JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi...
Transcript of JAIjanesti.com/uploads/default/files/1.2-full_.pdf · Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi...
JAIJurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I Nomor 02, Juli 2009
Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi(IDSAI) Jawa Tengah
Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesiamelalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini
memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Diantaranya adalah mengenai efek sedasi
midazolam pada variasi genetika Cyp2c19, skor
histologi C-Erbb-2 pada infiltrasi Levobupivakain,
pengaruh Suksinilkolin terhadap kadar Kreatin
Fosfokinase dan pretreatment Magnesium Sulfat
untuk mencegah peningkatan TIO akibat
Suksinilkolin.
Dua tinjauan pustaka, mengenai peningkatan
tekanan intrakranial dan regulasi aliran darah
serebral diharapkan menambah pengetahuan kita
dalam bidang anestesi.
Semoga bermanfaat.
Salam,
dr. Uripno Budiono, SpAn
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
hendaknya mencantumkan artikel tersebut
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Pelindung:
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP
Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah
Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn, dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326)
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.
JAI
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal Sukmiasi Sismadi, Uripno Budiono
Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
65
Curniawati Trisasi, Marwoto Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah : Pada Infiltrasi
Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan mAgNOR pada proses penyembuhan luka.
72
R. Cristianto Nugroho, Abdul Lian Siregar Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin
Fosfokinase Akibat Suksinilkolin Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi.
82
Imam Suyuti, IGN Panji, Mohamad Sofyan Harahap
Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
90
TINJAUAN PUSTAKA Igun Winarno, Mohamad Sofyan Harahap Pemantauan Tekanan Intra Kranial
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik, penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
101
Iwan Dwi Cahyono, Jati Listiyanto, Mohamad Sofyan Harahap Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
120
65
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Variasi Genetika Cyp2c19 Terhadap Efek Sedasi Midazolam Intravena
Sukmiasi Sismadi*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: The cytochrome P450 plays an important role in the metabolism of many
drugs, chemicals and carcinogens. CYP2C19 is often a major concern because of the high
difference in each individual and each population. Based on the capacity of CYP2C19 in
the metabolism sustrat, a person can be classified as extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) and poor metabolizers (PM). Which has the effect of
midazolam sedation, anxiolytic, and anterograde amnesia is metabolized through the
CYP2C19 enzyme. These drugs are often used as a premedication drug or as a co-
induction. In clinical practice that is common with the usual dose of midazolam, not all
patients show the expected effect. Therefore, the study of genetic influences on intravenous
midazolam biotransformation.
Objectives: Assess the effects of intravenous midazolam on the EM genotype, IM and PM
Methods: The study 24 patients undergoing elective surgery in the installation department
of the Central Surgical Dr Kariadi Semarang, inclusion and exclusion criteria, with ASA
physical status I. Previously people with an explanation of the procedures that will be
undertaken and expressed willingness in the sheet informed consent. Desain phase II
clinical trials research using cross sectional study to assess the effects of midazolam on the
body's metabolic functions. Allele / CYP2C19 polymorphisms were identified by PCR-
RFLP technique.
Results: The results showed the general characteristics of patients with no laboratory
abnormalities, had no complications or side effects of midazolam. Sedation score 5
minutes after administration of midazolam there were no significant differences between
men and women (3.3 ± 0.59), and found no significant association between age with the
sedation score (r = 0.250, P = 0.183). CYP2C19 genotype distribution was found
respectively 6 (20%) of EM, 16 (53.3%) IM and eight (26.7%) PM. These three genotypes
there were no significant differences by age, sex and sedation score.
Conclusion: There is no significant relationship between the scores of sedation with
genotypes EM, IM and PM of CYP2C19.
Keywords: Intravenous Midazolam, metabolism, CYP2C19
66
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang: Sitokrom P450 berperan penting dalam metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi perhatian utama karena tingginya perbedaan ditiap
individu maupun tiap populasi. Berdasarkan kapasitas CYP2C19 dalam metabolisme
sustrat, seseorang dapat dikelompokkan sebagai extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizers (IM) dan poor metabolizers (PM). Midazolam yang mempunyai
efek sedasi, ansiolitik dan anterograde amnesia dimetabolisme melalui enzim CYP2C19.
Obat ini sering digunakan sebagai obat premedikasi ataupun sebagai koinduksi. Pada
praktek klinis sering dijumpai dosis midazolam yang lazim, ternyata tidak semua pasien
menunjukkan efek yang diharapkan. Diteliti seberapa besar pengaruh genetik terhadap
biotransformasi midazolam intravena.
Tujuan: Menilai efek midazolam intravena pada genotipe EM, IM dan PM
Metode: Penelitian pada 24 pasien yang menjalani bedah elektif di Instalasi Bedah Sentral
RSUP Dr Kariadi Semarang, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan status
fisik ASA I. Sebelumnya penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan
dijalani serta menyatakan kesediaannya dalam informed consent. Desain penelitian uji
klinik fase II ini menggunakan cross sectional untuk menilai efek midazolam terhadap
fungsi metabolisme tubuh. Alel/polimorfisme CYP2C19 diidentifikasi dengan tehnik PCR-
RFLP.
Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan karakteristik umum penderita tidak terdapat
kelainan laboratorium, tidak mengalami komplikasi atau efek samping terhadap
midazolam. Skor sedasi 5 menit setelah pemberian midazolam midazolam tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan (3,3 ± 0,59), serta tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antar usia dengan nilai skor sedasi (r=0,250 ;
P=0,183). Distribusi genotip CYP2C19 ditemukan masing-masing 6 (20%) EM, 16
(53,3%) IM dan 8 (26,7%) PM. Ketiga genotip tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dengan usia, jenis kelamin maupun skor sedasi.
Simpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai skor sedasi dengan
genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
Kata Kunci : Midazolam intravena, metabolisme, CYP2C19
67
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENDAHULUAN
Dosis dan frekuensi yang diperlukan
untuk mencapai kadar obat yang efektif
dalam darah dan jaringan bervariasi
karena adanya perbedaan individu di
dalam metabolisme dan eliminasi obat.
Perbedaan ini ditentukan oleh faktor
genetik dan non genetik seperti umur,
jenis kelamin, fungsi hati, irama
sirkardian, suhu tubuh dan faktor-faktor
nutrisi serta pemaparan bersamaan
terhadap induser dan inhibitor
metabolisme obat. Perbedaan individu
dalam kecepatan metabolisme juga
tergantung pada sifat obat sendiri. Jadi
dalam individu yang sama, kadar steady
state plasma dapat mencerminkan suatu
variasi yang sangat besar antara 2 sampai
30 kali dalam metabolisme satu obat.1,2,3
Sitokrom P450 berperan penting dalam
banyak metabolisme obat, zat kimia dan
karsinogen. CYP2C19 sering menjadi
perhatian utama karena tingginya
perbedaan di tiap individu
maupunpopulasi. Berdasarkan kapasitas
CYP2C19 dalam memetabolisme
substrat, seseorang dapat dikelompokkan
sebagai extensive metabolizers (EM),
intermediate metabolizer (IM) dan poor
metabolizer (PM). Konsentrasi
cycloguanil yang merupakan metabolit
dari proguanil, berbeda secara bermakna
diantara ketiga grup berdasarkan jumlah
dari alel mutan (Kruskal Wallis, P<0,05).
Hasil ini menggambarkan hubungan
antara genotip CYP2C19 dan
metabolisme proguanil, serta
peningkatan suatu efek dosis gen.4
Biotransformasi atau metabolisme obat
adalah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi dalam tubuh dan
dikatalisa oleh enzim. Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar
(lebih mudah larut dalam air) dan kurang
larut dalam lemak sehingga lebih mudah
diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Akan tetapi, ada
beberapa obat yang metabolitnya masih
mempunyai aktifitas farmakologik yang
sama atau berbeda dengan obat asalnya
dan yang dapat menyebabkan efek toksik
obat. Beberapa obat lain yang merupakan
calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit
yang aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut atau ekskresi
yang mengakhiri kerjanya. 1,2,3,4,5
Pada tahun 1977, Kupfer dan kawan-
kawan melaporkan metabolisme
stereooselektif dari mephentoin dan
metabolit N-dimethyl pada hewan.6
Setelah itu ditemukan bahwa 4
hydroxilatixylate dari s-mephenytoin
bersifat polimorfik, sekitar 3% dari
Kaukasian yang PM.
Dua defek pada gen CYP2C19
bertanggung jawab pada metabolisme
yang buruk dari s-mephenytoin yang
diperlihatkan oleh Morais dan kawan-
kawan. Mutan M1 disebabkan oleh
G681A mutasi pada exon 5, yang
membentuk pada tempat penyambungan
yang menyimpang. Mutasi ini merusak
68
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
tempat pembelahan sel pada DNA
melalui tes PCR yang dapat
dikembangkan. Midazolam (8-chloro-6-
(2-fluorophenyl)-1-methyl-4Himidazol-
(1,5-a)(1,4) benzodiazepine) merupakan
benzodiazepine agonist yang mempunyai
sifat ansiolitik, sedatif, antikonvulsif dan
anterograd amnesia.7,8
Obat ini banyak digunakan perioperatif.
Sediaan komersial dibuffer pada pH 3,5
untuk menjaga kestabilan dalam air,
potensinya 1,5 – 2 kali diazepam.
Midazolam pada pH netral dan basa
larut dalam air dan dapat dicampur dalam
larutan infus seperti NaCl 0,9% atau
glukosa 5% yang tetap stabil secara fisik
maupun kimiawi untuk 24 jam pada suhu
kamar.8
Asam gama-aminobutirat (GABA) adalah
penghambat neurotransmiter yang utama
pada SSP. Penelitian elektrofisiologi
menunjukkan bahwa benzodiazepin
menguatkan neurotransmisi GABAergik
pada semua tingkat neuroaksis, yang
mencakup medula spinalis, hipotalamus,
hipokampus, substansia nigra, korteks
serebeli dan korteks serebri.
Benzodiazepin tampaknya meningkatkan
efisiensi inhibisi sinaptik GABAergik
(melalui membran hiperpolarisasi) yang
menyebabkan penurunan kecepatan
pencetusan neuron yang krisis dalam
banyak regio otak. Benzodiazepin tidak
menggantikan GABA, tetapi tampaknya
meningkatkan efek GABA tanpa aktivasi
reseptor GABA secara langsung atau
saluran klorida yang berhubungan.
Peningkatan konduksi klorida
menyebabkan interaksi benzodiazepin
dengan GABA yang menyebabkan
peningkatan frekuensi kejadian
terbukanya saluran. Efek ini mungkin
sebagian disebabkan oleh meningkatnya
afinitas untuk GABA.7,9
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh midazolam intravena pada efek
sedasi pasien dengan genotipe EM, IM
dan PM.
METODE
Penelitian ini merupakan cross sectional
yang akan menilai efek midazolam
terhadap fungsi metabolisme tubuh.
Sampel penelitian merupakan penderita
yang menjalani operasi elektif dengan
anestesi umum. Di Instalasi Bedah
Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi dan drop out.
Kriteria Inklusi : umur 16 sampai <40
tahun (dewasa muda), BMI (Body Mass
Index) 20-25Kg/m2, status fisik ASA I.
Kriteria Eksklusi : mengkonsumsi obat-
obatan yang dapat mempengaruhi
metabolisme obat penelitian dalam 1
minggu preoperasi, tidak ada riwayat
penyakit hati, gangguan metabolisme
tubuh dan sering terpapar pestisida.
Kriteria drop out : Penderita mengalami
efek samping yang memerlukan terapi
sebelum dinilai.
Sampel yang diperlukan dalam penelitian
ini sebanyak 24 orang. Genotip
CYP2C19 diperiksa dengan
menggunakan teknik PCR-RFLP
69
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
(Polymerase chain reaction-restriction
length polymorphism). DNA diisolasi
dari darah tepi dengan menggunakan
teknik standar yang digunakan
dilaboratorium bioteknologi pusat
kegiatan penelitian UNHAS.
Setelah mendapatkan informed consent,
subyek dipuasakan 6 jam sebelum operasi
dan dibawa keruang operasi tanpa jalur
intravena dan premedikasi. Setelah
sampai di ruang operasi dilakukan
pemasangan jalur intravena sekaligus
mengambil sampel darah sebanyak 10 cc
dan infus NaCl 0,9%, kemudian dipasang
monitor standar rutin dan diberikan
midazolam 0,07 mg/kgbb intravena
bolus. Waktu pemberian midazolam
disebut menit ke-0 dan pada menit ke-5
dinilai skor sedasi dengan 4 skala
pengukuran seperti yang digunakan oleh
field et al (Field Score) 7-10
.
Skor :
1. Aktif (Alert/active)
2. Bangun/tenang (Awake/calm)
3. Mengantuk, respon terhadap suara
(drowsy but respon verbal)
4. Tertidur (asleep)
Pasien kemudian diinduksi sementara itu
sampel darah dimasukkan kedalam kotak
khusus sebagai transport dan dibawa ke
laboratorium biomolekuler untuk analisa
genetik tipe dari sitokrom P450 pasien
termasuk poor/ normal/ extensive
metabolism).
Data yang terkumpul selanjutnya diberi
kode, ditabulasi dan dimasukkan sebagai
data komputer. Analisa data meliputi
analisis deskriptif dan uji hipotesis
menggunakan program SPSS 13.0.
HASIL
Jumlah subjek penelitian 30 orang yang
terdiri dari 15 perempuan dan 15 laki-laki
dengan berbagai jenis tindakan operasi.
Tidak ditemukan kelainan laboratorium
pada semua subjek penelitian. Usia rata-
rata subjek penelitian 30,6 ±8,18 tahun,
tidak terdapat perbedaan yang bermakna
pada usia rata-rata antara perempuan
(29,66 ± 7,04 tahun) dan laki-laki (31,53
±9,34 tahun), (p>0,05). Semua subjek
yang mengikuti penelitian ini tidak
mengalami komplikasi atau efek samping
terhadap midazolam.
Nilai rata-rata skor sedasi 5 menit setelah
pemberian midazolam 3,3 ± 0,59. Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna nilai
skor sedasi pada perempuan (3,4 ±0,5)
dan laki-laki (3,2 ±0,67), (p<0,05). Tidak
ditemukan hubungan yang bermakna
antara usia dengan nilai skor sedasi
(r=0,250; P-0,183).
Dari 30 subjek yang diteliti, ditemukan
distribusi genotip CYP2C19 masing-
masing 6 (20%) genotip extensive
metabolizer (EM), 16 (53,3%)
intermediate metabolizer (IM) dan 8
(26,7%) poor metabolizer (PM). Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara
ketiga genotip tersebut dengan usia, jenis
kelamin maupun skor sedasi.
70
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PEMBAHASAN
Telah diteliti nilai skor sedasi pada 30
subjek yang mendapat 0,07 mg/kgBB
midazolam intravena dikaitkan dengan
genotip dari CYP2CI9. Nilai skor sedasi
didasarkan atas respon kognitif subjek 5
menit setelah diberikan midazolam
intravena. Nilai skor sedasi yang
diperoleh pada penelitian ini berkisar 2
sampai dengan 4. Variasi dalam nilai skor
sedasi setelah pemberian midazolam
dapat dijelaskan melalui 2 hal : variasi
kadar plasma midazolam (variasi
farmakokinetik) dan variasi dalam
sensitifitas terhadap midazolam (variasi
farmakokinetik) diantara subjek yang
diteliti.
Variasi skor sedasi pada penelitian ini
kemungkinan lebih disebabkan oleh
faktor farmakodinamik dibandingkan
faktor farmakokinetik. Beberapa
penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa orang dengan usia
lanjut lebih sensitif terhadap efek sedasi
benzodiazepin. Orang usia lanjut
membutuhkan dosis lebih rendah
dibandingkan orang yang lebih muda
untuk mencapai efek sedasi yang sama.
Pada penelitian ini dapat dilihat pada dua
subjek dengan usia muda (16 tahun) nilai
sedasinya hanya dua setelah pemberian
midazolam.
Walaupun faktor farmakodinamik
dianggap lebih berperan dalam
menentukan skor sedasi pada penelitian
ini, tidak berarti bahwa faktor
farmakokinetik sama sekali tidak
berperan. Tidak adanya hubungan yang
bermakna antara skor sedasi dengan
genotip PM dan EM dari CYP2C19
belum dapat menyingkirkan peran faktor
farmakokinetik.
Bila faktor farmakokinetik lebih
berperan, maka penelitian ini
menghasilkan dua hal penting dalam
pemberian midazolam. Pertama,
midazolam merupakan pilihan yang aman
bagi subjek yang mempunyai genotip PM
untuk CYP2C19, karena enzim ini bukan
merupakan jalur utama metabolisme
midazolam, tetapi menjadi jalur utama
metabolisme diazepam. Kedua,
pemberian midazolam bersama dengan
obat-obat yang menghambat CYP3A4,
seperti diazepam, anti jamur dan opioid
akan mempunyai konsekuensi klinik
yang perlu diwaspadai. Obat-obat di atas
akan menghambat aktifitas enzim
tersebut, sehingga kemampuannya untuk
memetabolisme midazolam akan
menurun. Konsekuensinya adalah
memanjangnya amnesia dan terjadinya
gangguan psikomotor.11
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara nilai skor sedasi dengan
genotip EM, IM dan PM dari CYP2C19.
Ada tiga hal yang kemungkinan dapat
menjelaskan temuan tersebut. Pertama,
kadar midazolam dalam plasma
mengikuti model dua kompartemen dan
obat masih dalam fase distribusi, belum
berada dalam fase eliminasi, lima menit
setelah pemberian intravena. Kedua,
CYP2C19 bukanlah enzim utama yang
71
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
memetabolisme midazolam. Ketiga,
faktor farmakodinamik lebih berperan
dibandingkan faktor farmakokinetik,
walaupun faktor ini tidak dapat
diabaikan. Perlu dilakukan penelitian
mengenai efek sedasi midazolam
dikaitkan dengan kadar midazolam dalam
darah. Selain itu untuk menilai apakah
faktor farmakodinamik dan faktor
farmakokinetik yang lebih berperan
dalam efek sedasi midazolam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Holford NHG, Benet. LZ. Farmakokinetik &
Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang
rasional & Waktu Kerja Obat. Dalam :
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar &
Klinik. Terjemahan Anwar Agus. Jakarta :
EGC, 1998 : 36-51)
2. Correia MA. Biotransformasi Obat. Dalam :
Katzung BG (ed). Farmakologi Dasar
&Klinik. Terjemahan Anwar Agus, Jakarta :
EGC, 1998 : 53-64)
3. Setiawati A, Bustami ZS, Setiabudy R.
Pengantar Farmakologi. Dalam : Gan S.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 3. Jakarta:
Bagian Farmakologi FKUI, 1987 : 49-63.
4. Yusuf I, Djojosubroto MW, Ikawati Lum K,
Kaneko A, Marzuki M Ethnic and
geographical distributions of CYP2C19
alleles in the populations of southeast asia.
Adv Exp Med Biol. 2003.
5. Lamba JK, Dhiman RK, Kohli KK.
CYP2C19 genetic mutations in North Indian.
Clin Pharmacol Ther 2000; 68:328-35.
6. Kimura M, leiri I, Mamiya K, Urae A,
Higuchi S, Genetic Polymorphism of
cytochrome P450s, CYP2C19 and CYP2C9
in Japanese population. Ther Drug Monit
1998;20:243-7
7. Amrein R,Hetzel W, Allen SR. Co-induction
of Anaesthesia: The Rationale.Euro J of
Anaesth 1995;12:5-11.
8. Clarke RSJ. Intravenous Anaesthetic Agent:
Induction and Maintenance. In: Healy TEJ,
Cohen PJ,eds. A Practice of Anaesthesia,
6thed London: Edward Arnold 1995: 91-101.
9. Collin VJ. Intravenous Anesthesia:
Nonbarbiturates-Nonnarcotics. In: Collin VJ,
Ed. Principles of Anesthesiology, 3rd
ed.
Philadelphia: Lea and Febiger 1993: 756-63.
10. Setiawat A, Setiabudy R. Adrenergik.
Dalam: Gan S. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 3. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI
1987: 49-63.
11. Hamaoka N, Oda I and Asada A.
Cytochrome P4502B6 and 2C6 do not
metabolize midazolam: kinetik analisis and
inhibition study with monoclonal antibodies.
Br J Anaesth 2001; 86:540-4.
72
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Skor Histologi C-Erbb-2, Proliferasi Endotel Pembuluh Darah: Pada Infiltrasi
Levobupivakain Terhadap Penyembuhan Luka
Curniawati Trisasi*, Marwoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Postoperative acute pain stimulates clinical pathophysiologic symptoms,
depress immune responses which leads to delayed wound healing process.
Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, proven good for pain control.
Angiogenesis plays an important role in wound healing. C-erbB-2 is a family of epidermal
growth factor receptor that becomes actively mitogenic when binds to EFGR ligand, and
stimulates cell proliferation. Levobupivacaine infiltration enhances c-erbB-2 expression,
leads to endothelial blood vessel proliferation and improves wound healing.
Objective: To prove the difference between histologic score of c-erbB-2, endothelial blood
vessel proliferation of the wound healing process with and without levobupivacaine
infiltration and to prove the correlation between c-erbB-2 and endothelial blood vessel
proliferation.
Methode: This study was an animal experimental study with randomized post test only
control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Groups I was
the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without
levobupivacain infiltration.Group III, rats that got incisions and levobupivacaine
infiltration every 8 hours for 24 hours. C-erbB-2 at the site of the wound was analized
using the histologic score from samples with immunohistochemistry staining and the
amount of AgNOR expressed by mAgNOR and pAgNOR. The samples were taken from
tissue biopsy on 5th
day. Data were analyzed using Kruskal Wallis test. The correlation
between histologic score c-erbB-2 and the amount of AgNOR were analyzed using
Spearmans correlation test.
Results: This study showed that the tissue with levobupivacaine had higher c-erbB-2
histologic score (7,2±2,16 vs 9,9±1,29), and mAgNOR (5,94±0,15 vs 11,86±1,02), than
tissue without levobupivacaine that significantly different (p=0,015 and p=0,02). There
was a correltion between c-erbB-2 and mAgNOR (π=0,693).
Conclusions: The expressions levels c-erbB-2 and mAgNOR in levobupivacaine
infiltration group are higher than without levebupivacaine infiltration group. There is a
correlation between the c-erbB-2 and mAgNOR.
Keywords: Levobupivacaine, c-erbB-2, AgNOR, wound healing.
73
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri akut paska bedah memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis,
menekan respon imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan
menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang efektif
mengurangi nyeri akut. Proses angiogenesis merupakan pilar utama penyembuhan luka.
C-erbB-2 adalah reseptor mitogenik yang ekspresinya pada endotel pembuluh darah bila
berikatan dengan ligand yang sesuai menyebabkan sel berproliferasi. Infiltrasi
levobupivakain akan meningkatkan ekspresi c-erbB-2 dan proliferasi sel endotel pembuluh
darah sehingga mempercepat penyembuhan luka.
Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan skor histologi c-erbB-2 dan proliferasi endotel
pembuluh darah antara tikus yang diinfiltrasi levobupivakain dengan yang tidak pada
proses penyembuhan luka tikus Wistar.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test
only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3
kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisis subkutis tanpa infiltrsi levobupivakain,
kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain setiap 8 jam selama 24
jam.Ekspresi c-erbB-2 dan nilai AgNOR yang dihitung sebagai mAgNOR dan pAgNOR
pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan
secara imunohistokimia, yang diambil dari biopsi jaringan pada hari kelima. Data
dianalisis dengan uji beda Kruskal-wallis. Hubungan antara c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil: Rerata skor histologi c-erbB-2 dan mAgNOR pada kelompok infiltrasi
levobupivakain lebih tinggi dibandingkan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain, yaitu
untuk c-erbB-2 7,2±2,16 vs 9,9±1,29 dan mAgNOR 5,94±0,15 vs 11,86±1,02, dan secara
statistik berbeda bermakna (p=0,015 dan p=0,02). Hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR secara statistik bermakna (r=0,693;p=0,004). Pada pAgNOR tidak didapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok tersebut.
Simpulan: Ekspresi c-erbB-2 dan indeks proliferasi sel yang dinyatakan dengan mAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Terdapat hubungan antara c-erbB-2 dan
mAgNOR pada proses penyembuhan luka.
Kata kunci : Levobupivakain, c-erbB-2, AgNOR, penyembuhan luka
PENDAHULUAN
Penyembuhan luka adalah faktor penting
paska operasi yang selalu dihadapi dan
merupakan fenomena kompleks yang
melibatkan berbagai proses meliputi
inflamasi akut menyusul terjadinya
kerusakan jaringan, regenerasi sel
parenkim, migrasi dan proliferasi sel
parenkim, sintesis protein extra cellular
matrix (ECM), remodeling jaringan ikat
dan komponen parenkim, kolagenasi dan
akuisisi kekuatan luka.1,2
74
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Dokter bedah membuat luka pada tiap
pembedahan. Pasca bedah luka ini
mengakibatkan nyeri karena adanya
kerusakan jaringan. Nyeri akut sering
menimbulkan keadaan yang tidak
menguntungkan bagi penderita sepert
kegelisahan, perubahan hemodinamik,
gangguan pernafasan, retensi urin, ileus
dan lain-lain.3,4
Keadaan tersebut dapat menghambat
penyembuhan luka, mobilisasi yang
terganggu dan lama rawat di rumah sakit
bertambah. Luka pasca bedah di Inggris
Raya, menghabiskan dana National
Health Services minimal sebesar 1 milyar
poundsterling setiap tahunnya.3,4
Pada proses penyembuhan luka
pembentukan dan perkembangan
pembuluh darah atau angiogenesis
merupakan hal yang sangat penting. Tepi
sel endotel pembuluh darah mengalami
proliferasi cepat, terjadi pertumbuhan
tunas baru dari endotel pembuluh darah
yang sudah ada, membentuk jaringan
vaskularisasi baru.1
Terdapat sejumlah faktor sistemik dan
lokal yang mengganggu penyembuhan
luka. Faktor lokal yang berpengaruh
terhadap penyembuhan luka antara lain
infeksi, faktor mekanik, benda asing,
macam, lokasi dan ukuran besarnya
luka.3 Faktor sistemik yang
mempengaruhi penyembuhan luka antara
lain nutrisi, status metabolik, status
sirkulasi darah dan hormon
glukokortikoid.3
Banyak ditemukan permasalahan dalam
penyembuhan luka, seperti waktu
penyembuhan yang lama, terutama bila
terjadi penyembuhan secara sekunder.
Nyeri menjadi stressor yang memicu
timbulnya gejala klinis patofisiologis,
memicu modulasi respon imun, sehingga
menyebabkan penurunan sistem imun
yang berakibat pemanjangan waktu
penyembuhan luka.1
Rasa nyeri merupakan salah satu
pencetus peningkatan hormon
glukokortikoid. Infiltrasi anestetik lokal,
dalam hal ini levobupivakain dapat
mengurangi intensitas nyeri, sehingga
menurunkan sekresi hormon
glukokortikoid dan menghilangkan salah
satu faktor penghambat penyembuhan
luka.5,6
Di tingkat sel proses angiogenesis
merupakan faktor yang penting dalam
penyembuhan luka. Proses ini merupakan
proliferasi endotel yang terus menerus
membentuk jaringan vaskuler yang
menunjang semua kebutuhan sel selama
fase penyembuhan luka.1 Banyak faktor
mempengaruhi proses proliferasi endotel
ini, baik faktor eksogen maupun endogen.
Salah satu faktor endogen yang
mempengaruhi proliferasi sel adalah
Epidermal Growth Factor (EGF).7
C-erbB-2 adalah glikoprotein yang lebih
dari 50% strukturnya sama dengan
reseptor EGF.7 Bila sel mengekpresikan
reseptor ini dan kemudian reseptor
berikatan dengan ligan yang cocok
(epidermal growth factor receptor
75
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ligands), sel yang bersangkutan akan
mengalami proliferasi.8
Salah satu marker proliferasi sel adalah
dengan pengecatan Argyrophilic
Nucleolar Organizer Region (AgNOR),
dimana ekspresinya akan meningkat pada
fase G1 dari sel, dan mencapai
puncaknya pada saat transisi dari fase G1
ke fase S, dan akan menurun pada fase
G2.8
Berdasarkan penjelasan diatas
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah infiltrasi levobupivakain
menyebabkan perbedaan ekspresi c-erbB-
2, proliferasi endotel pembuluh darah
pada proses penyembuhan luka tikus
Wistar. Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan adanya hubungan proses
penyembuhan luka dengan pemberian
infiltrasi levobupivakain.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental laboratorik dengan desain
“Randomized post test only control group
design”. Sampel penelitian adalah tikus
Wistar yang diperoleh dari Fakultas
peternakan UGM, Yogyakarta. Kriteria
inklusi tikus Wistar betina keturunan
murni, belum pernah digunakan untuk
penelitian, umur 2 sampai 2,5 bulan,
berat badan 250-300 gram, tidak terdapat
kelainan anatomis. Kriteria ekslusi adalah
tikus sakit selama masa adaptasi, tikus
mati selama masa adaptasi dan perlakuan.
Menurut WHO besar sampel hewan coba
untuk penelitian jangka pendek tiap
kelompok minimal 5 ekor, pada
penelitian ini jumlah sampel yang
digunakan 15 ekor, masing-masing 5
ekor untuk tiap kelompok (pemeriksaan
hari ke5).9
Randomisasi dilakukan dengan
mengelompokkan 15 ekor tikus secara
random menjadi 3 kelompok, yaitu :
Kelompok 1 (K1 : tikus tanpa
perlakuan) : 5 ekor tikus
Kelompok 2 (K2 : infiltrasi tanpa
anestetik lokal) : 5 ekor tikus
Kelompok 3 (K3 : dengan infiltrasi
anestetik lokal) : 5 ekor tikus
Penelitian dan pengumpulan data
dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada
tikus dan proses pengambilan jaringan
dilakukan di Laboratorium Pusat Antar
Universitas (PAU) Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proses pembuatan
preparat dan pewarnaan dilakukan di
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran UNS Surakarta dan UNDIP
Semarang.
Setelah data terkumpul dilakukan data
cleaning, coding dan tabulasi. Analisa
data meliputi analisis deskriptif dalam
bentuk rerata, standart deviasi, median
dan grafik dan uji hipotesis. Data
dikumpulkan, diolah serta dinyatakan
dalam rerata ± simpang baku (mean ±
SD) disertai kisaran (range). Dilakukan
uji homogenitas menggunakan uji
Lavene. Distribusi data variabel c-erb-B2
dan mAgNOR dan p AgNOR diuji
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
karena sesuai dengan uji non parametric
76
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
dan n<30. Selanjutnya dilakukan uji beda
non parametrik untuk 3 variabel (c-erb-
B2 dan mAgNOR dan pAgNOR)
menggunakan uji Kruskal Wallis. Uji
beda parametrik untuk 2 variabel berskala
rasio (c-erbB-2) menggunakan
independent sample t-test.
Untuk menilai hubungan (c-erbB-2)
terhadap nilai AgNOR (mAgNOR dan
pAgNOR) digunakan uji korelasi yang
sesuai dengan uji non parametrik dengan
n<30 yaitu uji Spearman (apabila uji
normalitas data hasilnya normal). Dengan
batas derajat kemaknaan p ≤ 0,05 dengan
95% interval kepercayaan. Penyajian
dalam bentuk table dan grafik. Analisis
data menggunakan program SPSS 11.0
for windows.10
HASIL
Pada penelitian ini dilakukan pengujian
efek perlakuan terhadap ekspresi c-erb-2
dan nilai AgNOR (mAgNOR dan
pAgNOR) pada hari ke lima. Hasilnya
adalah sebagai berikut :
Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai
rerata berat badan pada ketiga kelompok
berbeda tak bermakna (p=0,847). Berarti
ketiga kelompok berasal dari populasi
yang homogen sehingga layak untuk
dibandingkan.
Tabel 1. Data berat badan tikus
Kelompok
Variabel I II III P
Berat badan 255,0±10,00 255,4±9,48 257,0±8,72 0,874*
p<0,05
Data dinyatakan dalam rerata±simpang baku
*Uji homogenitas variasi
Tabel 2. Skor histologi c-erbB-2 pada hari ke 5
No. Skor histologi c-erbB-2
K1 K2 K3
1. 3,4 7,4 10,7
2. 3,7 10,7 8,7
3. 3,0 8,7 10,9
4. 7,8 5,6 10,9
5. 6,4 4,0 8,3
Keterangan : Satuan dalam skor histologi
77
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 3. Nilai AgNOR (mAgNOR dan pAgNOR) pada hari ke 5
No. Nilai AgNOR
mAgNOR pAgNOR
K1.1 2,4 2
2 3,2 2
3 2,1 3
4 1,4 2
5 2,2 1
K2.1 5,7 3
2 6,0 2
3 6,1 4
4 5,9 1
5 6,0 2
K3.1 11,0 2
2 12,6 2
3 11,9 3
4 10,7 3
5 13,1 3
Keterangan :
mAgNOR : Nilai mean AgNOR
pAgNOR : Prosentase AgNOR
Tabel 4. Nilai rerata c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR
Variabel Kel N Rerata Simpang Baku Minimal Maksimal
c-erbB-2 K1 5 4,86 2,11 3,0 7,8
K2 5 7,28 2,61 4,0 10,7
K3 5 9,90 1,29 8,3 10,9
mAgNOR K1 5 2,26 0,65 1,4 3,2
K2 5 5,94 0,15 5,7 6,1
K3 5 11,86 1,02 10,7 13,1
pAgNOR K1 5 2,00 0,7 1,0 3,0
K2 5 2,40 1,14 1,0 4,0
K3 5 2,60 0,55 2,0 3,0
Nilai rerata C-erbB-2 pada kelompok
dengan infiltrasi levobupivakain (K3)
lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut
(K2). Nilai rerata mAgNOR pada
kelompok dengan infiltrasi
levibupivakain (K3) lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok tanpa
infiltrasi obat (K2). Nilai rerata pAgNOR
pada kelompok dengan infiltrasi
levobupivakain (K3) lebih tinggi dari
kelompok tanpa infiltrasi obat (K2).
Tanpa levobupivakain dan dengan
levobupivakain berbeda bermakna
(p=0,015), uji beda mAgNOR berbeda
bermakna (p=0,002) dan uji beda
pAgNOR berbeda tidak bermakna
(p=0,453). Rerata dari kelompok dengan
levobupivakain, lebih tinggi daripada
kelompok tanpa levobupivakain. Hal ini
menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
secara bermakna lebih banyak
dibandingkan pada tikus tanpa infiltrasi
levobupivakain.
78
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 5. Uji Normalitas rerata c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR
Variabel P Uji
I II III
c-erbB-2 0,109 0,783 0,017 Shapiro-Wilk
mAgNOR 0,968 0,029 0,497 Shapiro-Wilk
pAgNOR 0,600 0,725 0,010 Shapiro-Wilk
Ket : p≥0,05 berarti distribusi data normal
Distribusi data c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR diuji menggunakan uji
normolitas Shapiro-Wilk karena sesuai
untuk uji non parametrik, jumlah sampel
kecil < 30. Data c-erbB-2 pada kelompok
1&2 terdistribusi normal (p=0,109 dan
p=0,783). Data mAgNOR pada
kelompok 1 terdistribusi normal
(p=0,968). Data pAgNOR pada
kelompok 1 dan 2 terdistribusi normal
(p=0,600 dan p=0,725).
Dari tabel 6, menunjukkan skor histologi
c-erB-2 antara kelompok tanpa
Diketahui nilai rerata c-erbB-2 dan
mAgNOR dengan levobupivakain (K3)
lebih besar daripada kelompok tanpa
levobupivakain (K2). Hal ini
menunjukkan bahwa ekspresi c-erbB-2
dan mAgNOR dengan infiltrasi
levobupivakain akan meningkat. Pada
kelompok kontrol (K1) ekspresi c-erbB-2
dan mAgNOR lebih rendah dari
kelompok tanpa levobupivakain.
Dari tabel hubungan c-erbB-2 terhadap
mAgNOR mempunyai koefisien korelasi
π =0,693 dan p=0,004. Hasil ini berarti
ada hubungan bermakna c-erbB-2 dengan
mAgNOR. Hubungan c-erbB-2 terhadap
pAgNOR mempunyai koefisien korelasi
π=0,312. Hasil ini berarti tidak ada
hubungan c-erbB-2 dengan pAgNOR.
Hubungan mAgNOR terhadap pAgNOR
koefisien korelasinya π=0,335 berarti
tidak ada hubungan antara mAgNOR
dengan pAgNOR.
Tabel 6. Uji beda antara kelompok c-erbB-2, mAgNOR dan pAgNOR
Varia-bel Kelompok
Uji P I (n=5) II (n=5) III (n=5)
c-erbB-2 4,860±2,118 7,280±2,613 9,900±1,288 Kruskal-Wallis 0,015
mAgNOR 2,260±0,647 5,940±0,152 11,860±1,02
0 Kruskal-Wallis 0,002
pAgNOR 2,000±0,707 2,400±1,140 2,600±0,548 Kruskal-Wallis 0,453
p<0,05 : berbeda bermakna, data dinyatakan dalam rerata±simpang baku
Tabel 7. Analisis hubungan c-erbB-2, mAgNOR, pAgNOR
Korelasi Spearman [r] p
c-erbB-2 – mAgNOR 0,693 0,004
c-erbB-2 – pAgNOR 0,312 0,257
mAgNOR-pAgNOR 0,335 0,222
*p<0,05
[r] : koefisien korelasi rho
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini 15 ekor tikus betina
galur Wistar dewasa dibagi dalam 3
kelompok, kelompok 1 adalah kelompok
kontrol yang tidak diberi perlakuan
apapun, kelompok 2 dilakukan insisi
pada punggung, kemudian disuntik
dengan alat suntik kosong dan kelompok
3 diinsisi pada punggung dan diinfiltrasi
levobupivakain pada sekitar luka dan
dilihat perbedaannya terhadap skor
histologi c-erbB-2, mAgNOR dan
pAgNOR setelah hari kelima.
Kelompok kontrol bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat ekspresi c-
erbB-2 dan apakah ada aktivitas
proliferasi sel endotel pembuluh darah
dalam keadaan tidak ada rangsangan pada
tikus yang tidak dilakukan insisi pada
punggungnya.
Pada penelitian ini dilakukan penilaian
terhadap ekspresi c-erbB-2 dan nilai
AgNOR dengan tujuan untuk melihat
apakah infiltrasi levobupivakain
mempengaruhi ekspresi c-erbB-2, yang
merupakan up regulator dan
angiogenesis. Proses angiogenesis
dimulai bila reseptor pada permukaan sel
berikatan dengan ligan yang cocok yang
bersifat mitogenik, baik yang bersifat
mengaktifkan tirosin kinase pada
permukaan membran maupun yang non
tirosin kinase, mengirimkan sinyal ke inti
sel yang selanjutnya akan terjadi aktivitas
mitotik dalam inti sel. Inti sel endotel
pembuluh darah yang sedang membelah
memberikan pulasan positif pada
pengecatan AgNOR.
Pada penelitian ini mengambil biopsi
jaringan pada luka yang dilakukan pada
hari kelima, karena proses angiogenesis
menjadi sangat aktif pada saat ini.11
Untuk uji homogenitas ketiga kelompok
dilihat dengan variabel yang dapat diukur
yaitu berat badan, dimana didapat hasil
statistik berbeda tidak bermakna. Berarti
kedua kelompok berasal dari populasi
yang homogen, pada umumnya tikus
berasal dari satu indukan dimana
mempunyai karakteristik yang mirip.
Dalam hal ini faktor bias pada hewan
coba dapat dihindari. Hasil penelitian
menunjukkan adanya ekspresi c-erbB-2
pada endotel pembuluh darah kelompok
kontrol yang tidak diberikan perlakuan
apapun. Samarut J pada penelitiannya
reseptor membran sitokin dan reseptor
hormon inti pada leukemogenesis dan
diferensiasi hemopoetik memperlihatkan
reseptor c-erbB normal diperlukan dalam
mengontrol pembelahan sel progenitor
eritrositik.12
Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok 3
lebih tinggi dari kelompok 2, hal ini
menunjukkan bahwa infiltrasi ekspresi c-
erbB-2 pada endotel pembuluh darah,
sedangkan mAgNOR pada kelompok 3
juga lebih tinggi dari kelompok 2 dan
kelompok kontrol, hal ini menunjukkan
bahwa infiltrasi levobupivakain
meningkatkan aktivitas proliferasi sel
endotel pembuluh darah. Pada kelompok
3 pAgNOR berbeda tidak bermakna, hal
ini dapat karena aktivitas angiogenesis
yang terjadi pada proses penyembuhan
luka bukan merupakan proliferasi yang
80
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
berlebihan seperti yang terjadi pada
pertumbuhan tumor.
Uji korelasi terhadap c-erbB-2 dan
mAgNOR menunjukkan adanya
hubungan yang kuat, karena c-erbB-2
merupakan upregulator angiogenesis.
Korelasi c-erbB2 dengan pAgNOR tidak
menunjukkan adanya hubungan, juga
antara mAgNOR dan pAgNOR.Ini
mungkin karena sifat proliferasi sel yang
normal tinggi tidak kearah yang
berlebihan.
Pengamatan secara makroskopis
mengenai jaringan luka dapat dilakukan
dengan pengambilan biopsi jaringan
dengan waktu yang berbeda, sehingga
dapat dibandingkan yang diinfiltrasi
levobupivakain dengan yang tidak.
Dengan demikian hasil yang diperoleh
dapat menyeluruh.
Dari hasil penelitian ini maka dalam
aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal
levobupivakain dapat dijadikan alternatif
untuk mengendalikan nyeri akut paska
bedah sehingga penyembuhan luka dapat
lebih baik.
SIMPULAN
Skor histologi c-erbB-2 pada kelompok
yang diinfiltrasi levobupivakain lebih
tinggi daripada kelompok yang tidak
diinfiltrasi levobupivakain. Hal ini berarti
ekspresi c-erbB-2 meningkat akibat dari
infiltrasi levobupivakain.
Nilai mAgNOR kelompok yang
diinfiltrasi levobupivakain lebih tinggi
daripada kelompok yang tidak diinfiltrasi
levobupivakain. Hal ini berarti
proliferasi endotel pembuluh darah
meningkat akibat dari infiltrasi
levobupivakain
Terdapat hubungan antara skor histologi
c-erbB-2 dan mAgNOR yang secara
statistik bermakna. Perlu dilakukan
penelitian yang melihat langsung
perbedaan proses penyembuhan luka
pada yang diinfiltrasi levobupivakain
dengan yang tidak. Pada pengecatan
AgNOR untuk melihat proliferasi pada
endotel pembuluh darah untuk mendapat
hasil terbaik dapat dilakukan pemilihan
blok parafin dengan pengecatan
hematoksilin eosin terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology
basic of disease. 6thed. Philadelphia:WB
Saunders Co, 1999.p. 21-20.
2. Constantinnides P. General pathobiology.
1sted. Connecticut: Appleton and
Lange,1994.p. 173-81.
3. Mast AB. Normal wound healing. In:
Achauer B M, Eriksson E. eds. Plastic
surgery, indications, operations and
outcomes. St Louis: Mosby, 2000.p. 37-53.
4. Pedersen D. Accelerated surgical stay
programe. Annals of surgery 1994; 219:
374-81.
5. Bardram L, Funch-Jensen P, Crawford ME,
Kehlet H. Recovery after laparoscopic
colonic surgery with epidural analgesia and
early oral nutrition and mobilitation. Lancet
1995; 345: 763-4.
6. Webster EL, Torpy DJ, Elenkov IJ,
Chrousos GP. Corticotropin releasing
hormone and inflammation. Annals of the
New York Academy of Sciences 1998; 840:
21-32.
81
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
7. Carpenter G, Cohen S. Epidermal growth
factor. J Biol Chem 1990; 265: 7709.
8. Angiogenesis and stromal markers in
experimental and laryngeal tumor
development. [editorial]. 2002. Available
from:URL:http://herkules.oulu.fi/isbn95142
69497/html/i251889.html
9. World Health Organization. Research
guidelines for evaluating the safety and
efficacy of herbal medicines. New York:
WHO Publications, 1993.p. 37-41.
10. Wasito R. Imunihistokimia. Dalam:
pedoman kuliah immuno-histopatologi.
DepDikbud. Proyek pengembangan pusat
fasilitas bersama antar uuniversitas.
Yogyakarta: PAU Bioteknologi-Universitas
Gajah Mada, 1991. Hal. 36-80.
11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, Jeff
R, Thomsen J. Pain relief by wound
infiltration with bupivacaine or high dose
rovacaine after inguinal hernia repair. Reg
Anesth Pain Med 1999; 24: 569-75.
12. Samarut J. Nuclear hormone receptors
cytokine membrane receptors in the control
of chicken hematopoietic differentiation and
leukemogenesis. 2004. Available from:
URL:http://www.scilet.com/bioandbiosafety
/pab/pababs4.html
82
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar
Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin
R. Cristianto Nugroho*, Abdul Lian Siregar*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubating fascilitation in emergency
and day-case anesthesia. Most occured side effects of succinylcholine is fasciculation,
myalgia, and elevation of blood creatine phosphokinase level. Atracurium, like other
depolarizing muscle relaxants, had been proved as a gold standard for pretreatment
againts these side effects. Midazolam, that has been known as popular premedication drug,
has not been studied most for these utilities yet.
Objective: The aim of this study was to prove that pretreatment with midazolam 0,03
mg/Kg or atracurium 0,05 mg/Kg could reduce fasciculation, myalgia and elevation of
CPK level following succinylcholine administration.
Method: This study was designed as double blind randomly clinical trial on 54 patients
underwent elective surgery, 16–40 years age. ASA I-II and fullfill the inclusion criterias.
Before pretreatment drug had beengiven, a blood sample for preinduction creatine
phosphokinase level measurement were taken. Patients was divided into three groups of
pretreatment drugs, receiving midazolam 0,03 mg/Kg, atracurium 0,05 mg/Kg and NaCl
0,9% (control group). Three minutes later, anesthesia was induced with thiopentone 4-5
mg/Kg and succinylcholine 1,5 mg/Kg. Fasciculations were scored followed by intubation.
Twenty four hours after operation, myalgias were scored and a blood sample for post
operation CPK level measurement were taken. Statisticsl analysis were performed by
Anova-post hoc Bonferroni test, chi square – Wilcoxon Signed Ranks test and Spearman
correlation test.
Result: The characteristic features of the three groups are similar. Threre are significantly
reduction of fasciculation incidence (p<0,01), myalgia incidence (p<0,01) and CPK level
elevation in atracurium group (p<0,05). In midazolam group, myalgia incidence is
significantly reduced (p<0,01) but CPK level is only slight reduced (p=0,086) and there is
no reduction of fasciculation incidence (p=0,125). The only significant correlation proved
is between myalgia and CPK level elevation (corr.coef = 0,334; p = 0,013).
Conclusions : Atracurium is proved to be effective for pretreatment againts fasciculation,
myalgia and elevation of CPK level. Midazolam is as effective as atracurium to reduce
myalgia, less effective to reduce CPK level and not effective to reduce fasciculation.
Keywords : pretreatment, fasciculation, myalgia, CPK elevation, succinylcholine.
83
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan
pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping
yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase
(CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai
baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer
sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium
0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54
penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan
memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan
darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi
menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03
mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit
kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin
1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh
empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji
Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji
korelasi dari Spearman.
Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada
kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 )
dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok
midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit
kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian
fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak
korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor =
0,034; p = 0,013).
Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi,
mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya
dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk
mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah
fasikulasi.
Kata kunci: pretreatment, fasikulasi, mialgia, kenaikan CPK, suksinilkolin.
84
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENDAHULUAN
Suksinilkolin adalah obat pelumpuh otot
golongan depolarisasi yang saat ini masih
sering digunakan untuk fasilitas intubasi,
terutama pada anestesi emergensi (rapid-
sequence induction) dan anestesi rawat
jalan (ambulatory/ day case
anesthesia).1,2,3,4
Beberapa keuntungan pemberian
suksinilkolin untuk intubasi adalah mula
aksi yang cepat, lama kerja yang pendek,
murah, dan mudah diperoleh serta
toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7
Efek
samping suksinilkolin meliputi fasikulasi
otot, disritmia jantung, hiperkalemia,
reaksi anafilaktik, spasme otot masseter,
dan mialgia serta peningkatan tekanan
intragastrik, tekanan intraokuler dan
tekanan intrakranial, hingga timbulnya
komplikasi serius berupa hipertermia
maligna.1,4,6,7
Efek samping kerusakan otot yang
ditimbulkan akan disertai dengan
perubahan biokimia berupa peningkatan
kadar kalium, mioglobin dan kreatin
fosfokinase darah.7,8,9,10
Fasikulasi otot dan mialgia akibat
pemberian suksinilkolin merupakan
komplikasi yang sering dijumpai, dimana
berbagai studi melaporkan kejadian
mialgia paska suksinilkolin berkisar
antara 2% hingga 89%.2,11,12,13
Frekuensi
dan beratnya komplikasi ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti umur, jenis
kelamin, latihan otot sebelumnya,
kelainan metabolit, merokok, lama dan
jenis operasi, posisi pasien selama
operasi serta pemberian obat sebelumnya
(pretreatment).14,15
Berbagai penelitian sebelumnya
menemukan bahwa ternyata antara
fasikulasi otot dan mialgia paska operasi
akibat pemberian suksinilkolin tidak
terdapat kaitan yang bermakna.8,12,16
Banyak jenis obat yang telah diteliti
untuk mencari upaya alternatif dalam
mengurangi atau menghilangkan
fasikulasi otot dan mialgia paska
suksinilkolin, diantaranya pretreatment
dengan obat anestesi lokal, golongan
NSAID, preparat kalsium, preparat
magnesium, klorpromazin, vitamin,
golongan benzodiazepin dan yang paling
populer adalah dengan pelumpuh otot
non depolarisasi dosis kecil.9,10,13,17
Midazolam adalah obat golongan
benzodiazepin dengan potensial dua kali
lipat dari diazepam dan saat ini
merupakan obat yang paling sering
digunakan dalam premedikasi.1,7
Di
Amerika Serikat pada tahun 1996- 1997,
lebih dari 75% premedikasi
menggunakan midazolam18.
Diazepam, generasi pendahulu
midazolam, dua dasawarsa yang lalu
telah digunakan setidaknya pada dua
penelitian sebagai obat pretreatment
pencegah fasikulasi dan mialgia dengan
hasil cukup memuaskan, yaitu
mengurangi mialgia hingga 30%.17,19,20,21
Midazolam sendiri sejauh penelusuran
kepustakaan oleh penulis, baru satu kali
digunakan pada suatu penelitian yang
85
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
menyimpulkan bahwa midazolam tidak
bermanfaat dalam mencegah mialgia,
kenaikan kadar mioglobin dan kenaikan
kadar kreatin fosfokinase darah.10
METODE
Penelitian ini dilaksanakan dalam ruang
lingkup anestesiologi, dan merupakan uji
klinis tahap II fase 3, dirancang sebagai
uji klinis acak tersamar ganda (double
blind randomized controlled trial) yang
membandingkan 3 kelompok penelitian,
yaitu kelompok kontrol, kelompok
midazolam, dan kelompok atrakurium.
Penelitian ini dilakukan dengan
rancangan pre test – post test control
group design untuk variabel kadar kreatin
fosfokinase darah dan post test only
control group design untuk variabel skor
fasikulasi dan skor mialgia.
Populasi targetnya adalah penderita yang
mengalami operasi selektif dengan
anestesia umum di instalasi bedah sentral
RS Dr Kariadi Semarang serta memenuhi
kriteria inklusi, eksklusi, dan drop out.
Kriteria inklusi disini meliputi : jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, umur
16-40 tahun, status fisik ASA I-II, tidak
memiliki kelainan neuromuskular dan
atau metabolik, 5 hari sebelumnya tidak
melakukan aktivitas lebih dari aktivitas
harian, bukan penderita trauma, operasi
ortopedik atau kardiovaskular, tidak
sedang hamil dan tidak merokok, serta
tidak ada kontraindikasi penggunaan
obat-obat penelitian. Kriteria eksklusi
penelitian ini meliputi operasi yang
direncanakan lebih dari 2 jam, mendapat
injeksi intramuskular dalam 24 jam
sebelum operasi, mendapat obat jenis
pretreatment lain 24 jam sebelum operasi,
posisi operasi direncanakan tidak
telentang. Sedangkan kriteria drop out
penelitian ini adalah lama operasi
ternyata lebih dari 2 jam, lalu penderita
mengalami hipertermia maligna saat
operasi, mendapat injeksi intramuskular
selama 24 jam paska operasi. Alokasi
penderita untuk ketiga kelompok
penelitian dilakukan secara randomisasi
sederhana. Jumlah sampel 3 kelompok
adalah 45 orang, dan dengan
memperhitungkan faktor koreksi drop out
(diperkirakan 10%) maka jumlah sampel
keseluruhan sebanyak 56 orang.
HASIL
Telah dilakukan penelitian pengaruh
pretreatment midazolam atau atrakurium
terhadap fasikulasi, mialgia, dan
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah
akibat suksinilkolin pada 56 orang
penderita dengan status fisik ASA I – II
yang dibagi menjadi 3 kelompok,
masing-masing 19 orang penderita
kelompok midazolam (M) yang
mendapat pretreatment midazolam 0,03
mg/kgBB, 19 orang penderita kelompok
atrakurium (A) yang mendapat
pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB
dan 18 orang penderita kelompok kontrol
(K) yang tidak mendapat pretreatmnet
(diberi NaCL 0,9%). Dua orang penderita
dikeluarkan dari penelitian, yakni satu
orang dari kelompok midazolam karena
lama operasi lebih dari dua jam (operasi
polipektomi + CWL) dan satu orang dari
kelompok atrakurium karena pulang dari
86
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
rumah sakit sebelum 24 jam pasca
operasi (operasi medis wanita/ MOW).
PEMBAHASAN
Data–data karakteristik demografi (umur,
jenis kelamin, dan tingkat pendidikan),
kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan,
lama operasi dan jenis operasi dapat
dilihat pada tabel-tabel berikut. Jenis
operasi yang termasuk THT adalah
tonsilektomi, polipektomi, etmoidektomi
dan CWL. Jenis operasi ginekologi
meliputi ooforektomi, miomektomi, dan
kistektomi. Sedangkan jenis operasi
digestif meliputi appendiktomi dan
herniorafi.
Pada tabel 3 terlihat prosentase skor
fasikulasi berat kelompok atrakurium dan
midazolam lebih rendah daripada
kelompok kontrol. Uji kai kuadrat
terhadap perbedaan skor fasikulasi antara
ketiga kelompok menunjukkan
Tabel 1. Data karakteristik demografi, kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan
Variabel Kel.Midazolam
(n=18)
Kel.Atrakurium
(n=18)
Kel.Kontrol
(n=18) p
Umur (tahun) 28,72 (SB 8,42) 28,44 (SB 7,50) 29,00 (SB 7,81) 0,978*
Jenis Kelamin :
Laki – laki 4 (22,2%) 4 (22,2%) 4 (22,2%) 1,000*
Perempuan 14 (77,8%) 14 (77,8%) 14 (77,8%)
Tingkat Pendidikan :
Tak Tamat SD 1 (5,6%) 0 (0%) 0(0%)
Tamat SD 3 (16,7%) 5 (27,8%) 5 (27,8%)
Tamat SLTP 6 (33,3%) 5 (27,8%) 6 (33,3%) 0,662**
Tamat SLTA 6 (33,3%) 5 (27,8%) 7 (38,9%)
Tamat PT 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0 (0%)
Kadar CPK Awal 46,22 (SB 27,66) 49,83 (SB 28,45) 67,56 (SB 86,01) 0,462*
*)uji Anova = berbeda tak bermakna ;
**)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 2. Lama dan jenis operasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Variabel Kel.Midazolam
(n=18)
Kel.Atrakurium
(n=18)
Kel.Kontrol
(n=18) p
Lama Operasi (menit) 52,00 (SB 24,22) 52,22 (SB 32,67) 56,72 (SB 22,85) 0,839*
Jenis Operasi :
THT 5 (27,8%) 6 (33,3%) 5 (27,8%)
Eksisi Biopsi FAM 5 (27,8%) 5 (27,8%) 6 (33,3%)
Ginekologi 4 (22,2%) 2 (11,1%) 3 (16,7%) 0,992
MOW 2 (11,1%) 3 (16,7%) 3 (16,7%)
Digestif 2 (11,1%) 2 (11,1%) 1 (5,6%) *)uji Anova = berbeda tak bermakna ;
**)uji Kai kuadrat=berbeda tak bermakna
Tabel 3. Skor fakulasi kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol p
0 (tidak ada) 0 (0,0 %) 13 (72,2 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 9 (50,0 %) 5 (27,8 %) 4 (22,2 %)
2 (sedang) 3 (16,7 %) 0 (0,0 %) 6 (33,3 %) 0,000**
3 (berat) 6 (33,3%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
Jumlah 18 (100.00 %) 18 (100,00 %) 18 (100,00 %) **)
uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
87
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 4. Uji Wilcoxon Signed Ranks skor fasikulasi antar kelompok
Perbedaan Skor
Fasikulasi
Kel. Atrakurium –
Kel. Midazolam
Kel. Kontrol –
Kel. Atrakurium
Kel. Kontrol –
Kel. Midazolam
Z -3,464 -3,668 -1,536
p (2 ekor) 0,001* 0,000
* 0,125
*) berbeda bermakna
Tabel 5. Skor mialgia kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Skor Fasikulasi Kel. Midazolam Kel. Atrakurium Kel. Kontrol P
0 (nihil) 10 (55,6 %) 10 (55,6 %) 0 (0,0 %)
1 (ringan) 6 (33,3 %) 8 (44,4 %) 6 (33,3%) 0,000**
2 (sedang) 2 (11,1%) 0 (0,0 %) 8 (44,4 %)
3 (berat) 0 (0,0 %) 0 (0,0 %) 4 (22,2%) **
) uji Kai kuadrat = berbeda bermakna
Perbedaan Skor Mialgia Kel.Atrakurium-
Kel.Midazolam
Kel.Kontrol-
Kel. Atrakurium
Kel.Kontrol-
Kel.Midazolam
Z -3,720 -3,487
p(2 ekor) 0,480 0,000*
0,000*
*) berbeda bermakna
Dari data karakteristik tersebut terlihat
adanya perbedaan yang tidak bermakna
(p > 0,05) pada seluruh variabel di ketiga
kelompok penelitian.
Data hasil penilaian skor fasikulasi dapat
dilihat pada tabel 3. Adanya perbedaan
yang bermakna (p < 0,05). Untuk
mencari dimana letak perbedaannya,
analisis dilanjutkan dengan uji Wilcoxon
Signed Ranks (non parametrik) dengan
hasil pada tabel 4.
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
meskipun prosentase skor fasikulasi berat
kelompok atrakurium dan midazolam
lebih rendah daripada kelompok kontrol,
perbedaan ini hanya bermakna pada
kelompok atrakurium, sedangkan pada
kelompok midazolam kuadrat terhadap
perbedaan skor mialgia antara ketiga
kelompok penelitian menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna
(p<0,05).
Hasil uji hipotesis ini menunjukkan
bahwa prosentase skor mialgia berat pada
kelompok atrakurium dan secara
statistik tidak bermakna. Perbedaan
prosentase skor fasikulasi berat antara
kelompok atrakurium dan midazolam
secara statistik bermakna.
Data hasil pengukuran skor mialgia dapat
dilihat pada tabel 5. Midazolam lebih
rendah secara amat bermakna daripada
kelompok kontrol. Perbedaan prosentase
skor mialgia berat antara kelompok
atrakurium dan midazolam secara
statistik tidak bermakna. Pada tabel 5
terlihat bahwa prosentase skor mialgia
berat pada kelompok atrakurium dan
midazolam lebih rendah daripada
kelompok kontrol.
Data pengukuran kadar kreatin
fosfokinase pra perlakuan, pasca
perlakuan dan perbedaan (kenaikan)
diantara pra dan pasca perlakuan dapat
dilihat pada tabel 7. Terlihat bahwa
88
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
kenaikan kadar kreatin fosfokinase pada
kelompok midazolam maupun atrakurium
lebih rendah daripada kelompok kontrol.
Uji Anova terhadap perbedaan kadar
kreatin fosfokinase darah akibat
suksinilkolin. Diantara tiga akibat
(variabel terikat) pemberian suksinilkolin
ada korelasi antara mialgia dengan
kenaikan kadar fosfokinase antara ketiga
kelompok menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna (p = 0,013)
sehingga dilanjutkan dengan uji Post hoc
Bonferroni pada tabel 8.
Uji hipotesis ini menunjukkan bahwa
perbedaan kenaikan ini pada kelompok
atrakurium secara statistik bermakna,
sedangkan pada kelompok midazolam
tidak bermakna. Perbedaan kenaikan
kadar kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan midazolam
tidak bermakna secara statistik.
Tabel 7. Kadar kreatin fosfokinase kelompok midazolam, atrakurium dan kontrol
Kel.Midazolam Kel.Atrakurium Kel.Kontrol p
Rerata SB Rerata SB Rerata SB
CPK pra perlakuan 46,22 27,66 49,83 28,45 67,55 86,01 0,462
CPK pasca perlakuan 97,00 53,07 80,56 70,56 182,00 141,36 0,006*
Perbedaan CPK 50,78 64,13 30,72 62,30 114,44 116,59 0,013*
*)uji Anova = berbeda bermakna
Tabel 8. Uji Post hoc Bonferroni perbedaan kadar kreatin fosfokinase antar kelompok
Perbedaan Kadar CK Kel.Atrakurium –
Kel.Midazolam
Kel.Kontrol –
Kel.Atrakurium
Kel.Kontrol –
Kel.Midazolam
Beda Rerata 20,00 83,72 63,67
p(2 ekor) 1,000 0,014*
0,086 *)berbeda bermakna
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan bahwa atrakurium (dosis 0,05
mg/kgBB) efektif digunakan sebagai
pretreatment dalam mengurangi
fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar
fosfokinase darah akibat suksinilkolin.
Kemudian midazolam (dosis 0,03
mg/KgBB) sebagai pretreatment sama
efektifnya dengan atrakurium dalam
mengurangi mialgia akibat suksinilkolin,
tidak efektif dalam mengurangi fasikulasi
akibat suksinilkolin, dan kurang efektif
dibandingkan atrakurium dalam
mengurangi kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah, tidak ada korelasi
antara fasikulasi dengan mialgia, dan
tidak ada korelasi antara fasikulasi
dengan kenaikan kadar kreatin
fosfokinase darah.
Sesuai dengan kesimpulan di atas, kami
menyarankan agar atrakurium dapat
dipergunakan sebagai pretreatment yang
efektif dalam mencegah atau mengurangi
fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar
kreatin fosfokinase darah akibat
pemberian suksinilkolin. Kemudian
diharapkan dilakukan penelitian lebih
lanjut terhadap efektivitas midazolam
sebagai pretreatment dengan dosis lebih
besar, interval waktu pemberian lebih
lama dan cara atau rute pemberian yang
berbeda (misalnya secara intramuskular
yang biasa dilakukan dalam premedikasi)
serta dengan konfirmasi silang dari hasil
pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase
agar hasilnya lebih sahih.
89
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.
Lee‟s synopsis of anaesthesia. 12th ed.
Oxford : Butterworth Co, 174 – 99, 200 –
28, 416 – 8.
2. Cartwright DP. Suxamethonium in day-case
anesthesia. Br J Anesth 1993 ; 71(6) : Corr.
3. Alikhami S, Robert JT. Airway evaluation
and management. In : Hurford WE, Bailin
MT, Davison JK, Haspel KL. Clinical
anesthesia procedures of the Massachusetts
General Hospital. 5th ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 1998 : 204 – 22.
4. Stacey MRW, Barclay K, Asai T, Vaughan
RS. Effects of magnesium sulphate on
suxamethonium-induced complications
during rapid-sequence induction of
anesthesia. Anesthesia 1995 ; 50 : 933 – 6.
5. Durant NN, Katz RL. Suxamethonium. Br J
Anesthesia 1982; 54: 195 – 205.
6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller
RD. Pharmacology of muscle relaxants and
their antagonists. Miller RD Anesthesia 5th
ed. Philadelphia : Churchill Livingstone,
2000 : 412 – 90.
7. Stoelting RK. Pharmacology and Physiology
in Anesthesic Practice 3rd ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 1999: 126 – 39, 182 –
223, 748 – 51.
8. Maddieni VR, Mirakhur RK, Cooper AR.
Myalgia and biochemical changes following
suxamethonium after induction of anesthesia
with thiopenton or propofol. Anesthesia 199;
48: 626 – 8.
9. McLouglin C, Elliot P, McCarty. Muscle
pains and biochemical changes following
suxamethonium administration after six
pretreatment regimens. Anesthesia 1992; 47:
202 – 6.
10. Laurence AS. Myalgia and biochemical
changes following intermittent
suxamethonium administration. Anesthesia
1987; 42: 503 – 10.
11. Ferres CJ, Mirakhur RK, Craig HJL.
Pretreatment with vecuronium as a
prophylactic againts post-suxamethonium
muscle pain. Br J Anesthesia 1983; 55: 735
– 41.
12. Raman SK, San WM. Fasciculations,
myalgia and biochemical changes following
succinylcholine with atracurium and
lidocaine pretreatmnet. Can J Anesthesia
1997; 44: 498 – 502.
13. Cannon JE. Precurarization. Can J Anesth
1994; 41: 177 – 83.
14. Houghton IT, Aun CST, Gin T.
Suxamethonium myalgia: an ethnic
comparison with and without pancuronium
pretreatment. Anesthesia 1993; 48: 377 – 81.
15. Brodsky JB, Ehrenwerth J. Postoperative
muscle pain and suxamtethonium. Br J
Anesth 1980; 52: 215 – 8.
16. Kahraman S, Ercan S, Aypar U, Erdem K.
Effect of preoperative i.m. administration of
diclofenac on
17. Pace NL. Prevention of succinylcholine
myalgias: a meta-analysis. Anesth Analg
1990; 70: 477 – 83.
18. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K.
Role of Magnesium Sulphate in
Postoperative Analgesia. Anesthesiology
1996; 84: 340-7.
19. Koinig H, Wallner T, Marhofer P,
Magnesium Sulphate Reduces Intra and
Postoperative Analgesic Requirements.
Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10.
20. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith
OH. Perioperative Magnesium Infusion and
Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica
Scandinavica 1997; 41: 1023-7.
21. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K,
Magnesium Sulphate does not Reduces
Postoperative Analgesic Requierments.
Anesthesiology 2001; 95: 640-6.
90
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
PENELITIAN
Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan
Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin
Imam Suyuti*, IGN Panji*, Mohammad Sofyan Harahap *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background:Succinylcholine is the only one muscle relaxant with rapid action and short
duration, but it has some side effects, such as increasing of intraocular pressure.
Precurarisation with non depolarizing muscle relaxants could prevent this but may
increase the succinylcholine dose. Magnesium sulphate works competitively in the
neuromuscular junctionon prejunctionaly site.
Purpose: To proof that magnesium sulphate pretreatment to prevent has the same
efficiency with atracurium in preventing the increased of intraocular pressure caused by
succinylcholine administration.
Methods : The study was clinical trial stage II, with double blind randomized controlled
trial. The number of samples was 54 patients divided into 2 groups; Group I :threated with
magnesium sulphate 40 m/kg intravenously in l0 minutes, 3 minutes before inductin. Group
II : administrationNaCl20 in in l0 ml, subsequently atracurium 0,05 ml/kg in 3 ml, 3
minutes before induction, in l0minutes, 13 minutes before induction, subsequently NaCl 3
ml, 3 minutes before induction.
Results: There was no increased in intraoccular pressurc 2 minutes after succinylcholine
administration both groups. But there was a decreased in intraoccular pressure on both
goups. There was, no Siqnificant change of intraoccular pressure in both groups after
sucynilcholine administration
Conclusion: There was no intraocular prcssure increase after
succinylcholineadministration in patients treated by magnesium sulphate, and atracurium.
There was no significant difference in the change of intraocular pressure after
pretreatment with magnesium sulphate and also atracurium.
Keywords: Succinylcholine atracurium, magnesium sulphate, intraocular pressure.
ABSTRAK
Latar belakang : Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi
kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan
intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan
peningkatan dosis suksinilkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada
neuromuscular junction menduduki prejunctional site.
91
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan
pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pemberian
suksinilkolin.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I :
diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10
menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml3 menit sebelum induksi. Kelompok
II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan
atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan
intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera
setelah intubasi.
Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan
intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada
perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun
II.
Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat
pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan
tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
Kata kunci : suksinilkotin, tekanan intraokuler, magnesium sulfat, atracurium.
PENDAHULUAN
Suksinilkolin adalah satu-satunya obat
pelumpuh otot golongan depolarisasi,
yang digunakan dalam praktek klinik.
Suksinilkolin merupakan satu-satunya
obat anestesi dengan kejadian komplikasi
yang begitu tinggi yang masih tetap
digunakan sampai saat ini, karena obat ini
mempunyai onset yang cepat dan durasi
kerja yang sangat singkat walaupun hal
ini tidak selalu menguntungkan.1,2,3
Penggunaan suksinilkolin hanya untuk
fasilitas intubasi, terutama pada anestesi
keadaan darurat (rapid-sequence
induction), anestesi rawat jalan
(ambulatory/day-case anaesthesia), dan
pada pasien dengan prediksi kesulitan
intubasi.l,2,3,4
Keuntungan lain penggunaan
suksinilkolin untuk fasilitas intubasi
adalah harganya murah, mudah diperoleh,
stabil disimpan dalam suhu kamar serta
toksisitas jaringan yang rendah.1,5,6,7
Efek
samping suksinilkolin adalah fasikulasi
otot disritmia jantung hiperkalemia
reaksi anafilaktik spasme otot masseter,
mialgia, peningkatan tekanan intragastrik
kenaikan tekanan intraokuler dan tekanan
intrakranial, sampai komplikasi serius
berupa hipertermi maligna. 1,4,6,7
92
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Fasikulasi adalah kontraksi otot rangka
secara cepat terus menerus (tetanik), tidak
sinkron disebabkan oleh depolarisasi
yang terus-menerus, akibat ikatan
suksinilkolin dengan reseptor membran
post sinap.7 Fasikulasi ini menyebabkan
efek samping yang tidak diinginkan
seperti kenaikan kadar kalium,
peningkatan tekanan intrakranial,
kenaikan tekanan intragastrik dan
kenaikan tekanan infaokuler.7
Berbagai
metode dan jenis obat telah diteliti
sebagai pretreatment untuk mencegah
atau mengurangi efek samping akibat
pemberian suksinilkolin, diantaranya
adalah: magnesium,8,9
golongan NSAID,
benzodiazepin, obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi kalsium dan
magnesium.10,11
Efek suksinilkolin yang menaikkan
tekanan intraokuler membatasi
penggunaannya terutama pada pasien
dengan trauma tembus mata dan operasi
mata yang akan membuka bilik
anterior.12,13,14
Kenaikan tekanan
intraokuler setelah pemberian
suksinilkolin disebabkan karena efek
langsung dari kontraksi (fasikulasi) otot
ekstraokuler,13,14
dan mungkin karena
dilatasi sementara dari pembuluh darah
koroid.15
Berbagai jenis obat pelumpuh otot
golongan non depolarisasi telah diteliti
untuk mencegah timbulnya efek samping
akibat pemberian suksinilkolin mulai dari
tubokurarin, galamin, pankuronium,
alkuronium, atrakufium, vekuronium,
okuronium hingga mivakurium.16,17,18
Tetapi pemberian obat pelumpuh otot
golongan non depolarisari sebelum
pemberian suksinilkolin untuk mencegah
kenaikan tekanan intraokuler
menyebabkan peningkatan jumlah
suksinilkolin yang dibutuhkan untuk
relaksasi sampai antara 50-90%.15,19
Sedangkan menurut Bartkowski dan
Savarese, pemberian prekurarisasi dengan
makurium dan pelumpuh otot non
depolarisasi lainnya mengakibatkan
perlambatan mula kerja dan penurunan
kualitas (kondisi intubasi) blok
neuromuskuler oleh suksinilkolin,
sehingga dosis suksinilkolin harus
ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB
menjadi 1,5 mg/kgBB, yang juga berarti
akan menaikkan resiko komplikasinya.6,19
Efek magnesium pada neuromuscular
junction adalah ion magnesium bekerja
secara kompetitif dengan ion kalsium
untuk menduduki prejunctional site.
Magnesium memblok pelepasan kalsium
oleh retikulum sarkoplasma sehingga
menyebabkan penutupan kanal kalsium20
,
masing-masing ion bekerja secara
antagonis satu sama lain, ion magnesium
yang tinggi akan menghambat pelepasan
asetilkolin sedangkan ion kalsium yang
tinggi akan meningkatkan pelepasan
asetilkolin dari presinaptic nerve
terminal.
Diketahui juga bahwa ion magnesium
memiliki efek inhibisi pada
postjunctional potential dan
mengakibatkan turunnya eksitabilitas
membran pada serat-serat otot.20
Namun,
sampai saat ini secara langsung belum
93
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
diketahui efek pretreatment magnesium
sulfat terhadap kenaikan tekanan
intraokuler karena pemberian
suksinilkolin.
METODE
Penelitian ini dilaksananakan dalam
ruang lingkup anestologi, penelitian ini
memerlukan waktu sekitar 10 minggu
dan dimulai sejak usulan ini disetujui.
Penelitian ini merupakan uji klinis tahap
II dan dirancang sebagai uji klinis acak
ganda (double blind randomized
controlled trial) yang membandingkan 2
kelompok penelitian, yaitu kelompok
magnesium sulfat (I) dan atrakurium (II).
Penelitian dengan rancangan pre-test
post-test group design.
Sampel kami adalah Penderita yang
menjalani operasi elektif di Instalasi
Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi
Semarang serta memenuhi kriteria
inklusi.
Kriteria inklusi :
1. Pasien yang menjalani operasi dengan
anestesi umum
2. Jenis kelamin laki - laki dan
perempuan
3. Usia 16-40
4. Status fisik ASA I-II
5. Pasien setuju diikutsertakan dalam
penelitian
Kriteria eksklusi :
1. Kelainan metabolisme (hiper-
paratiroid, hipoparatiroid, diabetes
melitus)
2. Hipertensi
3. Kelainan otot
4. Menderita glaukoma
5. Menderita trauma mata
6. Kelainan ginjal
7. Terdapat kontra indikasi terhadap
obat-obat yang dipakai dalam
penelitian
Alokasi penderita untuk kedua kelompok
penelitian dilakukan secara random
sederhana dengan consecutive sampling
(quota sampling). Membuat daftar urutan
perlakuan (kontrol/perlakuan) sebanyak
54 pasien dengan menggunakan daftar
bilangan acak, nomer ganjil untuk
perlakuan dan genap untuk kontrol.
Penelitian ini menggunakan metode
double blinding. Penderita dipuasakan 6
jam sebelum operasi dan kebutuhan
cairan selama puasa dipenuhi dengan
pemberian infus ringer laktat sejak puasa.
Di ruang perawatan penderita tidak
mendapatkan premedikasi, setelah
sampai di ruang operasi dilakukan
pemasangan monitor kemudian diukur
tekanan darah (TD), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju jantung (LJ) sebagai data
dasar pada penelitian ini. Salah satu mata
pasien ditetesi pantokain l1%, ditunggu 1
menit dan diukur tekanan intraokulernya
dengan tonometri dibantu oleh seorang
dokter spesialis Ilmu Penyakit Mata yang
telah ditunjuk.
Penderita mendapat pretreatment masing-
masing sesuai kelompok yang telah
ditentukan secara acak sebelumnya.
Kelompok I diberikan MgSO4 40% 40
mg/kgBB diencerkan sampai 20 ml,
diberikan dalam waktu l0-13 menit
sebelum induksi, kemudian diberikan
NaCl 3 ml, 3 menit sebelum induksi.
94
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Kelompok II diberikan NaCl 20 ml dalam
10 menit, 13 menit sebelum induksi,
kemudian diberikan atracurium 0,05
mg/kgBB, 3 menit sebelum induksi.
Setelah 3 menit, pada kelompok I dan II
dilakukan induksi dengan propofol 1%
secara titrasi intravena (2-2,5 mg/kgBB)
dengan kecepatan 0,5 cc/detik. Setelah
reflek bulu mata hilang, diikuti
pemberian suksinilkolin 1 mg/kgBB
intravena dalam l0 detik. Dua menit
kemudian peneliti pembantu mengukur
kembali tekanan introkuler dengan alat
tonometri yang telah disiapkan, kemudian
dilakukan intubasi endotrakea. Satu menit
setelah intubasi, tekanan infaokuler
diukur kembali, TD, TAR dan LJ dicatat
siap dilakukan pengukuran tekanan
intraokuler.
Analgetik digunakan tramadol 2
mg/kgBB intravena dan sebagai rumatan
anestesi digunakan isofluran, O2 : N2O
(50%:50%) dan trakrium hingga selesai.
Data yang terkumpul akan dilakukan
editing, coding dan dimasukkan ke dalam
file kemudian dilakukan cleaning.
Setelah itu dilakukan analisis statistik
sebagai berikut:
1. Dilakukan analisis deskriptif dengan
menghitung nilai mean±SD untuk nilai
tekanan intraokuler (bila distribusi
normal). Namun, bila distribusi tidak
normal akan dihitung mediannya.
Hasil disusun dalam bentuk tabel.
2. Analisis bivariate akan menguji
komparabilitas karateristik (umur,
jenis kelamin, kelainan metabolik, dll)
menurut kelompok perlakuansesuai
dengan skala pengukuran variabel.
3. Analisis statistik selanjutnya akan
menguji perbedaan tekanan intraokuler
sebelum dan sesudah pemberian
suksinilkolin, pada kelompok
magnesium dan atracurium dengan
menggunakan Paired t-test (bila
distribusi normal) atau Wilcoxon Rank
Sum test (bila distribusi tidak normal).
4. Kemudian akan diuji perbedaan
perubahan tekanan intraokuler antara
kelompok I, II dengan menggunakan
independent t-test (bila disribusi
normal) atau menggunakan Mann-
Whitney U test (bila disribusi tidak
normal).
HASIL
Subyek penelitian ini adalah penderita
yang menjalani operasi atau tindakan
bedah elektif dengan anestesi umum di
Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang. Jumlah subyek
penelitian 54 orang, yang terbagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok
magnesium dan kelompok atrakurium,
dengan masing-masing 27 orang tiap
kelompok.
Subyek penelitian ini terdiri dari 26 laki-
laki dan 28 perempuan. Pada kelompok
magnesium, subyek perempuan lebih
banyak daripada laki-laki, yaitu 48% laki-
laki dan 52% perempuan 52%.
Sedangkan pada kelompok atracurium
terdiri dari 48% laki-laki dan 52%
perempuan.
Dari tabel 1, bisa kita lihat, rerata umur
dan rerata Body Mass Indeks (BMI)
kelompok magnesium dan kelompok
95
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
atrakurium tidak didapatkan perbedaan
yang bermakna.
Untuk variabel tekanan darah sistolik,
diastolik dan TAR antara kelompok
magnesium dan atracurium tidak ada
perbedaan yang bermakna. Sedangkan
tekanan irtraokuler antara kelompok
magnesium dan atracurium sebelum
perlakuan juga tidak pada perbedaan
yang bermakna. Dengan demikian, kedua
kelompok ini layak untuk dibandingkan.
Dari tabel 4 setelah dilakukan intubasi,
tekanan darah sistolik & diastolik, TAR
dan jantung tidak terdapat perbedaan
yang bermakna antara kelompok
magnesium dan (p>0,05). Sedangkan
tekanan intraokuler antara kelompok
magnesium dan atracurium terdapat
perbedaan bermakna (p>0,05)
Tabel 1. Karakteristik Subyek Penelitian
No. Variabel
Kelompok Perlakuan
(Magnesium)
(n=27)
Kelompok Kontrol
(Atracurium)
(n=27)
Uji statistik P
1. Umur (tahun) 32,33±9,60 33,41±6,91 Uji-t 0,639
2. Jenis kelamin
(%)
- Laki-laki 48,1 48,1 Mann-Whitney 1
- Perempuan 51,9 51,9
3. BMI 21,96±2,39 21,81±2,04 Uji-t 0,808
Tabel 2. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung, Tekanan Intraokuler
Sebelum Anestesi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
No. Variabel
Kelompok
Perlakuan
(Magnesium)
(n=27)
Kelompok
Kontrol
(Atracurium)
(n=27)
Uji statistik P
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 68,70±12,04 Indepen t test 0,730
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 15,14±1,39 14,19±1,43 Indepen t test 0,685
Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
No. Variabel
Kelompok
Perlakuan
(Magnesium)
(n=27)
Kelompok
Kontrol
(Atracurium)
(n=27)
Uji
Statistik P
1. TDS 115,44±12,14 114,96±11,95 Indepen t test 0,884
2. TDD 69,85±13,03 65,70±12,04 Indepen t test 0,230
3. TAR 84,81±10,07 83,04±9,84 Indepen t test 0,515
4. LJ 85,00±6,89 84,85±11,10 Indepen t test 0,953
5. TIO 12,88±0,95 12,41±1,00 Indepen t test 0,085
96
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Tabel 4. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, Tekanan Arteri Rerata, Laju Jantung dan Tekanan
Intraokuler Setelah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan Atrakurium
No. Variabel
Kelompok
Perlakuan
(Magnesium)
(n=27)
Kelompok
Kontrol
(Atracurium)
(n=27)
Uji
Statistik p
1. TDS 127,70±14,49 134,22±19,49 Indepen t test 0,169
2. TDD 78,19±11,26 82,37±14,26 Indepen t test 0,237
3. TAR 95,11±12,60 100,15±15,86 Indepen t test 0,202
4. LJ 91,85±3,63 94,48±11,87 Indepen t test 0,356
5. TIO 16,21±1,46 17,16±1,45 Mann-Whitney
test 0,024
Tabel 5. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Setelah Pemberian Suksinilkolin pada Kelompok
Magnesium dan Atrakurium
No. Variabel TIO Sebelum
Anestesi
TIO Setelah
Pemberian
Suksinilkolin
Uji Statistik P
1. Magnesium 15,14±1,39 12,88±0,95 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 12,41±1,00 Pair t test 0,000
Tabel 6. Tekanan Intraokuler Sebelum Anestesi dan Sesudah Intubasi pada Kelompok Magnesium dan
Atrakurium
No. Variabel TIO Sebelum
Anestesi
TIO Setelah
Intubasi Uji Statistik P
1. Magnesium 15,14±1,39 16,21±1,46 Pair t test 0,000
2. Atracurium 14,19±1,43 17,16±1,45 Pair t test 0,000
Dari tabel 3 kita ketahui bahwa setelah
diberikan suksinilkolin tekanan darah
diastolik, TAR, laju jantung, dan
tekanan intaokuler tidak tedapat
perbedaan bermakna antara kelompok
magnesium dan atracurium (p>0,05).
Dari tabel 5 kita lihat bahwa pada
kelompok magnesium, tekanan
intraokuler dan setelah pemberian
suksinilkolin mengalami penurunan yang
bermakna. Demikian juga pada
kelompok atracurium, tekanan intraokuler
setelah suksinilkolin bila dibandingkan
dengan nilai tekanan intraokuler sebelum
mengalami penurunan secara bermakna
(p < 0,05). Tekanan intraokuler (tabel 2),
tidak terdapat perbedaan yang bermakna
(p> 0,05) antara kelompok magnesium
dan atrakurium, sehingga kedua
kelompok. Dari tabel 6 kita lihat bahwa,
pada kelompok magnesium, tekanan
intraokuler sebelum dan setelah intubasi,
mengalami kenaikan yang bermakna (p<
0,05). Demikian juga pada kelompok
atrakurium, tekanan intraokuler settelah
intubasi bila dibandingan dengan nilai
tekanan intraokuler sebelum anestesi
mengalami kenaikan secara bermakna
(p<0,05).
PEMBAHASAN
Untuk karakteristik subyek kedua
kelompok penelitian, yaitu jenis kelamin,
umur, dan Body Mass Index (BMI),
setelah diuji beda tidak terdapat
97
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
perbedaan yang bermakna antara kedua
kelompok penelitian (Tabel 1). Sehingga
kelompok magnesium dan atrakurium ini
layak untuk dibandingkan.
Demikian juga, setelah dilakukan
analisis statistik variabel tekanan darah
sistolik dan diastolik tekanan arteri rata-
rata, laju jantung dan tekanan
sebanding sebelum diberikan perlakuan.
Pada tabel 3 nilai tekanan intraokuler
setelah pemberian suksinilkolin pada
kelompok magnesium dan atrakurium
tidak ada perbedaan yang bermakna
(p>0,05). Berarti bahwa pretreatment
dengan magnesium sulfat dapat
mencegah kenaikan tekanan intraokuler
karena suksinilkolin sebaik pretreatment
dengan atrakurium. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rushman, dkk bahwa
prekurarisasi tiga menit sebelum induksi
anestesi dengan pelumpuh otot non
depolarisasi termasuk atracurium,
vecuronium dan pelumpuh otot yang lain
akan mencegah kenaikan tekanan
intraokuler karena efek samping
suksinilkolin.
Demikian juga penelitian yang dilakukan
SK Raman dan kawan-kawan,
mendapatkn bahwa precurarisasi dengan
atracurium 0,05 mg/kgBB, tiga menit
sebelum pemberian suksinilkolin dapat
mencegah kejadian fasikulasi sampai
kurang lebih 60% yang akan mencegah
kenaikan tekanan intraokuler karena
suksinilkolin. Sedangkan Libonati dan
kawan-kawan menggunakan pretreatment
pelumpuh otot non depolarisasi untuk
mengontrol kenaikan tekanan intraokuler
saat Rapid-squence induction dengan
suksinilkolin pada pasien dengan trauma
mata tembus.21
Sakuraba dkk (2006) dalam penelitiannya
juga mendapatkan bahwa pretreatment
dengan magnesium sulfat 40 mg/kgBB,
1,5 menit sebelum pemberian
subsinikolin lebih efektif untuk menekan
kejadian fasikulasi karena suksinilkolin,
dibandingkan dengan prekurarisasi
vecuronium 0,02 mg/kg BB, 3 menit
sebelum pemberian suksinilkolin.
Kejadian fasikulasi inilah yang akan
menaikkan tekanan intraokuler, akibat
kontraksi otot-otot ekstraokuler.
Sehingga pretreatment dengan
magnesium sulfat sebelum pemberian
suksinilkolin diharapkan mampu
mencegah kenaikan tekanan intraokuler
lebih baik.
Pada tabel 4 kita lihat bahwa setelah
intubasi tekanan darah sistolik, diastolik
tekanan arteri rerata dan laju jantung
antara kelompok magnesium dan
atrakurium tidak ada perbedaan
bermakna. Tetapi tekanan intraokuler
antara kelompok magnesium dan
atrakurium ada perbedaan bermakna
dimana pada kelompok atrakurium
tekanan intraokuler lebih tinggi. Hal ini
kemungkinan karena pretreatment
dengan magnesium sebelum intubasi bisa
mengurangi gejolak intubasi karena bisa
menekan kenaikan kadar kortisol saat
intubasi. Sedangkan pretreatment dengan
atrakurium sebelum pemberian
suksinilkolin akan memperlambat onset
98
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
dan mengurangi kualitas relaksasi saat
intubasi.22
Pada tabel 5 tekanan intraokuler pada
kelompok magnesium dan atrakurium
setelah pemberian suksinilkolin tidak
mengalami peningkatan. Pemberian
suksinilkolin seharusnya meningkatkan
tekanan intraokuler sebesar 10-20
mm/Hg. Tetapi hal tersebut tidak terjadi
pada pasien dalam penelitian ini, karena
pemberian pretreatment obat pelumpuh
otot non depolarisasi seperti atrakurium
yang bekerja pada reseptor nikotinik
kolinergik prejunctional dapat mencegah
terjadinya fasikulasi karena suksinilkolin
tanpa mernpengaruhi kerja antagonis
suksinilkolin pada reseptor kolinergik
post sinap.22
Fasikulasi inilah yang akan
menyebabkan kenaikan tekanan
intraokuler.12,13
Demikian pretreatment
dengan magnesium akan mencegah
terjadinya kenaikan tekanan intra okuler
karena suksinilkolin, karena ion
magnesium yang bekerja secara
kompetitif dengan ion kalsium untuk
menduduki prejunctional site, akan
memblok pelepasan kalsium oleh
retikulum sarkoplasma sehingga
menyebabkan penutupan kanal kalsium.20
Hal ini akan menghalangi aksi agonis dari
suksinilkolin pada reseptor nikotinik
prejunctional pada neuromuscular
junction, sehingga akan mencegah
timbulnya fasikulasi.11,22
Pada tabel 5
ini juga kita lihat bahwa, tekanan
intraokuler setelah pemberian
suksinilkolin justru mengalami
penurunan. Penurunan nilai tekanan intra
okuler ini secara statistik bermakna
karena nilai p<0,05. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena, peningkatan tekanan
intraokuler bisa dicegah dengan
pemberian pretreatment magnesium
sulfat atau atrakurium, sedangkan
pemberian propofol sebelum
suksinilkolin menyebabkan penurunan
tekanan intraokuler.
Propofol menyebabkan relaksasi otot-otot
ekstraokuler, memperbaiki aliran humor
aqueous menyebabkan penurunan
tekanan darah, sehingga menyebabkan
penurunan tekanan intraoluler.10,12
Pada
tabel 8, tekanan intraokuler setelah
intubasi mengalami kenaikan bermakna
dibandingkan dengan sebelum anestesi,
pada kelompok magnesium maupun pada
kelompok atracurium. Hal ini karena
intubasi akan menyebabkan kenaikan
tekanan intra okuler lewat peningkatan
penganuh saraf simpatis. Sedangkan
pretreatment dengan magnesium tidak
sepenuhnya mampu menekan gejolak
intubasi.10,12,21
SIMPULAN
Tidak ada kenaikan tekanan intraokuler,
sebelum perlakuan dan setelah pemberian
suksinilkolin pada kelompok magnesium
dan atrakurium. Tidak ada perbedaan
yang bermakna antara nilai tekanan
intaokuler kelompok magnesium dan
kelompok atracurium, setelah pemberian
suksinilkolin. Magnesium sulfat dapat
digunakan sebagai alternatif pretreatment
untuk mencegah kenaikan tekanan
intraokuler akibat pemberian
suksinilkolin. Pretreatment dengan
99
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
magnesium dan atrakurium masih belum
mampu sepenuhnya mencegah
peningkatan tekanan intraokuler setelah
intubasi sehingga diperlukan penambahan
obat-obat lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusman GB, Davies NJH, Cashman JN.
Lee's synopsis of anaesthesia. 12th
ed.Oxford:
Butterworth Co; 1999, l7-99
2. Cartwright DP. Suxamethonium. In: Day-
case anaesthesia. Br J Anaesth 1998;
71(6):200-28.
3. Aliktrani S, Roberts JT. Airway evaluation
and management. ln: Hurford WE,Bailin MT,
Davison JK, Haspel KL, Rosow C (eds).
Clinical anesthesiaprocedures of the
Massachusetts General Hospital. 5th ed.
Philadelphia :Lippincoff-Raven; I 998,
20+22.
4. Stacey MRW, Barclay K Asai T, Vauglran
RS. Effects of magnesium sulphate
onsuxametonium-induced complications
during squence induction of
anaesthesiaAnaesthesi a 1999; 50: 933-6.
5. Durant NN ,KatzRL. Suxamethonium. Br J
Anaesth 1992; 54: 195-205.
6. Savarese JJ, Caldwell JE. Lien CA, Miller
RD. Pharmacology of muscle relanantsand
their antagonists. In: Miller RD (ed).
Anesthesia 56 ed. Philadelphia :Churchill
Livingstone ; 2000, 412-90.
7. Stoelting RK. Neuromuscular bloking drugs.
In: Pharmacology and physiolory innesthetic
practice. 3rd.
Philadelphia : Lippincott-Raven;
1999, 126-39.
8. Sakuraba S, Serita R, Kosugi S, at al.
Pretreatrnent with m sulphate is
associatedwith less succinylcholine- induced
fasciculation and subsequent
trachealintubation-induced hemodynamic
changes than precurarization with
vecuroniumduring rapid sequence induction.
2006. Available from
:http://cat.inist.frl?aModelraffi cheN&cpsidp
18187504.
9. Mcloughlin C, Elliot P, McCarthy G,
Mirakhur RK. Muscle pains andbiochemical
changes following suxamethonium
adminisnation after sixpreteafrnent regimens,
Anaesthesi; 1997: 202-6.
10. Laurence AS. Myalgia and biochemical
changes following intermitentsuxamethonium
administration. Anaesthesi a 1997 ;42: 503-
10.
11. Cannon JE. Precuraritation. Can J Anaesth
1994;41: 177-83.
12. Morgan GE, Mikhail MS.Anesthesia for
Ophtalmic Surgery In : Clinicalanesthesiol
2nd
. ed. New York : Mc Graw Hill ; 2000 ,
397 -8.
13. Donlon JV. Anesthesia for eye, ear, nosq and
throat surgery.In : Miller RD ( editor).
Anesthesia. 5thed. Philadelphia: Churchill
Livingstone; 2000, 2176-8.
14. Miller RD. Obat pelemas otot. Dalam
Karzung BG (editor). Farmakologi dasardan
klinik. Terjemahan AnwarAgoes. Jakarta:
EGC; 1998,423-34.
15. Fenes CJ, Mirakhur RK, Craig FIJL, Browne
ES, Clarke RSJ. Meatment withvecuronium
as a prophylactis against post-
suxarnethonium muscle pain. Br JAnaesth
1993; 55: 735-41.
16. Bennetts FE, Khalil KI. Reduction of post-
suxamethonium pain by pretreatmentwith
four nondepolarizing agents. Br J anaesth
1987;53: 53-16
17. McCoy EP, Connoly FM, Mirakhur RK,
Loan PB, Paxton LD. Nondepolarizing
neuromuscular blocking drugs and train of-
four trade. Can J Anaesth l997 42:213-6.
18. Pace NL. Prevention of succinylcholine
myalgias: a meta-analysis. Anesth
Analg990;70: 477-83.
19. Dube L, Granry JC. The therapeutic use of
magnesium in anesthesiology,intensive care
and emergency medicine : a review.
Neuroanesthesia and IntensiveCare. Canadian
Journal of Anesthesia 2003; 50:73246.
20. Coetzeein. EI, Dommisse J, Anthony J. A
randomized controller fiial of intra venous
magnesium sulphate venus placebo the
management of women with severe pre-
100
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
eclampsia. Br J Obstet Gynaecol 198; 105:
300-3.
21. Libonati MM, Leahy JJ, Ellison N. The use
of succinylcholine in open eyesurgery.
Anesthesiology 1995; 62: 63-40.
22. Bennetts FE, Khalil LI. Reduction of post
suxamethonium pain by pretreahtentwith four
nondepolarizing agents. Br J Anaesth
1997;53: 531
101
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
TINJAUAN PUSTAKA
Pemantauan Tekanan Intra Kranial
Igun Winarno*, Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Treatment of patients with increased intra-cranial pressure in the pressure began with
monitor with invasive and non invasive way before the management of surgical and non
surgical. It was instrumental in the field of management of anesthesia for intra-cranial
pressure lowering to keeping the airway, keeping the emotional stability of patients with
sedation drugs and anelgetik, the use of drugs and inhalation agents that do not affect
intra-cranial pressure and cope with the effects that arise later.
ABSTRAK
Penanganan penderita dengan peningkatan tekanan intra kranial di mulai dengan
memonitor tekanannya sendiri baik dengan cara invasive maupun non invasive, kemudian
dengan pengelolaan secara bedah dan non bedah. Pengelolaan dibidang anestesi sangat
berperan untuk menurunkan tekanan intra kranial yaitu dimulai dengan menjaga jalan
nafas, menjaga kestabilan emosi penderita dengan obat-obat sedasi dan anelgetik,
penggunaan obat-obatan dan agent inhalasi yang tidak mempengaruhi tekanan intra
kranial serta mengatasi efek yang timbul kemudian.
PENDAHULUAN
Ruang di dalam kepala dibatasi oleh
struktur yang kaku, semua kompartemen
intra kranial ini tidak dapat
dimampatkan, hal ini dikarenakan
volume intra kranial yang konstan
(Hukum Monro-Kellie). Oleh karena itu
bila terdapat kelainan pada salah satu isi
yang mempengaruhi peningkatan volume
didalamnya akan terjadi peningkatan
tekanan intra kranial setelah batas
kompensasi (compliance) terlewati.
Tekanan intra kranial normal berkisar
pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai
kurang dari 15 mmHg untuk anak dan
dewasa, sedangkan bila lebih dari 20
mmHg dan sudah menetap dalam waktu
lebih dari 20 menit dikatakan sebagai
hipertensi intra kranial. Efek
peningkatan tekanan intra kranial
sangatlah kompleks, oleh karena itu perlu
penanganan segera agar penderita tidak
jatuh dalam keadaan yang lebih buruk.
Tiga puluh enam persen penderita
dengan cedera otak yang disertai koma,
datang dalam keadaan hipoksia dan gagal
nafas yang membutuhkan ventilator
mekanik.
Pengertian tentang tekanan intra kranial
bagi seorang ahli anestesi sangat penting
untuk mendasari terapi kelainan yang
terjadi. Ruang intra kranial merupakan
struktur yang kaku dengan total volume
yang tetap, meliputi otak (80%), darah
(12%), dan CSS (8%). Tengkorak dan
kanalis vertebralis membentuk
perlindungan yang kuat terhadap otak,
medulla spinalis, cairan serebrospinal
(LCS), dan darah. Semua kompartemen
intra kranial ini tidak dapat
dimampatkan, hal ini dikarenakan
volume intra kranial adalah sangat
konstan (Hukum Monro-Kellie).1-5,9,l0,12
102
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Penambahan volume dari suatu
kompartemen hanya dapat terjadi jika
terdapat penekanan (kompresi) pada
kompartemen yang lain. Satu-satunya
bagian yang memiliki kapasitas dalam
mengimbangi (buffer capacity) adalah
terjadinya kompresi terhadap sinus
venosus dan terjadi perpindahan LCS ke
arah aksis lumbosakral. Ketika
manifestasi di atas sudah maksimal maka
terdapat kecenderungan terjadinya
peningkatan volume pada kompartemen
(seperti pada massa di otak) akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (ICP/TIK).2,3,4
Peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
akan menurunkan perfusi serebral dan
menyebabkan komplikasi iskemia
sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral
Perfusion Pressure (CPP), peningkatan
tekanan intra kranial bila gagal dalam
mempertahankannya dapat menyebabkan
terjadinya herniasi. Meskipun batasan
yang pasti tidak ditemukan, tetapi
peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan
dengan peningkatan resiko herniasi
trantentorial atau herniasi batang otak.
Maka pemantauan dengan pengukuran
dan penanganan TIK adalah hal yang
penting. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tekanan intra kranial
diantaranya : peningkatan volume
jaringan didalammnya, peningkatan
aliran darah ke otak, kelainan dari aliran
cairan, dan penambahan efek massa. 1-
3,5,9
Disamping pengetahuan tentang tekanan
intra kranial, pemahaman tentang
bagaimana cara mengatasinyapun sangat
perlu untuk diketahui. Oleh karena itu
pada tulisan ini akan membahas tentang
pengukuran tekanan intra kranial, efek
peningkatan dan pengelolaannya, serta
kepentingannya dalam anestesi.
TEKANAN INTRA KRANIAL
Anatomi dan fisiologi Cerebral
Orang dewasa normal menghasilkan
sekitar 500 mL cairan serebrospinal
(CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat,
kira-kira 150 mL ada di dalam ruang
intra kranial. Ruang intradural terdiri
dari ruang intraspinal ditambah ruang
intra kranial. Total volume ruang ini pada
orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana
sekitar 8% adalah cairan serebrospinal,
12% volume darah, dan 80% jaringan
otak dan medulla spinalis. Karena
kantung dura tulang belakang tidak selalu
penuh tegang, maka beberapa
peningkatan volume ruang intradural
dapat dicapai dengan kompresi terhadap
pembuluh darah epidural tulang
belakang . Setelah kantung dural
sepenuhnya tegang, apapun penambahan
volume selanjutnya akan meningkatkan
salah satu komponen ruang intra
kranial yang harus diimbangi dengan
penurunan volume salah satu komponen
yang lain. Konsep ini dikenal dengan
fisiologi otak dari doktrin Monro-
Kellie.1-10
Pertambahan volume dari suatu
kompartemen hanya dapat terjadi jika
terdapat penekanan (kompresi) pada
kompartemen yang lain. Satu-satunya
bagian yang memilik kapasitas dalam
mengimbangi (buffer capacity) adalah
terjadinya kompresi terhadap sinus
venosus dan terjadi perpindahan LCS ke
arah aksis lumbosakral. Ketika
manifestasi di atas sudah maksimal maka
terdapat kecenderungan terjadinya
peningkatan volume pada kompartemen
(seperti pada massa di otak) akan
menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (ICP/TIK).3
V CSF + V darah+ Votak = V konstan
103
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Gambar : Skema jalan terjadinya herniasi : (1)
subfalcine (2) transtentorial (3) cerebral (4)
transcalvarial
(dari Fisman RA : Brain Edema. N Engl Neo 293:
706-7111)
Jadi dengan peningkatan patologis pada
satu komponen, sedikitnya salah satu dari
yang lain harus turun untuk menjaga
volume konstan. Jika komponen yang
mengakomodasi penurunan volume sama
dengan volume yang ditambah, maka
tekanan tidak berubah Yang paling
efektif dan yang merupakan kompensasi
awal adalah perpindahan CSF dari ruang
kranial ke dalam ruang spinal (terjadi
kompresi vena epidural), diikuti oleh
reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses
kompensasi ini tidak cepat). Saat ICP
naik, tingkat produksi CSF mulai
menurun,sehingga ikut membantu
kompensasi. Kompensasi utama kedua
adalah perpindahan volume darah intra
kranial ke sinus-sinus vena. Kompensasi
terakhir, otak itu sendiri dapat
dikompresi untuk mengkompensasi
peningkatan volume. Hal ini
ditunjukkan pada kasus hidrosefalus
akut, di mana otak dikompresi oleh CSF
yang menyebabkan pembesaran
ventrikel, atau pada kasus hematoma
epidural akut, ketika otak secara akut
dikompresi dan terdistorsi oleh massa
hematoma. 1,3,9
Nilai normal TIK masih ada perbedaan
diantara beberapa penulis, dan bervariasi
sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg
masih dianggap normal untuk bayi, nilai
kurang dari 15 mmHg masih dianggap
normal untuk anak dan dewasa,
sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan
sudah menetap dalam waktu lebih dari 20
menit dikatakan sebagai hipertensi intra
kranial.4 Tekanan intra kranial akan
mempengaruhi tekanan perfusi cerebral
(CPP / Cerebral perfusion pressure).
CPP dapat dihitung sebagai selisih
selisih antara rerata tekanan arterial
(MAP) dan tekanan intra kranial
(ICP/TIK). 4,6,9,10,12
CPP = MAP – ICP atau MAP –JVP
JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai
ketika cranium sedang terbuka (saat
operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan
pada tekanan intra kranial akan
mempengaruhi tekanan perfusi cerebral,
dimana ini akan berakibat terjadinya
iskemia otak. 2,3,5
Pada pasien dengan
cedera medulla spinalis, tekanan perfusi
pada medulla spinalis dapat dihitung
dengan selisih antara MAP dan tekanan
LCS. Meskipun sebagian besar pasien
cedera medulla spinalis menunjukkan
gambaran lesi komplit, gangguan
anatomi jarang ditemukan, dan menjaga
perfusi tetap adekuat adalah penting
untuk mempertahankan fungsi medulla
spinalis pada daerah proksimal dari
tempat cederanya.9
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil
dari volume otak, keadaan ini tidak akan
cepat menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial. Sebab volume yang
meninggi ini dapat dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari
ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intra kranial
akan menurun oleh karena berkurangnya
peregangan durameter. Hubungan antara
tekanan dan volume ini dikenal dengan
complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus
meninggi, maka mekanisme penyesuaian
ini akan gagal dan terjadilah tekanan
tinggi intra kranial. 1,2,5,6,9
Pendapat lain dikatakan bahwa
komplians intra kranial ditentukan
104
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
dengan pengukuran perubahan TIK
terhadap respon perubahan volume intra
kranial. Normalnya, peningkatan volume
pada awalnya terkompensasi baik.
Setelah batas optimal tercapai, maka
peningkatan yang berlanjut akan
menyebabkan peningkatan TIK.
Mekanisme kompensasi mayor yaitu (1)
perpindahan awal CSS dari kranial ke
kompartemen spinal, (2) peningkatan
absorpsi CSS, (3) penurunan produksi
CSS, (4) penurunan volume darah
serebral total (terutama vena).2
Gambar : hubungan tekanan intrakranial dan volume
6
Gambar : Patofisiologi dari tekanan intra kranial
Gambar ini menunjukkan bagaimana cara peningkatan volume dari beberapa atau kempat bagian didalam
kepala-darah, cairan cerebro spinal, cairan (interstitial atau intracellular) dan sel-akan menigkatkan tekanan
intra kranial dan kerusakan saraf. Tanda * ini potensial dibawah control ahli anestesi 6
Gambaran Klinis Kenaikan Tekanan
Intra Kranial
Kenaikan tekanan intra kranial sering
memberikan gejala klinis yang dapat
dilihat seperti :1,6
a. Nyeri Kepala
Nyeri kepala pada tumor otak
terutama ditemukan pada orang
dewasa dan kurang sering pada anak-
anak. Nyeri kepala terutama terjadi
pada waktu bangun tidur, karena
selama tidur PCO2 arteri serebral
meningkat sehingga mengakibatkan
peningkatan dari serebral blood flow
dan dengan demikian mempertinggi
lagi tekanan intra kranial. Juga
lonjakan tekanan intra kranial sejenak
karena batuk, mengejan atau
berbangkis akan memperberat nyeri
kepala. Pada anak kurang dari 10-12
tahun, nyeri kepala dapat hilang
sementara dan biasanya nyeri kepala
terasa didaerah bifrontal serta jarang
didaerah yang sesuai dengan lokasi
tumor. Pada tumor didaerah fossa
posterior, nyeri kepala terasa
dibagian belakang dan leher.
b. Muntah
105
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita
dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri
kepala. Muntah tersering adalah
akibat tumor di fossa posterior.
Muntah tersebut dapat bersifat
proyektil atau tidak dan sering tidak
disertai dengan perasaan mual serta
dapat hilang untuk sementara waktu.
c. Kejang
Kejang umum/fokal dapat terjadi
pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada
lesi supratentorial pada anak
sebanyak 15%. Frekwensi kejang
akan meningkat sesuai dengan
pertumbuhan tumor. Pada tumor di
fossa posterior kejang hanya terlihat
pada stadium yang lebih lanjut.
Schmidt dan Wilder (1968)
mengemukakan bahwa gejala kejang
lebih sering pada tumor yang
letaknya dekat korteks serebri dan
jarang ditemukan bila tumor terletak
dibagian yang lebih dalam dari
himisfer, batang otak dan difossa
posterior.
d. Papil edema
Papil edem juga merupakan salah
satu gejala dari tekanan tinggi intra
kranial. Karena tekanan tinggi intra
kranial akan menyebabkan oklusi
vena sentralis retina, sehingga
terjadilah edem papil. Barley dan
kawan-kawan, mengemukakan
bahwa papil edem ditemukan pada
80% anak dengan tumor otak.
e. Gejala lain yang ditemukan:
False localizing sign: yaitu parese
N.VI bilateral/unilateral, respons
ekstensor yang bilateral,
kelainann mental dan gangguan
endokrin
Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan
lokalisasi tumor.
Pengukuran Tekanan Intra Kranial Walaupun tidak ada data dari percobaan
random, secara umum telah diterima
bahwa pemantauan dan pengobatan
agresif pada peningkatan TIK dapat
meminimalis iskemik sekunder dan
meningkatkan outcome. Sehingga,
penggunaan peralatan intra kranial untuk
pengukuran TIK secara kontinyu menjadi
praktek standar dalam merawat pasien
neurologi yang mempunyai masalah
dengan peningkatan TIK. Peralatan ini
meliputi kateter intraventrikuler,
subarachnoid bolt, epidural systems dan
peralatan fiberoptic intraparenchymal.
Kateter ventrikulostomi umumnya
dijadikan gold standard untuk
pemantauan ICP. Kateter jenis ini
mempunyai kelebihan tambahan yaitu
dapat menjadi drainage CSF untuk
menurunkan ICP.2,9
106
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Gambar : Metode pemantauan TIK
Bagaimanapun juga, penggunaan kateter
fiberoptik intraparenkim dapat
meningkatkan resiko terjadinya infeksi
bila dibandingkan alat lainnya. Monitor
subarachnoid sebaiknya ditempatkan
pada sisi yang sama dengan sisi lesi
untuk menghindari ketidakakuratan
karena ada perbedaan tekanan antara dua
himisfer. Perekaman dan penampilan
gelombang tekanan tranduced ICP secara
komputerisasi dengan penggunaan
monitor bedside pasien yang paling
multimodal saat ini menjadi standar :
gelombang tekanan „real-time‟ dan
analisis beberapa trend tekanan dapat
ditampilkan dan dibandingkan dengan
tanda monitor lainnya seperti tekanan
darah sistemik atau central venous
pressure (CVP). 2
Pada umumnya, pemantauan TIK
diindikasikan pada semua pasien yang
koma dengan cedera kepala , dan pada
pasien dengan penurunan status
neurologi dengan CT-Scan abnormal.
Seperti yang telah disebutkan di atas,
banyak pertimbangan dibutuhkannya
pemantauan TIK pada pasien cedera
kepala sedang yang membutuhkan
perpanjangan prosedur operasi di bawah
pengaruh general anestesi. Sebagai
tambahan, beberapa senter melakukan
pemantauan TIK post-operasi secara
rutin mengikuti prosedur major
neurosurgical. Satu-satunya
kontraindikasi pemantauan TIK adalah
adanya koagulopati yang tidak
terkoreksi.2 Terlepas dari alat
pemantauan ICP, terkait dengan jumlah
alat maka pemeriksaan neurologis jangan
pernah digantikan, bahkan ketika
pemeriksaan tersebut terbatas akibat
sesuatu misalnya koma atau sedasi.9
Ventrikulostomi Kateter intraventrikel yang selain
digunakan untuk pemantauan ICP juga
berfungsi untuk terapi drainase CSF.
Kateter intraventrikel merupakan metode
standar emas pemantauan ICP.
Digunakan pertama kali tahun 1960.
Sebuah kateter plastic dimasukkan ke
ventrikel lateral dan dihubungkan dengan
tranduser eksternal. Kateter intraventrikel
mengukur ICP dan juga sebagai terapi
drainase CSF. Hal ini direkomendasikan
sebagai monitor awal, setelah terjadi
trauma pada pasien untuk mengantisipasi
peningkatan ICP. Pada kondisi trauma,
ukuran ventrikel sering mengecil
107
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
berbanding terbalik degan peningkatan
ICP, menyebabkan insersi kateter
ventrikel secara blind lebih sulit. Bila
ventrikel tidak dapat dikanulasi pada
usaha yang ketiga maka tehnik
alternative pemantauan ICP harus dicoba
untuk menguangi terjadinya komplikasi
terkait percobaan pemasangan berulang.9
Gambar : Teknik insersi ventriculostomi (A) trepination (B) durotomy (C) Pemasangan kanul Ventricular
(D) Terowongan subcutaneous kateter
Gambar : Pendekatan pungsi ventricular
108
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Gambar : Cara baut Richmond
Kebanyakan ahli bedah saraf
merekomendasikan tempat insersi
melalui pendekatan frontal, parasagital
pada titik Kocher (2-3 cm lateral dari
midline dan di anterior sutura koronal).
Meskiun pendekatan yang lain masih
ada, akan tetapi pedekatan frontal
menawarkan hasil yang baik yaitu akses
mudah pada kornu frontalis dari sistem
ventrikel lateral, meminimalkan
keterlibatan jaringan otak sebagai jalan
masuk kateter, dan memfasilitasi
perawatan ketika pasien terlentang di
tempat tidur. Tapi familiaritas para ahli
bedah terhadap pendekatan insersi
merupakan hal terpenting.
Potensi masalah akibat ventrikulostomi
adalah sumbatan,salah meletakkan
kateter ke dalam struktur yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak,
hematoma intraserebral, perdarahan
intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas
akan tersumbatnya kateter ventrikel
meningat bila kateter tersebut dibiarkan
terbuka saat ventrikel dalam kondisi
sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak
dapat digunakan untuk memonitor ICP
ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka
yang saat itu berfungsi sebagai drain.
Pada kondisi trauma kami
merekomendasikan satu sampai dua
menit untuk mendrainase ketika ICP > 20
mmHg, kemudian kateter diklemp lagi
bila sudah tidak digunakan sebagai drain.
Hal ini memunkinkan CSF membentuk
ventrikel serta dapat mengukur ICP.
Baut Richmond Baut Richmond (subdural-subarakhnoid)
biasanya terdiri atas sekrup berongga
yang ujungnya melewati dura dan masuk
1-2 mm dibawah lapisan dalam
tengkorak dan menempati/menempel
pada arakhnoid yang menutupi
permukaan otak. Jika baut terletak terlalu
superficial, maak ada resiko salah
posisi/longgar dan kehilangan tekanan.
Tetapi bila terlalu dalam maka
permukaan otak dapat penetrasi menuju
kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup
berongga dan menyumbat proses sistem.
Keuntungan baut Richmond adalah
kemudahan insersi dan penetrasi yang
sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi
dilain sisi, baut Richmond tidak bias
digunakan untuk menurunkan ICP
dengan cara drainase, dapat
menyebabkan infeksi, perdarqahan
109
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
epidural, dan kejang fokal. Selain itu
dapat terjadi penumbatan pada
tubingnya, sehingga rekaman yang
diperoleh berkurang atau hilang.
Memang salah satu kelemahan baut
Richmond adalah mudahnya tersumbat
oleh debris luka, darah dan atau dura.9
Monitor Tekanan Intra kranial
Epidural
Dua tipe monitor ICP epidural telah
dikembangkan. Satu menggunakan
sensivitas tekanan membran yang kontak
dengan dura, sedang yang satu lagi
menggunakan sensivitas perubahan
tekanan udara yang merubah bentuk
dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih
rendah karenapenempatannya di
ekstradura, akan tetapi ada beberapa
kerugian termasuk kesulitan tehnik,
perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah
penempatan baut, dan ketidakmampuan
untuk drainase CSF untuk terapi.9
Monitor Tekanan Intra kranial
Intraparenkim
Alat intraparenkhym misalnya monitor
ICP Camino ( Camino Laboratories, San
Diego, California USA) menggunakan
kateter yang dimasukkan kedalam
substansia grissea sehinga dapat
mengukur secara langsung tekanan
jaringan otak.
Sisi frontal kanan biasanya dipilih
sebagai tempat insersi, dan karena insersi
intraventrikuler (yang menggunakan titik
Kocher) tidak diperlukan, maka sisi
lateral frontal secara kosmetika dapat
digunakan. Setelah dilakukan trepanasi,
batangan berulir dimasukkan ke
tengkorak sampai plastic batas berhenti,
dimana ujungnya berada 1-2 mm
dibawah lapisan dalam tengkorak.
Setelah membuat sebuah lubang kecil di
dura, sensor fiber optic dikalibrasi
kemudian dimasukkan sampai tanda 5
cm sejajar dengan bagian atas batang,
yang biasanya menempatkan ujung distal
dari sensor fiber optik 10 hingga 15 mm
ke dalam parenkim otak. Alat fiber optik
yang baru dikembangkan dapat
mengukur perubahan jumlah cahaya yang
dipantulkan sebuah tekanan sensitive
diafragma yang berada di ujung alat,
kemudian nilai tekanan ditampilkan oleh
sebuah alat digital. Kabel keluaran dapat
juga digunakan untuk mengirimkan data
ke monitor ruang operasi atau unit rawat
intensif diaman akan tampak gelombang
ICP.
Sebagai perbandingan terhadap
ventrikulostomi, monitor Camino lebih
mudah dimasukkan dan probe
intraparenkim mempunyai ukuran
diameter lebih kecil, sehingga kerusakan
neulorogis jarang terjadi. Keuntungan
alat ini adalah infeksi minimal dan
kebocoran serta sumbatan kateter tidak
terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan
akibat salah posisi tranduser juga
minimal. Kerugian utama alat ini adalah
tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat
ini dimasukkan, kemungkinan bergeser
juga ada yang mengharuskan
penggantian probe fiber optik dalam
kondisi steril. Keterbatasan yang
bermakna dari alat ini adalah tidak
mampu digunakan sebagai terapi
drainase CSF.
Pada kondisi trauma, ketika ICP
meningkat dan ventikel terdesak, hanya
sebagian kecil jalan keluar CSF yang
terlihat selama penempatan
ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada
ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila
tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja
tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin
dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada
kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan
monitor kedua misalnya Camino harus
ditempatkan untuk memantau ICP.
Ketika kateter itraventrikuler mulai
mendrainase CSF yang bertumpuk dalam
110
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ventrikel, salah satu dari dua monitor
tersebut dapat ditarik tergantng pada
situasi klinis.9
Bentuk gelombang Tekanan Intra
kranial
Bentuk gelombang ICP yang normal
adalah pulsatil dan sejalan dengan irama
jantung. Tetapi nilai dasar akan naik
turun sesuai dengan siklus pernapasan
(seperti yang terjadi pada semua bentuk
gelombang yang fisiologis). Fluktuasi
normal gelombang ICP dikarakteristikan
mempunyai tiga puncak tekanan. Yang
pertama, merupaakn puncak paling tinggi
(P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang
ditransmisikan menuju parenkim otak
dan CSF. Puncak yang kedua (P2)
diterjemahkan sebagai gelombang tidal
atau rebound dan komplien reflek intra
kranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper
selalu lebih rendah dari P2, dan disebut
gelombang dikrotik mewakili pulsasi
vena yang ditransmisikan menuju otak.
Pada kondisi komplien otak normal
besarnya gelombang adalah kecil,
sedangkan pada otak yang ketat,
perubahan tekanan yang diikuti dengan
perubahan volume adalah besar.
Selain mempunyai karakter tiga puncak,
gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus
jantung, perubahan tambahan pada
semua nilai dasar yang terjadi akan
mengubah komplien intra kranial. Lebih
lanjut lagi, perubahan dasar terkait
ventilasi adalah sebagai berikut: pada
napas spontan, inhalasi menurunkan
tekanan intrathorakal dan menaikkan
drainase vena (menurunkan ICP).
Dimana ekshalasi menyebabkan
penurunan outflow vena dari cranium
sehingga ICP meningkat. Sebaliknya
akan terjadi bila digunakan ventilasi
tekanan positif. Bila ICP meningkat dan
komplien serebral menurun (dengan
berbagai penyebab), komponen vena
menghilang dan pulsasi arteri menjadi
lebih jelas.
Pada tahun 1960, lundberg melaporkan
hasil pemantauan ICP secara langsung
dengan menggunakan ventrilkulotomi
pada 143 pasien. Dia menyebutkan
patofisiologi dan tanda klinis yang
bermakna dari tiga gelomang patologis
ICP yang ditandai dengan gelombang A,
gelombang B, dan gelombang C.
Gelombang Lundberg A, juga dikenal
dengan gelombang plateu dicirikan
dengan elevasi tajam ICP samapi >50
mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai
20 menit diikuti penurunan mendadak ke
level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru
akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul
gelombang A. Gelombang A ini akan
muncul lagi dengan meningkatkan
frekuensi, durasi, dan amplitude dan
sering terjadi pada peningkatan simultan
dari tekanan arteri rerata. Lundberg
mengenali gelombang ini sebagai
pertanda ICP tidak terkontrol, yang
mungkin dihasilkan dari sebuah
kelelahan kapasitas buffering dan
komplien intrakranial.
Gelombang Lundberg B juga dikenal
pulsasi tekanan, dicirikan dengan
peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam
waktu 30 detik sampai 2 menit.
Gelombang ini bervariasi sesuai tipe
periode napas dan lebih sering terlihat
pada kondisi peningkatan ICP dan
penurunan komplien intrakranial.
Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak
semuanya konsisten dan mewakili
temuan kualitatif selama peningkatan
ICP.
Gelombang Lundberg C, merefleksikan
gelombang arteri Traube-Hering yang
ditandai peningkatan ICP berbagai
variasi dengan frekuensi empat sampai
delapan kali per menit. Gelombang ini
111
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
mungkin saja mewakili status preterminal
dan kadang terlihat pada puncak
gelombang plateu. Sama seperti
gelombang B, mereka bersifat sugesti
tapi bukan patognominis akan
peningkatan ICP.
Akhir-akhir ini ditekankan pada
pengenalan dini serta pengobatan yang
berhasil akan peningkatan ICP. Oleh
karena itu, gelombang patologis
Lundberg (A, B, C) jarang terlihat.
Namun ketika mereka terlihat pada
pasien yang telah diintervensi terapeutik,
maka mereka diramalkan mempunyai
outcome yang buruk.
Metode non invasif Penurunan status neurologi klinis
dipertimbangkan sebagai tanda
peningkatan TIK, Bradikardi,
peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi
pupil normalnya dianggap tanda
peningkatan TIK. Transkranial dopler,
pemindahan membran timpani, teknik
ultrasound time of fligh” sedang
dianjurkan. Beberapa peralatan
digunakan untuk mengukur TIK melalui
fontanel terbuka. Sistem serat optik
digunakan ekstra kutaneus. Dengan
manual merasakan pada tepi kraniotomi
atau defek tengkorak jika ada fraktur.
MANAJEMEN PENINGKATAN
TEKANAN INTRA KRANIAL
Hipertensi intra kranial adalah besarnya
TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur
lain hipertensi intrakranial didefinisikan
sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg
dan menetap lebih dari 20 menit.
Peningkatan progresif dari batas ini atau
TIK yang terus menerus >20 mmHg,
disarankan untuk melakukan
pemeriksaan dan penanganan.
Peningkatan progresif dari TIK dapat
mengindikasikan memburuknya
hemoragik/hematoma, edema,
hidrosefalus, atau kombinasinya dan
merupakan indikasi diakukannya
pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus
menerus TIK akan memperparah resiko
terjadinya cedera sekunder (komplikasi)
berupa iskemik dan/atau herniasi.2
112
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Penanganan Konvensional Peningkatan TIK 2
P Penanganan konvensional
1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena
2. Peningkatan MAP (jika perlu)
3. Pa CO2 30−35 mmHg, atau 25−30 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi
4. Manitol 0,5−1,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika perlu).
Pertahankan z Osmolalitas serum <320.
5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan.
6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan.
7. Pemberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol
8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan
9. Mempertahankan normovolemia.
P Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional)
1. Induksi hipotermi pada 33-34 °C
2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate
3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2)
4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium
5. Serum
P Penanganan ekstrim
1. Kraniektomi dekompresi
2. Eksisi jaringan infark ± lobektomi
Penurunan Volume Darah Serebral
Elevasi Kepala
Elevasi kepala pada tempat tidur dengan
membentuk sudut 20−30° menurunkan
ICP dengan mengoptimalkan aliran balik
vena (venous return). Akan tetapi, pada
pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat
menyebabkan penurunan dari CPP. Jika
keadaan normovolemi dipertahankan,
elevasi sampai 30° telah terbukti
menurunkan TIK tanpa mempengaruhi
CPP atau CBF pada pasien cedera
kepala.2
Perawatan seharusnya dilakukan untuk
mencegah obstruksi pada venous return
serebral dengan cervical collars atau
memasang endotrakeal tube (ET) dan
menjaga kepala tetap berada pada posisi
netral. Pada pasien dengan autoregulasi
serebralnya terjaga (stabil), peningkatan
MAP akan menyebabkan vasokonstriksi
kompensatorik dengan disertai
penurunan ICP. Hal ini dapat dicapai
dengan mempertahankan kondisi
normovolemia dan infus phenylephrine
1-10 g/kg/menit, atau norepineprine 0,05-
0,22 g/kg/menit.2
Hiperventilasi
Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF
terhadap PaCO2, hiperventilasi dapat
menurunkan CBF dan disertai penurunan
volume darah serebral (CBV),
menyebabkan penurunan mendadak
(akut) dari TIK. Meskipun penurunan
mendadak TIK dan perbaikan CPP secara
teoritis diharapkan, dan hiperventilasi
telah dipakai sejak dahulu sebagai
modalitas terapi, tetapi pada beberapa
tahun terakhir ini kekhawatiran akan
terjadinya iskemik serebral telah
berkurang dengan penggunaan metode
ini.
Penelitian tentang CBF telah
menunjukkan bahwa meskipun
“hiperventilasi sedang” dapat meningkat
pada regio otak dengan CBF dibawah
ambang batas iskemik. Penurunan
konsentrasi oksigen vena jugularis
(SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2)
yang telah berulang kali dibuktikan pada
penelitian terhadap pasien dengan cedera
kepala. Terlebih lagi, satu-satunya
penelitian kontrol random tentang
113
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
modalitas terapi, hiperventilasi profilatik
telah ditunjukkan berkaitan dengan efek
merugikan yang ada. Maka Brain
Trauma Foundation Guidelines
menyatakan bahwa hiperventilasi
seharusnya tidak dipakai sebagai
managemen pada pasien dengan cedera
kepala, kecuali jika terdapat monitor
yang mampu mendeteksi adanya iskemik
serebral tersedia (CBF, SjvO2 or PbrO2).
Sebagai tambahan, karena normalisasi
pH dari cairan serebrospinal, efikasi dari
hiperventilasi pada CBF, CBV, dan TIK
mengalami penurunan setelah 24 jam.
Akan tetapi, selain penelitian ini,
pendapat tentang hiperventilasi masih
kontroversial. Di sini jelas terlihat bahwa
PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan
penurunan CBF, menyebabkan CBF
berada pada batas atau di bawah anbang
batas iskemik, bukti pasti tentang
iskemik masih kurang. Dengan memakai
positron emission tomography, Diringer
et al. tidak dapat mendemonstrasikan
adanya penurunan metabolisme serebral
atau perubahan pada rasio piruvat-laktat
dengan hiperventilasi akut, menyatakan
bahwa rendahnya kadar metabolism basal
(basal metabolic rate) pada pasien cedera
kepala secara bertentangan melindungi
pasien ini dari rendahnya CBF.
Maka selama kita menunggu bukti yang
pasti dari hiperventilasi, PaCO2
dipertahankan pada 35-40 mmHg. Pada
situasi akut dimana terdapat ancaman
atau terjadinya herniasi otak,
hiperventilasi PaCO2 dipertahankan pada
kisaran 20–30 mmHg. Akan tetapi, hal
ini seharusnya dilihat sebagai
penanganan sementara sambil menunggu
penanganan definitif. Untuk
maintenance, PaCO2 harus dijaga pada
30-35 mmHg. CT Xenon dan SPECT
(single-proton emission computed
tomography) dapat berguna untuk
mengukur respon CBF terhadap
hiperventilasi.2
Mempertahankan Tekanan Darah
Pada pasien dengan autoregulasi yang
intak dan penurunan compliance intra
kranial, penurunan tekanan darah
sistemik akan menyebabkan vasodilatasi
kompensatorik dan peningkatan CBV.
Hal ini akan semakin menurunkan CPP,
dengan efek “spiraling downhill” dan
penurunan progresif perfusi serebral. Hal
sebaliknya, pasien dengan autoregulasi
serebral yang terganggu dapat
menunjukkan peningkatan TIK dengan
peningkatan tekanan darah. Karena itulah
tidak mungkin memprediksi ada atau
tidaknya autoregulasi, tetapi penting
untuk mendapat gambaran tentang respon
TIK.2
Reduksi Massa pada Otak
Karena adaya sawar darah otak (blood-
brain barrier), yang relatif impermiabel
terhadap ion natrium dan klorida,
perpindahan air keluar dan masuk sel
otak terutama tergantung pada gradien
osmotik. Obat diuretik osmotik yang
efektif dipakai untuk mengatasi
peningkatan TIK adalah manitol 20%.
Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja
dengan onset yang cepat, tetapi
puncaknya didapat dalam 30 menit dan
berakhir setelah 90 menit. Sedangkan
diuretik „loop‟ yaitu furosemide akan
meningkatkan kerja manitol, juga dapat
memberikan efek langsung menurunkan
TIK dan sering digunakan sebagai terapi
adjuvant (tambahan). Efek manitol
terhadap hemodinamik adalah kompleks
dengan mereduksi resistensi vaskuler
sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi
volume intravaskuler yang dapat disertai
hipertensi sistemik.
Pasien dengan fungsi jantung yang jelek
dapat terjadi edema pulmo akut pada
pemberian infus manitol. Dengan onset
114
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
diuresis, penyusutan volume
intravaskuler yang terjadi akan
meyebabkan hipotensi jika pemberian
cairan penggantinya tidak adekuat.
Komplikasi dari terapi manitol adalah
overload cairan, dehidrasi dan gagal
ginjal. Selama pemberian terapi manitol,
elektrolit, dan osmolalitas cairan harus
diawasi secara berkala, osmolalitas
serum tidak boleh lebih dari 320 mOsm.
Meskipun mekanisme utama dari
mannitol berdasarkan gradien osmotik,
hal ini juga menyebabkan refleks
vasokonstriksi dan menurunkan produksi
LCS. Pasien yang tidak bisa ditangani
dengan manitol sering memberi respon
terhadap pemberian infus salin hipertonik
(3% atau 7,5%). Meskipun beberapa
penelitian membuktikan efikasi infus
salin hipertonik, tetapi belum ada
penelitian randomized tentang
penggunaan salin hipertonik dan adanya
komplikasi hipertensi intra kranial
“rebound” (munculnya hipertensi intra
kranial setelah efek terapi ini habis). 2
Pada pasien edema vasogenik yang
sering terjadi pada pasien dengan tumor,
efektif jika diberikan steroid dan
dexamethasone 10 mg yang diberikan
setiap 6 jam. Secara umum pemberian
steroid merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan cedera kepala dan tidak
efektif pada pasien dengan perdarahan
subaraknoid atau stroke iskemik. Pada
pasien dengan cedera medulla spinalis,
pemberian methylprednisolon dosis
tinggi telah terbukti memperbaiki
fungsinya jika diberikan dalam 8 jam.
Pada beberapa pusat, dikatakan bahwa
dalam 3 jam, pasien ini diberikan
methylprednisolon 30 mg/kg bolus, lalu
dilanjutkan 5,4 g/kg selama 24 jam dan
selama 48 jam jika terjadi dalam 3-8jam
(NACIS III). Meskipun kemajuan yang
terjadi sedikit dan beberapa keraguan
apakah keuntungannya lebih besar
daripada resiko pneumonia dan infeksi.
Akan tetapi, gambaran efikasi pemberian
steroid pada cedera medulla spinalis,
pemakaian methylprednisolon dosis
tinggi pada cedera kepala harus diteliti
lebih lanjut dan dilakukan penelitian
randomized yang melibatkan 20.000
pasien dengan metode ini.2
Reduksi Volume LCS
Dua puluh lima persen pasien dengan
perdarahan subaraknoid yang berasal dari
rupture aneurisma akan berkembang
menjadi hidrosefalus akut dengan
peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi
dengan drainase kontrol LCS merupakan
terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa
pasien ini terkadang membutuhkan shunt
ventrikulo-peritoneal (VP-shunt).
Pemasangan drainase pada daerah
subaraknoid lumbal juga dapat
menurunkan LCS, tetapi dapat
meningkatkan resiko herniasi otak. Hal
ini kurang berguna pada pasien cedera
kepala, karena ventrikel sering tertekan
sehingga membuat drainase sulit masuk
ke ventrikel dan menjadi kurang efektif.2
Pengaruh obat-obat anestesi :
Anestesi inhalasi :
Isoflurane : banyak digunakan dalam
neuroanestesi, dapat meningkatkan aliran
darah otak (ADO) namun tidak terlalu
besar, MAC 1 tidak mempengaruhi
tekanan LCS, menurunkan metabolism
otak (CMRO2), efek meningkatkan TIK
dapat dikompensasi dengan
hiperventilasi.4
Sevoflurane : pada MAC 1 tidak
mempengaruhi tekanan intrakranial,
namum akan menurunkan tekanan darah.
Secara umum efek ADO dan CMRO2
sama dengan isoflurane.4
115
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Anestesi intravena :
Sedasi dan Paralisis
Sedasi yang adekuat adalah penting bagi
semua pasien dengan peningkatan TIK
untuk mengurangi agitasi (kondisi
gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta
untuk mempermudah toleransi terhadap
ET (endotrakeal tube). Batuk atau
sumbatan pada ET atau selama
trakeobronkial suction dapat
meningkatkan TIK. Paralisis
neuromuskular secara efektif dapat
dicegah dengan cara pemberian obat ini
tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan
neurologik yang dilakukan untuk
memonitor kondisi pasien. Sebagai
tambahan, blokade farmakologi yang
dilakukan terus menerus dapat
menyebabkan miopati dan paralisis
persisten. Pemberian obat penghambat
neuromuscular (NBMs) hanya dipakai
pada pasien yang mendapat sedasi
adekuat dengan tujuan untuk mencegah
paralisis saat pasien yang sadar. Dosis
intermiten dan pemberian secara
periodik, disertai dengan pemantauan
seksama terhadap derajat blokade
neuromuskuler, sebaiknya dilakukan
untuk memungkinkan penilaian
neurologic secara teratur.2
Pelumpuh otot non depolarisasi
pankuronium dan vekuronium tidak
mempengaruhi juga ADO, laju
metabolism terhadap oksigen dan
tekanan tekanan intrakranial.
Pankuronium meningkatkan laju nadi dan
tekanan darah sehingga tidak
menguntungkan pada hipertensi kranial,
sebaliknya vekuronium tidak
menyebabkan histamine release, tidak
menyebabkan peningkatan laju nadi dan
tekanan darah. Sedang atracurarium
mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK
dan hasil metabolismenya laudanosine
akan melewati sawar otak dan dapat
menyebabkan kejang.4
Propofol
Obat sedasi yang menurunkan TIK
melalui efek terhadap metabolisme
serebral dan CBF seperti pada sebagian
besar obat anestesi intravena lainnya
kecuali ketamine. Semuanya memiliki
efek depresan susunan saraf pusat,
menyebabkan dosis ini berkaitan dengan
penurunan tingkat kesadaran dan tingkat
metabolisme. Propofol memiliki profil
metabolik dan vaskuler yang mirip
dengan barbiturate, menyebabkan dosis
yang berkaitan dengan penurunan
metabolisme serebral dan disertai
penurunan CBF, menyebabkan
penurunan TIK pada pasien melalui
aktivitas metabolisme serebral. Akan
tetapi, pada beberapa penelitian tentang
penurunan CBF sebanding dengan
penurunan metabolisme.
Profil farmakokinetiknya dengan waktu
paruh yang pendek, membuat obat ini
cocok dipakai sebagai obat sedatif pada
pasien neurosurgical, memungkinkan
penilaian neurologis yang cepat dalam
waktu 2-3 jam setelah penghentian
pemberian obat ini melalui infus dengan
dosis biasa (50-150 µg/kg/menit).
Beberapa penelitian mengatakan bahwa
propofol sangat baik dipakai dalam
menurunkan TIK meskipun beberapa
penelitian gagal menunjukkan perbaikan
outcome neurologiknya. Pada pemberian
dosis tinggi (>300 µg/kg/menit), dapat
dipakai untuk menginduksi koma
farmakologik dengan burst-supresi pada
electroencephalogram untuk
mendapatkan supresi metabolisme
maksimal untuk mengontrol TIK.
Pada anak-anak, ketika dipakai infus
kontinyu dalam periode lama, dilaporkan
bahwa propofol sering menyebabkan
sindrom metabolik yang ditandai dengan
asidosis, rhabdomiolisis, gagal jantung,
dan tingginya angka kematian. Saat ini,
sidrom serupa juga dilaporkan terjadi
116
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
pada pasien dewasa yang mengalami
cedera kepala dengan terapi propofol >5
mg/kg/jam. Baik pada anak-anak maupun
dewasa, insidensi sebenarnya pada
sindrom ini belum diketahui dan
patofisiologinya masih belum jelas. Akan
tetapi, menyebabkan angka kematian
yang tinggi pada anak-anak, dan data
yang didapat dari penelitian klinik (saat
ini belum dipublikasikan), sehingga saat
ini pemberian infus propofol tidak
direkomendasikan.
Pada dewasa, jika terdapat indikasi
bahwa keuntungan pemakaian propofol
lebih besar dari pada resikonya dan
sebaiknya tetap diberikan pada pasien di
ruang neurointensive care unit. Akan
tetapi, pemakaian infus berkepanjangan
lebih dari satu minggu dengan dosis lebih
dari 5 mg/kg/jam, tidak diperbolehkan
dan harus segera dihentikan untuk
mencegah resiko terjadinya asidosis atau
disfungsi jantung. Sebagai tambahan,
propofol dosis tinggi akan menyebabkan
hipotensi, sehingga sering mengharuskan
pemakaian vasopressor untuk membantu
memperbaiki tekanan darah.2
Etomidate
Meskipun etomidate dulunya dipakai
sebagai obat sedatif, tidak boleh
diberikan melalui infus karena akan
menghambat sintesis kortikosteroid yang
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Hal ini
menyebabkan depresi kardiovaskuler
yang lebih rendah dibandingkan propofol
atau barbiturate dan dan telah dipakai
sebagai dosis intermiten pada pasien
yang kurang stabil. Obat ini dapat
mereduksi TIK dengan efeknya pada
CBF dan CBV.2
Dexmedetomidine
Dexmedetomidine adalah obat golongan
agonis selektif reseptor alpha-2 dan telah
terbukti dapat dipakai obat sedative pada
pasien jantung di ICU. Meskipun belum
diteliti pada pasien neurosurgical, profil
farmakologikalnya menunjukkan bahwa
obat ini mungkin berguna sebagai sedatif
pada kelompok pasien ini. Ketika dipakai
dalam bentuk infus 0,6 mg/kg/jam,
sebagian besar pasien akan tersedasi
dengan baik tetapi terstimulasi dengan
depresi nafas yang minimal. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
akan menurunkan TIK, meskipun
penurunan CBF tidak sesuai dengan
penurunan metabolism serebral.
Penelitian kami menunjukkan bahwa
autoregulasi dan reaktivitas CO2 tidak
mempengaruhi dosis sedatif
dexmedetomidine (data tidak
dipublikasikan).
Pada iskemik eksperimental
menunjukkan penurunan jumlah neuron
yang rusak pada iskemik global
sementara (transient) pada gerbil (tikus
mencit) dan menyebabkan iskemik
serebral pada tikus. Mekanisme kerja
diperkirakan melalui penurunan release
(pelepasan) norepinephrine. Serta
tampaknya memacu pemecahan
glutamine melalui proses metabolism
oksidatif pada astrosit, maka penurunan
availabilitas glutamine sebagai prekursor
neurotoksik glutamate. Sampai saat ini
belum ada penelitian yang meneliti
tentang pemakaian obat sedatif pada unit
perawatan neurointensif, tetapi
kekurangan signifikan yaitu depresi
pernafasan membuatnya terjadi pada
pemberian sedatif yang tepat pada pasien
yang bisa bernafas spontan dengan
compliance intra kranial yang jelek.2
Barbiturate
Barbiturate menurunkan TIK dengan cara
menekan metabolisme cerebral dan
CBF. Keduanya dilakukan secara
langsung dan dengan cara mengurangi
aktivitas kejang. Baik pentobarbital dan
thiopental, keduanya telah digunakan
untuk menginduksi koma barbiturate.
117
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Barbiturate biasanya digunakan untuk
pasien hipertensi intra kranial yang sukar
disembuhkan. Sama halnya dengan
sedatif lainnya, penggunaan thiopental
berhubungan dengan hipotensi sistemik
dan sebaiknya hanya digunakan pada
pasien normovolemik. Dua percobaan
randomized controlled telah menilai
manfaat thiopentone untuk mengobati
kenaikan TIK pada pasien cedera kepala.
Percobaan yang pertama menunjukkan
bahwa penurunan TIK secara signifikan
lebih besar terjadi pada grup yang diobati
dengan barbiturate, namun tanpa
perbaikan outcome dalam jangka
panjang. Percobaan kedua menemukan
bahwa TIK terkontrol pada kira-kira
sepertiga grup yang diobati, dan pada
pasien yang berespons, terdapat
perbaikan outcome dalam jangka
panjang. Hal ini mungkin akibat
pelepasan dari cerebral metabolic rate
terhadap konsumsi oksigen dari CBF dan
merupakan sebuah indikator prognosis
yang buruk.2
Pada kepustakaan lain disebutkan
tiopental menurunkan ADO dan CMRO2
yang setara pada isolektrik pada EEG,
efek lain membuang radikal bebas,
stabilisasi membrane, menurunkan CPP
dan antikonvulsan.4
Hipotermi
Hipotermi menurunkan metabolisme
cerebral dan CBF, dengan menghasilkan
penurunan CBV dan TIK. Hal itu dapat
juga menjadi neuroprotektif dengan
mengurangi pelepasan eksitotoksik asam
amino. Walaupun pada awalnya
dilaporkan secara antusias bahwa
pengobatan dengan moderat hipotermi
pada suatu percobaan single-center,
sebuah multi-center, percobaan
randomized controlled tidak dapat
menunjukkan beberapa efek yang
menguntungkan , walaupun sejumlah
pasien berumur kurang 45 tahun, yang
diakui hipotermi dan secara randomized
hipotermi, mempunyai hasil yang lebih
baik daripada mereka yang dibuat
normotermi .Untuk saat ini, pengobatan
hipotermi sebaiknya digunakan sebagai
tambahan yang efektif dan berguna untuk
mengontrol TIK.2,4,6
Pencegahan kejang
Kejang terjadi pada sekitar 15-20%
penderita cedera otak dan berkorelasi
dengan beratnya cedera. Kejang akan
meningkatkan CMRO2 dan TIK, namun
tidak ada hubungannya dengan
kemunculan kejang dini dengan keluaran
defisit neurologis. Suatu penelitian
menyatakan bahwa fenitoin efektif untuk
mencegah kejang dalam satu minggu
pertama pasca cedera, sehingga terapi
profilaksisnya hanya diberikan sampai
hari ke tujuh.4
Nyeri
Pada keadaan nyeri pasca trauma ataupun
pada keadaan lainnya ini akan
meningkatkan TIK, oleh karena itu
perhatian terhadap nyeri dan kenyamanan
penderita sangatlah perlu untuk
diperhatikan. Narkotik salah satu anti
nyeri yang kuattidak mempunyai efek
terhadap CMRO2 dan ADO, namun pada
beberapa penderita dapat menyebabkan
peningkatan TIK.4
Kraniektomi Dekompresi
Kraniektomi dekompresi (decompressive
craniectomy) diindikasikan untuk pasien
yang mempunyai peningkatan TIK dan
sulit disembuhkan dengan pengobatan
medikal. Pada pasien dengan
pembengkakan unilateral yang mengikuti
evakuasi hematoma atau reseksi tumor,
hemikraniektomi atau pemindahan
sejumlah besar flap kranial dengan
penambalan duramater, telah sukses
menurunkan ICP.
118
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Pada pasien dengan edema cerebral pada
kedua himisfer, mungkin memerlukan
bilateral kraniektomi. Jarang sekali,
pengangkatan jaringan yang telah rusak
atau lobektomi mungkin dilakukan
sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi
intra kranial pada kebanyakan kasus
berat hipertensi intra kranial. Prosedur ini
tampak efektif untuk trauma cedera
kepala, sebaik untuk pembengkakan
sekunder pada stroke atau subarachnoid
hemoragik. Sebuah percobaan
multicenter dalam rangka menilai
keuntungan kraniektomi dekompresi
sebagai pengobatan awal untuk trauma
cedera kepala akan menetapkan peran
kraniektomi dekompresi di masa depan
sebagai pengobatan definitif untuk
hipertensi intra kranial.2,4,6
Penggunaan Positive End-expiratory
Pressure pada pasien dengan
peningkatan TIK
Penderita pada peningkatan tekanan
intrakranial sampai terjadinya hipertensi
intrakranial sering jatuh pada keadaan
gagal nafas sampai pada penggunaan
ventilator mekanik. Tiga puluh enam
persen penderita dengan cedera otak
yang disertai koma, datang dalam
keadaan hipoksia dan gagal nafas yang
membutuhkan ventilator mekanik.4
Positive end-expiratory pressure (PEEP)
berulang kali digunakan untuk
meningkatkan oksigenasi pada pasien
dengan respiratory distress syndrome
atau kehilangan volume paru akibat
berbagai penyakit paru. Secara teori, hal
ini dapat meningkatkan tekanan
intratoraks, yang mana akan menghalangi
aliran vena dari kepala yang
menyebabkan peningkatan TIK.
Bagaimanapun juga, hal ini hanya
nampak relevan secara klinis jika pasien
mempunyai compliance intratoraks yang
baik dan compliance intra kranial yang
buruk. Keamanannya baru-baru ini
didemonstrasikan pada pasien stroke
akut. Dalam praktek, ketika diindikasikan
dengan tepat, PEEP sampai dengan 10
mmHg jarang menyebabkan peningkatan
TIK yang signifikan. Bagaimanapun
juga, tetaplah bijaksana untuk memonitor
respons TIK terhadap PEEP pada pasien,
khususnya ketika menggunakan PEEP >
10 mmHg.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Suarez J I, Eccer M, Cerebral Oedem and
Intrakranial Dynamics : Pemantauan and
management of intrakranial pressure, In :
Critical Care Neurology and Neurosurgery,
ed. Suarez J I, New Jersey : 2004, 100-47
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Neurophysiology & Anesthesia, in Clinical
Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006 ,
3. Anne J. Moore, David W. Newell.
Neuroanesthesia and Neurosurgical Intensive
Care, In : Neurosurgery Principles and
Practise. London : Springer 2005. p 104 – 71.
4. Harahap S, Barbiturates and Neuromuscular
Blocking Agent ; Still Valueble to Treat
Intrakranial Hypertension, In : Proceeding
Book 9th
National Congress of Indonesian
Society of Anesthesiology, ed. Nasution A
H, Solihat Y, USU Press Medan : 2010, 57-
46
5. Seubert C N, Mahla M E, Neurologic
Pemantauan, In : Miller‟s Anesthesia
Seventh Edition, ed. Ronald D M, Elsevier :
2010,
6. Drummond J C, Patel P M, Neurosurgical
Anesthesia, In : Miller‟s Anesthesia Seventh
Edition, ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
7. Drummond J C, Patel P M, Cerebral
Physiology and the Effects of Anesthetic
Drugs, In : Miller‟s Anesthesia, 7th Edition,
ed. Ronald D M, Elsevier : 2010,
8. Kincaid MS, Lam AM, General
Considerations : Neurophysiologic
Pemantauan, In : Handbook of
Neuroanesthesia, 4th Edition, ed. Newdield
P, Cotrell J E, Lippincott Williams &
Wilkins : 2007, P 57-37
9. Attaallah AF, Kofke WA, SECTION C:
Pemantauan Considerations for Trauma and
Critical Care ; Neurological Pemantauan, In :
Trauma Critical Care, Volume 2, ed. Wilsson
CW, Grande MC, Hoyt DB, Informa Healt
care, New York : 2007, 204-125
10. Kalmar AF, De Ley G, Broecker VD, Aken
V, Struys MM, Influence Of An Increased
Intrakranial Pressure On Cerebral And
119
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Systemic Haemodynamics During
Endoscopic Neurosurgery: an animal model,
British Journal of Anaesthesia 102 (3): 361–
8 (2009)
11. Steiner LA, Andrews PJ. Pemantauan the
injured brain: ICP and CBF. British Journal
of Anaesthesia 97 (1): 26–38 (2006)
120
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
TINJAUAN PUSTAKA
Regulasi Aliran Darah Cerebral Dan Aneurisma Cerebral
Iwan Dwi Cahyono*, Jati Listiyanto*, Mohammad Sofyan Harahap* *Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Change in the cerebral blood flow having the regulations vidual considering so great role
of the brain for the life . Factors that might affect the regulation of the flow of blood to the
brain one of them was the actions and anesthetic drugs during anesthesia . To avoid gord
bad that might happen need to learn about auto regulation cerebral blood well . The use of
medicinal also need to consider . Operation to head takes time relative long operasi than
the others .
The brain of a distinctive have the ability to regulate the flow of blood against :
1. The activity of functional and metabolic ( flow metabolism coupling and metabolic
regulation )
2. The change in pressure perfusi perssure autoregulation.
3. Oxygen saturation is change or carbon dioxide of the arteries
Besides the bloodstream the brain can change through a direct influence of relations
between the special centers in the brain and the blood vessels ( neurogenic regulation )
Changes in the flow of blood to the brain having the risk of fatal in determining the
prognosis . Death caused by the most aneurisma from arteri breakage in the brain and
hurt the head caused by a traffic accident . A diagnosis aneurisma difficult or too late to be
known . A doctor well ektra to the heart of hearts anesthetic in patients with the monitor
hemodynamic and maintaining hemodynamic not experienced that the high risk to avoid
the rupture of aneurysm.
ABSTRAK
Perubahan aliran darah ke otak memiliki regulasi tersendiri mengingat begitu besar
peranan otak bagi kehidupan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi regulasi aliran
darah ke otak salah satunya adalah tindakan dan obat anestesi selama pembiusan. Untuk
menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi perlu dipelajari tentang auto regulasi
darah serebral dengan baik. Penggunaan obat juga perlu dipertimbangkan. Operasi
dibagian kepala membutuhkan waktu relative lama dibandingkan operasi yang lainnya.
Otak mempunyai kemampuan yang khas untuk mengatur aliran darah terhadap :
1. Aktivitas fungsional dan metabolic (flow metabolism coupling and metabolic
regulation).
2. Perubahan pada tekanan perfusi (perssure autoregulation)
3. Perubahan kandungan oksigen atau karbondioksida dari arteri.
Selain itu aliran darah otak dapat berubah melalui pengaruh langsung dari hubungan
antara pusat-pusat khusus di otak dan pembuluh darah (Neurogenic Regulation).
Perubahan aliran darah ke otak memiliki resiko yang fatal dalam menentukan prognosis.
Kejadian kematian paling banyak disebabkan aneurisma dari arteri yang pecah didalam
otak serta cidera kepala yang disebabkan suatu kecelakaan lalu lintas. Diagnosis
121
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Aneurisma sulit dilakukan atau terlambat untuk diketahui. Seorang dokter anestesi dituntut
ektra hati hati dalam membius pasien dengan cara memantau hemodinamik dan menjaga
hemodinamik tidak mengalami gejolak yang tinggi untuk menghindari resiko pecahnya
aneurisma.
PENDAHULUAN
Otak membutuhkan metabolisme yang
lebih tinggi dibanding organ tubuh yang
lain, otak menerima 14% aliran darah
dari pompa jantung, sebanyak 700
ml/menit darah dipompakan keotak,
sebanyak 20% kebutuhan oksigen
diambil oleh otak. Tingkat aliran darah
serebral (Cerebral Blood Flow). Harga
CBF sebagian besar ditentukan oleh
tingkat metabolisme dan konsumsi
oksigen otak, metabolism otak
cenderumg menurun pada saat terjadi
hipotermi.1,2,3
CBF pada orang dewasa adalah sekitar 50
mL/100 g / menit sedangkan pada anak-
anak adalah sekitar 95 mL/100 g / menit,
yang lebih tinggi daripada orang dewasa.
Sebaliknya, bayi memiliki CBF sedikit
lebih rendah daripada orang dewasa (40
mL/100 g / menit). Medula spinalis (MS)
memiliki aliran darah rata-rata 60
mL/100 g / menit dan 20 mL/100 g /
menit .1,4
Otak sebagai organ pengatur tubuh
memiliki bagian terkompleks dan sangat
terorganisasi sehingga membutuhkan
aliran darah yang baik. Karena cadangan
energi didalam otak tidak dapat
diabaikan, aliran darah yang cukup
diperlukan untuk menyediakan substrat-
substrat penghasil energi dan untuk
membersihkan produk-produk dari
metabolisme sel. Otak sangat sensitif
pada penurunan aliran darah.
Berkurangnya aliran darah yang hebat
dapat menyebabkan gejala neurolofis
dalam beberapa detik. Gangguan aliran
darah yang kontinyu dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan yang
ireversibel.
Otak mempunyai kemampuan yang khas
untuk mengatur aliran darah terhadap :
1. Aktivitas fungsional dan metabolic
(flow metabolism coupling and
metabolic regulation).
2. Perubahan pada tekanan perfusi
(perssure autoregulation)
3. Perubahan kandungan oksigen atau
karbondioksida dari arteri.
Selain itu aliran darah otak dapat berubah
melalui pengaruh langsung dari hubungan
antara pusat-pusat khusus di otak dan
pembuluh darah (Neurogenic
Regulation).2
Otak mendapat aliran darah dari 2 pasang
arteri yaitu arteri carotis interna dan arteri
vertebralis keempat arteri saling terbebas
dan beranastomose menjadi sirkulus
arteri Willisi dan arteri Basilaris sistem
ini diikuti oleh arteri-arteri serebri
propria.3
Darah kapiler memasuki vena-vena
meninggalkan otak melalui vena interna
dan vena externa yang mengalir melalui
sinus-sinus duralis besar, dari sinus-sinus
besar melaluai vena jugularis interna,
vena anonymae dan vena kava superior
kemudian menuju ke atrium kanan.
Keadaan lingkungan ikut mempengaruhi
regulasi darah ke otak, perubahan pola
makan berakibat terjadi perubahan
komposisi darah serta mempengaruhi
viskositas darah, perubahan tekanan
darah ke otak dapat memicu terjadinya
proses iskemik otak maupun pecahnya
pembuluh darah otak. 3
122
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Dalam tulisan ini akan membahas
mengenai aneurisma yang terjadi intra
cerebral dan tindakan anestesi yang dapat
dilakukan.
Peredaran Darah Arteri Otak
Aa Karotis Interna
Arteri-arteri ini merupakan lanjutan dari
dari arteri karotis komunis, yang berasal
dari batang brakiosefalik yang berada
pada sisi kiri dari arcus aorta. Pada
daerah kartilago tyroid arteri karotis
komunis terbagi menjadi 2 yaitu arteri
karotis eksterna yang bertugas memberi
darah daerah leher, wajah dan regio
fronto temporalis dari kranium.
Sedangkan arteri karotis interna berjalan
menuju kanalis karotikus kemudian
memberikan cabang kecil pada dasar
telinga, dan daerah pada kelenjar hipofise
dan juga mencabang menjadi arteri
oftalmika untuk mendarahi seluruh bola
mata dan dasar bola mata. 3
Aa Vertebralis
Arteri ini merupakan cabang pertama dari
arteri subklavia memasuki tengkorak
melalui ruang antara sendi atlanto
ocipitalis tepi lateral foramen magnum.
Sebelum memasuki kranium arteri
vertebralis membentuk siphon seperti
huruf S yang mungkin bertujuan
melembabkan gelombang nadi yang
datang, kemudian menyusuri tepi lateral
dari medula oblogata. Diantara ponto
meduler arteri vertebralis bergabung
menjadi arteri basilaris .3
Sirkulus Arteri Willisi
Setelah memasuki rongga subarakhnoid,
a. Karotis interna berlanjut ke posterior
dibawah saraf optik dan kemudian kearah
lateral, setinggi kiasma optikum membuat
sudut belokan memasuki fisura sylvii,
pada putaran ini memberikan cabang a.
Komunikans Poterior yang bergabung
dengan a. Serebri posterior membentuk
bersama dengan a. Basilaris menjadi
sirkulus wilis.3,5,6
Aa Serebri Propria
Merupakan percabangan kecil dari a
komunikans posteior yang mendarahi
tuber sinerium, korpus mamilare,
sepertiga anterior talamus, sub talamus
dan sebagian dari kapsula intern.3
Arteri Serebri Anterior
Setelah keluar a karotis interna a cerebri
anterior memberikan cabang menjadi a
rekurens, memberikan perdarahan pada
kiasma optikus dan saraf optikus. A
cerebri anterior memiliki 5 cabang besar
yaitu orbitalis, frontopolaris, perikalosal,
kaloso marginalis dan parietalis.3
Gambar 2. Perjalanan arteri menuju otak (Peter Duus)
123
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Gambar 1. Sirkulus dari Willisi dan cabang cabangnya (Peter Duus)
Arteri Serebri Media
A carotis interna memberikan cabang
menjadi a cerbri anterior dan cerebri
media, cabang ini membemberikan darah
hampir semua putamen dan nukleus
kaudatus, sepertiga palidum dan segmen
dorsal dari palidum, segmen dosrsal dari
kapsula interna berjalan antara putamen
dan nukleus kaudatus.
Cabang a serebri media sering menjadi
sumber dari hematom hipertensi. Arteri
ini bertanggung jawab untuk seluruh
regio dari lobus frontalis, parietalalis dan
temporalis. Jika arteri ini rusak atau
terjadi perdarahan menimbulkan tanda-
tanda afasia motorik dan sensorik,
aleksia, agrafia, apraksia, akalkulia dan
gangguan citra tubuh.3
Arteri Serebri Posterior
Merupakan cabang akhir dari a.basilaris
kadang-kadang merupakan perpanjangan
dari a.karotis interna. Pembuluh darah ini
bertanggung jawab pada otak tengah,
sebagian dari pons juga talamus juga
memberikan perdarahan untuk ventrikel
ketiga.3
Peredaran Darah Vena
Darah kapiler yang memasuki vena-vena,
meninggalkan otak melalui vena interna
dan eksterna yang mengalir ke sinus-
sinus duralis besar, dari sinus-sinus darah
kembali ke jantung melalui vena jugularis
interna, vena brakhiosefalika, vena cava
superior dan sebagian kecil melaluai
canalis spinalis, vena-vena tersebut antara
lain ;
a. V.v Superior dorsal
b. V.v serebri media
c. V.v Serebri inferior
d. V.v Serebri anterior
Bersama-sama vena-vena ini membentuk
vena magna dari galen yang merupakan
vena terbesar dan mengalir kedalam sinus
rectus, kemudian bermuara ke vena cava
superior melalui vena jugularis interna.3
124
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Gambar 3. Aliran Darah Vena(Color Atlas of Neurology)
Defisiensi Sirkulasi Cerebral
a. Aneurisma Arteri (1,3,7,,8)
Pembuluh darah intracranial bersandar
dalam ruang subarachnoid, memberikan
perforasi kecil pembuluh darah.
Perdarahan dari pembuluh darah ini atau
dari suatu aneurisma yang diasosiasikan
terjadi secara primer kedalam ruang ini,
berakibat SAH. Aneurisma cerebral
adalah penyebab tersering Sub Arachnoid
Hemorarge (SAH) spontaneus, dengan
malformasi arterivenous perkiraan sekitar
6%, walaupun penyebab lain termasuk
trauma dan tumor.
Kejadian SAH aneurisma mempunyai
insiden tahunan 10-20 per 100.000,
meningkat secara konsisten dengan usia
sampai decade 60, dengan insiden
tertinggi 55-60 tahun. Terdapat variasa
bermakna dalam insiden SAH di seluruh
dunia, berkisar dari 1.1 sampai 92.3 per
100.000 orang. Insidens terendah pada
Timur pertengahan dan tertinggi pada
Jepang, Australia dan Scandinavia
terutama Finlandia, dimana insiden
sebanyak tiga kali di seluruh dunia.
Tingkat spesifik usia untuk SAH
tampaknya lebih tinggi pada mereka yang
berasal dari ras Afro karibian dibanding
Kaukasia. Tampaknya ada
kecenderungan pada wanita dengan
laporan rasio laki-laki dibanding wanita
sekitar 1 : 1,8.(8)
Aneurisma adalah pelebaran atau
menggelembungnya dinding pembuluh
darah, yang didasarkan atas hilangnya
dua lapisan dinding pembuluh darah,
yaitu tunika media dan tunika intima,
sehingga menyerupai tonjolan/ balon.
Dinding pembuluh darah pada aneurisma
125
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
ini biasanya menjadi lebih tipis dan
mudah pecah. Sebenarnya aneurisma
dapat terjadi di pembuluh darah mana
saja di tubuh kita. Apabila aneurisma ini
terjadi pada pembuluh darah otak,
gejalanya dapat berupa sakit kepala yang
hebat, bersifat berdenyut, dapat disertai
atau tidak disertai dengan muntah.
Komplikasi dari aneurisma dapat
menyebabkan terjadinya pecahnya
pembuluh darah di otak, yang juga
dikenal dengan stroke.
Sebagian besar kejadian aneurisma aorta
adalah kongenital dan ditemukan pada
dasar otak biasanya pada sirkulus wilisi,
aneurisma biasanya asimptomatik sampai
menjadi besar dan melibatkan banyak
jaringan disekitarnya seperti menekan
kiasma optikus dan biasanya ditandai
dengan nyeri kepala hebat.
Tanda-tanda terjadinya aneurisma adalah
peningkatan tekanan intrakranial yang
cepat dengan tanda khas adalah sakit
kepala, mual,muntah, kekakuan dileher
serta kesadaran yang berkabut.
Aneurisma intrakranial sering ditemukan
ketika terjadi ruptur yang dapat
menyebabkan perdarahan dalam otak atau
pada ruang subarahnoid, sehingga
menyebabkan perdarahan subarahnoid.
Perdarahan subarahnoid dari suatu ruptur
atau aneurisma otak dapat menyebabkan
terjadinya stroke hemoragik, kerusakan
dan kematian otak(3)
.
Faktor risiko turunan diasosiasikan
dengan formasi aneurisam dapat
termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi :
Defisiensi alfa glukosidase- defisiensi parsial atau lengkap enzim lisosomal,
alfa glukosidase. Enzim ini penting
untuk memecah glikogen dan
mengubahnya menjadi glukosa.
Defisiensi alfa 1 antitripsin, suatu
penyakit herediter yang menuju pada
hepatitis dan sirosis hati atau
emfisema paru.
Malformasi arteri venous (AVM)
suatu hubungan abnormal antara
arteri dan vena
Koarktasio aorta atau penyempitan aorta (arteri utama keluar dari
jantung)
Sindrom Ehlers Danlos-gangguan jaringan penghubung (umumnya
jarang)
Riwayat keluarga dengan aneurisma
Wanita
Displasia fibromuskular-penyakit arterial, penyebab tidak diketahui,
yang paling sering sering
mempengaruhi arteri medium dan
besar pada wanita muda sampai usia
pertengahan.
Teleangiectasia hemorrhagic herediter, gangguan genetik
pembuluh darah cenderung
membentuk pembuluh darah yang
kurang kapiler suatu arteri dan vena.
Sindrom Klinefelter, suatu kondisi
genetik pada pria dimana ekstra
kromosom X.
Sindrom Noonan, gangguan genetik yang menyebabkan perkembangan
abnormal banyak bagian dan sistem
dari tubuh.
PCD-Polycystic Kidney Disease, gangguan genetik dengan
karakteristik pertumbuhan banyak
kistik berisi cairan dari ginjal, PCKD
adalah penyakit medis paling umum
diasosiasikan dengan aneurisma
sakular.
Sclerosis Tuberous, tipe sindrom neurokutaneus yang dapat
menyebabkan tmor tumbuh dalam
otak, sumsum tulang belakang, organ
dan tulang.
Faktor risiko didapat diasosiasikan
dengan pembentukan aneurisma termasuk, tapi tidak terbatas, meliputi:
126
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Usia (tidak lebih dari 40 tahun)
Konsumsi alkohol
Aterosclerosis, suatu pembentukan plak (terbuat dari deposit substansi
lemak, kolesterol, sisa produk seluler,
kalsium dan fibrin) pada lapisan
dalam arteri.
Kebiasaan merokok
Penggunaan obat-obat terbatas seperti
kokain dan amfetamin
Hipertensi (tekanan darah tinggi)
Trauma (luka) pada kepala
Infeksi
KLASIFIKASI Pembagian aneurisma adalah sebagai
berikut :
1. Kongenital (aneurisma sakuler) 4.9%
2. Aneurisma mikotik (septik) 2,6%
3. Aneurisma arteriosklerotik
4. Aneurisma traumatik 50-76,8%
Laporan otopsi insidensi aneurisma
kongenital sebesar 4.9%-20% yang terdiri
dari 15% multiple dan 85% soliter.
Lokasi aneurisma kongenital dilaporkan :
85-90% pada bagian depan sirkel wylisii;
30--40% pada arteri carotis interna; 30-
40% di a. cerebri anterior/communicans
anterior; 20 30% di a. cerebri media; 10-
15% di a. vertebro-basilaris.
Berdasarkan bentuknya, aneurisma dapat
dibedakan:
Aneurisma tipe fusiform (5–9%). Penderita aneurisma ini mengalami
kelemahan dinding melingkari
pembuluh darah setempat sehingga
menyerupai badan botol.
Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%). Pada
aneurisma ini, kelemahan hanya pada
satu permukaan pembuluh darah
sehingga dapat berbentuk seperti
kantong dan mempunyai tangkai atau
leher. Dari seluruh aneurisma dasar
tengkorak, kurang lebih 90%
merupakan aneurisma sakuler.
Berdasarkan diameternya aneurisma
sakuler dapat dibedakan atas:
Aneurisma sakuler kecil dengan diameter
< 1 cm.
Aneurisma sakuler besar dengan
diameter antara 1- 2.5 cm.
Aneurisma sakuler raksasa dengan diameter > 2.5 cm.
Aneurisma tipe disekting ( < 1% ).
Gambar 4. Tipe aneurisma
(NeurosurgeryPrinciples and Practice)
Gambar 5. Frekuensi Lokasi dari Aneurisma
serebral Kongenital (Peter Duus)
127
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Bagaimana suatu aneurisma cerebralis
didiagnosis?
Suatu aneurisma cerebralis sering
ditemukan setelah ruptur atau pada
kesempatan selama pemeriksaan
diagnostik seperti computed tomography
(CT Scan), magnetic resonance imaging
(MRI) atau angiografi yang dilakukan
untuk kondisi lain.
Sebagai tambahan untuk melengkapi
riwayat medis dan pemeriksaan fisik,
prosedur diagnostik untuk aneurisma
cerebralis dapat termasuk
Digital subtraction angiography (DSA), menyediakan gambaran
pembuluh darah dalam otak untuk
mendeteksi masalah dengan aliran
darah. Prosedural meliputi
pemasangan suatu kateter (tube kecil
dan tipis) kedalam arteri pada kaki
dan melewati sampai pembuluh darah
dalam otak. Suatu kontras disuntikkan
melalui kateter dan gambaran X-ray
diambil pada pembuluh darah.8
Computed tomography scan (CT atau
CAT scan), suatu prosedural
diagnostik image yang menggunakan
kombinasi X ray dan teknologi
komputer untuk menghasilkan
gambaran cross sectional ( sering
disebut potongan) baik horisontal
maupun vertikal pada tubuh. Suatu
CT scan menunjukkna gambar detail
setiap bagian tubuh termasuk tulang,
otot, lemak dan organ. CT Scan lebih
detail dibanding X ray keseluruhan
dan dapat digunakan untuk
mendeteksi abnormalitas dan
membaantu mengidentifikasikan
lokasi atau tipe stroke. 8
Magnetic Resonance Imaging (MRI), suatu prosedural diagnostik yang
menggunakan suatu kombinasi
magnet besar, frekuensi radio dan
suatu komputer untuk menghasilkan
gambaran detail organ dan struktur
dalam tubuh. Suatu MRI
mengguankan lapangan magnet untuk
mendeteksi perubahan kecil dalam
jaringan otak yang membantu
menglikasikan dan mendiagnosis
stroke.8
Magnetic Resonance Angiography
(MRA), suatu prosedural non invasif
yang menggunakan kombinasi
magnetic resonance teknologi (MRI)
dan kontras intravena (IV) untuk menggambarkan pembuluh darah.
Kontra menyebabkan pembuluh darah
terlihat opak pada gambar MRI,
memungkinkan pemeriksa untuk
menggambarkan pembuluh darah
yang dievaluasi.8
Penanganan untuk aneurisma
cerebralis
Penanganan spesifik untuk aneurisma
cerebralis akan ditentukan oleh dokter
berdasar pada :
Usia, kesehatan keseluruhan dan
riwayat medis
Keparahan kondisi
Tanda dan gejala
Toleransi untuk obat-obatan tertentu,
prosedural atau terapi
Harapan untuk kondisi terjadi saat ini
Pendapat sendiri atau referensi
Gambar 6. Aneurisma kantong
(NeurosurgeryPrinciples and Practice)
128
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
Berdasar pada situasimu, dokter akan
membuat rekomendasi untuk intervensi
yang tepat. Apa pun intervensi yang
dipilih, perhatian utama adalah untuk
mengurangi resiko perdarahan
subarachnoid, baik secara initial atau pun
episode perdarahan berulang.
Gambar 7. Metode craniotomi dengan klip
(NeurosurgeryPrinciples and Practice)
Banyak faktor dipertimbangkan ketika
membuat keputusan penanganan untuk
aneurisma cerebralis. Ukuran dan lokasi
aneurisma, hadir atau absennnya gejala, usia pasien dan kondisi medis dan hadir
atau absennya faktor resiko lainnya untuk
ruptur aneurisma harus dipertimbangkan.
Pada beberapa kasus, aneurisma tidak
diobati tapi pasien akan secara ketat
diawasi oleh dokter. Pada kasus lain,
penanganan bedah dapat menjadi
indikasi.
Terdapat dua penanganan bedah primer
untuk aneurisma cerebralis:
Open Kraniotomi (surgical clipping)
Prosedur ini meliputi bedah
pengangkatan bagian tengkorak otak.
Dokter menemukan aneurisma dan
menempatkan suatu metal klip
sepanjang leher aneurisma untuk
mencegah aliran darah masuk
kantung aneurisma. Sekali klipping
selesai, tulang tengkorak disatukan
kembali.8
Endovaskular coiling atau coil
embolisasi
Endovaskular coiling adalah teknik
invasif minimal, yang berarti insisi
pada tengkorak kepala tidak
dibutuhkan untuk menangani
aneurisma cerebralis. Lebih jauh,
suatu kateter dimasukkan dari
pembuluh darah naik menuju
pembuluh darah dalam otak. Fluoroskopi ( tipe spesial X ray sama
dengan „film” X ray) digunakan
untuk memandu kateter menuju
kepala dan masuk dalam aneurisma.8
Saat kateter pada tempatnya,
gulungan platinum sangat kecil
dimasukkan melalui kateter ke dalam
aneurisma. Gulungan platinum kecil,
yang tampak dengan X ray,
menggambarkan bentuk dari
aneurisma. Aneurisma dengan coil
menjadi tersumbat (embolisasi),
mencegah ruptur. Prosedur ini
dilakukan baik dengan anestesi umu
atau lokal. 8,9
Gambar 8. Terapi Aneurisma dengan metode
sumbat balon (NeurosurgeryPrinciples and
Practice)
Dolikoektasia Arterial Istilah yang mewakili suatu kesatuan
penyakit dari arteri yang lebih besar (
mencakup arteri intrakranial ) ditandai dengan elongasi dan distensif progresif
secara bertahap dari arteri arteri yang
129
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
disebabkan oleh perubahan dalam
jaringan elastik, biasanya penyakit
multiple sklerosis.3
Regulasi CBF(1)
1. Metabolisme daerah otak bergantung
pada penumpukan metabolit.
Timbunan metabolit menyebabkan
dilatasi lokal dari aliran darah tepi
atau kecil di otak. Penyebab
mekanisme ini secara pasti belum
diketahui, ini mungkin disebabkan
oleh penumpukan K atau H di sekitar
cairan ekstraselular arteriola. Agen
lain yang dapat mempengaruhi
metabolisme termasuk nitrous oxide
(NO), kalsium, adenosin, dan
eikosanoid seperti tromboksan dan
prostaglandin. Kombinasi faktor-
faktor ini akan memberikan
kontribusi metabolism otak.4
2. NO adalah vasodilator yang
dikeluarkan secara lokal oleh sel
endotel pembuluh darah. Vasodilatasi
ini penting bagi peraturan vaskular
seluruh tubuh, tetapi peran yang tepat
NO dalam mengendalikan CBF masih
harus ditentukan. Kemungkinan
menjadi regulator penting CBF
setempat, mungkin dengan
mempengaruhi mikro sirkulasi otak
.1,4
3. Karbon dioksida (CO2) dapat
meningkatkan vasodilatasi dan
meningkatkan CBF. CO2 yang
terhidrasi dengan bantuan enzym
karbonat anhydrase yang mengarah
kepada peningkatan keasaman.
Penurunan pH diperkirakan
menyebabkan vasodilatasi. Ketika
CO2 yang dibelah dua 40-20 mm Hg,
maka CBF berkurang kira-kira
setengah .1 Ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan perubahan CBF
antara lain ;
a. Hiperventilasi menyebabkan
pengurangan CO2, peningkatan
pH, dan dengan demikian
penurunan CBF. Jika
hiperventilasi dijaga selama 6
sampai 8 jam, pH kembali normal
karena transportasi dan CBF
bikarbonat kembali ke tingkat pre-
hyperventilation. Demikian,
hiperventilasi hanya berguna
untuk jangka waktu yang singkat .
b. Jika hiperventilasi dihentikan
tiba-tiba, menyebabkan
peningkatan CO2 ke tingkat
normal, akan terjadi pengurangan
HCO3, menyebabkan asidosis.
Peningkatan CBF Ini bisa
menjadi masalah kritis ketika
hiperventilasi digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial
(ICP).
c. Ada kemungkinan bahwa
hiperventilasi ekstrem ke tingkat
di bawah 20 mm Hg dapat
menyebabkan iskemia karena
vasokonstriksi dan hiperventilasi
di bawah 30 mm Hg ini tidak
dianjurkan .
4. Autoregulasi memungkinkan CBF
tetap konstan jika tekanan perfusi
serebral (CPP) bervariasi antara 50
dan 150 mm Hg. Tanda-tanda iskemia
serebral terlihat di bawah 50 mm Hg,
di atas 150 mm Hg gangguan dari
sawar darah otak dan edema serebral
dapat terjadi. Penyesuaian aliran
perubahan tekanan mendadak
memerlukan waktu antara 30-180
detik. Mekanisme autoregulasi belum
sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin
dipengaruhi kombinasi efek termasuk
myogenik dan faktor-faktor
metabolik.
a. Myogenik merupakan aktivitas
otot-otot dinding pembuluh darah
terjadi akibat peningkatan tekanan
dalam pembuluh darah, ketika
dinding pembuluh darah ditarik,
karena akan dengan peningkatan
tekanan darah, otot polos
kontraksi, menyebabkan
130
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
vasokonstriksi yang mengurangi
aliran. hal ini menyebabkan aliran
darah meningkat karena
meningkatnya tekanan dan
mengakibatkan sedikit perubahan
dalam aliran darah.
b. Teori metabolik menyatakan
bahwa tekanan berkurang
menyebabkan penurunan aliran
dan mengurangi penumpukan
metabolit. Penumpukan metabolit
dan penurunan pH lokal
menyebabkan vasodilatasi lokal
dan dengan demikian peningkatan
aliran darah kembali normal.1,4,7
c. Autoregulasi dapat terganggu oleh
hipoksia, iskemia, hypercapnia,
trauma, dan agen anestesi
tertentu.1,4
d. Pasien dengan hipertensi kronis
memiliki autoregulatory
pergeseran kurva ke kanan.
Mereka mungkin menunjukkan
tanda-tanda iskemia akibat
penurunan tekanan aliran darah
dibandingkan pasien dengan
normotensi.
5. Tekanan parsial oksigen (PaO2) hanya
berpengaruh sedikit terhadap CBF
bila turun sampai jatuh di bawah 50
mmHg. Pada titik ini peningkatan
dramatis dalam aliran darah dengan
lebih penurunan PaO2 terjadi. Karena
oksigen kapasitas darah tinggi, kritis
penurunan kandungan oksigen dalam
darah mungkin tidak terjadi sampai
Pao2 turun di bawah ambang batas
sebesar 50 mm Hg.
6. Faktor neurogenik termasuk
adrenergik, cholinergic, dan sistem
serotonergik juga mempengaruhi
CBF. Pengaruh terbesar mereka
adalah pada pembuluh darah lebih
besar.
7. Hematokrit mengubah viskositas
darah dan dengan demikian dapat
mempengaruhi aliran darah.
Hematokrit yang rendah dapat
meningkatkan aliran darah dengan
menurunkan viskositas darah.
8. Keadaan Hipotermia menyebabkan
metabolisme saraf menurun dan
dengan demikian mengurangi CBF
sedangkan hipertermia memiliki efek
sebaliknya.
9. Tingkat metabolisme neuron yang
mengelilingi mikrovascular daerah
mengatur aliran darah. Jika aktivitas
neuron ini meningkat, tingkat
metabolisme mereka meningkat, dan
aliran darah ke daerah itu meningkat
untuk memenuhi kebutuhan oksigen
dan glukosa. hal ini telah
dimanfaatkan menggunakan
tomografi emisi positron untuk
pemetaan aktivitas fungsional otak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Philippa Newfield MD, James E. Cottrell
MD. Physiology and Metabolism of the Brain
and Spinal Cord in Handbook of
Neuroanesthesia.4th ed. Lippincott Williams
& Wilkins; 2007.1-20
2. Iskandar J(2003). CONTROL OF
CEREBRAL BLOOD FLOW ( Digitized by
USU digital library.from
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi56.pdf, 6 juni 2009
3. Peter Duus. Teleensefalon atau korteks
serebral dalam diagnosis topic Neurologi
anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi 2;
Jakarta: EGC; 1996. 310-334
4. Cerebral Blood Flow. From
http://www.vascularneurosurgery.com/cbf.ht
ml, 25 september 2009
5. Raymond D. Adams, M.A., M.D. Maurice
Victor, M.D. Allan H. Ropper, M.D.
Disturbances of CSF Circulation
andIntracranial Pressure in PRINCIPLES OF
NEUROLOGY, 6th ed. New York;
McGRAW-HILL;1998. 261-267
6. Reinhard Rohkamm, M.D. Fundamentals in
Color Atlas of Neurology, Stuttga,
Grammlich, Pliezhausen; 2004. 10-22
7. Intracranial Pressure and Cerebral Blood
Flow, World Federation of Societies of
AnaesthesiologistsWWW implementation by
the NDA Web Team, Oxford, from
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u08/u08_
015.htm#cbf, 25 oktober 2009
131
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Volume I, Nomor 2, Tahun 2009
8. Philippa Newfield, James E,
Cottrel.Anesthetic Management of
intracranial aneurysms in Handbook of
Neuroanesthesia, 4th ed,San Francisco,
Lipincott wiliams & wilkins, 2007
9. Joan P. Grieve and Neil D. Kitchen,
Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage in
Neurosurgery Principles and Practice,
london, Springer, 2005;315-33