Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan...

21
Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsa 1 ) Oleh: Mohammad Adib 2 ) Nasionalisme fasis di Uni Soviet dengan komunismenya telah terbukti bangkrut. Yugoslavia, dan Cekowlovakia terpecah-pecah. Sementara Jerman justru bersatu. Apa yang sesungguhnya terjadi ? Dalam the End of History and the Last Man (Fukuyama: 2002) fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat bahwa dunia sedang bergerak ke dalam ’tatanan baru’ yang ia sebut sebagai new liberalisme. Tatanan baru ini ibarat ’angin buritan’ yang menghempaskan kekuasaan diktatorial yang selama ini memproduksi landasan kekerasan sebagai bahasa nasionalisme. Nilai kebangsaan dipaksakan dengan aksi polisional, propaganda kebangsaan, kampanye monolitik yang mutlak dimonopoli negara-negara besar dianggap tidak mampu lagi toleran terhadap pertumbuhan nilai yang mengedepankan kemanusiaan dan kebangsaan. Problem mendasar lainnya adalah betapa ruang kebangsaan kita sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki identitas khas ke-Indonesia-an sedikit demi sedikit mulai kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan. Konsekuensi logisnya maka apa yang selama ini dibanggakan sebagai identitas atau jatidiri kebangsaan terasa kian kehilangan ruhnya. Kendatipun banyak warga negara senang memakai pakaian putih-putih sebagai lambang kejernihan dan kesucian, namun di balik pakaian tersebut dapat bertengger kepribadian mosaik yang majemuk dan kompleks. ”Aku ini pejuang merah putih”, kata seseorang kepada penulis pada suatu saat. Orang ini ingin menunjukkan diri sebagai pembela bangsa dan negara. Namun di banyak kesempatan dia berkotbah dan sering menyampaikan peryataan bahwa segala jalan atau cara dapat dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Juga mengokohkan pandangan bahwa rakyat Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian nasional. Sesungguhnya, siapa saja yang menyatakan bahwa segala cara atau jalan dapat 1 ) Makalah disampaikan dalam Seminar memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa Indonesia diselenggarakan oleh LPPM UNAIR dengan tema ”Wawasan Kebangsaan bagi Pemuda” pada Jumat, 23 Mei 2008 di Gedung Perpustakaan Kampus C UNAIR. 2 Drs. H. Mohammad Adib, MA. adalah Dosen Pendidikan Pancasila, Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama), dan juga Dosen Departemen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Sekretaris Tim Penyusun buku Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (Surabaya: 2003). [email protected]

Transcript of Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan...

Page 1: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsa 1)

Oleh: Mohammad Adib 2)

Nasionalisme fasis di Uni Soviet dengan komunismenya telah terbukti bangkrut.

Yugoslavia, dan Cekowlovakia terpecah-pecah. Sementara Jerman justru bersatu. Apa

yang sesungguhnya terjadi ? Dalam the End of History and the Last Man (Fukuyama:

2002) fenomena tersebut dilihat sebagai isyarat bahwa dunia sedang bergerak ke dalam

’tatanan baru’ yang ia sebut sebagai new liberalisme.

Tatanan baru ini ibarat ’angin buritan’ yang menghempaskan kekuasaan diktatorial

yang selama ini memproduksi landasan kekerasan sebagai bahasa nasionalisme. Nilai

kebangsaan dipaksakan dengan aksi polisional, propaganda kebangsaan, kampanye

monolitik yang mutlak dimonopoli negara-negara besar dianggap tidak mampu lagi

toleran terhadap pertumbuhan nilai yang mengedepankan kemanusiaan dan

kebangsaan.

Problem mendasar lainnya adalah betapa ruang kebangsaan kita sebagai bangsa yang

berdaulat dan memiliki identitas khas ke-Indonesia-an sedikit demi sedikit mulai

kendur dan dipertanyakan sejumlah kalangan. Arus globalisasi yang sedemikian kuat

telah menjadikan dunia ini sebagai pasar ideologi yang saling bersinggungan.

Konsekuensi logisnya maka apa yang selama ini dibanggakan sebagai identitas atau

jatidiri kebangsaan terasa kian kehilangan ruhnya.

Kendatipun banyak warga negara senang memakai pakaian putih-putih sebagai

lambang kejernihan dan kesucian, namun di balik pakaian tersebut dapat bertengger

kepribadian mosaik yang majemuk dan kompleks. ”Aku ini pejuang merah putih”, kata

seseorang kepada penulis pada suatu saat. Orang ini ingin menunjukkan diri sebagai

pembela bangsa dan negara. Namun di banyak kesempatan dia berkotbah dan sering

menyampaikan peryataan bahwa segala jalan atau cara dapat dibenarkan dalam

perjuangan untuk mencapai tujuan. Juga mengokohkan pandangan bahwa rakyat

Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian nasional.

Sesungguhnya, siapa saja yang menyatakan bahwa segala cara atau jalan dapat

1) Makalah disampaikan dalam Seminar memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa

Indonesia diselenggarakan oleh LPPM UNAIR dengan tema ”Wawasan Kebangsaan

bagi Pemuda” pada Jumat, 23 Mei 2008 di Gedung Perpustakaan Kampus C UNAIR.

2 Drs. H. Mohammad Adib, MA. adalah Dosen Pendidikan Pancasila, Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama), dan juga Dosen Departemen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya. Sekretaris Tim Penyusun buku Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (Surabaya: 2003). [email protected]

Page 2: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

dibenarkan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan, sebenarnya orang tersebut

adalah pendukung moralitas Neo-Komunis. Siapa saja yang mengokohkan pandangan

bahwa rakyat Indonesia tidak harus semuanya masuk sekolah atau lulus Unas (Ujian

Nasional) sebenarnya adalah pendukung moralitas Neo-Liberalis. Dalam realitas

keseharian sering kita jumpai, orang mengaku sebagai pembela Pancasila, namun

dalam moralitasnya sebagai pendukung aliran-aliran tersebut.

Manusia yang berkepribadian tunggal itu adanya hanyalah di akhirat. Sebab manusia

mengembangkan diri ke segala arah dan mengalami pembelajaran yang beragam.

Umpamanya dia seorang guru, tetapi juga seorang pedagang, dan melakukan siar

agama sehingga dikenal sebagai Ustadz. Manusia adalah makhluk yang berkepribadian

majemuk (multi personality).

Multifigurasi Bangsa Indonesia

Dapatkah melukiskan figur (sosok tubuh) orang Indonesia? Dalam sejumlah

perenungan, menurut hemat penulis bahwa orang Indonesia itu berkepala agama,

bertulang Pancasila, berbadan liberalis, berkaki pragmatis, dan bertangan komunis.

Figur ini tentu sifatnya fleksibel. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang-orang

Indonesia memang setia sebagai pemeluk agama dan percaya akan eksistensi Tuhan

YME. Semua orang mengetahui bahwa Dasar Negara RI adalah Pancasila. Bahkan pada

zamannya, Pancasila itu pernah menjadi sangat sakti yang diperingati setiap 1 Oktober.

Tetapi orang Indonesia memang sangat unik, karena ingin cepat kaya tanpa bekerja,

demikian pandangan Prof. Koentjaraningrat (1985). Senang makan enak agar tubuh

menjadi tambun, namun tidak senang bekerja keras. Ingin cepat menjadi kaya, agar

disebut sebagai Boss. Ingin pandai tanpa mau belajar. Ingin jadi sarjana tanpa kuliah.

Pendeknya ingin masuk sorga tanpa mau ibadah dan berperilaku mulia lainnya.

Akhirnya senang dan bangga disebut kapitalis liberal setelah memiliki rumah mewah di

wilayah elit dengan pagar tinggi yang tertutup dan gambarkan hewan dengan tulisan

“awas anjing galak”.

Hidup seseorang menjadi sangat pragmatis, “tidak perlu pilih-pilih karena mencari

nafkah yang haram saja sulit, apalagi mencari nafkah yang halal,” katanya. “Hidup

jangan dibuat sukar dan idealis, melainkan harus dibuat praktis, yang penting dapat

hidup enak dan hepi,” katanya pula. Kalau berbohong (praktek calo di Kantor Samsat

atau terminal) dapat menghasilkan uang, maka dianggap syah adanya. ”Setiap rejeki itu

merupakan rahmat dan ridho dari Tuhan YME”, katanya.

Bertangan Komunis?

Wah, yang ini agak mengerikan, yaitu bertangan komunis, sehubungan dengan ideologi

pergerakannya. Apakah dapat terjadi? Salah satu moralitas komunis ialah

menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (Bertens: 2005). Kini

Page 3: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

banyak dijumpai orang bermoralitas demikian. Tidak perlu menilai dan memilih cara

atau jalan berdasarkan pertimbangan agama dan Pancasila, yang penting suatu tujuan

harus tercapai. Karena itu pula maka berkembanglah secara luas dalam masyarakat

Indonesia moralitas komunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Tangan manusia tidak memiliki otak, karena itu tidak memiliki pilihan lain dan

pertimbangan sendiri. Bukankah tangan-tangan orang Indonesia bermoralitas komunis

yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Secara khusus moralitas menghalalkan segala cara itu terdapat dalam praktik

perpolitikan dan perekonomian di Indonesia. Wakil-wakil rakyat telah bekerja keras

untuk membangun budaya politik, namun moralitas segala cara dapat dihalalkan untuk

mencapai tujuan, telah menjadi pedoman dan praktik penting dalam perjuangan.

Gambaran manusia Indonesia yang mosaik ini sangat menggelikan dan bahkan

menjijikkan, namun kepribadian orang-orang Indonesia menjadi seperti itu karena

orang-orang Indonesia tidak memiliki sikap dan perilaku yang konsisten dan jujur

untuk memegang budaya bangsa sendiri dan tidak begitu setia sepenuhnya dengan

Pancasila sebagai Dasar Negara atau sebagai Kepribadian Bangsa.

Selama itu dijumpai banyak warga negara Indonesia mengaku sebagai pejuang bangsa

dan negara, tahu-tahu kemudian melakukan tindakan kejahatan KKN, dan setelah

diperilaksa KPK, kemudian terbukti. Kini harus bertempat tinggal di Pulau Nusa

Kambangan. Banyak oknum penegak hukum mengklaim diri sebagai penegak keadilan

di bumi Indonesia, tahu-tahu mereka terlibat tindakan kejahatan KKN. Di samping

memang belum terdapat reformasi yang sungguh-sungguh dalam lembaga peradilan di

Indonesia, para elit bangsa ini telah menggunakan ilmu dan strategi untuk melakukan

kejahatan sempurna (perfect crime). Reformasi di lembaga penegak hukum hanya

sebatas wacana-wacana kaum elit, dan tidak ada konsep reformasi tertulis, terencana

dan sistematik hingga melampaui sepuluh tahun sekarang ini.

Bertulang Lunak Pancasila

Ada tulang keras, dan ada tulang lunak. Dalam buku Manusia Pancasila (Sujana:2006)

telah memaparkan bahwa manusia Pancasila adalah manusia dengan kepribadian

religius, humanistik, ontologis monistik (cinta persatuan kesatuan), demokratis dan adil

(sebagai cerminan sila-sila Pancasila). Namun tulang orang-orang Indonesia masih

sangat lunak. Sehingga kepribadiannya masih labil.

Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia yang demikian tidaklah lengkap, sebab

secara normatif sila-sila Pancasila tidaklah static, melainkan dinamik. Terdapat

interaksi antar sila-sila itu sendiri. Karena itulah muncul kepribadian baru seperti

kepribadian naturalistik, cinta kebenaran dan kebaikan, kemampuan mandiri, moralitas

dan akhlak, nasionalistik dan patriotik, menghargai Ipteks, berjiwa kemasyarakatan dan

budaya, dan menghargai seni dan estetik.

Kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia sebenarnya adalah lengkap. Namun

Page 4: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

masyarakat dan bangsa Indonesia kurang mengamalkan dan menampilkan kepribadian

itu dalam aktualitas kehidupan faktual dan tidak muncul menjadi pedoman dan rujukan

kehidupan sehari-hari. Seperti orang yang omongannya besar, namun dalam

pengamalannya sangat kecil dan kerdil. Dengan kata lain tulang-tulang orang Indonesia

masih sangat lunak.

Orang Indonesia dianggap tidak memiliki kepribadian kemandirian dan harga diri yang

tinggi. Karena tidak mandiri itu, lalu senang meminjam ini dan itu, termasuk mencari

hutang luar negeri. Yang sangat aneh tidak pernah hasil audit dari hutang luar negeri

(mencapai Rp. 1.1425 trilyun) yang yang diumumkan ke publik. Kok tahu-tahu habis

ludes.

Rendahnya kepribadian kemandirian bangsa Indonesia telah membuat msyarakat dan

bangsa tidak memandang penting nilai gengsi dan kedudukan harga diri. Termasuk

menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia, Jatim Tahun 2004 adalah 25.801 orang) pun

tidak perlu malu. Bahkan rasa malu dan rasa bersalah itu dianggap tidak pernah ada.

Yang penting adalah mendapatkan banyak dollar.

Karena bertulang lunak lalu menyukai pakaian asing tebal dan indah. Kalau keluar

rumah juga senang menggunakan kendaraan motor-mobil buatan luar negeri. Itulah

sebabnya warga masyarakat senang mempraktekkan faham-faham Kapitalisme liberal

hasil diimpor di Barat. Tubuh orang Indonesia menjadi gemuk setelah darahnya

memperoleh kucuran donor hutang luar negeri dari negara-negara maju.

Paradoksal

Tidak jarang kita mendengar dengan telinga kapala sendiri dalam suatu seminar dan

lalu ditayangkan di media massa, sementara warga negara yang berbicara tanpa sadar

bahwa tanpa Pancasila, negara Jepang atau Amerika dapat makmur dan sejahtera.

Pernyataan ini dapat meragukan kemampuan Ideologi Pancasila sebagai landasan

pembangunan bangsa dan negara. Pandangan itu mendorong warga masyarakat

Indonesia tidak lagi begitu percaya dan yakin akan kemampuan Pancasila untuk

membawa bangsa dan negara mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Orang-orang yang menyatakan bahwa tanpa Pancasila, Jepang dan Amerika dapat

makmur sesungguhnya adalah polah tingkah orang-orang Indonesia yang munafik

(hypocrite). Yang omongannya menghargai Pancasila namun pelaksanaan hidup

berlandasakan Kapitalisme liberal. Orang-orang semacan ini dijumpai di kalangan elit

bangsa dan senang menepuk dada sebagai pejuang bagi bangsa dan negara Indonesia.

Yang perlu memperoleh kewaspadaan adalah bangsa Indonesia yang percaya akan

eksistensi Tuhan YME, dan menyatakan sebagai masyarakat dan budaya yang

spiritualis, namun aneh sekali bangsa Indonesia mendua dan hidup dalam realitas

paradoksal. Realitas sosial dalam beragama tetap jalan, namun tindakan kejahatan KKN

(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) juga tetap berjalan lancar. Rumah ibadat sangat

banyak, namun lokalisasi pelacuran dan perjudian, diskotik terbuka di mana-mana.

Page 5: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Setelah bersembahyang lalu sejumlah orang juga dapat dijumpai berjalan berjamaah

mendatangi lokalisasi (mendatangi kegiatan dakwah kali!!) yang dikemas sebagai

tempat yang mewah. Dunia di depan kita menjadi dunia paradoksal.

Moralitas Materialistik Komunis

PKI (Partai Komunis Indonesaia) telah dilarang eksistensinya di bumi Indonesia

berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966. Namun ideologi komunis sesungguhnya

tidaklah pernah mati bahkan terdapat gejala untuk membangkitkan semangat baru.

Salah satu ajaran moralitas komunis adalah materi atau uang menjadi indikator sosial

dalam masyarakat serta menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan.

”Pokoknya tujuan tercapai, habis dan beres perkara”. ”Pokoknya menang dalam

Pemilu”, katanya. ”Moral dan akhlak tidak terlalu penting dan signifikan untuk

sementara”, katanya lebih lanjut. Pernyataan ini adalah moralitas materialistik

komunis. Lho kok popular di bumi Indonesia?

Bagi penganut pandangan komunis dan Marxis, moral dan etika itu tidak pernah ada

dan nyata dalam masyarakat. ”Moral dan etika itu adalah sesuatu yang signifikan hanya

untuk orang-orang miskin dan tertindas. Orang kaya tidak perlu etika dan moral”,

katanya. Moral dan etika itu diperlukan hanya bagi penguasa, dalam upaya

menjalankan tugasnya mengatur dan menindas rakyat.

Namun apa yang terjadi sangatlah aneh. Etika yang menghalalkan segala cara untuk

mencapai tujuan telah menyatu dalam sikap dan perilaku yang populer di masyarakat

Indonesia. Karena itu pula tindakan kaum birokrasi cendrung menghalalkan segala cara

untuk memncapai tujuan. Para wakil rakyat bersama birokrat telah bekerja keras dan

secara rapi untuk membobol uang negara. Hingga kini memang belum terjadi reformasi

yang sungguh-sungguh dalam birokrasi di Indonesia. Perbaikan pelayanan publik

hanyalah wacana, dan belum pernah dilaunching gagasan konseptual yang terencana

dan sistematik. Oleh sebab itulah KKN terus tumbuh dengan suburnya.

Orang Indonesia dapat saja di tengah otaknya dan dalam hatinya, dipenuhi dengan

keyakinan keagamaan, namun tangan-tangannya telah mengamalkan ajaran

materialistik komunis, yaitu penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. KKN itu

dianggap syah-syah saja untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Adakah

oknum pejabat publik yang bersih? Telah sering kita saksikan pada masa akhir

jabatannya selalu diperiksa polisi dan menjadi obyek kejaran oleh KPK.

Buku yang berjudul bahwa KKN Itu Nikmat dan Berbohong itu Nikmat. Luar biasa

isinya karena memandang tindakan KKN itu syah-syah saja. Konon terdapat fatwa yang

menyatakan bahwa tindakan KKN itu harus dipisahkan agama. KKN itu urusan dunia,

dan agama itu urusan akherat. Karena itu KKN harus dipandang netral dan wajar-wajar

saja. Pernyataan ini memang ajaran yang dipraktikkan oleh kaum komunis.

Sesungguhnya masyarakat dan bangsa Indonesia harus memiliki keyakinan bahwa

masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ada dalam pantauan dan naungan Tuhan

Page 6: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

YME (cerminan sila I Pancasila). Oleh sebab itu tidak ada satu perbuatanpun yang

dapat dipisahkan dengan agama. KKN itu suatu kejahatan kemanusiaan, karena KKN

telah membuat sebagian besar bangsa ini menjadi miskin dan sengsara.

Sering kita dapati sejumlah elit bangsa Indonesia mengklaim diri sebagai pejuang dan

pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negara ini. Namun mereka merasa perlu

memperoleh balas jasa yaitu dengan membobol kekayaan dan uang negara. Pejuang-

pejuang elit bangsa yang munafik dan penghianat seperti ini sering muncul dengan

sangat marak, karena mereka ingin kaya secara instan.

Faham kebangsaan Indonesia telah menjadi gamang dan semu, karena faham

kebangsaan telah dikotori oleh oknum elit bangsa sekarang yang munafik. Mereka telah

menjadi preman-preman kenegaraan dengan baju dan lencana pahlawan. Masyarakat,

bangsa Indonesia yang menjadi pendukung Pancasila hendaknya lebih bersikap rasional

dan kritis dalam melihat perkembangan dan perubahan.

Manusia Pancasila

Jika anda Warga Negara Indonesia hendaknya bertubuh Manusia Pancasila yang sejati,

dan jangan memiliki tubuh dengan kepribadian yang mosaik. Jadilah manusia dengan

Tubuh Merah Putih. Jadilah manusia Indonesia yang kepribadian religius, humanistik,

ontologis-monistik, demokraris, dan adil.

Masyarakat, bangsa dan negara RI adalah berada dalam naungan Tuhan YME

(cerminan Sila Pancasila). Siapa saja yang menyatakan bahwa masyarakat, bangsa dan

negara Republik Indonesia ini di luar dari naungan Tuhan YME, maka dia akan

mendorong kehidupan komunis ke dalam masyarakat Indonesia, dan mendorong

kehidupan sekuler sesuai dengan faham kapitalisme liberal.

Pembangunan bangsa dan negara akan tidak menghasilkan apa-apa dan perubahan-

perubahan yang terjadi tidak memberikan makna dan nilai guna bagi penegakaan

keadilan dan kesejahteraan rakyat, kalau pembangun bangsa dan negara mengabaikan

gagasan eksistensi moralitas manusia Pancasila yang sejati. Bangsa dan negara telah

sangat sulit dan bahkan gagal membangun pejuang-pejuang bangsa yang sejati. Bangsa

dan negara ini telah dikuasai kaum manipulatif yang bermuka bebal (tebal).

Dunia Pendidikan

Apakah masyarakat dan bangsa Indonesia membutuhkan pembudayaan atau

penyemaian kejujuran dan jatidiri di hati peserta didik ataukah dibiarkan kepribadian

kejujuran dan jatidiri itu dibiarkan hilang. Di balik fenomena menangisnya para orang

tua murid karena anak-anaknya tidak lulus ujian dan banyak peserta didik yang stress

sehingga mau bunuh diri, sebenarnya terdapat fenomena “sick minded learning”

(belajar dengan kondisi jiwa yang sakit). Istilah yang tepat untuk menyatakan

masyarakat Indonesia sekarang ini, yang serba mengalami “sick mind”. Kita semestinya

Page 7: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

mendorong masyarakat mencapai kondisi “healty minded learning” (pembelajaran

dengan jwa yang sehat). Istilah ini sebenarya datang dari pemikir Amerika bernama

William James, bahwa masyarakat transisi dan sedang sangat rentang terjatuh ke dalam

kondisi masyarakat yang sakit.

Pernah diberitakan bahwa Mabes POLRI menginstrukskan kepada Polda-Polda untuk

mengusut kecurangan Ujian Nasional yang lalu. Mengapakah dunia pendidikan di

Indonesia menalami krisis dan menjadi dunia proses belajar mengajar yang sangat

kotor? Apakah kita sebagai bangsa tidak menjadi malu? Budaya curang telah lama

melekat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perilaku nyontek dan ngerepek telah

menjadi perilaku biasa di lembaga pendidikan.

Alangkah bahagianya masyarakat Jepang dan masyarakat Malaysia, di mana dunia

pendidikan telah menjadi dunia yang jernih dan bersih. Tradisi menjaga ujian telah

usai, sudah tidak relevan dan signifikan. Tidak lagi ditemui para guru yang menaga saat

ujian berlangsung. Setelah soal ujian dibagikan, para guru meninggalkan ruangan

tempat ujian untuk melanjutkan pekerjaan yang lain. Peserta didik tidak ada yang

berbuat curang dan nakal. Lalu bagaimana kondisi ujian di Indonesia?

Kalau para guru dan pengawas ujian tidak bekerja keras, maka peserta ujian akan

berbuat curang dan kerja sama dalam mengerjakan soa-soal ujian. Telah dibuat

selebaran bahwa dilarang bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian, bahkan sanksi

ujian dibacakan dimuka kelas. Toh tidak menpan. Peserta didik telah kebal dan tidak

peduli. Sikap kejujuran telah lama mati, demikian pernyataan seorang guru. Bahkan

ada guru yang membuat pernyataan bahwa jatidiri warga bangsa ini telah lama mati.

”Siapa yang jujur, akan menjadi kujur (hancur),” katanya.

Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang melekat berkepribadian jujur ini

tidak mudah, karena struktur sosial telah sakit sejak lama. Budaya curang itu terjadi di

berbagai tempat, mulai dari lapis atas sampai lapis bawah ”tukang parkir”. Matinya

udaya jujur ini sejalan dengan matinya moralitas masyarakat dan bangsa Indonesia.

Karena itu marilah merenung bagaimana kita sebagai masyarakat dan banga dapat

kembali menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya jujur, sopan, terbuka, dan

bersahabat.

Dalam renungan, penulis mencari sebab dalam proses belajar mengajar (PBM) dalam

dunia pendidikan. Marilah sejenak melihat pandagan Kroeber dan Kluckhon tentang

kebudayaan. Menurutnya inti budaya (cultre core) adalah learning process. Hanya

manusia dapat melakukan proses belajar, dan hewan tidak mampu melakukan. Dengan

learning process itu manusia dapat mengembangkan potensi dan kemampuan dirinya,

terutama dalam mengembangkan IPTEKS. Mengapakah perilaku curang berkembang

dalam diri peserta anak didik kita dewasa ini? Menurut hemat penulis bahwa telah

terjadi kekeliruan yang amat besar dalam learning process dalam dunia pendidikan.

Hubungan antara peserta didik dengan guru, antara dosen dengan mahasiswa telah

menjadi kosong, dalam arti semakin tidak menyentuh emotional values dan spiritual

values (nilai-nilai emotional dan nilai-nilai spiritual). Hubungan siswa/mahasiswa

Page 8: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

dengan guru/dosen dewasa ini telah menjadi hubungan formal dan mencerminkan

hubungan transaksional, seperti dalam dunia dagang. Kami yang menjual, kamu yang

membeli. Tidak ada lagi kesempatan guru/dosen untuk memberikan sentuhan emosi

dan spiritual.

Matakuliah Pendidikan Kepribadian (MPK) seperti Pendidikan Agama, Pendidikan

Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan menjadi gamang dan semu. Learning process

hanya menyentuh akal semata, tidak menyentuh emosi dan hati. Di sanalah masyarakat

dan dunia pendidikan memberikan pujaan kepada orang yang lulus dengan nilai IP

yang tinggi, dan tidak memuja mereka yang memiliki moralitas dan spriritualitas yang

tinggi.

Dunia pendidikan semakin kering dengan transformasi nilai-nilai luhur budaya bangsa,

karena hubungan manusia dalam lembaga pendidikan hanya mengajarkan ilmu tanpa

mengajarkan moral dan karakter. Tidak ada lagi sentuhan emosi, spiritualitas, dan

kearifan. Kondisi yang demikian ini telah membuat budaya curang itu tumbuh terus

secara subur. Budaya curang tumbuh dan berkembang ibaratnya rumput disiram

dengan air dan rabuk.

Ketidakjujuran dan kecurangan muncul di mana-mana dan anak-anak muda sangat

mudah menemui dan mengalaminya. Mencari SIM harus bayar. Ditilang oknum juga

haus bayar. Menaikkan nilai ujian harus bayar. Mencari ijazah juga dapat

membayarnya. Anak-anak dengan mata terbuka dapat melhat dan mencermati tindakan

kecurangan dan kejahatan itu. Peserta didik akan mengalami dunia pengalaman yang

penuh paradoksal dan kemunaikan. Katanya harus bersikap jujur dan mulya, kok

banyak warga yang beruat curang dan jahat. Katanya warga harus tertib, kok banyak

warga yang melanggar aturan lalu lintas. Demikian juga, katanya anak-anak tidak boleh

merokok, namun bapak-bapak kok senang “mengepul” (merokk berat). Katanya kita

harus menjadi masyarakat dan bangsa yang berbudaya, namun tindakan kekerasan

terjadi di mana-mana. Slogannya memang masyarakat Indonesia berbudaya, namun

mental dan jiwanya berkualitas barbar (istilah dar J. Frazer).

Telah n terjadi pendidikan penerus bangsa yang buruk dan tercela, sebab generasi

sekarang sama sekali tidak bertanggungjawab akan pendidikan moral dan kepribadian

generasi penerus. Moral dan jiwa dari generasi penerus telah diracuni dengan nilai

budaya yang buruk. Tidak ada contoh yang murni dan baik.

Menyongsong Kecerahan Kehidupan Berbangsa

Masyarakat, bangsa dan Negara memiliki moral kejujuran dan jatidiri bangsa

nampaknya masih jauh dan akan sulit berkembang. Faham kebebasan atau liberalis

daam masyarakat semakin kuat, dan kehidupan religius atau spiritualis tidak menadi

hal yang penting. Manusia adalah mahluk individual yang tidak membutuhkan tatanan

moral sebagai koridor perlaku dalam masyarakat. Yang membutuhkan moral kejujuran

dan jatidiri itu adalah-adalah orang miskin dan bodoh, kalau telah kaya dan bebas maka

Page 9: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

tidak perlu moral kejujuran dan jatidiri, kata para pendukung faham kapitalisme liberal.

Pelaksanaan kurikulum dengan basis KBK tida ada artinya karena pelaksanaan

kurikulum KBK haruslah berlandaskan filsafat pendidikan konstruktivisme, bukan pada

landasan filsafat subyektivisme atau liberalisme. Dalam filsafat konstruktivisme,

kedudukan pengembangan moral dan jatidiri dari peserta didik menjadi sangat penting.

Orang dapat saja menjadi cerdas dalam arti kemampuan IQ, namun belum tentu akan

memiliki kemampuan kepribadian EQ dan SQ. Kini memang banyak orang pandai,

namun mereka telah menjadi manusia-manusia yang serakah (greedy) akan harta dan

kekuasaan.

Pendidikan di kelas telah menjadi hubungan antar manusia seperti di pasar, ada uang

ada proses belajar. Tidak ada uang, proses belajar tidak ada. Hubungan emosional dan

karakter sudah hilang, karena antar siswa dan guru tidak saling menyapa satu ama

lainnya. Lingkungan sekolah telah berubah menjadi lingkunan pasar. Kalau ada

kepentingan barulah ada interaksi yang mendalam. Kalau tidak penting, kalau perlu

saling tidak menapa satu sama lainnya.

Perubahan system pendidikan, modernisasi, dan glbalisasi hendaknya jangan sampai

menimbulkan korban terhadap moral dan jatidiri bangsa. Masyarakat, bangsa dan

Negara harus memberikan respon yang cermat terhadap perubahan-perubahan dalam

sistem pendidikan. Pengembangan pendidikan nasional semesinya memperhatikan

landasan cultural, bukan landasan materi dan uang. Akhirnya pendidikan Indonesia

akan gagal membawa masyarakat dan bangsa Indonesia menjadi masyarakat dan

bangsa yang beradab, karena learning process semakin tidak memliki “sof humanity”

dalam interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Pendidik sendiri telah

berkembang sebagai pebisnis, yang tidak membutuhkan landasan sentuhan emosi dan

spiritualitas.

Apakah kita akan membiarkan situasi dan lingkungan pendidikan bangsa seperti

sekarang, yang tidak memperhatikan soft humanities. Semua kurikulum sebenarnya

membicvarakan aspek kemanusaan, sebab ilmu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan.

Guru harus menyatakan bahwa ilmu matematika atau fisika adalah ilmu yang memiliki

aksiologi kejujuran yang sangat tnggi. Menurut matematika 4 kali 4 pasti 16. Tidak

dapat ditafsirkan yang lain seperti dalam ilmu hukum dan ilmun sosial. Anehnya anak-

anak kita tidak lulus dalam mata ajaran ilmu matematika. Mungkin sekali anak-anak

yang bermoral tidak jujur itu memang tidak senang matematika.

Marilah kita menyemaikan nilai-nilai kejujuran ada peserta didik dengan memperbaiki

hubungan dan interkasi antara siswa/mahasiswaq dengan guru/dosen dengan

menjaukan hubuangan dan interaksi model formal dan transaksional.

Kesiapan Solusi

Barbara Ward (1960) lebih banyak disebabkan oleh pemikiran dari pada gerakan

demontrasi. Pemikiran manusia yang terus mengalir dan disertai dengan inovasi telah

Page 10: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

mampu merubah dunia dan peradaban manusia, seperti yang kita saksikan sekarang.

Menurut Barbara Ward, ada lima pokok pikiran yang merubah dunia yaitu:

Industrialisme, Kolonialisme, Komunisme, Nasionalisme, dan Internasionalisme. Oleh

karena itu, kelahiran suatu negara, terutama setelah perang dunia II bersamaan dengan

kalahiran suatu bangsa (Arnason, 1990:212).

Kesamaan sejarah, teruma pengalaman sebagai masyarakat yang terjajah ini menjadi

faktor utama lahirnya suatu bangsa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ernest Renan

bahwa sejarah menjadi faktor utama dalam nasionalisme /paham kebangsaan (Delanty,

2001:474). Paham kebangsaan sebagai ideologi untuk melawan penjajahan inilah yang

kemudian melahirkan Negara-bangsa (nation state). Paham kebangsaan yang ada di

Indonesia juga didasarkan oleh cerita-cerita masa lalu, baik sebagai bangsa yang

terjajah, maupun oleh sejarah kjayaan masa lalu, terutama kejayaan Majapahit dan

Sriwijaya.

Ideologi nasionalisme sebagai pengikat dari suku-suku yang terjajah menurut Sartono

(1993:43) di dalamnya meliputi lima prinsip, yaitu kesatuan (unity), kemerdekaan

(liberty), kesamaan (equality), kepribadian (personality), dan prestasi (performance).

Kesatuan, kemerdekaan, dan kesamaan merupakan prinsip utama dalam pembangunan

bangsa, terutama bangsa yang terdiri dari berbagai suku, seperti Indonesia.

Perubahan Konsep Bangsa

Konsep bangsa (nation) yang semula bersifat ideologis untuk mempersatukan suku-

suku yang terjajah telah berubah mencadi wacana kekuasaan, bahkan sekarang sudah

menjadi cognisi (Delanty, 2001:474). Paham negara bangsa (nation state) sebagaimana

yang dirumuskan oleh Ernest Renan. pada era global ini telah berakhir (Kinchi

Ohmae:1995). Kebangsaan seseorang tidak lagi ditentukan oleh tempat kelahiran dan

tempat tinggalnya, tetapi lebih ditentukan oleh cognisinya. Sebagaimana yang katakan

oleh Benedict Anderson: Imagined communities, bahwa kebangsaan seseorang lebih

ditentukan oleh bagaimana ia mengkonstruksi dirinya, bukan ditentukan oleh tempat

tinggal dan kelahirannya. Hal ini dimungkinkan dengan semakin mudahnya mobilitas

seseorang dalam era global.

Persoalan nasionalisme bukan lagi berkaitan dengan kesamaan diantara bangsa-bangsa,

tetapi lebih menekankan pada kesamaan diantara semua warga Negara, terutama

kesamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi. Persoalan kebangsaan bukan lagi

diikat oleh ikatan kenegaraan, tetapi lebih merupakan cognisi setiap individu. Setiap

individu dapat mengkonstruksi kebangsaannya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan

oleh Kinichi Omae, (1995:4) dalam konteks ekonomi, bahwa setiap individu dalam

memilih barang-barang konsumsi, bukan lagi ditentukan fanatisme kepada produk

dalam negeri, tetapi lebih ditentukan oleh pilihan atas kualitas dan harga yang murah,

tanpa peduli darimana produk tersebut. Isu-isu hak azasi manusia lebih mengedepan

daripada rasa nasionalisme.

Page 11: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Konflik antar sesama warga bangsa yang disebabkan oleh kepentingan pribadi semakin

mengedepan, daripada kesadaran sebagai satu bangsa. Bahkan di kalangan elit sendiri,

rasa kebangsaan tersebut sudah semakin luntur. Mereka lebih mementingkan

kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan bangsa secara bersama.

Untuk membangun kesadaran berbangsa dalam era global ini tidak cukup hanya

dengan kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, tetapi dibutuhkan suatu prestasi

yang membanggakan seluruh warga bangsa, serta kepribadian yang menjujung nilai-

nilai universal.

Masalah Utama

Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih memiliki sejumlah masalah nasional

yang sangat kompleks, dan Indonesia masih berada dalam kondisi krisis

multidimensional, yang dampaknya telah menurunkan kualitas kehidupan rakyat

Indonesia, serta semakin sulitnya mencapai Tujuan Nasional yang telah dirumuskan

dalam Pembukaan UUD 1945. Masalah nasional yang berat itu terletak dalam bidang

kehidupan ekonomi, pendidikan, hukum, sosial budaya, kehidupan keagamaan, politik

dan pemerintahan, lingkungan hidup dan SDA, serta ketertiban dan keamanan.

Pembangunan tidaklah dibiarkan sunyi dan pasif, karena itu perlu diberikan evaluasi

kritis dan konstruktif, untuk menyongsong hari esok rakyat, bangsa dan negara, tahun

2004. Evaluasi kritis dan konstruktif tersebut telah dirumuskan oleh Lembaga

Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur (LP3 JATIM) pada akhir tahun

2003, yang pokok-pokok ringkasan uraiannya sebagai berikut:

Pertama, National recovery, termasuk economical recovery belum menunjukkan hasil

yang berarti serta pertumbuhan ekonomi masih tetap rendah, karena itu kondisi

kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan;

Kedua, telah terjadi salah urus terhadap kehidupan bermasyarakat, bangsa, dan negara,

sehingga Indonesia sebagai negara yang kaya SDA dan SDM, tetapi tidak mampu

mengantarkan rakyat Indonesia mencapai keadilan dan kesejahteraan hingga saat ini;

Ketiga, rakyat Indonesia menghadapi kesulitan besar dalam memilih peminpin bangsa

yang berkualitas, sehingga pemimpin bangsa lebih komit mengabdi pada kepentingan

golongan dibandingkan kepentingan rakyat Indonesia;

Keempat, konflik kekuasaan dalam negeri terus berlanjut, dan kekuatan politik telah

kehilangan dasar moral dan akhlaknya, sehingga etika materialistik yang menghalalkan

segala cara untuk mencapai tujuan, semakin menjadi bagian budaya kehidupan

berbangsa dan bernegara;

Kelima, kedaulatan dalam kehidupan ekonomi sangat rendah sehingga masyarakat,

bangsa dan negara Indonesia tidak memiliki kemampuan mandiri dan jatidiri yang

kokoh;

Keenam, rakyat Indonesia belum memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan

supremasi hukum dan HAM, sehingga ketidaktertiban dan pelanggaran hukum tetap

Page 12: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

menjadi fakta sosial;

Ketujuh, transisi kehidupan demokrasi terus berlanjut, dan semangat hidup

berdemokrasi masih rendah, sehingga tindak kekerasan dan otoriter masih terjadi di

berbagai tempat di tanah air;

Kedelapan, solidaritas, perdamaian dan bebas dari gerakan terorisme masih berada

dalam tataran wacana, belum menjadi fakta sosial, dan konflik sosial dengan kekerasan

masih terjadi di berbagai tempat. Karena itu diperlukan tanggungjawab nasional yang

kuat;

Kesembilan, hendaknya penyelenggaraan Pemilu 2004, menjamin kelangsungan

Pembangunan Nasional, memilih pemimpin berkualitas serta terkondisikannya tatanan

kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Evaluasi Kritis dan Konstruktif

Pembangunan nasional yang terkait dengan pembangunan masyarakat, bangsa dan

negara Indonesia tidak dibiarkan sunyi dan pasif, melainkan harus dievaluasi dan

dikritisi secara jujur, ikhlas, dan terbuka. Apakah pembangunan nasional telah berjalan

sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan. Tanpa suatu evaluasi kritis dari rakyat

Indonesia berarti akan membiarkan jalannya pembangunan nasional tanpa suatu

kendali dan arah.

Pembangunan bukan suatu aktivitas atau kegiatan yang berjalan begitu saja, melainkan

suatu aktivitas atau kegiatan yang direncanakan secara sistematik dan penuh

tanggungjawab, sehingga hasil atau produk pembangunan benar-benar dapat

memberikan faedah dan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu diperlukan

suatu evaluasi kritis dan konstruktif, sehingga jalannya pembangunan nasional dapat

sesuai dengan harapan seluruh rakyat Indonesia.

Evaluasi kritis ini bukan suatu evaluasi yang mengada-ada, namun suatu evaluasi yang

diberikan atas dasar suatu pemikiran kolektif yang mendasar, untuk dapat memahami

masalah-masalah mendasar dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

selama ini. Pemikiran kolektif ini adalah suatu pemikiran yang konstruktif dan progresif

untuk menyongsong kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tahun 2004

nanti.

Semua pihak atau seluruh rakyat Indonesia haruslah meningkatkan sikap, perilaku, dan

tanggungjawab yang konstruktif untuk menjadikan masa depan masyarakat, bangsa dan

negara Indonesia lebih baik dan lebih cemerlang dibandingkan tahun sekarang dan

tahun lampau. Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia harus mampu mencapai dan

mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan

dan kesejahteraan hendaknya tidak hanya berupa wacana, melainkan harus menjadi

kenyataan hidup seluruh rakyat Indonesia dalam tatanan praksis.

Delapan Bidang Kehidupan

Page 13: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih

menghadapi masalah yakni angka pertumbuhannya yang trgolong rendah (di bawah 5

% setahun) sebagai dampak krisis ekonomi nasional dan global. Kenyataan ini berimbas

pada sisi kehidupan lainnya yang sangat kompleks dalam masyarakat, bangsa dan

negara seperti masih besarnya jumlah kemiskinan, pengangguran, sempitnya lapangan

kerja, serta rendahnya pendapatan rakyat Indonesia.

Dalam bidang pedidikan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi

masalah pada tingkat nasional, regional dan lokal seperti masih rendahnya Angka

Partisipasi Pendidikan (APP) warga masyarakat di semua jenjang pendidikan sebagai

akibat kelemahan-kelemahan faktor lainnya terutama rendahnya pendapatan rakyat,

sehingga mutu hasil pendidikan masih tetap memperihatinkan dan makin tertinggal

dari bangsa-bangsa lain.

Di bidang Hukum, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi

masalah penegakkan hukum di semua bidang kehidupan. Penegakan hukum masih

terasakan sifat rasial dan diskriminatif (cenderung menguntungkan yang kuat dan

kaya). Penegakan supremasi hukum dan HAM masih belum berjalan seperti yang

diharapkan, sehingga kepastian hukum dan nilai keadilan buat rakyat Indonesia belum

teraplikasikan dan dirasakan oleh masyarakat.

Bidang Sosial budaya, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih menghadapi

masalah pembangunan kesejahteraan nasional, terutama terjadinya pertarungan sosial

budaya yang semakin terbuka dan tak terkendali sebagai akibat era keterbukaan dan

globalisasi. Budaya sekuler yang materialistik, individualistik, liberalistik, hedonistik

dan vulgar terus berkembang dan cenderung menggeser serta mendesak budaya

Indonesia yang spiritualis dan religius.

Dalam kehidupan beragama, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih

menghadapi masalah, di mana kerukunan hidup beragama masih belum sepenuhnya

terwujud. Di masyarakat justru muncul gejala kehidupan beragama sebatas faham

formalisme, dan penghayatan agama yang paradoks, serta masuknya budaya sekuler ke

dalam lingkungan budaya keagamaan.

Bidang politik pemerintahan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih

menghadapi masalah sampai sekarang, di mana masa transisi kehidupan berdemokrasi

tetap berlanjut, dan pembangunan kualitas kehidupan demokrasi yang belum memadai,

serta belum tercapainya clean and good corperate governance. Pertarungan elit politik

dan parpol tidak memberikan banyak manfaat bagi terpilihnya pemimpin-pemimpin

bangsa yang berkualitas dan negarawan-negarawan baru yang unggul.

Bidang lingkungan hidup dan SDA, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih

menghadapi masalah sebagai dampak pembangunan nasional yang kurang terkendali

serta perilaku warga negara yang tak bertanggungjawab. Kerusakan lingkungan dan

kondisi SDA serta terjadi polusi yang membahayakan dan cenderung tidak terkendali

terasakan terus berlanjut.

Bidang ketertiban dan keamanan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia masih

Page 14: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

menghadapi masalah ketertiban dan keamanan nasional dan regional yang cukup berat,

karena di beberapa wilayah nusantara ini terjadi konflik sosial dengan kekerasan dan

pembunuhan, termasuk masih adanya ancaman terorisme global dan lokal yang dapat

mengganggu jalannya pembangunan nasional dan regional.

Menuju national dan economic recovery

Masyarakat, bangsa dan negara Indonesia menghadapi masalah-masalah nasional yang

semakin kompleks sebagai akibat interaksi masalah nasional dan global, dan dampak

pertarungan kekuatan global dan nasional di satu pihak. Masih lemahnya kemampuan

masyarakat, bangsa dan negara dalam memberikan respon dan solusi terhadap

perkembangan masalah nasional dan internasional di lain pihak, dapat menghambat

jalannya pembangunan nasional dalam semua bidang kehidupan. Dengan didorong

oleh kehendak yang baik dan jujur, ikhlas, serta tanggungjawab yang tinggi, maka

dengan ini LP3-Jatim mengeluarkan pernyataan sebagai evaluasi kritis akhir tahun

2003 terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang telah

berlangsung mulai Januari hingga Desember 2003 dalam rangka penataan kehidupan

yang lebih baik tahun 2004.

Evaluasi akhir tahun yang berjumlah sebelas pokok pikiran ini diharapkan sebagai

sumber perenungan reflektif konstruktif terhadap segala masalah nasional yang

dihadapi masyarakat, bangsa dan Negara. Ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan

kualitas pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable development of

Indonesia), dan meningkatkan upaya kesadaran kritis untuk mencari solusi terhadap

masalah nasional yang dihadapai masyarakat, bangsa dan negara, sehingga Tujuan

Nasional yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, terutama

untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesebelas pokok pikiran itu adalah:

Sebelas Pokok Pikiran

Pertama, fenomena besar krisis multidimensional yang menimpa masyarakat, bangsa

dan negara Indonesia adalah suatu fakta yang signifikan hingga sampai saat ini.

Memang telah dilakukan upaya dan pendekatan untuk menyelesaikan krisis

multidimensional yang mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Namun hasil dari upaya national recovery, terutama economic recovery belum cukup

memadai dan masih jauh dari harapan seluruh rakyat Indonesia. Sangat diperlukan

pembangunan ekonomi nasional yang lebih terencana dan komprehensif.

Kedua, terdapat fenomena pengelolaan masyarakat, bangsa dan negara yang keliru atau

salah, sehingga bangsa dan negara Indonesia yang memiliki sumber daya alam (SDA)

dan sumber dalam manusia (SDM) yang besar, yang pada akhirnya kurang berhasil

membawa masyarakat, bangsa dan negara mencapai tingkat keadilan, kesejahteraan

Page 15: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

dan kemakmuran yang memadai, dan bahkan cenderung membawa sebagian rakyat

Indonesia hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Oleh sebab itu itu diperlukan

moral dan akhlak yang baik berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengelola

masyarakat, bangsa dan negara Indonesia secara lebih sungguh-sungguh.

Ketiga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi masalah

mendasar dalam memilih peminpin-peminpin bangsa dan negara yang memiliki

komitmen kebangsaan yang kuat dan memiliki kualitas diri yang tinggi, sehingga

peminpin bangsa dan negara tidak mampu memperlihatkan kualitas diri sebagai

“negarawan yang sejati” atau “tidak mampu memiliki jati diri yang berjiwa Pancasilais

yang kokoh. Akibatnya banyak pemimpin bangsa dan negara memiliki moral dan ahlak

yang buruk atau busuk. Karena itu sangat perlu dilakukan pengkajian ulang terus

menerus terhadap rencana pembangunan sehingga pembangunan dapat menghasilkan

negarawan yang berjiwa Pancasilais dan religius.

Keempat, persaingan dan perseteruan kekuasan (power) telah kehilangan dasar-dasar

moral dan akhlak, sehingga dalam kehidupan politik muncul etika materialisme dan

vulger yaitu menghalalkan segala cara atau jalan untuk mencapai tujuan (kemenangan),

bahkan kondisi tersebut telah memperluas iklim KKN dan praktek money politics, yang

dapat merugikan semua pihak termasuk bangsa dan negara. Karena itu diserukan

kepada seluruh rakyat Indonesia kembali mengembangkan dan memperkokoh kualitas

jatidiri masyarakat, bangsa dan negara.

Kelima, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung kehilangan semangat

kemandirian dan harga dirinya sebagai dampak ketergantungan dengan bangsa dan

negara asing, yang pada akhirnya melahirkan Imperialisme gaya baru. Karena itu

sangat perlu menggelorakan kembali semangat kemandirian dan kedaulatan dalam

ekonomi, pembangunan jatidiri bangsa, serta mengokohkan integritas nasional.

Keenam, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung terjebak ke dalam

pertarungan luas antara budaya modern-materialistik yang datang dari luar (Barat)

dengan budaya tradisional dan konservatif yang hidup di masyarakat Indonesia,

sehingga melahirkan kehidupan bangsa dan negara yang paradoks dan permisif

terhadap gaya hidup materialistik, individualistik, liberalistik, hedonistik, dan

vulgeristik. Karena itu perlu dikembangkamn suatu strategi budaya nasional baru yang

mengatasi konflik sosial-budaya yang dapat menurunkan martabat masyarakat dan

bangsa.

Ketujuh, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia cenderung tidak bersikap tegas,

lugas, dan tidak memiliki komitmen kuat dalam penegakan hukum, sehingga telah

terjadi kerusakan lingkungan hidup dan kondisi sda, serta munculnya kerugian-

kerugian lain yang lebih parah.

Kedelapan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia belum siap melakukan

transformasi sosial sehingga belum mampu membangun masyarakat Indonesia modern

yang lebih rasional, terbuka, dan menghargai nilai Ipteks, yang pada akhirnya sulit

untuk melaksanakan rule of law. Seluruh rakyat Indonesia harus memiliki komitmen

Page 16: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM, sehingga mampu mewujudkan

ketertiban sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesembilan, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan belum

memiliki komitmen yang kuat untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang

berkualitas melalui Pemilu dan belum memiliki komitment dalam membangun pola-

pola kehidupan masyarakat sipil (civil society) yang berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, sehingga pembangunan demokrasi masih diwarnai dengan tindak kekerasan dan

konflik sosial yang berkepanjangan. Hendaknya penyelenggaraan Pemilu 2004 dapat

menghasilkan pemimpin nasional berkualitas dan berkomitmen terhadap keadilan dan

kemakmuran bangsa dan negara Indonesia. Karena itu diperlukan sikap dan perilaku

yang lebih serius untuk membangunan kehidupan demokrasi yang berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

Kesepuluh, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan belum memiliki

tanggungjawab bersama yang kuat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan

nasional, regional dan lokal, sehingga tindak kekerasan dan bahkan tindak kriminalitas

menjadi fenomena yang luas dan signifikan. Karena itu perlu dikembangkan

pendekatan baru untuk menjamin ketertiban dan keamanan nasional dan untuk

mengantisipasi segala bentuk ancaman yang terjadi.

Kesebelas, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dapat dinyatakan mengalami

krisis jatidiri yang cukup parah, sehingga menimbulkan krisis moral dan akhlak yang

sangat luas, sehingga memberi peluang berkembangnya perilaku KKN yang tercela.

KKN tidak akan dapat diberantas bilamana kualitas moral dan akhlak itu rendah.

Karena itu sangat perlu adanya gerakan pembangunan jatidiri masyarakat, bangsa dan

negara dan pemberantasan KKN di semua lini kehidupan masyarakat, bangsa dan

negara.

Pernyataan evaluasi kritis dan konstruktif terhadap kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara selama kurun waktu tahun 2003, semoga dapat dijadikan

sebagai sumber dan bahan refleksi konstrukrtif yang mendalam untuk mencari jalan

keluar atau solusi terhadap masalah-masalah nasional yang menimpa masyarakat,

bangsa dan negara.

Sesungguhnya, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia haruslah senantiasa bertekad

kuat untuk menjadikan kondisi kehidupan di tahun 2004 lebih baik dan lebih terang,

lebih cerah dari kehidupan tahun 2003. Pembangunan nasional adalah menjadi

tanggungjawab kita semua atau seluruh rakyat Indonesia. Kita berkeyakinan bahwa

masyarakat, bangsa dan negara Indonesia akan menjadi masyarakat, bangsa dan negara

yang besar, sukses, dan berperadaban tinggi, karena seluruh rakyat Indonesia bersedia

untuk bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh. Wallahu a’lamu bi ash Showaab. ***

Mengembangkan Jatidiri Bangsa

Page 17: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Memasuki tahun 2006, Rektor Universitas Airlangga Prof. Puruhito, menyiapkan

pengembangan jatidiri bangsa bagi mahasiswanya. Penyiapan itu dimaksudkan agar

lebih mampu mengaplikasikan matakuliah Pendidikan Pancasila, Agama, dan

Kewarganegaraan sesuai dengan kondisi saat ini. Agar lebih mendapat respons dan

memberi makna bagi mahasiswa. Pernyataan tersebut dikemukakannya saat jumpa pers

dengan topik “evaluasi Jatidiri Bangsa 2005 dan Prospek 2006, di kantornya Kampus C

Jl. Mulyorejo Surabaya (Surya, 31 Desember 2005).

Puruhito adalah juga seorang penanggungjawab Tim Pengkajian dan

Pembudayaan/Sosialisasi Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia (PPJB) Wilayah

Jawa Timur. Tim ini dibentuk pada bulan tahun 2005 sebagai kelanjutan kerja dari tim

perumus dan penyusun buku yang diterbitkan dengan judul Pembangunan Jatidiri

Bangsa Indonesia (2003). Kegiatan tersebut dilaksanakan atas kerjasama antara

Pemerintah Propinsi Jawa Timur, DHD (Dewan Harian Daerah) 45 Propinsi Jawa

Timur, dan 15 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-Surabaya serta dimaksudkan

untuk melancarkan kegiatannya secara profesional dan berkelanjutan kepada seluruh

masyarakat.

Telah dua kali tim ini menyelenggarakan pertemuan. Pada pertemuan 21 April April

2005 yang diselenggarakan di Unair. Pengarahan yang disampaikan Puruhito antara

lain menegaskan tentang visi Pendidikan Nasional yang telah mengalami pembaruan

antara lain: “menjadi agen pencerdasan, pembudayaan, dan pemberadaban bangsa yang

efektif, efisien, dan akuntabel, dalam proses transformasi budaya Indonesia menuju

peradaban bangsa yang modern, canggih, dan unggul”. Sedangkan pada pertemuan

bulan Desember 2005 yang diselenggarakan di Untag Surabaya, ditindaklanjutinya

penegasan tersebut dengan melaksanakan pengintegrasian matakuliah pengembangan

jatidiri bangsa ke dalam kurikulum wajib Matakuliah Pengembangan Kepribadian

(MPK). Matakuliah ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Program ini dimulai di

perguruan tinggi yang dipimpin Puruhito yakni di Universitas Airlangga.

Penutup: Signifikansi dan Urgensi

Mengapa pengembangan jatidiri bangsa terasa signifikan untuk diselenggarakan di

lembaga pendidikan? Ketika Reformasi Nasional 1998 di tanah air Indonesia

merupakan keniscayaan pilihan sebagai tuntutan perubahan alam demokrasi pada

penghujung millennium kedua, orang menaruh pengharapan yang besar bahwa

reformasi merupakan pintu masuk yang tepat dalam mengatasi keterpurukan. Sejumlah

agenda telah ditetapkan, namun dalam perjalanannya melakukan pengawalan untuk

melaksanakan agenda di tengah lebih dari 200 juta penduduk di nusantara ini tidaklah

semudah membalikkan telapak tangan.

Pada lima tahun pertama sejak reformasi itu, tidak terhindarkan hadirnya tamu yang

tidak diundang yakni social anomaly. Seakan menjadi bola liar yang nyaris tidak

seorangpun yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikannya. Pada kondisi

Page 18: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

demikian, yang terjadi adalah saling berbaku hujat dan penyalahan (falsifikasi). Bahkan

beradu kuat dalam beralibi. Baik lembaga di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Terdapat kecenderungan, siapa yang lebih vokal gaya bicaranya, merekalah yang berhak

untuk mengklaim kemenangan dan merasa berwenang pula untuk mengatur Negara.

Hal tersebut menjadikan tambahan investasi bagi tatanan kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara yang senyatanya belum terdapat tanda-tanda keluar dari

kubangan keterpurukan. Kondisi tersebut terus berkembang, meskipun rejim di

republik tercinta ini telah diganti lebih dari tiga orang presiden. Keterpurukan bangsa

ini telah terjatuh empat kali lipat untuk parameter nilai tukar rupiah atas dollar AS.

Pada puncaknya, bahkan pernah enam kali lipat keterpurukan itu terjadi, ketika nilai

tukar per dollar AS itu tembus Rp. 15.000,- Indikator ekonomi tersebut juga tampak

semakin lengkap pada tatanan ranah kehidupan beragama, sosial-budaya, pendidikan,

politik-pemerintahan, hukum, lingkungan hidup dan sumber daya alam, gender, serta

pertahanan-keamanan.

Biang keterpurukan dalam berbagai ranah kehidupan itu tiada lain adalah hadirnya

mahluk yang menamakan dirinya sebagai pembangunan, modernisasi dan globalisasi

yang dalam prakteknya berjalan dan berkembang secara leluasa dan nyaris tanpa

kendali melalui liberalisasi, privatisasi, dan investasi di ranah ekonomi serta

domokratisasi dan HAM (Hak Asasi manusia)isasi pada ranah politiknya.

Kehadiran mahkluk baru ini dalam sejumlah kenyataan telah membawa konsekwensi

kepada tatanan masyarakat yang tercerabut dari akar budayanya (Giddens, 1992) dunia

yang sarat paradoks dan bahkan patologis (George Simmel, 1978). Tragisnya telah

diagungkan para aktornya melebihihi keagungan yang Maha Agung sekalipun, bahkan

tidak tanggung-tanggung kemudian ditetapkan sebagai landasan praktektual dalam

mengaplikan visi dan misi kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatannya. Dunia

telah dipimpin oleh kekuasaan dan materi (Marx). Secara kelakar, orang bilang

dihadapan uang, semua orang sama saja. Artinya siapapun akan tunduk kecuali orang

yang senantiasa sadar dan waspada (Ronggowarsito).

Sesungguhnya, sumber masalah keterpurukan itu bukanlah terletak pada diri (it self)

mahluk “pembangunan”, “modernisasi” dan “globalisasi” itu sendiri, namun berpulang

kepada para aktornya yang telah mendegradasikan dirinya tidak lagi sebagai subyek

dalam mengendalikan mahluk tersebut. Inilah yang kemudian menjadi malapetaka

besar—meminjam istilah Fukuyama (1997) sebagai terjemahan dari the great

disruption. Sang actor kemudian telah terbawa, terlena, lalu terjatuh menjadi obyek dari

makhluk tersebut. Tidak sedikit, dari jumlah ratusan juta penduduk negeri ini yang

justru tertipu dengan buaian nikmat sesaat oleh makhluk tersebut. Enjoy aja dalam

konteks sebagai hamba dan budak makhluk itu.

Mengembalikan sang aktor pada posisi yang asasiah sebagai the real subyek dalam

kebidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, inilah yang menjadi visi, misi,

dan program utama dari tim PPJB Jawa Timur ini. Berburu dan melasanakan tugas-

Page 19: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

pembangunan, modernisasi, dan globalisasi, adalah seuatu kewajaran yang normal. Hal

yang tidak boleh dilupakan adalah membangun manusianya. Keterpurukan masyarakat,

bangsa, dan Negara, yang secara terus menerus terjerat dan belum dapat keluar dari

kemelut itu, tidak boleh dibiarkan berlarut. Haruslah dicarikan solusinya. Dalam

konteks ini tim PPJB hadir dengan solusi membangun jatidiri manusia, bangsa, dan

Negara Indonesia. Kami meyakini, dengan upaya yang sungguh-sungguh, dan

dilaksanakan secara kontinyu dan konsisten, dalam kurun waktu tertentu akan

terwujud jatidiri masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia yang cerdas, berbudaya,

dan beradab serta efektif, efisien, dan akuntabel, dalam metransformasikan budaya

Indonesia menuju peradaban bangsa yang modern, canggih, dan unggul.

Adalah Puruhito, rektor perguruan tinggi negeri pertama di nusantara ini yang

menyandang status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan SK Mendiknas,

yang menaruh kepedulian luar biasa kepada pengembangan kwalitas manusianya.

Universitas yang dipimpinnya ini, memberikan pembekalan kepada mahasiswanya

untuk mengembangkan kejatidirian dalam kurikulum wajib Pengembangan Jatidiri

Bangsa. Materinya diintegrasikan dalam Pendidikan Pancasila, Agama, dan

Kewarganegaraan masing-masing berbobot 2 SKS dengan jumlah total 6 SKS.

Sedangkan yang non-SKS, diintegrasikan dalam kegiatan Pengembangan Fresh Student

dilengkapi dengan Out Bound selama tiga hari yang dilaksanakan di asrama mahasiswa

dan lingkungan kampus.

Sejumlah kalangan telah memberikan dukungan dan respons positif atas prakarsa

tersebut, sementara lainnya menyarankan agar juga melibatkan lembaga

kemahasiswaan. Bahkan dukungan itu juga berupa kewaspadaan jangan sampai

terperangkap dengan model penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila), yang pernah dipergunakan sebagai alat oleh suatu rejim untuk

mempertahankan kekuasaan.

Adalah suatu keniscayaan pula apabila Pengembangan Jatidiri Manusia, Bangsa, dan

Negara Indonesia itu disajikan tidak hanya di lembaga pendidikan pendidikan tinggi,

namun juga pada pendidikan dasar dan menengah, dalam paket yang menarik dan

aplikatif dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan metode pembelajaran

partisipatif yang efektif dan efisien.

Daftar Bacaan

Adib, Mohammad

2006 ”Mengimplementasikan Jatidiri Bangsa pada MPK di Perguruan Tinggi” dalam

Karakter Bangsa: Jurnal Ilmiah Kebangsaan dan Keindonesiaan. TPB UNAIR: Surabaya

_________

2006 “Polri dan Keberadaban Bangsa. Dalam Surya: 1 Juli: Surabaya

Page 20: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

_________

2004 “Menyongsong Kecerahan Kehidupan Berbangsa Tahun 2004 (2): Menuju

National Recovery dan Economic Recovery. Surya: 8 Januari: Surabaya

_________

2003 ”Jatidiri Manusia, Bangsa, dan Negara Indonesia: Jatidiri di Tengah Perubahan”.

Dalam Surya (26 Februari): Surabaya.

_________

2003 ”Perjuangan Mencari Jatidiri Bangsa Indonesia”. Dalam Surabaya News:

Surabaya.

_________

2003 Religius: Jatidiri Khas Bangsa Indonesia Surabaya News: 5 Maret. : Surabaya.

_________

2003 “Masyarakat Madani: Kajian Konsep Menuju Bangsa yang Berjatidiri Egaliter”.

Jurnal Ilmiah Karakter Bangsa (Vol 1. Nomor 1 April 2003 (94-102) MKU Unair. (ISSN:

1412-3827) : Surabaya.

Bertens, Kees

2005 Etika. Gramedia: Jakarta.

Fukuyama, Francis

1992 Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (Terjemahan: Mohammad

Hussein Amrullah) The End of History and the Last Men. Kalam: Yogyakarta.

Sujana, Naya (et.all)

2003 Nation and Character Building: Pembangunan Jatidiri Bangsa Indonesia. (DHD

1945 Jatim)

http://www.jatim.go.id/news.php?id=2044

2005 “Wawasan Kebangsaan Penting Untuk Membangun Bangsa Majemuk”. 22

Februari 2005.

Warta OnLine Airlangga University

2005 ”Rektor : Unair Adalah Tempat Pencerahan.” Warta OnLine Airlangga University.

30-12-2005.

Suara Karya

2005 ”Penilaian Unair : Indonesia Kehilangan Jatidiri Selama 2005” dalam Suara

Karya, 31 Desember 2005 (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=131331).

Page 21: Jatidiri, Multikultural, dan Ketahanan Bangsamadib.blog.unair.ac.id/.../jatidiri-multikultural-dan-ketahanan-bangsa.pdf · Indonesia tidak harus semua bersekolah atau lulus ujian

Kompas

2006 Pergeseran Behaviorisme Menuju Konsrtuktivime. (www.warta.

unair.ac.id/news/index.php.id-494.

_________