Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal

download Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal

of 2

Transcript of Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal

Nama Kelas

: Amin Nugroho : KPI

NIM : 11210038

INTERAKSI ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL PADA PELAKSANAAN KHUTBAH SHALAT JUMAT DAN SHALAT IDTelah kita ketahui bersama, pertemuan antara Islam dan budaya lokal akan membuat suatu interaksi, yang kemudian akan membentuk kebudayaan atau pranata baru dalam beragama (baca: cara beribadah). Hal yang tidak bisa dinafikan terkait dengan interaksi tersebut bahwa agama Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Makna rahmatan lil alamin ini bisa diartikan Islam dapat diterima dimanapun, kapan pun dan kepada siapa pun. Konsep rahmatan lil alamin mampu melintasi zaman dan wilayah ini bisa dipahami semua orang bisa menerima segala bentuk ajarannya tanpa harus orang itu mengerti tentang Arab walaupun memang Islam lahir di wilayah itu. Pertemuan Islam dengan budaya lokal ini pun juga menunjukkan bahwa Islam mampu menunjukkan eksistensinya. Patut diingat antara Islam dengan budaya lokal memiliki salah satu kesamaan yaitu sama-sama memiliki ritual yang hidup di masyakat. Keputusan cerdas yang dilakukan oleh para dai Islam adalah membumikan Islam dengan mengakulturasikan dengan ritual yang hidup di masyarakat tersebut tanpa merubah subtansi ibadah dan syariat dalam Islam itu sendiri dan mencabut akar tradisi yang telah tertanam di masyarakat, dengan kata lain yang dilakukan oleh dai kita hanya merubah dari segi teknis saja, tidak mengobrak-abrik nilainya. Contoh dari pertemuan Islam dengan budaya lokal dalam hal ibadah bisa kita lihat pada khutbah pada Shalat Jumat dan Shalat Id. Kita tahu sebelum Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, khutbah disampaikan dengan pengantar berbahasa Arab. Hal ini karena memang lahirnya Islam di Jazirah Arab, sehingga kultur yang hidup pada masa itu adalah otomatis kultur Arab. Namun, seiring dengan berjalannya waktu Islam pun menyebar ke segala penjuru dunia. Ketika memasuki suatu wilayah itu, pembawa ajaran Islam ini pasti akan menyampaikan ajaran Islam ini dengan berbagai cara, salah satunya dengan media retorika, terkhusus pada khutbah yang sering dilaksanakan pada Shalat Jumat dan Id. Masalah yang muncul kemudian adalah pesan dalam khutbah itu tidak bisa diterima dengan baik oleh orang yang ada di daerah itu lantaran bahasa. Seperti yang saya katakan di atas Islam lahir di Arab sehingga tatacara ibadah pun dilafalkan dan disampaikan menggunakan bahasa Arab. Apabila para pembawa ajaran Islam ini memaksakan kehendak pada penduduk di wilayah itu, bisa dipastikan Islam tidak akan bisa diterima dengan baik. Untuk mengakomodir permasalahan itu, maka penyebar dakwah melakukan suatu

terobosan untuk mengubah bahasa pengantar pada sebagian khutbah (khutbah pertama) itu dari bahasa Arab dengan dengan bahasa lokal yang tumbuh di masyarakat itu. Nah inilah letak interaksi Islam dengan budaya dalam hal ibadah. Menurut saya, ijtihad para dai ini untuk mengubah bahasa pada pelaksanaan khutbah ini merupakan suatu keputusan yang tepat. Mengubah bahasa dalam khutbah ini tidak akan mengubah syariat secara total. Malah ini menunjukkan bahwa Islam mampu tumbuh dimanapun, kapan pun dan kepada siapa pun untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Jika kita bicara istishan-nya, khutbah pertama pada kedua shalat itu memiliki kebaikan lebih jika disampaikan dengan bahasa lokal dibandingkan dengan bahasa Arab.