Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

28
Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kajian Kelembagaan PPNS Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas Sistem Informasi Spasial dalam mendukung Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan Habib Subagio Kabid Pemetaan Tata Ruang, BIG Integrasi Rencana Tata Ruang dengan Rencana Pembangunan Gita Chandrika DI Yogyakarta Melihat dari Dekat edisi II tahun 2015

Transcript of Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

Page 1: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan42

Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kajian Kelembagaan PPNSDirektorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

Sistem Informasi Spasial dalam mendukung Integrasi Tata Ruang dan PertanahanHabib SubagioKabid Pemetaan Tata Ruang, BIG

Integrasi Rencana Tata Ruang dengan Rencana PembangunanGita Chandrika

DI YogyakartaMelihat dari Dekat

edis

i II t

ahun

201

5

Page 2: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

Tidak terasa kita berjumpa kembali di edisi ke dua Buletin Tata Ruang & Pertanahan Tahun 2015. Pada kesempatan kali ini kami Keluarga Besar Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas mengucapkan Selamat Natal 2015 dan Selamat Tahun Baru 2016, semoga kita semua menjadi insan yang lebih baik lagi di masa mendatang.

Pada edisi ini, kami menyajikan tema Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) mengamanatkan bahwa semua tingkatan administrasi pemerintahan, mulai dari nasional, provinsi, kabupaten/kota diwajibkan menyusun Rencana Tata Ruang (RTR). Oleh sebab itu, implementasi rencana tata ruang melalui pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang perlu diperhatikan. Dalam rangka pemanfaatan ruang terdapat dokumen rencana pembangunan yang juga menjadi acuan bagi pengguna ruang, baik di Pusat maupun Daerah. Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Baik Undang-undang (UU) SPPN maupun Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) menghendaki sebuah keintegrasian, yaitu agar dokumen rencana tata ruang yang dibuat dapat selaras dengan dokumen rencana pembangunan. Lebih khusus lagi, UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa konsistensi pemanfaatan ruang dapat dicapai dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan.

Namun demikian, upaya sinkronisasi di daerah kerap menemui kendala. Hal ini disebabkan karena meskipun sudah tersedia peraturan perundangan yang mengindikasikan perlunya keintegrasian dokumen perencanaan, namun hal ini belum dituangkan secara eksplisit untuk mewajibkan daerah melakukan sinkronisasi dokumen perencanaan. Dengan demikian diharapkan tujuan dari penataan ruang untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dapat tercapai.

Untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan kita, Buletin Tata Ruang & Pertanahan kali ini mengetengahkan beragam materi mulai dari tulisan dari Kepala Bidang Pemetaan Tata Ruang BIG Habib Subagio yang banyak membahas tentang integrasi informasi geospasial untuk peningkatan kualitas perencanaan tata ruang, dan dilengkapi dengan melihat dari dekat salah satu kawasan yang menceritakan tentang perbedaan pola perkembangan kawasan dan perbedaan tingkat kesediaan lahan antara pusat kota dengan pinggiran, yaitu D.I Yogyakarta. Selain itu, disajikan pula Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 terkait penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum beserta perubahannya. Tidak lupa juga tim penulis menyuguhkan ringkasan buku tentang perencanaan dan pengembangan wilayah yang ditulis dengan bahasa populer.

Diharapkan edisi kali ini dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca terhadap pemahaman integrasi tata ruang dan pertanahan dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Akhir kata, kami selalu menerima kritik dan saran dari pembaca demi peningkatan kualitas Buletin Tata Ruang & Pertanahan.

Selamat membaca.

Salam.

dari redaksiPelindungDeputi Bidang Pengembangan Regional dan

Otonomi Daerah

Penanggung JawabDirektur Tata Ruang dan Pertanahan

Pemimpin RedaksiSanti Yulianti

Dewan RedaksiMia Amalia

Uke M. HusseinNana Apriyana

Rinella Tambunan

EditorRini Aditya Dewi

RedaksiHernydawatiAswicaksana

Raffli NoorElmy Yasinta Ciptadi

Idham KhalikCindie RanotraRiani Nurjanah

Aulia Oktriana LafiadjiMeddy ChandraGita Nurrahmi

Fadiah Adlina UlfaReza Nur Irhamsyah

Edi SetiawanZaharatul Hasanah

Desain & Tata LetakDodi Rahadian

Indra Ade Saputra

Distribusi & AdministrasiSylvia Krisnawati

Redha SofiyaPratiwi Khoiriyah

Alamat RedaksiDirektorat Tata Ruang dan

Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Jl. Taman Suropati No. 2Gedung Madiun Lt. 3

Jakarta 10310telp: 021 - 392 66 01

email: [email protected]: www.trp.or.id

portal: www.tataruangpertanahan.comfacebook: trp.bappenas

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi.Sertakan identitas diri, Redaksi berhak

mengeditnya.Silakan kirim ke alamat di atas

Page 3: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 1

edis

i II t

ahun

201

5

Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kajian Kelembagaan PPNS

Sistem Informasi Spasial dalam Mendukung Integrasi Tata Ruang dan PertanahanHabib Subagio Kabid Pemetaan Tata Ruang, BIG

DI YogyakartaMelihat dari Dekat

Integrasi Rencana Tata Ruang dengan Rencana Pembangunan Gita Chandrika

daftar isi

koordinasi trp

sosialisasi peraturan

TRP in Frame

dalam berita

1

4

20

22

23

2

11

13

daftar isi

7

Page 4: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan2

Pemanfaatan ruang dan kawasan dapat memberikan dampak negatif baik secara ekologis, sosial, maupun ekonomi terhadap kawasan secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pelaksanaan pemanfaatan ruang. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selain pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup rugas dan tanggungjawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik POLRI yang disebut dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Penataan Ruang. Untuk itu, Kementerian Pekerjaan Umum menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan ruang.

Dalam upaya perwujudan operasionalisasi pelaksanaan tugas PPNS Penataan Ruang yang optimal, diperlukan pemerataan ketersediaan jumlah PPNS Penataan Ruang di tingkat daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini mengingat keberadaaan PPNS Penataan Ruang di daerah tersebut di unit-unit kerja yang membidangi penataan ruang, misalnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) maupun dinas-dinas teknis yang

membidangi yang penamaannya di setiap daerah bisa berbeda satu sama lainnya. Masalah yang muncul kemudian adalah bagiaman kedudukan PPNS dalam struktur pemerintahan, baik di pusat maupun (terutama) di daerah. Permasalahan tentang kedudukan PPNS dalam struktur pemerintahan daerah berkaitan dengan keberadaan PPNS itu sendiri sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Saat in, beberapa kedudukan PPNS di daerah belum memiliki atau belum melekat pada struktur pemerintahan yang jelas. Hal ini terkait dengan bagaimana kedudukan PPNS yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran dalam struktur pemerintaha daerah, bagaimana ruang lingkup kewenangan daerah dalam menunjuk pejabat lain untuk diberi tugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang.

Tujuan

Tujuan dibentuknya PPNS Penataan Ruang yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 (UUPR) tentang Penataan Ruang sangat diperlukan untuk melakukan penyidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang berindikasi tindak pidana penataan ruang dalam rangka mewujudkan tertib tata ruang. Pelanggaran pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang yang berlaku, menurut UUPR, langkah pertama adalah sanksi administratif oleh pejabat berwenang. Sedangkan sanksi pidana, UU mengamanatkan kewenangan itu diberikan pada pengadilan. Sebelum disidangkan, maka PPNS harus menyidik tindak pidana penataan ruang bersama penyidik Polri. Sehubungan dengan hal tersebut, sejak tahun 2009 Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal (Ditjen) Penataan Ruang bekerja sama dengan POLRI telah membidik dan melatih para pejabat dan staf professional di lingkungan Ditjen Penataan Ruang serta dinas-dinas di daerah yang membidangi penataan ruang.

Kondisi Eksisting

Dengan pembentukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Kabinet Kerja, struktur yang mewadahi PPNS Penataan Ruang di tingkat pusat telah berada di Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang (tingkat Eselon IIa) dibawah Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah, Kementerian ATR/BPN.

Sedangkan untuk tingkat daerah, penempatan PPNS Penataan Ruang pada lembaga pusat di Kantor Wilayah (Kanwil) atau Kantor Pertanahan (Kantah) belum terlaksana. Hal ini masih perlu kajian

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Latar Belakang

Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat perhatian sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang meliputi hal tersebut diatas, diperlukan berbagai kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dari pemerintah sebagai acuan dalam pelaksanaannya.

Page 5: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 3

mendalam terkait pembagian kewenangan pusat dan daerah pada Bidang Penataan Ruang. Saat ini, kajian kelembagaan PPNS Penataan Ruang di daerah baru sebatas isu integrasi kelembagaan antara dinas yang membidangi tata ruang dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selain itu, kajian untuk PPNS Penataan Ruang di daerah, lebih menitikberatkan pada kewenangan daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang di daerah.

Tantangan

Tantangan pelaksanaan operasionalisasi pelaksanaan tugas PPNS Penatan Ruang berada di daerah salah satunya karena hampir semua kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan oleh Pemerintah {rovinsi dan Kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Seluruh PPNS Penataan Ruang yang lingkup kewenangannya berada di daerah, dalam pelaksanaan tugas kesehariannya merupakan bagian aparatur pemerintahan daerah yang berada di bawah perintah kepala daerah yang pada kenyataannya di lapangan sangat berpotensi untuk menimbulkan gesekan kepentingan. Selain itu, keberadaan PPNS Penataan Ruang di daerah tersebar di unit-unit kerja yang membidangi penataan ruang, bisa berbeda satu sama lain. Untuk itu, perlu kepastian kedudukan PPNS Penataan Ruang di tingkat pusat maupun di daerah dan ruang lingkup kewenangan daerah dalam menunjuk pejabat lain untuk diberi tugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Sebagai informasi, saat ini beberapa kedudukan PPNS di daerah belum memiliki atau belum melekat pada struktur pemerintahan yang jelas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2014 telah melakukan penyusunan kajian kelembagaan PPNS Penataan Ruang.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang dilakukan dalam pembahasan kegiatan Penyusunan Kajian Kelembagaan PPNS Penataan Ruang tersebut terdiri dari: (1) penyiapan materi-materi kelembagaan aparatur pemerintah penegak peraturan perundang-undangan yang berada di daerah; (2) identifikasi bentuk dan operasionalisasi kelembagaan PPNS yang sudah berjalan di tingkat pusat dan daerah; (3) Identifikasi potensi kelembagaan untuk menaungi PPNS Penataan Ruang; (4) penyelenggaraan rapat koordinasi dan Forum Group Discussion (FGD) untuk memberikan masukan terhadap kegiatan ini; (5) pelaksanaan survei lapangan; dan (6) penyusunan laporan. Dengan adanya kegiatan Penyusunan Kajian Kelembagaan PPNS Penataan Ruang ini dapat membantu upaya menempatkan masing-masing lembaga penyidik maupun petugas penyidik sesuai dengan kedudukannya masing-masing sebagaimana arahan undang-undang, sehingga dikemudian hari tidak lagi muncul tarik menarik dalam menjalankan penyidikan dan yang terpenting sistem penegakan hukum yang selama ini telah dibangun dapat berdiri kokoh.

Hasil Kajian

Berdasarkan hasil analisis kajian kelembagaan PPNS tersebut didapatkan 5 (lima) bentuk alternatif kelembagaan PPNS yang bisa dipertimbangkan:

a. Dibentuk Direktorat baru di lingkungan Ditjen Penataan Ruang dengan nomenklatur Direktorat Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang dengan status unit kerja eselon IIa;

b. Secara kelembagaan PPNS Penataan Ruang diwadahi dalam

Sub Direktorat Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang di bawah Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan status unit kerja eselon IIIa;

c. Sebagai Bagian Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang pada Sekretariat Dinas Tata Ruang atau Dinas Daerah lainnya yang menaungi penataan ruang sebagai unit kerja eselon IIIa;

d. Sebagai Lembaga Teknis Daerah yang berdiri sendiri berbentuk Badan Penataan Ruang Daerah (BPRD); dan

e. Sebagai Bidang pada Kantor Wilayah BPN di tingkat provinsi dengan nomenklatur Bidang Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang.

Untuk menentukan rekomendasi kelembagaan PPNS digunakan metode penentuan prioritas dengan menggunakan 2 (dua) kriteria pokok yaitu tingkat kepentingan dan tingkat kemendesakan. Setelah itu, hasil penilaian kedua kriteria tersebut dinilai melalui metode expert judgement dengan 5 (lima) alternatif kelembagaan PPNS Penataan Ruang digunakan. Expert yang diminta memberikan penilaian atas alternatif kelembagaan tersebut berasal dari seluruh tenaga ahli yang dipandang representatif untuk mewakili berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang yang berbeda sehingga diharapkan penilaiannya bisa objektif dan komprehensif.

Rekomendasi

Berdasarkan hasil penilaian metode expert judgement tersebut maka bentuk kelembagaan yang direkomendasikan untuk mewadahi PPNS Penataan Ruang adalah

a. Pada tingkat pusat direkomendasikan pembentukan lembaga setingkat eselon IIa (Direktorat Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang); dan

b. Pada tingkat daerah direkomendasikan lembaga pusat di kanwil dengan nomenklatur “Bidang Pembinaan dan Pengendalian PPNS Penataan Ruang” pada tataran eselon IIIa. [SY/CR]

Sumber: Kajian Kelembagaan PPNS Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, November 2014

tah

uk

ah

an

da

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang yang selanjutnya disingkat PPNS Penataan Ruang, adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Penataan Ruang (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 13/PRT/M/2009 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang).

Kedudukan PPNS Penataan Ruang terdiri atas:a. PPNS Penataan Ruang Pusat;b. PPNS Penataan Ruang Provinsi; danc. PPNS Penataan Ruang Kabupaten/Kota

PPNS Penataan Ruang Pusat berkedudukan dibawah Menteri melalui Direktur Jenderal Penataan Ruang, PPNS Penataan Ruang Provinsi berkedudukan dibawah Gubernur, dan PPNS Penataan Ruang Kabupaten/Kota dibawah Bupati/Walikota.

Page 6: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan4

Dalam rangka mendapatkan informasi dan berbagi pengetahuan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Dit TRP), telah

melakukan kegiatan diskusi dengan Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) pada tanggal 28 Agustus 2015 bertempat di Makasar. Yayasan BaKTI merupakan suatu bagian dari Kantor Pendukung Bank Dunia untuk Indonesia bagian Timur (SofEI) yang melakukan pengumpulan dan pendisribusian informasi tentang program pembangunan dan bantuan yang tersedia untuk pembangunan kawasan timur Indonesia. Tujuan diskusi dan kunjungan lapangan untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan secara utuh mengenai Knowledge Management (KM) yang dilakukan oleh Yayasan BaKTI dalam pengumpulan, penyimpanan dan pendistribusian data, informasi dan pengetahuan program pembangunan di wilayah Indonesia Bagian Timur selama ini.

Selama ini Yayasan BaKTI telah melakukan kegiatan Knowledge Sharing seperti adanya Forum Kepala Bappeda Provinsi dengan berbagi informasi untuk melakukan koordinasi kegiatan apa saja yang dilakukan oleh masing-masing Kepala Bappeda. Ada pula kegiatan Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia, yang merupakan pertemuan peneliti dan ilmuwan untuk mensinkron penelitian baru dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk pengembangan lebih lanjut. Kemudian ada Batukarinfo.com, yang merupakan salah satu media online berbagi informasi kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan. Masih ada lainnya seperti stock of knowledge, knowledge sharing events, bengkel komunikasi pembangunan dan news cafe. Kesemuanya itu merupakan kegiatan penyebaran informasi dan pengetahuan yang sangat membantu pelaksanaan program pembangunan khususnya wilayah timur Indonesia.

Kegiatan diskusi dan knowledge sharing ini merupakan bagian dari pembelajaran dari pengembangan sistem knowledge management

di Kedeputian Pengembangan Regional yang sedang dilakukan. Dalam hal knowledge sharing, Direktorat TRP telah melakukan terobosan penyebaran informasi pengetahuan melalui media online dan media cetak. Melalui kedua media ini Dit TRP telah berbagi pengetahuan dan informasi terkait tata ruang dan pertanahan kepada para pihak baik internal maupun eksternal. Pembelajaran yang diperoleh dari kunjungan ke Yayasan BaKTI ini membuka mata dan wawasan bahwasanya knowledge sharing harus dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik, tidak hanya sekedar penyebaran informasi dan pengetahuan yang terbatas pada lingkup internal tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh pihak luar (eksternal). Selain itu juga perlu komitmen dan dukungan dari pimpinan dan staf untuk melaksanakan secara penuh dan tanggungjawab dalam satu unit kerja yang khusus menangani Knowledge Management. [SY].

Ko

ord

ina

si

Pembelajaran Knowledge Management “Yayasan BaKTI” Makassar

Seminar Nasional Pembelajaran Pelaksanaan Program Reforma Agraria Daerah (PRODA) di Kalimantan Timur

sumber: dokumen Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Pada tanggal 3 September 2015, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas khususnya Subdit

Pertanahan melakukan kegiatan seminar nasional pembelajaran pelaksanaan Program Agraria Daearah (PRODA) di Provinsi Kalimantan Timur. Seminar Nasional ini bertujuan untuk mensosialisasikan mekanisme pelaksanaan Program Agraria Daerah kepada seluruh Pemerintah Daerah sehingga program tersebut dapat direplikasi oleh Pemerintah Daerah lainnya. Hadir dalam seminar nasional tersebut Kepala Bappeda Provinsi dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Seluruh Indonesia.

Sebagaimana telah digariskan dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasinal (RPJMN) 2015 -2019, bahwa untuk meningkatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanah salah satunya dengan peningkatan cakupan bidang tanah

bersertipikat. Akhir tahun 2019, cakupan bidang tanah bersertipikat diharapkan dapat mencapai 80 persen dari wilayah nasional. Dalam rangka mempercepat persentase cakupan jumlah bidang tanah yang telah bersertipikat dan terdigitasi dengan baik, telah dilaksanakan berbagai program antara lain Program Agraria Nasional (PRONA), sertipikasi tanah lintas sektor (petani, nelayan, pelaku usaha kecil menengah/UKM, transmigran). Secara umum, program sertipikasi tanah ini diperuntukkan bagi masyarakat tidak mampu yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Namun mengingat terbatasnya ketersediaan APBN dan di sisi lain cakupan bidang tanah belum bersertipikat masih sangat besar, beberapa pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas keuangan daerah yang memadai juga melaksanakan sertipikasi tanah bagi masyarakat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing pemerintah daerah

Page 7: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 5

(pemda). Program tersebut dikenal dengan Program Agraria Daerah (PRODA). Desain program tersebut mirip dengan PRONA, tetapi sumber pendanaan berasal dari pemerintah daerah.

Salah satu pemda yang telah melaksanakan PRODA tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur. Pembiayaan program tersebut telah berjalan dengan mekanisme bantuan keuangan (Bankeu) dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten. Pada Tahun 2015, program tersebut menargetkan sertipikasi tanah sebanyak 921 bidang tanah pertanian yang tersebar di 6 Kabupaten, yaitu Kutai Timur, Kutai Barat, Kutai Kertanegara, Paser, Berau, dan Penajam Paser Utara. Agar kegiatan sertipikasi dapat berjalan dengan baik, pada tahun 2014 telah dilaksanakan kegiatan pra-sertipikasi untuk memastikan bahwa subyek dan obyek tanah sudah jelas dan benar (clear and clean). Selain itu, pelaksanaan PRODA memerlukan koordinasi dan peran dari pihak-pihak terkait antara lain: Bappeda provinsi dan kabupaten/kota, BKPP, Biro Keuangan, kanwil BPN Provinsi, Kantor Pertanahan kab/kota, camat dan Kepala desa.

Keberhasilan pelaksanaan PRODA di Kalimantan Timur dimaksud, dapat direplikasi dan diambil pembelajaran (lesson learn) oleh

pemerintah daerah lainnya. Dengan demikian, pelaksanaan sertipikasi tanah tersebut diharapkan dapat mempercepat cakupan bidang tanah bersertipikat di seluruh wilayah nasional. Selain itu, pasca dilaksanakan sertipikasi, pemerintah daerah dapat melanjutkan dengan kegiatan program pemberdayaan masyarakat. Pada akhirnya berdampak pada peningkatan jaminan kepastian hukum hak atas bagi masyarakat dan di sisi lain memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kedepan, perlu dilakukan upaya meningkatkan kesadaran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan sertipikasi tanah sehingga perlu dilakukan roadshow ke Pemerintah Daerah dan DPRD. Untuk peningkatan koordinasi di daerah, perlu membentuk pokja pertanahan di daerah. Hal yang dapat dilakukan sebagai upaya terobosan mengenai mekanisme penganggaran PRODA di daerah adalah dengan dukungan dari Kementerian Dalam Negeri. Terobosan lain yang diperlukan adalah terkait dengan aturan main, untuk itu perlu disusun juklak dan juknis untuk pelaksanaan sertipikasi. Terakhir, kegiatan sertipikasi ini penting untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan sehingga diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan [SY].

Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2014 dan RKP 2015 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Sebagai bagian dari kegiatan monitoring dan evaluasi bidang tata ruang dan pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan,

Bappenas (Dit TRP) melakukan kunjungan lapangan untuk melihat pencapaian pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 dan RKP 2015 bidang tata ruang dan pertanahan ke Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).Kunjungan ini bertujuan untuk melakukan identifikasi isu-isu bidang tata ruang dan pertanahan yang spesifik di Provinsi NTT serta gagasan penyelesaiannya, identifikasi pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan NTT-Timur Leste, pasca penetapan Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang RTR KSN Perbatasan Negara.

Terkait dengan isu tematik bidang tata ruang yang spesifik di NTT, diketahui bahwa adanya pemekaran wilayah di Provinsi NTT yang menyebabkan terhambatnya penetapan Perda RTRW Kabupaten Malaka, masih belum optimalnya implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/

Kota yang disebabkan oleh beberapa faktor terkait. Pada saat ini Perda No.1 Tahun 2011 tentang RTRWP NTT sedang dalam proses Peninjauan Kembali (PK). Terkait Bidang pertanahan, masih banyaknya klaim Tanah Adat oleh Masyarakat Hukum Adat yang menyebabkan terhambatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masih kurangnya jumlah serta kompetensi Juru Ukur Pertanahan di Kanwil BPN Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebagaimana amanat Perpres No.179 Tahun 2014 tentang RTR KSN Perbatasan Negara, saat ini pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan NTT-Timur Leste belum berjalan optimal karena:

a. Masih adanya 1 (satu) kecamatan di kabupaten Belu yaitu kecamatan Raimanuk yang belum dimasukkan sebagai salah satu kawasan perbatasan NTT-Timur Leste dalam Perpres No.179 Tahun 2014, sehingga kecamatan tersebut belum dapat diprirotaskan pembangunanya dalam kawasan perbatasan;

b. Belum dijadikannya indikasi program Perpres No.179 Tahun 2014 sebagai acuan pembangunan kawasan perbatasan oleh pemangku kepentingan terkait, hanya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mulai menjalankan salah satu indikasi profram Perpres tersebut yaitu pelebaran jalan nasional selebar 12 meter mulai dari Mutoain sampai dengan Mutoasin;

c. Adanya tumpang tindih kewenangan antara Kementerian ATR dan BNPP dalam penyusunan 10 (sepuluh) RDTR Perbatasan NTT-Timur Leste, sehingga menyebabkan terhambatnya acuan perizinan kawasan dengan skala rinci yang dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah.

Sebagai tindak lanjut dari hasil kunjungan ini, penyelesaian isu strategis tematik bidang tata ruang dan pertanahan akan dilaporkan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKPRN Tahun 2015. [SY]

Sumber: Dokumentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan

Page 8: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan6

Pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) Tahun 2015

Rakernas BKPRN merupakan forum penataan ruang tingkat nasional yang melibatkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah yang diselenggarakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Tujuan Rakernas BKPRN tahun 2015 adalah untuk menyepakati rumusan bahan agenda kerja BKPRN untuk 2 (dua) tahun ke depan (2016-2017). Keluaran yang dihasilkan dari Rakernas BKPRN adalah kesepakatan dan tindak lanjut mengenai: (1) Integrasi Nawacita kedalam, Rencana Tata Ruang, (2) Penguatan Peran Lembaga Koordinasi Penataan Ruang di Daerah, (3) Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan, dan (4) Pengelolaan Konflik Pemanfaatan ruang. Keluaran dari Rakernas tersebut menjadi masukan untuk penyusunan agenda kerja lembaga Koordinasi Penataan Ruang Nasional periode 2016 - 2017.

Rapat Kerja Nasional diselenggarakan pada tanggal 5 November 2015 bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta dan dihadiri ratusan peserta yang berasal dari perwakilan kementerian/lembaga, anggota kelompok kerja (pokja) BKPRN, pemerintah daerah baik tingkat provinsi/kabupaten/kota.

Tema Rakernas Tahun 2015 adalah “Memperkuat Kelembagaan Penataan Ruang untuk mewujudkan Nawacita”, ditandai dengan pemukulan gong oleh Menteri Koodinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution dengan didampingi oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan dan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Priyadi Kardono. Rakernas diselenggarakan oleh Sekretariat BKPRN dengan ketua panitia penyelenggara adalah Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria Tata Ruang/BPN. Rakernas BKPRN 2015 dibuka oleh Ketua BKPRN, Darmin Nasution sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Dihadapan ratusan peserta Rakernas tersebut, Ketua BKPRN mengatakan bahwa Dukungan dan Sinergi yang kuat antara kementerian/lembaga (k/l) dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam percepatan program Kebijakan “Satu Peta” (One Map Policy) untuk mendukung percepatan dan penyelesaian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta untuk mewujudkan program prioritas pembangunan nasional. Dikatakan pula bahwa saat ini, Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50.000 yang dilaksanakan Badan Informasi Geospasial (BIG) akan selesai tahun ini (2015). Nantinya, peta RBI ini menjadi dasar dalam mendukung Penataan Ruang Nasional. Saat ini, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kebijakan “Satu Peta” sedang difinalisasi bersama Sekretaris Kabinet dan k/l terkait. Oleh karena itu, perlu dilakukan rapat koordinasi guna membahas harmonisasi rancangan Perpres

Kebijakan Satu Peta, sehingga pelaksanaannya bisa dilakukan tahun depan. Lebih lanjut, tugas yang diemban BKPRN sangat strategis, selain perencanaan tata ruang, juga bertugas menyusun kebijakan dan pengendalian tata ruang.

Pelaksanaan Rakernas BKPRN tahun 2015 terdiri dari 4 (empat) kegiatan utama yaitu pembukaan, sidang pleno (1 dan 2), Sidang Komisi dan Pameran. Pada Kegiatan Sidang Pleno, turut memberikan paparan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Ferry Mursidan Baldan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan.

Sementara pada Sidang Komisi terbagi dalam 4 kelompok sidang yaitu: (1) Sidang Komisi I, mengangkat tema: Integrasi Nawacita kedalam Rencana Tata Ruang, (2) Sidang Komisi II dengan tema: Penguatan Peran Lembaga Koordinasi Penataan Ruang di Daerah, (3) Sidang Komisi III dengan tema: Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan, dan (4) Sidang Komisi IV dengan tema: Pengelolaan Konflik Pemanfaatan Ruang. Dalam hal ini, Deputi Pengembangan Regional dan Direktur Tata Ruang Pertanahan bertanggungjawab pada sidang Komisi III tersebut.

Dalam kegiatan Pameran dibagi menjadi 5 (lima) booth, yaitu booth regulasi dan kelembagaan; booth perencanaan dan pemanfaatan; booth pengendalian; booth lain-lain; serta booth sistem informasi. Kementerian PPN/Bappenas yang diwakili oleh Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Dit. TRP), berkesempatan mengisi di booth regulasi dan kelembagaan bersama Badan Informasi Geospasial (BIG), Sekretariat Kabinet, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Perekonomian.

Dit. TRP menampilkan poster mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Status pencapaian daerah yang telah menetapkan Perda RTRW baik provinsi, kabupaten maupun kota. Selain itu juga ditampilkan berbagai leaflet, majalah, buku, peraturan-peraturan dalam CD regulasi sebagai bahan publikasi serta menampilkan situs dalam website yang menampilkan berbagai pelaksanaan kegiatan di bidang tata ruang dan pertanahan.

Pada Kesempatan kunjungan ke Stand Kementerian PPN/Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Ferry M.Baldan mendapat penjelasan dari Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Oswar Muadzin Mungkasa yang menjelaskan detail produk-produk yang dimiliki Direktorat TRP Bappenas seperti leaflet RPJMN 2015-2019 bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Milis TRP, Portal TRP, Buletin TRP, poster Peta Jalan Reforma Agraria, dan poster Status Penetapan RTR. (SY/RA)

Page 9: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 7

Integrasi Informasi Geospasial untuk Peningkatan Kualitas Perencanaan Tata Ruang

Habib SubagioKepala Bidang Pemetaan Tata Ruang, Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas – BIG

Peta Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan representasi penataan ruang suatu wilayah yang memvisualisasikan pola dan struktur ruang untuk periode kedepan. Rencana tata ruang merupakan suatu proses kesepakatan oleh pemangku kepentingan dan

seluruh stake holders yang berkepentingan dan atau menempati wilayah tersebut. Garis besar tematik rencana tata ruang senantiasa berkembang pada setiap periode pemerintahan yang diterjemahkan dalam RPJMN. Kita masih ingat pada Periode RPJMN 2005-2009 dimana Bidang Tata Ruang fokus menekankan perencanaan ruang untuk mengurangi bencana, hal ini dipicu oleh tragedi tsunami Aceh pada Desember 2004 dengan jumlah korban yang sebagian besar menempati wilayah pesisir dimana diasumsikan bahwa zona pesisir tersebut kemungkinan memang tidak dialokasikan untuk permukiman dalam rencana pemanfaatan ruangnya, tetapi juga disadari kurangnya kontrol terhadap implementasi RTR yang telah ada. Pada periode ini kita ingat banyak sekali respon daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang cukup masif melakukan reviu sekaligus momentum untuk memperbaiki RTR yang telah ada dengan menambah informasi spasial bencana, sehingga dapat dikatakan bahwa RTR yang baru telah mempertimbangkan aspek kebencanaan seperti jenis, sebaran, dampak, serta rencana kontijensi bencana. Hal ini ditindaklanjuti pada RPJMN periode 2010-2014 yang mengangkat isu strategis Bidang Tata Ruang fokus pada peningkatan kualitas tata ruang yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan yang disinkronkan dengan

penegakan peraturan dalam rangka pengendalian tata ruang.

Sampai dengan level RTR kabupaten/kota, upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas RTR yang direpresentasikan melalui peta (informasi geospasial/IG) RTR sudah sangat cepat dan baik misalnya dengan mengeluarkan standar prosedur atau pedoman penyusunan Peta RTR yang lebih operasional dengan memasukkan aspek fisik, ekonomi, dan sosial budaya termasuk didalammya aspek bencana sebagai salah satu indikator dalam kategori aspek fisik yang tertuang dalam Permen PU 20/2007. Pedoman ini mensyaratkan bahwa dalam penyusunan pola dan struktur ruang menggunakan IG (dasar dan tematik), IG digunakan sebagai dasar referensi geometris untuk seluruh IG tematik baik itu tematik dasar (misal: geologi, jenis tanah, klimatologi, pengunaan lahan), tematik analisis (misal: rawan bencana), dan tematik sintesis (misal: satuan kemampuan lahan/SKL).

Pemerintah secara kontinyu mengantisipasi sekaligus mempersiapkan instrumen penyusunan tata ruang, penyelanggaraan tata ruang sampai level RTR kabupaten/kota dipandang masih merupakan perencanaan makro yang belum mampu digunakan sebagai landasan operasional implementasi pembangunan pada

Art

ike

l U

tam

a

Gambar 1. Sinkronisasi Pola Ruang RTRWK 1:25.000 dengan RDTR 1:5.000 sebagian wilayah Kota Malang

Page 10: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan8

level kabupaten/kota dengan variabilias pemanfaatan ruang yang jauh lebih detil khususnya wilayah kota dengan dominasi pemanfaatan ruang pada sektor jasa atau industri sebagai penggerak utama ekonomi kota. Secara teknis, IG tata ruang kabupaten/kota memiliki ketelitian pemetaan skala pemetaan 1:25.000-1:50.000. Dalam imlementasinya, perencanaan ruang pada skala ini secara teknis tidak dapat mengakomodir untuk pemetaan rencana pemanfaatan ruang pada luasan yang lebih rinci, sementara realisasi pembangunan fisik kabupaten/kota tidak hanya bergerak pada perencanaan ruang makro, tetapi menuju pada pemanfaatan ruang dengan kebutuhan lahan yang relatif lebih rinci seperti ijin lokasi pembangunan infrastruktur perkotaan berupa area bisnis, sarana pelayanan umum yang lebih rinci dimana seluruh pemanfaatan ruang tersebut memerlukan ijin pemerintah lokal yang terkait secara langsung dengan aspek ekonomi wilayah. Dengan kata lain, kebutuhan RTR saat ini sudah sampai pada level rencana rinci tata ruang (RRTR). Sekali lagi, pemerintah juga telah memberikan arahan untuk mengantisipasi hal ini dengan terbitnya Permen 20/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota yang menyatakan ketelitian RDTR dan PZ ini pada skala 1:5.000.

Peta RDTR skala 1:5.000 merupakan penjabaran detil dari Peta RTRW kabupaten/kota. Ilustrasi Gambar 1. menunjukan adanya sinkronisasi rencana pemanfaatan ruang baik untuk RTRW kabupaten/kota dan RDTR Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) sebagin wilayah Kota Malang. Konsistensi rencana pemanfaatan ruang untuk contoh diatas adalah bahwa rencana pemanfaatan ruang yang tertuang pada RTRK kabupaten/kota yang dihasilkan pada tahun 2011 berupa kawasan pemukiman tetap dialokasikan secara konsisten untuk Zona Perumahan pada level RTDR yang dihasilkan melalui penyusunan RDTR dan PZ tahun 2015. Perlu diperhatikan lebih teliti pada lokus tersebut, tampak bahwa alokasi pemanfaatan ruang pada RDTR jauh lebih rinci jenis rencana pemanfaatan ruangnya tetapi didominasi oleh zona perumahan yang kemudian dikatakan bahwa antara RTRW dan RDTR dinyatakan sinkron.

Realisasi Pemanfaatan IG dalam Penyusunan RTRPada tataran operasional, pedoman penyusunan RTR sesuai Permen 20/2007 dapat dilaksanakan secara optimal pada level RTR nasional sampai dengan RTR provinsi pada skala ketelitian 1:250.000. Optimal karena hampir seluruh IG (dasar dan tematik) tersedia lengkap untuk seluruh wilayah Indonesia. Pada skala ini, kementerian/lembaga yang bertugas sebagai walidata IGT sesuai dengan keputusan Pokja IGT Nasional telah menyelesaiakan dan memberikan akses untuk digunakan dalam penyusunan tata ruang. Terus apakah kondisi ini juga sama sampai level kabupaten/kota pada yang mengatur ketelitian informasi tata ruang pada skala 1:25.000-1:50.000? Jawabannya beragam atau bervariasi untuk tiap daerah. Terkait kebutuhan peta dasar yang menggunakan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) untuk seluruh penyelenggaraan peta tematik, termasuk dalam hal ini peta tata ruang, seluruh coverage Indonesia telah tersedia dengan variasi skala. Sampai dengan akhir 2015 ini, Peta RBI skala 1:25.000 mencakup wilayah Aceh, Lampung, Jawa, Bali, NTT, NTB, Sulawesi, dan sebagian Maluku atau Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya tepatnya. Wilayah selain itu tersedia skala 1:50.000.

Dalam hal penyediaan IGT untuk penyusunan RTR sampai dengan level RTR kabupaten/kota kondisinya lebih bervariasi, tetapi overall IGT untuk RTR pada skala 1:250.000 sudah mencakup seluruh wilayah Indonesia, sementara untuk skala sampai dengan 1:50.000 belum seluruhnya tersedia, hal inilah yang menyebabkan RTR pada level kabupaten/kota juga dapat dikatakan bervariasi kualitas spasialnya.

Jadi, kebutuhan penyediaan peta dasar untuk penyusunan RTR sampai dengan level kabupaten/kota dapat dikatakan terpenuhi untuk seluruh wilayah administrasi Indonesia. Tantangan lebih besar saat ini lebih pada penyediaan IGT sampai pada ketelitian informasi yang minimal sama degan peta dasar tersebut. Hal ini sangat penting mengingat kualitas peta tata ruang sangat ditentukan oleh informasi tematik sebagai input penyusunan peta tata ruang dalam konteks spasial.

Mengingat ketersediaan IGT masih sangat minim untuk kebutuhan RTR kabupaten/kota, pemerintah telah mengupayakan strategi pemenuhan IGT tersebut melalui komitmen kementerian/lembaga wali data IGT yang disepakati dalam Rakornas IG untuk fokus

Gambar 2. Cakupan ketersediaan Peta RBI 1:50.000 dan 1:25.000 Indonesia (Sumber: BIG)

Page 11: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 9

bersama pada penyediaan IGT tata ruang guna tersedianya peta tata ruang yang lebih berkualitas. Kebijakan ini tentunya perlu didukung oleh regulasi yang lebih jelas. Meskipun demikian hal ini kemungkinan besar akan dapat segera terwujud dengan melihat indikator kebijakan satu peta (One Map Policy) yang masuk pada Paket Kebijakan Ekonomi ke 8 yang baru saja dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Integrasi IG Tata ruang merupakan salah satu produk perencanaan berbasis spasial yang idealnya merupakan satu paket kebijakan perencaaan bersama dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang atau Jangka Menengah suatu wilayah. Peta tata ruang merupakan representasi alokasi distribusi yang menginformaskan dimensi ruang (arah, sebaran, dan geometris) rencana-rencana pembangunan yang diakomodir dalam rencana (pola dan struktur) ruang. Sehingga, penyusunan tata ruang menghendaki masukan data dan informasi geospasial yang akurat dan aktual.

Integrasi IG dimaksudkan untuk percepatan dan optimalisasi pemanfaatan IG dalam penyusunan tata ruang agar dapat mengasilkan peta tata ruang yang berkualitas. UU No. 4/2011 tentang Informasi Geospasial memberikan regulasi yang jelas mengenai penyelenggaran IGD dan IGT. Dalam hal IGT, pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah, termasuk dalam hal ini pemerintah daerah untuk dapat menyelenggaran IGT sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dimaksudkan untuk antisipasi terhadap penyelenggaran tata ruang yang merupakan otoritas daerah.

Dalam hal teknis analisis informasi geospasial, Sistem Informasi Geografis (GIS) saat ini menjadi instrumen utama dalam proses integrasi spasial untuk penyusunan IG tata ruang dan hal ini sudah terbukti secara operasional. Perhatian penting dalam hal integrasi ini justru lebih pada bagaimana mengintegrasikan kemampuan dan kapabilitas seluruh instrumen penyediaan IG untuk pemenuhan kebutuhan

penyusunan tata ruang. Instrumen yang dimaksud adalah sumber daya manusia dan kapital (budget). Kondisi yang ada sampai saat ini, asumsi penyediaan IG baik dasar maupun tematik untuk tata ruang semuanya dibebankan kepada pemerintah pusat, memang ada beberapa daerah yang sudah tergerak untuk penyelenggaraan IGT dengan tujuan untuk menghasilkan RTR yang berkualitas, tetapi juga tidak sedikit yang menggunakan teknis analisis IG yang secara metodologis salah meskipun mampu dilakukan melalui instrumen GIS, sehingga kualitas tata ruang yang dihasilkannya juga tidak terlalu baik. Faktor yang tidak kalah penting lagi adalah integrasi SDM yang harus memiliki kemampuan dengan standar yang harus disamakan, penyediaan prosedur teknis, NSPK, spesifikasi teknis harus dipersiapkan untuk mengawal penyusunan tata ruang yang baik. Setidaknya hal ini memang terjadi pada penyusunan tata ruang sampai saat ini, sehingga banyak sekali ditemukan ketidaksinkronan antarproduk perencanaan spasial dan a-spasial.

Untuk mengawal hal ini, pemerintah sudah menyiapkan mekanisme tata kelola IG terpadu melalui pembangunan jaringan infrastruktur geospasial nasional yang diharapkan mampu menjamin aksesibilitas IG yang lebih terbuka. Pembangunan infrastruktur ini perlu dibarengi dengan kesadaran seluruh stake holders dalam rangka pengkayaan IG yang akan mengisi infrastruktur tersebut dan menjamin seluruh konten IG yang dihasilkan masuk dalam platform kebijakan satu peta. Hal inilah yang perlu didorong secara terus menerus, penyediaan regulasi yang pasti, mekanisme koordinasi yang operasional, pengaturan kelembagaan yang lebih jelas, serta strategi penganggaran yang transparan untuk menjamin tersedia IG tata ruang yang lebih berkualitas.

Informasi Geospasial Strategis Menuju Operasionalisasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)Kita ketahui bersama bahwa status penyelenggaran tata ruang pada periode ini sudah masuk pada upaya pengendalian ruang yang lebih ketat. Bahkan tata ruang saat ini sudah menjadi instrumen yang akan terkoneksi dengan perencanaan investasi daerah, atau secara umum dapat dikatakan bahwa tata ruang saat ini diharapkan

Gambar 3. Mekanisme alur verifikasi IG dalam penyusunan RTR (Sumber: BIG)

Page 12: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan10

menjadi salah satu landasan operasional pelaksanaan pembangunan. UU 32/2014 tentang pemerintah daerah yang juga mengatur kewenangan daerah terkait perijinan lokasi pembangunan membutuhkan informasi spasial dan tata ruang yang semakin akurat. Apabila IG atau tata ruang yang ada tidak akurat dan aktual, maka imlementasi pembangunan bukan tidak mungkin akan mendapatkan kedala misalnya terkait konflik lahan, status lahan, serta konektivitas dengan aspek ruang lainnya.

Upaya sadar akan pentingnya IG dan peta tata ruang yang akurat saat ini memang sudah mulai dirasakan, dalam hal tata ruang, kesadaran pentingnya informasi ini sudah semakin luas, permintaan informasi mengenai aspek detil tata ruang mulai diperlukan oleh seluruh aparat dan perangkat pemerintah, unsur legislatif, kalangan pengusaha untuk mengetahui kepastian investasinya, sampai dengan masyarakat umum yang ingin mengetahui rencana pembangunan wilayahnya kedepan.

Upaya pemerintah untuk mengimplementasikan tata ruang yang produktif secara ekonomis, operasional sampai dengan level detail dengan mengeluarkan peraturan mengenai penyusunan Rencana Detail Tata Ruangpada ketelitian operasional skala 1:5.000. RDTR ini bersifat sangat operasional, mengatur fungsi ruang sangat detail dan dijadikan dasar pada perijinan pembangunan. Mekanisme penyusunan RDTR hampir sama dengan RTRW, tetapi beberapa hal perlu dicermati dimana idealnya penyusunan RDTR juga menghendaki penyediaan IGD dan IGT pada skala detail juga.

Dalam hal penyediaan IGD skala 1:5000, pemerintah telah melakukan percepatan melalui penyediaan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi untuk sebagian besar wilayah Indonesia. Penyelenggaran peta dasar melalui CSRT ini dapat dilakukan oleh daerah untuk kebutuhan penyusunan RDTR dengan tetap melalui koordinasi lembaga yang berwenang untuk menjamin standar produk IGD yang dihasilkan. Selanjutnya pemerintah daerah dapat melaksanakan seluruh penyelenggaran IGT temasuk dalam hal ini peta rencanan tata ruangnya. Hal ini akan menjamin bahwa seluruh penyusunan RDTR yang dilaksanakan oleh seluruh kabupaten/kota masuk dalam skema kebijakan satu peta sekaligus menjamin bahwa One

Map Policy tercapai melalui integrasi Top Down and Bottom Up Mechanism dan ini merupakan sinergi yang sangat baik.

Beberapa hal yang perlu dicermati tekait penyusunan RDTR sampai saat ini adalah pada permasalahan penyediaan konten IGT yang tidak kompatibel pada ketelitian yang dikehendaki yaitu 1:5.000. Disatu sisi, beberapa wali data tidak siap untuk melaksanakan penyedian IGT sampai ketelitian skala detail tersebut, tetapi disatu sisi, pemerintah daerah lebih tidak siap utuk melaksanakan penyusunan IGT sesuai dengan aturan yang disiapkan oleh pemerintah. Sehingga, sebagian besar penyusunan RDTR, konten tematik yang digunakan sebagai masukan utama untuk penyusunan rencana tata ruangnya lebih mengandalkan pada informasi tematik penggunaan lahan dan sebaran fasilitas umum daerah. Dua informasi inilah yang saat ini menjadi fitur utama dalam penyusunan rendana selain fitur peta dasar yang juga disiapkan pada skala 1:5.000.

Penyusunan RDTR melalui prosedur yang sama dengan RTRW, selain terus ditingkatkan akurasi dan kelengkapan IGT untuk menjamin kualitas produk peta tata ruang tersebut, akan lebih baik apabila ditambahkan informasi geospasial strategis lain seperti IG kepemilikan lahan pada contoh diatas. Hal ini akan menjamin bahwa RDTR akan lebih operasional dilapangan mengingat dari data yang ada sampai saat ini, penyusunan RDTR tidak pernah memperhatikan unsur kepemilikan lahan, sehingga diindikasikan untuk alokasi fungsi ruang tertentu seperti kebutuhan ruang untuk permukiman, fasilitas umum, serta alokasi pembangunan jaringan infrastruktur seperti jalan akan mengalami permasalahan terkait ketersediaan dan ijin lahan di waktu mendatang. Sementara, apabila dalam penyusunan RDTR sudah memperhatikan informasi spasial kepemilikan lahan, maka beberapa indikasi permasalahan lahan dan kebutuhan lahan dapat mulai diinventarisasi dari awal dan berimplikasi positif pada perencanaan pembangunan daerah yang lebih pasti.

Tata Ruang merupakan produk kesepakatan, termasuk dalam hal ini penyusunan peta tata ruang yang memerlukan kebutuhan IG yang cukup komplek, maka integrasi spasial sebagai implementasi kebijakan satu peta menjadi strategi yang paling penting untuk menghasilkan tata ruang yang berkualitas sekaligus menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.(HS)

Gambar 3. Informasi spasial kepemilikan lahan/Hak Atas Tanah (Sumber: BPN)

Page 13: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 11

lahan yang relatif datar, antara 0-2 %. Kota Yogyakarta terbelah oleh 3 sungai besar, yaitu Sungai Code, Winongo dan Gajahwong. Sungai Code memiliki hulu yang berada di Gunung Merapi ketika musim hujan sering membawa material hasil erupsi gunung merapi yang ketika mencapai volume tertentu dapat membahayakan masyarakat yang ada di sekitar Sungai Code.

Secara demografis, pada tahun 2014 jumlah penduduk Kota Yogyakarta berjumlah 402.679 jiwa pada akhir 2013, dengan kepadatan penduduk Kota Yogyakarta sebesar 12.390 jiwa per km2. Kecamatan dengan jumlah penduduk paling besar ada di Kecamatan Umbulharjo dengan jumlah penduduk sebesar 81.073 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun 2000 hingga 2010 mengalami penurunan sebesar 0,21%, yang artinya terjadi perlambatan.

Secara ekonomi, Kota Yogyakarta bergantung dari sektor tersier, yang terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa. Total akumulasi sektor terseier tersebut sebesar lebih dari 75% dari PDRB Kota Yogyakarta. Secara geografis memang Kota Yogyakarta tidak memiliki wilayah yang luas dan sumber daya alam yang relatif terbatas. Kelemahan dari aspek geografis ini berakibat pada bertumpunya ekonomi Kota Yogyakarta di sektor tersier, terutama jasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kota Yogyakarta identik dengan Malioboro dan Keraton. Malioboro merupakan salah satu pusat ekonomi terbesar, dan sudah sejak lama memang menjadi pusat ekonomi wilayah. Malioboro sejatinya adalah jalan yang menghubungkan antara Tugu Yogyakarta dengan Keraton Yogyakarta. Jalan ini seiring berkembangnya jaman, bermetamorfosa menjadi salah satu pusat pertumbuhan, dengan pasar Beringharjo menjadi tulang punggung

utama.

Selain perdagangan, sektor jasa pariwisata juga menjadi tumpuan ekonomi masyarakat. Keterbatasan potensi sumber daya alam, dan adanya potensi dari sektor pariwisata berakibat banyak industri kreatif serta menawarkan jasa pariwisata mejadi pilihan sebagian masyarakat. Potensi pariwisata Kota Jogja tidak hanya menawarkan aspek sejarah semata, dalam hal ini adalah Keraton dan sekitarnya, meskipun tidak dipungkiri bahwa sejak dulu itulah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Perkermbangan sektor pariwisata menjadi penopang ekonomi masyarakat Jogya. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisasata, mulai dari pedagang kecil, sentra oleh-oleh baik berupa makanan hingga barang seni, yang tentunya merupakan hasil karya masyarakat. Industri kuliner juga berkembang dengan cepat, banyak masyarakat yang mencoba mengadu nasib dengan menjadi pedagang makanan, baik yang skala besar semodel restoran, warung kaki lima yang memiliki rasa restoran dengan harga kaki lima, hingga warung angkringan yang menawarkan nuansa lain untuk menikmati makanan.

Selain bisnis kuliner dan warung makan, bisnis lain yang berkembang seiring dengan perkembangan sektor pariwisata adalah sentra oleh-oleh. Gudeg memang menjadi salah satu makanan khas dari Jogja, namun makanan lain juga bisa menjadi buah tangan yang manis bagi para saudara di rumah. Salah satu oleh-oleh khas dari Jogja adalah Bakpia. Bakpia merupakan hasil olahan dari tepung terigu sebagai kulit luar dan diisi dengan berbagai macam rasa. Awalnya hanya ada bakpia dengan rasa original yaitu kacang hijau, namun dengan perkembangan jaman, sekarang sudah banyak variasai rasa antara lain coklat, keju, nanas dan lain sebagainya. Bakpia dipanggang dengan tungku kayu

Yogyakarta, kota yang identik dengan Malioboro, Kraton, UGM, Sri Sultan HB X, Pantai laut selatan serta banyak lagi. Kota Yogyakarta merupakan bagian dari daerah administratif Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta berada di tengah-tengah Provinsi DIY,

dengan pusat pemerintahan berada di daerah Umbulharjo. Luas administrasi Kota Yogyakarta adalah 32,5 Km2 yang terbagi menjadi 14 Kecamatan dengan 45 Desa. Secara geografis Kota Yogyakarta terletak di antara dataran lereng aliran Gunung Merapi dengan kemiringan

me

lihat

dar

i de

kat

D.I YogyakartaKota Berhati Nyaman

sumber: www.wikipedia.org

Page 14: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan12

sederhana. Awal mula pabrik bakpia adalah di daerah “pathuk” oleh karena itu lebih terkenal dengan nama “bakpia pathuk”. Namun sekarang sudah banyak pabrik bakpia yang muncul dengan menawarkan berbagai varian rasa sehingga tinggal selera konsumen saja untuk memilih jenis bakpia yang diinginkan.

Perkembangan Yogyakarta yang terjadi secara cepat dalam 5-10 tahun terakhir berakibat pada semakin sedikitnya lahan terbuka hijau yang berubah menjadi hotel dan apartemen. Tingginya permintaan perumahan mendorong semakin banyaknya pemilik modal untuk membangun perumahan. Perkembangan ini harus bisa diantisipasi oleh pemangku kepentingan dengan berbagai regulasi untuk melindungi ruang terbuka hijau. Mekanisme pengendalian ini dapat menggunakan Rencana Tata Ruang Wilayah. Rencana Pembangunan Kegiatan Sektor Tata Ruang merupakan bagian dari pengaturan tentang kestabilan daya dukung dan daya tampung lahan dalam mewadahi kegiatan pembangunan melalui kegiatan Penataan Tuang (Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang), yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat maupun individual.

Peningkatan kebutuhan akan ruang untuk tempat tinggal bagi mahasiswa maupun pelajar dari luar daerah merupakan stimulasi bagi upaya optimalisasi pemanfaatan ruang yang ada maupun perluasan bangunan untuk dapat menangkap peluang atas tingginya permintaan akan tempat tinggal sementara tersebut. Selain itu perkembangan pariwisata di Yogyakarta mendorong munculnya dan berkembangnya usaha-usaha penunjang kepariwisataan, biro perjalanan, perhotelan maupun industri kecil dan kerajinan. Perkembangan tersebut menyebabkan berbagai dinamika pemanfaatan ruang yang menampung aktivitas yang terlibat dalam bidang kepariwisataan. Perkembangan penduduk yang diwarnai migrasi lebih besar dibanding pertumbuhan alami mengindikasikan terjadinya peningkatan kepadatan bangunan baik sebagai tempat tinggal maupun untuk melakukan aktivitas. Peningkatan kepadatan penduduk dapat mendorong munculnya lapangan kerja baru bagi formal maupun informal.

Keberadaan kampus sebagai stimulus perkembangan kawasan. Mahasiswa memerlukan pelayanan untuk tempat tinggal, makan, transportasi maupun jasa lain yang berkaitan dengan kelancaran studi, sehingga hal tersebut membuka peluang bagi warga kota Yogyakarta untuk dapat menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat kampus yang pada akhirnya intensitas pemanfaatan ruang di sekitar kampus makin efisien, kepadatan bangunan semakin tinggi. Karakter permukiman di sekitar kampus sebagai berfungsi ganda artinya fungsi rumah tinggal tetapi secara ekonomi merupakan aktivitas pelayanan yang merupakan pendapatan bagi pemilik rumah. Dampak positif perkembangan tersebut

meningkatkan pendapatan warga kota yang dapat memanfaatkan peluang dari adanya aktivitas pendidikan dengan menyediakan ruang untuk keperluan tempat tinggal maupun pelayanan yang lain. Sedangkan bagi pemerintah kota keberadaan kampus dapat merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah melalui retribusi maupun pajak dari pemanfaatan lahan. Sedangkan dampak negatifnya antara lain perkembangan pemanfaatan yang tidak terkendali menimbulkan berbagai kerawanan kota, khususnya penurunan kualitas lingkungan hidup.

Perbedaan pola perkembangan kawasan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat ketersediaan lahan antara pusat kota dengan pinggiran. Kawasan pusat kota pada umumnya perkembangan ruang bersifat vertikal sedangkan pinggiran kota sifat perkembangannya adalah horisontal. Pemanfaatan ruang di pusat kota atau sekitar kawasan Malioboro relatif lebih stabil dibandingkan dengan kawasan pinggiran kota. Hal itu disebabkan antara lain pemanfaatan di pusat kota sudah cukup optimal, sedangkan di pinggiran masih relatif labil karena ketersediaan lahan dan intensitas pemanfaatan yang lebih rendah. Kawasan tengah atau pusat kota secara umum tidak terjadi perubahan pemanfaatan ke non perumahan yang merupakan salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan penduduk negatif. Selain itu perubahan yang terjadi adalah adanya pergantian pemanfaatan jenis usaha, tetapi masih dalam kategori perdagangan dan jasa.

Yogyakarta sekarang ini berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru yang ditopang oleh sektor pariwisata dan pendidikan. Perkembangan ini berimplikasi negatif terhadap ketersediaan ruang terbuka yang semakin terbatas karena bertambahnya jumlah penduduk, baik yang menetap maupun hanya sementara. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan meningkatnya pertumbuhan hunian. Meningkatnya apartemen untuk tempat tinggal para mahasiswa dan munculnya hotel di hampir segala penjuru kota adalah akibat dari meningkatnya permintaan dari para wisatawan yang akan menikmati kota ini. Jumlah penduduk yang semakin besar mendorong semakin besar pula kebutuhan masyarakat, kebutuhan yang semakin besar ini menjadi celah bagi para investor untuk berkembangnya pusat perbelanjaan. Perkembangan Yogyakarta memang menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Banyak faktor yang menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menikmati kota ini. Pengendalian Tata Ruang harus menjadi fokus utama para pemangku kepentingan untuk mengendalikan perkembangan Kota Yogyakarta dan daerah di sekitarnya. Hal ini penting agar tetap menjaga kota ini tetap “Berhati Nyaman” dan tidak berubah menjadi “Yogya Berhenti Nyaman”

Salah satu apartemen di daerah Yogyakarta, sumber: http://studentparkhotel.com

Page 15: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 13

dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang digunakan sebagai acuan pembangunan, baik di Pusat maupun Daerah. Sehubungan dengan itu, penting agar arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW diintegrasikan ke dalam RPJM, sehingga menjadi acuan pembangunan dan diimplementasikan.

Pemerintah Pusat telah mulai melakukan integrasi tersebut melalui pendekatan pembangunan berbasis kewilayahan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yang kemudian dilanjutkan pada RPJMN 2015-2019. Produk dari integrasi kedua dokumen tersebut adalah Buku III RPJMN 2010-2014 dan RPJMN 2015-2019.Proses integrasi ini juga perlu dilakukan di Daerah dengan mengacu pada proses yang terjadi di Pusat.

Mengingat pentingnya integrasi antara rencana tata ruang dan rencana pembangunan di daerah, sementara saat ini belum ada pedoman yang dapat menjadi acuan pelaksanaan integrasi tersebut, maka Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas menyelenggarakan kegiatan penyusunan “Materi Teknis Pedoman Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan” pada bulan Februari – Juni 2015. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengambil 3 (tiga) provinsi sebagai wilayah studi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Gorontalo.Tulisan ini disusun berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari hasil kajian di tiga provinsi tersebut dan diskusi dengan beberapa narasumber.

DASAR HUKUM PERENCANAAN

Pentingnya integrasi antara dokumen rencana tata ruang dengan dokumen rencana pembangunan telah diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

Di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, integrasi antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan diamanatkan pada Bab VI Pelaksanaan Penataan Ruang, yaitu pada Pasal 19 dan Pasal 20 Ayat (2) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 23 Ayat (2) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP); Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26 Ayat (2) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; serta Pasal 28 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Pada intinya, pasal-pasal tersebut menyebutkan bahwa: (1) penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), baik di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota; dan (2) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), baik di tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota, serta dalam mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor.

Perlunya integrasi tersebut dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam ketentuan “Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang”, khususnya pada Pasal 97 Ayat (2), dimana disebutkan bahwa pelaksanaan pemanfaatan ruang dilakukan melalui integrasi program yang dituangkan ke dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan rencana pembangunan tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di lain pihak, walaupun integrasi rencana tata ruang dan rencana pembangunan tidak disinggung dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), namun hal tersebut diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Sub-bab IV.1.5 dari RPJPN 2005-2025 menyebutkan bahwa “Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan”.

KETERKAITAN RTRWN DENGAN RPJMN

Keterkaitan antara RTRWN dan RPJMN diamanatkan dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada Pasal 20 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN dan RPJMN. Mengingat RTRWN merupakan rencana umum di tingkat nasional, maka tidak terlalu mudah untuk mengintegrasikan program-programnya ke dalam RPJMN. Sehubungan dengan itu, pengintegrasian RTRWN ke dalam RPJMN dapat didekati dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang memilki muatan lebih rinci. Sebagai contoh, terkait dengan Provinsi Jawa Timur, maka pengintegrasian RTRWN ke dalam RPJMN dapat didekati melalui Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Jawa-Bali dan RTR KSN Gerbangkertosusila.

Proses pengintegrasian RTRWN (melalui RTR Pulau/Kepulauan) ke dalam RPJMN, dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut ini:

• Tujuandankebijakan/strategidalamRTRPulau/Kepulauanmenjadi acuan dalam perumusan tujuan dan arah pengembangan wilayah per pulau dalam RPJMN;

• StrategioperasionalisasistrukturdanpolaruangRTRPulau/Kepulauan dirumuskan berdasarkan tujuan dan kebijakan/strategi dan menjadi acuan dalam perumusan arahan pemanfaatan ruang; dan

• ArahanpemanfaatanruangRTRPulau/Kepulauanmenjadiacuan

Art

ike

l

INTEGRASI RENCANA TATA RUANG DAN RENCANA PEMBANGUNAN

Gita Chandrika

PENDAHULUAN

Saat ini, sebagian besar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sudah selesai disusun dan dilegalkan. Oleh karena itu, penting untuk menjadi perhatian bagaimana implementasi rencana tata ruang tersebut melalui pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di lain pihak, menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM),

Page 16: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan14

dalam perumusan program pembangunan per pulau dalam RPJMN.

Keintegrasian antara RTRWN (RTR Pulau/Kepulauan dan RTR KSN) dan RPJMN dituangkan di Buku III RPJMN. Secara lebih detil, keintegrasian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Agar lebih jelas, berikut ini diberikan contoh pengintegrasian RTRWN dengan RPJMN 2015-2019 untuk pengembangan wilayah Maluku. Seperti yang telah dijelaskan di atas, tujuan RTR Kepulauan Maluku menjadi acuan dalam perumusan tujuan dan arah pengembangan wilayah Maluku dalam RPJMN 2015-2019. Sebagai contoh, salah satu tujuan dalam RTR Kepulauan Maluku adalah “lumbung ikan nasional yang berkelanjutan”. Tujuan tersebut menjadi acuan dalam perumusan arah pengembangan wilayah Kepulauan Maluku dalam RPJMN 2015-2019, yaitu “Produsen makanan laut dan lumbung ikan nasional”. Terlihat bahwa perumusan arah (tema) pengembangan wilayah Maluku dalam RPJMN 2015-2019 tidak menggunakan redaksi yang sama persis dengan tujuan dalam RTR Kepulauan Maluku, namun memiliki esensi yang sama. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 1.

INTEGRASI RENCANA TATA RUANG DAN RENCANA PEMBANGUNAN DI DAERAH

Pada tahun 2015 Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan melaksanakan kegiatan penyusunan “Materi Teknis Pedoman Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan”.Dalam melakukan penyusunan materi teknis tersebut dilakukan

kajian ke 3 (tiga) daerah, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Gorontalo.Kunjungan lapangan ke 3 (tiga) daerah dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk menjaring masukan awal mengenai upaya sinkronisasi (integrasi) rencana tata ruang dan rencana pembangunan yang telah dilakukan daerah serta menginventarisasi kendala yang dihadapi oleh daerah. Hasil kunjungan lapangan tahap pertama ini digunakan sebagai masukan untuk menyusun materi teknis Pedoman Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan yang kemudian diuji coba penerapannya pada kunjungan lapangan kedua. Uji coba penerapan pedoman tersebut dilakukan di 3 (tiga) provinsi wilayah studi (Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Gorontalo) dengan mengundang berbagai SKPD terkait.

Dari hasil kunjungan lapangan terlihat bahwa Daerah sudah mencoba untuk melakukan integrasi RTRWP dengan RPJMD. Di Provinsi Sumatera Barat, upaya sinkronisasi dilakukan dengan menjadikan RTRWP sebagai acuan dalam implementasi pembangunan melalui pelayanan perizinan satu pintu dan pelaksanaan AMDAL. Segala bentuk kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRWP, tidak akan diberikan izin untuk dibangun. Demikian juga pelaksanaan AMDAL tidak dapat dilakukan bila kegiatan tersebut tidak sesuai dengan arahan dalam RTRWP. Di Provinsi Jawa Timur, upaya sinkronisasi RTRWP dan Rencana Pembangunan dilakukan melalui inisiatif Bappeda untuk memaparkan RPJPD, Draft 0 RPJMD (kajian teknokratik),

1 Sampai dengan tanggal 26 Mei 2015, sudah 25 dari 34 provinsi (73.5%), 329 dari 399 kabupaten (82.5%), dan 84 dari 93 kota (90.3%) telah melegalkan RTRW menjadi Perda.

Gambar 1 Integrasi di Tingkat Nasional antara RTRWN dan RPJMN, Sumber: Presentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Juni 2015

Page 17: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 15

dan RTRWP kepada bakal calon gubernur agar dijadikan acuan dalam perumusan visi dan misi para bakal calon gubernur tersebut pada saat kampanye. Selain itu, upaya sinkronisasi juga dilakukan melalui penetapan klaster-klaster dalam RPJMD untuk mengurangi disparitas wilayah dan menjembatani RTRWP dengan Rencana Pembangunan Daerah. Sementara di Provinsi Gorontalo, upaya integrasi antara RTRWP dengan Rencana Pembangunan Daerah dilakukan melalui koordinasi antar SKPD.

Pada kunjungan lapangan kedua, dilakukan uji coba penerapan pedoman sinkronisasi rencana tata ruang dan rencana pembangunan yang telah disusun. Dari uji coba penerapan pedoman sinkronisasi di tiga provinsi tersebut, ditemukan beberapa isu/ permasalahan terkait dengan sinkronisasi (integrasi) rencana tata ruang dan rencana pembangunan di daerah, sebagai berikut:

1. Sinkronisasi muatan antara Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan

a. Beberapa strategi rencana tata ruang belum terjabarkan secara jelas dalam tabel indikasi program RTRWP (Sumatera Barat dan Jawa Timur);

b. Beberapa program RTRWP ada yang tidak konsisten dengan kebijakan dan strategi RTRWP (Jawa Timur);

c. Belum sinkronnya program-program yang tertuang dalam RPJMD dengan program-program dalam RTRWP (Jawa Timur);

d. Belum seluruhnya muatan RTRWP diakomodir dalam RPJMD dan RKPD (Gorontalo);

e. Beberapa program dalam RKPD belum sinkron dengan program-program dalam RTRWP dan RPJMD.

2. Sinkronisasi nomenklatur antara Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan

a. Terdapat perbedaan nomenklatur antara RTRWP dan RPJMD dan RKPD (Sumatera Barat, Jawa Timur, Gorontalo).

3. Isu lainnya

a. Periodisasi pentahapan RTRWP yang tidak sinkron dengan periode RPJMD, sehingga mempersulit sinkronisasi kedua dokumen tersebut (Sumatera Barat, Jawa Timur, Gorontalo);

b. Adanya perbedaan muatan RTRWP-RPJMD mempersulit sinkronisasi, khususnya terkait kewenangan anggaran, di mana RPJMD hanya mencakup program/kegiatan yang

dibiayai oleh APBD Provinsi, sementara RTRWP mencakup semua rencana program/kegiatan di wilayah tersebut dari berbagai sumber anggaran. (Sumatera Barat)

c. Masih adanya kesulitan dalam membaca dokumen RTRWP oleh SKPD (Sumatera Barat, Gorontalo);

d. Belum sinkronnya kebijakan nasional-provinsi-kabupaten/kota (Jawa Timur).

ISU-ISU INTEGRASI RENCANA TATA RUANG DAN RENCANA PEMBANGUNAN

Sinkronisasi antara RTRW dan RPJMD sangat krusial karena dokumen RPJMD merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang bersifat implementatif dan merupakan penjabaran visi dan misi kepala daerah terpilih (KDH). Dengan terintegrasinya muatan RTRW ke dalam RPJMD, maka melalui pelaksanaan RPJMD, RTRW pun terimplementasikan. Dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, ada kecenderungan bahwa RPJMD disusun (hanya) berdasarkan visi, misi, dan program kepala daerah terpilih.RPJPD, apalagi RTRW, kurang dijadikan acuan dalam penyusunan RPJMD. Akibatnya, kedua dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang tersebut tidak terimplementasikan. Namun, hal tersebut sudah diantisipasi melalui UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan bahwa RPJPD harus menjadi pedoman dalam perumusan visi, misi, dan program calon kepala daerah (Pasal 265 Ayat 1). Sayangnya, RTRW tidak disebut dalam amanat tersebut. Namun demikian, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa RTRW menjadi pedoman dalam penyusunan RPJPD dan RPJMD. Dengan demikian, sebaiknya dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditegaskan bahwa perumusan visi, misi, dan program calon kepala daerah harus mengacu pada RPJPD dan RTRW yang ada.

Beberapa isu lain yang dapat diidentifikasi dalam melakukan integrasi rencana tata ruang dan rencana pembangunan daerah, adalah:

1. Periode perencanaan

Seringkali di daerah didapati bahwa dokumen RPJPD tidak memiliki periode perencanaan yang sama dengan RTRW. Periode perencanaan untuk RPJPD diatur harus sama dengan periode RPJPN, yaitu 2005-2025. Namun, tidak ada pengaturan

Tabel 1 Contoh Integrasi Tujuan RTRWN dan RPJMN 2015-2019 untuk Kepulauan Maluku

Sumber: Presentasi Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Juni 2015

Page 18: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan16

khusus untuk periode RTRW, sehingga umumnya periodenya mengikuti waktu penyusunannya. Demikian juga, periode RPJMD lebih dipengaruhi oleh pelaksanaan Pilkada yang dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adanya rencana pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia dapat dijadikan momentum untuk melakukan penyesuaian periode dan periodisasi pentahapan dari berbagai dokumen perencanaan tersebut dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten/kota, dan dari perencanaan jangka panjang ke perencanaan jangka menengah.

2. Prosedur penyusunan

Idealnya RTRW dan RPJPD sudah diintegrasikan sejak saat penyusunannya, misalnya melalui prosedur penyusunan yang parallel, sehingga dapat saling melengkapi, terintegrasi dan sinkron. Namun kenyataannya penyusunan RTRW dan RPJPD seringkali dilakukan secara terpisah oleh institusi yang berbeda, dalam waktu yang berbeda, serta menggunakan basis data yang berbeda pula.

3. Muatan

Saat ini muatan RPJPD dan RTRW tidak setara. RPJPD lebih bersifat arah kebijakan strategis, sementara RTRW mengatur sampai indikasi program utama selama 20 tahun, dengan 5 tahun pertama dijabarkan secara rinci untuk setiap tahun. Karena RTRW lebih rinci daripada RPJPD, berarti seharusnya lebih mudah untuk dioperasionalkan ke dalam RPJMD sesuai dengan periode waktu pelaksanaannya.

4. Legalitas

Dari sisi legalitas, RPJPD, RPJMD, dan RTRW memiliki kekuatan hukum yang setara, yaitu ditetapkan sebagai Peraturan Daerah, walaupun prosesnya penetapannya melalui prosedur yang berbeda. Penetapan RTRW harus melalui proses persetujuan substansi dalam forum BKPRN. Selain itu, evaluasi Raperda RTRW Kabupaten/Kota saat ini juga harus melalui proses konsultasi dengan Menteri Dalam Negeri yang kemudian berkoordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sementara tidak demikian halnya dengan proses evaluasi Raperda RPJMD. Walaupun sama-sama ditetapkan sebagai Perda, namun sebagai dokumen perencanaan jangka panjang, RPJPD dan RTRW memiliki hierarki yang lebih tinggi daripada RPJMD, sehingga penyusunan RPJMD harus mengacu pada (dan tidak boleh bertentangan dengan) RPJPD dan RTRW.

5. Nomenklatur

RPJPD, RPJMD, dan RTRW merupakan dokumen perencanaan daerah yang seharusnya saling melengkapi, terintegrasi, dan sinkron satu dengan lainnya. Atas dasar itu, seharusnya muatan dalam dokumen-dokumen tersebut menggunakan nomenklatur yang sama dan setara. Kenyataannya tidaklah demikian, terdapat perbedaan nomenklatur dalam perumusan program.Dalam penyusunan rencana pembangunan daerah, nomenklatur program dan kegiatan sudah distandarkan melalui Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dengan demikian, perumusan program dan kegiatan dalam RPJMD juga mengacu pada arahan yang diberikan pada Lampiran Permendagri No. 13 Tahun 2006, yaitu Kode dan Daftar Program dan Kegiatan menurut Urusan Pemerintahan Daerah.Sementara perumusan program dan kegiatan dalam RTRW tidak diatur secara khusus, sehingga lebih bebas.

Selain isu-isu tersebut di atas, dari hasil kajian ke daerah, terlihat adanya beberapa isu tambahan lain yang juga berpengaruh

terhadap upaya pengintegrasian dokumen rencana tata ruang dan dokumen rencana pembangunan, yaitu:

1. Kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat pelaku pengintegrasian.

Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke 3 wilayah studi, diketahui bahwa kualitas SDM terkait upaya sinkronisasi RTRW dan RPJPD maupun RPJMD masih belum memadai. Adanya rotasi/mutasi pegawai yang kurang sesuai dengan kompetensi, menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kondisi kualitas SDM di daerah. Hal ini menjadi salah satu isu penting dalam upaya pengintegrasian, mengingat bahwa SDM aparat pelaku merupakan subjek utama dalam proses pengintegrasian yang menentukan kualitas proses dan produknya.

2. Lembaga koordinasi dalam upaya sinkronisasi (integrasi)

Dari hasil kajian di daerah, diketahui bahwa BKPRD berum berperan secara optimal dalam mengupayakan integrasi antara RTRW dengan RPJPD dan RPJMD. Fokus BKPRD sejauh ini lebih pada membahas permasalahan penyelenggaraan penataan ruang. Selain itu, sektor-sektor juga belum melihat pentingnya sinkronisasi antara RTRW dan Rencana Pembangunan. Sektor-sektor lebih mengedepankan program masing-masing sektor sesuai dengan rencana sektor dan Rencana Strategis (Renstra) SKPD. Belum optimalnya peran BKPRD dan masih adanya ‘ego sektoral’ dapat menjadi penghambat dalam upaya pengintegrasian RTRW dan RPJMD.

3. Aspek politis dalam pengambilan keputusan

Terhambatnya implementasi RTRW, RDTR (Rencana Detil Tata Ruang), maupun RPJMD karena proses politis dalam pengambilan keputusan oleh legislatif (DPRD), juga dapat menjadi penghambat integrasi. Misalnya, suatu program sesuai RTRW yang seharusnya diimplementasikan pada periode RPJMD berjalan, ternyata tidak disetujui oleh anggota dewan.

BEBERAPA LANGKAH YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENGATASI PERSOALAN KEINTEGRASIAN RENCANA TATA RUANG DAN RENCANA PEMBANGUNAN

1. Pada Tingkat Pemerintah Pusat

a. Sinkronisasi periodisasi waktu

Ditetapkannya pelaksanaan Pilakada serentak pada akhir tahun 2015, melalui pengesahan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, dapat dijadikan momentum untuk melakukan proses penyelarasan periodisasi waktu antara pentahapan dalam RTRW dengan periode RPJMD di

sumber: www.metrosulawesi.com

Page 19: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 17

seluruh Indonesia. Dengan adanya Pilkada serentak, maka periode RPJMD di wilayah-wilayah yang melakukan Pilkada serentak akan sama, sehingga periodisasi pentahapan dalam RTRW dapat diselaraskan dengan periode RPJMD hasil Pilkada serentak tersebut untuk memudahkan sinkronisasi. Agar memiliki kekuatan hukum, proses penyelarasan tersebut perlu dituangkan dalam kerangka legal, misalnya dalam bentuk Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria & Tata Ruang, dan Menteri PPN/Bappenas. Ke depannya, bila Pilkada serentak telah dilaksanakan di seluruh Indonesia, maka hal tersebut dapat menjadi momentum untuk menyelaraskan periodisasi waktu antara perencanaan jangka panjang dan perencanaan jangka menengah (RTRW dan RPJMD), serta perencanaan di tingkat nasional-provinsi-kota/kabupaten. Sementara menunggu hal tersebut, saat ini untuk mempermudah upaya sinkronisasi dapat dilakukan melalui penyelarasan waktu Peninjauan Kembali (PK) RTRW dengan periodisasi RPJMD,

b. Memasukkan RTRW dalam pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang)

Untuk menjamin bahwa sinkronisasi antara RPJMD dengan RTRW benar-benar terlaksana, maka RTRW juga harus dimasukkan dalam pembahasan di musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) baik dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional. Saat ini, rencana dan anggaran (renggar) hanya mencakup rencana pembangunan (RPJP-RPJM-RKP) saja, belum memasukkan rencana tata ruang (RTRW). Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya sinkronisasi yang diawali dari proses perumusan sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional (musrenbang nasional). Langkah awal yang ditempuh adalah dengan mengintegrasikan aspek penataan ruang dalam format sistem Usulan Kegiatan dan Pendanaan Pembangunan Daerah (UKPPD) yang bersifat dua arah (top-down dan bottom-up) dari nasional, provinsi, serta kabupaten/kota. Upaya ini dapat ditangani oleh Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab langsung dalam proses perencanaan pembangunan secara nasional, yaitu Kementerian PPN/Bappenas.

c. Penyusunan pedoman sinkronisasi (integrasi)

Materi Teknis Pedoman Sinkronisasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan yang telah disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas dapat ditindaklanjuti, misalnya dengan melakukan pembahasan rancangan pedoman sinkronisasi dalam forum BKPRN yang kemudian diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya yang diperlukan, sehingga akhirnya pedoman tersebut dapat ditetapkan menjadi suatu peraturan yang berkekuatan hukum tetap. Mengingat bahwa proses penetapan pedoman menjadi suatu peraturan yang berkekuatan hukum membutuhkan waktu yang tidak singkat, maka selama proses penetapan tersebut, perlu disusun Surat Edaran Bersama (SEB) antar Menteri BKPRN terkait penataan ruang (yaitu: Menteri ATR, Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam Negeri) sebagai acuan sementara bagi Daerah dalam upaya sinkronisasi.

d. Peningkatan kualitas SDM dan penguatan BKPRD

Dalam mendukung integrasi Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan, perlu dilakukan upaya-upaya:

- Peningkatan kualitas SDM yang berkompeten dalam menangani upaya sinkronisasi antara RTRW dengan

RPJPD dan RPJMD melalui kegiatan pelatihan atau bimbingan teknis;

- Penguatan badan koordinasi penataan ruang di daerah (BKPRD) dalam memfasilitasi koordinasi antar SKPD, khususnya dalam melakukan sinkronisasi rencana tata ruang dan rencana pembangunan, termasuk rencana sektor.

2. Pada Tingkat Pemerintah Daerah

Beberapa langkah yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah dalam upaya sinkronisasi adalah sebagai berikut:

a. Upaya sinkronisasi antara RTRW-RPJPD-RPJMD dilakukan sejak proses Pilkada, dimana BKPRD mempresentasikan RTRW dan RPJPD kepada para calon KDH, sehingga mereka menggunakannya sebagai acuan dalam merumuskan visi-misi mereka saat kampanye. Namun, upaya ini perlu diperkuat melalui regulasi berkekuatan hukum tetap. Sebagai contoh, kewajiban para calon KDH merumuskan visi-misinya dengan mengacu pada RPJPD telah diatur dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal yang sama dapat dilakukan untuk RTRW. Dalam hal ini Kemendagri, sebagai pembina Pemerintah Daerah, memegang peran yang strategis.

b. BKPRD perlu melakukan sosialisasi dokumen tata ruang (RTRW) kepada stakeholder terkait penataan ruang (SKPD, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi masyarakat). Upaya ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pemahaman stakeholder terhadap dokumen tata ruang, sehingga mereka dapat lebih memahami substansi yang terkandung di dalamnya.

c. BKPRD mengadakan pelatihan/bimbingan teknis kepada SKPD mengenai RTRW, sinkronisasi RTRW ke dalam perencanaan sektor, serta sinkronisasi RTRW ke dalam RPJMD.

d. BKPRD memfasilitasi pelaksanaan sinkronisasi antara rencana tata ruang dan rencana pembangunan dalam bentuk workshop atau forum diskusi.

tah

uk

ah

an

da PPNS Penataan Ruang merupakan tombak pelaksana

penegakan hukum di bidang penataan ruang, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Keberadaan PPNS Penataan Ruang sangat diperlukan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Sejak tahun 2009 Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal Penataan Ruang bekerja sama dengan POLRI telah mendidik dan melatih para pejabat dan staf professional yang membidangi penataan ruang.

Sejak tahun 2011, penyelenggaraan penataan ruang memasuki babak baru terkait dengan pemanfaatan ruangnya. Untuk dapat mewujudkan tertib hukum pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang telah diundangkan baik ditingkat pusat maupun di daerah, diperlukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang konsisten. Oleh karena itu, PPNS penataan ruang sangat diperlukan, terutama dalam rangka penegakan sanksi hukum bidang penataan ruang terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).

Page 20: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan18

pembangunan seiring dengan perubahan tata kelola pemerintahan tersebut masih belum banyak mengubah struktur ketimpangan wilayah, telah memacu degradasi lingkungan, dan memperlemah kohesi sosial. Ketiga, ada peningkatan terhadap kebutuhan pengembangan wilayah namun sebatas fungsinya yang secara retoris didefinisikan sebagai perencanaan pembangunan sosial-ekonomi. Namun, praktiknya seringkali mengabaikan isu ekologi dan sektor publik dalam berpartisipasi dalam perencanaan pendistribusian aktivitas mereka sebagai “publik”. Dua kecenderungan ini yang lebih banyak mendominasi wacana pembangunan wilayah baik dalam skala lokal, kabupaten, provinsi dan nasional. Bahkan lebih jauh lagi (Rydin, 1993) menjelaskan bahwa saat ini perencanaan wilayah dibentuk oleh “anarki pasar”.

Terdapat dua tantangan terbesar dalam melakukan perencanaan wilayah yaitu:

1. Dalam mengembangkan proses partisipasi aktif dari publik dalam perencanaan. Partisipasi publik bukan hanya permasalahan kemauan tetapi kemampuan, maka Pierce dalam Armin (2003) menyatakan bahwa pengetahuan haruslah tidak subjektif, terisolasi, melainkan harus dapat dicapai secara sosial, intersubjektif dan melalui pengembangan proses publik. Namun hal tersebut membutuhkan dua prasyarat yaitu a) masyarakat harus memiliki tingkat pengetahuan akan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, b) masyarakat memiliki tingkat kesadaran politik yang memadai dan kehendak berpartisipasi dalam politik.

2. Tantangan kedua adalah pada tingkat praksis. Sebuah perencanaan wilayah memiliki peran untuk manajemen konflik dalam penataan ruang sekaligus mempromosikan kualitas tertentu pada ruang. Dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang memiliki misi untuk (i) mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Kualitas ruang merupakan hasil konsensus

dari para aktor. Oleh karena itu, perencanaan harus dapat dimaknai dengan keselarasan kinerja sosial budaya masyarakat dengan kelestarian lingkungannya. Pada proses perencanaan harus dapat mempertimbangkan modal sosial (social capital) dan sumber daya bersama (common pool of resources) untuk dikelola secara berkelanjutan.

Hubungan Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang Perencanaan tata ruang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pembangunan fisik, pembangunan ekonomi dan pembangunan wilayah lainnya yang tetap terpengaruh oleh proses pembangunan ekonomi maupun sosial. Selain permasalahan legalitas, rencana tata ruang juga perlu mengidentifikasi permasalahan yang ada di lembaga publik,khususnya pemanfaat ruang terbesar (sektor) dan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda).

Diharapkan dengan adanya keterpaduan antara proses perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan maka proses pemaduserasian ini tidak hanya berhenti pada rencana makro saja (RTRW), namun ditindaklanjuti pada tahapan yang lebih detail lagi seperti Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR/RTBL), maupun zoning regulation pada kawasan-kawasan strategis tertentu, sehingga produk rencana yang ada benar-benar dapat dilaksanakan dan mudah dioperasionalkan oleh pelaku pemanfaatan ruang maupun oleh pelaku pengendalian tata ruang. Misalnya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan ada indikasi program utama jangka menengah dan jangka panjang dengan rentang waktu/periodisasi RTRWN menjadi pedoman bagi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Demikan pula untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi/Kabupaten/Kota terdapat indikasi program menengah dan panjang yang akan menjadi acuan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Indikasi program inilah yang dalam pembangunan dilaksanakan oleh sektor dan didanai (baik APBN maupun APBD).

Mengapa Perencanaan WilayahSaat ini ilmu perencanaan wilayah berkembang dan berupaya menjadi jawaban dari berbagai persoalan kewilayahan yang terjadi. Dalam konteks Indonesia terdapat tiga hal utama yang menjadi permasalahan dalam perencanaan wilayah. Pertama, terjadi peningkatan yang nyata atas peran dan otoritas pemerintah daerah atau elite daerah seiring dengan perubahan dalam pengelolaan negara seperti desentralisasi dan otonomi daerah. Namun perubahan ini belum mengubah paradigma Keynesian yang dianut oleh para perencana profesional dan birokrasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua, perencanaan

ringkas buku:

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

Rin

gkas

Buk

u

Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim dan Dyah R. Panuju

Page 21: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 19

dan siapa indikator pembangunan itu, dan bagaimana indikator pembangunan itu berguna untuk menyelesaikan permasalahan disparitas antar wilayah.

Bagian Keempat, menjelaskan tentang perhitungan sektor, sistem produksi dan spasial. Bagian yang diberi judul Keterkaitan Sektor, Sistem Produksi dan Spasial ini berusaha memberikan landasan perhitungan dalam analisis ekonomi wilayah seperti Teknik Analisis Input-Output dan sistem neraca Sosial Ekonomi, hal ini akan dikaitkan dengan interaksi spasial yang terjadi antarwilayah dan aspek-aspek kependudukan dan migrasi yang mempengaruhi sistem ekonomi wilayah. Bagian ini ditutup oleh isu keterkaitan desa-kota serta konsep agropolitan sebagai salah satu model untuk memperkecil disparitas desa-kota.

Bagian Kelima, merupakan bagian terakhir yang menjelaskan integrasi konsep perencanaan pembangunan dan penataan ruang. Di bagian yang diberi judul Perencanaan Pembangunan dan Penataan Ruang ini menjelaskan fungsi perencanaan sebagai alat pembelajar untuk perubahan sosial dan bagian dari perubahan sosial itu sendiri. Sebagai alat pembelajaran bagi perubahan sosial dijelaskan perencanaan sebagai suatu metode untuk menciptakan kesadaran sehingga perencanaan terkait erat dengan solidaritas sosial (modal sosial) dan perannya dalam mempertahankan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common property resources) dan sebagai kunci dalam pengaturan kelembagaan penataan ruang. Bagian Kelima diakhiri dengan pengertian, fungsi dan aktor pencipta modal sosial yang sekarang menjadi salah satu indikator pembangunan. [EY]

Cakupan Isi BukuBuku ini dibagi atas lima bagian besar yang meliputi teori-teori utama dalam ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah. Bagian Pertama, menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah. Bagian ini ditutup dengan mempertimbangkan paradigma baru dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.

Bagian Kedua, menjelaskan elemen-elemen yang menjadi penyusun ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah. Bagian ini menjelaskan konsep-konsep wilayah, analisis spasial, teori lokasi dan kelembagaan spasial. Bagian Kedua, mengajak kita masuk dan mengenali konsep wilayah dan ruang sebagai alat untuk mendeskripsikan perencanaan dan pengelolaan ruang. Konsep-konsep wilayah dijabarkan disini untuk memudahkan kita memasuki bagian analisis atas wilayah/spasial. Teori-teori utama dalam analisis spasial seperti Von Thunen, Weber, Isard, dan mazhab neoklasik diperkenalkan dalam analisis spasial ini. Teori-teori inilah yang merupakan instrumen untuk menjawab permasalahan klasik sampai kontemporer isu-isu spasial dan pengorganisasiannya seperti sistem produksi pertanian dan sistem industri.

Bagian Ketiga, menjelaskan pengertian pengembangan wilayah dan teori-teori yang mendasarinya. Di bagian ini dijelaskan pergeseran-pergeseran dalam paradigma pembangunan dan isu-isu utama dalam pembangunan berkelanjutan serta peranan aktor-aktor pembangunan terutama dalam Dunia Ketiga. Bagian yang diberi judul Pengembangan Wilayah ini juga memuat masalah indikator pembangunan dan proses penciptaannya.Untuk apa

www.tataruangpertanahan.com

Page 22: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan20

So

sia

lis

as

i P

era

tura

n

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta perubahannya (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012)

Pengaturan Pengadaan Tanah

Hak dasar dari setiap orang adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan mengenai tanah ini, tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Tanah pada dasarnya memiliki 2 arti yang sangat pentng dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Tanah sebagai social asset adalah

sebagai sarana pengikat kesatuan di kalangan lingkungan sosial untuk kehidupan dan hidup, sedangkan tanah sebagai capital asset adalah sebagai modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting seklaigus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.Tanah merupakan sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara dan rakyat, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dijelaskan bahwa segala kekayaan alam dikuasai oleh negera. Kewenangan negara ini diatur kembali dalam Pasal 2 UUPA yang mencakup, antara lain: (1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, dan (2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital asset semakin meningkat, disebabkan banyaknya pembangunan di bidang fisik baik di kota maupun didesa. Dan pembangunan seperti itu membutuhkan banyak tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah bagi proyek, baik untuk kepentingan negara/kepentingan umum maupun untuk kepentingan bisnis.Keterbatasan tanah dan banyaknya pembangunan menyebabkan pergesekan. Manakala disatu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat permukiman dan tempat mata pencariannya. Untuk itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum. Dan untuk memperoleh tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah.

Oleh karena itu, proses pembebasan atau pengadaan tanah telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta peraturan turunannya seperti Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 telah mengalami perubahan yaituPeraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, serta yang terakhir Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pengaturan umum dari Perpres 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.Perpres 71 tahun 2012 ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil.Hal-hal pokok yang diatur dalam Perpres tersebut, antara lain: Keharusan setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, untuk menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang antara lain memuat tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah dan perkiraan nilai tanah, dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada:

- Pembentukan Tim Persiapan oleh Gubernur, yang beranggotakan Bupati/Walikota, SKPD Provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah dan instansi terkait lainnya,

- Ketentuan dan tata cara pelaksanaan konsultasi publik dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak pembangunan secara langsung, untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan;

- Keharusan bagi Gubernur untuk membentuk Tim Kajian Keberatan sebelum mengeluarkan penetapan lokasi pembangunan;

- Penyelenggaraan pengadaan tanah oleh Kepala BPN dalam pelaksanannya dilaksanakan oleh Kepala kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah;

- Tata Cara pengadaan tanah oleh pelaksana pengadaan tanah;

- Pengaturan pemberian ganti kerugian yang dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan sahan atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak;

- Pengaturan ganti kerugian dalam keadaan khusus, yaitu meliputi pengaturan dimana sejak ditetapkannya lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada pelaksana pengadaan tanah; dan ketentuan bahwa pelaksana pengadaan tanah dapat memprioritaskan atau mendahulukan pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang membutuhkan pemberian ganti kerugian dalam keadaan mendesak, maksimal 25% dari perkiraan ganti kerugian berdasarkan NJOP tahun sebelumnya;

- Syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di pengadilan negeri, yaitu dalam hal adanya penolakan dari pihak yang berhak, padahal hasil musyawarah yang telah dilaksanakan, tidak ada keberatan sebelumnya; pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya; dan obyek pengadaan tanah menjadi obyek

Page 23: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 21

perkara di Pengadilan, masih disengketakan kepemilikannya, diletakkan sita, atau menjadi jaminan bank;

- Penegasan bahwa obyek pengadaan tanah yang telah dititipkan di Pengadilan Negeri dan obyek tanah yang telah diberikan ganti kerugian, maka hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan tanahnya menjadi putus;

- Pengqturan sumber pendanaan pengadaan tanah yang berasal dari APBN dan/atau APBD;

- Ketentuan yang memungkinkan pemberian insentif perpajakan kepada pihak yang berhak, yang mendukung penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dan tidak melakukan gugatan atas putusan penetapan lokasi dan putusan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;

- Pengaturan kembali bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Selain pengaturan pokok di atas, Perpres ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum secara tegas dan konkrit. Dalam Perpres itu ditegaskan, bahwa durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.

Perubahan Pasal

Perpres 40/2014 menambah pengaturan mengenai biayao perasional dan biaya pendukung bersumber dari APBN diatur dengan Permenkeu dan yang bersumber dari APBD diatur dengan Permendagri. Selain itu, pengaturan untuk pengadaan tanah skala kecil dengan luasan tidak lebih dari 5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

Pepres 99/2014 merupakan perubahan kedua Perpres 71/2012 terkait dengan pengaturan jasa penilai atau penilai public ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah berdasarkan hasil pengadaan jasa penilai yang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah. Pengadaan jasa penilai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah. Selain itu, pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dilakukan dalam mata uang rupiah. Pemberian ganti kerugian dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi ketua pelaksana pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk.

Selanjutnya perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 pada tanggal 17 Maret 2015. Dengan menerbitkan peraturan ini dapat memudahkan proses pembebasan lahan untuk fasilitas umum.

Dalam Perpres ini ditegaskan, bahwa instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus Pemerintah atau Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerinah non kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan

khusus Pemerintah dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum.Dalam Perpres ini disebutkan, pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dapat bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha selaku Instansi yang memerlukan tanah yang mendapat kuasa berdasarkan perjanjian, yang bertindak atas nama lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Selanjutnya pada Pasal 117A ayat (2) diterangkan bahwa Pendanaan Pengadaan Tanah oleh Badan usaha sebagaimana dimaksud dibayar kembali oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota melalui APBN dan/atau APBD setelah proses pengadaan tanah selesai. Sementara di ayat selanjutnya disebutkan, pembayaran kembali sebagaimana dimaksud dapat berupa perhitungan pengembalian nilai investasi.Nantinya, pendanaan Pengadaan Tanah oleh Badan Usaha akan dibayar kembali oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota melalui APBN dan/atau APBD. Proses pembayarannya sendiri dilakukan setelah pengadaan tanah selesai.

Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 ini juga menyisipkan Pasal 123B di antara Pasal 123A dan 124, yang berbunyi sebagai berikut (ayat 1): proses Pengadaan Tanah yang belum selesai berdasarkan Pasal 123 dan Pasal 123A (31 Desember 2015) tetapi telah mendapat Penetapan Lokasi pembangunan atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama lain yang dimaksudkan sebagai Penetapan Lokasi pembangunan, proses Pengadaan Tanah dapat diselesaikan berdasarkan tahapan sebagaimana diayur dalam Peraturan Presiden ini. Selanjutnya, pada pasal 123B ayat 4 diatur jika penetapan lokasi SP2LP atau nama lain yang dimaksudkan sebagai Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud, diperbaharui untuk jangka waktu 2 (dua) tahun oleh Gubernur. Demikian bunyi Pasal 123B Ayat (4) Perpres Nomor 30 Tahun 2015 itu. Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan penyelesaian pengadaan tanah sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga dalam proses pembebasan tanah tidak akan terjadi lagi negosiasi yang alot. Sebab harga tanah yang akan dibebaskan harganya sudah ditentukan oleh pihak appraisal. Bagi pemilik yang setuju dengan harga tersebut maka tinggal menandatangani peretujuan dan menerima uang pengganti lahannya yang dibebaskan. Sedangkan yang tidak setuju dipersilahkan menyelesaikannya di pengadilan.Yang perlu diingat begitu diajukan ke pengadilan maka sertifikat langsung dicoret dari daftar di BPN. Pemilik lahan hanya memiliki hak menerima pengganti lahannya yang dibebaskan untuk kepentingan umum.Dengan cara ini proses pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur menjadi tidak bertele-tele. Para investor menjadi lebih pasti dalam merencanakan pekerjaan proyeknya.Salah satu pekerjaan yang selama ini sering terhambat pekerjaannya akibat lambannya pembebasan tanah adalah pembangunan jalan tol.

Dengan adanya Perpres yang baru ini diharapkan semua kendala tersebut bisa dihilangkan dan proses pembangunan bisa lebih cepat.Diharapkan dengan adanya Perpres No 30 tahun 2015 ini penyelesaiannya bisa lebih cepat karena hambatan pembebasan lahan tidak lagi dialami di lapangan.[SY,IK]

Sumber: Peraturan Presiden No.71 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 serta berbagai sumber (diolah).

Page 24: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan22

TRP in Frame

Direktur TRP dan seluruh staf berfoto bersama usai rakernas kedeputian pengembangan regional 29-31 Juli di Hotel Aston Bogor

Panitia dan Peserta Seminar Nasional Tanah Adat Ulayat berfoto bersama 17 September 2015 di Bidakara

Para direktur dan Bapak Deputi Pengembangan Regional menjadi panel saat Raker Kedeputian di Hotel Grand Kemang 9 Oktober 2015

Berfoto bersama jajaran Bappeda Propinsi Kalimantan Tengah seusai kegiatan Monitoring dan Evaluasi 6 Juni 2015

Menerima kunjungan Mahasiswa Geografi Universitas Indonesia ke Direktorat TRP 1 Desember 2015

Buka puasa bersama bulan Ramadhan, 10 Juli 2015

Page 25: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 23

Kli

pin

g B

eri

ta

Juli - Desember 2015

Di semester kedua tahun 2015 Indonesia dilanda bencana alam yang disebabkan oleh faktor kelalaian manusia, yakni kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Jawa, dan Maluku. Kebakaran paling

parah terjadi di Sumatera dan Kalimantan sampai bencana ini menjadi sorotan internasional. Setelah berhasil memodifikasi cuaca hujan buatan di sejumlah tempat dan atas bantuan negara lain, titik-titik api yang sempat menelan korban ini dapat dipadamkan. Di Ibukota, sedang hangat diperbincangkan persiapan pengembangan pulau-pulau reklamasi di daerah pantai utara Jakarta. Sampai dengan akhir tahun ini, langkah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah membuat detailnya seperti aturan untuk pembangunannya, bentuk pulau dan koordinatnya, serta rencana tata ruang wilayahnya.

JULIKementerian Dalam Negeri merumuskan ulang Desain Besar Penataan Daerah di Indonesia Tahun 2010-2025 yang berisi jumlah provinsi dan kabupaten/kota hingga tahun 2025. Dalam perumusan desain itu, pemerintah diharapkan memprioritaskan pembentukan provinsi dan kabupaten/kota baru di daerah perbatasan dengan negara lain, daerah kepulauan, dan wilayah pedalaman. Saat ini tercatat ada 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Perumusan ulang desain penataan daerah itu, penting untuk melihat kembali daya dukung setiap wilayah guna menentukan daerah yang bisa dimekarkan. Ini penting agar tak ada lagi daerah pemekaran yang gagal berkembang. Nantinya desain besar penataan daerah tersebut akan dirumuskan dalam peraturan pemerintah dan akan menjadi acuan dalam pemekaran atau penggabungan daerah. (Kompas, 21 Juli 2015)Dalam lima tahun ke depan, enam provinsi di Indonesia menargetkan penurunan laju deforestasi sekitar 80 persen, dari rata-rata 343.749 hektar per tahun pada 2001-2009 menjadi 64.749 hektar per tahun. Keenam provinsi tersebut yakni Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua Barat, dan Papua. Sebagai langkah awal melaksanakan komitmen itu, enam provinsi tersebut kini merancang rencana aksi antara lain untuk melihat kembali tata ruang dan perizinan.”Untuk pelaksanaannya, perlu penertiban agar tak ada lagi kegiatan yang tumpang tindih. Regulasinya dilihat lagi, disinkronkan dan disesuaikan dengan fakta di lapangan,” ujar Gubernur Kalimantan Barat Cornelis. (Kompas, 30 Juli 2015)AGUSTUS

Bentrokan antara personel TNI Angkatan Darat dan petani Urut Sewu di Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit, Kebumen, Jawa Tengah, Sabtu (22/8) siang, amat disesalkan. Pemerintah pusat diminta turun tangan karena pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak mengingat ranah konflik itu menyangkut TNI. Sengketa tanah itu terjadi sejak 2009. Tanah sengketa mencakup wilayah sepanjang 22,5 kilometer pada 15 desa di Kecamatan Mirit, Ambal, dan Buluspesantren. TNI mengklaim kawasan itu wilayah pertahanan dan keamanan sehingga dijadikan area latihan perang. Adapun petani mengklaim tanah itu dengan bukti letter C dari desa. (Kompas, 23 Agustus 2015) Proses pembebasan lahan untuk proyek kereta massal cepat atau MRT dipercepat. Pekan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membebaskan tiga bidang lahan dan 30 bidang lainnya menyusul dalam waktu dekat. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengucapkan terima kasih kepada para pemilik lahan yang sudah bersedia merelakan tanahnya dibebaskan untuk proyek ini. “Saya tahu lahan ini dipakai untuk tempat usaha. Saya sangat menghargai warga yang mau membebaskan lahannya. Pembangunan memang butuh pengorbanan,” tutur Basuki saat bertemu dengan perwakilan warga di Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. (Kompas, 29 Agustus 2015)SEPTEMBERRencana revitalisasi rel angkutan barang dari dan ke Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, masih terkendala lahan. Lahan milik PT Kereta Api Indonesia yang berada di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, ditinggali 130 kepala keluarga, dan sebagian di antaranya memiliki sertifikat hak milik. Revitalisasi jalur rel ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman antara PT Pelindo III, PT KAI, Kementerian Perhubungan, dan Pemprov Jawa Tengah. “Bagi warga yang sudah menempati lahan itu sejak dulu, kami akan memberikan uang pembongkaran, bukan ganti rugi sebagaimana proyek jalur ganda yang membeli lahan milik warga. Namun, bagi yang memiliki sertifikat masih kami selidiki sebab tanah itu merupakan milik PT KAI, kami memiliki ground card (bukti kepemilikan lahan pada zaman penjajahan Belanda),” ujar Manajer Humas PT

sumber: www.sinarharapan.co

Page 26: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan24

Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional IVSupriyanto. (Kompas, 02 September 2015)Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) sepakat membentuk panitia kerja (panja) penyelesaian sengketa pertanahan dan tata ruang yang terus terjadi. Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/9), mengatakan, konflik pertanahan kerap memicu konflik sosial sehingga mengganggu keamanan. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan mengapresiasi pembentukan panja tersebut. Ferry juga sudah menginstruksikan jajarannya agar masalah pertanahan segera diatasi. ”Umur permasalahan sengketa lahan ini banyak yang sudah bertahun-tahun. Harus ada jalan keluarnya. Bahkan, harus diupayakan tanpa harus melibatkan pengadilan,” kata Ferry. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik lahan naik dari 180 kasus tahun 2013 menjadi 185 kasus tahun 2014. (kompas, 23 September 2015)Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung atas dua peraturan tingkat kementerian yang didesain mempercepat penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. Langkah itu disayangkan karena penyelesaian konflik pertanahan di hutan perlu terobosan.Dijelaskan, dari sisi legalitas, peraturan bersama itu (Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional) dinilai lemah dan menabrak perundangan, di antaranya UU No 41/1999 tentang Kehutanan mengatur perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Bersama.”Kami bukan tidak setuju semangat dalam Peraturan Bersama. Tapi, caranya yang menurut kami berpotensi menimbulkan chaos,” kata Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif APHI (Kompas, 29 September 2015)OKTOBERWacana penyatuan wilayah Jakarta, Depok, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) dinilai sebagai kontribusi positif pemerintah untuk menyetarakan kualitas hidup warganya.Jika penyatuan Jabodetabek ini masuk ranah pertanahan, maka teknisnya akan lebih baik lagi. Pemerintah bisa melakukan aglomerasi, atau penyatuan

secara fungsional daerah tersebut. Ke depannya, tidak ada lagi administrasi kota sebagai bagian terpisah. Dengan begitu, pembangunan kota tersebut juga tidak dipisah-pisah lagi. (Kompas, 27 Oktober 2015)Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengestimasi, luas lahan terbakar di seluruh Indonesia periode 1 Juli hingga 20 Oktober 2015 mencapai 2.089.911 hektar. Luasan lahan itu setara dengan 32 kali luas Provinsi DKI Jakarta, atau empat kali luas Pulau Bali, atau 1,9 juta kali luas lapangan sepak bola.Kajian memperlihatkan, kebakaran terpantau di wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Jawa, dan Maluku. Lahan terbakar terluas terjadi di Pulau Sumatera, yakni 832.999 hektar, disusul Kalimantan seluas 806.817 hektar, dan Papua seluas 353.191 hektar. Jika disandingkan dengan peta rawa gambut Kementerian Pertanian, hasilnya 618.574 hektar dari total lebih dari 2 juta hektar lahan terbakar merupakan rawa gambut, sisanya tanah mineral. (Kompas, 31 Oktober 2015).Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta. Setelah forum “Pressure Cooker” ini, langkah yang akan dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah membuat detailnya. Harus disiapkan aturan untuk pembangunannya, begitu pula perubahan keputusan presiden soal reklamasi menyangkut kedalaman pulau. Rencana tata ruang wilayah yang baru juga harus disiapkan untuk memasukkan bentuk pulau dan koordinatnya. Investasi akan dilakukan antara BUMD dan swasta. Jika investasi yang dilakukan oleh pihak swasta di pulau reklamasi ini merugi karena tidak bernilai ekonomis, Pemprov DKI Jakarta bisa membeli kembali. (Kompas, 31 Oktober 2015).Badan Informasi Geospasial serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sedang menyusun peta rupabumi desa-desa Indonesia. Peta dasar itu bisa dimanfaatkan pemerintah desa untuk menyusun rencana tata ruang guna mendukung program pemerintah membangun dari pinggiran.

“Peta detail membuat perencanaan tata ruang lebih baik,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Priyadi Kardono di Jakarta. Peta rupabumi itu bisa dimanfaatkan masyarakat mulai Maret 2016.

Peta dasar yang disiapkan berskala 1:5000 atau 1 sentimeter (cm) di peta mewakili 5 kilometer (km) jarak sesungguhnya. Peta dibuat menurut citra penginderaan jauh (inderaja) resolusi amat tinggi, 50-60 cm, yang diambil Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Deputi Bidang Inderaja Lapan Orbita Roswintiarti menambahkan, citra inderaja untuk membuat peta dasar diambil pada 2013-2015. Citra beresolusi amat tinggi itu diambil satelit milik Amerika Serikat dan Perancis, seperti Pleiades, WorldView 1 dan 2, GeoEye, serta Quickbird. (Kompas, 31 0ktober 2015)

sumber: www.metrotvnews.com

Page 27: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan 25

NOVEMBERRencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk program Pengembangan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi atau PK2PT di wilayah terluar Indonesia perlu diharmonisasikan dengan rencana yang disusun pemerintah daerah. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan dalam pelaksanaannya.Rencana zonasi memuat alokasi peruntukan di perairan laut yang akan digunakan sebagai dasar pemberian izin lokasi kegiatan yang menetap di perairan laut. “Grand design yang dibuat pemkab bisa saja diakomodasi ke rencana zonasi yang dibuat pemerintah pusat sepanjang tidak bertentangan,” kata Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono. (Kompas, 04 November 2015)Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mengacu putusan Mahkamah Agung, mempersilakan pembangunan Taman Ria Senayan, Jakarta Pusat. Namun, pengembang diimbau mematuhi ketentuan sebagaimana tertuang dalam peraturan mengenai rencana tata ruang wilayah.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Mungkasa, Senin (23/11), mengatakan, Pemprov DKI tidak bisa berbuat banyak atas pengelolaan lahan seluas 111.600 meter persegi di Jalan Jenderal Gatot Subroto dan Jalan Gerbang Pemuda di Kelurahan Senayan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu. “Kami ikuti MA (Mahkamah Agung) telah memenangkan gugatan PT Ariobimo Laguna Perkasa (ALP),” ujarnya. (kompas, 24 November2015)Pemerintah meminta penyedia jasa konstruksi dari BUMN agar bekerja sama dengan kontraktor swasta dalam membangun bendungan. Dengan cara seperti itu, kontraktor swasta nantinya dapat mengerjakan proyek serupa. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendapat tugas membangun 49 bendungan hingga 2019. Dari jumlah itu, sebanyak 13 waduk di antaranya sudah mula dibangun tahun ini dengan biaya Rp 9.239 triliun. Tahun depan, ditargetkan delapan bendungan mulai dibangun. Selama ini, lelang proyek pembangunan bendungan dimenangi BUMN. (Kompas, 28 November 2015)

DESEMBERSubstansi pembahasan kawasan strategis nasional Cekungan Bandung, yang meliputi lima kabupaten dan kota di Jawa Barat, telah disepakati. Pembahasan itu menjadi rancangan peraturan presiden mengenai kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai landasan hukum bagi pembangunan yang terintegrasi di kawasan Cekungan Bandung.Disepakatinya rancangan peraturan presiden itu diharapkan mampu mewujudkan rencana tata ruang perkotaan Cekungan Bandung, di antaranya sistem transportasi yang terintegrasi, pengolahan sampah terpadu, dan sistem perekonomian yang saling mendukung. (Kompas, 01 Desember 2015)Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menuhi janjinya membangun 13 waduk di 2015. Tiga waduk terakhir telah ditandatangani kontrak pembangunannya pada 24 November 2015 silam.Dalam program jangka panjangnya, Direktorat Jenderal SDA memiliki tanggung jawab untuk membangun 49 bendungan multifungsi baru dalam lima tahun periode pemerintahan hingga 2019 mendatang. Daftar 13 waduk yang dibangun pada 2015 adalah 1) Waduk Keureto di Aceh; 2) Waduk Seigong di Kepulauan Riau; 3) Waduk Karian di Banten; 4) Waduk Logung di Jawa Tengah; 5) Waduk Telaga Waja di Bali; 6) Waduk Tapin di Kalimantan Selatan; 7) Waduk Passeloreng di Sulawesi Selatan; 8) Waduk Lolak di Sulawesi Utara; 9) Waduk Raknamo di NTT; 10) Waduk Rotiklod di NTT; 11) Waduk Tanju di NTB; 12) Waduk Mila di NTB; 13) Waduk Bintang Bano di NTB. (finance.detik.com, 24 Desember 2015)Pembangunan angkutan massal cepat (MRT) di Jakarta terus berlanjut. Pembangunan ini menghadapi berbagai tantangan, tetapi sekaligus menciptakan peluang perbaikan tata ruang Ibu Kota. Hal ini bisa terlihat, salah satunya, di kawasan Jalan Fatmawati Raya, Jakarta Selatan.

Ahli perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan, pembangunan MRT adalah kesempatan memperbaiki tata ruang dan menghidupkan kembali kawasan bisnis yang mulai sepi. “Tanpa penataan yang menyeluruh, pembangunan MRT tak akan secara langsung memengaruhi ekonomi masyarakat,” kata Nirwono. (kompas, 28 Desember 2015)Ratusan akademisi, tokoh agama, aktivis lingkungan dan agraria, serta perwakilan masyarakat adat mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait krisis ekologi yang mendera Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Krisis ini dipicu oleh arah pembangunan yang hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi tetapi abai dengan daya dukung lingkungan serta keadilan sosial.

Petisi itu mengusulkan agar Presiden memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan, secara transparan dan akuntabel. (Kompas, 30 Desember 2015)

sumber: www.acehprov.go.id

Page 28: Integrasi Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pengendalian ...

buletin tata ruang & pertanahan26

Visi PPNS Penataan Ruang adalah mewujudkan tertib tata ruang melalui

penegakan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang yang

terkoordinasi oleh PPNS Penataan Ruang yang berkualitas.

Misi PPNS Penataan Ruang adalah menjadikan PPNS Penataan Ruang

sebagai instrumen strategis penegakan hukum peraturan perundang-undangan

bidang penataan ruang.