ISI 5-7

9
5. Bagaimana mekanisme edema periorbital yang terjadi pada pasien? Pada umumnya edema berarti pengumpulan cairan berlebihan pada sela-sela jaringan atau rongga tubuh. Secara garis besar cairan edema ini dapat dikelompokkan menjadi edema peradangan atau eksudat dan edema non radang atau transudat. Sesuai dengan namanya eksudat timbul selama proses peradangan dan mempunyai berat jenis besar (> 1,20). Cairan ini mengandung protein kadar tinggi sedangkan transudat mempunyai berat jenis rendah (<1,15) dan mengandung sedikit protein (Aini, 2011). Edema dapat bersifat setempat atau umum. Edema yang bersifat umum dinamakan anasarka, yang menimbulkan pembengkakaan berat jaringan bawah kulit. Edema yang terjadi pada rongga serosa tubuh diberi nama sesuai dengan tempat yang bersangkutan. Secara umum edema nonradang akan terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut (Aini, 2011): 1. Peningkatan tekanan hidrostatik 2. Penurunan tekanan onkotik plasma 3. Obstruksi saluran limfe. 4. Peningkatan permeabilitas kapiler. Edema radang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler. Edema juga dapat terjadi akibat gangguan pertukaran natrium/keseimbangan elektrolit. Edema dapat timbul akibat tekanan koloid osmotik plasma yang menurun atau tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat. Tekanan osmotik plasma adalah tekanan yang mempertahankan cairan didalam pembuluh

description

ok

Transcript of ISI 5-7

Page 1: ISI 5-7

5. Bagaimana mekanisme edema periorbital yang terjadi pada pasien?

Pada umumnya edema berarti pengumpulan cairan berlebihan pada sela-sela jaringan atau

rongga tubuh. Secara garis besar cairan edema ini dapat dikelompokkan menjadi edema

peradangan atau eksudat dan edema non radang atau transudat. Sesuai dengan namanya

eksudat timbul selama proses peradangan dan mempunyai berat jenis besar (> 1,20). Cairan

ini mengandung protein kadar tinggi sedangkan transudat mempunyai berat jenis rendah

(<1,15) dan mengandung sedikit protein (Aini, 2011).

Edema dapat bersifat setempat atau umum. Edema yang bersifat umum dinamakan

anasarka, yang menimbulkan pembengkakaan berat jaringan bawah kulit. Edema yang terjadi

pada rongga serosa tubuh diberi nama sesuai dengan tempat yang bersangkutan. Secara umum

edema nonradang akan terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut (Aini, 2011):

1. Peningkatan tekanan hidrostatik

2. Penurunan tekanan onkotik plasma

3. Obstruksi saluran limfe.

4. Peningkatan permeabilitas kapiler.

Edema radang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler. Edema juga dapat

terjadi akibat gangguan pertukaran natrium/keseimbangan elektrolit. Edema dapat timbul

akibat tekanan koloid osmotik plasma yang menurun atau tekanan hidrostatik kapiler yang

meningkat. Tekanan osmotik plasma adalah tekanan yang mempertahankan cairan didalam

pembuluh darah dengan cara menarik cairan dari ruang intersrtitial. Tekanan hidrostatik

adalah tekanan yang mendorong cairan dari plasma ke ruang interstitial (Aini, 2011).

Edema palpebra atau mata bengkak dipagi hari muncul akibat rendahnya kadar albumin

serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi

cairan plasma ke ruang intersisial, dimana palpebra merupakan jaringan ikat paling longgar di

tubuh kita. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid

plasmaintravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan

menembusdinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang

menyebabkan edema (Wigya, 2004).

Page 2: ISI 5-7

5. Bagaimana hubungan gejala dahulu yang dirasakan pasien dengan penyakit yang diderita

sekarang?

Glomerulonefritis akut pasca streptokokal (GNAPS) merupakan penyakit yang

biasanya menyerang anak-anak usia 2-14 tahun dengan angka insidensi tinggi untuk jenis

kelamin pria. Penyakit ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan gaya hidup.

Streptococcus serotipe M tipe 47, 49, 55, 2, 60, dan 57 ditemukan juga pada kondisi

impetigo. Streptococcus serotipe M tipe 1, 2, 4, 3, 25, 49, dan 12 ditemukan juga pada

kondisi faringitis. GNAPS berkembang selama 2-6 minggu setelah kulit terinfeksi dan

GNAPS berkembang selama 1-3 minggu setelah faringitis streptokokal (Longo, 2012).

Komplikasi yang terjadi akibat faringitis streptokokal semakin dapat dicegah

dengan semakin meluasnya penggunaan antibiotik saat awal tanda dan gejala muncul.

Komplikasi yang terjadi adalah akibat dari penyebaran infeksi dari mukosa faring ke

jaringan sekitarnya melalui jalur hematogen maupun limfogen, diantaranya adalah

limfadenitis servikal, abses pritonsiler atau retrofaringeal, sinusitis, otitis media,

meningitis, bakteremia, endokarditis, dan pneumonia. Demam rematik dan GNAPS

merupakan komplikasi faringitis streptokokal non supuratif karena komplikasi

disebabkan oleh reaksi imun terhadap infeksi Streptococcus (Longo, 2012).

GNAPS merupakan penyakit diperantarai reaksi imun yang melibatkan antigen

Streptococcus, kompleks imun yang bersirkulasi, dan aktivasi komplemen terkait reaksi

imun tipe cell mediated injury (Longo, 2012).

6. Penyakit apa yang diderita pasien dan jelaskan mengenai penyakit tersebut?

Patogenesis GNAPS

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus

respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A

tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus

dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya

glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta

hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita

(Davis, 2007).

Infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama

kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat

Page 3: ISI 5-7

nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor

iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya

glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus (Oda, 2007).

Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan

pasti. Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS

adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-

imun in situ diduga sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus.

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh

streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi

terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam

sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal (Davis, 2007).

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada

terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi

plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi

cascade dari sistem komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan

endapan dari C3 pada glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan

molekul, dapat menahan terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi

kuman (Kozyro,2006).

Protein M terikat pada antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG

antibodi yang terdapat dalam sirkulasi. Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga

berperan dengan ditemukannya endapan C3 dan IgG pada subepitelial basal membran.

Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya komplemen pada jalur klasik

merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur alternatif. Komplemen C3

yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit dan neutrofil, dan menghasilkan

infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat. Pada proses

inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri dan

proliferasi dari sel mesangial (Davis, 2007).

Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang

menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab

glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut (Davis, 2007)

:

Page 4: ISI 5-7

a. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis

glomerulus dan kemudian merusaknya.

b. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan

badan auto-imun yang merusak glomerulus.

c. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen

antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane

basalis ginjal.

Patofisiologi GNAPS

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang

mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau

alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan

terjadinya (Kozyro,2006):

a. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)

b. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga

menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam

akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia,

kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,

kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia,

dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.

c. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2

yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan

perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping

timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek

adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal

dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

Prognosis

Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara

lain umur saat serangan,derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan

sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis

glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar

Page 5: ISI 5-7

atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik

glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan

prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30% (Rodriguez, 2009).

Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan

penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh

ke fase gagal ginjal terminal.18 Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7

%.2,21 Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus

dicegah karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa

perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi

kulit.Pencegahan GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal

ginjal di kemudian hari (Rodriguez, 2009).

7. Tatalaksana yang dilakukan untuk menangani pasien ?

Penatalaksanaan GNAPS dibagi menjadi medikamentosa dan nonmedikamentosa

menurut Noer tahun 2002, adalah sebagai berikut :

Medikamentosa

a. Diuretik furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgBB/hari)

b. Diet nefritik yaitu diet rendah protein (1 g/kgBB/hari) dan rendah garam (1 g/hari)

c. Golongan penicilin untuk eradikasi bakteri Streptococcus, yaitu amoxisilin (50

mg/kgBB/hari) dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan

penicilin, maka digunakan eritromicin (30 mg/kgBB/hari) dibagi dalam 3 dosis.

Nonmedikamentosa

a. Istirahat total 3-4 minggu

b. Tirah baring

c. Edukasi kepada orang tua anak tentang penyakitnya, faktor risiko, cara penyebaran dan

komplikasi yang mungkin terjadi

d. Dianjurkan untuk minum obat secara rutin dan tidak makan makanan yang dapat

memperburuk fungsi ginjal.

Page 6: ISI 5-7