IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · disebabkan karena adanya kendala dalam...
Transcript of IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · disebabkan karena adanya kendala dalam...
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran umum lokasi
Secara administratif lokasi Proyek Perintis Tambak Inti Rakyat (TIR)
Transmigrasi Jawai termasuk dalam wilayah Dusun Kalangbahu, Desa Jawai
Laut , Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat. Ditinjau
dari posisi geografis terletak diantara 1°12’13” - 1°16’13” Lintang Utara dan
108°58’03” - 109°00’10” Bujur Timur.
Batas batas wilayah lokasi proyek :
- Sebelah Utara : Dusun Ramayadi.
- Sebelah Timur : Sungai Batang.
- Sebelah Barat : Laut Cina Selatan
- Sebelah Selatan : Sungai Sambas Besar.
Lokasi Tambak Inti Rakyat (TIR) Transmigrasi Jawai terletak di pantai
Barat Kalimantan Barat bagian Utara disekitar muara sungai Sambas yang
berbatasan langsung dengan laut Cina Selatan. Untuk mencapai lokasi dari kota
Pontianak dapat ditempuh dengan menggunakan jalan darat sejauh ± 185 Km
sampai ke kota Pemangkat. Dari kota Pemangkat perjalanan dilanjutkan
menyeberangi muara sungai Sambas yang mempunyai lebar cukup besar yaitu ±
1,8 km dengan menggunakan perahu bermotor yang memakan waktu sekitar 0,5
jam untuk sampai ke lokasi. Mata pencaharian masyarakat setempat pada
umumnya adalah sebagai petani dengan usaha kebun kelapa. Mata pencaharian
lain dari sebagian masyarakat setempat adalah sebagai nelayan dan pedagang
kecil. Untuk mengetahui gambaran mengenai lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 2.
30
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
4.2. Gambaran umum proyek
Proyek perintis TIR transmigrasi Jawai adalah merupakan proyek
transmigrasi umum
dengan pola perikanan usaha tambak yang pertama dilakukan di Indonesia.
Proyek ini dimulai pada tahun 1990, namun proyek ini stagnan sejak tahun 1996.
Pendanaan proyek ini dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Kredit Koperasi yaitu Kredit Koperasi Primer untuk Anggota
(KKPA). Dana APBN dipergunakan untuk biaya pembangunan saluran irigasi
tambak, perumahan dan fasilitas umum transmigran, sedangkan dana Kredit
Koperasi dipergunakan untuk biaya pembangunan pencetakan petak tambak dan
operasional budidaya udang yang selanjutnya menjadi beban kredit plasma.
4.2.1. Profil stakeholder
Perusahaan inti pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah PT.
Ciptawindu Khatulistiwa (PT. CWK) yaitu berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat Nomor 212 Tahun
Lokasi
Penelitian
31
1990. PT. Ciptawindu Khatulistiwa adalah perusahaan lokal yang sebelumnya
sudah bergerak dibidang pertambakan udang dan berkantor pusat di Pontianak
Kalimantan Barat. PT. Ciptawindu Khatulistiwa sebagai perusahaan inti dalam
mendukung pengelolaan proyek perintis TIR transmigrasi Jawai telah
membangun pembibitan udang (hatchery) di Desa Pasir Panjang Singkawang dan
cold storage untuk menampung hasil panen plasma di Desa Wajok Mempawah.
Namun setelah proyek ini mengalami stagnasi, keberadaan dari perusahaan inti
sekarang tidak jelas.
Petani plasma pada proyek TIR transmigrasi Jawai adalah transmigran
yang berasal dari Pulau Jawa dan penduduk lokal, yaitu; 1) transmigran dari Jawa
Barat, 2) transmigran dari Jawa Tengah, 3) transmigran dari Jawa Timur dan 4)
penduduk lokal atau biasa disebut APPDT (Alokasi Pemukiman Penduduk
Daerah Terpencil). Alokasi lahan yang disediakan bagi plasma pada TIR
Transmigrasi Jawai untuk setiap kepala keluarga (KK) adalah sebagai berikut a)
lahan tambak = 0,50 ha, b) lahan pekarangan = 0,25 ha. Keberadaan plasma
proyek TIR transmigrasi Jawai berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
Bulan Maret 2006 didapatkan bahwa jumlah plasma yang berasal dari Pulau Jawa
yang masih bertempat tinggal di lokasi permukiman transmigrasi sebanyak 4
(empat) kepala keluarga (KK) dengan mata pencaharian sebagai petambak
tradisional, sedangkan plasma lokal (APPDT) telah kembali ke rumahnya masing-
masing dan tidak bertempat tinggal lagi di lokasi permukiman transmigrasi.
Kelembagaan plasma pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai
terhimpun dalam satu wadah Koperasi Unit Desa yang dinamakan KUD. Cipta
Bina Sejahtera. KUD Cipta Bina Sejahtera adalah salah satu contoh lembaga
dalam proyek ini yang dibentuk secara instant karena didasarkan pada suatu
keadaan yang mendesak dalam rangka untuk memenuhi persyaratan dalam proses
pencairan kredit.
Bank BPD Kalbar yang sekarang ini bernama Bank Kalbar adalah
merupakan bank pelaksana yang bertindak menyalurkan kredit untuk proyek
perintis TIR transmigrasi Jawai. Pemerintah Daerah adalah merupakan pembina
dalam proyek TIR transmigrasi jawai. Institusi pemerintah (pada saat itu) yang
yang terlibat langsung pada pelaksanaan pengelolaan proyek perintis TIR
32
Transmigrasi Jawai adalah sebagai berikut 1) Departemen Transmigrasi & PPH,
2) Direktorat Jenderal Perikanan, 3) Departemen Koperasi, 4) Pemerintah Daerah
Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat, 5) Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten
Sambas.
4.2.2. Pelaksanaan proyek
Pelaksanaan pembangunan fisik pencetakan tambak pada proyek TIR
transmigrasi Jawai adalah sebanyak 376 petak tambak dengan rincian sebagai
berikut 1) Tahun Anggaran 1990/1991 sebanyak 150 petak tambak, 2) Tahun
Anggaran 1991/1992 sebanyak 150 petak tambak, 3) Tahun Anggaran 1992/1993
sebanyak 76 petak tambak. Pelaksanaan pembangunan permukiman transmigrasi
yang diperuntukan bagi Plasma adalah sebanyak 400 unit rumah dengan rincian
sebagai berikut 1) Tahun Anggaran 1990/1991 sebanyak 150 unit rumah, 2)
Tahun Anggaran 1991/1992 sebanyak 150 unit rumah, 3) Tahun Anggaran
1992/1993 sebanyak 100 unit rumah. Pelaksanaan penempatan transmigran adalah
sebanyak 367 KK (Kepala Keluarga) dengan perbandingan 58 % adalah
transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa dan 42 % dari APPDT. Adapun
perincian penempatan transmigran adalah sebagai berikut 1) Tahun Anggaran
1990/1991, penempatan transmigrasi sebanyak 150 KK yang terdiri 98 KK
berasal dari pulau Jawa dan 52 KK dari APPDT, 2) Tahun Anggaran 1991/1992,
penempatan transmigrasi sebanyak 150 KK yang terdiri 97 KK berasal dari pulau
Jawa dan 53 KK dari APPDT, 3) Tahun Anggaran 1993/1994, penempatan
Transmigrasi sebanyak 67 KK yang terdiri 17 KK berasal dari pulau Jawa dan 50
KK dari APPDT. Sampai dengan kondisi terakhir jumlah tambak yang dapat
dikerjakan adalah sebanyak 376 petak tambak, sedangkan rumah yang tersedia
yang dibangun melalui Daftar Isian Proyek (DIP) Departemen Transmigrasi
untuk plasma adalah sebanyak 400 unit rumah yang berarti target penempatan
transmigrasi sebanyak 400 KK petani plasma tidak dapat dipenuhi, hal ini
disebabkan karena adanya kendala dalam pembebasan lahan.
Komoditas udang yang dibudidayakan adalah udang windu (Pennaeus
monodon). Tingkat teknologi budidaya yang diterapkan pada awalnya adalah
diprogramkan untuk pola tebar dengan tingkat kepadatan benur sebanyak 4
33
ekor/m2. Namun dalam perjalanannya terjadi perubahan pola padat tebar benur
yaitu 1) Pola 4 – 6 ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan Mei 1991, dan 2) Pola
20 ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan September 1992, serta 3) Pola 15
ekor/m2, penebaran benur dimulai bulan Pebruari 1993. Pengambilan air laut
(intake) sebagai sumber air untuk budidaya udang pada awal pembangunan
proyek dilakukan melalui Sungai Pasir yang merupakan anak sungai di dekat
muara Sungai Sambas Besar. Karena adanya faktor kendala penebaran benur
akibat rendahnya kadar garam (salinitas) perairan pada periode tertentu saat
musim penghujan, maka dilakukan pekerjaan pembuatan saluran (sudetan)
langsung ke Laut Cina Selatan yang bersifat sementara melalui tambak Dinas
Perikanan Propinsi Kalimantan Barat dengan tujuan untuk meningkatkan kadar
salinitas yang dibutuhkan pada saat penebaran benur. Sudetan saluran tersebut
mengandung kelemahan dari segi teknis budidaya karena letaknya yang
memperpendek jarak antara saluran pemasukan (intake) dengan saluran sekunder
pembuang (secondary drainage canal). Berdasarkan pengalaman tersebut, maka
dilakukan pekerjaan pembuatan saluran permanen yang berlokasi tepat di antara
muara Sungai Sambas Besar dan Laut Cina Selatan sebagai sumber untuk
pengambilan air laut.
4.2.3. Pembinaan plasma
Pembinaan plasma dari aspek sosial dilakukan oleh Departemen
Transmigrasi, yang pelaksanaannya di lokasi permukiman transmigrasi dibawah
koordinasi kepala unit permukiman transmigrasi (KUPT), sedangkan pembinaan
plasma dari aspek teknis budidaya udang dilakukan oleh perusahaan inti yang
pada tingkat operasional di lapangan dilakukan oleh badan pengelola. Sistematika
pelaksanaan pembinaan plasma oleh badan pengelola untuk teknis budidaya
udang pada proyek TIR transmigrasi Jawai dapat dijabarkan pada Gambar 3.
34
Gambar 3. Sistematika pembinaan teknis budidaya
4.3. Gambaran fisik proyek
4.3.1. Sarana/prasarana pendukung
Lokasi proyek TIR transmigrasi Jawai yang dapat dikatakan terpencil yaitu
di sebelah utara Propinsi Kalimantan Barat tentunya memberikan dampak positif
dan negatif dalam pengelolaan proyek. Aspek positif dari keberadaan lokasi
proyek yang terpencil diantaranya adalah lingkungan terutama perairan yang
belum tercemar, sedangkan aspek negatif adalah akses menuju lokasi proyek
terutama transportasi yang selain harus ditempuh melalui jalan darat juga melalui
sungai . Gambaran mengenai sarana/prasarana dalam mendukung kegiatan
operasional budidaya udang di lokasi proyek perintis TIR transmigrasi Jawai
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Pengadaan sarana produksi tambak (saprotam).
Pengadaan pakan masih merupakan faktor pembatas karena harus didatangkan
dari Pulau Jawa karena belum ada pabrik pakan di Kalimantan Barat,
demikian juga untuk pengadaan kapur dan obat-batan. Pengadaan benur dapat
berasal dari benur lokal karena di Kalimantan Barat sudah terdapat perusahaan
pembibitan udang (hatchery), namun hatchery tersebut selama ini hanya
memproduksi benur udang windu (Pennaeus monodon). Pengadaan bahan
bakar minyak (BBM) khususnya solar dapat diakses melalui SPBU terdekat
yaitu dari kota Pemangkat melalui jalan sungai dengan menggunakan perahu
Site Manager
Kepala Divisi
Kepala Unit
Kepala Blok
Ketua Kelompok
Plasma
Anggota
35
motor milik SPBU yang sudah dilengkapi dengan tanki solar yang
membutuhkan waktu perjalanan sampai ke lokasi proyek ± 20 menit.
2) Pemasaran
Perusahaan cold storage untuk menampung hasil produksi udang sudah
terdapat di kota Pontianak. Hal umum yang biasa dilakukan oleh cold storage
untuk pelaksanaan sizing dan penimbangan hasil panen biasanya dilakukan di
lokasi tambak, tetapi untuk hasil panen yang relatif sedikit biasanya dilakukan
oleh para pengumpul udang lokal yang tersebar di beberapa tempat kota
kecamatan.
3) Transportasi
Akses menuju lokasi proyek dari Kota Pemangkat dilakukan melalui
transportasi air yaitu menyeberangi muara Sungai Sambas Besar. Sarana
transportasi air dalam menunjang operasional proyek dapat dilakukan dengan
menggunakan perahu motor air milik masyarakat setempat, sedangkan untuk
kegiatan bongkar muat barang dilakukan oleh buruh setempat.
4.3.2. Fisik tambak
Kondisi fisik tambak pada saat awal pembangunan proyek
Luas bersih setiap petak tambak adalah 4.500 m2, sedangkan luas kotor
tambak yang dihitung berdasarkan dari as ke as adalah 5.000 m2. Satu deret petak
tambak yang berdampingan disebut Jalur, sedangkan diantara dua jalur tambak
yang ditengahnya terdapat saluran tersier pemasukan (STP) disebut Blok.
Kumpulan beberapa Blok disebut Unit. Berikut ini adalah tata letak tambak yang
terdapat pada Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai, yaitu a) Unit I terdiri dari
Jalur A, B, C, D, E dan F atau Blok AB, CD dan EF, b) Unit II terdiri dari Jalur G,
H, I, J, K, L dan LL atau Blok GH, IJ, KL dan LL, c) Unit III terdiri dari Jalur M,
N, O, P, Q dan R atau Blok MN,OP dan QR, d) Unit IV terdiri dari Jalur S, T, U,
V dan W atau Blok ST, UV dan W, e) Unit V terdiri dari Jalur X dan Y atau Blok
XY. Sebagai gambaran mengenai tata letak (lay out design), sarana dan prasarana
tambak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sistim irigasi pertambakan pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai
sudah sesuai dengan persyaratan teknis budidaya karena sudah terpisah antara
36
saluran pemasukan (supply) dengan saluran pembuangan (drainage). Gambaran
mengenai sistem tata air dalam satu blok dapat dilihat pada Gambar 4.
Laut
↑
Sal. Saluran tersier pembuang (drainage) →
Sek.
Suplai
Sal.
Pump → Saluran tersier pemasukan (supply) Sek.
Drain
↑
Saluran tersier pembuang (drainage) →
↑
Dari Saluran Primer Suplai
Gambar 4. Tata air tambak untuk satu blok
Menurut PT. Lenggogeni (1990), berdasarkan hasil pengukuran topografi
diperoleh elevasi lahan rata-rata adalah + 1,50 m sedangkan untuk kisaran pasang
rata-rata air laut (tidal range) adalah 1,42 m sehingga tidak terjadi genangan
selama pasang tinggi. Hal ini berarti energi pasang surut tidak dapat digunakan
untuk pengairan budidaya udang. Oleh karena itu untuk mengalirkan air ke petak
tambak harus menggunakan alat bantu pompa. Untuk lebih jelasnya tentang
mekanisme dan gambaran elevasi tata air saluran pemasukan (supply canal) dapat
dilihat pada Gambar 5.
Sal. Tersier Pemasukan Pompa
+ 3.15
Keterangan :
Amplitudo Pasang Surut
+ 1.50 1.40 (HHWL)
+ 1.15 Tanah Dasar Asli
Berm
Dasar Tambak 0.00 (LLWL)
- 1.00
Sal. Sekunder Pemasukan
- 2.00
Sal. Primer Pemasukan
Muara Sungai Sambas
Gambar 5. Elevasi tata air tambak saluran pemasukan (supply canal)
37
Tata air pada saluran pemasukan (supply canal) dapat dijabarkan sebagai
berikut: 1) muara sungai Sambas Besar yang berbatasan langsung dengan laut
Cina Selatan adalah merupakan sumber air pemasukan untuk budidaya udang. 2)
dari muara tersebut pada saat pasang air mengalir melalui saluran intake dari laut
kemudian menuju saluran primer sampai ke saluran sekunder pemasukan. 3) dari
saluran sekunder pemasukan, karena adanya perbedaan elevasi air dialirkan ke
saluran tersier pemasukan yang terbuat dari beton dengan menggunakan pompa.
4) dari saluran tersier pemasukan tersebut air di distribusikan melalui inlet ke
masing-masing petak tambak.
Tata air pada saluran pembuangan (drainage canal) dapat dijabarkan
sebagai berikut: 1)dari petak tambak air dibuang melalui outlet, kemudian 2) dari
outlet tambak air dialirkan melalui saluran tersier pembuang menuju saluran
sekunder pembuang dan 3) dari saluran sekunder pembuang, kemudian air
mengalir langsung menuju laut Cina Selatan. Sebagai gambaran tentang elevasi
tata air pada saluran pembuangan (drainage canal) dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Elevasi tata air tambak saluran pembuangan (drainage canal)
Pembangunan fisik proyek perintis TIR transmigrasi Jawai dimulai pada
bulan September 1990 yang meliputi pekerjaan pembangunan saluran irigasi dan
pencetakan tambak. Tabel 4 merupakan gambaran dimensi konstruksi pada saat
awal pembangunan fisik tambak yang dalam penelitian ini menjadi pedoman
dasar perhitungan total biaya investasi pekerjaan rehabilitasi konstruksi tambak
dalam rangka untuk mengoperasikan kembali proyek TIR transmigrasi Jawai.
Tanggul Tambak
+ 2.65
Permukaan air tambak
+ 1.50
+ 1.15 Tanah Dasar Asli
Berm
Dasar Tambak
0.00
Sal. Tersier Pembuang
- 1.00
Sal. Sekunder Pembuang
Laut Cina Selatan
38
Tabel 4. Dimensi saat awal pembangunan konstruksi tambak
DIMENSI AWAL PEMBANGUNAN
JENIS KONSTRUKSI LA LB H Vol/m' P Vol Total
(m) (m) (m) (m3) (m) (m3)
Saluran Pemasukan (Supply)
1. Saluran Intake Laut 20.00 9.50 3.50 51.63 1,500.00 77,437.50
2. Saluran Primer Ruas I 20.00 9.50 3.50 51.63 885.00 45,688.13
3. Saluran Primer Ruas II 17.00 6.50 3.50 41.13 1,650.00 67,856.25
3. Saluran Primer Ruas III 16.50 6.00 3.50 39.38 1,225.00 48,234.38 4. Saluran Sekunder I 15.00 6.00 3.00 31.50 600.00 18,900.00
5. Saluran Sekunder II 15.00 6.00 3.00 31.50 600.00 18,900.00
6. Saluran Sekunder III 15.00 6.00 3.00 31.50 150.00 4,725.00 7. STP Beton Semen 1.70 1.30 0.75 8,950.00
8. STP Gravitasi (Tanah) 6.00 0.00 1.50 5.63 450.00 2,531.25
J u m l a h 16,010.00 284,272.50
Saluran Pembuangan (Drainage)
1. Saluran Sekunder I 12.00 4.50 2.50 20.63 2,320.00 47,850.00
2. Saluran Sekunder II 18.00 10.50 2.50 35.63 1,480.00 52,725.00
3. Saluran Sekunder III 18.00 10.50 2.50 35.63 1,275.00 45,421.88
3. Saluran Tersier Pembuangan 6.00 1.50 1.50 5.63 9,820.00 55,237.50
J u m l a h 14,895.00 201,234.38
Fisik Tambak (Petak) 376
1. Tanggul STD 2.00 6.50 1.50 6.38 50.00 120,487.50
2. Tanggul Antara Tambak 1.50 6.00 1.50 5.63 100.00 212,625.00
3. Tanggul STP 6.00 11.40 1.80 7.83 50.00 147,987.00
J u m l a h 75,200.00 481,099.50
Sumber : PT. Ciptawindu Khatulistiwa (1996)
Keterangan : LA = Lebar Atas P = Panjang
LB = Lebar Bawah Vol/m' = Volume per meter
H = Dalam atau Tinggi Vol Total = Volume Total
Kondisi fisik tambak pada saat pengamatan
Pada bulan Maret 2006 telah dilakukan pengamatan dan inventarisasi di
lapangan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi terakhir fisik tambak di lokasi
proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai. Hasil pengamatan di lapangan dari segi
lay out design didapatkan bahwa hampir semua petak tambak sepanjang pantai
rusak terkena abrasi dengan perincian sebagai berikut :
- Tambak yang rusak parah dan tidak dapat difungsikan karena terkena abrasi
sebanyak 81 petak.
- Tambak yang tidak layak operasional karena terkena abrasi dengan kriteria
mengalami kerusakan tanggul dan atau outlet yang akan membahayakan pada
saat operasional budidaya sebanyak 33 petak.
- Tambak yang masih utuh (tidak rusak) sebanyak 15 petak, namun tambak
tersebut tidak dapat difungsikan mengingat bangunan saluran tersier
pemasukan sebagai sumber suplai air sudah rusak terkena abrasi.
39
Kondisi fisik tambak telah mengalami kerusakan dan perubahan dimensi
akibat karena adanya abrasi dan karena tidak adanya pekerjaan maintenance sejak
proyek ini stagnan pada tahun 1996. Tabel 5 menggambarkan kondisi terakhir
dimensi konstruksi tambak berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran di
lapangan pada bulan Maret 2006.
Tabel 5. Dimensi konstruksi tambak pada saat pengamatan
DIMENSI PADA SAAT PENGAMATAN
LA LB H Vol/m' P Vol Total SELISIH
JENIS KONSTRUKSI
(m) (m) (m) (m3) (m) (m3) (%) (m3) (%)
Saluran Pemasukan
1. Saluran Intake Laut 20.00 14.00 1.30 22.10 1,500.00 33,150.00 42.81 44,287.50 57.19
2. Saluran Primer Ruas I 19.00 10.00 1.10 15.95 885.00 14,115.75 30.90 31,572.38 69.10
3. Saluran Primer Ruas II 17.00 8.00 1.00 12.50 1,650.00 20,625.00 30.40 47,231.25 69.60
3. Saluran Primer Ruas III 16.00 7.00 1.00 11.50 1,225.00 14,087.50 29.21 34,146.88 70.79
4. Saluran Sekunder I 14.00 5.00 0.80 7.60 385.05 2,926.38 24.13 9,202.70 75.87
5. Saluran Sekunder II 14.00 5.00 0.80 7.60 375.05 2,850.38 24.13 8,963.70 75.87
6. Saluran Sekunder III 15.00 6.00 2.50 26.25 41.90 1,099.88 83.33 219.98 16.67
7. STP Beton Semen 1.70 1.30 0.75 5,950.00
8. STP Gravitasi (Tanah) 6.00 0.00 1.00 3.00 450.00 1,350.00 53.33 1,181.25 46.67
J u m l a h 12,462.00 90,204.89 33.78 176,805.62 66.22
Saluran Pembuangan
1. Saluran Sekunder I 11.00 2.50 1.00 6.75 2,098.30 14,163.53 32.73 29,113.91 67.27
2. Saluran Sekunder II 16.00 3.00 1.00 9.50 1,419.70 13,487.15 26.67 37,089.66 73.33
3. Saluran Sekunder III 16.00 3.00 1.00 9.50 1,216.80 11,559.60 26.67 31,788.90 73.33
3. Sal. Tersier
Pembuangan 4.50 1.00 0.90 2.48 6,146.65 15,212.96 44.00 19,361.95 56.00
J u m l a h 10,881.45 54,423.23 31.68 117,354.42 68.32
Fisik Tambak (Petak) 247
1. Tanggul STD 1.50 7.00 1.00 4.25 50.00 52,912.50 66.67 26,456.25 33.33
2. Tanggul Antara Tambak 1.00 6.50 1.00 3.75 100.00 93,375.00 66.67 46,687.50 33.33
3. Tanggul STP 5.00 12.00 1.75 7.44 50.00 92,596.88 94.99 4,886.63 5.01
J u m l a h 49,400.00 238,884.38 75.38 78,030.38 24.62
Tabel 5 memperlihatkan perbandingan perubahan dimensi konstruksi
tambak akibat dari adanya penyusutan tanggul tambak dan pendangkalan saluran
dari saat awal pembangunan sampai dengan bulan Maret 2006. Untuk saluran
irigasi tambak baik pemasukan maupun pembuangan telah mengalami
pendangkalan yang bervariasi antara 16,67% sampai 75,87%, sedangkan
40
penyusutan tanggul tambak sebesar 33,33%. Selisih volume pada Tabel 5 adalah
merupakan volume kegiatan yang harus dikerjakan dalam rangka normalisasi
konstruksi tambak agar tambak dapat dioperasikan kembali.
Akibat tambak tidak beroperasi (stagnan) sejak tahun 1996, beberapa
fasilitas tambak dilapangan didapati banyak yang sudah hilang atau rusak. Hasil
inventarisasi barang yang masih tersisa pada lokasi proyek perintis TIR
transmigrasi Jawai dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil inventarisasi barang di lokasi proyek
JENIS BARANG SPESIFIKASI LOKASI JUMLAH KETERANGAN
Peralatan Tambak
1. Generator setting 250 KVA Unit I, II, III, IV Tidak jelas Tidak Jelas
125 KVA Unit I, II Tidak jelas Tidak Jelas
2. Pompa Centrifugal 12 inchi STP 2 per Blok Tidak ada
3. Kincir Air
Paddle Wheel
1 PK Petak Tambak 4 per Petak Tidak ada
Peralatan Listrik
1. Kabel Listrik NYA Petak Tambak - Tidak ada
NYY Petak Tambak - Tidak ada
2. Tiang Listrik Kayu Petak Tambak - Tidak ada
3. Lampu Penerangan TL 20 Watt Petak Tambak 3 per Petak Tidak ada
Sarana Tambak
1. Pintu Inlet Beton Semen Petak Tambak 1 per Petak Rusak Parah
2. Pintu Outlet Beton Semen Petak Tambak 1 per Petak Kondisi 80 %
3. Jembatan Ancho Kayu Petak Tambak 4 per Petak Tidak ada
Bangunan
1. Kantor Kayu Unit I 1 Ada
2. Mess Karyawan Kayu Unit I/II, III/IV 2 Ada
3. Gudang Saprotam Kayu Unit I 1 Ada
4. Bengkel Kayu Unit I 1 Ada
5. Rumah Genset Kayu Unit I, II, III/IV 3 Ada
6. Rumah Jaga Tambak Kayu Setiap Blok 4 per Blok Tidak ada
7. Pos Satpam Kayu Unit I, III/IV 2 Tidak ada
8. Rumah Pompa Kayu STP 1 per Blok Tidak ada
9. Talang Air Pompa Kayu STP 1 per Blok Tidak ada
Keterangan : STP = Saluran Tersier Pemasukan (supply)
41
Dalam rangka untuk rehabilitasi konstruksi dan mendisain ulang kawasan
proyek perintis TIR transmigrai Jawai agar dapat beroperasi kembali, berdasarkan
pertimbangan faktor teknis maka tambak sepanjang pantai sebanyak 129 petak
yaitu 2 (dua) jalur dari unit I sampai IV dan 1 (satu) jalur di unit V akan
dikorbankan untuk dijadikan green belt. Dengan demikian sisa tambak yang
layak operasional adalah sebanyak 247 petak, tetapi yang akan dikembangkan
untuk operasional budidaya adalah hanya 237 petak sedangkan 10 petak
diperuntukan sebagai fasilitas petak penelitian / percobaan (research and
development). Gambaran rencana mengenai perubahan tata letak (lay out design)
tambak akibat adanya abrasi dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.4. Model Pengelolaan
4.4.1. Aspek bioteknis
Kesesuaian lahan
Data hasil evaluasi atas parameter kesesuaian lahan berdasarkan data
sekunder dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 memperlihatkan salinitas dalam
keadaan normal, hal ini disebabkan karena letak posisi proyek yang dekat dengan
laut dan dikelilingi oleh perairan, maka dengan demikian kondisi fisik lingkungan
di lokasi tersebut dipengaruhi oleh pasang surut Laut Cina Selatan. Secara umum
pH, oksigen terlarut, amoniak dan nitrit memperlihatkan keadaan normal. Hal ini
berarti parameter kualitas air adalah layak untuk budidaya udang. Secara garis
besar tekstur tanah di lokasi proyek adalah clay antara 82,78 sampai 85,81%. pH
tanah dalam kategori normal dengan kisaran 8. Kadar kalium, natrium dan
kalsium termasuk kategori rendah yaitu kurang dari 1%. Sedangkan kadar besi,
aluminium dan FeS2 cukup tinggi. Oleh karena itu diperlukan ekstra hati-hati
dalam pengolahan tambak sehingga diperlukan ekstra penggunaan kapur untuk
mengantisipasi hal tersebut.
42
Tabel 7. Parameter kesesuaian lahan dari data lapangan
No P a r a m e t e r D a t a
A. Kualitas Air
1 Salinitas ( ‰ ) 20 – 25
2 Suhu (ºC) 29
3 pH 7,1
4 Oksigen (mg/l) 5,90
5 Amoniak (mg/l) 0,01
6 Nitrit (mg/l) 0,03
B. Tanah
1 Tekstur
- Sand (%) 12,39 - 14,31
- Clay (%) 82,78 - 85,81
- Dust (%) 1,80 - 2,31
2 pH H2O 7,80 - 8,60
3 Kalium (K) 0,92 - 0,96
4 Natrium (Na) 0,07 - 0,08
5 Calcium (Ca) 0,76 - 0,86
6 Besi (Fe) 4,43 - 4,57
7 Aluminium (Al) 8,11 - 8,96
8 FeS2 1,35 - 1,94
Sumber: PT. Ciptawindu Khatulistiwa, penyajian evaluasi lingkungan
Proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai (1992)
Data parameter kesesuaian lahan yang dikutip dari sumber pustaka
Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL) Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sambas Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan
Barat Tahun 1992 sampai dengan saat penelitian dilakukan masih layak
digunakan sebagai acuan dalam evaluasi kesesuaian lahan , hal ini didasarkan
karena 1) personil yang terlibat dalam penyusunan pustaka Penyajian Evaluasi
Lingkungan (PEL) tersebut adalah orang yang kompeten dalam bidangnya, 2)
kondisi lingkungan pada tahun 1992 dibandingkan dengan kondisi pada saat
penelitian adalah relatif sama karena tidak ada kegiatan pembangunan yang
menjadi sumber baru bagi potensi pencemaran perairan di sekitar lokasi proyek
dan 3) proyek perintis TIR transmigrasi Jawai dari tahun 1996 sampai dengan saat
ini dalam kondisi tidak beroperasi (stagnan).
43
Daya dukung kawasan
Daya dukung kawasan dalam penelitian adalah berdasarkan pasokan air
laut yang masuk keperairan pantai dimana pasokan air laut tersebut menurut
Widigdo (2003) dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
−=
θ tg
h2xhy 0,5V0
Vo = volume air laut yang masuk ke perairan pantai
h = kisaran pasang surut (tidal range) setempat
x = jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga lokasi intake air laut
untuk keperluan tambak
y = lebar areal tambak yang sejajar garis pantai
θ = kemiringan (kelandaian) dasar laut.
Berdasarkan perhitungan dengan formula rumus tersebut, diperoleh luas
tambak lestari sebesar 93,23 ha. Dengan luas bersih per petak tambak adalah
4.500 m2, maka berarti luas tambak lestari yang dapat dibangun adalah setara
dengan 207 petak tambak. Untuk lebih jelasnya mengenai detail perhitungan daya
dukung kawasan dapat dilihat pada Lampiran 2. Karena jumlah petak tambak
pada proyek TIR transmigrasi Jawai adalah 247 petak dan apabila semua petak
tambak tersebut beroperasi dalam waktu yang bersamaan, maka berarti keadaan
tersebut sudah melebihi dari batasan luas tambak lestari. Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan pengaturan pola tanam dalam pelaksanaannya agar pada saat
budidaya berlangsung jumlah petak tambak operasional tidak melampaui dari
kapasitas luas tambak lestari. Tabel 8 merupakan gambaran mengenai
perencanaan pola tanam budidaya udang dalam satu tahun.
Tabel 8. Perencanaan pola tanam budidaya udang dalam satu tahun
B u l a n
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Petak tebar 41 41 41 41 41 42 41 41 41 41 41 42
Petak panen 0 0 0 0 41 41 41 41 41 42 41 41
Σ petak tebar 41 82 123 164 205 247 288 329 370 411 452 494
Σ petak panen 0 0 0 0 41 82 123 164 205 247 288 329
Σ petak operasi 41 82 123 164 164 165 165 165 165 164 164 165
44
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa perencanaan pola tanam dengan
pengaturan jumlah tebar dalam setiap bulannya akan dapat diprediksi kapan waktu
pelaksanaan panen (diasumsikan pemeliharaan selama empat bulan). Berdasarkan
pola tanam tersebut terlihat bahwa jumlah petak operasional pada setiap bulan
menunjukkan pada kisaran antara 164 sampai 165 petak tambak. Hal ini berarti
bahwa dengan perencanaan pola tanam yang benar akan didapatkan jumlah petak
tambak maksimum yang beroperasi secara bersamaan masih dibawah dari batas
toleransi luas tambak lestari.
Faktor utama yang menyebabkan proyek TIR Transmigrasi Jawai
mengalami stagnasi adalah adanya serangan wabah penyakit white spot pada
tahun 1995. Berdasarkan pengalaman tersebut maka sebagai solusi untuk
mengatasi hal tersebut tidak terulang kembali dipilih udang Vaname sebagai
komoditas yang direncanakan akan dibudidayakan pada proyek TIR transmigrasi
Jawai. Udang Vaname dipilih sebagai komoditas yang akan dibudidayakan karena
mempunyai kelebihan sebagai berikut 1) jenis ini lebih tahan terhadap serangan
penyakit virus white spot, 2) dapat bertahan hidup dengan normal pada kisaran
salinitas diatas 38 ‰ dan dibawah 10 ‰ dan 3) bisa menghasilkan produktifitas 9
sampai 11 ton dengan padat tebar 80 ekor/m2 dengan FCR 1,3-1,5 dan SR
mencapai 80%.
4.4.2. Analisis finansial
Biaya investasi rehabilitasi tambak
Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini yaitu dari gambaran
keadaan fisik tambak dan sarana yang masih tersisa, kemudian dilakukan
inventarisir dan analisis kebutuhan biaya untuk perhitungan pekerjaan rehabilitasi
tambak dalam rangka untuk mengoperasikan kembali kawasan proyek perintis
TIR transmigrasi Jawai. Analisis harga satuan pekerjaan mekanis pada Lampiran
5 dan analisis harga satuan pembangunan saluran tersier pemasukan pada
lampiran 6 digunakan sebagai dasar untuk melakukan perhitungan biaya pekerjaan
rehabilitasi konstruksi sesuai dengan volume yang harus dikerjakan yang tertera
pada Tabel 5. Sedangkan perhitungan biaya pekerjaan listrik, peralatan
operasional tambak dan bangunan dilakukan dengan cara pendekatan yang
disesuaikan dengan harga yang berlaku pada Juli 2006. Dari hasil analisis
45
perhitungan tersebut diperoleh total biaya yang diperlukan untuk biaya investasi
adalah sebesar Rp. 20.776.442.122. Rincian analisis perhitungan total kebutuhan
biaya investasi pembangunan proyek TIR transmigrasi Jawai dapat dilihat pada
Lampiran 7.
Analisis kelayakan usaha tambak
Berdasarkan hasil dari perhitungan kebutuhan biaya investasi dan analisis
daya dukung kawasan, kemudian dilakukan analisis terhadap teknologi budidaya
yang akan diterapkan di lokasi proyek. Pertimbangan aspek teknis budidaya yang
akan diterapkan adalah dengan cara meminimumkan beban lingkungan yaitu
dengan mengupayakan padat penebaran benur yang rendah tetapi secara ekonomis
layak untuk diusahakan. Berdasarkan hal tersebut didapatkan penerapan teknologi
budidaya adalah dengan teknologi intensif dengan padat tebar 80 ekor/m2.
Analisis finansial dilakukan terhadap 237 petak tambak dengan asumsi bahwa 1)
permodalan didapatkan dari pinjaman (kredit) bank yaitu untuk kredit investasi
dan kredit modal kerja dengan tingkat suku bunga 16%, 2) kredit investasi sebesar
70% adalah berupa pinjaman dari bank yaitu sebesar Rp. 14.543.495.000 dan 30%
adalah modal sendiri yaitu sebesar Rp. 6.232.927.000, sedangkan 3) faktor
keberhasilan produksi diperkirakan sebesar 70%. Berdasarkan hasil perhitungan
didapatkan total kebutuhan modal kerja sebesar Rp. 10.959.486.000 dan total
biaya proyek sebesar Rp. 31.735.908.000. Hasil perhitungan analisis biaya dan
manfaat (cost benefit analysis) adalah 1) net present value (NPV) =
34.416.184.000, net benefit cost ratio (Net B/C) = 1,10 dan 3) internal rate of
return (IRR) = 30,68%, dan biaya titik impas (BEP) sebesar Rp. 26.466/kg yang
tercapai pada produksi 3,629 ton/petak tambak. Rincian perhitungan analisis
finansial tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8 sampai 21. Dari hasil perhitungan
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha budidaya dengan komoditas
udang vaname dengan kepadatan tebar benur 80 ekor/m2
adalah layak untuk
diusahakan.
46
4.4.3. Analisis kelembagaan
Karakteristik produktifitas plasma
Target produksi yang ditetapkan pada setiap pola tebar dalam pengelolaan
teknis budidaya udang windu pada proyek perintis TIR Transmigrasi jawai adalah
sebagai berikut 1) Padat penebaran 4 ekor/m2, target produksi = 400 kg, 2) Padat
penebaran 20 ekor/m2, target produksi = 1.600 kg, 3) Padat penebaran 15 ekor/m
2,
target produksi = 1.200 kg. Dari hasil pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini, Tabel 9 merupakan gambaran hasil panen plasma dalam pencapaian
target produksi pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai.
Tabel 9. Realisasi hasil panen terhadap pencapaian target produksi
KEPADATAN
4 ekor/m2
20
ekor/m2
15
ekor/m2
TOTAL
Target Panen per petak (kg) 400 1600 1200
Jumlah Petak Panen 146 65 989 1200
Panen rata-rata per petak (kg) 311.63 1,152.07 1,280.21
Pencapaian Target (%) 77.91 72.00 106.68
Jumlah Petak mencapai Target 48 30 232 310
Pencapaian Target (%) 32.88 46.15 23.46 25.83
PERIODE MUSIM TANAM (15 ekor/m2)
I II III IV V
Target Panen per petak (kg) 1200 1200 1200 1200 1200
Jumlah Petak Panen 274 268 245 158 44
Panen rata-rata per petak (kg) 1,212.89 1,463.30 1,340.85 1,099.73 894.67
Pencapaian Target (%) 101.07 121.94 111.74 91.64 74.56
Jumlah Petak mencapai Target 34 105 69 18 6
Pencapaian Target (%) 12.41 39.18 28.16 11.39 13.64
Dari Tabel 9 dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Dari keseluruhan petak tambak panen yang dianalisis (1.200 petak tambak)
pada pola penebaran benur 4, 20 dan 15 ekor/m2
didapatkan bahwa jumlah
47
petak tambak yang mencapai target produksi sebanyak 310 petak tambak
(25,83%), yang berarti sebanyak 990 petak tambak (74,17%) gagal dalam
mencapai target produksi.
- Berdasarkan pola tebar maupun periode musim tanam didapatkan bahwa
prosentase pencapaian target pada rata-rata hasil panen per petak tambak
adalah selalu lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah petak tambak yang
mencapai target produksi, bahkan pada pola tebar 15 ekor/m2
didapatkan
bahwa jumlah petak tambak yang mencapai target sebesar 23,46% tetapi hasil
panen rata-rata per petak telah melampaui target yaitu 106,68%.
- Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil panen plasma
adalah bervariasi antar petak tambak.
Plasma yang ada pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai terdiri dari
4 kelompok yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Penduduk Lokal
atau APPDT. Oleh karena itu plasma pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai
dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan daerah asal (dasal). Pada
Tabel 10 dapat dilihat jumlah total hasil panen rata-rata per petak tambak
berdasarkan daerah asal.
Tabel 10. Hasil panen plasma berdasarkan daerah asal transmigran
Dari Tabel 10 tersebut diatas dapat dilihat bahwa plasma yang berasal dari Jawa
Tengah (Jateng) mempunyai produktifitas yang paling tinggi dengan total rata-rata
hasil panen per petak tambak sebanyak 1.273,55 kg, kemudian disusul berturut-
turut Jawa Timur (Jatim) sebanyak 1.218,85 kg, Jawa Barat (Jabar) sebanyak
Daerah Asal (Dasal) Rata-rata Berat Per Petak
(kg)
- 816.90
APPDT 1,057.75
Jawa Barat 1,118.64
Jawa Tengah 1,273.55
Jawa Timur 1,218.85
48
1.118,64 kg dan yang paling rendah produktifitasnya adalah plasma lokal atau
yang biasa disebut APPDT yaitu sebanyak 1.057,75 kg.
Plasma APPDT menempati posisi paling rendah produktifitasnya hal ini
disebabkan karena karateristik plasma transmigran lokal atau APPDT dapat
dikatakan baru mengenal usaha pertambakan karena sebelum ada proyek perintis
TIR transmigrasi Jawai ini mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian
yang tidak berhubungan dengan usaha budidaya udang di tambak. Sedangkan
plasma transmigran yang didatangkan dari pulau Jawa pada umumnya berasal dari
daerah-daerah yang lingkungannya merupakan daerah usaha pertambakan udang
di pulau Jawa. Jadi dapat dikatakan bahwa karakteristik transmigran dari pulau
Jawa sudah lebih familier dengan dunia tambak udang dibandingkan plasma lokal.
Oleh karena itu tujuan mendatangkan transmigran dari pulau jawa tersebut adalah
diharapkan mereka dapat menjadi mediator dalam transfer teknologi budidaya
udang di daerah yang baru.
Spatial autocorrelation
Hasil analisis spatial autocorrelation dengan menggunakan perhitungan
indeks Moran (I) pada pola tebar 15 ekor/m2 berdasarkan periode musim tanam
dan tahun dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation
PERIODE Indeks
Moran ( I ) TAHUN
Indeks
Moran ( I )
Musim Tanam ( I ) Random ( I ) Random
Periode I 0.191875 -0.003663 1993 0.153122 -0.004219
Periode II 0.329885 -0.003745 1994 0.573217 -0.003891
Periode III 0.152293 -0.004098 1995 0.038725 -0.004167
Periode IV 0.084252 -0.006369 Total 0.347446 -0.003663
Periode V 0.003755 -0.023256 (1993-1995)
Dari hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation pada Tabel 11 dapat
dilihat bahwa pada umumnya pola tebar benur 15 ekor/m2 baik berdasarkan
periode musim tanam maupun tahun didapatkan hasil nilai Indeks Moran (I)
secara umum berada diatas nilai I (Random). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil
49
perhitungan indeks Moran (I) mengarah kepada autocorrelation positif, yang
berarti adanya kecenderungan hubungan antar petak tambak yang berdampingan
mencerminkan pola interaksi searah yaitu dengan pengaruh saling meningkatkan
hasil produksi.
Pada Tabel 11 berdasarkan tahun didapatkan pada tahun 1995 nilai indeks
Moran menurun tajam yaitu 0,038725, hal ini disebabkan karena pada tahun 1995
hasil panen plasma banyak mengalami kegagalan karena adanya serangan
penyakit white spot. Puncak serangan penyakit tersebut terjadi pada akhir tahun
1995 dimana pelaksanaan panen terpaksa dilakukan terhadap sejumlah besar petak
tambak yang belum waktunya untuk menghindari kerugian dan kematian massal
yang lebih banyak. Berdasarkan periode musim tanam didapatkan nilai indeks
Moran tertinggi puncaknya pada periode II, hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 9
dimana hasil panen rata-rata per petak tambak tertinggi jatuh pada periode II yaitu
1.463,30 kg. Berdasarkan tahun didapatkan nilai indeks Moran tertinggi pada
tahun 1994, sedangkan pada Lampiran 21 dapat dilihat bahwa grafik tertinggi
rata-rata hasil panen plasma juga terjadi pada tahun 1994. Fenomena ini
memberikan gambaran bahwa semakin tinggi nilai indeks Moran maka semakin
tinggi pula hasil panen plasma. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi nilai indeks Moran berarti kerjasama kelompok plasma dalam satu
hamparan akan semakin baik yang pada kenyataannya juga akan berdampak pada
hasil panen plasma.
Hasil analisis spatial autocorrelation berdasarkan perhitungan indeks
Moran (I) tersebut pada aplikasi pelaksanaan dilapangan dipengaruhi oleh 1)
sistem pembinaan yang dilakukan petugas penyuluh lapangan (PPL) dari
perusahaan inti dan juga 2) interaksi antar plasma di lapangan pada saat
pelaksanaan operasional budidaya berlangsung. Hasil perhitungan tersebut juga
menggambarkan bahwa hubungan plasma antar petak tambak yang berdampingan
akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan antar plasma dengan petak tambak
yang berjauhan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa karakteristik
produktifitas plasma berbeda menurut kelompok daerah asal. Oleh karena itu hasil
perhitungan analisis spatial autocorrelation tersebut dapat digunakan sebagai
acuan dalam penempatan transmigran, yaitu dengan cara tidak menempatkan
50
plasma secara berdampingan menurut kelompok daerah asal yang sama dalam
rangka untuk transfer teknologi yang lebih merata sehingga diharapkan hasil
produksi menjadi meningkat.
Kelembagaan proyek
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan
prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Di Indonesia kemudian
kemitraan diartikan sebagai hubungan bapak-anak angkat (foster father
partnerships), di mana bapak angkat sebagai inti sedangkan petani sebagai
plasma. Pola kemitraan yang dilaksanakan pada proyek perintis TIR Transmigrasi
Jawai adalah pola Inti - Rakyat yaitu pola kemitraan usaha tambak dengan bentuk
kontrak produksi antara perusahaan inti dan plasma, dimana perusahaan inti
berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi serta mengusahakan
permodalan. Secara teoritis suatu kemitraan akan terjadi dan berjalan langgeng
bila memenuhi dua syarat yaitu syarat keharusan (necessary condition) dan syarat
kecukupan (sufficient condition) yaitu kebersamaan (cohesiveness).
Aturan main (rules of the game)
Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah merupakan sebuah proyek
percontohan transmigrasi umum dengan pola Tambak Inti Rakyat (TIR).
Pengembangan pola TIR diatur oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
334/Kpts/IK.210/6/1986. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa:
1. Di Pulau Jawa, setiap perusahaan tambak yang memiliki areal tambak diatas
30 ha harus menggunakan pola tambak inti rakyat dengan perbandingan 40
inti dan 60 plasma;
2. Diluar Pulau Jawa:
a. di lahan yang sudah berbentuk tambak, setiap perusahaan yang akan
melakukan penambahan areal diatas 50 ha harus menggunakan pola
tambak inti rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma;
51
b. di lahan yang belum berbentuk tambak, setiap perusahaan yang akan
mengusahakan tambak diatas 100 ha harus menggunakan pola tambak inti
rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma;
Dalam SK Menteri Pertanian juga disebutkan bahwa perusahaan inti serta
plasma mempunyai masing-masing kewajiban agar terbina kerjasama yang saling
menguntungkan dan berkesinambungan. Kewajiban perusahaan inti adalah 1)
menyediakan dan atau membangun tambak plasma; 2) menyediakan saluran
pengairan yang diperlukan baik untuk tambak inti maupun plasma; 3)
memberikan bimbingan teknis pertambakan kepada petambak plasma sesuai
dengan perkembangan teknologi; 4) menyediakan sarana produksi untuk
memenuhi kebutuhan petambak plasma; 5) menampung seluruh hasil produksi
tambak plasma dengan syarat dan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian; 6) membantu
penyelesaian sertifikat lahan tambak plasma; 7) mempekerjakan calon petambak
plasma ditambak yang diusahakan selama tambak plasma dalam periode
konstruksi dan belum diserahkan kepada petambak plasma; dan 8) membantu
petambak plasma dalam pengurusan pencairan dan pengembalian kredit. Sedang
kewajiban petambak plasma adalah 1) mengusahakan tambak sesuai petunjuk
perusahaan inti; 2) menjual hasil produksi tambaknya kepada perusahaan inti
dengan syarat dan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian; 3) mengembalikan kredit sesuai
dengan jadwal waktu pada akad kredit; 4) tidak memindahkan haknya atas tambak
kepada pihak ketiga dalam waktu yang ditetapkan kecuali dalam rangka
pewarisan tanpa pemecahan lahan.
Sebagai implementasi dari pola kemitraan dalam pelaksanaannya proyek
perintis TIR transmigrasi Jawai telah melakukan beberapa kesepakatan yang
tertuang dalam perjanjian antara perusahaan inti dan plasma. Beberapa perjanjian
tersebut diantaranya adalah 1) surat kontrak kerjasama antara PT Ciptawindu
Khatulistiwa dengan petani tambak transmigrasi Jawai dapat dilihat pada
Lampiran 23, 2) surat perjanjian tentang kerjasama pengelolaan proyek TIR
transmigrasi Jawai antara PT. Ciptawindu Khatulistiwa dengan Koperasi Unit
Desa Cipta Bina Sejahtera dapat dilihat pada Lampiran 24, 3) surat perjanjian
52
tentang kesepakatan pembelian sarana produksi tambak udang dan hasil tambak
udang antara PT. Ciptawindu Khatulistiwa dengan petani plasma tambak udang
proyek TIR Jawai dapat dilihat pada Lampiran 25dan 4) tata tertib persidangan
forum musyawarah petani tambak udang proyek TIR Transmigrasi di Jawai
Kalimantan Barat dapat dilihat pada Lampiran 26.
Rangkuman dari isi perjanjian dan kesepakatan antara perusahaan inti dan
plasma serta KUD pada pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a) peran perusahaan inti adalah 1) membangun tambak dengan segala sarana dan
prasarananya yang nantinya akan dibayarkan melalui bank dari kredit
investasi, 2) mengelola dana untuk modal kerja atas nama kredit plasma dari
bank Kalbar, 3) membeli hasil panen plasma sesuai dengan harga yang telah
disepakati, 4) sebagai penjamin (afalist) dari kredit investasi dan modal kerja,
5) memegang sertifikat tambak selama kredit belum lunas dan 6) membina
plasma dalam hal teknis budidaya.
b) peran plasma adalah 1) mengajukan kredit investasi dan modal kerja ke bank
Kalbar, 2) mencicil kredit investasi dengan cara pembayaran dipotong saat
panen, 3) menjual hasil panen ke perusahaan inti dan 4) patuh terhadap
instruksi pembina budidaya.
c) peran KUD adalah 1) merupakan wadah dari perwakilan plasma, 2) sebagai
perantara antara perusahaaan inti dan plasma serta bersama-sama dengan
perusahaan inti dalam mengusahakan kredit investasi dan modal kerja, 3)
mendapatkan komisi (fee) dari keuntungan penjualan udang dan pengadaan
sarana produksi tambak dan 4) bersama-sama dengan perusahaan inti
mengambil tindakan terhadap plasma yang tidak layak.
d) sebagai konsekuensi akibat kredit modal kerja dikelola perusahaan inti adalah
1) menyediakan tenaga pengelola, 2) menyediakan sarana penunjang seperti
laboratorium, hatchery dan cold storage, 3) menanggulangi keterlambatan
pengembalian kredit berikut bunga kepada bank dan 4) menanggulangi
kekurangan modal kerja plasma yang mengalami kerugian panen.
53
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sudah terjadi
indikasi adanya keinginan bersama antara perusahaan inti dan plasma dalam
upaya untuk mencapai bentuk hubungan pola kemitraan yang lebih langgeng.
Dari aturan main (rules of the game) yang tertuang dalam perjanjian dan
kesepakatan antara perusahaan inti, plasma dan KUD tersebut ada beberapa hal
yang masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut dalam pelaksanaannya, yaitu;
1) besaran cadangan resiko 15% dari selisih antara harga penyesuaian dengan
harga jaminan, hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengingat usaha tambak udang
adalah termasuk kategori usaha resiko tinggi (high risk) dan pada pelaksanaan
proyek TIR transmigrasi Jawai ternyata cadangan resiko tersebut tidak mencukupi
untuk menutupi kerugian hasil panen plasma, dan 2) belum masuknya komponen
maintenance dalam pemotongan hasil panen plasma, hal ini diperlukan untuk
biaya perawatan baik untuk peralatan operasional tambak maupun saluran irigasi
yang tidak sedikit memakan biaya. Disarankan komponen maintenance tersebut
dibebankan dalam hitungan tonase berat per kg udang hasil panen dan dikenakan
kepada seluruh plasma baik yang hasil panennya untung maupun yang merugi.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan kesadaran plasma bahwa untuk
menuju keberhasilan proyek diperlukan semangat kebersamaan termasuk dalam
menanggung biaya perawatan infrastruktur yang telah dibangun.
Pengalaman pada pelaksanaan proyek TIR transmigrasi Jawai
menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan aturan main (rules of the
game) pada pola TIR yang dampaknya akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan proyek. Berikut ini penjabaran kelemahan aturan main dan solusi
pada pola TIR, yaitu;
1. Kriteria proses penentuan sebagai plasma.
a) Plasma yang didatangkan dari pulau Jawa adalah merupakan kewenangan
dari Departemen Transmigrasi, sedangkan keanggotaan menjadi plasma
lokal (APPDT) adalah berdasarkan atas kompensasi kepada masyarakat
setempat akibat tanahnya terkena pembangunan lokasi proyek. Oleh
karena itu kelemahan pola TIR adalah seleksi plasma tidak didasarkan atas
kelayakan kemampuan seseorang dalam hal teknis pengelolaan budidaya
di lapangan.
54
b) Solusi dari permasalahan tersebut adalah calon plasma tersebut harus
melalui tahap seleksi dilapangan yaitu dengan cara magang dan proses
magang inilah yang akan menentukan layak dan tidaknya seseorang ikut
menjadi anggota plasma TIR. Sedangkan untuk menghindari pemilik tanah
otomatis menjadi plasma TIR adalah dengan jalan memberikan
kompensasi ganti untung kepada masyarakat setempat yang tanahnya
terkena pembangunan proyek.
2. Kesulitan menerapkan sanksi.
a) Pada prakteknya sulit untuk menerapkan sanksi kepada pihak yang
melakukan kesalahan atau kelalaian di lapangan. Salah satu contoh adalah
keterlambatan perusahaan inti dalam pembayaran panen atau penebaran
benur dan juga adanya plasma yang tidak mematuhi aturan teknis
budidaya yang akan mengganggu jalannya proyek.
b) Solusi dari permasalahan tersebut adalah menerapkan aturan main yang
baku dan disepakati semua pihak yang didalamnya sudah mencakup siapa
yang mempunyai wewenang sebagai eksekutor, sehingga apabila terjadi
salah satu pihak melakukan kesalahan atau kelalaian (wan prestasi) maka
sistem atau aturan main tersebut dapat langsung diimplementasikan.
Dampak positif keberadaan proyek TIR Transmigrasi Jawai
Jika mengkaji uraian diatas maka keberadaan proyek tersebut seharusnya
akan memberikan dampak positif karena bukan hanya pihak-pihak yang berperan
seperti perusahaan inti, plasma dan KUD saja yang akan mendapatkan keuntungan
tetapi masyarakat setempat dan pemerintah daerah (Pemda) juga akan mendapat
keuntungan. Menurut Walhi (2004), dampak positif tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut :
Keuntungan swasta sebagai perusahaan inti
1. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi dan Modal Kerja, hal ini
dapat dijabarkan sebagai berikut :
• Biaya pembangunan pencetakan tambak berasal dari kredit koperasi yang
nota bene adalah merupakan beban kredit Plasma.
55
• Pembangunan saluran irigasi tambak irigasi untuk pertambakan
pembiayaannya dibantu dari dana Pemerintah, yaitu untuk pembangunan
saluran irigasi tambak pemasukan (primer dan sekunder) dan saluran
irigasi tambak pembuangan (sekunder dan tersier) dibiayai dari
Departemen Transmigrasi serta untuk saluran irigasi tambak tersier
pemasukan dibiayai dari Direktorat Jenderal Perikanan.
• Biaya untuk operasional budidaya udang (modal kerja) berasal dari kredit
koperasi yang merupakan beban kredit plasma.
2. Dari Proses Produksi Perusahaan mendapat keuntungan dari penjualan sarana
produksi tambak (saprotam) seperti benur, pakan, obat-obatan dan lain
sebagainya.
3. Perusahaan mendapat jaminan untuk mendapatkan udang hasil panen Plasma
sesuai dengan Perjanjian Inti – Plasma.
4. Perusahaan tidak mengeluarkan biaya upah kerja karena pinjaman biaya hidup
untuk setiap musim tanam menjadi beban kredit plasma yang nantinya akan
dipotong pada saat panen.
Keuntungan plasma sebagai peserta TIR
1. Plasma secara perorangan tanpa agunan bisa mendapatkan fasilitas pinjaman
dana dari bank yang dipergunakan untuk mengelola usaha budidaya udang di
tambak.
2. Plasma dengan cara mencicil kredit mempunyai prospek untuk dapat memiliki
tambak sendiri.
Keuntungan Pemda dengan adanya proyek TIR
1. Peluang untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD), misalnya retribusi
udang.
2. Merupakan pengembangan wilayah, karena daerah yang sebelumnya
merupakan daerah terisolir dapat menjadi sentra ekonomi baru. Hal ini
ditunjang karena adanya pembangunan jalan, permukiman transmigrasi,
fasilitas umum dan lain sebagainya.
3. Adanya multiplier effects sehingga membuka kesempatan lapangan kerja baru
seperti misalnya :
56
- Terjadinya peningkatan aktifitas masyarakat setempat yang bekerja
menjadi buruh bongkar muat barang dengan kapasitas yang cukup besar
secara kontinyu dalam menunjang kegiatan operasional proyek.
- Terjadinya peningkatan jumlah alat transportasi baik darat maupun air
dalam menunjang aktifitas masyarakat seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk.
- Tumbuhnya jenis usaha baru di lingkungan proyek seperti pedagang
makanan dan minuman, usaha pengumpul udang liar hasil tambak,
pertukangan, perbengkelan dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian mengenai dampak positif dengan keberadaan proyek tersebut,
maka dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali proyek perintis TIR
transmigrasi Jawai perlu dilakukan suatu pengkajian tinjauan ulang (review)
tentang pelaksanaan pengelolaan proyek.
Mekanisme proses pencairan kredit
Salah satu tahap dalam pelaksanaan pola TIR dalam rangka memenuhi
pendanaan untuk operasional budidaya udang adalah pengajuan kredit kepada
perbankan. Pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai pelaksanaan akad kredit
dilakukan oleh dan atas nama plasma, sedangkan perusahaan inti berkewajiban
membantu proses pencairan kredit untuk plasma dan bertindak sebagai penjamin
(afalist).
Dari proses pencairan dan status akad kredit tersebut ternyata menjadi
awal dari permasalahan konflik yang sering terjadi dilapangan. Hal ini disebabkan
karena faktor perbedaan persepsi dari perusahaan inti maupun plasma. Pihak
perusahaan inti berpendapat bahwa sebagai afalist apabila terjadi kegagalan maka
pihak inti yang akan bertanggung jawab menanggung kerugian. Sedangkan di
pihak plasma berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian maka plasma yang akan
menanggung hutang. Dengan adanya konflik karena perbedaan persepsi tersebut
pada prakteknya di lapangan berdampak terhadap pembinaan teknis budidaya
udang yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) yang nota bene
berstatus sebagai karyawan perusahaan inti. Hal ini tentunya akan menjadi serius
mengingat keberhasilan proyek ini sangat bergantung dari tingkat keberhasilan
budidaya udang dalam mencapai target produksi. Skema alur pelaksanaan
57
pencairan kredit Proyek Perintis TIR Transmigrasi jawai dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Skema alur pelaksanaan proses pencairan kredit
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka perlu kajian ulang
(review) mengenai proses pencairan dan status akad kredit agar tidak terjadi friksi
di lapangan yang akan dapat menjadi faktor penyebab kegagalan proyek. Solusi
yang dapat dilakukan adalah perusahaan inti yang melakukan akad kredit dan
sekaligus sebagai penjamin (afalist). Hal ini berarti mengandung konsekuensi
bahwa perusahaan inti bertanggung jawab penuh terhadap proses pengembalian
kredit. Kompensasi yang diberikan kepada perusahaan inti akibat dari pengalihan
status kredit tersebut adalah: perusahaan inti diberi wewenang menjadi komandan
di lapangan selama kredit belum lunas. Pemberian wewenang disini harus diatur
dan dibatasi agar tidak menjadi otoriter tetapi dalam konteks sebagai upaya
pelunasan kredit sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan. Skema alur
pencairan kredit yang direkomendasikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Bank Indonesia
Kredit KKPA
BPD Kalbar
Bank Pelaksana
KUD Cipta Bina Sejahtera
Plasma (Akad Kredit)
Calon Pemilik Tambak
LUNAS (Pemilik Tambak)
Perusahaan Inti
Penjamin (Afalist)
Pembinaan ( PPL )
58
Gambar 8. Skema alur pencairan kredit yang direkomendasikan
Mekanisme pengelolaan
Kemitraan adalah suatu set kelembagaan dan rencana-rencana organisasi
yang menentukan bagaimana pihak-pihak yang terlibat (stakeholder)
bekerjasama. Sebuah rencana kemitraan bukanlah struktur hukum tentang hak dan
peraturan yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis untuk menciptakan
struktur kelembagaan baru. Sebagai sebuah proyek perintis, dalam
pelaksanaannya proyek TIR Transmigrasi Jawai belum mempunyai konsep pola
pengelolaan yang pasti sehingga dalam perkembangannya proyek ini sudah
banyak mengalami perubahan dalam mekanisme pengelolaannya. Perubahan
tersebut dimaksudkan agar proyek ini diharapkan dapat menemukan pola
pengelolaan yang terbaik.
Pada pelaksanaannya mekanisme pengelolaan proyek TIR transmigrasi
Jawai lebih banyak tergantung pada hasil negosiasi kesepakatan antara perusahaan
inti dan plasma (KUD), hal ini tentunya suatu saat dapat menjadi kendala apabila
terjadi kemacetan (dead lock) dalam mencapai kesepakatan tersebut. Dalam
kasus-kasus tertentu apabila terjadi permasalahan di lapangan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah selaku pembina proyek TIR transmigrasi berperan serta
melakukan pertemuan sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Mekanisme pengelolaan pada pelaksanaan proyek perintis TIR
transmigrasi Jawai dapat dilihat pada Gambar 9.
Bank Indonesia
Kredit KKPA
Bank Kalbar
Bank Pelaksana
Perusahaan Inti
(Akad Kredit & Penjamin)
Pembinaan (PPL) Calon Pemilik Tambak
LUNAS (Pemilik Tambak)
KUD Cipta Bina Sejahtera
59
Gambar 9. Mekanisme pelaksanaan pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai
Pada Gambar 9 terlihat bahwa badan pengelola merupakan kepanjangan
tangan dari perusahaaan inti di lokasi proyek. Tugas pokok badan pengelola disini
lebih dititik beratkan terhadap kegiatan operasional budidaya udang, sedangkan
permasalahan yang menyangkut pengambilan kebijakan (policy) adalah menjadi
kewenangan kantor pusat perusahaan inti. Namun di lapangan badan pengelola
ternyata tidak hanya dihadapkan pada permasalahan teknis saja tetapi juga
menangani permasalahan sosial yang akhirnya pada prakteknya permasalahan
sosial ternyata lebih banyak menyita waktu dan perhatian dari badan pengelola.
Kondisi seperti ini tentunya menjadi tidak kondusif dalam pengelolaan proyek
mengingat keberhasilan operasional teknis budidaya udang merupakan tolok ukur
dalam mencapai keberhasilan proyek. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di
lapangan pada pelaksanaan proyek, beberapa permasalahan mendasar yang masih
harus ditindak lanjuti yaitu 1) siapa yang berhak menjadi wasit apabila salah satu
pihak melakukan wan prestasi atau kelalaian, 2) seberapa jauh kewenangan dari
keterlibatan institusi pemerintah yang terkait dan 3) seberapa jauh sanksi dapat
diterapkan, hal ini menjadi pertanyaan mengingat pada prakteknya dilapangan
terjadi kesulitan untuk menjatuhkan sanksi kepada salah satu pihak yang
melakukan wan prestasi (kelalaian).
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Daerah
BPD Kalbar
Perusahaan
INTI
Suplier KUD
Badan Pengelola
(Perusahaan Inti)
Operasional Budidaya
Petani Tambak
Plasma
60
Secara prinsip permasalahan tersebut adalah diakibatkan karena 1) adanya
kerancuan atau tidak jelasnya aturan (rules) yang berlaku pada proyek perintis
TIR transmigrasi Jawai, 2) adanya faktor kepentingan yang berbeda dari masing-
masing pihak. Sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan jalan
perlu di bentuk suatu lembaga yang dinamakan forum komunikasi yang berfungsi
sebagai wadah untuk mengakomodir pihak-pihak yang berperan (stakeholder)
dalam menyampaikan aspirasinya. Lembaga forum komunikasi ini adalah
merupakan tempat untuk melakukan proses pengambilan keputusan tertinggi
dalam lingkup proyek yang berfungsi untuk membuat suatu aturan, kesepakatan
dan juga penerapan sanksi. Oleh karena itu yang menjadi anggota dari forum
komunikasi adalah pemerintah pusat/daerah, perusahaan inti, KUD, badan
pengelola, perbankan, konsultan pendamping, perwakilan kelompok plasma.
Dengan demikian output dari forum komunikasi ini digunakan sebagai pedoman
baku (guidelines) bagi semua pihak (stakeholder) dalam melaksanakan dan
memonitor kegiatan pengelolaan proyek.
Karena pentingnya lembaga forum komunikasi ini dalam menunjang
keberhasilan proyek, maka yang perlu digaris bawahi adalah perlu adanya
konsultan yang profesional dibidangnya sebagai leader dan sekaligus sebagai
pendamping dalam lembaga ini mengingat keterbatasan sumberdaya manusia
yang ada di daerah. Pengalaman pada proyek TIR transmigrasi Jawai
menunjukkan bahwa dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh
konsultan pada pelaksanaannya telah berhasil melakukan beberapa kesepakatan
yang menjadi acuan pelaksanaan proyek namun sayangnya keberadaan konsultan
tersebut tidak berlangsung lama. Gambaran yang direkomendasikan mengenai
konsep tentang mekanisme pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai sebelum
lunas kredit dapat dilihat pada Gambar 10.
61
Gambar 10. Mekanisme pengelolaan proyek sebelum lunas kredit
Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa badan pengelola masih merupakan
kepanjangan tangan dari perusahaaan inti di lokasi proyek, namun peran badan
pengelola disini selain harus berkoordinasi dengan perusahaan inti juga sudah
harus melaksanakan keputusan yang telah diambil oleh lembaga forum
komunikasi. Dalam mengantisipasi dan melaksanakan peran tersebut lembaga
badan pengelola harus menciptakan sistem kerja yang lebih profesional baik
dalam lingkup internal organisasi badan pengelola maupun ke perusahaan inti.
Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi didalam organisasi badan pengelola
dapat dilihat pada Gambar 11.
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Daerah
Bank Konsultan
FORUM
KOMUNIKASI KUD Perusahaan
Inti Suplier
OUTPUT :
- Aturan & Kesepakatan
- Sanksi dan lain-lain
Badan Pengelola
(Perusahaan Inti)
Petani Tambak
Plasma
Operasional Budidaya
62
WEEKLY MEETINGWEEKLY MEETING
WEEKLY MEETING
PIMPINAN
PERTEMUAN
BULANAN
PERTEMUAN
MINGGUAN
LAPORAN KE
MANAJEMEN
-KERJASAMA DARI
SEMUA SEKSI
- USULAN JADWAL
PERENCANAAN
- MASUKAN INFORMASI
DAN GAGASAN
- DISKUSI
PERMASALAHAN DAN
KENDALA
KEPUTUSAN / KEBIJAKAN
KEPUTUSAN DIAMBIL BERDASARKAN
KAJIAN PERMASALAHAN PROYEK
SECARA MENYELURUH OLEH SEMUA
KEPALA SEKSI
PELAKSANAAN APLIKASI PEKERJAAN
SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG
TELAH DIAMBIL
PERTEMUAN MINGGUAN BERIKUTNYA
MENGKAJI PERMASALAHAN SEBELUMNYA
DAN MENGAGENDAKAN KEMBALI
PERMASALAHAN PROYEK
LAPORAN
Gambar 11. Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi
Lingkup kegiatan operasional budidaya di lokasi proyek yang merupakan
tugas dari badan pengelola bukan hanya terfokus dalam hal teknis budidaya udang
saja tetapi lebih luas lagi yaitu meliputi pengajuan program, pelaporan,
perhitungan hasil panen plasma dan lain-lain. Oleh karena itu dalam menunjang
kelancaran operasional dilapangan diperlukan sistem koordinasi kerja yang baik
dalam hal usulan anggaran antara badan pengelola dengan kantor pusat
perusahaan inti. Pada Gambar 12 dapat dilihat mekanisme prosedur pengesahan
anggaran dari badan pengelola kepada perusahaan inti.
63
Rencana Anggaran
Biaya Dari Masing-
Masing Bagian
Pengolahan Data
Analisis
Keuangan
ACC
ACC
Site Manager
Tidak
Ya
Tidak
Usulan Anggaran
Operasional Lapangan
Ya
Kantor Pusat
Perusahaan
Inti
Distribusi ke
Masing-
masing Bagian
Analisis
KeuanganACC
Tidak
Direksi
Ya
DisahkanTidak
Pedoman Kerja
Ya
Gambar 12. Prosedur pengesahan anggaran
Selama pelaksanaan proyek perhatian lebih banyak terfokus kepada
bagaimana kredit tersebut dapat lunas sesuai dengan target waktu yang ditetapkan,
namun kajian mengenai konsep mekanisme pengelolaan proyek perintis TIR
transmigrasi Jawai pasca lunas kredit belum dipersiapkan. Kajian mengenai
konsep pengelolaan proyek pasca pelunasan kredit tersebut sudah harus
dipersiapkan jauh hari sebelumnya karena 1) dimaksudkan agar KUD dan
plasma pada saatnya sudah siap menggantikan posisi perusahaan inti sehingga
kontinuitas operasional budidaya tetap dapat berlangsung, 2) pengelolaan
budidaya udang dalam satu kawasan memerlukan kerjasama yang terpadu antar
plasma dan 3) adanya infrastruktur seperti petak tambak, saluran irigasi dan lain-
lain yang sudah dibangun memerlukan biaya perawatan secara berkala. Gambaran
64
konsep mengenai mekanisme pengelolaan model TIR pasca lunas kredit dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Mekanisme pengelolaan pasca lunas kredit
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pada fase pasca pelunasan kredit,
posisi perusahaan inti sudah digantikan oleh KUD. Pada fase ini kemitraan antara
KUD dengan mantan perusahaan inti tidak selalu harus terputus. Beberapa bentuk
pola kemitraan masih mungkin dapat dilakukan diantaranya 1) pola kemitraan
dengan kesepakatan jaminan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output
dan kontrak harga, 2) pola kemitraan yang hanya memiliki kesepakatan jaminan
penyediaan produksi dan pemasaran output atau 3) hanya sebagai penyedia sarana
produksi.
Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa kedudukan lembaga badan pengelola
lebih independent dibandingkan dengan pada saat fase sebelum lunas kredit
karena tidak berada dibawah garis koordinasi KUD. Dengan kedudukan seperti itu
maka badan pengelola sudah mempunyai otoritas sebagai komandan di lapangan,
hal ini disebabkan karena badan pengelola merupakan lembaga yang mempunyai
tugas melaksanakan hasil keputusan dari lembaga forum komunikasi yang
Konsultan Bank
KUD Suplier
Mantan
Perush. Inti
atau Swasta
lain
Pemerintah
Daerah
FORUM
KOMUNIKASI Petani Tambak
Plasma
OUTPUT :
- Aturan & Kesepakatan
- Sanksi dan lain-lain
Badan Pengelola
Operasional Budidaya
Pemerintah
Pusat
65
merupakan otoritas tertinggi dalam ruang lingkup proyek. Oleh karena itu badan
pengelola mempunyai kewenangan sebagai eksekutor untuk menjatuhkan sanksi
di lapangan sesuai dengan aturan yang berlaku dan harus dipertanggung jawabkan
pada lembaga forum komunikasi. Struktur organisasi badan pengelola sebagai
komandan lapangan tersebut dapat dilihat pada gambar 14.
BUDIDAYA DAN
KEUANGAN
ASISTEN
TEKNIKBAGIAN
UMUMPRODUKSI KEAMANAN KEUANGAN ADMINISTRASI
SITE MANAGER
BADAN PENGELOLA
FORUM KOMUNIKASI
AUDIT
KONSULTAN
MEKANIK LABORATORIUMKEPALA UNIT
KEPALA BLOK
PLASMA
LOGISTIK
Gambar 14. Struktur organisasi badan pengelola
Secara umum dapat dikatakan bahwa peran lembaga badan pengelola baik
pada fase sebelum dan sesudah lunas kredit menjadi salah satu faktor yang
penting dalam menentukan keberhasilan proyek. Hal ini disebabkan karena peran
yang strategis dari badan pengelola, yaitu; 1) badan pengelola adalah lembaga
pengambil keputusan di lapangan yang menentukan waktu pelaksanaan penebaran
benur, panen dan lain sebagainya yang akhirnya akan mempengaruhi performa
cash flow keuangan proyek, 2) badan pengelola bertanggung jawab terhadap
pembinaan teknis budidaya udang yang dampaknya akan langsung berpengaruh
66
terhadap tingkat keberhasilan proyek, 3) badan pengelola merupakan lembaga di
lapangan yang membuat program kerja yang termuat dalam usulan anggaran yang
akan menentukan performa kinerja operasional proyek, dan 4) profesionalisme
kerja badan pengelola dalam hal stock input dan output barang akan berdampak
positif untuk mengetahui performa analisis laba/rugi per petak tambak pada setiap
saat dalam pengambilan keputusan waktu panen. Untuk mengantisipasi peran dari
badan pengelola yang strategis tersebut diperlukan pola sistim kerja baku yang
meliputi tugas dan tanggung jawab (job description) dari masing-masing bagian.
Pada Gambar 15 memperlihatkan implementasi pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab (job description) dari masing-masing bagian pada badan pengelola.
Rencana
Pengelolaan
Produksi
Rencana
Pelaksana
Rencana &
Daftar
Kebutuhan
Bahan
Rencana
Alokasi Input
Harian
Aktivitas
Monitoring
Pertumbuhan
& Stock
Rekap Data
Mingguan
Internal
Estimasi
Pertumbuhan &
Kebutuhan
Input
Rekap Data
Komulatif
Input/Siklus
Rencana
Operasional
Laporan Output
Aktivitas
Pemberian
Pakan Harian
Aktivitas
Manajemen
Kualitas Air
Status
Kemajuan
Efisiensi
Pemakaian
Input
Estimasi
Produksi
Distribusi
Kumulatif
Input/Output
Integrasi Input
Fisik dan Input
Finance
Kalkulasi Biaya
Produksi
Terima & Pakai
Barang
Rekap Kartu
Stock
Site
Manager
Kepala
Unit
Kepala Blok
(PPL)
Penggarap
(Plasma)Pengawas
BudidayaAkunting Logistik
Gambar 15. Implementasi job description badan pengelola
67
Upaya mengoperasikan kembali TIR Transmigrasi Jawai
Sebelum mengkaji kelembagaan dalam upaya untuk mengoperasikan
kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan terlebih dahulu yaitu 1) status kepemilikan lahan tambak harus
diperjelas mengingat sertifikat lahan tambak pada saat akad kredit adalah atas
nama plasma. Status kepemilikan lahan tambak adalah milik Bank Kalbar, hal ini
dikarenakan proyek ini sampai dengan saat ini dalam kondisi stagnan sehingga
dapat dikategorikan sebagai kredit macet, 2) status hutang plasma harus diperjelas
mengingat sampai dengan saat ini belum ada plasma yang berhasil melunasi
kredit. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pembahasan mengenai status hutang
plasma, namun status hutang plasma tentunya akan menjadi pertimbangan Pemda
/ Bank Kalbar dalam mengambil keputusan dalam rangka untuk mengoperasikan
kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai.
Menurut Yulianto 1997, kegagalan produksi menyebabkan pelaku
agribisnis melakukan penyesuaian kelembagaan. Kelembagaan tersebut
menekankan pada hubungan principal agent, yang pada taraf operasional
ditetapkan melalui sistem kontrak baik formal maupun informal. Kondisi ini
menyebabkan principal mau mendistribusikan resiko dan manfaat kepada agent.
Selanjutnya dijelaskan bahwa model kontrak usaha tambak (contract farming)
dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu 1) kontrak menurut model TIR, yaitu
kerjasama antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma, 2)
kontrak menurut hubungan sistem bagi hasil formal yang selanjutnya disebut
sebagai kerjasama operasional (KSO) yaitu kerjasama antara petambak dengan
perusahaan menurut perjanjian tertentu, dan 3) kontrak menurut hubungan
tradisional yaitu kerjasama antara petambak dengan pedagang / tengkulak yang
berlangsung secara informal. Selain kontrak yang telah disebutkan diatas, masih
ada kontrak usaha tambak yang umum dilakukan yaitu sewa lahan, yaitu bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh petambak dengan jalan menyewakan lahan
tambak miliknya kepada perusahaan atau perorangan. Berikut ini apabila
diasumsikan bahwa plasma sebagai pemilik lahan tambak, maka berdasarkan
kajian struktur kelembagaan terhadap model kontrak usaha tambak (contract
farming) dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut:
68
Kelembagaan contract farming model TIR
1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa inti memegang kewenangan penuh
dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan sebelum kredit lunas maka lahan masih
dikuasai oleh perusahaan inti sebagai penjamin kredit. Harga udang ditentukan
oleh inti, sehingga harga jual udang yang tinggi merupakan insentif bagi
plasma untuk memiliki tambak.
3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma tidak dapat memutuskan
sendiri berkaitan dengan usaha budidaya udang karena terikat dengan aturan
main (rules) yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa perusahaan inti lebih banyak
mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, hal ini mengingat
perusahaan inti sebagai penjamin kredit mempunyai resiko lebih besar dibanding
plasma karena plasma pada dasarnya belum mempunyai agunan (baru calon
pemilik tambak).
Kelembagaan contract farming KSO
1. Batas yuridiksi, sama dengan model TIR yaitu bahwa inti memegang
kewenangan penuh dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh
perusahaan, tetapi harga udang ditentukan oleh perusahaan dan plasma tidak
berhak menjual kepada pihak lain.
3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma tidak dapat memutuskan
sendiri berkaitan dengan usaha budidaya udang karena terikat dengan aturan
main (rules) yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa inti masih memiliki kewenangan
dalam mengambil keputusan dalam hal harga udang dan teknologi. Sistim bagi
hasil yang diterapkan sudah menunjukkan upaya pendistribusian resiko, namun
resiko lebih besar masih condong kepada perusahaan inti mengingat kerugian
yang harus ditanggung bila terjadi gagal panen.
69
Kelembagaan contract farming hubungan tradisional
1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa tengkulak mempunyai kewenangan
penuh dalam keputusan meminjamkan kuantitas sarana produksi. Plasma
mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan aktifitas budidaya.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan sumberdaya lahan dimiliki oleh plasma tetapi
tengkulak mempunyai klaim agar plasma tidak menjual udang ke pihak lain.
Apabila ketentuan ini dilanggar, maka tengkulak akan memutuskan kerjasama
pada musim tanam berikutnya.
3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma mempunyai kewenangan
dalam hal aktifitas budidaya, namun jumlah input sarana produksi merupakan
kewenangan tengkulak.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa plasma dan tengkulak
memiliki kewenangan sesuai dengan kepemilikannya dan sudah terbentuk
kepercayaan antara satu sama lain.
Kelembagaan contract farming sewa
1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan penuh
dalam melaksanakan aktifitas budidaya sedangkan plasma sudah tidak
mempunyai kewenangan lagi.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan bahwa sumberdaya masih dimiliki oleh
plasma tetapi penyewa mempunyai kewenangan untuk memutuskan penjualan
udang.
3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan
penuh atas aturan dalam aktifitas budidaya sebagai kompensasi atas
pembayaran sewa lahan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai
kewenangan penuh atas aktifitas kegiatan budidaya sedangkan plasma
memperoleh imbalan berdasarkan kesepakatan nilai harga sewa.
Berdasarkan uraian diatas, maka dari segi pengendalian resiko dalam
kerangka contract farming pada kontrak usaha model TIR, KSO, hubungan
tradisional dan sewa menunjukkan bahwa pihak plasma memperoleh kemudahan
dalam hal penjualan hasil produksi dan memperoleh input produksi. Pihak
perusahaan dalam model TIR melakukan pengendalian resiko melalui aktififitas
70
budidaya yang dilakukan oleh plasma dengan melakukan pembinaan teknis
budidaya yang dibagi dalam sistim kelompok, blok dan unit.
Secara ringkas kerangka kelembagaan menurut model kontrak usaha
tambak dapat dijelaskan sebagai berikut 1) Model TIR membagi resiko dengan
jalan struktur kontrak yang berisi hak dan kewajiban, insentif dan sanksi, 2)
Model KSO melakukan pendistribusian resiko dengan jalan memberikan insentif
terhadap pekerja, 3) Model hubungan tradisional melakukan penjaminan resiko
melalui peminjaman kapital yang mengakibatkan ikatan kepada plasma dan 4)
Model sewa melakukan pengalihan resiko melalui kesepakatan harga nilai sewa.
Diantara empat model kontrak tersebut, model kontrak usaha TIR secara
implisit dalam aturan main (rules of the games) menyatakan bahwa salah satu
orientasi usaha ini adalah dalam rangka untuk kepemilikan tambak oleh plasma.
Model kontrak usaha KSO dan sewa dapat diatur sedemikian rupa (dimodifikasi)
sehingga kesepakatan dalam aturan main sudah memasukan komponen cicilan
tambak oleh plasma. Oleh karena itu pada kontrak KSO dan sewa biasanya waktu
yang dibutuhkan plasma untuk memiliki tambak sendiri bersifat statis (tetap)
karena sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan model kontrak usaha TIR,
plasma dapat memiliki tambak sendiri lebih cepat dari target waktu yang telah
ditetapkan, yaitu apabila plasma memperoleh keuntungan yang besar dari hasil
panen maka plasma tersebut dapat menyisihkan sebagian keuntungannya untuk
mencicil tambak lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan. Berdasarkan uraian
tersebut, maka model kontrak usaha TIR adalah yang paling tepat diterapkan pada
proyek perintis TIR transmigrasi Jawai karena tujuan utama program pola TIR
adalah dalam rangka plasma dapat memiliki tambak sendiri.
Dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali proyek TIR
Transmigrasi Jawai, maka beberapa alternatif kemungkinan yang dapat diambil
oleh Pemda / Bank Kalbar adalah sebagai berikut :
a. Dikelola oleh Pemerintah Daerah / Bank Kalbar.
- Secara keseluruhan (total) dikelola oleh Pemda / Bank Kalbar, alternatif ini
dirasakan sulit dilaksanakan mengingat keterbatasan dana yang dimiliki.
- Sebagian dikelola oleh Pemda / Bank Kalbar yang sumber pembiayaannya
diharapkan dari hasil penerimaan KSO dan atau sewa.
71
- Dalam rangka keberlanjutan usaha, maka sebagian (10 petak tambak) dapat
dijadikan sebagai petak percobaan untuk tujuan research and development
(R&D).
b. Menerapkan model TIR dengan mendatangkan investor sebagai inti.
- Penerapan model TIR dapat dilakukan secara total atau sebagian.
- Kemungkinan dapat terjadi ada beberapa perusahaan inti dalam satu kawasan
proyek.
b. Melakukan kerjasama operasional (KSO) dengan pihak ketiga.
- KSO dengan pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian.
- Pemda / Bank Kalbar dalam hal ini menerima bagi hasil berdasarkan
penyertaan modal (sharing) berupa aset tambak, oleh karena itu diperlukan
lembaga/badan yang bertugas untuk memonitor pelaksanaan kerjasama
tersebut.
c. Disewakan dengan Pihak Ketiga.
- Disewakan kepada pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian.
- Pemda dalam hal ini menerima hasil berdasarkan kesepakatan harga nilai
sewa.
Untuk menunjang langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemda / Bank Kalbar ,
maka yang perlu diperhatikan adalah setiap keputusan model kontrak yang akan
diambil adalah harus berdasarkan per blok, hal ini disebabkan karena sistem
pengelolaan tata air tambak di lokasi proyek adalah dengan menggunakan pompa
yang kemudian dialirkan ke masing-masing petak dalam satu blok (bukan satu
pompa untuk satu petak).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka langkah strategis yang harus
diambil oleh Pemda adalah membentuk badan pengelola yang bertugas sebagai
lembaga yang bertanggung jawab selain untuk mempersiapkan upaya
mengoperasikan kembali TIR transmigrasi Jawai juga nantinya akan bertugas
untuk memonitor pelaksanaan operasional dilapangan.