Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

19
BAB I KONTEKS 1.1. Pulau Lombok. Pulau Lombok memiliki luas 473.574,976 ha dan 30% diantaranya yakni 142.935,93 ha merupakan wilayah yang berstatus lahan hutan. Jumlah penduduk pada saat ini telah mencapai sekitar 3 juta jiwa. Dan salah satu asset alam yang menjadi penyokong kehidupan di pulau ini adalah keberadaan Taman Nasional Gunung Rinjani. Gunung ini dikitari oleh 82 desa dari 3 kabupaten (Lombok Timur,Lombok Tengah dan Lombok Barat). Menurut identifikasi terbaru, pemanfaatan lahan hutan dalam kompleks ekosistem Gunung Rinjani sebagai sumber ekonomi oleh masyarakat telah berlangsung di 25 desa atau 42 dusun dan 12 kecamatan dengan jumlah penduduk yang terlibat sebanyak 190.786 jiwa (7% dari jumlah total penduduk Pulau Lombok). Dengan demikian, masa depan ekosistem gunung ini memiliki ancaman pelestarian sumberdaya alam yang cukup serius. Inisiatif bagi pemecahan problem ekonomi masyarakat sekitar hutan sesungguhnya telah cukup lama dimulai yakni melalui sistem buffer zone, banjar harian, HCP dll. Dalam perkembangnya, beberapa program ini sekalipun telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi pengembangan ekonomi masyarakat, akan tetapi nampaknya masih dihadapkan pada beberapa persoalan, diantaranya : Pertama, pengembangan yang dilakukan masih kurang berbasis ekonomi kerakyatan. Pemecahan persoalan ekonomi lebih diletakkan dalam kaitan keberadaan lahan hutan semata, sehingga dalam proses implementasi sering diikuti dengan timbulnya konflik baru dan terlibatnya warga luar desa. Begitu pula ketergantungan secara ekonomi pada sumberdaya alam (hutan) masih relatif sulit dikurangi. Kedua, bentuk dukungan pemerintah yang lain yang dapat diintegrasikan dengan kegiatan tersebut dalam rangka mendorong pengembangan sektor hulu masih sangat terbatas sehingga masyarakat sesungguhnya lebih berusaha mempertahankan hidupnya berdasarkan upayanya sendiri. 1

Transcript of Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

Page 1: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

BAB IKONTEKS

1.1. Pulau Lombok.

Pulau Lombok memiliki luas 473.574,976 ha dan 30% diantaranya yakni 142.935,93 ha merupakan wilayah yang berstatus lahan hutan. Jumlah penduduk pada saat ini telah mencapai sekitar 3 juta jiwa. Dan salah satu asset alam yang menjadi penyokong kehidupan di pulau ini adalah keberadaan Taman Nasional Gunung Rinjani. Gunung ini dikitari oleh 82 desa dari 3 kabupaten (Lombok Timur,Lombok Tengah dan Lombok Barat).

Menurut identifikasi terbaru, pemanfaatan lahan hutan dalam kompleks ekosistem Gunung Rinjani sebagai sumber ekonomi oleh masyarakat telah berlangsung di 25 desa atau 42 dusun dan 12 kecamatan dengan jumlah penduduk yang terlibat sebanyak 190.786 jiwa (7% dari jumlah total penduduk Pulau Lombok). Dengan demikian, masa depan ekosistem gunung ini memiliki ancaman pelestarian sumberdaya alam yang cukup serius.

Inisiatif bagi pemecahan problem ekonomi masyarakat sekitar hutan sesungguhnya telah cukup lama dimulai yakni melalui sistem buffer zone, banjar harian, HCP dll. Dalam perkembangnya, beberapa program ini sekalipun telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi pengembangan ekonomi masyarakat, akan tetapi nampaknya masih dihadapkan pada beberapa persoalan, diantaranya : Pertama, pengembangan yang dilakukan masih kurang berbasis ekonomi kerakyatan. Pemecahan persoalan ekonomi lebih diletakkan dalam kaitan keberadaan lahan hutan semata, sehingga dalam proses implementasi sering diikuti dengan timbulnya konflik baru dan terlibatnya warga luar desa. Begitu pula ketergantungan secara ekonomi pada sumberdaya alam (hutan) masih relatif sulit dikurangi. Kedua, bentuk dukungan pemerintah yang lain yang dapat diintegrasikan dengan kegiatan tersebut dalam rangka mendorong pengembangan sektor hulu masih sangat terbatas sehingga masyarakat sesungguhnya lebih berusaha mempertahankan hidupnya berdasarkan upayanya sendiri. Sementara itu, tanggungjawab pelestarian sumberdaya alam (hutan/air) cenderung dilimpahkan kepada mereka. Ketiga, kebijakan pengembangan disektor hulu kurang dikaitkan dalam hubungannya dengan sektor hilir yang menerima manfaat seperti PDAM, pemerintah atau masyarakat petani pemakai air. Akibatnya, tanggungjawab pelestarian sumberdaya alam (hutan dan air) lebih bertumpu pada masyarakat hulu tanpa partisipasi masyarakat dibagian hilir.

Pulau Lombok sebagai “ekosistem pulau kecil” saat ini mulai terasa sangat resisten dikaitkan dengan konteks perubahan iklim global. Beberapa jenis tanaman seperti duku lokal mulai kehilangan produktivitas karena tidak tahan dengan meningkatnya hawa panas atau memanjangnya musim kemarau. Sementara itu, perubahan dalam iklim global direspon oleh petani dengan melalukan beberapa perubahan dalam tatacara pengelolaan kebun. Perubahan tersebut antara lain dalam bidang agroforestry dari tipe agroforestry (kebun kopi campur dadap) menjadi kebun rambutan yang monokultur. Perubahan ini pada gilirannya berdampak pada punahnya burung endemik kwak-kaoq..

Selain munculnya tantangan baru akibat dari perubahan iklim, perubahan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga mewarnai image tentang

1

Page 2: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa issu yang mengindikasikan corak hubungan sosial dengan lingkungan, secara umum terasa semakin kompleks. Hal ini antara lain ditandai oleh ; adannya degradasi hutan dan lingkungan yang cenderung mengancam sistem produksi pertanian dimana 70% penduduk bergantung pada sektor ini. Dan degradasi ini disinyalir sebagian disebabkan oleh keterbelakangan masyarakat sekitar hutan dalam hal ekonomi. Terdapat sekitar 70% dari keseluruhan daerah IDT teridentifikasi berada pada desa-desa/komunitas sekitar hutan. Pemanfaatan sumberdaya yang bersifat komunal seperti hutan mulai diwarnai oleh spirit kompetisi yang mengarah pada konflik. Terakhir konflik mulai mempengaruhi pengelolaan sumberdaya air. Hubungan-hubungan sosial-kelembagaan terlihat semakin rumit dimana kerukunan antar klas sosial sulit ditemukan terlebih setelah diikuti oleh krisis leadership.

Dalam perspektif kepulauan, pengelolaan kegiatan yang mengarah pada konservasi sumberdaya alam di Pulau Lombok, nampaknya masih dihadapkan pada persoalan : Adanya dimensi ketidak-adilan dalam alokasi sumberdaya pembangunan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam (hutan/air). Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah terkonsentrasinya sumberdaya pembangunan pada masyarakat hilir. Air dieproleh secara gratis disamping ada dukungan bantuan perkreditan, saprodi dan perbaikan saluran irigasi. Perhatian kearah komunitas hulu baru dimulai ketika air memasuki fase krisis. Aroma ketidak-adilan juga bersumber dari tak ada sharing tanggungjawab dari para user. Dengan demikian dalam pengelolaan, ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan tapi tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab. Wilayh hulu sebagai wilayah tangkapan air, sejauh proses pembangunan yang telah berlangsung selama ini terkesan dipaksa untuk melayani wilayah hilir. Sementara komunitas hilir sperti petani sawah relatif mendapatkan keberpihakan dari pembangunan melalui pembangunan sarana irigasi dan kredit usaha tani.

1.2. Sumberdaya air

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, air merupakan indikator utama dalam pengelolaan lingkungan karena keberadaan air mencerminkan bekerjanya “mesin” alam secara normal (ada hujan, air tersimpan dalam tanah dan keluar menjadi air lagi). Oleh karena itu manajemen sumberdaya air tak dapat mengabaikan kaidah ekologis.

Salah satunya daerah yang cukup kritis dalam masalah air adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Menurut Statistik Neraca Sumberdaya Air, Kantor PDAM Menang Mataram, tercatat dari 14 DPS yang ada, 5 (lima) DPS masih tergolong surplus air, 6 (enam) DPS dalam keadaan kritis dan 4 (empat) DPS sudah terjadi defisit.

Krisis ketersediaan air dewasa ini akibat terjadinya ketimpangan antara jumlah air yang tersedia dengan kebutuhan air yang makin meningkat. Di satu sisi, keberadaan air di bumi relatif tetap. Jumlahnya sekitar 1,38 miliar km3 yang terdapat atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. 2,5 % merupakan air tawar, sedangkan yang dapat digunakan manusia sangat terbatas yakni sekitar 0,01% dari total ketersediannya. Sementara di sisi lain, seiring dengan pertumbuhan penduduk – secara kuantitas maupun kualitas- air yang dibutuhkan manusia makin besar.

Semula orang menilai bahwa air yang dimanfaatkan sehari-hari merupakan barang bebas (free goods) dalam persediaan yang tidak terbatas. Di mana asumsinya air adalah

2

Page 3: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

pemberian Tuhan secara “gratis” – melalui hujan, sungai dan sumber lainnya – kepada mahkluknya, sehingga manusia boleh menggunakan air tersebut sesuka hati. Oleh karenanya, tak heran jika ada sebagian masyarakat yang menganggap air adalah barang yang murah bahkan tak bernilai.

Namun, dengan kondisi makin kecilnya air yang tersedia dan makin meningkatnya kebutuhan akan air, membuat air memiliki nilai ekonomi yang tinggi di mata masyarakat, alias mahal. Konsekuensinya, manusia tidak lagi mudah untuk mendapatkan air, melainkan biaya-biaya yang harus dibayar. Pergeseran nilai air dari semula bersifat barang sosial (social good) menjadi barang ekonomi (economic good) telah menimbulkan persaingan diantara masyarakat pengguna untuk memperoleh air. Sekalipun hanya untuk setetes. Terlebih lagi dengan jenis dan sifat kebutuhan air yang semakin beragam.

Bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas, mungkin untuk membayar biaya ekonomi (uang) yang harus dikeluarkan – guna mendapatkan air – tidak menjadi soal. Namun, bagi masyarakat yang berasal dari lapisan bawah dan daerah kritis, maka membayar sejumlah uang untuk mendapatkan air cukup menyulitkan. Bayangkan, beberapa daerah pedesaan bagian hulu di NTB masyarakat kelompok bawah harus membayar Rp.. 10.000,- - Rp. 20.000,- untuk per km3. Artinya, masyarakat ekonomi lemah harus membayar harga lebih tinggi daripada kelas masyarakat perkotaan – yang lebih tinggi di atasnya, yang hanya membayar Rp. 450,- - Rp. 750,- pada PDAM.

Lebih-lebih dalam musim kemarau seperti saat ini, air menjadi suatu barang yang langka. Dalam kelangkaan air seperti itu, bukan tidak mustahil di daerah-daerah yang rawan kekeringan akan terjadi konflik perebutan sumber air di masyarakat. Jika ini yang terjadi, maka untuk mendapatkan air sudah tidak sekedar harus mengeluarkan biaya ekonomi, melainkan sudah merambah kepada biaya-biaya sosial (social cost), yang seharusnya tidak perlu. Bila demikian, air sudah bukan lagi sebagai barang “anugerah” dari Tuhan, melainkan harus ada sesuatu yang diusahakan, bahkan harus diperjuangkan yang tidak jarang melalui konflik.

Perihal konflik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air di Nusa Tenggara Barat Tahun 2002 berdasarkan penelitian (LP3ES, Bappeda dan AusAID) mencatat ada 157 kasus konflik dalam pemakaian air baik yang melibatkan sesama petani pemakai air maupun dengan pihak swasta dan pemerintah. Bahkan dalam beberapa kasus, konflik antar warga masyarakat dalam pemanfaatan air telah menggunakan pola-pola kekerasan fisik.Ada 2 persoalan dasar yang selalu terkait dengan air yakni Pertama, ketersediaan kuantitas air yang layak guna. Kedua, masalah distribusi, yakni menyangkut pihak-pihak atau kelompok yang seharusnya mendapatkan air layak guna tersebut dapat dilakukan secara adil.

Spirit pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya air yang lebih berkeadilan sebagaimana terdapat dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945, menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Khusus masalah air, kemudian dipertegas melalui UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, yang kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. Semua itu dibuat guna mengantisipasi terjadinya praktik-praktik yang tidak adil dan konflik di masyarakat ketika air menjadi sesuatu yang sangat berharga dan diperebutkan.

Namun dalam implementasi pengaturannya, negara tidak melakukannya melalui manajemen satu atap atau one door policy. Sebagaimana diketahui, air untuk keperluan

3

Page 4: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

domestik perumahan berada di bawah otoritas PDAM. Kemudian untuk keperluan persawahan, pengelolaan air berada dibawah otoritas Departemen Kimpraswil. Sedangkan untuk penggunaan air tanah yang biasanya untuk kegiatan-kegiatan industri berada dalam otoritas Departemen Pertambangan. Tidak adanya menejemen satu atap atau one door policy ini seringkali terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

BAB IITRADISI PES DI LOMBOK

4

Page 5: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

Tradisi yang tersisa

Potensi sosio-kultural yang tersisa akan tetapi masih relevan sebagai paradigma dan spirit dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk konteks komunitas Lombok antara lain terdiri 2 jenis yaitu ; pengelolaan hutan dan air oleh masyarakat adat Lombok Utara melalui lembaga adat dan Besiru sebagai salah satu bentuk pengorganisasian masyarakat miskin-agraris. Keduanya masih fungsional hingga saat ini sekalipun dalam implementasinya telah mendapatkan penyesuaian berdasarkan kondisi terbaru yang dihadapi oleh kalangan petani pedesaan.

Dalam konteks masyarakat Lombok, menempatkan terbangunnya tanggungjawab pengguna dalam pembangunan sumberdaya alam banyak diwarnai oleh tradisi yang telah memiliki akar sosio-kultural. Sebagai contoh, pola pengelolaan sumberdaya hutan dan air oleh masyarakat di Desa Bayan Lombok Utara melalui Lembaga adat (community foundation), diproses melalui Pemangku dan Perumbaq yang bertugas memformulasi hukum adat baik untuk tujuan pemanfaatan maupun perlindungan hutan dan air. Dimana hutan dan air bagi masyarakat Desa Bayan dipandang sebagai milik publik (common property). Setiap warga desa tidak diperbolehkan memasuki hutan dan menebang kayu atau mengambil hasil hutan lainnya untuk kepentingan pribadi. Sebab hutan harus dijaga untuk melindungi sumberdaya air yang digunakan bagi memenuhi kebutuhan air minum dan irigasi bagi masyarakat sendiri.

Kelembagaan masyarakat yang disebut dengan Lembaga Adat Bayan merupakan salah satu situs lembaga tradisional yang terdapat di Pulau Lombok. Lembaga sejenis sesungguhnya relatif banyak termasuk lembaga banjar. Perbedaan yang spesifik antara Lembaga Adat Bayan dengan tipologi lembaga yang lain adalah adanya aturan-aturan tertentu dalam lembaga yang mengatur pola hubungan masyarakat dengan sumberdaya hutan atau air yang ada. Dilihat dari segi isi dari aturan tersebut, nampaknya lebih mendasarkan pada kepentingan kolektif, antara lain terbukti dari adanya larangan eksploitasi hutan (hutan adat) untuk kebutuhan pribadi.Struktur kepengurusan yang mengelola lembaga cukup sederhana yakni hanya terdiri seorang ketua yang disebut dengan Raden Pemangku. Pejabat ini membawahi beberapa orang penanggungjawab wilayah (Lokaq), pejabat penjaga hutan (perumbaq) dan pejabat fungsional seperti Kiyai, Lebai, Perbekel dan Ketip1. Para lokaq berjumlah 13 orang sedangkan pejabat penjaga hutan hanya berjumlah 2 orang yakni penjaga Gedeng Daya (“rumah utara”) dan Gedeng Lauq (“rumah-selatan”). Gabungan seluruh petugas ini bersama ketua adat merumuskan dan memutuskan segenap permasalahan adat dan masyarakat melalui pertemuan yang disebut dengan sangkep. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh lembaga kebanyakan tidak merupakan pertemuan tetap atau rutin akan tetapi umumnya didasarkan atas adanya kebutuhan atas pemecahan suatu masalah atau kebutuhan acara ritual adat. Kendatipun demikian, pertemuan atau sangkep merupakan sarana untuk mewujudkan fungsi legislatif, eksekutif maupun fungsi yudikatif lembaga adat. Pengaturan keanggotaan dalam Lembaga Adat Bayan tidak seperti dalam lembaga yang modern. Dengan demikian keanggotaan berlaku otomatis terhadap seluruh warga. Faktor yang menjadi pengikat adalah aturan adat yang diberlakukan secara ketat

1 Kiyai : pejabat yang bertugas memimpin doa pada setiap acara anggota komunitas adat, Lebai : petugas juru arah, yang memberitahukan adanya rencana sangkep, Perbekel : sekretaris lembaga dan Ketip: merupakan petugas dibidang komunikasi (juru dakwah/penerang)

5

Page 6: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

dengan sanksi berupa sanksi sosial dari masyarakat. Biasanya pengenaan sanksi diputuskan melalui mekanisme persidangan/sangkep.

Fhoto lokasi hutan Adat Bayan (Lombok Utara) yang dikelilingi oleh persawahan

Dalam hal “pembayaran” (water-payment) oleh petani untuk kebutuhan perlindungan sumberdaya hutan yang menjadi sumber air petani, dapat digolongkan menjadi 2 komponen, yakni :

1. Pengeluaran pertama disebut dengan Tawa’an Pengeluaran jenis ini dilakukan sesaat setelah panen dalam bentuk 1 ikat padi dari jenis padi lokal (padi bulu yang berisi sekitar 5 kg beras). Pengeluaran ini merupakan pertanda bahwa hasil panen sudah dapat dikonsumsi atau diberikan kepada kerabat dan sanak-famili. Pengeluaran ini langsung diserahkan pada penjaga hutan adat yang disebut dengan perumbaq2 disertai dengan sirih dan buah pinang. Sirih dan buah pinang menandakan bahwa prosesi tersebut berdimensi adat. Ada 2 lokasi mata air yang menerima pengeluaran jenis ini yakni mata air Pawang Bangket Bayan dan mata air Mendala. Total padi yang diperoleh untuk 1 mata air sangat tergantung pada luasan areal yang dapat diairi. Saat ini per mata air per musim diperoleh sekitar 300 ikat. Pemanfaatan pengeluaran ini ditujukan untuk biaya hidup perumbaq yang bertugas menjaga ekosistem setempat (air, hutan, maupun jenis satwa seperti hama).

2. Pengeluaran kedua yang disebut dengan Pelemer Dikeluarkan untuk satu acara yang disebut dengan ngaturang ulaq kayak3. Artinya pengeluaran kali ini yakni sebanyak 1 ikat padi bulu dan 1 ikat padi ketan, akan dipergunakan untuk acara ritual adat menjelang musim tanam berikutnya. Karena pengeluaran ini untuk ritual adat maka pembayaran ini sering diartikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa yang mengatur alam dan memberi berkat pada pertumbuhan padi yang sehat dari akar hingga berbuah serta dapat dimakan manusia. Hasil padi yang terkumpul diolah (ditumbuk dan dimasak ) secara

2 Perumbaq adalah petugas yang diangkat dan disumpah oleh lembaga adat untuk menjaga hutan adat. Perumbaq memiliki makna “orang yang menggendong” seperti dalam menggendong anak (si anak menempel dipinggang dan diikat dengan kain).3 Kata ini berarti memberikan sesuatu sebagai ungkapan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada saat yang datang bisa memberikan hal yang minimal sama dengan yang diterima saat ini.

6

Page 7: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

bersama untuk disajikan pada satu proses acara ritual dilokasi mata air. Pada momentum selamatan tersebut biasanya dijadikan sebagai sarana untuk saling membina kepatuhan diantara para pengguna air.

Kedua jenis pengeluaran diatas terkait dengan pola tanam padi, yang berarti berhubungan pula dengan pola pengelolaan sumberdaya air. Dari segi besaran pengeluaran, tidak tergantung pada luasan dan model kepemilikan lahan sawah (sebagai penggarap, penyewa atau pemilik). Dengan demikian setiap petani yang mengambil manfaat atas air yang bersumber dari Pawang Bangkat Bayan dan Mendala berkewajiban mengeluarkan tawa’an dan pelemer. Musim pertama, antara bulan Desember – Juni, curah hujan di lingkungan setempat sangat tinggi dan volume air pada mata air Bangkat Bayan meningkat dengan siginifikan. Oleh karena itu, tanaman padi yang biasanya ditanam adalah jenis padi lokal yang berupa padi bulu. Jenis padi inilah yang dikelola secara ritual pada setiap tahapan proses produksi mulai dari persemaian hingga panennya dan jenis ini pula yang terkena aturan tawa’an dan pelemer. Dengan demikian, Water-payment hanya diberlakukan pada musim tanam tertentu dan pada mata air tertentu pula (yakni Mata air Bangkat Bayan dan Mendala). Musim kedua, kondisi curah hujan dan iklim ditingkat lokal relatif tak selembab musim pertama. Oleh karena itu, jenis padi yang ditanam biasanya dari jenis padi Ir. 64 (jenis padi yang berumur 4 bulan hasil introduksi benih baru oleh pemerintah). Perlakuan pada pembudidayaan padi jenis ini lebih mempergunakan kebiasaan “baru” yang tak berlandaskan nilai-nilai adat lokal. Ketika panen, ketentuan tentang tawa’an dan pelemer tak berlaku lagi. Begitu pula dengan musim ketiga, tingkat kebebasan menggunakan sumberdaya air semakin longgar. Artinya pada musim ketiga ini, petani dapat menanam jenis tanaman apa saja (padi atau palawija).

Besiru sebagai varian lain

“Besiru” sebenarnya berasal dari “saling-siru” yang berarti saling tolong menolong. Dan boleh jadi bahwa pada artian semangat, besiru merupakan perwujudan dari gotong-royong yang kita kenal sangat fungsional dalam masyarakat pedesaan. Betapapun gotong-royong masih dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat di pedesaan, akan tetapi gotong-royong dalam pengertian “ngayah” sudah kurang populer lagi. Bentuk terakhir ini, memang identik dengan gotong-royong akan tetapi lebih memiliki muatan pengabdian, bukan sekedar kerja. Dengan perkataan lain, gotong-royong ansich pada saat ini nampaknya telah mengalami pendangkalan makna dari nilai “pengabdian” kepada “kerja bersama pada sarana-sarana umum. Besiru sebagai replikasi dari kegiatan gotong royong, banyak ditemukan di daerah-daerah pertanian seperti desa-desa pinggiran Hutan Sesaot, di Lombok Tengah bahkan hingga ke Sumbawa Besar, yang ciri-ciri kegiatan pertaniannya lebih mirip berladang dari pada kegiatan dalam rangka pertanian yang intensif. Agak berbeda dengan besiru di Wilayah Lombok, di sebagian desa di Pulau Sumbawa, besiru memiliki cakupan kegiatan yang lebih luas hingga menangani kerpeluan pesta perkawinan. Di Pulau Lombok, hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan di tangani melalui lembaga banjar, sedangkan keberadaan kelompok besiru hanya dipergunakan sebagai tempat meminta bantuan untuk mengumpulkan kebutuhan kayu bakar. Munculnya keragaman dalam “wilayah” cakupan dari kegiatan besiru bisa dipahami, karena kedua komunitas (Lombok dan Sumbawa)

7

Page 8: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

memmiliki latar belakang sosial, budaya dan pengaruh dengan komponen budaya lain. Di Pulau Lombok, pengaruh sistem banjar terasa lebih kental sehingga dalam konteks besiru seakan berlangsung pembagian “tugas”.

Bentuk dan jenis kegiatan besiru yang dipraktikkan oleh masyarakat lebih erat kaitannya kegiatan pertanian ketimbang kepentingan sosial budaya diluar pertanian. Oleh karena itu, kegiatan besiru biasanya terkait langsung dengan musim-musim dalam kegiatan pertanian seperti penyiapan dan pembersihan lahan (hutan atau kebun) dan penanaman tanaman semusim disela tanaman utama. Musim kegiatan seperti ini dilakukan tanpa meniadakan kemungkinan untuk melakukan kegiatan lain seperti memperbaiki atap rumah, membangun kandang ternak ataupun mengambil kayu bakar untuk keperluan acara sosial. Model pengelolaan kegiatan bersama yang fungsional pada musim tertentu ini mengindikasikan bahwa akumulasi kebutuhan penyelesaian pekerjaan pada musim yang bersangkutan memang sangat tinggi. Dari sisi ini, besiru kemudian terlihat sebagai strategi pengerahan tenaga kerja dalam bentuk arisan kerja sekaligus gotong royong. Kegiatan besiru menganut prinsip “arisan” karena terbukti bahwa petani secara bergiliran menerima haknya untuk dibantu oleh anggota yang lain, sesuai arahan dan kebutuhan si penerima giliran. Dengan ciri khasnya yang menampilkan “sosok” arisan maka besiru secara substansial merupakan cara anggota masyarakat pedesaan mengasuransikan resiko secara sosial baik dalam hubungannya dengan kepentingan ekonomi pertanian maupun kepentingan sosial-keagamaan. Sehingga bantuan yang telah diberikan pada orang lain dapat dipandang sebagai “tabungan” yang dapat diambil pada saat-saat ia membutuhkannya.

Kandungan yang berkaitan dengan besiru sebenarnya tidak saja terbatas dalam artian strategi (strategi pengerahan tenaga kerja ataupun strategi perlindungan secara sosial) akan tetapi memiliki aspek komunikasi. Sebagai sarana komunikasi, besiru berarti prilaku kolektif masyarakat petani dalam bentuk kelompok-kelompok kecil atau komunitas non permanen dalam memanage sumberdaya pertanian melalui pengelolaan pengalaman dan inisiatif serta informasi baru. Oleh karena itu, bentuk dan jenis inovasi baru yang berkaitan dengan kebutuhan komunitas petani terlihat agak samar-samar. Inovasi baru dipastikan tidak akan berbeda terlalu kontas dengan kebiasaan yang telah ada dan berlangsung berulang-ulang. Prilaku perubahan yang ditempuh komunitas petani sebagaimana dikemukakan dalam ciri-ciri prilaku petani pada umumnya, biasanya akan menghindari perubahan yang agak bertentangan dengan konsensus sosial yang telah terbentuk.

Sebagaimana layaknya pertemuan yang umum dilakukan masyarakat pedesaan, aspek makna pertemuan besiru, ditunjukkan dengan adanya sharing atas sejumlah informasi baru antar anggota yang berkaitan dengan kejadian aktual dalam komunitas mereka. Informasi itupun sesungguhnya tidak ada batasan yang spesifik, mengenai apa dimana, oleh siapa saja, mereka dapat membicarakannya sesaat sambil bekerja atau pada saat istirahat. Makna yang agak spesifik dan strategis dalam aspek pertemuan adalah adanya proses “pewarisan” berbagai pengetahuan dan ketrampilan dibidang pertanian. Kalangan yang lebih tua atau paling tidak si pemilik kebun akan memberitahukan hal-hal yang bersifat teknis seperti cara perlindungan tanah, penganeka-ragaman tanaman (kombinasi jenis), serta prinsip-prinsip dalam pengelolaan tanaman yang baik. Dengan perkataan lain, besiru merupakan proses yang menjadikan kebun atau pekerjaan sebagai

8

Page 9: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

media atau wacana pengembangan wawasan internal komunitas petani. Dalam hal ini, beberapa bentuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan inovasi dibidang pertanian, nampaknya justeru lebih banyak berlangsung dilahan dibandingkan ditempat lain. Terbukti bahwa kebanyakan petani selalu tertarik untuk mencoba sesuatu yang “baru” baik dalam kaitan jenis teknologi maupun jenis tanaman.

Besiru sebagai organisasi organik

Besiru sebagai kumpulan orang, sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah organisasi yang mengenal adanya pembagian tugas, pengorganisasian sumberdaya yang dapat digunakan serta tujuan-tujuan yang akan dicapai. Betapapun demikian, dalam praktik besiru, tidak ditemukan adanya bentuk struktur yang pasti yang dapat memperjelas pembagian peran antar anggota didalamnya. Hal yang menarik sesungguhnya bukan terletak pada ketidak jelasan struktur, akan tetapi lebih pada fungsi. Kenyataan ini dapat dinilai sebagai cara yang praktis dalam membangun organisasi petani yang tidak terlalu menekankan bentuk, asalkan berjalan dari segi fungsi. Adanya fungsi organisasi yang mengutamakan pelayanan pada anggota secara luwes baik dalam hubungannya dengan jenis pekerjaan, waktu maupun sistem keanggotaan, mengisyaratkan bahwa besiru lebih cocok disebut gerakan dari pada “organisasi” dalam pengertian yang umum. Jumlah anggota yang sedikit (maksimal 8 orang), tidak mengenal koordinator tetapi ada yang dituakan merupakan ciri khas organisasi yang organik. Demikian pula, pada saat ada kebutuhan kerja keberadaan anggota yang berhalangan bisa digantikan oleh anggota keluarga yang lain, merupakan keluwesan yang diciptakan untuk bisa memberi dan menerima secara berkelanjutan pada kondisi yang berubah-ubah.

BAB IIIPROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

PDAM MENANG MATARAM

I. Gambaran Umum PDAM Mataram

9

Page 10: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

Pada tahun 1973 sistem penyediaan air bersih Kota Mataram mulai dibangun secara bertahap oleh Dirjen Penyehatan dengan biaya dari APBN dan Buyers Credit dari Australia. Sistem ini mulai beroperasi tahun 1976 dan bersamaan dengan dibentuknya Badan Pengelola Air Minum (BPAM) kota Mataram berdasarkan SK.Dirjen Cipta Karya no.3/9/KPTS/CK/1976 tanggal 20 Desember 1976. Mengingat tuntutan air bersih di Kabupaten Lombok Barat makin meningkat, maka berdasarkan SK Dirjen Cipta Karya no. 037.KPTS/CK/, tanggal 1 April 1981 BPAM Kota Mataram berubah menjadi BPAM Kabupaten Lombok Barat. Pada tahun 1996 sarana penyediaan air bersih yang di kelola BPAM Lombok Barat diserah terimakan oleh Menteri PU kepada Gubernur KDH Tk.I NTB dengan surat keputusan no: 166/KPTS/1986, tanggal 26 April dan diteruskan kepada Bupati KDH Tk.II Lombok Barat untuk dikelola sebagai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Peraturan daerah yang mengatur tentang pembentukan PDAM telah dibuat sebelumnya pada tahun 1980 dengan Perda nomor 6 tahun 1980 dan diperbaiki kembali dengan Perda nomor l tahun 1988. Setelah Kotif Mataram ditingkatkan setatusnya menjadi Kotamadya Dati II Mataram dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1993 maka keberadaan PDAM menjadi milik bersama antara Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram sesuai instruksi Gubernur KDH Tk.I NTB nomor 8 tahun 1997. Komposisi kepemilikan PDAM adalah untuk Kabupaten Lombok Barat sebesar 65 % dan Kota Mataram 35 % dan sejak itu nama PDAM Kabupaten Lombok Barat diubah menjadi PDAM “Menang” Mataram.

Jumlah pelanggan yang dilayani PDAM Menang Mataram sampai dengan Bulan Agustus 2003 tercatat sebesar 40.410 unit yang terdiri dari pelanggan rumah tangga sebesar 36.636 unit dan sisanya untuk jenis pelanggan yang lain. Pelanggan tersebut tersebar diseluruh Wilayah Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat.

II. Kondisi dan karateristik Sumber Air baku

Air baku yang digunakan PDAM Menang Mataram untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat diambil dari 8 mata air yang lokasinya menyebar di seluruh Wilayah Kabupaten Lombok Barat. Lokasi mataair tersebut terkait langsung dengan daerah kawasan hutan di sekitar Gunung Rinjani. Kapasitas sumber air baku dari seluruh sumber air baku yang ada saat ini sekitar 2.000 ltr per detik. Kondisi ini jauh menurun jika dibandingkan dengan kondisi debit 5 tahun sebelumnya, hal ini terjadi akibat dari kondisi hutan sebagai daerah tangkapan mata air banyak yang berubah fungsi, mengakibatkan terjadinya penurunan debit mata air hampir di seluruh wilayah Pulau Lombok. Dari kapasitas mata air yang tersedia yang dimanfaatkan PDAM adalah sebesar 675 l/dt, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk sektor lain seperti keperluan irigasi dan sektor yang lain.

Sistim distribusi baik dari sumber ke penampungan (Reservoir) maupun ke jaringan distribusi ke seluruh pelanggan adalah mengunakan sistim Grafitasi, sedangkan sistim pengolahannya adalah dengan proses Disinfeksi atau proses Chlorinasi karena kualitas mataair sudah memenuhi syarat kesehatan, tinggal mempertahankan kualitas tersebut selama dalam proses distribusi.

III. Program Konservasi Sumber Air Baku

10

Page 11: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

Peningkatan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat pasti akan diikuti oleh berkembangannya tempat-tempat pemukiman, tempat-tempat usaha sektor industri, perdagangan, peningkatan penggunaan pupuk, pestisida dan lain-lain yang kesemuanya menyebabkan peningakatan kebutuhan air semenatara disisi lain juga berpotensi untuk menghasilkan limbah, baik limbah cair maupun limbah padat yang pada akhirnya dapat mencemari kualitas air permukaan dan air bawah tanah. Kondisi tersebut telah menempatkan air sebagai sumber daya alam yang memiliki peranan yang sangat penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dari benda bebas menjadi benda ekonomi yang dapat diperdagangkan seperti sumber daya alam yang lain. Mengingat pentingnya peranan air tersebut maka dalam pemanfaatanya agar tetap tersedia dalam jumlah yang cukup dan mutu terjamin perlu didasarkan atas keseimbangan dan kelestariannya dengan melakukan perlindungan secara intensif.

Upaya pelestarian dan perlindungan sumber air baku ditujukan pada dua aspek yaitu; (1) aspek kuantitas dimaksudkan untuk menjamin tersedianya air yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan manusia dalam jumlah yang cukup, (2) Aspek kualitas, yang ditujukan kepada tersedianya air yang aman bagi kesehatan dalam arti memenuhi persyaratan secara fisik tidak berbau dan berwarna, secara kimia tidak mengandung bahan toxic dan zat kimia yang mebebihi ambang batas, dari segi bakteriologi bebas dari kuman patogen.

Karena hampir seluruh sumber yang digunakan oleh PDAM “Menang Mataram” adalah mata air maka keberlanjutan sumber tersebut akan menentukan bagaimana keberlanjutan PDAM dimasa yang akan datang. Menyadari akan hal tersebut dan untuk mengantisipasi agar ketersediaan air tidak berkurang dan tidak tercemar maka Pemerintah Daerah melalui institusi teknis yaitu PDAM telah melakukan penelitian Geohidrologi untuk menentukan batasan-batasan proteksi sumber air baku. Batasan tersebut lebih dikenal dengan sistem zonansi dimana daerah sekitar mata air dibagi menjadi zona I, II, III yang selanjutnya akan digunakan sebagai pedoman perlindungan sumber air baku tersebut. Penentuan batasan tersebut didasarkan atas pertimbangan faktor kesehatan dan biologi, yang mencakup antara lain :

Pembagian zona dan pemanfaatan lahan (land use)

a. Zona I Mewakili area disekitar lokasi mata air/ sumur produksi yang ditujukan untuk melindungi air dari semua zat pencemar yang secara langsung menyebabkan degredasi kualitas air dengan radius 10 hingga 15 meter

Terdapat pemukiman, lahan pertanian, persawahan dan perladangan, kolam ikan, jalan raya, broncaptering

b. Zona II Merupakan zona proteksi yang ditujukan untuk melindungi mata air / sumur produksi dari bahaya pencemaran bakteriologi. Umumnya bakteri coli tidak dapat hidup lebih dari 50 hari di dalam akuifer . oleh karena itu priode 50 hari menentukan luas atau radius zona proteksi II

Pemukiman, lahan pertanian : persawahan dan perladangan, kolam ikan, sungai dan saluran irigasi, jalan, kandang hewan, sekolah

c. Zona III Merupakan daerah perlindungan yang bertujuan untuk melindungi sumber air baku dari pencemaran radio aktif yang tidak bisa mengalami degredasi dalam waktu yang singkat, dengan luasan daerah yang ditentukan berdasarkan luas penyebaran “Catchment Area” dari lokasi sumber mata air/ sumur produksi tersebut berada.

Pemukiman, lahan pertanian : persawahan dan perladangan, pertenakan, hotel, lapangan olah raga, bengkel mobil dan motor.

11

Page 12: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

Setelah didapatkan batasan masing-masing zona seperti tersebut di atas kemudian dilakukan identifikasi tata guna lahan dan sumber kontaminasi yang dipakai sebagai pedoman dalam menentapkan tindakan yang dilarang untuk dilakukan pada masing-masing zona. Selanjutnya seluruh kegiatan yang dilarang pada masing-masing zona dijadikan sebagai acuan larangan yang diatur dalam PERDA No. 2 Tahun 2001 tentang Perlindungan Sunber Air Baku (PSAB) pada seluruh mata air yang digunakan oleh PDAM “Menang Mataram”.

Berdasarkan karakteristik beberapa mata air yang dijadikan sebagai sumber air baku PDAM Mataram teridentifikasi bahwa resiko kontaminasi dapat ditimbulkan oleh penggunaan lahan berupa :

Sumber dan resiko kontaminasi pada zone I

Sumber kontaminasi Resiko kontaminasiPemukiman Semua aktifitas yang dapat mempengaruhi kualitas air tanahPertanian: lahan sawah dan ladang Pupuk kandang, pupuk buatan, pestisida dan zat lainnya.Kolam ikan Air permukaan dan kotoran ikanJalan raya Air permukaan, bocoran pelumas kendaraanBuangan air permukaan dari mata air Air permukaan

Sumber dan resiko kontaminasi pada zone II

Sumber kontaminasi Resiko kontaminasiPemukiman: Sumur gali, lubang sampah, pembuangan sampah individu pada sungai, empang, septic tank yang tidak layak

Resiko kontaminasi kotoran manusia, deterjen, dan zat lain

Pertanian: lahan sawah dan ladang Kotoran, nitrat, pestisida, dan zat lainnya.Sungai dan saluran irigasi Pencemaran air permukaan, kotoran manusia / hewan dan zat

lainnyaJalan raya Air permukaanKolam ikan Kotoran ikan dan air permukaanKandang hewan Kotoran hewan dan zat-zat berbahayaSekolah Kotoran manusia dan sampah

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh PDAM dalam rangka Perlindungan Sumber Air Baku antara lain mencakup :a. Membantu Pemerintah Daerah Dalam penyusunan Surat

Keputusan Bupati tentang Tim Teknis dan batasan zonasi sebagai pedoman pelaksana dari PERDA PSAB.

b. Melakukan relokasi pada masyarakat di zona II khususnya di lokasi mata air Sarasute yang nantinya akan dikembangkan Agro Forestry.

c. Melakukan Penelitian Geohidrologi untuk Mataair yang belum memiliki data base yang digunakan PDAM Menang Mataram sebagai pedoman Proteksi

d. Memberikan Subsidi Kepada Desa-Desa yang termasuk Chatment Area Mata air yang digunakan PDAM sejak Tahun 2000 .

e. Memberikan Subsidi Kepada masyarakat yang tanahnya dilalui jalur pipa PDAM dalam bentuk dibayarkan PBB nya.

12

Page 13: Jasa Lingkungan Utk Konservasi Dan Kemiskinan

f. Membantu beberapa Desa dalam bentuk kegiatan sosial keagamaan

g. Membantu beberapa Desa dalam rangka penghijauan.h. Melakukan kerjasama dengan Dinas kehutanan khususnya untuk

menangani kegiatan di Zona III, termasuk melakukan reboisasi dengan melibatkan semua pihak, karena seluruh mataair yang digunakan oleh PDAM zona III nya adalah kawasan hutan yang menjadi otoritas Dinas kehutanan.

13