Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap...

16
51 PENGGUNAAN ANTI LEUKOTRIEN DALAM TERAPI RINITIS ALERGI Puguh Setyo Nugroho, Dwi Reno Pawarti Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Prevalensi rinitis alergi (RA) akhir-akhir ini cenderung meningkat sehingga dapat menyebabkan timbulnya dampak negatif terhadap produktivitas kerja serta kualitas hidup bagi penderitanya. RA sering dianggap hanya penyakit yang sederhana dan mampu diatasi sendiri oleh penderitanya sehingga menjadi penyakit yang kurang tertangani atau bahkan tidak tertangani sama sekali. 1 Tujuan terapi RA adalah untuk mengontrol gejala semaksimal mungkin dengan meminimalkan efek samping yang mengganggu. Modalitas terapi yang dapat digunakan antara lain dengan menghindari alergen (allergen avoidance), farmakoterapi, imunoterapi sampai pembedahan. Pemilihan terapi disesuaikan dengan kepentingan penderita, termasuk juga ada tidaknya penyakit alergi lainnya karena RA sering disertai dengan penyakit alergi lainnya, misalnya asma. Beberapa studi telah menunjukan bahwa RA, asma dan rinosinusitis sering terjadi bersamaan. Salah satu modalitas farmakoterapi adalah penggunaan anti leukotrien yang juga digunakan untuk terapi asma. 1,2 Manusia memiliki dua kelas reseptor leukotrien dalam reaksi alergi yaitu CysLTs R-1 dan CysLTs R-2. CysLTs R-1 merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada terapi RA. Terapi RA dengan anti leukotrien belakangan ini berkembang karena dinilai cukup besar manfaatnya. Anti leukotrien terdiri dari dua macam yakni penghambat sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien, ada satu jenis inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien. 3 Tujuan penulisan referat ini adalah menjelaskan peran penggunaan anti leukotrien dalam penatalaksanaan RA. Pembentukan Leukotrien Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon, dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4 dimetabolisme melalui jalur 5- lipoksigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko konstriksi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Leukotrien diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri juga

Transcript of Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap...

Page 1: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

51

PENGGUNAAN ANTI LEUKOTRIEN DALAM TERAPI RINITIS ALERGI

Puguh Setyo Nugroho, Dwi Reno Pawarti

Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN

Prevalensi rinitis alergi (RA) akhir-akhir ini cenderung meningkat sehingga dapat menyebabkan timbulnya dampak negatif terhadap produktivitas kerja serta kualitas hidup bagi penderitanya. RA sering dianggap hanya penyakit yang sederhana dan mampu diatasi sendiri oleh penderitanya sehingga menjadi penyakit yang kurang tertangani atau bahkan tidak tertangani sama sekali.1

Tujuan terapi RA adalah untuk mengontrol gejala semaksimal mungkin dengan meminimalkan efek samping yang mengganggu. Modalitas terapi yang dapat digunakan antara lain dengan menghindari alergen (allergen avoidance), farmakoterapi, imunoterapi sampai pembedahan. Pemilihan terapi disesuaikan dengan kepentingan penderita, termasuk juga ada tidaknya penyakit alergi lainnya karena RA sering disertai dengan penyakit alergi lainnya, misalnya asma. Beberapa studi telah menunjukan bahwa RA, asma dan rinosinusitis sering terjadi bersamaan. Salah satu modalitas farmakoterapi adalah penggunaan anti leukotrien yang juga digunakan untuk terapi asma.1,2

Manusia memiliki dua kelas reseptor leukotrien dalam reaksi alergi yaitu CysLTs R-1 dan CysLTs R-2. CysLTs R-1 merupakan

reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada terapi RA. Terapi RA dengan anti leukotrien belakangan ini berkembang karena dinilai cukup besar manfaatnya. Anti leukotrien terdiri dari dua macam yakni penghambat sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien, ada satu jenis inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien.3

Tujuan penulisan referat ini adalah menjelaskan peran penggunaan anti leukotrien dalam penatalaksanaan RA.

Pembentukan Leukotrien

Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon, dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4 dimetabolisme melalui jalur 5-lipoksigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko konstriksi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut eikosanoid. Leukotrien diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri juga

Page 2: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

52

merupakan subtrat dari siklo-oksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostaglandin dan tromboksan (gambar 1). 3,4

Sintesa leukotrien dihasilkan oleh aktivitas enzim 5-lipoksigenase terhadap asam arakidonat bebas , tetapi harus berikatan dulu dengan protein membran yang disebut 5-lipoxigenase activating protein (FLAP). Interaksi asam arakidonat dengan FLAP dan 5-lipoksigenase menghasilkan komposisi 5-hydrokxyperoxy-eiocosatertraenoic acid (5-HPETE) yang tak stabil,

selanjutnya komposisi tersebut akan berkurang atau berubah menjadi leukotrien A4

(LTA4) karena pengaruh hidrolase LTA4 diubah menjadi LTB4, sedangkan enzim sintase (glutathione-S-tranferase) mengubahnya menjadi LTC4 selanjutnya enzim transpeptidase mengubah LTC4 menjadi LTD4 dan LTD4 diubah menjadi LTE4 oleh enzim dipeptidase (gambar 2). 3

Gambar 1. Jalur metabolisme asam arakidonat dan contoh-contoh dari beberapa

jaringan target dari prostanoid dan leukotrien. PLA2 = phospholipase A2, COX = cyclooxygenase, 5-LOX = 5-lipoxygenase, TXA2 = thromboxane A2, PGE2 = prostaglandin E2, PGI2 = prostaglandin I2, LT= leukotriene (A4, B4, C4, D4, E4), VSMC = vascular smooth muscle cells, CNS = central nervous system, VEGF = vascular endothelial growth factor, MO = macrophages.4

Page 3: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

53

Ketiga leukotrien yaitu LTC4,

Ketiga leukotrien yaitu LTC4, LTCD4 dan LTE4 berpengaruh pada inflamasi, bronko konstriksi dan hyperresponsivness sehingga dengan demikian leukotrien juga merupakan mediator penting pada RA dan asma (gambar 3).3

Peran Leukotrien Dalam Patofisiologi Rinitis Alergi Dalam patofisiologi RA leukotrien berperan bersama dengan mediator inflamasi lainnya yaitu pada reaksi alergi fase cepat (RAFC) saat terjadinya paparan ulang pada

Gambar 3. Efek leukotrien pada RA dan asma.5

Gambar 2. Proses pembentukan leukotrien.3

Page 4: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

54

penderita atopik yang sudah mengalami sensitasi oleh alergen yang sama, pada reaksi ini akan terjadi ikatan alergen dengan Ig E spesifik baik yang di permukaan sel mast maupun basofil sehingga menyebabkan degranulasi sel mast dan mengeluarkan mediator kimia (preformed mediator) seperti histamin, tryptase, bradikinin, selain itu juga terbentuk mediator lipid (newly formed mediators) seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC4) dan platelet activating factor (PAF). RAFC menimbulkan gejala gatal hidung, bersin-bersin, pilek encer dan juga gejala pada mata. Peran leukotrien selain pada RAFC juga berperan pada reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi antara 4 – 6 jam setelah paparan alergen dan menetap antara 24 – 48 jam. RAFL dipengaruhi oleh oleh faktor-faktor inflamasi, sel mast dan basofil yang berupa faktor kemotaktik, PAF, sitokin dan juga eosikanoid. Faktor kemotaktik sel menyebabkan infiltrasi sel eosinofil, sel mast, limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa sedangkan efek PAF dan eosikanoid meningkatkan resistensi saluran nafas, hidung buntu, gatal dan pilek. PAF juga dapat menarik eosinofil, neutrofil dan meningkatkan

adhesinya pada endotel pembuluh darah yang akan memperberat gejala.6

Manusia memiliki dua kelas reseptor leukotrien dalam reaksi alergi yaitu CysLTs R-1 dan CysLTs R-2. CysLTs R-1 merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA.7

Reseptor CysLTs dikenal sebagai slow-reacting substances of anaphylaxis (SRS-A), memainkan peran penting dalam inflamasi terutama pada asma dan RA. Penelitian yang dilakukan Sarau et al pada tahun 1999 yang dikutip oleh Metters KM dan Kathleen.7 Penelitian tersebut menunjukkan bahwa efek biologis CysLTs dimediasi melalui G protein-coupled reseptors dan CysLTs juga mempengaruhi mobilisasi kalsium. CysLTs reseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis CysLT-1 reseptor (CysLTs R-1) dan CysLT-2 reseptor (CysLTs R-2). CysLTs R-1 terdapat pada makrofag, sel paru , otot polos, eosinofil dalam darah perifer , basofil, monosit, sel B dan sel induk CD34+ . Reseptor CysLTs R-2 terdapat pada sel Purkinje hepar, sel kromafin adrenal , otak dan leukosit di pembuluh darah termasuk eosinofil (gambar 4). 7

Gambar 4. Leukotrien sebagai mediator inflamasi pada RA.8

Page 5: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

55

Studi yang dilakukan oleh Figueroa et al pada tahun 2003 yang dikutip oleh Sharma dan Mohammed.9 Studi tersebut menggunakan sampel lavage nasal yang didapatkan dari pasien RA musiman fase aktif untuk memeriksa ekspresi CysLTs R-1 dan CysLTs R-2 dalam sel inflamasi. Studi menunjukkan bahwa baik CysLTs R-1, mRNA CysLTs R-2 dan protein didapatkan pada 70-90% dari eosinofil nasal lavage, 50% dari sel-sel mononuklear dan 30% dari sel mast. Dilaporkan 40% dari neutrofil hanya didapatkan mRNA CysLTs R-1 dan protein, sedangkan untuk mRNA CysLTs R-2 tidak didapatkan.9

CysLTs adalah mediator pro inflamasi yang memainkan peran

penting dalam patofisiologi RA dan asma. CysLTs dapat menyebabkan bronko konstriktor yang ampuh memiliki kekuatan 100-1000 kali lebih kuat dari histamin, menyebabkan vasokonstriksi, peningkatkan permeabilitas vaskular yang dapat menyebabkan pengeluaran makromolekul dalam plasma ke saluran napas. CysLTs juga merangsang sekresi lendir dan menghambat pembersihan oleh mukosiliar. LTD4 dan LTE4 merupakan chemoattractants yang ampuh dan spesifik untuk eosinofil yang juga menyebabkan mobilisasi eosinofil ke mukosa saluran nafas oleh karena itu CysLTs memiliki peran penting dalam patofisiologi RA dan asma (gambar 5).9

Gambar 5. Pengaruh leukotrien dalam RA dan asma.10

Page 6: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

56

Penatalaksanaan Rinitis Alergi Penatalaksanaan RA yang

selama ini dipakai adalah yang direkomendasikan oleh the Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA), merupakan suatu workshop yang diselenggarakan oleh panel pakar yang bekerja sama dengan WHO. Workshop tersebut menghasilkan pedoman

penatalaksanaan RA berdasarkan dari berbagai studi randomized controlled trial. Penatalaksanaan RA yang direkomendasikan adalah menghindari alergen, farmakoterapi, imunoterapi spesifik, edukasi dan pembedahan. Penatalaksanaan RA juga direkomendasikan dilakukan dengan bertahap, berdasarkan pada berat ringan penyakit (gambar 6).11

Diagnosis rinitis alergi

Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan RA.11

Page 7: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

57

Farmakoterapi pada Rinitis Alergi

Allergen avoidance masih merupakan upaya utama dalam penatalaksanaan RA akan tetapi dalam prakteknya tidak mudah dilaksanakan sehingga terapi yang populer adalah farmakoterapi. Farmakoterapi merupakan pengobatan dengan menggunakan medikamentosa. Medikamentosa yang sangat dibutuhkan penderita adalah medikamentosa yang dapat mengurangi gejala dan bekerja cepat. Obat-obatan yang dapat

menghilangkan atau mengurangi gejala bersin, rinore serta hidung buntu banyak digunakan dan laku keras karena dalam waktu singkat dapat mengatasi masalah walaupun hanya sementara. Jenis obat telah digunakan pada terapi RA seperti antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator sel mastosit, obat anti kolinergik dan leukotrien modifiers dengan pengaruhnya masing-masing terhadap berbagai gejala RA (tabel 1).2,12

Tabel 1. Farmakoterapi.2

Tabel 2. Efek terapi.11

Page 8: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

58

Pemilihan obat perlu

mengacu pada keluhan yang dirasakan oleh penderita sehingga dapat dipilih obat yang sesuai dengan kebutuhan baik berupa obat tunggal maupun kombinasi (tabel 2). 2,11

Penggunaan Anti Leukotrien Dalam Terapi Rinitis Alergi

Antileukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesa leukotrien, dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat anti leukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua antagonis reseptor yaitu zafirlukast dan montelukast serta satu inhibitor lipoksigenase yaitu zileuton (gambar 7). 9,13

Penelitian yang dilakukan

oleh Okuba K dan Baba K15 pada tahun 2008 dengan menggunakan metode double blind clinical study untuk membandingkan efek terapi monteluklast 5 mg, monteluklast 10 mg dan plasebo pada 942 pasien yang dibagi secara randomized ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok plasebo, kelompok monteluklast 5 mg dan kelompok 10 mg. Menggunakan penilaian terhadap skor hidung buntu, rinore dan bersin didapatkan hasil yang signifikan antara pemberian monteluklast dengan plasebo dan tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian monteluklast 5 mg dengan 10 mg (gambar 8).15

Gambar 7. Kerja anti leukotrien.14

Page 9: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

59

Penelitian lain yang

dilakukan Mucha et al 16 membandingkan monteluklast sebagai anti leukotrien dengan pseudoefedrin dalam terapi RA musiman. Menggunakan metode double blind dan randomized terhadap 58 penderita RA yang dibuktikan dengan riwayat RA dan tes kulit yang positif. Penderita dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 diberikan pseudoefedrin 240 mg sekali pada pagi hari sedangkan kelompok 2 diberikan monteluklast sodium 10

mg masing-masing diberikan selama 2 pekan. Penilain intervensi terapi dilakukan dengan kuisioner pada pre tes sebelum intervensi dan kuisioner post test setelah intervensi terhadap keluhan hidung buntu, nasal peak inspiratory flow (NPIF), dan diurnal dan nocturnal rhinoconjuctivitis quality of life (QOL). Didapatkan setelah intervensi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam keluhan hidung buntu, nasal peak inspiratory flow (NPIF), dan diurnal dan nocturnal rhinoconjuctivitis quality of life (QOL) (gambar 9). 16

Gambar 8. Grafik stastistik perbandingan monteluklast 5 mg, monteluklast 10 mg dan plasebo 15

Gambar 9. Grafik pemberian monteluklast dan pseudoefedrin 16

Page 10: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

60

Studi perbandingan yang dilakukan oleh Teet et al yang dikutip oleh Pullerits T et al 17 membandingkan glukokortikoid intra nasal, antileukotrien, kombinasi antileukotrien dan antihistamin dalam terapi RA musiman. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui keuntungan terapi glukokortikoid intra nasal, antileukotrien , kombinasi antileukotrien dan antihistamin. Metode yang digunakan adalah double blind, randomized study pada 62 pasien RA, penderita dibagi secara acak menjadi 4 kelompok. Kelompok 1 diberikan terapi glukokortikoid intra nasal dengan fluticasone propionate aqueous nasal spray (FPANS) dosis 200 Âμg/hari, kelompok 2 diberikan montelukast dosis 10 mg /hari sebagai antileukotrien, kelompok 3 diberikan montelukast dan dikombinasi dengan loratadin dosis 10 mg /hari sebagai antihistamin, dan kelompok 4 dengan plasebo. Penderita diminta untuk

mencatat gejala hidung buntu, gatal, rinore dan bersin sebelum dan selama musim. Biopsi spesimen hidung juga dilakukan untuk

evaluasi eosinofil. Didapatkan hasil selama puncak musim polen, pada siang hari FPANS kombinasi loratadin dan montelukast secara bermakna lebih efektif daripada plasebo dan montelukast, juga didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pemberian kombinasi antara monteluklast dan antihistamin dengan FPANS. Gejala pada malam hari didapatkan FPANS secara signifikan lebih efektif daripada pengobatan lain, sedangkan kombinasi montelukast dan loratadin, montelukast saja tidak memberikan pencegahan gejala signifikan dibandingkan dengan plasebo. Didapatkan peningkatan jumlah eosinofil epitel secara signifikan lebih rendah untuk pasien yang dirawat dengan FPANS dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pasien dengan RA musiman, glukokortikoid intra nasal lebih efektif (gambar 10).17

Montelukast adalah antagonis cysteinyl leukotriene reseptors (CysLTs R) yang telah dikembangkan terutama untuk

Gambar 10. Grafik perbandingan

FPANS, monteluklast, monteluklast dan

loratadin, plasebo 17

Page 11: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

61

terapi asma bronkial. Montelukast telah dipasarkan untuk pasien dewasa dan anak dengan asma bronkial sejak tahun 1997. Berdasarkan mekanisme kerja montelukast juga diharapkan tidak hanya efektif untuk terapi asma bronkial tetapi juga untuk terapi RA, maka penggunaan monteluklast sebagai terapi RA telah dilakukan pada pasien dengan RA musiman dan RA perennial dan kegunaannya telah dibuktikan dalam berbagai studi di atas.15 Obat ini juga telah direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan RA, di bawah ini akan dijelaskan tentang monteluklast dalam pengobatan RA.13

Sifat Kimia Monteluklast

Sodium monteluklast secara kimia dideskripsikan sebagai [R-(E)]-1-[1-[3-[2-(7-chloro-2-quinolinyl) ethenyl phenyl]-3-[2-(1-hydroxy-1-ethylethyl) phenyl propylthiomethyl] cyclopropaneacetic acid, monosodium salt.18

Rumus kimianya yaitu C35H35ClNNaO3S dengan berat molekul 608 mikrogram (gambar 11).19

Mekanisme Kerja Monteluklast Cysteinyl leukotriene (LTC4,

LTD4, LTE4) adalah produk dari metabolisme asam arakidonat dan dapat dilepaskan dari berbagai sel termasuk sel mast dan eosinofil. Eikosanoid mengikat cysteinyl leukotriene tersebut ke cysteinyl leukotriene reseptors (CysLTs R). Reseptor cysLT type-1 (CysLTs R1) ditemukan pada jalan nafas termasuk sel otot polos , makrofag dan sel pro inflamasi lainnya termasuk eosinofil dan sel mieloid. CysLTs mempunyai hubungan terhadap patofisiologi terjadinya asma dan RA, pada asma leukotrien menimbulkan efek udim pada jalan nafas, kontraksi sel otot polos dan aktivitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi sedangkan pada RA CysLTs dikeluarkan dari mukosa hidung setelah adanya alergen yaitu selama reaksi alergi fase cepat, fase lambat dan berhubungan dengan keluhan penderita RA yaitu dapat menimbulkan resistensi kavum nasi sehingga terjadi obstruksi kavum nasi. Montelukast yang digunakan per oral mempunyai komposisi aktif yang memiliki afinitas yang tinggi dan selektif untuk mengikat reseptor CysLTs R1, dimana montelukast juga dapat menghambat fungsi fisiologis LTC4 di reseptor antagonis CysLT R1.7,9

Gambar 11. Rumus kimia monteluklast.18

Page 12: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

62

Farmakokinetik Monteluklast Montelukast cepat diserap,

setelah pemberian 10 mg tablet pada orang dewasa, didapatkan kadar puncak monteluklast dalam plasma (C max) dicapai dalam waktu 3 - 4 jam (T max) dengan bioavailabilitas 64%. Bioavailabilitas dan C max tidak dipengaruhi oleh makan sedangkan untuk pemberian tablet kunyah 5-mg pada dewasa, C max dicapai setelah 2 – 2,5 jam setelah pemberian dengan bioavailabilitas 73% bila diberikan sebelum makan dan 63% bila diberikan setelah makan. Pemberian tablet kunyah 4 mg, C max dicapai setelah 2 jam setelah pemberian sebelum makan pada pasien anak usia 2 - 5 tahun. Monteluklast granul 4 mg bioequivalent dengan 4 mg tablet kunyah dalam pemberian sebelum makan. Pemberian setelah makan menurunkan C max sebesar 35 % dan memperpanjang T max dari 2.3 ± 1.0 jam menjadi 6.4 ± 2.9 jam.13

Pemberian monteluklat pada penderita RA disarankan diberikan pada waktu pagi atau sore sebelum atau sesudah makan. 13

Farmakokinetik monteluklast antara laki-laki dan perempuan sedangkan untuk pengaruh pemberian monteluklast pada ras belum ada penelitian yang menjelaskan.18,19

Pemberian monteluklat 10 mg dosis tunggal per oral didapatkan bioavaibilitas yang sama antara penderita berusia tua dan muda, akan tetapi waktu paruh monteluklast sedikit memanjang pada usia tua.18

Pemberian monteluklast pada pasien dengan kelainan hepar dengan derajat ringan sampai sedang dan penderita sirosis didapatkan

penurunan metabolisme monteluklast sampai 41 %, pada penderita dengan gangguan ginjal cukup aman karena monteluklast dieskresikan hanya sedikit melalui urin.18

Distribusi Montelukast lebih dari 99%

diikat oleh protein plasma. Volume steady state distribusi montelukast rata-rata 8 sampai 11 liter. Percobaan pada tikus didapatkan distribusi minimal pada pembuluh darah sawar otak.18

Metabolisme

Montelukast hampir seluruhnya dimetabolisme di hepar. Penelitian dengan dosis terapi tidak didapatkan sisa metabolisme monteluklast di plasma pada pasien dewasa dan anak.19

Studi in vitro menggunakan mikrosom liver manusia menunjukan bahwa sitokrom P450 3A4 dan 2C9 terlibat dalam metabolisme montelukast. Penelitian klinik terhadap efek monteluklast yang dapat menghambat kerja sitokrom P450 3A4 (contoh: ketokonazol, eritromisin) dan 2C9 (contoh: flukonazol) pada farmakokinetik tidak dapat dibuktikan, berdasarkan hasil penelitian in vitro pada mikrosom liver manusia, konsentrasi plasma pada dosis terapi monteluklast tidak menghambat sitokrom P450 3A4, 2C9, 1A2, 2A6, 2C19 dan 2D6, akan tetapi secara in vivo menunjukan montelukast merupakan penghambat yang kuat untuk sitokrom P450 2C8.18,19

Eliminasi Monteluklast memiliki

plasma clearance rata-rata 45

Page 13: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

63

mL/menit untuk orang dewasa sehat. Menggunakan radiolabeled pada pemberian monteluklast per oral selama 5 hari didapatkan 86% pada feses dan 0.2% pada urin.18

Interaksi Obat Montelukast 10 mg yang

diberikan sekali sehari tidak memberikan pengaruh terhadap farmakokinetik teofilin yang diberikan secara intra vena, farmakokinetik warfarin, farmakokinetik digoxin, konsentrasi plasma terfenadin.18

Montelukast 10 mg yang diberikan sekali sehari tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi plasma obat kontrasepsi oral seperti norethindrone 1 mg atau etinil estradiol 35 mcg juga tidak mempengaruhi plasma konsentrasi prednison atau prednisolon.18

Farmakodinamik Monteluklast

Montelukast menghambat cysteinyl leukotriene reseptors yang berada di jalan nafas dengan kemampuannya untuk menghambat bronkokonstriksi dengan menghambat LTC4 pada penderita RA dan asma.13

Efek pada eosinofil di dalam pembuluh darah perifer yang diperiksa dalam uji klinis, pada pasien penderita asma umur 2 tahun atau lebih yang diberikan monteluklast terjadi penurunan berarti eosinofil darah tepi dari 15 % menjadi 9 %.18

Efek terapi montelukast yang optimal untuk asma bila diberikan pada malam hari tanpa memperhatikan sebelum atau setelah makan, sedangkan RA khususnya yang musiman, montelukast diberikan pada pagi atau sore hari tanpa memperhatikan sebelum atau setelah makan.18

Efek Samping Monteluklast

Efek samping pada pasien yang sering timbul sakit perut atau usus, depresi, mulas, kelelahan, hidung tersumbat, demam, flu, batuk, infeksi saluran pernapasan atas, ruam , sakit kepala pusing sedangkan efek yang jarang terjadi peningkatan kecenderungan perdarahan, reaksi alergi mengantuk, kesemutan, kejang, palpitasi, hidung berdarah, diare, gangguan pencernaan, radang pankreas , mual, muntah, hepatitis, memar nyeri, sendi, nyeri otot dan kram otot (tabel 3). 18

Tabel 3. Efek samping penggunaan monteluklast. 18

Page 14: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

64

Indikasi Pemberian Monteluklast Indikasi pemberian

monteluklast adalah sebagai berikut:13 - Mengurangi gejala RA jenis

musiman pada dewasa dan anak usia 2 tahun ke atas dan RA jenis perenial pada penderita dewasa dan anak usia 6 bulan ke atas.

- Profilaksis dan pengobatan asma pada penderita dewasa dan anak.

- Mencegah bronco konstriksi pada penderita usia 15 tahun ke atas.

Kontra Indikasi Monteluklast Hipersensitif terhadap kandungan obat ini. 13

Dosis Monteluklast Dewasa diberikan 10 mg

sebelum tidur, anak-anak 6 tahun sampai 14 tahun diberikan 5 mg sebelum tidur, Anak-anak 2 tahun sampai 5 tahun diberikan 4 mg sebelum tidur. 13

RINGKASAN Terapi rinitis alergi bertujuan

untuk mengontrol gejala semaksimal mungkin dengan meminimalkan efek samping, berbagai modalitas terapi dapat digunakan, mulai dengan menghindari alergen (allergen avoidance), farmakoterapi, imunoterapi sampai terapi

pembedahan. Salah satu modalitas farmakoterapi adalah penggunaan anti leukotrien.

Anti leukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesa leukotrien , dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada rinitis alergi maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yakni dua antagonis reseptor yaitu zafirlukast dan montelukast serta satu inhibitor lipoksigenase yaitu zileuton. Montelukast adalah antagonis cysteinyl leukotriene reseptors (CysLTs R) yang direkomendasikan oleh FDA untuk terapi rinitis alergi. Penelitian menunjukkan bahwa monteluklast memiliki manfaat lebih dibandingkan dengan plasebo dan memiliki manfaat yang sama dengan loratadin untuk farmakoterapi rinitis alergi khususnya rinitis alergi musiman. Kombinasi montelukast dengan loratadin memiliki efektifitas yang sama dengan penggunaan glukokortikoid intra nasal, selain itu monteluklast memiliki efektifitas yang sama dengan pseudoefedrin untuk mengurangi efek hidung buntu.

Page 15: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

65

DAFTAR PUSTAKA 1 Krouse JH. Allergic and non

allergic rhinitis. In: Bailey BJ, Johson JT, Newland SD, eds. Head and neck surgery otolaryngology 4th eds. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2006: 351-62.

2 Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. In: Lalwani AK, eds. Current diagnosis & treatment in otolaryngology head and neck surgery. 5th eds. New York: Mc Graw Hill Medical, 2008: 264-72.

3 Engels F, Nijkamp FP. Pharmacological inhibition of leukotriene actions. 1998. Available from http://www.springerlink.com/content/g71388570p4151l2/fulltext.pdf. accesed September 1, 2009.

4 Totten J, Brown HM, LeRoy BE. Nonsteroidal anti inflammatory drug (NSAID) toxicity in dogs and cats: pathophysiology, diagnosis and monitoring. 2004. Available from : http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.vet.uga.edu/vpp/CLERK/totten/fig01.jpg&imgrefurl=http://www.vet.uga.edu/vpp/CLERK/totten/index.php&usg=__EtrCF4_Mfb_jDIJqxxL4RdMq828=&h=485&w=576&sz=50&hl=id&start=13&tbnid=J-8cp5ZGeLTUuM:&tbnh=113&tbnw=134&prev=/images%3Fq%3DLeukotriene%26gbv%3D2%26ndsp%3D20%26hl%3Did%26sa%3DN. accesed November

21, 2009.

5 Howarth PH, Okuda M, Claesson HE, Dahlén SE, Dworski R. Cysteinyl leukotrienes are important mediators of airway inflammation and allergy symptoms. 1994. Available from : http://a248.e.akamai.net/7/248/847/20060502095303/www.singulair.ae/images/impt_of_leukotrienes/role_of_leuk.gif. accesed November 21, 2009.

6 Pawarti DR. Diagnosis rinitis alergi. Dalam: Wiyadi HMS, Herawati S, Harmadji S, Pawarti DR ed. Naskah lengkap alergi imunologi rinologi recent advances and update management of allergic rhinosinusitis. Departemen/SMF Ilmu Kesehtan THT-KL FK UNAIR – RSU Dr Soetomo, 2009: 1-15.

7 Metters KM. Leukotriene receptors. 1995. Available from : http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T8M-40T9NDS-W&_user=10&_rdoc=1&_fmt=&_orig=search&_sort=d&_docanchor=&view=c&_searchStrId=1114026965&_rerunOrigin=google&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&md5=c9c823fe1026633571fad7199d974df0. accesed November 21, 2009.

8 Evans JF. The Cysteinyl leukotriene (CysLT) pathway in allergic rhinitis. 2005. Available from : http://ai.jsaweb.jp/fulltext/05402

Page 16: Isi materi-Mei-Agustus 2011--siap cetak-editjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtkl5500d2c8b8... · 2018. 2. 13. · 6wxgl \dqj glodnxndq rohk )ljxhurd hw do sdgd wdkxq \dqj

66

0187/img/054020187_f01.gif. accesed November 21, 2009.

9 Sharma JN, Mohammed LA. The role of leukotrienes in the pathophysiology of inflammatory disorders: Is there a case for revisiting leukotrienes as therapeutic targets?. 2006. Available from: http://www.springerlink.com/content/y59l2l22730nr434/fulltext.pdf. accesed September 1, 2009.

10 Salvi SS. The Anti-inflammatory effects of leukotriene modifying drugs. 2001. Available from: http://chestjournal.chestpubs.org/content/119/5/1533/F1.large.jpg. accesed November 21, 2009.

11 Bousquet J, Cauwenberge P, Bond C, Bousquet H, Canonica GW, Howarthet P et al, Management of allergic rhinitis. 2003. Available from www.whiar.org/docs/ARIA_Pharm_PG.pdf. accesed September 1, 2009.

12 Plaut M, Valentine MD. Allergic rhinitis. 2005. Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/353/18/1934. accesed September 1, 2009.

13 Scow DT, Luttermoser GK, Dickerson KS. Leukotriene inhibitors in the treatment of Allergy and Asthma.2007. Available from: http://www.aafp.org/afp/20070101/65.html accesed September 1, 2009.

14 Wechsler ME, Israel E. Pharmacogenetics of treatment with leukotriene modifiers: the

leukotriene pathway and potential targets. 2002. Available from: http://img.medscape.com/fullsize/migrated/444/395/444395.fig2.jpg. accesed November 21, 2009.

15 Okubo K, Baba K. Therapeutic effect of montelukast, a cysteinyl leukotriene receptor 1 antagonist, on japanese patients with seasonal allergic rhinitis. Allergology International, 2008; 57 :247-55.

16 Mucha SM, Tineo M, Naclerio RM, Baroody FM. Comparison of monteluklast and pseudoephedrine in the treatment of allergic rhinitis. Arch Otolaryngology Head and Surgurey, 2006; 132: 164-172.

17 Pullerits T et al. Comparison of a nasal glucocorticoid, antileukotriene, and a combination of antileukotriene and antihistamine in the treatment of seasonal allergic rhinitis. 2002. Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0091674902000088. acces on November 21st 2009.

18 Baroody FM. Monteluklast sodium. 2009. Available from http://129.128.185.122/drugbank2/drugs/DB00471/fda_labels/15. accesed September 1, 2009.

19 Ramakrishnan R, Migoya E, Knorr B. A population pharmacokinetic model for montelukast disposition in adults and children. 2005. Available from: http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=16803974. accesed November 21, 2009.