Inovasi-Vol05-Nov2005

download Inovasi-Vol05-Nov2005

of 114

Transcript of Inovasi-Vol05-Nov2005

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    Majalah INOVASI ISSN: 0917-8376

    Volume 4 /XVII/ Agustus 2005

    Daftar Isi EDITORIAL.......1

    UTAMA 1. BBM, kebijakan energi, subsidi dan kemiskinan di indonesia......................3

    2. Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi Alternatif.................11

    3. Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan Harus Bagaimana.......18

    4. Energi Nuklir dan Kebutuhan Energi Masa Depan.22

    5. Diversifikasi Energi Melalui Gas Hidrat....27

    6. Krisis BBM kita, belajar dari krisis Filipina..........31

    INOVASI 1. Potensi pengembangan energi dari biomassa hutan di Indonesia......34

    2. Rekayasa Minyak Pelumas dari bahan Botol Plastik Bekas.39

    3. Campuran Bahan Bakar Waste Plastic Disposal (WPD) dan Orimulsion

    sebagai Alternatif Bahan Bakar Motor Diesel..............................................41

    IPTEK 1. Domestikasi laut atau restoking?...............................................................47

    2. Pencemaran Udara, Suatu Pendahuluan......52

    KESEHATAN 1. Kurang Gizi pada Ibu Hamil: Ancaman pada Janin.57

    2. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang.61

    i

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    NASIONAL 1. Mahkamah Konstitusi unjuk gigi? Seputar Isu Impeachment dalam surat

    Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden RI.65

    2. Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Undang-Undang Dasar

    Republik Indonesia Tahun 194570

    3. Reformasi setengah hati: Refleksi atas kegagalan pemberantasan korupsi

    di Indonesia..77

    HUMANIORA 1. 60 Tahun Jepang Pasca Perang Dunia II83

    2. Bahasa dan Kognisi87

    KIAT 1. Berburu Kerja di Jepang90

    2. Survive dengan arubaito95

    FORUM 1. Keluar Dari Krisis97

    TOKOH105

    ii

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    EDITORIAL

    Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 100 persen lebih pada awal Oktober 2005 lalu telah mendorong munculnya berbagai respons. Ada yang positif dan ada pula yang negatif. Yang positif adalah bersumber dari argumen bahwa kebijakan kenaikan harga BBM ibarat bom waktu yang suatu saat pasti meledak. Namun dari kalangan mereka pun terbagi menjadi dua kelompok, masing-masing yang mendukung kenaikan 100% dan yang tidak. Yang mendukung berpendapat bahwa kebijakan sekali pukul (one hit policy) lebih baik agar rakyat hanya sekali terkejut namun setelah itu tenang. Sementara yang tidak mendukung berpendapat bahwa lebih baik kenaikan secara bertahap supaya rakyat tidak mengalami kejutan besar. Juga, soal waktu sebaiknya kebijakan tidak dilakukan menjelang lebaran mengingat masa-masa tersebut inflasi biasanya meningkat. Serta, program kompensasi mesti dipersiapkan dengan matang sehingga benar-benar membantu rakyat menghadapi kejutan kenaikan harga BBM. Tidak seperti kenyataan bahwa untuk kenaikan harga BBM Maret 2005, sampai bulan September 2005 dana kompensasi yang disalurkan belum sampai 100%. Untuk infrastruktur pedesaan, dananya belum cair. Sementara itu, bantuan operasional sekolah (BOS) baru 47 persen dan untuk kesehatan, khususnya asuransi kesehatan, mencapai 50 persen. Artinya ada jarak waktu yang cukup lama antara kenaikan harga BBM dan distribusi dana kompensasi. Pada rentang itu pulalah rakyat menderita karena tidak ada penopang untuk menghadapi tekanan harga barang dan jasa.

    Adapun yang merespons secara negatif umumnya lebih bersifat struktural. Artinya, dilema kebijakan kenaikan harga BBM sebenarnya bisa diantisipasi dengan langkah-langkah fiskal, seperti disiplin anggaran serta permohonan penghapusan hutang luar negeri. Tentu kalangan ini memahami betul bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan sangatlah besar dan juga sulit dihadapi dengan mengandalkan program kompensasi. Mengingat institutisionalisasi

    program kompensasi sungguh kompleks. Artinya kenaikan harga BBM adalah langkah-langkah yang benar-benar akhir. Namun, ada pula yang bersumber dari sentimen politik yang hanya anti kebijakan kenaikan BBM tanpa usulan solusi yang elegan. Diantara dua kubu di atas, ada lagi kelompok yang tidak ingin masuk dalam wacana pro-kontra, namun lebih pada keinginan memberikan solusi jangka panjang. Yakni, menawarkan diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM yang bersumber dari fosil. Maklum, Cadangan minyak Indonesia terus menurun: pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barel (MB), pada tahun 2000 sekitar 5123 MB, dan tahun 2004 menjadi sekitar 4301 MB. Diversifikasi energi dapat dilakukan melalui pengembangan sumber-sumber energi baru, seperti bioethanol, biodiesel, panas bumi, mikrohidro, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, limbah, nuklir dan seterusnya. Agenda diversifikasi ini tentu tidak saja hanya pada tingkat kelayakan teknologi, tapi juga mesti sampai pada kelayakan sosial-ekonomi dan lingkungan. Inilah tantangan buat para ilmuwan untuk berkolaborasi satu sama lain dalam mencapai ketiga kelayakan tersebut sekaligus. Dengan harapan kita tidak lagi tergantung pada bahan bakar fosil, bisa terbebas dari ancaman pemanasan global, serta relatif tenang tanpa diombang-ambing oleh harga minya internasional yang tak menentu. Di tengah respons ketiga kelompok di atas, ada lagi respons lain yang lebih bersifat kultural, yakni gerakan hemat energi. Gerakan ini terpaksa diinisiasi pemerintah karena kita memang belum sadar pentingnya hemat energi. Padahal Di Jepang hemat energi sudah membudaya. Lihat saja kebanyakan teras dan rumah gelap di malam hari, begitu pula jalan-jalan. Kebiasaan berjalan kaki berlaku sejak kecil mengingat murid sekolah dasar diwajibkan berjalan kaki ke sekolah. Ada juga ketentuan batas minimal dan maksimal untuk pendingin atau pemanas ruangan. Namun demikian replikasi budaya hemat energi ala Jepang juga tidak mudah mengingat konteks

    1

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    sosial budaya yang berbeda. Sebut saja tingkat kepercayaan (trustworthy) sesama warga, tingkat keamanan, tata ruang kota, dan seterusnya. Jadi, disamping kita perlu utak-atik sisi fiskal baik melalui disiplin anggaran, permohonan penghapusan hutang, cari

    solusi kompensasi yang tepat, juga mesti diiringi dengan diversifikasi energi serta gerakan hemat energi. (ARIF SATRIA)

    2

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatu nesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk

    UTAMA BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia

    Teguh Dartanto

    Staf Bidang Pemikiran dan Kajian PPI Jepang Research Student Graduate School of Economics Hitotsubashi University

    Staf Pengajar dan Peneliti LPEM FEUI E-mail: [email protected]

    1. Pendahuluan Kenaikan harga minyak yang mencapai 60.63 US$/Barel memberikan masalah tersendiri bagi negara-negara pengimpor minyak. Kenaikan harga minyak secara langsung akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan beban hidup masyarakat dan pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dunia. Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga minyak secara tajam. Pertama, invasi Amerika Serikat ke Irak: invasi ini menyebabkan ladang minyak di Irak tidak dapat berproduksi secara optimal sehingga supply minyak mengalami penurunan. Kedua, permintaan minyak yang cukup besar dari India dan Cina. Ketiga, badai Katrina dan Rita yang melanda Amerika Serikat dan merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko [7]. Keempat, ketidakmampuan dari OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia.

    Gambar 1. Rata-rata mingguan fluktuasi harga minya mentah OPEC Kenaikan harga minyak menjadi petaka tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Pada kenyataannya Indonesia yang saat ini dikenal sebagai salah satu penghasil minyak dunia sekarang merupakan salah satu negara pengimpor minyak [6]. Kenaikan ini akan meningkatkan beban anggaran pos subsidi BBM dan pada

    akhirnya akan meningkatkan defisit APBN dari sekitar 0.7% Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1.3% PDB [2]. Upaya pemerintah untuk menutupi defisit APBN adalah menaikkan BBM pada bulan Maret 2005 sebesar 29% dan disusul kenaikan yang tidak wajar dibulan Oktober 2005 sebesar lebih dari 100%. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat dan banyak opini/pendapat muncul tanpa diikuti oleh data-data yang akurat sehingga membingungkan masyarakat. Pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan BBM akan membuka cakrawala dan pola pikir baru terhadap permasalahan yang terjadi. Pada tulisan ini, penulis berupaya memberikan gambaran yang obyektif terhadap permasalahan BBM di Indonesia baik dari sisi produksi, kebijakan energi nasional, alokasi pemanfaatan BBM, dampak kenaikan BBM terhadap inflasi, kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya. 2. Produksi Minyak Indonesia1 Cadangan minyak Indonesia pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barel dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 5123 metrik barel (MB) dan tahun 2004 menjadi sekitar 4301 MB. Penurunan cadangan minyak disebabkan oleh dua faktor utama yaitu eksploitasi minyak selama bertahun-tahun dan minimnya eksplorasi atau survei geologi untuk menemukan cadangan minyak terbaru. Tanpa ditemukan cadangan minyak baru,

    1 Hati-hati jika mencuplik data atau pernyataan pada bagian ini, karena dapat menimbulkan salah persepsi.

    Dunia

    an Pelajar Indo3

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    praktis persedian minyak di Indonesia hanya dapat dieksploitasi sampai sekitar 30 tahunan. Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi minyak di Indonesia juga mengalami penurunan dari tahun ketahun. Produksi minyak tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 1977 yaitu 1686.2 (ribu barel/hari) dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2004 yaitu sebesar 1094.4 (ribu barel/hari). Penurunan ini disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi disektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi disektor perminyakan. Sedangkan disisi konsumsi, konsumsi terhadap produk minyak/Bahan Bakar Minyak terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49.3 ribu barel/hari. Tabel 1. Kondisi perminyakan di Indonesia

    Kondisi perminyakan Indonesia

    2000 2001 2002 2003 2004

    Produksi minyak

    1272.5 1214.2 1125.4

    1139.6

    1094.4

    Konsumsi minyak 996.4 1026 1075.4

    1112.9

    1143.7

    Impor minyak mentah

    219.1 326 327.7 306.7 330.1

    Ekspor minyak mentah

    622.5 599.2 639.9 433 412.7

    Kapasitas pengilangan 1057 1057 1057 1057

    1055.5

    Output pengilangan 968.2 1006.1 1002.4 944.4

    1011.6

    Cadangan minyak (MB)*

    5123 5095 4722 4320 4301

    *data ini merupakan data stock (1000 barel/hari) Sumber: OPEC [5] *Data ekspor dan impor minyak mentah menunjukkan bahwa Indonesia adalah net-eksportir, tetapi sebagian besar ekspor dilakukan oleh Kontraktor KPS sehingga penerimaannya tidak masuk APBN sedangkan impor seluruhnya dilakukan

    oleh Pertamina sehingga masuk pos APBN. Tetapi perlu diingat bahwa produksi minyak Indonesia bukan hanya milik Pemerintah Indonesia saja tetapi hasil minyak produksi Indonesia tersebut harus dibagi dengan Kontraktor perusahaan minyak asing (Production Sharing Contract(dikenal dengan istilah KPS)) yang beroperasi di Indonesia. Skema bagi hasil yaitu sebesar 85% Pemerintah Pusat dan 15% Kontraktor. Perlu diingat bahwa pembagian 85% da 15% bukanlah hasil produksi kotor, tapi merupakan hasil produksi minyak bersih artinya nilai produksi dikurangi dengan biaya ekploitasi, pajak, land-rent, royalti,dll. Sehingga bagi hasil minyak mentah antara pemerintah dan KPS bisa menjadi 60% dan 40% seperti yang ditulis Kwik Kian Gie berikut: Tabel 1 menjelaskan bahwa produksi minyak mentah sebanyak 1.125.000 barel per-hari yang dibagi menjadi "Bagian Pemerintah dan Pertamina" sebanyak 663.500 barel atau 58,98% dan "Bagian Kontraktor Production Sharing (KPS)" sebesar 461.500 barrel atau 41,02%. Yang dipahami oleh rakyat adalah bagian Indonesia 85% dan bagian kontraktor asing 15%. Bagaimana dapat dijelaskan pembagian yang demikian signifikan perbedaannya? [5]. Berdasarkan perhitungan diatas maka minyak mentah yang diterima pemerintah adalah sebesar 656.64 ribu barel/hari (60%x1094,4) sedangkan KPS menerima 437.76 ribu barel/hari. Bagian minyak KPS diekspor keluar negeri dan semua hasilnya merupakan milik KPS. Berdasarkan UU No.25 tahun 1999 dan UU No.33 tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka hasil minyak yang diperoleh pemerintah pusat harus dibagi dengan daerah penghasil dengan proporsi 85% dan 15%. Berdasarkan skema bagi hasil tersebut maka pemerintah pusat menerima bagian minyak sebesar 558.14 ribu barel/hari dan sisanya adalah miliki pemerintah daerah penghasil. Bagian daerah penghasil tidak diberikan dalam bentuk minyak tetapi diberikan dalam bentuk tunai sebesar harga minyak yang ditetapkan dalam APBN. Jadi pada

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    4

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    dasarnya pemerintah pusat mengimpor minyak dari pemerintah daerah. Berdasarkan data diatas dapat dilakukan perhitungan sederhana berapa harga BBM yang dapat dijual ke masyarakat dengan asumsi harga bagian pemerintah pusat adalah 0. Perhitungan sederhana adalah sebagai berikut. Tabel 2. Perhitungan dana pembelian BBM

    Barel Minyak

    Harga US$/Barel

    Hari Jumlah

    Minyak pemerintah pusat

    558,144 0 365 0

    Minyak pemerintah daerah

    98,496 45* 365 1,617,796,800

    Impor minyak mentah**

    330,100 60 365 7,229,190,000

    Impor BBM jadi***

    132,100 65 365 3,134,072,500

    Pengilangan, transportasi,dll****

    1,011,600 5 365

    1,846,170,000

    Jumlah 13,827,229,300 Sumber: Perhitungan Penulis, 2005 *Harga minyak asumsi APBN, **Data impor minyak mentah Tabel 1, ***Data impor BBM jadi adalah selisih antara konsumsi minyak dan output pengilangan pada Tabel 1, **** Data ini berasal dari jumlah output yang minyak yang dikilang Jadi dana penyediaan BBM dalam setahun adalah sebesar 13.827.229.300US$ atau setara dengan Rp. 138 triliun rupiah. Dengan asumsi 1 barel=159 liter (1 barrelbervariasi antara 120 hingga 159 liters.www.answer.com) maka harga jual rata-rata BBM adalah sebesar Rp 2.360/liter (harga jual break-even point). Tetapi konsekuensi dari kebijakan mengasumsikan minyak milik pemerintah pusat 0US$ berarti pos penerimaan minyak di APBN tidak ada dan hal ini akan menurunkan/menghilangkan jumlah penerimaan negara sebesar Rp. 120 triliun dan semakin memperbesar defisit APBN. Tetapi jika harga minyak bagian pemerintah pusat dianggap sebagai

    penerimaan negara dan dihargai sesuai dengan harga asumsi APBN maka biaya penyediaan BBM Rp.230 triliun rupiah dan harga jual rata-rata BBM adalah sebesar Rp. 3920/liter. Dengan mengasumsikan minyak milik pemerintah pusat dianggap sebagai penerimaan negara maka terdapat pos penerimaan minyak di APBN, terjadi peningkatan penerimaan APBN dan defisit anggaran menurun. Dengan mengasumsikan harga minyak mengikuti harga dunia sebesar 60US$/barel maka dana penyediaan BBM adalah sebesar Rp. 266 triliun dan harga jual rata-rata BBM adalah sebesar Rp. 4.530/liter. Kenaikan asumsi harga minyak akan memberatkan APBN, selain itu kenaikan harga BBM akan meningkatkan penerimaan pemerintah pusat. Konsekuensi kenaikan penerimaan dalam APBN maka pemerintah pusat harus meningkatkan Dana Bagi Hasil baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Bagi Hasil Minyak (DBHM) kepada daerah. Sedangkan disisi lain kenaikan harga minyak akan meningkatkan dana penyediaan harga BBM. Dari perhitungan sederhana diatas terlihat penentuan harga BBM sangat tergantung terhadap asumsi harga BBM dan asumsi apakah penerimaan minyak dianggap sebagai penerimaan negara atau bukan. 3. Kebijakan Energi Nasional Kebijakan penentuan harga energi di Indonesia tidak dilakukan melalui mekanisme pasar melainkan ditetapkan secara administrasi oleh pemerintah. Dalam penentuan harga energi ada empat hal yang harus dipertimbangkan yaitu : a. tujuan efisiensi ekonomi : untuk

    memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan harga serendah-rendahnya dan memelihara cadangan minyak untuk keperluan ekspor, khususnya dengan mendorong pasar domestik untuk mensubstitusikan konsumsinya dengan alternatif bahan bakar lain yang persediaannya lebih melimpah (gas dan batubara) atau sumber energi yang nontradable seperti tenaga air (hydropower) dan panas bumi (geothermal),

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    5

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    b. tujuan mobilisasi dana : dengan

    memaksimumkan pendapatan ekspor dan pendapatan anggaran pemerintah dari ekspor sumber energi yang tradable seperti migas, dan batubara dan memungkinkan produsen dari sumber-sumber energi untuk menutupi biaya-biaya ekonominya dan memperoleh sumber-sumber dana untuk membiayai pertumbuhan dan pembangunan,

    c. tujuan sosial (pemerataan) : mendorong pemerataan melalui perluasan akses bagi kebutuhan pokok yang bergantung pada energi seperti penerangan, memasak dan transportasi umum, dan

    d. tujuan kelestarian lingkungan: mendorong agar pencemaran lingkungan seminum mungkin sebagai dampak pembakaran sumber-sumber energi.

    Keempat tujuan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan tujuan di atas, sehingga kemungkinan bentrokan antar tujuan dapat di atasi. Keempat tujuan di atas tidak mungkin dicapai karena konflik antar tujuan pasti akan terjadi. Sebagai contoh studi yang dilakukan Pitt (1985 dalam [4]) menunjukkan tujuan untuk mengurangi dampak lingkungan praktis tidak tercapai. 4. Alasan Kenaikan Harga Minyak di Indonesia Argumen yang dilakukan pemerintah untuk dan kalangan pendukung kenaikan BBM adalah sebagai berikut: a. perbedaan harga jual domestik

    dengan harga luar negeri yang sangat timpang akibat peningkatan harga minyak bumi yang dewasa ini telah mencapai US$ 50 per barrel, jauh di atas harga minyak bumi yang ditetapkan dalam asumsi harga minyak dalam APBN 2005 sebesar US$ 24 per barrel. Perbedaan harga ini menimbulkan kemudian pembengkakan subsidi,

    Tabel 3. Tambahan defisit APBN 2005 akibat kenaikan harga minyak

    Harga Minyak

    $28/bbl

    $30/bbl

    $32/bbl

    $38/bbl

    $40/bbl

    Rp (triliun) 2.9 4.3 5.7 8.5 11.4

    % thd PDB 0.1 0.2 0.2 0.3 0.4

    Sumber: Estimasi Staf[4] b. penyesuaian harga BBM telah

    dilakukan oleh hampir semua negara di dunia termasuk negara-negara yang berpendapatan lebih rendah dari Indonesia seperti India, Bangladesh atau negara-negara di Afrika. Bahkan di Timor Timur yang merupakan salah satu negara termiskin di dunia harga domestik BBM jauh di atas harga BBM di Indonesia.

    GermanyUK

    JapanIndia

    BrazilUSA

    RussiaChina

    NigeriaIndonesia

    Egypt

    Grafik 2. Perbandingan harga premium di berbagai negara c. harga domestik yang domestik yang

    terlalu rendah juga telah mendorong pertumbuhan tingkat konsumsi yang sangat tinggi. Sepanjang tahun 2004 lalu pertumbuhan BBM antara 5 % per tahun. Sementara produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan. Selain itu perbedaan harga domestik dan international yang cukup tinggi mendorong terjadinya penyelundupan,

    d. alasan lain yang menjadi dasar adalah menyangkut masalah keadilan. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok 40% kelompok teratas temasuk untuk minyak tanah sekalipun,

    0 5 100 1500

    Prem

    uro

    cent

    s per

    liiu

    m P

    etro

    l [E

    ter]

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    6

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Tabel 4. Proporsi komsumsi BBM berdasarkan kelompok pengeluaran

    Kelompok Pengeluaran BBM Minyak Tanah 20% Terbawah 7 10

    20% Kedua Terbawah 11 15

    20% Ditengah 16 20

    20% Kedua Teratas 23 24

    20% Teratas 43 31

    Sumber: Susenas 2002 a. penyesuaian harga BBM ini

    memungkinkan pemerintah dengan persetujuan DPR mengalokasikan lebih banyak untuk program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan baik yang bersifat investasi jangka panjang (pendidikan dan kesehatan) maupun pengurangan biaya transaksi (infrastruktur pedesaan) dan pengurangan beban keluarga miskin dalam jangka pendek, dan

    b. dalam jangka panjang kebijakan ini juga akan mengoreksi kebijakan energi yang dewasa ini tidak rasional. Harga relatif BBM dibandingkan dengan batubara atau gas yang lebih murah menyebabkan insentif penggunaan sumber energi yang lebih murah dan sumber domestik relative melimpah berkurang. Prasyarat utama untuk mendorong penggunaan sumber energi ini (termasuk yang renewable) adalah mengoreksi harga BBM sehingga diharapkan efisiensi penggunaan energi akan tercapai dalam jangka panjang.

    5. Dampak Kenaikan BBM Terhadap Inflasi Kenaikan harga BBM secara langsung akan mempengaruhi kenaikan harga-harga barang lain karena BBM merupakan bagian dari faktor input. Dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum (CGE) LPEM-UI [4], secara keseluruhan dampak inflasi dari kenaikan BBM Maret 2005 adalah sebesar 0.9718%.2 Berdasarkan kenyataan diatas

    2 Hasil perhitungan ini lebih rendah dibandingkan dengan perhitungan yang dilakukan oleh metoda lain. Misalnya Bank Dunia memperkirakan dampak inflasi dari kenaikan harga BBM 30% ini mencapai 1.2%

    bahwa kenaikan BBM bulan Oktober 2005 diperkirakan akan menambah kenaikan inflasi tahun 2005 sebesar 2.8-3.0%. Estimasi dampak inflasi diatas hanya mencakup perhitungan yang wajar didasarkan pada struktur konsumsi rumah tangga dan struktur biaya produksi industri. Dengan demikian perhitungan diatas tidak memperhitungkan kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor lain seperti perilaku pengusaha untuk menggeserkan beban kenaikan harga BBM kepada konsumen dengan menaikkan harga produk mereka secara tidak wajar. Inflasi yang terjadi adalah gabungan dari inflasi murni dan inflasi psikologis. Inflasi yang terjadi pada bulan Maret 2005 sebulan setelah kenaikan harga BBM adalah sebesar 1,93% dan bulan berikutnya mengalami deflasi. Inflasi psikologis disebabkan oleh para pengusaha yang tidak wajar dalam menggeser beban kenaikan BBM. Salah satu contoh upaya untuk menggeserkan beban kenaikan BBM secara tidak wajar adalah tuntutan sopir angkutan dan organda untuk menaikkan tarif sebesar 30%. Perlu dicatat bahwa total biaya angkutan tidak hanya biaya operasi tapi juga ada biaya kapital yang sangat besar. Kalau dihitung dari biaya total biaya secara keseluruhan, biaya BBM di sektor angkutan darat rata-rata mencapai 13% pada akhir tahun 2001. Setelah kenaikan harga BBM tahun 2002, diperkirakan diperkirakan pengeluaran BBM tidak mencapai 20% dari total biaya produksi. Dengan demikian, kenaikan yang wajar dari tarip hanya sebesar 5.8% (29%20%=5,8%) [4]. Tabel 5. Dampak inflasi dari kenaikan harga BBM Maret 2005

    Jenis Barang Kenaikan Harga (%) Jenis Barang Kenaikan Harga (%)

    Padi 0.23 Konstruksi 2.041

    Sayuran 0.26 Perdagangan 1.025

    Hasil Ternak 0.441 Restoran 0.821 Perikanan Laut 0.995 Hotel 0.767

    Minyak Goreng 0.471

    Angkutan Kereta Api 2.824

    Beras 0.561 Angkutan Darat 4.117

    Gula 0.65 Pelayaran 3.082 Pertambangan 0.798 Angkutan Air 4.21

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    7

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Pupuk 0.537 Angkutan Udara 0.097

    Industri Baja 0.916 Komunikasi 0.481

    Listrik 0.08 Keuangan 0.522

    Gas 0.325 Jasa-Jasa Lain 0.639

    Air Bersih 0.477

    Sumber: Hasil Simulasi Model CGE [4] Hal ini juga didukung oleh temuan dari pengolahan data statistik industri. Ternyata, dari total input industri di Indonesia pada tahun 2003, bahan bakar minyak merupakan input dengan porsi sedikit. Hanya sekitar 3,68 persen dari total input industri. Secara sederhana, jika terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 80 persen sekalipun, maka implikasi peningkatan biaya input produksi hanya sekitar 2,94 persen (Syarif Syahrial, Kompas, 1 Oktober 2005). 6. Dampak Kenaikan BBM Terhadap Kemiskinan Dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan sangat tergantung terhadap kenaikan harga BBM terhadap inflasi. Inflasi akan mendorong peningkatan garis kemiskinan. Jika inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM khususnya inflasi bahan makanan cukup tinggi maka dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan juga tinggi. Berdasarkan hasil simulasi data Susenas 2002 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin akibat kenaikan harga BBM bulan Maret 2005 (asumsi inflasi sebesar 0.9%) adalah sebesar 0.24% (dari 16.25%-1649%) dan jika inflasi yang terjadi semakin besar maka angka kemiskinan juga akan membesar. Berdasarkan kenyataan diatas kemungkinan besar kenaikan BBM Oktober 2005 akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1% atau sekitar 2 juta orang. Tabel 6. Dampak Kenaikan Inflasi dan Kemiskinan di Indonesia Initial Expected Inflation

    Condition 1X 2X 3X 4X

    Poverty (HCI) 16,25 16,49 16,68 16,95 17,18

    Source: Working Paper [4]: The impact study of the increasing fuel price 2005 to the poverty incidence Calculation from Susenas 2002

    * garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan BPS 2002 yaitu perkotaan=Rp. 130.499/bulan/kapita dan pedesaan=Rp. 96.512/bulan/kapita. * Data Tabel 6 merupakan angka simulasi dan data Susenas 2002 tidak termasuk Aceh dan Papua. 7. Dampak Kompensasi BBM Terhadap Kemiskinan dan Problematika Sosial Tujuan utama kebijakan dana kompensasi BBM berupa Raskin dan Subsidi Tunai Langsung (SLT) adalah sebagai jaring pengaman sosial yang bersifat sementara yaitu mengamankan orang-orang yang berada dibawah garis kemiskinan dan hampir miskin terhadap gejolak perekonomian. Secara teoritis kebijakan ``Cash Transfer`` lebih baik jika dibandingkan subsidi BBM seperti yang terjadi selama ini dimana sebagian besar BBM dinikmati kelompok non-miskin. Berdasarkan teori compensating variation (Varian, 1996 dalam Dartanto,Media Indonesia, 2005) menunjukkan bahwa ``Cash Transfer`` akan mengembalikan daya beli kelompok miskin pada kondisi yang semula yaitu kondisi daya beli sebelum adanya kenaikan harga BBB. Dana Kompensasi BBM Raskin dan SLT bukanlah program pengentasan kemiskinan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, tetapi lebih bersifat sementara dan konsumtif. Kebijakan dana kompensasi BBM menimbulkan berbagai problematika sosial tersendiri. Dampak yang sangat besar dari kebijakan ini adalah dampak sosial. Walaupun dampak ini tidak mudah untuk dikuantifisir, tetapi kebijakan masif transfer menyimpan potensi yang besar untuk menyulut kecemburuan sosial, merusak tatanan dan ikatan sosial dilevel bawah. Berdasarkan pengamatan penulis pada kasus penyaluran Raskin disebuah desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa ketika raskin hanya diberikan kepada kelompok miskin ternyata menimbulkan kecemburuan bagi kelompok yang nyaris miskin dan tidak miskin (Teguh Dartanto, Media Indonesia, 12 September 2005). Permasalahan lain yang muncul belakangan ini adalah banyak warga miskin yang tidak terdaftar sebagai penerima dana kompensasi,

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    8

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    salah sasaran, keributan antar warga, pengrusakan kantor pos dan gedung kelurahan, mati berdesak-desakan saat pengambilan SLT, ketua RT bunuh diri, warga bunuh diri,dll. 8. Rekomendasi Kebijakan a. Sebagai upaya untuk mengurangi

    ketergantungan terhadap impor minyak, pemerintah seharusnya berupaya untuk meningkatkan produksi minyak nasional dengan perbaikan iklim investasi di sektor pertambangan minyak sehingga mampu menggairahkan kegiatan eksplorasi dan eksplitasi minyak bumi.

    b. Walaupun pencabutan subsidi BBM secara teori ekonomi memiliki argumentasi yang kuat, pemerintah juga harus memperhatikan faktor sosial dan politik akibat pencabutan subsidi BBM.

    c. Untuk meningkatkan kepercayaan publik, pemerintah seharusnya melakukan pembenahan dan audit Pertamina

    d. Upaya untuk menolong dunia usaha yang kian terpuruk akibat kenaikan BBM, maka pemerintah dapat melakukan: penghapusan ekonomi biaya tinggi, penghapusan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi, penyederhanaan rantai perijinan serta insentif fiskal.

    e. Pemerintah harus bersikap dan bertindak tegas terhadap pengusaha yang menggeser kenaikan harga BBM dengan menaikkan harga secara tidak wajar dan tidak didukung data yang kuat.

    f. Kenaikan kebutuhan bahan pokok dapat meningkatkan kemiskinan secara tajam, oleh karena itu pemerintah seharusnya mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok ditingkat yang wajar sehingga tidak memberatkan kalangan konsumen miskin dan kalangan petani sebagai produsen.

    g. Pengalihan subsidi BBM ke subsidi langsung sebaiknya diarahkan kearah kegiatan yang bersifat produktif, jangka panjang, berkelanjutan dan mampu meningkatkan kapasitas modal manusia seperti program padat karya, pengembangan usaha kecil menengah, pendidikan dasar dan

    kesehatan. h. Raskin dan Subsidi Tunai Langsung

    secara masif seperti saat ini harus diposisikan sebagai Jaring Pengaman Sosial yang bersifat emergency dan sementara.

    i. Subsidi Langsung Tunai untuk selanjutnya seharusnya diberikan kepada kelompok usia non-produktif diatas 60 tahun yang miskin sebagai Jaminan Sosial. Sedangkan kelompok miskin usia produktif diarahkan untuk berusaha dan bekerja.

    9. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Cadangan minyak dan produksi

    minyak dunia terus mengalami penurunan sedangkan komsumsi minyak semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian sehingga sejak tahun 2004, Indonesia merupakan net-importer.

    b. Penentuan harga jual BBM di Indonesia sangat ditentukan oleh asumsi harga minyak APBN dan asumsi apakah minyak dianggap sebagai penerimaan negara atau bukan.

    c. Alasan kenaikan harga BBM di Indonesia antara lain: defisit APBN, kenaikan BBM dilakukan banyak negara, harga BBM rendah mendorong peningkatan konsumsi, disparitas harga mendorong penyelundupan, subsidi BBM banyak dinikmati golongan kaya, realokasi subsidi BBM ke subsidi yang bersifat produktif, dan insentif berkembangnya energi alternatif.

    d. Dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan sangat tergantung dari dampak kenaikan BBM terhadap inflasi khususnya inflasi bahan makanan.

    10. Daftar Pustaka [1] Dartanto, Teguh, 2004, Is The Economic Growth Enough for Reducing The Poverty Incidence In Indonesia?, Presentasi Paper: ISA 2004.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    9

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    [2] -----------------------, 2005a, Mengkritik Kebijakan Cash Tranfer. Media Indonesia:12/9/2005.

    [5 ]Kwik Kian Gie, 2005, Minyak: Teka-teki, manipulasi atau 'So What Gitu Lho. Bisnis Indonesia, 12/09/2005.

    [3] -----------------------, 2005b, Kontroversi Kenaikan Harga BBM 2005. Wacana Alumni, LPEM FEUI.

    [6] OPEC, 2004, Annual Statistic Bulletin. [7] -------, 2005, Monthly Oil Market Report. [4] Ikhsan, Dartanto, Usman, dan

    Herman, 2005, Kajian Dampak Kenaikan Harga BBM 2005 Terhadap Kemiskinan, Working Paper:LPEM FEUI.

    [8] Syahrial, Syarif.`` Redam Ekspektasi Kenaikan Harga``. Kompas,01/10/2005.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    10

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatu nesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk

    UTAMA Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi Alternatif

    Agus Syarip Hidayat

    Mahasiswa Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC) Hiroshima University [email protected]

    1. Pendahuluan Secara umum terjadinya peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian berkembang kegiatan ekonomi dan kian bertambah jumlah penduduk. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan pertumbuhan ekonomi terus berlangsung yang ditunjukkan oleh kian bertambah output serta beragam aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan energi adalah suatu hal yang tak bisa dihindari. Berdasarkan pemaparan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi [4] dalam diskusi di Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI pada tahun 2004, dinyatakan bahwa pada tahun 1970, konsumsi energi primer 1 hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak). Tiga puluh satu tahun kemudian, tepatnya tahun 2001 konsumsi energi primer telah menjadi 715 juta SBM atau mengalami pertumbuhan yang luar biasa yaitu sebesar 1330% atau pertumbuhan rata-rata periode 1970-2001 sebesar 42.9%/tahun. Di tengah cadangan energi yang kian menipis, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM), maka jelas keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Dalam situasi seperti ini, maka memahami pola konsumsi energi yang dilakukan oleh masyarakat adalah suatu keharusan dan menjadi hal penting bagi pemerintah sebagai regulator dan pengendali kebijakan dalam perekonomian khususnya dalam membuat kebijakan dan aturan-aturan di bidang energi. Selain itu, juga bagi masyarakat sebagai konsumen untuk turut serta dalam upaya menghemat dan mendiversifikasi pemakaian energi.

    1 Energi primer merupakan sumber energi yang

    digali dari alam yang setelah memasuki proses pengolahan kemudian dimanfaatkan untuk mem an energi.

    2. Konsumsi BBM, Batu Bara dan Gas Bumi

    2.1 Bahan Bakar Minyak BBM masih merupakan energi utama yang dikonsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1990 konsumsi BBM sebesar 169.168 ribu SBM, angka ini adalah 40.2 % dari total konsumsi energi final. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2000, konsumsinya meningkat menjadi 304.142 ribu SBM, dimana proporsi konsumsinya pun turut meningkat menjadi 47.4 %. Proporsi pemakaian BBM yang tinggi terkait dengan keterlambatan upaya diversifikasi ke energi non minyak akibat harga BBM yang relatif murah karena masih mendapat subsidi dari pemerintah [6]. Kebijakan pemberian subsidi BBM ini dimulai sejak tahun anggaran 1977/1978 dengan maksud untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional melalui penciptaan stabilitas harga BBM sebagai komoditas yang strategis. Namun dalam perjalanannya subsidi BBM ini ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Masyarakat cenderung boros menggunakan BBM dan ada indikasi bahwa alokasi subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang seharusnya tidak perlu mendapatkan subsidi. Dilihat dari sisi pemakai BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Kemudian di susul oleh sektor rumah tangga, sektor industri dan pembangkit listrik. Sedangkan, jika dilihat ketersediaannya, selama ini kebutuhan BBM dipasok oleh Pertamina dan impor. Beberapa jenis energi BBM yang sebagian penyediaannya melalui

    Dunia

    an Pelajar Indoenuhi kebutuh11

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    impor adalah avtur, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar. Tabel 1. Pangsa Konsumsi BBM Persektor Tahun 1994-2003

    Tahun

    Industri (%)

    Rumah Tangga & Komersial (%)

    Transportasi (%)

    Pembangkit Listrik (%)

    1994 23.2 21.6 45.8 9.4 1997 21.1 19.0 47.9 12.0 1998 21.5 20.7 48.8 9.0 2000 21.7 22.2 47.1 9.0 2003 24.0 18.2 47.0 10.7* Sumber: Ditjen Migas. diolah. *Termasuk sektor lain-lain Satu hal yang mengkhawatirkan adalah bahwa ada kecenderungan impor BBM kian meningkat. maka bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan mengimpor sepenuhnya kebutuhan BBM bila upaya mendiversifikasi pemakaian energi non BBM tidak dilakukan secara serius. Pada tahun 1992 pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 201.577 ribu SBM. ternyata kilang dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 167.944 ribu SBM. sehingga harus mengimpor sekitar 33.633 ribu SBM atau bila dirata-ratakan setiap harinya harus mengoimpor BBM sebanyak 92.145 SBM. Angka impor BBM ini terus meningkat hingga mencapai 107.935 ribu SBM pada tahun 2003 atau sekitar 32.75 % dari total konsumsi BBM dalam negeri. 2.2 Konsumsi Batubara Pada tahun 1993. pemakaian batubara mulai diperkenalkan untuk konsumsi rumah tangga dan industri kecil yaitu dalam bentuk briket batubara. Namun perkembangannya kurang begitu menggembirakan. Banyak faktor yang menyebabkan batu bara kurang diminati oleh masyarakat walaupun harganya relatif murah. Menurut Indah Susilowati PhD. ahli ekonomi sumber daya alam dari Universitas Diponegoro menyatakan

    bahwa ada tiga hal yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik menggunakan energi alternatif (termasuk batubara) yaitu: Pertama adalah masalah kebiasaan. sudah sejak lama masyarakat terbiasa menggunakan minyak dan sulit untuk mengubah kebiasaan ini secara drastis. butuh waktu yang lama. Kedua adalah masalah kepraktisan. menggunakan minyak lebih praktis dibandingkan dengan bricket batu bara atau mungkin energi altrnatif lainnya. Ketiga adalah ketersediaan energi alternatif (briket batubara dll) di pasar tidak terjamin secara berkesinambungan. Selama ini kebutuhan batubara dipasok dari industri batubara dalam negeri dan batubara impor. Secara kuantitas. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan batubara dari sumber domestik. Kapasitas produksi dan ketersediaan batubara dalam negeri cukup melimpah. cadangannya diperkirakan 36.3 milyar ton. namun 50-85 %nya berkualitas rendah [5]. Selanjutnya. untuk mendapatkan hasil olahan batubara yang bagus. maka perlu ada campuran dengan batubara berkualitas tinggi yang diimpor dari beberapa negara. Pada tahun 1990. impor batubara sekitar 2.930 ribu SBM atau 31.1% dari total konsumsi batubara nasional. Secara perlahan impor batubara ini terus mengalami penurunan. dan pada tahun 2000 berkisar 661 ribu SBM atau 3% dari tingkat konsumsi batubara nasional. Penurunan impor batubara ini terjadi seiring dengan kemampuan industri batubara dalam negeri untuk mengolah batubara yang cukup berkualitas sesuai dengan permintaan pasar. 2.3 Konsumsi Gas Bumi Konsumsi gas bumi selama tahun 1990-2000 pertumbuhannya rata-rata sekitar 4.7 % pertahun. Hingga tahun 2000. tingkat konsumsinya hanya sebesar 5.8 %. Selama ini pemanfaatan gas bumi lebih banyak digunakan oleh sektor industri untuk keperluan bahan bakar dalam berproduksi. Pada tahun 2000. sektor industri memanfaatkan sekitar 99 % dari total konsumsi gas bumi dalam negeri [6]. Sementara sektor rumah tangga. komersial. listrik dan transportasi hanya sedikit saja menggunakan energi ini.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    12

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Gas bumi merupakan energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan sebagai energi pengganti minyak bumi. Gas bumi ini terdiri dari gas alam dan gas kota. Total cadangannya sekitar 170 TSCF (Trillion Standard Cubic Feet). sementara hingga saat ini yang terbukti sebesar 95 TSCF. Dengan asumsi produksinya konstan seperti saat ini sebesar 2.9 TSCF dan tidak ditemukan cadangan baru. maka jumlah ini cukup untuk 30 tahun ke depan. Belum optimal pemanfaatan gas bumi selama ini lebih disebabkan oleh kurang didukung sarana di bidang ini. Sebagai contoh. di Palembang. Sumatra Selatan. gas bumi dalam bentuk gas kota banyak diminati oleh masyarakat. namun karena keterbatasan sarana (pipa penyalur gas). hanya sebagian kecil saja masyarakat yang dapat terlayani. 3. Konsumsi Energi Berdasarkan

    Sektor Pemakai 3.1 Konsumsi Energi Sektor Rumah

    Tangga Konsumsi energi sektor rumah tangga adalah seluruh konsumsi energi untuk keperluan rumah tangga tidak termasuk konsumsi untuk kendaraan pribadi. Konsumsi energi untuk kendaraan pribadi dimasukkan ke dalam kelompok penggunaan oleh sektor transportasi. Berdasarkan data pangsa pemakaian energi final walaupun tidak melakukan aktivitas produksi yang bersifat komersial, sektor rumah tangga merupakan sektor pemakai energi final terbesar diantara sektor lainnya [3]. Pada tahun 1990, sektor rumah tangga mengkonsumsi 56.5 % dari total energi final. Memasuki tahun 1995. proporsi pemakaiannya mulai menurun menjadi 49.5% dan kecenderungan penurunan ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2000 tingkat pemakaian energi final oleh rumah tangga menjadi 46.3 %. Kian menurun pangsa pemakaian energi final di sektor rumah tangga ini bukan dikarenakan penurunan pemakaian energi di rumah tangga. namun lebih disebabkan oleh terjadi pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang pesat sehingga

    menyebabkan besaran konsumsi energi final menjadi bertambah besar. Di kawasan ASEAN pun. pemakaian energi oleh rumah tangga Indonesia merupakan yang terbanyak bila dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Berdasarkan data ASEAN Energy Review [2], pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor komersial Indonesia mengkonsumsi energi sebesar 52 % dari konsumsi energi total yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan sektor komersial di ASEAN. Sementara konsumsi energi negara lainnya seperti Thailand sebesar 20.9%, Malaysia 11. 2 %, Philipina 10.6%, Singapura 4.7%, dan Brunei hanya 0.8%. Berdasarkan jenis energi yang digunakan tercatat bahwa minyak tanah merupakan jenis energi terbesar kedua yang mereka konsumsi setelah kayu bakar. Pangsa konsumsi minyak tanah dari total energi final yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama tahun 1990-2000 berkisar antara 16 -18 %. 3.2 Konsumsi Energi Alternatif di

    Sektor Rumah Tangga Selain minyak tanah. energi lain yang dikonsumsi oleh rumah tangga adalah briket. LPG. gas kota. listrik. arang dan kayu bakar. Pangsa konsumsi sektor rumah tangga untuk energi alternatif (non minyak) ini mencapai kurang lebih 82% dari total energi final yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pola konsumsi untuk energi non minyak di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan kayu bakar. Sementara batu bara yang sudah diperkenalkan untuk konsumsi rumah tangga pada tahun 1993 ternyata tingkat penggunaan masih sangat kecil. Hingga tahun 2000 hanya memilki tingkat penggunaan sebesar 0.03%. Dilihat dari pertumbuhan pun ada kecenderungan kian menurun. Sama halnya dengan batu bara. konsumsi LPG dan gas kota juga tingkat penggunaannya masih relatif kecil. Pada tahun 1990. tingkat penggunaan LPG oleh rumah tangga hanya 0.8 %. sementara gas kota hanya 0.02%. Empat tahun berturut-turut proporsi penggunaan LPG tidak mengalami perubahan hanya sebesar

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    13

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    0.8 %. Hal yang sama terjadi pada proporsi penggunaan gas kota. selama delapan tahun berturut-turut tetap tidak ada perubahan hanya sebesar 0.02%. Beberapa faktor yang menyebabkan pola konsumsi di sektor rumah tangga lebih terkonsentrasi pada penggunaan minyak tanah dan kayu bakar. yaitu: pertama, faktor harga. Minyak tanah merupakan energi dengan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan energi lain yang digunakan untuk keperluan yang sama. Kedua, faktor pendapatan. Sebagian besar rumah tangga di Indonesia merupakan kategori kelompok rumah tangga dengan pendapatan rendah dan menengah. Pada kelompok rumah tangga seperti ini. energi (bahan bakar) yang terjangkau dan umum digunakan adalah minyak tanah dan kayu bakar. Ketiga, alasan kepraktisan. Keempat, kurangnya sosialisasi pemanfaatan energi non minyak. Program pemanfaatan diversifikasi energi yang dicanangkan oleh pemerintah ternyata belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Hingga saat ini belum banyak masyarakat tahu briket batubara dan cara menggunakannya untuk keperluan rumah tangga. 3.3 Konsumsi BBM di Sektor Industri BBM merupakan energi dominan yang digunakan untuk aktivitas produksi oleh sektor industri. Selama tahun 1990-2000 tingkat konsumsi BBM sektor industri terhadap total konsumsi BBM dalam negeri rata-rata sebesar 21.8% setiap tahunnya. Konsumsi BBM oleh sektor industri senantiasa mengalami kenaikan. Peningkatan terbesar terutama terjadi pada jenis minyak solar. minyak bakar dan minyak tanah. Namun memasuki tahun 1998 konsumsi BBM sektor industri mengalami penurunan sebesar 4.3%. Hal ini berlanjut hingga tahun 1999 dimana konsumsinya turun sebesar 6.2%. Terjadinya penurunan ini merupakan efek dari krisis ekonomi yang mulai melanda pada pertengahan tahun 1997. Sejak krisis ekonomi, banyak industri yang menghentikan produksinya, sementara yang lain walaupun tetap berproduksi namun dengan kapasitas yang lebih

    rendah dari sebelumnya. Kejadian seperti ini banyak terjadi pada industri makanan dan minuman, industri tekstil, pakaian jadi, industri kulit, dan barang dari kulit. Memasuki tahun 2000 konsumsi BBM di sektor industri kembali meningkat, bahkan pertumbuhan nya terbilang tinggi yaitu 23.5 %. Dalam lingkup mikro perlu diwaspadai bahwa peningkatan pemakaian energi di sektor industri dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya terjadi karena proses transformasi struktural yang cepat dari pertanian ke industri saja. namun lebih jauh dari itu diduga karena terjadi pemborosan pemakaian energi di sektor ini. Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 telah membuat kurs rupiah terdepresiasi sangat tajam. Keadaan ini sangat memukul industri dalam negeri yang selama ini masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap mesin-mesin produksi impor, sehingga banyak diantara mereka yang tak mampu untuk mengup-grade mesin-mesin produksinya. Sehingga banyak yang beroperasi hanya mengandalkan mesin-mesin tua yang tentu saja sangat boros bahan bakar. Indikasi ini bisa dilihat dari nilai intensitas energi pada tahun 1997 yaitu 4.196, nilai ini mengalami lonjakan yang cukup besar dari tahun 1996 yang hanya 2.637. Intensitas energi yang kian besar berarti bahwa pemakaian energi kian tidak efisien. Bila dilihat hubungan nilai tambah sektor industri dengan pemakaian energi, ternyata sebelum dan sesudah krisis ekonomi mengalami perubahan. Pada masa sebelum krisis ekonomi. pertumbuhan nilai tambah lebih besar dari pertumbuhan pemakaian energi. Namun semenjak tahun 1998, yang terjadi sebaliknya, pertumbuhan pemakaian energi lebih besar dari pertumbuhan nilai tambahnya. Hal ini khusus terjadi pada industri makanan, industri tekstil, industri kertas, dan industri kimia. Selain itu ada dugaan bahwa pemakaian energi di sektor industri lebih besar dari data yang disajikan oleh departemen energi dan sumber daya mineral. Selama ini konsumsi energi di sektor industri khususnya untuk BBM dicatat dengan pendekatan dari sisi supply yaitu berdasarkan pasokan langsung dari Pertamina. Padahal kalau kita menyimak

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    14

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    berita di media massa. ternyata selama ini banyak penyelewengan penggunaan BBM oleh sektor industri yaitu berupa pengalihan jatah BBM rumah tangga ke sektor industri. Hal ini terjadi karena adanya disparitas harga yang cukup besar. dimana BBM untuk sektor industri sudah tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Jadi sebenarnya intensitas energi di sektor industri yang menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian energi akan lebih besar dari angka yang ada. 3.4 Konsumsi Energi Alternatif di

    Sektor Industri Energi alternatif (non minyak) yang digunakan oleh sektor industri meliputi batu bara, LPG gas, dan kayu bakar. Rata-rata tingkat pemakaian energi non minyak terhadap total energi final yang dikonsumsi di sektor industri dalam periode tahun 1990-2000 sekitar 47%/tahun. Tabel 2 di bawah memperlihatkan bahwa pertumbuhan konsumsi batubara di sektor industri cukup tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan yang negatif pada tahun 1996 lebih disebabkan oleh terjadinya kenaikan harga batubara untuk beberapa industri yang menggunakan bahan bakar batubara cukup besar. Pada tahun 1999 juga terjadi kenaikan harga batubara untuk beberapa industri dan lebih luas dari tahun 1996. namun juga terjadi penurunan harga untuk sebagian industri lainnya. maka penurunan pemakaian batubara tidak terlalu tajam sebesar 5.3 %. Selanjutnya. konsumsi LPG dan gas di sektor industri selama tahun 1990-2000 juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Rata-rata pertumbuhan pemakaian LPG dan gas masing-masing sebesar 11.8 % dan 4.7 % pertahun dalam periode tersebut. Krisis ekonomi yang dimulai pertengahan tahun 1997 telah membuat collapse beberapa industri. sehingga permintaan energi pada tahun 1998 mengalami penurunan termasuk LPG dan gas (kecuali batubara tetap meningkat). Pertumbuhan pemakaian LPG yang negatif pada tahun 1998 juga terjadi karena kenaikan harga LPG untuk sektor industri sebesar 50 %, yaitu dari Rp 1000 per kg menjadi 1500 per kg.

    3.5 Konsumsi Energi Sektor Transportasi

    Sektor transportasi merupakan sektor terbesar pengguna Bahan Bakar Minyak diantara sektor-sektor lain. Pada tahun 1990. tingkat pemakaian BBM terhadap pemakaian BBM total dalam negeri sebesar 41.3 %. Angka ini terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2000 sudah mencapai 47.1 %. Menurut studi yang pernah dilakukan oleh Departemen Perhubungan, subsektor perhubungan darat mengkonsumsi sekitar 80 % dari seluruh BBM yang dikonsumsi oleh sektor perhubungan. Sementara sektor perhubungan udara, perhubungan laut, dan ASDP memakai sarana dengan standar internasional, sehingga konsumsi di sub sektor ini sudah dianggap mencapai efisiensi yang wajar [1]. Peningkatan pemakaian BBM di sektor ini berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Lebih jauh dari itu Abdulkadir [1] menyebutkan bahwa efisiensi dalam pemakaian BBM di sektor transportasi sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut: (1) pengaturan dan disiplin lalu lintas yang baik, (2) kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan sebagai fungsi pemeliharaan dan penggantian suku cadang yang tepat, (3) cara dan teknik mengemudi, (4) kondisi dan lebar jalan yang menentukan kecepatan rata-rata kendaraan, (5) banyaknya konstruksi atau cegatan jalanan untuk pelbagai maksud, dan (6) kepadatan lalu lintas yang berlebih-lebihan. 3.6 Konsumsi Energi Alternatif di

    Sektor Transportasi Penggunaan energi alternatif di sektor transportasi sudah dirintis sejak 3 Januari 1986. yaitu dengan memanfaatkan Bahan Bakar Gas (BBG) sebagai pengganti bensin atau solar. Program ini belumlah dilaksanakan secara nasional, tapi masih dalam bentuk Pilot Project yang khusus digunakan pada taksi dan mikrolet di DKI Jakarta. Selain BBG, pada bulan Agustus 1995 ditetapkan juga pemanfaatan LPG untuk sektor transportasi [7]. Dilihat dari sisi harga. bahan bakar gas ini relatif lebih murah sekitar Rp 450 per LSP (Liter Setara Premium). Dilihat dari kegunaan BBG lebih irit daripada premium. Bila

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    15

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    diasumsikan bahwa satu LSP BBG memberikan manfaat yang sama dengan satu liter premium, maka ada selisih harga sekitar Rp 4.050 perliter, karena saat ini premium dijual dengan harga sekitar Rp 4.500 perliter Bisa kita bayangkan berapa besar penghematan pemakaian bahan bakar di sektor transportasi jika upaya diversifikasi pemakaian BBG ini berjalan sukses. Namun selama ini yang menjadi masalah adalah peralatan pendukung yang relatif mahal dan juga keamanan belum sepenuhnya terjamin. Disamping itu, ketersediaan stasiun BBG juga masih terbatas. Belum lagi proses pengisian yang butuh waktu lama. Hal ini merupakan beberapa penyebab mengapa pemakai BBG dan LPG di sektor transportasi masih sedikit. 4. Peluang Pengembangan Energi

    Alternatif Kebijakan penghapusan subsidi BBM pada tahun 2005 merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengembangkan batubara sebagai energi alternatif yang prospeknya cukup menjanjikan. baik dilihat dari cadangan yang melimpah maupun dari harga yang relatif lebih murah dibanding BBM. Sebagai contoh bila digunakan di sektor listrik, batubara lebih murah dibanding BBM. Pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang menggunakan solar, harga listrik mencapai Rp 500 per KWh. Sementara menggunakan batubara biayanya hanya sekitar Rp 50 per KWh. Jadi bisa menghemat biaya kurang lebih Rp 30 milyar per tahun2. Bila digunakan di sektor rumah tangga pun untuk keperluan memasak atau sektor industri untuk bahan bakar, batubara sangatlah hemat. Setiap satu liter minyak tanah dapat digantikan dengan 0.6 kg briket batubara (Soedjoko dalam Warta, 2003). Berdasarkan pada hitungan konversi energi ini, kita dapat mengambil contoh penghematan yang akan diperoleh. Pada tahun 2003. harga batubara sekitar Rp 222.27 per kg. sementara minyak tanah Rp 700 per liter. Pada tahun 2003

    2 Hasil Perhitungan Firdaus Akmal, Dirut PT. Indonesian Power

    rata-rata pemakaian minyak tanah di sektor rumah tangga sekitar 179 liter pertahun. maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli minyak tanah adalah Rp 125.300 per rumah tangga. Sedangkan, jika menggunakan batubara, maka besarnya biaya yang harus dikeluarkan hanya Rp 23.872. Dengan demikian ada penghematan sebesar Rp 101.428 per rumah tangga. Dengan merujuk pada data BPS yang menyebutkan bahwa jumlah rumah tangga tahun 2003 sebanyak 56.625.000. jadi sebenarnya ada potensi penghematan yang bisa dilakukan untuk pengeluaran energi di sektor rumah tangga sebesar Rp 5.74 trilyun. Dengan harga minyak tanah yang mencapai Rp 2000 perliter pada tahun 2005. maka tentu saja penghematan ini akan jauh lebih besar lagi. Tabel 2. Penghematan Penggunaan BBM di Sektor Industri Jika Disubstitusi Dengan Batubara dan Gas (Milyar Rp)

    MinyakTanahDisubstitusi dengan

    Minyak Diesel Disubstitusi dengan

    Minyak Solar Disubstitusi dengan Tahun

    Batu bara Gas

    Batubara Gas

    Batu bara Gas

    1996 93 99 510 540 1453 1.5281998 75 8 724 416 2354 1.4972002 157 158 1.268 1.271 9.752 9.7732003 203 112 1.205 1.025 10.164 8.684

    Sumber: Hasil perhitungan penulis Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa betapa besar penghematan yang bisa dilakukan jika terjadi substitusi total dari BBM ke batubara dan atau gas di sektor industri. Pemakaian energi non minyak di sektor industri seharusnya diintensifkan sejak dulu. Hal ini bukan saja dilandasi oleh alasan karena kian menipis ketersediaan bahan bakar minyak, namun lebih jauh dari itu juga alasan efisiensi, baik dalam level mikro yaitu sektor industri itu sendiri maupun dalam skala makro perekonomian nasional. Proses substitusi penggunaan energi ini tentu saja harus dibarengi dengan inovasi peralatan dan mesin-mesin industri yang bisa mendukung digunakannya energi alternatif tersebut dan bisa meminimalisir efek negatif dari penggunaan energi alternatif, seperti polusi dari hasi pembakaran batubara. Begitupun halnya

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    16

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    dengan substitusi energi di sektor rumah tangga. perlu ditunjang dengan ketersediaan alat yang kompatibel dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Di sisi lain. untuk memberikan kenyamanan pada pengguna energi alternatif. maka pemerintah perlu memberikan jaminan kontinuitas distribusi energi alternatif tersebut. Mengganti BBM dengan batubara atau gas bumi memang terkesan hanya sebagai solusi jangka pendek karena memang sama-sama energi tidak terbarukan (non renewable energy), namun hal ini akan menjadi jembatan penting untuk pengembangan energi alternatif lain yang dapat diperbaharui (renewable energy). 5. Penutup Peluang untuk mengembangkan energi alternatif masih sangat terbuka lebar. Batu bara dan gas bumi merupakan energi alternatif yang bisa dikembangkan sebagai substitusi BBM di sektor rumah tangga. industri dan transportasi dengan prospek menjanjikan. baik dilihat dari cadangan yang melimpah maupun dari harga yang relatif lebih murah dibanding BBM. Langkah pemerintah dalam menghapuskan subsidi BBM pada tahun 2005 merupakan momentum yang tepat untuk menggiatkan pengembangan energi alternatif. Untuk merangsang sektor swasta berpartisipasi lebih jauh dalam mengembangkan energi alternatif mulai dari hulu sampai hilir, maka pemerintah

    perlu memberikan kemudahan, keleluasaanm, dan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang berminat untuk mengembangkan energi alternatif. Sementara untuk mendorong masyarakat dalam menggunakan energi alternatif, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat secara menyeluruh dan intensif. 6. Daftar Pustaka [1] Abdulkadir. Ariono. 2000. Pedoman Hitungan Dampak Kenaikan Harga BBM dan TDL Tahun 2000. KADIN. Jakarta [2] Asean EC. Energy Management Training And Research Centre. Asean Energy Review 1995. [3] Biro Pusat Statistik. Statistik Indonesia Tahun 2004. [4] Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi. Pengembangan Pemanfaatan Energi Alternatif. Makalah Disampaikan Pada Diskusi di P2E-LIPI dengan tema Pengembangan Sumber Daya Energi Alternatif: Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Minyak. 2004. [5] Kompas. edisi 18 Agustus 2002. Batu Bara Muda untuk Pembangkit Listrik [6] www.esdm.go.id. Data Energi di Sector Rumah Tangga. Sektor Transportasi. Sektor Industri. Energi Minyak Bumi. Energi Batubara. [7] Warta Utama edisi Januari 2003. Bisnis Energi Alternatif: Pilihan-Pilihan Yang Harus Diambil.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    17

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatu nesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk

    UTAMA Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan Harus Bagaimana

    Yuli Setyo Indartono

    Graduate School of Science and Technology, Kobe University, Japan E-mail: [email protected]

    1. Pendahuluan Lonjakan harga minyak hingga US$ 70/barel mempengaruhi aktifitas perekonomian di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, kemelut tersebut diperparah dengan maraknya penyelundupan minyak yang ditengarai merugian negara hingga 8.8 trilyun rupiah per tahun. Penerapan UU Migas No 22 Tahun 2001 juga dituding sebagai penyebab menurunnya kemampuan Pertamina dalam menyediakan BBM. Maka kelangkaan BBM merupakan pemandangan yang bisa dijumpai di berbagai daerah di tanah air. Dari segi APBN, subsidi BBM yang mencapai 25% dinilai sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memberatkan. Krisis BBM ini disinyalir merupakan penyebab melemahnya rupiah terhadap dolar. Tulisan ini membahas bahaya ketergantungan terhadap BBM dan analisis sumber energi terbarukan yang layak dipergunakan di Indonesia. Untuk Indonesia, ada tiga data yang sebenarnya bisa digunakan untuk memprediksi kemelut BBM saat ini, yakni: (1) Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, produksi minyak Indonesia terus menurun; dari hampir 1.6 juta barel/hari [12], saat ini hanya 1.2 juta barel/hari [15, 6], (2) Pertumbuhan konsumsi energi dalam negeri yang mencapai 10% per tahun [12], dan (3) Kecenderungan harga minyak dunia yang terus meningkat setelah krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1998 [3]. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil setidaknya memiliki tiga ancaman serius, yakni: (1) Menipisnya cadangan minyak bumi yang diketahui (bila tanpa temuan sumur minyak baru), (2) Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak, dan (3) Polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Kadar CO2 saat ini disebut

    sebagai yang tertinggi selama 125,000 tahun belakangan [13]. Bila ilmuwan masih memperdebatkan besarnya cadangan minyak yang masih bisa dieksplorasi, efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan. Hal ini menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara. Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan berbagai peraturan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil (misalnya: Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1980 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No 996.K/43/MPE/1999 tentang pioritasi penggunaan bahan bakar terbarukan untuk produksi listrik yang hendak dibeli PLN). Namun sayang sekali, pada tataran implementasi belum terlihat adanya usaha serius dan sistematik untuk menerapkan energi terbarukan guna substitusi bahan bakar fosil. 2. Potensi Sumber Energi Terbarukan di Indonesia Indonesia sesungguhnya memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah besar. Beberapa diantaranya bisa segera diterapkan di tanah air, seperti: bioethanol sebagai pengganti bensin, biodiesel untuk pengganti solar, tenaga panas bumi, mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, bahkan sampah/limbah pun bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Hampir semua sumber energi tersebut sudah dicoba diterapkan dalam skala kecil di tanah air. Momentum krisis BBM saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menata dan menerapkan dengan serius berbagai potensi tersebut. Meski saat ini sangat sulit untuk melakukan substitusi

    Dunia

    an Pelajar Indo18

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    total terhadap bahan bakar fosil, namun implementasi sumber energi terbarukan sangat penting untuk segera dimulai. Di bawah ini dibahas secara singkat berbagai sumber energi terbarukan tersebut. 2.1 Bioethanol Bioethanol adalah ethanol yang diproduksi dari tumbuhan. Brazil, dengan 320 pabrik bioethanol, adalah negara terkemuka dalam penggunaan serta ekspor bioethanol saat ini [5]. Di tahun 1990-an, bioethanol di Brazil telah menggantikan 50% kebutuhan bensin untuk keperluan transportasi [8]; ini jelas sebuah angka yang sangat signifikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bioethanol tidak saja menjadi alternatif yang sangat menarik untuk substitusi bensin, namun dia mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18% di Brazil. Dalam hal prestasi mesin, bioethanol dan gasohol (kombinasi bioethanol dan bensin) tidak kalah dengan bensin; bahkan dalam beberapa hal, bioethanol dan gasohol lebih baik dari bensin. Pada dasarnya pembakaran bioethanol tidak menciptakan CO2 neto ke lingkungan karena zat yang sama akan diperlukan untuk pertumbuhan tanaman sebagai bahan baku bioethanol. Bioethanol bisa didapat dari tanaman seperti tebu, jagung, singkong, ubi, dan sagu; ini merupakan jenis tanaman yang umum dikenal para petani di tanah air. Efisiensi produksi bioethanol bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan bagian tumbuhan yang tidak digunakan sebagai bahan bakar yang bisa menghasilkan listrik. 2.2 Biodiesel Serupa dengan bioethanol, biodiesel telah digunakan di beberapa negara, seperti Brazil dan Amerika, sebagai pengganti solar. Biodiesel didapatkan dari minyak tumbuhan seperti sawit, kelapa, jarak pagar, kapok, dsb [4]. Beberapa lembaga riset di Indonesia telah mampu menghasilkan dan menggunakan biodiesel sebagai pengganti solar, misalnya BPPT serta Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB. Kandungan sulfur yang relatif rendah serta angka cetane yang lebih tinggi menambah daya tarik

    penggunaan biodiesel dibandingkan solar. Seperti telah diketahui, tingginya kandungan sulfur merupakan salah satu kendala dalam penggunaan mesin diesel, misalnya di Amerika. Serupa dengan produksi bioethanol, pemanfaatan bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi biodiesel perlu mendapatkan perhatian serius. Dengan kerjasama yang erat antara pemerintah, industri, dan masyarakat, bioethanol dan biodiesel merupakan dua kandidat yang bisa segera diimplementasikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. 2.3 Tenaga Panas Bumi Sebagai negara yang terletak di daerah ring of fire, Indonesia diperkirakan memiliki cadangan tenaga panas bumi tak kurang dari 27 GW [16]. Jumlah tersebut tidak jauh dari daya total pembangkitan listrik nasional yang saat ini mencapai 39.5 GW [14]. Pemanfaatan tenaga panas bumi di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 3% [16]. Tenaga panas bumi berasal dari magma (yang temperaturnya bisa mencapai ribuan derajad celcius). Panas tersebut akan mengalir menembus berbagai lapisan batuan di bawah tanah. Bila panas tersebut mencapai reservoir air bawah tanah, maka akan terbentuk air/uap panas bertekanan tinggi. Ada dua cara pemanfaatan air/uap panas tersebut, yakni langsung (tanpa perubahan bentuk energi) dan tidak langsung (dengan mengubah bentuk energi). Untuk uap bertemperatur tinggi, tenaga panas bumi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memutar turbin dan generator yang selanjutnya menghasilkan listrik. Sedangkan uap/air yang bertemperatur lebih rendah (sekitar 100 oC) bisa dimanfaatkan secara langsung untuk sektor pariwisata, pertanian, industri, dsb. Dengan adanya UU No 27 Tahun 2003 tentang panas bumi serta inventarisasi data panas bumi yang telah dilakukan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral [16], maka eksploitasi tenaga panas bumi ini bisa segera direalisasikan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    19

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    2.4 Mikrohidro Mikrohidro adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil (bisa mencapai beberapa ratus kW). Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro (dibandingkan dengan PLTA skala besar) berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal tanah yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Mikrohidro cocok diterapkan di pedesaan yang belum terjangkau listrik dari PT PLN. Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu. Energi tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin yang dihubungkan dengan generator listrik. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 m bisa dihasilkan listrik 400 W [7]. Potensi pemanfaatan mikrohidro secara nasional diperkirakan mencapai 7,500 MW, sedangkan yang dimanfaatkan saat ini baru sekitar 600 MW [1]. Meski potensi energinya tidak terlalu besar, namun mikrohidro patut dipertimbangkan untuk memperluas jangkauan listrik di seluruh pelosok nusantara. 2.5 Tenaga Surya Energi yang berasal dari radiasi matahari merupakan potensi energi terbesar dan terjamin keberadaannya di muka bumi. Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi matahari bisa dijumpai di seluruh permukaan bumi. Pemanfaatan radiasi matahari sama sekali tidak menimbulkan polusi ke atmosfer. Perlu diketahui bahwa berbagai sumber energi seperti tenaga angin, bio-fuel, tenaga air, dsb, sesungguhnya juga berasal dari energi matahari. Pemanfaatan radiasi matahari umumnya terbagi dalam dua jenis, yakni termal dan photovoltaic. Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu yang selanjutnya fluida atau zat tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan pada sistem photovoltaic, radiasi matahari yang mengenai permukaan semikonduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan arus listrik.

    Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, sistem photovoltaic lebih banyak digunakan. Sebagai negara tropis, Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun, yakni dengan intensitas harian rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 [2]. Meski terbilang memiliki potensi yang sangat besar, namun pemanfaatan energi matahari untuk menghasilkan listrik masih dihadang oleh dua kendala serius: rendahnya efisiensi (berkisar hanya 10%) dan mahalnya biaya per-satuan daya listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 0.5 / kWh, bandingkan dengan tenaga angin yang US $ 0.05 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 0.025 / kWh [13]. Pembangkit lisrik tenaga surya ini sudah diterapkan di berbagi negara maju serta terus mendapatkan perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalkan kendala yang ada. 2.6 Tenaga Angin Pembangkit listrik tenaga angin disinyalir sebagai jenis pembangkitan energi dengan laju pertumbuhan tercepat di dunia dewasa ini. Saat ini kapasitas total pembangkit listrik yang berasal dari tenaga angin di seluruh dunia berkisar 17.5 GW [17]. Jerman merupakan negara dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga angin terbesar, yakni 6 GW, kemudian disusul oleh Denmark dengan kapasitas 2 GW [17]. Listrik tenaga angin menyumbang sekitar 12% kebutuhan energi nasional di Denmark; angka ini hendak ditingkatkan hingga 50% pada beberapa tahun yang akan datang. Berdasar kapasitas pembangkitan listriknya, turbin angin dibagi dua, yakni skala besar (orde beberapa ratus kW) dan skala kecil (dibawah 100 kW). Perbedaan kapasitas tersebut mempengaruhi kebutuhan kecepatan minimal awal (cut-in win speed) yang diperlukan: turbin skala besar beroperasi pada cut-in win speed 5 m/s sedangkan turbin skala kecil bisa bekerja mulai 3 m/s. Untuk Indonesia dengan estimasi kecepatan angin rata-rata sekitar 3 m/s, turbin skala kecil lebih cocok digunakan, meski tidak menutup kemungkinan bahwa pada daerah yang berkecepatan angin lebih tinggi (Sumatra Selatan, Jambi, Riau [10], dsb) bisa

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    20

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    dibangun turbin skala besar. Perlu diketahui bahwa kecepatan angin bersifat fluktuatif, sehingga pada daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata 3 m/s, akan terdapat saat-saat dimana kecepatan anginnya lebih besar dari 3 m/s pada saat inilah turbin angin dengan cut-in win speed 3 m/s akan bekerja. Selain untuk pembangkitan listrik, turbin angin sangat cocok untuk mendukung kegiatan pertanian dan perikanan, seperti untuk keperluan irigasi, aerasi tambak ikan, dsb.

    [3] Anonim, GALFAD Ubah Sampah Jadi Listrik, Bali Post, 15 Februari 2005 [4] Anonim, Biodiesel, energi alternatif, Pikiran Rakyat, 13 Juli 2005 [5] Anonim, Raja Minyak Baru itu Bernama Brazil, Kompas, 18 Agustus 2005 [6] Anonim, Soal BBM jangan saling menyalahkan, Pikiran Rakyat, 25 Agustus 2005 [7] Anonim, Di Mana Air Mengalir, Listrik bisa Dihasilkan, Kompas, 15 September 2005

    3. Kesimpulan Krisis energi saat ini sekali lagi mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa usaha serius dan sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan sumber energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil perlu segera dilakukan. Penggunaan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan juga berarti menyelamatkan lingkungan hidup dari berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penggunaan BBM. Terdapat beberapa sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan yang bisa diterapkan segera di tanah air, seperti bioethanol, biodiesel, tenaga panas bumi, tenaga surya, mikrohidro, tenaga angin, dan sampah/limbah. Kerjasama antar Departemen Teknis serta dukungan dari industri dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan implementasi sumber energi terbarukan tersebut.

    [8] Goldemberg, J., Macedo, IC., Brazilian alcohol program: An overview, Energy for Sustainable Development, Vol 1 No 1, May 1994 [9] Panaka, P., Technology Waste Conversion into Energy, Integrated Capacity Strengthening ICS-CDM/JI Project Waste to Energy, B2TE-BPPT, Jakarta, 2004 [10] PSE-UI, INDONESIA ENERGI Outlook & Statistics 2000, PSE-UI Jakarta 2002 [11] Rahman, B., Biogas, Sumber Energi Alternatif, Kompas, 8 Agustus 2005 [12] Sari, AP., Kehidupan tanpa minyak: masa depan yang nyata, Pelangi, www.pelangi.or.id[13] Service, RF., Is it time to shoot for the Sun?, Science Vol 309, July 22, 2005, 548-551 [14] Seymour, F., Sari, AP., Restrukturisasi di tengah reformasi, dalam: Sari, AP., Salim, N., Elyza, R., Listrik Indonesia: Restrukturisasi di tengah reformasi, Pelangi, www.pelangi.or.id

    4. Daftar Pustaka [1] Anonim, Pembangkit listrik mikrohidro Cinta Mekar, http://www.wwf.or.id/powerswitch/suara_komunitas/cinta_mekar/

    [15] Tobing, M., Bencana BBM menunggu di depan, Kompas, 11 Juli 2005

    [2] Anonim, Sumber energi terbarukan untuk antisipasi krisis BBM?, http://www2.dw-world.de/indonesia/wissenschaft_Technik/1.151686.1.html

    [16] Wahyuningsih, R., Potensi dan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di Indonesia, Direktorat Inventarisasi Mineral, Energi dan Sumber Daya Mineral, www.dim.esdm.org.id [17] World Energy Survey, 2001 Survey of Energy Resources, WEC 2001.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    21

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Persatu nesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk

    UTAMA Energi Nuklir dan Kebutuhan Energi Masa Depan (Era Renaisans Energi Nuklir Dunia dan Energi Nuklir Indonesia)

    Sidik Permana

    Research Laboratory for Nuclear Reactors, Tokyo Institute of Technology 2-12-1-N1-17, O-okayama, Meguro-ku, Tokyo 152-8550, Japan

    Phone/ Fax: +81-3-5734-2955, E-mail: [email protected]

    1. Pendahuluan Pembangunan berkelanjutan dan kebutuhan akan energi merupakan sebuah isu global baik isu tentang konsumsi energi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam menjaga kelangsungan hidupnya maupun berkaitan dengan keterbatasan sumber daya alam dan efek dari penggunaan sumber energi tersebut. Berbagai kebijakan dan terobosan yang telah dilakukan guna menjaga keseimbangan antara supply energi dan demand masyarakat dunia secara berkelanjutan, sehingga menghasilkan sebuah kebijakan energi mix pada level global ataupun nasional yang tentunya mempertimbangkan aspek ekonomis dan dampak bagi lingkungan. Kebijakan yang diambil dalam memilih opsi penggunakan energi nuklir tidak hanya berkaitan secara teknologi yang establish, komersial , dan kompetitif secara market ekonomi, akan tetapi sudah menjadi sebuah kebijakan negara dan bahkan sudah menjadi sebuah kebijakan global tingkat dunia dalam penerapkannya. Image yang selama ini terbangun dari energi nuklir adalah nuklir identik dengan senjata dan peperangan seperti halnya bom Hiroshima dan Nagasaki, atau berhubungan kecelakaan dan radiasi nuklir seperti di Chernobyl (Ukraina) dan Three Mile Island (USA) . Hal tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan saat ini jika dijadikan sebagai bayangan yang suram dari penggunaan teknologi nuklir. Bahwa bahan bakar yang dipakai untuk senjata dan untuk sebuah reaktor itu bisa jadi sama yaitu berasal dari bahan nuklir, akan tetapi sangat berbeda antara senjata nuklir dengan sebuah reaktor, tidak hanya tujuan di bangunnya akan tetapi secara teknis teknologi dan pengembangannya pun

    berbeda. Energi nuklir yang dihasilkan di sebuah reaktor nuklir dimanfaatkan menjadi energi listrik yang bisa menjadi kontributor kompetitif dengan sumber energi listrik lainnya seperti batu bara, minyak, gas, air dan lainnya. Kebijakan energi mengharuskan pada bagaimana optimum energy mix itu tercapai dalam kebutuhan energi di sebuah negeri dan yang tidak kalah pentingnya adalah berkaitan dengan sumber daya alam dan SDM yang ada dan juga berbagai resiko yang akan terjadi dari berbagai sumber energi tersebut sebagai bahan pertimbangan. Kontribusi energi dari berbagai aspek menjadi sebuah keharusan yang perlu ditempuh sebagai partner startegis yang saling menguntungan dalam memenuhi kebutuhan energi masa depan yang ekonomis dan ramah lingkungan baik di tingkat global maupun nasional. 2. Populasi Penduduk dan

    Pemanfaatan Sumber Daya Alam 2.1 Populasi Penduduk Dunia. Pada tahun 1650, populasi dunia mencapai 0.5 milyar jiwa dan berkembang dengan laju mendekati 0.3 persen pertahun [7], dan di tahun 1950, populasi dunia menjadi 2.5 milyar orang, dan menjadi 3.6 milyar pada tahun 1970 dengan laju pertambahan 2.1 persen pertahun [7]. Pada tahun 2001, bumi yang cantik ini dihuni oleh 6 milyar orang dan berdasarkan medium projectnya United Nation Long-Range World Population Projections, populasi dunia akan bertambah menjadi 7.2 milyar pada tahun 2015, dan hampir 8 milyar jiwa pada tahun 2025 akan menjadi 9.3 milyar di tahun 2050 [8].

    Dunia

    an Pelajar Indo22

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    2.2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam A. Sumber Daya Fosil Efek yang penting lainnya dari pertumbuhan penduduk dunia adalah penyusutan dengan cepat sumber daya alam non-renewable khususnya bahan bakar fosil. Seperti contohnya : minyak dengan kapasitas tersedia secara global adalah 1195 trilyun barrel, akan terpakai sampai 43 tahun. Batu bara, dengan cadangan global 1316 trilyun ton dan akan habis digunakan selama 231 tahun. Gas alam mempunyai cadangan global 144 trilyun m3, dapat digunakan tidak lebih dari 62 tahun. Berhubungan dengan kontribusi dari keseluruhan sumber energi pada total konsumsi energi dunia, saat ini 87% untuk supply energi dan 63% untuk supply listrik berasal dari bahan bakar fosil. [4]. B. Pemanfaatan Bahan Bakar Nuklir Kontribusi energi nuklir terhadap pasokan energi sekitar 6 % dan pasokan listrik sekitar 17 %. Densitas energi nuklir sangat tinggi dikarenakan dalam 1 kg uranium dapat menghasilkan 50.000 kWh (3.500.000 kWh dengan beberapa proses) energi, sementara 1 kg batu bara dan 1 kg minyak dapat memhasilkan hanya 3 kWh dan 4 kWh. Kemudian pada sebuah reaktor berkekuatan 1000 MWe memerlukan : 2.600.000 ton batu bara (2000 kereta angkut dengan daya angkut 1.300 ton), atau 2,000,000 ton minyak bumi (10 supertanker), atau 30 ton uranium (dengan teras reaktor 10 m3). Densitas energi bisa di ukur dengan areal lahan yang diperlukan per unit produksi energi. Fosil dan lahan reaktor nuklir membutuhkan 1-4 km2. Lahan solar thermal atau photovoltaics (PV) memerlukan 20-50 km2. Areal bahan dari sumber angin memerlukan 50-150 km2. Biomass memerlukan 4.000 6.000 km2 [4]. Dalam aspek investasi dan faktor ekonomis, sebuah reaktor nuklir dapat bersaing secara kompetitif dengan sumber energi lainnya, hal ini di tunjukan pada Gambar 1.

    Gambar 1. External Costs produksi listrik 3. Limbah Bahan Bakar Fosil dan

    Nuklir Pada Sebuah pembangkit listrik 1000 MWe dengan bahan fosil menghasilkan ribuan ton nitrous oxide(NOx), partikel-partikel dan abu logam berat, dan sampah padat berbahaya. Sekitar 500.000 ton produksi sulfur oxida (SOx) dari batu bara, lebih dari 300.000 ton dari minyak bumi, dan 200.000 ton dari gas alam. Pada sebuah reaktor nuklir 1000 MWe tidak menghasilkan gas noxious atau polutan lainnya dan akan dihasilkan 3 % sampah hasil reaksi, yang sebagian besar adalah produk fisi. Sekitar 96% uranium yang tak terpakai dan menyisakan 1% plutonium. Teknologi daur ulang sudah dapat menjadikan bahan bekas menjadi bahan bakar yang baru dan menyisakan kurang dari 3% produk fisi dengan waktu paruh 100 sampai 1000 tahun dan beberapa minor actinida. Kemudian pertimbangan lainnya dalam berhubungan dengan bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara dan gas alam) adalah deteorientasi lingkungan dengan greenhouse dari gas keluaran. Karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan NOx adalah gas-gas utama yang meningkatkan efek greenhouse dari aktifitas manusia. Gambar 2 menunjukan pengaruh pemanfaatan air dan nuklir terhadap pengurangan produksi CO2. Sejak perjanjian Kyoto (Kyoto protocol) ditandatangani yang berkaitan dengan pengurangan emisi gas buang CO2 terutama yang menjadi faktor terjadinya pemanasan global karena efek rumah kaca yang ditimbulkannya.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    23

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Pada tulisan ini akan dijelaskan beberapa jenis reactor nuklir dalam skala komersial. Reaktor tersebut dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu reaktor nuklir dengan proses reaksi fisi yang diakibatkan oleh neutron thermal, reaktor ini disebut reaktor thermal, dan reaktor nuklir dengan proses fisi yang terjadi pada energi neutron yang tinggi (fast neutron), reaktor ini disebut (fast reactor) reaktor cepat. Reaktor cepat tidak memerlukan moderator, sementara reaktor thermal membutuhkan moderator untuk mengurangi energi neutron cepat menjadi neutron thermal. Tipe reaktor thermal yang ada banyak sekali, seperti reaktor berpendingin air ringan (light water moderated reactor atau LWR), reaktor berpendingin air berat (heavy water moderated reactor atau HWR), reaktor berpendingin gas (gas-cooled reactor), dan reaktor temperature tinggi

    berpendingin gas (high temperature gas-cooled reactor atau HTGR). Ada 2 tipe dari LWR yaitu presurrized water reactor (PWR) dan boiling water reactor (BWR). HWR untuk tujuan komersial ada 2 tipe utama, kadang kala di sebut pressurized heavy water reactor (PHWR) dan boiling light water reactors (BLWR). Reaktor Canadian Deuterium Uranium (CANDU) nya Canada termasuk didalammnya dua tipe itu dan untuk steam-generating heavy water reactor (SGHWR) ada di Inggris dengan versi jenis BLWR. Reaktor FUGEN Jepang bisa di kategorikan sebagai BLWR, sejak penggunaan moderator dari air berat (heavy water) dan pendinginnya air ringan (light water). Gas cooled-reactors termasuk Magnox gas cooled reactor (GCR) dan advanced gas cooled-reactor (AGR). Kelompok HTTR terdiri dari HTGR dengan bahan bakar uranium disebut HTR, dan HTGR dengan berbahan bakar uranium dan thorium (THTR). Jenis lainnya terdapat di rusia yaitu graphite moderated light water reactor (RBMK) [5,1]. Sejak tidak digunakannya moderator di reaktor jenis reaktor cepat yaitu fast breeder reactor (FBR), ukuran reaktor menjadi kecil, dengan laju transfer panas yang tinggi pada pendingin dengan logam cair (liquid metal) sebagai pendinginnya dan dengan peluang penggunaan gas helium bertekanan tinggi (high-pressure helium gas) [5,1].

    Gambar 2. Pengurangan gas emisi CO2 dengan penggunaan energi Nuklir dan Air Gas buang tersebut berasal dari pemanfaatan bahan bakar fosil untuk keperluan energi saat ini. Reaktor nuklir telah berhasil mengurangi sampai 20% emisi CO2[OECD]. 4. Perkembangan Pembangkit Tenaga

    Nuklir (NPP, Nuclear Power Plant) Pada periode pertama penggunaan energi nuklir adalah untuk tujuan militer seperti hal nya sebuah reaktor pendorong kapal selam (submarine) [9] milik US Nautilus dan senjata mematikan seperti bom atom yang pernah di jatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir perang dunia II. Pengembangan energi nuklir untuk tujuan sipil seperti reaktor nuklir untuk pembangkit daya dimulai secara intensif setelah konferensi Genewa On the peaceful uses of atomic energy yang di sponsori oleh UN (PBB) tahun 1955.

    Reaktor berjenis LWR(PWR dan BWR) memiliki kinerja yang baik, dari faktor ekonomis dalam reaktor komersial, reliable dan mempunyai sistem keamanan reactor yang cukup mapan. Di dunia sudah terdapat banyak reaktor nuklir dibangun dan telah lama beroperasi dengan berbagai tipe [1]. Pada tahun 2000, sekitar 60% (256 dari 438 unit) dari Pembangkit tenaga nuklir terdiri dari reaktor PWR. BWR terdapat 21 % (92 dari 438 unit) pembangkit tenaga nuklir dunia. Lebih detail, Jepang mempunyai 52 NPP (nuclear power plant) dalam operasi, 23 adalah reaktor berjenis PWR dan 28 unit berjenis BWR. USA mempunyai 104 NPP yang beroperasi, 69 unit NPP berjenis PWR dan 35 berjenis BWR. Perancis mempunyai 57 NPP dalam operasi, 56 adalah berjenis PWR. Berdasarkan informasi di atas terlihat bahwa LWR di dunia masih terdepan dalam abad ini.

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    24

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    Beberapa negara yang mempunyai NPP telah memberikan kontribusi energi listrik bagi kebutuhan negaranya, yang tergambarkan pada Gambar 3. Gambar 3. Kontribusi energi nuklir terhadap energi nasional dibeberapa negara didunia Dalam hubungannya dengan cadangan global sumber alam, untuk cadangan global uranium diperkirakan sekitar 4.36 juta ton. Kalau mengadopsi skenario saat ini dari daur ulang bahan bakar nuclear (nuclear fuel cycle) Amerika Serikat (US), yaitu dengan sistem daur ulang once through , dimana setelah bahan bakar yang telah digunakan di reaktor, akan dibuang ke sebuah daerah pembuangan khusus, oleh karenanya apabila digunakan sistem ini maka penggunaan uranium ini hanya dapat seluruhnya digunakan sampai 72 tahun. Akan tetapi jika kita mengadopsi dengan mendaur ulang atau memproses ulang bahan bakar yang telah digunakan, dan dengan ditambah kontribusi FBR (Fast Breeder Reactor) dengan jumlah yang signifikan terhadap jumlah NPP di dunia, semua sisa uranium dapat menjadi supply energi untuk ribuan tahun. Kemudian juga diketahui terdapat 4 milyar ton uranium dalam konsentrasi rendah di lautan dan terdapat thorium sebanyak tiga kali jumlah uranium, dimana thorium ini bisa menjadi sumber bahan bakar nuklir yang lain di bumi ini. Oleh karena itu, energi nuklir dapat digunakan

    taan tahun.

    sekarang harus mulai memikirkannya, yaitu: isu mengenai Nuclear Safety atau keselamatan reaktor nuklir, nuclear non-proliferation atau pembatasan penggunaan bahan nuklir , dan radioactive waste management atau pengaturan sampah radioaktif. Untuk isu keselamatan reaktor nuklir, estimasi resiko pada kecelakaan reaktor yang beresiko tinggi menjadi resiko yang rendah dibandingkan dengan semua resiko pada kehidupan manusia umumnya. Kemajuan dalam keselamatan reaktor ini dapat diperoleh dengan usaha keras untuk mempertinggi dan pemeliharaan keselamatan reaktor, manajemen keselamatan dan sumber daya manusia. Nuclear non-proliferation yang berkaitan dengan pengaturan dan pembatasan penggunaan bakar nuklir harus dijamin tidak hanya pengukuran dan optimasi secara teknis tapi juga semua hal yang berkaitan dengan politik internacional [6]. Meskipun jumlah sampah radio aktif per unit produksi listrik dari NPP adalah relatif sangat kecil, toxic pada sampah radio aktif harus direduksi serendah mungkin, dalam rangka mendapatkan penerimaan publik secara lebih baik lagi dan mengurangi resiko dari serangan terror. 6. Fase Renaisans Energi Nuklir Kesadaran bersama akan pentingnya produksi energi yang berkesinambungan dengan bahan bakar yang terbaharukan serta ramah pada lingkungan merupakan tanggung jawab dan kebutuhan bersama. Energi nuklir pada gilirannya sudah mengalami fase regenerasi dari generasi I ke generasi ke II sampai Sekarang dan yang akan datang ke III dan ke IV. Berbagai inovasi telah dilakukan sehingga tidak hanya berkaitan pada level keamanan reaktor yang tinggi dan berlapis, manajemen sampah nuklir dan reprocessing, akan tetapi berkaitan dengan dapat digunakannya energi nuklir untuk berbagai kebutuhan lain seperti produksi hidrogen untuk kendaraan dan desalinasi air untuk kebutuhan sehari hari, hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan kelebihan panas dari ju

    5. Isu Global Teknologi Nuklir Terdapat 3 isu global tentang pemanfaatan energi nuklir dan kita sejak

    reaktor. Pilihan energi nuklir sebagai salah satu opsi energi yang bersih disadari oleh salah

    Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

    25

  • INOVASI Vol.5/XVII/November 2005

    seorang pendiri organisasi lingkungan dunia greepeace Dr. Patrick Moore, PhD, dia sampaikan pa