Jbptitbpp Gdl Magdalilia 27611 2 2007ta 1

15
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Solid Lipid Nanopartikel Solid lipid nanopartikel (SLN) adalah partikel yang dibuat dari lipid padat dengan diameter rata-rata antara 50-1000 nm. Keunggulan utama SLN sebagai pembawa suatu zat aktif dibandingkan polimer nanopartikel adalah matriks lipidnya dibuat dari lipid fisiologis yang menurunkan bahaya toksisitas akut dan kronis. Dalam pembuatannya SLN dapat dibuat dengan beberapa teknik yang akan diuraikan di bawah ini (Muller et al., 2000). 1.1.1 Metode Pembuatan Berbagai metode teknik pembuatan SLN telah dikembangkan. Masing-masing metode memiliki keunggulan dan kekurangannya Pemilihan metode dapat disesuaikan dengan kebutuhan. a. Teknik homogenisasi bertekanan tinggi Ada dua teknik utama yang digunakan yaitu homogenisasi panas dan homogenisasi dingin. Pada kedua teknik tersebut dilakukan pelarutan bahan aktif dalam lipid yang dileburkan kira-kira 5-10°C di atas suhu leburnya. Untuk teknik homogenisasi panas leburan bahan aktif didispersikan dan diaduk dalam larutan surfaktan panas dengan temperatur yang sama. Kemudian pre-emulsi ini dihomogenisasi dengan alat homogenisasi jenis piston-gap, yang memproduksi nanoemulsi panas yang kemudian didinginkan sampai terbentuk SLN. Untuk teknik homogenisasi dingin leburan bahan aktif didinginkan sehingga terbentuk lipid mikropartikel yang lalu didispersikan dalam larutan surfaktan dingin membentuk presuspensi. Presuspensi ini kemudian dihomogenisasi pada atau di bawah suhu kamar dengan tekanan yang cukup untuk memecah lipil mikropartikel menjadi SLN. Tekanan 2

description

Ekstrak daun stevia dengan perlakuan konsentrasi pelarut etanol 90% dan waktu ekstraksimicrowave 90 detik menghasilkan sifat fisik terbaik, yaitu viskositas 4.5 cP, dan total padatan terlarut15.7%. Sedangkan untuk kadar air ekstrak daun stevia terbaik dihasilkan oleh perlakuan konsetrasipelarut etanol 80% dengan waktu ekstraksi microwave 60 detik. Serta rendemen ekstrak daun steviaterbaik dihasilkan oleh perlakuan konsentrasi pelarut etanol 80% dengan waktu ekstraksi microwave 60detik. Dan perlakuan konsentrasi etanol 90% dengan waktu ekstraksi microwave 90 detik menghasilkanekstrak daun stevia dengan sifat kimia terbaik yaitu kadar gula total 13.33% dan kadar gula reduksi0.986%.

Transcript of Jbptitbpp Gdl Magdalilia 27611 2 2007ta 1

  • BAB 1

    TINJAUAN PUSTAKA

    1.1 Solid Lipid Nanopartikel Solid lipid nanopartikel (SLN) adalah partikel yang dibuat dari lipid padat dengan diameter

    rata-rata antara 50-1000 nm. Keunggulan utama SLN sebagai pembawa suatu zat aktif

    dibandingkan polimer nanopartikel adalah matriks lipidnya dibuat dari lipid fisiologis yang

    menurunkan bahaya toksisitas akut dan kronis. Dalam pembuatannya SLN dapat dibuat

    dengan beberapa teknik yang akan diuraikan di bawah ini (Muller et al., 2000).

    1.1.1 Metode Pembuatan

    Berbagai metode teknik pembuatan SLN telah dikembangkan. Masing-masing metode

    memiliki keunggulan dan kekurangannya Pemilihan metode dapat disesuaikan dengan

    kebutuhan.

    a. Teknik homogenisasi bertekanan tinggi

    Ada dua teknik utama yang digunakan yaitu homogenisasi panas dan homogenisasi dingin.

    Pada kedua teknik tersebut dilakukan pelarutan bahan aktif dalam lipid yang dileburkan

    kira-kira 5-10C di atas suhu leburnya.

    Untuk teknik homogenisasi panas leburan bahan aktif didispersikan dan diaduk dalam

    larutan surfaktan panas dengan temperatur yang sama. Kemudian pre-emulsi ini

    dihomogenisasi dengan alat homogenisasi jenis piston-gap, yang memproduksi nanoemulsi

    panas yang kemudian didinginkan sampai terbentuk SLN.

    Untuk teknik homogenisasi dingin leburan bahan aktif didinginkan sehingga terbentuk

    lipid mikropartikel yang lalu didispersikan dalam larutan surfaktan dingin membentuk

    presuspensi. Presuspensi ini kemudian dihomogenisasi pada atau di bawah suhu kamar

    dengan tekanan yang cukup untuk memecah lipil mikropartikel menjadi SLN. Tekanan

    2

  • 3

    yang dipakai dapat bervariasi mulai dari 100-1500 bar. Pemberian tekanan tinggi kepada

    bahan dilakukan dalam beberapa siklus yang dihentikan setiap siklus selesai

    Teknik homogenisasi panas baik digunakan untuk bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi

    karena pemaparan terhadap temperatur yang meningkat relatif singkat. Teknik

    homogenisasi dingin dapat digunakan untuk bahan yang sangat sensitif terhadap panas dan

    bahan hidrofililk karena bahan tersebut akan terpartisi di antara leburan lipid dan fasa air

    selama proses homogenisasi panas (Muller et al., 2000).

    b. Teknik homogenisasi kecepatan tinggi dan dispersi ultrasound

    Teknik homogenisasi dilakukan dengan melelehkan lipid padat lalu dilakukan pengadukan

    dengan kecepatan tinggi. Pengadukan dapat dilakukan dengan kecepatan 2000 putaran per

    menit selama beberapa menit. Larutan yang terbentuk diemulsifikasi dengan alat

    ultrasound.

    SLN akan terbentuk dengan pendinginan emulsi pada suhu kamar yang diikuti

    pengadukkan dengan kecepatan lebih tinggi (Muller et al., 2000).

    c. Teknik mikroemulsi

    Mikroemulsi adalah larutan bening yang dibuat dari campuran fasa lipofil, surfaktan, ko-

    surfaktan dan air. Mikroemulsi dianggap bukan lagi sebagai emulsi yang sebenarnya

    namun sebagai larutan kritis. Pendispersian mikroemulsi ini ke dalam air akan

    menimbulkan presipitasi fasa lipid dan membentuk partikel-partikel halus. Efek ini yang

    digunakan dalam metode pembuatan SLN dengan teknik mikroemulsi.

    Untuk membuat mikroemulsi dari lipid yang padat pada suhu kamar, mikroemulsi harus

    dibuat pada temperatur di atas titik lebur lipid. Lipid yang digunakan dileburkan.

    Campuran air, ko-surfaktan dan surfaktan dipanaskan sehingga mencapai temperatur yang

    sama dengan lipid kemudian campuran ditambahkan ke dalam leburan lipid dan diaduk.

    Mikroemulsi yang terjadi didispersikan ke media campuran dingin (2-3C) dengan

    pengadukkan dan pastikan bahwa ukuran partikel kecil yang terbentuk adalah akibat dari

    presipitasi bukan akibat dari proses pengadukan (Muller et al., 2000).

  • 4

    d. Teknik emulsifikasi dan difusi pelarut

    Pada teknik ini dilakukan pelarutan lipid dalam pelarut organik yang larut dalam air,

    misalnya kloroform yang diemulsifikasi dalam bentuk larutan. Pelarut yang digunakan

    kemudian diuapkan dengan menurunkan tekanan dan dispersi nanopartikel terjadi karena

    adanya presipitasi lipid dalam larutan tersebut. Kelebihan dari teknik ini adalah tidak

    digunakannya panas pada proses pembuatan. Sedangkan kekurangan yang paling utama

    dari teknik ini adalah digunakannya pelarut organik dalam proses pembuatan yang dapat

    meningkatkan toksisitas (Muller et al., 2000).

    1.1.2 Karakterisasi SLN Karakterisasi SLN yang dihasilkan sangat penting dan diperlukan untuk mengontrol

    kualitas dari produk. Karakterisasi SLN sulit untuk dilakukan karena ukuran partikel yang

    kecil serta sistem yang kompleks. Ada beberapa parameter yang perlu ditinjau yang

    berpengaruh langsung terhadap stabilitas dan kinetika pelepasan suatu zat aktif dari SLN.

    a. Ukuran partikel

    Ukuran partikel adalah parameter penting untuk mengetahui kualitas SLN yang diproduksi.

    Beberapa alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran partikel: (1) Laser

    Diffractometry (LD) yang prinsip metodenya didasarkan pada hubungan sudut difraksi

    pada radius partikel yaitu partikel yang berukuran lebih kecil meyebabkan penghamburan

    cahaya yang lebih intensif pada sudut yang lebih besar dibandingkan dengan partikel besar;

    dan (2) Photon Correlation Spectrometry (PCS) yang prinsip metodenya adalah mengukur

    fluktuasi dari intensitas penghamburan cahaya yang disebabkan oleh pergerakan partikel.

    Kedua alat di atas tidak dapat mengetahui ukuran partikel secara langsung. Hasil

    pengukuran intensitas penghamburan cahaya akan dikonversikan menjadi ukuran partikel.

    Kesulitan akan muncul ketika sampel mengandung partikel-partikel dengan bentuk yang

    tidak sferis atau dengan ukuran yang berbeda-beda sehingga hasil pengukuran partikel

    yang diperoleh mungkin tidak tepat.

    Untuk mengurangi ketidaktepatan hasil dapat digunakan metode pengukuran tambahan

    yaitu dengan menggunakan mikroskop cahaya sehingga dapat diketahui bentuk partikel

    yang telah diproduksi (Muller et al., 2000).

  • 5

    b. Morfologi partikel

    Tinjauan tentang morfologi partikel sangat penting untuk mengetahui bentuk partikel yang

    telah diproduksi. Partikel SLN yang terbentuk harus berbentuk sferis. Beberapa alat yang

    dapat digunakan untuk mengevaluasi morfologi partikel yaitu Scanning Elektron

    Microscopy (SEM) atau X-Ray Diffraction (Muller et al., 2000).

    1.2 Kulit

    Dalam penelitian ini vitamin E asetat yang dibuat menjadi SLN adalah untuk tujuan

    penggunaan topikal. Untuk itu diperlukan tinjauan pustaka mengenai struktur dan fungsi

    kulit.

    1.2.1 Fungsi Kulit

    Kulit adalah bagian dari sistem integumen dan merupakan organ tubuh yang paling luas

    dan paling luar pada manusia serta menutupi seluruh permukaan tubuh. Luas permukaan

    kulit manusia dewasa adalah 2 m2 (Martini, 2001).

    Fungsi utama kulit adalah: (1) proteksi jaringan serta organ-organ di bawahnya dari

    tekanan, goresan dan pengaruh senyawa kimia; (2) ekskresi garam, air dan buangan

    organik dari kelenjar integument; (3) menjaga kestabilan temperatur normal tubuh; (4)

    sintesis vitamin D3, sebuah steroid yang akan diubah menjadi hormone calcitrol yang

    penting untuk mrtabolisme kalsium; (5) penyimpanan nutrient, yaitu lipid yang disimpan di

    adiposit pada dermis serta pada jaringan adipose pada lapisan subkutan; dan (6) deteksi

    stimulant sentuhan, tekanan, rasa sakit serta temperatur dan mentransmisikan informasi ke

    system saraf (Martini, 2001).

    Kulit menerima sekitar satu pertiga peredaran darah dalam tubuh dan terdiri dari lapisan-

    lapisan sel yang berbeda-beda dan tersusun paralel ke permukaan. Lapisan-lapisan

    penyusun kulit adalah epidermis, dermis dan subkutan (Martini, 2001).

    1.2.2 Lapisan-lapisan penyusun kulit a. Epidermis

    Epidermis terdiri dari squamus epithelium. Lapisan ini memberikan proteksi mekanis dan

    membantu menjaga agar mikroorganisme tetap berada di luar tubuh.

  • 6

    Sel epitel yang paling banyak adalah sel keratinosit yang membentuk beberapa lapisan.

    Keratinisasi adalah dibentuknya protein keratin oleh sel keratinosit yang membantu

    menahan air, melindungi kulit dan jaringan di bawah kulit serta berperan dalam imunitas.

    Epidermis dibentuk oleh beberapa lapisan, dari yang paling dalam sampai paling luar

    (Martini, 2001).

    Stratum germinativum disebut juga stratum basale yang merupakan lapisan tunggal dari

    sel-sel berbentuk kubus. Sel-sel basal adalah jenis sel yang paling banyak terdapat di

    lapisan ini yang merupakan stem sel yang akan terus membelah secara kontinu. Stem sel

    yang membelah akan menggantikan sel keratinosit yang hilang di permukaan epitel

    (Martini, 2001). Hemidesmosom adalah yang menghubungkan sel-sel dari lapisan ini ke

    bagian paling bawah membran yang memisahkan epidermis serta dermis. Pada stratum

    germinativum terdapat melanosit. Fungsi utama dari sel melanosit ini adalah memproduksi

    melanin yang akan memberi warna pada kulit. Melanosit merupakan organel sitoplasmik

    yang dikenal sebagai melanosom di mana melanin dibentuk oleh aktivitas enzim tirosinase

    (Martini, 2001).

    Stratum spinosum terdiri dari 8-10 baris sel. Setiap kali stem sel membelah, satu sel hasil

    pembelahannya akan terdorong ke stratum spinosum. Di lapisan ini terdapat jembatan antar

    sel yang disebut desmosom yang menghubungkan sel keratinosit. Stratum spinosum juga

    mengandung sel Langerhans yang berperan dalam respons imun tubuh. Sel-sel Langerhans

    ini bertanggung jawab untuk menstimulasi pertahanan terhadap mikroorganisme yang

    mampu berpenetrasi sampai ke lapisan dalam epidermis serta kanker kulit di permukaan

    (Martini, 2001).

    Stratum granulosum terdiri dari 3-5 lapisan keratinosit yang direlokasi dari stratum

    spinosum. Ketika sel telah mencapai lapisan ini sel tersebut akan berhenti membelah. Sel-

    sel ini juga memproduksi banyak protein keratin dan keratohyalin. Pada manusia, protein

    keratin yang berserat adalah struktur dasar dari kulit dan rambut. Seiring dengan

    pembentukan serat keratin, sel yang terbentuk menjadi lebih pipih, membran sel menebal

    dan kurang permeabel. Keratohyalin akan membentuk granul rapat pada sitoplasma yang

    mendukung dehidrasi sel serta membentuk agregasi dan cross-linking dari serat keratin

    (Martini, 2001).

  • 7

    Straturatm ludisum terdiri dari 3-4 baris sel yang mengandung eleidin, yang terbentuk dari

    keratohyalin yang ditransformasi menjadi keratin. Stratum lusidum merupakan lapisan

    transparan dengan kandungan hialin minimum (Martini, 2001).

    Stratum corneum adalah lapisan yang paling terpapar pada kulit. Biasanya lapisan ini

    terdiri atas 15-30 lapisan sel yang terkeratinisasi. Penetrasi perkutan sangat ditentukan oleh

    lapisan stratum corneum yang merupakan lapisan kulit terluar. Stratum corneum terdiri

    dari beberapa lapis sel yang kompak, rata, kering dan mengandung keratin. Sel-sel lapisan

    stratum corneum secara fisiologi tidak aktif dan akan selalu digantikan oleh lapisan

    epidermis di bawahnya. Kadar air lapisan stratum corneum hanya sekitar 20%

    dibandingkan kadar air normal standar fisiologi yang sebanyak 70% pada stratum lusidum

    yang aktif dan merupakan lapisan regeneratif dari lapisan epidermis keseluruhan (Martini,

    2001).

    Kulit manusia terdiri dari 10-70 folikel rambut dan 200-250 kelenjar keringat untuk setiap

    cm2 luas permukaan tubuh. Bagian kulit yang mengandung komponen folikel rambut dan

    kelenjar keringat hanya 0,1% dari total luas kulit manusia, walaupun demikian zat asing

    terutama yang larut dalam air kemungkinan dapat terpenetrasi ke dalam kulit melalui

    bagian kulit tersebut lebih cepat dibandingkan kontak dengan stratum corneum (Martini,

    2001).

    Fungsi stratum corneum sebagai barier ditentukan oleh tiga faktor. Faktor pertama adalah

    lokalisasi dari barier tersebut. Secara topikal penetrasi terjadi pada lapisan perifer dari

    stratum corneum, kemudian melalui subepitel epidermis dan seterusnya berhenti pada

    lapisan terakhir stratum corneum. Faktor kedua adalah model dua kompartemen stratum

    corneum, dapat diterangkan dengan adanya sel korneosit yang kaya keratin dikelilingi oleh

    fase lemak yang berkesinambungan. Permeabilitas lapisan stratum corneum terhadap

    bahan yang terpenetrasi dapat diterangkan dengan model tersebut dengan menentukan

    kelarutannya dalam air dan koefisien partisi antara minyak dan air. Faktor ketiga adalah

    hubungan antara struktur lemak dan fungsi barier, di mana membran stratum corneum

    terdiri dari fosfolipida dengan komposisi utama kolesterol, asam lemak dan seramida.

    Seramida merupakan komponen terpenting pada lapisan barier yang berfungsi

    menstabilkan lapisan multilamelar (Martini, 2001).

  • 8

    Gangguan pada stratum corneum yang disebabkan antara lain oleh defisiensi asam lemak

    esensial, kulit yang kering dan penyakit pada lapisan epidermis dapat mengganggu

    penetrasi obat melalui kulit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stratum corneum

    mempunyai komposisi struktur mekanis yang unik dan fungsinya sebagai lapisan barier

    merupakan unsur yang penting dalam sediaan transdermal maupun sediaan topikal yang

    lain (Martini, 2001).

    b. Dermis

    Dermis terdiri dari jaringan penghubung yang mengandung kolagen dan serabut elastis

    sekitar 70%. Bagian atas dari dermis dinamakan lapisan papilari yang permukaan atasnya

    disebut demal papilla yang mengandung kapiler dan korpuskel Meisner. Bagian bawah

    dermis disebut daerah retikular yang terdiri dari kolagen, serabut elastis, jaringan adipose,

    folikel rambut, saraf, kelenjar minyak dan keringat. Sel utama yang terdapat pada dermis

    adalah fibroblast yang memproduksi kolagen, fibronektin dan vitronektin; sel mast yang

    berperan dalam sistem imun serta respon peradangan; dan melanosit (Martini, 2001).

    c. Hipodermis atau Subkutan

    Hipodermis atau subkutan merupakan lapisan yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini

    terdiri dari jaringan serabut-serabut longgar dan mengandung sel lemak serta mengandung

    banyak jaringan adipose yang membentuk ikatan yang lentur antara struktur kulit di dalam

    dengan struktur kulit pada permukaan kulit. Fungsi lapisan hipodermis adalah sebagai

    sumber energi, pelindung bagi struktur vital di bawahnya, menopang saraf Pacini, kelenjar

    dan pembuluh darah serta menjadi konduktor panas dan mencegah kehilangan panas yang

    berlebihan dari tubuh (Martini, 2001).

    1.3 Absorpsi Perkutan Absorpsi perkutan adalah masuknya obat atau zat aktif dari luar kulit ke dalam jaringan

    kulit dengan melewati membran sebagai pembatas. Membran pembatas ini adalah stratum

    corneum yang bersifat tidak permeabel terutama terhadap zat larut air, dibandingkan

    terhadap zat yang larut dalam lemak. Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi

    karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme yaitu transepidermal dan

    transappendageal.

  • 9

    Mekanisme transepidermal merupakan penetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif

    melalui mekanisme ini dapat terjadi melalui dua jalur kemungkinan yaitu difusi intraseluler

    yang melalui sel korneosit yang berisi keratin dan difusi interseluler yang melalui ruang

    antar sel stratum corneum. Transepidermal merupakan jalur yang utama pada absorpsi

    perkutan karena kuas permukaan kulit 100-1000 kali lebih luar daripada luas permukaan

    kelenjar dalam kulit. Absorpsi melalui rute transepidermal sangat ditentukan oleh keadaan

    stratum corneum yang berfungsi sebagai membran semipermeabel. Jumlah zat aktif yang

    terpenetrasi tergantung pada gradien konsentrasi dan koefisien partisi senyawa aktif dalam

    minyak dan air.

    Mekanisme transappendageal adalah mekanisme penetrasi molekul zat aktif melalui pori-

    pori yang ada pada kelenjar keringat dan folikel rambut. Folikel rambut memiliki

    permeabilitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stratum corneum sehingga

    absorpsi lebih cepat terjadi melewati pori folikel daripada melewati stratum corneum.

    Mekanisme ini adalah mekanisme satu-satunya yang mungkin bagi senyawa-senyawa

    dengan molekul besar dengan kecepatan difusi rendah atau kelarutan yang buruk yang

    tidak dapat menembus stratum corneum.

    Faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan adalah : (1) kelarutan dan karakterisasi

    distribusi obat; (2) perbedaan konsentrasi obat pada membran; (3) karakter dari pelarut atau

    pembawa yang digunakan pada obat; dan (4) ketebalan stratum corneum.

    Fenomena absorpsi perkutan terdiri dari dua tahap, yaitu pelepasan zat aktif dari pembawa

    untuk diabsorbsi di atas permukaan stratum corneum dan difusi molekul zat aktif ke dalam

    lapisan bawah kulit (Troy, 2006).

    1.4 Sinar Matahari pada Kulit Sinar matahari adalah sumber energi yang paling besar. Pemaparan terhadap sinar matahari

    dapat memberikan efek yang menguntungkan dan sekaligus merugikan pada manusia. Hal

    ini sangat tergantung dari panjang gelombang radiasi matahari yang terpapar pada

    kulit, frekuensi dan lamanya sinar pada kulit, intensitas sinar matahari serta sensitifitas

    seseorang (Shaath, 1990).

  • 10

    1.4.1 Efek Sinar Matahari yang Menguntungkan Pemaparan sinar matahari yang wajar akan menstimulasi peredaran darah, meningkatkan

    pembentukan hemoglobin dan dapat pula menyebabkan penurunan tekanan darah.

    Selanjutnya pemaparan sinar matahari memegang peranan penting dalam pencegahan dan

    pengobatan penyakit Riketsia melalui pembentukan vitamin D pada epidermis dengan

    aktivasi dari 7-dehidrikolesterol (provitamin D3) (Harry, 1962).

    1.4.2 Efek Sinar Matahari yang Merugikan Sinar matahari dapat memberikan efek yang merugikan baik melalui penyinaran yang

    terjadi secara singkat atau yang terus-menerus, Efek sinar matahari yang merugikan antara

    lain adalah sunburn dan pembentukan radikal bebas (Shaath, 1990).

    Efek dari pemaparan sinar matahari jangka pendek adalah kerusakan sementara pada

    epidermis yang muncul dalam gejala sunburn atau kulit terbakar. Sunburn pada kulit

    disebabkan oleh intensitas radiasi sinar matahari yang tidak terlalu tinggi.

    Gejala sunburn dapat muncul dalam berbagai tingkatan, dari eritema ringan sampai rasa

    terbakar dan luka yang sakit. Pada beberapa tertentu kasus untuk sunburn yang terjadi di

    area kulit yang luas dapat sampai menimbulkan demam dan mual-mual.

    Menurut Keller, gejala sunburn merupakan pengaruh langsung dari kerusakan sel pada

    prickle cell pada kulit karena denaturasi konstituen proteinnya. Substitusi seperti histamin

    disebabkan oleh sel yang rusak, yang menyebabkan terjadinya dilatasi pembuluh darah dan

    eritema, edema dan menstimukasi proliferasi sel basal pada kulit.

    Menurut Luckiesh terdapat empat tingkatan dari sunburn yaitu eritema minimal dengan

    gejala ringan dan dalam waktu 20 menit tampak warna merah atau merah muda pada kulit,

    eritema sedang yang terjadi dalam waktu 50 menit berupa warna merah cerah yang tidak

    disertai rasa nyeri, luka bakar yang terjadi setelah 100 menit dan tampak eritema disertai

    rasa nyeri ringan sampai berat, luka bakar yang melepuh yang terjadi setelah 200 menit

    disertai dengan rasa nyeri dan panas yang menunjukkan gejala sistemik dengan pelepuhan

    dan pengelupasan kulit (Harry, 1962).

  • 11

    Sunburn tidak meninggalkan bekas luka. Sunburn ringan akan hilang setelah 24-36 jam.

    Sunburn yang lebih berat akan hilang setelah 4-8 hari. Respon kulit berbeda terhadap

    radiasi dari panjang gelombang yang berbeda. Pemerahan pada kulit dihasilkan oleh radiasi

    sinar tampak dan inframerah (390-1400 nm) yang akan hilang dengan cepat dan muncul

    dengan cepat setelah pemaparan. Radiasi antara 320-390 nm menginduksi pigmentasi

    tetapi tidak bersifat eritemogenik.

    Eritema terjadi karena pemaparan radiasi 320-390 nm dan dapat juga diinduksi oleh radiasi

    pada panjang gelombang yang lebih rendah. Intensitas eritema yang dihasilkan pada kulit

    setelah pemaparan sinar matahari tergantung dari jumlah energi UV yang diabsorpsi oleh

    kulit. Eritema umumnya mulai timbul setelah periode laten 2-3 jam dan mencapai

    intensitas maksimum dalam 10-24 jam setelah pemaparan. (Shaath, 1990).

    1.4.3 Radiasi UV Sinar Matahari Spektrum radiasi sinar matahari yang paling sering mempengaruhi kulit adalah radiadi

    ultraviolet. Daerah spektrm UV terbagi menjadi tiga yaitu UVA, UVB, dan UVC.

    a. UVA

    UVA adalah sinar dengan rentang panjang gelombang antara 320-400 nm dengan

    efektivitas tertinggi pada 340 nm. UVA akan menyebabkan warna cokelat dengan segera

    pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan sebelumnya akibat adanya fotooksidasi melanin

    dalam bentuk leuko yang terdapat pada lapisan atas kulit. UVA lemah dalam menyebabkan

    eritema. Efek negatif UVA adalah photoaging dengan timbulnya kerutan, fotoelastosis,

    depresi system imun, gangguan pigmentasi, prekanker dan neoplasia malignan yang timbul

    akibat paparan UVA dalam waktu lama (Shaath, 1990).

    b. UVB

    UVB adalah sinar dengan rentang panjang gelombang antara 280-320 nm dengan

    efektivitas tertinggi pada 297,6 nm. UVB bersifat eritemogenik yang dapat menyebabkan

    ternjadinya sengatan surya dan reaksi pembentukan melanin awal, Sekitar 30% UVB

    diabsorpsi oleh stratum corneum dan tidak lebih dari 10% UVB mencapai dermis. Kanker

    kulit dan penuaan kulit serta kerusakan pada makromolekul dan membrane disebabkan

    oleh UVB (Shaath, 1990).

  • 12

    c. UVC

    UVC adalah sinar dengan rentang panjang gelombang lebih kecil dari 290 nm. Walaupun

    kerusakan pada jaringan disebabkan oleh UVC, akan tetapi UVC dalam jumlah besar

    tersaring oleh ozon pada atmosfer. Warna cokelat pada kulit jarang terjadi karena UVC

    tetapi UVC dapat meneyabkan eritema (Shaath, 1990).

    1.5 Tabir Surya Zat aktif tabir surya didefinisikan sebagai bahan yang sekurang-kurangnya dapat menyerap

    85% radiasi UV dengan panjang gelombang 290-320 nm dan tidak dapat atau dapat

    menstransmisikan radiasi yang panjang gelombangnya lebih besar dari 320 nm.

    Tabir surya merupakan sediaan topikal yang dapat menghalangi dampak radiasi ultraviolet

    dengan cara menyerap, memantulkan atau menghamburkan radiasi ultraviolet. Dampak

    radiasi ultraviolet dapat dicegah dengan menggunakan tabir surya sebelum terpapar sinar

    matahari (Shaath, 1990).

    1.5.1 Mekanisme Kerja Tabir Surya Berdasarkan mekanisme kerjanya, tabir surya digolongkan menjadi dua yaitu pemblok

    fisik dan penyerap kimia (Shaath, 1990)

    a. Pemblok fisik (Physical blocker)

    Tabir surya yang merupakan pemblok fisik bekerja dengan memantulkan atau

    menghamburkan radiasi UV. Mekanisme ini terjadi akibat ukuran-ukuran partikel bahan

    yang kecil. Contoh tabir surya yang bersifat pemblok fisik adalah petrolatum, senyawa

    anorganik sepertu zink oksida dan titanium oksida. Senyawa-senyawa ini apabila terdapat

    dalam jumlah yang cukup dapat memantulkan semua spektrum ultraviolet, visible dan sinar

    infra merah.

    Pemblok fisik efektif untuk melindungi kulit terhadap pemaparan radiasi UVA maupun

    UVB. Dua senyawa pemblok fisik yang paling umum digunakan adalah zink oksida dan

    titanium oksida, keduanya inert secara kimia, tidak bersifat iritan dan memberikan

    perlindungan sempurna terhadap seluruh spektrum UV (Shaath, 1990).

  • 13

    b. Penyerap kimia (Chemical absorber)

    Tabir surya yang merupakan penyerap kimia bekerja dengan menyerap secara spesifik

    radiasi UV. Contoh tabir surya yang bersifat sebagai penyerap kimia adalah turunan para

    aminobenzoat (PABA), turunan sinamat, dan turunan salisilat. Senyawa-senyawa tersebut

    merupakan senyawa yang tersusun atas struktur aromatic yang terkonjugasi dengan gugus

    karbonil dan dengan gugul pelepas elektron (amin atau metroksi) yang berada pada posisi

    para atau orto terhadap gugus karbonil atau aromatik.

    Senyawa kimia dengan konfigurasi tersebut dapat menyerap radiasi UV berenergi tinggi

    dengan panjang gelombang pendek yaitu 250-340 nm dan mengubah energi yang tersisa

    menjadi radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang (energi lebih rendah) yaitu

    >380 nm yang relative tidak berbahaya. Energi yang diabsorbsi dari radiasi UVA dan UVB

    besarnya sama dengan energi resonansi yang dibutuhkan untuk delokalisasi elektron pada

    komponen aromatic. Dengan demikian energi yang diserap dari radiasi UV merupakan

    energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan eksitasi fotokimia pada senyawa tabir surya.

    Dengan kata lain, senyawa tabir surya tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (*)

    dari tingkat dasar (n) dengan menyerap radiasi UV. Molekul yang tereksitasi kembali ke

    tingkat energi dasar dengan mengemisikan energi yang lebih rendah (panjang gelombang

    lebih tinggi) dibandingkan energi yang diserap untuk menyebabkan eksitasi. Radiasi

    dengan panjang gelombang lebih panjang diemisikan dengan bebagai cara. Jika kehilangan

    energi cukup besar, panjang gelombang yang diemisikan akan berada pada daerah infra

    merah dan dapat menyebabkan radiasi panas yang ringan pada kulit. Efek ini tidak

    dirasakan oleh kulit karena kulit telah menerima panas yang lebih besar saat terpapar sinar

    matahari secara langsung (Shaath, 1990).

    1.5.2 Antioksidan Sebagai Tabir Surya Ada berbagai senyawa dengan bobot molekul kecil yang dapat berperan sebagai

    penghambat radikal bebas. Senyawa ini dikenal sebagai antioksidan (Shaath, 1990).

    Tabir surya adalah senyawa yang memiliki efek fotoprotektan. Ada beberapa mekanisme

    suatu senyawa dapat berfungsi sebagai fotoprotektan yaitu senyawa yang meredakan

    perusakkan kulit, dapat dengan menyerap atau bertindak sebagai penghambat radiasi UV.

    Umumnya senyawa ini merupakan fotoprotektan topikal.

  • 14

    Termasuk dalam golongan senyawa fotoprotektan topikal adalah : (1) senyawa yang

    berkompetisi dengan molekul target yang dapat merusak kulit. Contoh: UV dapat

    menginduksi terbentuknya radikal bebas pada kulit. Senyawa antioksidan atau pemburu

    radikal bebas akan berkompetisi dengan molekul target dan membalikkan efek yang

    merusak; (2) senyawa yang memberikan aksi rmenyembuhkan dengan memperbaiki

    kerusakan molekul target. Beberapa senyawa seperti nukleotida telah menunjukkan

    kemampuan memperlambat munculnya edema karena radiasi UV dan; (3) senyawa yang

    menekan berbagai level respon inflamasi sehingga menghalangi berbagai manifestasi dari

    kerusakan akibat radiasi UV.

    Berdasarkan mekanisme di atas (nomor 2) dapat disimpulkan bahwa antioksidan

    merupakan senyawa potensial untuk digunakan sebagai fotoprotektan. Peroksidasi lipid,

    yang akan membentuk lipid peroxide dan superoxide dismutase (SOD) diketahui sebagai

    sumber kerusakan sel akibat radiasi matahari dan diinisiasi melalui serangan radikal bebas.

    Kerusakan sel yang terjadi akan muncul sebagai respon inflamasi, misalnya eritema, edema

    dan infiltrasi neutrofil. Berbagai antioksidan yang mampu menangkap senyawa radikal

    bebas tersebut, salah satunya vitamin E, telah terbukti mampu bertindak sebagai inhibitor

    yang efektif untuk proses peroksidasi lipid (Shaath, 1990).

    1.5.3 Faktor Pelindung Surya (FPS) Setiap sediaan tabir surya memilili nilai faktor pelindung surya (FPS). Nilai FPS ini perlu

    diketahui karena nilai ini merupakan parameter kemampuan sediaan tersebut dalam

    melindungi kulit.

    Faktor pelindung surya didefinisikan sebagai rasio dari dosis energi terendah yang

    diperlukan untuk menyebabkan eritema atau sunburn dengan pemakaian tabir surya

    dibandingkan terhadap energi terendah yang diperlukan untuk menyebabkan eritema atau

    sunburn tanpa menggunakan tabir surya (Shaath, 1990).

    Nilai FPS dapat dihitung dengan membandingkan nilai radiasi yang didapat kulit tanpa

    pemakaian tabir surya dengan nilai radiasi yang didapat kulit dengan pemakaian tabir surya

    (Shaath, 1990).

  • 15

    1.6 Praformulasi Studi praformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui penentuan dan

    pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia yang penting dalam menyusun suatu formulasi

    sediaan obat yang bermutu, berkhasiat dan aman untuk digunakan.

    1.6.1 Vitamin E Asetat Vitamin E dapat dijadikan zat tambahan dalam sediaan tabir surya karena kemampuannya

    sebagai fotoprotektan yang memiliki aktivitas antioksidan dan kemampuan menghambat

    respon inflamasi.

    Gambar 1.7. Struktur kimia vitamin E asetat (Rowe, 2003).

    Vitamin E asetat merupakan cairan kental, jernih, kekuningan. Vitamin E asetat praktis

    tidak larut dalam air, larut dalam aseton, etanol, ester dan minyak lemak. Vitamin E asetat

    lebih stabil terhadap cahaya dan udara dibandingkan dengan vitamin E (Dept. of Health,

    Social Services & Public Safety, 2002).

    1.6.2 Tween 80 Tween 80 atau polyoxyethylene monooleat sorbitan digolongkan ke dalam surfaktan

    nonionik dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) 15 dan berperan sebagai

    agen pengemulsi. Tween 80 merupakan cairan seperti minyak, jernih, berwarna kuning

    muda hingga cokelat muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat. Tween 80 sangat

    mudah larut dalam air, larutan tidak berbau, dan praktis tidak berwarna, dan tidak larut

    dalam minyak mineral (Rowe, 2003).

    1.6.3 Propilenglikol Propilen glikol merupakan cairan jernih kental, tidak berwarna dan memiliki rasa manis.

    Propilen glikol dapat bercampur dengan aseton, etanol, gliserin dan air. Propilenglikol

    biasa digunakan sebagai pelarut (konsentrasi 5-80 % untuk sediaan topikal), humektan dan

  • 16

    pengawet pada konsentrasi 15-30 %. Propilen glikol bersifat higroskopis, dan sebaikknya

    disimpan pada tempat tertutup, sejuk, dan terlindung dari cahaya (Rowe, 2003).

    1.6.4 Setil Alkohol Setil alkohol merupakan padatan putih, berbentuk granul atau kubus, mempunyai bau khas

    dan tidak berasa. Setil alkohol mempunyai titik leleh 45-52C. Setil alkohol sangat mudah

    larut dalam etanol 95% dan eter, praktis tidak larut dalam air dan larut ketika dilelehkan

    dengan lemak, parafin padat dan cair, serta isopropil miristat (Rowe, 2003).