ISI JR
-
Upload
dianisa-fitria -
Category
Documents
-
view
214 -
download
1
Transcript of ISI JR
1. JUDUL
Syarat – syarat judul yang baik :
a) Spesifik
b) Efektif, judul tidak boleh lebih dari 12 kata untuk Bahasa Indonesia dan 10 kata
untuk Bahasa Inggris.
c) Singkat, Menurut Day (1993), judul yang baik adalah yang menggunakan kata-kata
sesedikit mungkin tetapi cukup menjelaskan isi paper. Namun, judul tidak boleh
terlalu pendek sehingga menimbulkan cakupan penelitian yang terlalu luas yang
menyebabkan pembaca bingung.
d) Menarik
e) Pembaca dapat langsung menangkap makna yang disampaikan dalam jurnal dalam
sekali baca.
f) Tercantum tanggal dan volume jurnal
Judul jurnal ini adalah :
Corneo- Conjunctival Auto Graftingin Pterygium Surgery
Ashok K. Sharma, Vijaya Wali, Archana Pandita
Kritik terhadap judul jurnal tersebut :
1) Spesifik, singkat, dan menarik, karena pembaca dapat langsung menangkap
makna yang disampaikan dalam jurnal dalam sekali baca.
2) Dilihat dari cara penulisannya sudah pas yaitu tidak melebihi dari 10 kata.
3) Ketidakefektifan judul jurnal ini tidak tercantumkan tanggal publikasi dan
nomor volume.
2. NAMA PENULIS
Syarat – syarat penulisan nama penulis jurnal :
a. Tanpa gelar akademik/ professional
b. Jika lebih dari 3 orang boleh yang dicantumkan hanya penulis utama, dilengkapi
dengan dkk ; nama penulis lain dimuat di catatan kaki atau catatan akhir
c. Ditulis alamat dari penulis berupa email dari peneliti
1
d. Tercantum nama lembaga tempat peneliti bekerja
e. Jika penulisan paper dalam tim, penulisan nama diurutkan sesuai kontibusi penulis.
Penulis Utama : Penggagas, Pencetus Ide, Perencana & penanggung jawab utama
kegiatan. Penulis kedua : Kontributor kedua, dst.
Penulis jurnal ini adalah :
Ashok K. Sharma, Vijaya Wali, Archana Pandita
Kritik terhadap penulisan penulis jurnal :
1) Penulis tidak mencantumkan gelar peneliti sudah tepat
2) Jumlah penulis yang dicantumkan kurang tepat karena lebih dari 3 orang
3) Tidak tercantum nama lembaga dan alamat peneliti
3. ABSTRAK
Abstrak merupakan ringkasan suatu paper yang mengandung semua informasi
yang diperlukan pembaca untuk menyimpulkan apa tujuan dari penelitian yang
dilakukan, bagaimana metode/pelaksanaan penelitian yang dilakukan, apa hasil-hasil
yang diperoleh dan apa signifikansi/nilai manfaat serta kesimpulan dari penelitian
tersebut.
Abstrak yang baik harus mencakup tentang permasalahan, objek penelitian,
tujuan dan lingkup penelitian, pemecahan masalah, metode penelitian, hasil utama,
serta kesimpulan yang dicapai.
Selain judul, umumnya pembaca jurnal-jurnal ilmiah hanya membaca abstrak
saja dari paper-paper yang dipublikasi dan hanya membaca secara utuh paper-paper
yang paling menarik bagi mereka. Berdasarkan penelitian abstrak dibaca 10 sampai
500 kali lebih sering daripada papernya sendiri.
Cara penulisannya :
Tersusun tidak lebih dari 200 – 250 kata. Namun ada pula yang membatasi
abstraknya tidak boleh lebih dari 300 kata. Karena itu untuk penulisan abstrak
cermati ketentuan yang diminta redaksi.
Ditulis dalam Bahasa Indonesia & Inggris. Diawali Bahasa Inggris jika penulisan
keseluruhan tubuh paper dalam Bahasa Inggris, dan diawali Bahasa Indonesia jika
penulisan keseluruhan tubuh paper dalam Bahasa Indonesia.2
Berdiri sendiri satu alinea (ada juga yang menentukan bisa lebih dari satu alinea).
Untuk jenis paper hasil penelitian: Penulisan abtraknya tanpa tabel, tanpa rumus,
tanpa gambar, dan tanpa acuan pustaka. Jadi tidak boleh mengutip pendapat orang
lain, harus menggunakan data-data dan hasil penelitian serta argumen yang didapat
dari penelitian sendiri.
Untuk jenis paper hasil review: Penulisan abstraknya boleh mengutip hasil
penelitian orang lain dari acuan pustaka/ sumber yang diacu.
Di bawah abstrak ditulis kata kunci, paling sedikit terdiri dari tiga kata yang relevan
dan paling mewakili isi karya tulis. Demikian juga di bawah abstract ditulis paling
sedikit tiga key words yang sesuai dengan kata kunci pada abstrak (Bahasa
Indonesia). Kata kunci, tidak selalu terdiri 3 kata, ada juga yang menentukan kata
kunci ditulis dalam 4-6 kata (tergantung redaksi, jadi perhatikan ketentuan yang
diminta).
Pada jurnal ini abstraknya adalah:
To evaluate the efficacy of conjunctival auto grafting in surgical
management of primary and recurrent pterygium, the record of 150 patients
comprising 47 females and 103 males who underwent corneocunjunctival auto
graft transplant surgery for primary and recurrent pterygia from 1997 to
2003 was reviewed retrospectively. Follow up was done for six months after
the surgery. Recurrence of pterygium was considered as failure. All grafts
were transplanted promptly. Recurrence was noted in four patients (2.6%).
Mild discomfort in the immediate post-operative period was noted in all the
patients. Donor site healed without any complication in all the patients.The
results indicate that corneo-conjunctival autograft transplantation is an
effective treatment for management of both primary & recurrent pterygia.
Key Words
Corneo-conjunctival auto graft, Recurrent pterygium
Kritik terhadap penulisan abstrak jurnal:
1) Cara penulisan :
a. Tersusun lebih dari 150 – 200 kata.
b. Berdiri sendiri satu alinea.
3
c. Penulisan abtraknya tanpa tabel, tanpa rumus, tanpa gambar, dan tanpa
acuan pustaka. Tidak mengutip pendapat orang lain, menggunakan data-
data dan hasil penelitian serta argumen yang didapat dari penelitian sendiri.
d. Tercamtumkan keyword/kata kunci
2) Isi Abstrak :
Secara garis besar, isi abstrak cukup baik karena mencakup keseluruhan
tentang permasalahan, metode dan objek penelitian, dan lingkup penelitian.
Abstrak pada jurnal penelitian ini mencantumkan tujuan penelitian, metode,
hasil serta kesimpulan yang dicapai.
Untuk mengevaluasi efektivitas conjunctival auto grafting dalam
pelaksanaan bedah primer pada pterygium yang berulang, tercatan dari 150
pasien yang terdiri dari 47 perempuan dan 103 laki-laki yang menjalani
operasi corneo-transplantasi auto graft cunjunctival untuk pterygia primer
dan berulang dari tahun 1997-2003, dengan menggunakan metode
retrospektif. Pengamatan dilakukan selama enam bulan setelah operasi.
Kambuhnya pterygium dianggap sebagai kegagalan. Semua cangkokan
yang ditransplantasikan segera. Kekambuhan tercatat dalam empat pasien
(2,6%). Ketidaknyamanan ringan pada periode pasca operasi segera tercatat
di semua pasien. Situs donor sembuh tanpa komplikasi apapun dalam semua
hasil patients. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Transplantasi
autograft Corne-konjungtiva adalah pengobatan yang efektif untuk
manajemen kedua primer & pterygium berulang.
4. BACKGROUND
Bagian ini mengandung isi sebagai pengantar yang berisi justifikasi penelitian,
hipotesis dan tujuan penelitian. Jika artikel berupa tinjauan pustaka, maka pendahuluan
berisi latar belakang yang memuat tentang pentingnya “permasalahan” tersebut
diangkat, hipotesis (jika ada) dan tujuan penulisan artikel. Pada bagian ini pustaka
hanya dibatasi pada hal-hal yang paling penting. Perlu diperhatikan metode penulisan
pustaka rujukan sesuai dengan contoh artikel atau ketentuan dalam Instruction for
authors. Jumlah kata dalam bagian ini juga kadang dibatasi jumlah katanya. Ada juga
jurnal yang membatasi jumlah referensi yang dapat disitir pada pendahuluan, tidak
4
lebih dari tiga pustaka. Tidak dibenarkan membahas secara luas pustaka yang relevan
pada pendahuluan.
Pada jurnal ini backgroundnya adalah :
Since the days of Susruta, the world's first ophthalmic surgeon, pterygia
have been recognized as triangular sheet of fibro- vascular tissue that appears on
the epibulbar conjunctiva and cornea, disturbing both the patient because of their
unsightly appearance and the surgeon because of their tendency to recur (1).
Pterygia are characterized by excessive fibro-vascular proliferation on the
exposed ocular surface and are thought to be caused by increased light exposure,
dust, dryness, heat and wind. The pterygium belt extends around the world
between the latitudes35 degree north and 35 degree south of the equator (2). In
the exposed population, the growth of pterygia has been seen in younger teenagers
and widely prevalent in people in deserts. Pterygia are seen nearly twice as often
in men as in women (3).
Successful management of pterygium is a constant challenge for ophthalmologists
due to high recurrence rate (2.1% to 87 %) (4). High recurrence rate and sight
threatening complications of different surgical techniques (5) provoke us to look
for new and safer modalities of treatment.
The recent concept of the role of the corneal limbal stem cells has lead to
the development of the new concept of pathogenesis of pterygia. Accordingly
pterygium is a local limbal cell deficiency. Pterygium recurrence can be reduced if
the limbus and limited area of cornea are included in the conjunctival graft, as it
is well recognized that limbal stem cells play a vital role in maintaining the ocular
surface. The function of limbal stem cells which are situated in the basal layers of
the epithelium include regeneration of the tissue and cell replacement (6, 7).
Thoft introduced the concept of ocular surface and idea of its
reconstruction (8). This study comprised of the use of corneo-conjunctival
autograft transplantation to the pterygia. Conjunctival auto transplant taken
from the actinically unexposed conjunctiva prevents reproliferation of actinically
altered cells into the cornea (9). The present study was undertaken to evaluate the
efficacy of corneo-conjunctival autograft in cases of pterygium.
5
Kritik terhadap introduksi pada jurnal ini :
a) Permasalahan
Pada jurnal, permasalahan yang ingin dipecahkan adalah untuk
mengevaluasi fungsi dan manfaat autograft Corneo - konjungtiva pada
kasus pterygium.
b) Hipotesis
Pada jurnal ini tidak dijelaskan hipotesis penelitian yang digunakan.
c) Tujuan
Peneliti ingin melihat profil keamanan dan keberhasilan penggunaan
autograft Corneo - konjungtiva pada kasus pterygium.
5. PATIENTS AND METHODS
Pada jurnal ini, metode dan subjek penelitiannya adalah :
One hundred and fifty cases of primary or recurrent pterygia were enrolled
in the study. The study included 103 males and 47 females with all pterygia being
located nasally. The patients presented to the ophthalmologist with varied
symptoms as shown in Table 1 and grading of the pterygium was done as shown
in Table 2. All cases of atrophic pterygium were excluded from the study. A
criterion of encroachment of the cornea by more than 1 mm with active growth
was taken for surgical intervention. All the eyes underwent detailed examination
in diffuse light and oblique examination using a slit lamp biomicroscope. Pre-
operatively all the patients were administered antibiotic and NSAID drops 4-6
times a day for two days. The excision of pterygia was followed by corneo-
conjunctival autograft transplantation. All patients were patched for 24 hrs and
then examined at weekly interval for four weeks and then monthly thereafter
Follow up ranged up to 6 months.
Surgical technique
The surgical technique involved transferring superficial corneal and limbal
tissue with a conjunctival graft of the upper region to the exposed sclera of the
same eye after pterygium excision. All the surgeries were performed by the same
surgeon (AS). Peribulbar anaesthesia was administered which consisted 50:50
mixture of 5 ml of 2% lidocaine and 0.5% bupivacaine with 150 units/ml of
hyaluronidase. After inserting a lid speculum, the pterygium body including the
6
adjacent tenons capsule was cut, avoiding damage to medial rectus muscle. The
pterygium head was peeled off from the cornea. The graft had to be as wide as the
area where the pterygium was removed. Then 1cc of BSS was injected
subconjuctivally and the bulbar conjunctiva was excised leaving the underlying
tenons capsule intact. Once the conjuctival dissection had reached the limbus, the
crescent blade was used to dissect part of the superior cornea at the limbus to
include limbus, stem cells in the graft. The mono-bloc corneoconjunctival graft
was excised using Vannas scissors. The graft was rotated to the area where
pterygium had been removed. The limbal portion of the graft was first secured to
the limbus and adjacent- conjunctiva with two 10.0 silk sutures. The conjunctival
portion was then anchored to adjacent- conjunctiva using 10.0 silk sutures. The
corneal component of the graft was left unsutured. Topical antibiotics were
instilled 5-6 times daily for 1 month + NSAID drops. Oral NSAIDs were
administered for 5 days to control pain with systemic ciprofloxacin 500 mg×B.D
for 5 days. The corneal limbus of the donor site re-epithelized within one week.
During follow up the operated eye was examined under diffuse light and slit lamp
and post operative complications were recorded. Recurrence was defined as
postoperative regrowth of fibro vascular tissue similar to the original pterygium.
Kritik terhadap metode dan penentuan subjek penelitian pada jurnal ini :
1. Desain :
Pada penelitian ini tidak dijelaskan metode penelitian yang digunakan.
Jurnal penelitian terapi yang baik adalah yang menggunakan metode
“randomized clinical trial”.
2. Populasi dan Sample Penelitian
Pada jurnal ini, subyek penelitian diketahui secara demografi sosial dan
secara klinis, sehingga dapat membandingkan dengan situasi tempat
pembaca berada.
Tidak terdapat kelompok kontrol, sehingga tidak dapat dibandingkan
kelompok perlakuan yang telah mendapatkan terapi dengan kelompok
control yang tidak mendapatkan terapi seperti pada penelitian.
3. Perlakuan
7
Pada jurnal ini, perlakuan sudah dijelaskan dengan terperinci agar dapat
direplikasi.
Perlakuan mempunyai arti biologis dan klinis.
Perlakuan tersedia dan dapat diterima penderita.
Peneliti tidak menjelaskan secara terperinci perlakuan pasca operasi.
6. RESULT
Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang
dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap objek kajian
yang sama sebelumnya. Hasil penelitian dibagi menjadi dua yaitu keamanan dan
keberhasilan.
Pada jurnal ini, result pada data adalah :
Recurrence during the follow up period was seen in four patients-2.6%
(Table 3). All the four patients were staged as stage II pterygium and were in the
age group of 18-40 yrs. Two patients had graft retraction on nasal side and were
successfully managed conservatively. One patient had tenon's granuloma which
was removed surgically. Graft donor site healed promptly without excessive
scarring in all cases. No patient complained of pain during first week after
surgery except that they had mild discomfort. In all cases upper lid masked the
conjunctival scar. No major complication such as infection, graft necrosis or
complications related to anaesthesia occurred in any of the patients.
Kritik terhadap result pada jurnal ini :
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk table atau grafik, sehingga pembaca mudah
menginterpretasikan hasil.
8
Hasil penelitian tidak dilakukan analisa statistik, sehingga kemaknaan dari
penelitian ini tidak dapat digunakan sebagai acuan.
7. DISCUSSION
Pada jurnal ini, diskusinya adalah :
The main problem encountered after various types of pterygium surgeries is
unpredictable rate and timing of recurrence. In this study corneo-conjunctival
auto graft transplantation successfully treated 150 eyes with pterygia. The
recurrence rate was very low (2.6%) which mean the technique compares
favourably with other methods. The recurrence rate with bare sclera techniques is
24% to 89% (10) whereas that reported after conjunctival autograft
transplantation ranges from 1.6% to 33% (11). Adjuvant therapies like ß-
irradiation, theotepa & mitomycin-C have been proposed to reduce the
recurrence but are associated with complications like poor epithelial healing, late
onset scleral ulceration, microbial infection, corneal edema, glaucoma &
endophthalmitis (12).
Conjunctival autografts were popularised by Kenyon et al (13).
Conjunctival autografts allow coverage of large defects that occur from large
excesions which are often encountered in advanced and recurrent pterygia. A
recurrence rate of 21% has been reported by Lewallen et al (14). Whereas in our
study, the recurrence rate was only 2.6%.
Recurrence of the pterygium is the most dreaded complication. It depends
on many factors like type of surgical technique, adequacy of the removal of the
pterygium tissue, the age of the patient, size and morphology of the pterygium.
Therefore, it is recommended that all pterygium tissue should be identified and
excised in toto with appropriate surgical procedure. The results of the technique
used in the present study encourage us to use it more frequently in future as it
compares favourably with other techniques.
Kritik terhadap diskusi pada jurnal ini :
Diskusi pada jurnal ini tidak menampilkan perbandingan hasil penelitian dengan
penelitian yang dilakukan oleh orang lain.
9
8. SUMMARY
Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan. Pada bagian
ini ungkapkan esensi dan arti penting dari hasil penelitian tanpa mengulangi apa yang
telah diungkapkan dalam bagian diskusi. Kesimpulan ini adalah kesimpulan dari
bagian-bagian peneitian ataupun percobaan.
Pada jurnal ini, diskusinya adalah :
The results of the technique used in the present study encourage us to use it
more frequently in future as it compares favourably with other techniques.
Kritik terhadap diskusi pada jurnal ini :
Pada jurnal ini sudah tepat an sesuai target penelitian
Kesimpulan dan saran kurang di hanya secara umum
9. REFERENCES
Pada jurnal ini, referensinya adalah :
1. Rosenthal JW. Chronology of pterygium therapy. Am J Ophthalmol 1953; 36:
1601.
2. Cameron ME. Pterygium throughout the world. In: Thomas C (ed). Spring
field, Illinois. 1965; 141-71.
3. Bradley PG, William MT. Pterygium. In: Kaufman (ed) The Cornea 2nd ed
Butterworth-Hienmann Boston 1998 pp 497-521.
4. Gupta VP. Conjunctival Transplantation for Pterygium. DJO 1997; 5: 5-12.
5. Khamar B, Khamar M, Trivrdi N, Vyas U. Pterygium Surgery. In: LC Dutta
(ed). Text book of Opthalmology. Edition 2 Part 1, New Delhi 2000 pp 74.
6. Schermer A, Glavin S, Sun TT. Differentiation related expression of a major
64 K corneal keratin in vivo and in culture suggest limbal location of corneal
epithelial stem cells. J Cell Biol 1986; 103: 49-62.
7. Tsai RJF, SunTT, TsengScg. Comparison of limbal and conjunctival auto
graft transplantation in corneal surface reconstruction in rabbits. Ophthalmol
1990; 97: 446-55.
8. Thoft RA. Conjunctival transplantation. Arch Ophthalmol 1977; 95: 1425-47.
10
9. Kenyon KR, Wagoner MD, Hettinger ME. Conjunctival auto graft
transplantation for advanced and recurrent pterygium. Ophthalmol 1985; 92:
1461-70.
10. Duke Elder S. Diseases of the outer Eye. In: Henry Kimpton (ed). System of
Ophthalmology. Vol 8 Part I. Mosby, London 1965; pp 537-582.
11. Riordan EP, Kielhorn I, Steele ADM. Conjunctival autograft in the surgical
management of pterygium. Eye 1993; 7: 634-38.
12. Singh G, Wilson MR, Foster CS. Long term follow-up study of mitomycin eye
drops as adjunctive treatment for pertygia and its comparison with
conjunctival autograft transplantation. Cornea 1990; 9: 331-34.
13. Kenyon KR, Wagnor MD. Conjunctival autograph transplantation for
advanced and recurrent pterygium. Opthlmol. 1985; 92: 1461.
14. Leewan S. A randomized trial of conjunctival autografting in pterygium in
tropics. Opthalmol 1999; 96: 1612.
Kritik terhadap diskusi pada jurnal ini :
Literatur yang digunakan sudah tepat
Semua bahan acuan dalam bentuk jurnal, buku ataupun naskah ilmiah yang
digunakan sebagai referensi/acuan ditulis pada bagian ini. Reference yang dirujuk
haruslah yang benar-benar mempunyai kontribusi nyata dalam penelitian tersebut.
11