Isi Skripsi 2

35
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan sumber daya alam dari laut adalah rumput laut yang kaya akan manfaat. Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut juga merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu komersil. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan ganggang merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Karaginan merupakan hidrokoloid yang penting karena memiliki aplikasi yang sangat luas dalam industri pangan dan nonpangan. Jenis rumput laut ini dikembangkan karena memiliki prospek yang bagus disamping keuntungan yang baik serta berbagai manfaatnya. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat. Karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain. Kegunaan karaginan, antara lain sebagai pengatur kestabilan produk, bahan pengental, pembentuk gel dan pengemulsi (Sadhori, 1995 ; Kordi dan Ghufran, 2011). Perlakuan alkali panas dilakukan dengan menggunakan metode ohmik sebagai subtitusi metode pemanasan konvensional. Metode ohmik pada dasarnya adalah suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut (Salengke, 2000). Dalam proses produksi semi-refined carrageenan (SRC), kecepatan reaksi modifikasi precursor karaginan menjadi karaginan sangat tergantung pada kecepatan penyerapan alkali ke dalam matriks

description

contoh edit

Transcript of Isi Skripsi 2

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang

    luas dan kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan sumber daya alam

    dari laut adalah rumput laut yang kaya akan manfaat. Rumput laut atau sea weeds

    secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut juga

    merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor

    produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang

    tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu

    komersil.

    Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan

    ganggang merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Karaginan merupakan

    hidrokoloid yang penting karena memiliki aplikasi yang sangat luas dalam

    industri pangan dan nonpangan. Jenis rumput laut ini dikembangkan karena

    memiliki prospek yang bagus disamping keuntungan yang baik serta berbagai

    manfaatnya. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai

    manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat. Karaginan dapat digunakan

    sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain.

    Kegunaan karaginan, antara lain sebagai pengatur kestabilan produk, bahan

    pengental, pembentuk gel dan pengemulsi (Sadhori, 1995 ; Kordi dan Ghufran,

    2011).

    Perlakuan alkali panas dilakukan dengan menggunakan metode ohmik

    sebagai subtitusi metode pemanasan konvensional. Metode ohmik pada dasarnya

    adalah suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara

    keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya

    (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa

    pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan

    pangan tersebut (Salengke, 2000). Dalam proses produksi semi-refined

    carrageenan (SRC), kecepatan reaksi modifikasi precursor karaginan menjadi

    karaginan sangat tergantung pada kecepatan penyerapan alkali ke dalam matriks

  • 2

    jaringan sel-sel rumput laut. Pada sistim pengolahan dengan pemanasan

    konvensional, kecepatan reaksi berlangsung lambat sehingga proses pengolahan

    umumnya dilakukan antara 3 6 jam. Penelitian Sastry dkk., (2001) menunjukkan

    bahwa pemanasan ohmik dapat mempercepat proses pengeringan dengan

    peningkatan laju pengeringan (drying rate) bila dibandingkan dengan pemanasan

    konvensional ataupun dengan microwave. Hal ini akan berdampak pada

    penurunan konsumsi energi dan mempersingkat waktu pemanasan. Oleh karena

    itu, maka dilakukanlah penelitian yang memfokuskan pada studi karakteristik

    pemanasan ohmik selama proses alkalisasi.

    1.2 Tujuan dan Kegunaan

    Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pemanasan ohmik

    selama proses alkalisasi rumput laut Eucheuma cottonii, dan menentukan

    rendemen karaginan kasar (Semi Refine Carrageenan) yang diperoleh dari proses

    alkalisasi.

    Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi bagi industri rumput laut

    dalam mengoptimalkan produksi Alkali Treated Cottonii (ATC). Penelitian ini

    juga dapat dijadikan dasar dalam perancangan alat dan mesin pemanasan secara

    ohmik yang sesuai dengan karakteristik rumput laut jenis Eucheuma cottonii.

  • 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Rumput Laut Euchema Cottoni

    Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di

    wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang

    berasiosiasi dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam

    biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan karang mati. Selain tumbuh bebas

    di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak dibudidayakan oleh sebagian

    masyarakat pesisir Indonesia. Rumput laut atau alga laut (sea weed) merupakan

    salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi

    penting sebagai produsen rumput laut dunia. Produksi rumput laut dapat

    diperoleh dari rumput laut yang tumbuh alami dan rumput laut yang

    dibudidayakan, baik di laut maupun di tambak. Lahan di daerah pesisir

    merupakan sumber daya alam yang sangat luas dan dapat digunakan untuk

    pembudidayaan rumput laut. Kebutuhan rumput laut yang terus menunjukkan

    peningkatan, baik pasar domestik maupun pasar dunia, merupakan prospek yang

    besar bagi pengembangan rumput laut (Kordi dan Ghufran, 2011).

    Alga atau ganggang terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae

    (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang

    hijau), dan Cyanophyceae (ganggang hijau-biru). Pembagian ini didasarkan atas

    pigmen yang dikandunganya. (Indriani dan Sumarsih, 1997). Klasifikasi

    taksonomi rumput laut jenis Eucheuma cottonii (Anggadiredja dkk., 2006) :

    Kingdom : Plantae

    Divisio : Rhodophyta

    Kelas : Rhodophyceae

    Bangsa : Gigartinales

    Suku : Solierisceae

    Marga : Eucheuma

    Jenis : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii)

    Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah

    (Rhodophyceae). Rumput laut jenis cottonii sering juga dikenal dengan nama

    Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-

  • 4

    karaginan. Oleh karena itu, Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut

    Kappaphycus alvarezii. Nama cottonii umumnya lebih dikenal dan umumnya

    digunakan dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional dimana

    rumput laut yang dikirim harus memenuhi standar mutu yang telah

    ditetapkan (Tabel 1) (Samsuar, 2006).

    Tabel 1. Standar Mutu Rumput Laut Kering untuk Euchema, Gelidium,

    Gracilaria Dan Hypnea

    Karakteristik Syarat

    Eucheuma Gelidium Gracilaria Hypnea

    Kadar air

    maksimal (%)

    32 15 25 30

    Benda asing

    maksimal (%)

    5*) 5**) 5**) 5**)

    Bau

    Spesifik

    rumput laut

    Spesifik

    rumput laut

    Spesifik

    rumput laut

    Spesifik

    rumput

    laut

    Sumber : Poncomulyo dkk., (2006).

    *) Benda asing adalah garam, pasir, karang, kayu dan jenis lain

    **) Benda asing adalah garam, pasir, karang, dan kayu

    Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris,

    permukaan licin dan menyerupai tulang rawan (cartilogeneus). Warna Eucheuma

    cottonii tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu

    atau merah. Perubahan warna thallus sering terjadi karena faktor lingkungan

    (Anggadiredja dkk., 2006). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi

    kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas

    pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai

    kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak

    bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-

    batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh

    melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama

    dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus

    mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Samsuar, 2006).

  • 5

    Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai

    terumbu. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang

    tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Beberapa jenis

    Eucheuma cottonii mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan

    internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan dalam setiap

    spesies Eucheuma berkisar antara 54 73 % tergantung pada jenis dan lokasi

    tempat tumbuhnya. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah (Malaysia)

    dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara

    sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia

    antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi

    Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Samsuar,

    2006).

    2.2 Karaginan

    Karaginan adalah zat aditif alami yang banyak dimanfaatkan dalam

    berbagai industri, terutama industri makanan dan kosmetik. Semi-refined

    carrageenan (SRC) adalah salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian

    lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung

    sejumlah kecil selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. SRC secara

    komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses

    ekstraksi menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida / KOH) (Parwata dan

    Oviantari, 2007).

    Karaginan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil

    ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau

    larutan alkali pada suhu tinggi. Karaginan adalah senyawa hidrokoloid yang

    merupakan susunan dari senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi

    dari rumput laut. Sebagian besar kappa karaginan diekstraksi dari rumput laut

    jenis Eucheuma cottonii. Karaginan merupkan polisakarida yang linear dan

    merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya berupa glukosa

    (Pancomulyo dkk., 2006 ; Kordi dan Ghufran, 2011).

  • 6

    Menurut Poncomulyo dkk., (2007) berikut sifat-sifat karaginan dalam

    media pelarut:

    1. Lamda karaginan larut dalam air panas (suhu 40-60 0C). Kappa dan iota

    karaginan larut pada suhu di atas 70 0C.

    2. Kappa, lamda, iota karaginan larut dalam susu panas. Dalam susu dingin

    kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan membentuk

    dispersi.

    3. Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota

    karaginan membentuk gel dengan ion kalsium. Lamda karaginan tidak dapat

    membentuk gel

    4. Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam

    karagian akan terhidrolisis.

    Berdasarkan sifat jelly yang terbentuk, karaginan dibedakan menjadi tiga

    golongan, yaitu kappa karaginan (jelly bersifat kaku, getas, kertas), iota karaginan

    (jelly lembut, fleksibel, dan lunak) dan lamda karaginan (tidak dapat membentuk

    jelly tetapi berbentuk cairan kental) (Setiawati, 2007).

    Proses produksi karaginan semi refine lebih banyak diaplikasikan untuk

    rumput laut Eucheuma cottonii. Produk SRC dapat berbentuk chips, dan tepung

    (Anggadireja dkk., 2006).

    Tabel 2. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Euchemua sp

    Bahan Baku Tahap Proses Jenis/Tipe

    Karaginan

    Metode Bentuk

    Produk

    E. spinosum refine iota-karaginan metode alkohol powder

    E. cottonii

    refine

    kappa-karaginan

    metode alkohol powder

    metode pressing powder

    semirefine

    food grade

    kappa-karaginan alkali panas

    chip

    powder

    industrial grade

    kappa-karaginan

    alkali panas

    chip

    powder

    Sumber : Anggadiredja dkk., 2006.

  • 7

    Kelarutan karaginan di dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor,

    diantaranya suhu, senyawa organik, garam yang larut dalam air, serta tipe

    karaginan itu sendiri. Derajat kekentalan karaginan dipengaruhi oleh konsentrasi,

    suhu , dan volume bahan lain yang larut dalam campuran tersebut. Kekentalan

    karaginan dalam membentuk gel dibedakan dari yang kuat sampai rapuh dengan

    tipe yang lembut dan elastis. Sedangkan teksturnya tersebut yakni tergantung dari

    jenis karaginan, konsentrasi, keberadaan ion-ion lain, keberadaan larutan lain,

    serta senyawa hidrokoloid yang tidak membentuk gel (Anggadireja dkk., 2006).

    Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam

    dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara

    jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam

    bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas

    untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium

    lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis

    garamnya (Samsuar, 2006).

    Kappa-karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air

    dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali

    jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu

    pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi

    random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur

    double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan

    polimer-polimer ini akan saling terikat silang secara kuat dan dengan makin

    bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab

    terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses

    pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air

    (Samsuar, 2006).

  • 8

    Tabel 3. Daya kelarutan Karaginan pada Berbagai Media Pelarut

    Medium Kappa-karaginan Iota-karaginan Lamda-karaginan

    Air panas Larut di atas 60 0C Larut di atas 60

    0C Larut

    Air dingin Garam natrium

    larut, garam K, Ca

    tidak larut

    Garam Na larut,

    garam Ca memberi

    dispersi thixotropic

    Larut

    Susu panas Larut Larut Larut

    Susu dingin Garam Na, Ca, K,

    tidak larut, tetapi

    akan mengambang

    Tidak larut larut

    Larutan gula pekat Panas, larut Larut, sukar Larut, panas

    Larutan garam Tidak larut Larut panas Larut panas

    Sumber : Kordi dan Ghufran, 2011.

    Pemanfaatan karaginan pada industri biasanya digunakan sebagai

    stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah

    kristalisasi dalam industri makanan atau minuman, farmasi, serta industri

    kosmetik (Setiawati, 2007).

    2.3 Alkali Treated Cottonii (ATC)

    Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii yang baru

    dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus dikeringkan hingga

    kadar air 30-35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor.

    Rumput laut penghasil karagian dapat dengan mudah menjadi semi-refine

    carrageenan (SRC) melalui proses alkalisasi, SRC sering juga disebut alkali-

    modified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC) (Suryaningrum

    dkk., 2003)

    Menurut Parwata dan Oviantari (2007) proses ekstraksi dilakukan

    menggunakan larutan KOH 8,0% pada suhu 100o

    C selama 60 menit. Ekstraksi

    semi-refined carrageenan (SRC) dilakukan dengan tahapan proses sebagai

    berikut:

    1. Sampel rumput laut kering dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang lebih

    kecil secara merata.

    2. Rumput laut dimasak dalam larutan KOH 8,0% pada suhu 100o

    C selama 60

    menit sampai terbentuk gel

  • 9

    3. Gel karaginan kemudian dipisahkan dari larutan pengekstrak dengan

    penyaringan,

    4. Karaginan dicuci menggunakan air untuk menghilangkan sisa-sisa larutan

    alkali, kemudian dikeringkan.

    5. Karaginan kering digiling (digerus) menjadi tepung karaginan (SRC).

    Karaginan dalam jaringan rumput laut terikat pada dinding sel.

    Pemecahan dinding sel melalui perlakukan pemanasan dan perlakuan lainnya

    yang dapat memecah dinding sel dapat berdampak pada hasil karaginan yang

    tinggi. Metode tradisional produksi karaginan didasarkan pada kemampuan

    osmosis rumput laut. Pemanasan rumput laut dalam air cenderung mendesak

    karaginan terekstraksi keluar dari jaringan sel rumput laut. Metode ekstraksi

    dengan air panas seperti ini akan menghasilkan karaginan tanpa campuran bahan

    kimia yang dalam perdagangan dikenal dengan nama native carrageenan. Akan

    tetapi, rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibandingkan pemanasan dalam

    larutan alkali (Suryaningrum dkk., 2003).

    Dalam pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk seperti

    karaginan, agar, dan alginat, larutan alkali yang digunakan sebagai medium

    pemasakan memiliki dua fungsi. Pertama, alkali membantu proses pemuaian

    (pembengkakan) jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya

    karaginan, agar, atau alginat dari dalam jaringan. Kedua, apabila alkali

    digunakan pada konsentrasi yang cukup tinggi, dapat menyebabkan terjadinya

    modifikasi struktur kimia karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari

    karaginan sehingga terbentuk residu 3,6-anhydro-D-galactose dalam rantai

    polysakarida (Yasita dan Rachmawati, 2010)

    Berdasarkan metode ekstraksi yang digunakan, dapat diperoleh dua jenis

    ekstrak karaginan yaitu semi-refined dan refined carrageenan. Suhu pemasakan

    untuk memproduksi semi-refined carrageenan dipertahankan dibawah 80-85 oC

    untuk mencegah larutnya karaginan dalam larutan alkali. Setelah proses

    pemasakan, rumput laut kemudian dibilas beberapa kali dan dikeringkan. Produk

    kering yang dihasilkan kemudian digiling menjadi tepung dan dijual sebagai

    tepung rumput laut atau sebagai semi-refined carrageenan. Produk semi-refined

  • 10

    carrageenan umumnya digunakan dalam produksi daging kaleng dan pakan

    hewan piaraan (Yasita dan Rachmawati, 2010).

    Proses ekstraksi karaginan dari rumput laut secara tradisional dilakukan

    dengan pemanasan dalam larutan alkali dengan medium pemanas berupa aliran

    uap yang dikontrol debitnya untuk mengontrol suhu pemanasan. Suhu proses

    bervariasi antara 65-80 oC untuk menghasilkan ATC (alkali treated

    carragenophyte) atau semi-refined carrageenan (SRC) dan 85-100oC untuk

    memproduksi refined carrageenan. Penggunaan suhu yang lebih rendah pada

    produksi SRC dimaksudkan agar karaginan yang terkandung dalam rumput laut

    tidak larut kedalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang

    dihasilkan (Yasita dan Rachmawati, 2010).

    Tahap penting ekstraksi semi-refined carrageenan (SRC) terletak pada

    proses pemasakan dengan larutan alkali. Terdapat beberapa faktor yang

    mempengaruhi produksi ATC yaitu umur panen, suhu alkalisasi dan konsentrasi

    alkali yang digunakan. Rendemen tertinggi (dalam bentuk tepung ATC) diperoleh

    dengan penggunaan larutan KOH 10% (Andriani, 2006). Penelitian lain Purwata

    dan Oviantari (2007) menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat

    dipengaruhi oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas

    bahan baku antara lain kadar air dan kadar pengotor.

    Menurut Parwata dan Oviantari (2011) bahwa kadar air dalam bahan baku

    rumput laut dapat mempengaruhi produk SRC. Industri-industri karaginan

    biasanya mensyaratkan kadar air bahan baku rumput laut maksimal 37%. Karena

    metode ekstraksi dengan air panas akan menghasilkan karagianan tanpa campuran

    bahan kimia, tetapi hasil rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibanding dengan

    pemanasan dalam larutan.

    Keberadaan air dalam jumlah banyak dalam jaringan rumput laut

    kemungkinan dapat menghalangi masuknya larutan alkali ke dalam jaringan

    rumput laut tersebut, sehingga tidak dapat mengekstrak karaginan yang ada di

    dalamnya. Kadar air yang terlalu rendah (rumput laut terlalu kering) kemungkinan

    dapat menyebabkan jaringan rumput laut keras, sehingga sulit ditembus oleh

    larutan alkali, akibatnya karaginan sulit terekstrak. Selain itu, kandungan air

    dalam jaringan rumput laut memungkinkan terjadinya reaksi enzimatik yang

  • 11

    dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas karaginan yang dihasilkan

    (Anggadiredja dkk., 2006). Penelitian Purwata dan Oviantari (2007) menunjukkan

    bahwa variasi perlakuan kadar air rumput laut dengan interval 10% sampai 50%

    berbanding lurus terhadap rendemen ATC namun berbanding terbalik terhadap

    viskositas ATC yang dihasilkan.

    Kualitas SRC yang dihasilkan diharapkan dapat sesuai dengan standar

    mutu foodgrade. Dapat dilihat pada Tabel 4 standar mutu karaginan.

    Tabel 4. Standar Mutu Karaginan

    Parameter Komersial

    Food

    Agriculture

    Organization

    (FAO)

    Food

    Chemical

    Codex

    (FCC)

    European

    Economic

    Community

    (EEC)

    Kadar Air (%) 14,34 0,25 Maks. 12 Maks. 12 Maks. 12

    Kadar Abu (%) 18,60 0,22 15-40 18-40 15-40

    Kekuatan gel

    (dyne/cm2)

    685,50 13,43 - - -

    Titik Leleh

    (0C)

    50,21 1,05 - - -

    Titik Gel (0C) 34,10 1,86 - - -

    Sumber : A/S kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Dian (2010).

    2.4 Rendemen

    Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio

    antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang

    digunakan. Rendemen dipengaruhi oleh jenis, iklim, metode ekstraksi, waktu

    pemanenan dan lokasi budidaya. Selain itu rendemen juga dipengaruhi oleh

    skala produksi, dimana skala produksi yang besar akan menghasilkan rendemen

    yang besar pula. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase

    karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan

    umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi (Samsuar, 2006).

    2.5 Pemanasan Ohmik (Ohmic Heating)

    Konsep pemanasan ohmik atau dikenal juga dengan pemanasan Joule

    (joule heating) adalah pemanasan produk pangan dengan cara melewatkan pada

    aliran listrik. Pemanasan ohmik umumnya untuk membunuh mikroorganisme,

  • 12

    melalui efek termal. Teknik ini terutama digunakan untuk material yang dapat

    mengalir. Pemanasan ohmik kembali banyak di minati karena meningkatnya

    ketersediaan dan kualitas material elektroda (Muhtadi dan Ayustaningwarno,

    2010 ; Sastry dkk., 2011).

    Keterbatasan perlakuan pemanasan konvesional telah dikenal di industri

    pangan, dimana kualitas produk tidak sesuai dengan yang diinginkan selain juga

    berhubungan dengan sensivitas produk pangan terhadap panas. Pemanasan

    microwave telah diaplikasikan secara luas dalam penyiapan bahan pangan rumah

    tangga. Akan tetapi aplikasi komersial untuk inaktivasi mikroba masih menjadi

    pembatas karena terjadinya penyebaran panas yang tidak seragam (Muhtadi dan

    Ayustaningwarno, 2010).

    Walaupun perlakuan ohmik bukan merupakan olah minimal yang

    sesungguhnya, akan tetapi jika desain dan penerapan yang hati-hati dilakukan

    akan terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan perlakuan panas

    konvensional. Tidak seperti pemanasan konvensional dimana pemanasan dari

    permukaan yang panas menuju bagian dalam, proses ohmik melibatkan internal

    generation pada kecepatan terkontrol, sehingga merupakan proses HTST yang

    dapat diterapkan untuk produk pangan solid (Muhtadi dan Ayustaningwarno,

    2010).

    Pemanasan ohmik merupakan suatu proses dimana arus listrik

    (khususnya arus bolak-balik AC) dilewatkan melalui bahan pangan. Akibatnya,

    terjadi pembangkitan energi internal pada bahan pangan. Prinsip dasar pemanasan

    ini akan menghasilkan sebuah pola pemanasan luar dan dalam. Konstruksi

    pemanas ohmik terdiri dari sumber arus dan reaktor yang disisipi dengan

    elektroda. Vibrasi sel menyebabkan terjadinya friksi dan disipasi dalam bentuk

    panas (Silva, 2002).

    Dalam bidang pengolahan pangan, pemanasan ohmik didefinisikan

    sebagai suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara

    keduanya) dipanasi secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya.

    Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju diffusi ini

    dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel-sel

    sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama

  • 13

    pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus

    listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya

    tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut (Sastry dkk., 2001). Jumlah panas

    yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung

    dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field

    strength) dan konduktivitas listrik dari bahan pangan yang diolah. Teknologi

    pemanasan ohmik dapat diterapkan, tidak hanya untuk cairan, tetapi juga untuk

    multi-fase campuran cair-padat, khususnya di media ini akan sulit untuk proses

    menggunakan penukar panas konvensional (Sastry dan Qiong, 1993) dalam

    Delgado dkk., 2012).

    Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm yang dikenal

    sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan hambatan (persamaan 1). Bahan

    makanan terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian.

    I = V

    R . (1)

    Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik

    menyebabkan panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain, energi

    listrik dikonversi menjadi energi panas (Sastry dan Salengke, 1998). Waktu

    pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan. Gradien

    tegangan meningkat, panas yang dihasilkan per unit waktu meningkat, dan karena

    itu waktu pemanasan yang diperlukan untuk mencapai temperatur berkurang.

    Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier,

    2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat

    mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per meter (S/m).

    Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan medan listrik

    dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam terminologi

    pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral atau ion. Untuk

    bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl). Semakin tinggi

    jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas (Anderson, 2008).

    Suatu bahan pangan dengan konduktivitas listrik ditempatkan diantara

    dua elektroda (Gambar 1) dengan kekuatan medan, menghasilkan laju generasi

    energi internal (internal energi generation rate) (Muhtadi dan Ayustaningwarno,

    2010):

  • 14

    Gambar 1. Model Pemanas Ohmik dan Reaktor Ohmik

    Untuk bahan pangan solid, konduktivitas listrik tergantung pada suhu dan

    gradient voltage. Konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada 70 oC

    ke atas. Jika jaringan sayuran dikenakan pemanasan konvensional, konduktivitas

    listrik akan meningkat tajam pada suhu 60 0C, akibat pecahnya dinding sel. Ketika

    jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas listrik menjadi lebih

    meningkat, akibat karena terjadinya electro-osmosis tergantung dari besarnya

    medan voltase yang digunakan. Pada voltage tinggi, electro-osmosis mendorong

    ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada suhu lebih rendah. Pada

    kekuatan medan yang cukup, dapat digunakan hubungan linear antara T

    (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010) :

    T= ref [1 + m(T-Tref)(2)

    Dimana T adalah konduktivitas listrik pada suhu T, ref adalah

    konduktivitas listrik pada suhu reference (Tref) dan m adalah koefiesien suhu.

    Peningkatan konduktivitas brarti bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih relatif

    efektif pada suhu lebih tinggi. Karena konduktivitas listrik tergantung pada

    konsentrasi ion, maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan

    perlakuan sederhana seperti penambahan garam pada bahan pangan. Karena

    penurunan konduktivitas listrik bahan pangan yang direndam air disebabkan

    hilangnya senyawa ionik dalam air. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

    dilakukan (Sastry dan Salengke, 1998) konduktivitas listrik bahan pangan

    meningkat secara linier dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan

    menjadi semakin efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses

    pemanasan ohmik berlangsung. Konduktivitas listrik cenderung meningkat ketika

    ukuran partikel menurun, walaupun kesimpulan secara general tidak dapat

  • 15

    dilakukan tanpa memperhitungkan bentuk dan orientasi partikel (Muhtadi dan

    Ayustaningwarno, 2010).

    Di atas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah

    secara termal, kurva konduktivitas listrik-suhu sering menjadi linear. seperti

    terlihat pada Persamaan (3) (Sastry dkk, 2001 ):

    = 0 1 + mT . (3)

    Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana seperti digambarkan dalam

    gambar 1. Pemanasn ohmik didasarkan pada bagian arus listrik bolak-balik (AC)

    melalui tubuh seperti sistem makanan partikel cair yang berfungsi sebagai

    hambatan listrik di mana panas dihasilkan. Tegangan AC diterapkan pada

    elektroda di kedua ujung badan produk. Kekuatan medan listrik dapat bervariasi

    dengan menyesuaikan celah elektroda atau tegangan yang dikenakan. Namun,

    faktor yang paling penting adalah konduktivitas listrik dari produk dan

    ketergantungannya pada suhu. Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti

    dalam kasus campuran cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap

    harus dipertimbangkan. Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu,

    menunjukkan bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih efektif dalam meningkatkan

    suhu, yang secara teoritis dapat mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan

    dalam hambatan listrik dan ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat

    karakteristik pemanasan sistem yang sangat rumit (Delgado dkk., 2012).

    Untuk menghasilkan panas, bahan pangan harus memiliki

    konduktivitas listrik yang cukup sehingga dapat dilalui oleh arus listrik. Pemanas

    Ohmik menggunakan arus bolak balik. Pemanas ohmik berbeda dengan pemanas

    microwave dari segi penggunaan frekuensi. Pemanas Ohmik dioperasikan dengan

    frekuensi rendah (50 sampai dengan 60 Hz). Tegangan diatur sehingga mencapai

    suhu akhir yang dikehendaki, meskipun terjadi fluktuasi dalam komposisi pasokan

    dan laju aliran (Berk, 2009).

    Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas

    menjadi linier ketika gradient voltage dinaikkan hal ini menjelaskan bahwa terjadi

    non-linearitas pada gradient voltage rendah (20 sampai 30 V/cm). Penjelasannya

    adalah terjadinya electro-osmosis ketika pemanasan ohmik digunakan yang

    tergantung dari besar medan voltase yang digunakan. Pada gradient voltage tinggi,

  • 16

    electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada

    suhu lebih rendah (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

    Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion, maka

    memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana seperti

    penambahan garam. Penurunann konduktivitas listrik dalam sampel yang

    direndam air disebabkan hilangnya senyawa ionik dalam air (Muhtadi dan

    Ayustaningwarno, 2010).

    Penelitian yang telah dilakukan (Salengke, 2000) menunjukkan bahwa

    teknologi ohmik sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan

    pangan karena selain menimbulkan efek pemanasan, juga dapat menyebabkan

    terjadinya permeabilisasi dinding sel. Peningkatan permeabilisasi dinding sel pada

    berbagai produk pertanian terjadi akibat pemanasan secara ohmik. Peningkatan

    permeabilisasi dinding sel tersebut dapat berperan dalam mempercepat proses

    reaksi, meningkatkan laju difusi senyawa melewati dinging sel, meningkatkan

    rendemen ekstraksi senyawa dan cairan dari dalam sel, serta meningkatkan laju

    pengeringan.

    Pemanasan ohmik digunakan untuk berbagai situasi dimana perlakuan

    panas konvensional sulit untuk diterapkan. Fouling adalah masalah utama ketika

    bahan pangan berprotein terekspos oleh perlakuan teransfer panas permukaan.

    Proses ohmik dapat dipergunakan dengan beberapa keuntungan karena pemanasan

    terjadi secara internal energy generation dan tidak memerlukan pemanasan

    permukaan. Aplikasi lain adalah perlakuan panas pada surimi dan berbagai

    produk ikan. Efisensi kerja pemanas ohmik dapat ditingkatkan dengan

    melengkapi sistem kontrol otomatis. Pada pemanasan konvensional, produk

    mengalami waktu pemanasan yang lama pada suhu yang optimal untuk aktivitas

    protease. Dengan menggunakan perlakuan ohmik yang tepat dapat diperoleh

    peningkatan kualitas tekstur pada produk akhir. Pemanasan ohmik juga memiliki

    proses yang cukup baik dalam sterilisasi komersial dari campuran solid-liquid

    (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

    Potensi aplikasi dari pemanasan ohmik meliputi proses blansir, evaporasi,

    dehidrasi, fermentasi dan ekstraksi. Perhatian utama dari aplikasi perlakuan panas

    tersebut adalah dalam mengontrol mikroba. Pemanasan ohmik telah digunakan

  • 17

    untuk mengolah buah utuh di Jepang dan UK seperti dalam proses ekstraksi

    minyak lemon. Unit komersial dalam penolahan telur cair juga dilakukan di US

    (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

    Keunggulan utama dari pemanasan ohmik adalah cepat dan sistem

    pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang

    mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang kontak

    dengan produk dibandingkan dengan pemanaan konvensional yang memerlukan

    waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan dan pemanasan

    partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan ohmik, partikel dapat

    memepercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada kandungan

    senyawa ionic yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat untuk

    meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muhtadi dan

    Ayustaningwarno, 2010).

  • 18

    III. METODE PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 - Juli 2012 di

    Laboratorium Processing Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Keteknikan

    Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teaching Industry, Universitas Hasanuddin,

    Makassar

    3.2 Alat dan Bahan

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lainterpal plastik, jergen,

    gunting, reaktor ohmik, sistem akusisi (logger) dan data SPSS ,mesin pengering

    tray drier type cross flow, timer, timbangan analitik Mettler Toledo PL60L-S

    ketelitian 0,01 gram, termometer, desikator, kamera digital, stirer magnetic,

    komputer (PC), gelas ukur.

    Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi larutan kalium

    hidroksida (KOH) 0.5 dan 1 N, air laut, aluminium foil, aquades, kertas label,

    kertas, kain saring, dan rumput laut segar jenis Eucheuma cottonii dengan umur

    panen 50 hari yang diperoleh dari Desa Lasitaeng, Kecamatan Taneterilau,

    Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

    3.3 Perlakuan Penelitan

    Perlakuan yang diberikan dalam penelitian meliputi perbedaan voltage

    selama alkalisasi dengan pemanasan ohmik, waktu dan suhu pemanasan, serta

    konsentrasi alkali yang digunakan. Matriks perlakuan penelitian dapat dilihat pada

    Tabel 5.

    Dimana :

    CTR : Alkalisasi secara konvensional

    V : Tegangan

    SWA-R : Perbandingan rumput laut dengan larutan alkali

  • 19

    Tabel 5. Table matriks perlakuan

    PERLAKUAN: V (60, 80 V), WKT (0,5, 1, 2 JAM), SUHU (70, 75, 80)

    PARAMETER TETAP : SWAR (1:20); C-ALKALI ( 0,5 N dan 1 N); SUHU

    PENGERINGAN 60C; KEC. UDARA 1.5 m/det.

    MATRIKS PERLAKUAN

    Kode v Wkt T-akhir SWA-R C-alkali

    A1 CTR 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A2 60 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A3 80 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A4 CTR 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A5 60 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A6 80 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A7 CTR 3 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A8 60 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A9 80 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N

    A10 CTR 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N

    A11 60 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N A12 80 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N A13 CTR 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A14 60 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A15 80 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A16 CTR 3 75 1:20 0,5 N dan 1 N A17 60 0,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A18 80 0,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A19 CTR 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N

    A20 60 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N A21 80 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N A22 CTR 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A23 60 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A24 80 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A25 CTR 3 80 1:20 0,5 N dan 1 N A26 60 0,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N A27 80 0,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N

    3.4 Prosedur Penelitian

    Prosedur penelitian ini meliputi persiapan bahan, pemanasan dalam

    larutan alkali (alkalisasi) dan ekstraksi karaginan dari E. Cottonii, dan

    pengeringan. Adapun tahapan penelitian sebagai berikut:

  • 20

    A. Persiapan Bahan

    Tahap persiapan bahan adalah menyiapkan rumput laut jenis Eucheuma

    cottonii dengan umur panen 50 hari. Kemudian dicuci menggunakan air laut untuk

    menghilangkan benda asing yang melekat. Setelah bersih lalu dijemur di atas

    terpal plastik hingga mencapai kadar air sekitar 30%.

    Larutan KOH yang digunakan terdiri atas dua konsentrasi yaitu 0,5 N

    dan 1 N. Larutan 0.5 N KOH diperoleh dengan melarutkan 28.05 gram KOH

    dalam 1 liter aqaudes, sedangkan larutan KOH 1 N dengan melarutkan 56.10

    gram KOH ke dalam 1 liter aquades.

    B. Alkalisasi dan modifikasi karaginan

    Tahapan alkalisasi dan modifikasi karaginan dari Eucheuma cottonii

    dengan pemanasan ohmik adalah mengambil rumput laut jenis Eucheuma cottonii

    sebanyak 45 gram yang akan dijadikan sebagai sampel percobaan dan dibagi

    menjadi 3 bagian masing-masing sampel sebanyak 15 gram untuk setiap ulangan.

    Setelah itu, Eucheuma cottonii dipanaskan dalam 0.5 dan 1 N larutan KOH

    dengan menggunakan reaktor ohmik. Rasio Eucheuma cottoni: KOH yaitu 1:20

    (g/ml) untuk setiap perlakuan. Proses pemanasan ini dilakukan pada tiga suhu

    yaitu 70 0C, 75

    0C, dan 80

    0C dengan lama pemanasan 0.5 jam, 1 jam, dan 2 jam.

    Selama proses pemanasan, karaginan yang terkandung dalam rumput laut akan

    termodifikasi agar gugus sulfat dalam molekul karaginan berkurang, sehingga

    kekuatan gelnya meningkat.

    Setelah proses pemanasan, rumput laut yang telah diproses dipisahkan

    dari larutan KOH dengan cara disaring dan dibilas dengan air mengalir, kemudian

    dikeringkan dalam alat pengering tray drier type cross flow hingga kadar air

    12%. Alkali treated cottonii (ATC) yang diperoleh kemudian ditimbang untuk

    menentukan rendemen ATC yang diperoleh.

  • 21

    3.5 Parameter Pengamatan

    Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio

    antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang

    digunakan.

    Untuk mengetahui rendemen ATC (Alkali-Treated Cottonii) yang

    dihasilkan, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai

    berikut :

    Rendemen ATC = Berat ATC

    Berat padatan rumput Laut x 100% .. (4)

    3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

    Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    rancangan acak lengkap faktorial dengan empat faktor utama yaitu: konsentrasi

    KOH dengan 2 taraf, suhu alkalisasi dengan 3 taraf, lama alkalisasi dengan 3

    taraf,dan tegangan dengan 2 taraf . Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2

    (dua) kali dengan jumlah satuan percobaan yang diamati adalah: 2x3x3x2x2 = 72

    unit.

    Konsentrasi KOH (A): A1 = 1 N

    A2 = 0,5 N

    Faktor suhu alkalisasi (B): B1 = 70

    OC

    B2 = 75 OC

    B3 = 80 OC

    Faktor waktualkalisasi (C): C1 = 0,5 jam

    C2 = 1 jam

    C3 = 2 jam

    Faktor tegangan (D) D1 = 60 V

    D2 = 80 V

    Yijklm = + Ai + Bj + Ck + Dl + ABij + ACik + ADil + BCjk + BDjl + CDil

    +ABCijk + ABDijl + ACDikl + BCD jkl+ ABCDijkl + ijklm............ (4)

    Yijklm = Nilai pengamatan

    = Nilai tengah umum

    Ai = Pengaruh konsentrasi larutan dengan taraf ke i (i = 1,2) Bj = Pengaruh suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)

  • 22

    Ck = Pengaruh waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) Dl = Pengaruh tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABij = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan suhu

    alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) ACik = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) ADil = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BCjk = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) BDjl = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) CDil = Pengaruh interaksi suhu waktu alkalisasi dengan taraf kek (i =1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABCijk = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) ABDijl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ACDikl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BCD jkl = Pengaruh interaksisuhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABCDijk l= Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ijklm = Galat Percobaan

  • 23

    Gambar 2. Bagan alir penelitian

    Rumput Laut, umur

    panen 50 hari

    Pencucian dengan air laut

    Penjemuran hingga kadar air 30%

    Penyaringan

    Penyiapan Larutan Alkali 0,5 N dan

    1 N

    Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmik

    Lama Pemanasan 0,5,1, 2 jam; dan

    Suhu Pemanasan 70, 75, 80 OC

    Pengukuran : Rendemen

    Selesai

    Pengeringan

    Pencucian

    Pencucian dengan air laut

    Penjemuran hingga kadar air 30%

    Mulai

  • 24

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Pengaruh Kuat Medan Listrik dan Konsentrasi Larutan KOH terhadap Laju Pemanasan

    Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa

    pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan

    pangan tersebut. Jumlah panas yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat

    aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh

    besarnya medan listrik (field strength) dan konduktifitas listrik dari bahan pangan

    yang diolah (Sastry, 2011).

    Gambar 2. Pemanasan Ohmik Suhu Target 70 oC.

    Gambar 3. Pemanasan Ohmik Suhu Target 75

    oC.

    0

    20

    40

    60

    80

    0 25 50 75 100 125 150 175 200 225

    Suhu (

    oC

    )

    Waktu (s)

    80 V, 0.5N60 V, 0.5N80 V, 1N60 V, 1N

    0

    20

    40

    60

    80

    0 50 100 150 200 250 300

    Suhu (

    oC

    )

    Waktu (s)

    80 V, 0.5N

    60 V, 0.5N

    80 V, 1N

    60 V, 1N

  • 25

    Gambar 4. Pemanasan Ohmik Suhu Target 80 oC

    Pengaruh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH terhadap laju

    pemanasan ditunjukkan seperti pada Gambar 1, 2, dan 3. Perlakuan tegangan

    listrik 80 V dengan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan laju pemanasan

    paling cepat, sedangkan perlakuan tegangann listrik 60V dengan konsentrasi

    larutan KOH 0.5 N memberikan laju pemanasan paling lambat. Waktu yang

    dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 70 oC pada perlakun 60 V, 0.5 N, 80

    V, 0.5N, 60 V, 1N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 3.5, 2.5, 2.5 dan 1.75

    menit. Dan perlakuan suhu pemanasan 75 oC perlakuan 60 V, 0.5N, 80 V, 0.5N,

    60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 4.1, 2.66, 2.6 dan 2.16 menit, dan

    Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 80 0C pada perlakuan

    60 V, 0.5 N, 80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 5

    menit 2.75, 2.66 dan 1.75 menit. Dari ketiga suhu tersebut suhu pemanasan 70 oC

    pada tegangan 80 V hanya memerlukan 1.75 menit untuk mencapai suhu

    pemanasan dengan konsentrasi 1 N. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan

    tegangann listrik dan konsentrasi larutan KOH akan mempercepat laju

    pemanasan Eucheuma cottonii dengan mengalirkan arus listrik melaluinya.

    Dimana waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang

    digunakan. Semakin tinggi tegangan, maka panas yang dihasilkan pun meningkat

    dan memerlukan waktu lebih singkat untuk mencapai suhu pemanasan (Icier,

    2012). Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju

    diffusi ini dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel-

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325

    Suhu (

    oC

    )

    Waktu (s)

    80 V, 0.5N

    60 V, 0.5N

    80 V, 1N

    60 V, 1N

  • 26

    sel sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama

    pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000).

    4.2 Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Konduktivitas Listrik

    Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama proses alkalisasi Eucheuma

    cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan alkali KOH

    yang digunakan. Semakin besar medan listrik yang digunakan maka konduktivitas

    listrik yang dihasilkan juga semakin besar, demikian pula pada perlakuan

    konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan menyebabkan kenaikan konduktivitas

    listrik dalam reactor air(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

    Gambar 5. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi

    Larutan KOH pada Suhu 70 OC.

    Gambar 6. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi

    Larutan KOH pada Suhu 75 OC.

    = 0.058T+ 1.676R = 0.993

    = 0.050T+ 1.593R = 0.994

    = 0.094T + 3.581R = 0.988

    = 0.082T + 3.601R = 0.991

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    30 35 40 45 50 55 60 65 70 75

    Ko

    nd

    ukti

    vit

    as (

    S/m

    )

    Suhu (oC)

    80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N

  • 27

    Gambar 7. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi

    Larutan KOH pada Suhu 80 OC

    Pengaruh perlakuan tegangan listrik dan konsentrasi larutan terhadap

    konduktivitas listrik reaktor ditunjukkan pada Gambar 5, 6, dan 7 . Laju

    konduktivitas listrik tertinggi diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 80 V

    dengan konsentrasi larutan KOH 1 N. Sedangkan laju konduktivitas listrik

    terendah diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 60 V dengan konsentrasi

    larutan 0.5 N. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kuat medan listrik dan

    konsentrasi larutan KOH yang digunakan, maka konduktivitas listrik yang

    dihasilkan juga semakin tinggi. Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama

    proses alkalisasi Eucheuma cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan

    konsentrasi larutan alkali KOH yang digunakan. Semakin besar medan listrik

    yang digunakan maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin besar,

    demikian pula pada perlakuan konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan

    menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik dalam reaktor. Kenaikan suhu larutan

    dalam reaktor menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik secara linier untuk

    semua perlakuan. Perlakuan pengaruh suhu dengan kombinasi kuat medan listrik

    dan konsentrasi larutan KOH dimana pada suhu 70 oC dengan variasi 60 V, 0.5 N,

    80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masing-

    masing = 0.107T + 3.661; = 0.106T + 3.057; = 0.053T + 1.826 dan =

    0.047T + 1.670, dengan koefisien korelasi (R2) masing-masing sebesar 0.995;

    = 0.047T + 2.154

    R = 0.967 = 0.041T + 1.944

    R = 0.999

    = 0.091T + 3.875R = 0.995

    = 0.082T + 3.728R = 0.998

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    30 40 50 60 70 80 90

    Kondukti

    vit

    as (

    S/m

    )

    Suhu (oC)

    80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N

  • 28

    0.996; 0.995 dan 0.996. sedangkan suhu 75 oC dengan variasi 60 V, 0.5 N; 80 V,

    0.5 N; 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masing-masing

    = 0.094T + 3.581; = 0.082T + 3.601; = 0.058T + 1.676 dan = 0.050T +

    1.593, dengan koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.988; 0.991;

    0.993 dan 0.994. Dan pada perlakuan suhu 80 oC = 0.091T + 3.875; = 0.082T

    + 3.728; = 0.047T + 2.154 dan = 0.041T + 1.944, dengan koefisien korelasi

    (R2) masing-masing sebesar 0.995; 0.998; 0.9967 dan 0.999. Hal ini sesuai

    dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Sastry dan Salengke (1998),

    konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan peningkatan

    suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin

    meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung.

    4.3 Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi Eucheuma

    Cottoni dengan Pemanasan Ohmik

    Gambar 8. Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi

    Eucheuma cottonii dengan Pemanasan Ohmik.

    Grafik total konsumsi energi (Gambar 8) menunjukkan bahwa konsumsi

    energi tertinggi pada perlakuan dengan suhu 80oC, konsentrasi 0.5N, Tegangan

    80 V, lama alkalisasi 1 jam total energi yang terpakai adalah sebesar 0.013 kWh

    dan konsumsi energi terendah pada suhu 75 oC, tegangan 80 V, konsentrasi 1 N

    lama alkalisasi 0.5 jam adalah 0.007 kWh. Total konsumsi energi selama proses

    pemanasan ohmik ditentukan oleh besarnya arus yang mengalir dan lama

    pemanasan selama proses pemanasan berlangsung. Semakin besar arus yang

  • 29

    dihasilkan menyebabkan konsumsi energi menjadi lebih besar. Demikian pula,

    semakin lama proses pemanasan berlangsung menyebabkan konsumsi energi yang

    semakin besar.

    4.4 Hasil Rendemen Dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N

    Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif

    tidaknya proses pembuatan tepung karaginan. Efektif dan efisiennya proses

    ekstraksi bahan baku untuk pembuatan tepung karaginan dapat dilihat dari

    nilai rendemen yang dihasilkan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk

    mengetahui persentase karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering

    yang digunakan berdasarkan, konsentrasi KOH, suhu, tegangan dan lama

    alkalisasi.

    Rata-rata nilai rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini

    berkisar antara 25.30 47.64%. Grafik rendemen karaginan (Gambar 9)

    menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan

    rendemen lebih tinggi dari pada perlakuan KOH 0.5 N. Rendemen tertinggi

    diperoleh pada sampel A9 dengan perlakuan suhu 70 oC, dengan konsentrasi

    KOH 1 N dan lama alkalisasi 0.5 jam. Rendemen terendah pada sampel A24

    dengan perlakuan 80 V, suhu 80 oC dengan lama alkalisasi 2 jam. Rendemen yang

    dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar minimum rendemen

    karaginan yaitu sebesar 25 %.

  • 30

    Gambar 9. Rendemen dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N

    Keterangan :

    A1(CTR)= 1jam, 70 oC, A10(CTR)= 1jam, 75

    oC A19(CTR)= 1jam, 80

    oC,

    A2= 1 jam, 70 oC, 60 V A11= 1 jam, 75

    oC, 60 V A20= 1jam, 80

    oC, 60 V

    A3= 1 jam, 70 oC, 80 V A12= 1 jam, 75

    oC, 80 V A21= 1jam, 80

    oC, 80 V

    A4 (CTR)= 2 jam, 70 oC A13(CTR)= 2 jam,75

    oC A22 (CTR)= 1jam, 80

    oC

    A5= 2 jam, 70 oC, 60 V A14 = 2 jam, 75

    oC, 60 V A23= 2jam, 80

    oC, 60 V

    A6= 2 jam, 70 oC, 80 V A15= 2 jam, 75

    oC, 80 V A24= 2jam,80

    oC,80 V

    A7 (CTR)= 3 jam,70 oC, A16(CTR)= 3 jam, 75

    oC A25(CTR)= 3jam, 80

    oC

    A8= 0,5 jam ,70 oC,60 V A17= 0,5 jam, 75

    oC, 60 V A26= 0,5 jam, 80

    oC, 60 V

    A9= 0,5 jam, 70 oC, 80 V A18= 0,5 jam, 75

    oC, 80 V A27= 0.5 jam, 80

    oC, 80 V

    Hasil analisis ragam rendemen karaginan menunjukkan interaksi

    antara konsentrasi KOH, lama alkalisasi, dan suhu memberikan pengaruh nyata

    terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan, sedangkan interaksi volt memberi

    pengaruh tidak nyata. Sedangkan Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan

    bahwa lama pemasakan 0.5 jam memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda

    nyata dengan lama pemasakan 2 jam serta tidak berbeda nyata dengan lama

    pemasakan 1 jam. Perlakuan suhu pemasakan 70 oC menunjukkan nilai rendemen

    tertinggi dan berbeda nyata dengan suhu 75 oC serta berbeda nyata dengan suhu

    80 oC. Perlakuan tegangan 60 V dan 80 V terhadap hasil rendemen dimana

    hasilnya tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan perlakuan konsentrasi 1 N

    0%

    5%

    10%

    15%

    20%

    25%

    30%

    35%

    40%

    45%

    50%

    55%A

    1

    A2

    A3

    A4

    A5

    A6

    A7

    A8

    A9

    A1

    0

    A1

    1

    A1

    2

    A1

    3

    A1

    4

    A1

    5

    A1

    6

    A1

    7

    A1

    8

    A1

    9

    A2

    0

    A2

    1

    A2

    2

    A2

    3

    A2

    4

    A2

    5

    A2

    6

    A2

    7

    0.5 N

    1 N

  • 31

    memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi 0.5 N

    karena perlakuan suhu yang tinggi, dan tingkat konsentrasi larutan serta waktu

    pemanasan yang lama menyebabkan sebagian karaginan akan terekstraksi ke

    larutan KOH, sehingga mengurangi rendemen yang dihasilkan, karena kandungan

    selulosa dalam rumput laut tinggi, sehingga mempengaruhi nilai viskositas. Hal

    ini sesuai dengan pernyataan Yasita, dkk (2010) dan Purwata dan Oviantari

    (2007) bahwa semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan

    larutan pengekstrak, maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari

    dinding sel. menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat dipengaruhi

    oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas bahan baku antara

    lain kadar air dan kadar pengotor. Tahap penting ekstraksi semi-refined

    carrageenan (SRC) terletak pada proses pemasakan dengan larutan alkali,

    Penggunaan suhu yang lebih rendah pada produksi SRC dimaksudkan agar

    karaginan yang terkandung dalam rumput laut tidak larut kedalam larutan alkali

    yang akan menurunkan rendemen SRC yang dihasilkan. Sedangkan pada proses

    pemanasan konvensional hasil rendemennya beda nyata dengan hasil pemanasan

    ohmik, karena pada proses pemanasan konvensional untuk menghasilkan

    rendemen tinggi menggunakan suhu pemanasan yang tinggi dan waktu

    pemanasan yang lama yaitu 3 jam, berbeda dengan pemanasan ohmik yang nilai

    rendemen tertinggi hanya menggunakan suhu 70 oC dan waktu pemanasan yang

    singkat yaitu 0.5 jam.

  • 32

    V. KESIMPULAN

    5.1 Kesimpulan

    Dari hasil penelitian pemanasan ohmik pada Eucheuma cottonii

    diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

    1. Kenaikan kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH yang digunakan

    dalam proses alkalisasi Eucheuma cottonii mempercepat laju pemanasan

    ohmik akibat meningkatnya konduktivitas listrik bahan dalam reaktor

    ohmik.

    2. Konsumsi energi listrik selama pemanasan dari suhu awal ke suhu target

    berkisar antara 0.007 0.013 kWh.

    3. Rendemen tertinggi (47.64%) diperoleh pada perlakuan A9 dengan

    konsentrasi KOH 1 N, lama ekstraksi 0.5 jam dan suhu akhir 70 oC.

    Rendemen yang terendah (26.13%) diperoleh pada perlakuan A24 dengan

    konsentrasi KOH 0.5 N dan lama ekstraksi 2 jam dengan suhu 80 oC,

    dan 80 V.

    5.2 Saran

    Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian lanjutan, dilakukan

    penelitian dengan parameter yang berbeda dari parameter yang digunakan dalam

    penelitian sebelumnya. Selain itu, perlu dilakuan scale-up untuk mendapatkan

    kapasitas yang lebih besar.

  • 33

    DAFTAR PUSTAKA

    Andriani, D. 2006. Pengolahan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Menjadi

    Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii Carrageenophyte) dengan Jenis dan

    Konsentrasi Larutan Alkali yang Berbeda. Skripsi. Universitas

    Hasanuddin. Delgado, Antonio., Kulisiewicz, Leszek., Rauh, Cornelia.,

    Wiersche, Andreas., 2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies

    for Fluid Foods. Academic Press, New York.

    Anderson, D,R. 2008. Ohmic Heating as an Alternative Food Processing

    Technology. Academic Press, Manhattan, Kansa.

    Anggadiredja, J. T., Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini, S., 2006, Rumput Laut.

    Penebar Swadaya, Jakarta.

    Berk, Zeki., 2009, Food Process Engineering and Technology, Acamdemic Press,

    New York.

    Delgado, Antonio., Kulisiewicz, Leszek., Rauh, Cornelia., Wiersche, Andreas.,

    2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid Foods.

    Academic Press, New York.

    Icier, Filiz., 2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid

    Foods. Academic Press, New York.

    Indriani, Hety dan Emi Sumarsih, 1997. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran

    Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

    Kordi, M., Ghufran, H., 2011. Kiat Sukses Budi Daya Rumput Laut di Laut dan

    Tambak. Andi. Yogyakarta.

    Muchtadi, R., T. Ayustaningwarno, F., 2010. Teknologi Proses Pengolahan

    Pangan. Penerbit Alfabeta. Bandung.

    Parwata, P., dan Oviantari, V., 2007. Optimalisasi Produksi Semi-refined

    Carrageenan (SRC) dari Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan

    Variasi Teknik Pengeringan dan Kadar Air Bahan Baku. Laporan

    Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha.

    Poncomulyo, T. Maryani, H., Kristiana, L., 2006, Budi Daya dan Pengolahan

    Rumput Laut. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

    Sadhori, S., Naryo. 1995. Budi Daya rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta.

    Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials.

    Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.

  • 34

    Samsuar, 2006. Karakteristik karaginan Rumput laut Eucheuma cottonii Pada

    Berbagai Umur panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. Tesis.

    Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

    Sastry, S.K. and Salengke, S. 1998. Ohmic heating of solid-liquid mixtures: a

    comparison of mathematical models under worst-case heating

    conditions. Journal of Food Process Engineering, 21(6):441-458.

    Sastry, S. K., dkk. 2001. Ohmic Heating and Moderate Electric Field (MEF)

    Processing. Journal of Engineering and Food for The 21st Century

    (47): 785-791

    Setiawati, Tanti., 2007. Keunikan Rumput Laut dan Budi Dayanya. Mutiara

    Books. Jakarta.

    Silva, Juan L. 2002. http://www.msstate.edu/org/silvalab/ Dielectric, Ohmik and Infrared Heating. Diakses pada tanggal 24 Maret 2012 pukul 19.26

    WITA, Makassar.

    Suryaningrum, Dwi., Murdinah., Erlina, D., M. 2003 Pengaruh Perlakuan Alkali

    dan Volume Larutan Pengekstrak Terhadap Mutu Karaginan Rumput

    laut Eucheuma cottonii.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume

    9 Nomor 5.

    Yasita, Dian dan Intan Dewi Rachmawati, 2010. Optimasi Proses Ekstruksi pada

    Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk

    Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik

    Universitas Diponegoro. Semarang.

  • 35