I'TIKAF

12

Click here to load reader

description

TIKAF

Transcript of I'TIKAF

ITIKAF

ITIKAF

Itikaf menurut syara adalah diam dalam masjid dengan niat khusus. Secara subtansional, Itikaf adalah sunat. Berdasarkan firman Allah SWT:

1)

Aku perintahkan pada Ibrahim dan Ismail agar membersihkan rumah-ku (Kabah) dari berhala-berhala untuk orang-orang yang thawaf dan beritikaf. (QS. Al-Baqarah, 125).

Didukung:

2)

Janganlah kamu kumpuli mereka itu (istri-istrimu), sedangkan kamu dalam keadaan itikaf di dalam masjid. (Q.S. Al-Baqarah, 187).

Dan hadits Nabi SAW:

3)

Sesungguhnya Nabi SAW melakukan itikaf pada 10 hari pertengahan dan akhir bulan Ramadlan. Dan beliau melakukan iini (itikaf) sampai wafat. Nabi juga beritikaf pada 10 hari awal Ramadlan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari berbagai dalil di atas, baik hadits maupun Al-Quran, para ulama ijma (sepakat) bahwa hukum itikaf adalah sunat. Karena tidak ada dalil berupa perintah khusus yang mengarahkan ke hukum wajib. Namun jika dilihat dari aspek lain (al-amru alkharij), akan berdampak pada beberapa hukum:

1. Wajib

2. Makruh

3. Haram

Pertama : wajib dikerjakan, bila ada faktor nadzar. Karena hukum sunat saat ada faktor nadzar, dapat menjadi wajib.

Kedua: makruh dikerjakan, bila khawatir akan timbul fitnah (khaufil fitnah). Seperti perempuan cantik, yang bila itikaf dimungkinkan bisa mengundang birahi (fitnah) pada laki-laki. Dan kalau sudah yakin akan ada dampak negatif, maka hukumnya menjadi haram. Sebab sesuatu yang diyakini akan berdampak negatif, dan tetap dilakukan, berarti sengaja melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Allah berfirman:

4)

Jangan kamu jatuhkan dirimu dalam kerusakan.

Dan sesuai dengan kaidah fiqh:

5)

Setiap sesuatu yang mengarah ke maksiat, maka sesuatu itu termasuk bagian darinya (maksiat).

Ketiga: haram. Seperti istri atau budak yang nekat melakukan itikaf sementara suaminya atau sayyidnya tidak merestui atau tidak diketahui izinnya. Karena manfaat istri atau budak adalah milik suami atau sayyid-nya. Dan menjadi kewajiban istri atau budak untuk segera memenuhi dan menjadi kewajiban istri atau budak untuk segera memenuhi permintaan suami atau sayyid-nya.

Itikaf yang hukumnya sunat bisa lebih utama ketika memasuki 10 hari yang akhir dari bulan Ramadlan. Karena diharapkan bisa menemui lailatul qadar, sebagaimana yang banyak difatwakan ulama, bahwa kemungkinan besar lailatul qadar jatuh pada tanggal 21 bulan Ramadlan. Namun menurut Ibnu Khuzaimah lailatul qadar tidak bisa diprediksi secara permanen. Menurut pendapat ini ada kemungkinan setiap tahunnya terjadi perubahan. Hal ini karena mengumpulkan beberapa dalil dan pendapat yang berbeda-beda.

RUKUN ITIKAF

Rukun-rukun itikaf yang harus dipenuhi ada empat:

1. Niat

Itikaf membutuhkan niat, karena untuk membedakannya dengan berdiam yang bukan ibadah (lihat bab wudlu). Ucapan niat itikaf seperti contoh:

6)

Jika Itikafnya merupakan itikaf yang di-nadzari, maka niatnya seperti berikut:

7)

2. Berdiam diri atau menetap di dalam Masjid.

Untuk itikaf sunat atau nadzar, secara mutlak tidak ada batasan tertentu seberapa lama seseorang berdiam diri/menetap dalam tertentu. Cukup memandang keumuman berdiam diri dalam masjid. Kemudian kata-kata berdiam diri ini bukan berarti harus tidak bergerak. Bahkan berputar-putar di dalam masjid dengan diniati itikaf juga bisa dianggap beritikaf. Hal ini karena mengambil kefahaman dari peristiwa yang terjadi pada orang yang janabat dalam ayat:

8)

(Dan janganlah kalian mendekati tempat-tempat shalat) dalam keadaan janabat kecuali hanya lewat, sehingga kalian mandi. (Q.S. An-Nisa: 43)

Ayat di atas menunjukkan hukum haram bagi orang yang janabat menempati/berdiam di dalam masjid. Begitu juga walaupun hanya mondar-mandir, tetap diharamkan. Sebab secara urf (umum) bisa dianggap menetap/berdiam. Berbeda dengan sekedar lewat saja, karena sudah keluar dari kategori menetap yang tidak diharamkan.

Meskipun dalam itikaf selama satu hari.

Syarat bagi orang yang melakukan itikaf (mutakif) adalah:

1. Islam

2. Berakal

3. Suci dari hadats besar (haid, nifas, dan junub)

Apabila seseorang menetapi tiga sifat di atas, maka barulah dia bisa disebut mutakif, sehingga kalau orang tersebut berniat itikaf dan ada unsur berdiam diri di dalam masjid, maka bisa dianggap sah itikaf-nya.

Tempat (Masjid)

Pada permulaan bab ini terdapat dalil-dalil tentang itikaf baik dari Al-Quran ataupun Al-Hadits. Dari sana para ulama menyimpulkan bahwa itikaf harus dilakukan di masjid. Juga masjid adalah alternatif yang terbaik. Karena seandainya berbarengan dengan melakukan shalat Jumat, tidak usah repot-repot keluar dari tempat itikaf. Sebab shalat Jumat lebih banyak dilakukan di dalam masjid.

Sebagaimana ibadah sunat. Itikaf bisa menjadi wajib karean nadzar. Dan itikaf mandzurah (yang dinadzari) terbagi menjadi dua:

1. Itikaf Mandzurah yang dihubungkan dengan waktu tertentu. Semisal seseorang bernadzar ingin itikaf sepuluh hari, atau pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Ramadlan. Dan seandainya ada yang tertinggal, satu atau lebih dari jumlah hari yang di-nadzari, baik dengan udzur atau tidak, maka wajib di qadla-i. Akan tetapi untuk klasifikasi mandzurah yang seperti ini tidak harus dimulai lagi dari awal. Seperti seseorang nadzar ingin itikaf pad abulan Ramadlan, dan kesemuanya tidak bisa dilakukan, maka dalam meng-qadla-inya tidak harus pada bulan Ramadlan dan tidak haruss tatabu (berkesinambungan).

2. Itikaf mandzurah mutatabiah (yang dinadzari dan berkesinambungan). Perbedaan itikaf mandzurah mutatabiah dan tidak mutatabiah hanya terletak pada kata-kata berurutan, semisal:

9)

Jika seseorang menyertakan kata pada nadzarnya, maka seandainya ada satu saja yang batal dia harus mengulangi dari awal. Dan ini merupakan pendapat yang shahih. Sebab memandang pada lafadz niat.

Selanjutnya jika nadzar sudah dianggap sah, maka dia harus melakukan itikaf yang dinadzari itu. Juga, dia harus selalu berada di dalam masjid (tidak boleh keluar) kecuali karena dua hal:

1. Ada hajat (keperluan) untuk keluar. Yang dikehendaki disini adalah buang air, mandi wajib sebab mimpi basah ( ), dan karena lapar. Dalam keadaan lapar orang yang itikaf mandzurah diperbolehkan keluar untuk makan di luar. Lain halnya dengan haus. Dengan demikian kalau mutakif menemukan air di dalam masjid, maka dia tidak boleh keluar untuk mencari minum. Karena minum di dalam masjid tidak dianggap hal yang buruk, berbeda dengan makan. Secara urf (umum) makan di dalam masjid merupakan perbuatan yang seyogyanya dijauhi ( ).

Sebenarnya dalam masalah diperbolehkan keluar masjid ini tidak diharuskan sampai kadar mendesak. Asalkan perbuatan itu berhubungan dengan kebutuhannya sendiri dan tidak bisa dilakukan di masjid. Namun jika perbuatan itu tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan pribadi, maka tidak diperbolehkan. Semisal menjenguk orang sakit atau menyalati jenasah yang telah ada orang lain yang menyalati.

Mutakif yang sedang keluar masjid karena ada hajat/udzur hukumnya tetap sebagai muktatif. Dalam artian ketika di luar masjid dia tetap tidak boleh melakukan hal-hal yang membatalkan, seperti bersetubuh dengan istrinya. Hal ini berdasarkan pada ayat Al-Quran:

10)

Dalam ayat ini jelas bahwa lafadh j ika dilihat dari ilmu nahwu, taalluq nya pada lafadh Jadi dapat diambil kesimpulan tidak boleh bersetubuh dengan istri walau di luar masjid. Sebab mutakif yang keluar masjid karena ada hajat masih dihukumi sebagai mutakif.

2. Karena ada udzur yang disebabkan dua hal:

Haid, nifas, dan istihaadlah atau segala hal yang ditakuti akan mengotori masjid.

Sakit yang apabila dia tetap berada dalam masjid akan bertambah parah atau dia butuh membeli obat. Namun kalau sakitnya hanya biasa-biasa saja, semisal pusing, atau flu yang tidak parah, maka mutakif tetap tidak boleh keluar. Kemudian itikaf dianggap batal dengan sebab melakukan hubungan badan yang dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa hal tersebut dapat membatalkan itikaf. Namun kalau hanya mubasyarah (bermesraan) saja, maka sebagaimana halnya dengan berpuasa. Kalau sampai keluar sperma akan membatalkannya.