kemunculan televisi di Indonesia merupakan prakarsa dari
Presiden Soekarno yang saat itu menginginkan untuk mendirikan televisi yang
bertujuan untuk mengembangkan kebudayaan nasional melalui layar kaca
(Kartosapoetro, 2007,64). Praktis pada tahun 1962, tepatnya saat perayaan HUT
RI ke 17, Indonesia memiliki stasiun televisi yang bernama TVRI. Sebagai
televisi pemerintah pada masa orde baru, sudah hal yang pasti bahwa TVRI
menjadi kendaraan alat elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya, dengan
memanfaatkan peran media sebagai penyalur informasi kepada khalayak luas. Mc
Carty (dalam Zelizer, 2008, h.130) menjelaskan hal yang sama bahwa hadirnya
televisi layanan umum atau milik pemerintah adalah media untuk dialog
pemerintahan dan elite politik, terlepas dari bagaimanapun nanti efeknya di
masyarakat.
Berbicara tentang perkembangan televisi, pastinya terdapat tokoh yang
turut andil dan berperan dalam perkembangannya, baik itu sebagai praktisi,
ataupun pengamat pertelevisian Indonesia. Dr. Ishadi Soetopo Kartosapoetro, M.Sc.
atau yang akrab dikenal dengan nama Ishadi SK merupakan salah satu orang yang tidak
dapat terlepas dari sejarah pertelevisian Indonesia. Kiprahnya di dunia penyiaran
khususnya televisi sangatlah intens, terbukti dengan dirinya memulai terjun ke dunia
televisi sejak tahun 1967 sampai sekarang.
“ Saya memang sudah memiliki passion di bidang jurnalistik, hampir 95 persendari karier saya, ada di TVRI. Sebelumnya saya pernah magang di KoranNusantara namanya, saya ke Kompas juga magang. Sampai pada akhirnya saya
-
intens untuk mendalami dunia televisi sampai sekarang.” (wawancara 5 Mei2017)
Dari TVRI-lah kiprahnya sebagai praktisi pertelevisian Indonesia dimulai.
Ishadi memiliki latar belakang pendidikan yang sangat mendukung kariernya
sebagai orang yang ahli di bidang pertelevisian, diantaranya adalah menempuh S1
Jurusan Komunikasi Fisipol Universitas Indonesia, menyelesaikan pascasarjana
dalam bidang jurnalistik di Ohio Univeristy, AS dan menyelesaikan S3 di
Universitas Indonesia. Selain itu pria yang akrab disapa Pak Is ini juga pernah
mengikuti pendidikan pertelevisian ke beberapa negara seperti Philipina (1969),
Jerman Barat (1974-1975), dan Belgia (1977) yaitu dengan program belajar di
stasiun televisi pemerintah setempat (Matra, 1989).
Latar belakang pendidikan yang mumpuni dan pengalaman yang cukup
matang di televisi menjadikan Ishadi cocok untuk mendapatkan gelar sebagai
“icon” pertelevisian Indonesia. Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh
Garin Nugraha dalam kata pengantar buku karya Ishadi SK yang berjudul Jelajah
(2002).
“Ishadi adalah sebuah nama yang melekat dalam dunia televisi, nama itu adalahsebuah “icon”. Yang di baliknya terdapat sebuah sejarah televisi, sejarahberbagai perspektif televisi, dari sejarah televisi ketika hanya dikuasaipemerintah lewat TVRI, hingga sejarah televisi multi kanal. Ishadi adalah sebuah“icon” dunia media, karena ia tidak saja birokrat ketika di TVRI, maupunentrepreneurship ketika di TPI dan membangun Trans Televisi, sekaligus adalahintelektual dengan latar pendidikan dan perannya sebagai pelajar maupunkolomnis.
-
Sebelum menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, terlebih dulu Ishadi
mencicipi jabatan untuk memimpin TVRI Stasiun Yogyakarta. Di stasiun televisi
yang memiliki 300 karyawan, Ishadi membuktikan kepiawaiannya dalam
mengelola sebuah televisi. Terbukti bahwa Ishadi dapat merancang program,
mempertanggungjawabkan program, memikirkan kelankutan hidup stasiun yang
dipimpinnya, mengelola keuangannya, dan memimpin karyawan (Matra,
1989,h.144). Tangan dinginnya sebagai seorang praktisi di bidang televisi inila
yang membuat kariernya semakin meningkat.
Saat Ishadi menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, Ishadi banyak
melakukan terobosan-terobosan yang membuat TVRI mendapatkan tempat di hati
masyarakat, terlepas memang pada saat itu di Indonesia hanya memiliki satu
stasiun televisi saja. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Eduard
Lukman yang mengatakan bahwa banyak program acara populer yang berasal dari
buah pemikiran Pak Is. Senada dengan pendapat di atas, dalam Matra (1989)juga
mengatakan bahwa :
“ Di samping itu Ishadi selalu mencari hal baru. Sebab, dia punya prinsip, stafdan karyawan harus disibukkan dengan ide-ide baru, baik yang datang dari atasmaupun dari bawah. Sesuatu yang sudah berjalan satu tahun misalnya, harussegera diganti dan diperbaiki.” (Matra, 1989, h.145)
Ishadi menganggap bahwa televisi merupakan sebuah industri bisnis yang
membutuhkan modal dan akan menghasilkan keuntungan dalam jumlah yang
besar pula. Ishadi mengungkapkan bahwa pada umumnya para pemilik stasiun
televisi dalam pendirian stasiun televisi tak lebih sekedar aktivitas bisnis untuk
tujuan akumulasi kekayaan sehingga program apapun akan ditayangkan demi
-
menarik minat penonton dan dapat meraup keuntungan dari iklan. Hal ini disebut
sebagai market- driven broadcasting. Semua siaran televisi maupun radio dalam
acaranya lebih cenderung diputuskan atas kepentingan pasar (Kartosapoetro,
2014).
Selain itu Ishadi juga berpendapat bahwa industri penyiaran khususnya
televisi tidak dapat terlepas dari politik. Sama-sama mendapatkan keuntungan,
adalah dasar dari adanya hubungan dari industri penyiaran khususnya televis dari
pengaruh politik dan ekonomi. Namun Ishadi mengungkapkan bahwa kaitan
antara politik dengan industri media hendaknya dapat dilihat dari sisi positif,
yaitu memperkuat posisi tawar media penyiaran sebagai perangkat demokrasi.
(Kompas, 2007, h.009)
Sebagai seseorang yang berhasil menjalani dunia pertelevisian di masa
orde baru dan masa reformasi, Ishadi mengaku televisi di Indonesia pun turut
mengikuti perubahan yang terjadi dan juga secara otomatis merubah perspektifnya
dalam memandang industri televisi. Ishadi mengatakan bahwa :
“Ya, beda. Dulu saya di televisi pemerintah, sekarang saya berhadapan denganpemerintah. Saya juga berhadapan dengan pemilik yang mewakili bisnis, dansaya cukup rasional untuk mengatakan terkadang kita juga harus mengikutimereka.” (Witoelar, 2014). Baginya televisi era reformasi memiliki dinamikayang berbeda, dan dinamika yang terjadi adalah hal yang wajar. Tarik-menarikantar kepentingan menurutnya adalah hal yang normal hingga sampai seberapajauh para pelaku di industri televisi tahan. (Witoelar, 2016).
Selain menjadi seorang praktisi di bidang televisi, Ishadi SK juga adalah
seorang akademisi. Sejak tahun 1985 sampai sekarang Ishadi menjadi seorang
pengajar di berbagai Universitas baik negeri maupun swasta yang ada di
-
Indonesia. Yang diajarkannya pun tidak jauh-jauh dari dunia televisi, Ishadi juga
memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan mata kuliah TV
Broadcasting dan TV Journalism yang ada di Universitas Indonesia, hal ini
dibuktikan dengan pernyataan Eduard Lukman yang menyatakan bahwa :
“Pak Is undang dari berbagai keahlian di dalam industri TV yang sampaisekarang masih beliau terapkan. Jadi sudah jelas ada peran yang snagat besar didalam menumbuhkan dan mengembangkan mata kuliah TV Broadcast dan TVJournalism yang dipakai lulusan untuk dapat dipakai bekal untuk berkiprah dijurusan tersebut, kita tidak cukup kalau hanya pakai teoritikal kita juga punyatanggung jawab untuk memberikan mata kuliah yang membuat merekamempunyai posisi tawar di dunia kerja, salah satunya mata kuliah Pak Ishadi. UIbanyak menerima andil peran yang tidak kecil dari Pak Ishadi ketika menyangkutmata kuliah yang berhubungan dengan pertelevisian.” (wawancara EduardLukman, 4 Mei 2017)
Ishadi mengaku bahwa hidupnya memang tidak dapat dipisahkan dari
televisi. Bahkan bisa dikatakan bahwa hidup dan matinya didedikasikan untuk
televisi. Kalau orang lain melihat televisi hanya pada program, lain dengan Ishadi,
dirinya melihat televisi dari segala sudut pandang. Ishadi mengatakan bahwa :
“Saya sudah begitu dalam dan terbenam dalam dunia televisi dan tetap inginmenggeluti dunia pertelevisian sampai akhir hayat saya.” (Matra, 1989, h.144)
Sangat menarik jika melihat sepak terjang Ishadi SK di industri
pertelevisian, maka dari itu peneliti akan melakukan menganalisis pemikiran
Ishadi dengan menggunakan studi pemikiran tokoh. Sejauh ini sudah ada
beberapa hasil studi pemikiran tokoh komunikasi, antara lain karya David T.Hill
yang melakukan penelitian mengenai Mochtar Lubis, Nurudin mengenai Jakob
Oetama melalui tesis pasca Sarjana Komunikasi FISIP UNS (2005).Antoni dan
Nisa Alfira mengenai Ashadi Siregar (2014), Dwi Kurniawati yang mengkaji
-
tentang pemikiran salah satu tokoh komunikasi Indonesia yaitu Astrid S.Susanto
(2016) dan Hamidah Izzatu Laily yang mengkaji pemikiran tokoh pers, Rosihan
Anwar (2016). Serta beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Dila
Octaviana mengenai tokoh pers Adinegoro, Riskiani Putri Akisa mengenai
pemikiran Jalaludin Rakhmat, Ajeng Eka Illahianty mengenai pemikiran PK
Ojong.
Selain itu penelitian mengenai Dedy Nur Hidayat sebagai tokoh
komunikasi yang diteliti oleh Muhammad Aga dengan judul “We are The Yellow
Jacket”. Pada penelitian tersebut Aga menggunakan studi eksploratif dengan
menggunakan metode kualitatif pada pemikiran Dedy Nur Hidayat. Dengan
meneliti sejumlah karya-karya Dedy Nur Hidayat dan melakukan beberapa
wawancara dengan informan yang sudah dipilih sesuai kriteria. Penelitian yang
dilakukan menggunakan perspektif komunikasi historis, sociology of knowledge,
perkembangan kajian ilmu komunikasi, ekonomi media, ekonomi politik,
naisonalisme, dan filsafat ilmu ini. Dari penelitian tersebut menghasilkan data
sementara yang dapat dijadikan sebagai pola pemikiran Prof. Dedy Nur Hidayat.
Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah ekonomi politik, media, kebangsaan
dan metode penelitian.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui sejarah
perkembangan pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran tokoh pertelevisian di
Indonesia yang telah dipilih oleh peneliti, yaitu Ishadi SK. Sebagai tokoh yang
telah mendalami dunia pertelevisian selama 50 tahun, pemikiran tokoh Ishadi SK
layak untuk dijadikan sebagai sebuah penelitian. Sebagai pribadi yang memiliki
-
keunikan dalam menjalankan media, Ishadi mampu meramalkan apa yang akan
terjadi dengan masa depan pertelevisian di Indonesia melalui pemikirannya yang
didasari oleh pengalaman dan keilmuannya. Sementara itu, sebagai orang yang
menjalani dan mampu bertahan di dunia televisi Indonesia dalam dua masa
kepemimpinan, yakni masa orde baru dan reformasi, Ishadi memiliki pandangan
tersendiri mengenai ekonomi politik media yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Selain itu penelitian seperti ini sangat penting dilakukan, terutama di
Indonesia, sebagai upaya awal dalam mengisi kekosongan literatur kajian
komunikasi kajian sejarah di Indonesia melalui pemetaan studi pemikiran tokoh-
tokoh yang turut berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Komunikasi di
Indonesia.nPenelitian dengan menggunakan perspektif historis ini turut serta
dalam mengantarkan pada informasi-informasi yang berkaitan dengan
perkembangan ilmu komunikasi di dunia hingga Indonesia yang dapat menjadi
satu kesatuan yang utuh, sehingga pada nantinya penelitian tema ini dapat
menjawab ciri khas ilmu komunikasi Indonesia sebagai langkah awal
mewujudkan ide untuk membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan peneliti sebelumnya, maka masalah penelitian
dapat dirumuskan dengan bagaimana sejarah perkembangan pertelevisian di
Indonesia melalui pemikiran Ishadi SK sebagai tokoh pertelevisian di Indonesia?
-
1.3 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan
menjadikan Ishadi SK sebagai subjek penelitian untuk mengeksplorasi
pemikirannya mengenai pertelevisian di Indonesia khususnya terkait persoalan
manajemen media dan ekonomi politik media.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan perkembangan
pemikiran komunikasi di Indonesia, khususnya tentang sejarah perkembangan
pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran tokoh.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal
perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia khususnya dalam kajian sejarah
komunikasi melalui studi pemikiran tokoh pers di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan kepada mahasiswa,
sebagai generasi penerus bangsa agar dapat melacak ulang dengan cara
mengeksplorasi dan mengenal lebih jauh tentang pers Indonesia dari sudut
pandang tokoh-tokoh pers Indonesia.
-
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini peneliti akan memaparkan tinjauan pustaka yang digunakan
dalam penelitian ini. Di antaranya adalah pembahasan yang berkaitan dengan
communication history, sociology of knowledge, sociology of media, televisi di
Indonesia yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai televisi pemerintah
dan swasta, ekonomi politik media yang akan membahas mengenai kontrol
terhadap media, agenda media dan kontestasi, studi terdahulu dan terakhir adalah
kerangka pemikiran.
2.1 Communication History
Communication History atau komunikasi perspektif historis lahir dan
berkembang seiring dengan semakin berkembangnya kajian ilmu komunikasi.
Meskipun terdapat beberapa tokoh yang mengatakan bahwa kajian komunikasi
perspektif sejarah kurang mendapatkan perhatian yang lebih dari pakar
komunikasi yang ada. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Schudson
(1999) yang menjelaskan bahwa perkembangan komunikasi terhambat, salah satu
penyebabnya adalah yang diusung oleh media menjadi pusat perhatian untuk
dikaji lebih dibandingkan dengan media yang menjadi pengusungnya. Media
hanya dilihat sebagai latar belakang bukan sebagai pelaku atau subjek historis
yang utama, padahal di sisi lain media memiliki tingkat otonomi tersendiri dan
-
media dapat menjadi “independent influence” terhadap perubahan, sosial dan
kebudayaan.
Meskipun begitu, Nerone (2006, h.254) mengatakan terdapat beberapa ahli
komunikasi yang memiliki fokus terhadap studi komunikasi perspektif historis,
dirinya membagi ilmuwan tersebut menjadi dua kelompok. Pertama adalah James
W. Carey dan Neil Postman yang memiliki fokus kepada perkembangan teknologi
komunikasi, dan yang kedua adalah ilmuwan yang terkait dengan sejarah
jurnalistik klasik dan sejarah kebebasan pers yang memiliki fokus seputar
kontribusi lembaga media terhadap perkembangan kebebasan demokrasi.
Schudson (1999) membagi kajian komunikasi persepektif historis ke
dalam tiga kategori yang bukan dilihat dari sisi metodeloginya, melainkan melalui
persoalan cakupan studi. Ketiga kategori tersebut adalah : 1) Macro-history of
communication, yang memiliki bidang cakupan paling luas dan menyoal
hubungan antara media dan perkembangan manusia. Kategori pertama ini
memiliki tokoh kunci yakni Harold Innis dan Marshall McLuhan. 2) The history
proper of communication yang memiliki fokus perhatian pada hubungan antara
media dengan kebudayaan politik, ekonomi dan sejarah sosial. 3) Institutional
history, yang memusatkan perhatian pada perkembangan media massa, bahasa,
novel, sampai dengan sejarah perfilman (Schudson, h.177-178).
Beberapa tokoh yang memilih untuk mengkaji studi ini adalah Chandra
Mukerij (1983) yang melihat bahwa industri percetakan sebagai salah satu elemen
dalam lingkaran timbal balik yang kemudian mencetuskan kapitalisme. Jurgen
Habermas (1989) dengan karyanya yang mendiskusikan mengenai peran
-
komunikasi dalam perkembangan demokrasi yang kemudian dikenal sebagai
konsep ruang publik (public sphere). Selain itu juga terdapat penelitian hasil karya
Schudson (1978) yang berjudul “Discovering the News” yang memuat tentang
lahirnya konsep jurnalisme objektif dan implikasinya terhadap perubahan politik,
ekonomi, sosial dan budaya di Amerika Serikat (Schudson, 1990, h.180)
2.1.1 Sociology of Knowledge
Mannheim (dalam Swidler & Arditi, 1994, h. 305) mengatakan bahwa
sosiologi pengetahuan tradisional berpusat untuk memahami bagaimana posisi
sosial individu atau sebuah kelompok mampu membentuk pengetahuan mereka.
Sosiologi pengetahuan tradisional dijadikan sebagai dasar dalam ilmu sosiologi
dan politik sebagai bentuk penelitian perilaku dan opini. Berbeda dengan
Mannheim, Greetz (dalam Swidler & Arditi,1994, h.306) mencoba untuk
mengkritisi pendapat Mannheim terkait dengan pemikirannya tentang sosiologi
pengetahuan, menurutnya sosiologi pengetahuan tradisional bersifat reduksionis
karena memiliki konsepsi yang dangkal antara pengetahuan dan konteks sosial
atau kepentingan yang berpengaruh terhadap pengetahuan.
Dalam perkembangannya banyak pakar di bidang ilmu sosial yang
memberikan pandangannya terkait dengan sosiologi pengetahuan ini. Berger &
Luckman (1990,h.4) menjelaskan bahwa dalam perkembangan sosiologi
pengetahuan, mencapai kesepakatan umum yang menyatakan bahwa “sosiologi
pengetahuan menekuni hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di
mana pemikiran itu muncul”. Peneliti menggunakan sociology of knowledge untuk
mendiskusikan pemikiran Ishadi SK dikaitkan dengan kondisi sosial di masa
-
tersebut. Ishadi sebagai bagian dari masyarakat, memiliki kekuatan untuk
mengkonstruksi realitas tertentu melalui tulisan-tulisannya sehingga menjadi
sebuah pengetahuan di masyarakat. Dalam penelitian ini, sociology of knowledge
digunakan sebagai salah satu pendekatan agar dapat melihat dan menelaah lebih
jauh pemikiran Ishadi SK, dikaitkan dengan kondisi sosial pada masanya.
2.1.2 Sociology of Media
Sociology of media berkembang dengan tujuan untuk dapat menjadi
sebuah pemahaman tentang sturuktur budaya dominan dalam membentuk sebuah
ruang publik. Pendekatan ini dapat menjadi sebuah alternatif yang digunakan
dalam melihat dan memahami struktur budaya sosial yang ada dalam lingkungan
masyarakat (McQuail, 2012). Kemunculan media massa yang dipengaruhi oleh
faktor sosial, jaringan sosial, dan rutinitas sosial dalam sebuah masyarakat
menjadi dasar munculnya pendekatan ini. Kedudukan media massa dalam
pendekatan sociology of media menempatkan masyarakat dalam konteks sistem
sosial. Media massa menjadi agen yang memiliki peran dominan dalam proses
sosialisasi dan perubahan sosial yang terjadi dalam setiap lapisan masyarakat
tertentu (Nichols, 2009).
McQuail (2012, h.16) mengatakan bahwa kajian ini termasuk sebagai teori
operasional yang merujuk pada ide praktis yang dikumpulkan dan diterapkan oleh
praktisi media dalam perilaku kerja media mereka. Lebih jauh McQuail
menyatakan bahwa teori operasional kerap kali mengalami tumpang tindih dengan
teori normatif yang ada, namun memiliki perbedaan yang mendasar mengenai
teori yang ada dalam kategori ini bukan hanya mengenai bagaimana idealnya
-
sebuah media beroperasi, akan tetapi juga membahas mengenai bagaimana media
dapat beroperasi untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu. Tucman (dalam Jensen,
2002) juga mengatakan bahwa media digambarkan sebagai komponen dari sebuah
sistem sosial yang besar. Organisasi media dan khalayak media merupakan satu
kesatuan yang memiliki kesamaan dan sejajar. Interaksi antar media dan
khalayak-lah yang membuat komunikasi massa memiliki kontribusi terhadap
kestabilan sistem sosial.
Sociology of media menjadi sebuah hal yang penting dalam suatu
penelitian, hal ini dikarenakan untuk dapat melihat keterkaitan masyarakat dan
media serta juga untuk melihat hubungan antara media dengan faktor-faktor
pembentuk organisasi media, karena seperti yang kita ketahui setiap media
memiliki cara pandangan dan ideologi yang di bawa secara mandiri atas pengaruh
faktor-faktor pendukung lainnya (peraturan pemerintah,: teknologi media;
organisasi, pekerja, pandangan hidup dan ideologi media itu sendiri)
(Barrat,1986). Dalam penelitian ini, sociology of media digunakan untuk dapat
memahami pemikiran Ishadi SK mengenai hubungan media dengan pihak luar
organisasinya, sekaligus juga untuk mengkaji hubungan dalam organisasi itu
sendiri.
2.2 Televisi di Indonesia
Televisi adalah salah satu media komunikasi yang memiliki peran sebagai
sarana penyampai informasi kepada khalayak. Menurut Baksin (2006, h.16)
menyatakan bahwa televisi adalah hasil dari produk teknologi tinggi ( hi-tech)
yang berfungsi dalam menyampaikan isi pesan dalam bentuk audiovisual gerak.
-
Audiovisual gerak yang menyampaikan suatu pesan memiliki kekuatan yang
sangat tinggi untuk dapat mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindakan seorang
individu. Senada dengan pendapat Baksin, Mondry (2008) mengatakan bahwa
televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lain yakni lebih “hidup”,
hal ini didasarkan pada informasi yang ada di televisi dapat dilihat dengan
lengkap. Gambar (visual) dan audionya membuat khalayak dapat melihat dan
mendengar secara langsung informasi yang ditayangkan.
Perkembangan televisi di dunia sudah terlihat sejak sangat lama, lahirnya
televisi sebagai “kotak ajaib” penyampai pesan ini tidak dapat terlepas dari
perkembangan peradaban manusia. Tepatnya pada tahun 1942 mulai bermunculan
perusahaan-perusahaan televisi besar di Amerika Serikat, seperti NBC dan CBS.
Secara langsung, Amerika Serikat memiliki andil yang cukup besar dalam pelopor
penggunaan TV berwarna yang mulai diperkenalkan pada tahun 1953. Sementara
itu di Eropa, perkembangan televisi dipelpori oleh Inggris, dengan mengawali
siarannya yang berupa upacara penobatan Raja George VI pada tahun 1937..
Perkembangan ini diikuti oleh Jerman dengan memulai siaran televisi pada tahun
1948 kemudian Italia memulainya pada tahun 1953 (Sumarno, 1996, h.34).
Jauh sebelum para peneliti melakukan penelitian-penelitian seputar
televisi, pada tahun 1953 Jepang menjadi pelopor di Asia dengan melakukan
siaran untuk pertama kalinya dengan stasiun televisi NHK. Kemudian baru diikuti
oleh negara Filipina pada tahun yang sama lalu disusul Thailand sejak tahun 1955.
Pada tahun 1962, bersamaan dengan Indonesia. Di Indonesia TVRI yang
merupakan satu-satunya televisi milik Indonesia pada saat itu melakukan siaran
-
resmi perdana saat pembukaan Sea Games pada tanggal 24 Agustus 1962, berupa
siaran langsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta (Ishadi, 2014, h.32).
Kitley dalam bukunya yang berjudul Television, Nation, and Culture in
Indonesia (2000) berpendapat bahwa terdapat kemiripan dalam praktek
pemerintahan di Indonesia dalam mengelola televisi, sebagaimana pemerintah
pendudukan Jepang memperlakukan radio pada zaman itu. Pada masa
pendudukan Jepang, radio dijadikan sebagai sebuah sarana propaganda yang aktif
dengan diperdengarkannya radio di tempat-tempat yang ramai seperti pasar,
stasiun dan lain sebagainya (Kitley, 2000, h. 28). Televisi Republik Indonesia
(TVRI) menjadi primadona dan menjadi satu-satunya stasiun televisi yang ada di
Indonesia, sampai pada akhirnya di awal tahun 1990-an lima stasiun televisi
bukan milik pemerintah atau swasta diizinkan untuk mengudara di Indonesia.
Lima stasiun televisi swasta tersebut adalah RCTI, SCTV,TPI, ANTV dan
Indosiar. Praktis dengan muncullnya televisi swasta yang memiliki beragam
program menggeser kedudukan TVRI.
2.2.1 Televisi Pemerintah
Televisi pemerintah atau government-owned television adalah televisi
yang inisiatif pendiriannya atas inisiatif pemerintah, dengan sebagian besar modal
dan biaya operasionalnya disubsidi dari negara. Televisi pemerintah yang sejak
awal berdirinya didesain sebagai perangkat pemerintah, struktur dan format
organisasinya secara langsung diarahkan untuk mendukung kegiatan yang dimiliki
oleh pemerintah dan yang mendukung kepentingan rezim. Althusser (dalam
-
Kartosapoetro , 2014, h.43) berpendapat bahwa televisi semacam ini merupakan
bagian dari ideological state apparatus.
Seperti negara berkembang pada umumnya, konsep televisi pemerintah
diterapkan di Indonesia. Pemerintah negara berkembang sangat membutuhkan
peran dari televisi, guna sebagai sarana kampanye pembangunan ekonomi
maupun politik yang sedang berlangsung di negara tersebut. Televisi dengan
kekuatan suaranya dan gambar sangat mudah dicerna dan dipahami oleh kalangan
masyarakat yang masih buta huruf sekalipun. Pada awalnya televisi bukanlah hal
yang menarik bagi pihak swasta, karena investasi untuk modal, teknologi, dan
biaya operasionalnya sangat tinggi sehingga pemerintah mengambil inisiatif untuk
membangun dan menggembangkan sistem televisi (Kartosapoetro, 2014, h.43).
Elihu Katz (dalam Kartosapoetro, 2014, h.43) melakukan penelitian
mengenai stasiun televisi yang ada pada 120 negara berkembang, dirinya
menemukan bahwa 95 persen kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang
berada dalam penguasaan pemerintah karena berdasarkan alasan yang serupa.
Alasan yang pertama adalah biaya dalam membangun infrastruktur dan pelatihan
personel televisi membutuhkan biaya yang banyak dan umumnya hanya
pemerintah yang dapat mendanainya menggunakan kredit lunak dari negara-
negara industri. Selain itu alasan kedua adalah televisi memiliki pengaruh dalam
membangun citra, khsusnya citra pemerintah. Terakhir, televisi memiliki jaringan
yang cepat dan efektif bagi penyebaran informasi dan inovasi pemerintah untuk
program pembangunan.
-
TVRI sebagai televisi pemerintah memiliki sistem penyiaran yang dikelola
dengan birokrasi pemerintahan, hal ini diterapkan untuk pegawai pemerintah yang
berasal dari berbagai lembaga pemerintahan yang dinilai memiliki keahlian untuk
mengelola televisi, maka akan direkrut. Kitley dalam bukunya berpendapat bahwa
keterkaitan TVRI dengan birokrasi pemerintahan yang memiliki banyak
kesamaan, akan menimbulkan hal yang tidak baik kedepannya, karena
ketergantungan TVRI terhadap pemerintah dan dari sanalah TVRI tidak akan
dapat menjadi media yang menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada
khalayak, karena kontrol pemerintah yang sangat kuat (Kitley, 2000, h.34).
Monopoli yang terjadi dalam televisi pemerintah dengan diberikannya guidance
secara terus menerus, setting sistem kerja birokrasi yang berorientasi pada proses
bukan hasil, serta budaya produksi berita yang memiliki orientasi
terlaksanakannya misi, bukan karena penonton menyebabkan televisi pemerintah
di mana pun berada memiliki kesan yang sangat membosankan (Kartosapoetro,
2014, h.45).
Sebagian besar berita yang ada pada televisi pemerintah sebagian adalah
success story , karena televisi pemerintah dilarang untuk menyangkan pendapat
yang kritis terhadap pemerintah (Kartosapoetro, 2014, h.47). TVRI tidak mampu
bersaing secara kreatif untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas acara,
sehingga program-program yang ada terkesan monoton, sementara publik
medesak agar televisi pemerintah dapat memberikan tayangan yang lebih
bervariasi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya dinamika dalam konsep
pengelolaan televisi. Pada akhirnya atas dorongan pasar, televisi sepenuhnya akan
-
memenuhi keinginan pasar dan berkompetisi secara maksimal (Kitley, 2000). Hal
inilah yang kemudian terjadi di Indonesia, dengan diizinkannya pihak swasta
untuk membuka dan menjalankan industri televisi.
2.2.2 Televisi Swasta
Perkembangan awal teknologi adalah salah satu faktor yang menyebabkan
berkembangnya televisi swasta di Indonesia. Dengan diperluasnya daya jangkau
wilayah siaran yang ditandai dengan diluncurkannya satelit komunikasi “Sistem
Komunikasi Satelit Domestik” (SKSD) kemudian diberi nama Satelit Palapa
(Armando, 2011,h.77). Hal di atas menjadi dasar terbentuknya kondisi yang dapat
memperkuat kebutuhan atas televisi swasta. Armando (2011, h.104-114)
menjelaskan bahwa kondisi yang dimaksud adalah kebutuhan atas pilihan konten
alternatif. Karena masyarakat menganggap konten program acara yang ada di
TVRI terlalu membosankan, maka dari itu kehadiran TV swasta memungkinkan
penonton untuk mendapatkan pilihan atas konten alternatif, khususnya hiburan.
Hadirnya televisi swasta ditandai dengan diberikannya izin siaran kepada
Bambang Trihatmodjo dengan mendirikan RCTI yang mengudara secara resmi
pada 24 Agustus 1989. Pendirian televisi swasta lainnya kemudian diikuti oleh
TPI pada tahun 1990, disusul dengan didirikannya SCTV pada tahyn yang sama.
Pada tahun 1993 di awah kepemilikan Aburizal Bakrie ANTV didirikan dan
kemudian pada 1995 Indosiar berdiri. Secara tersirat dapat terlihat bahwa
intervensi politik dilakukan oleh negara melalu pembatasan perizinan penyiaran
-
televisi swasta yang hanya sebatas pada jejaring kekuasaan Soeharto (Armando,
2011, 115).
Televisi swasta yang ada di manapun, pada dasarnya mengikuti pola
sistem televisi yang ada di Amerika Serikat, yang seluruh pendanaanya dibiayai
dan dikelola oleh pihak swasta.Selain itu sebagai sebuah institusi bisnis murni,
televisi swasta beroperasi dengan didasarkan pada the primacy of economic goals
dengan tujuan untuk memperoleh keunggulan ekonomi. Lebih jauh Ishadi
menjelaskan bahwa televisi swasta senantiasa berupaya untuk memperoleh
revenue sebesar-besarnya dan menekan cost serendah-rendahnya demi
memperoleh profit margin yang besar, hal ini dilakukan agar mereka dapat
mengembalikan investasi dan mengembangkan usaha (Kartosapoetro, 2014,h.50).
Televisi swasta memiliki konsep dengan menawarkan jumlah penonton
kepada pemasang iklan melalui penghitungan rating dan share untuk setiap
program TV. Orientasi televisi swasta yang berfokus kepada meningkatkan
rating, menyebabkan bagian perencanaan program secara rutin dituntut untuk
melakukan evaluasi mingguan mengikuti perolehan rating per program dan
average audience share per stasiun Semangat dalam mengejar rating sangat terasa
terjadi di dalam sistem televisi komersil atau swasta, hal ini yang memacu
semangat untuk berkompetisi dalam merebut penonton dan mendapatkan iklan,
hal inilah yang tidak dimiliki dalam televisi pemerintah (Kitley, 2000, h.253).
Di sisi lain, televisi swasta memiliki beberapa kelemahan yang telah
dikritisi oleh beberapa peneliti, salah satunya adalah Dedy N.Hidayat (dalam
-
Kartosapoetro,2014,h.56), setidaknya terdapat tiga kelemahan dasar yang dimiliki
oleh televisi swasta. Berikut penjelasannya:
1) Pertama, kelemahan yang ada dari sisi penonton yakni banyak penonton
minoritas dan penonton lokal yang bukan merupakan sasaran televisi
komersial dalam upaya memperoleh rating tertinggi dan tidak memiliki
hak konsumen untuk memilih acara yang mereka inginkan.
2) Kedua adalah konsumen mayoritas yang sesungguhnya tidak dapat
mengklaim memiliki kedaulatan dalam memilih program siaran yang ingin
dan perlu mereka konsumsi. Realitas selera mereka yang selama ini dapat
diamati hanyalah hasil rekayasa struktur pasar media yang digerakkan oleh
logika akumulasi modal, efisiensi produksi, negosiasimisi program,
promosi dan propaganda iklan.
3) Konsep penyusunan program leave everything up to the market yang
menghasilkan market driven approach didasarkan atas dogma yang rapuh
karena menganggap bahwa sebagai sebuah realitas objektif, padahal pasar
sesungguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial.
2.3 Manajemen Media
Kajian manajemen media memiliki sejarah yang tidak dapat dilepaskan
dari ilmu manajemen itu sendiri. Para pengkaji manajemen media, pada awalnya
lebih dulu mempelajari pengantar dan proses manajemen yang terdiri dari fungsi-
fungsi planning, organizing, influencing, budgeting, controlling, dan lain
-
sebagainya. Menurut Siregar, dkk. (2010, h. 3) mengatakan bahwa manajemen
media dapat menjadi sangat luas cakupannya dan kompleks, karena di dalam
manajemen media terdapat pembahasan mengenai ekonomi media dan ekonomi
politik media, perkembangan teknologi, serta sistem sosial politik dimana media
tersebut berada.
Singkat kata Siregar, dkk menyimpulkan bahwasanya manajemen media
adalah ilmu yang mempelajari bagaimana pengelolaan media dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip dan seluruh proses manajemennya dilakukan,
baik terhadap media sebagai industri bersifat komersil maupun sebagai institusi
sosial (Siregar dkk, 2010, h.5). Senada dengan apa yang diutarakan oleh Siregar,
Rahayu (dalam Siregar dkk, 2010, h. 33) berpendapat bahwa kajian ekonomi dan
manajemen meskipun termasuk ke dalam kajian yang masih baru namun kajian
ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Rahayu menambahkan bahwa
kajian manajemen media merupakan bagian dari kajian industri media, dimana
kajian insudtri media memiliki kajian yang cukup luas karena menghubungkan
antara industri, teks, audience, dan society Holt& Peren (dalam Siregar, dkk,
2010, h.35).
Manajemen media sebagai sebuah pendekatan, melihat persoalan industri
media secara “top-down” atau dimulai dari struktur industri dan organisasi.
Rahayu (dalam Siregar, dkk, 2010, h.36) menyatakan bahwa sebagai subjek kajian
manajemen media memiliki tiga tradisi, mengutip dari Pichard ( dalam Siregar,
2010, h.36), ketiga tradisi tersebut adalah :
-
1) Theoritical tradition adalah tradisi yang mempelajari tentang isu financial
flow, cost structure, return issue, dan faktor-faktor ekonomi lainya yang
memiliki pengaruh pada produksi dan konsumsi produk media. Dasar
akademik dari tradisi ini adalah disiplin ekonomi bisnis dan manajemen.
2) Applied tradition yaitu mempelajari seputar isu kompetisi, konsumsi,
efisiensi dan lain sebagainya. Analisis yang ada dalam kajian ini memiliki
kontribusi diantaranya bagi pengembangan industri komunikasi dan
kebijakan pemerintah.
3) Critical tradition adalah tradisi yang melakuakan eksplorasi pada efek
sosial, politik, dan budaya dari suatu sistem dan kebijakan komunikasi.
Tradisi ini memiliki kontribusi terhadap pengembangan sistem
komunikasi, budaya dan kebijakan pemerintah. Tradisi ini memiliki
pondasi akademik pada komunikasi, media studies dan ekonomi politik.
Sebagai sebuah kajian, manajemen media bukan hanya mempelajari
tentang persoalan pengelolaan institusi media dan faktor-faktor ekonomi yang
mempengaruhi di dalamnya, lebih dari itu kajian manajemen media juga
menghubungkan mengenai persoalan-persoalan institusi media dengan persoalan
lainnya yang lebih luas. Persoalan tersebut menyangkut implikasinya pada
pengambilan kebijakan, pengembangan sistem media, budaya dan lain sebagainya
(Siregar, dkk. 2010, h.36)
2.3.1 Sumber Daya Manusia
Seperti penjelasan di atas, bahwasanya manajemen media merupakan
sebuah pendekatan yang melihat persoalan media secara “top down” yang di
-
dalamnya terdapat struktur industri dan organisasi Rahayu (dalam Siregar, 2010,
h.36) yang pastinya hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia. Sumber daya
manusia secara dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber daya manusia secara
makro dan mikro. Sumber daya manusia secara makro adalah jumlah penduduk
usia produktif yang ada di sebuah negara, sedangkan pengertian sumber daya
manusia mikro lebih berfokus pada individu yang bekerja pada sebuah institusi
(Siregar, 2010, h.45)
Pada bagian ini peneliti akan melakukan pembahasan mengenai sumber
daya manusia secara mikro dalam sebuah institusi. Menurut Wright, dkk (2008)
berpendapat bahwa sumber daya manusia merupakan fungsi organisasi yang
bertugas untuk membuat sistem dan kebijakan yang dapat mempengaruhi
perilaku, sikap dan kinerja yang ada pada karyawan. Praktek-praktek yang
terdapat dalam fungsi sumber daya manusia meliputi perekrutan, seleksi,
pelatihan, pengembangan, kompensasi dan pemberhentian terhadap tenaga kerja.
Praktek-praktek pengelolaan semacam ini mempengaruhi efektivitas dan
efisiensi sumber daya manusia organisasi. Pengadaan tenaga kerja antara lain
terdiri atas analisis pekerjaan, penarikan (rekrutmen) dan seleksi calon karyawan.
Analisis pekerjaan merupakan suatu proses penentuan yang sistematis untuk
menentukan uraian pekerjaan (tugas-tugas) dan spesifikasi pekerjaan seperti
eterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dalam
sebuah organisasi (Panggabean, 2004)
-
2.4 Ekonomi Politik Media
Ekonomi Politik Media merupakan sebuah kajian yang mempelajari kaitan
antara media massa dengan politik dan ekonomi. Menurut Downing (dalam
Alfani, 2014, h. 11) berpendapat bahwa studi ekonomi politik media merupakan
sebuah bentuk analisis kritis, karena dari model analisis tersebut sangat
dimungkinkan munculnya perhatian pada kritisisme terhadap aspek ekonomi dan
politik media. Media massa memiliki peran sebagai moderator kegiatan ekonomi
yang terkait dengan produksi dan distribusi konten media yang dibutuhkan
khalayak. Selain itu media juga dapat memediasi kegiatan politik dari para politisi
kepada masyarakat begitu juga sebaliknya, media dapat memediasi opini,
tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang
lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak
(Alfani, 2014, h. 11).
Kebutuhan studi tentang ekonomi media menurut Picard (2008) tumbuh
bersamaan dengan pertumbuhan dan perubahan media, selain itu kegiatan
komunikasi juga turut memiliki peran dalam pertumbuhan tentang kebutuhan
studi media. Munculnya perusahaan besar di negara-negara maju dalam bidang
komunikasi, perkembangan sistem komunikasi yang semakin pesat, serta
komersialisasi penyiaran secara dramatis merupakan penyebab perubahan
lansekap komunikasi dan tekanan ekonomi pada media dan sistem komunikasi.
Investasi besar dalam sistem komunikasi serta pembuatan peralatan media dan
komunikasi di wilayah Asia, dapat mengubah cara berkomunikasi di negara-
negara tersebut.
-
Ekonomi politik media berupaya untuk membuat media bukan sekedar
sebagai pusat utama kajian dari bidang ilmu tersebut, melainkan berupaya untuk
menjadikan bagian dari suatu struktur yang terkait dengan ekonomi dan politik.
Dalam Mosco (2009), dirinya menjelaskan bahwa ekonomi politik merupaka
sebuah teori yang mengkaji tentang hubungan sosial, terutama kekuatan dari
hubungan tersebut secara timbal balik yang meliputi proses produksi, distribusi
dan konsumsi produksi yang dihasilkan. Mencoba untuk memahami hubungan
integral antara sistem ekonomi dan politik yang berkeliling dan dalam proses
produksi dan distribusi produk media, maka sesungguhnya “pembacaan” atau
“pemaknaan” yang kita lakukan itu telah masuk dalam wilayah ekonomi politik
media. Semangat ekonomi dan politik memungkinkan terintegrasinya proses
ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam masyarakat (Alfani, 2014, h. 12).
Untuk dapat memahami konsep yang ada dalam ekonomi politik media
secara menyeluruh, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep dasar yang dapat
dijadikan sebagai landasan untuk dapat memahami teori ini, tiga konsep ini
ditulisnya dalam buku The Political Economy of Communication (2009):
- Konsep pertama komodifikasi, yang berkaitan dengan bagaimana
proses transformasi barang dan jasa disertai dengan nilai gunanya dapat dijadikan
sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai tukar di pasaran. Produk media
berupa informasi dan hiburan menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan
dan bernilai ekonomis. Mosco mengklasifikasikan komodifikasi menjadi tiga jenis
yaitu:
-
a. Komodifikasi Isi/Konten dimana proses komodifikasi dimulai ketika
pelaku media mengubah pesan melalui teknologi yang menuju sistem
interpretasi yang sarat akan makna, sehingga dapat menjadi pesan yang
layak untuk dijual (marketable).
b. Komodifikasi Audiens/ Khalayak yang merupakan komoditas penting
bagi media massa untuk dapat mendapatkan iklan dan pemasukan. Media
dapat menciptakan khalayaknya sendiri dengan program-program menarik
yang dimilikinya, sehingga para pengiklan dapat tertarik untuk beriklan di
media tersebut. Biasanya media menjual audiens dalam bentuk rating atau
share kepada advertiser agar dapat menggunakan fasilitas airtime yang
mereka miliki.
c. Komodifikasi Pekerja/Labour dalam hal ini pekerja merupakan
penggerak kegiatan produksi dan distribusi. Tenaga dan pikiran yang
mereka miliki dimanfaatkan secara optimal oleh institusi media massa,
dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka dengan betapa
menyenangkannya bekerja dalam sebuah institusi media massa.
- Konsep kedua spasialisasi, konsep ini berhubungan dengan bagaimana
media dapat dan mampu menyajikan produknya dihadapan khalayak dalam
batasan ruang dan waktu. Media dapat menentukan peranannya dalam memenuhi
jaringan dan kecepatan produk media kepada khalayak yang mereka miliki. Selain
itu spasialisasi juga dapat dimaknai sebagai perpanjangan institusional media
melalu bentuk korporasi dan seberapa besar bentuk usaha media tersebut
dijalankan. Ukurannya dapat berbentuk horizontal ataupun vertikal. Lebih lanjut
-
dijelaskan bahwa, dalam bentuk perpanjangan horizontal, biasanya berubah dalam
bentuk konglomerasi, yang pada akhirnya dapat memunculkan tindakan
monopoli. Dengan kata lain, spasialisasi memiliki pengertian bagaimana sebuah
media melakukan “pembesaran” lingkup demi menjangkau khalayak.
- Konsep ketiga strukturalisasi, dimana konsep ini digambarkan sebagai
sebuah proses struktur sosial yang saling ditegakan oleh para agen sosial, dan
bahkan dari tiap-tiap bagian dalam struktur mampu bertindak untuk dapat
melayani bagian lainnya. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan
sosial dan proses kekuasaan diantara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang
masing-masing saling memiliki kaitan. Selain itu strukturasi juga berhubungan
dengan bagaimana cara media untuk dapat membangun hegemoni dan
pemahaman yang dapat mendominasi masyarakat.
2.4.1 Kontrol Terhadap Media
Blake dan Haroldsen (2003, h.79) mengatakan bahwa media massa dalam
masyarakat modern dianggap sebagai lembaga sosialialis untuk pesan-pesan baik
formal maupun informal yang penting dalam bermasyarakat. Maka dari itu media
harus dapat mengorganisasikan pesan yang bermanfaat dan mudah dipahami oleh
khalayak, dengan kata lain media massa memegang peranan penting dalam
mendifusikan jalannya pemerintahan yang demokratis kepada rakyat.
Senada dengan yang diutarakan McQuail (2005,h.58) dimana dirinya
berpendapat bahwa media beroperasi di ruang publik sesuai dengan kepentingan
pengguna dengan kegiatan utamanya adalah memproduksi, mendistribusikan
-
konten simbolik dan partisipasi yang bersifat profesional, serta bebas dari nilai
kepentingan. Maka dari itu, yang dibutuhkan adalah media yang tidak dipengaruhi
oleh berbagai kekuatan sosial, ekonomi maupun politik dan lebih dapat
mengedepankan transparansi khalayak. Namun yang menjadi pertanyaan adalah,
sejauh mana media massa di Indonesia dapat menjadi independen dan terlepas
dari pengaruh pemerintahan, politisi maupun pemilik media itu sendiri.
Sebelum reformasi, media massa di Indonesia memiliki masa-masa yang
sulit karena hampir tidak memiliki kebebasan pers, fungsi media massa hanya
digunakan sebagai media pembangunan dan menjadi “humas” milik pemerintah.
Negara secara langsung memiliki hak untuk campur tangan dan membatasi
pengoperasian media, selain itu negara memiliki hak untuk melakukan sensor
tayangan yang dimiliki media, dan melakukan pengendalian langsung terhadap
media. Pemerintah melakukan kontrol terhadap media, sebagai penerapan dari
pola media massa pembangunan (Susanto, 2013, h. 480).
Pada tahun 1998 semangat reformasi di Indonesia tumbuh dan membakar
semangat masyarakatnya, sejalan dengan hal itu kebebasan pers pun dibentuk
melalui UU No.40/1999 tentang Pers dan UU No.32/2004 tentang penyiaran yang
dapat menjamin kebebasan media dengan segala konsekuensinya (Susanto, 2013,
h. 481). Sejak saat itu media massa memiliki kebebasan untuk menjalankan
industrinya sendiri. Namun seiring dengan berjalannya waktu, muncul tindakan
dengan menguasai pemberitaan salah satu caranya dengan memanfaatkan
kelemahan pemilik dan praktisi media dalam hal finansial. Dalam kasus ini,
pemilik modal dapat “menitipkan” berita-berita yang dikehendakinya atau dengan
-
memanfaatkan opinion leader yang diminta bicara di media dengan tujuan untuk
menggeser masalah dalam sebuah berita utama.
Pemilik modal atau pemilik media seolah memiliki andil yang besar untuk
melakukan kontrol atau pengawasan terhadap medianya sendiri karena sekali lagi,
dalam menjalankan bisnis industri media, tarik ulur antar penguasa dan pemilik
media sangat kentara. Senada dengan hal tersebut, Susanto (2013) berpendapat
bahwa wajar jika dalam kepentingan bisnis, media dapat menjalankan bisnisnya
untuk menghidupi organisasinya agar mampu menjadi sumber informasi yang
kredibel, namun harus lebih mengedepankan kepentingan untuk memberikan
informasi yang bermanfaat dan faktual untuk khalayak.
2.4.2 Agenda Media
Lippmann (dalam Littlejhon, 2012, h.415) berpendapat bahwa masyarakat
tidak memiliki respons terhadap kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu
lingkungkan, tetapi masyarakat memiliki gambaran dalam kepala yang disebutnya
dengan lingkungan palsu (pseudoenvironment). Hal ini dikarenakan lingkungan
yang sebenarnya terlalu besar, kompleks dan terlalu menuntut adanya kontak
langsung. Maka dari itulah media hadir dengan memberikan khalayak sebuah
model yang sederhana dengan menyusun agenda. Dengan kata lain adanya
penyusunan agenda membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran
kita.
Littlejohn (2012) mengungkapkan bahwa terjadinya penyusunan agenda
didasarkan pada keharusan media untuk selektif dalam melaporkan sebuah berita.
Lebih jauh Littlejohn menjelaskan bahwa saluran berita yang memiliki peran
-
sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus
dilaporkan dan bagaimana cara dalam melaporkannya. Maka dari itu, apa yang
masyarakat ketahui tentang kondisi situasi tertentu merupakan hasil dari
penjagaan gerbang oleh media (Littlejohn, 2012, h.416)
Menurut Littlejohn (2012) terdapat dua tingkatan dalam penyusunan
agenda, yang pertama adalah menentukan isu-isu umum yang dianggap penting
dan yang kedua adalah menentukan bagian atau aspek dari isu-isu tersebut yang
dianggap penting. Baik tingkatan pertama maupun kedua dianggap sama-sama
berperan penting dalam penyusunan agenda media (Littlejohn 2012, h.416).
Rogers dan Dearing (dalam Littlejohn 2012) berpendapat bahwa fungsi agenda
setting merupakan proses yang linear, terdiri dari tiga bagian yaitu pertama,
agenda media itu sendiri harus disusun oleh awak media, kedua agenda media
dalam beberapa hal dapat mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik,
dan ketiga adalah agenda politik adalah apa yang dipikirkan para pembuat
kebijakan politik yang berhubungan dengan kebijakan publik atau yang dianggap
penting oleh publik. Ketiga agenda tersebut memiliki indikator yaitu :
a) Agenda Media adalah isu yang dibahas oleh suatu media:
- Visiabilitas (visibility)
Jumlah dan tingkat penonjolan berita yang dapat dilihat dari letak berita
dan panjangnya (waktu dan ruang)
- Tingkat penonjolan bagi khalayak (audience salience)
Relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
-
- Valense (valence)
Cara pemberitaan dan cara penyajian dari suatu topik atau berita.
b) Agenda Publik adalah naluri yang dimiliki publik terhadap pentingnya
sebuah isu.
- Keakraban (familiarity)
Derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.
- Penonjolan Pribadi (Personal Salience)
Relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi.
- Kesenangan (Favorability)
Pertimbangan berdasarkan senang atau tidak senang dengan topik berita
tertentu.
c) Agenda Politik adalah agenda publik yang dapat mempengaruhi pembuat
keputusan politik
- Dukungan (support)
Kegiatan menyenangkan terhadap posisi suatu berita tertentu.
- Kemungkinan kegiatan (likelihood action)
Kemungkinan pemerintah dalam melaksanakan apa yang diibaratkan.
- Kebebasan Bertindak (freedom of action)
Nilai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. (Littlejohn, 2012, h.417)
-
Berkaitan dengan hal di atas muncul pertanyaan tentang siapa yang
pertama kali menentukan agenda media, hal ini menjadi topik pembicaraan yang
sangat menarik jika dibahas karena terlalu kompleks untuk mencari titik temunya.
Namun Littlejohn (2012, h.418) berhasil menjelaskan bahwa agenda media
berasal dari tekanan baik di dalam organisasi media maupun yang bersumber dari
luar organisasi media tersebut. Dengan kata lain, kombinasi pemrograman
internal, keputusan manajerial dan editor serta campur tangan individu yang
memiliki pengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, dukungan iklanlah yang
dapat dikategorisasikan sebagai penentu agenda media.
2.5 Studi Penelitian Terdahulu
Tabel 1. Studi Penelitian Terdahulu(diolah peneliti)
No. Nama Judul Penelitian Hasil
1. Muhammad Aga
(Ilmu Komunikasi
Universitas
Brawijaya, Malang)
2016
We Are The Yellow
Jacket (Studi Eksploratif
pada Pemikiran Prof.
Dedy Nur Hidayat
sebagai Tokoh Ilmu
Komunikasi Universitas
Indonesia)
Menunjukan pola
pemikiran Prof. Dedy
Nur Hidayat, yang
memiliki perhatian
terhadap :
1.) ekonomi politik,
2.) media,
3.) kebangsaan
4.) metode penelitian.
2. Hamidah Izzatu
Laily (Ilmu
Komunikasi
Universitas
Rosihan Anwar dan Pers
Indonesia (Studi
Eksploratif pada
Pemikiran Rosihan
Hasil penelitian
menunjukkan pola
terkait pemikiran
Rosihan Anwar. Hal-hal
-
No. Nama Judul Penelitian Hasil
Brawijaya)
2016
Anwar terkait Pers di
Indonesia)
yang menjadi perhatian
utama Rosihan antara
lain mengenai jurnalisme
untuk upaya
pembangunan,
modernisasi, kode etik
dan pers bebas
bertanggung jawab,
kesejahteraan wartawan
dan industri media,
kecenderungan pada
aspek sejarah dan agama
juga menjadi poin yang
turut mendominasi
pemikirannya.
3. Dylan Aprialdo
Rachman (Ilmu
Komunikasi
Universitas
Brawijaya)
2016
Berpikir Ulang Tentang
Pers KeIndonesiaan
( Studi Eksploratif pada
Pemikiran Jakob Oetama
terkait Pers dan
Jurnalisme di Indonesia)
Penelitian menunjukkan
bahwa Jakob Oetama
memunculkan tiga
gagasan besar dalam
persoalan pers dan
jurnalisme, yakni
mengenai jurnalisme
pembangunan bangsa,
pengelolaan perusahaan
pers,serta digitalisasi
media dalam
menghadapi
perkembangan teknologi
komunikasi.
-
No. Nama Judul Penelitian Hasil
4. Matthew Ross
(University of South
Carolina, USA)
2013
An Alternative Path: The
Intelectual Legacy of
James W. Carey
Peneliti menemukan
bahwa sementara James
Carey lalai dengan
bahasannya berupa isu-
isu seputar ekonomi
politik. Peneliti
berasumsi bahwa Carey
harus lebih berfokus
pada penelitiannya
tentang Jurnalisme,
Komunikasi Massa dan
analisisnya terhadap
teknologi dan budaya.
Peneliti memilih empat penelitian terdahulu seperti di atas berdasarkan
atas kesamaan, baik dari latar belakang kajian, metode analisis data ataupun
paradigma yang dimiliki. Berikut akan peneliti jabarkan beberapa persamaan dari
masing-masing penelitian:
Pertama , penelitian milik Muhammad Aga yang berjudul “We Are The
Yellow Jacket” (Studi Eksploratif pada Pemikiran Prof. Dedy Nur Hidayat sebagai
Tokoh Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia) memiliki korelasi dengan
penelitian yang peneliti buat. Penelitian tersebut menggunakan studi komunikasi
perspektif historis dan juga sama-sama menggunakan konsep sociology of
knowledge untuk mendiskripsikan pemikiran tokoh yang diteliti, selain itu juga
membahas ekonomi dan politik yang ada di media massa. Namun penelitian ini
-
lebih dikaji menggunakan metodelogi penelitian studi eksploratif terhadap
pemikiran tokoh komunikasi, hal tersebut yang menjadi pembeda dari penelitian
ini.
Kedua, adalah penelitan dari Hamidah Izzatu Laily yang meneliti tentang
pemikiran dari Rosihan Anwar. Peneliti memilih penelitian ini sebagai salah satu
studi penelitian terdahulu karena memiliki hubungan dengan penelitian yang
peneliti buat, diantaranya adalah penelitian ini menggunakan perspektif
komunikasi historis dengan sociology knowledge. Sedangkan pembedanya adalah
penelitian ini menggunakan metode grounded theory.
Ketiga, penelitian dari Dylan Aprialdo Rachman tentang studi pemikiran
Jakob Oetama. ka Dalam penelitian ini berfokus untuk menggali lebih jauh
pemikiran-pemikiran dari Jakob Oetama sebagai wartawan sejak zaman orde baru
hingga refomasi. Penelitian ini menggunakan sociology of knowledge dengan
variasi hermeneutika yang memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti
buat.
Keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Matthew Ross (2013),
dalam penelitian yang berjudul An Alternative Path: The Intelectual Legacy of
James W. Carey tersebut, Ross mendiskusikan pemikiran kritis Carey dengan
dianalisi menggunakan metode dialog yang menjelaskan secara luas mengenai
pemikiran Carey dengan menggunakan variasi hermeneutik. Metode analisis
tersebut menurut peneliti memiliki dapat menjadi rujukan peneliti dalam
menyelesaikan penelitian ini.
-
2.6 Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir atau kerangka pemikiran merupakan sebuah model
konseptual yang berkaitan dengan bagaiaman teori berhubungan dengan berbagai
faktor yang sudah diidentifikasi sebagai hal yang penting. Dengan kata lain,
kerangka pemikiran merupakan sebuah pemahaman yang dapat menjadi dasar
pemahaman-pemahaman lainnya atau menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau
suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan Sekaran
(dalam Sugiyono, 2011, h.60). Dalam penelitian ini, latar belakang yang peneliti
gunakan untuk penelitian studi pemikiran tokoh adalah communication history
dengan pendekatan sociology of knowledge dan sociology of media .Tokoh yang
dijadikan subjek penelitian adalah Ishadi SK yang memiliki konsentrasi di bidang
pertelevisian. Ishadi SK memiliki pemikiran khusus mengenai manajemen media
dan juga kaitan televisi dengan ekonomi politik media.
-
Bagan 1. Kerangka PemikiranSumber: Data diolah Oleh Peneliti
Sociology ofKnowledge
CommunicationHistory
Ishadi S.K
1. TelevisiPemerintah2. Televisi SwastaTelevisi Swasta
Sociology ofMedia
ManajemenMedia
EkonomiPolitik Media
Televisi
-
44
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan memaparkan terkait dengan metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini. Sub bab yang dipakai peneliti di antaranya adalah
pembahasan mengenai paradigma penelitian, sumber data, teknik pengumpulan
data, teknik pemilihan informan, analisis data, keabsahan data dan etika
penelitian.
3.1 Paradigma Penelitian
Terdapat beberapa ahli dalam bidang ilmu komunikasi yang memiliki
pemikiran terkait dengan paradigma, salah satunya adalah yang dipaparkan oleh
Ratna (2010, h.21) yang mendefinisakan paradigma secara luas bahwa paradigma
adalah seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk
menuntun tindakan-tindakan manusia yang sudah disepakati bersama, baik dalam
hal kehidupan sehari-hari ataupun dalam penelitian ilmiah. Pendapat lain terkait
dengan paradigma datang dari Moleong (2005, h. 12) yang berpendapat bahwa
paradigma adalah kumpulan asumsi longgar yang membahas tentang asumsi
secara logis yang dianut bersama, konsep, atau proporsi yang mengarahkan cara
berpikir.
Sedangkan penelitian pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk
menemukan atau lebih membenarkan suatu kebenaran (Moleong, 2005, h.46). Hal
-
2
senada diungkapkan oleh Neuman (2013, h.26) yang menyatakan bahwa
penelitian ilmu sosial adalah untuk, mengenai, dan dilakukan oleh manusia,
darisanalah para peneliti dapat menciptakan dan menemukan pengetahuan baru
serta dapat memahami dunia sosial. Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa paradigma merupakan sebuah landasan dasar penelitian bagi
seorang peneliti. Pendekatan, metode, teknik dan langkah-langkah penelitian
lainnya, adalah terkait yang tidak akan terjalin selaras dan memiliki relevansi
penelitian tanpa paradigma peneletian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma interpretatif yang
berawal dari pemikiran seorang sosiolog yang berasal dari Jerman yaitu Max
Weber. Dalam Neuman ( 2013, h.115) Weber berpendapat bahwa ilmu sosial
harus sejalan dengan mempelajari tindakan sosial dengan tujuan tertentu, dan
merasa bahwa kita harus mempelajari alasan pribadi yang dapat membentuk
perasaan internal seseorang dan menuntun keputusan dalam bertindak dengan
cara-cara tertentu. Paradigma Interpretatif digunakan oleh peneliti dengan alasan
dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk dapat memahami pemikiran Ishadi SK.
Sesuai dengan paradigma yang digunakan oleh peneliti, maka jenis
penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif eksploratif. Bogdan &
Biklen, S. (dalam Rakhmat, 2009, h.2) mendefinisikan penelitian kualitatif
sebagai salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan perilkau orang-orang yang telah diamati. Dalam
pendekatan kualitatif diharapkan mampu untuk menghasilkan uraian yang
mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari satu
-
3
individu, kelompok, masyarakat, atau organisasi tetrtentu dalam suatu setting
konteks yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik
(Rakhmat, 2009, h.3). Sedangkan penelitian eksploratif adalah suatu penelitian
yang dilakukan dengan tujuan utamanya untuk dapat menyelidiki persoalan atau
fenomena yang sedikit sekali dipahami dan untuk mengembangkan gagasan awal
mengenai hal tersebut dan dapat beranjak kepada proses selanjutnya yaitu
penyempurnaan pertanyaan-pertanyaan penelitan (Neuman, 2013, h.43).
Interpretatif adalah upaya dalam memahami sebuah teks secara utuh dan
menyeluruh (Putra, 2012, h.78). Selain itu Neuman (2013, h.115) juga
mendefinisikan tentang interpretatif bahwa terdapat beberapa variasi di dalamnya,
antara lain heremeneutika, konstruksionisme, etnometodologi, kognitif, idealis,
fenomenologis, subjektivis, dan sosiologi kualitatif. Dalam penelitian ini memakai
salah satu variasi dalam Interpretatif yakni hermeneutika. Ricoeur dalam
(Putra,2012, h. 76) mengatakan bahwa hermeneutika ialah :
“the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation
of text.”
Atau dengan kata lain hermeneutika adalah kegiatan olah pikir yang
bertujuan untuk menafsirkan dan memahami makna dalam sebuah teks (realitas)
secara rasional untuk mencari dan menemukan hakikatnya. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan hermeneutika Gadamer yang dinilai lebih menonjolkan
proses dialektika, yakni proses pemahaman dari hasil peleburan horizon teks dan
horizon pembaca atau penafsir (Butler, 1998, h. 290). Metode ini dipilih oleh
peneliti karena peneliti melakukan pembacaan teks (dalam hal ini tulisan-tulisan
-
4
Ishadi SK) yang sangat dekat dan terperinci sebagai upaya untuk mencari dan
menemukan makna yang terdapat dalam teks.
3.2 Sumber Data
Lofland dan Lofland (dalam Moleong,2005) menyatakan bahwa sumber
data utama yang terdapat pada penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selain itu akan termasuk ke dalam data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Sumber data penelitian
(diolah peneliti )
No. Judul Sumber Tahun1. Penyiaran: Pemilu Pengaruhi
TelevisiArtikel KoranKompas Jawa Baratedisi Selasa, hal 009.
2007
2. Dari Puncak Menara TVRI Artikel MATRAditulis oleh ArifBargot Siregar danlaporan dari TotohDrajad
1989
3. Pagi Pak! Artikel Reporterditulis oleh Ishadi SK
1991
4. Media&Kekuasaan Televisidi Hari-Hari TerakhirPresiden Soeharto
Buku yang berasaldari Disertasi IshadiSK
2014
5. Dunia Penyiaran Prospek danTantangannya
Buku yang ditulis olehIshadi SK
1999
6. Puisi Untuk Meis Surat Cintadan Sebayanya
Kumpulan puisi karyaIshadi SK
2014
7. Potret Manajemen dan Mediadi Indonesia
Buku yang ditulis olehIshadi SK
2010
8. Jelajah Buku kumpulantulisan Ishadi SK daritahun 1999-2001
2002
9. Good News Good News Buku kumpulan 2007
-
5
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada sebuah penelitian sangtlah penting, karena
demi keberhasilan dalam sebuah penelitian. Hal ini senada dengan yang
diungkapkan Kriyantono dalam bukunya (2012,h.95) yang mengatakan bahwa
kegiatan pengumpulan data merupakan prosedur yang sangat menentukan baik
tidaknya suatu riset. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengumpulan
data sebagai berikut :
1) Dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan menganalisa dan membuat
field note dari tulisan-tulisan karya Ishadi SK, dengan periode tahun 1989
sampai dengan tahun 2017. Hal ini dilakukan agar mendapatkan
kesinambungan antara tulisan satu dan lainnya sehingga dapat membentuk
sebuah pola pemikiran .
tulisan Ishadi SK daritahun 2003-2007
10. Wawancara denganNarasumber
Hasil wawancaradengan BambangSemedhi, Drs EduardLukman dan IshadiSK
2017
11. TV dan Kekuasaan Transkrip WawancaraIshadi SK denganWimar Witoelar padawebsiteperspektifbaru.comedisi 947
2014
12. Kisah Inspiratif Wawancara denganIshadi SK pada situsmuvilla.com
2015
-
6
2) Wawancara. Wawancara dilakukan kepada Ishadi SK, selain itu peneliti
juga melakukan wawancara dengan rekan kerja Isahdi SK dan juga kolega
untuk memperkuat data dan analisis yang diperoleh.
3.4 Teknik Pemilihan Informan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pemilihan informan
dengan cara purposive sampling , dimana peneliti dapat menemukan kriteria
tertentu terhadap informan yang benar-benar mengetahui Ishadi SK, baik riwayat
hidup ma