IRONI ABADI PARA PENGABDIPA - ftp.unpad.ac.id filenama sebenarnya), seorang guru honorer ... tak...

1
IRONI ABADI IRONI ABADI PA PA Praktik Suap makin Mempersempit Kesempatan Mereka Menanti Status PN JUMAT, 8 APRIL 2011 18 H UMA MENJADI pegawai negeri sipil (PNS) dan mendapat penghasilan cukup menjadi impian hampir semua guru honorer. Terlebih bagi mereka yang sudah tidak muda lagi. Namun, sepertinya impian itu bukan sesuatu yang mudah dicapai. Pasalnya, meski sudah belasan bahkan pu- luhan tahun mengabdi, tetap saja mereka ha- rus menempuh jalur normal, mengikuti seleksi penerimaan calon PNS dan bertarung dengan tenaga-tenaga muda. Kerap kali, batas usia calon PNS yang ditetapkan maksimal 35 ta- hun menutup kesempatan mereka. Ditambah lagi, mereka juga harus berhadapan dengan praktik-praktik kotor dalam pengangkatan PNS. Antara lain, praktik suap antara oknum guru honorer dan oknum pejabat terkait. Hal itu jelas makin mempersempit kesempatan para guru honorer yang tulus dan ‘lurus’ un- tuk meraih impian jadi PNS. Seperti yang diungkapkan Herman (bukan nama sebenarnya), seorang guru honorer SMA negeri di Jakarta. Ia mengisahkan, beberapa tahun lalu ia ditawari menjadi PNS asal mau menyetor sejumlah uang. “Ketika itu sudah lebih dari 10 tahun saya jadi guru honorer. Seseorang menawari saya di- angkat jadi PNS dengan syarat bayar Rp30 juta ke oknum tertentu, dijamin berhasil katanya,” kisahnya pada Media Indonesia baru-baru ini. Namun, Herman menolak tawaran itu. Ala- sannya, selain bertentangan dengan hati nura- ni, ia juga tidak mungkin sanggup memenuhi syarat yang diajukan. Menurutnya, selama ini penghasilannya yang sekitar Rp1 juta sebulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tak mungkin ia punya sim- panan sampai puluhan juta rupiah. “Andai saya punya uang Rp30 juta, saya lebih memilih buka warung makan Padang daripada menyuap oknum,” seloroh laki-laki asal Sumatra Barat itu. Herman mengakui hati kecilnya kerap ter- usik ketika melihat guru-guru honorer yang jauh lebih muda daripadanya sudah diangkat jadi PNS. Namun, ia berpikiran positif. “Saya tidak mau menuduh mereka menyu- ap, mungkin mereka memang lolos seleksi. Lagi pula, mengajar memang panggilan hati nurani saya,” ujar Herman yang menjadi guru honorer sejak 1996. Rahasia umum Secara terpisah, Koordinator Koalisi Pen- didikan Lody F Paat mengakui praktik suap demi menjadi PNS memang ada. Ia menyebut di sebuah daerah ada guru honorer yang me- nyuap puluhan juta rupiah agar bisa jadi PNS. Menurut dia, kenekatan oknum guru honorer untuk menyuap dengan dana besar karena menjadi PNS memang dinilai memiliki status bergengsi dan bernilai ekonomi tinggi. “Bayangkan, ia bakal menerima gaji mini- mal Rp2 juta-Rp3 juta per bulan, belum lagi nanti mendapat tambahan dana tunjangan ini itu, dan tetap digaji ketika sudah pensiun,” tuturnya. Ia mengingatkan praktik suap ini jelas membahayakan dunia pendidikan di masa depan. Bahaya secara moral mengintai ka- rena seorang guru yang notabene pendidik anak-anak bangsa melakukan praktik kotor demi menjadi PNS. Oleh karena itu, ia men- yarankan pemerintah membuat aturan yang mendukung perjuangan guru honorer dalam memperbaiki kesejahteraannya dan mendidik guru agar tidak menyuap. Senada dengan Lody, anggota Dewan Pem- bina Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Suparman mengakui praktik suap dalam rekrutmen calon PNS sudah menjadi rahasia umum. Itu bukan hanya dilakukan oknum guru honorer, melainkan juga kalangan lain. Untuk menghindari praktik itu, ia meng- usulkan agar saat proses seleksi pemerintah pusat bersama pemerintah daerah harus cer- mat meneliti kebenaran data guru calon PNS. “Pemerintah harus menghapus isu negatif ini dengan membuktikan bahwa proses seleksi calon PNS memang terbuka, objektif, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan,’’ ujarnya. Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Na- sional (Wamendiknas) Fasli Jalal mengingatkan para guru honorer agar jangan mau diiming- imingi janji diangkat jadi PNS oleh para oknum. “Lebih baik persiapkan diri dengan baik untuk mengikut tes seleksi sebagaimana mestinya,” kata Fasli Jalal. (Bay/S-3) ‘O EMAR Bakri...Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi/Jadi guru jujur berbakti memang makan hati’ BEGITU secarik lirik lagu Oemar Bakri, ciptaan Iwan Fals, yang meluncur dari Cristian. Lagu tersebut bagi pria separuh abad, yang kini bermukim di perkampungan padat di kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, itu sangat pas melukiskan nasib guru, terutama guru honorer. Apalagi, seperti yang dialaminya, sudah 24 tahun jadi guru honorer, ia belum juga diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tidak ada setetes pun perhatian nyata yang diberikan pemerintah soal kepastian statusnya itu, dan beberapa rekan guru honorernya, di SMP Negeri 171 Kampung Rambutan, Jakarta Timur. “Ya udah tua gini, mah, pasrah aja saya, Mas. Enggak diangkat (menjadi pegawai negeri sipil/PNS) enggak apa-apa. Diangkat, ya, syukur,” ungkap Cristian kepada Media Indonesia, Selasa (5/4). Pernah, sekali waktu ayah dua anak ini memberanikan diri mengirim surat lewat kotak pos ke Istana Negara di era Presiden Soeharto untuk meminta ‘penaikan pangkat’ menjadi PNS. Tak berapa lama, Sekretariat Negara yang waktu itu digawangi Moerdiono merespons dengan surat jawaban yang belum menemukan solusi. Ia pun miris dan hanya meratapi sedih nasib statusnya itu hingga kini. “Yang saya ingat, waktu itu Istana beri alasan kalau usulan (penaikan status honorer) itu akan ditampung dulu, tetapi tidak ada komitmen dan kejelasan,” keluhnya. Menurut Cristian, penaikan status kepegawaian itu bukanlah hanya materi ataupun gengsi. Sebaliknya, soal status itu menyangkut persoalan berapa banyak perut yang mesti diberikan nasi di keluarganya. Ia ibarat tulang rangka tubuh dalam keluarga besar. Selain tinggal di rumah sangat sederhana sekali (RSSS) Perumnas, ia SYARIEF OEBAIDILLAH S UDAH 15 tahun Ahmadi mengabdi menjadi guru honorer di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Solo. Nilai honornya yang Rp700 ribu per bulan memang di atas upah minimum regional (UMR), tapi jelas tidak cukup untuk menutup kebutuhan keluarganya. Belasan tahun ayah tiga anak itu memen- dam mimpi menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dengan menjadi PNS, pikirnya, tentu masa depannya lebih terjamin, gajinya pun akan bertambah sehingga sang istri tidak perlu lagi pontang-panting mencari tambahan pemasukan seperti saat ini. Namun, seiring bertambahnya usia, ia merasa impiannya bakal kandas. Batasan usia peserta seleksi calon PNS maksimal 35 tahun, padahal ia kini berusia 38 tahun. ‘’Saat ini saya hanya bisa pasrah dan berharap ada kebijakan dari pemerintah,’’ ucapnya sendu. Ahmadi hanyalah satu dari ribuan guru honorer bernasib sama. Mereka bertugas mendidik siswa dengan beban sama bahkan kadang lebih berat daripada guru PNS. Na- mun, tingkat kesejahteraan para guru honorer itu jauh lebih rendah. Padahal, masa pengabdian mereka ti- dak singkat. Ada yang sudah menjalani kariernya selama belasan tahun, bahkan ada yang puluhan tahun. Tak mengherankan jika demonstrasi guru honorer yang menuntut peningkatan kesejahteraan kerap terjadi di berbagai daerah. Jika dirunut, mencuatnya permasalahan guru honorer yang berjuang agar diangkat menjadi PNS dimulai sejak awal 2000. Saat itu pemerintah tengah menggenjot program wajib belajar sembilan tahun. Karena kekurangan guru, pemerintah me- ngeluarkan kebijakan dengan menunjuk pe- merintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengangkat guru tambahan yang diistilahkan sebagai guru bantu. Kemudian pada tahun anggaran 2003- 2004, diangkatlah 261.741 orang sebagai guru bantu melalui sebuah kontrak. Dalam kontrak pengangkatan itu memang tidak disebutkan bahwa para guru bantu itu bakal diangkat menjadi PNS. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, para guru bantu melobi sejumlah menteri terkait. Hasilnya, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan para guru bantu tersebut menjadi calon PNS secara bertahap. Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Pera- turan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2005 jo PP 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Pegawai Honorer Menjadi PNS. Melalui PP itu pula pe- merintah melarang daerah mengangkat guru honorer baru. Selanjutnya, secara bertahap mulai 2005 hingga 2010 seluruh guru bantu yang dikon- trak diangkat menjadi PNS. ‘’Jumlahnya tidak sesuai data awal, tapi menyusut jadi 251.470 orang sesuai hasil verikasi,’’ ujar Wakil Men- teri Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, baru-baru ini. Dengan pengangkatan itu, menurut Fasli, persoalan guru bantu atau honorer sudah selesai. Namun, data versi Kementerian Pen- dayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan, jumlah guru honorer yang ada saat ini mencapai sekitar 900 ribu Meski kebutuhan hidup terus meningkat, tingkat kesejahteraan guru honorer tak kunjung membaik. TERKENDALA USIA: Ribuan pelamar mengantre untuk memasukkan berkas lamaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Solo, Jateng, beberapa waktu lalu. Saat ini ada lebih dari 600 ribu guru honorer yang juga berjuang jadi PNS. Namun, perjuangan mereka sering terkendala batas usia maksimal CPNS. ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAY

Transcript of IRONI ABADI PARA PENGABDIPA - ftp.unpad.ac.id filenama sebenarnya), seorang guru honorer ... tak...

IRONI ABADIIRONI ABADI PARA PENGABDIPA

Praktik Suap makin Mempersempit Kesempatan

Mereka Menanti Status PN

JUMAT, 8 APRIL 201118 HUMA

MENJADI pegawai negeri sipil (PNS) dan mendapat penghasilan cukup menjadi impian hampir semua guru honorer. Terlebih bagi mereka yang sudah tidak muda lagi. Namun, sepertinya impian itu bukan sesuatu yang mudah dicapai.

Pasalnya, meski sudah belasan bahkan pu-luhan tahun mengabdi, tetap saja mereka ha-rus menempuh jalur normal, mengikuti seleksi penerimaan calon PNS dan bertarung dengan tenaga-tenaga muda. Kerap kali, batas usia calon PNS yang ditetapkan maksimal 35 ta-hun menutup kesempatan mereka. Ditambah lagi, mereka juga harus berhadapan dengan praktik-praktik kotor dalam pengangkatan PNS. Antara lain, praktik suap antara oknum guru honorer dan oknum pejabat terkait. Hal itu jelas makin mempersempit kesempatan para guru honorer yang tulus dan ‘lurus’ un-tuk meraih impian jadi PNS.

Seperti yang diungkapkan Herman (bukan nama sebenarnya), seorang guru honorer SMA negeri di Jakarta. Ia mengisahkan, beberapa tahun lalu ia ditawari menjadi PNS asal mau menyetor sejumlah uang.

“Ketika itu sudah lebih dari 10 tahun saya jadi guru honorer. Seseorang menawari saya di-angkat jadi PNS dengan syarat bayar Rp30 juta ke oknum tertentu, dijamin berhasil katanya,” kisahnya pada Media Indonesia baru-baru ini.

Namun, Herman menolak tawaran itu. Ala-sannya, selain bertentangan dengan hati nura-ni, ia juga tidak mungkin sanggup memenuhi

syarat yang diajukan. Menurutnya, selama ini penghasilannya yang sekitar Rp1 juta sebulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tak mungkin ia punya sim-panan sampai puluhan juta rupiah.

“Andai saya punya uang Rp30 juta, saya lebih memilih buka warung makan Padang daripada menyuap oknum,” seloroh laki-laki asal Sumatra Barat itu.

Herman mengakui hati kecilnya kerap ter-usik ketika melihat guru-guru honorer yang jauh lebih muda daripadanya sudah diangkat jadi PNS. Namun, ia berpikiran positif.

“Saya tidak mau menuduh mereka menyu-ap, mungkin mereka memang lolos seleksi. Lagi pula, mengajar memang panggilan hati nurani saya,” ujar Herman yang menjadi guru honorer sejak 1996.

Rahasia umumSecara terpisah, Koordinator Koalisi Pen-

didikan Lody F Paat mengakui praktik suap demi menjadi PNS memang ada. Ia menyebut di sebuah daerah ada guru honorer yang me-nyuap puluhan juta rupiah agar bisa jadi PNS. Menurut dia, kenekatan oknum guru honorer untuk menyuap dengan dana besar karena menjadi PNS memang dinilai memiliki status bergengsi dan bernilai ekonomi tinggi.

“Bayangkan, ia bakal menerima gaji mini-mal Rp2 juta-Rp3 juta per bulan, belum lagi nanti mendapat tambahan dana tunjangan ini itu, dan tetap digaji ketika sudah pensiun,”

tuturnya.Ia mengingatkan praktik suap ini jelas

membahayakan dunia pendidikan di masa depan. Bahaya secara moral mengintai ka-rena seorang guru yang notabene pendidik anak-anak bangsa melakukan praktik kotor demi menjadi PNS. Oleh karena itu, ia men-yarankan pemerintah membuat aturan yang mendukung perjuangan guru honorer dalam memperbaiki kesejahteraannya dan mendidik guru agar tidak menyuap.

Senada dengan Lody, anggota Dewan Pem-bina Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Suparman mengakui praktik suap dalam rekrutmen calon PNS sudah menjadi rahasia umum. Itu bukan hanya dilakukan oknum guru honorer, melainkan juga kalangan lain.

Untuk menghindari praktik itu, ia meng-usulkan agar saat proses seleksi pemerintah pusat bersama pemerintah daerah harus cer-mat meneliti kebenaran data guru calon PNS. “Pemerintah harus menghapus isu negatif ini dengan membuktikan bahwa proses seleksi calon PNS memang terbuka, objektif, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan,’’ ujarnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Na-sional (Wamendiknas) Fasli Jalal mengingatkan para guru honorer agar jangan mau diiming-imingi janji diangkat jadi PNS oleh para oknum. “Lebih baik persiapkan diri dengan baik untuk mengikut tes seleksi sebagaimana mestinya,” kata Fasli Jalal. (Bay/S-3)

‘OEMAR Bakri...Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi/Jadi guru jujur berbakti memang makan hati’

BEGITU secarik lirik lagu Oemar Bakri, ciptaan Iwan Fals, yang meluncur dari Cristian. Lagu tersebut bagi pria separuh abad, yang kini bermukim di perkampungan padat di kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, itu sangat pas melukiskan nasib guru, terutama guru honorer.

Apalagi, seperti yang dialaminya, sudah 24 tahun jadi guru honorer, ia belum juga diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tidak ada setetes pun perhatian nyata yang diberikan pemerintah soal kepastian statusnya itu, dan beberapa rekan guru honorernya, di SMP Negeri 171 Kampung Rambutan, Jakarta Timur.

“Ya udah tua gini, mah, pasrah aja saya, Mas. Enggak diangkat (menjadi pegawai negeri sipil/PNS) enggak apa-apa. Diangkat, ya, syukur,” ungkap Cristian kepada Media Indonesia, Selasa (5/4).

Pernah, sekali waktu ayah dua anak ini memberanikan diri mengirim surat lewat kotak pos ke Istana Negara di era Presiden Soeharto untuk meminta ‘penaikan pangkat’ menjadi PNS.

Tak berapa lama, Sekretariat Negara yang waktu itu digawangi Moerdiono merespons dengan surat jawaban yang belum menemukan solusi. Ia pun miris dan hanya meratapi sedih nasib statusnya itu hingga kini.

“Yang saya ingat, waktu itu Istana beri alasan kalau usulan (penaikan status honorer) itu akan ditampung dulu, tetapi tidak ada komitmen dan kejelasan,” keluhnya.

Menurut Cristian, penaikan status kepegawaian itu bukanlah hanya materi ataupun gengsi. Sebaliknya, soal status itu menyangkut persoalan berapa banyak perut yang mesti diberikan nasi di keluarganya.

Ia ibarat tulang rangka tubuh dalam keluarga besar. Selain tinggal di rumah sangat sederhana sekali (RSSS) Perumnas, ia

SYARIEF OEBAIDILLAH

SUDAH 15 tahun Ahmadi mengabdi menjadi guru honorer di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Solo. Nilai honornya yang Rp700 ribu

per bulan memang di atas upah minimum regional (UMR), tapi jelas tidak cukup untuk menutup kebutuhan keluarganya.

Belasan tahun ayah tiga anak itu memen-dam mimpi menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS). Dengan menjadi PNS, pikirnya, tentu masa depannya lebih terjamin, gajinya pun akan bertambah sehingga sang istri tidak perlu lagi pontang-panting mencari tambahan pemasukan seperti saat ini.

Namun, seiring bertambahnya usia, ia merasa impiannya bakal kandas. Batasan usia peserta seleksi calon PNS maksimal 35 tahun, padahal ia kini berusia 38 tahun.

‘’Saat ini saya hanya bisa pasrah dan berharap ada kebijakan dari pemerintah,’’ ucapnya sendu.

Ahmadi hanyalah satu dari ribuan guru honorer bernasib sama. Mereka bertugas mendidik siswa dengan beban sama bahkan

kadang lebih berat daripada guru PNS. Na-mun, tingkat kesejahteraan para guru honorer itu jauh lebih rendah.

Padahal, masa pengabdian mereka ti-dak singkat. Ada yang sudah menjalani kariernya selama belasan tahun, bahkan ada yang puluhan tahun. Tak mengherankan jika demonstrasi guru honorer yang menuntut peningkatan kesejahteraan kerap terjadi di berbagai daerah.

Jika dirunut, mencuatnya permasalahan guru honorer yang berjuang agar diangkat menjadi PNS dimulai sejak awal 2000. Saat itu pemerintah tengah menggenjot program wajib belajar sembilan tahun.

Karena kekurangan guru, pemerintah me-ngeluarkan kebijakan dengan menunjuk pe-

merintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengangkat guru tambahan yang diistilahkan sebagai guru bantu.

Kemudian pada tahun anggaran 2003-2004, diangkatlah 261.741 orang sebagai guru bantu melalui sebuah kontrak. Dalam kontrak pengangkatan itu memang tidak disebutkan bahwa para guru bantu itu bakal diangkat menjadi PNS.

Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, para guru bantu melobi sejumlah menteri terkait. Hasilnya, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan para guru bantu tersebut menjadi calon PNS secara bertahap.

Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Pera-turan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2005 jo PP

43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Pegawai Honorer Menjadi PNS. Melalui PP itu pula pe-merintah melarang daerah mengangkat guru honorer baru.

Selanjutnya, secara bertahap mulai 2005 hingga 2010 seluruh guru bantu yang dikon-trak diangkat menjadi PNS. ‘’Jumlahnya tidak sesuai data awal, tapi menyusut jadi 251.470 orang sesuai hasil verifi kasi,’’ ujar Wakil Men-teri Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, baru-baru ini.

Dengan pengangkatan itu, menurut Fasli, persoalan guru bantu atau honorer sudah selesai. Namun, data versi Kementerian Pen-dayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebutkan, jumlah guru honorer yang ada saat ini mencapai sekitar 900 ribu

Meski kebutuhan hidup terus meningkat, tingkat kesejahteraan guru honorer tak kunjung membaik.

TERKENDALA USIA: Ribuan pelamar mengantre untuk memasukkan berkas lamaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Solo, Jateng, beberapa waktu lalu. Saat ini ada lebih dari 600 ribu guru honorer yang juga berjuang jadi PNS. Namun, perjuangan mereka sering terkendala batas usia maksimal CPNS.

ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAY