IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...
-
Upload
nguyenhanh -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...
35
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
Keadaan umum daerah penelitian meliputi, keadaan administratif daerah,
tata guna lahan, dan mata pencaharian penduduk. Keadaan umum didapat dari
data profil Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
4.1.1 Administratif Daerah
Desa Cibodas merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat dan terletak 1.260
mdpl di atas ketinggian laut. Desa Cibodas memiliki curah hujan 1.781,42 mm
dan suhu rata-rata harian 19-22°C. Bagian utara Desa Cibodas berbatasan dengan
Desa Wangunharja, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cimenyan, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Langensari, dan sebelah timur berbatasan dengan
Desa Suntenjaya.
4.1.2 Tata Guna Lahan
Tata guna lahan Desa Cibodas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Tata Guna Lahan Desa Cibodas
No. Kegunaan Lahan Luas Lahan (Ha) Jumlah (%)
1. Pemukiman 113,50 8,92 2. Pertanian 637,74 50,17 3. Hutan Lindung 351,00 27,61 4. Pemakaman 0,90 0,08 5. Pekarangan 130,00 10,23 6. Taman 1,00 0,08 7. Perkantoran 0,50 0,04 8. Luas prasarana umum lainnya 36,50 2,87
Total Luas Lahan 1271,14 100,00
Sumber : Monografi Desa Cibodas 2014
36
Ketersedian bahan pakan di suatu daerah yang digunakan bagi usaha
ternak harus diperhatikan dengan disertai daya dukung lahan di wilayah tersebut.
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa, luas lahan yang terbesar yaitu lahan pertanian
637,74 Ha (50,17%), ini menunjukkan bahwa ketersediaan pakan ternak yang
cukup banyak, baik yang berasal dari rumput lapangan ataupun pertanian sayur.
4.1.3 Mata Pencaharian Penduduk
Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk
No Jenis Pekerjaan Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan Orang %
1. Petani 553 44 597 23,64 2. Buruh Tani 789 299 1088 43,01 3. Buruh Migran 2 9 11 0,43 4. Pegawai Negeri Sipil 37 23 60 2,38 5. Pengrajin I. R. Tangga 3 6 9 0,36 6. Pedagang Keliling 39 14 53 2,10 7. Peternak 497 17 514 20,36 8. Montir 23 0 23 0,91 9. Dokter Swasta 1 0 1 0,04 10. Pembantu R. Tangga 7 18 25 1,00 11. TNI 3 0 3 0,12 12. POLRI 1 0 1 0,04 13. Pensiunan 29 4 32 1,26
PNS/TNI/POLRI 14. Pengusaha Kecil & 51 33 84 3,33
Menengah 15. Dukun Tradisional 0 1 1 0,04 16. Pengusaha Besar 13 2 15 0,60 17. Arsitektur 1 0 1 0,04 18. Seniman/Artis 6 0 6 0,24
Total 2055 470 2525 100,00
Sumber : Monografi Desa Cibodas 2014
Data Tabel 3 menunjukkan bahwa mata pencaharian yang paling besar di
sektor pertanian yaitu sebagai petani (23,64%) dan buruh tani (43,01%), hal ini
sesuai dengan luas lahan yang terbesar di Desa Cibodas yaitu lahan pertanian.
Melihat kondisi Desa Cibodas didominasi oleh sektor pertanian dan
peternakan, maka mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah seorang
37
petani (23,64%) dan peternak (20,36%). Ternak sapi perah merupakan ternak
yang paling mendominasi sebagai sumber pendapatan penduduk, karena sangat
produktif dan didukung oleh ketersediaan hijauan. Peternak sapi perah daerah
tersebut tergabung dalam anggota KPSBU.
4.2 Indentitas Responden
4.2.1 Umur Responden
Umur merupakan salah satu aspek yang berhubungan dengan kemampuan
seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Umur yang lebih muda akan lebih
responsif dalam menerima suatu inovasi bila dibandingkan dengan umur yang
lebih tua. Maka dari itu umur merupakan salah satu faktor yang menunjang
produktivitas dan keberhasilan suatu usaha. Untuk uraian lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengelompokkan Umur Responden
No. Kelompok Umur Jumlah Responden
….Tahun…. ….Orang…. ….%....
1. 15-55 29 82,86 2. 56-65 6 17,14
Jumlah 35 100,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya responden termasuk
pada usia produktif, yaitu umur 15-55 tahun sebesar 82,86%. Sedangkan
responden dengan usia kurang produktif, yaitu umur 56-65 tahun sebesar 17,14%.
Menurut Chandriyanti (2000), golongan umur minimal 15 tahun merupakan
golongan usia produktif, pada umumnya usia tersebut lebih aktif sehingga dapat
menjalankan usaha ternak dengan efektif. Menurut Sujanto (1986), bahwa
individu sampai usia 55 tahun masih dapat dikatakan produktif, bahkan pada umur
tersebut produktivitas dan kreativitas dalam kondisi memuncak, memiliki rasa
38
kewibawaan tinggi, merasa tanggung jawab terhadap masa yang akan datang
dalam hal melanjutkan tradisi luhur, dan merasa ada tujuan hidup yang bersifat
non materi, sehingga kehidupan manusia menjelma menjadi penuh arti dan
makna.
Peternak yang produktif diharapkan mampu untuk mengembangkan usaha
ternak sapi perahnya. Pada umumnya peternak yang masih berusia produktif
masih memiliki pemikiran yang panjang untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih layak sehingga masih memungkinkan peternak untuk terus berusaha dan
tertarik mengembangkan peternakan sapi perahnya, sedangkan usia lebih dari 55
tahun dikategorikan usia kurang produktif karena menurunnya daya tahan fisik.
4.2.2 Tingkat Pendidikan Formal dan Non Formal
Tingkat pendidikan formal responden bervariasi mulai dari SD, SMP,
sampai SMA. Responden yang berpendidikan, pada umumnya memiliki pola
pikir yang sudah terarah, serta berkeinginan untuk mencari informasi baru yang
dapat dipercaya untuk menambah pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan
merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian, karena dengan perantaraan
pendidikan, petani akan lebih mengenal pengetahuan, keterampilan, dan cara baru
dalam melakukan kegiatan (Mosher, 1981). Tingkat pendidikan responden dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Formal Responden
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Responden
….orang…. ….%....
1. Tamat SD 23 65,71 2. Tamat SMP 5 14,29 3. Tamat SMA 7 20,00
Jumlah 35 100,00
39
Sebagian besar responden merupakan tamatan SD sebesar 65,71%. Pada
umumnya ini terjadi karena mereka tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan karena pengaruh tuntutan orang tua yang
mengharuskan berusaha mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sementara responden yang pendidikan terakhirnya SMP sebesar 14,29%, dan
SMA sebesar 20,00%.
Umumnya, seseorang yang tingkat pendidikannya rendah memiliki
kekurangan dalam hal berkomunikasi baik lisan maupun tulisan bahkan lemah
dalam daya nalar. Dalam hal ini pendidikan formal merupakan hal yang penting
untuk mendukung berlangsungnya penerimaan tingkat penerapan inovasi di
kalangan peternak. Namun tingkat pendidikan formal yang rendah dapat
diperbaiki dengan pendidikan non formal diantaranya melalui penyuluhan pada
peternak dan lamanya beternak. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung
tingkat pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan secara keseluruhan yang
secara langsung berhubungan dengan dunia usahanya. Pendidikan formal bukan
satu-satunya faktor yang menentukan cepat atau lambatnya seorang peternak
untuk mengadopsi ide-ide baru, seperti dikemukakan Soeyitno (1969) bahwa
selain umur dan pendidikan, pengalaman beternak juga turut menentukan
keberhasilan dari suatu usaha peternakan.
Seluruh responden mendapatkan pendidikan non formal dari penyuluhan
yang disampaikan oleh pihak KPSBU. Materi penyuluhan diberikan sekitar 1
bulan sekali meliputi; manajemen pemeliharaan dan manajemen usaha.
Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku agar peternak tahu dan mampu
melaksanakan hal yang disuluhkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
40
4.2.3 Tingkat Pengalaman Beternak
Salah satu aspek atau faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha
ternak adalah pengalaman beternak, karena dari pengalaman seseorang dapat
mempelajari kemungkinan dan masalah yang akan terjadi, sehingga akan
membantu dalam mengambil keputusan.
Tabel 6. Tingkat Pengalaman Beternak Responden
No. Pengalaman Beternak Jumlah Responden
….tahun…. ….orang…. ….%.... 1. <5 0 0,00 2. 5-10 2 5,71 3. >10 33 94,29
Jumlah 35 100,00
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar (94,29%) responden memiliki
pengalaman beternak sapi perah >10 tahun. Hal ini memberikan pemahaman
bahwa mereka sudah lama beternak sapi perah. Umumnya peternak sapi perah
dilokasi penelitian merupakan peternak turunan dan sebagai anggota koperasi
yang mendapat pembinaan dari petugas KPSBU. Sebagian peternak yang
memiliki pengalaman beternak yang lebih lama bukan berarti memiliki jumlah
sapi yang lebih banyak. Hal ini dikarenakan Jumlah faktor penghambat,
kurangnya modal, kurang adanya keinginan yang kuat untuk meningkatkan usaha
ternaknya menjadi lebih baik. Dengan demikian, peran koperasi untuk
memberikan informasi yang intensif kepada peternak demi tercapainya
peningkatan usaha ternak yang lebih baik sangat diperlukan.
41
4.2.4 Kepemilikan Ternak Produktif
Kepemilikan ternak produktif pada responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Kepemilikan Ternak Produktif Responden
No. Skala Jumlah Ternak Produktif Jumlah Responden
….ekor…. ….orang…. ….%....
1. Kecil 1-3 27 77,14 2. Menengah 4-7 8 22,86 3. Besar >7 0 0,00
Jumlah 35 100,00
Responden memiliki ternak produktif variatif seperti tercantum pada Tabel
7. Sebagian besar skala kepemilikan ternak sapi perah responden (77,14%)
berada pada skala usaha kecil. Kepemilikan ternak produktif tersebut akan
berpengaruh secara langsung pada total produksi susu yang dihasilkan oleh para
peternak dan akan berakibat terhadap tingkat pendapatan ekonomi responden.
Dasuki dan Rahayu (1985), membagi skala kepemilikan ternak perah ke
dalam 3 skala, yaitu:
a. Skala usaha kecil (kepemilikan ternak 1-3 ekor)
b. Skala usaha menengah (kepemilikan ternak produktif antara 4-7 ekor)
c. Skala usaha besar (kepemilikan ternak produktif >7 ekor)
Kepemilikan skala usaha sapi perah yang besar akan menghasilkan output
yang besar juga. Sebagian besar skala kepemilikan ternak sapi perah responden
(77,14%) berada pada skala usaha kecil, hal ini dikarenakan terbatasnya lahan,
modal dan terbatasnya kemampuan reponden untuk menambah skala usahanya.
42
4.3 Perilaku Komunikasi Interpersonal
Perilaku komunikasi interpersonal peternak meliputi upaya memperoleh
informasi untuk meningkatkan produktivitas sapi perah dan kualitas susu yang
dihasilkannya. Cakupan komunikasi interpersonal peternak meliputi: (1) Jumlah
sumber informasi, (2) frekuensi bertemu dengan sumber informasi, (3) cakupan
informasi, (4) kejelasan dalam berkomunikasi, dan (5) tempat berkomunikasi
/konteks.
Tabel 8. Perilaku Komunikasi Interpersonal
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Jumlah sumber informasi 71,43 20,00 8,57 2. Frekuensi bertemu dengan sumber 48,57 37,14 14,29 3. Cakupan informasi 57,14 17,14 25,72 4. Kejelasan dalam berkomunikasi 48,57 34,29 17,14 5. Konteks berkomunikasi 51,43 25,71 22,86
Perilaku komunikasi interpersonal 51,43 37,14 11,43
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perilaku komunikasi
interpersonal responden yang ada di Desa Cibodas tergolong tinggi yaitu sebesar
51,43%. Hal ini ditunjukkan oleh semua indikatornya pada kategori tinggi yang
mencakup jumlah sumber informasi, frekuensi bertemu dengan sumber informasi,
cakupan informasi, kejelasan dalam berkomunikasi, dan konteks berkomunikasi
yang semuanya tergolong tinggi.
Para peternak, umumnya telah melakukan komunikasi dalam rangka
memenuhi kebutuhan informasinya baik sesama peternak, penyuluh maupun
dengan petugas dari koperasi. Frekuensi dilakukannya komunikasi tersebut cukup
sering, khususnya dengan sesama peternak. Informasi dari komunikasi yang
dilakukan telah mencakup informasi yang berhubungan dengan manajemen
pemeliharaan ternak dan manajemen usaha. Informasi mencakup kedua hal
43
tersebut sudah dipandang jelas oleh para peternak. Tempat dilakukannya
komunikasi dengan penyuluh dan petugas koperasi sudah memadai untuk
berlangsungnya komunikasi dengan baik.
Komunikasi akan efektif, jika orang yang berkomunikasi tersebut dapat
berganti peran di dalam menyampaikan pesannya, sehingga diperoleh tingkat
pemahaman atau persepsi yang sama terhadap pesan yang disampaikannya.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa peternak sapi perah di Desa Cibodas
melakukan proses komunikasi interpersonal dengan baik. Komunikasi antar
pribadi juga dapat dijelaskan sebagai hubungan antara dua individu yang ada
dalam satu lingkungan (Nasution, 1990).
4.3.1 Jumlah Sumber Informasi
Jumlah sumber informasi pada penelitian sebagai berapa jumlah sumber
informasi yang didatangi dan tingkat inisiatif peternak mendatangi sumber
tersebut.
Tabel 9. Jumlah Sumber Informasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Jumlah Sumber Informasi 45,71 42,86 11,43 2. Tingkat inisiatif 62,86 34,29 2,85
Jumlah sumber informasi 71,43 20,00 8,57
Hasil penelitian berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah sumber
informasi didalam perilaku komunikasi interpersonal peternak tergolong tinggi
yaitu 71,43%. Hal ini ditunjukkan oleh indikatornya yaitu jumlah sumber
informasi yang didatangi responden, menunjukkan bahwa sebanyak 45,71% pada
kategori tinggi dan tingkat inisiatif peternak yang tergolong tinggi pula 62,86%.
44
Sebagian besar peternak sapi perah di Desa Cibodas sudah mendatangi
sumber informasi, seperti kepada sesama peternak, maupun kepada penyuluh dan
instansi yang terkait. Inisiatif didalam mendatangi sumber informasi tersebut,
khususnya pada sesama peternak dan petugas koperasi, umumnya berasal dari
keinginan peternak itu sendiri. Para peternak ketika menemukan masalah atau
sesuatu yang perlu ditanyakan menyangkut keadaan sapi perah dan usahanya,
biasanya langsung mendatangi peternak lainnya, yang dianggap lebih tahu dari
dirinya. Demikian pula ketika, hal tersebut tidak bisa memuaskan peternak
tersebut, maka peternak akan menghubungi petugas koperasi.
Adanya fakta yang menunjukkan, bahwa peternak mencari informasi dari
tiga sumber, memberi gambaran bahwa peternak belum merasa cukup bila hanya
dari satu atau dua sumber informasi saja. Menurut Suranto (2011), proses
komunikasi melibatkan seorang komunikan atau penerima informasi dengan
seorang komunikator atau sumber informasi, apabila komunikan berinteraksi
dengan banyak komunikator maka akan diperoleh informasi yang dibutuhkan
segera menjadi lebih lengkap.
4.3.2 Frekuensi Bertemu Dengan Sumber
Frekuensi bertemu dengan sumber informasi menggambarkan tingkat
intensitas (frekuensi) peternak berkomunikasi dengan sumber informasi yaitu
petugas penyuluh dan sesama peternak.
Tabel 10. Frekuensi Bertemu Dengan Sumber
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Frekuensi bertemu petugas penyuluh 11,43 65,71 22,86 2. Frekuensi bertemu peternak lain 57,14 42,86 0,00
Frekuensi bertemu dengan sumber 48,57 37,14 14,29
45
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi bertemu dengan sumber
informasi peternak sebanyak 48,57% responden pada kategori tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh frekuensi bertemu dengan petugas penyuluh dan frekuensi
bertemu dengan peternak lain.
Bertemu peternak dengan sesama peternak lain (57,14%) tergolong
kategori tinggi, dikarenakan para peternak tersebut relatif dekat tempat tinggalnya
satu dengan yang lainnya. Disamping itu, karena hubungan emosional diantara
sesama peternak tersebut sangat baik, maka mereka tidak sungkan atau segan lagi
untuk saling mendatangi. Seringkali ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama, misalnya ketika sama-sama menyetorkan susu.
Frekuensi bertemu dengan petugas penyuluh (65,71%) tergolong kategori
sedang, karena petugas penyuluhan hanya datang apabila dihubungi oleh peternak
dan ada masalah pada ternak yang dimiliki oleh anggota koperasi. Petugas
penyuluh datang pada waktu-waktu tertentu seperti penyuluhan rutin dari pihak
koperasi atau penyuluhan rutin dari dinas-dinas pemerintah. Menurut Tubbs &
Moss (dalam Deddy Mulyana, 2001) menegaskan bahwa dalam interaksi
interpersonal antara komunikator dan komunikan haruslah terjaga keakrabannya
dalam hubungan mereka dengan seringnya bertemu maka informasi yang
dibutuhkan oleh komunikan akan mudah terpenuhi.
4.3.3 Cakupan Informasi
Cakupan informasi adalah tingkat kelengkapan informasi yang diterima
peternak, mencakup informasi aspek manajemen pemeliharaan dan manajemen
usaha.
46
Tabel 11. Cakupan Informasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Aspek manajemen pemeliharaan 37,14 62,86 0,00 2. Aspek manajemen usaha 34,29 40,00 25,71
Cakupan Informasi 57,14 17,14 25,72
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan informasi yang diterima
peternak di dalam perilaku komunikasi interpersonal pada indikatornya yaitu,
dalam aspek manajemen pemeliharaan yang tergolong kategori sedang (62,86%),
dan dalam aspek manajemen usaha yang tergolong kategori sedang juga
(40,00%). Hal ini dikarenakan dari sebagian peternak cukup mengetahui
mengenai aspek manajemen pemeliharaan dan manajemen usaha dari pengalaman
mereka beternak.
Namun untuk cakupan informasi yang diterima peternak di dalam perilaku
komunikasi interpersonal sebanyak 57,14% responden tergolong pada kategori
tinggi. Menurut Suranto (2011) faktor keberhasilan dalam berkomunikasi dilihat
dari sudut pesan bahwa pesan komunikasi interpersonal perlu dirancang dan
disampaikan sedemikian rupa, sehingga pesan-pesan tersebut disampaikan secara
jelas dan sesuai dengan kondisi maupun situasi setempat.
4.3.4 Kejelasan Dalam Berkomunikasi
Kejelasan dalam berkomunikasi peternak adalah tingkat kejelasan atau
mudah dipahaminya informasi yang diterima peternak, baik dalam aspek
manajemen pemeliharaan maupun dalam aspek manajemen usaha.
47
Tabel 12. Kejelasan Dalam Berkomunikasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Informasi manajemen pemeliharaan 42,86 57,14 0,00 2. Informasi manajemen usaha 11,43 68,57 20,00
Kejelasan dalam berkomunikasi 48,57 34,29 17,14
Hasil penelitian berdasarkan Tabel 12 menunjukkan bahwa kejelasan
dalam berkomunikasi (48,57%) responden tergolong pada kategori tinggi. Namun
untuk informasi manajemen pemeliharaan tergolong pada kategori sedang
(57,14%) juga kejelasan dalam informasi manajemen usaha tergolong pada
ketegori sedang (68,57%). Hal ini dikarenakan dari sebagian peternak cukup
mengetahui mengenai aspek manajemen pemeliharaan dan manajemen usaha.
Para peternak umumnya memandang bahwa informasi yang disampaikan oleh
sumber informasi cukup jelas.
Kejelasan informasi yang disampaikan sebenarnya akan berhubungan pula
dengan kemampuan dari sumber informasi didalam menyampaikan pesan-
pesannya. Dari sisi peternak sapi perah sebagai penerima informasi, informasi
yang disampaikan baik oleh penyuluh, maupun dari peternak lainnya, yang
menyangkut informasi dalam manajemen pemeliharaan dan manajemen usaha
dipandang peternak relatif cukup jelas. Menurut (Hardjana, 2003) bahwa dalam
komunikasi interpersonal yang efektif pesan yang dapat diterima dan dipahami
oleh komunikan sebagaimana dimaksud oleh komunikator harus sesuai, sehingga
informasi yang disampaikan haruslah jelas.
48
4.3.5 Konteks Berkomunikasi
Konteks berkomunikasi adalah tingkat ketepatan dalam hal tempat dan
waktu dilakukan proses komunikasi.
Tabel 13. Konteks Berkomunikasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Tempat 42,86 48,57 8,57 2. Waktu 34,29 45,71 20,00
Konteks berkomunikasi 51,43 25,71 22,86
Berdasarkan Tabel 13 konteks berkomunikasi dalam komunikasi
interpersonal peternak (51,43%) responden tergolong pada kategori tinggi. Untuk
indikator konteks berkomunikasi ditunjukkan oleh dipandang cukup tepatnya
tempat berlangsungnya komunikasi (48,57%) tergolong pada kategori sedang dan
cukup tepatnya waktu dilaksanakannya komunikasi (45,71%) tergolong kategori
sedang.
Tingkat ketepatan komunikasi berbanding terbalik dengan adanya
gangguan atau noise faktor didalam komunikasi. Para peternak TPK Cibodas
memandang bahwa tempat dilakukannya komunikasi sudah cukup mendukung
untuk berhasilnya komunikasi interpersonal, dimana untuk terjadinya proses
komunikasi antara komunikan dan komunikator melakukannya di sekitar halaman
kandang. Untuk waktu dilakukannya komunikasi interpersonal peternak sudah
dipandang cukup tepat. Waktu yang digunakan, bila dengan penyuluh adalah
ketika siang hari. Untuk komunikasi dengan sesama peternak sangat fleksibel,
umumnya dilakukan ketika saat-saat bersama melakukan penyetoran susu atau
sengaja datang kerumah sesama peternak. Suranto (2011) menyatakan bahwa
dalam konteks menunjukkan waktu yang konkrit dan tempat terjadinya
komunikasi, jadi sangat perlu diperhatikan agar komunikasi interpersonal dapat
49
berjalan secara efektif. Artinya, pihak komunikator dan komunikan perlu
mempertimbangkan konteks komunikasi ini.
4.4 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Informasi
Tingkat pemenuhan kebutuhan informasi adalah tingkat pengetahuan dan
pelaksanaan peternak terhadap aspek manajemen pemeliharaan dan aspek
manajemen usaha. Dalam hal ini digunakan empat indikator, yaitu : (1)
pengetahuan manajemen pemeliharaan, (2) pengetahuan manajemen usaha, (3)
pelaksanaan manajemen pemeliharaan, dan (4) pelaksanaan manajemen usaha.
Tabel 14. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Informasi
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%.....
1. Pengetahuan manajemen 80,00 20,00 0,00 pemeliharaan
2. Pengetahuan manajemen usaha 62,86 37,14 0,00 3. Pelaksanaan manajemen 22,86 77,14 0,00
pemeliharaan 4. Pelaksanaan manajemen usaha 77,14 22,86 0,00
Tingkat pemenuhan kebutuhan 57,14 42,86 0,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan
informasi peternak sebanyak 57,14% responden tergolong pada kategori tinggi.
Terdapat salah satu indikator yang tergolong kategori sedang yaitu, pelaksanaan
manajemen pemeliharaan (77,14%), hal ini dikarenakan dari kemampuan dan
keadaan peternak yang terbatas. Namun indikator pengetahuan manajemen
pemeliharaan (80,00%), pengetahuan manajemen usaha (62,86%), dan
pelaksanaan manajemen usaha (77,14%) tergolong pada kategori tinggi.
Para peternak umumnya mengetahui dengan baik perihal manajemen
pemeliharaan dan manajemen usaha. Peternak umumnya sudah mengetahui bibit
50
ternak yang baik, pengaturan reproduksi, tatalaksana pakan ternak, pemeliharaan,
dan kesehatan ternak. Peternak juga umumnya sudah mengetahui dengan baik
mengenai meningkatkan efisiensi usaha dan pendapatan usaha seperti sapi yang
sudah tidak berproduksi di afkir, hijauan menanam sendiri, menambah jumlah
sapi, meningkatkan produktivitas dan mengolah limbah kotoran sendiri.
Menurut Santosa, dkk (2009), keuntungan usaha dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu efisiensi faktor-faktor produksi dan peningkatkan harga output.
Output usaha sapi perah didasarkan pada pengukuran total produksi susu dan
produksi ternak (pedet dan sapi afkir) selama periode satu tahun.
4.4.1 Pengetahuan Manajemen Pemeliharaan
Pengetahuan manajemen pemeliharaan adalah tingkat pengetahuan
peternak di dalam aspek teknis dalam beternak. Dalam melihat hal ini digunakan
lima indikator, yaitu: (1) tatalaksana bibit dan reproduksi, (2) tatalaksana makanan
ternak, (3) tatalaksana pemeliharaan, (4) tatalaksana kandang dan peralatan, dan
(5) kesehatan ternak.
Tabel 15. Pengetahuan Manajemen Pemeliharaan
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Bibit dan reproduksi 34,29 54,28 11,43 2. Tatalaksana makanan ternak 45,71 54,29 0,00 3. Tatalaksana pemeliharaan 48,57 45,72 5,71 4. Tatalaksana kandang dan peralatan 80,00 17,14 2,86 5. Kesehatan ternak 74,29 25,71 0,00
Penget. Mnj.Pemeliharaan 80,00 20,00 0,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80,00% responden menunjukkan
pengetahuan manajemen pemeliharaan tergolong pada kategori tinggi. Terdapat
dua indikator yang tergolong kategori sedang yaitu, bibit dan reproduksi (54,28%)
51
dan tatalaksana makanan ternak (54,29%). Hal ini dikarenakan peternak sudah
cukup mengetahui mengenai dua indikator tersebut. Namun terdapat tiga indikator
yang tergolong kategori tinggi yaitu, tatalaksana pemeliharaan (48,57%),
tatalaksana kandang dan peralatan (80,00%), dan kesehatan ternak (74,29%).
Pengalaman peternak di dalam melaksanakan usaha ternak sapi perahnya
yang rata-rata sudah diatas 20 tahun, menjadikan peternak mengetahui manajemen
pemeliharaan sapi perah dengan baik. Tatalaksana bibit dan reproduksi, para
peternak umumnya cukup mengetahui. Menurut Dinas Peternakan (1991), cara
menyeleksi bibit dapat dilihat dari silsilah, produksi susu induknya dan
penampilan eksteriornya. Untuk memilih sapi betina berdasarkan produksi susu
adalah dengan melihat catatan produksi susu yang lengkap dengan melihat atau
memperhatikan sudah berapa bulan sapi menghasilkan susu sejak beranak yang
terakhir. Perkawinan dilakukan saat sapi betina menunjukkan birahi. Selain
dikawinkan dengan pejantan, anak sapi dapat diperoleh dengan sistem Inseminasi
Buatan (IB).
Dalam hal tatalaksana makanan ternak, para peternak umumnya cukup
mengetahui kondisi pakan yang baik. Peternak sudah mengetahui cara pemberian
rumput, yaitu rumput dapat diberikan dua kali sehari dan dipotong-potong
sebelum diberikannya. Dalam pemberian konsentrat juga sudah tergolong baik
dimana peternak sudah mengetahui sesuai dengan kebutuhan ternak. Menurut
Dasuki, dkk (1997), makanan pokok bagi ternak-ternak sapi perah terdiri dari
hijauan dan konsentrat. Hijauan kaya akan kandungan vitamin dan tinggi kadar
serat kasarnya, sedangkan konsentrat kaya akan kandungan protein, lemak dan
mineral, sehingga kedua jenis bahan pakan ternak tersebut mutlak perlu ada dalam
ransum. Juga dalam aspek tatalaksana pemeliharaan ternak, peternak sudah
mengetahui sapi yang dipelihara dan kandangnya untuk dibersihkan atau
dimandikan, terutama bila sudah terlihat kotor. Sapi secara teratur diperah dua
kali sehari, yaitu pagi dan sore hari. Menurut Soeharno dan Nazaruddin (1994),
kulit sapi mudah sekali kotor terutama karena makanan, keringat atau kotorannya
52
sendiri. Oleh karena itu, sapi sebaiknya dimandikan dan disikat sehari sekali.
Begitu pula kandang sebaiknya dibersihkan setiap hari dari kotoran dan sisa-sisa
makanan.
Dalam hal tatalaksana kandang, peternak kurang mengetahui mengenai
letak kandang yang seharusnya memanjang Utara-Selatan , tetapi untuk drainase,
dan peralatan kandang sudah cukup mengetahui dengan baik. Kontruksi kandang
umumnya sudah berlantai semen dan tiang penyangga terbuat dari kayu.
Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), kandang dibuat berjauhan dengan
rumah tinggal dan bangunan-bangunan umum juga diusahakan kandang
mengahadap ke arah matahari terbit. Didalam kandang dibuat sistem drainase
atau pengaliran air agar kotoran mudah dibersihkan dan air buangan mengalir
lancar. Didaerah yang berangin kencang, dinding kandang dapat diganti dengan
menanam pepohonan dekat kandang. Lantai dibuat dari semen dengan kondisi
tidak licin dan diberi alas yang terbuat dari karet. Para peternak menggunakan
genting sebagai atap. Peralatan kandang yang perlu disiapkan antara lain tempat
pakan dan minum serta alat pembersih kandang seperti sapu lidi dan ember.
4.4.2 Pengetahuan Manajemen Usaha
Pengetahuan manajemen usaha adalah tingkat pengetahuan peternak dalam
rangka meningkatkan efisiensi usaha dan pendapatan usaha.
Tabel 16. Pengetahuan Manajemen Usaha
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Meningkatkan efisiensi usaha 51,43 48,57 0,00 2. Meningkatkan pendapatan usaha 48,57 51,43 0,00
Pengetahuan manajemen usaha 62,86 37,14 0,00
53
Hasil penelitian menunjukkan 62,86% responden dalam pengetahuan
manajemen usaha tergolong kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh indikator
yaitu tingkat pengetahuan responden dalam meningkatkan efisiensi usaha yang
tergolong kategori tinggi (51,43%) dan terdapat satu faktor yang tergolong
kategori sedang (51,43) yaitu untuk meningkatkan pendapatan usaha.
Peternak umumnya sudah cukup mengetahui cara untuk meningkatkan
efisiensi usahanya seperti sapi yang sudah tidak berproduksi di afkir, hijauan
menanam sendiri, sedangkan untuk meningkatkan pendapatan usaha seperti
mengolah limbah kotoran ternak. Namun untuk menambah jumlah sapi, peternak
masih belum mampu karena terbatasnya lahan.
Untuk sapi yang berproduksi rendah, sebagian besar responden menahan
terlebih dahulu ternak tersebut, mereka akan mengusahakan agar produksi susu
ternak yang mereka pelihara menjadi naik, hal tersebut umumnya dilakukan
melalui perbaikan pakan yang diberikan, apabila tidak membuahkan hasil maka
ternak tersebut diafkir. Santosa, dkk (2009), mengemukakan bahwa keuntungan
usaha dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu efisiensi faktor-faktor produksi dan
peningkatkan harga output. Output usaha sapi perah didasarkan pada pengukuran
total produksi susu dan produksi ternak (pedet dan sapi afkir) selama periode satu
tahun. Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan pendapatan peternak sapi
perah rendah. Pertama, adalah rendahnya harga susu dibandingkan dengan pakan.
Kedua, kesadaran peternak untuk memanfaatkan kotoran sapi sehingga tercipta
nilai tambah bagi peternak masih rendah. Ketiga, produksi susu per ekor masih
rendah.
4.4.3 Pelaksanaan Manajemen Pemeliharaan
Pelaksanaan manajemen pemeliharaan adalah tingkat pelaksanaan
peternak dalam menjalankan aspek teknis dalam beternak.
54
Tabel 17. Pelaksanaan Manajemen Pemeliharaan
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Tatalaksana bibit dan reproduksi 28,57 54,29 17,14 2. Tatalaksana makanan ternak 37,14 62,86 0,00 3. Tatalaksana kandang 17,24 45,72 37,14
Pelaksanaan manajemen 22,86 77,14 0,00 pemeliharaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 77,14% responden
menunjukkan pelaksanaan manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh
peternak tergolong kategori sedang. Hal tersebut berkaitan dalam pemeliharaan
dan pelaksanaan tatalaksana bibit yang tergolong kategori sedang (54,29%),
tatalaksana makanan ternak yang tergolong kategori sedang (62,86%) dan juga
tatalaksana kandang yang tergolong kategori sedang (45,72%).
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa para responden dalam
tatalaksana reproduksi dan bibit cukup mengerti. Hal ini terlihat dari kondisi sapi
perah yang dimilikinya tergolong cukup baik. Tatalaksana makanan ternak,
peternak memberikan hijauan sebanyak 2 kali sehari, hijauan yang diberikan pada
umumnya rumput gajah. Hijauan tersebut dipotong-potong terlebih dahulu baru
kemudian diberikan ternak. Selain hijauan ternak juga diberikan konsentrat dalam
bentuk campuran bahan pakan. Peternak memperoleh konsentrat dari koperasi.
Pemberian air minum untuk ternak baik, hal ini dapat dilihat dari ketersediaan dari
air yang selalu ada untuk ternak.
Berdasarkan hasil penelitian penerapan tatalaksana kandang responden
digolongkan ke dalam kategori sedang. Namun masih ada beberapa kandang
berada dekat dengan rumah atau bersebelahan. Untuk drainase dan tempat kotoran
pada umumnya tergolong cukup baik, karena pada tiap-tiap kandang responden
memiliki saluran khusus untuk pembuangan. Menurut Dinas Peternakan (1991)
kandang yang memenuhi syarat yang ideal yaitu: letak jauh dari rumah atau
55
bangunan-bangunan umum, jauh dari lalu-lintas umum dan sinar matahari dapat
masuk, ventilasi baik, lantai lebih tinggi 20-30 cm dari tanah dan saluran untuk
pembuangan air dan kotoran. Peralatan kandang dan susu yang dimiliki oleh
responden tergolong cukup baik. Peralatan tersebut diantaranya adalah ember
tempat pemerahan susu, lap kain untuk membersihkan ambing sebelum dilakukan
pemerahan, milk can, untuk penampungan susu hasil pemerahan serta saringan
susu untuk menyaring kotoran dan bulu-bulu sapi pada waktu dituangkan
kedalam milk can.
4.4.4 Pelakasanaan Manajemen Usaha
Pelaksanaan manajemen usaha adalah tingkat pelaksanaan peternak
didalam upaya meningkatkan efisiensi usaha dan pendapatan usaha dari usaha
sapi perahnya.
Tabel 18. Pelaksanaan Manajemen Usaha
No. Uraian Kategori
Tinggi Sedang Rendah
….%....
1. Meningkatkan efisiensi usaha 57,14 42,86 0,00 2. Meningkatkan pendapatan usaha 42,86 57,14 0,00
Pelaksanaan manajemen usaha 77,14 22,86 0,00
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen usaha
peternak tergolong kategori tinggi yaitu 77,14%. Hal ini ditunjukkan oleh upaya
peningkatan efisiensi usaha yang tergolong kategori tinggi (57,14%), namun
untuk pendapatan usaha peternak tergolong kategori sedang (57,14%).
Para peternak telah berusaha maksimal di dalam meningkatkan efisiensi
usahanya. Para peternak telah berusaha untuk mempertahankan sapi
produktifnya, bila ternak tersebut tergolong produksi yang tinggi. Peternak pun
biasanya menjual atau mengafkir sapi yang sudah tidak produktif lagi.
56
Dalam upaya peningkatan pendapatan dari usaha ternaknya, para peternak
umumnya melakukan untuk membuat diversifikasi dari usahanya. Misalnya,
pemanfaatan kotoran sapi untuk diolah menjadi biogas. Menurut Sjahir (2003),
agar peternak sapi perah berhasil dalam usaha tani ternaknya harus memiliki bibit
unggul (rata-rata produksi 4.270 liter/laktasi), menguasai permasalahan teknis
peternak mulai dari perkandangan, sistem pemeliharaan, manajemen kesehatan,
pengaturan perkawinan dan pemberian pakan yang benar. Di samping teknis
peternakan, peternak harus menguasai usaha peternakan, yaitu bagaimana
menurunkan ongkos produksi, meningkatkan harga susu dan lebih meningkatkan
produksi susu.
4.5 Hubungan Perilaku Komunikasi Interpersonal Peternak Dengan
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Informasi Dalam Beternak
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi Rank
Spearman (rs), hubungan antara perilaku komunikasi interpersonal peternak
dengan tingkat pemenuhan kebutuhan informasi dalam beternak sapi perah di
Desa Cibodas Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, menghasilkan
nilai koefisien korelasi sebesar 0,424. Berdasarkan aturan Guilford (1956) dalam
Rakhmat (1998) hubungan antara kedua variabel dengan rs = 0,42 berada pada
kisaran 0,40 < rs ≤ 0,70.
Hasil tersebut mengandung arti bahwa hubungan perilaku komunikasi
interpersonal peternak dengan tingkat pemenuhan kebutuhan informasi dalam
beternak mempunyai hubungan yang cukup berarti. Keadaan tersebut
menunjukkan bahwa semakin baik perilaku komunikasi interpersonal yang
dilakukan oleh anggota kelompok peternak TPK Cibodas, maka akan semakin
mudah terpenuhi dalam pemenuhan kebutuhan informasi peternak. Anggota
kelompok peternak TPK Cibodas, selalu menjaga hubungan antarpribadinya
untuk tetap baik. Peternak yang menjaga hubungan antarpribadinya untuk tetap
57
baik diharapkan dapat membangun suatu jaringan kerja dengan baik dalam
memperoleh kebutuhan informasinya dan dapat mencapai tujuan daripada setiap
anggota kelompok itu sendiri. Peternak yang paham akan pentingnya menjaga
komunikasi interpersonal, akan lebih mudah dalam menerima inovasi atau ide-ide
baru.
Komunikasi interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang dianggap
tepat dan mampu mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku peternak.
Komunikasi interpersonal atau yang biasa disebut sebagai komunikasi antar
pribadi adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan seorang
yang lain atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui timbal
baliknya.