DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

30
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Pada zaman modern saat ini, semua masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu tempat baik itu desa maupun kota, membutuhkan akses untuk berbagai kegiatan. Kebutuhan manusia akan meningkat bersama dengan jumlah populasi yang terus tinggi. Kerusakan pada jalan merupakan permasalahan yang sangat umum dijumpai. Penurunan kualitas pada jalan itu sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu terbebankan oleh kendaraan secara berulang-ulang. Menurut Sukirman (1992 : 83), beberapa aspek utama dalam perencanaan perkerasan yang harus diperhatikan adalah: Fungsi Jalan Umur Rencana (UR) Kinerja Perkerasan Lalu Lintas Harian Sifar Dasar Tanah Material Faktor Lingkungan 2.2 Perkerasan Jalan Saodang (2005 : 1) menyebutkan perkerasan jalan adalah penampang struktur yang mempunyai fungsi paling penting pada suatu badan jalan. Perkerasan lentur adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari lapisan-lapisan perkerasan yang dihampar di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan tersebut dapat menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Kekuatan konstruksi perkerasan ini ditentukan oleh kemampuan penyebaran tegangan tiap lapisan, yang ditentukan oleh tebal lapisan tersebut dan kekuatan tanah dasar yang diharapkan. Menurut Tenriajeng (1999 : 3), struktur perkerasan beraspal pada umumnya terdiri atas: Lapisan Tanah Dasar (subgrade), Lapis Pondasi Bawah

Transcript of DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

Page 1: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Pada zaman modern saat ini, semua masyarakat yang bertempat tinggal pada

suatu tempat baik itu desa maupun kota, membutuhkan akses untuk berbagai

kegiatan. Kebutuhan manusia akan meningkat bersama dengan jumlah populasi

yang terus tinggi. Kerusakan pada jalan merupakan permasalahan yang sangat

umum dijumpai. Penurunan kualitas pada jalan itu sendiri disebabkan oleh beberapa

faktor, salah satunya yaitu terbebankan oleh kendaraan secara berulang-ulang.

Menurut Sukirman (1992 : 83), beberapa aspek utama dalam perencanaan

perkerasan yang harus diperhatikan adalah:

● Fungsi Jalan

● Umur Rencana (UR)

● Kinerja Perkerasan

● Lalu Lintas Harian

● Sifar Dasar Tanah

● Material

● Faktor Lingkungan

2.2 Perkerasan Jalan

Saodang (2005 : 1) menyebutkan perkerasan jalan adalah penampang

struktur yang mempunyai fungsi paling penting pada suatu badan jalan.

Perkerasan lentur adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari lapisan-lapisan

perkerasan yang dihampar di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan tersebut

dapat menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Kekuatan konstruksi

perkerasan ini ditentukan oleh kemampuan penyebaran tegangan tiap lapisan,

yang ditentukan oleh tebal lapisan tersebut dan kekuatan tanah dasar yang

diharapkan. Menurut Tenriajeng (1999 : 3), struktur perkerasan beraspal pada

umumnya terdiri atas: Lapisan Tanah Dasar (subgrade), Lapis Pondasi Bawah

Page 2: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

6

(Subbase), Lapis Pondasi Atas (Base) dan Lapis Permukaan (Surface). Struktur

perkerasan aspal dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Struktur Lapisan Perkerasan Pada Jalan (DPU, 1987)

2.2.1 Lapisan Tanah Dasar

Departemen Pekerjaan Umum (1987 :4) menyebutkan kekuatan perkerasan

jalan sangat dipengaruhi oleh Daya Dukung Tanah (DDT). Daya Dukung Tanah

(DDT) tersebut mempunyai beberapa ketentuan, antara lain.

a. Mengalami perubahan bentuk tetap, atau sering disebut deformasi

permanen, karena disebabkan oleh beban lalu lintas

b. Tanah mempunyai sifat menyusut dan mengembang karena ada kondisi

perubahan kadar air.

c. Daya Dukung Tanah (DDT) mempunyai berbagai sifat dan kondisi

sangat berbeda pada daerah tertentu.

d. Mempunyai sifat lendutan dan lendutan balik saat terjadi pembebanan

lalu lintas pada daerah tertentu

Page 3: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

7

e. Tanah Berbutir Kasar (granular soil) mempunyai sifat penurunan tanah

yang diakibatkan oleh pembebanan lalu lintas jika tidak dipadatkan

secara efektif.

2.2.2 Lapisan Pondasi Bawah

Departemen Pekerjaan Umum (1987 :5) menyebutkan lapis pondasi bawah

mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

a. Bagian dari perkerasan jalan yang membagi rata beban roda kendaraan

sampai ke tanah dasar.

b. Menghindari lapisan tanah dasar agar tidak memasuki lapisan pondasi.

c. Mempunyai lapisan peresapan yang berfungsi sebagai meresap air di

dalam pondasi.

d. Lapisan pertama dapat efektif jika dilakukan penutupan pada tanah

dasar. Hal ini agar Daya Dukung Tanah (DDT) tetap bekerja secara

optimal untuk menerima beban roda kendaraan.

2.2.3 Lapisan Pondasi Atas

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5) menyebutkan lapis pondasi atas

mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

a. Menahan beban merata pada roda kendaraan.

b. Sebagai struktur yang memperkuat lapisan permukaan.

Material untuk lapis pondasi harus efektif dalam menahan beban merata

roda kendaraan. Beberapa persyaratan teknis harus memenuhi, seperti material

pondasi dan survei lokasi. Material alam yang dapat digunakan sebagai lapisan

pondasi adalah batu pecah dan semen.

2.2.4 Lapisan Permukaan

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 5) menyebutkan lapisan permukaan

mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

Page 4: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

8

a. Mempunyai lapisan padat anti air yang berfungsi sebagai melindungi

pada bagian badan jalan akibat cuaca ekstrem.

b. Menahan beban merata roda kendaraan.

c. Mempunyai lapisan aus (wearing course).

Material yang dipilih pada sebuah struktur lapisan permukaan adalah sama

dengan lapisan pondasi. Lapisan pondasi tersebut menggunakan bahan material

yang bersifat kedap terhadap air. Beban merata roda lalu lintas dapat

mengakibatkan tegangan tarik, sehingga perkerasan lapisan atas membutuhkan

aspal. Material yang dipilih untuk lapis permukaan harus efektif dalam berbagai

hal, seperti umur rencana, tahapan pekerjaan dan kegunaan agar mencapai tujuan

perencanaan.

2.3 Metode Analisa Komponen, Bina Marga (1987)

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 3), penetapan tebal

perkerasan dengan metode tersebut hanya berlangsung pada konstruksi perkerasan

yang menggunakan bahan berbutir, seperti batu pecah, granular material, dll.

Metode Analisa Komponen atau metode Bina Marga ada ukuran yang akan

digunakan untuk mempersiapkan tebal pada tiap lapis perkerasan lentur.

2.3.1 Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Menurut Petunjuk Perencanaan Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode

Analisa Komponen (1987 : 7), lalu lintas paling banyak dapat ditampung oleh ruas

jalan raya yang merupakan bagian dari suatu jalur lalu lintas. Dalam hal ini disebut

dengan Jalur Rencana. Jalan raya tidak mempunyai batas jalur, sehingga didapat

Tabel 2.1

Page 5: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

9

Tabel 2.1 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan (DPU, 1987)

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)

L < 5,50 m 5,50 m ≤ L < 8,25 m

8,25 m ≤ L < 11,25 m 11,25 m ≤ L < 15,00 m 15,00 m ≤ L < 18,75 m 18,75 m ≤ L < 22,00 m

1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 7) menyebutkan bahwa pada

koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat

pada jalur rencana ditentukan pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Koefisiensi Distribusi Kendaraan (DPU, 1987)

Jumlah Lajur Kendaraan Ringan Kendaraan Berat

1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur

1,00 0,60 0,40

- - -

1,00 0,50 0,40 0,30 0,25 0,20

1,00 0,70 0,50

- - -

1,000 0,500 0,475 0,450 0,425 0,400

2.3.2 Angka Ekuivalen (E) Beban Pada Sumbu Kendaraan

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 8), harga Ekuivalen (E)

setiap golongan beban sumbu kendaraan disajikan pada Tabel 2.3

Page 6: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

10

Tabel 2.3 Angka Ekuivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan (DPU, 1987)

Beban Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda 1000 2205 0,0002 - 2000 4409 0,0036 0,0003 3000 6614 0,0183 0,0016 4000 8818 0,0577 0,0050 5000 11023 0,1410 0,0121 6000 13228 0,2923 0,0251 7000 15432 0,5415 0,0466 8000 17637 0,9238 0,0794 8160 18000 1,0000 0,0860 9000 19841 1,4798 0,1273 10000 22046 2,2555 0,1940 11000 24251 3,3022 0,2840 12000 26455 4,6770 0,4022 13000 28660 6,4419 0,5540 14000 30864 8,6647 0,7452 15000 33069 11,4184 0,9820 16000 35276 14,7815 1,2712

2.3.3 Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus Lintas Ekuivalen

Departemen Pekerjaan Umum (1987 :8) menyebutkan bahwa dalam 2 tahun

terakhir, peningkatan volume lalu lintas dapat digunakan persamaan 2.1 sebagai

berikut:

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987), volume lalu lintas harian

rumus dan rerata lintas Ekuivalen ditetapkan pada persamaan:

b = a (1+i)n

i = (𝑏/𝑎) − 1 𝑥 100% …………… Persamaan (2.1)

Dimana:

b = Jumlah lalu lintas tahun ke-n

a = Jumah lalu lintas tahun a

i = Tingkat pertumbuhan lalu lintas (% pertahun)

Page 7: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

11

a) Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) adalah klasifikasi kendaraan yang sudah

diatur pada awal umur rencana, sehingga digunakan persamaan 2.2

(1 + i)n » i = 0,05 ……………………… Persamaan (2.2)

b) Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan persamaan 2.3.

LEP = ∑ 𝐿𝐻𝑅 𝑥𝐶 𝑥𝐸 …………… Persamaan (2.3)

Catatan : j = jenis kendaraan

c) Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) dihitung dengan persamaan 2.4.

LEA = ∑ 𝐿𝐻𝑅 (1 + 𝑖) 𝑥𝐶 𝑥𝐸 ……. Persamaan (2.4)

Catatan : i = perkembangan lalu lintas

j = jenis kendaraan

d) Lintas Ekuivalen Tengah (LET) dihitung dengan persamaan 2.5.

LET = 1 2 𝑥 (𝐿𝐸𝑃 + 𝐿𝐸𝐴) …………….. Persamaan (2.5)

e) Lintas Ekuivalen Rencana (LER) dihitung dengan persamaan 2.6.

LER = LET x FP ……………………….. Persamaan (2.6)

f) Faktor Penyesuaian (FP) dihitung dengan persamaan 2.7

FP = UR/10 …………………………….. Persamaan (2.7)

2.3.4 Menghitung Nilai CBR (California Bearing Ratio)

Sukirman (1999 : 116) menjelaskan bahwa jalan memiliki beberapa

struktur alami seperti keadaan medan yang berbeda, dan berbagai macam jenis

tanahnya. Daya ketahanan tanah dasar memiliki berbagai macam, seperti nilai jelek

dan nilai baik. Setiap bagian mempunyai satu nilai CBR yang menggantikan daya

dung tanah dasar (DDT) dan digunakan untuk merencanakan tebal lapisan

perkerasan dari beberapa bagian tersebut. Nilai segmen CBR dapat didapat dengan

menggunakan cara grafis.

Page 8: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

12

● Perhitungan Secara Grafik

Nilai yang menggantikan dari sejumlah nilai CBR, ditentukan sebagai

berikut:

1. Tentukan nilai CBR terendah

2. Tentukan nilai dari setiap nilai CBR yang sama dan lebih besar dari

setiap CBR

3. Jumlah nilai terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya

merupakan persentase dari 100%

4. Membuat grafik hubungan antara persentase jumlah dan nilai CBR

5. Nilai CBR yang digantikan ialah diperoleh dari angka persentase 90%

● Perhitungan Secara Teoritis Atau Analitis

Setelah mendapatkan data CBR, langkah selanjutnya yaitu menghitung nilai

CBR segmen. Didapat menggunakan persamaan sebagai berikut :

CBR segmen = CBR rerata -

.............. Persamaan (2.8)

Nilai pada R tergantung pada jumlah data yang didapat dari per segmen.

Untuk nilai R bergantung pada total data yang terdapat dalam satu segmen. Berikut

nilai R dalam perhitungan CBR segmen dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Page 9: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

13

Tabel 2.4 Nilai R dalam perhitungan CBR segmen (Sukirman, 1999)

Jumlah Titik Pengamatan

Nilai R

2 1,41

3 1,91

4 2,24

5 2,48

6 2,67

7 2,83

8 2,96

9 3,08 >10 3,18

2.3.5 Menghitung Daya Dukung Tanah (DDT) dan California Bearing Ratio

(CBR)

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 9) menjelaskan, berdasarkan Grafik

Korelasi telah menetapkan Daya Dukung Tanah (DDT) sebagai salah satu langkah

dalam perhitungan. Dalam hal ini telah ditentukan menjadi 2 bagian, yaitu CBR

Survei Lapangan dan CBR Uji Laboratorium. CBR Lapangan dilakukan dengan

cara mengambil sampel tanah dasar, lalu meletakkan sampel tersebut ke dalam

tabung yang sering disebut undistrub, direndam dan menghitung nilai CBR. Dalam

hal ini beberapa langkah untuk menghitung nilai CBR:

a. Menetapkan nilai CBR paling rendah.

b. Menetapkan nilai yang sama dan lebih besar dari masing-masing

CBR.

c. Nilai terbanyak ditetapkan 100%

d. Membuat Grafik Korelasi antara nilai CBR dan persentase yang sudah

ditetapkan.

e. Kuantitas CBR yang mewakili merupakan angka yang diperoleh dari

persentase 90%

Dalam hal ini daya dukung tanah dasar hanya di uji kepada pengukuran nilai

CBR, dapat dilihat pada Gambar 2.2

Page 10: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

14

Gambar 2.2 Koreasi DDT dan CBR (DPU, 1987)

Note: Setelah didapat nilai CBR, langkah selanjutnya yaitu menarik garis dari

kanan ke kiri, sehingga nilai DDT didapatkan.

2.3.6 Faktor Regional (FR)

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10) menjelaskan kondisi pekerjaan

perkerasan memiliki beberapa jenis faktor yang meliputi bentuk alinyemen,

permeabilitas tanah, struktur drainase, kendaraan yang berhenti, dan persentase

kendaraan dengan berat 13 ton. Faktor Regional (FR) merupakan faktor koreksi

yang berhubungan dengan kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud yaitu

keadaan iklim dan lapangan yang mempengaruhi pembebanan perkerasan dan daya

dukung tanah. Dalam hal ini untuk penetapan tebal perkerasan tersebut, Faktor

Regional (FR) hanya dipengaruhi oleh kelandaian tikungan (Alinyemen).

Dalam persyaratan penggunaan disesuaikan dengan “Peraturan Pelaksanaan

Pembangunan Jalan Raya”, maka dampak keadaan lapangan yang berhubungan

dengan perlengkapan drainase dan permeabilitas tanah yang dianggap sama. Faktor

Page 11: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

15

Regional (FR) dipengaruhi oleh beberapa penyebab, seperti bentuk tikungan &

kelandaian, jumlah kendaraan berhenti, dan iklim. Faktor Regional (FR) dapat

dilihat pada Tabel 2.5:

Tabel 2.5 Faktor Regional (FR) (DPU, 1987)

Kelandaian I ( < 6 %)

Kelandaian II (6 – 10 %)

Kelandaian III ( > 10%)

% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat

≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %

Iklim I < 900 mm/th

0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5

Iklim II > 900 mm/th

1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5

Note:

● Faktor Regional (FR) +0,5 jika tikungan tajam (dengan jari-jari 30m),

pemberhentian atau persimpangan.

● Faktor Regional (FR) +1,0 jika kondisi daerah rawa-rawa

2.3.7 Indeks Permukaan (IP)

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 10) menjelaskan Indeks Permukaan

(IP) menentukan nilai kehalusan beserta kekuatan pada permukaan yang berkaitan

dengan tingkat pelayanan yang melintasi. Pengertian nilai Indeks Permukaan (IP)

tersebut dinyatakan sebagai berikut:

IP =1,0 : untuk permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga dapat

mengganggu lalu lintas kendaraan.

IP = 1,5: untuk tingkat pelayanan terkecil yang masih mungkin (jalan tidak

terputus).

IP = 2,0 : untuk tingkat pelayanan kecil bagi jalan yang masih bagus

IP = 2,5 : untuk permukaan jalan yang masih cukup baik dan stabil

Dalam hal ini untuk penentuan Indeks Permukaan (IP) pada akhir umur

rencana, memerlukan beberapa evaluasi faktor pemilihan fungsional jalan dan total

Page 12: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

16

Lintas Ekuivalen Rencana (LER). Nilai Indeks Permukaan pada akhir umur rencana

(IP) ditampilkan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (DPU, 1987)

LER = Lintas Ekivalen Rencana *)

Klasifikasi Jalan

Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -

100 - 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 - > 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5

Dalam penentuan Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (𝐼𝑃 ), perlu

diperhatikan untuk beberapa jenis lapis permukaan jalan (kehalusan / kerataan serta

kekuatan) pada awal umur rencana. Nilai Indeks Permukaan Pada Umur Rencana

(𝐼𝑃 ) ditampilkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo).

(DPU, 1987)

Jenis Permukaan IPo Roughness *) (mm/km)

LASTON ≥ 4 ≤ 1000

3,9 – 3,5 > 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 > 2000

HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 > 2000

BURDA 3,9 – 3,5 < 2000 BURTU 3,4 – 3,0 < 2000

LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000

2,9 – 2,5 > 3000

LATASBUM 2,9 – 2,5

BURAS 2,9 – 2,5 LATASIR 2,9 – 2,5

JALAN TANAH ≤ 2,4

JALAN KERIKIL ≤ 2,4

Page 13: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

17

Note:

Pengukur Alat NAASRA (National Association Of Australian State Road

Authorities) merupakan pengukur alat kekasaran yang digunakan pada permukaan

aspal. Alat tersebut diletakkan di kendaraan Datsun 1500 dan Station Wagon

dengan kecepatan 32 km/ jam. Sumbu yang berada di belakang arah vertikal

diletakkan di alat tersebut dan melewati kabel yang dipasang di tengah sumbu

belakang Datsun 1500. Langkah selanjutnya adalah memindahkan counter

melewati flexible drive. Dalam satu kali putaran pada counter bernilai 15,20 mm

putaran vertikal bersama dengan sumbu belakang pada Datsun 1500.

Alat pengukur Roughness jenis lain dapat digunakan dengan menggabungkan hasil

yang didapat dengan Roughmeter NAASRA.

2.3.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 11) menjelaskan bahwa Koefisien

Kekuatan Relatif (a) telah menentukan hubungan nilai yang didapat Marshall Test

untuk lapisan permukaan dan pondasi bawah pada setiap fungsinya. CBR (sebagai

berbahan lapis pondasi bawah), dan kuat tekan (sebagai bahan yang sudah konstan

dengan kapur atau semen).. Nilai Koefisien Kekuatan Relatif (a) ditampilkan pada

Tabel 2.8

Page 14: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

18

Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a) (DPU, 1987)

Koefisien Kekuatan Relatif

Kekuatan Bahan Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)

0,40 - - 744 - -

0,35 0,35

- -

- -

590 454

- -

- -

Laston

0,30 - - 340 - -

0,35 - - 744 - -

0,31 0,28

- -

- -

590 454

- -

- -

Lasbutag

0,26 - - 340 - -

0,30 - - 340 - - HRA

0,26 - - 340 - - Aspal macadam

0,25 - - - - - Lapen (mekanis)

0,20 - - - - - Lapen (manual)

- 0,28 - 590 - -

- 0,26 - 454 - - Laston Atas

- 0,24 - 340 - -

- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)

- 0,19 - - - - Lapen (manual)

- -

0,15 0,13

- -

- -

22 18

- -

Stab. Tanah dengan semen

- -

0,15 0,13

- -

- -

22 18

- -

Stab. Tanah dengan kapur

- 0,12 - - - 60 Pondasi Macadam

- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)

- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)

- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)

- - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)

- - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)

- - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)

- - 0,10 - - 20 Tanah/lempung kepasiran

Note:

● Hari ke-7, daya tekan stabilitas tanah dan semen dapat dikontrol

● Hari ke-21, kuat tekan stabilitas tanah dan kapur dapat dikontrol

Page 15: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

19

2.3.9 Batas Minimum Pada Tebal Lapisan Perkerasan Jalan

Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 13) menjelaskan bahwa Batas

Minimum Tebal Lapisan Perkerasan Jalan dapat ditampilkan pada Tabel 2.9, Tabel

2.10 dan Gambar 2.3.

● Lapisan Permukaan

Tabel 2.9 Lapis Permukaan (DPU, 1987)

ITP Tebal Minimum (cm) Bahan

< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)

3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston

6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston 7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston

≥ 10,00 10 Laston

● Lapis Pondasi

Tabel 2.10 Lapis Pondasi (DPU, 1987)

ITP Tebal Minimum (cm) Bahan

< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,

stabilitas tanah dengan kapur

3,00 – 7,49 20*) Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur

10 Laston Atas

7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam

15 Laston Atas

10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas

≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,

Stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, Lapen, Laston Atas

● Lapis Pondasi Bawah

Nilai 𝐼𝑇𝑃 dapat diperoleh menggunakan Grafik Nomogram 𝐼𝑇𝑃 pada

Gambar 2.3

Page 16: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

20

Gambar 2.3 Grafik Nomogram Nilai 𝐼𝑇𝑃 (DPU, 1987)

2.3.10 Pelapisan Tambahan

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 13), perhitungan overlay

dan perkerasan jalan lama dinyatakan dalam daftar Tabel 2.11 sebagai berikut :

Page 17: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

21

Tabel 2.11 Nilai Keadaan Perkerasan Jalan (DPU, 1987)

1. Lapis Permukaan : Pada umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur roda 90-100% Terlihat retak halus, sedikit deformasi pada jalur roda namun masih tetap stabil..............................................................................................................70 – 90% Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan................................................................ 50 – 70% Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda, menunjukkan gejala ketidakstabilan ................................................. .................... 30 – 50% 2. Lapis Pondasi: Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Macadam pada umumnya tidak retak............................................................................................. 90 – 100% Terlihat retak halus, namun masih tetap stabil................................................................. 70 – 90% Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan ......................................... 50 – 70% Retak banyak, menunjukkan gejala ketidakstabilan ........................................................ 30 – 50% Stabilisasi Tanah dengan Semen atau Kapur : - Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 10 ..................................... 70 – 100% Pondasi Macadam atau Batu Pecah : - Indek Plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ....................................... 80 – 100%

3. Lapis Pondasi Bawah :

Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) ≤ 6 ................................................................. 90 – 100% Indek plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 .................................................................. 70 – 90%

2.3.11 Analisa Komponen Perkerasan

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 15), perhitungan

perencanaan konstruksi ini berlandaskan pada kekuatan relatif pada setiap lapisan

perkerasan jangka panjang. Dalam hal ini penetapan tebal perkerasan dinyatakan

sebagai ITP (Indkes Tebal Perkerasan), dengan persamaan 2.9 sebagai berikut :

ITP = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3..............Persamaan (2.9)

Dimana:

D1, D2, D3 = Masing-masing tebal perkerasan (cm)

a1, a2, a3 = Koefisien gaya relatif bahan perkerasan

Note:

● Angka 1 menunjukkan lapisan permukaan

● Angka 2 menunjukkan lapisan pondasi atas

● Angka 3 menunjukkan lapisan pondasi bawah

Page 18: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

22

2.4 Metode AASHTO (American Association of State Highway and

Transportation Officials )

Menurut AASHTO (1993 : 3), panduan untuk desain struktur perkerasan ini

menyediakan serangkaian prosedur komprehensif yang dapat diterapkan untuk

desain dan pemindahan kembali perkerasan, baik yang kaku (permukaan beton

semen portland) maupun fleksibel (permukaan beton aspal) dan agregat yang

ditelusuri untuk jalan volume rendah.

AASHTO telah dikembangkan untuk memberikan rekomendasi mengenai

penentuan struktur perkerasan. Rekomendasi ini mengenai penentuan ketebalan

total struktur perkerasan serta ketebalan komponen struktural individu. prosedur

untuk desain menyediakan penentuan struktur pengganti menggunakan berbagai

bahan dan prosedur pengerjaan biaya. Metode AASHTO 1993, merupakan metode

perencanaan yang didasarkan pada metode empiris.

2.4.1 Pertumbuhan Lalu Lintas

Sukirman (1999 : 108) menjelaskan tentang kondisi lalu lintas semakin

meningkat dari setiap tahun. Umur rencana harus sesuai target yang direncanakan,

maka dalam hal ini dibutuhkan untuk mendapatkan nilai volume lalu lintas. Volume

kendaraan pada jalan lokal akan naik sedikit demi sedikit, tetapi untuk volume

kendaraan di sekitar perumahan adalah tetap. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)

menggunakan rumus :

𝑅 =( )

.............................................................. Persamaan (2.10)

Dimana,

i = pertumbuhan lalu lintas pertahun

UR = umur rencana

Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R) ditetapkan pada Tabel 2.1

Page 19: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

23

Tabel 2.12 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (Sukirman, 1999)

Umur Rencana (Tahun)

Laju Pertumbuhan (i) pertahun (%) 0 2 4 6 8 10

5 10 15 20 25 30 35 40

5 10 15 20 25 30 35 40

5,2 10,9 17,3 24,3 32

40,6 50

60,4

5,4 12 20

29,8 41,6 56,1 73,7 95

5,6 13,2 23,

36,8 54,9 79,1 111,4 154,8

5,9 14,5 27,2 45,8 73,1

113,3 172,3 259,1

6,1 15,9 31,8 57,3 98,3 164,5 271

442,6

2.4.2 Angka Struktural (Structural Number)

Angka struktural merupakan nilai indeks bersumber dari faktor regional,

keadaan dasar bawah jalan, dan studi lalu lintas. Harga SN menjelaskan nilai

abstrak kekuatan perkerasan yang berupa dari keadaan lingkungan, jumlah beban

gandar tunggal Ekuivalen sebesar 18 kip, kinerja pelayanan akhir, dan kombinasi

kekuatan antara dukungan tanah (𝑀 ). Berdasarkan AASHTO (1993 : 111), Angka

Struktural (SN) menggunakan persamaan :

SN = a . D + a . D . m + a . D . m .................. persamaan (2.11)

Dimana :

SN = Nilai Struktural

D = tebal lapis permukaan (in)

D = tebal lapis pindasi (in)

D = tebal lapis pondasi bawah (in)

m = koefisien drainase untuk lapis pondasi

m = koefisien drainase untuk lapis pondasi bawah

a a a =berturut-turut lapisan untuk lapisan permukan, lapis pondasi

dan lapis pondasi bawah

Grafik Nomogram dapat menentukan nilai SN, sehingga dapat dilihat pada

Gambar 2.4

Page 20: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

24

Gambar 2.4 Grafik Nomogram untuk menentukan nilai SN pada perkerasan

lentur (AASHTO, 1993)

2.4.3 Lalu lintas Lajur Rencana (W18)

Lalu Lintas Lajur Rencana adalah salah satu lajur pada ruas jalan yang

menampung volume kendaraan terbesar. Apabila suatu jalan tidak mempunyai

batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan lebar dari perkerasannya. Menurut

AASHTO (1993 : 7) dan Sukirman (1999 : 113), volume lalu lintas pada awal

tahun:

ESAL Design = LHRi x 365 x ESAL.....................Persamaan (2.13)

W18 = 𝐷 X 𝐷 X ESAL Design x R...........................................Persamaan (2.14)

Dimana :

LHRi : Volume lalu lintas masing-masing kendaraan (Kend/Hari)

𝑊 : Beban gandar standart kumulatif untuk 2 arah

𝐷 : Faktor distribusi jalur

𝐷 : Faktor distribusi arah

ESAL : Angka ekuivalen masing-masing golongan beban sumbu

365 : Jumlah hari dalam setahun

R : Faktor umum

R : ( )

Page 21: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

25

Dalam hal ini, menurut AASHTO (1993 : 9), telah ditentukan Faktor

Distribusi Lajur (𝐷 ) seperti pada Tabel.2.13

Tabel 2.13 Faktor Distribusi Lajur (𝐷 ) (AASHTO, 1993)

Jumlah Lajur per arah % beban gandar standar

dalam lajur rencana

1 100 2 80-100 3 60-80 4 50-75

2.4.4 Reliabilitas (Reliability)

Menurut Sukirman (1999 : 152), Reliabilitas adalah tingkat probabilitas

perkerasan yang disusun akan tetap memadai sepanjang masa pelayanan. Harga R

dipakai untuk mengakumulasi probabilitas koreksi perhitungan kemampuan

perkerasan dan volume lalu lintas. Parameter R menjelaskan bahwa kemungkinan

struktur tersusun yang dimiliki oleh suatu perkerasan akan mempunyai nilai

kemampuan yang besar dibandingkan dengan kemampuan pelayanan akhir umur

perancangan. Apabila nilai R tersebut tinggi maka tingkat kemampuan itu adalah

efektif, tetapi tetap memerlukan perkerasan yang tebal. Ketetapan harga Reliabilitas

telah ditetapkan pada Tabel 2.14

Tabel 2.14 Harga Reliabilitas R (Sukirman, 1999)

Tipe Jalan Nilai R%

Perkotaan Pedesaan Jalan Beban Tambahan 90 - 99,9 85 – 99,9

Utama 85 – 99 80 – 95 Arteri 80 – 99 75 – 95

Kolektor 80 – 95 75 – 95 Lokal 50 – 80 50 – 80

Lalu untuk hubungan antar R dan 𝑍 bisa dilihat pada Tabel 2.15

Page 22: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

26

Tabel 2.15 Hubungan antara R dan 𝑍 (AASHTO, 1993)

R% 𝒁𝑹 R% 𝒁𝑹 50 0,0000 93 -1,476 60 -0,253 94 -1,555 70 -0,524 95 -1,645 75 -0,674 96 -1,751 80 -0,841 97 -1,881 85 -1,037 98 -2,054 90 -1,282 99 -2,327 91 -1,340 99,9 -3,090 91 -1,405 99,99 -3,750

2.4.5 Kemampuan Pelayanan (Serviceability)

Menurut Siegfried dan Rosyidi (2007 : 2), harga kemampuan pelayanan

awal untuk perkerasan lentur, 𝑝 = 4,2. Pada umumnya harga untuk pelayanan akhir

(𝑃 ) ialah :

𝑝 = 4,2 untuk perkerasan lentur dan 4,5 untuk perkerasan kaku

𝑝 = 2,0 merupakan nilai perkerasan yang harus dilakukan perbaikan

𝑝 = 1,5 merupakan nilai perkerasan yang sudah tidak bisa dilintasi

Kehilangan kemampuan pelayanan total digunakan persamaan:

ΔPSI = 𝑝 – 𝑝 ...............................................Persamaan (2.14)

ΔPSI = 𝑝 – 𝑝 ................................................Persamaan (2.15)

2.4.6 Koefisien Kekuatan Relatif Lapisan (a)

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987 : 11), koefisien kekuatan

relatif lapisan (a) menjelaskan bahwa masing-masing bahan dan fungsinya adalah

sebagai pondasi bawah, pondasi atas, dan lapis permukaan yang. Sudah ditentukan

dengan Marshall Test (menggunakan material aspal panas), kuat tekan

(menggunakan material semen dan kapur), atau CBR (menggunakan material

lapisan pondasi bawah).

Menurut AASHTO (1993 : 20), koefisien lapis pada pondasi granuler

(granuler base layer) dan (granuler subbase layer) menggunakan persamaan:

Page 23: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

27

𝑎 = 0,249 ( 𝐿𝑜𝑔 𝑀 ) − 0,977...........................Persamaan (2.5)

Untuk lapis pondasi bawah (granuler subbase layer) menggunakan rumus:

𝑎 = 0,227 ( 𝐿𝑜𝑔 𝑀 ) − 0,839...........................Persamaan (2.6)

Nilai lapisan faktor struktural dapat digunakan pada Tabel 2.16

Tabel 2.16 Koefisien Lapisan (a) (DPU, 1987)

Tipe Material Koefisien Lapisan Permukaan Aspal (a1) Campuran aspal panas bergradasi padat Aspal pasir Campuran dipakai ulang diolah ditempat Campuran dipakai ulang oleh pabrik Lapis Pondasi (a2) Batu pecah Kerikil berpasir Pondasi pozolanik Pondasi dirawat kapur Pondasi dirawat semen Tanah semen Pondasi dirawat aspal, gradasi kasar Pondasi dirawat aspal, gradasi pasir Campuran dipakai ulang diolah ditempat Campuran dipakai ulang diolah dipabrik Campuran aspal panas gradasi padat Lapis Pondasi Bawah (a3) Kerikil berpasir Lempung berpasir Tanah dirawat kapur Lempung dirawat kapur Batu pecah

0,44 0,40 0,20

0,40 (0,40 – 0,44)

0,14 (0,08 – 0,14) 0,07

0,28 (0,25 – 0,30) 0,22 (0,15 – 0,22)

0,27 0,20 0,34 0,30 0,20

0,40 (0,40 – 0,44) 0,44

0,11 0,08 (0,05 – 0,10)

0,11 0,16 (0,14 – 0,18) 0,14 (0,08 – 0,14)

2.4.7 Modulus Resilient (𝑴𝑹)

Berdasarkan AASHTO (1993 : 14), Modulus Resilient merupakan

parameter kemampuan tanah dalam menghentikan proses deformasi karena beban

berulang. Pada umumnya, apabila tingkat tegangan bertambah pada sebuah tanah,

maka karakteristik tegangan dan regangannya akan menjadi tidak linear. Uji tes

CBR dilakukan berdasarkan langkah-langkah ASTM D-1883-92. Asphalt Institute

(MS-23) dan Shell Oil Co menyarankan hubungan CBR tanah dasar dan 𝑀 sebagai

berikut :

Page 24: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

28

a. Modulus Resilient pada tanah dasar (𝑀 )

𝑀 = 1500 x CBR (psi) ..................................Persamaan (2.7)

b. Modulus Resilient pada pondasi atas (𝑀 )

Modulus Resilent pada pondasi atas dapat digunakan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Variasi koefisien pada lapis pondasi atas (AASHTO, 1993)

Page 25: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

29

c. Modulus Resilient untuk pondasi bawah

Modulus Resilient pada pondasi bawah dapat digunakan pada Gambar 2.6

Gambar 2.6 Variasi koefisien pada lapis pondasi bawah (AASHTO, 1993)

Page 26: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

30

2.4.8 Angka Ekuivalen Kendaraan

Menurut Sukirman (1999 : 108), Untuk menentukan susunan beban gandar

kendaraan ditetapkan menggunakan Gambar 2.7

Gambar 2.7 Konfigurasi Beban Gandar Kendaraan (Sukirman, 1999)

2.4.9 Deviasi Standar Keseluruhan (𝑆 )

Deviasi Standar Normal (overall standard deviation, 𝑆 ) ialah parameter

yang dipakai yang berfungsi menghitung berbagai dari input data. Dalam keadaan

lokal sesuai dengan rencana, deviasi standar keseluruhan harus ditentukan dan

dipilih. AASHTO (1993 : 62) merekomendasikan :

● Perkerasan jalan lentur : nilai (𝑆 ) adalah 0,40 sampai 0,50

● Perkerasan jalan kaku : nilai (𝑆 ) adalah 0,30 sampai 0,40

Page 27: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

31

2.4.10 Koefisien Drainase

Menurut Sukirman (1999 : 157), sistem drainase pada jalan sangatlah

berpengaruh pada jalan yang digunakan. Tingkat pada pengeringan air yang

terdapat pada perencanaan konstruksi jalan bersama dengan berat lalu lintas disertai

kondisi permukaan pada jalan sangat berpengaruh kepada umur rencana jalan.

Menurut AASHTO (1993 : 25), koefisien drainase dapat ditentukan pada Tabel

2.17

Tabel 2.17 Klasifikasi Drainase (AASHTO, 1993)

Kualitas Drainase

Persen waktu perkerasan dalam keadaan lembab-jenuh

<1% 1 – 5% 5 – 25% >25%

Baik sekali 1,40 – 1,35 1,35-1,30 1,30-1,20 1,20

Baik 1,35-1,25 1,25-1,15 1,15-1,00 1,00

Cukup 1,25-1,15 1,15-1,05 1,00-0,80 0,80

Buruk 1,15-1,05 1,05-0,80 0,80-0,60 0,60

Buruk sekali 0,95-0,75 0,95-0,75 0,75-0,40 0,40

Harga tebal lapisan pondasi dan lapisan minimum kombinasi aspal menurut

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (2002 : 10) telah ditentukan pada

Tabel 2.18 :

Tabel 2.18 Tebal minimum kombinasi lapis pondasi dan campuran

(DPPW, 2002)

Lalu Lintas (ESAL) Campuran Beraspal

(cm)

Lapen (cm)

Lasbutag (cm)

Agregat Lapis Pondasi

(cm) <50.000 2,5 5 5 10

50.001 – 150.000 5,0 - - 10

150.001 – 500.000 6,25 - - 10

500.001 – 2.000.000 7,5 - - 15 2.000.001 – 7.000.000 8,75 - - 15

> 7.000.000 10,0 - - 15

Page 28: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

32

2.4.11 Menghitung Tebal Lapis Tambahan

Berdasarkan AASHTO (1993 : 104), untuk menentukan harga struktural

𝐷 , perlu menghitung tebal lapisan perkerasan lentur terlebih dahulu. Di mana

dinyatakan dalam rumus :

𝐷 = ............................................................ Persamaan (2.8)

Dimana :

𝐷 : Tebal lapis tambah yang diperlukan

𝑆𝑁 : Harga Struktural yang diperlukan untuk membawa beban lalu lintas

yang akan datang

𝑆𝑁 : Nilai efektif struktural pada perkerasan ekisisting

𝑎 : Koefisien tebal perkerasn relatif

2.5 Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Menurut Rahman (2009 : 2), yang dimaksud dengan Rencana dan Anggaran

adalah merencanakan sesuatu konstruksi dalam bentuk dan faedah dalam

fungsinya, disertai dengan besar biaya yang dibutuhkan dan susunan pelaksanaan

dalam bidang administrasi atau pelaksana kerja dalam dunia Teknik.

Maksud dan tujuan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yaitu untuk

mengetahui harga per bagian pada suatu kegiatan yang berpatokan untuk

pengeluaran biaya dalam masa pelaksanaan. Dalam hal ini agar pekerjaan yang

dibangun dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

2.5.1 Harga Satuan Dasar (HSD)

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2013 : 475), untuk menyusun

sebuah harga satuan pekerjaan (HSP), dibutuhkan HSD tenaga kerja, HSD bahan,

dan HSD alat. Dalam hal ini diberikan langkah-langkah perhitungan HSD bagian

HSP mengacu pada Peraturan Kementrian Pekerjaan Umum diantara lain :

Page 29: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

33

● Menghitung HSD Tenaga Kerja

Perhitungan AHSP memerlukan acuan Harga Standar Daerah yang meliputi

tenaga kerja, material maupun alat berat. Harga Satuan Dasar (HSD) khusus untuk

tenaga kerja mempunyai beberapa tahapan, antara lain:

1. Menentukan keterampilan pada tenaga kerja, contoh pekerja (P1),

mandor (M), kepala ahli tukang (KaT) dan ahli tukang (Tx)

2. Mengumpulkan data upah yang sesuai dengan Perda (Peraturan

Daerah), seperti walikota atau gubernur setempat, data upah pada hasil

survei tersebut berada di lokasi berdekatan dan berlaku pada daerah

tempat lokasi pekerjaan yang akan dilakukan

3. Menghitung tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan

menghitung biaya transportasi, menginap, dan konsumsi.

4. Menentukan jumlah pada hari efektif bekerja selama satu bulan (24-26

hari), dan jumlah jam efektif dalam waktu satu hari (7 jam)

5. Menghitung biaya upah pada masing-masing per jam per orang

6. Merata-rata semua biaya upah minimum harus sama dengan Upah

Minimum Regional (UMR) pada daerah tersebut.

● Menghitung HSD Alat

Analisa HSD alat membutuhkan data upah operator beberapa perincian alat

seperti kapasitas alat kerja (m³), harga alat umur pemakaian, dan jam kerja dalam 1

tahun. Dalam perhitungan HSD alat, faktor lain yang dibutuhkan adalah asuransi

alat, keadaan alat yang lebih detail seperti Excavator, harga perolehan alat, dan

Loader

● Menghitung HSD Bahan

Untuk perhitungan harga satuan pekerjaan, membutuhkan penetapan

petunjuk Standar Nasional Indonesia (SNI) dari HSD bahan. Perhitungan Harga

Satuan Dasar Bahan terdiri dari atas:

1) Harga Satuan Dasar Bahan Jadi

2) Harga Satuan Dasar Bahan Olahan

3) Harga Satuan Dasar Bahan Baku

Page 30: DQJ KDUXV GLSHUKDWLNDQ DGDODK

34

Perhitungan harga yang diambil dari tambang (quarry) dibagi menjadi 2 jenis,

antara lain:

1) Bahan Olahan meliputi agregat kasar dan halus.

2) Bahan Baku meliputi batu kali, pasir sungai dan sebagainya.

● Biaya yang lain-lain

Perhitungan biaya lain-lain merupakan biaya yang tidak dapat dihubungkan

langsung dengan alat produksi. Perhitungan biaya lain-lain disimbolkan dalam

bentuk persen terhadap biaya langsung. Perhitungan biaya lain-lain tersebut

meliputi:

1) Administrasi kantor

2) Kendaraan kantor

3) Pajak

4) Asuransi