ISI SEMUA

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk yang di ciptakan dengan akal selalu bertanya-tanya tentang alam semesta, lingkungan, budaya bahkan dirinya sendiri. Plato filsuf Yunani, menyatakan bahwa: Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Timbul banyak pertanyaan yang mengganggu manusia dikejar dengan ingin tahu dan mengerti dengan masalah yang dihadapinya. Rasa ingin tahu yang mendalam mendorong manusia untuk merenung dan mencari ilmu pengetahuan terkait yang dihubungkan dengan gejala alam yang ingin ia ketahui. Disinilah manusia mulai berfilsafat untuk memenuhi hasrat pengetahuan untuk mencapai kebijaksanaan dalam kehidupan. Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini disebut dengan berfilsafat. Manusia berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada dirinya. Apabila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat 1

description

filsafat

Transcript of ISI SEMUA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang di ciptakan dengan akal selalu bertanya-tanya tentang alam semesta, lingkungan, budaya bahkan dirinya sendiri. Plato filsuf Yunani, menyatakan bahwa: Mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki.

Timbul banyak pertanyaan yang mengganggu manusia dikejar dengan ingin tahu dan mengerti dengan masalah yang dihadapinya. Rasa ingin tahu yang mendalam mendorong manusia untuk merenung dan mencari ilmu pengetahuan terkait yang dihubungkan dengan gejala alam yang ingin ia ketahui. Disinilah manusia mulai berfilsafat untuk memenuhi hasrat pengetahuan untuk mencapai kebijaksanaan dalam kehidupan.

Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini disebut dengan berfilsafat.

Manusia berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada dirinya. Apabila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada saat mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasannya itumanusia berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa di luar manusia yang terbatas, pastilah ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran yang hakiki.

Pengetahuan tentang filsafat menjadi sangat penting, bila kita ingin berfilsafat kita harus mengetahui terlebih dahulu filsafat itu sendiri, hakekat manusia dengan filsafat, permulaan munculnya filsafat, dan kegunaan filsafat bagi manusia. Makalah ini akan lebih membahas tenatang timbulnya filsafat yang dilakukan manusia, pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari permasalahan.

B. Rumusan Masalah

Latar belakang yang telah dikemukaan di atas menjadi dasar dalam merumuskan masalah yang terdapat dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan filsafat?

2. Bagaimana hakekat manusia?

3. Bagaimana permulaan timbulnya filsafat?

4. Apa kegunaan filsafat bagi manusia?

C. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirancang, dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Memahami pengertian dari filsafat

2. Mengetahui hakekat manusia berinteraksi dengan alam dan lingkungan

3. Mengetahui dan memahami permulaan timbulnya filsafat

4. Mengetahui kegunaan filsafat bagi manusia

D. Manfaat

Penulisan makalah ini memberikan diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca maupun penulis, diantaranya:

1. Bagi pembaca, makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang asal mula manusia berfilsafat, kegunaan berfikir filsafiah, dan memahami hakekat manusia yang selalu ingin tahu.

2. Bagi penulis, penulisan makalah ini mendorong penulis untuk membaca lebih banyak refrensi buku-buku filsafat, memahami pemikiran filsafat, dan untuk memperkaya tulisan dan pengetahuan penulis.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Apakah Filsafat itu?

Filasafat dijabarkan dari perkataan philoshophia perkataan ini berasal dari kata Yunani yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Menurut tradisi, Phytagoras dan Socrateslah yang pertama-tama menyebut diri philosophus, yaitu sebagai protes terhadap kaum sophist, kaum terpelajar pada waktu itu yang menamakan diriya bijaksana, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu kebijaksanaan saja. Sebagai protes terhadap kesombongan mereka akan Socrates lebih suka menyebut diri pencinta kebijakasanaan, artinya ingin mempunyai pengetahuan yang luhur (shophia) itu. Nama ini sudah semestinya, sebab dalam filsafat orang tak pernah akan dapat mengatakan selesai belajar, karena luas dan dalamnya filsafat itu orang tidak dapat menguasainya dengan sempurna. Selama manusia masih hidup dalam dunia ini harus berusaha mengejarnya.

Poedjawijatna dalam Tafsir (2012:10) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab akibat yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Hasbullah Bakry mengatakan bahwa filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Plato menyatakan bahwa filsafat ialah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli, dan bagi Aristoteles filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika, dan bagi Al-Farabi filsafat ialah pengetahuan tentang alam ujud bagaimana hakikatnya yang sebenarnya. Pythagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, memberikan definisi filsafat sebagai the love for wisdom. Menurut Pythagoras, manusia yang paling tinggi nilainya ialah manusia pencinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud olehnya dengan wisdom ialah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan. Ia membagi kualitas manusia menjadi tiga tingkatan: lovers of wisdom, lovers of success, dan lovers of pleasure. Selanjutnya akan timbul pertanyaan apakah kebijaksanaan, kebijaksanaan itu ada sangkut-pautnya dengan mengerti (know), dengan pengetahuan (kowledge). Akan tetapi tidak setiap mengerti itu ada kebijaksanaan adalah filsafat. Immanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan:

1. Apa yang dapat di ketahui? (Jawabannya: Metafisika)

2. Apa yang seharusnya diketahui? (Jawabannya: Etika)

3. Sampai di mana harapan kita? (Jawabannya: Agama)

4. Apa itu manusia? (Jawabannya: Antropologi) (Tafsir, 2012:11)

Filsafat mendorong keinginan untuk mengerti. Aristoteles dalam bukunya Metaphysica berkata demikian: semua orang kodratnya ingin mengerti. Keinginan ini telah terlihat pada anak-anak kecil, dia berprilaku menyelidiki, meraba-raba, mencoba-coba, dan heran akan segalanya yang ia lihat dan apa saja yang hendak ia tanyakan.

Seiring dengan tumbuh kembangnya ketidak puasan timbul ketika akalnya melihat fakta-fakta, menggolong-golongkan, menghubung-hubungkan, dan menarik kesimpulan dari apa yang ia amati. Kejadian-kejadian pengalaman yang difikirkan, menyusun, mengatur, menghubungkan, mempersatukan macam-macam pengalaman itu dan mencari keterangannya, dengan perkataan lain kita tidak mengerti bahwa ini adalah demikian, melainkan mengerti mengapa ini memang demikian adanya, maka dengan demikian mengerti itu menjadi pengetahuan. Perbedaan antara mengerti dan pengetahuan adalah:

Pengertian berarti konsep, ide, cita.

Pengetahuan berarti knowledge, kennis, pemahaman.

Mengerti dalam arti sepenuhnya adalah mengerti dengan kepastian (certainty) dan mengerti sebab-akibat hal (causes). Bagi kita yang disebut mengerti itu selalu mengandung suatu hubungan antara subjek dan objek. Subjek yang mengerti dan objek yang dimengerti, orang yang menangkap dan hal yang ditangkap. Inilah dasarnya yaitu apabila aku berfikir tentang diriku sendiri yang disebut refleksi (reflection). Penangkapan objek menurut Salam (2009:54) itu ada dua cara yaitu: (1) Dengan panca-indera manusia, (2) Dengan fikiran manusia.

Filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup. Filsafat dapat dipelajari secara akademik, diartikan sebagai pandangan kritis yang sedalam-dalamnya sampai ke akar-akarnya (radix) mengenai segala sesuatu yang ada.

Harold H. Titus dalam Salam (2009:59) mengemukaan makna dari filsafat, yaitu:

Filasafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta

Filsafat ialah suatu metode berfikir reflektif, dan penelitian penalaran

Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah

Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berfikir.

Seseorang barulah bijaksana apabila ia mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai, ia mendasarkan pendapat dan pandangannya tidak atas pertimbangan-pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, memperhatikan arti yang terdalam dari semuanya.

Jadi bijaksana (sophos) mengandung arti sebagai berikut:

1. Mempunyai insight, pengertian yang mendalam, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dan segala aspeknya, dan seluruh dunia dengan segala lapangannya dan hubungannya antara kesemuaannya itu.

2. Sikap hidup yang benar yang baik dan tepat, berdasarkan pengertian tadi, yang mendorong akan hidup sesuai dengan pengertian yang dicapai itu. Jadi sudut praktis yang sesungguhnya daripada barang-barang, mengenai arti dan nilai hidup itu, arti dan nilai manusia itu.

Uraian makna tersebut dapat penulis simpulkan bahwa filsafat merupakan kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan buah pikiran yang dihasilkan filsafat dari usaha mencari saling hubungan antara pengetahuan-pengetahuan, dan menemukan implikasinya baik secara terpusat maupun tersirat.

B. Kenisbian (Relativitas) Filsafat

Pudjawijatna dalam Salam (2009:151) menuliskan maka daripada itu ada kemungkinan agama memberi pengetahuan yang lebih tinggi dari filsafat, pengetahuan yang tak tercapai oleh budi biasa karena demikian tingginya hal itu hingga hanya diketahui karena diwahyukan.

R.F Beerling guru besar filsafat Universitas Indonesia menyatakan filsafat bersumber pada manusia dan mengenai manusia. Dia adalah tingkat tertinggi dari kegelisahan. Dia memajukan pertanyaan yang dilakukan secara radikal sekali. Dia adalah jawaban yang akan memberikan kepuasan pada pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi yang selalu mengandung pertanyaan-pertanyaan baru, sehingga tidak pernah tentram benar.

Leopold Weiss dalam Salam (2009:152) menuliskan bahwa makhluk manusia dengan segala mekanisme jiwanya yang pelik dengan segala hasrat-hasratnya dan ketakutan-ketakutannya, perasaan-perasaan dan ketidakpastian spekulatifnya, melihat dirinya dihadapkan pada satu alam dimana kemurahan dan kekejaman, bahaya dan ketentraman bercampur baur dalam suatu cara yang dahsyat yang tak teruraikan dan nampaknya bekerja atas garis-garis yang berbeda dalam metode-metode dan struktur pikiran manusia. Filsafat intelektuil murni atau ilmu pengetahuan eksperimentil tidak pernah sanggup memecahkan konflik ini. Justru itulah titik dimana agama melangkah maju

Ilmu-ilmu pengetahuan khusus mencari kebenaran (obyektivitas) dengan jalan riset, pengalaman dan percobaan sebagai batu ujiannya tetapi dalam mencari kebenaran itu menjumpai banyak masalah yang terbentang luas yang tak terjangkau oleh aktivitas riset, pengalaman dan percobaan. Sekaligus berarti segenap permasalahan itu tidak terpecahkan secara tuntas.

Apabila kita telah menjumpai keadaan yang sedemikian itu maka bearti sudah menginjak lapangan pengetahuan lain yaitu telah bermuara kepada lapangan filsafat. Selanjutnya filsafat menghampiri kebenaran (obyektivitas) itu dengan akal budi manusia secara radikal, sistematis dan universal tanpa pertolongan kekuatan lain atau oleh wahyu, Alloh. Filsafat mencoba memberikan jawaban atas segenap permasalahan yang dihadapi yang bersifat spekulatif, alternatif, dan subjektif. Jika telah di luar permasalahan itu maka filsafat menemukan era baru di luar jangkauannya yang bermuara kepada lapangan agama. Jadi dapat di simpulkan bahwa kenisbian (relativitas) baik ilmu-ilmu pengetahuan khusus maupun filsafat bermuara kepada agama.

C. Hakekat Manusia

Mempelajari hakikat manusia secara komprehensif adalah suatu hal yang sulit, hal ini tidak saja karena keunikan karakternya, tetapi juga karena terbatasnya data kemampuan manusia mengenal dirinya. Para filsuf berbeda beda dalam memandang hakikat manusia, yang sekaligus menunjuk pada perkembangan-perkembangan pemikiran dalam dunia filsuf itu sendiri.

Plato memandang manusia sebagai suatu pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Jiwa dan raga bukan diciptakan secara bersamaan. Jiwa telah ada jauh sebelum ia muncul ke dunia, sehingga ada yang berpendapat bahwa yang disebut manusia secara esensial adalah jiwa itu sendiri. Raga manusia dalam hal ini hanyalah sebatas instrumen bagi penyempurnaan jiwanya di dunia. Bagi Plato, manusia lahir ke dunia telah membawa ide kebaikan (innate idea).

Aristoteles dan para pengikutnya pun dengan pemikirannya telah melakukan analisis panjang tentang manusia dengan sesuatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya tergantung pada jiwanya, dengan menitikberatkan fungsi humanitas itu pada jiwa, menjadikan pandangannya berhadapan dengan kesulitan-kesulitan ketika manusia memperlihatkan fungsi motoriknya, padahal unsur kreativitas manusia memiliki hubungan yang signifikan dengan daya motorik ini.

Rene Descartes (1596-1650), seorang tokoh rasionalisme, menjelaskan bahwa jiwa adalah terpadu, raional, dan konsisten yang dalam aktivitasnya selalu terjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat mengubah makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman-pengalaman sadar yang disertai dengan emosi jasmaniah. Ini berarti hakikat manusia ada pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat jiwa.

Pandangan Rene Descartes tentang daya intelek manusia sebagai hakikat jiwa mendapat kritik dari Arthur Schopenhauer (1788-1860) dengan mengatakan bahwa kesadaran dan intelek hanyalah permukaan jiwa kita, padahal di bawah intelek itu sesungguhnya ada suatu kehendak yang tidak sadar yang merupakan daya kekuatan hidup dan sifatnya abadi (Muhmidayeli, 2011:45).

Kehendak bagi Schopenhauer adalah suatu kekuatan yang menggerakkan intelek kita untuk dirinya. Hal ini karena memang kehendak dan keinginan akan selalu tampil melebihi dari apa yang dapat dilakukan dalam alam realitas. Sifat dan watak kehendak yang sedemikian dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan penderitaan, dan disinilah diperlukan kebijaksanaan.

Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah ens metaphycum artinya makhluk yang menurut kodratnya berfilasafat, bagaimana keinginan untuk mengerti akan kebenaran, timbullah ilmu-ilmu pengetahuan dan akhirnya muncullah filsafat. Setiap manusia adalah filsuf dengan rasa ingin tahunya tetapi bukan ahli filsafat. Pandangan tetang sebab-akibat, pandangan tentang manusia, Tuhan, dan dunia, pendapat-pendapat tentang hidup, tentang perbuatan manusia yang baik dan yang buruk atau etika lain-lain, telah kita temukan dalam masyarakat yang tingkatannya belum berkembang.

Jadi pandangan-pandangan yang sifatnya telah dapat disebut matafisik. Hanyalah kesemuannya belum dipikirkan, dipertanggungjawabkan, disusun secara ilmu pengetahuan. Hal ini memerlukan proses pertumbuhan yang agak lama, seperti halnya ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.

Mempelajari filsafat menurut Tafsir (2012:20) dapat dilakukan dengan tiga macam metode yaitu metode sistematis, metode historis, dan metode kritis.

Metode sistematis berarti pelajar menghadapi karya filsafat. Misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat. Tatkala membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Dengan belajar filsafat melalui metode ini perhatian kita terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun periode.

Metode historis digunakan bila para pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya, jadi sejarah pemikiran. Ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah, misalnya dimulai dengan membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan dengan membicarakan Anaximandros, misalnya lalu Socrates, lalu Rousseau, lantas Kant, dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer. Tokoh dikenalkan, kemudian ajarannya. Mengenalkan tokoh memang perlu karena ajarannya biasanya berkaitan erat dengan lingkungan, pendidikan, kepentingannya. Dalam menggunakan metode historis dapat pula pelajar menempuh cara lain, yaitu dengan cara membagi babakan sejarah filsafat. Misalnya mula-mula dipelajari filsafat kuno (ancient philosophy). Ini biasanya sejak Thales sampai menjelaskan Plotinus, dibicarakan tokoh-tokohnya, ajaran masing-masing, ciri umum filsafat periode itu. Kemudian para pelajar menghadapi filsafat abad pertengahan (middle philosophy), lalu filsafat abad modern (modern philosophy). Variasi cara mempelajari filsafat dengan metode historis cukup banyak. Pokok dari mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis bearti mempelajari filsafat secara kronologis.

Metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat insentif. Pelajar haruslah sedikit-banyak telah mengetahui pengetahuan filsafat. Di sini pengejaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun historis. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritikannya. Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang, dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang di pelajari. Ia mengkritik mungkin dengan menggunakan pendapatnya sendiri ataupun dengan menggunakan pendapat filosof lain.

D. Permulaan Timbulnya Filsafat

Aristoteles berpendapat filsafat dimulai dengan suatu thauma (rasa kagum) yang timbul dari suatu aporia yaitu suatu kesulitan yang dialami karena adanya percakapan yang saling kontradiksi. Jadi filsafat itu mulai dari manusia mengagumi dunia dan berusaha menerangkan berbagai gejala dunia itu. Hasrat untuk mengerti menyatakan diri dalam bermacam-macam pernyataan-pernyataan, yang sungguh-sungguh tidak mudah di jawab dengan sekaligus. Filsafat tidak pernah akan selesai penyelidikannya, dan ini tidak menyebabkan kita lalu putus asa melainkan sebaliknya. Keheranan berubah sifatnya menjadi kekaguman yang memperkaya manusia.

Keheranan barulah permulaan timbulnya filsafat usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu , untuk menyelami rahasia barulah disebut filsafat apabila dilakukan secara sistematis, jadi harus diusahakan secara ilmiah. Plato berpendapat mengetahui adalah memiliki dengan jiwa, mereka inilah yang memperkembangkan filsafat yang tulen atau asli, tumbuh dari persoalan hidup yang konkrit. Beberapa jalan timbulnya filsafat adalah:

1. Dorongan untuk mengerti, mendorong akan ilmu pengetahuan, mereka mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

2. Manusia mempersoalkan sangkaan perannya, asal mulanya dan tujuannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri sebagai berikut:

1. Darimanakah aku datang dan ke manakah tujuanku?

2. Kemanakah arah hidupku?

3. Apa artinya hidup ini?

4. Untuk apakah aku hidup?

5. Bagaimanakah setelah aku meninggal dunia, akan hapuskah sama sekali, atau tidak?

3. Keinginan akan kebahagiaan, keinginan hidup selamat damai dan bahagia, menjadi keinginan setiap manusia, keadaan yang kita sebut bahagia artinya keadaaan dimana keinginan-keinginan kita terpenuhi, yang membawa ketenangan dan ketentraman hati yang sepenuhnya itu tampaknya sukar dicapai. Jadi timbullah pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah yang memberi kebahagiaan itu?

2. Dimana letak kebahagiaan itu?

3. Apakah yang membawa kebahagiaan itu?

4. Bagaimana dapat dicapai kebahagiaan itu?

4. Kesusilan, hal ini berkaitan dengan cara bertindak suatu pola tingkah laku, ia tidak dapat berbuat semau-maunya saja, baginya ada perbuatan yang dilarang, ada perbuatan yang diwajibkan. Manusia berlainan dengan hewan dimana manusia itu membedakan antara mulia-hina, indah-jelek, adil-lalim, singkatnya antara baik dan buruk. Adapuan aturan-aturan kesusialaan atau pola tingkah laku itu hanyalah dapat dilaksanakan berdasarkan keyakinan akan kebenarannya dan didukung oleh kehendak yang bebas merdeka. Pertanggung jawaban atas perilaku yang kita buat harus dengan perasaan sadar akan dampak yang ditimbulkan. Jadi persoalannya adalah:

1. Apakah yang baik itu?

2. Apakah yang buruk itu?

3. Apakah yang membawa kita ke arah kesempurnaan hidup kemanusiaan/ manusiawi itu?

4. Apakah yang sesuai dengan perikemanusiaan?

5. Bagaimanakah nilai-nilai itu dapat saya wujudkan dalam hidup mandiri?

6. Darimanakah asal muasalnya norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengikat saya?

7. Apakah tujuan hidupku?

5. Manusia yang mempersoalkan Tuhan,

Apakah Tuhan memang ada dan bagaimana sifat-sifatnya serta hubungannya dengan manusia? Ada yang membantah tentang itu dan ada yang mengembalikan segala-gala kepada Tuhan. Manakah yang benar? Apakah mungkin memberi pertanggungjawaban dari apa yang telah kita terima dari kepercayaan dan agama kita, ataukah kesemuanya itu hanya dapat kita terima saja tanpa pertanggungjawaban? Demikian juga kita mempersoalkan dunia, dari mana asalnya, kemanakah arahnya, dan tujuannya, bagaimanakah mungkin adanya aturan dan tata tertib yang kita lihat di dalamnya yang disebut hukum alam? Dan sebagainya.

6. Mengenai diri kita sendiri

Manusia tentu mempersoalkan dirinya sendiri, bahkan ini merupakan hal yang pertama muncul pada saat kita menjadi dewasa. Siapakah sebetulnya aku ini? Karena kita mengalami suatu pertentangan di dalam diri kita yaitu saya merasa wajib melakukan yang baik dan menolak yang buruk dan hina, tetapi dalam kenyataannya tidak saya perbuat, walaupun ingin melaksanakan. Dan apakah yang buruk itu, yang sebetulnya dalam hati saya menolak tetapi kadang saya lakukan juga? Muncullah pertanyaan-pertanyaan:

1. Tetapi apakah yang baik, dan apakah yang buruk itu?

2. Sampai manakah saya sendiri bertanggung jawab atas perbuatan saya sendiri?

3. Apakah itu dapat diperbaiki?

4. Ataukah memang telah menjadi nasib kita untuk berbuat salah walaupun ingin dan wajib melakukan yang mulia?

Pertentangan antara tubuh dan jiwa juga sering ditemukan di dalam diri kita:

1. Apa yang disebut jiwa itu?

2. Apakah memang ada jiwa itu?

3. Ataukah semua hanya materi atau kebendaan belaka?

4. Bagaimana fungsi perasaan itu?

5. Dimanakah tempatnya di dalam keseluruhan kepribadian kita?

7. Dan bermacam-macam pertanyaan lain lagi

Misalnya:

1. Apakah cinta itu dan apakah rasa benci itu serta rasa rindu itu .....?

2. Mengapa ada keburukan di dunia, penyakit-penyakit, perang, petaka, susah, sadis ....?

3. Apakah bahasa itu, bagi perhubungan jiwa antara orang seorang dengan sesamanya?

4. Manusia tentu hidup bermasyarakat. Apa artinya itu?

5. Manakah yang penting: orang seorang ataukah kolektifitas/ golongan?

6. Manusia menciptakan kebudayaan, apa artinya itu?

7. Mengapa manusia itu tentuberbuat demikian?

8. Apakah yang adil, mengapa ada tata tertib hukum .....?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat timbul dari setiap orang yang hidup dengan kesadaran, tetapi yang tidak mudah dijawab sekaligus, dan jawabannya harus kita cari-cari dengan sekuat tenaga.

Filasafat timbul dari kodrat manusia,

Dorongan untuk mengerti timbul dari kodrat manusia yaitu kenyataan bahwa manusia mengerti dan bahwa hidupnya tergantung dari pengetahuan, hal itu tidak dapat dipungkiri. Setiap perbuatan manusia menghendaki pengetahuan tentang apa yang diperbuatnya.

Filsafat timbul dari dorongan untuk mengerti yaitu:

1. Manusia tentu berusaha menyempurnakan kehidupannya dan dalam usaha itu pikirannya ikut dengan aktif berperan serta.

2. Keinginan menyempurnakan pengetahuannya.

3. Kesempurnaan pengetahuan itu belumlah tercapai dalam ilmu-ilmu pengetahuan

4. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam ilmu pengetahuan

5. Pertanyaan-pertanyaan mendalam dalam kehidupan

6. Pertanyaan yang belum terjawab.

7. Kebutuhan akan ilmu filsafat.

Jadi teranglah bahwa filsafat itu lahir dari dorongan untuk mengerti dengan sempurna, karena konsikuensi dari pandangan filsafat sangat penting bagi pandangan hidup manusia.

Kodrat manusia mendorong ke filsafat

Kodrat manusia adalah rohani-jasmani, manusia dapat mengerti, dapat menciptakan budaya, ilmu-ilmu pengetahuan, mempunyai cita-cita luhur dengan mengorbankan barang-barang materiil (jasmani), selain itu manusia mempunyai roh atau jiwa yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang disebut dengan kodrat manusia (nature the intristic principle or activity, the essence). Kodrat yang telah diberikan pada manusia mendorong untuk berfilsafat, adapun jalannya sebagai berikut:

1. Manusia dengan intinya ialah jiwa, apa yang berhubungan dengan dunia, barang, dan orang-orang perantaranya jasmani, dan apa yang manusia rasa adalah peran jiwa manusia.

2. Kodrat jasmani- rohani, pengetahuan melalui badan dengan perantara panca indera manusia.

3. Prinsip ada dan tidak ada hidup kita, persinggungan antara jasmani-dan rohani kedua-duanya selalu terdapat bersama-sama dan tercampur.

4. Pengetahuan rohani seakan-akan terbungkus dalam pengetahuan jasmani.

5. Jiwa berusaha untuk mencapai pengetahuan yang sesempurna-sempurnanya.

E. Kegunaan Filasafat

Pemikiran filsafat memungkinkan manusia dapat melihat kebenaran tentang sesuatu diantara kebenaran-kebenaran yang lain. Hal ini memungkinkan ia mencoba mengambil segala kemungkinan informasi (alternatif), di antara alternatif kebenaran yang ada ketika itu. Dalam hal ini manusia yang mampu mengadakan pilihan-pilihan yang tepat terhadap masalah-masalah yang dihadapi, maka ia belajar mendekati kebijaksanaan.

Seorang yang bijaksana akan memiliki kemungkinan yang paling tepat dalam mencapai kesejahteraan hidup. Karena ia mempunyai wawasan yang tepat dan mendalam. Dia berusaha mengerti apa artinya hidup dan dirinya dengan segala masalah yang muncul dan yang dan yang ia hadapi.

Filsafat memberikan petunjuk dengan metode pemikiran reflektif dan penelitian penalaran supaya kita dapat menyerasikan antara logika, rasa, rasio, pengalaman, dan agama di dalam usaha yang lebih lanjut yaitu mencapai hidup sejahtera. Peranan filsafat ialah secara kritis menyerasikan kehidupan manusia, sehingga tampak sikap hidup manusia serta arah yang mendasarinya di dalam usaha mereka mencapai kesejahteraan hidup.

1. Filsafat sebagai hasil evolusi

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah hasil suatu perkembangan yang lama, namun perkembangan ke arah keilmuan lebih sesuai dengan kodrat kita, maka datangnya dorongan akan perkembangan itu akan lebih mudah. Hasrat kesempurnaan pikiran manusia perlu bagi manusia dan memperkaya manusia. Berkembangnya kebudayaan terasalah keinginan dan kebutuhan manusia untuk menyusun pengetahuan itu secara sistematis, sebab sistem itu memberikan kepastian, ketelitian, dan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar. Perkembangan pengetahuan yang disebut filsafat tidak dengan mendadak, melainkan berdasarkan evolusi juga. Jadi ada hubungannya antara tingkatan evolusi manusia dengan tingkat kebudayaannya

2. Filsafat sebagai ajaran hidup

Filsafat diharapkan memberikan petuntuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia, yang baik, yang susila, dan bahagia, mencoba menyusun aturan-aturan yang harus diikuti agar hidup kita mendapat isi makna dan nilai. Sesuai dengan arti filsafat sebagai usaha mencari kebijaksanaan, yang meliputi baik pengetahuan dan pemahaman yang mendalam (insight) maupun sikap hidup yang benar yang sesuai dengan pengetahuan itu. Dorongan untuk mengerti mendorong manusia untuk dapat hidup menurut kebenaran, disitulah filsafat bearti mencari pandangan hidup, pencari pegangan hidup, dan pedoman hidup.

F. Tujuan Filsafat

Filsafat dapat dipelajari dan difahami untuk kesejahteraan hidup manusia, terdapat tujuan praktis dan tujuan umum dalam mempelajari filsafat sebagaimana dijelaskan pada Salam (2009:146):

1. Tujuan Praktis Filsafat

Daya upaya manusia untuk memikirkan seluruh kenyataan sedalam-dalamnya itu pasti berpengaruh atas kehidupannya. Hingga dengan sendirinya bagian filsafat yang teoritis akan bermuara pada kehendak dan perbuatan praktis. Mengarahkan perbuatan-perbuatan kita kepada tujuan yang tulen, hal ini terletak pada jiwa manusia yang bekerja sama dalam suatu hubungan yang seerat-eratnya yang saling mempengaruhi dan saling melengkapi. Sebab yang berfikir itu bukan hanya pikiran, melainkan manusia seutuhnya. Kebenaran yang kita capai dengan akal itu diperuntukkan bagi hidup kita seutuhnya pula, maka kepentingan filsafat pada pokoknya ialah bahwa filsafat itu memberikan (atau sekurang-kurangnya dapat memberikan) sikap (batin) yang lain terhadap hidup, terhadap manusia.

Perbedaan antara orang yang berfilsafat dengan orang yang tidak berfilsafat terletak pada sikap hidup mereka sebagai manusia. Hidup di sini meliputi segala sesuatu yang di alami dan di rasakan manusia dalam dirinya sendiri sekaligus yang dirasakan, di alami atau di derita pula oleh orang-orang lain. Filsafat mengajar kita hidup dengan lebih sadar dan insyaf, memberi pandangan tentang manusia dan hidupnya yang menerobos sampai intisarinya, sehingga kita dengan lebih tegas dapat melihat baik keunggulan, kebesaran maupun kelemahan dan keterbatasannya. Dari pengetahuan ini dapatlah kita peroleh perhatian bagi sifat kepribadian yang menyendirikan setiap orang, dan hati kita terbuka buat rahasia yang menjelma dalam setiap seorangan yang akhirnya berarti hati kita terbuka bagi sumber segala rahasia ialah Tuhan.

Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar biasa sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha berharga.

Rene Descartes terkenal dengan ucapannya Cogito ergo sum yang artinya karena berfikir maka saya ada. Tokoh ini menyangsikan segala-galanya, tetapi dalam serba sangsi itu ada satu hal yang pasti, ialah bahwa aku bersangsi dan bersangsi berarti berfikir, karena berfikir maka aku ada. Berfilsafat berarti berpangkal kepada suatu kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi.

Prof. S. Takdir Alisyahbana menuliskan bagi manusia berfilsafat itu mengatur hidupnya seinsyaf-insyafnya sesentral-sentralnya dengan perasaan bertanggung jawab. Bukan bertanggung jawab kepada si Amat atau si Songo, tetapi kepada pokok, kepada dasar hidup yang sedalam-dalamnya baik dinamakan Tuhan atau alam atau kebenaran. Bagi suatu masyarakat atau bangsa filsafat itu tak kurang pentingnya sebab yang menjadi intisari atau jiwa sesuatu kebudayaan pada suatu tempat dan masa itu tidak lain daripada pikiran-pikiran ahli pikir bangsa itu pada tempat dan masa itu.

2. Tujuan Umum Pembelajaran Filsafat

Tujuan pembelajaran filsafat secara umum adalah sebagai berikut:

a. Berfilsafat membuat kita lebih menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun diri sendiri.

Manusia adalah jasmani-rohani (immanent-transcendent) dalam suatu kesatuan tetapi jiwalah yang merupakan dasar dan intinya, sumber segala kegiatan dan prinsip hidup. Maka kurang berpikir berarti lebih tenggelam kedalam jasmaniah dalam kebendaan. Berpikir dengan lebih dalam berarti mengalami diri kita sendiri sebagai transcendent, sebagai mengatasi dunia material sebagai rohani. Sesadar-sadarnya apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi dalam pada itu juga mengatasi dunia itu, sanggup melepaskan diri, menjauhkan diri sebentar dari keramaian hidup dan kepentingan-kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri itu objek penyelidikannya.

b. Seseorang yang sungguh-sungguh dewasa tidak mencari kepuasan dan kesenangannya sendiri dalam benda-benda, melainkan berusaha mempertahankan sikap yang objektif mengenai intisari dan sifat-sifat barang itu sendiri, bukannya pertama-tama atas perasaan dan pertimbangan-pertimbangan simpati atau antipati saja. Seseorang semakin pantas disebut berkepribadian, semakin mendekati kesempurnaan kemanusiaan, semakin memiliki kebijaksanaan, jika ia semakin mempunyai sikap objektif terhadap dunia ini.

c. Pelajaran filsafat mengajar dan melatih kita memandang dengan luas, jadi menyembuhkan kita dari kepicikan, dari akuisme dan aku sentrisme, artinya sifat memusatkan segala sesuatu kepada si-Aku, mencari jalan segala-galanya hanya untuk kepentingan dan kesenangan si-Aku saja, tidak dapat memasuki pendapat orang lain.

d. Dari pelajaran filsafat kita diharapkan menjadi orang yang dapat berfikir sendiri.

Salah satu sebab kurang majunya suatu negara, termasuk negara kita ialah bahwa orang kurang berfikir sendiri. Orang masih terlalu tenggelam dalam masyarakat, terlalu terpengaruh oleh pendapat umum, sehingga tidak berani mengemukakan pendapat lain, mereka terlalu mudah membuntut saja. Dengan latihan akal yang diberikan dalam filsafat kita harus menjadi orang yang sungguh-sungguh berdiri sendiri/ mandiri terutama dalam lapangan kerohanian, mempunyai pendapat sendiri. Jika perlu dapat dipertahankan pula menyempurnakan cara kita berfikir, sehingga bersikap kritis, mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku-buku maupun dalam surat-surat kabar, majalah-majalah, pidato, dan sebagainya.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Keheranan dan Kemauan Mendalami sebagai Awal Berfilsafat

Mengapa ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat? Bahkan sebaliknya ada orang yang menolak ada dan perlunya filsafat. Ia bertanya meragukan mengapa harus berfilsafat, mengapa tidak cukup membicarakan saja dan mengamalkan ilmu yang jelas objeknya, tidak usah berlebihan berfikir, seperti dilakukan dalam berfilsafat.

Pendapat tentang filsafat hanyalah tanda hakikat manusia saja, karena sejak awal dan peda dasarnya manusia berfikir. Berfikir inilah yang secara jelas, signifikan, membedakan manusia dari makhluk lainnya. Secara singkat, lebih dahulu perlu diajukan pendapat menyangkut pertanyaan-pertanyaan tadi, bahwa filsafat berada di tirai belakang atau mendahului ilmu pengetahuan atau pemikiran atas hal yang konkret. Misalnya ketika kita mengajukan moralitas tertentu kita sebenarnya telah membuat pertimbangan pemikiran mengapa moralitas itu yang kita pilih. Jadi yang menjadi masalah filsafat, bukanlah moralitas apa yang dipilih, melainkan apa yang ada di balik atau membentuk moralitas itu, mengapa moralitas itu dipilih. Jadi yang ditanyakan adalah pertanyaan dibelakang sesuatu, lebih dalam dari sesuatu itu. Apabila seseorang melihat pemandangan itu indah, ia bertanya mengapa bisa seindah itu?, bukan apakah indah itu?. Itulah berpikir filsafati.

Manusia memang suka bertanya tentang atau mempersoalkan sesuatu, termasuk mengapa harus berfilsafat? Banyak hal yang baru ditemuinya, dan hal tersebut mengherankannya. Karena heran pula maka ia tidak hanya sekedar mempertanyakan apa yang berwujud, tetapi yang mendasarinya. Bukan menanyakan indahnya suatu pemandangan, melainkan apa indah itu. Dengan akal, manusia memang merupakan makhluk yang senantiasa heran akan dan mengherankan segala hal yang tidak difahami atau hal yang baru. Masuk akal, karena Alloh SWT, memberikan nabi Adam AS, dan selanjutnya keturunannya, modal atau alat berupa akal, ketika menurunkannya ke bumi dengan tugas memelihara dan menyelamatkan bumi. Adanya akal mendorong keinginan untuk mengetahui dan memecahkan suatu masalah. Delius dkk. Dalam bukunya history of philosophy (geschichte der Philosophie von der Antike bis heute), menyatakan: sejak awal keheranan telah membuat manusia berfilsafat, dan sampai sekarang terus demikian, mengutip ucapan Aristoteles, ucapan yang berasal dari gurunya, Plato, yang masih berlaku sampai saat ini. Heran dan dilanjutkan dengan bertanya atau berfikir dampai menemukan makna tidak sekedar arti merupakan ciri manusia (human) yang tidak ada pada makhluk lainnya.

Persoalan yang ditanyakannya adalah segala hal, macam-macam, benda maupun keadaan, konkret ataupun abstrak, baik yang terfikir maupun terasa. Mengapa bertanya, adalah karena ia mengherankan dan ingin mendalami sesuatu. Cara bertanya pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa saja, ialah mengenai hal wujud, sampai pertanyaan filsafati, seperti anjuran Kant, timbul pertanyaan apa yang menjadi dasar bertanya seperti itu?

Keheranan itu merupakan bekal bagi orang untuk berfilsafat, selain bertanya non filsafati. Hal ini penting, karena dengan heran, orang bertanya, sehingga ilmunya akan bertambah dan mendalam. Dengan kedalaman dan keluasan ilmu, orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih tajam dan menguasai/ memahami lingkungannya dengan lebih dalam dan baik. Hal ini akan menyebabkannya memahami dan kemudian bertindak, bereaksi, efektif beradaptasi terhadap lingungan atau tantangannya. Penyesuainan demikian tidak sekedar menghindarkan orang dari marabahaya, tetapi dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Pemahaman, jalan pikiran, dan penguasaan atas kenyataan secara demikian itu merupakan kebenaran. Dengan demikian, kita meyakini bahwa kebenaranlah yang akan membawa seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya. Masalah selanjutnya adalah mengapa untuk mencapai kebenaran itu manusia harus berfilsafat. Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfilsafat, tetapi cukup sampai bertanya secara ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya saja, atau bahkan dalam arti akal sehat saja. Namun berfilsafat akan menemukan akar, hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya, yang mendasari kebeneran substantif itu. Untuk hal ini selayaknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana berfilsafat, atau secara lebih sederhana bertanya: apa filsafat itu.

Untuk sementara, untuk keperluan pelaksanaannya saja, filsafat dapat dianggap sebagai bertanya/ memersoalkan sesuatu secara mendalam dan bersungguh-sungguh, radikal (radix=akar), sampai ke akar-akarnya. Jelas ini merupakan cara bertanya yang berbeda dari bertanya saat memperbicangkan ilmu pengetahuan, yang bertitik tolak pada wujud objektifnya. Apa yang hendak dicapai filsafat adalah kebenaran yang hakiki, dan disebut kebenaran filsafati.

Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati, penanya tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang mendahului atau melahirkan ilmu pengetahuan, disamping perbincangan masalah-masalah nyata lainnya. Tentu saja, seyogyanya ia lebih dahulu memahami pengertian filsafat secara mendasar dengan tepat, sehingga keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak akan sampai terjadi. Dengan demikian maka pertanyaannya seyogyanya beralih mmenjadi: mengapa orang berfilsafat?

Terdapat keheranan yang terjadi pada manusia ialah adanya keheranan orang-orang bodoh, atau lebih tepat orang-orang malas, dari keheranan yang berfikir mendalam. Keheranan orang bodoh adalah keheranan yang sekedar heran saja sebagai sedikitnya pengetahuan, minat, usaha, dan kemampuan mereka dalam memikirkan lebih lanjut dan bersungguh-sungguh. Misalnya keheranan karena pengetahuannya terbatas, dan keinginan

BAB IV

SIMPULAN, IMPLIKASI, REKOMENDASI

A. Simpulan

Filsafat adalah kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan atau kearifan. Manusia dengan kodratnya terlahir untuk berfilsafat, keinginan untuk mengerti akan kebenaran, timbullah ilmu-ilmu pengetahuan dan akhirnya muncullah filsafat.

Filsafat dimulai dari manusia mengagumi dunia dan berusaha menerangkan berbagai gejala dunia itu. Keheranan, keraguan atau kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Hasrat untuk mengerti menyatakan diri dalam bermacam-macam pernyataan-pernyataan, yang sungguh-sungguh tidak mudah di jawab dengan sekaligus.

Kegunaan filsafat sebagai bagian dari evolusi pemikiran manusia yang berkembang dengan ilmu pengetahuan, dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup untuk menjadi manusia, yang baik, yang susila, dan bahagia.

B. Implikasi

1. Teoritis

Permulaan timbulnya manusia berfilsafat adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu dan mengerti akan sesuatu hal yang merupakan masalah yang dihadapi dalam kehidupan, awal mula filsafat dengan timbulnya pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk di jawab sekaligus, membutuhkan proses dalam mengetahuinya.

2. Praktis

Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam kehidupan harus kita temukan jawabannya dengan menghubungkan dengan ilmu terkait untuk menjalankan kehidupan yang bijaksana.

C. Rekomendasi

Rekomendasi yang penulis ajukan untuk pembaca maupun untuk penulis sendiri adalah:

1. Rekomendasi bagi pembaca, penting dalam kehidupan sehari-hari untuk memikirkan kejadian atau masalah yang terjadi di sekitar, saat timbul pertanyaan dalam pikiran maka tulislah pertanyaan tersebut, cari tahu tentang masalah tersebut dengan mengkaji dan membaca sumber pendukung, agar pertanyaan kita terjawab dan menjadi lebih bijaksana dalam pemikiran, bertindak dan berperilaku. Memberikan dasar-dasar pengetahuan kita, memberikan pandangan yang syntesis pula sehingga pengetahuan kita merupakan kesatuan. Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita. Sebab itu mengetahui kebenaran-kebenaran yang terdasar bearti mengetahui dasar-dasar hidup kita sendiri. Hal ini akan tampak betul terutama dalam Etika. Khususnya bagi seorang pendidik (paedagogy) filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya mengenai manusia seperti: ilmu mendidik, sosiologi, ilmu jiwa, dan sebagainya.

2. Rekomendasi bagi penulis sendiri, membaca tentang buku filsafat menjadi penting dan harus dilakukan untuk memperkaya hasil tulisan makalah, membaca juga dapat mendorong penulis untuk lebih tahu tentang pemikiran-pemikiran para filsuf.

21