IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR · masa kekuasaan VOC, ... terbit kewajiban menanami...

32
IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR Analisis proses perumusan kebijakan HTR diuraikan dengan berpedoman pada metode yang disampaikan oleh Blaikie & Soussan (2001). Analisis perumusan kebijakan HTR terdiri dari empat bagian. Bagian awal dimulai dengan pemaparan mengenai tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Hal ini dilakukan karena sebuah kebijakan yang baru memiliki kaitan dan dipengaruhi oleh kebijakan yang telah ada sebelumnya. Bagian selanjutnya adalah uraian mengenai proses perumusan kebijakan HTR. Bagian ini memaparkan proses membangun kebijakan HTR dengan mengkaji aspek-aspek konteks politik dan pemerintahan, permasalahan kunci kebijakan, dan proses membangun kebijakan HTR meliputi aktor yang berperan, situasi politik dan pemerintahan yang berpengaruh, serta strategi aktor penentu kebijakan dalam mewujudkan kebijakan. Bagian ketiga merupakan analisis narasi dan diskursus kebijakan dengan memaparkan ide dasar atau keyakinan yang digunakan oleh para aktor pengambil keputusan. Bagian terakhir dari bab ini menganalisis proses perumusan kebijakan HTR berdasarkan teori model linier. 4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan Tonggak peristiwa penetapan kebijakan digali dari perjalanan sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia, perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi, dan perkembangan kebijakan perhutanan sosial. Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi di Indonesia menjadi penting untuk dikaji, mengingat kebijakan HTR menyangkut pemanfaatan hutan produksi. Di samping itu, kebijakan HTR juga merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan melibatkan masyarakat, karenanya perlu juga untuk merujuk proses perjalanan kebijakan perhutanan sosial. 4.1.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan di Indonesia Secara umum pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu : 1) periode pra-kolonialisasi; 2) periode kolonialisasi; dan 3) periode kemerdekaan. Ilustrasi pembagian periode pemanfaatan disajikan pada Gambar 12. Uraian detail mengenai perjalanan sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia disajikan pada paragraf berikutnya dari sub-bab ini.

Transcript of IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR · masa kekuasaan VOC, ... terbit kewajiban menanami...

IV. ANALISIS PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN HTR

Analisis proses perumusan kebijakan HTR diuraikan dengan berpedoman

pada metode yang disampaikan oleh Blaikie & Soussan (2001). Analisis

perumusan kebijakan HTR terdiri dari empat bagian. Bagian awal dimulai

dengan pemaparan mengenai tonggak peristiwa penetapan kebijakan. Hal ini

dilakukan karena sebuah kebijakan yang baru memiliki kaitan dan dipengaruhi

oleh kebijakan yang telah ada sebelumnya.

Bagian selanjutnya adalah uraian mengenai proses perumusan kebijakan

HTR. Bagian ini memaparkan proses membangun kebijakan HTR dengan

mengkaji aspek-aspek konteks politik dan pemerintahan, permasalahan kunci

kebijakan, dan proses membangun kebijakan HTR meliputi aktor yang berperan,

situasi politik dan pemerintahan yang berpengaruh, serta strategi aktor penentu

kebijakan dalam mewujudkan kebijakan.

Bagian ketiga merupakan analisis narasi dan diskursus kebijakan dengan

memaparkan ide dasar atau keyakinan yang digunakan oleh para aktor

pengambil keputusan. Bagian terakhir dari bab ini menganalisis proses

perumusan kebijakan HTR berdasarkan teori model linier.

4.1 Tonggak Peristiwa Penetapan Kebijakan Tonggak peristiwa penetapan kebijakan digali dari perjalanan sejarah

pemanfaatan hutan di Indonesia, perkembangan kebijakan pengelolaan hutan

produksi, dan perkembangan kebijakan perhutanan sosial.

Perkembangan kebijakan pengelolaan hutan produksi di Indonesia menjadi

penting untuk dikaji, mengingat kebijakan HTR menyangkut pemanfaatan hutan

produksi. Di samping itu, kebijakan HTR juga merupakan salah satu bentuk

pengelolaan hutan melibatkan masyarakat, karenanya perlu juga untuk merujuk

proses perjalanan kebijakan perhutanan sosial.

4.1.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan di Indonesia Secara umum pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3

periode, yaitu : 1) periode pra-kolonialisasi; 2) periode kolonialisasi; dan

3) periode kemerdekaan. Ilustrasi pembagian periode pemanfaatan disajikan

pada Gambar 12. Uraian detail mengenai perjalanan sejarah pemanfaatan hutan

di Indonesia disajikan pada paragraf berikutnya dari sub-bab ini.

68

Gambar 12 Periode pemanfaatan hutan di Indonesia

Nusantara pada periode pra sejarah mencakup suatu periode yang

panjang kira-kira 1,7 juta tahun yang lalu. Hal ini disarkan pada pengetahuan

yang didukung oleh temuan fosil hewan dan manusia serta sisa-sisa peralatan

dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perungu) serta gerabah.

Encyclopaedia Britanica membahas tentang sejarah manusia Jawa dalam The

Java Man. Berdasarkan temuan yang disebut homo erectus dan dikaji

menggunakan pengukuran radiometri, para ahli palaentologi berpendapat bahwa

fosil tersebut berasal dari era sekitar 1,7-1,5 juta tahun yang lalu

Perjalanan sejarah berikutnya mencatat masa kejayaan Kerajaan

Majapahit. Kerajaan ini mempunyai wilayah kekuasaan paling luas, mempunyai

pengaruh sampai di luar negeri, dan memiliki angkatan perang yang disegani

oleh negara lain. Kerajaan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan

Singasari*. Kerajaan Majapahit sudah mampu mengembangkan sayap

kekuasaannya ke wilayah di seberang lautan. Sudah dapat dipastikan bahwa

kerajaan tersebut telah dapat membuat kapal-kapal, bangunan keraton, rumah-

rumah penduduk maupun peralatan lainnya dari kayu. Kayu yang digunakan

tentu saja diperoleh dari hasil menebang pohon di hutan.

* http://arie55history.blogspot.com/2010/02/ perang-paregreg-dalam-sejarah-indonesia. html diakses 20 Oktober 2010

69

Muljana (2008) dalam bukunya Tafsir Sejarah : Negara Kertagama

menceritakan mengenai asal mula nama Majapahit terdapat dalam Pararaton

dan Panji Wijayakrama IV/86-87. Cerita tentang asal mula Majapahit

menunjukkan adanya hubungan hutan dengan sejarah kerajaan Majapahit.

Konon nama Majaphit berasal dari buah Maja yang banyak tumbuh di hutan di

sekitar Sungai Brantas. Adapun disebut kerajaan Majapahit disebabkan karena

orang-orang yang datang ke wilayah ini berusaha membabat hutan, dan ketika

lapar mereka memakan buah maja yang rasanya sangat pahit. Periode sejarah

berikutnya dengan masa pemerintahan Kerajaan Mataram (tahun 1500an).

Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar di kawasan Jawa Tengah dan

Jawa Timur, dimana sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan lebat.

Menurut catatan sejarah, wilayah hutan tersebut ditumbuhi dengan pohon jati

yang tumbuh dalam larikan-larikan yang teratur.

Pada tahun 1600-1900an atau selama abad 16 hingga abad 20, terjadi

eksploitasi hutan jati di pulau Jawa oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie

(VOC). Praktik pemanfaatan hutan alam jati di Jawa inilah yang dapat dianggap

sebagai salah satu tonggak sejarah dimulainya pengelolaan hutan di Indonesia.

Vereenigde Oost Indische Compagnie telah menjadikan eksploitasi hutan alam

jati di Jawa sebagai salah satu tambang bagi pemasukan keuntungan yang

sebesar-besarnya. Rasionalitas VOC sebagai satu-satunya perusahaan dagang

milik pemerintah Belanda telah menempatkannya sebagai sebuah institusi yang

semata-mata mengejar keuntungan ekonomi dan tidak memperhitungkan daya

dukung hutan yang ada. Dampaknya, kerusakan hutan alam di Jawa secara

perlahan-lahan mulai terjadi (Iskandar et al. 2003; Simon 2006).

Cordes (1992) mencatat bahwa pada saat VOC dihapuskan di Indonesia,

semua yang dimiliki VOC dijadikan milik negara. Hutan-hutan jati yang tidak

termasuk dalam milik pribadi atau desa menjadi milik pemerintah penjajah

Belanda, kecuali hutan jati yang berada di wilayah Kesultanan Surakarta dan

Yogyakarta.

Iskandar et al. (2003) menguraikan bahwa ketika Herman Williem

Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1807, hutan-hutan

yang rusak akibat eksploitasi berlebihan oleh VOC mulai diperhatikan. Selama

masa kekuasaan VOC, hutan-hutan di Jawa telah dieksploitasi berlebihan untuk

kepentingan kolonial. Kayu jati yang diperoleh dari tebangan hutan alam di Jawa

70

menjadi favorit untuk diperdagangkan, terutama untuk diekspor. Kayu-kayu

tersebut digunakan untuk membangun gudang, gedung, galangan kapal,

bahtera, dan perabot rumah. Eksploitasi yang belebihan tidak diiringi tindakan

pemeliharaan maupun penanaman kembali. Lahan-lahan bekas tebangan

akhirnya menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana.

Daendels menyadari bahwa hutan jati di Jawa akan berkurang jika tidak

diiringi dengan kegiatan penanaman kembali,. Setahun setelah

pengangkatannya, Daendels mengangkat seorang Inspektur Jenderal Kehutanan

dan membuat rumusan pengelolaan hutan. Targetnya, hutan-hutan alam yang

telah ditebang segera ditanam kembali. Saat itulah pertama kalinya pengelolaan

hutan memiliki personil yang khusus dan terdapat ketentuan yang harus diikuti

dalam pengelolaan hutan. Meskipun tujuan itu lebih kepada pengaturan produksi

kayu untuk kepentingan pelaku bisnis, setidaknya aspek kelestarian produksi

mulai diterapkan. Di era tersebut tepatnya tahun 1808 dibentuk Organisasi

Pengurusan Hutan Jati dimana titik beratnya pada pasokan jati bagi kepentingan

ekonomi Belanda. Sistem silvikultur yang diperkenankan adalah hutan tanaman

dan tumpangsari lamtorogung sebagai tanaman sela (Iskandar et al.2003; Simon

2006).

Upaya tersebut menghadapi kendala karena adanya kegiatan cultuurstelsel

(tanam paksa) yang dikembangkan oleh Van den Bosch (Simon 1993). Kegiatan

ini berupaya untuk memperoleh hasil tanaman pertanian dan perkebunan yang

dianggap cepat menghasilkan. Semua lahan yang ada harus dimanfaatkan,

termasuk kawasan hutan jati. Cultuurstelsel menyebabkan terjadinya konversi

besar-besaran kawasan hutan produksi menjadi lahan perkebunan, seperti

perkebunan tebu, karet, kopi, atau tanaman palawija. Akibat konversi hutan

menjadi lahan perkebunan dan pertanian, maka luas kawasan hutan menyusut

drastis bahkan banyak yang berubah menjadi lahan kritis (Iskandar et al. 2003)

Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaan hutan dengan

menggunakan pengetahuan dan teknologi modern, maka pada tahun 1873

Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan

Staatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13 daerah

hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000-80.000 ha untuk kawasan

jati dan lebih dari 80.000 ha untuk daerah hutan di luar kawasan hutan jati.

Selanjutnya Pemerintah Belanda mendirikan Perusahaan Hutan Jati (Djatibedrijf)

untuk mengintensifkan pengelolaan hutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan

71

pengelolaan kawasan hutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada

Dinas Hutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen). Pengelolaan hutan di bawah

pemerintah Hindia Belanda terus berjalan dengan penyempurnaan undang-

undang dan berbagai peraturan yang telah dihasilkannya. Untuk meningkatkan

pengelolaan hutan, kemudian dibangun Lembaga Penelitian Hutan pada tahun

1913 (Bosbouw Proefstation) (Departemen Kehutanan 1986)

Di masa pendudukan Jepang kondisi sumber daya hutan semakin rusak

dengan kondisi kawasan yang semakin parah. Pada masa ini hampir tidak ada

kegiatan penanaman. Kebijakan yang ada hanyalah pemanfaatan segala

potensi sumberdaya alam untuk tujuan perang. Hutan-hutan yang ada

dieksploitasi untuk memasok kebutuhan armada perang Jepang. Untuk lebih

memperlancar berbagai kepentingan, maka Jawatan Kehutanan dilebur ke dalam

Departemen Urusan Perkapalan. Selanjutnya, Jawatan Kehutanan dimasukkan

dan menjadi bagian dari Kantor Pemenuhan Kebutuhan Perang pada akhir tahun

1945 (Iskandar et al. 2003).

Eksploitasi hutan semakin merajalela. Dengan dalih melipatgandakan

hasil bumi, rakyat diperbolehkan membuka hutan seluas 4.428 ha untuk ditanami

palawija. Lahan yang dibuka menjadi lahan kritis. Selain itu, terbit kewajiban

menanami jenis kapas dan jarak yang ditanam diantara tanaman jati. Kegiatan

itu justru makin merusak tanaman pokok jati. Dengan demikian, kebijakan

pemanfaatan lahan yang dilandasi untuk kepentingan perang pada akhirnya kian

menyusutkan kawasan hutan. Jepang meninggalkan 500.000 ha kawasan hutan

yang rusak akibat kebijakan tersebut (Iskandar et al. 2003; Nurjaya 2006). .

Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 memberikan kewenangan dan

kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk membangun hutan dan

merehabilitasi kawasan hutan yang rusak. Selain itu terbuka kesempatan

memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pembangunan nasional terutama hutan

di luar Pulau Jawa. Aspek penting yang harus disoroti dalam pengelolaan hutan

pasca kemerdekaan adalah eksploitasi sumber daya hutan. Hutan diposisikan

sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state-revenue) yang paling

diandalkan setelah minyak dan gas bumi (Repetto 1988; Zerner 1990; Peluso

1992; Nurjaya 2005). Dengan demikian dari sudut pandang pembangunan

ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah

memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pemerintah mampu

mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui kebijakan pemberian

72

konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH),

atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), (Nurjaya 2005; Iskandar et al.

2003). Statistik tahun 1992-1997 menunjukkan bahwa tidak kurang dari tujuh

hingga delapan milyar dolar devisa per tahun diperoleh dari sektor kehutanan

(Iskandar et al. 2003).

4.1.2 Perkembangan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Hutan produksi adalah salah satu jenis pembagian hutan yang didasarkan

pada fungsinya. Sesuai dengan amanah Undang-undang Kehutanan,

pengelolaan hutan diarahkan berdasarkan fungsi pokok hutan, yaitu hutan

konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi (Santoso 2010). Definisi hutan

produksi menurut Undang-undang Kehutanan 41/1999 adalah adalah kawasan

hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia, khususnya di luar Pulau

Jawa, dilakukan dengan sistem konsesi Hak Pengusahaan Hutan dan Hutan

Tanaman Industri. Eksploitasi hutan produksi di Indonesia dengan pola konsesi

HPH dan HTI, sebenarnya bukan merupakan kebijakan yang baru diterapkan di

era pasca kemerdekaan Indonesia. Kebijakan seperti ini merupakan warisan dari

penjajah Belanda. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1865

Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Surat Keputusan No. 6 tanggal

10 September 1865 berupa instrumen hukum yang dikenal dengan nama

Reglemen Kehutanan 1865. Prinsip pokok yang diatur dalam Reglemen ini

adalah eksploitasi hutan jati dilakukan semata-mata untuk kepentingan pihak

partikelir, yang dapat dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, pihak swasta

yang diberikan konsesi penebangan hutan jati diwajibkan membayar pachtschat

(uang sewa) setiap tahun kepada pemerintah Hindia Belanda, yang dihitung

dengan taksiran nilai harga kayu dalam setiap persil menurut lamanya konsesi

yang diberikan. Kedua, kayu-kayu yang ditebang pihak penerima konsesi

diserahkan kepada pemerintah dan pihak swasta penerima konsesi menerima

uang pembayaran upah tebang, sarad, dan angkut dalam hitungan per elo kubik

(1 elo = 68,8 cm) melalui tender terbuka dan penawaran yang diajukan dalam

sampul tertutup (Nurjaya 2005).

Selanjutnya Nurjaya (2005) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,

Reglemen Hutan 1865 dipandang banyak mengandung kelemahan dalam

mengantisipasi perkembangan pengelolaan hutan, sehingga dipandang perlu

73

untuk segera diganti. Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen

Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874. Pokok penting

dari Reglemen 1874 adalah pemisahan pengelolaan hutan jati dari hutan rimba

non jati dan penyerahan hak eksploitasi hutan jati kepada swasta. Perjalanan

perkembangan pengelolaan hutan produksi di Indonesia sejak dikeluarkannya

Reglemen Hutan 1865 hingga saat ini disajikan dalam Lampiran 4.

Dari uraian tersebut dapat ditarik beberapa tonggak penting dalam sistem

pengelolaan hutan produksi di Indonesia adalah sebagai berikut (Gambar 13) :

1. Era Penjajahan Belanda: Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem

konsesi baik terhadap hutan jati di Jawa dan Madura, maupun hutan alam

di luar Pulau Jawa. Pengelolaan hutan di Jawa selanjutnya dilakukan oleh

Perusahaan Jati “Jati Bedrijft” yang merupakan cikal bakal Perum

Perhutani.

2. Era awal kemerdekaan (1945 – 1967): Pegelolaan hutan di luar pulau Jawa

tetap dilakukan oleh perusahaan swasta asing

3. Era HPH (1967 – sekarang). Dimulai dengan terbitnya landasan hukum

berupa Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing,

Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967, dan Peraturan Pemerintah

No.22 Tahun 1967 tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan

4. Era HTI (1980 – sekarang). Pembangunan HTI dilandasi dengan Peraturan

Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

Industri (HPHTI)

Gambar 13 Periode pengelolaan hutan produksi di Indonesia

74

Perkembangan kegiatan HPH mengalami peningkatan pada periode tahun

1970 hingga 1997. Tabel 12 menunjukkan pertambahan jumlah HPH dari tahun

1991 hingga tahun 2009.

Tabel 12 Jumlah dan luas areal konsesi HPH dari tahun 1991 – 2009

Tahun

Jumlah HPH (perusahaan)

Luas areal konsesi HPH (ha)

Produksi kayu

(juta m3) 1989/90 557 58.900.00 - 1990/91 564 59.620.000 - 1991/92 567 60.500.000 23,9 1992/93 580 61.400.000 28,3 1993/94 575 61.700.000 26,8 1994/95 540 61.030.000 24,0 1995/96 487 56.200.000 24,9 1996/97 447 54.100.000 26,1 1997/98 427 52.300.000 29,5 1998/99 420 51.600.000 19,0

1999/2000 387 41.840.000 20,6 2001 351 36.400.000 - 2003 262 - - 2009 301 31.100.000

Sumber : dikumpulkan dari berbagai sumber; Ditjen BPK (2009); Ditjen BPK (2005) seperti dikutip dalam Nawir et al. (2008), tanda (-) menunjukkan belum ditemukan data.

Berdasarkan data produksi kayu yang dihasilkan dari hutan, maka dapat

dilihat bahwa produksi hutan alam (HPH) semakin menurun. Sementara itu

produksi kayu dari hutan tanaman mengalami peningkatan yang signifikan

(Gambar 14)

16

5

1

21

0 5 10 15 20 25

HPH

HTI

Gambar 14 Perbandingan produksi kayu dari HPH dan HTI di tahun 1997/1998

dengan tahun 2009 (Sumber data: Santoso 2010)

1997/98

16 m3

2000

1 m3

5 m3

21 m3

m3

75

Dengan demikian, maka pembangunan hutan tanaman semakin mendapat

perhatian serius dari Kementerian Kehutanan, bahkan posisi hutan tanaman

diprediksikan dapat menjamin kebutuhan kayu di masa depan (Santoso 2010).

4.1.3 Perkembangan Kebijakan HTI dan Dana Reboisasi Pada tahun 1990 pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) mulai

dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) (Iskandar et al. 2003). Dalam

PP tersebut HTI diartikan sebagai hutan tanaman yang dibangun dalam rangka

meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur

intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Kegiatan

yang dilaksanakan di HTI adalah penanaman, pemeliharaan, pemungutan,

pengolahan dan pemasaran.

Pembangunan HTI menjadi program penting untuk menjaga kelestarian

hutan, khususnya pada lahan-lahan yang tidak produktif. Areal yang menjadi

lokasi kegiatan HTI adalah tanah kosong, semak belukar dan hutan rawang yang

bertumbuhan kurang dari 20 m3/ha. Dari ketentuan itu terdapat target penting

yang ingin dicapai, yakni meningkatkan produktivitas kawasan hutan,

mengurangi tekanan terhadap hutan alam, meningkatkan kualitas lingkungan

hidup dan terjaminnya ketersediaan bahan baku industri hasil hutan (Iskandar et

al. 2003). Harapan lain juga unuk mendukung tercapainya Sustainable Forest

Management (SFM) atau pengelolaan hutan lestari sebagaimana dituntut dalam

perdagangan internasional (Mayer 1996).

Pemerintah tidak melaksanakan sendiri pembangunan HTI mengingat

keterbatasan sumberdaya manusia, kelembagaan dan pengalaman. Olah

karena itu kalangan swasta didorong untuk berperan aktif didalamnya dalam

bentuk unit-unit HPHTI (Iskandar et al. 2003). Setiap unit HPHTI maksimal

300.000 ha untuk unit yang mendukung industri pulp, dan maksimal 60.000 ha

untuk unit pendukung industri kayu pertukangan atau industri lainnya.

Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menguraikan tiga alasan mengapa

pembangunan HTI melibatkan swasta. Pertama, perusahaan swasta diharapkan

dapat menyediakan sendiri sebagian dari penyertaan modal, terutama untuk

modal pembangunan industri pengolah kayu; kedua, pembangunan HTI dalam

pelaksanaannya harus tepat waktu, sehingga swasta dinilai lebih lincah

dibandingkan birokrat BUMN yang kaku, dan ketiga untuk membagi resiko usaha

76

antara pemerintah dan swasta. Dengan pertimbangan tersebut maka pemerintah

menyediakan insentif finansial bagi perusahaan HTI berupa pinjaman tanpa

bunga yang bersumber dari Dana Reboisasi. Dana Reboisasi merupakan dana

yang dipungut secara wajib sebagai pengganti nilai tegakan (stumpage value)

sekaligus dana subsidi silang bagi berbagai kegiatan penghutanan kembali

kawasan-kawasan hutan non produktif.

Dana Reboisasi merupakan salah satu instrumen terpenting dari kebijakan

pembangunan Hutan Tanaman Industri karena fungsinya sebagai insentif

pendanaan. Untuk mewadahi kucuran dana pemerintah tersebut dibentuk

perusahaan patungan. Institusi yang mewakili pemerintah adalah Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) lingkup Kementerian Kehutanan, yakni PT Inhutani.

Melalui perusahan patungan inilah kucuran dana ditampung untuk mendapatkan

pinjaman DR dengan bunga 0% dan pinjaman pola komersial dengan awal

pengembalian di tahun kedelapan setelah HTI mulai melakukan penanaman.

Penyaluran dana dilaksanakan melalui bank-bank pemerintah, setelah dibuat

Perjanjian Kredit (PK) antara bank penyalur atas nama Menteri Kehutanan

dengan badan Usaha Patungan. Dengan kebijakan itu para investor harus

menyediakan dana sebesar 21% dari keseluruhan modal yang diperlukan.

Sebesar 14% akan dipenuhi pemerintah sebagai Penyertaan Modal Pemerintah

(PMP), sisanya 32,5% berbentuk pinjaman pemerintah tanpa bunga dan 32,5%

dipenuhi dari pinjaman komersial (Gambar 15) (Palengkahu et al. 2006).

PMP, 14%

Pinjaman tanpa bunga, 32.50%

Pinjaman Komersial, 32.50%

Dana investor, 21%

Gambar 15 Komposisi modal perusahaan HTI

77

Meskipun pemerintah telah menyediakan insentif pendanaan sedemikian

rupa, namun program HTI kurang diminati para investor baik lokal maupun asing.

Hal ini disebabkan karena pembangunan HTI memerlukan modal besar, beresiko

tinggi dan berjangka panjang. Selain itu perhitungan kelayakan suku bunga

untuk pembangunan HTI dari jenis tanaman cepat tumbuh dengan daur 8 – 10

tahun hanya sekitar 12 persen (berada di bawah tingkat suku bunga pinjaman

bank yang berkisar 20 – 24%) (Iskandar et al. 2003)

Kendala utama dalam proses pembangunan HTI terjadi ketika Dana

Reboisasi harus dimasukkan sebagai penerimaan negara. Ini terjadi sebagai

hasil penandatanganan Letter of Intent Pemerintah Indonesia dengan

International Monetary Funds (IMF) pada 15 Januari 1998. Kebijakan tersebut

ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Dana

Reboisasi, yang mengatur bahwa DR hanya digunakan untuk kegiatan reboisasi

dan penghijauan. Sejak terbitnya PP tersebut, maka pembangunan HTI

sepenuhnya menjadi usaha swasta dan Dana Reboisasi tidak lagi dapat

disalurkan untuk pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003).

Akibat dari kebijakan ini, maka perusahaan HTI patungan mengalami

pukulan berat, sehingga menjadi faktor penyebab terjadinya stagnasi kegiatan

pembangunan HTI (Iskandar et al. 2003). Pelengkahu et al. (2006) menyajikan

data bahwa hingga tahun 2005 realisasi pembangunan dari 214 unit HTI

mencapai 2.310.608 ha atau mencapai 24,49% dari target yang ditetapkan

seluas 9.436,129 hektar. Dari luasan tersebut produksi kayu yang dihasilkan

mencapai 2 juta m3 dengan jumlah tenaga kerja yang terserap langsung

mencapai 180.000 orang. Kecilnya realisasi penanaman HTI maupun realisasi

produksi kayu yang berasal dari HTI disebabkan karena 3 faktor yaitu (1) konflik

lahan (2) pendanaan dan dukungan perbankan, serta (3) kebijakan, regulasi dan

birokrasi. Kebijakan, regulasi dan birokrasi yang kondusif bagi pembangunan

HTI yang memiliki resiko tinggi dan bersifat jangka panjang sangat dibutuhkan

bagi terwujudnya aspek kepastian hukum, keamanan berusaha, dan iklim

investasi yang kondusif. Hal itu antara lain diwujudkan melalui kebijakan,

regulasi dan birokrasi yang konsisten beriorientasi hasil dan efisien.

Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Iskandar et al. (2003)

bahwa berkaitan dengan faktor jangka waktu pengusahaan yang relatif lama,

program HTI tidak memiliki insentif yang cukup memadai karena ketidakpastian

status kawasan hutan. Terlebih faktor konflik sosial juga menjadi penghambat

78

utama akibat ketidakpastian status kawasan hutan. Faktor-faktor tersebut

seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi penetapan kebijakan pemerintah

sehingga memungkinkan adanya insentif sekaligus terciptanya iklim usaha yang

kondusif. Kenyatannya hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, baik dalam

bentuk kebijakan maupun implementasi di lapangan (Iskandar et al. 2003).

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sistem pengelolaan hutan

produksi dengan mekanisme pemberian konsesi HPH dan HTI tetap berjalan

hingga saat ini. Namun telah terjadi perubahan nama dari konsesi HPH dan

HPHTI menjadi Ijin Usaha. Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah No.34

Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan

Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, maka ijin konsesi HPH berubah

menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA).

Sementara itu HPHTI berubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).

Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 selanjutnya mengalami

perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Dalam PP yang

baru inilah program Hutan Tanaman Rakyat mulai dimunculkan sebagai salah

satu bentuk kebijakan pengelolaan hutan produksi. Ijin usaha HTR pada

dasarnya serupa dengan HTI hanya saja sasaran pelaku usaha yang dituju

adalah rakyat secara perorangan dan bukan dalam bentuk perusahaan.

Kebijakan ini sangat berkaitan dengan paradigma pembangunan hutan berbasis

masyarakat yang mendasari Kebijakan Perhutanan Sosial (social forestry)

4.1.4 Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest

Management = CBFM) telah banyak dilakukan di negara-negara Asia Selatan

dan Tenggara. Tujuan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah untuk

mencapai pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management). Kondisi

SFM tercapai jika hutan secara ekologis terpelihara dan kepentingan masyarakat

sekitar hutan terjamin. Kajian yang dilakukan oleh East-West Centre

menunjukkan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat masih belum

mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan (Fox 1993; Lynch & Talbot 1995;

Poffenberger 2006).

Khusus di Indonesia kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat

dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan lokasi dan karakteristik

79

pengelolaan hutannya, yaitu di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa (Lyndayati

2002). Di Pulau Jawa kegiatan perhutanan sosial dilakukan oleh Perhutani

dengan berbagai program kegiatan seperti tumpangsari, PMDH, dan PHBM.

Sedangkan program perhutanan sosial yang lebih relevan dikaji dalam desertasi

ini adalah kegiatan yang dilakukan di luar areal Perhutani. Dalam sub-bab ini

kebijakan perhutanan sosial dapat dipertukarkan dengan istilah Social Forestry

(SF).

Perkembangan kebijakan Perhutanan Sosial di Luar wilayah Perhutani

dapat dibedakan menjadi 3 fase perkembangan (Lyndayati 2002), yaitu :

1) periode pra-SF sejak kegiatan pengelolaan hutan hingga pertengahan tahun

80-an, 2) Periode adopsi SF (pertengahan tahun 80-an hingga 1997, 3) periode

SF (tahun 1998 hingga sekarang). Ilustrasi perkembangan kebijakan SF seperti

disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Periodisasi kebijakan social forestry dalam proses perjalanan

pemanfaatan dan pengelolaan hutan di Indonesia

Uraian rinci mengenai perkembangan kebijakan perhutanan sosial dideskripsikan

sebagai berikut :

1. Periode Pra- SF (Akhir tahun 60-an sampai pertengahan tahun 80-an)

Sebelum masa pemerintahan orde baru, hutan di luar jawa dikelola oleh

masyarakat adat. Terdapat sekitar 250 kelompok etnis yang hidup di dalam atau

sekitar hutan dan menyandarkan hidupnya kepada sumberdaya hutan (Moniaga

2000). Setiap kelompok adat memiliki aturan sendiri dalam memanfaatkan dan

memelihara hutan. Mereka hidup bergantung pada sumberdaya hutan dan

mereka juga menjaga kelestarian hutan.

80

Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat ini dianggap tidak sejalan dengan

rencana Pembangunan Orde Baru yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi

dan modernisasi atau industrialisasi. Masyarakat lokal dipandang sebagai

”terbelakang” dan sistem perladangan berpindah yang mereka lakukan secara

ekonomi dinilai tidak produktif dan secara ekologi merusak lingkungan.

Pada periode ini terjadi adopsi intrumen kebijakan yang menggambarkan

penolakan pemerintah secara mutlak atas akses masyarakat terhadap hutan.

Program yang dilluncurkan adalah pemukiman peladang berpindah dan sistem

pertanian menetap. Peraturan perundangan yang dikeluarkan diantaranya PP

21/1970 tentang HPH dan HPHH serta PP 28/1985 tentang Perlindungan

Lingkungan. Kedua PP ini mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat lokal

terhadap hutan negara yang telah dikelola HPH dan kawasan konservasi.

2. Pertengahan tahun 80-an sampai 1997 (Periode Adopsi SF)

Sebagai imbas dari retorika ”forest for people”, pengelolaan hutan pada era

ini mulai menganut distribusi keuntungan, keadilan, partisipasi masyarakat, dan

pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Orientasi pembangunan

diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan.

Namun demikian tidak berarti telah terjadi perubahan cara pandang terhadap

penguasaan hutan oleh negara dan pandangan terbelakang dan desktruktif bagi

masyarakat lokal (Lyndayati 2002)

Program pemukiman dan pengendalian perladangan berpindah dinilai

masih sejalan dengan jiwa SF, karena berupaya untuk meningkatkan taraf hidup

rakyat. Pada perayaan pekan penghijauan tahun 1987, Presiden Soeharto

menyatakan dukungan serius terhadap pembenahan praktik pengelolaan hutan

oleh masyarakat lokal mengingat degradasi lahan makin meluas dan praktik

perladangan berpindah masih berlanjut.

Awal tahun 1980, Pemerintah bersama Ford Foundation mulai

mendiskusikan untuk melakukan berbagai program SF. Program akhirnya

dilaksanakan tahun 1985 berupa kajian tentang hak akses dan hak tenurial

masyarakat lokal dilakukan di beberapa pilot projet misalnya Kalimantan Timur,

Irian Jaya, dan Sulawesi. Hasil kajian mempengaruhi pemahaman berbagai

pihak mengenai SF.

Tahun 1991, pemerintah menggulirkan program PMDH (Pembinaan

Masyarakat Desa Hutan). Kebijakan ini memberikan kewajiban bagi para

81

pemegang HPH untuk membantu pembangunan ekonomi masyarakat desa

hutan. Kewajiban ini diinterpretasikan pengusaha sebagai pemberian bantuan

berupa pembangunan infrastruktur (membangun mesjid, plot pertanian

permanen, klinik kesehatan, dan sekolah), dan tidak sebagai pendekatan

hubungan ”partnership”. Hak akses masyarakat terhadap hutan masih

dipandang sebagai ”previlege” dibanding sebagai ”right”.

Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan secara formal

dimulai ketika Kementerian Kehutanan meluncurkan program Hkm (Hutan

Kemasyarakatan) dengan SK No. 622/1996. Program ini bertujuan memberi

peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dengan

luasan tertentu per-kepala keluarga. Implementasinya baru sampai pada

pengembangan model atau percontohan. Program ini akhirnya berhenti begitu

saja karena kurangnya peminat.

SK No. 622/1996 kemudian diperbaharui dengan SK No. 677/1998, yang

memberi peluang kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk

mengelola konsesi hutan. Dalam praktiknya, pendekatan ini pun tidak mampu

memberi manfaat kepada masyarakat setempat karena tidak memperhitungkan

betapa lemahnya posisi mereka di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem

usaha konsesi hutan. Kebijakan ini lebih memberi manfaat bagi pihak yang

mampu mengakses birokrasi perizinan dengan mengatasnamakan rayat. Lebih

dari itu masyarakat menganggap bahwa dengan terlibat HKm, justru

menegaskan pengakuan status hutan sebagai milik negara (Suryamihardja 2006)

3. Tahun 1998 hingga sekarang

Periode ini ditandai dengan terbitnya SK Menhut tentang tentang Krui

Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTi) tahun 1998. Pada tahun 2004

diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/2004 tentang Pemberdayaan

Masyarakat di dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan dalam rangka Social

Forestry. Permenhut ini menegaskan aturan bahwa pelaksanaan SF harus

mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain tidak merubah status

dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan atas kawasan hutan,

kecuali hak pemanfaatan sumberdaya hutan (pasal 8 ayat 1 dan 2).

4.1.5 Sintesis Tonggak Kebijakan Sintesis tonggak kebijakan merupakan hasil rangkuman dari uraian

perjalanan pengelolaan hutan di Indonesia (Gambar 17).

82

Gambar 17 Tonggak kebijakan terkait perumusan kebijakan HTR

83

Tonggak kebijakan ini difokuskan mulai periode pra-kemerdekaan Republik

Indonesia, karena pada periode sebelum kemerdekaan titik berat pengelolaan

hutan produksi masih di areal hutan jati Pulau Jawa. Sementara itu, kebijakan

HTR erat kaitannya dengan pengelolaan kawasan hutan produksi di Luar Pulau

Jawa.

Kegiatan pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa mulai dicatat dalam sejarah

kehutanan sejak tahun 1950. Pada tahun ini di Kalimantan terdapat beberapa

sawmill dan di Pekanbaru-Riau dibangun sawmill besar untuk memenuhi

kebutuhan kayu dalam rangka pembangunan perusahaan minyak Caltex.

Tonggak sejarah yang menjadi awal mula pengelolaan hutan terjadi pada

tahun 1952 yaitu ketika FAO mengirimkan pakar industri kertas. Kedatangan

mereka bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kemungkinan

pembangunan pabrik kertas di Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian

menindak lanjuti kegiatan tersebut dengan membentuk Panitia Kertas. Tugas

Panitia Kertas adalah mempelajari kemungkinan pembangunan industri kertas di

Indonesia. Setahun kemudian Panitia Kertas diperluas menjadi Panitia

Persiapan Hutan Industri (PPHI) yang bertugas mempelajari kemungkinan

pembangunan berbagai industri kayu di Indonesia. Sejak saat itu terjadi

perkembangan industri kehutanan meliputi pabrik fibre board, pabrik pensil,

pabrik korek api, unit pengawetan kayu, pabrik peti, industri gondorukem &

terpentin, industri minyak kayu putih, dan industri lak. Jumlah penggergajian

mesin di Indonesia mencapai 284 unit.

Tonggak sejarah berikutnya adalah penerapan sistem konsesi HPH dan

yang dimulai sejak tahun 1967 dengan dibukanya kesempatan Penanaman

Modal Asing dan Modal Dalam negeri. Kegiatan HPHTI juga mulai dilaksanakan

secara resmi pada tahun 1982. Kedua sistem koonsesi tersebut (HPH dan HTI)

masih berlangsung hingga sekarang dengan berbagai dinamikanya. Kejadian

penting yang berpengaruh besar terhadap sistem konsesi HTI adalah peristiwa

penandatanganan Letter of Intent dari International Monetary Funds (IMF) tahun

1998. Dampak dari peristiwa adalah dicabutnya 15 perusahaan HTI patungan

karena dinilai tidak layak akibat dihentikannya kucuran Dana Reboisasi (Iskandar

et al. 2003). Kebijakan pencabutan SK HPHTI 15 perusahaan dilakukan oleh

Menteri Kehutanan pada tanggal 24 Oktober 2002. Empat belas perusahaan

ditutup karena alasan tidak layak finansial dan tidak layak teknis, sedangkan satu

perusahaan ditutup karena mengalihkan saham tanpa persetujuan Menteri

84

Kehutanan. Kondisi ini menyebabkan sumberdaya hutan mulai menurun

produktivitasnya.

Selain peristiwa-peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam

penetapan kebijakan pengelolaan hutan, kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi

oleh kebijakan yang sebelumnya telah ada. Sebuah kebijakan pada umumnya

terbentuk karena warisan kebijakan di masa lalu (Blaikie & Soussan 2001).

Kebijakan-kebijakan yang telah ada dan memiliki keterkaitan dengan proses

perumusan kebijakan HTR disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Timeline kebijakan yang mempengaruhi kebijakan HTR Tahun Bentuk Kebijakan Inti Kebijakan Terkait Pengelolaan

Hutan Produksi 1957 Peraturan Pemerintah No.64

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengeluarkan izin kap-persil, yaitu semacam izin hak pengusahaan hutan secara terbatas dengan luas maksimal 10.000 hektar. Hasil produksi kayu ada yang diekspor

1967 Undang Undang No 5 tentang Pokok-pokok Kehutanan

Hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk modal pembangunan nasional

1967 Peraturan Pemerintah No.22 Tentang Iuran HPH dan Iuran Hasil Hutan

Peraturan pelaksana dari diterapkannya kebijakan HPH dengan landasan hukum UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing

1970 Peraturan Pemerintah No.21 Tentang HPH dan HPHH

Mengatur tentang pelaksanaan pengusahaan hutan yang didasarkan pada kegiatan perencanaan yang tepat

1990 Peraturan Pemerintah No 7 Tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

Peningkatan produktivitas lahan hutan rawang dengan potensi rendah, semak belukar, dan tanah kosong

1996 Surat Keputusan Menhut No.622 Tentang Hutan Kemasyarakatan

Membuka peluang kepada masyarakt untuk melakukan kegiatan rehabilitasi hutan negara

1998 Surat Keputusan Menhutbun No.677 tentang HKM

Memberi peluang kepada masyarakat setempat melalui koperasi untuk mengelola konsesi hutan

1999 Undang-Undang No.41 Tentang Kehutanan

Merubah istilah HPH-HTI menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Hutan Tanaman

2002 Peraturan Pemerintah No.34 Tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Aturan pelaksana dari UU No.41/1999, mengatur tentang tata hutan dan pengelolaan hutan melalui mekanisme pemberian izin usaha

2004 Peraturan menteri Kehutanan No. P.01 tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka Social Forestry

Social Forestry menjadi payung bagi setiap kegiatan pengelolaan hutan dalam rangka mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera. SF tidak merubah status dan fungsi kawasan, hanya hak pemanfaatan

2007 Peraturan Pemerintah No.6 Tentang Tata Hutan dan

HTR ditempatkan sebagai salah satu bentuk kegiatan pengelolaan hutan produksi melalui mekanisme pemberian IUPHHK-HTR

85

Kebijakan yang pertama kali disusun di era pra-kemerdekaan menyangkut

pengelolaan hutan produksi dikeluarkan pada tahun 1957. Kebijakan ini

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin

kap-persil. Izin ini serupa dengan izin hak pengusahaan hutan meskipun

terhadap lahan terbatas dengan luas maksimal 10.000 ha. Kebijakan ini cukup

efektif karena di beberapa provinsi telah dapat dilaksanakan dan hasil produksi

kayu dapat diekspor.

Produk kebijakan yang berpengaruh besar terhadap pengelolaan hutan

selanjutnya adalah Undang-undang Kehutanan No.5 Tahun 1967. Undang-

undang ini diterbitkan setelah diterbitkannya Undang-undang No.1 Tahun 1967

tentang Penanaman Modal Asing, yang membuka luas peluang perusahaan

swasta asing menanamkan investasi di Indonesia, antara lain dalam bentuk

perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Produk kebijakan lainnya terkait

pengelolaan hutan produksi adalah PP No.7 Tahun 1990 tentang Hutan

Tanaman Industri. Kebijakan ini membuka bentuk konsesi lain selain HPH di

hutan produksi.

Dari sisi Social Forestry, kebijakan yang menentukan diakuinya

keberadaan masyarakat sekitar hutan dimulai dengan penetapan kebijakan

tentang HKM (Hutan Kemasyarakatan). Kebijakan terkait SF mengalami

beberapa kali perubahan peraturan, hingga ditetapkannya Permenhut P.01/2004

tentang pemberdayaan masyarakat dalam rangka SF. Inti dari kebijakan ini

adalah dibukanya kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam

pengelolaan hutan negara, tetapi tidak merubah status kawasan hutan dan tidak

merubah hak kepemilikan atas sumberdaya hutan.

Undang-undang Kehutanan No.41 merubah istilah HPH dan HTI menjadi

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Dalam UU 41 belum termuat

kebijakan HTR, karena UU 41 ditetapkan tahun 1999, sementara kebijakan HTR

mulai dirumuskan di akhir tahun 2006. Demikian pula Peraturan Pemerintah No.

34/2002 sebagai aturan turunan dari UU 41 juga belum memasukkan HTR

sebagai bentuk kegiatan pengelolaan hutan. Oleh karenanya dilakukan revisi

terhadap PP 34/2002 menjadi PP 6/2007.

Rangkaian perjalanan sejarah tersebut memperlihatkan bahwa diskursus

yang berkembang dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia tidak

mengalami perubahan. Diskursus yang digunakan adalah pola pengelolaan

hutan produksi melalui pemberian izin konsesi. Sejak awal masa kemerdekaan

86

sistem pengelolaan hutan selalu dilakukan dengan pola HPH/HTI. Bahkan

merunut sejarah panjang pengelolaan hutan di Indonesia, sistem konsesi telah

diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah Indonesia mewarisi

sistem tersebut dan diterapkan di era kemerdekaan. Pada perumusan kebijakan

HTR, diskursus ini pula lah yang mendasari proses perumusan kebijakan.

4. 2 Proses Perumusan Kebijakan HTR 4.2.1 Konteks Politik dan Pemerintahan

Peristiwa penandatanganan LoI Indonesia dengan IMF berdampak sangat

besar terhadap pembangunan kehutanan di Indonesia. Dana Reboisasi yang

selama ini dikelola di Kementerian Kehutanan harus masuk sebagai penerimaan

negara bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak

saat itu pasokan DR untuk PMP (penyertaan modal pemerintah), pinjaman 0%,

dan pinjaman komersial bagi pembangunan HTI dihentikan. Akibatnya 15

perusahaan HTI patungan ditutup karena tidak layak finansial. Akibat lanjutan

dari penutupan HTI tersebut adalah peningkatan angka pengangguran (Iskandar

et al. (2003)

Di tengah kemelut pengelolaan hutan produksi, kondisi politik pemerintahan

mengalami perubahan era kepemimpinan dan arah kebijakan pembangunan.

Situasi nasional pada saat itu mengarah pada pembangunan berorientasi

kerakyatan. Tuntutan arah pembangunan nasional pada era Kabinet Indonesia

Bersatu (2004-2009 dan 2009-2014) berlandaskan pada 3 pilar yaitu; pro growth

(pro pertumbuhan), pro poor (pro kemiskinan), and pro job (pro penciptaan

lapangan kerja). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

(RPPK) oleh Presiden RI sebagai salah satu dari “Triple Track Strategy” Kabinet

Indonesia Bersatu dicanangkan pada tanggal 11 Juni 2005 di Waduk Jatiluhur,

Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat (Deptan 2005; Pelengkahu et al.

2006)

Kementerian Kehutanan kemudian menindaklanjuti di tingkat sektoral

dengan mengaktualisasikan program besar Pemerintah tersebut dengan

menetapkan Program Revitalisasi Kehutanan yang terdiri dari tiga pilar utama,

yaitu : (1) percepatan pembangunan Hutan Tanaman Industri, (2) peningkatan

pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK), dan (3) peningkatan pemanfaatan

jasa lingkungan (Dephut tanpa tahun; Palengkahu et al. 2006).

87

Oleh karena itu, strategi pembangunan yang dirancang oleh Kementerian

Kehutanan juga kemudian diselaraskan dengan 3 agenda tersebut, yaitu

(1) agenda pertumbuhan sektor kehutanan dengan tujuan meningkatkan ekspor

hasil hutan kayu dan non kayu serta masuknya investasi baru yang proporsional

antara pengusaha besar dan usaha kecil dan menengah berbasis pengelolaan

hutan lestari, (2) agenda bergeraknya sektor riil kehutanan dan usaha kecil

menengah, melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dengan

pemberian akses kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi, dan

(3) agenda pemberdayaan ekonomi rakyat (pro poor) dengan tujuan mengurangi

kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui penciptaan kesempatan kerja dan

berusaha dan menurunkan angka kriminalitas penjarahan hutan (Dephut tanpa

tahun).

Berdasarkan strategi tersebut, kemudian disusun kerangka kebijakan dan

langkah operasional. Salah satunya dengan pembinaan dan pengembangan

sumber bahan baku pada hutan tanaman melalui intensifikasi kawasan hutan

produksi yang tidak dibebani ijin atau hak melalui pemberian IUPHHK HTR.

Adapun langkah operasional tersebut dilandasi dengan penguatan aspek legal

(yuridis formal) melalui revisi terhadap PP 34/2004 menjadi PP 6/2007 agar

dapat selaras dengan arah kebijakan yang akan dilaksanakan (Dephut tanpa

tahun).

Selanjutnya untuk mendukung strategi operasional intensifikasi

pembangunan hutan tanaman pada kawasan hutan produksi, Kementerian

Kehutanan menggariskan kebijakan penunjang yang terkait dengan fasilitas

pembiayaan. Maka disusunlah lembaga keuangan berupa Badan Layanan

Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU – Pusat P2H) untuk

mendukung fasilitasi pembiayaan pembangunan HTI dan HTR.

4.2.2 Permasalahan Kunci Kebijakan Permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan HTR

adalah tingginya potensi lahan tidak produktif di kawasan hutan produksi.

Kondisi ini disebabkan antara lain karena peristiwa penutupan 15 perusahaan

HTI juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan. Lahan hutan bekas HTI

yang ditutup menjadi berstatus open access karena tidak ada lagi kejelasan

pemegang hak pengelolaannya.

88

Total kawasan hutan produksi Indonesia menurut data yang diungkapkan

dalam Iskandar et al. (2003) seluas 66,6 juta hektar. Dua puluh satu koma

empat persen (21,4%) diantaranya dalam kondisi rusak. Sementara itu industri

kehutanan di Indonesia memiliki kapasitas terpasang sekitar 69.470.000

m3/tahun. Pasokan bahan baku kayu hanya dapat memenuhi 33.025.000

m3/tahun. Oleh karenanya terdapat kesenjangan bahan baku industri kayu hasil

hutan sekitar 36 juta m3/tahun.

Kemampuan hutan alam di Indonesia tidak lagi dapat diharapkan untuk

memenuhi kebutuhan tersebut mengingat kondisinya yang semakin terdegradasi.

Untuk mengatasi permasalahan kesenjangan pasokan bahan baku kayu, maka

hutan tanaman menjadi andalan. Oleh karenanya kebijakan pembangunan

hutan tanaman merupakan alternatif terbaik. Melalui pembangunan hutan

tanaman maka dapat merehabilitasi kondisi hutan yang rusak sehingga

produktivitasnya dapat ditingkatkan. Hasil produksi kayu dari kegiatan

penanaman hutan tersebut menjadi tambahan suplai bahan baku untuk industri

kehutanan. Bentuk kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui program HTI

(Hutan Tanaman Industri) terus dilanjutkan sebagai salah satu alternatif

pemecahan masalah.

Akan tetapi aspek sosial masyarakat juga menjadi permasalahan tersendiri

yang harus dicarikan alternatif pemecahannya. Prediksi Malthus pada tahun

1798 mengenai ketimpangan tingkat pertambahan penduduk dan pertumbuhan

daya dukung lingkungan mendekati kebenaran. Pertumbuhan penduduk yang

mengikuti deret ukur tidak sejalan dengan pertumbuhan daya dukung alam yang

mengikuti deret hitung. Jumlah penduduk bertambah dengan pesat, para ahli

demografi dunia memperkirakan bahwa jumlah penduduk bumi pada tahun 2020

akan mencapai 10 milyar jiwa (Iskandar et al. 2003).

Oleh karena itu aspek sosial kemasyarakatan juga menjadi masalah yang

ikut dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan HTR. Hal tersebut

terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh pengambil kebijakan

HTR di Kementerian Kehutanan. Petikan hasil wawancara disajikan dalam

kutipan berikut.

89

“HTR pada intinya sama saja dengan HTI. Hanya sasarannya saja rakyat. Gagasannya begini, HTR aturannya harus tanah kosong, padang alang-alang, semak belukar. Pada kenyataannya sulit untuk mencari hamparan luas yang namanya lahan kosong di hutan seperti yang dimaksud dalam aturan tersebut. Tetapi dalam bentuk spot-spot kecil banyak” (Wawancara 20 April 2009).

Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka Kementerian Kehutanan

mulai merumuskan kebijakan HTR sebagai solusi terhadap permasalahan yang

sedang dihadapi.

4.2.3 Proses Membangun Kebijakan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat

kehutanan pada pertengahan tahun 2006. Ide membangun Hutan Tanaman

Rakyat dilatarbelakangi oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu

untuk segera ditangani. Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan

untuk memberikan hak pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang

ijin HTI terdekat.

“Luasan lahan tersebut terbatas tetapi menyebar dalam jumlah yang relatif

banyak dan biasanya berdekatan dengan areal HTI “ (Wawancara 20 April

2009).

Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan

tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi

kebijakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi

tersebut dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar.

“Oleh karena itu munculah gagasan, bagaimana jika lahan kosong berupa

splot-spot kecil itu diberikan haknya kepada rakyat. Kalau rakyat yang diberi

hak lebih mudah dan tidak perlu ada Amdal (Analisis Dampak Lingkungan)

karena skala luasannya kecil sehingga tidak merubah bentang alam.

(Wawancara, 20 April 2009)

Perumusan kebijakan HTR sendiri dilakukan dalam internal Direktorat

Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Dukungan pihak luar terbatas pada

rekomendasi aspek-aspek yang bersifat teknis. Rekomendasi tersebut dijadikan

sebagai landasan ilmiah untuk pelaksanaan program yang bersifat teknis.

Rekomendasi yan berasal dari pihak akademisi yan digunakan terkait luas lahan

optimal untuk setiap kepala keluarga pemegang izin HTR seluas 15 ha.

Rekomendasi dari institusi penelitian di lingkup Kementerian Kehutanan juga

90

berupa saran-saran teknis terkait kesesuaian jenis tanaman HTR untuk lokasi-

lokasi HTR di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara, dapat

teridentifikasi pula bahwa selama proses perumusan kebijakan HTR, tidak terjadi

perdebatan mengenai alternatif-alternatif pemecahan masalah kebijakan.

Nomenklatur untuk program ini didiskusikan di tingkat Ditjen BUK bersama

Menteri Kehutanan pada tahun 2006. Pada awalnya ada keinginan untuk

memberikan nama Hutan Rakyat terhadap bentuk kebijakan ini. Akan tetapi

Istilah hutan rakyat (HR) menurut UU Kehutanan No. 41/1999 identik dengan

hutan hak, sehingga program ini tidak dapat menggunakan nama hutan rakyat.

Namun, untuk mengedepankan misi kerakyatan maka istilah Hutan Tanaman

Rakyat dipilih sebagai nama dari program HTI-skala mikro ini (Direktur BLU P2H,

20 April 2009, komunikasi pribadi).

Metode analisis proses kebijakan dari Blaikie & Soussan (2001)

menyatakan bahwa faktor-faktor penting yang harus digali dalam analisis proses

kebijakan meliputi; latar belakang ide atau gagasan kebijakan, situasi politik

yang mendukung, tonggak peristiwa penetapan kebijakan, konteks politik

pemerintahan, serta issu kunci kebijakan. Faktor-faktor penting tersebut

disajikan pada Tabel 14 yang merupakan intisari dari hasil penelitian mengenai

proses perumusan kebijakan HTR.

Tabel 14 Intisari dari proses perumusan kebijakan HTR

No Kategori Uraian 1. Latar Belakang

Ide/ gagasan HTR - Tingginya potensi kawasan LOA dengan luasan kecil - Ijin konsesi bisa diserahkan kepada masyarakat

2. Situasi politik Nasional

Kebijakan pembangunan : pro growth, pro poor & pro job

3 Kebijakan Menhut Revitalisasi industri : Peningkatan suplai bahan baku kayumelalui peningkatan produksi hutan tanaman Menhut gencarmelakukan program penanama

4. Dukungan kebijakan permodalan bagi petani difasilitasi dengan pendirian BLU

5. Event /momentun Proses perumusan PP 6 sebagai pengganti PP 34 yang dinilaitidak lagi relevan dengan situasi/kondisi yang berkembang

6. Filosofi program Masyarakat diberikan peluang usaha di bidang hutan tanaman. Usaha skala kecil tidak akan merubah bentang alam tidakmemerlukan Amdal sehingga kebutuhan modal kecil.

7. Pihak yang terlibat dalamproses perumusankebijakan

- Sebagian besar merupakan hasil kristalisasi gagasan internal di Kementrian Kehutanan

- Dukungan pihak akademisi berupa rekomendasi teknis

91

4. 3 Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan HTR Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang

menjelaskan bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang

di dalamnya terdapat ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah

tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo 2006). Analisis narasi kebijakan merupakan

tahap analisis teori dari proses perumusan kebijakan. Sedangkan diskursus

merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen yang dilakukan dari

penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan cerminan

dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006)

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 merupakan tonggak awal

ditetapkannya kebijakan HTR. Peraturan Pemerintah No.6/2007 merupakan

hasil revisi dari PP 34/2002. Ismanto (2010) menyatakan bahwa PP 34/2002

pada intinya merupakan upaya melanjutkan konsep HPH/HTI dengan mengganti

nama menjadi IUPHHK, sebagaimana diamanatkan dalam UU Kehutanan

41/1999. Perubahan dari PP 34/2002 menjadi PP6/2007 tidak mengganti sistem

konsesi hutan produksi. Adapun perubahan yang terjadi dari PP 34/2002

menjadi PP 6/2007 adalah pemisahan antara IUPHHK di hutan alam dengan

IUPHHK di hutan tanaman. Hutan alam dan hutan tanaman dibedakan dengan

cara menempatkan tegakan pada hutan tanaman sebagai asset bagi pemegang

izin. Hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa untuk

membangun tegakan pada hutan tanaman diperlukan modal yang harus

diinvestasikan oleh para pemegang IUPHHK-HT. Dengan perbedaan tersebut

maka implikasi yang muncul kemudian adalah terbukanya kesempatan bagi

pemegang IUPHHK di hutan tanaman untuk menjadikan aset tanamannya

sebagai agunan untuk memperoleh kredit modal dari BLU Pusat P2H.

Perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap peraturan perundangan

tersebut pada dasarnya tidak mencerminkan perubahan mendasar, karena

diskursus yang melekat pada setiap peraturan perundangan yang diterbitkan

tidak berubah. Diskursus tersebut adalah pengelolaan hutan produksi melalui

pemberian izin konsesi. Diskursus tunggal ini pula yang mendasari terbitnya

kebijakan HTR. Pada prinsipnya kebijakan HTR merupakan modifikasi

kebijakan konsesi HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri).

Perubahan yang terjadi hanya sasaran pemegang izin tidak lagi ditujukan bagi

perusahaan besar melainkan rakyat secara perorangan/kelompok atau melalui

koperasi.

92

Dalam konteks perhutanan sosial (social forestry), kebijakan HTR

merupakan salah satu bentuk pembagian peran pemerintah dengan masyarakat.

Pemerintah menyerahkan sebagian urusan pengelolaan hutan di kawasan hutan

produksi kepada masyarakat sekitar hutan. Secara praktik kebijakan HTR mirip

dengan kebijakan perhutanan sosial sebelumnya yaitu Hutan Kemasyarakatan

(HKM).

Perumusan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat terjadi dalam suasana

psikologis yang dilandasi oleh paradigma pengelolaan hutan berbasis

masyarakat (Community Based Forest Management). Terlebih 3 pilar

pembangunan nasional secara jelas menunjukkan keberpihakan pada rakyat

yaitu strategi pro-poor, pro-job dan pro-growth. Paradigma CBFM sendiri

merupakan perubahan dari paradigma pembangunan kehutanan yang

sebelumnya lebih berorientasi pada Timber Extraction dan State Based Forest

Management. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa

pembangunan kehutanan yang selama ini dilakukan telah mengakibakan

masyarakat sekitar hutan terpinggirkan (Poffenberger 2006; Engel & Palmer,

2006). Berbagai bukti menunjukkan bahwa pembangunan tanpa melibatkan

masyarakat sekitar hutan menimbulkan banyak kerugian baik dari sisi degradasi

sumberdaya hutan (FWI/GWF 2002; Yadav et al. 2003) maupun marginalisasi

masyarakat sekitar hutan (Bromley & Cernea 1989; Lynch & Talbot 1995, Malla

2000; Lyndayati 2002).

”Keberpihakan pada masyarakat” inilah yang mempengatuhi diterapkannya

kebijakan HTR oleh Kementerian Kehutanan, khususnya oleh Direktorat Jenderal

Bina Usaha Kehutanan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan

diyakini sebagai suatu keharusan mengingat pengelolaan hutan oleh negara

yang selama ini dilakukan telah terbukti tidak mampu menjamin kelestarian

sumberdaya hutan dan tidak pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sekitar hutan.

Tujuan dari Program Perhutanan Sosial sebagaimana menjadi visi

pembangunan kehutanan di Indonesia adalah terwujudnya kelestarian hutan dan

terciptanya masyarakat yang sejahtera. Kebijakan perhutanan sosial yang telah

banyak diupayakan juga belum mencapai hasil seperti yang diharapkan (Peluso

1992; Moniaga 2000; Lyndayati 2002; Sardjono 2006; Raharjo et al. 2006;

Suryamihardja 2006).

93

Kebijakan yang kurang sesuai dan tidak mampu mengatasi permasalahan

yang dihadapi oleh masyarakat sekitar hutan justru dapat membuat keadaan

semakin memburuk. Dapat pula dikatakan bahwa krisis yang terjadi pada

sumber daya hutan pada dasarnya bersumber dari ketidaksesuaian institusi yang

digunakan negara dalam kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan hutan,

kurangnya sistem pengaturan penguasaan dan manajemen pemanfaatan

sumber daya hutan (Peluso 1992; Simon 2006).

Keberpihakan kepada masyarakat dalam pembangunan kehutanan mulai

muncul pada Konges Kehutanan Dunia kedelapan di Jakarta tahun 1978. Pada

kongres tersebut diperkenalkan konsep perhutanan sosial (social forestry) dan

retorika “forest for people”. Istilah social forestry menurut Kartasubrata (2003)

untuk pertama kali digunakan pada tahun 1968.

Konsep perhutanan sosial memang telah diterima dan diakui sebagai salah

satu pendekatan yang baik dalam rangka mencapai kelestarian hutan. Kegiatan

ini difokuskan kepada upaya penyediaan mata pencaharian dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat guna mempertahankan kelestarian sumberdaya

hutan. Pemikiran tersebut tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa

masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran diantara mereka,

memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan,

serta tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan

(Borrini-Feyerabend et al. 2003).

Noronha & Spears (1998) menyatakan bahwa arti perhutanan sosial tidak

dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di

bawah program-program. Inti baru dari program-program ini terletak pada kata

“sosial” yaitu program-program melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan

aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali

dan bersama-sama memanfaatkan hasil hutan.

4.4 Model Perumusan Kebijakan HTR Teori model linier menyatakan bahwa sebuah kebijakan disusun

berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan merumuskan isu dan

masalah serta diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.

94

Urutan dalam model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai

berikut :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. Dalam

tahap ini biasa juga dilakukan dengan menentukan kesenjangan atau gap

antara kondisi saat ini dengan kondisi harapan yang diinginkan.

2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau gap

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan

hambatan yang terjadi

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat

5. Pelaksanaan kebijakan

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan

Dalam model linier pembuat kebijakan diasumsikan bertindak rasional dalam

mengikuti tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kebijakan dan dapat

menggunakan seluruh informasi yang diperlukan untuk menetapkan keputusan

(Sutton 1999)

Jawaban atas pertanyaan ”Apakah perumusan kebijakan HTR merupakan

sebuah model linier?”. Dapat diduga sejak awal sebagaimana hipotesis dalam

penelitian ini, bahwa perumusan kebijakan HTR bukan merupakan sebuah model

linear. Proses perumusan kebijakan HTR tidak mempertimbangkan semua

resiko dan hambatan yang akan terjadi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab

kegagalan dalam implementasi kebijakan sebelumnya masih digunakan dalam

pelaksanaan kebijakan HTR.

Kebijakan HTR bukan merupakan program baru dalam dalam hal pelibatan

masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan. Berbagai

bentuk program pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah banyak dilakukan

seperti program Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Hutan Desa (HD). Hasil

evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program tersebut memang

menunjukkan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan

berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan

(Poffenberger 2006) namun tidak sedikit yang gagal (Raharjo et al. 2006;

Suryamihardja 2006; Lyndayati 2002).

Pagdee et al. (2006) melakukan sebuah meta-study untuk mengkaji faktor-

faktor yang mempengaruhi keberhasilan Community Forest Management (CFM)

Subjek kajian adalah 31 artikel yang membahas 69 kasus pengelolaan hutan

masyarakat di seluruh dunia. Dari kajian tersebut teridentifikasi 43 variabel yang

95

berpengaruh yang meliputi faktor internal dari pihak masyarakat sendiri hingga

faktor-faktor luar yang mempengaruhi. Hasil kajian menunjukkan bahwa variabel

yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan CFM adalah kepastian lahan,

hak kepemilikan yang jelas, penegakan aturan yang tegas, adanya monitoring,

sanksi, dan kepemimpinan yang kuat, minat masyarakat yang tinggi didukung

oleh adanya manfaat yang jelas dari kegiatan CFM dan adanya kewenangan di

tingkat masyarakat lokal.

Contoh keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah

dilaksanakan selama ini antara lain :

1. Kegiatan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang dilakukan

oleh Perum perhutanai di Jawa. Kegiatan PHBM pada awalnya merupakan

kegiatan tumpangsari yaitu menanam tanaman palawija di bawah tegakan

pokok. Kesempatan ini digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk

memanfaatkan lahan di bawah tegakan. Mereka memperoleh hasil berupa

tanaman semusim untuk menunjang kebutuhan subsisten. Di beberapa

daerah kegiatan PHBM telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat

petani hutan dalam membantu meningkatkan perekonomian rumah tangga

(World Agroforestry Centre 2009).

2. Kegiatan Hutan Rakyat, yaitu pembangunan hutan di lahan milik. Hutan

rakyat dilakukan oleh masyarakat secara perorangan dengan menanami

lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan. Kegiatan ini pada awalnya

dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan dengan bantuan bibit dari

pemerintah. Ketika kayu dari hutan rakyat mulai memiliki nilai ekonomis

tinggi, maka kegiatan penanaman hutan di lahan milik menjadi lebih luas.

Beberapa daerah yang berhasil mengembangkan hutan rakyat adalah di

kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Ciamis, Sukabumi, dan Sulawesi

Tenggara.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan program perhutanan

sosial atau program pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah pelaksanaan

program yang tidak sesuai dengan konteks lokal. Hal ini biasa terjadi karena

program bercorak sentralistik, top-down, dan cetak biru (Korten & Klauss 1984).

Karakteristik ini melekat pula pada kebijakan HTR. Program HTR mengulang

pola kebijakan bersifat cetak biru dan sentralistik. Ide dan perangkat peraturan

pelaksanaan program secara detail dirumuskan oleh pemerintah pusat. Bentuk

peraturan perundangan tersebut dituangkan mulai dari Peraturan Pemerintah

96

hingga Keputusan Direktur Jenderal yang mengatur mengenai petunjuk teknis di

lapangan.

Berbagai karakteristik kebijakan HTR sebagai program cetak biru

sebagaimana pemikiran Korten & Klauss (1984) adalah: 1) Gagasan kebijakan

berasal dari pemerintah pusat dan tidak merupakan inisiatif masyarakat lokal;

2) Langkah awal kegiatan dilakukan melalui pengumpulan data dan perencanaan

calon lokasi kegiatan dan bukan merupakan kegiatan yang diawali dari

kesadaran dan tindakan nyata masyarakat; 3) Pelaksanaan kegiatan dilakukan

oleh organisasi yang telah ada atau organisasi baru bentukan pemerintah;

4) Sumber daya bergantung pada pembiayaan pemerintah pusat; dan 5)

Managemen berfokus pada penyerapan anggaran dan target pencapaian

kegiatan sesuai rencana tata waktu. Tabel 15 menyajikan hasil analisis proses

perumusan kebijakan HTR berdasarkan kerangka perbandingan pembangunan

cetak biru dan inisiatif masyarakat lokal

Tabel 15 Kebijakan HTR dalam konsep cetak biru dan perbandingannya dengan

pembangunan berbasis inisiatif masyarakat lokal Aspek Cetak Biru Inisiatif Masyarakat Kebijakan HTR

Gagasan Pemerintah pusat Masyarakat lokal Pemerintah Pusat c.q

Kementerian Kehutanan Langkah awal Pengumpulan data dan

perencanaan Kesadaran dan tindakan nyata

Perencanaan calon lokasi HTR oleh Baplan

Organisasi pelaksana

Organisasi yang sudah ada atau bentukan baru dari Pemerintah Pusat

Dibangun oleh kebutuhan lokal

Dilaksanakan oleh Ditjen BPK, Baplan dan UPT di daerah, dan membentuk BLU P2HP untuk penyaluran dana pinjaman

Sumber daya Pembiayaan dan fasilitasi pemerintah pusat

Aset lokal Sumber biaya dari Anggaran Pemerintah

Fokus Management

Penyerapan anggaran, target pencapaian proyek sesuai rencana tata waktu

Pengembangan berkelanjutan untuk menuju performa yang lebih baik

Target luas HTR setiap Tahun ditetapkan 1,4 juta ha. Anggaran yang disediakan diserap. Bantuan kredit tersalurkan.

Sumber : Analisis data menggunakan kerangka analisis Korten & Klauss (1984) Meskipun kebijakan HTR mengedepankan paradigma CBFM namun dalam

praktiknya kebijakan yang disusun sama sekali tidak mempertimbangkan proses

inisiatif lokal. Hasil kajian telah menunjukkan bahwa pembangunan kehutanan

berbasis masyarakat seringkali mengalami kegagalan karena tidak melalui

97

proses belajar yang tumbuh berkembang dalam lingkungan masyarakat lokal

(Chambers 1993; Agrawal & Gibson 1999; Twyman 2000; Agrawal 2001).

Berdasarkan teori-narasi-kebijakan Roe (1994), maka kebijakan HTR dapat

disebut sebagai proses perumusan kebijakan yang tidak berdasar pada

pengamatan yang cermat. Hal ini karena penetapan kebijakan HTR tidak

merujuk pada hasil evaluasi program sebelumnya yang pada umumnya

mengalami kegagalan. Pengalaman pelaksanaan program Hutan

Kemasyarakatan menunjukkan bukti bahwa masyarakat lokal berada pada posisi

yang lemah di dalam mata rantai sistem perizinan dan sistem usaha konsesi

hutan (Suryamihardja 2006).

Beberapa faktor yang membuat kebijakan HTR serupa dengan kebijakan

sebelumnya adalah : 1) Ide program tidak muncul dari masyarakat sekitar hutan

yang akan menjadi sasaran kegiatan HTR, melainkan melalui pendekatan proyek

yang bersifat top-down; 2) Lemahnya partisipasi para pihak dalam proses

perumusan kebijakan HTR. Terbukti dengan tidak adanya keterlibatan pihak luar

dalam proses penyusunan program HTR. Aktor yang terlibat dalam proses

perumusan kebijakan HTR adalah pihak birokrat Kementerian Kehutanan dan

tidak melibatkan kalangan di luar Kementerian Kehutanan.

Hasil ini mendukung teori Sutton (1999) bahwa model linier jauh dari

realitas, karena menggunakan asumsi yang sulit untuk dipenuhi. Fakta empiris

tentang proses perumusan kebijakan HTR sebagai model yang tidak memenuhi

kaidah linier adalah tidak dipertimbangkannya informasi tentang faktor-faktor

yang menjadi penyebab ketidakberhasilan program sebelumnya. Faktor-faktor

tersebut adalah : a) Proses perizinan HTR serupa dengan perizinan HKM,

pengalaman dari program HKM menunjukkan bahwa masyarakat memiliki

kemampuan terbatas untuk menempuh prosedur perizinan yang relatif panjang

b) Kebijakan HTR digulirkan dengan filosofi membangun bisnis hutan tanaman

oleh masyarakat, sementara dari pengalaman program sebelumnya dapat

teridentifikasi bahwa masyarakat memiliki keterbatasan kapasitas untuk

menjalankan bisnis hutan tanaman; c) Kebijakan tentang kegiatan pendampingan

belum ditangani dengan baik, sementara proses pendampingan merupakan

faktor penting untuk membangun kapasitas masyarakat.

Berlandaskan pada pemikiran Korten & Klauss (1984) maka dapat

dikatakan bahwa perumusan kebijakan HTR merupakan proses pengulangan

dari kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Kebijakan seperti ini bersifat

98

incremental atau hanya melakukan perubahan secara bertahap, sedikit demi

sedikit dalam sistem pelaksanaannya saja. Sementara paradigma yang

melandasinya tidak mengalami perubahan mendasar. Hal ini sejalan dengan

yang diungkapkan Noorwidjk et al. (2007) bahwa pada prinsipnya paradigma

yang digunakan dalam perumusan kebijakan HTR sama dengan kebijakan yang

sebelumnya telah ada seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan).

Dari analisis proses perumusan kebijakan HTR, dapat diambil pelajaran

bagi para pengambil kebijakan. Faktor yang harus diperhatikan oleh para

perumus kebijakan adalah menggunakan data dan fakta yang komprehensif

untuk dapat merumuskan kebijakan yang baik. Peran para ahli, peneliti, dan

akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan yang

memadai.