Isi Histopatologi

32
III. Mata Acara Praktikum : Pengamatan Preparat Histologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan. Hal ini tidak lepas dari kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Selanjutnya dituliskan bahwa logam merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan suatu bahaya khususnya bagi ikan. Hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah mencemari dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada batas tertentu yang melebihi daya dukung lingkungan,maka keberadaan logan berat dapat bersifat racun bagi organisme perairan (Darmono 1995). Histologi berasal dari kata Yunani yaitu histos yang berarti jringan dan logos yang brarti ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara terperinci dan

Transcript of Isi Histopatologi

III. Mata Acara Praktikum : Pengamatan Preparat Histologi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah

satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan. Hal ini tidak lepas dari

kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara

langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan.

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah

berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi

pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Selanjutnya dituliskan

bahwa logam merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan

suatu bahaya khususnya bagi ikan. Hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah

mencemari dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada

batas tertentu yang melebihi daya dukung lingkungan,maka keberadaan logan

berat dapat bersifat racun bagi organisme perairan (Darmono 1995).

Histologi berasal dari kata Yunani yaitu histos yang berarti jringan dan

logos yang brarti ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara terperinci

dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jringan serta fungsi-fungsi

yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam

satu kerangka struktur atau mortalitas yang mempunyai suatu kerangka organisasi

yang mampu mempertahankan kekutan penyesuaian terhadap lingkungan di luar

batas dirinya ( Bavelender, 1988 ).

Menurut wikipedia (2009) histrologi adalah bidang biologi yang

mempelajari srtuktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan

jaringan yang di potong tipis, Histologi dapat juga di sebut sebagai ilmu anatomi

mikroskop.

Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur

jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang

dipotong tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.

Bidang biologi ini amat berguna dalam keakuratan diagnosis tumor dan berbagai

penyakit lain yang sampelnya memerlukan pemeriksaan histologis. (dalam

praktikum ini digunakan untuk mengamati jaringan pada ikan mas)

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi

jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting

dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam

penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang

diduga terganggu. Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat

menyebabkan

Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan

kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat

racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat

racun dapat merusak jaringan organ maka dilakukan pengamatan hispatologi.

Yaitu dengan cara melihat jaringan yang ingin diamati dibawah mikroskop.

Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan

(misalnya seperti dalam penentuan kanker payudara) atau dengan mengamati

jaringan setelah kematian terjadi. Dengan membandingkan kondisi jaringan sehat

terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang diduga

benar-benar menyerang atau tidak. Ilmu ini dipelajari dalam semua bidang

patologi, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.

1.2 Tujuan Praktikum

Penelitian ini bertujuan untuk melihat penampakan kerusakan organ dalam

pada ikan dan mendiagnosis penyakit terhadap jaringan yang diduga

terganggu.selain itu histology organ atau jaringan dengan pengamatan terhadap

perubahan morfologi, struktur dan indikasi kerusakan / infeksi / mutasi lainnya

akibat pengaruh penyakit,bahan toksik atu proses-proses mutagenisis lainnya.

Serta untuk mengetahui gejala histopatologi terhadap organ biota uji yang

terpapar bahan toksik.

1.3 Manfaat Praktikum

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dalam

mengkaji berbahanya logam terhadap kehidupan organisme perairan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Analisis Histologi dan Histopatologi

Histologi adalah ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara

terperinci dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jaringan serta

fungsi-fungsi yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang

tersimpan dalam suatu kerangka struktur atau matriks yang mempunyai suatu

kesatuan organisasi yang mampu mempertahankan keutuhan dan penyesuaian

terhadap lingkungan diluar batas dirinya (Bavelander, 1998). Histologi adalah

cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Sedangkan analisis

histologi adalah analisa tentang sel jaringan mahluk hidup (Wikipedia Indonesia).

Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi

jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting

dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam

penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang

diduga terganggu (Wikipedia Indonesia).

Analisa organ ikan yang dilakukan pada praktikum adalah menganalisa

bagian tubuh ikan dan membandingkan organ yang normal dengan organ yang

terkena kontaminasi, baik kondisi lingkungan yang terkena pecemar seperti logam

berat (patologi). Perbedaan-perbaedaan antara organ kontrol (sehat/tidak

terkontaminasi) dan ogan patologi sangat jelas sekali dengan analisa histologi ini.

Organ yang terkena pencemar telah mengalami perubahan-perubahan atau

kerusakan-karusakna pada jaringan organ tersebut dilihat secara kasat mata

melalui mikroskop. Organ Ikan yang digunakan untuk analisis histologi pada

praktikum ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Organ-ogan yang dianalisa

adalah ren (ginjal), insang, intestinum, dan hepar (hati).

2.1.1 Hepar

Hepar (hati) antara yang kontrol dengan patologi sangat berbeda jelas, dari

segi warna, kenampakan, bentuk dan ukurannya. Warna hepar kontrol terlihan

cerah, sedangkan yang patologi warnanya terlihat gelap atau merah tua. Pada

jaringan hepar yang patologi terdapat bercak hitam (necrosis) itu menandakan

bahwa jaringan tersebut rusak atau terkena bahan pencemar. Perbandingan ukuran

antara hepar yang tidak terkontaminasi logam berat (kontrol) dengan patologi,

hepar patologi lebih besar atau dengan kata lain mengalami pembengkakan

jarinagn karena kontaminasi tersebut. Karakteristik lain dari hepar patologo

adalah, adanya benjolan-benjolan pada jaringan.

2.1.2 Insang

Insang normal/kontrol warnanya merah (cerah) sedangkan yang patologi

berwarna gelap, itu menunjukan insang terkena bahana pencemar. Pada organ

insang yang patologi, ukurannya lebih besar atau dengan kata lain insang

mengalami pembengkakan akibat kontaminasi dari lingkungan. Selain itu, ciri

dari insang yang terkena kontaminasi adanya bercak hitam pada bagian

lamelanya. Hal lain yang membedakan antara kontrol dengan patologi adalah dari

susunan lamela, susunan lamela insang kontrol terlihat lebih rapih, sedangkan

patologi tidak.

2.1.3 Intestinum

Organ intestinum yang terkontaminasi baham pencemar seperti logam

berat, mengalami perubahan ukuran. Ukiuran intestinum normal (kontrol)

berbentuk bulat tidak rata, sedangkan yang patologi atau yang terkena

kontaminasi berbentuk oval. Rongga-rongga dalam intestinum kontrol terlihat

lebih renggang, sedangkan yang patologi rapat, dan hampir tidak ada rongga

antara satu dengan yang lainnya. Warna intestinum kontrol nampak lebih cerah

sedangkan yang terkontaminasi/patologi terlihat lebih kusam. Nampak tidak ada

bercak hitam (necrosis) pada jaringan baik yang kontrol maupun patologi.

2.1.4 Ren

Pada organ ini perbedaan antara paologi denagn kontrol, dimana warna ren

kontrol terlihan lebih cerah dibandingkan dengan patologi. Warna ren patologi

nampak gelap, itu dikarenakan akibat dari kontaminasi bahan pencemar seperti

logam berat yang mempengaruhi ren. Ukuran ren patologi lebih besar atau ren

mengalami pembengkakan akibat dari kontamisnasi bahan pencemar

dibandingkan dengan ren kontrol. Selain itu, bercak hitam yang ada pada ren

patologi menunjukan ren tersebut terkoena kontaminasi bahan pencemar,

sedangkan yang kontrol tidak nampak atau tidak ada bercak hitam.

2.2 Tijauan Umum Kerusakan Jaringan/ Organ Akibat Bahan Toksik

2.2.1 Hiperplasia

Hiperplasia atau hipergenesis adalah istilah umum yang mengacu pada sel

dalam suatu organ atau jaringan di luar apa yang biasanya dilihat. hiperplasia

terjadi akibat adanya penambahan jumlah volume akibat adanya penyumbatan

antar permukaan glomerulus (Takashima dan Hibiya, 1995).

Hiperplasia adalah bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan atau

organ sehingga jaringan atau organ menjadi lebih besar ukurannya dari normal.

Hiperplasia dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia

fisiologis terjadi karena sebab yang fisiologi atau normal dalam tubuh.

Hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau

efek berlebihan dari hormone pertumbuhan pada sel sasaran. Hiperplasia

patologik dapat berkembang menjadi tumor ganas.

Gambar 1. Hiperplasia pada Insang

Sumber :Desrina, Sarjito, Rohita Sari. 2006. Histologi Ikan. Semarang: Jurusan

Perikanan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Gambar 2. Hiperplasia pada Ginjal

Sumber : www.pathologyoutlines.com

Gambar 3. Hiperplasia pada Hati

Sumber : www.pathologyoutlines.com

2.2.2 Hipoplasia

Hipoplasia adalah penurunan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang

mengakibatkan penurunan jaringan atau organ, akibatnya organ tersebut menjadi

kerdil. Hipoplasia dapat juga mengenai semua bagian tubuh, dapat mengenai salah

satu dari sepasang organ atau bahkan dapat mengenai kedua organ yang

berpasangan. (Zainal, 2010)

Hipoplasia adalah sebuah kelainan yang mengindikasikan sebuah

perkembangan / pertumbuhan yang terhambat, sehingga organ yang terkena

kelainan tersebut berukuran lebih kecil/mengecil dari ukuran normalnya.

Hipoplasia adalah terhambatnya perkembangan atau pertumbuhan sebagian atau

seluruh jaringan tumbuhan akibat serangan patogen (Abdul Fatah Alu, Rabu, 8

April 2009).

Hipoplasia merupakan perkembangan yang tidak sempurna dari suatu

organ. Suatu organ yang mengalami hipoplasia terbentuk normal. Namun, ukuran

organ terlalu kecil jika dibandingkan dengan ukuran normal. Pada atrofi, alat

tubuh pernah mencapai ukuran normal dan selanjutnya menjadi lebih kecil,

sedangkan pada hipoplasia, dari awal organ tersebut memang berukuran kecil dan

tidak akan mencapai ukuran yang normal (littleaboutme, 19 July 2009)

2.2.3 Nekrosis

Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama

dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang

mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam

hati. Atrofi adalah menurunnya ukuran ukuran jaringan yang disebabkan

berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel. Tingkat kerusakan hati menurut

Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan

hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel.

Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat

adalah kematian sel atau nekrosis. Necrosis menggambarkan keadaan dimana

terjadi penurunan aktivitas jaringan yang ditandai dengan hilangnya beberapa

bagian sel satu demi satu dari satu jaringan sehingga dalam waktu yang tidak lama

akan mengalami kematian. (Takashima dan Hibiya,1995).

2.3 Pembuatan Preparat Histologi

Tahapan pembuatan preparat histologi menurut Setiawan P (2009) :

1. Pengambilan jaringan ikan. Pada sampel ikan yang masih kecil dapat langsung

fiksasi tanpa dipotong. Pada ikan yang berukuran besar diambil jaringan

tertentu yang akan diamati dan dimasukkan ke dalam larutan fiksasi.

2. Fiksasi. Larva atau ikan berukukan kecil difiksasi dengan larutan PFA 4%

dalam medium Phosphate buffered saline (PBS). Sampel dimasukkan ke

dalam botol yang sudah berisi larutan fiksatif dengan perbandingan antara

sampel dengan larutan adalah 1:20. kemudian disimpan selama 24 jam dalam

refrigerator. Setelah 24 jam kemudian sampel diambil dan dicuci dengan PBS

selama 5 menit sebanyak 3 kali untuk menghilangkan sisa-sisa PFA sebelum

ke tahap selanjutnya. Ikan yang berukuran relatif besar difiksasi dengan

larutan Bouin’s selama 1 minggu dalam suhu kamar. Selanjutnya sampel

dicuci dalam larutan alkohol 70% hingga warna kuning hilang, kemudian

sampel disimpan dalam alkohol 70% hingga pemrosesan lebih lanjut. Sampel

yang berukuran besar harus melaui prosedur dekalsifikasi dalam larutan 5%

trichloroacetid acid selama 24 jam untuk melunakkan struktur tulangnya.

3. Dehidrasi. Sampel yang sudah difiksasi kemudian dimasukkan berturut-turut

ke dalam larutan sebagai berikut: Alkohol 70%, Alkohol 80%, Alkohol 90%,

Alkohol Absolut I, Alkohol Absolut II, masing-masing selama 45 menit,

kemudian dilanjutkan ke proses penjernihan.

4. Penjernihan (clearing). Sampel dari proses dehidrasi dimasukkan ke dalam

larutan alkohol:xylol 1:1 dan 1:3 selama 30 menit. kemudian Xylol I dan

Xylol II masing-masing selama 30 menit.

5. Infiltrasi. Sampel yang sudah dijernihkan dalam xylol diinfiltrasi secara

bertahap dalam campuran xylol : paraffin 3:1 ; 1:1 dan 1:3 masing-masing

selama 30 menit, dilanjutkan dengan paraffin murni sebanyak 2 x 60 menit.

Seluruh rangkaian infiltrasi dilakukan dalam inkubator pada temperatur 58-

60oC.

6. Penanaman sampel (Embedding). Parafin dicairkan di dalam inkubator pada

temperatur 60oC. Cetakan berukuran 2 x 2 x 2 cm diisi dengan paraffin cair,

bagian bawah cetakan didinginkan di atas blok es sehingga paraffin pada dasar

cetakan agak memadat. Sampel diletakkan di atas paraffin yang agak memadat

tersebut sesuai dengan orientasi irisan yang direncanakan, kemudian

ditempelkan holder yang telah diberi label sesuai dengan kode sampel.

Cetakan paraffin selanjutnya dibiarkan dalam temperatur ruang agar

parafinnya memadat.

7. Pengirisan (Sectioning) dan peletakan pada gelas obyek. Water bath disiapkan

dengan suhu 40-50oC dan disiapkan wadah berisi air dingin. Kemudian blok

yang sudah didinginkan dipasang di mikrotom yang sudah diatur pada

ketebalan 4-7 μm. Putaran mikrotom dibuat konstan sampai blok yang berisi

sampel jaringan teriris. Setelah itu irisan dipindahkan ke dalam baskom yang

berisi air dingin, kemudian ditempelkan pada gelas obyek yang sudah dilapisi

gelatin dan diberi kode sama dengan blok yang di iris. Selanjutnya dicelupkan

ke dalam air hangat dalam water bath agar irisan mengembang. Kemudian

ditiriskan untuk dilakukan pewarnaan.

2.4 Bahan Toksik

2.4.1 Pestisida

Di Indonesia, pestisida yang paling dominan banyak digunakan sejak

tahun 1950an sampai akhir tahun 1960an adalah pestisida dari golongan

hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma

BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat organik seperti paration, OMPA,

TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun bahan-

bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida tersebut

sangat mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal

penting yang masih perlu diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan

hidrokarbon berklor pada masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-

derivat DDT, endrin dan dieldrin.

Pada tanah-tanah pertanian yang menggunakan bahan organik yang tinggi,

residu pestisida akan sangat tinggi karena jenis tanah tersebut di atas menyerap

senyawa golongan hidrokarbon berklor sehingga persistensinya lebih mantap.

Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah akan menghambat proses

penguapan pestisida. Kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu tanah dan

porositas tanah merupakan salah satu faktor yang juga menentukan proses

penguapan pestisida. Penguapan pestisida terjadi bersama-sama dengan proses

penguapan air. Residu pestisida yang larut terangkut bersama-sama butiran air

keluar dari tanah dengan jalan penguapan, akan tetapi masih mungkin jatuh

kembali ke tanah bersama debu atau air hujan. Air merupakan medium utama bagi

transportasi pestisida. Pestisida dapat menguap karena suhu yang tinggi dan

kembali lagi ke tanah melalui air hujan atau pengendapan debu.

2.4.2 Alkyl Benzene Sulfonat ( ABS )

Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang

mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka

lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga

dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. ABS dalam

lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini

dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’. Dalam pengolahan limbah

konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari

pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan

masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air.

Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan

Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen.

Pada deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang

ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi

surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam

ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat kotoran menggulung,

lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk

butiran.

Konsentrasi surfaktan di air permukaan dengan gas (udara), padatan

(kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media

pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur

amphiphilic, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar

dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan

hydrocarbon dengan sifat menolak air. Jenis struktur yang ditunjukan dibawah ini

ialah struktur surfaktant Alkyl Benzene Sulfonate (ABS).

Gambar 7. Struktur Alkyl Benzene Sulfonate

Deterjen anionik atau surfaktan anionik adalah semua garam sodium dan

ion yang menghasilkan Na serta muatan negatif. Pada umumnya adalah sulfat dan

sulfonat. Alkohol berantai panjang bereaksi dengan asam sulfur menghasilkan

sulfat (ester anorganik) dengan surface active. Dedocyl atau laury alkohol pada

umumnya digunakan.

C12H25OH + H2SO4 C12H25 – SO3H+H2O

Laury alcohol

Alkohol sulfate dinetralisir dengan sodium hidroksida untuk menghasilkan

surfactant.

C12H25 –O– SO3H + NaOH C12H25 –O– SO3Na + H2O

Sodium Laury sulfat

Alkohol sulfat digunakan dalam kombinasi dengan deterjen sintetis untuk

menghasilkan campuran sesuai yang diinginkan (McCarty, 2003).

Prinsip sulfonat di peroleh dari ester, amides dan alkyl benzen. Ester dan amid

merupakan asam organik dengan 16 atau 18 atom karbon. Alkyl benzene sulfonat

sebagian besar berasal dari polymer propylene dan golongan alkil, yang

mempunyai 12 atom karbon bercabang. Deterjen non-ionik tidak mengionisasi

dan hanya bergantung pada kelompok molekul soluble (dapat larut). Semuanya

tergantung pada polymer ethylene oxide (C2H4O) (polyehoxylates) sebagai

persyaratannya. Deterjen kationik merupakan garam yang berantai empat

ammonium, surfaktan jenis ini bisa bersifat toksik jika terjadi kontak dengan

bahan-bahan lain, sebagai contoh apabila ia bereaksi pada saat proses klorinasi,

maka akan terbentuk senyawa Chlorobenzene yang merupakan senyawa kimia

yang bersifat beracun dan berbahaya bagi kesehatan. (Zoller, 2004)

Pada awalnya surfaktan jenis Alkyl Benzen Sulfonat (ABS) banyak

digunakan oleh industri deterjen sebagai bahan baku pembuat produk deterjen.

Karena ditemukannya bukti-bukti dan dari laporan hasil penelitian yang

menerangkan bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan, maka

bahan ini sekarang digantikan dengan Linear Alkyl Sulfonate (LAS) yang

memiliki karakteristik lebih baik dari ABS meskipun belum dapat dikatakan

ramah lingkungan. Bila ditinjau dari daya urai (biodegradable), ABS didalam

lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen

ini tergolong non-biodegradable, dalam pengolahan limbah secara konvensional

sekitar 50% dari ABS lolos dari system pengolahan.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum

Pelaksanaan praktikum ini dilakukan pada hari Jum’at Pukul 13.00 tanggal

11 November 2010 di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan Dan Ilmu

Kelautan Universitas Padjajaran.

3.2 Alat dan Bahan

Alat- alat yang digunakan:

a. Mikroskop sebagai alat untuk melihat preparat

b. Camera sebagai dokumentasi pangamatan

Bahan- bahan yang dibunakan:

a. Hati normal dan patologis sebagai objek preparat

b. Usus normal dan patologis sebagai objek preparat

c. Hati normal dan patologis sebagai objek preparat

d. Insang normal dan patologis sebagai objek prepa

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pengamatan Preparat Histologi

Prosedur Pengamatan

1. Amati preparat yang sudah diatur oleh asisten dosen ekotoksikologi perairan.

2. Amati preparat menggunakan mikroskop

3. Setelah amati, perhatikan perbedaan antara kontrol dan patologis

4. Masukkan hasil pengamatan, lalu catat pada tabel pengamatan kontrol maupun

patologis

5. Preparat yang diamati antara lain hati, insang, usus, dan ginjal

3.4. Analisis Data

Hasil dari pengamatan dituliskan dalam tuliskan pada tabel pengamatan

agar dapat mengetahui perbandingan dari organ normal dengan patologis.

Tabel 23. Pengamatan Preparat Histopatologi

Normal Patologis

Warna    

Ukuran    

Nekrosis    

Ciri khusus    

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan berupa objek- objek preparat:

a. Organ Intestinum

A B

Gambar 4. A. Intestinum Kontrol, B. Intestinum Patologis

Tabel 1. Perbandingan Intestinum Ikan Mas Kontrol dan Patologis

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah Tua

Ukuran Normal Membengkak

Tanda hitam Tidak ada Ada

Karakter khusus Masih Kompak

b. Organ Hepar

A B

Gambar 5. A. Hepar Kontrol, B. Hepar Patologis

Tabel 2. Perbandingan Hepar Ikan Mas Kontrol dan Patologis

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah Tua

Ukuran Normal Membengkak

Tanda hitam Tidak Ada Ada

Karakter khusus Vakuola Normal Vakuola Rusak

c. Organ Insang

A B

Gambar 6. A. Insang Kontrol, B. Insang Patologis

Table 3. Perbandingan Insang Ikan Mas Kontrol dan Patologis

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah Tua

Ukuran Normal Membengkak

Tanda hitam Tidak Ada Ada

Karakter khusus Masih Kompak Lamela Rusak

d. Organ Ren

A B

Gambar 7. A. Ren Kontrol, B. Ren Patologis

Tabel 4. Perbandingan Ren Ikan Mas Kontrol dan Patologis

Parameter Kontrol Patologis

Warna Merah Merah Tua

Ukuran Normal Membengkak

Tanda hitam Tidak Ada Ada

Karakter khusus Masih Normal Terjadi Kerusakan

e. Organ Hati Terpapar Toksik

A B

Gambar 8. A. Hati Terpapar Toksik 7,5 ppm, B. Hati Terpapar

Toksik 13 ppm

Parameter Patologis 7,5 ppm Patologis 13 ppm

Warna Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman

Ukuran Membengkak Lebih Bengkak

Tanda hitam Ada Ada

Karakter khusus Mengalami Iritasi Mengalami Iritasi

4.2 Pembahasan

a. Organ Intestinum

Perbedaan usus ikan mas pada kontrol dengan usus yang telah diberikan

bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada usus kontrol terlihat usus

berwarna merah sedangkan pada patologisnya usus berwarna merah tua, dari

ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih kecil atau usus

terlihat mengecil atau disebut juga hipoplasia. Selain terlihat dari warna dan

ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada usus. Pada usus

kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat noktah

berwarna hitam. Ada pula karkater khusus untuk membandingkan usus kontrol

dan patologisnya , pada usus yang kontrol bentuknya bulat dan sel nya renggang

sedangkan pada usus patologis bentuknya menjadi oval dan selnya mengalami

penyempitan. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga

terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.

b. Organ Hepar

Perbedaan hati ikan mas pada kontrol dengan hati yang telah diberikan

bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada hati kontrol terlihat hati

berwarna merah ati sedangkan pada patologisnya hati berwarna merah keunguan,

dari ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih besar atau

hati terlihat membesar atau disebut juga hiperplasia. Selain terlihat dari warna dan

ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada hatil. Pada hati

kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat ada

noktahnya. Ada pula karakter khusus untuk membandingkan hati kontrol dan

patologisnya , pada hati yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada

hati patologis selnya mengalami pembengkakan dan ada necrosis sebanyak 7

buah. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga terjadi

perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.

c. Organ Insang

Perbedaan insang ikan mas pada kontrol dengan insang yang telah

diberikan bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada insang kontrol

terlihat insang berwarna merah sedangkan pada patologisnya insang pucat

berwarna gelap keunguan, dari ukurannya yang awalnya berukuran normal dan

lamella tipis menjadi membesar dan lamella menebal atau disebut juga

hiperplasia. Selain terlihat dari warna dan ukurannya terlihat pula dari ada

tidaknya noktah hitam/putih pada insang. Pada insang kontrol tidak terlihat

noktah-noktah hitam/putih sedangkan pada patologisnya terlihat ada noktah

hitam

Ada pula karkater khusus untuk membandingkan hati kontrol dan

patologisnya , pada insang yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada

insang patologis lamellanya mengalami penebalan, cenderung mengalami

pembengkakan. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga

terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.

d. Ren

Perbedaan ginjal ikan mas pada kontrol dengan ginjal yang telah diberikan

bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada ginjal kontrol terlihat usus

berwarna merah muda sedangkan pada patologisnya ginjal berwarna lebih pucat,

dari ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih besar atau

ginjal terlihat membesar atau disebut juga hiperplasia. Selain terlihat dari warna

dan ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada ginjal. Pada

ginjal kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat

noktah berwarna hitam.

Ada pula karkater khusus untuk membandingkan ginjal kontrol dan

patologisnya , pada ginjal yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada

ginjal patologis bentuknya menjadi membengkak. Hal ini diakibatkan pemaparan

bahan toksik pestisida sehingga terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ

tubuh diatas yang kami amati.

e. ………..(isi Nya Din)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pemaparan pestisida dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada organ

dalam ikan mas yaitu pada intestinum(usus), ren( ginjal), hepar( hati) dan insang.

Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya perubahan fisiologis berupa warna, ukuran,

ada tidaknya noktah hitam serta karakter khusus dari jaringan dibandingkan

biasanya(jaringan normal)

5.2. Saran

Kurangnya kejelian dari pratikan dalam mengamati sampel praparat di

laboratorium, sehingga kadang tidak dapat membedakan mana organ dalam ikan

yang normal dan yang mengalami perubahan patologis

DAFTAR PUSTAKA

Buku Teks Histologi Veteriner II. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogya.

Kusno S , 1992.Pencegahan Pencemaran Pupuk dan Pestida. Jakarta : Penerbit Swadaya.

Rismundar.1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasminya. Sinar baru algdnsindo. Bandung.

Robbins, S.L dan V. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Penerbit Buku Kedokteran. Universitas Airlangga. Surabaya.

Rosmaliatini, Okta. 2008. Uji toksisitas. Kuliah Farmasi. (Diakses tanggal 27 Desember 2009)

Siregar, H. 1995. Fisiologi Ginjal. Edisi Ketiga. Bagian Ilmu Faal. Fak. Kedokteran. Univ.ersitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Wisaksono, Satmoko. 2002. Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan Kimia. Direktorat Pengawasan Nazaba, Ditjen POM, Departemen Kesehatan RI. Jakarta