IV. STRUKTUR PDRB-22-01-05
-
Upload
moch-rum-alim -
Category
Documents
-
view
164 -
download
0
Transcript of IV. STRUKTUR PDRB-22-01-05
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN AN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006.
IV. STRUKTUR EKONOMI, NERACA PERDAGANGAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA
4.1. Struktur Ekonomi Intra Regional
Pembahasan struktur ekonomi dalam bab ini dilakukan melalui penelaahan
atas struktur PDRB sektoral yang diekstrak dari model SAMIJASUM 2002 sisi
kolom (pengeluaran). PDRB masing-masing wilayah dikelompokkan menjadi:
PDRB intra region, dan PDRB interregional. PDRB intra region adalah PDRB
yang menggambarkan kontribusi setiap sektor yang dihasilkan di dalam wilayah
sendiri terhadap total produk (output) masing-masing wilayah. Sedangkan PDRB
interregional pada dasarnya menggambarkan transaksi ekonomi antara Jawa dan
Sumatera, dimana wilayah yang disebut pertama (sisi baris) sebagai wilayah
penerima (penjual) dan yang disebut terakhir (sisi kolom) sebagai wilayah
pembayar (pembeli). Dengan demikian, PDRB interregional Sumatera-Jawa
menggambarkan struktur penerimaan Sumatera dari Jawa sebagai kompensasil
atas ekspor berbagai komoditi dari Sumatera ke Jawa. Sedangkan, PDRB
interregional Jawa-Sumatera menggambarkan struktur penerimaan Jawa dari
Sumatera sebagai kompensasil atas ekspor berbagai komoditi dari Jawa ke
Sumatera. Dalam hubungan ini, Tabel 5. kolom kedua menunjukkan PDRB intra
region Jawa, kolom ketiga menunjukkan PDRB intra region Sumatera, kolom
keempat menunjukkan PDRB interregional Sumatera-Jawa, dan kolom kelima
menunjukkan PDRB interregional Jawa-Sumatera.
Tabel 5. kolom kedua menunjukkan bahwa total PDRB intra Jawa sebesar
Rp. 4 481 032.00 miliar rupiah. Secara agregat kontribusi kelompok sektor
pertanian terhadap total PDRB intra Jawa sebesar 14.57 persen, sektor
pertambangan dan penggalian 3.56 persen, kelompok sektor industri pengolahan
31.89 persen, dan kelompok sektor jasa sebesar 49.98 persen. Kontribusi terbesar
berasal dari sektor Jasa, kemudian disusul oleh sektor industri pengolahan, sektor
pertanian, dan sektor pertambanagn. Ini berarti bahwa struktur perekonomian
Jawa adalah Jasa – Industri – Pertanian – Pertambangan (J-I-P-P). Di sisi lain total
PDRB intra Sumatera (kolom ketiga) adalah 1 287 270.80 miliar rupiah, dengan
komposisi kontribusi sektoral sebagai berikut : kelompok sektor pertanian sebesar
25.10 persen, pertambangan 6.21 persen, industri pengolahan 25.62 persen, dan
kelompok sektor jasa 43.06 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok sektor
jasa memberikan kontribusi yang paling besar, diikuti oleh kelompok sektor
industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor pertambangan dan penggalian.
Berarti bahwa struktur perekonomian intra Sumatera adalah jasa – industri –
pertanian - pertambangan (J-I-P-P).
Sekilas, struktur ekonomi intra Sumatera serupa dengan struktur ekonomi
intra Jawa, dimana kontribusi sektor jasa yang terbesar dengan persentase yang
hampir setara dan diikuti oleh sektor industri pengolahan. Namun bila dicermati,
sesungguhnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB intra
Sumatera tidaklah sekuat kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB
intra Jawa. Hal ini dapat dilihat dari selisih atau jarak antara kontribusi sektor
industri pengolahan dan kelompok sektor pertanian terhadap PDRB. Selisih
antara kontribusi sektor industri pengolahan dan sektor pertanian dalam PDRB
intra Sumatera sekitar 0.52 persen, sedangkan pada intra Jawa sekitar 17.32
persen. Ini berarti bahwa peranan sektor industri pengolahan di dalam
perekonomian Sumatera masih setara dengan peranan sektor pertanian.
110
Sedangkan peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Jawa sudah
lebih dominan dari peranan sektor pertanian. Selain itu, jika kontribusi sektor
pertambangan dan penggalian terhadap PDRB digabungkan dengan kontribusi
sektor pertanian menjadi kontribusi kelompok sektor primer, maka kontribusi
sektor ini terhadap PDRB intra Jawa sebesar 18.13 persen, sedangkan terhadap
PDRB intra Sumatera sebesar 31.31 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
kontribusi sektor industri (sekunder) terhadap PDRB intra Jawa masih lebih
besar dari kontribusi kelompok sektor primer. Sebaliknya, kontribusi sektor
industri (sekunder) terhadap PDRB intra Sumatera menjadi lebih kecil dari
kontribusi kelompok sektor primer. Ini berarti bahwa struktur ekonomi Jawa
adalah tersier – sekunder – primer (T-S-P), sedangkan Sumatera adalah tersier –
primer - sekunder (T-P-S). Struktur ekonomi ini menunjukkna bahwa di dalam
perekonomian Jawa, sektor sekunder (industri) lebih berperanan daripada sektor
primer, sedangkan di dalam perekonomian Sumatera, sektor primer lebih
berperanan daripada sektor sekunder (industri).
Selanjutnya, secara parsial (per sektor), struktur ekonomi sektoral dalam
perekonomian Jawa adalah : jasa perdagangan, restoran dan hotel (18.35%),
industri makanan, minuman dan tembakau (13.68%), jasa-jasa lainnya (10.45%),
industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, semen dan logam dasar (9.11%), jasa
konstruksi (8.98%), sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya (7.58%), sektor
jasa transportasi dan komunikasi (5.38%), sedangkan sektor yang lainnya dibawah
lima persen. Struktur ini menunjukkan bahwa sektor-sektor yang paling berperan
di dalam perekonomian Jawa adalah sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel,
sektor industri makanan, minuman dan tembakau, dan sektor jasa-jasa lainnya.
111
Tabel 5. Struktur PDRB Sektoral Intra dan Interregional Antara Jawa dan Sumatera
(Persen)
Sektor ProduksiPDRB
Jawa Sumatera SM-JW JW-SMPERTANIAN 14.57 25.10 12.63 12.42
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 7.56 11.16 1.87 11.83Peternakan 3.07 5.75 2.42 0.00Kehutanan dan perburuan 1.52 2.62 1.92 0.00Perikanan 2.43 5.57 6.43 0.59
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3.56 6.21 15.75 4.37INDUSTRI PENGOLAHAN 31.89 25.62 28.41 60.66
Ind. makanan, minuman dan tembakauInd. pemintalan, tekstil dan kulitInd. kayu dan barang-barang dari kayuInd. kertas, cetak, alat ang., brg. Lgm dan Lainnya
13.684.941.742.42
14.521.981.340.77
11.782.051.500.55
35.965.754.260.33
Ind. kimia, ppk, htl, semen dan logam dasar 9.11 7.02 12.52 14.36JASA 49.98 43.06 43.20 22.55
Listrik,gas dan air 2.01 2.60 0.00 0.00Konstruksi 8.98 7.73 0.00 0.00Perdagangan, restoran dan hotel 18.35 15.87 18.23 11.49Transportasi dan komunikasi 5.38 6.78 12.18 5.50Keuangan dan perbankan 4.81 4.07 4.71 3.18Jasa-jasa lainnya 10.45 6.03 8.09 2.38
Total PDRB (miliar rupiah) 4 481 032.00
1 287 270.80 65 039.87 71 178.90
100.00 100.00 100.00 100.00Sumber: SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
Sementara itu di dalam perekonomian Sumatera, sektor yang memberikan
kontribusi paling besar terhadap PDRB secara berurutan adalah sektor jasa
perdagangan, restoran dan hotel (15.87%), sektor industri makanan, minuman
dan tembakau (14.52%), sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya (11.16%),
sektor jasa konstruksi (7.73%), sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah
liat, semen dan logam dasar (7.02%), sektor jasa transportasi dan komunikasi
(6.78%), sektor pertambangan dan penggalian (6.21%), sektor jasa-jasa lainnya
(6.03%), sektor peternakan (5.75%), dan sektor perikanan (5.57%). Hal ini
menunjukkan bahwa sektor-sektor yang paling berperan di dalam perekonomian
Sumatera adalah sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri
makanan, minuman dan tembakau, sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya.
112
Peringkat peranan sektoral di dalam perekonomian Jawa dan Sumatera
sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan adanya kesamaan peranan
sektoral pada peringkat kesatu dan kedua, sedangkan pada peringkat ketiga
terdapat perbedaan. Peranan sektoral pada peringkat ketiga dalam perekonomian
Jawa adalah sektor jasa-jasa lainnya, sedangkan dalam perekonomian Sumatera
adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Perbedaan ini memperkuat
kesimpulan bahwa sektor pertanian masih dominan di dalam perekonomian
Sumatera.
4.2. Struktur Neraca Perdagangan Antara Jawa dan Sumatera
Tabel 5. juga menggambarkan struktur neraca perdangangan antara Jawa dan
Sumatera. Sebenarnya PDRB interregional antara Jawa dan Sumatera
sebagaimana tercantum pada kolom keempat dan kelima Tabel 6 menggambarkan
posisi ekspor-impor sektoral baik untuk Jawa maupun Sumatera. Uraian bab
sebelumnya telah diungkapkan bahwa dalam perspektif ilmu ekonomi regional
perdagangan interregional dalam satu negara, serupa dengan perdagangan luar
negeri dalam perspektif makroekonomi. Dengan demikian sesungguhnya, kolom
keempat Tabel 5. menggambarkan struktur ekspor Sumatera ke Jawa dan/atau
struktur impor Jawa dari Sumatera, sedangkan kolom kelima menggambarkan
struktur ekspor Jawa ke Sumatera dan/atau struktur impor Sumatera dari Jawa.
Tabel 5. menunjukkan bahwa total ekspor Sumatera ke Jawa sebesar
65 039.87 miliar rupiah, yang dikontribusikan oleh kelompok sektor jasa sebesar
43.20 persen, kelompok sektor industri pengolahan sebesar 28.41 persen, sektor
pertambangan dan penggalian 15.75 persen, dan kelompok sektor pertanian 12.63
persen. Di sisi lain, total ekspor Jawa ke Sumatera sebesar 71 178.90 miliar rupiah
113
yang dikontribusikan oleh kelompok sektor industri pengolahan sebesar 60.66
persen, kelompok sektor jasa 22.55 persen, kelompok sektor pertanian 12.42
persen, dan sektor pertambangan dan penggalian 4.37 persen. Dengan demikian,
ekspor Sumatera ke Jawa di dominasi oleh kelompok sektor jasa, terutama dari
sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel; dan sektor transportasi dan
komunikasi. Sementara itu, ekspor Jawa ke Sumatera didominasi oleh kelompok
sektor industri pengolahan, terutama industri makanan, minuman, dan tembakau,
dan sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen, dan logam dasar.
Neraca perdagangan antara Jawa dan Sumatera menunjukkan bahwa Jawa
mengalami surplus perdagangan atas Sumatera sebesar 6 139.03 miliar rupiah.
Surplus neraca perdagangan ini bersumber dari lima sektor, yakni : (1) industri
makanan, minuman, dan tembakau, (2) sektor tanaman pangan dan tanaman
lainnya, (3) sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, (4) sektor industri kayu
dan barang-barang dari kayu, dan (5) sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah
liat, semen dan logam dasar. Dengan kata lain, lima sektor tersebut merupakan
sumber terjadinya defisit neraca perdagangan Sumatera atas Jawa.
Observasi Tabel 5. lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam perspektif teori
basis, terdapat dua sektor dalam perekonomian Sumatera yang tergolong sektor
nonbasis, yaitu sektor jasa listrik, gas dan air, dan sektor jasa konstruksi.
Empatbelas sektor lainnya tergolong sektor basis, yang sembilan diantara sektor
basisi tersebut menyumbangkan net-ekspor positif, sedangkan lima sektor basis
lainnya mengalami net-ekspor negatif. Namun demikian, secara keseluruhan
neraca perdagangan Sumatera masih mengalami defisit. Lima sektor basis yang
mengakibatkan terjadi defisit neraca perdagangan Sumatera umumnya berasal dari
sektor industri pengolahan. Sektor basis yang menimbulkan defisit neraca
114
perdagangan Sumatera atas Jawa tersebut adalah : (1) sektor industri makanan,
minuman, dan tembakau, (2) sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, (3)
sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu, (4) sektor industri kimia,
pupuk, hasil dari tanah liat, semen dan logam dasar, dan (5) sektor tanaman
pangan dan tanaman lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan
rumahtangga, perusahaan, dan pemerintah akan produk-produk industri yang
dihasilkan di Jawa relatif cukup tinggi dibandingkan dengan produk-produk
sektor lainnya. Sebagaimana telah diungkapkan bahwa terdapat sembilan sektor
produksi di Sumatera yang memiliki net ekpor positif (surplus perdagangan),
namun surplus tersebut tidak dapat menutupi defisit yang ditimbulkan oleh sektor
sekunder yang disebutkan di atas. Terjadinya kondisi ini, bisa disebabkan oleh
volume ekspor sektor-sektor non-sekunder Sumatera ke Jawanya masih kecil atau
nilai tukar perdagangannya rendah.
4.3. Struktur Pengeluaran Rumahtangga
Pembahasan sub-bab ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama
membahas struktur pengeluaran rumahtangga intra region dan bagian kedua
membahas struktur pengeluaran interregional. Yang dimaksudkan dengan
pengeluaran rumahtangga intra region adalah pengeluaran yang dilakukan oleh
berbagai golongan rumahtangga di dalam wilayahnya sendiri. Sedangkan
pengeluaran rumahtangga interregional adalah pengeluaran berbagai golongan
rumahtangga di suatu wilayah ke wilayah lain.
4.3.1. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Intra Region
Tabel 6. kolom kedua menunjukkan bahwa total pengeluaran rumahtangga
golongan buruh tani di Jawa kepada berbagai sektor produksi di wilayahnya
sendiri sebesar 307 197.39 miliar rupiah. Dari total pengeluaran tersebut,
29.54 persen dibelanjakan pada produk-produk sektor industri makanan, minuman
115
dan tembakau, 17.48 persen pada sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya,
11.30 persen pada sektor jasa-jasa lainnya, 8.49 persen pada sektor perdagangan,
restoran dan hotel, 7.32 pada sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat,
semen dan logam dasar, 6.15 persen pada sektor industri pemintalan, tekstil dan
kulit, dan pada sektor-sektor lainnya kurang dari 6.00 persen. Secara agregat,
pengeluaran intra region golongan rumahtangga ini (RBTJ) lebih besar pada
sektor industri pengolahan (45.87%), kemudian sektor primer (29.20%) dan
sektor jasa (24.93%). Sementara itu total pengeluaran intra region golongan
rimahtangga yang sama di Sumatera sebesar 108 355.00 miliar rupiah (Tabel 6.
kolom ketiga), dengan komposisi pengeluaran dari yang terbesar sebagai berikut :
(1) 27.52 persen pada sektor industri makanan, minminuman dan tembakau, (2)
22.21 persen pada sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya, (3) 9.12 persen
pada sektor peternakan, (4) 7.42 persen pada sektor perikanan, dan (5) 7.27 persen
pada sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel. Secara agregat pengeluaran
rumahtangga buruh tani intra Sumatera lebih besar pada sektor primer (44.04%),
kemudian pada sektor industri pengolahan (37.51%), dan terakhir pada sektor jasa
(18.45%).
Komposisi pengeluaran rumahtangga buruh tani sebagaimana diungkapkan
di atas menunjukkan bahwa struktur pengeluaran rumahtangga buruh tani intra
Jawa adalah sektor industri-pertanian- jasa (IPJ), sedangkan rumahtangga buruh
tani intra Sumatera adalah pertanian-industri-jasa (PIJ). Observasi lebih lanjut
menunjukkan bahwa apabila proporsi pengeluaran rumahtangga buruh tani di
Jawa secara sektoral dibandingkan dengan proporsi pengeluaran rumahtangga
buruh tani di Sumatera, maka nampak bahwa proporsi pengeluaran dari
rumahtangga buruh tani di Sumatera pada semua sektor pertanian relatif lebih
besar daripada proporsi pengeluaran rumahtangga buruh tani di Jawa. Pada sisi
116
lain, proporsi pengeluaran pada semua sektor industri pengolahan dan semua
sektor jasa relatif lebih kecil dari proporsi pengeluaran rumahtangga buruh tani di
Jawa. Dengan demikian, pola pengeluaran intra region dari buruh tani di Sumatera
masih lebih condong kepada sektor pertanian (primer), sedangkan buruh tani di
Jawa sudah beralih pada sektor industri dan sektor jasa. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan buruh tani di Jawa relatif lebih tinggi
dari tingkat pendapatan rumahtangga buruh tani di Sumatera.
Selanjutnya, proporsi pengeluaran rumahtangga pengusaha tani intra Jawa
adalah 40.39 persen pada kelompok sektor jasa, 37.09 persen pada kelompok
sektor industri pengolahan, dan 22.52 persen pada kelompok sektor primer.
Sedangkan proporsi pengeluaran rumahtangga pengusaha tani intra Sumatera
adalah 33.96 persen pada kelompok sektor jasa, 36.86 persen pada kelompok
sektor pertanian, dan 30.18 persen pada kelompok sektor industri pengolahan. Hal
ini menunjukkan bahwa struktur pengeluaran intra region dari rumahtangga
pengusaha tani di Jawa adalah jasa-industri-pertanian (J-I-P), rumahtangga
pengusaha tani di Sumatera adalah jasa-pertanian-industri (J-P-I). Selanjutnya,
secara parsial, proporsi pengeluaran intra region dari rumahtangga pengusaha tani
di Sumatera pada semua sektor pertanian relatif lebih besar dari proporsi
pengeluaran rumahtangga pengusaha tani di Jawa. Pada sisi lain, proporsi
pengeluaran intra region dari rumahtangga pengusaha tani di Sumatera pada
semua sektor industri pengolahan dan semua sektor jasa relatif lebih kecil dari
proporsi pengeluaran rumahtangga pengusaha tani di Jawa, kecuali proporsi
pengeluaran pada sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu, serta sektor
jasa transportasi dan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengeluaran
intra region dari rumahtangga pengusaha tani di Sumatera lebih condong pada
sektor pertanian, sedangkan pola pengeluaran intra region dari rumahtangga
117
pengusaha tani di Jawa lebih condong pada sektor industri pengolahan dan sektor
jasa. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pendapatan rumahtangga pengusaha tani
di Jawa relatif lebih tinggi dari pendapatan rumahtangga pengusaha tani di
Sumatera. Sisi lain dari pola pengeluaran rumahtangga pengusaha tani (RPT),
baik di Jawa maupun Sumatera, menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran
rumahtangga pengusaha tani (RPT) pada semua sektor pertanian dan pada sektor
industri makanan, minuman, dan tembakau relatif lebih rendah daripada proporsi
pengeluaran rumahtangga buruh tani (RBT). Sebaliknya, proporsi pengeluaran
rumahtangga pengusaha tani (RPT) pada semua sektor jasa lebih tinggi daripada
proporsi pengeluaran RBT, kecuali jasa-jasa lain. Kondisi ini, mengindikasikan
bahwa tingkat pendapatan RPT relatif lebih tinggi daripada tingkat pendapatan
RBT.
Struktur pengeluaran intra region dari rumahtangga golongan rendah desa di
Sumatera secara agregat adalah jasa – pertanian – industri (JPI) dan di Jawa
adalah jasa – industri – pertanian (JIP). Secara parsial, proporsi pengeluaran intra
region dari rumahtangga golongan rendah desa di Sumatera pada semua sektor
pertanian lebih besar dari proporsi pengeluaran intra region dari rumahtangga
golongan redah desa di Jawa. Sebaliknya, proporsi pengeluaran pada semua sektor
industri pengolahan dan sektor jasa lebih kecil dari proporsi pengeluaran
rumahtangga golongan rendah desa di Jawa, kecuali pada sektor industri
makanan, minuman dan tembakau dan sektor jasa transportasi dan komunikasi.
Namun demikian secara umum pola pengeluaran intra region dari rumahtangga
golongan rendah desa di Sumatera (GRDS) masih didominasi oleh pengeluaran
pada sektor pertanian. Pada sisi lain, pola pengeluaran intra region dari
rumahtangga golongan rendah desa di Jawa (GRDJ) didominasi oleh pengeluaran
pada sektor industri pengolahan dan sektor jasa. Hal ini menunjukkan bahwa
118
tingkat pendapatan GRDJ relatif lebih tinggi dari GRDS. Selain daripada itu,
proporsi pengeluaran rumahtangga golongan rendah desa (GRD), baik di Jawa
maupun di Sumatera, pada semua sektor primer dan pada sektor industri makanan,
minuman, dan tembakau relatif lebih rendah daripada proporsi pengeluaran
rumahtangga pengusaha tani (RPT), dan disertai dengan proporsi pengeluaran
pada semua sektor jasa yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat
pendapatan rumahtangga golongan rendah desa relatif lebih tinggi daripada
tingkat pendapatan rumahtangga pengusaha tani.
Struktur pengeluaran intra region dari rumahtangga golongan atas desa di
Sumatera (GADS) dibandingkan dengan rumahtangga golongan rendah desa di
Sumatera (GRDS), nampaknya telah terjadi perubahan pola struktur pengeluaran
dari JPI menjadi JIP. Secara parsial perubahan ini terjadi pada semua sektor
primer, kecuali sektor kehutanan dan perburuhan, dimana proporsi pengeluaran
GADS pada sektor pertanian lebih rendah dari proporsi pengeluaran GRDS. Juga
terjadi pergeseran pada sektor jasa, dimana proporsi pengeluaran GADS pada
semua sektor jasa lebih besar dari proporsi pengeluaran GRDS. Di sisi lain, jika
proporsi pengeluaran intra region dari GADS dibandingkan dengan proporsi
pengeluaran intra region dari rumahtangga golongan atas desa di Jawa (GADJ)
nampak bahwa proporsi pengeluaran GADS pada semua sektor primer, kecuali
sektor kehutanan dn perburuhan, lebih besar dari proporsi pengeluaran GADJ
pada sektor yang sama. Sebaliknya, proporsi pengeluaran GADS pada semua
sektor industri pengolahan lebih kecil dari proporsi pengeluaran GADJ kecuali
pada sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Hal yang serupa juga
terjadi pada semua sektor jasa, kecuali sektor jasa transportasi dan komunikasi.
Dengan demikian, pola pengeluaran GADS dibandingkan dengan pola
pengeluaran GRDS telah mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor
119
jasa. Artinya, proporsi pengeluaran GADS pada sektor pertanian mengalami
penurunan (relatif lebih rendah) dibandingkan dengan proporsi pengeluaran
GRDS, sedangkan proporsi pengeluaran terhadap sektor jasa mengalami
peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan GADS relatif
lebih tinggi daripada pendapatan GRDS. Selain itu, jika proporsi pengeluaran
GADS dibandingkan dengan GADJ nampak bahwa pengeluaran GADS lebih
condong pada sektor pertanian, sektor jasa dan sektor industri.
Dari uraian di atas nampak bahwa dalam pengeluaran rumahtangga intra
Jawa terdapat dua pola struktur pengeluaran, yakni : pengeluaran pada sektor
industri-pertanian-jasa (IPJ) dan jasa-industri-pertanian (JIP). Pola struktur
pengeluaran industri-pertanian-jasa (IPJ) hanya terjadi pada pengeluaran buruh
tani intra Jawa, sedangkan pola jasa-industri-pertanian (JIP) hanya terjadi pada
pengeluaran golongan rumahtangga intra Jawa. Di samping itu, dalam
pengeluaran rumahtangga intra Sumatera terdapat tiga pola struktur pengeluaran,
yakni : (1) PIJ terjadi pada pengeluaran rumahtangga buruh tani, (2) JPI terjadi
pada pengeluaran rumahtangga pengusaha tani dan rumahtangga golongan rendah
desa, dan (3) JIP terjadi pada pengeluaran rumahtangga golongan atas desa,
golongan rendah kota, dan golongan atas kota.
Observasi dengan menggunakan pendekatan yang serupa seperti yang telah
diungkapkan di atas, dapat pula dikatakan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga
golongan atas kota lebih tinggi dari tingkat pendapatan rumahtangga rendah kota,
tingkat pendapatan rumahtangga rendah kota lebih tinggi dari tingkat pendapatan
rumahtangga golongan atas desa, dan tingkat pendapatan rumahtangga golongan
atas desa lebih tinggi dari tingkat pendapatan rumahtangga pengusaha tani. Selain
itu dapat pula dikatakan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga di Jawa lebih
120
tinggi dari pendapatan rumahtangga di Sumatera pada semua golongan
rumahtangga.
121
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN AN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006.
Tabel 6. Struktur Pengeluaran Intra Region Jawa dan Sumatera Menururt Golongan Rumahtangga dan Sektor Produksi(Persen)
Sektor ProduksiBuruh Tani Pengusaha Tani Golongan Rendah di Desa Golongan Atas di Desa Golongan Rendah di Kota Golongan Atas di Kota
Jawa Sumatera Jawa Sumatera Jawa Sumatera Jawa Sumatera Jawa Sumatera Jawa Sumatera
PERTANIAN 26.85 40.15 20.41 32.34 17.51 30.30 12.82 23.15 12.81 23.40 10.06 18.69
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 17.48 22.21 12.86 17.21 9.89 13.80 6.49 9.41 6.95 10.15 5.06 7.53
Peternakan 5.00 9.12 3.57 6.87 3.81 7.62 2.87 5.93 3.28 6.88 2.28 4.85
Kehutanan dan perburuan 1.26 1.40 1.28 1.41 0.81 1.00 1.07 1.36 0.51 0.65 0.81 1.04
Perikanan 3.11 7.42 2.70 6.85 3.00 7.88 2.39 6.46 2.07 5.71 1.90 5.29
PERTAMBAGAN DAN PENGGALIAN 2.35 3.89 2.11 3.52 1.32 2.43 0.00 0.00 0.80 1.54 0.88 1.77
INDUSTRI PENGOLAHAN 45.87 37.51 37.09 30.18 38.47 31.67 35.20 29.46 33.53 29.28 30.46 26.12
Ind. makanan, minuman dan tembakau 29.54 27.52 20.93 20.56 17.31 17.70 14.44 15.28 17.10 18.31 13.57 14.74
Ind. pemintalan, tekstil dan kulit 6.15 2.78 6.28 2.92 7.09 3.46 5.69 2.91 5.22 2.66 4.99 2.60
Ind. kayu dan barang-barang dari kayu 1.50 1.75 1.21 1.44 1.54 1.94 1.33 1.77 1.02 1.33 1.15 1.54
Ind. kertas, cetak, alat ang., brg. Logam dan Lainnya 1.37 0.53 1.76 0.46 1.36 0.48 2.12 0.76 1.57 0.47 2.20 0.68
Ind. kimia, pupuk, tanah liat, semen dan logam dasar 7.32 4.93 6.92 4.80 11.18 8.08 11.63 8.74 8.63 6.50 8.55 6.57
JASA 24.93 18.45 40.39 33.96 42.70 35.60 51.97 47.39 52.85 45.79 58.60 53.42
Listrik,gas dan air 0.97 0.85 1.90 1.42 2.04 1.65 2.24 1.93 2.29 1.86 2.72 2.26
Konstruksi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Perdagangan, restoran dan hotel 8.49 7.27 17.32 15.45 16.88 15.70 24.42 23.43 24.83 24.11 27.63 27.19
Transportasi dan komunikasi 3.20 4.00 6.40 8.33 5.33 7.24 7.23 10.15 5.02 7.13 7.01 10.08
Keuangan dan perbankan 0.98 0.82 5.00 3.81 4.55 3.65 6.91 5.71 4.56 3.79 7.04 5.93
Jasa-jasa lainnya 11.30 5.51 9.77 4.96 13.90 7.36 11.17 6.16 16.16 8.90 14.20 7.96
Total Pengeluaran (miliar rupiah) 307 197.39 108 355.00713
257.60249 049.35 432 515.69 145 680.27
265
875.7087 126.40
1 077
332.81236 374.48
567
391.69
147
064.90
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Keterangan: Persen terhadap total pengeluaran per golongan rumahtanggaSumber: SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN AN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006.
Tabel 7. Struktur Pengeluaran Interregional Menurut Golongan Rumahtangga dan Sektor Produksi(Persen)
Sektor ProduksiBuruh Tani Pengusaha Tani Golongan Rendah di Desa Golongan Atas di Desa Golongan Rendah di Kota Golongan Atas di Kota
SM-JW JW-SM SM-JW JW-SM SM-JW JW-SM SM-JW JW-SM SM-JW JW-SM SM-JW JW-SMPERTANIAN 21.82 18.79 16.36 16.95 17.70 14.81 17.17 13.04 13.44 11.77 12.69 10.61
Tanaman pangan dan tanaman lainnya 4.88 15.31 3.29 15.06 3.20 11.66 3.16 8.84 2.32 9.58 2.20 7.65
Peternakan 4.52 0.00 3.14 0.00 3.52 0.00 3.30 0.00 3.04 0.00 2.46 0.00
Kehutanan dan perburuan 4.15 0.00 2.25 0.00 2.94 0.00 3.94 0.00 1.92 0.00 2.58 0.00
Perikanan 8.27 3.48 7.68 1.89 8.04 3.14 6.77 4.20 6.16 2.19 5.46 2.96
PERTAMBAGAN DAN PENGGALIAN 12.54 4.73 9.94 3.39 8.20 3.92 0.00 0.00 5.49 2.71 6.27 3.61
INDUSTRI PENGOLAHAN 39.62 63.13 31.50 60.22 34.60 60.66 34.42 59.27 30.76 60.27 27.83 55.55
Ind. makanan, minuman dan tembakau 18.19 38.52 15.27 38.85 11.61 29.83 9.60 24.79 12.67 35.09 9.36 27.40
Ind. pemintalan, tekstil dan kulit 3.64 5.87 3.15 6.20 3.64 7.31 3.45 7.06 2.83 6.05 2.77 6.33
Ind. kayu dan barang-barang dari kayu 4.17 5.82 2.47 3.97 3.50 5.91 3.94 7.00 2.42 4.28 2.85 5.50
Ind. kertas, cetak, alat ang., brg. Logam dan Lainnya 3.79 3.95 1.68 1.97 2.74 3.46 3.75 4.91 1.85 2.41 2.44 3.44
Ind. kimia, pupuk, tanah liat, semen dan logam dasar 9.83 8.97 8.93 9.23 13.11 14.16 13.68 15.51 11.00 12.44 10.41 12.88
JASA 26.01 13.35 42.20 19.44 39.51 20.61 48.40 27.69 50.31 25.24 53.21 30.22
Listrik,gas dan air 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Konstruksi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Perdagangan, restoran dan hotel 8.37 4.12 16.67 8.28 15.00 8.05 20.31 11.33 23.69 12.81 23.89 14.12
Transportasi dan komunikasi 7.17 3.59 14.00 5.47 10.96 5.18 14.03 7.00 11.25 5.08 14.11 6.96
Keuangan dan perbankan 2.91 2.92 4.76 3.49 4.69 4.13 6.57 5.96 4.55 3.79 6.22 5.57
Jasa-jasa lainnya 7.56 2.73 6.78 2.20 8.86 3.24 7.50 3.39 10.82 3.57 8.99 3.57
Total Pengeluaran (miliar rupiah) 6 596.91 10 731.14 12 425.78 17 996.97 8 598.77 12 022.23 5 652.32 7 639.49 18 728.82 16 923.4911
029.87
11
020.62
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Keterangan: SM = Sumatera, JW = JawaPersen terhadap total pengeluaran per golongan rumahtangga
Sumber: SAMIJASUM 2002 Updating (diolah)
4.3.2. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Interregional
Tabel 7. menggambarkan struktur pengeluaran rumahtangga interregional
Sumatera-Jawa dan struktur pengeluaran rumahtangga intereregional Jawa-Sumatera.
Struktur pengeluaran rumahtangga interregional Sumatera-Jawa menggambarkan
proporsi pengeluaran berbagai golongan rumahtangga Jawa pada berbagai produk
dari sektor-sektor peroduksi di Sumatera. Sedangkan struktur pengeluaran
rumahtangga interregional Jawa-Sumatera menggambarkan proporsi pengeluaran
berbagai golongan rumahtangga Sumatera pada berbagai produk dari sektor-sektor
produksi dari Jawa. Pengeluaran rumahtangga pada umumnya untuk tujuan
konsumsi. Dengan demikian, pengeluaran rumahtangga interregional Sumatera-Jawa
merupakan cerminan dari impor Jawa atas barang-barang konsumsi (termasuk jasa)
yang berasal dari Sumatera. Sedangkan, pengeluaran rumahtangga interregional
Jawa-Sumatera pada dasarnya mencerminkan impor Sumatera atas barang-barang
konsumsi yang berasal dari Jawa.
Interaksi perdagangan dari berbagai kelompok rumahtangga (Tabel 7.)
menunjukkan bahwa neraca perdagangan dari rumahtangga golongan rendah kota dan
rumahtang golongan atas kota lebih menguntungkan Sumatera, sedangkan neraca
perdagangan dari golongan rumahtangga lainnya lebih menguntungkan Jawa. Total
pengeluaran rumahtangga golongan rendah kota di Jawa (GRKJ) dan total
pengeluaran rumahtangga golongan atas kota di Jawa (GAKJ) ke Sumatera lebih
besar daripada total pengeluaran kedua golongan rumahtangga ini di Sumatera
(GRKS dan GAKS) ke Jawa, sehingga terjadi surplus neraca perdagangan bagi
Sumatera. Proporsi pengeluaran GRKJ dan GAKJ ke Sumatera yang terbesar terjadi
124
pada sektor jasa, terutama pada sektor perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor
transportasi dan komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa cukup banyak
rumahtangga di Jawa pada kedua kelompok tersebut, terutama dari GRKJ, yang
melakukan perjalanan ke Sumatera, baik untuk urusan keluarga maupun urusan
bisnis.
Proporsi pengeluaran rumahtangga Sumatera ke Jawa yang terbesar terjadi pada
sektor industri, rata-rata sebesar hampir 60 persen dari total pengeluaran impor
masing-masing kelompok rumahtangga, terutama pada sektor industri makanan,
minuman, dan tembakau (rata-rata sbesar 32.41 persen). Berarti bahwa kebutuhan
impor rumahtangga Sumatera terhadap produk-produk sektor industri, terutaman
sektor industri makanan, minuman dan tembakau cukup besar. Hal ini
mengindikasikan bahwa banyak ragam dari sektor industri, terutama industri
makanan, minuman dan tembakau tidak/belum terdapat di Sumatera, atau kalaupun
ada volume produksinya terbatas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan lokal.
Dalam kondisi ini, kebutuhan impor menjadi besar.
Impor barang konsumsi yang dilakukan oleh rumahtangga buruh tani, pengusaha
tani, dan golongan rendah desa di Sumatera yang terbesar terjadi pada sektor industri
makanan, minuman dan tembakau, dan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya.
Sedangkan impor rumahtangga golongan atas desa, golongan rendah kota, dan
golongan atas kota di Sumatera yang terbesar terjadi pada barang-barang konsumsi
dari sektor industri makanan, minuman dan tembakau, dan sektor jasa perdagangan,
restoran dan hotel. Sekalipun struktur impor dari tiga kelompok rumahtangga di
Sumatera yang disebutkan terakhir berbeda dengan tiga kelompok rumahtangga yang
125
disebutkan pertama, namun impor barang konsumsi yang dilakukan oleh berbagai
kelompok rumahtangga di Sumatera pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan
pokok. Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada rumahtangga di Jawa. Impor barang
konsumsi dari Sumatera yang dilakukan oleh berbagai kelompok rumahtangga di
Jawa pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder, kecuali oleh
rumahtangga buruh tani.
4.4. Sumber Pendapatan Rumahtangga
Pembahasan dalam sub-bab ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama membahas
mengenai pendapatan rumahtangga intra region, yaitu pendapatan berbagai kelompok
rumahtangga yang berasal dari berbagai sumber di dalam wilayah sendiri. Kedua,
membahas mengenai pendapatan rumahtangga interregional yakni pendapatan
berbagai kelompok rumahtangga yang berasal dari berbagai sumber di wilayah lain.
4.4.1. Sumber Pendapatan Rumahtangga Intra Region
Pendapatan rumahtangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer.
Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri atas : (1) pendapatan yang bersumber
dari faktor tenagakerja, (2) pendapatan yang bersumber dari kapital. Sedangkan
transfer terdiri atas : (1) pendapatan yang bersumber dari transfer rumahtangga lain,
(2) pendapatan yang bersumber dari transfer perusahaan, (3) pendapatan yang berasal
dari transfer pemerintah, dan (4) pendapatan rumahtangga yang bersumber dari ROI
dan ROW. Dengan demikian, terdapat enam sumber pendapatan rumahtangga,
sebagaiman ditunjukan dalam Tabel 8.
Pendapatan rumahtangga intra region adalah pendapatan rumahtangga yang
berasal dari berbagai sumber yang ada dalam wilayahnya sendiri. Secara konseptual
126
ditunjukkan oleh Tabel 2. pada sel transaksi T21, T22, T54, dan T55. Sejalan dengan ini,
pendapatan rumahtangga buruh tani intra Jawa (RBTJ) adalah pendapatan
rumahtangga buruh tani Jawa dari berbagai sumber yang ada di Jawa. Demikian
halnya dengan golongan rumahtangga lainnya, baik di Jawa maupun di Sumatera.
Pendapatan rumahtangga buruh tani intra Jawa (RBTJ) bersumber dari
pendapatan faktor tenagakerja (32.03%), transfer perusahaan (27.68%), transfer
pemerintah (23.83%), transfer rumahtangga (7.84%), dan pendapatan faktor kapital
(7.84%). Sedangkan sumber pendapatan rumahtangga buruh tani intra Sumatera
(RBTS) bersumber dari pendapatan faktor tenagakerja (36.75%), transfer pemerintah
(36.23%), transfer perusahaan (13.56%), pendapatan faktor kapital (9.50%), dan
transfer rumahtangga (3.84%). Dengan demikian, sumber pendapatan RBTJ yang
terbesar berasal dari pendapatan faktor produksi faktor tenagakerja dan transfer dari
perusahan. Sedangkan RBTS berasal dari pendapatan faktor produksi faktor
tenagakerja dan transfer dari pemerintah.
Selanjutnya, pendapatan rumahtangga pengusaha tani intra Jawa (RPTJ)
bersumber dari pendapatan faktor tenagakerja (31.03%), pendapatan faktor kapital
(23.89%), transfer perusahaan (22.70%), transfer pemerintah (15.50%), dan transfer
rumahtangga (6.22%). Di sisi lain, sumber pendapatan rumahtangga pengusaha tani
intra Sumatera (RPTS) bersumber dari pendapatan faktor tenagakerja (40.79%),
pendapatan faktor kapital (33.92%), transfer pemerintah (11.66%), transfer
perusahaan (10.96%), dan transfer rumahtangga (2.61%). Dengan demikian, sumber
pendapatan RPTJ dan RPTS yang terbesar berasal dari pendapatan faktor produksi.
Ini berbeda dengan sumber pendapatan RBTJ dan RBTS, dimana sumber pendapatan
127
utama kedua setelah pendapatan faktor tenagakerja adalah transfer dari perusahan
untuk RBTJ dan transfer dari pemerintah untuk RBTS.
Tabel 8. Sumber Pendapatan Rumahtangga Intra dan Interregional Antara Jawa dan Sumatera
(persen)
Sumber Pendapatan WilayahRumahtangga
RBT RPT GRD GAD GRK GAK
Pen
dap
atan
Fak
tor
Pro
du
ksi
Fak
tor
Ten
aga
Ker
ja
Jawa 32.03 31.00 33.08 16.35 81.39 42.04
Sumatera 36.75 40.79 29.50 51.25 62.76 38.59
SM-JW 24.23 27.06 19.75 32.61 45.13 25.50
JW-SM 12.57 13.20 13.45 7.01 56.76 18.47
Kap
ital
Jawa 7.72 23.89 14.03 6.41 7.50 14.83
Sumatera 9.50 33.92 9.72 6.18 14.18 8.73
SM-JW 11.96 38.03 11.81 9.43 18.89 11.11
JW-SM 6.42 18.54 10.90 5.20 10.77 12.73
Tra
nsf
er
Ru
mah
tan
gga Lai
n
Jawa 7.84 6.22 6.89 10.69 1.42 5.80
Sumatera 3.84 2.61 4.05 4.58 1.84 5.23
SM-JW 14.35 9.48 12.40 18.45 9.25 14.36
JW-SM 14.93 12.43 13.66 17.34 6.46 10.78
Per
usa
haa
n Jawa 27.68 22.70 25.23 39.56 5.32 22.65
Sumatera 13.56 10.96 18.52 19.83 8.68 27.28
SM-JW 15.05 12.68 19.53 21.07 11.59 28.51
JW-SM 34.84 32.43 33.90 41.55 14.33 35.10
Pem
erin
tah Jawa 23.83 15.50 19.96 25.84 4.13 14.02
Sumatera 36.23 11.66 38.10 18.01 12.46 20.07
SM-JW 34.40 12.75 36.50 18.42 15.14 20.52
JW-SM 31.25 23.40 28.09 28.89 11.69 22.92
ROI/ROWJawa 0.91 0.69 0.80 1.14 0.25 0.66
Sumatera 0.12 0.07 0.10 0.14 0.07 0.10
Sumber : SAMIJASUM 2002, Updating (diolah)
Pendapatan rumahtangga golongan rendah di desa intra Jawa (GRDJ) bersumber
dari pendapatan faktor tenagakerja (33.08%), transfer perusahaan (25.23%), transfer
pemerintah (19.96%), pendapatan faktor kapital (14.03%), dan transfer rumahtangga
(6.22%). Sedangkan, pendapatan rumahtangga golongan rendah di desa intra
Sumatera (GRDS) bersumber dari transfer pemerintah (38.10%), pendapatan faktor
tenagakerja (29.50%), transfer perusahaan (18.52%), pendapatan faktor kapital
128
(4.72%), dan transfer rumahtangga (4.05%). Dengan demikian, sumber utama
pendapatan GRDJ berasal dari pendapatan faktor faktor tenagakerja dan transfer dari
perusahaan, sedangkan GRDS dari transfer pemerintah dan pendapatan faktor
tenagakerja. Sumber pendapatan utama GRDJ serupa dengan RBTJ. Sedangkan
sumber utama pendapatan GRDS merupakan kebalikan dari sumber utama
pendapatan RBTS. Hal ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah kepada GRDS
tidak hanya lebih besar dari pendapatan faktor tenagakerjanya sendiri, tetapi juga
lebih besar dari transfer pemerintah kepada RBTS.
Pendapatan rumahtangga golongan atas desa intra Jawa (GADJ) bersumber dari
transfer perusahaan (39.56%), transfer pemerintah (25.84%), pendapatan faktor
tenagakerja (16.35%), transfer rumahtangga (10.69%), dan pendapatan faktor kapital
(6.41%). Sedangkan pendapatan rumahtangga golongan atas desa intra Sumatera
(GADS) bersumber dari pendapatan tenagakerja (51.25%), transfer perusahaan
(19.83%), transfer pemerintah (18.01%), pendapatan faktor kapital (6.18%), dan
transfer rumahtangga (4.58%). Dengan demikian, sumber utama pendapatan GADJ
berasal dari transfer perusahaan dan transfer pemerintah. Sedangkan, sumber utama
pendapatan GADS berasal dari pendapatan faktor tenagakerja dan transfer
perusahaan.
Pendapatan rumahtangga golongan rendah kota intra Jawa (GRKJ) bersumber
dari pendapatan faktor faktor tenagakerja (81.39%), pendapatan faktor kapital
(7.50%), transfer perusahaan (5.32%), transfer pemerintah (4.13%), dan transfer
129
rumahtangga (1.42%). Sedangkan pendapatan rumahtangga golongan rendah kota
intra Sumatera (GRKS) bersumber dari pendapatan faktor tenagakerja (62.76%),
pendapatan faktor kapital (14.18%), transfer pemerintah (12.46%), transfer
perusahaan (8.68%), dan transfer rumahtangga (1.84%). Dengan demikian, sumber
utama pendapatan GRKJ dan GRKS berasal dari pendapatan faktor tenagakerja dan
pendapatan faktor kapital.
Pendapatan rumahtangga golongan atas kota intra Jawa (GAKJ) bersumber dari
pendapatan faktor tenagakerja (42.04%), transfer perusahaan (22.65%), pendapatan
faktor kapital (14.83%), transfer pemerintah (14.02%), dan transfer rumahtangga
(5.80%). Di pihak lain, pendapatan rumahtangga golongan atas kota intra Sumatera
(GAKS) bersumber dari pendapatan faktor tenagakerja (38.59%), transfer perusahaan
(27.28%), transfer pemerintah (20.07%), pendapatan faktor kapital (8.73%), dan
transfer rumahtangga (5.23%). Dengan demikian, sumber utama pendapatan GAKJ
dan GAKS berasal dari pendapatan faktor tenagakerja dan transfer perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas nampaknya bahwa pendapatan tertinggi bagi semua
golongan rumahtangga baik di Jawa maupun di Sumatera bersumber dari pendapatan
faktor tenagakerja, kecuali rumahtangga golongan atas desa, baik di Jawa (GADJ)
dan maupun di Sumatera (GADS). Pendapatan tertinggi dari dua golongan
rumahtangga tersebut berasal dari transfer perusahaan dan transfer pemerintah. Selain
itu, golongan rumahtangga di Jawa yang menerima bagian terbesar dari distribusi
pendapatan faktor tenagakerja adalah rumahtangga golongan rendah di kota dan
130
rumahtangga golongan atas di kota. Sedangkan golongan rumahtangga di Sumatera
yang menerima bagian terbesar dari distribusi pendapatan faktor tenagakerja adalah
rumahtangga golongan rendah di kota dan rumahtangga pengusaha tani.
Selanjutnya, golongan rumahtangga yang menerima bagian terbesar dari
distribusi pendapatan kapital intra region adalah golongan rumahtangga pengusaha
tani baik di Jawa maupun Sumatera, rumahtangga golongan atas kota di Jawa, dan
rumahtangga golongan rendah kota di Sumatera. Sementara itu, rumahtangga
golongan atas desa di Jawa memperoleh bagian terbesar dari semua transfer institusi.
Golongan rumahtangga di Sumatera yang memperoleh bagian terbesar dari transfer
rumahtangga lain dan transfer perusahaan adalah golongan atas kota, sedangkan
bagian terbesar dari transfer pemerintah diperoleh oleh rumahtangga golongan rendah
desa dan rumahtangga buruh tani.
4.4.2. Pendapatan Rumahtangga Interregional
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa pendapatan rumahtangga
interregional menggambarkan pendapatan faktorial di suatu wilayah didistribusikan
kepada pemilik faktor produksi yang berada di wilayah lain. Dalam perspektif teori
basis ekonomi, pendapatan serupa ini adalah pendapatan yang bersumber dari ekspor
faktor tenagakerja dan kapital. Selain itu, terdapat pula pendapatan interregional
lainnya, yakni pendapatan rumahtangga suatu wilayah yang bersumber dari transfer
institusi (rumahtangga, perusahaan, dan pemerintah) wilayah lain. Dalam model
131
IRSAM hal ini ditunjukkan pada Gambar 1. garis panah T24 dan T51 untuk distribusi
nilai tambah serta T25 dan T52 untuk transfer antarinstitusi antarawilayah.
Tabel 8. menunjukkan bahwa sumber pendapatan interregional rumahtangga
buruh tani di Sumatera (RBTS) adalah transfer pemerintah (34.40%), pendapatan
faktor tenagakerja (24.23%), transfer perusahaan (15.04%), transfer rumahtangga
(14.35%), dan pendapatan faktor kapital (11.96%). Sedangkan rumahtangga buruh
tani di Jawa adalah: transfer perusahaan (34.84%), transfer pemerintah (31.25%),
transfer rumahtangga (14.93%), pendapatan faktor tenagakerja (12.57%), dan
pendapatan faktor kapital (6.42%). Sekalipin secara parsial sumber pendapatan
interregional rumahtangga buruh tani di Sumatera berbeda dengan sumber
pendapatan interregional rumahtangga buruh tani di Jawa, namun secara agregat
menunjukkan pola yang serupa, yakni lebih didominasi oleh pendapatan transfer.
Kurang lebih 64 persen pendapatan interregional RBTS bersumber dari transfer dan
sisanya dari pendapatan faktor produksi interregional. Sedangkan RBTJ, 81 persen
dari pendapatan interregional bersumber dari transfer dan hanya 19 persen dari
pendapatan faktor produksi.
Sumber pendapatan interregional rumahtangga pengusaha tani di Sumatera
(RPTS), secara agregat menunjukkan bahwa bagian terbesar dari pendapatan
interregional bersumber dari pendapatan faktor produksi (65%) dan yang terbesar
berasal dari pendapatan faktor kapital. Kondisi ini berbeda dengan golongan
rumahtangga yang sama di Jawa. Pendapatan interregional rumahtangga pengusaha
tani di Jawa (RPTJ) didominasi oleh pendapatan transfer (81%), dimana transfer
132
perusahaan yang terbesar (34.84%), kemudian disusul oleh transfer pemerintah
(31.25%).
Sumber pendapatan interregional rumahtangga golongan rendah desa (GRD),
golongan atas desa (GAD), dan golongan atas kota (GAK), baik di Jawa maupun
Sumatera, mempunyai kemiripin dengan sumber pendapatan interregional
rumahtangga buruh tani (RBT) dan RPTJ, yakni lebih didominasi oleh pendapatan
transfer. Sementara itu, pendapatan interregional rumahtangga golongan rendah kota
(GRK), baik di Jawa maupun di Sumatera, mempunyai kemiripan dengan sumber
pendapatan interregional rumahtangga pengusaha tani Sumatera, yakni didominasi
oleh pendapatan faktor produksi dan yang terbesar bersumber dari pendapatan faktor
tenagakerja.
4.5. Rangkuman
1. Struktur ekonomi sektoral intra Jawa adalah jasa–industri–primer (J-I-P),
sedangkan struktur ekonomi sektoral intra Sumatera adalah jasa–primer–industri
(J-P-I). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian Jawa sektor jasa dan
sektor industri pengolahan lebih berperan daripada sektor primer, sedangkan
dalam perekonomian Sumatera sektor jasa dan sektor primer lebih berperanan
daripada sektor industri pengolahan.
2. Struktur ekonomi sektoral intrregional pada dasarnya merupakan struktur ekspor
dan impor dalam perdagangan antara Jawa dan Sumatera. Dalam perekonomian
Sumatera, struktur ekspor ke Jawa adalah jasa–pertanian–industri (J-I-P) dan
struktur impor dari Jawa adalah industri–jasa–pertanian (I-J-P). Hal ini
menunjukkan bahwa sektor jasa memberikan kontribusi terbesar terhadap
133
penerimaan ekspor Sumatera ke Jawa, yang kemudian diikuti oleh sektor
industri pengolahan. Konstribusi sektor jasa yang terbesar terhadap penerimaan
ekspor Sumatera berasal dari sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel, dan
sektor jasa transportasi dan komunikasi. Sedangkan dari sektor industri
pengolahan adalah industri kimia, pupuk, semen dan logam dasar, dan industri
makanan, minuman dan tembakau. Dengan demikian, sektor primer bukan
merupakan ekspor utama Sumatera ke Jawa. Pada sisi lain, permintaan impor
Sumatera dari Jawa yang terbesar adalah impor dari produk-produk sektor
industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri kimia, pupuk, semen
dan logam dasar, sektor jasa perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor
tanaman pangan dan tanaman lainnya.
3. Neraca perdagangan Sumatera dengan Jawa secara keseluruhan mengalami
defisit sebesar 6 139.03 miliar rupiah yang bersumber dari lima sektor, yakni :
(1) sektor industri makanan, minuman dan tembakau, (2) sektor industri kimia,
pupuk, hasil dari tanah liat, semen dan logam dasar, (3) sektor tanaman pangan
dan tanaman lainnya, (4) sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, dan (5)
sektor indutri kayu dan barang-barang dari kayu. Sebenarnya net-ekspor sektor
jasa Sumatera mengalami surplus, namun defisit di sektor industri lebih besar
sehingga secara keseluruhan neraca perdagangan Sumatera mengalami defisit.
4. Struktur pengeluaran rumahtangga interregional pada Tabel 8. pada dasarnya
mencerminkan struktur impor barang-barang konsumsi yang dilakukan oleh
berbagai kelompok rumahtangga di kedua wilayah. Dalam kaitan ini, impor
barang konsumsi yang dilakukan oleh berbagai kelompok rumahtangga di
134
Sumatera pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan primer, dimana bagian
terbesar dari impor tersebut adalah barang-barang dari industri makanan,
minuman dan tembakau. Sedangkan impor barang-barang konsumsi yang
dilakukan oleh berbagai kelompok rumahtangga di Jawa dari Sumatera pada
umumnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dimana impor terbesar berasal
dari produk jasa perdagangan, restoran dan hotel. Selain itu, sisi nilai total
ekspor-impor menunjukkan bahwa neraca perdagangan barang-barang konsumsi
dari berbagai kelompok rumahtangga di Sumatera mengalami defisit, kecuali
neraca perdagangan barang-barang konsumsi dari rumahtangga golongan rendah
kota.
5. Pola struktur pengeluaran intra region berbagai kelompok rumahtangga
mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga di Jawa relatif lebih
tinggi dari tingkat pendapatan rumahtangga di Sumatera. Tingkat pendapatan
rumahtangga di kota lebih tinggi daripada tingkat pendapatan rumahtangga di
desa, dan tingkat pendapatan rumahtangga di sektor non-pertanian lebih tinggi
dari tingkat pendapatan rumahtangga di sektor pertanian.
6. Secara umum, rumahtangga yang sumber pendapatan utamanya berasal dari
pendapatan faktor produksi adalah rumahtangga buruh tani baik di Jawa maupun
di Sumatera, rumahtangga golongan atas desa di Sumatera (GADS),
rumahtangga golongan rendah kota baik di Jawa maupun di Sumatera, dan
rumahtangga golongan atas kota di Jawa (GAKJ). Sedangkan rumahtangga yang
sumber pendapatan utamanya berasal dari transfer institusi adalah rumahtangga
135
pengusaha tani baik di Jawa maupun Sumatera, rumahtangga golongan atas desa
di Jawa (GADJ), dan rumahtangga golongan atas kota di Sumatera (GAKS).
7. Sumber utama pendapatan rumahtangga interregional yang berasal dari
pendapatan faktor produksi, terjadi pada golongan rumahtangga pengusaha tani
Sumatera (RPTS), rumahtangga golongan rendah kota di Jawa (GRKJ), dan
rumahtangga golongan rendah kota di Sumatera (GRKS).
8. Secara keseluruhan komponen utama pendapatan berbagi golongan rumahtangga
di Jawa yang berasal dari Sumatera pada umumnya bersumber dari transfer
perusahaan dan transfer pemerintah, kecuali rumahtangga golongan rendah kota
di Jawa (GRKJ). Komponen utama pendapatan rumahtangga ini (GRKJ)
bersumber dari distribusi pendapatan faktor tenagakerja di Sumatera.
Sebaliknya, komponen utama pendapatan berbagi golongan rumahtangga di
Sumatera yang berasal dari Jawa kebanyakan bersumber dari distribusi nilai
tambah, kecuali rumahtangga buruh tani (RBTS), rumahtangga golongan rendah
desa (GRDS), dan rumahtangga golongan atas kota (GAKS).
9. Dari sisi pendapatan interregional, proporsi transfer yang diterima berbagai
golongan rumahtangga di Jawa lebih besar dari proporsi yang diterima oleh
berbagai golongan rumahtangga di Sumatera. Keadaan ini mengindikasikan
adanya ketimpangan proporsi pendapatan interregional antara berbagai golongan
rumahtangga antara ke dua wilayah.
136