Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia (Studi …repository.ub.ac.id/5066/1/Hesti...

156
Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia (Studi Sejarah Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh Pertelevisian Indonesia) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Bidang Minat Utama Komunikasi Massa Oleh : Hesti Kusuma Wardhani 135120201111023 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia (Studi …repository.ub.ac.id/5066/1/Hesti...

  • Jejak Sejarah Perkembangan Pertelevisian di Indonesia

    (Studi Sejarah Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh

    Pertelevisian Indonesia)

    SKRIPSI

    Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu

    Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Bidang Minat

    Utama Komunikasi Massa

    Oleh :

    Hesti Kusuma Wardhani

    135120201111023

    JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

    FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    ABSTRAK

    Hesti Kusuma Wardhani, 135120201111023, Jurusan Ilmu Komunikasi.

    Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Universitas Brawijaya. JEJAK SEJARAH

    PERKEMBANGAN PERTELEVISIAN DI INDONESIA (Studi Sejarah

    Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh Pertelevisian di Indonesia)

    Pembimbing: Nisa Alfira, S.I.Kom., M.A.

    Ishadi Soetopo Kartosapoetro atau yang akrab disapa dengan nama Ishadi

    SK merupakan “ikon” pertelevisian di Indonesia. Pengalamannya selama 40 tahun

    di dunia televisi membuatnya memiliki catatan tersendiri tentang dinamika

    pertelevisian di Indonesia. Mengawali karier sebagai seorang reporter di TVRI

    kemudian berganti status menjadi Direktur Utama TVRI, sempat bekerja di TPI

    dan kemudian mendirikan Trans TV dan sekarang menjabat sebagai Komisaris

    Utama Trans TV.

    Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pemikiran

    Ishadi SK sebagai praktisi di dunia televisi. Sebagai seorang praktisi televisi yang

    telah berkiprah di masa orde baru dan reformasi sudah hal yang pasti jika dirinya

    memiliki catatan tersendiri tentang perkembangan pertelevisian di Indonesia.

    Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

    perkembanagan pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran Ishadi SK.

    Penelitian ini menggunakan perspektif komunikasi historis dengan pendekatan

    sociology of knowledge dan sociology of media, dengan metode kualitatif.

    Hasil dari pemetaan data yang didapatkan peneliti menunjukkan pada pola

    pemikiran Ishadi SK tentang ekonomi politik media yang mengatakan bahwa

    industri media memang tidak dapat lepas dari praktik ekonomi politik media yang

    dibuktikan dengan adanya kontrol dan kaitan media dengan pemerintahan. Selain

    itu pemikirannya mengenai manajemen media yang mengatakan bahwa sumber

    daya manusia memiliki peran yang penting terhadap media itu sendiri.

    Kata Kunci: Ishadi SK, Studi Pemikiran, Komunikasi Historis, Sociology of

    Knowledge, Sociology of Media, Ekonomi Politik Media, Manajemen Media.

  • vi

    ABSTRACT

    Hesti Kusuma Wardhani, 135120201111023, Communication Major, Politics

    and Social Sciences Department, Brawijaya University, The History Trail of

    Indonesian Broadcasting Development (The Study of Ishadi SK’s Intellection

    On Communication History as Indonesian’s Broadcasting figure). Mentor:

    Nisa Alfira, S.L.Kom., M.A.

    Ishadi Soetopo Kartosapoetro or well known as Ishadi SK, is an icon of

    television broadcasting industry in Indonesia. He is being experienced in the

    Industry for 40 years. It makes him possessing his own record about the dynamic

    of television broadcasting industry in Indonesia. He was the president director of

    National Television “Televisi Republik Indonesia (TVRI)” before began his

    career as a journalist. He got to work in Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), and

    then founded new media called as Trans TV, currently he is the main

    commissioner in Trans TV.

    This current research aims to achieve deeper understanding of Ishadi SK’s

    thought as practitioner in the industry. As practitioner within the new order

    (Indonesian:orde baru) and reformation era, he holds a record of the industry’s

    development. Thus, the research will result a proper depiction of Indonesia’s

    television broadcasting industry through Ishadi SK. The research uses historical

    communication perspective with sociology of knowledge and sociology of media

    approach. It uses qualitative method.

    Based on research, the result shows mindset of Ishadi SK about media

    politic and economy. It asserts the media industry will be regularly intertwined

    with politic and economy practice. It has been proven by the existence of

    government control and media-government relation. The other thoughts of Ishadi

    SK asserts that human resources factor have important role toward media.

    Keywords: Ishadi SK, Intellection study, Historical Communication, Sociology of

    Knowledge, Sociology of Media, Economy and Politics of media, Management of

    Media

  • vii

    Daftar Riwayat Hidup

    Personal Info

    Nama : Hesti Kusuma Wrdhani

    Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 28 Desember 1994

    Alamat : Jalan Mendut 64 b, Patihan

    Madiun

    Nomor Handphone : 082233604971

    E-mail : [email protected]

    Personality

    ENFJ-T (Based on MBTI Test)

    Ekstraverted, Intuitive, Feeling, Judging, Turbulent

    - On Time

    - Responsible

    - Dicipline

    - Loyal

    Eduction

    Periode Instansi Pendidikan

    2001-2007 SD Negeri 03 Madiun Lor

    2007-2010 SMP Negeri 1 Madiun

    2010-2013 SMA Negeri 2 Madiun

    2013-2017 Universitas Brawijaya Malang

    Organization Experience

  • viii

    Periode Jabatan Organisasi

    2013-2014

    Staf Magang Divisi

    PSDM

    Himpunan Mahasiswa Ilmu

    Komunikasi (HIMANIKA)

    2013-2014 Anggota Pers Kampus

    Unit Aktifitas Pers Kampus

    Mahasiswa (Kavling10)

    2014-2016 Staf Tetap Divisi PSDM Himpunan Mahasiswa Ilmu

    Komunikasi (HIMANIKA)

    Working Experience

    Brilio.com : Reporter (Freelance) Mei –

    Desember 2016

    Yankes Event Organizer : Event Manager

    Malangtimes : Reporter (Internship) Juli-Agustus

    2016

    Arema FC :Event Manager (Arema Goes To

    School) 2016-2017

    PT Olride Kreasi Digital : Content Creator September 2016 –

    September 2017

    Skills

    • Microsoft Office

    • Good Communication

    • Hard Worker

    Language

    Indonesia 100

  • ix

    English 75

    Interest

    Mass Communication

    Event Management

    Creative Industries

  • x

    Kata Pengantar

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang

    senantiasa memberi petunjuk, membimbing, dan menguatkan di sepanjang waktu.

    Atas rahmat dan karuni-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

    disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu

    Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya,

    dengan judul JEJAK SEJARAH PERKEMBANGAN PERTELEVISIAN DI

    INDONESIA (Studi Sejarah Komunikasi Pemikiran Ishadi SK Sebagai Tokoh

    Pertelevisian Indonesia)

    Penulis menyadari, dengan adanya bantuan dan dorongan moril dari

    berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

    Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih

    kepada :

    • Ibu Nanik Kustini S.Pd dan Bapak Ir. Suwardojo yang tak pernah lelah

    untuk mendoakan dan memotivasi penulis dari lahir sampai penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini. Indah Kusuma Wardani S.Psi yang menjadi

    tempat bertukar pikiran, berkeluh kesah dan menjadi teman terbaik untuk

    berbagi sejak kecil sampai sekarang.

    • Bapak Dr. Antoni selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas

    Brawijaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

    melakukan penelitian studi pemikiran. Dan juga menginspirasi

  • xi

    mahasiswanya untuk terus mengeksplorasi penelitian-penelitian dalam

    ranah Ilmu Komunikasi.

    • Ibu Nisa Alfira, S.I.Kom, MA selaku pembimbing skripsi yang telah baik

    hati, dan sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi

    ini. Pembimbing yang paling rajin untuk membuka bimbingan bagi

    mahasiswa-mahasiswanya. Pembimbing yang memberikan penulis

    kesempatan untuk melakukan penelitian skripsi studi pemikiran tokoh.

    • Bapak Bambang Semedhi mantan dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

    Sosial Ilmu Politik atas kesediaannya untuk menjadi informan dan

    memberikan penulis gambaran tentang tokoh yang penulis teliti.

    • Bapak Drs. Eduard Lukman, M.A, Sekertaris Program Pascasarjana

    Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, atas segala kebaikan dan

    kerendahan hati yang diberikan sehingga penulis mendapatkan ilmu baru.

    Informan sekaligus guru bagi penulis yang megajarkan banyak hal diluar

    penelitian ini.

    • Dr. Ishadi Soetopo Kartosapoetro, M.Sc , Ishadi SK atau yang akrab

    disapa Pak Is selaku Komisaris Trans Media dan tokoh yang penulis

    jadikan sebagai subjek penelitian. Kerendahan hati dan kebaikan yang

    diberikan, serta ilmu kehidupan yang jarang orang lain bisa dapatkan

    secara langsung dari praktisi sekaliber beliau. Terimaksih telah

    meluangkan waktu untuk berbagi informasi dengan peneliti, ditemani

    segelas teh hangat dan sepiring ketoprak.

  • xii

    • Tevtia Syeisha L atas kebaikannya membuka kan jalan penulis untuk dapat

    berkomunikasi dengan orang-orang hebat, dan tempat untuk bertukar

    pikiran, berkeluh kesah selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Mbak

    Andini K Warman atas kebaikan hati dan motivasinya untuk bersama-

    sama dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai deadline. Yolla Marta

    Kusuma atas segala bimbingan dan kesabarannya atas pertanyaan-

    pertanyaan yang penulis ajukan.

    • Sinta Ayu Hapsari atas semua kebaikan, dan menjadi sahabat terbaik

    untuk berbagi suka dan duka selama di perantauan. Alvinia Yuliareza

    Gutomo, Prapti Dwi Astuti, Jenn Shinta Alifia, Pipit Ika Ramadhani dan

    Mahathadea Abellysa Hutapea atas segala canda dan tawa yang kita

    habiskan bersama, kalian meringankan beban perkuliahan ini.

    • Tectona Indah, dan Rochadi Mahalalita atas persahabatan selama sepuluh

    tahun. Auliya Ulfa, Dana Puspita, Dessy Ratna Wandari, dan Winanda

    Rizky atas motivasinya.

    • Panji Aldiansyah Ismail, Masaji Reinhard, Jerry Hannan Sabirin atas

    kebaikan, dukungan dan kesediaan untuk berbagi keluh kesah. Muhammad

    Faza Abadi dan Rama Rachii untuk selalu menjadi yang terdepan dalam

    membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

    • Untuk seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

    angkatan 2013. Terimakasih atas kebersamaannya selama menjadi

    mahasiswa baru, berada di kelas dan menanti dosen di lantai 3.SUKSES!!!

  • iv

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar1. Hermeneutika Dialogis Gadamer..........................................................51

  • vi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Studi Penelitian Terdahulu.......................................................................39

    Tabel 2. Sumber Data.............................................................................................47

  • vii

    DAFTAR BAGAN

    Bagan 1. Kerangka Pemikiran.........................................................................43

  • 131

  • 132

    132

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kemunculan awal ilmu komunikasi selalu dikaitkan dengan aktivitas

    retorika pada zaman Yunani kuno. Simonson, dkk. (2013, h.13) mengatakan

    bahwa pada abad ke-17 sampai awal abad ke-18 komunikasi hadir ketika para

    filsuf, ahli/profesor bidang retorika, ahli bahasa, pakar ekonomi politik,

    antropolog, dan sosiolog memberi perhatian yang lebih terhadap bahasa dan

    komunikasi sosial. Ilmu Komunikasi muncul dari tulisan maupun pemikiran para

    ahli tersebut. Komunikasi muncul sebagai sebuah ide yang semakin penting dalam

    merasakan pembangunan dan organisasi pengetahuan, masyarakat, kehidupan

    politik, dan diri sendiri.

    Pada tahun 1884 barulah studi mengenai komunikasi di Eropa

    berkembang. Perkembangannya membahas bidang surat kabar (zaitungskunde)

    dan juga merambah ke bidang elektronika (zaitungswissenchat) (Cangara,2014).

    Perkembangan Ilmu Komunikasi tak luput dari peran para pelopor yang

    berkontribusi untuk menjadikan komunikasi sebagai sebuah kajian keilmuan yang

    penting. Rogers (1997,h.xxi) mengatakan bahwa para pelopor tersebut antara lain

    Gabriel Tarde, Georg Simmel, Robert E.Park, George Herbert Mead, Kurt Lewin,

    Harold Laswell, Paul Lazarsfield, Carl I Hovland, Nobert Wiener, dan juga

    Claude E. Shannon.

  • Pada tahun 1930 setelah Perang Dunia II berlangsung kajian Publisistik

    dikenalkan oleh Walter Hagemann sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak hanya

    mencakup surat kabar saja, namun juga radio, film dan retorika. Namun terdapat

    perbedaan dalam penamaan “publisistik”, seperti di Amerika Serikat yang

    memberikan istilah Ilmu Komunikasi atau Jurnalisme untuk sebuah studi tentang

    media dan persuratkabaran. (Rogers, 1997, h. 34-36). Namun lebih lanjut Rogers

    dalam buku A History of Communication mengatakan bahwa pelembaga Ilmu

    Komunikasi sesungguhnya adalah Wilbur Schramm. Ilmu Komunikasi semakin

    mendapatkan perhatian tersendiri di kalangan para peneliti, sehingga

    perkembangannya dapat dijadikan sebagai sebuah “sejarah” tersendiri yang

    semakin mendorong para akademisi komunikasi untuk memberikan perhatian

    yang lebih. Hal ini sebagaimana dijelaskan Simonson (2013, h.13),

    “...we can conceive communication history in more spacious terms,understanding it as written, spoken or other mediated representations ofsignifying events and practices in the past. From this perspective, every culturehas at least some analogue to communication history”.

    Nerone dalam bukunya The Future of Communication History

    menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok ahli komunikasi, ilmuwan yang

    berkecimpung dalam studi komunikasi perspektif historis. Pertama memiliki

    keterkaitan aliran dengan “Canadian School” dan pioner Amerika Serikat seperti

    James W.Carey dan Neil Postman, yang berfokus pada perkembangan teknologi

    komunikasi. Kedua adalah ilmuwan yang terkait dengan sejarah jurnalistik klasik

    dan sejarah kebebasan pers, yang fokusnya seputar kontribusi lembaga media

    terhadap perkembangan kebebasan demokrasi. Kelompok yang pertama memiliki

  • kecenderungan yang menekankan pada “bentuk” sedangkan yang kedua

    menekankan pada “isi”. (Nerone, 2006, h.254)

    Secara umum, disisi lain para ahli bidang komunikasi mengakui kajian

    mengenai sejarah komunikasi sebagai sebuah kajian yang kurang berkembang.

    Seperti sebutan yang diberikan oleh Schudson (1991, h.175) “ The writing of

    communication history is woefully underdeveloped”. Salah satu sebab Schudson

    berpendapat seperti di atas dikarenakan meskipun perkembangan media

    komunikasi menjadi sebuah institusi sudah besar, akan tetapi apa yang “diangkat”

    oleh media justru hanya berpusat kepada perhatian daripada media yang menjadi

    pengusungnya. Media sebagai sebuah lembaga memiliki perbedaan karakter

    dibandingkan lembaga lain seperti negara, karena tentunya media memiliki

    tingkat otonomi tersendiri, selain itu media juga dapat menjadi “ independent

    influence” terhadap perubahan politik, sosial dan kebudayaan. Meskipun

    demikian, pada kenyataanya media lebih dilihat sebagai latar belakang dan bukan

    sebagai pelaku atau subjek historis utama.

    Hal serupa juga pernah disampaikan Elizabeth Eisenstein (dalam Zelizer,

    2008), lebih lanjut Eisenstein mengatakan bahwa belum adanya studi sistematis

    dari dampak teknologi mesin cetak terhadap kebudayaan.

    “The real poverty of “techno-history,” however, is not to be found in the work oferitude determinists such as Marshall McLuhan, Elizabet Eisenstein, and NeilPostman, but in the pronouncements of overzealous new media scholars whochampion the latest technology –notably the internet- as an agent ofrevolutionary human change”. (Zelizer, 2008,h.17)

    Banyak tokoh komunikasi yang turut berkontribusi dalam mengkaji lebih

    lanjut tentang kajian komunikasi perspektif historis, di antaranya adalah Everett

  • M. Rogers yang melakukan studi melalui bukunya yang berjudul “A History of

    Communication: A Biographical Approach” (1997). Selain itu Charles Wright

    Mills dengan karyanya yang berjudul The Sociological Imagination (1959).

    Melalui buku tersebut Mills memberikan kritikan pada gaya Lazarsfeld sebagai

    analisis sosial, khususnya pada tingkat individu (Antoni, 2004, h.168). “The

    Handbook of Communication History” (2013) juga turut memperkaya khazanah

    pengetahuan yang berkaitan dengan kajian komunikasi perspektif sejarah. Buku

    karya Peter Simonson dkk tersebut mengatakan bahwa komunikasi perspektif

    sejarah merupakan sebuah kajian baru sekaligus merupakan praktik yang cukup

    lama, maka dari itu apakah kita akan mendefinisikan secara konseptual utuh atau

    kesadaran diri kolektif, hal inilah yang akan terus digali dari komunikasi

    perspektif sejarah (Simonson, 2013, h.13)

    Selain itu Robert T. Craig yang juga turut andil dalam pembuatan buku

    tersebut menyatakan pendapatnya bahwa kajian komunikasi sejarah masih

    terbatas pada Amerika Utara dan Eropa Barat saja, “ the first and most urgent task

    is to de-Westernize the field’s historiography-to produce histories of the field

    beyond North America and Western Europe” (2013, h.102). Craig dkk telah

    memberikan jalan untuk dapat mencoba melakukan kajian perkembangan ilmu

    komunikasi di Asia, namun masih hal tersebut masih terbatas pada Cina, Jepang

    dan Korea. Hal ini kemudian dinilai penting untuk mengkaji perkembangan

    komunikasi di luar kawasan tersebut, misalnya di kawasan Asia Tenggara

    khususnya Indonesia. Kajian tersebut dapat berupa kajian melalui pemikiran

    tokoh-tokoh komunikasi yang ada di Indonesia, baik praktisi maupun akademisi

  • yang telah lama ada dan berkecimpung di bidang Ilmu Komunikasi. Sehingga

    besar harapannya agar dapat terlihat corak pemikiran para tokoh komunikasi

    Indonesia dari zaman revolusi hingga saat ini.

    Penelitian mengenai pemikiran tokoh tersebut tentunya dapat dikaji

    dengan menggunakan studi pemikiran. Ibrahim (2004, h.20) mengatakan bahwa

    studi pemikiran adalah studi yang dapat melihat inti gagasan yang terkandung di

    dalam karya para pemikir. Menarik, apabila hal tersebut dikaitkan dengan biografi

    atau latar belakang pemikir yang dikaji. Lebih lanjut Ibrahim berpendapat bahwa

    selain mengaitkan dengan biografi tokoh, akan lebih relevan jika dikaitkan juga

    dengan konteks sosial di mana pemikiran tersebut muncul. Hal inilah yang

    kemudian disebut dengan pendekatan sociology of knowledge. Berger&Luckmann

    (1990,h.1) mengatakan bahwa sebuah kenyataan itu dibangun secara sosial, dan

    sosiologi pengetahuan atau sociology of knowledge lah yang harus menganalisa

    proses terjadinya hal tersebut. Menurut Ibrahim (2004, h.20) sudut pandang

    komunikasi dapat difungsikan sebagai panduan untuk menjelaskan posisi dari

    seorang pemikir (komunikator) dalam masyarakatnya (khalayak), dan bagaimana

    pengaruh (efek) wacana pemikirnya (pesan) dalam rentan waktu tertentu.

    Berdasarkan pernyataan di atas, pemikiran studi tokoh berada di posisi

    yang fleksibel untuk dikaitkan dengan kajian apapun, sesuai dengan apa yang

    dimiliki oleh tokoh tersebut. Penelitan studi pemikiran tokoh dapat dijadikan

    sebagai upaya dalam melakukan dewesternisasi kajian jurnalisme. Wasserman

    dan Faust (1994) mengatakan bahwa dewesternisasi merupakan upaya sebuah

    bagian dalam menawarkan perspektif lain di luar perspektif yang sudah

  • berkembang, dalam hal ini perspektif Barat. Hal ini dilakukan agar masyarakat

    dapat menerima dalam bentuk wacana akademik, mengingat teori-teori mengenai

    pers dan jurnalisme lebih banyak bersifat kontekstual dan bergantung pada situasi

    sebuah negara yang memiliki ideologi, budaya, situasi politik, latar sejarah dan

    karakter masyarakat yang khas.

    McDougall (dalam Mondry, 2008) berpendapat bahwa jurnalisme

    merupakan kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan kemudian melaporkan

    peristiwa tersebut. Kegiatan itu merupakan bentuk tugas yang dijalankan oleh

    jurnalis (wartawan atau reporter) dalam memunculkan informasi berupa berita

    bagi masyarakat melalui media cetak maupun elektronik. Pada penelitian kali ini,

    peneliti akan lebih jauh membahas tentang sejarah komunikasi melalui perspektif

    pemikiran tokoh pertelevisian di Indonesia yakni Ishadi SK. McQuail (2012, h.4)

    mengatakan bahwa televisi merupakan saluran utama dan perwujudan sebuah

    kebudayaan, sebagai gambaran realitas sosial dari identitas sosial, gagasan,

    kepercayaan, dan nilai-nilai. Televisi dengan frekuensi yang intens dan terus

    menerus, pengaruhnya dapat membuat apa yang ada dalam pikiran penonton

    televisi sama dengan apa yang disajikan televisi (Infante, dkk,. 2003). Hal inilah

    yang menjadikan televisi sebagai bagian dari kekuatan sebuah lembaga

    masyarakat dan memiliki pengaruh yang kuat dalam bentuk konstruksi realitas

    sosial dan budaya (Littlejohn dan Foss, 2005).

    Senada dengan pendapat McQuail menurut Williams (dalam Fickers,

    2013, h.239) mengatakan bahwa “As did television—as both “technology and

    cultural form”. Lebih jauh Fickers menjelaskan bahwa hal ini didasarkan pada

  • sejarah televisi yang secara dinamis dapat berubah, sesuai dengan perkembangan

    zaman dan keadaan sosial, politik, ekomoni dan budaya suatu negara. Sebagai

    contoh di Indonesia, kemunculan televisi di Indonesia merupakan prakarsa dari

    Presiden Soekarno yang saat itu menginginkan untuk mendirikan televisi yang

    bertujuan untuk mengembangkan kebudayaan nasional melalui layar kaca

    (Kartosapoetro, 2007,64). Praktis pada tahun 1962, tepatnya saat perayaan HUT

    RI ke 17, Indonesia memiliki stasiun televisi yang bernama TVRI. Sebagai

    televisi pemerintah pada masa orde baru, sudah hal yang pasti bahwa TVRI

    menjadi kendaraan alat elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya, dengan

    memanfaatkan peran media sebagai penyalur informasi kepada khalayak luas. Mc

    Carty (dalam Zelizer, 2008, h.130) menjelaskan hal yang sama bahwa hadirnya

    televisi layanan umum atau milik pemerintah adalah media untuk dialog

    pemerintahan dan elite politik, terlepas dari bagaimanapun nanti efeknya di

    masyarakat.

    Berbicara tentang perkembangan televisi, pastinya terdapat tokoh yang

    turut andil dan berperan dalam perkembangannya, baik itu sebagai praktisi,

    ataupun pengamat pertelevisian Indonesia. Dr. Ishadi Soetopo Kartosapoetro, M.Sc.

    atau yang akrab dikenal dengan nama Ishadi SK merupakan salah satu orang yang tidak

    dapat terlepas dari sejarah pertelevisian Indonesia. Kiprahnya di dunia penyiaran

    khususnya televisi sangatlah intens, terbukti dengan dirinya memulai terjun ke dunia

    televisi sejak tahun 1967 sampai sekarang.

    “ Saya memang sudah memiliki passion di bidang jurnalistik, hampir 95 persendari karier saya, ada di TVRI. Sebelumnya saya pernah magang di KoranNusantara namanya, saya ke Kompas juga magang. Sampai pada akhirnya saya

  • intens untuk mendalami dunia televisi sampai sekarang.” (wawancara 5 Mei2017)

    Dari TVRI-lah kiprahnya sebagai praktisi pertelevisian Indonesia dimulai.

    Ishadi memiliki latar belakang pendidikan yang sangat mendukung kariernya

    sebagai orang yang ahli di bidang pertelevisian, diantaranya adalah menempuh S1

    Jurusan Komunikasi Fisipol Universitas Indonesia, menyelesaikan pascasarjana

    dalam bidang jurnalistik di Ohio Univeristy, AS dan menyelesaikan S3 di

    Universitas Indonesia. Selain itu pria yang akrab disapa Pak Is ini juga pernah

    mengikuti pendidikan pertelevisian ke beberapa negara seperti Philipina (1969),

    Jerman Barat (1974-1975), dan Belgia (1977) yaitu dengan program belajar di

    stasiun televisi pemerintah setempat (Matra, 1989).

    Latar belakang pendidikan yang mumpuni dan pengalaman yang cukup

    matang di televisi menjadikan Ishadi cocok untuk mendapatkan gelar sebagai

    “icon” pertelevisian Indonesia. Pendapat tersebut seperti yang diungkapkan oleh

    Garin Nugraha dalam kata pengantar buku karya Ishadi SK yang berjudul Jelajah

    (2002).

    “Ishadi adalah sebuah nama yang melekat dalam dunia televisi, nama itu adalahsebuah “icon”. Yang di baliknya terdapat sebuah sejarah televisi, sejarahberbagai perspektif televisi, dari sejarah televisi ketika hanya dikuasaipemerintah lewat TVRI, hingga sejarah televisi multi kanal. Ishadi adalah sebuah“icon” dunia media, karena ia tidak saja birokrat ketika di TVRI, maupunentrepreneurship ketika di TPI dan membangun Trans Televisi, sekaligus adalahintelektual dengan latar pendidikan dan perannya sebagai pelajar maupunkolomnis.

  • Sebelum menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, terlebih dulu Ishadi

    mencicipi jabatan untuk memimpin TVRI Stasiun Yogyakarta. Di stasiun televisi

    yang memiliki 300 karyawan, Ishadi membuktikan kepiawaiannya dalam

    mengelola sebuah televisi. Terbukti bahwa Ishadi dapat merancang program,

    mempertanggungjawabkan program, memikirkan kelankutan hidup stasiun yang

    dipimpinnya, mengelola keuangannya, dan memimpin karyawan (Matra,

    1989,h.144). Tangan dinginnya sebagai seorang praktisi di bidang televisi inila

    yang membuat kariernya semakin meningkat.

    Saat Ishadi menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, Ishadi banyak

    melakukan terobosan-terobosan yang membuat TVRI mendapatkan tempat di hati

    masyarakat, terlepas memang pada saat itu di Indonesia hanya memiliki satu

    stasiun televisi saja. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Eduard

    Lukman yang mengatakan bahwa banyak program acara populer yang berasal dari

    buah pemikiran Pak Is. Senada dengan pendapat di atas, dalam Matra (1989)juga

    mengatakan bahwa :

    “ Di samping itu Ishadi selalu mencari hal baru. Sebab, dia punya prinsip, stafdan karyawan harus disibukkan dengan ide-ide baru, baik yang datang dari atasmaupun dari bawah. Sesuatu yang sudah berjalan satu tahun misalnya, harussegera diganti dan diperbaiki.” (Matra, 1989, h.145)

    Ishadi menganggap bahwa televisi merupakan sebuah industri bisnis yang

    membutuhkan modal dan akan menghasilkan keuntungan dalam jumlah yang

    besar pula. Ishadi mengungkapkan bahwa pada umumnya para pemilik stasiun

    televisi dalam pendirian stasiun televisi tak lebih sekedar aktivitas bisnis untuk

    tujuan akumulasi kekayaan sehingga program apapun akan ditayangkan demi

  • menarik minat penonton dan dapat meraup keuntungan dari iklan. Hal ini disebut

    sebagai market- driven broadcasting. Semua siaran televisi maupun radio dalam

    acaranya lebih cenderung diputuskan atas kepentingan pasar (Kartosapoetro,

    2014).

    Selain itu Ishadi juga berpendapat bahwa industri penyiaran khususnya

    televisi tidak dapat terlepas dari politik. Sama-sama mendapatkan keuntungan,

    adalah dasar dari adanya hubungan dari industri penyiaran khususnya televis dari

    pengaruh politik dan ekonomi. Namun Ishadi mengungkapkan bahwa kaitan

    antara politik dengan industri media hendaknya dapat dilihat dari sisi positif,

    yaitu memperkuat posisi tawar media penyiaran sebagai perangkat demokrasi.

    (Kompas, 2007, h.009)

    Sebagai seseorang yang berhasil menjalani dunia pertelevisian di masa

    orde baru dan masa reformasi, Ishadi mengaku televisi di Indonesia pun turut

    mengikuti perubahan yang terjadi dan juga secara otomatis merubah perspektifnya

    dalam memandang industri televisi. Ishadi mengatakan bahwa :

    “Ya, beda. Dulu saya di televisi pemerintah, sekarang saya berhadapan denganpemerintah. Saya juga berhadapan dengan pemilik yang mewakili bisnis, dansaya cukup rasional untuk mengatakan terkadang kita juga harus mengikutimereka.” (Witoelar, 2014). Baginya televisi era reformasi memiliki dinamikayang berbeda, dan dinamika yang terjadi adalah hal yang wajar. Tarik-menarikantar kepentingan menurutnya adalah hal yang normal hingga sampai seberapajauh para pelaku di industri televisi tahan. (Witoelar, 2016).

    Selain menjadi seorang praktisi di bidang televisi, Ishadi SK juga adalah

    seorang akademisi. Sejak tahun 1985 sampai sekarang Ishadi menjadi seorang

    pengajar di berbagai Universitas baik negeri maupun swasta yang ada di

  • Indonesia. Yang diajarkannya pun tidak jauh-jauh dari dunia televisi, Ishadi juga

    memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan mata kuliah TV

    Broadcasting dan TV Journalism yang ada di Universitas Indonesia, hal ini

    dibuktikan dengan pernyataan Eduard Lukman yang menyatakan bahwa :

    “Pak Is undang dari berbagai keahlian di dalam industri TV yang sampaisekarang masih beliau terapkan. Jadi sudah jelas ada peran yang snagat besar didalam menumbuhkan dan mengembangkan mata kuliah TV Broadcast dan TVJournalism yang dipakai lulusan untuk dapat dipakai bekal untuk berkiprah dijurusan tersebut, kita tidak cukup kalau hanya pakai teoritikal kita juga punyatanggung jawab untuk memberikan mata kuliah yang membuat merekamempunyai posisi tawar di dunia kerja, salah satunya mata kuliah Pak Ishadi. UIbanyak menerima andil peran yang tidak kecil dari Pak Ishadi ketika menyangkutmata kuliah yang berhubungan dengan pertelevisian.” (wawancara EduardLukman, 4 Mei 2017)

    Ishadi mengaku bahwa hidupnya memang tidak dapat dipisahkan dari

    televisi. Bahkan bisa dikatakan bahwa hidup dan matinya didedikasikan untuk

    televisi. Kalau orang lain melihat televisi hanya pada program, lain dengan Ishadi,

    dirinya melihat televisi dari segala sudut pandang. Ishadi mengatakan bahwa :

    “Saya sudah begitu dalam dan terbenam dalam dunia televisi dan tetap inginmenggeluti dunia pertelevisian sampai akhir hayat saya.” (Matra, 1989, h.144)

    Sangat menarik jika melihat sepak terjang Ishadi SK di industri

    pertelevisian, maka dari itu peneliti akan melakukan menganalisis pemikiran

    Ishadi dengan menggunakan studi pemikiran tokoh. Sejauh ini sudah ada

    beberapa hasil studi pemikiran tokoh komunikasi, antara lain karya David T.Hill

    yang melakukan penelitian mengenai Mochtar Lubis, Nurudin mengenai Jakob

    Oetama melalui tesis pasca Sarjana Komunikasi FISIP UNS (2005).Antoni dan

    Nisa Alfira mengenai Ashadi Siregar (2014), Dwi Kurniawati yang mengkaji

  • tentang pemikiran salah satu tokoh komunikasi Indonesia yaitu Astrid S.Susanto

    (2016) dan Hamidah Izzatu Laily yang mengkaji pemikiran tokoh pers, Rosihan

    Anwar (2016). Serta beberapa penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Dila

    Octaviana mengenai tokoh pers Adinegoro, Riskiani Putri Akisa mengenai

    pemikiran Jalaludin Rakhmat, Ajeng Eka Illahianty mengenai pemikiran PK

    Ojong.

    Selain itu penelitian mengenai Dedy Nur Hidayat sebagai tokoh

    komunikasi yang diteliti oleh Muhammad Aga dengan judul “We are The Yellow

    Jacket”. Pada penelitian tersebut Aga menggunakan studi eksploratif dengan

    menggunakan metode kualitatif pada pemikiran Dedy Nur Hidayat. Dengan

    meneliti sejumlah karya-karya Dedy Nur Hidayat dan melakukan beberapa

    wawancara dengan informan yang sudah dipilih sesuai kriteria. Penelitian yang

    dilakukan menggunakan perspektif komunikasi historis, sociology of knowledge,

    perkembangan kajian ilmu komunikasi, ekonomi media, ekonomi politik,

    naisonalisme, dan filsafat ilmu ini. Dari penelitian tersebut menghasilkan data

    sementara yang dapat dijadikan sebagai pola pemikiran Prof. Dedy Nur Hidayat.

    Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah ekonomi politik, media, kebangsaan

    dan metode penelitian.

    Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui sejarah

    perkembangan pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran tokoh pertelevisian di

    Indonesia yang telah dipilih oleh peneliti, yaitu Ishadi SK. Sebagai tokoh yang

    telah mendalami dunia pertelevisian selama 50 tahun, pemikiran tokoh Ishadi SK

    layak untuk dijadikan sebagai sebuah penelitian. Sebagai pribadi yang memiliki

  • keunikan dalam menjalankan media, Ishadi mampu meramalkan apa yang akan

    terjadi dengan masa depan pertelevisian di Indonesia melalui pemikirannya yang

    didasari oleh pengalaman dan keilmuannya. Sementara itu, sebagai orang yang

    menjalani dan mampu bertahan di dunia televisi Indonesia dalam dua masa

    kepemimpinan, yakni masa orde baru dan reformasi, Ishadi memiliki pandangan

    tersendiri mengenai ekonomi politik media yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

    Selain itu penelitian seperti ini sangat penting dilakukan, terutama di

    Indonesia, sebagai upaya awal dalam mengisi kekosongan literatur kajian

    komunikasi kajian sejarah di Indonesia melalui pemetaan studi pemikiran tokoh-

    tokoh yang turut berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Komunikasi di

    Indonesia.nPenelitian dengan menggunakan perspektif historis ini turut serta

    dalam mengantarkan pada informasi-informasi yang berkaitan dengan

    perkembangan ilmu komunikasi di dunia hingga Indonesia yang dapat menjadi

    satu kesatuan yang utuh, sehingga pada nantinya penelitian tema ini dapat

    menjawab ciri khas ilmu komunikasi Indonesia sebagai langkah awal

    mewujudkan ide untuk membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan pemaparan peneliti sebelumnya, maka masalah penelitian

    dapat dirumuskan dengan bagaimana sejarah perkembangan pertelevisian di

    Indonesia melalui pemikiran Ishadi SK sebagai tokoh pertelevisian di Indonesia?

  • 1.3 Fokus Penelitian

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan

    menjadikan Ishadi SK sebagai subjek penelitian untuk mengeksplorasi

    pemikirannya mengenai pertelevisian di Indonesia khususnya terkait persoalan

    manajemen media dan ekonomi politik media.

    1.4 Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan perkembangan

    pemikiran komunikasi di Indonesia, khususnya tentang sejarah perkembangan

    pertelevisian di Indonesia melalui pemikiran tokoh.

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1 Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal

    perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia khususnya dalam kajian sejarah

    komunikasi melalui studi pemikiran tokoh pers di Indonesia.

    1.5.2 Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan kepada mahasiswa,

    sebagai generasi penerus bangsa agar dapat melacak ulang dengan cara

    mengeksplorasi dan mengenal lebih jauh tentang pers Indonesia dari sudut

    pandang tokoh-tokoh pers Indonesia.

  • 15

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Pada bab ini peneliti akan memaparkan tinjauan pustaka yang digunakan

    dalam penelitian ini. Di antaranya adalah pembahasan yang berkaitan dengan

    communication history, sociology of knowledge, sociology of media, televisi di

    Indonesia yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai televisi pemerintah

    dan swasta, ekonomi politik media yang akan membahas mengenai kontrol

    terhadap media, agenda media dan kontestasi, studi terdahulu dan terakhir adalah

    kerangka pemikiran.

    2.1 Communication History

    Communication History atau komunikasi perspektif historis lahir dan

    berkembang seiring dengan semakin berkembangnya kajian ilmu komunikasi.

    Meskipun terdapat beberapa tokoh yang mengatakan bahwa kajian komunikasi

    perspektif sejarah kurang mendapatkan perhatian yang lebih dari pakar

    komunikasi yang ada. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Schudson

    (1999) yang menjelaskan bahwa perkembangan komunikasi terhambat, salah satu

    penyebabnya adalah yang diusung oleh media menjadi pusat perhatian untuk

    dikaji lebih dibandingkan dengan media yang menjadi pengusungnya. Media

    hanya dilihat sebagai latar belakang bukan sebagai pelaku atau subjek historis

    yang utama, padahal di sisi lain media memiliki tingkat otonomi tersendiri dan

  • media dapat menjadi “independent influence” terhadap perubahan, sosial dan

    kebudayaan.

    Meskipun begitu, Nerone (2006, h.254) mengatakan terdapat beberapa ahli

    komunikasi yang memiliki fokus terhadap studi komunikasi perspektif historis,

    dirinya membagi ilmuwan tersebut menjadi dua kelompok. Pertama adalah James

    W. Carey dan Neil Postman yang memiliki fokus kepada perkembangan teknologi

    komunikasi, dan yang kedua adalah ilmuwan yang terkait dengan sejarah

    jurnalistik klasik dan sejarah kebebasan pers yang memiliki fokus seputar

    kontribusi lembaga media terhadap perkembangan kebebasan demokrasi.

    Schudson (1999) membagi kajian komunikasi persepektif historis ke

    dalam tiga kategori yang bukan dilihat dari sisi metodeloginya, melainkan melalui

    persoalan cakupan studi. Ketiga kategori tersebut adalah : 1) Macro-history of

    communication, yang memiliki bidang cakupan paling luas dan menyoal

    hubungan antara media dan perkembangan manusia. Kategori pertama ini

    memiliki tokoh kunci yakni Harold Innis dan Marshall McLuhan. 2) The history

    proper of communication yang memiliki fokus perhatian pada hubungan antara

    media dengan kebudayaan politik, ekonomi dan sejarah sosial. 3) Institutional

    history, yang memusatkan perhatian pada perkembangan media massa, bahasa,

    novel, sampai dengan sejarah perfilman (Schudson, h.177-178).

    Beberapa tokoh yang memilih untuk mengkaji studi ini adalah Chandra

    Mukerij (1983) yang melihat bahwa industri percetakan sebagai salah satu elemen

    dalam lingkaran timbal balik yang kemudian mencetuskan kapitalisme. Jurgen

    Habermas (1989) dengan karyanya yang mendiskusikan mengenai peran

  • komunikasi dalam perkembangan demokrasi yang kemudian dikenal sebagai

    konsep ruang publik (public sphere). Selain itu juga terdapat penelitian hasil karya

    Schudson (1978) yang berjudul “Discovering the News” yang memuat tentang

    lahirnya konsep jurnalisme objektif dan implikasinya terhadap perubahan politik,

    ekonomi, sosial dan budaya di Amerika Serikat (Schudson, 1990, h.180)

    2.1.1 Sociology of Knowledge

    Mannheim (dalam Swidler & Arditi, 1994, h. 305) mengatakan bahwa

    sosiologi pengetahuan tradisional berpusat untuk memahami bagaimana posisi

    sosial individu atau sebuah kelompok mampu membentuk pengetahuan mereka.

    Sosiologi pengetahuan tradisional dijadikan sebagai dasar dalam ilmu sosiologi

    dan politik sebagai bentuk penelitian perilaku dan opini. Berbeda dengan

    Mannheim, Greetz (dalam Swidler & Arditi,1994, h.306) mencoba untuk

    mengkritisi pendapat Mannheim terkait dengan pemikirannya tentang sosiologi

    pengetahuan, menurutnya sosiologi pengetahuan tradisional bersifat reduksionis

    karena memiliki konsepsi yang dangkal antara pengetahuan dan konteks sosial

    atau kepentingan yang berpengaruh terhadap pengetahuan.

    Dalam perkembangannya banyak pakar di bidang ilmu sosial yang

    memberikan pandangannya terkait dengan sosiologi pengetahuan ini. Berger &

    Luckman (1990,h.4) menjelaskan bahwa dalam perkembangan sosiologi

    pengetahuan, mencapai kesepakatan umum yang menyatakan bahwa “sosiologi

    pengetahuan menekuni hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di

    mana pemikiran itu muncul”. Peneliti menggunakan sociology of knowledge untuk

    mendiskusikan pemikiran Ishadi SK dikaitkan dengan kondisi sosial di masa

  • tersebut. Ishadi sebagai bagian dari masyarakat, memiliki kekuatan untuk

    mengkonstruksi realitas tertentu melalui tulisan-tulisannya sehingga menjadi

    sebuah pengetahuan di masyarakat. Dalam penelitian ini, sociology of knowledge

    digunakan sebagai salah satu pendekatan agar dapat melihat dan menelaah lebih

    jauh pemikiran Ishadi SK, dikaitkan dengan kondisi sosial pada masanya.

    2.1.2 Sociology of Media

    Sociology of media berkembang dengan tujuan untuk dapat menjadi

    sebuah pemahaman tentang sturuktur budaya dominan dalam membentuk sebuah

    ruang publik. Pendekatan ini dapat menjadi sebuah alternatif yang digunakan

    dalam melihat dan memahami struktur budaya sosial yang ada dalam lingkungan

    masyarakat (McQuail, 2012). Kemunculan media massa yang dipengaruhi oleh

    faktor sosial, jaringan sosial, dan rutinitas sosial dalam sebuah masyarakat

    menjadi dasar munculnya pendekatan ini. Kedudukan media massa dalam

    pendekatan sociology of media menempatkan masyarakat dalam konteks sistem

    sosial. Media massa menjadi agen yang memiliki peran dominan dalam proses

    sosialisasi dan perubahan sosial yang terjadi dalam setiap lapisan masyarakat

    tertentu (Nichols, 2009).

    McQuail (2012, h.16) mengatakan bahwa kajian ini termasuk sebagai teori

    operasional yang merujuk pada ide praktis yang dikumpulkan dan diterapkan oleh

    praktisi media dalam perilaku kerja media mereka. Lebih jauh McQuail

    menyatakan bahwa teori operasional kerap kali mengalami tumpang tindih dengan

    teori normatif yang ada, namun memiliki perbedaan yang mendasar mengenai

    teori yang ada dalam kategori ini bukan hanya mengenai bagaimana idealnya

  • sebuah media beroperasi, akan tetapi juga membahas mengenai bagaimana media

    dapat beroperasi untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu. Tucman (dalam Jensen,

    2002) juga mengatakan bahwa media digambarkan sebagai komponen dari sebuah

    sistem sosial yang besar. Organisasi media dan khalayak media merupakan satu

    kesatuan yang memiliki kesamaan dan sejajar. Interaksi antar media dan

    khalayak-lah yang membuat komunikasi massa memiliki kontribusi terhadap

    kestabilan sistem sosial.

    Sociology of media menjadi sebuah hal yang penting dalam suatu

    penelitian, hal ini dikarenakan untuk dapat melihat keterkaitan masyarakat dan

    media serta juga untuk melihat hubungan antara media dengan faktor-faktor

    pembentuk organisasi media, karena seperti yang kita ketahui setiap media

    memiliki cara pandangan dan ideologi yang di bawa secara mandiri atas pengaruh

    faktor-faktor pendukung lainnya (peraturan pemerintah,: teknologi media;

    organisasi, pekerja, pandangan hidup dan ideologi media itu sendiri)

    (Barrat,1986). Dalam penelitian ini, sociology of media digunakan untuk dapat

    memahami pemikiran Ishadi SK mengenai hubungan media dengan pihak luar

    organisasinya, sekaligus juga untuk mengkaji hubungan dalam organisasi itu

    sendiri.

    2.2 Televisi di Indonesia

    Televisi adalah salah satu media komunikasi yang memiliki peran sebagai

    sarana penyampai informasi kepada khalayak. Menurut Baksin (2006, h.16)

    menyatakan bahwa televisi adalah hasil dari produk teknologi tinggi ( hi-tech)

    yang berfungsi dalam menyampaikan isi pesan dalam bentuk audiovisual gerak.

  • Audiovisual gerak yang menyampaikan suatu pesan memiliki kekuatan yang

    sangat tinggi untuk dapat mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindakan seorang

    individu. Senada dengan pendapat Baksin, Mondry (2008) mengatakan bahwa

    televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lain yakni lebih “hidup”,

    hal ini didasarkan pada informasi yang ada di televisi dapat dilihat dengan

    lengkap. Gambar (visual) dan audionya membuat khalayak dapat melihat dan

    mendengar secara langsung informasi yang ditayangkan.

    Perkembangan televisi di dunia sudah terlihat sejak sangat lama, lahirnya

    televisi sebagai “kotak ajaib” penyampai pesan ini tidak dapat terlepas dari

    perkembangan peradaban manusia. Tepatnya pada tahun 1942 mulai bermunculan

    perusahaan-perusahaan televisi besar di Amerika Serikat, seperti NBC dan CBS.

    Secara langsung, Amerika Serikat memiliki andil yang cukup besar dalam pelopor

    penggunaan TV berwarna yang mulai diperkenalkan pada tahun 1953. Sementara

    itu di Eropa, perkembangan televisi dipelpori oleh Inggris, dengan mengawali

    siarannya yang berupa upacara penobatan Raja George VI pada tahun 1937..

    Perkembangan ini diikuti oleh Jerman dengan memulai siaran televisi pada tahun

    1948 kemudian Italia memulainya pada tahun 1953 (Sumarno, 1996, h.34).

    Jauh sebelum para peneliti melakukan penelitian-penelitian seputar

    televisi, pada tahun 1953 Jepang menjadi pelopor di Asia dengan melakukan

    siaran untuk pertama kalinya dengan stasiun televisi NHK. Kemudian baru diikuti

    oleh negara Filipina pada tahun yang sama lalu disusul Thailand sejak tahun 1955.

    Pada tahun 1962, bersamaan dengan Indonesia. Di Indonesia TVRI yang

    merupakan satu-satunya televisi milik Indonesia pada saat itu melakukan siaran

  • resmi perdana saat pembukaan Sea Games pada tanggal 24 Agustus 1962, berupa

    siaran langsung di Stadion Utama Senayan, Jakarta (Ishadi, 2014, h.32).

    Kitley dalam bukunya yang berjudul Television, Nation, and Culture in

    Indonesia (2000) berpendapat bahwa terdapat kemiripan dalam praktek

    pemerintahan di Indonesia dalam mengelola televisi, sebagaimana pemerintah

    pendudukan Jepang memperlakukan radio pada zaman itu. Pada masa

    pendudukan Jepang, radio dijadikan sebagai sebuah sarana propaganda yang aktif

    dengan diperdengarkannya radio di tempat-tempat yang ramai seperti pasar,

    stasiun dan lain sebagainya (Kitley, 2000, h. 28). Televisi Republik Indonesia

    (TVRI) menjadi primadona dan menjadi satu-satunya stasiun televisi yang ada di

    Indonesia, sampai pada akhirnya di awal tahun 1990-an lima stasiun televisi

    bukan milik pemerintah atau swasta diizinkan untuk mengudara di Indonesia.

    Lima stasiun televisi swasta tersebut adalah RCTI, SCTV,TPI, ANTV dan

    Indosiar. Praktis dengan muncullnya televisi swasta yang memiliki beragam

    program menggeser kedudukan TVRI.

    2.2.1 Televisi Pemerintah

    Televisi pemerintah atau government-owned television adalah televisi

    yang inisiatif pendiriannya atas inisiatif pemerintah, dengan sebagian besar modal

    dan biaya operasionalnya disubsidi dari negara. Televisi pemerintah yang sejak

    awal berdirinya didesain sebagai perangkat pemerintah, struktur dan format

    organisasinya secara langsung diarahkan untuk mendukung kegiatan yang dimiliki

    oleh pemerintah dan yang mendukung kepentingan rezim. Althusser (dalam

  • Kartosapoetro , 2014, h.43) berpendapat bahwa televisi semacam ini merupakan

    bagian dari ideological state apparatus.

    Seperti negara berkembang pada umumnya, konsep televisi pemerintah

    diterapkan di Indonesia. Pemerintah negara berkembang sangat membutuhkan

    peran dari televisi, guna sebagai sarana kampanye pembangunan ekonomi

    maupun politik yang sedang berlangsung di negara tersebut. Televisi dengan

    kekuatan suaranya dan gambar sangat mudah dicerna dan dipahami oleh kalangan

    masyarakat yang masih buta huruf sekalipun. Pada awalnya televisi bukanlah hal

    yang menarik bagi pihak swasta, karena investasi untuk modal, teknologi, dan

    biaya operasionalnya sangat tinggi sehingga pemerintah mengambil inisiatif untuk

    membangun dan menggembangkan sistem televisi (Kartosapoetro, 2014, h.43).

    Elihu Katz (dalam Kartosapoetro, 2014, h.43) melakukan penelitian

    mengenai stasiun televisi yang ada pada 120 negara berkembang, dirinya

    menemukan bahwa 95 persen kepemilikan stasiun televisi di negara berkembang

    berada dalam penguasaan pemerintah karena berdasarkan alasan yang serupa.

    Alasan yang pertama adalah biaya dalam membangun infrastruktur dan pelatihan

    personel televisi membutuhkan biaya yang banyak dan umumnya hanya

    pemerintah yang dapat mendanainya menggunakan kredit lunak dari negara-

    negara industri. Selain itu alasan kedua adalah televisi memiliki pengaruh dalam

    membangun citra, khsusnya citra pemerintah. Terakhir, televisi memiliki jaringan

    yang cepat dan efektif bagi penyebaran informasi dan inovasi pemerintah untuk

    program pembangunan.

  • TVRI sebagai televisi pemerintah memiliki sistem penyiaran yang dikelola

    dengan birokrasi pemerintahan, hal ini diterapkan untuk pegawai pemerintah yang

    berasal dari berbagai lembaga pemerintahan yang dinilai memiliki keahlian untuk

    mengelola televisi, maka akan direkrut. Kitley dalam bukunya berpendapat bahwa

    keterkaitan TVRI dengan birokrasi pemerintahan yang memiliki banyak

    kesamaan, akan menimbulkan hal yang tidak baik kedepannya, karena

    ketergantungan TVRI terhadap pemerintah dan dari sanalah TVRI tidak akan

    dapat menjadi media yang menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada

    khalayak, karena kontrol pemerintah yang sangat kuat (Kitley, 2000, h.34).

    Monopoli yang terjadi dalam televisi pemerintah dengan diberikannya guidance

    secara terus menerus, setting sistem kerja birokrasi yang berorientasi pada proses

    bukan hasil, serta budaya produksi berita yang memiliki orientasi

    terlaksanakannya misi, bukan karena penonton menyebabkan televisi pemerintah

    di mana pun berada memiliki kesan yang sangat membosankan (Kartosapoetro,

    2014, h.45).

    Sebagian besar berita yang ada pada televisi pemerintah sebagian adalah

    success story , karena televisi pemerintah dilarang untuk menyangkan pendapat

    yang kritis terhadap pemerintah (Kartosapoetro, 2014, h.47). TVRI tidak mampu

    bersaing secara kreatif untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas acara,

    sehingga program-program yang ada terkesan monoton, sementara publik

    medesak agar televisi pemerintah dapat memberikan tayangan yang lebih

    bervariasi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya dinamika dalam konsep

    pengelolaan televisi. Pada akhirnya atas dorongan pasar, televisi sepenuhnya akan

  • memenuhi keinginan pasar dan berkompetisi secara maksimal (Kitley, 2000). Hal

    inilah yang kemudian terjadi di Indonesia, dengan diizinkannya pihak swasta

    untuk membuka dan menjalankan industri televisi.

    2.2.2 Televisi Swasta

    Perkembangan awal teknologi adalah salah satu faktor yang menyebabkan

    berkembangnya televisi swasta di Indonesia. Dengan diperluasnya daya jangkau

    wilayah siaran yang ditandai dengan diluncurkannya satelit komunikasi “Sistem

    Komunikasi Satelit Domestik” (SKSD) kemudian diberi nama Satelit Palapa

    (Armando, 2011,h.77). Hal di atas menjadi dasar terbentuknya kondisi yang dapat

    memperkuat kebutuhan atas televisi swasta. Armando (2011, h.104-114)

    menjelaskan bahwa kondisi yang dimaksud adalah kebutuhan atas pilihan konten

    alternatif. Karena masyarakat menganggap konten program acara yang ada di

    TVRI terlalu membosankan, maka dari itu kehadiran TV swasta memungkinkan

    penonton untuk mendapatkan pilihan atas konten alternatif, khususnya hiburan.

    Hadirnya televisi swasta ditandai dengan diberikannya izin siaran kepada

    Bambang Trihatmodjo dengan mendirikan RCTI yang mengudara secara resmi

    pada 24 Agustus 1989. Pendirian televisi swasta lainnya kemudian diikuti oleh

    TPI pada tahun 1990, disusul dengan didirikannya SCTV pada tahyn yang sama.

    Pada tahun 1993 di awah kepemilikan Aburizal Bakrie ANTV didirikan dan

    kemudian pada 1995 Indosiar berdiri. Secara tersirat dapat terlihat bahwa

    intervensi politik dilakukan oleh negara melalu pembatasan perizinan penyiaran

  • televisi swasta yang hanya sebatas pada jejaring kekuasaan Soeharto (Armando,

    2011, 115).

    Televisi swasta yang ada di manapun, pada dasarnya mengikuti pola

    sistem televisi yang ada di Amerika Serikat, yang seluruh pendanaanya dibiayai

    dan dikelola oleh pihak swasta.Selain itu sebagai sebuah institusi bisnis murni,

    televisi swasta beroperasi dengan didasarkan pada the primacy of economic goals

    dengan tujuan untuk memperoleh keunggulan ekonomi. Lebih jauh Ishadi

    menjelaskan bahwa televisi swasta senantiasa berupaya untuk memperoleh

    revenue sebesar-besarnya dan menekan cost serendah-rendahnya demi

    memperoleh profit margin yang besar, hal ini dilakukan agar mereka dapat

    mengembalikan investasi dan mengembangkan usaha (Kartosapoetro, 2014,h.50).

    Televisi swasta memiliki konsep dengan menawarkan jumlah penonton

    kepada pemasang iklan melalui penghitungan rating dan share untuk setiap

    program TV. Orientasi televisi swasta yang berfokus kepada meningkatkan

    rating, menyebabkan bagian perencanaan program secara rutin dituntut untuk

    melakukan evaluasi mingguan mengikuti perolehan rating per program dan

    average audience share per stasiun Semangat dalam mengejar rating sangat terasa

    terjadi di dalam sistem televisi komersil atau swasta, hal ini yang memacu

    semangat untuk berkompetisi dalam merebut penonton dan mendapatkan iklan,

    hal inilah yang tidak dimiliki dalam televisi pemerintah (Kitley, 2000, h.253).

    Di sisi lain, televisi swasta memiliki beberapa kelemahan yang telah

    dikritisi oleh beberapa peneliti, salah satunya adalah Dedy N.Hidayat (dalam

  • Kartosapoetro,2014,h.56), setidaknya terdapat tiga kelemahan dasar yang dimiliki

    oleh televisi swasta. Berikut penjelasannya:

    1) Pertama, kelemahan yang ada dari sisi penonton yakni banyak penonton

    minoritas dan penonton lokal yang bukan merupakan sasaran televisi

    komersial dalam upaya memperoleh rating tertinggi dan tidak memiliki

    hak konsumen untuk memilih acara yang mereka inginkan.

    2) Kedua adalah konsumen mayoritas yang sesungguhnya tidak dapat

    mengklaim memiliki kedaulatan dalam memilih program siaran yang ingin

    dan perlu mereka konsumsi. Realitas selera mereka yang selama ini dapat

    diamati hanyalah hasil rekayasa struktur pasar media yang digerakkan oleh

    logika akumulasi modal, efisiensi produksi, negosiasimisi program,

    promosi dan propaganda iklan.

    3) Konsep penyusunan program leave everything up to the market yang

    menghasilkan market driven approach didasarkan atas dogma yang rapuh

    karena menganggap bahwa sebagai sebuah realitas objektif, padahal pasar

    sesungguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial.

    2.3 Manajemen Media

    Kajian manajemen media memiliki sejarah yang tidak dapat dilepaskan

    dari ilmu manajemen itu sendiri. Para pengkaji manajemen media, pada awalnya

    lebih dulu mempelajari pengantar dan proses manajemen yang terdiri dari fungsi-

    fungsi planning, organizing, influencing, budgeting, controlling, dan lain

  • sebagainya. Menurut Siregar, dkk. (2010, h. 3) mengatakan bahwa manajemen

    media dapat menjadi sangat luas cakupannya dan kompleks, karena di dalam

    manajemen media terdapat pembahasan mengenai ekonomi media dan ekonomi

    politik media, perkembangan teknologi, serta sistem sosial politik dimana media

    tersebut berada.

    Singkat kata Siregar, dkk menyimpulkan bahwasanya manajemen media

    adalah ilmu yang mempelajari bagaimana pengelolaan media dengan

    mengaplikasikan prinsip-prinsip dan seluruh proses manajemennya dilakukan,

    baik terhadap media sebagai industri bersifat komersil maupun sebagai institusi

    sosial (Siregar dkk, 2010, h.5). Senada dengan apa yang diutarakan oleh Siregar,

    Rahayu (dalam Siregar dkk, 2010, h. 33) berpendapat bahwa kajian ekonomi dan

    manajemen meskipun termasuk ke dalam kajian yang masih baru namun kajian

    ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Rahayu menambahkan bahwa

    kajian manajemen media merupakan bagian dari kajian industri media, dimana

    kajian insudtri media memiliki kajian yang cukup luas karena menghubungkan

    antara industri, teks, audience, dan society Holt& Peren (dalam Siregar, dkk,

    2010, h.35).

    Manajemen media sebagai sebuah pendekatan, melihat persoalan industri

    media secara “top-down” atau dimulai dari struktur industri dan organisasi.

    Rahayu (dalam Siregar, dkk, 2010, h.36) menyatakan bahwa sebagai subjek kajian

    manajemen media memiliki tiga tradisi, mengutip dari Pichard ( dalam Siregar,

    2010, h.36), ketiga tradisi tersebut adalah :

  • 1) Theoritical tradition adalah tradisi yang mempelajari tentang isu financial

    flow, cost structure, return issue, dan faktor-faktor ekonomi lainya yang

    memiliki pengaruh pada produksi dan konsumsi produk media. Dasar

    akademik dari tradisi ini adalah disiplin ekonomi bisnis dan manajemen.

    2) Applied tradition yaitu mempelajari seputar isu kompetisi, konsumsi,

    efisiensi dan lain sebagainya. Analisis yang ada dalam kajian ini memiliki

    kontribusi diantaranya bagi pengembangan industri komunikasi dan

    kebijakan pemerintah.

    3) Critical tradition adalah tradisi yang melakuakan eksplorasi pada efek

    sosial, politik, dan budaya dari suatu sistem dan kebijakan komunikasi.

    Tradisi ini memiliki kontribusi terhadap pengembangan sistem

    komunikasi, budaya dan kebijakan pemerintah. Tradisi ini memiliki

    pondasi akademik pada komunikasi, media studies dan ekonomi politik.

    Sebagai sebuah kajian, manajemen media bukan hanya mempelajari

    tentang persoalan pengelolaan institusi media dan faktor-faktor ekonomi yang

    mempengaruhi di dalamnya, lebih dari itu kajian manajemen media juga

    menghubungkan mengenai persoalan-persoalan institusi media dengan persoalan

    lainnya yang lebih luas. Persoalan tersebut menyangkut implikasinya pada

    pengambilan kebijakan, pengembangan sistem media, budaya dan lain sebagainya

    (Siregar, dkk. 2010, h.36)

    2.3.1 Sumber Daya Manusia

    Seperti penjelasan di atas, bahwasanya manajemen media merupakan

    sebuah pendekatan yang melihat persoalan media secara “top down” yang di

  • dalamnya terdapat struktur industri dan organisasi Rahayu (dalam Siregar, 2010,

    h.36) yang pastinya hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia. Sumber daya

    manusia secara dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber daya manusia secara

    makro dan mikro. Sumber daya manusia secara makro adalah jumlah penduduk

    usia produktif yang ada di sebuah negara, sedangkan pengertian sumber daya

    manusia mikro lebih berfokus pada individu yang bekerja pada sebuah institusi

    (Siregar, 2010, h.45)

    Pada bagian ini peneliti akan melakukan pembahasan mengenai sumber

    daya manusia secara mikro dalam sebuah institusi. Menurut Wright, dkk (2008)

    berpendapat bahwa sumber daya manusia merupakan fungsi organisasi yang

    bertugas untuk membuat sistem dan kebijakan yang dapat mempengaruhi

    perilaku, sikap dan kinerja yang ada pada karyawan. Praktek-praktek yang

    terdapat dalam fungsi sumber daya manusia meliputi perekrutan, seleksi,

    pelatihan, pengembangan, kompensasi dan pemberhentian terhadap tenaga kerja.

    Praktek-praktek pengelolaan semacam ini mempengaruhi efektivitas dan

    efisiensi sumber daya manusia organisasi. Pengadaan tenaga kerja antara lain

    terdiri atas analisis pekerjaan, penarikan (rekrutmen) dan seleksi calon karyawan.

    Analisis pekerjaan merupakan suatu proses penentuan yang sistematis untuk

    menentukan uraian pekerjaan (tugas-tugas) dan spesifikasi pekerjaan seperti

    eterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dalam

    sebuah organisasi (Panggabean, 2004)

  • 2.4 Ekonomi Politik Media

    Ekonomi Politik Media merupakan sebuah kajian yang mempelajari kaitan

    antara media massa dengan politik dan ekonomi. Menurut Downing (dalam

    Alfani, 2014, h. 11) berpendapat bahwa studi ekonomi politik media merupakan

    sebuah bentuk analisis kritis, karena dari model analisis tersebut sangat

    dimungkinkan munculnya perhatian pada kritisisme terhadap aspek ekonomi dan

    politik media. Media massa memiliki peran sebagai moderator kegiatan ekonomi

    yang terkait dengan produksi dan distribusi konten media yang dibutuhkan

    khalayak. Selain itu media juga dapat memediasi kegiatan politik dari para politisi

    kepada masyarakat begitu juga sebaliknya, media dapat memediasi opini,

    tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang

    lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak

    (Alfani, 2014, h. 11).

    Kebutuhan studi tentang ekonomi media menurut Picard (2008) tumbuh

    bersamaan dengan pertumbuhan dan perubahan media, selain itu kegiatan

    komunikasi juga turut memiliki peran dalam pertumbuhan tentang kebutuhan

    studi media. Munculnya perusahaan besar di negara-negara maju dalam bidang

    komunikasi, perkembangan sistem komunikasi yang semakin pesat, serta

    komersialisasi penyiaran secara dramatis merupakan penyebab perubahan

    lansekap komunikasi dan tekanan ekonomi pada media dan sistem komunikasi.

    Investasi besar dalam sistem komunikasi serta pembuatan peralatan media dan

    komunikasi di wilayah Asia, dapat mengubah cara berkomunikasi di negara-

    negara tersebut.

  • Ekonomi politik media berupaya untuk membuat media bukan sekedar

    sebagai pusat utama kajian dari bidang ilmu tersebut, melainkan berupaya untuk

    menjadikan bagian dari suatu struktur yang terkait dengan ekonomi dan politik.

    Dalam Mosco (2009), dirinya menjelaskan bahwa ekonomi politik merupaka

    sebuah teori yang mengkaji tentang hubungan sosial, terutama kekuatan dari

    hubungan tersebut secara timbal balik yang meliputi proses produksi, distribusi

    dan konsumsi produksi yang dihasilkan. Mencoba untuk memahami hubungan

    integral antara sistem ekonomi dan politik yang berkeliling dan dalam proses

    produksi dan distribusi produk media, maka sesungguhnya “pembacaan” atau

    “pemaknaan” yang kita lakukan itu telah masuk dalam wilayah ekonomi politik

    media. Semangat ekonomi dan politik memungkinkan terintegrasinya proses

    ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam masyarakat (Alfani, 2014, h. 12).

    Untuk dapat memahami konsep yang ada dalam ekonomi politik media

    secara menyeluruh, Vincent Mosco menawarkan tiga konsep dasar yang dapat

    dijadikan sebagai landasan untuk dapat memahami teori ini, tiga konsep ini

    ditulisnya dalam buku The Political Economy of Communication (2009):

    - Konsep pertama komodifikasi, yang berkaitan dengan bagaimana

    proses transformasi barang dan jasa disertai dengan nilai gunanya dapat dijadikan

    sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai tukar di pasaran. Produk media

    berupa informasi dan hiburan menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan

    dan bernilai ekonomis. Mosco mengklasifikasikan komodifikasi menjadi tiga jenis

    yaitu:

  • a. Komodifikasi Isi/Konten dimana proses komodifikasi dimulai ketika

    pelaku media mengubah pesan melalui teknologi yang menuju sistem

    interpretasi yang sarat akan makna, sehingga dapat menjadi pesan yang

    layak untuk dijual (marketable).

    b. Komodifikasi Audiens/ Khalayak yang merupakan komoditas penting

    bagi media massa untuk dapat mendapatkan iklan dan pemasukan. Media

    dapat menciptakan khalayaknya sendiri dengan program-program menarik

    yang dimilikinya, sehingga para pengiklan dapat tertarik untuk beriklan di

    media tersebut. Biasanya media menjual audiens dalam bentuk rating atau

    share kepada advertiser agar dapat menggunakan fasilitas airtime yang

    mereka miliki.

    c. Komodifikasi Pekerja/Labour dalam hal ini pekerja merupakan

    penggerak kegiatan produksi dan distribusi. Tenaga dan pikiran yang

    mereka miliki dimanfaatkan secara optimal oleh institusi media massa,

    dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka dengan betapa

    menyenangkannya bekerja dalam sebuah institusi media massa.

    - Konsep kedua spasialisasi, konsep ini berhubungan dengan bagaimana

    media dapat dan mampu menyajikan produknya dihadapan khalayak dalam

    batasan ruang dan waktu. Media dapat menentukan peranannya dalam memenuhi

    jaringan dan kecepatan produk media kepada khalayak yang mereka miliki. Selain

    itu spasialisasi juga dapat dimaknai sebagai perpanjangan institusional media

    melalu bentuk korporasi dan seberapa besar bentuk usaha media tersebut

    dijalankan. Ukurannya dapat berbentuk horizontal ataupun vertikal. Lebih lanjut

  • dijelaskan bahwa, dalam bentuk perpanjangan horizontal, biasanya berubah dalam

    bentuk konglomerasi, yang pada akhirnya dapat memunculkan tindakan

    monopoli. Dengan kata lain, spasialisasi memiliki pengertian bagaimana sebuah

    media melakukan “pembesaran” lingkup demi menjangkau khalayak.

    - Konsep ketiga strukturalisasi, dimana konsep ini digambarkan sebagai

    sebuah proses struktur sosial yang saling ditegakan oleh para agen sosial, dan

    bahkan dari tiap-tiap bagian dalam struktur mampu bertindak untuk dapat

    melayani bagian lainnya. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan

    sosial dan proses kekuasaan diantara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang

    masing-masing saling memiliki kaitan. Selain itu strukturasi juga berhubungan

    dengan bagaimana cara media untuk dapat membangun hegemoni dan

    pemahaman yang dapat mendominasi masyarakat.

    2.4.1 Kontrol Terhadap Media

    Blake dan Haroldsen (2003, h.79) mengatakan bahwa media massa dalam

    masyarakat modern dianggap sebagai lembaga sosialialis untuk pesan-pesan baik

    formal maupun informal yang penting dalam bermasyarakat. Maka dari itu media

    harus dapat mengorganisasikan pesan yang bermanfaat dan mudah dipahami oleh

    khalayak, dengan kata lain media massa memegang peranan penting dalam

    mendifusikan jalannya pemerintahan yang demokratis kepada rakyat.

    Senada dengan yang diutarakan McQuail (2005,h.58) dimana dirinya

    berpendapat bahwa media beroperasi di ruang publik sesuai dengan kepentingan

    pengguna dengan kegiatan utamanya adalah memproduksi, mendistribusikan

  • konten simbolik dan partisipasi yang bersifat profesional, serta bebas dari nilai

    kepentingan. Maka dari itu, yang dibutuhkan adalah media yang tidak dipengaruhi

    oleh berbagai kekuatan sosial, ekonomi maupun politik dan lebih dapat

    mengedepankan transparansi khalayak. Namun yang menjadi pertanyaan adalah,

    sejauh mana media massa di Indonesia dapat menjadi independen dan terlepas

    dari pengaruh pemerintahan, politisi maupun pemilik media itu sendiri.

    Sebelum reformasi, media massa di Indonesia memiliki masa-masa yang

    sulit karena hampir tidak memiliki kebebasan pers, fungsi media massa hanya

    digunakan sebagai media pembangunan dan menjadi “humas” milik pemerintah.

    Negara secara langsung memiliki hak untuk campur tangan dan membatasi

    pengoperasian media, selain itu negara memiliki hak untuk melakukan sensor

    tayangan yang dimiliki media, dan melakukan pengendalian langsung terhadap

    media. Pemerintah melakukan kontrol terhadap media, sebagai penerapan dari

    pola media massa pembangunan (Susanto, 2013, h. 480).

    Pada tahun 1998 semangat reformasi di Indonesia tumbuh dan membakar

    semangat masyarakatnya, sejalan dengan hal itu kebebasan pers pun dibentuk

    melalui UU No.40/1999 tentang Pers dan UU No.32/2004 tentang penyiaran yang

    dapat menjamin kebebasan media dengan segala konsekuensinya (Susanto, 2013,

    h. 481). Sejak saat itu media massa memiliki kebebasan untuk menjalankan

    industrinya sendiri. Namun seiring dengan berjalannya waktu, muncul tindakan

    dengan menguasai pemberitaan salah satu caranya dengan memanfaatkan

    kelemahan pemilik dan praktisi media dalam hal finansial. Dalam kasus ini,

    pemilik modal dapat “menitipkan” berita-berita yang dikehendakinya atau dengan

  • memanfaatkan opinion leader yang diminta bicara di media dengan tujuan untuk

    menggeser masalah dalam sebuah berita utama.

    Pemilik modal atau pemilik media seolah memiliki andil yang besar untuk

    melakukan kontrol atau pengawasan terhadap medianya sendiri karena sekali lagi,

    dalam menjalankan bisnis industri media, tarik ulur antar penguasa dan pemilik

    media sangat kentara. Senada dengan hal tersebut, Susanto (2013) berpendapat

    bahwa wajar jika dalam kepentingan bisnis, media dapat menjalankan bisnisnya

    untuk menghidupi organisasinya agar mampu menjadi sumber informasi yang

    kredibel, namun harus lebih mengedepankan kepentingan untuk memberikan

    informasi yang bermanfaat dan faktual untuk khalayak.

    2.4.2 Agenda Media

    Lippmann (dalam Littlejhon, 2012, h.415) berpendapat bahwa masyarakat

    tidak memiliki respons terhadap kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu

    lingkungkan, tetapi masyarakat memiliki gambaran dalam kepala yang disebutnya

    dengan lingkungan palsu (pseudoenvironment). Hal ini dikarenakan lingkungan

    yang sebenarnya terlalu besar, kompleks dan terlalu menuntut adanya kontak

    langsung. Maka dari itulah media hadir dengan memberikan khalayak sebuah

    model yang sederhana dengan menyusun agenda. Dengan kata lain adanya

    penyusunan agenda membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran

    kita.

    Littlejohn (2012) mengungkapkan bahwa terjadinya penyusunan agenda

    didasarkan pada keharusan media untuk selektif dalam melaporkan sebuah berita.

    Lebih jauh Littlejohn menjelaskan bahwa saluran berita yang memiliki peran

  • sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus

    dilaporkan dan bagaimana cara dalam melaporkannya. Maka dari itu, apa yang

    masyarakat ketahui tentang kondisi situasi tertentu merupakan hasil dari

    penjagaan gerbang oleh media (Littlejohn, 2012, h.416)

    Menurut Littlejohn (2012) terdapat dua tingkatan dalam penyusunan

    agenda, yang pertama adalah menentukan isu-isu umum yang dianggap penting

    dan yang kedua adalah menentukan bagian atau aspek dari isu-isu tersebut yang

    dianggap penting. Baik tingkatan pertama maupun kedua dianggap sama-sama

    berperan penting dalam penyusunan agenda media (Littlejohn 2012, h.416).

    Rogers dan Dearing (dalam Littlejohn 2012) berpendapat bahwa fungsi agenda

    setting merupakan proses yang linear, terdiri dari tiga bagian yaitu pertama,

    agenda media itu sendiri harus disusun oleh awak media, kedua agenda media

    dalam beberapa hal dapat mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik,

    dan ketiga adalah agenda politik adalah apa yang dipikirkan para pembuat

    kebijakan politik yang berhubungan dengan kebijakan publik atau yang dianggap

    penting oleh publik. Ketiga agenda tersebut memiliki indikator yaitu :

    a) Agenda Media adalah isu yang dibahas oleh suatu media:

    - Visiabilitas (visibility)

    Jumlah dan tingkat penonjolan berita yang dapat dilihat dari letak berita

    dan panjangnya (waktu dan ruang)

    - Tingkat penonjolan bagi khalayak (audience salience)

    Relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.

  • - Valense (valence)

    Cara pemberitaan dan cara penyajian dari suatu topik atau berita.

    b) Agenda Publik adalah naluri yang dimiliki publik terhadap pentingnya

    sebuah isu.

    - Keakraban (familiarity)

    Derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.

    - Penonjolan Pribadi (Personal Salience)

    Relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi.

    - Kesenangan (Favorability)

    Pertimbangan berdasarkan senang atau tidak senang dengan topik berita

    tertentu.

    c) Agenda Politik adalah agenda publik yang dapat mempengaruhi pembuat

    keputusan politik

    - Dukungan (support)

    Kegiatan menyenangkan terhadap posisi suatu berita tertentu.

    - Kemungkinan kegiatan (likelihood action)

    Kemungkinan pemerintah dalam melaksanakan apa yang diibaratkan.

    - Kebebasan Bertindak (freedom of action)

    Nilai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. (Littlejohn, 2012, h.417)

  • Berkaitan dengan hal di atas muncul pertanyaan tentang siapa yang

    pertama kali menentukan agenda media, hal ini menjadi topik pembicaraan yang

    sangat menarik jika dibahas karena terlalu kompleks untuk mencari titik temunya.

    Namun Littlejohn (2012, h.418) berhasil menjelaskan bahwa agenda media

    berasal dari tekanan baik di dalam organisasi media maupun yang bersumber dari

    luar organisasi media tersebut. Dengan kata lain, kombinasi pemrograman

    internal, keputusan manajerial dan editor serta campur tangan individu yang

    memiliki pengaruh secara sosial, pejabat pemerintah, dukungan iklanlah yang

    dapat dikategorisasikan sebagai penentu agenda media.

    2.5 Studi Penelitian Terdahulu

    Tabel 1. Studi Penelitian Terdahulu(diolah peneliti)

    No. Nama Judul Penelitian Hasil

    1. Muhammad Aga

    (Ilmu Komunikasi

    Universitas

    Brawijaya, Malang)

    2016

    We Are The Yellow

    Jacket (Studi Eksploratif

    pada Pemikiran Prof.

    Dedy Nur Hidayat

    sebagai Tokoh Ilmu

    Komunikasi Universitas

    Indonesia)

    Menunjukan pola

    pemikiran Prof. Dedy

    Nur Hidayat, yang

    memiliki perhatian

    terhadap :

    1.) ekonomi politik,

    2.) media,

    3.) kebangsaan

    4.) metode penelitian.

    2. Hamidah Izzatu

    Laily (Ilmu

    Komunikasi

    Universitas

    Rosihan Anwar dan Pers

    Indonesia (Studi

    Eksploratif pada

    Pemikiran Rosihan

    Hasil penelitian

    menunjukkan pola

    terkait pemikiran

    Rosihan Anwar. Hal-hal

  • No. Nama Judul Penelitian Hasil

    Brawijaya)

    2016

    Anwar terkait Pers di

    Indonesia)

    yang menjadi perhatian

    utama Rosihan antara

    lain mengenai jurnalisme

    untuk upaya

    pembangunan,

    modernisasi, kode etik

    dan pers bebas

    bertanggung jawab,

    kesejahteraan wartawan

    dan industri media,

    kecenderungan pada

    aspek sejarah dan agama

    juga menjadi poin yang

    turut mendominasi

    pemikirannya.

    3. Dylan Aprialdo

    Rachman (Ilmu

    Komunikasi

    Universitas

    Brawijaya)

    2016

    Berpikir Ulang Tentang

    Pers KeIndonesiaan

    ( Studi Eksploratif pada

    Pemikiran Jakob Oetama

    terkait Pers dan

    Jurnalisme di Indonesia)

    Penelitian menunjukkan

    bahwa Jakob Oetama

    memunculkan tiga

    gagasan besar dalam

    persoalan pers dan

    jurnalisme, yakni

    mengenai jurnalisme

    pembangunan bangsa,

    pengelolaan perusahaan

    pers,serta digitalisasi

    media dalam

    menghadapi

    perkembangan teknologi

    komunikasi.

  • No. Nama Judul Penelitian Hasil

    4. Matthew Ross

    (University of South

    Carolina, USA)

    2013

    An Alternative Path: The

    Intelectual Legacy of

    James W. Carey

    Peneliti menemukan

    bahwa sementara James

    Carey lalai dengan

    bahasannya berupa isu-

    isu seputar ekonomi

    politik. Peneliti

    berasumsi bahwa Carey

    harus lebih berfokus

    pada penelitiannya

    tentang Jurnalisme,

    Komunikasi Massa dan

    analisisnya terhadap

    teknologi dan budaya.

    Peneliti memilih empat penelitian terdahulu seperti di atas berdasarkan

    atas kesamaan, baik dari latar belakang kajian, metode analisis data ataupun

    paradigma yang dimiliki. Berikut akan peneliti jabarkan beberapa persamaan dari

    masing-masing penelitian:

    Pertama , penelitian milik Muhammad Aga yang berjudul “We Are The

    Yellow Jacket” (Studi Eksploratif pada Pemikiran Prof. Dedy Nur Hidayat sebagai

    Tokoh Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia) memiliki korelasi dengan

    penelitian yang peneliti buat. Penelitian tersebut menggunakan studi komunikasi

    perspektif historis dan juga sama-sama menggunakan konsep sociology of

    knowledge untuk mendiskripsikan pemikiran tokoh yang diteliti, selain itu juga

    membahas ekonomi dan politik yang ada di media massa. Namun penelitian ini

  • lebih dikaji menggunakan metodelogi penelitian studi eksploratif terhadap

    pemikiran tokoh komunikasi, hal tersebut yang menjadi pembeda dari penelitian

    ini.

    Kedua, adalah penelitan dari Hamidah Izzatu Laily yang meneliti tentang

    pemikiran dari Rosihan Anwar. Peneliti memilih penelitian ini sebagai salah satu

    studi penelitian terdahulu karena memiliki hubungan dengan penelitian yang

    peneliti buat, diantaranya adalah penelitian ini menggunakan perspektif

    komunikasi historis dengan sociology knowledge. Sedangkan pembedanya adalah

    penelitian ini menggunakan metode grounded theory.

    Ketiga, penelitian dari Dylan Aprialdo Rachman tentang studi pemikiran

    Jakob Oetama. ka Dalam penelitian ini berfokus untuk menggali lebih jauh

    pemikiran-pemikiran dari Jakob Oetama sebagai wartawan sejak zaman orde baru

    hingga refomasi. Penelitian ini menggunakan sociology of knowledge dengan

    variasi hermeneutika yang memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti

    buat.

    Keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Matthew Ross (2013),

    dalam penelitian yang berjudul An Alternative Path: The Intelectual Legacy of

    James W. Carey tersebut, Ross mendiskusikan pemikiran kritis Carey dengan

    dianalisi menggunakan metode dialog yang menjelaskan secara luas mengenai

    pemikiran Carey dengan menggunakan variasi hermeneutik. Metode analisis

    tersebut menurut peneliti memiliki dapat menjadi rujukan peneliti dalam

    menyelesaikan penelitian ini.

  • 2.6 Kerangka Pemikiran

    Kerangka berpikir atau kerangka pemikiran merupakan sebuah model

    konseptual yang berkaitan dengan bagaiaman teori berhubungan dengan berbagai

    faktor yang sudah diidentifikasi sebagai hal yang penting. Dengan kata lain,

    kerangka pemikiran merupakan sebuah pemahaman yang dapat menjadi dasar

    pemahaman-pemahaman lainnya atau menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau

    suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan Sekaran

    (dalam Sugiyono, 2011, h.60). Dalam penelitian ini, latar belakang yang peneliti

    gunakan untuk penelitian studi pemikiran tokoh adalah communication history

    dengan pendekatan sociology of knowledge dan sociology of media .Tokoh yang

    dijadikan subjek penelitian adalah Ishadi SK yang memiliki konsentrasi di bidang

    pertelevisian. Ishadi SK memiliki pemikiran khusus mengenai manajemen media

    dan juga kaitan televisi dengan ekonomi politik media.

  • Bagan 1. Kerangka PemikiranSumber: Data diolah Oleh Peneliti

    Sociology ofKnowledge

    CommunicationHistory

    Ishadi S.K

    1. TelevisiPemerintah2. Televisi SwastaTelevisi Swasta

    Sociology ofMedia

    ManajemenMedia

    EkonomiPolitik Media

    Televisi

  • 44

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    Pada bab ini akan memaparkan terkait dengan metode penelitian yang

    digunakan dalam penelitian ini. Sub bab yang dipakai peneliti di antaranya adalah

    pembahasan mengenai paradigma penelitian, sumber data, teknik pengumpulan

    data, teknik pemilihan informan, analisis data, keabsahan data dan etika

    penelitian.

    3.1 Paradigma Penelitian

    Terdapat beberapa ahli dalam bidang ilmu komunikasi yang memiliki

    pemikiran terkait dengan paradigma, salah satunya adalah yang dipaparkan oleh

    Ratna (2010, h.21) yang mendefinisakan paradigma secara luas bahwa paradigma

    adalah seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk

    menuntun tindakan-tindakan manusia yang sudah disepakati bersama, baik dalam

    hal kehidupan sehari-hari ataupun dalam penelitian ilmiah. Pendapat lain terkait

    dengan paradigma datang dari Moleong (2005, h. 12) yang berpendapat bahwa

    paradigma adalah kumpulan asumsi longgar yang membahas tentang asumsi

    secara logis yang dianut bersama, konsep, atau proporsi yang mengarahkan cara

    berpikir.

    Sedangkan penelitian pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk

    menemukan atau lebih membenarkan suatu kebenaran (Moleong, 2005, h.46). Hal

  • 2

    senada diungkapkan oleh Neuman (2013, h.26) yang menyatakan bahwa

    penelitian ilmu sosial adalah untuk, mengenai, dan dilakukan oleh manusia,

    darisanalah para peneliti dapat menciptakan dan menemukan pengetahuan baru

    serta dapat memahami dunia sosial. Berdasarkan penjelasan di atas dapat

    disimpulkan bahwa paradigma merupakan sebuah landasan dasar penelitian bagi

    seorang peneliti. Pendekatan, metode, teknik dan langkah-langkah penelitian

    lainnya, adalah terkait yang tidak akan terjalin selaras dan memiliki relevansi

    penelitian tanpa paradigma peneletian.

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma interpretatif yang

    berawal dari pemikiran seorang sosiolog yang berasal dari Jerman yaitu Max

    Weber. Dalam Neuman ( 2013, h.115) Weber berpendapat bahwa ilmu sosial

    harus sejalan dengan mempelajari tindakan sosial dengan tujuan tertentu, dan

    merasa bahwa kita harus mempelajari alasan pribadi yang dapat membentuk

    perasaan internal seseorang dan menuntun keputusan dalam bertindak dengan

    cara-cara tertentu. Paradigma Interpretatif digunakan oleh peneliti dengan alasan

    dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk dapat memahami pemikiran Ishadi SK.

    Sesuai dengan paradigma yang digunakan oleh peneliti, maka jenis

    penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kualitatif eksploratif. Bogdan &

    Biklen, S. (dalam Rakhmat, 2009, h.2) mendefinisikan penelitian kualitatif

    sebagai salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

    ucapan atau tulisan dan perilkau orang-orang yang telah diamati. Dalam

    pendekatan kualitatif diharapkan mampu untuk menghasilkan uraian yang

    mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari satu

  • 3

    individu, kelompok, masyarakat, atau organisasi tetrtentu dalam suatu setting

    konteks yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik

    (Rakhmat, 2009, h.3). Sedangkan penelitian eksploratif adalah suatu penelitian

    yang dilakukan dengan tujuan utamanya untuk dapat menyelidiki persoalan atau

    fenomena yang sedikit sekali dipahami dan untuk mengembangkan gagasan awal

    mengenai hal tersebut dan dapat beranjak kepada proses selanjutnya yaitu

    penyempurnaan pertanyaan-pertanyaan penelitan (Neuman, 2013, h.43).

    Interpretatif adalah upaya dalam memahami sebuah teks secara utuh dan

    menyeluruh (Putra, 2012, h.78). Selain itu Neuman (2013, h.115) juga

    mendefinisikan tentang interpretatif bahwa terdapat beberapa variasi di dalamnya,

    antara lain heremeneutika, konstruksionisme, etnometodologi, kognitif, idealis,

    fenomenologis, subjektivis, dan sosiologi kualitatif. Dalam penelitian ini memakai

    salah satu variasi dalam Interpretatif yakni hermeneutika. Ricoeur dalam

    (Putra,2012, h. 76) mengatakan bahwa hermeneutika ialah :

    “the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation

    of text.”

    Atau dengan kata lain hermeneutika adalah kegiatan olah pikir yang

    bertujuan untuk menafsirkan dan memahami makna dalam sebuah teks (realitas)

    secara rasional untuk mencari dan menemukan hakikatnya. Pada penelitian ini,

    peneliti menggunakan hermeneutika Gadamer yang dinilai lebih menonjolkan

    proses dialektika, yakni proses pemahaman dari hasil peleburan horizon teks dan

    horizon pembaca atau penafsir (Butler, 1998, h. 290). Metode ini dipilih oleh

    peneliti karena peneliti melakukan pembacaan teks (dalam hal ini tulisan-tulisan

  • 4

    Ishadi SK) yang sangat dekat dan terperinci sebagai upaya untuk mencari dan

    menemukan makna yang terdapat dalam teks.

    3.2 Sumber Data

    Lofland dan Lofland (dalam Moleong,2005) menyatakan bahwa sumber

    data utama yang terdapat pada penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,

    selain itu akan termasuk ke dalam data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

    Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut :

    Tabel 2. Sumber data penelitian

    (diolah peneliti )

    No. Judul Sumber Tahun1. Penyiaran: Pemilu Pengaruhi

    TelevisiArtikel KoranKompas Jawa Baratedisi Selasa, hal 009.

    2007

    2. Dari Puncak Menara TVRI Artikel MATRAditulis oleh ArifBargot Siregar danlaporan dari TotohDrajad

    1989

    3. Pagi Pak! Artikel Reporterditulis oleh Ishadi SK

    1991

    4. Media&Kekuasaan Televisidi Hari-Hari TerakhirPresiden Soeharto

    Buku yang berasaldari Disertasi IshadiSK

    2014

    5. Dunia Penyiaran Prospek danTantangannya

    Buku yang ditulis olehIshadi SK

    1999

    6. Puisi Untuk Meis Surat Cintadan Sebayanya

    Kumpulan puisi karyaIshadi SK

    2014

    7. Potret Manajemen dan Mediadi Indonesia

    Buku yang ditulis olehIshadi SK

    2010

    8. Jelajah Buku kumpulantulisan Ishadi SK daritahun 1999-2001

    2002

    9. Good News Good News Buku kumpulan 2007

  • 5

    3.3 Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data pada sebuah penelitian sangtlah penting, karena

    demi keberhasilan dalam sebuah penelitian. Hal ini senada dengan yang

    diungkapkan Kriyantono dalam bukunya (2012,h.95) yang mengatakan bahwa

    kegiatan pengumpulan data merupakan prosedur yang sangat menentukan baik

    tidaknya suatu riset. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengumpulan

    data sebagai berikut :

    1) Dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan menganalisa dan membuat

    field note dari tulisan-tulisan karya Ishadi SK, dengan periode tahun 1989

    sampai dengan tahun 2017. Hal ini dilakukan agar mendapatkan

    kesinambungan antara tulisan satu dan lainnya sehingga dapat membentuk

    sebuah pola pemikiran .

    tulisan Ishadi SK daritahun 2003-2007

    10. Wawancara denganNarasumber

    Hasil wawancaradengan BambangSemedhi, Drs EduardLukman dan IshadiSK

    2017

    11. TV dan Kekuasaan Transkrip WawancaraIshadi SK denganWimar Witoelar padawebsiteperspektifbaru.comedisi 947

    2014

    12. Kisah Inspiratif Wawancara denganIshadi SK pada situsmuvilla.com

    2015

  • 6

    2) Wawancara. Wawancara dilakukan kepada Ishadi SK, selain itu peneliti

    juga melakukan wawancara dengan rekan kerja Isahdi SK dan juga kolega

    untuk memperkuat data dan analisis yang diperoleh.

    3.4 Teknik Pemilihan Informan

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pemilihan informan

    dengan cara purposive sampling , dimana peneliti dapat menemukan kriteria

    tertentu terhadap informan yang benar-benar mengetahui Ishadi SK, baik riwayat

    hidup ma