Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane Sebagai Sumber Energi Baru Di

25
Insentif Fiskal untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane sebagai Sumber Energi Baru di Indonesia November 12, 2012 by eddysitepu Insentif Fiskal untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane sebagai Sumber Energi Baru di Indonesia (diterbitkan dalam buku Bunga Rampai “MP3EI: Breakthrough Strategy Indonesia Menuju Negara Maju”) Oleh: Eddy Mayor Putra Sitepu Calon Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan 1. A. Pendahuluan Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, kebutuhan terhadap energi meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kemakmuran. Sebagian besar kebutuhan tersebut menggunakan listrik sebagai tenaga penggeraknya, karena sifatnya yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sistem energi lainnya diantaranya mudah dikonversikan ke energi lain, mudah disalurkan dan disimpan. Oleh sebab itu, tenaga listrik adalah salah satu bagian dari sistem energi yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Mengingat pentingnya peranan tenaga listrik dalam pembangunan, angka konsumsi listrik per kapita mulai sering digunakan sebagai salah satu indikator kemakmuran suatu negara, di samping indikator lainnya seperti Gross Domestic Product (GDP), konsumsi energi per kapita dan lain-lain.

description

Mengenai Intensif Untuk Coal Bed Methane.

Transcript of Insentif Fiskal Untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane Sebagai Sumber Energi Baru Di

Insentif Fiskal untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane sebagai Sumber Energi Baru diIndonesiaNovember 12, 2012 by eddysitepu

Insentif Fiskal untuk Mendorong Pengembangan Coalbed Methane sebagai Sumber Energi Baru di Indonesia(diterbitkan dalam buku Bunga Rampai MP3EI: Breakthrough Strategy Indonesia Menuju Negara Maju)Oleh: Eddy Mayor Putra SitepuCalon Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan1. A. PendahuluanDalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, kebutuhan terhadap energi meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kemakmuran. Sebagian besar kebutuhan tersebut menggunakan listrik sebagai tenaga penggeraknya, karena sifatnya yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sistem energi lainnya diantaranya mudah dikonversikan ke energi lain, mudah disalurkan dan disimpan. Oleh sebab itu, tenaga listrik adalah salah satu bagian dari sistem energi yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Mengingat pentingnya peranan tenaga listrik dalam pembangunan, angka konsumsi listrik per kapita mulai sering digunakan sebagai salah satu indikator kemakmuran suatu negara, di samping indikator lainnya seperti Gross Domestic Product (GDP), konsumsi energi per kapita dan lain-lain.Dalam rangka mendorong percepatan dan perluasan pembangunan khususnya di bidang ekonomi, pemerintah telah menerbitkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI)[1], dimana pembangunan ekonomi Indonesia dilaksanakan melalui koridor ekonomi. Pengembangan kegiatan ekonomi utama Koridor Ekonomi membutuhkan dukungan dari sisi energi. Dengan adanya MP3EI ini, penambahan kebutuhan energi listrik di Indonesia hingga tahun 2025 diproyeksikan mencapai sekitar 90.000 MW (dalam kondisi beban puncak). Dari jumlah tersebut, sebagian besar kebutuhan energi akan digunakan untuk mendukung pembangunan dan pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi utama di dalam koridor.Dari total nilai investasi kegiatan ekonomi utama 6 koridor untuk tahun 2011-2025 sebesar Rp 4.012 triliun, kebutuhan infrastruktur untuk ketenagalistrikan mencapai Rp 377,5 triliun dengan rincian sebagaimana disajikan dalam lampiran dan dirangkum dalam tabel 1 berikut.KoridorNilai investasi (IDR Miliar)Persentase

Sumatera 75.40119,97%

Jawa 233.54561,87%

Kalimantan 39.92510,58%

Sulawesi 15.5174,11%

Bali Nusa Tenggara7490,20%

Papua Maluku12.3673,28%

Sumber: MP3EI, diolahTabel 1. Kebutuhan Infrastruktur untuk Ketenagalistrikan di 6 Koridor EkonomiDengansemakin menurunnya kemungkinan untuk mendapatkan sumber energi alternatif dalam waktu dekat,kesenjangan yang terus melebar antara permintaan dan penawaran serta penurunan produksi bahan bakar fosil konvensional, menyebabkan kebutuhan terhadap sumber-sumber gas non-konvensional (seperti tight gas, coal bed methane (CBM), dan gas hidrat) meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Volume gas non-konvensional yang besar dan potensinya dalam jangka panjang, ditambah dengan harga jual gas yang menggiurkan serta minat yang tidak bisa diprediksi dalam pasar energi dunia, membawa gas non-konvensional ke garis terdepan yang menentukan sumber energi masa depan. Dengan keberhasilan pemasaran gas alam sebagai bahan bakar ramah lingkungan, permintaan gas meningkat tajam di awal abad ke-21. Karena dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan relatif kecil, harga gas mungkin akan bisa melebihi harga bahan bakar fosil. Oleh karena itu, peningkatan persentase permintaan energi dunia yang signifikan akan dapat dipenuhi oleh gas alam. Beberapa ahli meyakini bahwa konsumsi gas mungkin dapat melebihi konsumsi minyak bumi sebelum tahun 2025[2] (Gambar 1). Sumber-sumber gas non-konvensional akan memainkan peranan penting dalam peta energi internasional.Sumber: World Gas Conference, 2003Gambar 1. Konsumsi Minyak Bumi dan Gas Dunia (dalam barrels of equivalent oil per day (BOE/D))Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan energi nasional sebagai blue print bagi penggunaan berbagai macam sumber energi pada tahun 2025 untuk mengamankan pasokan energi bagi kebutuhan domestik. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi konsumsi minyak mentah Indonesia hingga 20%, dan mendorong penggunaan gas alam hingga 30% dan batubara hingga 33% pada tahun 2025.Kebijakan tersebut mendorong penggunaan sumber-sumber energi alternatif bagi kebutuhan domestik sebanyak 17%, yaitu masing-masing 5% untuk biofuel dan geothermal, 5% untuk sumber energi baru dan terbarukan.Salah satu sumber energi baru adalah Coalbed Methane (CBM). CBM adalah gas alam yang terjebak dalam cadangan batubara. Gas metana ini kerap dinilai sebagai masalah bagi operasi penambangan batubara yaitu dapat menimbulkan ledakan pada pertambangan. Perkembangan teknologi menunjukkan bahwa CBM justru dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang terbaru serta bahan bakar ramah lingkungan, dimana mengandung lebih dari 90% metana.CBM diharapkan dapat memasok 1-2% dari total kebutuhan energi pada tahun 2025. CBM akan memasok konsumsi domestik dengan rincian:1. Jangka pendek, skala kecil (pilot project) meliputi kebutuhan rumah tangga, pembangkit listrik, dan non perkotaan.2. Jangka menengah (2014), pabrik baja, pembangkit listrik, dan bahan bakar transportasi.3. Jangka panjang (>2020), sebagai cadangan distribusi gas dari Kalimantan Timur ke Jawa.1. B. Potensi Pengembangan CBM di IndonesiaBerdasarkan studi yang dilakukan oleh Ditjen Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki potensi sumber daya CBM hingga 450 Trillion Cubic Feet (TCF). Cadangan CBM sebesar itu tersebar pada sebelas areal cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Kesebelas basin lokasi CBM itu adalah Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori high prospective. Basin Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8 TCF) memiliki kategori moderate prospective. Sedangkan basin Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori low prospective. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai pembina kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi, menetapkan peta jalan (road map) pengembangan gas metana batubara (CBM) di Indonesia hingga tahun 2025. Dalam road map tersebut direncanakan bahwa pada tahun 2011 produksi CBM sudah dapat dipergunakan untuk kelistrikan. Perkiraan produksi yang diharapkan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan produksi rata-rata per sumur sebesar 250 MSCFD. Road Map Pengembangan CBM di Indonesia digambarkan dalam Gambar 2 di bawah ini.Sumber: Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya MineralGambar 2. Road Map Pengembangan CBM di IndonesiaSebagaimana terlihat pada bagan di atas, dalam road map pengembangan CBM di Indonesia, diharapkan bahwa pada tahun 2011 produksi CBM sudah dapat dipergunakan sebagai sumber energi listrik khususnya di daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah pengusahaan CBM.Perkembangan proyek-proyek pengusahaan CBM untuk tujuan kelistrikan sampai dengan 25 April 2011 adalah sebagai berikut (Tabel 2).Tabel 2. Proyek Pengusahaan CBM untuk Kelistrikan (Update 25 April 2011)NONAMA BLOKPROGRESS SAAT INIPERKIRAAN PRODUKSIEQIVALEN PRODUKSI LISTRIK

1GMB Sekayu- 1 (satu) pilot wells- 3 (tiga) coreholes1 MMSCFDSETARA 4,0 MW

2GMB Barito Banjar I- Sedang dalam persiapan pemboran (belum ada corehole maupun pilot wells)0,25 MMSCFDSETARA 1,0 MW

3GMB Barito Banjar II- 1 (satu) corehole0,25 MMSCFDSETARA 1,0 MW

4GMB Tanjung Enim- 1 (satu) coreholes1 MMSCFDSETARA 4,0 MW

5GMB Sangatta I- 3 (tiga) coreholes- 4 (empat) pilot wells1 MMSCFDSETARA 4,0 MW

6GMB Pulang Pisau- Sedang dalam persiapan pemboran (belum ada corehole maupun pilot wells)1 MMSCFDSETARA 4,0 MW

7GMB Sanga-sanga- 11 (sebelas) coreholes- 7 (tujuh) pilot wells1 MMSCFDSETARA 4,0 MW

8Pilot Project LEMIGAS0,006 MMSCFDSETARA 0,024 MW

TOTAL PRODUKSI5,5 MMSCFD22,02 MW

Sumber: Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral1. C. Pengembangan CBM dalam MP3EIDalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, ketahanan energi didasarkan kepada manajemen resiko dari kebutuhan dan ketersediaan energi di Indonesia, yang meliputi antara lain manajemen resiko tersebut melalui pengaturan komposisi energi (energy mix) yang mendukung pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan. Kebijakan energi nasional sebagaimana tertuang dalam Perpres No 5 Tahun 2006 mentargetkan 30 persen dari energy mix pada tahun 2025 berasal dari gas bumi termasuk di dalamnya CBM.Untuk mencapai visi Indonesia 2025 mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur, terdapat 3 (tiga) strategi utama dalam MP3EI, yaitu: (1) pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi; (2) penguatan konektivitas nasional; dan (3) penguatan kemampuan SDM dan Iptek nasional. Untuk melaksanakan strategi yang pertama, telah disusun 6 (enam) koridor ekonomi yang terhubung dan saling menunjang satu sama lain. Keenam koridor tersebut ditetapkan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia.Terkait dengan sektor energi, koridor ekonomi Sumatera dan Kalimantan ditetapkan sebagai lumbung energi nasional. Dalam koridor ekonomi Kalimantan, selain metode eksplorasi migas secara konvensional, peluang yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah peningkatan kapasitas Coal-Bed Methane (CBM) sebagai salah satu pendongkrak tingkat produksi gas nasional yang belum optimal. Sebagai contoh, optimalisasi kapasitas produksi CBM di Bontang Kalimantan Timur masih tersendat karena memerlukan investasi tambahan untuk pengembangan pemanfaatan teknologi CBM. Peningkatan eksplorasi CBM di Kaltim dilakukan agar dapat mendukung optimalisasi kapasitas produksi pabrik pencairan LNG Bontang yang berkapasitas sebesar 3,7 mmcfd (milyar kaki kubik per hari). Saat ini pabrik tersebut hanya beroperasi pada level produksi 2,55 mmcfd pada 2009 dan 2,38 mmcfd pada 2010.Upaya pengembangan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih komprehensif (kemampuan eksploitasi migas hulu dan pemrosesan migas hilir) dengan penerapan teknologi yang tepat dapat dilakukan antara lain melalui pemberian investasi tambahan untuk pengembangan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kapasitas Coal-Bed Methane (CBM). Di sisi regulasi, untuk mendukung pengembangan CBM perlu dilakukan percepatan revisi PP No. 62 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No.1 Tahun 2007 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang tertentu dan atau di daerah tertentu. Revisi dimaksudkan untuk dapat menetapkan sub sektor baru sesuai prioritas MP3EI yang layak untuk menerima tax allowance (seperti untuk pajak gas coal bed methane yang IRRnya kurang menarik jika tanpa insentif).1. D. Perlunya Insentif Fiskal dalam Pengembangan CBMDalam rangka percepatan proyek CBM dimaksud, perlu dukungan kebijakan berupa insentif pajak dan fiskal yang menarik bagi investasi CBM. Insentif fiskal untuk pengembangan CBM bertujuan untuk membuat investor tertarik menanamkan modalnya. Hal ini diperlukan mengingat pengembangan CBM selain bertujuan untuk meningkatkan cadangan gas, juga mengembangkan pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan serta memperluas lapangan kerja.Beberapa pertimbangan perlunya insentif fiskal untuk pengembangan CBM adalah sebagai berikut:- CBM adalah sumber energi baruSumber energi baru[3] adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, dimana salah satu diantaranya adalah gas metana batubara (coal bed methane). Pengusahaan CBM mulai dikembangkan di Amerika Serikat pada dekade 1980-an. Di Indonesia, pengembangan CBM masih dalam tahap uji coba dan belum dapat berproduksi secara komersial.Sesuai dengan amanat undang-undang[4], penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya. Yang dimaksud dengan nilai keekonomian[5] adalah nilai yang terbentuk dari keseimbangan antara pengelolaan permintaan dan penawaran. Insentif dapat berupa bantuan permodalan, perpajakan, dan fiskal. Kemudahan dapat berupa penyederhanaan prosedur perizinan dan persyaratan pengusahaan.- Pengembangan CBM memerlukan biaya yang tinggi pada tahap awalDibandingkan dengan gas alam konvensional, biaya untuk pengembangan CBM, terutama pada tahap awal, sangat tinggi. Oleh karena itu, proyek-proyek pengembangan CBM tersebut membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mendukung seperti subsidi dan pembebasan pajak untuk mencapai skala ekonomisnya. Hal ini sudah efektif dan berhasil dijalankan dalam membangun industri CBM di Amerika Serikat, Kanada dan Australia.- Periode produksi CBM lebih lambatDibandingkan gas alam, CBM memiliki periode produksi lebih lambat. Pada umumnya, pengembangan CBM memerlukan waktu sekitar 3 tahun untuk eksplorasi, dilanjutkan dengan tahapan piloting and multi-piloting selama kurang lebih 3 tahun. CBM baru dapat diproduksi pada tahun ke-7. Umumnya produksi terbesar atau puncak produksi terjadi pada periode tahun produksi ke-2 hingga ke-7. Sedangkan lama periode produksi berkisar antara 10 hingga 20 tahun.- CBM memberi manfaat bagi penambangan batubaraProyek CBM memberikan manfaat guna perluasan penerapan teknik tambang dalam untuk batubara di Indonesia[6]. Apabila CBM yang ada pada cekungan-cekungan batubara diambil, maka pelaksanaan teknik tambang dalam atau tambang bawah tanah (underground mining) akan lebih aman.Selama ini keberadaan gas methane dalam cekungan-cekungan batubara, merupakan salah satu problem dalam pelaksanaan teknik underground mining. Konsentrasi gas methane yang berada diatas 4% sangat berpotensi menimbulkan ledakan, seperti yang terjadi di Sawah Lunto pada 16 Juni 2010.Biasanya CBM akan ditemukan pada kedalaman cekungan 500 600 meter. Pada kedalaman ini, tentu batubara tidak bisa ditambang dengan teknik open pit, melainkan harus dengan teknik underground. Kalau CBM-nya sudah dimanfaatkan maka pelaksanaan underground mining untuk batubara akan lebih aman.1. E. Insentif Perpajakan untuk Kegiatan Usaha Hulu MigasDasar hukum mengenai CBM di Indonesia untuk pertama kali diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1669 Tahun 1998 Pasal 2 yang menyatakan bahwa pengaturan hukum Coal Bed Methane tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 36 Tahun 2008, dimana pada Pasal 3 ayat 1 diatur bahwa Pengusahaan Gas Metana Batubara tunduk dan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.Fasilitas perpajakan untuk perusahaan-perusahaan migas diberlakukan dengan menganut prinsip lex specialis, yaitu ketentuan yang diatur dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) bersifat mengikat.Kontrak bagi hasil migas terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kontrak nailed down dan kontrak yang tidak nailed down. Untuk kontrak yang nailed down, ketentuan perpajakan yang diatur dalam kontrak tetap berlaku sepanjang masa kontrak dan tidak berubah meskipun terjadi perubahan peraturan di bidang perpajakan. Kontrak yang tidak nailed down berlaku sebaliknya.Beberapa ketentuan tentang insentif perpajakan yang diberikan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi adalah sebagai berikut.1. 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177 / PMK.011 / 2007 tentangPembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas BumiPembebasan bea masuk diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi dengan ketentuan bahwa barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.1. 2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas BumiPajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi di bidang hulu migas dan pans bumi dengan ketentuan bahwa barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.Eksplorasi di bidang hulu migas dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh infomasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah yang ditentukan.1. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas BumiKontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:1. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;2. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;3. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;4. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana.1. F. Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Pemberian Insentif Fiskal bagi Pengusahaan CBMTerdapat beberapa alternatif bentuk insentif fiskal bagi pengusahaan CBM di Indonesia. Mengingat bahwa pengusahaan CBM menganut prinsip yang sama dengan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana telah dijelaskan di atas, bentuk insentif fiskal yang mungkin untuk diberikan terutama terkait dengan aspek-aspek dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) antara kontraktor dengan pemerintah. Beberapa alternatif insentif fiskal tersebut antara lain:1. Shareable FTP[7]2. Investment Credit[8]3. c. Tax HolidayPemberian insentif fiskal bagi pengembangan CBM harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tujuan diberikannya insentif dapat tercapai. Pada prinsipnya, dengan memberikan insentif, pemerintah melepaskan kesempatan untuk mengumpulkan pendapatan dalam bentuk pajak dengan harapan agar industri dapat berkembang pesat dan memberikan multiplier effect yang jauh lebih besar dari pengorbanan yang diberikan. Karena itu, dalam pemberian insentif fiskal tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut.1. a. Pemberian shareable FTP melalui amandemen kontrak yang sebenarnya telah disepakati sebelumnyaKontrak pengusahaan CBM di Indonesia dilaksanakan berdasarkan kontrak yang disepakati dan ditandatangani bersama oleh pemerintah Indonesia (dalam hal ini BPMIGAS) dan kontraktor. Kontrak tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang operasionalisasi proyek dan bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang berkontrak. Di dalam kontrak PSC tersebut diatur tentang FTP yaitu pengurangan produksi untuk menjamin bagian minimum dari produksi CBM bagi pemerintah.Dalam kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani hingga saat ini, FTP seluruhnya menjadi bagian pemerintah. Perubahan ketentuan mengenai FTP dari non-shareable menjadi shareable (FTP dibagi antara pemerintah dan kontraktor) hanya dapat dilakukan melalui mekanisme amandemen kontrak atas persetujuan pihak-pihak yang berkontrak. Konsekuensi dari amandemen kontrak adalah dibatalkannya kesepakatan terdahulu dan membuat kesepakatan baru.Hal yang perlu dipertimbangkan dalam amandemen kontrak tersebut adalah potensi munculnya post bidding issue (permasalahan yang timbul setelah dilakukannya lelang untuk menentukan pemenang tender kontrak). Pada saat suatu kontrak pengusahaan CBM ditawarkan untuk dilelang kepada kontraktor-kontraktor yang berminat, pemenang tender bersedia menyetujui ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang ditawarkan. Apabila ternyata setelah kontrak berjalan terjadi perubahan terhadap kontrak tersebut, maka pihak-pihak yang dinyatakan kalah dalam tender akan berkeberatan atas perubahan kontrak tersebut karena jika seandainya ketentuan yang berubah tersebut diberitahukan pada saat lelang, penawaran mereka mungkin akan berbeda dan mungkin saja mereka yang akan menjadi pemenang tender. Dengan kata lain, amandemen kontrak setelah kontrak berjalan menimbulkan ketidakadilan bagi peserta tender yang kalah dan berpotensi menimbulkan legal dispute.1. b. Pemberian Investment Credit harus tunduk pada ketentuan dalam PP 79 tahun 2010Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2010 mengatur tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Mengingat ketentuan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1669 Tahun 1998 Pasal 2 yang mengatur bahwa Pengaturan hukum Coal Bed Methane tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, maka ketentuan dalam PP di atas juga berlaku terhadap pengusahaan CBM.Dalam PP tersebut di atas diatur tentang investment credit (insentif investasi) sebagai tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu. Dalam skema PSC, insentif investasi, bersama dengan FTP dan cost recovery, merupakan pengurang terhadap hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) sehingga diperoleh equity to be split.Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri ESDM dapat menetapkan bentuk dan besar insentif investasi (sebagaimana diatur dalam pasal 10 PP No. 79 Tahun 2010). Lebih lanjut, dalam pasal 24 ayat 5 PP tersebut diatur bahwa insentif investasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dikonversi menjadi gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi (dalam konteks CBM).Pemberian insentif dalam bentuk investment credit dimungkinkan untuk diberikan dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM berdasarkan ketentuan dalam PP No. 79 tahun 2010 tersebut di atas. Namun demikian, mengingat hingga saat ini belum ada pemberian insentif dalam bentuk investment credit, maka Kementerian ESDM perlu untuk melakukan kajian terhadap usulan tersebut sebelum menerbitkan Peraturan Menteri dimaksud.1. c. Pemberian insentif tax holiday memerlukan PMK perubahan PMK 130 tahun 2011Ketentuan mengenai tax holiday diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Dalam PMK tersebut diatur bahwa kepada Wajib Pajak badan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilanbadan (pasal 2 ayat 1). Pembebasan Pajak Penghasilan badan tersebut dapat diberikan untukjangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitungsejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan tersebut, Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) TahunPajak. Namun demikian, dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilaistrategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan ataupengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimanatersebut di atas.Box 1. Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badanadalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagaiberikut:1. merupakan Industri Pionir;2. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansiyang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);3. menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari totalrencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditariksebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan4. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku ataupengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.Industri Pionir sebagaimana dimaksud mencakup:1. Industri logam dasar;2. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyakbumi dan gas alam;3. Industri permesinan;4. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau5. Industri peralatan komunikasi.Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilaistrategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan Industri Pionir yangdiberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain cakupan IndustriPionir sebagaimana tersebut di atas (pasal 3 ayat 3).Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dimaksud dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sepanjang memenuhipersyaratan:1. telah merealisasikan seluruh penanaman modalnya; dan2. telah berproduksi secara komersial.

Pengusahaan CBM tidak termasuk dalam industri pionir yang tercantum dalam daftar industri pionir pada PMK No. 130/PMK.011/2011 ini. Namun demikian, ketentuan dalam pasal 3 ayat 3 PMK tersebut memungkinkan Menteri Keuangan untuk menetapkan Industri Pionir yangdiberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain cakupan IndustriPionir sebagaimana tersebut di atas.Dengan demikian, apabila insentif dalam bentuk tax holiday hendak diberikan terhadap pengusahaan CBM, maka PMK No. 130/PMK.011/2011 harus diubah. Selain itu, kontrak-kontrak pengusahaan CBM harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam PMK tersebut agar dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan.1. d. Pemberian insentif fiskal tidak menjamin mempercepat perkembangan pengusahaan CBM tanpa dibarengi pemberian solusi atas permasalahan lainnya terutama permasalahan operasionalPengusahaan CBM di Indonesia, seperti halnya industri pengusahaan sumber energi pada umumnya, melibatkan banyak pihak dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Demikian pula aspek-aspek dalam pengusahaan CBM juga saling terkait satu sama lain. Keekonomian pengusahaan CBM tidak terlepas dari pengaruh aspek-aspek lain dalam industri tersebut, seperti aspek operasional, aspek lingkungan, aspek pembebasan lahan, aspek hukum, aspek politik, dan lain sebagainya.Komitmen pemerintah untuk mempercepat perkembangan pengusahaan CBM di Indonesia harus didukung oleh seluruh pihak yang terlibat dalam industri pengusahaan CBM tersebut. Insentif fiskal hanya salah satu instrumen yang berpotensi untuk meningkatkan keekonomian pengusahaan CBM di Indonesia. Namun demikian, pemberian insentif fiskal semata tidak akan mampu untuk mendorong percepatan pengembangan CBM apabila hambatan-hambatan tidak diatasi dengan tuntas dan komprehensif.Pengembangan CBM mengalami berbagai permasalahan operasional di lapangan yang tentu saja menghambat pengembangan CBM. Permasalahan tersebut antara lain tumpang tindih lahan, proses perijinan dan perangkat hukum terkait lingkungan hidup[9]. Permasalahan terkait tumpang tindih lahan terjadi karena penggunaan lahan yang sama untuk eksploitasi batu bara dan CBM (lokasi pemboran dan fasilitas produksi), dalam hal PKP2B/KP Batu Bara terlebih dahulu melakukan eksploitasi di lahan tersebut[10].Pemberian insentif fiskal yang tidak didukung dengan solusi yang komprehensif terhadap kendala-kendala operasional di lapangan tidak akan memberikan win-win solution melainkan win-lose solution karena insentif yang diberikan akan dinikmati oleh kontraktor namun hasil yang diharapkan dalam bentuk percepatan pengembangan CBM tidak terwujud.1. G. Kesimpulan Permintaan terhadap sumber-sumber energi yang terus meningkat di satu sisi serta produksi bahan bakar fosil konvensional yang terus mengalami penurunan di sisi yang lain telah mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap sumber-sumber gas non-konvensional (seperti tight gas, coal bed methane (CBM), dan gas hidrat). Konsumsi gas diperkirakan akan melampaui konsumsi minyak bumi sebelum tahun 2025. Kebijakan energi nasional Indonesia untuk mengamankan pasokan energi bagi kebutuhan domestik mentargetkan pengurangan konsumsi minyak mentah Indonesia hingga 20%, dan mendorong penggunaan gas alam (termasuk CBM) hingga 30% dan batubara hingga 33% pada tahun 2025.Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi sumber daya CBM hingga 450 Trillion Cubic Feet (TCF) yang tersebar di sebelas areal cekungan (basin) batubara di berbagai lokasi di Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan. CBM diharapkan dapat memasok 1-2% dari total kebutuhan energi pada tahun 2025.Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, ketahanan energi didasarkan kepada manajemen resiko melalui pengaturan komposisi energi (energy mix). Terkait dengan sektor energi, koridor ekonomi Sumatera dan Kalimantan ditetapkan sebagai lumbung energi nasional, dimana peluang yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah peningkatan kapasitas Coal-Bed Methane (CBM) sebagai salah satu pendongkrak tingkat produksi gas nasional yang belum optimal.Dalam rangka percepatan proyek CBM dimaksud, perlu dukungan kebijakan berupa insentif pajak dan fiskal yang menarik bagi investasi CBM untuk membuat investor tertarik menanamkan modalnya. Selain meningkatkan cadangan gas, pengusahaan CBM juga dapat mengembangkan pemanfaatan sumber energi ramah lingkungan serta memperluas lapangan kerja.Pengaturan hukum Coal Bed Methane tunduk dan berlaku peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Insentif perpajakan yang diberikan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi antara lain pembebasan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah, serta biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan.Terdapat beberapa alternatif bentuk insentif fiskal bagi pengusahaan CBM di Indonesia. Bentuk insentif fiskal yang mungkin untuk diberikan terutama terkait dengan aspek-aspek dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) antara kontraktor dengan pemerintah, antara lain Shareable FTP, Investment Credit dan Tax Holiday. Namun demikian, insentif fiskal bukan satu-satunya solusi untuk mendorong pengembangan CBM di Indonesia. Permasalahan terkait teknis dan operasional harus diselesaikan agar tidak menghambat pengembangan CBM.DAFTAR PUSTAKAIndonesia, Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, LNRI Tahun 2001 Nomor: 136 TLNRI Nomor: 4152.________, Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2007 tentang Energi, LNRI Tahun 2007 Nomor: 96 TLNRI Nomor: 4746.________, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 002/PUU-I/2003 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).________, Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.________, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.________, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.________, Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.________, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 36 tahun 2008 tentang Pengusahaan Gas Metana Batubara.________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Untuk Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi.________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi.________, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1669 Tahun 1998.Amijaya, Hendra. 2011. Tinjauan Singkat Gas Metana Batu bara (Coal Bed Methane). Makalah presentasi rapat BKF Mei 2011 Jakarta.Susilowati, S.S. Rita. 2008. CBM-Gas Methan Dalam Batubara Calon Bahan Bakar Masa Depan. Warta Geologi Vol. 3 (4), h. 12-19.Suharsono. 2011. Pengembangan Coalbed Methane(CBM) di Indonesia. (http://www.apbi-icma.com/news.php?pid=6621&act=detail, diakses 25 Mei 2011).Sosrowidjojo, Imam B. 2008. Regulasi Teknis dan Implikasinya terhadap Keekonomian CBM, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS, M&E Vol. 6, No. 3.Aspek Perpajakan PSC, Dewa Made Budiarta, File Presentasi.Ditjen Migas Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. 2011. Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Non Konvensional (CBM), disampaikan sebagai presentasi pada FGD tanggal 5 Juli 2011 di Jakarta.Indonesian Petroleum Association (IPA) Unconventional Gas Committee. 2011. CBM in Indonesia Incentive to CBM Development, disampaikan sebagai presentasi pada FGD tanggal 5 Juli 2011 di Jakarta.Indonesian Petroleum Association (IPA) Unconventional Gas Committee. 2011. Fiscal Incentives for CBM Development, disampaikan sebagai presentasi pada FGD tanggal 10 Oktober 2011 di Jakarta.Widodo, Lestantu. 2008. Keekonomian Pengusahaan Gas Metana-B di Wilayah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur. Tesis, Program Studi Teknik Kimia, Program Magister Manajemen Teknik. Jakarta: Universitas Indonesia.Sarsono, Asrin. 2008. Kajian Keekonomian Pengembangan Lapangan Gas Metana-B dengan Mempertimbangkan Manajemen Pengelolaan Air Terproduksi. Tesis, Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Kimia. Jakarta: Universitas Indonesia.Pilot Project CBM Di Kaltim Butuh Rp 100 150 Miliar. 2011. (http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=1662, diakses 25 Mei 2011).Pemerintah Segera Perbaiki Iklim Investasi CBM.2011. (http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/3335-pemerintah-segera-perbaiki-iklim-investasi-cbm.html?tmpl=component&print =1&page= , diakses 7 November 2011).Penyelesaian Masalah Tumpang Tindih Pemakaian Lahan WK CBM dan PKP2B/KP Batu Bara. 2011. (http://pertambangan.kaltimprov.go.id/in/umum/49-penyelesaian-masalah-tumpang-tindih-pemakaian-lahan-wk-cbm-dan-pkp2bkp-batu-bara-.html, diakses 7 November 2011).LAMPIRANKoridorProyek MP3EI bidang KelistrikanNilai investasi (IDR Miliar)

SumateraPembangunan PLTA Simpang Aur (2 x 6 MW) dan (2 x 9 MW)450

PLTU Mulut Tambang Riau 2300 MW9.000

Pembangunan PLTU Mulut Tambang 4150 MW Sumsel8.400

Pembangunan PLTU Mulut Tambang Sumsel 2300 MW7.800

PLTP Sarulla-1 Kap. 110 MW6.000

PLTP Lumut Balai Unit 1 & 2 (255 MW)3.484

PLTP Lumut Balai Unit 3 & 4 (255 MW)3.388

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Riau (15 titik)3.119

PLTA Asahan, Kap. 287 MW (174MW)2.880

Pembangunan PLTU Banjarsari 2100 MW2.800

Pembangunan PLTU Riau (Tenayan) 2 x 100 MW2.800

Pembangunan PLTP 2x55MW Ulubelu Unit 3 & 42.640

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi SumateraUtara (17 titik)2.612

Percepatan pengembangan hidro skala besar (287 MW), Porsea Sumatera Utara (Asahan 3) 30 Ha2.610

Pembangkit listrik dan steam2.400

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi SumateraBarat (6 titik)2.155

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Jambi (7titik)1.792

Pembangunan PLTP Hululais Kapasitas 255 MW1.760

Pembangunan PLTP Sungai Penuh Kapasitas 255 MW1.760

Pembangunan PLTP 255 MW Ulubelu Unit 1&21.760

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi NangroeAceh Darussalam (16 titik)1.495

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Riau danKepulauan Riau (10 titik)746

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Lampung(11 titik)589

PLTU Peranap Kapasitas : 210 MW392

Pembangunan PLTU Tanjung Enim (310 MW)378

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi SumateraSelatan (21 titik)357

PLTU Tarahan Mulut Tambang (28 MW)351

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi KepulauanBangka Belitung (4 titik)327

Pembangunan transmisi listrik di Provinsi Bengkulu(6 titik)288

Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Sawit (PLTBS)dan Bahan Baku Tebu150

Pembangunan Infrastruktur PLTU di Kawasan IndustriMuara Enim (210 MW)392

Pembangunan jaringan listrik326

JawaPembangunan PLTU Jawa Tengah Baru 2.000 MW26.000

Pembangunan PLTU Pelabuhan Ratu 1050 MW13.650

Pembangunan PLTU Indramayu Baru 1000 MW13.000

Pembangunan PLTU Indramayu Baru 1000 MW13.000

Pembangunan PLTU Jawa Barat Baru 1000 MW13.000

Pembangunan PLTU Indramayu 990 MW12.870

Pembangunan PLTU Teluk Naga/Lontar 945 MW12.285

Pembangunan PLTU Bojanegara 1.500 MW12.000

Pembangunan PLTGU Tuban/Cepu 1500 MW12.000

Pembangunan PLTU Tj. Awar-awar 700 MW9.100

Pembangunan PLTU Paiton 660 MW8.580

Pembangunan PLTU Cilacap Baru/Adipala 660 MW8.580

Pembangunan PLTU Pacitan 630 MW8.190

Pembangunan PLTU Suralaya 625 MW8.125

Pembangunan PLTS Upper Cisokan Pump Storage1000 MW6.500

Pembangunan PLTU Bojonegara 750 MW6.000

Pembangunan PLTGU Muara Tawar Add-On 3,4 700 MW5.600

Pembangunan PLTGU Priok Extension 500 MW4.000

Pembangunan PLTG Grati 800 MW4.000

Pembangunan PS Grindulu PS 500 MW3.250

Pembangunan PS Grindulu PS 500 MW3.250

Pembanguna PLTG Sunyaragi 600 MW3.000

Pembangunan Matenggeng PS 443 MW2.876

Pembangunan Matenggeng PS 443 MW2.876

Pembangunan PLTGU Muara Tawar Add-On 2 350 MW2.800

Pembangunan PLTG Muara Karang 400 MW2.000

Pembangunan PLTGU Priok Extension 243 MW1.944

Pembangunan PLTGU Muara Tawar Blok 5 234 MW1.872

Pembangunan PLTGU Muara Karang Repowering 194 MW1.552

Pembangunan PLTGU Muara Tawar Add-On 2 150 MW1.200

Pengembangan PLTP Kamojang Unit 5 1 x 40 MW960

Pembangunan PLTA Kalikonto 62 MW930

Pembangunan PLTA Kesamben 37 MW555

Percepatan pengembangan hidro skala besar (4250 MW) Upper Cisokan di Jawa Barat8.000

KalimantanPembangunan pembangkit listrik Kalimantan Timur PLN7.270

Pembangunan pembangkit listrik Kalimantan Barat -PLN6.819

Pembangunan pembangkit listrik Kalimantan Tengah- PLN4.686

Pembangunan pembangkit listrik Kalimantan Selatan- PLN3.541

Pembangunan fasilitas transmisi kelistrikan diKalimantan Barat PLN1.608,77

PLTU Sampit (225 MW)1.110

Pembangunan fasilitas transmisi kelistrikan diKalimantan Timur PLN1.035,16

Pembangunan fasilitas transmisi kelistrikan diKalimantan Tengah PLN947,10

Pembangunan Jaringan Transmisi PLN Sampit-Pangkalan Bun750

Pembangunan fasilitas transmisi kelistrikan diKalimantan Selatan PLN655,40

Pembangunan Transmisi Tegangan Tinggi 150 KVPalangka Raya- Kuala Kurun600

Pembangunan Jaringan Transmisi Tegangan Tinggi150 KV Muara Teweh-Buntok350

Pembangunan PLTU Buntok 2 x 7 MW245

Pembangunan PLTU 2 x 3 MW Kuala Pembuang108

Kalimantan Power Plant (700 MW)7.000

Pembangunan PLTU PT IDMU 2 x 100 MW2.000

Pembangunan PLTGU Bangkanai 120 MW diKabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah1.200

SulawesiPembangunan PLTM Ratelimbong-Kolaka 2MW, PLTU Sulsel Baru 2,50MW, PLTG Sulsel Baru 50MW & 100MW, PLTD Selayar 2MW5.174

Pembangunan PLTM (Sansarino 1MW; Tomini II 2x1MW; Sawidago II 1MW), PLTU (Leok 2x3MW; Kolonodale 2x3MW; Ampana 2x3MW; Toli-toli 2x3MW; Bangkir 2x3MW; Tambu 2x3MW), PLTG Luwuk10MW3.469

Pembangunan PLTP Kotamobagu 4x20MW, Kab. Kotamobagu, Sulawesi Utara2.540

Pembangunan PLTU (Kendari 2x10MW; Wangi-wangi 2x3MW; Raha 2x3MW), PLTM Rongi 1MW, PLTD Raha 3MW1.020

Pembangunan PLTU Gorontalo Baru (225 MW)880

Pengembangan WKP Marana (20 MW), Sulawesi Tengah640

Pembangunan Gardu Induk di Prov. Sulawesi Selatan552

Pembangunan Gardu Induk di Prov. Sulawesi Utara330

Pembangunan Gardu Induk di Prov. Sulawesi Tengah322

Pembangunan Gardu Induk di Prov. Sulawesi Tenggara273

Pembangunan PLTM (Bonehau 2x2MW; Budaong-Budaong 2x1MW; Kalukku 1MW, Balla 1MW)192

Pembangunan Gardu Induk di Prov. Gorontalo125

Bali Nusa TenggaraWKP Bedugul (10 MW)320

PLTU NTT Kupang 2X16,5 MW FTP1241

PLTU NTT Ende FTP1 2x7MW188

Papua MalukuFeasibility Study Pengembangan PLTA Mamberamo100

Pengembangan Lapangan Panas Bumi Jailolo 2 x 5MW, Kab. Halmahera Barat, Maluku Utara320

Pembangunan jaringan transmisi listrik di Papua238

Pembangunan PLTA 300 MW di Urumuka3.500

Pembangkit Listrik di Papua Barat3.097

Pembangkit Listrik di Maluku2.073

Pembangkit Listrik di Maluku Utara1.637

Pembangkit Listrik di Papua1.242

Pengembangan Lapangan Songa Wayaua 5 MW160

[1] Diterbitkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011[2] World Gas Conference, 2003[3] Pasal 1 (4) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi[4] Pasal 20 (5) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi[5] Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi[6] Pilot Project CBM Di Kaltim Butuh Rp 100 150 Miliar (http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=1662, diakses 25 Mei 2011)[7] First Tranche Petroleum (FTP) adalah pengurangan produksi untuk menjamin bagian minimum dari produksi minyak bumi atau gas bagi pemerintah meskipun terdapat pembatasan cost recovery bagi kontraktor. Untuk kontrak CBM, ketentuan terkait FTP adalah sebagai berikut: Jumlah yang dikurangkan adalah sebesar 10% dari produksi. Jumlah yang dikurangkan tidak dibagi; seluruhnya menjadi bagian pemerintah. FTP diambil sebelum perhitungan cost recovery dan investment credit.[8] Investment Credit adalah insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada kontraktor untuk merangsang kontraktor menambah investasinya. Insentif diberikan berupa pengembalian (recovery) sejumlah nilai tertentu (biasanya sebesar persentase tertentu yang ditetapkan dalam kontrak) dari investasi yang langsung berhubungan dengan pembangunan fasilitas produksi migas (direct production oil/ gas facilities).[9] Pemerintah Segera Perbaiki Iklim Investasi CBM (http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/3335-pemerintah-segera-perbaiki-iklim-investasi-cbm.html?tmpl=component&print=1&page= , diakses 7 November 2011)[10] Penyelesaian Masalah Tumpang Tindih Pemakaian Lahan WK CBM dan PKP2B/KP Batu Bara (http://pertambangan.kaltimprov.go.id/in/umum/49-penyelesaian-masalah-tumpang-tindih-pemakaian-lahan-wk-cbm-dan-pkp2bkp-batu-bara-.html, diakses 7 November 2011)