JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

12
392 WARNA LOKAL JAWA DALAM NOVEL INDONESIA PERIODE 1980 – 1995 Hartono FBS Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud dan fungsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia periode 1980-1995. Secara purposif, diperoleh sumber data penelitian, yakni: novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala (Ahmad Tohari); Para Priyayi (Umar Kayam); Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi (YB. Mangunwijaya); Canting (Arswendo Atmowiloto); Pasar (Kutowijoyo); dan Tirai Menurun (NH. Dini). Pengumpulan data dengan teknik baca dan catat. Analisis data dengan teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, warna lokal Jawa, berupa: latar tempat (Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Magelang, Madiun, Temanggung, dan Muntilan); latar waktu (hari dan pasaran, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan, sewindu), kesenian (wayang, ketoprak, tayub, tembang); kepercayaan (Islam abangan, kepercayaan pada roh leluhur, mantra dan benda-benda pusaka); status sosial priyayi dan wong cilik; penggunaan bahasa (bahasa Jawa, penamaan, pasemon); dan penamaan tumbuhan dan hewan. Kedua, warna lokal Jawa berfungsi sebagai: (a) masalah pokok yang diceritakan, (b) hipogram alur dan tokoh cerita, dan (c) penguat pelukisan latar cerita. Kata kunci: warna lokal, novel Indonesia, hipogram, Jawa JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS IN THE 1980-1995 PERIOD Abstract This study aims to describe the forms and functions of Javanese local colors in Indonesian novels in the 1980-1995 period. The data sources were purposively selected; they were novels entitled Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala (Ahmad Tohari); Para Priyayi (Umar Kayam); Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi (YB. Mangunwijaya); Canting (Arswendo Atmowiloto); Pasar (Kutowijoyo); and Tirai Menurun (NH. Dini). The data were collected through reading and note taking. They were analyzed by the qualitative descriptive technique. The results of the study are as follows. First, Javanese local colors include spatial seing (Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Magelang, Madiun, Temanggung, and Muntilan); temporal seing (days and pasaran, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan, and sewindu); arts (wayang, ketoprak, tayub, and tembang); beliefs (nominal Islam and beliefs in ancestral spirits, mantras, and heirlooms); social statuses of nobility and common people; language use (Javanese language, naming system, and symbols); and plant and animal naming systems. Second, Javanese local colors serve as: (a) a main problem to narrate, (b) a hypogram of the plot and characters, and (c) an intensifier to the seing description. Keywords: local colors, Indonesian novels, hypogram, Javanese

Transcript of JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

Page 1: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

392

WARNA LOKAL JAWA DALAM NOVEL INDONESIA PERIODE 1980 – 1995

HartonoFBSUniversitasNegeriYogyakartaemail:[email protected]

AbstrakPenelitianinibertujuanmendeskripsikanwujuddanfungsiwarnalokalJawadalam

novelIndonesiaperiode1980-1995.Secarapurposif,diperolehsumberdatapenelitian,yakni: novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala (Ahmad Tohari); Para Priyayi (Umar Kayam); Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi (YB.Mangunwijaya);Canting (ArswendoAtmowiloto);Pasar (Kutowijoyo);danTirai Menurun (NH. Dini). Pengumpulan data dengan teknik baca dan catat. Analisis data dengan teknik deskriptifkualitatif.Hasilpenelitiansebagaiberikut.Pertama,warnalokalJawa,berupa:latartempat(Surakarta,Yogyakarta,Semarang,Magelang,Madiun,Temanggung,danMuntilan); latarwaktu(haridanpasaran,Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan, sewindu),kesenian (wayang,ketoprak, tayub, tembang);kepercayaan (Islamabangan,kepercayaan pada roh leluhur, mantra dan benda-benda pusaka); status sosial priyayi dan wong cilik; penggunaanbahasa(bahasaJawa,penamaan,pasemon);danpenamaantumbuhandanhewan.Kedua,warnalokalJawaberfungsisebagai:(a)masalahpokokyangdiceritakan, (b) hipogram alur dan tokoh cerita, dan (c) penguat pelukisan latar cerita.

Kata kunci:warnalokal,novelIndonesia,hipogram,Jawa

JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS IN THE 1980-1995 PERIOD

AbstractThis study aims todescribe the forms and functions of Javanese local colors in

Indonesiannovelsinthe1980-1995period.Thedatasourceswerepurposivelyselected;theywerenovels entitledRonggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala (Ahmad Tohari); Para Priyayi (Umar Kayam); Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi (YB.Mangunwijaya);Canting (ArswendoAtmowiloto);Pasar (Kutowijoyo);andTirai Menurun (NH.Dini).Thedatawere collected through readingandnote taking.Theywereanalyzedbythequalitativedescriptivetechnique.Theresultsofthestudyareasfollows.First,Javaneselocalcolorsincludespatialsetting(Surakarta,Yogyakarta,Semarang,Magelang,Madiun,Temanggung,andMuntilan);temporalsetting(daysandpasaran, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan, and sewindu); arts (wayang, ketoprak, tayub, and tembang); beliefs (nominal Islam and beliefs in ancestral spirits, mantras, andheirlooms);socialstatusesofnobilityandcommonpeople;languageuse(Javaneselanguage, naming system, and symbols); and plant and animal naming systems. Second, Javaneselocalcolorsserveas:(a)amainproblemtonarrate,(b)ahypogramoftheplotandcharacters,and(c)anintensifiertothesettingdescription.

Keywords: localcolors,Indonesiannovels,hypogram,Javanese

Page 2: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

393

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

PENDAHULUANPadaawalkelahirannya,novelIndo-

nesia ditandai dengan adanya unsur bu-dayadaerah(Rampan,1984:4;Sumardjo,1979:51).NovelAzab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920)danSitti Nurbaya karyaMarahRusli (1922)merupakancontoh novel Indonesia yang mengan-dungwarna lokal, yaitu Sumatra.Parasastrawan/novelisIndonesiaawalnyame-mang banyak dari daerah dan hasil karya merekabanyakyangmengandungwarnalokal daerah, terutama dari Sumatra. Hal ini terjadi karena sebagian besar mereka berasal dari daerah Sumatra.

Selanjutnya,sastrawanIndonesiapa-da periode 1970-an kembali banyak menu-lisnovelyangmengangkatwarna lokaldaerahnya.Rosidi (1985:27), ketikame-ngumumkan lahirnya suatu angkatan ter-baru tahun 60-an, menyebutkan salah satu ciri kuat angkatan tersebut adalah adanya orientasi nilai-nilai budaya daerah.

Penulisannovelberwarnalokaldae-rah mencapai puncaknya pada periode 1980-an.Pada saat itu,muncul banyakkarya sastra dari berbagai daerah yang menunjukkan kekhasanwarna lokal.Karya sastra seperti ini pada umumnya ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Korie Layun Rampan dalam Upacara (1978)menunjuk-kan kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak. Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986)menunjukkankehidupansosialbu-dayamasyarakatJawakhususnyadaerahBanyumas. Demikian juga, Linus Suryadi A.G. dalam Pengakuan Pariyem (1981),ArswendodalamCanting (1986),UmarKayam dalam Sri Sumarah(1985)danPara Priyayi(1990),KuntowijoyodalamPasar (1994) dan NH. Dini dalam Tirai Menurun (1993) menunjukkan kehidupan sosial budayamasyarakat Jawa. PutuWijayadalam Bila Malam Bertambah Malam (1971) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.

Salah satu fenomena penulisan karya sastradiIndonesiapadaperiode1980-antersebut adalah adanya kecenderungan untuk mengangkat budaya daerah se-suai dengan latar belakang sosial-budaya demografipengarang.Salahsatubudayadaerah yang banyak diangkat ke permu-kaanituadalahbudayaJawa(Nurgiyan-toro,1998:viii).Kenyataanbahwabanyakpengarang yang kembali ke akar budaya sebagai salah satu sumber penulisan karya kreatifnyamerupakan hal yangwajarkarena sastra Indonesia pada dasarnya adalah sastra lokal (Sayuti, 2012).

Teeuwmengatakanbahwaperkemba-ngan kesusasteraan Indonesia telah kem-balikeakartradisi(Jamil,1987:41).Menu-rutnya, sastra Indonesia modern tidak pernah putus hubungannya dengan sastra tradisi(Teeuw,1982:12).Adakesinambu-ngan antara sastra tradisi atau sastra lama dengan sastra Indonesia modern.

Sumardjo(1983),menyatakanbahwapadadekade80-anpusatdanorientasike-susasteraan Indonesia ada kemungkinan beralihkeJawa(tengah)setelahsebelum-nya terfokusdi Jakarta.Padaera80-an,kecenderunganmengangkatwarnalokaldalam sastra Indonesia mulai menguat. Salah satu pemicunya, menurut Sarjono (2005), adalah lahirnyaduanovelyangfenomenal, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang sangat kuat warnalokalnya, dan juga Pengakuan Pari-yem karya Linus Suryadi AG. yang juga penuh dengan lokalitas kedaerahan.

MenurutDarma(1995:171),semakinjauhsastrawanmelangkah,akansemakindalam mereka kembali ke akar daerahnya karena subkebudayaan daerah itu meru-pakan salah satu unsur yang membentuk mereka.Menurutnya,semakinmenasionaldan menginternasional orientasi kepe-ngarangan seorang penulis, sekaligus ia juga akan semakin menukik ke akar budayanya yang merupakan salah satu unsur sosial budaya yang telah memben-tuknya. Para pengarang yang dilahirkan

Page 3: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

394

LITERA,Volume14,Nomor2,Oktober2015

dan dibesarkan dalam kebudayaan daerah masing-masing, setelah menjadi manusia Indonesia, merindukan kembali subkebu-dayaan yang telah membentuknya itu.

Novel Indonesia selalu menunjukkan kekhasan, unikum, dan hal itu berkaitan erat dengan kultur etnik yang telah lama ada pada diri pengarang dan mengalir menjadi pola berpikir, perilaku, dan sikap hidup, tata krama dan etika, tindakan dan ekspresi diri, pandangan dan orientasi tentang alam dan lingkungan, bahkan juga sampaipadawawasanestetikanya(Mahayana,2007:2).

Perkembangan karya sastra masih menyediakan tempat bagi karya yang mengungkapkanwarna lokaldidalam-nya.Misalnya,kumpulancerpenRaudalTanjung Banua yang berjudul “Parang Tak Berulu” yangmenawarkan rep-resentasi dunia perempuan di tengah masyarakatMinangkabau, atau “Ru-mahKawin”karyaNurZenHae yangberlatarkulturmasyarakatBetawi, jugakarya-karya Taufik Ikram Jamil yangmengungkapkan persoalan masyarakat Melayu-Riau (Murniah, 2006).Para sas-trawanperlumenggalipotensilokal,baikbahasa, mitos, maupun sejarah lokal se-bagai sumber penciptaan karya sastra di tengah-tengah arus globalisasi sekarang ini. Ada beberapa pengarang yang di dalam cerita-ceritanya tanpa memberi ke-terangan maksud kata-katanya memakai kata-kataJawa,baiksebagaialatpemberiwarna lokalmaupunkarena tidak adapadanan katanya dalam bahasa Indonesia (Sastrowardoyo,2000:839).

SastraIndonesiaberwarnalokalada-lah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung olehfiksionalitas.Secaraintrinsikdalamsuatukarya sastra Indonesia berwarnalokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar be-lakang, penokohan, gaya bahasa, dan sua-sana, adat istiadat, agama, kepercayaan,

sikap,filsafathidup,hubungansosial,danstuktur sosial (Purba, 2009).

NovelIndonesiapadaperiode80-anbanyakmengungkapwarna lokal didalamnya,khususnyawarnalokalJawa.Mengapa budaya Jawamenjadi acuanatausumberinspirasibagiparasastrawanIndonesia?BentukwarnalokalJawaapasaja yang digunakan pengarang dalam karyanya. Pertanyaan tersebut tidak dapat dilepaskandarikenyataantentangJawa.MenurutKayam(2001:2)Jawamasihme-rupakan kekuatan faktual dalam konste-lasi kehidupan di Indonesia, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Karenanya,Jawajugaakanmenjadisuatukekuatan penting dalam konstelasi ke-hidupan regional maupun global.

WarnalokalJawadalamnovelpadapenelitian ini terkait dengan latar budaya masyarakat Jawayang tercerminpadanovel.WarnalokalJawaberkaitandenganbudayaJawa.PengertiantersebutidentikdenganpendapatAbrams(1981:98)yangmengatakanbahwawarna lokal adalahlukisan mengenai latar, adat-istiadat, cara berpakaian, dan cara berpikir yang khas dari suatu daerah tertentu. Latar sosialbudayabiasanya terwujuddalamtokoh-tokoh yang ditampilkan, sistem kemasyarakatan, adat istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra(Pradopo,1987:234).

WarnalokalJawamengacupadabu-dayalokalJawa,budayamasyarakatJawa(Endraswara, 2003).Masyarakat Jawamerupakan orang-orang yang bertem-pat tinggal, bergaul, dan berkembang dipulauJawayangkemudianmengem-bangkan tradisi dan kebudayaan yang khasdanberkarakteristik Jawa (Roqib,2007:33).MasyarakatJawaadalahorangyang secara geografis tinggal di pulauJawa,tepatnyadiprovinsiJawaTengah,Daerah IstimewaYogyakarta,dan JawaTimur, bukan JawaBarat, Banten, danJakartayangdihuniolehsukuSundadan

Page 4: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

395

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

Betawi, dan bukanpula bagianTimurJawayangmenggunakanbahasaMadurameskipunmasihkategorisubkulturJawa.Mereka yang tinggal di daerah-daerahtersebut mengembangkan kebudayaan Jawa.

METODE Sumber data penelitian ini adalah

novel Indonesia yang diterbitkan dalam kurunwaktu 1980 sampai tahun 1995yangdidalamnyaterungkapwarnalokalJawa. Selanjutnya, untukmenentukansubjek penelitian digunakan teknik pur-posif. Novel-novel yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah novel yang di dalamnya dominan mengandung dan mengekspresikan unsur-unsurwarnalokalJawalebihbanyaksehinggatidakse-muanovelyangmengandungwarnalokalJawamenjadisubjekpenelitian.Denganpertimbangan tersebut ditentukan novel-novelyangdijadikansumberdata,yakni:(1) Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH), dan Jantera Bianglala (JB)karyaAhmadTohari;Para Priyayi (PP) karya Umar Kayam; Burung Burung Manyar (BBM)danDurga Umayi (DU) karya YB.Mangunwijaya;Pasar (PAS) karyaKuntowijoyo;Canting (C) karyaArswendoAtmowiloto;danTirai Menurun (TM)karyaN.H.Dini.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pembacaan dan pencatatan (baca catat). Novel yang telahdipilihdandijadikansumberdatapenelitian dibaca secara cermat dan teliti untukmenemukanwarnalokalJawayangterkandung di dalamnya. Pembacaan dan pencatatan dilakukan secara berulang-ulang untukmenemukanwarna lokalJawadalamnoveltersebut.

Model analisis yangdigunakanda-lam penelitian ini adalah model analisis interaktif-dialektif (Saryono, 1998:268).Pengumpulan dan ana lisis data dikerja-kan secara serempak, bolak-balik, dan berkali-kali sampai titik jenuh, sesuai

dengan keperluan dan kecukupan, yaitu dihasilkannya sebuah pemahaman yang mendalamdanutuhtentangwarnalokalJawadalamnovelIndonesiaperiode1980–1995.Kegiatananalisisdatadilakukandengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, membaca untuk menghayati dan memahami secara mendalam seluruh sumber data dan data penelitian, kemudi-an menyeleksi dan menandainya dengan ko de kutipan. Kedua,mengidentifikasidanmengklasifikasikan seluruhdata secarautuh dan menye luruh berdasarkan butir-butir masalah yang telah dirumuskan, tidak melihat bagian per bagian. Ketiga, menafsirkan kembali secara semiotik selu-ruhdatateridentifikasidanterklasifikasiun tuk menemukan kepadu-an, kesa tuan, dan hubungan antardata sehingga diper-oleh pemahaman utuh dan menyeluruh terhadapwarnalokalJawadalamnovelIndonesia.

Wujud Warna Lokal Jawa dalam Novel Indonesia

Dalam novel-novel Indonesia periode 1980-1995dapatdiketahuiadanyatanda-tanda budaya, khususnyawarna lokalyang menandai kondisi sosial budaya masyarakat Jawa.Tanda-tanda tersebutmenyebar dalam unsur novel khusus-nyapadafaktacerita.FaktaceritadalamnovelyangberwarnalokalJawatampakdominan pada latar dan tokoh cerita. Oleh karena itu, dalam penelitian ini latar dan tokoh menjadi unsur utama yang dibahas selain unsur alur dan tema.

Latar Tempat sebagai Warna LokalSecara umum, latar tempat yang

terdapatpadanovelRDP,JB,danLKDHadalah kampung dukuh Paruk. Penduduk kampung ini berasal dari keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang mengasingkan diri. Penduduk kampung ini hidup miskin serba kekurangan.

Istilah ‘Dukuh Paruk’ merupakan suatu tanda yang memaknai nama sebuah

Page 5: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

396

LITERA,Volume14,Nomor2,Oktober2015

kampungyangmenunjukkanwarnalokalJawayangkhas.LatarDukuhParuk itudigambarkan terpencil dari daerah lain. Namadaerah inimenunjukkanwarnalokaldaerahdiJawa.Dukuhmerupakansalahsatusebutanuntuksebuahwilayahdibawahwilayahkelurahanataudesa.Di Jawa,satudesaterdiriatasbeberapadukuh atau pedukuhan.

Dalam novel PP, latar tempat per-istiwa yangmenunjukkanwarna lokalJawaadalahWonogalihJawaTimur.Pe-nyebutankotaWanagalih,KaliMadiun,danBengawan Solo dalamnovelPara Priyayi tersebutmengacu padawarnalokal daerah di Jawa. Pelukisan kotaWanagalih, sebagai kota kecil di JawaTimur dengan kehidupan dan tradisi masyarakatnya memperjelas latar tempat dalam novel Para Priyayi. Wanagalih seba-gai ibukota kabupaten tempat hidup dan bermasyarakat keluarga Sastrodarsono.Hal ini menunjukkan penggunaan nama tempat atau daerah sebagai unsur pen-andawarna lokal Jawa.BengawanSolomerupakannama sungaibesardi JawayangmelewatidaerahSolo.SelaindaerahMadiundanSurakarta,Yogyakarta jugamenjadi latar tempat dalam novel Para Priyayi. SurakartadanYogyakartasebagaipusatbudayaJawajugamerupakansalahsatuunsurwarnalokalJawa.

DalamnovelBBM, YB.MangunwijayamenyebutkandaerahMagelang sebagaisalah satu latar ceritanya selainYogya-karta,Surakarta,danJakarta.KehidupanTetokecildiMagelangmenjadi bagiandari novel tersebut.DaerahMagelangmerupakan salah satu daerah yang ada diwilayah JawaTengah sebagai salahsatu daerah pengembangan budaya atau warna lokal Jawa. Penggunaan namatempatMagelang,Yogyakarta,Surakartamenunjukkanadanyawarna lokal Jawadalam novel tersebut.

Latar tempat dalam novel DU adalah Magelang,Kedu,dandaerahperjuangansekitarYogyakarta.Daerahpegunungan

Merapi,Merbabu, Telomoyo SumbingSindoro, PegununganMenoreh,CandiBorobudur,Mendut,danPawonadalahpenunjuklokasidaerahdiJawa,khusus-nyaJawaTengah.

Dalam novel Canting, latar tempatnya sebagianbesar terjadidiPasarKlewer.Pasar tempat berjualan batik yang berada didaerahSurakartaJawaTengah.NamaPasar Klewer tersebutmenunjukkanadanyapenggunaanwarna lokal Jawaberupa nama sebuah pasar batik terbesar diSurakarta.Namatempat,PasarKlewerhanya adadi Surakarta JawaTengah,sebuah nama pasar yang terkenal sebagai sentra batik.

LatartempatdalamnovelTMadalahTemanggung,Salatiga,Muntilan,Madiun,Yogyakarta, dan Semarang. Sebelummenetap di kota Semarang, Paguyuban Wayang Orang Kridopangarso, telah melakukan pementasan keliling dari kota kekota.BerawaldariTemanggungpadaawalberdirinya(TM:90),PaguyubanKri-dopangarso pernah juga pentas di Pasar MalamyangdiadakandiMadiun (TM:126). Kemudian menetap di kota Sema-rang. Paguyuban Wayang Orang Krido-pangarso juga pernah Pentas di Perayaan SekatenYogyakarta(TM:343-344).

Kesenian sebagai Warna LokalWarnalokalJawadalambentukkese-

nian yang diungkapkan dalam novel RDP, LKDH, dan JB karya Ahmad Tohari yang utama adalah kesenian ronggeng. Seni ronggeng menjadi bagian utama yang di-ceritakan, termasuk upacara bukak klambu dan perannya sebagai seorang gowok. Ke-hidupan Srintil sebagai seorang ronggeng, suka dan dukanya diceritakan dalam noveldariawalsampaiakhir.Selainitu,seni musik (calung dan siter), tembang Jawa,seniwayangjugadiceritakandalamnovel-novel tersebut.

Dalam novel PP warnalokalJawada-lam bentuk kesenian yang utama adalah wayangdantembangJawa.Ceritawayang

Page 6: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

397

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

kulit Sumantri Ngenger menjadi hipogram alur cerita dan tokoh dalam novel PP, khususnya kehidupan priyayi Sastrodar-sono dan Lantip. Wayang merupakan salah satu identitasmanusia Jawa (Sar-djono,1985:23)dansalahsatutindakansimbolikorangJawadalambidangkese-nian adalahwayangkulit (Herusatoto,1984:98).Selainitu,tembangJawasebagaiwarna lokal JawadalamSerat Tripama juga dimanfaatkan oleh pengarang untuk menyampaikan nasihat melalui tokoh utamanya, yaitu Sastrodar sono. Selain wayangdantembangJawa,senitariledek juga diceritakan dalam novel PP.

BentukkeseniansebagaiwarnalokalJawadalamnovelBBM dan DU adalah ceritawayang. Pada kedua novel iniceritanyadiawalidengancuplikanceritawayangyangdiberi judul ‘prawayang’.Cerita dalam prawayang inilah yangmenjadi hipogram cerita novel. Dalam novel BBM, nama tokoh dan karakternya berhipogrampada ceritawayang, se-dangkan pada novel DU karakter tokoh utamanya berhipogram pada karakter tokohceritawayang.Namundemikian,ada juga karakter tokohwayang yangdidekonstruksi seperti tokoh Gatot-kaca yang digambarkan sebagai kesatria yang dilukiskan sebagai laki-laki yang sukanya terbang dan berkelahi saja. Ga-totkaca diperbanding kan dengan tokoh punakawan, yaituGareng,Petruk,danBagong. Hal ini dapat merendahkan atau melemahkan kelebihan atau kesaktian Gatotkaca(Mashuri,2013:25).

Dalam novel Canting, seni batik men-jadisalahsatubentukwarnalokalJawayang utama. Selain seni batik, bentuk kesenianyanglainsepertitembangJawa,seni tari ledek, dan keroncong juga diung-kapkan dalam cerita. Usaha batik Bu Bei dari kejayaannya sampai surut bahkan hampir bangkrut kemudian dikelola oleh Ni, anaknya sampai bangkit kembali di-ungkapkandariawalsampaiakhircerita.Seni batik diceritakan dalam novel, mu-

lai batik tulis sampai batik printing atau batik cap.

KesenianwayangjugamenjadibentukwarnalokalJawadalamnovel Tirai Menu-run. Wayang dalam novel TM adalah ben-tukseniwayangorang.DalamnovelTM, diceritakan pasang surut perkembangan paguyubanwayangorangKridopangarsomulaidariawalberdirinyasampaimen-jelang bubar karena tokoh-tokoh pendu-kungutamapaguyubanwayangorangtersebut meninggal. Seni tari, tembang, dan gamelan juga diungkapkan dalam novel tersebut.

Sistem Religi/Kepercayaan sebagai Warna Lokal

MasyarakatJawayangdigambarkandalam novel RDP, JB, dan LDH khususnya masyarakat di Dukuh Paruk, percaya pada adanya Tuhan dan mempercayainya, tetapi juga masih percaya pada hal-hal mistis, kekuatan gaib alam semesta, roh-roh halus, khususnya roh leluhur makam KiSecamenggala.MerekapercayabahwaarwahleluhurnyaKiSecamenggalamemi-liki pengaruh dan peran yang besar dalam kehidupan masyarakat dukuh Paruk.

OrangDukuhParukpercayabahwaroh leluhurnya, Ki Secamenggala berpen-garuh pada kehidupannya. Orang Dukuh Paruk juga percaya pada mantra-mantra (RDP: 22, 68) percaya pada tuah daribendapusaka(keris)(RDP:60–64).BagiorangJawa,kerismerupakansalahsatubenda pusaka yang memiliki kekuatan magis. Sebagaimana keris Jaran Guyang yang diberikan Rasus kepada Srintil merupakan pusaka seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Walaupun keris bukan benda keramat, tetapi tidak sedikit yang dikeramatkan orang (Koesni, 2003:2).

Dalam novel Canting, Bu Bei dan Pak Bei digambarkan sebagai penganut aba-ngan.MerekapercayakepadaTuhandanmenyadari sangkan paran mereka adalah Tuhan. Pada saat kelahiran anak, ada acara procotan, brokohan, juga ada acara

Page 7: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

398

LITERA,Volume14,Nomor2,Oktober2015

sepasaran, selapan. Bu Bei selalu bersyu-kur atas segala yang diterimanya baik musibah maupun berkah.

Pada novel Pasar, PakMantri Pasardigambarkan sebagai orang yang “benar-benarmasih tulen Jawa”danmenjadiorangJawatetapitetapberpegangteguhpadaajaranagamaIslam.PakMantriberu-saha benar-benar mengamalkan perintah agama Islam.KepadaPaijo,PakMantrimenyampaikan wejangan-wejangandari agama Islam. Bagaimana seseorang yang beragama Islam mengendalikan dirinya, terutama dalam mengendalikan hawanafsuyangadadalamdirinyayangselalu mempengaruhi segala perilaku kesehariannya. Pada novel Pasar, juga digambarkankarakterorang Jawayangpercaya pada adanya hari baik dan hari jelek. Adanya candrasengkala.

Dalam novel Tirai Menurun, dicerita-kan kepercayaan yang dianut oleh para tokohnya, yaitu agama Islam. Akan tetapi Islam yang kurang taat, misalnya, dalam melaksanakan salat, mereka tidak melakukan secara rutin sebagaimana tuntunanyangada.Mereka jugapuasangebleng. Dalam Islam, tidak dikenal adanya puasa ngebleng, yaitu puasa terusmenerus selamabeberapawaktu.MasyarakatdalamnovelTirai Menurun juga diceritakan masih sering mengada-kan upacara selamatan. Upacara selama-tan untuk kelahiran, kematian, maupun acara-acara lain.

Sistem Kemasyarakatan/Status Sosial sebagai Warna lokal

Warna lokal Jawa yang berbentukstatus sosial dalam novel RDP, JB, dan LKDH tampak pada jenis pekerjaan tokoh-tokohnya. Jenis pekerjaanmasyarakatdalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sesuai denganjenispekerjaanmasyarakatJawa.Sebagianmasyarakat Jawamenekunipekerjaan sebagai pedagang, petani, dan buruh tani. Pekerjaan yang disebutkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yang

khasmenggambarkanwarnalokalJawaadalah penari ronggeng, pedagang, pem-buat tempe bongkrek, petani, dan buruh tani.

Sistem kemasyarakatan yang diung-kap dalam novel Para Priyayi adalah go-longan masyarakat priyayi dan juga wong cilik. Kehidupanpriyayidanwongcilikini menjadi masalah pokok yang diung-kap dan dikisahkan dalam novel terse-but. Dalam novel PP status sosial yang digambarkan adalah status priyayi dan orang biasa. Pada novel PP digambarkan kehidupan keluarga priyayi Sastrodar-sono. Sebagaimana judul novel tersebut, kehidupain priyayi menjadi topik utama yang diceritakan di dalamnya. Bagaimana orang biasa bisa menjadi priyayi dan juga anak priyayi yang akhirnya menjadi orang biasa dideskripsikan melalui alur cerita secara lengkap.

Sistem kemasyarakatan/status sosial dalam novel Canting berkaitan dengan keluarga Pak Bei yang merupakan kelu-arga priyayi karena keturunan. Pak Bei masih keluarga ningrat, keluarga kraton. PakBeimenikahiwanitadari keluargabiasa, keluarga wong cilik. Novel Canting bercerita tentang kehidupan keluarga priyayi dalam mempertahankan perusa-haan batiknya. Tokoh ceritanya adalah golongan priyayi dan wong cilik sebagai buruh batik.

Status sosial dalam novel Pasar berki-sah tentang kehidupan priyayi, Pak Mantri Pasar. Sebagai seorangpriyayi,PakMantriPasarmemilikisifatdansikappasrah. Sikap pasrah juga disampaikan PakMantri Pasar ketikamemberikannasihatkepadaPaijo.Menurutnya,orangyang pasrah, tanpa pamrih adalah orang yang tidak ngoyo ngongso-ongso. Sebagai seorangpriyayi,PakMantriPasarselaluberusaha berbuat dan berperilaku seba-gaimanaperilakuseorangpriyayi Jawa.Selain menggambarkan kehidupan Pak MantriPasardigambarkanjugakehidu-pan pembantunya, Paijo sebagai wong

Page 8: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

399

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

cilik yang bertugas sebagai penarik karcis di pasar. Sebagai wong cilik, Paijo selaluberusaha untuk mengabdi dan hormat kepadaPakMantri.

Penggunaan Bahasa Jawa sebagai Warna Lokal

Dalam novel RDP, LKDH, dan JB banyakdigunakanbahasa Jawadalamkomunikasi antartokoh dan bahasa um-patanpada tokoh lain.Bahasa Jawaba-nyak digunakan, terutama istilah-istilah terkait dengan ronggeng. Istilah-istilah khususyangmenunjukkanwarna lokalJawadaripenggunaanbahasa jugaba-nyak. Lagu-lagu yang dinyanyikan Srintil sebagai ronggeng juga menggunakan bahasaJawa.

Tembang-tembang yang dinyanyikan oleh Srintil kecil menggunakan bahasa Jawa.Srintildankawan-kawanbermain-nya juga belum paham pada apa yang dinyanyikan terutama isi maknanya. Tembang-tembang cabul yang seharusnya hanyadinyanyikanoleh orangdewasatetapi Srintil menyanyikannya dengan tepat.

Penggunaan bahasa Jawa sebagaiwarna lokal JawadalamnovelPara Pri-yayi cukup banyak. Pada tembang, yang merupakansalahsatuwarnalokalJawadigunakanbahasa Jawa.Demikian jugakomunikasi antartokoh kadang juga menggunakan bahasa Jawa.Kata-kataNdoro, Embah Kakung, Embah Putri menun-jukkanadanyapenggunaanbahasaJawa.SebagaicontohpenggunaanbahasaJawa,misalnya kosakata abdi dalem, didhawuhi (PP: 3), pakde, kungkum (PP: 6,7, 44), wong cilik (PP; 44), dan masih banyak lagi. Tembang yang digunakan juga berbahasa Jawa.

BahasaJawajugabanyakdigunakandalam novel Burung-Burung Manyar. Ka-renabanyaknyabahasaJawayangdigu-nakan, pengarang sampai menambahkan catatan kaki untuk menjelaskan bahasa Jawatersebut.BahasaJawadigunakanapa

adanya,bahasaJawauntukumpatanke-padalawanbicarajugadigunakandenganbaik tanpaditutup-tutupi.Bahasa Jawapasemon juga digunakan dalam novel ini (BBM:264).

Dalam novel Durga Umayi selain peng-gunaanbahasa Jawa, jugapenggunaankerata basa untuk nama tokoh ceritanya. NamaIinSulindaPertiwisebagaikerata basa yang berarti tanah air Indonesia. NamaibuIinSulindaPertiwi,yaituLegi-mahadalahperpaduandarikataJemuahLegi.IbunyalahirpadahariJumatLegi.Nama Legimah, sebuah nama khas bahasa Jawa.Demikianjuganamaadikkembardampitnya Iin, yaitu Brojol. Kata brojol dalambahasaJawaberartikeluardenganlancar tanpa halangan yang berarti.

Dalam novel Canting, penggunaan bahasaJawatampakpadakehidupanPakBei. Sebagai masyarakat golongan priyayi Jawa,keluargaPakBeidalamberkomu-nikasi masih sering menggunakan bahasa Jawa.BahasaJawayangdigunakanparatokoh dalam novel Canting juga mem-perhatikan tingkatan tutur, dari bahasa Ngoko sampai bahasa krama, tergantung siapa yang berkomunikasi. Berdasarkan tingkat tuturnya bahasa Jawa dibagidalam lima tingkatandari bahasa JawaNgoko sampai Krama Inggil (Poedjosoe-darmo,dkk.viaMarsono,2009:21)

BahasaJawadalamnovelPasar tam-pakketikamenulistembang,PakMantriPasarmenggunakanbahasaJawa,bahkanjugamenggunakan tulisan Jawa. SelainbahasaJawadanpepatahJawa,pengarangjugamenggunakanbahasa Jawadalampenamaan para tokohnya. Dalam pepatah Jawadisebutkan“urip iku mung mampir ngombe”.”Hidup itu hanya mampir mi-num” tapi Kasan Ngali mengartikannya dengan makna yang berbeda. Dimaknai sebaliknya, karena hanya mampir minum, maka minumlah sebanyak-banyaknya.

Dalam novel Tirai Menurun, bahasa Jawatampakmelaluiistilah-istilahdalamseni tari. Istilah itu antara lain: tawing,

Page 9: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

400

LITERA,Volume14,Nomor2,Oktober2015

nyempurit ataukah njimprit, tanjak, tayung.Novel Tirai Menurun mengangkatwayangorang dalam ceritanya. Kehidupan para pemainwayang orangmenjadi bahancerita. Wayang orang sebagai bentuk seni khasJawapadasaatnoveltersebutditu-lis sudah mulai pudar atau sudah sulit berkembang.

Nama Tumbuhan dan Hewan sebagai Warna Lokal

Dalam novel RDP, LKDH, dan JB banyak digunakan nama-nama tumbu-han dan hewan yang khas dari Jawa.Sebutan tumbuhandanhewan tersebuthanya terdapat dalam istilah atau bahasa JawaatauwarnalokalJawa.DalamnovelRonggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menggunakan berbagai macam nama tumbuhandanbinatangyangadadiJawa,nama-namayangkhasJawa.Tumbuhandan binatang tersebut di daerah lain juga ada, akan tetapi nama dan sebutannya berbeda. Nama tumbuhan seperti krokot, adalahnamatumbuhankhasJawayangbiasanya tumbuhdi sawahatau ladangpada musimkemarau. Jenis tumbuhaninidi Jawadimanfaatkan sebagai sayurataupun makanan ternak.

Demikian juga sebutan binatang, nama burung celepuk adalah nama bu-rungkhas Jawa. Sebutanbinatangkam-pretjugakhasJawa,yaitusebutanuntukkelelawar.Nama-nama tersebut antaralain adalah nama binatang gangsir, kepik hijau, celeng, burung ciplak, burung bence dan branjangan. Nama tumbuhan antara lain:senthe urang dan lompong bandung.

Binatanggansir,kepikhijau,burungbence merupakan nama-nama binatang khasJawa.Demikianjuganamabinatangceleng, senthe, dan lainnya. Di daerah lain juga ada hewan-hewan tersebut tetapinamanya berbeda-beda. Nama burung branjangan, ciplak, dan burung prenjak merupakan nama burung khas Jawa.Nama-namaburungyangadadiJawa.

Fungsi Warna Lokal Jawa dalam Novel Indonesia

Banyakwarna lokal Jawayang adadalamnovel Indonesia periode 1980 –1995.Berbagaiwarna lokal Jawadalamnovel-novel tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda tetapi secara umum sebagian besar berfungsi sebagai materi atau bahan cerita tidak hanya sebagai latar cerita saja.

Novel RDP memanfaatkan kisah kehidupan Srintil sewaktumasih kecilsebagai calon ronggeng sampai acara adatwisuda ronggengdenganupacarabukak klambu sebagai isi cerita. Kesenian ronggeng merupakan salah satu bentuk seni khas Jawa sebagai bentukwarnalokal Jawa.DalamnovelRDPberbagaibentuk seni baik seni musik maupun seni suara(musikcalungdantembangJawa)berfungsi untuk memperkuat pelukisan inti cerita, yaitu masalah ronggeng di Dukuh Paruk. Demikian juga penggunaan mantra dan dukun serta pelaksanaan upacara adat di makam Ki Secamanggala jugaberfungsiuntukmemperkuatwarnalokalJawaberupasenironggengtersebut.Acara bukak klambu hanya dapat dilihat pada seni ronggeng di Dukuh Paruk.

Pada novel LKDH yang merupakan kelanjutan cerita tentang rongeng di Du-kuhParukmasihmengangkatwarnalokalJawasenironggengsebagaiisiceritanya.Perjuangan Srintil sebagai tokoh utama dalam menjalani hidup sebagai seorang ronggeng. Dia harus mau melayani lelaki yang mampu membayarnya. Tidak hanya untuk menari sebagai ronggeng tetapi sampai melayaninya di kamar. Kisah peran Srintil sebagai ronggeng yang men-jalankan tugasnya sebagai gowok untuk Waras juga berfungsi untuk memperkuat pengisahan seni ronggeng tersebut.

Novel JB adalah novel terakhir yang bercerita tentang kehidupan seni ronggeng dengan tokoh utama Srintil dan Rasus. Dalamnovel ini,warna lokal Jawa jugaberfungsi sebagai isi cerita yang dikisah-

Page 10: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

401

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

kan. Tembang Jawa yangdinyanyikanronggeng juga berfungsi untuk lebih memperkuat pelukisan latar cerita tentang seni ronggeng. Demikian juga masalah mantra dan kepercayaan kepada benda-benda pusaka seperti keris yang dicerita-kan dalam novel ini juga berfungsi untuk mendukung masalah pokok dalam novel JB,yaitukehidupanronggeng.

Warna lokal JawadalamnovelPara Priyayi adalah priyayi itu sendiri. Novel PPdariawalsampaiakhirberkisahten-tang kehidupan seorang priyayi mulai dariawalsebagaiseorangpriyayi,kehidu-pan keluarga priyayi, sampai akhir hidup-nya sebagai seorang priyayi. Kehidupan priyayiJawayangdikisahkandalamnovelPP berfungsi sebagai tema cerita. Selain kehidupanpriyayi,warnalokalJawayanglaindandominanadalahceritawayang.Ceritawayang,Sumantri Ngenger menjadi hipogram cerita novel PP terutama alur ceritanya. Kehidupan tokoh utama novel PP seperti jalan kehidupan Sumantri da-lamceritawayangSumantri Ngenger.

Novel Burung-Burung Manyar berki-sah tentang kehidupan Larasati (Atik) dan Setadewa(Teto)darikecilsampaidewasa.Warna lokal JawayangdominandalamnovelBBMtersebutadalahceritawayangdanadatkehidupanorangJawa.Kehidu-panLarasatidanSetadewaberhipogrampada ceritawayang yangditampilkanpengarang dalam pengantar cerita den-gan judul ‘prawayang’.NamaLarasatidanSetadewadiambildarinama tokohwayangRarasatidanBaladewa.Karakterkedua tokoh tersebut juga hampir sama. Warna lokal Jawa ceritawayangdalamnovelBBMberfungsi sebagaihipogramcerita terutama pada nama tokoh dan karakternya. Penggunaanwarna lokalJawayang lainberupapenggunaanba-hasaJawa,pasemon,kepercayaan,tempatsemuanya mendukung latar cerita.

WarnalokalJawaberupaceritawayangdalam novel DU berfungsi sebagai hipo-gram terutama karakter tokoh utamanya,

yaitu Iin SulindaPertiwi sebagaiDewiUmayangberwatakbaikdanBatariDu-rgayangberwatakjahat.Warnalokalyanglain yang berupa kepercayaan masyarakat YogyakartakepadaceritaNyaiRoroKiduldanMbahPetrukGunungMerapi ber-fungsi sebagai penguat latar cerita.

Novel Canting berkisah tentang ke-hidupan keluarga besar Raden Ngabehi Sestrokusuma, keluarga priyayi dengan perusahaan batiknya cap Canting. Warna lokalJawadalamnoveliniadalahpriyayidan batik. Kisah tentang kehidupan pri-yayi dan batik dalam novel Canting ber-fungsi sebagai isi atau materi cerita. Cerita tentang perusahaan batik yang dikelola keluarga khususnya Bu Bei menjadi isi ceritanoveldariawalsampaiakhir.Warnalokal Jawayang lainmisalnyaajaranKiSuryamentaram, kepercayaan, upacara adat,penggunaanbahasaJawa,tembangJawadan seni tayub berfungsi untukmemperkuat latar cerita.

Novel Pasar berkisah tentang ke-hidupan seorangpriyayiMantri PasardanPaijosebagai tukangpenarikkarciskepada pedagang di pasar. Warna lokal JawadalamnovelPasar adalah kehidupan priyayi.FungsiwarnalokalJawadalamnovel ini adalah sebagai isi atau materi cerita.KehidupanPakMantriPasarber-samaPaijoyangberkonflikdenganKasanNgali,Zaitun,danparapedagangdipasardiceritakandariawalsampaiakhirnovel.Pandangan hidupPakMantri sebagaipriyayiJawa,tembangJawa,tulisanJawa,falsafahhiduporangJawa,danpenggu-naanbahasaJawayangadadalamnovelberfungsi sebagai penguat pelukisan latar cerita tentang priyayi.

Novel Tirai Menurun berkisah tentang kehidupan anggota Paguyuban Wayang Orang Kridopangarso di kota Semarang. Warna lokal Jawa ini berfungsi sebagaiisi atau materi cerita dalam keseluruhan novel.WarnalokalJawayanglainberupasenitari,musikgamelan,tembangJawa,upacaraadat,wayangkulit,dalang,dan

Page 11: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

402

LITERA,Volume14,Nomor2,Oktober2015

seni tari ledek berfungsi sebagai penguat pelukisan latar cerita baik latar tempat maupun latar sosial budaya sehingga latar ceritanya menjadi lebih alami dan mendukung inti ceritanya.

SIMPULAN Berdasarkan uraian hasil dan pem-

bahasan dapat dikemukakan sim pulan penelitian sebagai berikut. Pertama,warnalokalJawadalamnovelIndonesiaperiode1980–1995terdiriataswarnalokallatartempat(Surakarta,Yogyakarta,Semarang,Magelang,Madiun, Temanggung, danMuntilan)sesuaidaerahasalpengarang-nya,latarwaktu(haridanpasaran,Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan, mi-toni, sewindu), kesenian Jawa (wayang,ketoprak, tayub/ledek, tembang, seni batik), kepercayaan (Islam abangan, kepercayaan pada roh leluhur, mantra, dan benda-benda pusaka), status sosial priyayi dan wong cilik, penggunaanbahasaJawa(ba-hasaJawa,namaorang/tokoh,pasemon),danpenamaan tumbuhandan hewan.Kedua,warnalokalJawadalamnovelIn-donesiaperiode1980-1995,sebagianbesarberfungsi sebagai (1) masalah pokok atau isi keseluruhan cerita dalam novel, (2) hipogram alur dan karakter tokoh novel, dan (3) sebagai penguat pelukisan latar cerita. Wayang menjadi salah satu bentuk warnalokalJawayangbanyakdigunakanoleh pengarang novel Indonesia periode 1980-1995. Seluruh novel yang ditelitimemanfaatkanwayang,hanyakadarpe-manfa atannya yang berbeda-beda.

UCAPAN TERIMA KASIHArtikel ini disarikan dari Disertasi

yang berjudul Warna Lokal Jawa dalam Novel Indonesia Periode 1980 – 1995 pada Program Pascasrajana Universits Gadjah MadaYogyakarta.Ucapan terimakasihdisampaikan kepada: (1) Prof. Dr. Rachmat DjokoPradopodan(2)Prof.Dr.Marsono,S.U. selaku Promotor dan Kopromotor. Ucapan terima kasih juga disampaikan

kepada Tim Penilai Kelayakan Disertasi danDewanPengujiyangtelahberkenanmemberikan saran dan masukan untuk perbaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKAAbrams,M.H.1981.A Glossary of Literary

Terms. Cet.IV.NewYork:Holt,Rine-hart and Winston.

Atmowiloto,Arswendo. 1986.Canting. Jakarta:Gramedia.

Darma,Budi. 1995.Harmonium. Yogya-karta: Pustaka Pelajar.

Dini, NH. 1993. Tirai Menurun. Jakarta:Gramedia.

Herusatoto,B.1984.Simbolisme dalam Bu-daya Jawa.Yogyakarta:PT.Hanindita.

Endraswara,Suwardi.2003.Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta:Cakrawala.

Jamil, Taufik Ikram. 1987. “WawancaraA.Teeuw: JawanisasiKesusasteraanIndonesia”, dalam Horison, No. 2, Februari.

Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta:GamaMedia.

Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta:Pustaka Utama.

Koesni. 2003. Pakem Pengetahuan tentang Keris. Semarang: Aneka Ilmu.

Kuntowijoyo. 2004.Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta:Ombak.

Kuntowijoyo. 1994.Pasar. Yogyakarta:Bentang.

Mahayana, S.Maman. 2007. 9 JawabanSastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik.Jakarta:BeningPublising.

Mangunwijaya,YB.1981.Burung-Burung Manyar. Jakarta:Djambatan.

Mangunwijaya. 1991.Durga Umayi. Ja-karta:PustakaUtamaGrafiti.

Marsono. 2009. “Bahasa dan BudayaJawa:TinjauanDiakronisdanWilayahPenyebarannya”. Kreativity, Minda Melayu-Jawa dalam Khasanah Bahasa, Sastera, dan Budaya. Malaysia:Univer-sitasKebangsaanMalaysia.

Mashuri. 2013. “DekonstruksiWayangdalam Novel Durga Umayi”. Poetika,

Page 12: JAVANESE LOCAL COLORS IN INDONESIAN NOVELS

403

WarnaLokalJawadalamNovelIndonesiaPeriode1980-1995

Jurnal Ilmu Sastra. Prodi S2 Ilmu Sastra FIBUGM,Vol1,No.1,Juli2013.

Murniah,Dad.2006.“WarnaLokaldalamSastra Indonesia”. Makalah. Konfe-rensi Internasional Kesusasteraan XVII HISKI.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998.Transfor-masi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta:GadjahMadaUniversity Press.

Pradopo,RahmatDjoko.1987.Pengkajian Puisi. Yogyakarta:GadjahMadaUni-versity Press.

Purba, Antilan. 2009. Sastra Indonesia Ber-warna Lokal.(http://antilan. blogspot. Com/2009/08/sastra-indonesia-berwar-na- lokal.html). (Diunduh 5 Februari2010).

Rampan ,KorrieLayun. 1978.Upacara. Jakarta:PustakaJaya.

Rampan,Korrie Layun. 1984. “WarnaDasarNovel IndonesiaMutakhir”,dalam Horison,No.1,Januari.

Roqib,Moh.2007.Harmoni dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:PustakaPelajar.

Rosidi,Ayip.1985.Kapankah Kesusastera-an Indonesia Lahir?. Jakarta:GunungAgung.

Sarjono,AgusR. 2005. “NasionalismeIndonesia vs Budaya Daerah dalam Perspektif Sastra Indonesia. Makalah.

Saryono,Djoko. 1998.Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Malang:ProgramPascasarjana, IKIPMalang(Disertasi,tidakterbit).

Sardjono,MariaA.1995.Paham Jawa. Ja-karta: Sinar Harapan.

Sastrowardoyo, Soebagio. 2000. “JagadJawaSeharusnyaDitulisdalamBa-hasa Jawa” dalamSumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (E. Ullrich Kratz). Jakarta:KepustakaanPopuler Gramedia.

Sayuti, Sumito A. 2012. “Pengajaran Sastra dan Kearifan Lokal”. Makalah Seminar Internasional PIBSI XXXIV. Unsoed Purwokerto,30-31Oktober2012.

Sumardjo,Jakob.1979.Masyarakat dan Sas-tra Indonesia.Yogyakarta:NurCahaya.

Sumardjo, Jakob. 1982.Pengantar Novel Indonesia. Jakarta:KaryaUnipress.

Teeuw,A.1982.Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta:BalaiPustaka.

Teeuw,A. 1984.Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:PustakaJaya.

Tohari,Ahmad. 1982.Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta:Gramedia.

Tohari,Ahmad. 1985.Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta:Gramedia.

Tohari,Ahmad. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta:Gramedia.