Ini Zaman Memang Edan-Moh. Sobary

download Ini Zaman Memang Edan-Moh. Sobary

of 26

Transcript of Ini Zaman Memang Edan-Moh. Sobary

Ini Zaman Memang Edan Oleh Mohamad Sobary Kita hidup di abad ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa pencerahan akal budi manusia sejak abad ke-13. Namun, kita tak boleh lupa, ilmu pengetahuan dan teknologi juga merangsang keserakahan tanpa batas, bagaikan samudra tanpa tepi. Keserakahan tanpa batas itulah yang telah membunuh nilai kemanusiaan di dalam diri kita. Maka, kini ironi besar pun terjadi: efek pencerahan dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu dirusak oleh keserakahan yang menjerumuskan kita ke abad kegelapan jiwa. Kita hidup di abad pencerahan sekaligus di abad kegelapan.Keluhan Ki Ronggo Warsito tentang zaman edan yang serakah terhadap materi kini berubah menjadi zaman lebih edan lagi. Keserakahan kini tak terkendali. Moralitas duniawi, yang kita "nyalakan" dari ajaran Ki Ronggo agar kita sadar dan waspada demi keselamatan dan kemuliaan hidup,memang masih menyala. Namun, nyala itu begitu redup, dan kadang-kadang dunia kita menjadi gelap gulita. Pancaran jiwa yang gelap membikin seluruh struktur hidup duniawi kita gelap pula. Rasa malu telah hilang Ini zaman memang edan, lebih edan dibanding zaman edan yang dulu menyayat-nyayat hati Ki Ronggo Warsito. Kita sekarang serakah bukan hanya terhadap materi, melainkan juga terhadap kemasyhuran, kebesaran nama, wibawa, dan pengaruh politik ataupun kebudayaan. Demi kemasyhuran itu, kita berebut menjadi calon presiden, calon wakil presiden, calon gubernur, calon wakil gubernur, sampai ke tataran lebih rendah di tingkat bupati dan wali kota. Orang-orang yang sudah "dicatat" di dalam ingatan kolektif masyarakat sebagai diktator, tiran, antikemanusiaan, musuh kebenaran, korup sangatbesar hingga memiskinkan rakyat,

tetap gigihdan edan sekali, tidak malunyalon sebagai pemimpin bangsa. Mereka yang tak memiliki kompetensi sama sekali pun bisa dengan sikap pongah nyalon pula.Kemudian, orang-orang yang merasa terkenal, merasa tokoh, dan merasa punya dukungan juga nyalon. Selebihnya para mantan pejabat, yang dalam masa jabatannya tak berbuat sesuatu, pun merasa "terpanggil", dan kemudian nyalon. Semua bicara mengenai penyelamatan bangsa. Semua bicarabahwa negara ini harus dipimpin dengan baik. Saya sering merasa yakin, mereka tak bakal terpilih. Kenyataan memang membuktikan begitu. Namun, yang betul-betul dahsyat maksudnya sama sekali tak merasa malu mereka masih merasa tokoh, merasa terkenal, merasa "terpanggil", merasa berkompetensi, dan nyalon kembali untuk pada akhirnya harus menerima kenyataan yang lebih menampar wajah: gagal lagi! Zaman edan memang melahirkan cara pandang, sikap, dan perilaku edan-edanan. Di zaman Orde Baru dulu begitu banyak kalangan mengejek Pak Harto memiliki segalanya, kecuali rasa malu, kini orang-orang itu lebih tak punya rasa malu lagi.Jumlah orang-orang yang tak punya rasa malu itu meningkat seiring meningkatnya gairah membangun citra kesalehan agamis, yang marak secara mengejutkan di mana-mana. Di mana-mana kita bertemu hamba-hamba Allah yang dilihat dari simbol yang dikenakaningin disebut saleh. Namun, kita dikejutkan oleh ironi lebih getir lagi: hamba-hamba Allah yang saleh itujustru karena klaim kesalehannya beringas, cepat "meletup", dan siap mengganyang orang lain yang berbeda ideologi. Fenomena kehidupan politik kaum muda juga merangsang renungan menggelikan. Mereka hidup serba buru-buru dan tak sabar menantikan suatu proses politik yang sehat. Dengan sikap tak sabar mereka membentangkan garis pemisah antar generasi:

1

tua dan muda. Kaum muda buru -buru menganggap kaum tua sebagai besi tua, sambil tak sabar pula minta giliran memimpin bangsa. Mereka tak menyadari, anggota-anggota DPR/DPRDjugaDPDgubernur, bupati, wali kota, dan menteri-menteri sudah jadi domain kaum muda. Mereka lupa, semua pejabat daerahkepala desa dan lurah hingga camatsudah di tangan kaum muda. Di mana-mana lurah kita anakanak muda. Dan, di hampir semua wilayah, camat kita lulusan STPDN, yang menjabat tak lama setelah tamat kuliah. Jadi masih muda. Zaman edan ditandai juga oleh sikap hidup serba buru-buru. Orangtermasuk para pejabat negaraingin buru-buru kaya. Fenomena Gayus mudah meruntuhkan "iman" terhadap cara hidup lumrah, prasojo (bersahaja), tanpo neko-neko (tidak anehaneh), dan tekun menempuh karier yang panjang. Ongkos politik dalam pilkadajuga pilpres dan pilwapresmahal sekali. Sikap buru-buru untuk segera kaya itu yang menyebabkan lebih dari separuh pejabat daerah terbukti korup dan menggelapkan uang rakyat. Kaum mudalebih bagus, sebagian kaum mudajuga ingin buru-buru terkemuka, ingin buru-buru menonjol, ingin buru-buru masuk ke dalam kelompok seratus orang muda paling berpengaruh, seratus orang muda paling terkenal, dan seratus orang muda paling menonjol, tanpa memikirkan berpengaruh dalam hal apa, kepemimpinan macam apa, dan apa yang pernah dikerjakan dalam hidupnya. Manusia punya keserakahan buat memiliki atribut dan simbol-simbol popularitas macam itu tanpa sadar bahwa mereka tak punya secuil pun jasa bagi hidup ini. --

Pemburu kesempatan Terkenal itu penting bagi mereka yang hidup edan-edanan di zaman edan. Disebut terkenal di bumi, tanpa jasa, tak ada rasa malu sama sekali karena bukankah yang mereka inginkan memang itu? Bahkan, banyak yang ingin segera terkenal hanya dengan memasang foto besar-besar di banyak sudut kota yang dilewati banyak orang. Kita, yang tahu simbol apa yang sedang mereka tampilkan, ketawa - mungkin juga menangismenyadari betapa nista, betapa rendah martabat dan budi pekerti orang-orang yang ingin disebut tokoh itu. Duh Gusti, mengapa jiwa para tokoh (?) begitu mudah kelunturan warna zaman, dan mengapa bukan sebaliknya: tokohlah yang harus mewarnai zaman? Tokoh-tokoh kita, di zaman edan ini, tua ataupun muda, sama fiil-nya. Semua samasama tak berisi. Semua sama-sama pemburu kesempatan. Semua sama-sama serakah dan memanjakan diri sendiri. Dalam kategori Fromm mereka ini termasuk golongan orangorang yang modus eksistensinya tertuju pada kehendak "memiliki", dan bukan "menjadi". Seorang menteri tidak menandakan bahwa ia orang yang berusaha "menjadi", tetapi tanda bahwa ia "memiliki" jabatan menteri.Dalam zaman edan di masanya dulu, Ki Ronggo bicara tentang sikap ewuh oyo ing pambudi (serba ragu untuk ikut korup atau tidak). Di zaman ini, zaman yang lebih edan, saya tahu dan tak ragu: tak perlu serakah, tak perlu terkenal, tak perlu kaya, jika semuanya tak memberi keagungan jiwa. Hidup ada langgamnya. Di zaman ini kita diminta tak ikut edan bersama mereka yang memang sudah edan benaran. Mohamad Sobary Budayawan http://cetak.kompas.com/read/2011/02/19/0 4182584/ini.zaman.memang.edan

2

Membangun Bangsa dengan Cinta Koran SINDO http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/2182 24/ Tuesday, 03 March 2009 Kita mesti bangga bisa sejajar dengan bangsabangsa lain berkat perjuangan para pahlawan, yang hanya dengan bambu runcing tetapi dengan semangat baja, berhasil mengusir penjajah. Kita merdeka melalui cucuran darah dan bahkan taruhan nyawa. Bukan karena pemberian dan belas kasih. Kita layak berbangga pula, presiden pertama kita seorang insinyur yang juga orator andal,dengan penuh percaya diri berpidato di depan sidang PBB: We are free. Belakangan, bahkan ditiru oleh Dr Mahatir Muhammad dengan pernyataan Go to hell with IMF. Sampai-sampai ada yang menyebutnya sebagai Little Soekarno. Kita mesti bangsa sebagai bangsa yang reformis, dipimpin oleh presiden yang beragam. Sesudah Bung Karno yang insinyur, kemudian berturutturut diganti Pak Harto yang militer, Habibie yang profesor, Gus Dur yang ulama, Megawati yang wanita serta SBY yang doktor. Namun, perlu kita renungkan petuah bijak dari proklamator kita: Indonesia Merdeka hanyalah suatu jembatan,walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa,satunya lagi ke dunia sama ratap sama tangis. Guna mencegah ratapan dan tangisan rakyat itulah,kita mesti mencanangkan tekad mulia: Membangun Bangsa dengan Cinta.

Kekuatan CintaMenurut UNESCO, dunia pendidikan mesti dikembangkan berdasarkan empat pilar,yaitu learning to know, to do, to be, dan to live together. Namun, menurut hemat saya, perlu ditambah satu lagi: learning to love each other. Hidup bersama tanpa cinta jelas tidak ada gunanya. Akan muncul fenomena KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga. Lebih mengerikan lagi bila terjadi pertikaian, pertengkaran, perselingkuhan, dan perceraian. Yang merisaukan adalah manakala mayoritas rakyat Indonesia mendambakan pembangunan yang bertumpu pada kekuatan cinta atau The Power of Love, para elite politik di puncak kekuasaan malah terbius dengan The Love of Power alias cinta kekuasaan.

3

Sebagai seorang Rotarian, saya selalu ingat salah satu slogan Rotary Club: Show the Seed of Love atau Taburlah Benih-Benih Cinta. Cinta pada rakyat, cinta pada lingkungan, cinta pada pekerjaan, cinta pada sesama. Mari kira renungkan puisi mbeling berikut ini: Dengan tersenyum, wajah akan tambah menawan. Dengan tertawa, badan akan jadi lebih sehat.Dengan berdoa,jiwa akan lebih damai. Dengan cinta dan bercinta, kita sekaligus akan tersenyum, tertawa, dan berdoa: Oh God Rasa cinta ini yang nampak kian meluntur di Tanah Air kita.Yang terlihat adalah nuansa kebencian, permusuhan, persengketaan mulai dari kalangan atas merembet, menular sampai pada lapisan bawah. Tawuran antar mahasiswa, karyawan, relawan, aparat, kampung, pendukung calon bupati/wali kota/ gubernur menjadi santapanseharihari. Padahal, sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, sebagian umat beragama, mestinya merasa malu dan berdosa bila

terlibat dalam tawuran yang penuh kekerasan dan merusak itu.Coba kita resapi dalam-dalam keluhan seorang penyair: Musa menyuarakan Taurat. Daud menyuarakan Zabur. Sidharta Gautama menyuarakan Tripitaka. Yesus menyuarakan Injil. Muhammad SAW menyuarakan Alquran. Kenapa kita, anak bangsa ini, menyuarakan permusuhan dan bahkan perang saudara.

menangkap arti sesungguhnya dari pernyataan itu. Krisis keteladanan di Tanah Air kita tersirat dari puisi berikut, Pesan seorang bapak kepada anak lelakinya: Jangan tawuran, nanti terluka.Pesan seorang ibu kepada anak gadisnya, Jangan pacaran kelewatan, nanti kecelakaan. Pesan seorang dosen kepada mahasiswanya, Jangan demo di jalanan, nanti kena popor senapan. Pesan seorang ulama kepada santrinya,Jangan memelintir ayat-ayat agama, nanti jadi isi neraka. Ah, pesan-pesan melulu, mana keteladanannya! Bila dikaji lebih mendalam,kenapa tokoh-tokoh elite di puncak kekuasaan tidak mampu dan tidak mau jadi teladan, ada beberapa penyebab.Pertama, karena dorongan hawa nafsu yang nyaris tidak terkendali. Kedua, karena peluang yang terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang (pemberian izin, proyek fiktif, mark up pembelian barang,dan lain-lain). Ketiga, karena kurangnya pengawasan dan tidak adanya mekanisme insentif dan disinsentif atau reward and punishment. Gojek Joko Santoso menggambarkan nafsu-nafsu yang diidap para pemimpin kita melalui puisi mbeling yang berjudul Ramalan Cuaca.Singapura berawan. Malaysia gerimis. Filipina hujan deras. India gempa bumi. Saudi Arabia hawa panas. Alaska hawa dingin. Indonesia hawa nafsu. Nah, bila kita memang sepakat dan bertekad bulat untuk membangun bangsa dengan cinta, kita optimistis akan dapat segera bangkit kembali dari keterpurukan, lepas dari aneka kesengsaraan yang melanda rakyat.(*)

4

Krisis Keteladanan Bila diamati karut-marut yang menimpa rakyat republik ini, terlihat jelas bahwa salah satu penyebab utamanya adalah krisis keteladanan dan kepercayaan. Memang, masyarakat kita dituding sebagai low trust society.Kadar saling percaya mempercayainya teramat sangat rendah. Namun, pemicunya adalah karena para pemimpin kita tidak bisa memberikan contoh keteladanan yang baik. Orang Jawa mengungkapkannya dengan istilah jarkoni: bisa ngajar, ora bisa nglakoni. Maksudnya, bisa memberi petuah tetapi dia sendiri tidak melaksanakannya. Coba,rakyat selalu saja diminta mengetatkan ikat pinggang, tetapi para tokoh di lembaga eksekutif,yudikatif maupun legislatif justru sekarang mulai ketahuan satu demi satu perilaku menyimpang mereka yang kian melonggarkan ikat pinggang. Sampaisampai ada yang mengatakan, bila membaca pernyataan pejabat tinggi di media massa, kita harus mengartikan sebaliknya. Jadi, manakala seorang pejabat tinggi di republik ini bicara berapi-api di layar televisi bahwa kenaikan BBM akan lebih enyejahterakan rakyat, kita langsung bisa

Prof Eko Budihardjo (Mantan Rektor Undip Semarang, Ketua Pembina Dewan Kesenian Jawa Tengah )

Gayeng Semarang (Suara Merdeka): PAGUYUBANKulanuwun. Begitu saya mendarat di Bandara Internasional Kansai di Jepang, sudah ada beberapa pesan singkat masuk di ponsel saya. Tapi yang paling dapat perhatian saya ada dua. Yang satu dari Prof. Retmono, menanyakan apakah betul minggu ini giliran saya tampil di rubrik Gayeng Semarang. Yang kedua dari Mas Triyanto yang mengingatkan bahwa saya mesti segera kirim naskah Gayeng Semarang. Memang sangat menarik yang namanya paguyuban, kekerabatan, persaudaraan, kemitraan, atau Gemeinschaft. Tidak seperti polah tingkah para pemimpin kita di puncak kekuasaan yang sampai sekarang masih saja saling leceh tohok-menohol, melecehkan, jatuh ancam-

ikut-ikutan sampai melempari batu, bambu, kayu pada aparat. Padahal dalam pewayangan, mesti ada dialog dulu. Siapa namamu? Dari mana asalmu? Apa maumu? Sesudah itu baru mulai dengan perkelahiannya. Jadi tidak ujugujug lantas main keroyokan. *** Dari mas Iqbal saya dapat tips, berupa doa-doa yang puitis juga lewat ponsel: Apabila aku kesepian, hiburlan aku dengan merdu suara dan candamu. Apabila aku sakit, obatilah aku dengan putih kasih sayang dan cintamu. Apabila aku dipanggilkan Tuhan, mandikanlah aku dengan bening air mata dan lirih tangismu. Apabila aku dikuburkan, kuburlah juga aku dalam tulus hati dan jiwamu. Dan supaya aku tidak tersesat di dunia maupun akhirat, ingatkanlah serta selamatkanlah aku dengan kekhusukan zikir dan doa-doamu. Wah, bila setiap pemimpin memberi contoh dengan saling doa-mendokana seperti itu, alangkah damai, tenang dan nyamannya hidup ini. Pasti juga akan dicontoh oleh anak-cucu kita, yang dalam pendidikannya pun sudah ditanamkan bersaudara. sikap Salah bahwa satu pilar kita semua

5

menjatuhkan,

mengancam. Dan caranya itu lo, yang amat sangat tidak santun, nenek moyang kita menyebutnya ora nJawani. Kita kan sudah dapat warisan pesan yang selalu saja dikutip orang Digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Pesan lain: Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, Ana catur mungkur, ana bapang den simpangi. Kurang lebih arti dari semua itu adalah sakti tanpa senjata; menyerang tanpa gerombolan; menang tanpa merendahkan; kemarahan akan terhapus oleh kesabaran; ada sengketa kita mundur; ada halangan kita hindari. Dan lain lain. La sekarang ini para mahasiswa saja kok ya

pendidikan

menurut UNESCO adalah Learning to live together. Jadi bukan sekadar learning to know, to do, to be.

Waktu saya bicara dalam Seminar Pendidikan di Pati, di depan ratusan guru-guru SD, SLTP, SLTA, saya bahkan menambahkan satu pilar lagi yaitu Learning to love each other, alias belajar saling mencintai. Cinta pada keluarga, saudara, teman, kampus, kampung, bangsa, negara, dan agama. Mereka yang sudah mapan, mbok yao

hasil perkalian lebih besar dari sekadar pertambahan. Tapi kalau satu kali satu kok hasilnya lebih sedikit dari satu tambah satu. Dua kali dua kok cuma sama dengan dua tambah dua. Sembilan tambah satu kok lebih besar ketimbang sembilan kali satu. Beliau menyimpulkan La wong ilmu pasti saja gak pasti, kemana lagi kita cari kebenaran, kalau tidak lewat agama? Weladalah, pemikiran sehebat itu kok tidak ditulis di kolom Gayeng Semarang yang notabene beliau sendiri ikut mengasuh ya? Itulah semangat paguyuban yang sungguh amat mulia bila disebarluaskan. Ibarat pemain depan yang sudah berhadapan langsung dengan kiper di gawang lawan, tidak kok terus menembakkan bola ke gawang (karena pasti tidak masuk), tetapi dengan rela dioper ke kawannya (yang lebih memungkinkan untuk mencetak gol). Liding dongeng, marilah kita mengelola apa pun yang menjadi bidang tugas kita, dengan semangat paguyuban. Jangan sekali-kali

6

memikirkan nasib mereka yang masih rawan. Dalam suatu perjalanan darat dari Semarang ke Purwokerto saya sempat membaca tulisan besar besar di bagian belakang bak truk: MANGKAT PUSING, ORA MANGKAT APA MANING. Berangkat pusing, apalagi kalau tidak berangkat. Sedangkan yang namanya John Fitzgerald Kennedy, Presiden Amerika Serikat, ketika ditanya kenapa dia senang dari presiden, dengan amat jujur dia menjawab: Bayarannya amat baik dan bisa jalan kaki dari dari rumah ke kantor. Kelihatan betul beda nasib rakyat dengan presidennya. *** Sesama penjaga rubrik Gayeng Semarang pun, yang bikin kita semua betah, nyaman, enjoy, adalah karena rasa paguyuban yang amat kental. Kita sering bertukar dan berkirim kabar. Prof. Abu Suud, misalnya, setiap kali mengingatkan untuk qiyamul lail, tahajud. Kemarin baru saja saya terima pesan bahwa di dunia ini banyak ketidakpastian. Bahkan ilmu pasti pun sering tidak pasti. Katanya kalau

mengelola dengan semangat permusuhan, yang tidak akan menyenangkan segenap pihak. Sakmanten rumiyin atur kula, kepareng, nuwun.

Jauh-Dekat Pemimpin UmatEdisi 40/01 - 30/Nov/1996 MOH. SobarySesaat lagi kau akan mengetahui perbedaan halus antara bergandengan tangan dan merantai jiwa Dan kau akan mengetahui bahwa cinta bukan berarti sandaran, dan teman bukan berarti rasa aman Dan kau akan mengetahui bahwa ciuman bukanlah kontrak, dan hadiah bukan janji (Dari pengarang tanpa nama) Sesaat lagi itu maksudnya kapan? Sajak yang ditulis pengarang tak bernama, dikutip dari "Chicken Soup for the Soul" terbitan bahasa Indonesia Gramedia, 1996, ini tak menjelaskan lebih lanjut. Tapi jika dikatakan sesaat lagi Gus Dur bakal ketemu Mas Amien, kita semua tahu yang sesaat itu artinya besok. Bukan mbesoknya orang Jawa, yang bisa berarti tahun depan. Tapi besok beneran, Minggu 1 Desember 1996. Di mana tempat mereka bertemu? Sebenarnya di mana pun bisa. Dan kapan pun tak menjadi soal. Mereka sama-sama aktif, sama-sama tak pernah di rumah, samasama pemimpin umat, sama-sama Islam, sama-sama "ahli sunnah wal jamaah". Mau apa lagi? Jadi di mana saja, kapan saja, bisa. Di bandar udara, di PB NU, di PP Muhammadiyah, di Taman Ismail Marzuki, atau di sebuah warung gado-gado. Tapi para pemrakarsa merasa perlu resmi-resmian. Namanya saja pertemuan dua pemimpin umat Islam, dua pemimpin ormas Islam terbesar, maka tempatnya harus di masjid. Pilihan mereka jatuh pada masjid Sunda Kelapa.

Kita tahu pasti, di pertemuan itu tak bakal dibicarakan apakah tarwih harus 23 rekaat, supaya lebih afdol, sesuai tradisi Gus Dur, tradisi NU, agar selesai mendekati tengah malam yang sunyi, agar kepada Allah kita lebih dekat? Ataukah cukup 11 rekaat, supaya lebih ringkas, praktis, hemat energi, hemat biaya, seperti kebiasaan Mas Amien, kebiasaan Muhammadiyah? Perkara seperti ini biarlah menjadi urusan umat. Perbedaan jumlah rekaat dalam shalat tarwih mungkin malah baik bagi mereka, agar tiap pihak merasa marem dengan pilihan masing-masing. Kalau umat sudah disodori segenap kesamaan, apa-apa sudah serba sama antara NU dan Muhammadiyah, jangan-jangan ketuanya cukup satu. Kalau itu terjadi, jangan kira persoalaan di antara mereka sudah terpecahkan. Di antara mereka pasti akan timbul persoalan baru: siapa ketuanya? Apakah ketua Muhammad NU Gus Dur, atau harus Mas Amien? Jadi, "diwolak-walik" macam apapun, persoalan tetap ada. Dan persoalan itu baik. Adanya jarak antara kedua pemimpin itu malah memberi mereka dinamika. Perbedaan cara pandang mengenai soal kepemimpinan di anatara mereka tak harus diseragamkan. NU dan Muhamadiyah bukan lembaga pemerintah yang punya jalur instruksi yang sama, kaku, dengan disiplin ketat, tapi mati. Mereka tak menghendaki segenap langkah dan persepsi harus seragam. Keseragaman itu barang menakutkan. Lagi pula mereka elemen sosial budaya partikelir, yang merdeka, bebas, dan harus kreatif menggali seluas mungkin peluang pengembangan diri. Kalau model kepemimpinan di kedua ormas Islam terbesar itu sama daya, sifat, dan bentuknya dengan pola kepemimpinan dalam pemerintahan, buat apa lagi mereka hadir di tengah masyarakat? Salah satu fungsi terpenting kedua ormas Islam itu justru terletak pada kemampuan mereka menghibur kaum bawah yang haus akan bentuk kepemimpinan lain, kepemimpinan yang terbuka, dialogis, memberi peluang yang dipimpin bicara dan mengutarakan

7

pandangan, dan bukan cuma wajib mendengar dan taat. Di masa depan, yang tak begitu jauh, pola kepemimpinan begini bakal buntu, sejarah bakal menyetopnya, dan model kepemimpinan lain mesti ditemukan. NU dan Muhammadiyah, yang sudah teruji kemampuannya megadakan adaptasi terhadap aneka kesukaran, dan aneka bentuk penindasan, diminta kreatif, dan gigih menggali model dan corak kepemimpinan masa depan yang pro kebebasan, pro humanika, dan pro demokrasi. Kita bosan, seribu kali bosan, dan hampir muntah tiap hari seperti perempuan hamil muda, berhadapan dengan model kepemimpinan yang pro kekuasaan dan status quo, tapi apresif dan vandalistis terhadap suara alternatif yang sah, dan halal menurut UUD kita sendiri. Pendeknya, pertemuan kedua tokoh itu jelas tak bakal cuma membicarakan perkara tarwih, atau jatuhnya tanggal 1 Syawal, hari raya, melainkan mesti bicara tentang hal-hal yang lebih fundamental bagi kepentingan kedua belah pihak, dan bagi rakyat secara keseluruhan. Tapi saya tak melihat soal mendesak yang perlu digagas dan dipecahkan bersama dalam pertemuan itu. Mungkin panitia sendiri masih belum begitu yakin agenda apa yang harus dirembuk bersama. Apakah mereka mau berkata, prtemuan ini dikehendaki umat? Kalau ya, mengapa umat menghendakinya? Dan lebih penting lagi, umat itu siapa? Umat NU? Umat Muhammadiyah? Umat yang berciri NU sekaligus Muhammadiyah? Atau yang bukan NU bukan Muhammadiyah? Tapi siapa? Kepemimpinan jangan dilihat secara instrumental, teknis, dan praktis. Kepemimpinan itu hembusan napas kehdupan. Ia luas, bervariasi, kaya warna, kaya nuansa. Dalam perspektif politik ia harus fleksibel. Tak berarti tidak istikomah. Dalam memperjuangkan sesuatu kita wajib istikomah. Tapi strateginya, cara mengatakannya, cara mendiplomasikannya, pilihan ungkapan dan artikulasinya, harus fleksibel. Kalau tidak, jaman sekarang ini bahaya. Ini jaman galak, sebentar-sebentar

main gebuk. Mereka suka lupa, barang siapa main gebuk suatu saat bakal kena gebuk, lebih keras, lebih banyak, lebih diwarnai rasa sakit hati. Orang lupa manusia bisa dendam. Kepemimpinan tidak pernah punya watak darurat. Sepraktis apapun, ia punya dimensi moril, dimensi etis dan filosofis. Kepemimpinan tidak sama dengan urusan teknis membicarakan strategi demonstrasi. Saya kira Gus dur maupun Mas Amien akan enggan bicara pada level ini. Gus Dur pun mungkin tak tertarik merumuskan mesti bagaimana langkah umat menghadapi situasi politik satu, dua, lima sampai sepuluh tahun ke depan. Umat tak usah diberi petunjuk mengenai bagaimana mereka mesti bereaksi atas suatu peristiwa politik tertentu. Dalam soal ini umat punya sendiri kearifan, yang mungkin para pemimpin malah tidak. Jadi apa hak pemimpin untuk berbuat begitu? Kepemimpinan bukan diberikan untuk merespons suatu perkara politik tertentu. Melainkan untuk bisa nyaman, enak, dan dinamis hidup dalam suatu tata peradaban tanpa rasa ketinggalan, tanpa rasa canggung. Soal ini setahu saya sudah lama menjadi perhatian khusus Gus Dur dan Cak Nur, tanpa saling berjanji, tanpa diseragamkan, lebih dulu. Umat, saya kira, tak memerlukan pegangan. Mereka sudah marem berpegang Qur'an dan Hadith. Itu saja belum diamalkan secara sempurna kok mau cari pegangan lain. Kebanyakan pegangan malah membingungkan. Ini biasanya watak orang kota yang cemas. Tiap ketemu kiai minta "diijazahi", diberi ayat untuk diamalkan sebagai pegangan. Tapi nyatanya tak diamalkan, kerjanya cuma menjadi kolektor ayat pilihan. Padahal semua ayat pilihan. Orang yang bicara bahwa "umat memerlukan kepemimpinan" itu pasti orang yang terpolusi cara berpikir kaum pejabat, yang sebentar-sebentar mau mengarahkan. Apaapa serba pengarahan, penyamaan persepsi, penyamaan langkah. Padahalitu semua "mbel gedes".

8

Pertemuan nanti itu lebih merupakan kebutuhan elit dalam NU, dalam Muhammadiyah, atau yang lain. Mungkin mereka kaum muda, mungkin mereka kaum tua. Itu tak penting, tapi mereka mungkin betul-betul memerlukan "petunjuk Bapak ... Gus Dur dan Bapak Amien". Umat tak pernah bermimpi begitu. Umat selalu ayem, kepenak, dan tenang. Bahwa mereka gerah menghadapi keadaan yang tak pernah akomodatif dengan suara mereka, memang ya. Tapi tak berarti mereka kehilangan rasa percaya diri sampai minta petunjuk segala. Lagi pula, sejak 1980-an kita lihat Gus Dur fasih mengamalkan tiga ukhuwah: ukhuwah Islamiah, ukhuwah wathoniah, dan ukhuwah basyariah. Ini pun bentuk kepemimpinan yang jelas agar umat merasa nyaman hidup dalam tata peradaban yang ada, kini, maupun di masa depan. Ini kunci penting bagi umat menghadapi perubahan yang bisa mencairkan segenap bungkahan-bungkahan sosio-budaya-politik dalam masyarakat kita. Kunci ini bisa membedah sekat-sekat sosiobudaya dan politik, yang selama ini menghalangi mata dan hati kita hingga kita menjadi makhluk yang terpenjara keterbatasan wawasan kita sendiri. Dan siapa yang tak mencatat perubahan besar wawasan kepemimpinan Mas Amien, yang diumumkannya secara luas menjelang dan dalam Muktamar Muhammadiyah di Aceh, tahun lalu? Mas Amien bicara taukhid sosial, yang intinya meneguhkan komitmen agar kita terampil mengembangkan kemampuan relasi sosial-politik dan budaya dengan semua kalangan, semua penganut agama, semua jenis manusia. Apa yang harus diamakan anatara kedua tokohyang dalam berbagai segi sudah saling berbagi aspirasi secara diam-diam ini? Haruskah sifat-sifat kesamaain itu diformalkan? Saya kira itu tidak menarik. Dan kau akan mengetahui, cinta bukanlah sandaran, dan teman bukan bearti rasa aman kata sajak itu. Dan saya setuju.

Apa yang sudah sama antara kedua pemimpin umat itu, biarlah kemudian berkembang. Dan apa yang tetap berbeda, biarlah ia menjadi kekayaan. Gus Dur biarlah di Ciganjur. Mas Amien biarkan saja di Yogya. Gus Dur biarlah tetap di PB NU. Dan Mas Amien tak usah diusik dari PP Muhammadiyah. Biarlah mereka jauh, karena jauh memberi peluang refleksi lebih dalam. Jauh bukan berarti musuh. Perbedaan adalah kekayaan. Kalau Mas Amien yang ternyata benar di masa depan, kelak kita semua yang dikatakannya menjadi milik kita. Kalau Gus Dur benar sekarang, itu rahmat dan bagian yang mesti kita nikmati hari ini. Sesaat lagi kita akan mengetahui perbedaan halus antara bergandengan tangan dan merantai jiwa Dalam kepemimpinan, bergandengan tangan tak sangat perlu. Merantai jiwa apa lagi. Jauh atau dekat, mereka sama: keduanya pemimpin umat. Perbedaan wawasan mereka memperkaya kita.

9

Kaum Muda di Jaman KeemasanEdisi 26/01 - 24/Ags/1996HIDUP di masyarakat Indonesia sekarang menuntut kelenturan sikap. Ada saat kita diminta setel kendo. Ada saat kita mesti bersedia tegang, kalau perlu marah. Keadaan seolah memfatwakan, di saat tertentu marah menjadi wajib hukumnya. Ini menarik. Kita menjadi dinamis dalam sikap, dan dalam pemikiran. Juga dalam tindakan. Kita tak pernah punya pegangan, atau patokan baku untuk ini dan itu. Mampuslah segala kebakuan. Apa yang teknis dan mapan, dan baku, tak cocok dengan jiwa kaum muda. Kita makhluk yang bergerak. Kita perlu kebaruan-kebaruan agar tak menjadi budak kebekuan.

Hidup juga menuntut kita untuk tak terlalu serius terus-terusan. Serius baik, tapi kita tak boleh kehilangan rasa humor. Semangat humor inilah yang mula-mula membuat saya menawarkan dalam pertemuan dengan seorang teman dari pemuda Muhammadiyah, agar organisasi pemuda membubarkan diri. Kawan ini tidak mau. Di seminar dengan sahabat-sahabat PMII--kalangan yang lebih terpelajar, karena mereka mahasiswa--- dua minggu lalu di Gedung Pemuda, Kuningan, Jakarta, hal yang sama saya ulangi. Saya menawarkan, sebaiknya sekarang PMII membubarkan diri agar bisa hidup merdeka dan bebas mewujudkan idealisme sebagaimana mereka bayangkan. Sekali lagi, tawaran ini tak diterima. Malah ada yang tersinggung. Saya heran. Kalau pemuda yang dinamis, yang gigih memperjuangkan demokratisasi dan kebebasan tersinggung oleh tawaran yang mereka sebut "subversif", lalu apa bedanya kaum muda, pemilik masa depan Indonesia dari kaum tua yang mapan ekonominya, mapan politiknya, mapan wawasan keagamaan, kebatinan dan cara pandang kerohaniannya? Kaum mapan, yang inginnya terus menerus mapan, mudah dipahami gampang naik pitam mendengar tawaran perubahan. Apa yang membuat kaum muda, juga mahasiswa, begitu enggan bersikap sedikit santai? Saya memang bergurau. Tapi di balik gurau itu ada hal serius: kita, kaum mudamahasiswa, sekarang ini sukar menjadi diri sendiri, hidup dengan arah panggilan nurani sendiri dan bergerak karena idealisme sendiri. Kita, tanpa sadar, sering bertemu lakon-lakon drama politik, yang ditulis orang lain, disutradarai orang lain, buat kepentingan orang lain, tapi kita disuruh mendukung. Kita diminta menjadi figuran. Dan gratis. Kalau toh ada imbalannya, paling berupa sanjungan, bahwa kita pemuda yang progresif, yang paham masa depan bangsa, yang bertanggung-jawab terhadap tanah air,

yang tangkas menjaga persatuan dan kesatuan. "Kaum mapan, yang inginnya terus menerus mapan, mudah dipahami gampang naik pitam mendengar tawaran perubahan..." Kalimat-kalimatnya baik. Gelembungnya besar. Warna-warni ideologisnya seperti patriotik. Tapi demi hati nurani harus dikatakan semua itu palsu. Soalnya, bukanlah maksud hati mereka untuk mengarahkan pemuda pada keluhuran dan tanggungjawab tulen, dan otentik pada soalsoal yang berhubungan dengan hidup orang banyak. Yang mereka pompakan ialah semangat membela kelompok yang tengah cemas menghadapi musim semi, musim hujan, ketigodowo yang membikin daundaun dan bunga rontok, yang tak amat jelas sosoknya kapan dan bagaimana caranya. Bagi saya, sekarang ini tak ada sama sekali urusan membangun hidup kaum muda. PMII, HMI, PMKRI, pemuda ini pemuda itu dan organisasi mahasiswa ini dan itu, punya sejarah. Dan sejarah mereka terkait dengan idealisme, dengan kehausan akan kehendak mewujudkan barang yang benar, dan adil agar tatanan sosial-ekonomi kebudayaan dan terutama politik, di negeri kita selalu beres. Mereka lahir dalam era perjuangan. Tapi ada bentuk ormas-ormas lain yang lahir dari masa keemasan. Mereka lahir tidak dari derap kaum muda yang ingin membuktikan mereka punya cinta, melainkan terstruktur dalam suatu naskah drama politik tahun 1970-an, untuk menjadi pendukung. Sekedar pendukung. Ini pelecehan. Tapi berhubung di jaman keemasan itu yang amat penting ialah barang-barang, harta,kamukten(wismoturonggo-kukilo: artinya rumah, mobil, dan aneka klangenan yang, kalau perlu, mewah), maka lupalah kaum muda akan barang yang disebut "dignity". Bius ideologi mapan--dan jelas menindas--merasuk dengan sempurna dalam hati sanubari kaum muda kita. Dan jadilah barisan kaum muda di ormas ini dan itu, yang mementingkan kebanggaan dekat dengan para nayakaning praja, para

10

punggawa, para adipati, para prawira, syukur dengan kanjeng sinuwun dan kadang sentana serta para bandara kakung-miwah putri, yang mudah memberi jaminan kemapanan. Kalau kita mau menggelembungkan ide besar tentang perkara nation and character building, keteguhan "iman" sosial-politik dan ekonomi serta sikap tegak di dataran gagasan idiil, mati sajalah sebaiknya. Kaum muda kita sudah terlalu banyak menghisap bius ideologi kemapanan. Mereka terlalu banyak menyerap udara penjajahan kesadaran kritis, yang melengkukkan sikap kritis itu ke suatu arah yang baik buat mendukung orang lain. Dalam situasi seperti itu, politik, yang adalah panglima itu, menjadi iming-iming paling menggiurkan. Main politik itu enak. Mobilitas ke atas cepat, dahsyat, mengejutkan. Orang tak perlu sekolah. Orang tak perlu canggih. Orang cuma perlu trampil latihan membungkuk, yang bibitnya ditanam Jepang dalam urusan membungkuk ke timur di pagi hari pada jaman penjajahan Jepang dulu. Taat, loyal---kalau perlu lahir batin--menjadi ukuran keluhuran dan syarat naik pangkat dan bentuk promosi lain secara istimewa. Hidup mudah. Teratur. Sudah ada mekanismenya. Sudah jelas pakemnya. Sudah jelas pula ke mana arah yang mesti dituju jika masa "bakti" telah selesai. Modal tersedia untuk bisnis besar. Bank bersedia kasih pinjaman dan tak terlalu terpaku pada keharusan membayar sebagaimana ditulis dalam kontrak. Cantelan dengan rekan-rekan lama yang masih jumeneng bakal memperlancar segenap urusan. Maka, karir politik jelas jadi impian kaum muda. Untuk diajak bubar, sebagai pernyataan sikap merdeka agar kita tak digiring ke sana ke mari, dan tak disediakan teks pernyataan ini dan itu, semua keberatan. Harga diri, kemandirian, sikap bebas, penting. Tapi makanan politik, impian politik, bayangan politik lebih penting. Kita bisa dengan mudah jadi anggota DPR---hati-

hati jangan kepleset jadi PRD---dan bertahan selamanya di sana pun boleh. Di sana tugas sudah jelas, menyepi: sepi ing ide, sepi ing greget, sepi ing keberanian bersuara. Pokoknya hidup di jalan sepi dari pemikiran dan sikap kritis, tapi rame ing pangkat dan segenap kamukten kadonyan. Mungkin beginilah kondisi psikologi kawankawan muda kita sekarang. Jadi mustahillah diajak menata barisan yang lebih baik, lebih runtut, lebih terarah ke masa depan yang mereka bayangkan. Kenapa? Masa depan tak di tangan kita. Masa depan cukup kita serahkan sutradara, dan para penulis skenario politik yang makin gemar dengan lakon-lakon absurd, dan mengulang-ulang gaya lama yang--demi kebaikan alam semesta--harus dibilang membosankan.

11

Dilema Umat dalam Pemilu 1997Edisi 45/01 - 04/Jan/1997Pemilu sudah di ambang pintu. Golkar, raja pemilu-pemilu kita selama ini, sudah lama siap. Ia lebih siap dibanding para pesaingnya yang dari pemilu-pemilu lalu cuma jadi penggembira. Kalau pemilu diadakan hari ini pun, Golkar siap. Kampanye sudah dia selenggarakan secara insentif, terus menerus, hampir sepanjang tahun 1996, biarpun terselubung. PPP dan PDI selama itu sebaliknya: mereka diam. PDI bahkan hampir "lumpuh". Dalam situasi semacam itu, pertarungan dalam Pemilu nanti lantas menjadi sama sekali tak seimbang. Mereka yang mengharapkan Pemilu bakal seru mungkin

harus menelan kembali harapan itu. Soalnya, Pemilu kali ini pun bisa diduga cuma bakal menjadi ritus politik yang berlangsung secara rutin lima tahun sekali. Dalam soal ini kita sungguh-sungguh konstitusional. Kita sangat konsisten mengemban amanat konstitusi. Tapi, sekali lagi, itu cuma bagian ritus formalnya. Bagian yang mengembangkan semangat demokrasi, yang tercermin pada prinsip jujur dan adil, urusan belakang. "Apa yang menjadi urusan wajib sekarang?" "Mencari kemenangan, apapun yang mesti dilakukan, berapapun biayanya." "Bisakah tiap organisasi peserta pemilu berbuat begitu?" "Di atas kertas ya, semua bisa. Tapi dalam praktek, cuma Golkar yang bisa begitu. Soalnya dia raja, kaya, dan sedang berkuasa. Dia berani melakukan apa saja". Kedengarannya hebat sekali. Dan kenyataan di lapangan pun kira-kira begitu. Ketua Gokar yang rajin berpeci, bersurban, dan berjaket kuning, secara simbolis maupun riil menunjukkan begitu. Dengan jaket kuning itu ia muncul di manamana. Ia seolah setiap hari menjadi Golkar. Dan tiap hari siap berlaga. Ini yang tidak diucapkan dengan kata. Adapun yang terang-terangan dinyatakan kita juga tahu. Ia pernah berkata, dengan sistem pemilu apapun, Golkar siap. Ini menanggapi pembicaraan umum ketika kita semua memikirkan sistem pemilu yang lebih baik, lebih adil. Kecuali itu ada dua hal lagi yang menggambarkan kegagahan Golkar. Pertama, seperti yang dikatakan Ketuanya, Golkar sudah punya jago. Siapa namanya, tidak penting, yang penting jagonya sudah dielus-elus, dan diyakini bakal unggul jayane (pasti menangnya). Karena jago yang sudah teruji sejarah, sudah pengalaman, sudah punya prestasi, itu harus juga menjadi rujukan penentuan kriteria jago partai-partai lainnya.

Semua orang tahu siapa jago itu. Ungkapan yang sinamun sinamudono (yang disamarsamarkan) itu, bagi tiap orang sungguh terang bagaikan siang. Penyamaran yang transparan jelas bukan penyamaran lagi, melainkan sebuah kultus. Kedua, Ketua Golkar juga sudah menyatakan blak-blakan, bahwa Golkar bisa saja dalam pemilu mendatang menang 100 persen. Bayangkan menang 100 persen itu ibarat pertarungan di dunia tinju cuma bisa terjadi pada petinju-petinju "kejam" macam Tyson dan Foreman yang bisa merobohkan lawan di menit-menit pendahuluan. Pernyataan gagah berani itu menyembunyikan satu kenyataan penting bahwa, dalam pemilu kita, lawan-lawan harus dikepung dari segala penjuru, dilucuti segenap kekuatannya, dan dilarang membayangkan untuk menang. Jadi, pertarungan tak seimbang dan tak mencerminkan rasa keadilan pun bukan soal yang mesti dipusingkan. Golkar sebagai partai besar memang memperoleh status kebesarannya. Karena ia justru tak mau pusing oleh soal-soal itu. Dari tahun ke tahun urusan Golkar tak ada sangkut paut dengan perkara pembangunan dan pendidikan politik dalam arti esensialnya. Kepedulian utama partai itu adalah menang dan jaya. Itu saja. Soalnya, kemenangan dan kejayaan bisa membuahkan apa saja yang bahkan sukar untuk sekedar diimpikan. Memang ada satu hal -- sebutlah sebuah prestasi -- menarik yang kita raih selama Orde Baru. Prestasi itu berupa lenyapnya politik aliran. Berarti sentimen primordial -dalam wujud nyata maupun simbol terselubung -- apapun kini tak lagi boleh mondar mandir dalam politik nasional kita. Dalam garis tebal semangat politik macam inilah kemudian Cak Nur bicara "Islam yes, Partai Islam no" yang melegenda itu. Kita tahu ada yang marah terhadap Cak Nur. Tapi orang-orang yang menaruh simpati kemudian megembangkan pula dasar-dasar legitimasi pemikiran bahwa ucapan Cak Nur

12

tepat sekali untuk menjawab tuntutan sejarah. Pelembagaan semangat, nilai-nilai dan ajaran keagamaan dalam politik, buat memberi warna moral dalam politik merupakan kebajikan hidup seperti dulu nabi-nabi, para rasul, dan orang-orang suci melakukannya. Tetapi melembagakan orang-orang, jamiah, atau kelompok agama ke dalam institusi politik dianggap tidak lagi menggiurkan. Kitapun kemudian mengembangkan wawasan ke depan bahwa primordialisme bukan barang yang kita dambakan. Kita, hari ini, dan terutama di masa depan, lebih memerlukan untuk memprioritaskan orientasi ke-Indonesia-an. Utuhnya Indonesia, jayanya negeri kita, lebih menjadi impian daripada sibuk membuat partai-partai agama yang bakal tarung satu sama lain, seperti pengalaman pahit di masa lalu. Orientasi kita mungkin sudah mengIndonesia. Kita mengutamakan Indonesia di atas kepentingan kelompok-kelompok etnis maupun golongan keagamaan. Kalau ini benar,betapa bahagia kita. Karena itu, dalam pemilu nanti, umat Islam yang sangat besar jumlahnya mungkin lantas mengutamakan pilihan pada partai yang bisa dengan jelas memenuhi aspirasi itu. Partai apa saja yang bisa lebih terfokus mengutamakan gagasan ke Indonesiaan, artinya yang akomodatif pada tuntutan demokrasi dan keadilan? "Golkar?" "Belum tentu. Pernyataannya bahwa ia bisa menang 100 persen kalau mau, mungkin tak menjamin prinsip adil, jujur, demokratis. Menang 100 persen di manapun cuma bisa diwujudkan kalau segenap paksaan dan kekerasan dilibatkan. Mereka yang dasarnya adil dan jujur dalam permainan tak bakal mimpi indah macam itu. Dalam pemilu mendatang, umat Islam, terutama yang kritis, dan terpelajar, mungkin berada dalam dilema. Mau mendukung partai yang tadinya berorientasi ke Islam, sebutlah PPP, bisa saja ragu karena PPP juga amat

lemah. Mau mendukung PDI, orang masih beranggapan PDI sedang terkoyak-koyak. Mau mendukung Golkar, ia terlalu tampak berkuasa dan arogan. Dilema ini muncul, karena meskipun dasar pemikiran bahwa yang penting bukan kelompok-kelompok kecil melainkan keIndonesiaan, tapi kita sungguh-sungguh belum punya wadah keIndonesiaan itu. Walhasil, biarpun Golkar lebih mengutamakan kebesaran dirinya, dan belum tentu punya jaminan lebih jelas berorientasi keIndonesiaan dibanding partai lain yang lemah-lemah, dukungan orang tetap tercurah ke Golkar bukan karena alasan ideologis tapi lebih karena alasan politik praktis: karena Golkar punya uang dan kuasa. Mendukung Golkar bisa berarti mendapat dukungan uang. Bisa pula karena bakal diangkat menjadi bupati atau anggota DPR. Cuma itu. Kita ini rugi. Politik aliran sudah mati. Makna umat dalam politik pun otomatis mati, sebab diganti oleh orientasi lain. Secara ideal gantinya lebih baik, lebih universal, lebih Indonesia. Tapi sarana ke arah itu belum terjamin. Secara tersirat muncul manipulasi ideologis bahwa bukan Islam, bukan agama lain -pokoknya bukan primodial -- itu seolah artinya lalu harus Golkar. Ini mainan tidak fair. Para pemikir politik keagamaan kita diminta meninjau kembali gagasan mereka karena dalam praktek ada benturan keras. Benturan itu terjadi di birokrasi. Dan yang diuntungkan jelas Golkar. Kita tak menghendaki benturan ini. Kita tak ingin gagasan ke Indonesiaan yang besar ternyata mentok di kelompok pemenang. Dan kita tak ingin orientasi keumatan yang telah berubah menjadi warga negara, atau rakyat itu, berubah percuma. Politik tidak boleh berubah tanpa makna.

13

Beduk*Edisi 53/01 - 01/Mar/1997 GoenawanMohamad Anak-anak menyukai beduk, tapi tahukah orang dewasa apa sebetulnya benda itu? Hampir tiap anak kampung punya pengalaman yang mirip: ia datang ke masjid menjelang magrib, terutama pada bulan Puasa, dan cari kesempatan memukul gendang besar yang sejak dulu tergantung di sudut itu. Tak ada sesuatu yang sakral di dalam benda tambun itu. Seperti dulu waktu kecil saya rasakan, menabuh beduk hanyalah karena sebaya lain senang melakukannya, mungkin sedikit bangga bahwa kami bisa membuat bunyi, sebuah isyarat waktu salat, yang terdengar oleh banyak orang -- termasuk ibu di rumah. Anak-anak menyukai beduk, akrab dengan sebuah kehidupan bertetangga, yang menjalani ibadah sebagai bagian wajar sehari-hari. Di masa kecil dulu, kami sering berkunjung ke keluarga di Semarang atau Kudus dan mendengar orang menyambut hari pertama bulan Puasa dengan "duk-der" yang ramai hampir sepanjang hari: sebuah tradisi, sebuah momen, ketika kehidupan beragama bertaut dalam budaya lokal; dan begitu pula sebaliknya. Namun, bila dulu orang menyerapkan ritual dengan keseharian, orang di kota pada zaman ini lebih kikuk. Mereka memandang beduk dengan lebih tegang: benda itu telah jadi simbol pergulatan identitas. Beduk menjadi ciri Islam, maka segala hal yang berkenaan dengan benda itu membawa serta ke-Islam-an. Soal beduk pun jadi soal to be or not to be. Masalah identitas itu pun jadi problem, ketika kita waswas: jangan-jangan identitas itu akan tertelan oleh sebuah kota yang tambah beragam penghuninya, ketika kehidupan bertetangga tak lagi merupakan sebuah komunitas, maka eksistensi beduk harus ditonjolkan. Bahkan, ibadah pun -- salat tarawih, naik haji, bersedekah -- bukan lagi bagian wajar kehidupan sehari-hari, melainkan sesuatu yang harus diperlihatkan ke segala penjuru.

Itu bisa dianggap bagian dari syiar agama, tentu. Tapi, orang muslim sebenarnya tak menyukai itu dan menyebut gejala itu sebagai ria dan sumah. Namun, kota-kota tumbuh, mendatangkan banyak hal yang ganjil, yang menggembirakan, tapi juga rasa cemas. *** Mungkin, itulah yang terjadi di Rengkasdengklok, pada bulan Puasa tahun 1997. Di sebuah pagi, di saat menjelang sahur, seorang anak muda kelas I sekolah teknik menabuh beduk. Seorang tetangga merasa terganggu. Ia datang ke masjid, memprotes. Cekcok pun terjadi. Mula-mula tidak ada yang gawat yang menyusul setelah itu. Tapi, apa lacur: tetangga yang memprotes itu adalah seorang keturunan Cina. Beberapa jam setelah insiden kecil di Kampung Warudoyong itu, Kota Rengkasdengklok dimakan api. Beberapa gereja dibakar dan diserbu, wihara diserang, sebuah patung Buddha digantung. Tokotoko ludes kena basmi, rumah-rumah rusak. Saya mempunyai pengalaman lain. Sekitar 20 tahun yang lalu, saya tinggal di sebuah wilayah di timur Jakarta, sebuah kompleks perumahan baru. Masjid pun didirikan; dan orang senang. Tapi, suatu hari pada bulan Puasa, anak-anak memukul beduk bertalutalu tanpa henti sejak saat sahur dan penghuni sekitar terganggu. Pada hari kesekian sesuatu terjadi: sang beduk raib dari masjid. Orang pun heboh. Baru agak siang seorang tetangga datang menerangkan bahwa dialah -- bukan pencuri -- yang mengambil beduk itu. Ia terangkan bahwa ia sekeluarga tak bisa tidur dan sudah protes tapi tak dihiraukan. Hari itu ketegangan terjadi. Tapi, tetangga itu adalah seorang dokter mantan tokoh Himpunan Mahasiswa Islam dari Surabaya dan, tentu saja, ia tak bisa dituduh "menghina Islam". Saya tidak tahu, apakah ia juga telah mengutip, untuk anak-anak muda itu, satu kalimat suci dalam Surah Alaraf: agar kita menyeru atau berdoa kepada Tuhan dengan rendah hati dan suara lirih, agar kita

14

tak melampaui batas dan agar kita mengingat Tuhan tanpa mengeraskan suara di pagi hari dan petang.... Yang jelas, beduk itu pun dikembalikan. Tidak ada bentrok. Tapi, tak lama kemudian, suara tabuh pun kembali bertalu-talu dari saat sahur sampai jam hampir subuh. Adat? Kebandelan remaja dengan cara lain? Kegembiraan beribadah? Sukar menjawabnya. Tapi, orang tak mengenal beduk di zaman Nabi dan orang tak memukul beduk di Masjidil Haram ataupun Masjidil Aksa. Dari mana sebetulnya beduk itu datang dan masuk ke kehidupan kita? *** Jawabnya: seperti halnya mercon yang memekakkan kuping itu, beduk pun berasal dari Cina. Informasi ini saya dapat dari seorang guru besar etnomusikologi Amerika, Charles Capwell, ketika seorang teman saya menanyakannya. Capwell bahkan ingat: ketika ia berkunjung ke Cina beberapa tahun yang lalu, di kuil-kuil Cina ada beduk, sementara tak ia ingat ada benda itu di masjid-masjid. Di zaman Hindu dan Buddha, instrumen itu bahkan tak pernah disebut. Mungkin baru ketika Zheng He dan pasukannya datang, sebagai utusan Maharaja Ming, ke Jawa, dialah yang memperkenalkan beduk ke Jawa -- ketika ia memberi tanda berbaris ke tentara yang mengirimnya. Jangan lupa, Zheng He adalah seorang muslim. Kesimpulan yang sama saya dengar dari Endo Suanda -- tokoh penting bagi musik dan seni pertunjukan Indonesia. Endo, yang kini sedang menulis disertasi etnomusikologinya di Universitas Washington, di Seattle, menjawab pertanyaan saya: "Dari analisa bentuk instrumennya, memang beduk itu berasal dari Cina. Kulit atau membrannya di kedua muka dipaku langsung ke badan. Membran itu tak bisa disetel kendur kencang seperti kendang Jawa yang berasal dari India." Bahkan, sampai kini pun masih ada jejak yang menghubungkan tradisi Cina dan

beduk. "Kelenteng di Cirebon, saya tahu, masih menggantung beduknya," tulis Endo pula. Endo bisa bicara banyak tentang hal itu. Ia lahir di Desa Cikasung, sekitar dua kilometer dari Majalengka, Jawa Barat. Ayahnya seorang guru, yang sebenarnya memandang kesenian sebagai dunia yang tak terhormat. Tapi, paman neneknya, seorang mantan kepala desa pada zaman Belanda, punya gamelan dan wayang, yang disewakan kepada seniman-seniman dari luar desa. "Saya selalu ikut rombongan itu," cerita Endo. Akibatnya: hubungannya dengan orang tua tegang. Dalam usia sembilan tahun, ia terus-menerus ikut pertunjukan. Dan, bila dicaci ayahnya, ia lari dari rumah. Ia tinggal dengan keluarga lain yang punya kerbau dan ia menggembala kerbau. Terkadang, ia tidur di masjid. Kehidupan masjid waktu itu sangat menyenangkan. Sehabis belajar mengaji, setelah shalat isya, anak-anak biasa main genjring atau rebana. Dan, tentu saja, menabuh beduk berebutan di bulan Ramadan. Yang aneh, ("Baru sekarang saya merasa aneh," kata Endo), beduk sudah dipukul sejak kira-kira pukul 23.00. Kemudian, selang satu jam dipukul lagi. Semalam sebanyak tiga kali. Tetangga tentu saja sering terganggu. Yang galak dan terganggu sering datang ke masjid dan menangkap anak yang sedang bikin berisik itu, dimarahi atau ditempeleng. Yang tidak ingin tertangkap lari. Tapi, tak ada dendam. Apa yang berlanjut dan apa yang berubah? Anak-anak masih menyukai beduk dan memukulnya pada saat orang ingin tidur. Di kota-kota, orang dewasa tak berkeberatan. Kegaduhan seakan-akan kebaikan. Dari Cina jugakah unsur gemar gaduh itu -- seperti mercon yang konon disundut untuk mengusir roh jahat, seperti "dombrengdombreng" dalam prosesi barongsai? Tradisi kegaduhan yang agak umum di Indonesia, menurut Endo Suanda, misalnya ada dalam bebatelan Bali, yang memang banyak menerima pengaruh Cina. Tapi,

15

musik-musik yang ribut, keras, juga sangat umum di Timur Tengah dan India. Musik Nagaswaram di India Selatan, yang diiringi beberapa kendang, sangat berisik. Namun, keberisikan juga bisa terjadi karena kompetisi. Menurut Endo Suanda, permainan beduk yang paling spektakuler ada di daerah Banten, Jawa Barat. Mereka malah adu kekuatan main beduk. Adu kekuatan itu bukan hal asing dalam tradisi musik Indonesia. Waktu di kampung dulu, para penggembala kerbau pun suka mengadu keras main cambuk. Dari bukit penggembalaan ke bukit yang lain, mereka makin mendekat dan tak jarang berakhir dengan adu kekuatan tenaga, saling pukul. Orang menyebutnya ujungan atau sampyong. Di daerah Majalengka, adu pukul itu selalu diiringi dengan kendang pencak. "Saya dulu sering main kendang untuk itu," tulis Endo, "karena saya tak berani pukul-pukulan dengan tongkat rotan." *** Apa yang berlanjut dan apa yang berubah? Biarlah saya mengutip Endo Suanda kembali: "Saya pikir, masyarakat kita sudah makin kehilangan pilihan. Makin kehilangan kesempatan untuk bisa mengungkapkan energi 'kegaduhan', yang bisa kita analogikan dengan penyaluran 'nafsu perang' atau semangat perjuangan. Kaser, adu cambuk anak gembala kerbau, atau lomba menabuh beduk adalah saluran dari energi itu, yang seakan-akan terbimbing dalam sistem sosial-kultural yang tepat. Artinya, selalu ada penyelesaian yang cukup bijak. Pertandingan fisik yang diritualkan (ada waktunya, ada tempatnya, ada konteksnya) rasanya tak pernah menciptakan keadaan khas. Tapi, saluran itu sekarang tak ada. Di kampung saya sudah tak ada satu pun kerbau karena tak ada sedikit pun lahan gembala. Anak-anak muda pada tahun 1970an akan lebih senang mengembara ke kota untuk jualan roti, misalnya. Tapi, sekarang, untuk jadi pedagang roti, lahannya pun sudah semakin sempit.

Saya sedih ketika sesekali mengunjungi kampung, melihat mereka minum-minum, mabuk-mabukan.... Untuk bermain bola pun tak cukup ada lapangan. Saya bukan bernostalgia dan sama sekali tak menganggap kehidupan dulu lebih baik.... Tapi, soalnya, sekarang, di mana saluran energi kemanusiaan yang macam-macam itu -- dari energi kehalusan sampai kekasaran -bisa teralirkan?" Jakarta, 21 Februari 1997. *)D&R, 1 Maret 1997

16

KEMATIAN

Mohammad SobaryKETIKA jenazah kakek terbaring dalam keranda di emper depan rumah, di antara anak-anak, para cucu dan anggota keluarga lain, serta para tetangga, saya sadar kakek telah meninggal. Mungkin tiap orang menyadari juga kematian merupakan saat perpisahan. Tapi, ketika liang lahat pelan-pelan ditimbun, saya merasa tersentak kaget. Kali ini perpisahan itu ternyata berarti sebuah kehilangan. Kakek telah pergi buat selamanya. Di kampung saya, generasi demi generasi lahir dan mengakhiri perjalanan hidup mereka di puncak bukit kecil, tempat para leluhur kami dimakamkan. Secara simbolis makam di puncak bukit itu menggambarkan, hidup tak lebih dari antrean panjang menanti kematian. Ada yang menganggap kematian itu menakutkan. Karena itu mereka membuat persiapan-persiapan agar jangan sampai mati secara salah. Mati yang cuma sekali itu tak boleh mengecewakan. Meskipun sudah mati, orang tak boleh menyianyiakan anak cucu yang ditinggalkan. Ia harus yakin anak cucu bakal tetap makmur, subur, tata tenteram, tak kurang suatu apa. Sebaliknya, ada yang memandang kematian sebagai kewajaran. Bila orang berani hidup, ia

harus berani mati secara rileks. Ia rela menerima kematian serela ketika ia dulu dilahirkan. Ia lahir tanpa beban, dan wajib mati tanpa beban pula. Tiap orang lahir tanpa menggenggam dolar, mati pun tak perlu membawa kantung penuh uang. Inilah kata kakek, tiga hari sebelum ajal menghampirinya. Sebelum meninggal, kakek sempat bergurau. Dan tiba-tiba dengan sikap bersungguh-sungguh, beliau menyuruh para cucu menyapu halaman, membersihkan rumah dan pekarangan. "Karena mau Lebaran, ya, Kek?" kata salah seorang cucu. "Ya. Dan juga karena siang nanti kelihatannya bakal banyak tamu datang," kata kakek kalem. Dan siang itu, saat ajal tiba, saya melihat sikap rileks di wajahnya. Wajah kakek mirip ketika tidur siang seperti biasanya. Apa yang dikatakan kakek ibarat cermin bagi semua yang dilakukannya. Dan cermin, kita tahu, tak pernah berbohong. KATA Ki Timbul Hadiprayitno, ada tiga jenis kematian. Pertama, mati "utomo" (utama). Ini jenis kematian yang indah. Mungkin malah paling indah. Orang bersangkutan tahu bahwa kematiannya telah tiba. Semua utang dilunasi, termasuk kredit di bank--kalau punya. Kalau perlu anak cucu dikerahkan untuk membantu mengingat-ingat, kepada siapa, dalam bentuk apa, berapa, dan kapan ia berutang. Dan selekasnya dibayar. Selebihnya, bisa saja tiba-tiba orang bersangkutan mengumpulkan semua anak cucu untuk pamitan, dan lain-lain. Kemudian, ia pun meninggal dengan tenang. Pada zaman dulu, banyak orang seperti ini. Ia tergolong orang yang sudah paham. Ia golongan kaum makrifat yang diberi Tuhan izin khusus mengetahui ujung perjalanan hidupnya. Kedua, mati "prawiro" (secara perwira). Ini mati yang penuh rasa harga diri dan kebanggaan. Pejabat-pejabat Jepang yang memilih bunuh diri

ketika menyadari telah melakukan kesalahan besar menganggap pilihannya sangat bersifat ksatria. Kekeliruan yang memalukan telah ditebus dengan tetes darah dan kematian. Dan itu satu-satunya cara menghapus arang yang tercoreng di wajah, dan mengembalikan harmoni yang hilang. Watak ksatria orang Jepang memang mengagumkan. Mereka paham cara-cara menempuh "darma" seorang satria. Dengan begitu mereka pun ahli memilih jalan kematian paling membanggakan hati. Prinsip "sedumuk bathuk, senyari bumi" dalam masyarakat Jawa, "siri" dalam masyarakat Bugis-Makassar, atau "carok" di Madura pada dasarnya mengandung pembelaan atas "darma" ksatria macam itu. Tapi kita tak bisa menerapkannya dengan cara seanggun orang Jepang. Penerapan kita selalu terkait dengan "amuk" dan "balas dendam", yang mungkin mengurangi bobot kebanggaan itu. Ia mungkin malah sudah pula kehilangan rasa indahnya. Indonesia adalah Indonesia, dan Jepang adalah Jepang. Kita ingin menjadi diri sendiri, dan tak ingin menjadi orang Jepang. Tapi, bagaimanapun, diam-diam wajib diakui, untuk meneladani orang Jepang tidak mudah. Mungkin benar juga mereka menganggap "saudara tua" kita karena mereka memang lebih dewasa. Ketiga mati "nalongso" (nelangsa). Lantaran suatu sebab yang tak mudah diketahui mengapa, orang sakit berkepanjangan. Penderitaan berat dialami si sakit. Tapi, rasa berat itu tak kurang-kurangnya diderita keluarga dan sanak saudara juga. Sakit yang begitu lama itu tak pernah ditemukan obatnya. Dan akhirnya ia pun meninggal. Sebenarnya bukan cuma ini. Dalam masyarakat Jawa dikenal pula sebutan mati kodok. Bukan berarti orang lantas menjadi kodok. Ini gambaran penyesalan, terhadap orang yang memiliki potensi mati sebagai orang penting, ternyata menyia-nyiakan potensinya. Ia kemudian mati merana, tanpa jasa, tanpa kenangan bagi masyarakat. Nasibnya konyol. Dalam perjuangan, misalnya, orang yang cenderung nekat, sembrono, dan tidak hati-hati mudah mengira dirinya bakal menjadi pahlawan.

17

Ia merasa menjadi pusat peredaran dunia. Dan siapa pun dilawan, semua jenis suara tak digubris. Ia maju tanpa perhitungan dan kemudian terbentur tembok zaman yang begitu keras. Dan nasib pun hancur berkeping-keping. Masa depannya gelap. Atau bahkan sudah tamat. Sejarah politik -- termasuk yang paling kontemporer -- menyediakan bahan-bahan renungan penting. Banyak tokoh-tokoh besar mati nalongso alias merana karena berbagai sebab yang kompleks. Tapi satu di antaranya mungkin lantaran kehilangan "gut feeling" dalam melakukan kalkulasi politik. Apa yang bisa dipetik dari hidup, dan juga dari sejarah politik, untuk menjadi pelajaran? Mungkin ini: kita bebas memilih. Sentuhan dengan alam, dan Tuhan, dalam hidup seharihari, berlangsung sangat demokratis. Manusia tak dipaksa-paksa. Dalam kebebasannya itu manusia boleh memilih secara merdeka jalan kematiannya sendiri. Secara naluriah, orang cenderung memilih mati utomo, atau mati prawiro. Mati jenis itu tak cuma menjadi milik kaum rohaniawan atau para ksatria. Rakyat biasa, yang bukan rohaniawan, bukan pula prajurit perkasa, bisa memperoleh kemewahan alam untuk meraih tingkatan mati utomo atau prawiro tadi. Ini mungkin salah satu wajah keadilan hidup. Sebaliknya -- ini pun wujud keadilan -- dari kalangan atas, di antara para tokoh yang seharihari disebut "luhur" derajatnya, bukan mustahil mengalami mati nalongso. Atau mati kodok. Dan itu bukan suratan takdir, melainkan pilihan manusia. Majalah D&R, 21 Februari 1998

berlebihan buat memenangkan Golkar -- ambisi yang membuka lebar peluang para pejabat merasa makin khusuk dalam tindakan nista -kita seperti berhadapan dengan salah satu episode masa lalu, ketika di dalam politik orang masih bisa menemukan makna pendidikan buat seluruh bangsa. Tak seorang ahli pun pernah membayangkan -juga para ahli politik Indonesia -- bahwa di tengah iklim "tahlilan" yang membikin Buya cuma bisa membanggakan suasana teduh, yang sebenarnya itu tanda hilangnya "fighting spirit" menghadapi Golkar -- PPP tiba-tiba bisa menjadi begini hebat. Orang memang tak boleh lupa, dalam pemilu lalu Golkar kalah oleh PPP justru di Jakarta, di pusat, tempat rekayasa pemerintah disusun. Saat itu Golkar dibikin merasa kehilangan muka. Dan kini mungkin kegetiran itu bakal terulang. Ini semua kejutan penting dalam politik kita hingga politik -- untuk pertama kalinya selama Orde Baru -- bisa mendebarkan seperti posisi Kamerun atau Korea Selatan, dalam perebutan Piala Dunia. Kali ini PPP -- jika keadaan Jakarta bisa menjadi barometer -- pasti dengan jengkel dianggap musuh bebuyutan Golkar. Rivalitas Golkar-PPP mengingatkan kita situasi Pemilu 1982, ketika partai bintang itu menggoyahgoyahkan akar "tanaman" yang baru tumbuh. Dalam pemilu kali ini, ketika orang Golkar mengira posisinya sudah tak tergoyahkan, PPP tetap gigih menggerogotinya akarnya. Akar? Adakah orang-orang Golkar mengira partainya punya akar? Mereka boleh dengan bangga berkata begitu di media massa. Tapi demi kebenaran, secara intern merasa wajib mengakui kekuatan Golkar muncul tidak karena telah berakar melainkan karena perlindungan payung kekuasaan. Di situ nafas mereka terletak. Jerih payah tiga puluh tahun itu belum tampak benar hasilnya. Soalnya Golkar itu ibarat bayi lahir belum masanya. Kesehatannya otomatis sangat rentan. Menyaksikan derap kampanye PPP yang sepintas membikin Jakarta tiba-tiba berwarna hijau, warna kuning yang disiapkan secara

18

Cacing Pun Menggeliat Edisi 12/02 - 24/Mei/97DALAM beberapa hari terakhir ini politik Indonesia menggairahkan. Tanpa ambisi

kejam dua tahun lebih di Jawa Tengah sungguh tak ada artinya. Memang memalukan bahwa hasil kerja dua tahun lebih, pupus oleh saingan yang muncul hampir tanpa biaya, tanpa rencana. Siapa tidak "giris", (gentar) menyaksikan gairah PPP yang diungkap dalam mars halo-halo Bandung: "Mari Bung kita rebut kembali" (kemenangan di Jakarta), yang ditulis justru di gang-gang, di wilayah paling strategis dalam pandangan umat? Sejumlah tokoh non Muslim, yang sebelumnya tak mungkin melirik PPP, kini untuk pertama kalinya berpikir mengenai kemungkinan memilih partai bintang itu. Bagi mereka, kali ini memperkuat PPP sama dengan memperkuat rakyat. Perasaan sebagai sesama rakyat, dan yang -dalam politik -- sama-sama terlantar, makin mengental. Warna agama kali ini dilupakan buat sementara. Fenomena ini membikin orang tak mungkin mengambil kesimpulan lain selain bahwa rasa muak terhadap kemapanan itu sudah lama melampaui ambang batas teloransi di benak rakyat. Ini berhubungan dengan kesadaran politik yang diam-diam mengkristal di dalam hati sanubari rakyat, bahwa kemapanan yang diraih dengan prestasi menimbulkan kebanggaan, tapi kemapanan yang diraih dengan kasar menimbulkan rasa takut terhadap bayangan dosa-dosa. Di bawah pengaruh arogansi orang-orang yang sedang di atas, perasaan ini mungkin tak pernah muncul. Tapi ketika sendirian, saat seorang pejabat menjadi dirinya sendiri, siapa bilang ini bukan hantu paling nyata? Dan siapa bilang perasaan ini bukan siksaan? "Siapa yang mampu membangkitkan kesadaran macam ini di antara kita semua, termasuk di kalngan orang-orang Golkar sendiri secara individuil?" Kalau jawabannya harus bagus, saya tidak tahu. Tapi saya tahu, kesadaran itu timbul tidak karena orang-orang Golkar sempat merenungkan perjalanan politik kita dengan

kejernihan nurani. Juga tidak karena kecanggihan Buya menerjemahkan fenomena Mega dan simbol-simbol kemuakan rakyat, melainkan datang dari perasaan orang-orang yang teraniaya. Mereka yang melahirkan "MegaBintang", yang -- bila politik kita normal -mustahil terjadi. Gabungan aneh "Mega-Bintang" ini menyiratkan dua makna. Pertama, kita sudah lama tahu, tak bakal hadirnya PDI sayap Mbak Mega secara formil dalam pemilu. Kedua, sebaliknya: secara tidak formil ia justru hadir lebih tegas. Dan kehadirannya itu merupakan pernyataan bahwa PDI Soerjadi tidak ada karena Soerjadi itu pada dasarnya Golkar juga sebab ia tak bakal bisa bangkit dari kuburan politiknya tanpa rekayasa penguasa. Secara substantif jadinya pemilu kali ini berlangsung melalui dua partai: "Mega-Bintang" melawan Golkar, atau partai yang didukung rakyat melawan partai elit yang didukung kaum elit. Direncanakan atau tidak oleh Mbakyu Mega, fenomena "Mega-Bintang" mungkin merupakan wahyu Tuhan yang turun melalui, dan menjelma di dalam PPP. Lama-lama orang tahu, putri Bung Karno itu memang jelas bukan sekedar ibu rumah tangga. Komitmen politik dan pengalamannya yang getir selama dipojokkan terus menerus, membuatnya makin matang. Lahirnya "partai" "Mega-Bintang" itu bisa dianggap buktinya. Ia setidaknya menyetujui "partai" itu karena di dalamnya anak buahnya yang "terusir" bisa mewujudkan aspirasi mereka. Dan Golkar, ternyata, sungguh kaget, dan gugup menghadapi perubahan "strategi" -segaka atau tidak -- yang datang mendadak itu. Filsafat "ojo kagetan", "ojo gumunan" dan "ojo dumeh" itu kelihatannya tak opereatif di benak orang-orang Golkar. Larangan pemerintah agar poster "MegaBintang" tak dipasang merupakan bukti paling jelas. Mereka serba penuh "roso-risi". Orang yang biasa curang selalu dihantui ketakutan bahwa orang lain bakal membalas kecurangannya.

19

Mereka lupa bahwa "aliansi" itu sangat temporer sifatnya. Kelak, jika zaman kembali normal, aliansi itu bakal buyar kembali. Tiap pihak akan pulang lagi ke 'kandang" masing-masing. Dan seperti dulu, mereka akan berhadapan lagi sebagai lawan politik. Mereka, yang sekarang digusur dari lingkaran politik resmi, tak berarti lantas kehilangan segalanya. Hak-hak politik masih di tangan mereka. Karena itu, mereka boleh membentuk "Mega-Bintang" sebagai tanda perlawanan paling nyata. Kalau orang tak boleh melawan, ia sebaliknya tak usah kita curangi. Menjadi Golput disindir tidak bertanggungjawab. Sebenarnya, dalam batas tertentu Golput justru cermin orang yang paling bertanggungjawab dalam situasi politik macam ini. Tapi karena mereka orang baik-baik, bergabunglah mereka dengan PPP, dan lahir gabungan "MegaBintang" tadi. Ini pun ternyata dilarang. "Wani ngalah" memang "duwur wekasane". Tapi kalau sudah beberapa kali "ngalah" masih juga disalahkan terus, cacing pun saya kira "terpaksa" menggeliat. Kita tak ingin seluruh rakyat menaruh simpati pada mereka tiba-tiba serentak ikut menggeliat. Cacing yang sudah merasa terjepit tak bisa dikendalikan. Tidak juga oleh kelompok yang namanya pemerintah.

Nasionalisme yang tak terkait dengan sentimen kesukuan, warna agama, dan sikap rasial dianggap pilihan taktis. Ia bisa mengatasi ketegangan sosial yang bersumber pada fanatisme kesukuan, agama, maupun rasial, yang pada masa itu dan juga sampai hari ini tetap masih menjadi persoalan kita. Tak mengherankan bila kelompok-kelompok etnis non-Jawa (yang khawatir terhadap kemungkinan dominasi etnis Jawa), penganut Kristen (yang waswas akan kemungkinan dominasi Islam), dan komunikasi Cina-Arab (yang takut desakan sikap rasialis) mendukung gagasan itu (Ricklefs, 1991: 277-278). Mudah diduga bila dari kalangan Islam terdengar tegas suara penolakan. Gagasan nasionalisme "sekuler" sebagai wahana gerakan maupun pemikiran pada akhirnya dianggap bakal mengesampingkan peran Islam. Orang mungkin tak begitu heran melihat gagasan nasionalisme sekuler dari Bung Karno, seorang muslim nominal Jawa yang romantis, dengan naluri-naluri kerakyatan. Namun, bila Bung Hatta, intelektual muslim yang saleh, dari kalangan elite Minangkabau, juga berpegang teguh pada doktrin sosialis yang bersifat sekuler (Ricklefs 1991: 284-285), mungkin kita wajib bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Gejala itu menjadi lebih menarik ketika kita temukan pula pandangan Sutan TakdirAlisjahbana yang menganggap modernisasi sebagai bagian penting yang bisa mewarnai identitas Indonesia. Sanusi Pane, juga sastrawan terkemuka, malah menunjukkan nilai-nilai budaya Asia pra-Islam yang dianggap bisa melandasi semangat keIndonesiaan kita kelak (Ricklefs 1991: 289). Kedua sastrawan itu pada hakikatnya seperti Bung Karno dan Bung Hatta: memandang persoalan-persoalan dunia harus dijawab dengan jawaban keduniaan. Sentimen keagamaan tak ditonjolkan bila diduga malah bisa menimbulkan persoalan dalam hubungan antarbudaya. Wawasan para tokoh itu meratakan landasan berpikir bahwa, meskipun mungkin kita adalah pemeluk agama yang saleh, tak selamanya kita wajib bicara dalam konteks keagamaan. Tak

20

Menyikapi Sentimen Keagamaan Kita*PADA tahun 1926, ketika menulis serangkaian artikel mengenai nasionalisme, Islam, dan marxisme, Bung Karno menyarankan agar ketiganya bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Meskipun begitu, seperti ditulis sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Madern, Bung Karno lebih mengutamakan nasionalisme. Maka, pada tahun 1927, ia berhasil membentuk partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dan ia ketuanya. Gagasan nasionalisme itu diterima luas di kalangan masyarakat politik Indonesia.

berbicara perkara agama belum tentu mengurangi kesalehan kita. Itu semua menandakan kita kreatif berpikir mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup. Agama bukan cuma tak mengajari melainkan bahkan melarang kita bersikap klise, fanatik, dan taklid terhadap kemapanan wawasan. Tapi, kita tak dilarang sesekali menoleh ke belakang. Soalnya, di sana tampak pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Takdir, dan Sanusi Pane yang mungkin masih relevan sampai hari ini. Pertanyaan dasar kita, saya kira, bagaimana mengembangkan wawasan budaya yang longgar, yang melandasi terbentuknya sebuah dunia sosial yang serba plural tanpa dihantui konflik dan aneka ketegangan yang merisaukan. Kita hendak menekankan pluralitas sebagai kekayaan -- sesuai prinsip resmi perpolitikan kita: bhinneka tunggal ika -- dan bukannya hambatan. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia jelas merupakan berkah politis bagi kita. Tapi, pluralitas di bidang agama sampai hari ini masih menampilkan wajah serba tegang, penuh persaingan, dan sikap saling curiga. Kerawanan hubungan antaragama di masyrakat kita mungkin menyenangkan yang gemar memolitikkan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dan, kita tahu perpolitikan macam ini bukan cuma tidak sehat melainkan juga mematikan tafsir dan pemaknaan agama yang kaya, luas, dan dalam. Kita kemudian didorong ke sebuah dunia pemaknaan yang sempit, teknis, dan fanatik. Kita tak ingin terjebak jaring laba-laba pemikiran yang kita kembangkan sendiri. Agama, kita tahu, bukan jaring laba-laba. Agama memberi kita arah kehidupan, mengajari kebebasan, dan mengerahkan wawasan agar hidup kita serbaenak, nyaman, dan damai. Tuhan, yang menurunkan agama, tak ingin kita terperangkap ketegangan sosial dalam relasi antarsesama kita. Tidak juga dalam relasi orang-orang yang berbeda agama. Kita pun tak

ingin hal itu terjadi. Maka, ada sejumlah landasan dasar yang mungkin membebaskan kita dari perangkap ketegangan itu. Pertama: kearifan untuk tak menonjolkan kebenaran mutlak agama kita sebagai kesadaran bahwa manusia memiliki sifat nisbi dan terbatas. Dengan begitu, ia tak bisa meraih tahap kemutlakan. Kebenaran mutlak agama memang wajib diakui dalam komunitas seagama. Itu pun, kenyataan sehari-hari, masih juga terganjal aneka ketegangan doktrinal karena perbedaan tafsir, pemaknaan ajaran, serta aspirasi keagamaan di kalangan umat yang sangat besar dan sangat plural. Kedua: agama diturunkan Tuhan sebagai sarana mengagungkan kemanusiaan. Itu wujud altruisme. Memuliakan manusia (menyantuni, memberi pertolongan, menghargai wawasannya) harus dinilai tinggi dalam pergaulan sosial. Ketiga: mengembangkan kemungkinan tampilnya agama sebagai tawaran nilai alternatif dan tawaran itu tak dipaksakan. Agama tak tampil untuk menguasai atau mendominasi, melainkan memberi kontribusi dalam mengatur hidup. Agama menjadi unsur penyejuk dalam pergaulan sosial-ekonomi dan politik. Melalui dan di dalam agama, kita mencari kedamaian beragama. Dengan begitu, kecenderungan terhadap kekerasan dan sikap gelap mata, sebagaimana tampak dalam perkembangan kemasyarakatan kita akhir-akhir ini, mungkin bisa dibendung. Kita tak ingin sebentar-bentar mendengar orang berteriak membela agama dan menampilkan diri sebagai tokoh penting, semata untuk membelokkan kesadaran kritis umat terhadap kenyataan sebenarnya bahwa yang sedang dia perjuangan hanyalah kepentingan politiknya sendiri dan bahwa ia pada dasarnya sedang menunggu panggung umat. Kita butuh tokoh yang lebih adil yang tahu umat, bukan domba di padang rumput. *)D&R, 10 Mei 1997

21

Palang Pintu Politik Kita*SEORANG Guru Sufi neniliki tiga orang murid. Pada suatu hari, sang guru memberikan masing-masing seekor burung kepada setiap murid. "Carilah tempat yang kamu anggap paling sunyi, sehingga tak ada yang melihatmu ketika kamu menyembelih burung itu," kata sang guru. "Baik, Guru. Saya laksanakan pesan Guru," kata murid tertua. " Insya Allah, Guru, saya pun siap melaksanakan pesan Guru," kata murid kedua. "Dan, kamu?" "Siap, Guru," kata murid ketiga. Maka, berangkatlah mereka mencari tempat sepi. Masing-masing bermaksud menyenangkan sang guru. Maka, sejauh apa pun daerah yang harus mereka tempuh, tak seorang pun merasa keberatan. Meskipun begitu, sebenarnya mereka tak begitu paham apa maksud sang guru. Sebulan kemudian, murid tertua kembali dari arah selatan. Ia melapor kepada gurunya bahwa telah menemukan tempat paling sepi, sebuah gua di tengah hutan yang tak pernah dijamah manusia. Di situ, ia menyembelih burung itu. "Hmmm...," kata sang guru sambil manggutmanggut. Dua bulan kemudian, murid kedua muncul dari arah utara. "Saya sampai di ujung dunia bagian utara, Guru. Di sana sungguh sangat sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Mustahil ada yang melihat ketika saya menyembelih burung yang Guru berikan dulu," katanya.

"Hmmm...," kata sang guru. Beberapa bulan kemudian, murid ketiga baru kembali. Di tangannya masih tergenggam seekor burung yang dulu diterimanya. Kedua kakak seperguruannya mencibir. "Guru," kata murid ketiga, "demi Allah, saya tidak bisa menemukan tempat yang Guru maksudkan. Saya sudah berjalan jauh. Mata saya membelalak. Telinga saya mendengar bunyi yang paling halus pun. Dan, hati saya ikut bekerja keras untuk menemukan tempat yang Guru maksudkan agar saya bisa membunuh burung ini. Tapi, semua itu sia-sia, Guru." "Mengapa?" tanya sang guru serta-merta. "Tempat seperti itu menurut hemat saya tak ada." "Apa maksudmu?" "Kita tak mungkin lari dari diri sendiri, apalagi lari dari Allah. Di tempat sesepi apa pun, Guru, saya memandang wajah-Nya. Dan, saya dipandang-Nya pula. Bagaimana mungkin saya membunuh burung ini tanpa ada yang melihat?" "Semoga Allah memberkatimu, Nak." kata sang guru dengan wajah terharu. Dipeluknya muridnya itu dengan kebanggaan seorang guru yang merasa inti ajarannya ditangkap sang murid.***

22

SUDAH dua kali gebuk memasuki diskursus politik resmi kita. Kedua-duanya Presiden Soeharto sendiri yang mengatakannya. Siapa yang dituju? Prinsipnya: siapa saja -tanpa pilih kasih -- yang bertindak inkonstitusional dan yang dianggap

membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Gebuk itu mungkin sinonim pentung. Barang yang disebut gebukan atau pentungan bisa sepotong kayu yang menggeletak di bawah pohon, bisa kayu yang disiapkan secara khusus, bisa juga alu, penumbuk padi, atau palang pintu. Pokoknya: apa saja yang bisa digunakan buat menggebuk, memulasara, menyakiti, orang lain yang dianggap pantas disakiti. Di kampung-kampung, maling yang tertangkap basah sukar lepas dari gebukan. Dalam politik, para politisi atau pihak lain yang memperlihatkan perlawanan terhadap politik negara jelas bukan maling. Bila mereka diancam gebukan, atau digebuk, kita tahu, gebukan di situ artinya pasti lain. Ia tidak "diperkara" dengan sepotong kayu, alu atau palang pintu, melainkan dikenai tindakan hukum yang bisa diterapkan pada mereka. Maklumlah, negara hukum. Segala sesuatu tentu saja didasarkan pada hukum juga. Dan, "gebukan" sebagai instrumen hukum -mungkin dalam hal ini lebih tepat disebut instrumen politik -- harus disebut palang pintu politik. Segala unsur subversif, tindakan inkonstitusional, dan aneka macam ancaman persatuan dan kesatuan bangsa tidak masuk ke dalam pintu politik kita. Di dalam pintu politik itu tak boleh ada diskursus lain. Yang sudah direncanakan, dikemas, dan disiapkan pemerintah untuk dikomunikasikan kepada seluruh bangsa sudah ditimbang dan dipikir mendalam bahwa itulah wujud kebenaran mutlak. Orang tak perlu meragukannya. Soalnya, pemerintah memegang lisensi sebagai agen tunggal penafsir kebenaran. Dan, kebenaran

lain, dari mana pun datangnya, dianggap salah, boleh digebuk. Palang pintu politik harus bekerja maksimal. Gebukan dalam politik bisa kejaksaan, bisa Mahkamah Agung, bisa kepolisian, bisa ketentaraan, dan apa saja yang pantas mewakili kepentingan pemerintah secara sah. Ia mewakili atasan atau suatu posisi sosial-politik yang dianggap di atas. Mungkin, tidak salah jika gebuk merupakan bahasa majikan, penguasa, komandan, bos, atau siapa saja yang ada dalam posisi di atas, untuk mengingatkan atau " mendidik" orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya. Gebuk dengan begitu mengungkapkan, tapi mungkin juga sekaligus menyembunyikan, pengertian psikologis tertentu. Pernyataan barang siapa begini atau begitu akan digebuk berbeda dari barang siapa begini atau begitu akan dituntut ke pengadilan. Orang bijak berkata: bahasa menunjukkan bangsa. Itu mungkin kunci penting untuk memahami pihak lain dalam komunikasi, juga dalam komunikasi politik. Tapi, itu cuma kata suatu pihak yang disebut suatu golongan, yang bisa saja sangat remeh, lemah, dan tak penting posisi sosialpolitiknya dalam masyarakat. Siapa tahu bahkan tak ada posisi sama sekali. Pihak lain, yang juga dianut golongan lain yang mungkin lebih tinggi dan lebih penting posisi sosial-politiknya, bisa saja menepiskannya dengan komentar: "Apalah artinya kata-kata atau bahasa. Soalnya, mungkin yang penting adalah tindakan." Dan, tindakan aparat bawahan pun bermacam-macam: menggebuk, menjewer, mencubit. Tak semua orang sebijak murid ketiga dalam kisah di atas. Tak semua orang

23

langsung paham hakikat sebuah kata. Tidak juga kata gebuk, yang menjadi palang pintu politik kita sekarang ini. *)D&R, 29 Maret 1997

memanggul tugas-tugas kekhalifahan dalam hidup, ia justru bisa dianggap menyeleweng, mengorup suara moral yang harus diperdengarkan kepada khalayak." Saya ingat Pak Kasman Singodimedjo, tokoh masa lalu yang galak, keras, dan pantang mengelak sejauh urusannya menyangkut keharusan menyatakan kebenaran. Prinsip "berani karena benar" dan "takut karena salah" menghiasi jiwanya, menerangi hati dan pikirannya, hingga baginya mudah membedakan yang hak dan yang batil. Dan, amar makruf nahi mungkar bukan beban baginya. Dr. Amien Rais, tentu saja, paham akan kredo hidup Pak Kasman. Dan, meskipun tak bermaksud mencontoh, kesamaan sikap di antara kedua tokoh itu mungkin bisa dianggap tersambungnya sebuah tradisi. Dan, dengan begitu, jelas bahwa dari dulu hingga kini, ternyata -- alhamdulillah -- tradisi itu tak terputus. Keteguhan, sikap istikamah, dan konsisten menegakkan kebenaran dan memberantas kelaliman diam-diam -- masih menyala. Dilihat dari sudut itu, kita bergembira. Kelangsungan hidup dan percaturan moral mungkin terjamin baik. Tapi, dilihat dari sisi lain, dari sisi atas, kita mungkin harus sedih: meskipun secara formal kita bicara demokrasi dan keterbukaan, semua itu sungguh hanya sikap formal. Mungkin, itu cuma selingan indah dalam pidato para pejabat tinggi negara. Mungkin, itu cuma kutipan menarik di media massa. Pada masyarakat kita, tampaknya, ada arus saling membentur dari arah yang berbeda: masyarakat dan pemerintah. Suara masyarakat -- yang diwakili lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa (ormas) keagamaan, media massa, dan suara sebagian kaum intelektual, agamawan, rohaniawan, dan mahasiswa -bertujuan melakukan koreksi atas jalannya pemerintahan. Mereka meluruskan yang wajib diluruskan. Namun, suara masyarakat itu tak selalu terdengar utuh, bulat, dan kompak. Dalam ormas keagamaan -- juga dalam partai politik -selalu ada kepentingan yang berbeda: kepentingan segelintir orang ambisius yang bersedia dan bahkan dengan segenap rasa

24

Kemenangan Suara Moral*Belum lama ini; saya diwawancarai wartawanwartawan dari dua stasiun televisi swasta mengenai pengunduran diri Dr. Amien Rais dari jabatan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). "Mengundurkan diri atau dipecat?" tanya saya ketika mereka menggunakan istilah resmi: istilah yang dibelokkan dan tidak lagi mencerminkan keadaan sebenarnya. "Baiklah, dipecat. Apa tanggapan Anda?" "Mungkin, pertama-tama, Mas Amien sedih. Soalnya, bagaimanapun, kehilangan jabatan tak mengenakkan. Tapi, saya kira, kemudian ia bersyukur dan merasa beruntung." "Kenapa?" "Ia dikeluarkan karena keteguhannya menyatakan kritik terhadap pemerintah, sesuatu yang wajib disampaikannya. Itu adalah risiko perjuangan. Itu adalah bill yang harus dibayar. Ia berusaha jujur, apa adanya, dan tak hendak mengurangi peran yang melekat pada statusnya sebagai intelektual. Di Muhammadiyah, ia sudah terbiasa bersikap seperti itu: menjaga kehormatan diri, bermain bersih, dan memberi contoh kepada lingkungan di sekitarnya. "Sebagai ketua gerakan keagamaan, hal itu penting karena dua alasan. Pertama, Muhammadiyah yang diwakilinya, dengan begitu, telah diwakili dengan baik. Sebab, yang harus disampaikan telah ia sampaikan. Kedua, organisasi keagamaan itu adalah lambang suara moral. Bila ia bungkam seribu bahasa terhadap kenyataan yang serba menyimpang, padahal ia

senang di hati untuk menggunting dalam lipatan. Mereka memiliki kepentingan yang lain, bahkan bertolak belakang, dari kepentingan organisasi. Mungkin lantaran mengincar posisi ketua, wakil ketua, atau posisi lain yang bergengsi, orang bersedia menjual kawannya sendiri kepada penguasa. Biarpun hal itu terjadi pada suatu ormas keagamaan, yang memiliki kewajiban menyuarakan kepentingan moral, tindakan itu tak cuma ada hubungannya dengan moral, bahkan sangat bertentangan dengan moral. Itulah lemahnya suara dari bawah. Dan, kelemahan itu, anehnya, sangat disukai, bahkan sengaja diciptakan untuk memperlemah perlawanan mereka. Adagium kawan-musuh, merugikan-menguntungkan dalam politik, pun diterapkan, meskipun tak selalu terang-terangan dinyatakan. Sikap dan kesadaran budaya politik yang menganggap pemerintah sebagai bapak dan masyarakat sebagai anak mungkin malah harus diartikan sebagai watak hegemonis sang bapak, yang pada masyarakat kita rata-rata memandang dirinya lebih berkuasa, lebih tahu, dan lebih menentukan nasib dan posisi sang anak. Dan, sang anak, dengan begitu, otomatis dianggap tak perlu punya hak bersuara, apalagi hak membantah. Generasi yang sekarang berkuasa masih mutlak mendukung sikap dan kesadaran budaya politik macam itu. Maka, Amien Rais, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, yang dengan sendirinya mewakili suara rakyat, harus paham sejak mula: organisasi macam ICMI, yang kelahirannya direstui pemerintah, tak pernah dimaksudkan untuk menjadi kekuatan korektif dalam masyarakat. Barang apa yang kelahirannya dicampurtangani -- apalagi dibidani secara langsung oleh pemerintah -- bukan cuma tak boleh bersikap lancang kepada bapak -- dengan cara memberikan kritik galak dan terbuka -melainkan memang terus terang dimaksudkan untuk menjadi kekuatan penyangga, penggembira, dan penopang tegaknya kewibawaan sang bapak. Pendeknya, meskipun di sana bisa lahir aneka macam kepentingan politik dan bahwa tiap kepentingan memiliki skenarionya sendiri dalam menatap masa depan, ia pada dasarnya sudah dibebani diam-diam atau terus terang --

kewajiban menjadi kawan seiring yang loyal dan taat memenuhi segenap harapan pemerintah. Digesernya Amien Rais belum tentu membikin para anggotanya makin sadar bahwa mereka dijatah untuk memainkan peran politik seperti itu. Banyak pihak mungkin tetap berkeyakinan bahwa mereka tengah melaksanakan perjuangan strategis, taktis, dan mendasar, untuk menyiapkan umat memasuki hidup lebih baik, lebih adil, dan manusiawi. Pikiran-pikiran yang menghendaki kemandirian suara dari bawah dan mendambakan tegaknya moralitas makin jelas melihat posisi politik ICMI. Dan, tahulah kita, tindakan atas Amien Rais adalah tanda kemenangan suara moral. *)D&R, 8 Maret 1997

25

26