D2054-Moh Azhar.pdf

116
UNIVERSITAS INDONESIA REKAYASA MATERIAL ABU SEKAM PADI DAN BATU APUNG PADA BETON RINGAN UNTUK MENINGKATKAN KEKUATAN MEKANIK SEMEN PORTLAND KOMPOSIT DISERTASI MOH AZHAR NPM : 1006751306 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA ILMU MATERIAL JAKARTA 2015 Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Transcript of D2054-Moh Azhar.pdf

Page 1: D2054-Moh Azhar.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

REKAYASA MATERIAL ABU SEKAM PADI DAN BATU APUNG

PADA BETON RINGAN UNTUK MENINGKATKAN KEKUATAN

MEKANIK SEMEN PORTLAND KOMPOSIT

DISERTASI

MOH AZHAR

NPM : 1006751306

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PASCASARJANA ILMU MATERIAL

JAKARTA

2015

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 2: D2054-Moh Azhar.pdf

ii

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

REKAYASA MATERIAL ABU SEKAM PADI DAN BATU APUNG

PADA BETON RINGAN UNTUK MENINGKATKAN KEKUATAN

MEKANIK SEMEN PORTLAND KOMPOSIT

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

MOH AZHAR

NPM : 1006751306

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL

JAKARTA

2015

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 3: D2054-Moh Azhar.pdf

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 4: D2054-Moh Azhar.pdf

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Azhar
TextBox
Depok 17 Juni 2015
Azhar
Rectangle
Azhar
Rectangle
Page 5: D2054-Moh Azhar.pdf

v

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program

Pascasarjana, program studi Ilmu Material, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk

menyelesaikan disertasi ini. Olek karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Azwar Manaf, M.Met selaku promotor dalam penulisan disertasi,

arahan teknis penelitian, dorongan moral dan semangatnya untuk terus

berkembang.

2. Bapak Dr. Bambang Soegijono, M.Si selaku kopromotor 1 atas segala arahan

teknis penelitian serta dorongan semangatnya yang tidak pernah berhenti

selama proses penelitian.

3. Ibu Dr. Vera Indrawati Judarta, M.Si selaku kopromotor 2 atas segala arahan

teknis dan bantuan penggunaan fasilitas laboratorium di Indocement Tunggal

Prakarsa.

4. Ibu Dr. Vivi Fauzia, M.Si selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu

Material, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam.

5. Bapak Saiful Bahri, ST. M.Si, Ibu Laily, ST dan Bapak H. Agus yang telah

membantu dalam memfasilitasi penggunaan laboratorium Indocement

Tunggal Prakarsa.

6. Keluargaku : Ayahanda H Husain Mukdiem (alm), Ibunda Hj Misbah (almh),

H Muhammad Hilman (alm), dan Hj Sutra Malkini (almh), Istri tercinta

Malda serta anak-anakku tercinta Munadhilah Ummahat, S.Hum, Nuha

Mufidah, Fauzan Muhtadi, dan Faruq Mahdi, kakanda Hidayat Alamsyah dan

Johansyah atas segala pengertian, perhatian, kasih sayang dan do’anya kepada

penulis selama menjalani studi di Universitas Indonesia.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 6: D2054-Moh Azhar.pdf

vi

Universitas Indonesia

7. Seluruh Pimpinan PT. Indocement Tunggal Prakarsa yang telah banyak

memberikan kemudahan untuk menggunakan semua fasilitas laboratorium

yang diperlukan.

8. Seluruh civitas akademika pascasarjana Ilmu Material, Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam Uneversitas Indonesia, terutama teman

seperjuangan Dr. Rahmat Doni, Dr. Novizal, Dr. Iwan.

Semoga disertasi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi orang lain

yang membacanya walaupun masih jauh dari kesempurnaan.

Depok, Juni 2015

Penulis

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 7: D2054-Moh Azhar.pdf

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 8: D2054-Moh Azhar.pdf

viii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Moh Azhar

Program Studi : Ilmu Material

Judul : Rekayasa Material Abu Sekam Padi dan Batu Apung pada Beton

Ringan untuk Meningkatkan Kekuatan Mekanik Semen

Portland Komposit

Telah dilakukan penelitian pembuatan beton ringan atau lightweight

concrete (LWC) menggunakan batu apug (BA) dan abu sekam padi (ASP).

Sampel beton ringan yang dibuat mengandung BA dengan fraksi berbeda, adapun

material semen, pasir, dan abu sekam padi volumenya dijaga tetap. Terdapat dua

parameter utama yang menentukan sifat mekanik sampel LWC masing-masing

adalah densitas sampel dan rasio air/semen (w/c). Sifat mekanik yang paling

utama dari LWC adalah kekuatan tekan. Pada campuran dengan fraksi volume

batu apung terbesar (100%) menghasilkan densitas dan kekuatan tekan paling

rendah masing-masing sebesar (1389,6 kg/m3 dan 11,1 MPa). Diketahui bahwa

makin rendah fraksi batu apung dalam sampel beton makin tinggi nilai densitas

dan kekuatan tekannya, disebabkan oleh tingginya nilai fraksi pori baik pori

terbuka maupun pori tertutup dalam sampel beton. Observasi terhadap fotomikro

SEM batu apung menunjukkan bahwa terdapat sejumlah besar pori dengan bentuk

memanjang ke bagian dalam dari permukaan sampel beton. Pori hadir dengan

kerapatan jumlah pori relatif besar serta dengan ukuran yang bervariasi. Fakta ini

menjelaskan mengapa batu apung besifat ringan karena memiliki densitas massa

yang rendah. Pola difraksi sinar X sampel beton ringan memperlihatkan dominasi

fasa kristalin diidentifikasi sebagai fasa quartz (SiO2). Namun dapat dipastikan

sampel beton ringan terdiri dari fasa campuran antara fasa kristalin dan dengan

sedikit fasa amorph.

Fotomikro SEM beton ringan menunjukkan bahwa senyawa Kalsium Silikat

Hidrat (CSH) mulai tumbuh pada waktu awal proses hidrasi dan terus

berkembang sampai umur beton mencapai umur hidrasi 28 hari yang ditandai

dengan sifat fisik yang padat dan peningkatan kekuatan beton. Dapat dipastikan

bahwa senyawa CSH ini memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat

mekanik seperti kekuatan tekan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa batu apung

dan abu sekam padi adalah material berbasis silika amorph yang memiliki densitas

lebih rendah terutama dibandingkan dengan material pembentuk beton lainnya.

Baik densitas dan kekuatan tekan sampel beton ringan ditentukan oleh rasio antara

batu apung dan abu sekam padi. Ditemukan rasio terkecil BA/ASP yaitu 8

menghasilkan nilai densitas dan kekuatan tekan optimal, masing-masing pada usia

beton 28 hari sebesar 1891 kg/m3 dan 23 MPa. Komposisi beton ringan yang

terbaik diperoleh dari hasil penelitian ini adalah komposisi campuran PCC (1,00) :

Pasir (1,00) : ASP (0,05) : BA (0,50) dengan nilai Slump 8 cm ditandai oleh nilai

rasio antara kuat tekan dan densitas tertinggi adalah 1285.

Kata kunci: Beton Ringan, Abu Sekam Padi (ASP), Batu Apung (BA), Slump,

Berat Jenis, dan Kuat Tekan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 9: D2054-Moh Azhar.pdf

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Moh Azhar

Study Program : Materials Science

Title : Lightweight Concrete Containing Rice Husk Ash and Pumice

Materials to Improve the Mechanical Strength of Portland

Cement Composites

Research studies on the manufacture of lightweight concrete (LWC) using

pumice and rice husk ash (RHA) materials have been done. LWC samples were

made of pumice materials with a different mass fraction, while the cement, sand,

and rice husk ash materials were keep fixed. It was found that there are two main

parameters that determine the mechanical properties of LWC which are density

and the water and cement ratio (w/c ratio). The main mechanical properties of

LWC sample is the power press. Samples with the largest volume fraction of

pumice (100%) resulted in lightest density (1389.6 kg/m3) and the smallest

strength of LWC (11.1 MPa). It was found that, the lower the mass fraction of

pumice in LWC samples, the higher the density values and compressive strength

were obtained. This was caused by the high mas fraction value of pores, which

were both open and closed pores. Scanning electron micorscopy (SEM) images

for the pumice showed that the there are a large number of regular and structured

pores extending deep inside the surface of the sample. It was observed that pores

present with pore size does not vary significantly but with the density of the

relatively large number of pores, indicating pumice has a low mass density. The

XRD pattern of the lightweight concrete samples indicated that the samples were

dominated by crystalline phases in which the quartz (SiO2) is the main phase and

a small fraction of amorphous phase was also obtained.

SEM images of lightweight concrete samples showed that the structure of

Calcium Silicate Hydrates (CSH) started growing at the beginning of hydration

time and continue to evolve into a more solid structure until the age of 28 days,

where the compound has an important role to the mechanical properties such as

compressive strength. The study concluded that the pumice and rice husk ash is

are amorphous silica-based material which has a lower density compared to other

concrete forming material such as cement and sands. Both density and light

weight concrete compressive strength are determined by the ratio between pumice

and rice husk ash, in which the smallest ratio 8 resulted in the largest density and

compressive strength, which are 1890.5 kg/m3

and 23.2 MPa respectively at the

age of 28 days. The study concluded that the best composition for lightweight

concrete samples was the following: PCC (1,00): Sand (1,00): ASP (0,05): BA

(0,50) with a slump value of 8 cm resulted in the largest value of a ratio between

compressive strength and density of 1285.

Keywords: Lightweight Concrete (LWC), Rice Husk Ash (RHA), Pumice,

Slump, Density, and Compressive Strength

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 10: D2054-Moh Azhar.pdf

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

JUDUL ii

PERNYATAAN ORISINALITAS iii

PENGESAHAN iv

KATA PENGANTAR v

PERNYATAAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 3

1.3 Manfaat Penelitian 4

1.4 Batasan Masalah 4

1.5 Model Operasional Penelitian 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Beton Agregat Ringan (LWC)

2.2 Portland Cement (PC)

2.2.1 Reaksi Hidrasi

2.2.2 Hidrasi C3S dan C2S

2.2.3 Hidrasi C3A

2.2.4 Hidrasi C4AF

2.2.5 Kinetika Hidrasi Semen

7

16

17

20

21

21

22

2.3 Abu Sekam Padi (ASP) 24

2.4 Batu Apung (BA) 30

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 11: D2054-Moh Azhar.pdf

xi

Universitas Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN 38

3.1 Bagan Penelitian

3.2 Alat, Bahan Penelitian dan Bentuk Spesimen

3.2.1 Alat Penelitian

3.2.2 Bahan Penelitian

38

40

40

41

3.2.3 Bentuk Spesimen

3.3 Rencana Adukan Beton

3.3.1 Rencana Adukan Beton Tahap 1

3.3.2 Rencana Adukan Beton Tahap 2

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1 Pemeriksaan Air

3.4.2 Pemeriksaan Agregat

3.4.3 Persiapan Pembuatan Adukan Beton

3.4.4 Pengujian Workability

3.4.5 Pengujian Kuat Tekan dan Densitas Beton

3.4.6 Pengujian dengan SEM, EDAX, XRF, dan XRD

41

42

42

42

43

44

44

48

48

49

50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 51

4.1 Pendahuluan

4.2 Karakteristik Fisik Agregat

51

52

4.3 Karakteristik Abu Sekam Padi 53

4.4 Karakteristik Batu Apung 58

4.5 Kuat Tekan Beton Ringan 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

78

78

78

DAFTAR REFERENSI 79

LAMPIRAN 83

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 12: D2054-Moh Azhar.pdf

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Variasi sampel terhadap density (Ke dkk, 2009) 8

Tabel 2.2 Porositas pada variasi sampel yang digunakan (Ke dkk, 2009) 9

Tabel 2.3 Kekuatan Tekan (MPa) pada beberapa tipe agregat ringan

terhadap beberapa variasi rasio air dan semen (Chi dkk, 2003) 10

Tabel 2.4 Sifat dari agregat yang digunakan (Chi dkk, 2003) 11

Tabel 2.5 Reaksi hidrasi senyawa semen 17

Tabel 2.6 Proporsi campuran dan Properties dari RHA pada Beton

(Mehta, P. K.,1992) 26

Tabel 2.7 Sifat kimia dan fisik material yang digunakan pada LWC

(Hanifi Binici, 2007) 31

Tabel 2.8 Sifat fisik dari batu kali sebagai agregat (Hanifi Binici, 2007) 32

Tabel 2.9 Sifat fisik dari crushed ceramic (CC) dan crused basaltic

pumice (CBP) (Hanifi Binici, 2007) 32

Tabel 2.10 Hasil uji XRF dari berbagai tipe campuran batu apung dan

Semen (Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012) 34

Tabel 3.1 Proporsi campuran PCC, pasir, BA, ASP, dan air 42

Tabel 3.2 Proporsi campuran PCC, pasir, BA, ASP, Slump, dan w/c 43

Tabel 4.1 Nilai densitas agregat dihitung berdasarkan SK.SNI 52

Tabel 4.2 Hasil uji mineralogi Abu Sekam Padi 55

Tabel 4.3 Komposisi senyawa kimia Abu Sekam Padi dengan XRF 56

Tabel 4.4 Hasil EDAX abu sekam padi diambil dari 3 posisi 58

Tabel 4.5 Hasil uji mineralogi Batu Apung 61

Tabel 4.6 Komposisi senyawa kimia Batu Apung dengan XRF 62

Tabel 4.7 Hasil EDAX batu apung pada 3 posisi 65

Tabel 4.8 Densitas dan kuat tekan beton umur 3-28 hari kubus 1-7 66

Tabel 4.9 Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas sampel 1-7

umur 28 hari 70

Tabel 4.10 Densitas, Slump dan Kuat Tekan Beton umur 3-28 hari

kubus 8-11 71

Tabel 4.11 Rasio antara Kuat Tekan terhadap Density sampel 8-11 73

Tabel 4.12 Hasil uji mineralogi Beton Ringan umur 3-28 hari 76

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 13: D2054-Moh Azhar.pdf

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Grafik korelasi antara kekuatan tekan dan fraksi volume

LWA pada beberapa variasi sampel yang digunakan

(Ke dkk, 2009) 9

Gambar 2.2 Grafik hubungan antara kekuatan tekan dan densitas

sampel yang telah dikeringkan pada beberapa variasi sampel

yang digunakan (Ke dkk, 2009) 9

Gambar 2.3 Pengaruh rasio air/binder terhadap kekuatan tekan pada

beberapa tipe agregat (Chi dkk, 2003) 11

Gambar 2.4 Pengaruh vraksi volume terhadap kekuatan tekan dan rasio

air/binder (Chi dkk, 2003) 11

Gambar 2.5 Hasil Uji Kuat Tekan Beton Silinder Ukuran 4"x8"

(Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012) 14

Gambar 2.6 Kuat tekan berbagai jenis LWC pada berbagai usia

(Kawkab H. dkk, 2008) 15

Gambar 2.7 Evolusi mikrosktuktur CSH pada komposisi 100 wt%

semen Portland selama proses hidrasi sampai 56 minggu

(A. Manaf, and V. Indrawati, 2011) 18

Gambar 2.8 Pengaruh proses desorption air terhadap modulus elastisitas

pada semen Portland untuk (a) W/C = 0,3 dan (b) 0,4

(Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011) 19

Gambar 2.9 Pengaruh variasi komposisi ratio C/S & porositas terhadap

modulus elastisitas (Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011) 19

Gambar 2.10 Diagram Fasa hidrasi semen (Taylor, 1997) 20

Gambar 2.11 Mikrograf SEM RHA dibakar pada temperatur berbeda

Hwang dan Wu (Hwang, C. L., and Wu, D. S., 1989). 25

Gambar 2.12 Mekanisme mengisi kekosongan dan efek transisi zona

Penguatan RHA (Mehta, P. K.,1992) 26

Gambar 2.13 Fotomikro SEM dari sampel RHA (Rosario Madrid,

dkk, 2012) 27

Gambar 2.14 Pola XRD dari sampel RHA (radiasi Cu - Kα) (Rosario

Madrid, dkk, 2012) 27

Gambar 2.15 Pola XRD SiC dari Sekam Padi (Rosario Madrid,

C. A. Nogueira and F. Margarido, 2012) 29

Gambar 2.16 Kekuatan tekan pada campuran beton terhadap waktu

pengerasan (Hanifi Binici, 2007) 33

Gambar 2.17 Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda

selama 75 jam pertama (Uma Ramasamy dkk, 2012) 36

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 14: D2054-Moh Azhar.pdf

xiv

Universitas Indonesia

Gambar 2.18 Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda

selama 75-225 jam (Uma Ramasamy dkk, 2012) 36

Gambar 2.19 Mikrostruktur dari agregat batu apung (Tayfun

Uygunoglu, dkk, 2013) 37

Gambar 3.1 Alur Penelitian 39

Gambar 3.2 Bentuk specimen uji 41

Gambar 4.1 Fotomikro SEM Abu Sekam Padi dengan pembesaran

100x (a), 5000x (b), 20000x (c) 54

Gambar 4.2 Hasil XRD Abu Sekam Padi 55

Gambar 4.3 Hasil EDAX Abu Sekam Padi beupa grafik, tabel

komposisi unsur, dan pengambilan foto permukaan 57

Gambar 4.4 Fotomikro SEM Batu Apung dengan pembesaran 100x (a),

200x (b), 500x (c), 1.000x (d), 2.000x (e), dan 5.000x (f) 59

Gambar 4.5 Hasil XRD Batu Apung 61

Gambar 4.6 Hasil EDAX Batu Apung brupa grafik, tabel komposisi,

dan posisi pengambilan Foto 65

Gambar 4.7 Grafik Densitas terhadap Rasio BA/ASP (a) dan Grafik

Kuat Tekan terhadap Densitas sampel kubus 1-7 pada

umur beton 28 hari (b) 68

Gambar 4.8 Diagram batang Kuat tekan beton pada umur 28 hari dari

kubus 1 sampai kubus 7 69

Gambar 4.9 Grafik perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap densitas

sampel kubus 1 sampai 7 umur 28 hari 70

Gambar 4.10 Grafik Kuat tekan beton pada umur 3 sampai 28 hari pada

proses pengerasan beton kubus 8-11 72

Gambar 4.11 Grafik nilai slump terhadap Kuat Tekan Umur 28 hari 72

Gambar 4.12 Perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap Densitas pada

kubus 8-11 umur beton 28 hari 73

Gambar 4.13 Foto SEM Beton Ringan Umur 7 hari (A), 14 hari (B),

21 hari (C), dan 28 hari (D) pembesaran 20000 x 74

Gambar 4.14 Hasil uji XRD pola difraksi Beton Ringan umur 28 hari 75

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 15: D2054-Moh Azhar.pdf

1

Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Beton merupakan material komposit yang diperoleh dari suatu proses

pencampuran beberapa material, dan air yang mengeras seiring perkembangan

waktu menjadi benda padat. Komposisi beton terdiri dari semen, agregat halus,

agregat kasar, air dan rongga udara. Rongga udara mempunyai pengaruh terhadap

kuat tekan beton. Makin besar volume rongga udara yang terdapat dalam beton

maka kuat tekan beton akan semakin menurun dan sebaliknya makin kecil volume

rongga udara yang terdapat dalam beton maka kuat tekan beton makin bertambah.

Proses pembuatan beton terbentuk dari semen dan air yang menghasilkan pasta

semen yang digunakan untuk mengikat agregat kasar dan agregat halus.

Campuran bahan-bahan pembentukan beton ditetapkan sedemikian rupa, sehingga

menghasilkan beton segar yang mudah dikerjakan dan memenuhi kekuatan tekan

rencana setelah mengeras dan cukup ekonomis. Hingga dekade terakhir ini, beton

telah menjadi salah satu bahan pilihan yang paling utama untuk digunakan dalam

konstruksi bangunan.

Disamping penggunaan beton konvensional yang telah umum digunakan

dalam konstruksi bangunan, ada alternatif lain sebagai pengganti beton

konvensional, yaitu menggunakan agregat ringan atau lightweight aggregate

(LWA), dari segi biaya lebih ekonomis dan dari segi pembebanan lebih ringan,

Beton ringan atau lightweight concrete (LWC) juga disebut beton agregat ringan

atau lightweight aggregate concrete (LWAC) adalah beton yang memiliki berat

jenis (density) lebih ringan daripada beton pada umumnya (beton konvensional).

LWC dapat dibuat dengan berbagai cara, antara lain dengan: menggunakan

agregat ringan (fly ash, batu apung atau Pumice Stone, expanded polystyrene –

EPS, dll), campuran antara semen, silica, pozollan, dll (dikenal dengan nama

aerated concrete) atau semen dengan cairan kimia penghasil gelembung udara

(dikenal dengan nama foamed concrete atau cellular concrete). Tidak seperti

beton biasa, berat LWC dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada umumnya berat

LWAC berkisar antara 1600 – 2000 kg/m3. Karena itu keunggulan LWC

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 16: D2054-Moh Azhar.pdf

2

Universitas Indonesia

utamanya ada pada berat, sehingga apabila digunakan pada proyek bangunan

tinggi (high rise building) akan dapat secara signifikan mengurangi berat sendiri

bangunan, yang selanjutnya berdampak kepada perhitungan pondasi.

Keuntungan lain dari LWC antara lain:

Memiliki nilai tahanan panas (thermal insulation) yang baik

Memiliki tahanan suara (peredaman) yang baik

Transportasi mudah

Dapat mengurangi kebutuhan bekisting (formwok) dan perancah

(scaffolding).

LWC memungkinkan Engineering sipil untuk merencanakan alternatif lain

selain penggunaan agregat beton konvensional dan memiliki nilai yang lebih

ekonomis dalam sebuah struktur. Pengurangan beban mati pada struktur dapat

dilakukan dengan menggunakan bentang (longer spans) atau mengurangi bagian

dari elemen struktur itu, dan mengurangi jumlah baja yang diperlukan dan bahkan

dimensi pondasi. Dalam pembuatan LWC memungkinkan juga untuk mengurangi

biaya penempatan dan transportasi. Selain teknis dan kepentingan ekonomi, LWC

dapat diintegrasikan ke dalam proses pembangunan yang berkelanjutan dengan

menggunakan agregat buatan, khususnya yang lebih ringan dari agregat alami, hal

tersebut dapat melestarikan sumber daya alam. Selain itu, berkontribusi

mengurangi volume sampah yang dihancurkan, dan dapat mengoptimalisasi

struktur dengan mengurangi beban mati. Dengan demikian, beton baru ini dapat

mengurangi permasalahan limbah dengan baik.

LWC yang ada memiliki kelemahan yaitu porositas yang besar sehingga

kekuatannya lebih kecil dan lebih mudah berdeformasi dibandingkan dengan

agregat normal. Komponen terlemah dari LWC bukanlah terletak pada semen

sebagai matriksnya atau zona transisi antar muka tetapi terletak pada agregatnya.

Jadi unjuk kerja mekanik LWC tidak hanya dikendalikan oleh kualitas semen

sebagai matriks tetapi juga volume agregat dalam beton dan sifat agregat (Chi

dkk, 2003). Berbagai riset telah dilakukan yang berkenaan dengan studi tentang

perilaku LWC, sehingga Zhang dan Gjorv menunjukkan pengaruh kepadatan

(density) pada LWC terhadap kekuatan mekanik dan mekanisme kegagalan pada

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 17: D2054-Moh Azhar.pdf

3

Universitas Indonesia

high-performance LWC (Zhang dan Gjorv, 1991). Yang dan Huang menyoroti

pentingnya fraksi volume LWC pada kekuatan tekan dan modulus elastis LWC

(Yang dan Huang, 1998). Umumnya, kualitas LWC tidak hanya dilihat dari

densitasnya saja tetapi juga dari sifat mekaniknya. Wasserman dan Bentur

mengadakan penelitian bahwa kepadatan (densitas) agregat yang sama tidak

menghasilkan kekuatan beton yang sama pula (Wasserman dan Bentur, 1997).

LWC unjuk kerja secara mekanik tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas

dari semen sebagai matrik saja, tetapi juga dipengaruhi oleh volume dan sifat dari

agregat (Chi dkk, 2003). Banyak penelitian menunjukan bahwa peranan volume

dan sifat sangat penting pada LWC terutama densitas partikelnya, dan

kekuatannya pada unjuk kerja mekanik pada LWC (Ke dkk, 2009; Zang, 1998;

Lydon, 1982; Yang dan Huang, 1998). Secara umum kandungan agregat sekitar

70-80 % dari volume beton. Besarnya volume fraksi beton dan agregat

memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap modulus elastisitas beton dan

berpengaruh juga pada sifat yang lain (Chi dkk, 2003).

Penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan unjuk kerja secara

mekanik pada LWC dengan menambahkan material lain diantaranya adalah: fly

ash (Chi dkk, 2003), pumice (Failla dkk, 1997; Gunduz, 2005; dan Hanifi Binici,

2007). Oleh sebab itu Peneliti melakukan studi lebih dalam untuk memodifikasi

LWC dengan menambahkan abu sekam padi (ASP) atau rice husk ash (RHA), dan

batu apung (BA) atau pumice, beserta pengaruh penambahan material-material

tersebut tehadap sifat mekaniknya. ASP berasal dari daerah Cianjur dan BA dari

daerah Sukabumi Jawa Barat. Dengan adanya penambahan ASP dan BA pada

LWC diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomis dan sifat mekaniknya serta

dapat meningkatkan nilai tambah ASP dan BA yang selama ini dianggap sebagai

limbah.

1.2. Tujuan Penelitian

Mengeksplorasi lebih dalam tentang pengaruh penambahan material ASP

dan BA atau Pumice pada LWC terhadap sifat mekanik terutama sifat kuat tekan

beton non struktur.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 18: D2054-Moh Azhar.pdf

4

Universitas Indonesia

1.3. Manfaat Penelitian

Dengan adanya menelitian ini harapkan dapat memberikan sumbangsih

terhadap perkembangan IPTEK, khususnya dibidang Materials Science dan

Teknik Sipil. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu untuk memberikan

solusi dalam meningkatkan nilai ekonomis Abu Sekam Padi yang selama ini

dianggap sebagai limbah dan Batu Apung yang kurang pemanfaatannya,

khususnya untuk aplikasi dibidang Teknik Sipil.

1.4. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini hanya difokuskan kepada peninjauan sifat mekanik

LWC yang ditambahkan bahan pengisi berupa ASP dan BA saja. Sifat mekanik

yang dimaksud disini adalah sifat kuat tekan untuk LWC non struktur.

1.5. Model Operasional Penelitian

Penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam lima BAB, BAB 1 sampai

BAB 5, BAB 1 merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan model operasional

penelitian. BAB 2 merupakan tinjauan pustaka atau studi literatur. BAB 3

merupakan metodologi penelitian yang meliputi proses preparasi sampel,

karakterisasi sample hingga pengamatan dan pengolahan data. BAB 4 berisikan

mengenai data hasil penelitian dan pembahasan. Hasil dan analisa merupakan

hasil interprestasi data yang diperoleh dari hasil karakterisasi sample berdasarkan

hipotesis dan dasar teori pendukungnya. BAB 5 merupakan kesimpulan dan saran.

Kesimpulan sementara yang diperoleh selama penelitian dan saran-saran untuk

memperbaiki proses pembuatan atau memberikan alternative terhadap material

maupun proses yang dilakukan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 19: D2054-Moh Azhar.pdf

5

Universitas Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan beton dan bahan-bahan vulkanik seperti abu pozzolan sebagai

pembentuknya telah dimulai sejak zaman Yunani dan Romawi, bahkan mungkin

sebelum itu (Nawy, 1985:2-3). Penggunaan bahan beton bertulang secara intensif

dimulai pada awal abad ke sembilan belas. Pada tahun 1801, F. Coignet

menerbitkan tulisannya mengenai prinsip-prinsip konstruksi dengan meninjau

kelembaban bahan beton. Pada tahun 1850, J.L. Lambot untuk pertama kalinya

membuat kapal kecil dari bahan semen untuk dipamerkan pada Pameran Dunia

1855 di Paris. J. Monier, seorang ahli taman dari Perancis, mematenkan rangka

metal sebagai tulangan beton untuk tempat tanamannya. Pada tahun 1886, Koenen

menerbitkan tulisan mengenai teori dan perancangan struktur beton, dan pada

tahun 1906, C.A.P. Turner mengembangkan plat slub tanpa balok. Seiring dengan

kemajuan besar yang terjadi dalam bidang ini terbentuklah German Committee

Reinforce Concrete (GCRC), Australian Concrete Committee (ACC), American

Concrete Institute (ACI), dan British Concrete (BC). Di Indonesia, Departemen

Pekerjaan Umum-Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (DPU-LPMB)

menerbitkan peraturan-peraturan standar beton yang biasanya mengadopsi

peraturan internasional yang disesuaikan dengan kondisi bahan dan jenis

bangunan di Indonesia.

Struktur beton dapat didefinisikan sebagai bangunan beton yang terletak di

atas tanah yang menggunakan tulangan atau tidak menggunakan tulangan (ACI

318-89, 1990:1-1). Struktur beton sangat dipengaruhi oleh komposisi dan kualitas

bahan-bahan pembentuk beton. Kekuatan tekan beton dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya: perbandingan air terhadap semen (w/c), perbandingan agregat

terhadap semen (a/c), dan usur agregat (gradasi, bentuk, kekerasan, kekuatan,

permukaan, ukuram maximum). Untuk harga w/c yang sama, makin besar a/c

makin tinggi kekuatan beton, karena makin banyak agregat makin banyak air

yang diserap, sehingga w/c efektifnya berkurang.

Beton mempunyai kuat tekan yang besar sementara kuat tariknya kecil. Oleh

karena itu untuk struktur bangunan, beton selalu dikombinasikan dengan tulangan

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 20: D2054-Moh Azhar.pdf

6

Universitas Indonesia

baja untuk memperoleh kinerja yang tinggi. Beton ditambah dengan tulangan baja

menjadi beton bertulang. Kekuatan tekan adalah kemampuan beton untuk

menerima gaya tekan persatuan luas.

Beton terbuat dari agregat halus dan kasar yang diikat bersama pasta semen

akan menjadi campuran beton segar yang kemudian mengeras, maka kualitas

semen sangat mempengaruhi kualitas beton, yang bila semakin tebal tentu

semakin kuat. Beton mengalami deformasi disertai dengan penyusutan akibat

mengeringnya beton seiring dengan bertambahnya waktu pengerasan. Agar

diperoleh hasil yang memuaskan, dibutuhkan pengenalan mendalam mengenai

sifat-sifat yang berkaitan dengan bahan-bahan penyusun beton tersebut. Untuk

mengetahui dan mempelajari perilaku bahan-bahan penyusun beton memerlukan

pengetahuan mengenai karakteristik masing-masing komponen. Parameter-

parameter yang paling mempengaruhi kekuatan beton adalah Kualitas semen,

proporsi semen terhadap campuran, kekuatan dan kebersihan agregat, interaksi

atau adhesi antara pasta semen dengan agregat, penyelesaian dan pemadatan beton

yang benar, perawatan beton, dan kandungan klorida tidak melebihi 0,15% dalam

beton yang diekspos dan 1% bagi beton yang tidak diekspos (Nawy, 1985:24).

Nilai kuat tekan beton dengan kuat tariknya tidak berbanding lurus. Setiap

usaha perbaikan mutu kekuatan tekan hanya disertai oleh peningkatan kecil dari

kuat tariknya. Nilai kuat tarik berkisar antara 9%-15% kuat tekannya. Kecilnya

kuat tarik beton ini merupakan salah satu kelemahan dari beton biasa, untuk

mengatasinya beton dikombinasikan dengan baja tulangan. Pendekatan hitungan

dilakukan dengan menggunakan modulus of rapture, yaitu tegangan tarik beton

yang muncul saat pengujian tekan beton normal (Mulyono T., 2005).

Setelah perancangan beton selesai, dilakukan pengujian lanjutan beton segar

dan pengujian beton keras. Pengujian beton segar dimaksudkan untuk mengetahui

workability atau kemudahan dalam pengerjaannya. Indikator dari kemudahan

pengerjaan ini dapat dilihat dari nilai slump beton. Tujuan pengujian beton segar

lainnya adalah untuk melihat apakah terjadi bleeding dan segregation atau tidak.

Sedangkan pengujian beton keras terutama dimaksudkan untuk mengetahui

kekuatan tekan. Pengujian ini dilakukan dengan membuat benda uji berbentuk

silinder atau berbentuk kubus yang pada umur tertentu diuji.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 21: D2054-Moh Azhar.pdf

7

Universitas Indonesia

Beton dapat juga digunakan untuk struktur yang memerlukan bahan yang

ringan, misalnya beton ringan struktural (DPU-LPMB SKBI.1.4.53,1989:5) yaitu

beton yang mengandung agregat ringan dan mempunyai density sesuai dengan

standar ASTM (America Society For Testing And Material) C-567.

2.1. Beton Ringan atau Lightweight Concrete (LWC)

Pada tahap awal dalam merancang sebuah proyek bangunan, sifat bahan

konstruksi harus dievaluasi dengan baik. Oleh karena itu, muncul kebutuhan

untuk menganalisis bahan-bahan untuk digunakan dalam konstruksi secara

eksperimental dengan lebih rinci. Hal ini merupakan inti dari kegiatan awal

merancang sebuah proyek bangunan (Gunduz dan Ugur, 2005). Jadi, secara

umum, sebelum merekomendasikan material untuk aplikasi tertentu (baik

struktural atau non-struktural) maka diperlukan studi tentang karakteristik

mekanik pada material itu sendiri (Babu dkk, 2005). Sebagai Salah satu alternatif

yang dewasa ini telah luas digunakan sebagai komponen dari bangunan sipil

adalah LWC yang dibuat dari campuran lightweight aggregate (LWA), yaitu

beton yang mempunyai massa kering udara sesuai dengan syarat pada ―Testing

Method for Unit Weight of Structural Lightweight Concrete” ASTM C-567

dimana densitynya tidak lebih dari 1900 kg/m3. Penggunaan LWA dalam

pembuatan LWC dikarenakan LWA memiliki konduktivitas thermal rendah dan

dari segi pembiayaan produksi blok beton ringan dapat lebih ekonomis. LWA

dapat diproses menggunakan bahan alami, baik yang diproses lebih lanjut maupun

yang tidak. LWA memiliki jumlah rongga yang besar didalamnya, sehingga bila

digunakan untuk pembuatan LWC akan memiliki efisiensi isolasi thermal yang

relatif lebih tinggi jika dibandingkan beton normal.

Pada LWC memiliki keunggulan berupa beratnya yang ringan, dan isolasi

thermal yang baik, tetapi memiliki kelemahan berupa sifat mekanik yang relatif

rendah, sehingga hanya cocok digunakan sebagai non-load bearing walls (Al-

Jabri dkk, 2005). Keunggulan lainnya pada LWC adalah dalam hal mengurangi

beban mati pada struktur dan beban lateral gempa.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 22: D2054-Moh Azhar.pdf

8

Universitas Indonesia

Aplikasi LWC atau LWAC dalam bidang teknik sipil secara umum

digunakan untuk struktural dan non-struktural, serta sebagai pengisi atau untuk

komoponen isolasi panas dan suara seperti panel, bata, partisi serta beban bantalan

elemen struktural (Asgeirsson dan Lettsteypur, 1984).

Ada dua parameter utama yang menentukan sifat mekanik LWC yaitu

densitas dan rasio w/c. Oleh karena itu untuk rasio w/c yang konstan, dengan

menggunakan LWA yang memiliki nilai berat jenis yang tinggi akan

menghasilkan tingkat kekuatan yang lebih tinggi pula. Sifat mekanik yang paling

utama dari LWC disini adalah sifat kekuatan tekan. Kekuatan tekan pada LWC

dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kualitas dan ukuran agregat (besar,

menengah dan halus), komposisi beton, dan kondisi pengerasan.

Ke dkk (2009) mengadakan studi tentang estimasi kualitas agregat

didasarkan pada pengukuran berbagai karakteristik fisik dan pengamatan struktur

porinya. Tujuan dari studi ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih

baik tentang pengaruh karakteristik LWA terhadap kuat tekan dan modulus

elastisitas dari beton. Pada penelitiannya digunakan sampel dengan variasi

agregat dan densitasnya yang ditampilkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Variasi sampel terhadap density (Ke dkk, 2009)

Name Various densities Intergranular porosity

ρv(kg/m3) ρssd(kg/m

3) ρrd(kg/m

3) 1-ρv/ ρrd

0/4 650 A

0/10 550 A

0/10 430 A

0/10 520 S

0/10 675 S

0/8 750 S

600,5

560,3

454,7

493,4

729,0

877,7

1223,2

1137,6

878,2

1033,6

1578,2

1714,1

926,8

921,2

736,9

900,6

1433,6

1576,9

0,35

0,39

0,38

0,45

0,49

0,44

Untuk sampel yang dibuat ada 6 variasi dimana angka pertama

menunjukan rentang ukuran d/D, angka yang kedua mengindikasikan densitas

sampel dan huruf terakhir mengindikasikan : A untuk clay dan untuk S adalah

butiran dari agregatnya. Pada tabel 2.1 untuk ρssd adalah saturated-surface-dried-

density, ρrd adalah densitas partkel kering dan ρv adalah bulk density. Sedangkan

untuk pengukuran porositas terhadap sampel agregat yang dibuat ditampilkan

pada Tabel 2.2.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 23: D2054-Moh Azhar.pdf

9

Universitas Indonesia

Tabel 2.2. Porositas pada variasi sampel yang digunakan (Ke dkk, 2009)

0/4 650 A

0/10 550 A

0/10 550 A

0/10 520 S

0/10 675 S

0/8 750 S

Total porosity Water open porosity after 20 days immersion (%) Water porosity/Total porosity

Dry particle density

64 41,7 65,16 0,93

65 31,3 48,15 0,92

72 20,6 28,61 0,74

65 13,5 20,77 0,90

45 16,5 36,67 1,43

39 17,35 44,48 1,58

Hasil pengukuran kekuatan tekan terhadap variasi sampel terhadap densitas

yang digunakan dalam penelitian ini (Ke dkk, 2009) seperti terlihat pada Gambar

2.1.

Gambar 2.1. Grafik korelasi antara kekuatan tekan terhadap densitas pada

fraksi volume LWA beberapa variasi sampel yang digunakan

(Ke dkk, 2009)

Sedangkan hasil pengukuran kekuatan tekan pada variasi sampel terhadap

densitas setelah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Grafik hubungan antara kekuatan tekan dan densitas sampel

yang telah dikeringkan (Ke dkk, 2009)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 24: D2054-Moh Azhar.pdf

10

Universitas Indonesia

Pada penelitian Ke dkk (2009) didapatkan kesimpulan bahwa untuk agregat

yang densitasnya dibawah 1000 kg/m3

yaitu pada sampel 0/4 650 A, 4/10 550 A,

4/10 430 A dan 4/10 520 S memiliki kekuatan tekan yang sangat dipengaruhi oleh

fraksi volume agregatnya. Sedangkan untuk sampel 4/10 675 S dan 4/8 750 S

yang memiliki densitas 1430 kg/m3

dan 1570 kg/m3, kenaikan fraksi volume tidak

mengurangi kekuatan tekan pada LWC.

Chi dkk (2003) mengadakan penelitian tentang pengaruh karakteristik

agregat terhadap kekuatan dan kekakuan pada LWC. Pada penelitiannya

digunakan Portland cement dengan specific gravity 3,15 pada semua campuran,

dan digunakan agregat dari pasir kali dengan specivic gravity dan ukuran

maksimumnya 4 mm sebanyak 1,8 %. Bentuk specimen uji mengacu kepada

ASTM C192, sedangkan prosedur pengujiannya mengacu kepada ASTM C39.

Penelitian ini menghasilkan data tentang kekuatan tekan pada beberapa tipe

agregat terhadap beberapa variasi rasio air dan semen yang ditampilkan pada

Tabel 2.3 dan Gambar 2.3. Sifat dari tipe agregat ditampilkan pada Tabel 2.4.

Sedangkan hasil penelitian tentang pengaruh fraksi volume terhadap kekuatan

tekan dan rasio air/binder ditampilkan pada Gambar 2.4.

Tabel 2.3. Kekuatan tekan (MPa) pada beberapa tipe agregat ringan terhadap

beberapa variasi rasio air dan semen (Chi dkk, 2003)

Aggregate type

Volume fraction (%)

w/b= 0,3 (A1)

w/b= 0,4 (A2)

w/b= 0,5 (A3)

I (B1)

III (B2)

III (B3)

18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)

18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)

18 (C1) 24 (C2) 30 (C3) 36 (C4)

41,7 37,5 35,0 31,8

43,9 41,2 38,7 35,6

48,2 47,4 45,8 42,6

32,6 29,5 27,6 23,0

27,3 33,4 30,4 28,4

38,3 37,6 38,9 37,5

29,8 25,7 23,3 21,3

27,4 26,3 24,6 21,5

31,2 29,5 27,7 29,7

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 25: D2054-Moh Azhar.pdf

11

Universitas Indonesia

Tabel 2.4. Sifat dari agregat yang digunakan (Chi dkk, 2003)

Aggregate

type

Specific

grafity

(SSD)

Specific

grafity

(OD)

Water

absorption

(%)

Bulk unit

weight(AD)

(kg/m3)

Crushing

value

(%)

Particle

strength

(MPa)

I

II

III

1,65

1,69

1,76

1,23

1,29

1,44

34,4

30,5

20,8

857

952

972

43,9

36,1

31,6

6,01

7,53

8,57

Gambar 2.3. Pengaruh rasio air/binder terhadap kekuatan tekan pada

beberapa tipe agregat (Chi dkk, 2003)

Gambar 2.4. Pengaruh fraksi volume terhadap kekuatan tekan dan rasio

air/binder (Chi dkk, 2003)

20

25

30

35

40

45

50

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Co

mp

ress

ive

stre

ngt

h (

MP

a)

Water/binder ratio

Aggregate typeType IType IIType III

20

25

30

35

40

45

50

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Co

mp

ress

ive

stre

ngt

h (

MP

a)

water/binder ratio

Volume fractionVF=18%VF=24%VF=30%VF=36%

0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.25

0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.25

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 26: D2054-Moh Azhar.pdf

12

Universitas Indonesia

Dari penelitian yang dilakukan Chi dkk (2003) dapat disimpulkan bahwa

pada LWC penggunaan rasio air/binder dan sifat LWA sangat mempengaruhi

kekuatan tekan LWC itu sendiri.

Beton dengan substitusi batu apung dapat digolongkan sebagai LWC.

Substitusi parsial atau mengganti sebagian agregat kasar normal dengan agregat

ringan batu apung pada beton dapat dijadikan penyelesaian permasalahan density

agregat kasar yang besar yaitu sekitar 1200-1700 kg/m3.

LWC merupakan salah satu bagian dari beton ringan selain aerated

lightweight concrete dan no fine lighweight concrete. LWC dapat dibuat dari

agregat ringan yang berasal dari a) agregat ringan produk industri misalnya

furnace bottom ash, furnace klinker, b) agregat ringan natural misalnya batu

apung dan scoria, c) agregat ringan artifisial misalnya slag, expand shale,expand

clay, perlite dan vermiculite. Menurut ACI 213R-87 (ACI Committee 213R-87,

1999) terdapat tiga jenis LWC berdasarkan density, yaitu: a) LWC kepadatan

rendah dengan density kering udara 400 – 800 kg/m3 dan kuat tekan antara 0,69–

6,89 MPa. Agregat ringan yang digunakan antara lain vermiculite dan perlite. b)

LWC kekuatan moderat dengan density kering udara 800–1400 kg/m3 dan kuat

tekan antara 6,89–17,24 MPa. Agregat ringan yang digunakan antara lain batu

apung dan scoria. c) LWC struktural dengan density kering udara 1440 – 1850

kg/m3 dan kuat tekan lebih besar dari 17,24 MPa. Agregat ringan yang digunakan

antara lain pumice stone, slag, clay dan slate.

Bulk Density atau density LWC bervariasi tergantung pada density agregat,

kadar semen dan factor air-semen. Secara umum density LWC akan naik jika

density agregat dan kadar semen meningkat, tetapi akan menurun jika faktor air-

semen meningkat. Density LWC juga sangat berpengaruh pada sifat-sifat mekanik

yang dihasilkan yaitu kuat tekan dan kuat tarik. LWC dengan density rendah akan

sukar dipadatkan sehingga segregasi yang terjadi menyebabkan rendahnya kuat

tekan dan kuat tarik. Penentuan density LWC berdasarkan standar ASTM C567-

91 (ASTM C567-91, 1996). Menurut Satish dkk. (Chandra Satish and Berntsson

Leif, 2002), density LWC terbagi menjadi density tinggi antara 1550-1850 kg/m3

dan density menengah antara 800–1550 kg/m3. Menurut ACI 213R-87 (ACI

Committee 213R-87, 1999) terdapat tiga density LWC yaitu: a) density rendah

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 27: D2054-Moh Azhar.pdf

13

Universitas Indonesia

antara 400–800 kg/m3. b) density menengah antara 800–1400 kg/m3 dan c)

density tinggi antara 1440–1850 kg/m3.

Dionisius dkk (Dionisius Tripriyo, dkk., 2010) melaporkan bahwa kadar

optimum substitusi parsial batu apung pada beton agregat ringan batu apung

adalah 20% dari berat agregat kasar dengan kuat tekan dan kuat tarik belah

sebesar 39,24 MPa dan 4,05 MPa. Kondisi campuran beton agregat ringan

memerlukan tambahan 20% fly ash, additive sika Ln 1,5% dan sika Vz 0,4%

dengan permukaaan batu apung dilapisi pasta semen. Sedangkan, density beton

agregat ringan batu apung adalah 1850 kg/m3 lebih ringan 22% daripada beton

agregat normal.

Joedono (Joedono, 2006) melaporkan bahwa dimensi agregat maksimum 15

mm, baik agregit kasar batuan piroklastik merah maupun batu apung

menghasilkan kuat tekan rnaksimum, yaitu 24, 26 Mpa dan 7,7 T Mpa. Modulus

elastisitas untuk beton batuan piroklastik merah tertinggi diperoleh pada ukuran

maksimum 15 mm 19366,26 Mpa Modulus elastisitas beton batu apung tertinggi

diperoleh pada diameter maksimum 25 mm yaitu sebesar 6691.542 Mpa. Hasil

pengujian kuat tarik belah untuk beton dengan agregat kasar batuan piroklastik

mempunyai tren yang teratur bila dibandingkan beton batu apung yang cenderung

naik-turun tidak beraturan.

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) melaporkan hasil penelitiannya

tentang beton yang menggunakan batu apung sebagai bahan campuran semen

porland. Kuat tekan beton adalah salah satu pertimbangan utama dalam desain

campuran beton. Menurut ASTM C39, kuat tekan silinder ukuran 4"x8" diuji

dengan nilai yang berbeda dari batu apung sebanyak lima campuran yang biasa

digunakan untuk spesifikasi 4 ksi. Lima campuran termasuk 100% semen (ASTM

Tipe II / V), 20% dari DS200, DS325, batu apung ultrafine dengan 80% semen

dan 30% DS325 dengan 70% semen dengan rasio w/c 0.485. Hasil uji kuat tekan

ditunjukkan pada Gambar. 10.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 28: D2054-Moh Azhar.pdf

14

Universitas Indonesia

Gambar 2.5 Hasil Uji Kuat Tekan Beton Silinder Ukuran 4"x8" (Uma

Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012)

Campuran yang mengandung batu apung mencapai kuat tekan lebih rendah

dibandingkan dengan campuran 100% semen porland. Namun, kekuatan

minimum pada usia 7 hari lebih besar dari 3000 psi dan pada usia 28 hari ini lebih

besar dari 4500 psi. Campuran yang mengandung batu apung ultrafine mencapai

kekuatan awal tinggi dibandingkan dengan campuran yang mengandung DS200

dan DS325. Tren ini didukung oleh hasil dari perilaku hidrasi semen ketika

dicampur, di mana campuran batu apung ultrafine menunjukkan karakteristik

hidrasi cepat. Campuran 80C20DS200 mencapai lebih tinggi kekuatan pada 7 dan

28 hari dibandingkan dengan campuran 80CDS325 yang menunjukkan perbedaan

perilaku hidrasi yang ditunjukkan oleh nilai yang berbeda dari batu apung.

Kawkab H. dkk (2008) melaporkan hasil penelitian sifat mekanik beton

agregat ringan menggunakan batu apung lokal (tersedia di utara Iraq) untuk

produksi beton struktur agregat ringan. Dalam penelitian ini, dua jenis beton

ringan diproduksi menggunakan batu apung sebagai agregat kasar dengan pasir

alam dan juga dengan batu apung sebagai agregat halus, diselidiki efek

menggunakan Superplasticizer: High Range Water Reducing Admixture

(HRWRA) ditambah dengan 8% abu sekam padi sebagai pengganti sebagian berat

semen, pada sifat mekanik beton ringan. Pengujian yang dilakukan antara lain

adalah kekuatan tekan dan kekuatan tarik belah untuk semua jenis beton agregat

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 29: D2054-Moh Azhar.pdf

15

Universitas Indonesia

ringan dan pada berbagai usia curing. Pada campuran yang menggunakan 8% abu

sekam padi, dengan dosis optimum HRWRA (6% berat semen) menunjukkan

peningkatan yang cukup sifat mekanik pada semua umur dibandingkan dengan

referensi beton.

HRWRA adalah salah satu jenis superplasticizer sulfonasi melamin

formaldehid kondensat, yang dikenal secara komersial sebagai Melment L10,

digunakan selama penelitian ini sebagai kisaran tinggi air mengurangi campuran.

Supperplasticizer digunakan untuk menghasilkan beton mutu tinggi dengan

mengurangi rasio w/c, dengan slump 50 ± 5 mm, untuk referensi campuran beton.

Hasil menunjukkan bahwa secara umum, semua spesimen beton

memperlihatkan peningkatan kuat tekan pada berbagai usia. Gambar 2.6

menunjukkan bahwa kuat tekan LWAC menurun dengan penambahan batu apung

agregat halus sebagai pengganti total pasir alam. Penyebab utama adalah bahwa

penambahan agregat halus batu apung untuk LWAC meningkatkan kebutuhan air

untuk campuran agar mendapatkan kemampuan kerja yang cocok dan sebagai

hasilnya, kekuatan berkurang. Persentase penurunan 28-hari kuat tekan beton

Ref2 dibandingkan dengan Ref1 beton (tanpa agregat halus batu apung) adalah

4,39%. Persentase peningkatan kuat tekan pada 90 hari curing RHA-HRWRA1

dan beton RHA-HRWRA2 relatif terhadap referensi beton yang masing-masing

7.76% dan 12,8%.

Gambar 2.6 Kuat tekan berbagai jenis LWAC pada berbagai usia (Kawkab

H. dkk, 2008)

16

18

20

22

24

26

28

30

32

34

36

38

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Co

mp

ress

ive

stre

ngt

h (

N/m

m2

)

Age (days)

Ref1 concrete

RHA-HRWRA1 concrete

Ref2 concrete

RHA-HRWRA2

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 30: D2054-Moh Azhar.pdf

16

Universitas Indonesia

2.2 Portland Cement (PC)

Semen adalah bahan yang bersifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan

pengikat. Semen Portland pertama kali diproduksi dipabrik oleh David Saylor di

Coplay Pennsylvania, Amerika Serikat pada tahun 1875. Menurut ASTM C-

150,1985, definisi semen Portland yaitu semen hidrolik yang dihasilkan dengan

cara menghaluskan klinker yang terutama terdiri dari kalsium silikat hidrolik,

yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat sebagai bahan

tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya. Fungsi semen

untuk bereaksi dengan air menjadi pasta semen. Pasta semen berfungsi untuk

merekatkan butir-butir antar agregat agar terjadi suatu massa yang kompak/padat.

Selain itu pasta semen juga untuk mengisi rongga-rongga antara butir-butir

agregat. Walaupun volume semen kira-kira 10 persen dari volume beton, namun

karena bahan perekat yang aktif dan mempunyai harga paling mahal dari bahan

dasar beton yang lain maka peranan semen menjadi sangat penting. Sedangkan

agregat tidak memainkan peranan yang penting dalam reaksi kimia tersebut, tetapi

berfungsi sebagai bahan pengisi mineral yang dapat mencegah perubahan-

perubahan volume beton setelah pengadukan selesai dan memperbaiki keawetan

beton yang dihasilkan.

Pada umumnya beton mengandung rongga udara sekitar 1% - 2%, pasta

semen (semen dan air) sekitar 25% - 40%, agregat halus dan kasar sekitar 60% -

75% (PB 1989). Untuk mendapatkan kekuatan yang baik, sifat dan karakter dari

masing-masing material penyusun tersebut perlu dipelajari. Semen merupakan

hasil industri yang sangat kompleks, dengan campuran serta susunan yang

berbeda-beda. Semen dapat dibedakan jadi dua kelompok, yaitu semen hidrolik

dan non hidrolik.

Bahan-bahan utama penyusun semen Portland adalah Kapur (CaO), Silika

(SiO2), Oksida Besi (Fe2O3), dan Alumina (Al2O3). Ada 2 sifat utama semen

Portland yaitu sifat fisika diantaranya kehalusan butir, waktu pengikatan, kekuatan

tekan, pengikatan semu, panas hidrasi, dan hilang pijar. Berikutnya sifat kimia

meliputi kesegaran semen, sisa yang tak larut dan yang paling utama adalah

komposisi syarat yang telah ditentukan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 31: D2054-Moh Azhar.pdf

17

Universitas Indonesia

2.2.1 Reaksi Hidrasi

Ketika air ditambahkan ke dalam campuran semen, proses kimiawi yang

disebut hidrasi akan berlangsung. Senyawa kimia di dalam semen akan bereaksi

dengan air dan membentuk komponen baru yang disebut pasta semen, yang

mempunyai kekentalan tinggi dan akhirnya menjadi pasta yang mengeras yang

mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi.

Ada 2 mekanisme hidrasi semen yaitu mekanisme larutan dan mekanisme

padat. Pada mekanisme larutan, zat yang direaksikan larut dan menghasilkan

ion dalam larutan. Ion-ion ini kemudian akan bergabung sehingga

menghasilkan zat yang menggumpal (flocculate). Pada semen, proses hidrolisis

lebih dominan dari pada larutan, karena daya larut senyawa yang ada kecil.

Pada Tabel 2.5 terlihat hasil reaksi hidrasi senyawa semen.

Tabel 2.5. Reaksi hidrasi senyawa semen

Senyawa yang bereaksi Komponen yang dihasilkan

Trikalsium Silikat + Air Gel Tobermorit + Kalsium Hidroksida

Dikalsium Silikat + Air Gel Tobermorit + Kalsium Hidroksida

Tetrakalsium Aluminoferrit + Air +

Kalsium Hidroksida

Kalsium Aluminoferrit Hidrat

Tetrakalsium Aluminat + Air + Kalsium

Hidroksida

Tetrakalsium Aluminat Hidrat

Tetrakalsium Aluminat + Air + Gypsum Kalsium Monosulfoaluminat

Semen bertindak sebagai pengikat ketika bereaksi dengan air untuk

membentuk struktur yang dominan terdiri dari Kalsium Silikat Hidrat (CSH),

yang tumbuh membentuk struktur berbentuk pelat sebagai produk dari hidrasi.

Pada tahap awal proses hidrasi, struktur masih belum begitu padat, yang ditandai

oleh adanya pori-pori atau rongga. Mekanisme hidrasi dapat dianalisis melalui

pertumbuhan strukturmikro pasta semen pada waktu yang berbeda selama proses

hidrasi. Porositas berkurang seiring bertambahnya waktu hidrasi, hal tersebut

dikarenakan adanya pertumbuhan kristalit CSH seiring bertambahnya waktu

hidrasi. Evolusi mikrostruktur dari CSH pada pasta semen di hari ke 7, 28 dan 56

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 32: D2054-Moh Azhar.pdf

18

Universitas Indonesia

untuk 100% semen Portland yang dikarakterisasi menggunakan SEM ditampilkan

pada Gambar 2.7 (A. Manaf, and V. Indrawati, 2011)

Gambar 2.7 Evolusi mikrosktuktur CSH pada komposisi 100 wt% semen Portland

selama proses hidrasi sampai 56 minggu (A. Manaf, and V.

Indrawati, 2011)

Hasil SEM pada campuran 100wt% Portland semen Gambar 2.7

menunjukkan bahwa struktur CSH mulai mengembang atau tumbuh pada waktu

awal dan terus berkembang sampai struktur lebih padat dari CSH hadir pada akhir

waktu (56 hari). Struktur yang padat membuat beton lebih tahan lama karena

tahan terhadap serangan lingkungan.

Menurut Alizadeh, Beaudoin dan Raki (2011) CSH merupakan produk

utama dari proses hidrasi pada semen Portland, dimana senyawa ini betanggung

jawab penuh dan memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat mekanik dan

fisik seperti kekuatan dan penyusutan setelah pasta semen mengeras. Proses

desorption air pada semen Portland berpengaruh terhadap modulus elastisitasnya

terutama akan signifikan ketika tingkat kelembaban relatif sekitar di bawah 11%,

seperti pada Gambar 2.8

Hasil yang didapat seperti pada Gambar 2.8 terkait sekali dengan

keberadaan dan kondisi dari CSH yang ada pada semen Portland. Parameter

utama yang mengontrol pembentukan berbagai struktur CSH adalah rasio molar

antara CaO dan SiO2 (C/S ratio), tetapi studi yang mempelajari pengaruh ratio

C/S terhadap sifat mekanik pada CSH masih terbatas.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 33: D2054-Moh Azhar.pdf

19

Universitas Indonesia

Gambar 2.8 Pengaruh proses desorption air terhadap modulus elastisitas

pada semen Portland untuk (a) W/C = 0,3 dan (b) 0,4

(Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011)

Pada penelitian ini variasi ratio C/S dan poroitas dilakukan untuk

mendapatkan informasi terkait dengan sifat mekaniknya seperti ditapilkan pada

Gambar 2.9. Meningkatnya presentasi porositas pada sampel akan menurunkan

modulus elestisitas untuk semua ratio C/S. Dari Gambar 2.9 menunjukkan bahwa

pada tingkat porositas yang lebih tinggi, nilai-nilai E pada C/S = 0,8 lebih besar

jika dibandingkan dengan nilai E pada rasio C/S lainnya.

Gambar 2.9 Pengaruh variasi komposisi ratio C/S dan porositas terhadap

modulus elastisitas (Alizadeh, Beaudoin dan Rakim, 2011)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 34: D2054-Moh Azhar.pdf

20

Universitas Indonesia

2.2.2 Hidrasi C3S dan C2S

Kalsium Silikat akan terhidrasi menjadi gel kalsium silikat hidrat (gel

tobelmorite) yang disingkat gel CSH dan kalsium hidroksida yang dihasilkan

akan membuat sifat basa kuat (PH = 12,5). Ini menyebabkan semen sensitif

terhadap asam dan akan mencegah timbulnya korosi pada besi baja. Dalam

bentuk kesetimbangan reaksi hidrolisis antara senyawa C3S dan C2S

ditampilkan pada diagram fasa Gambar 2.10 dibawah ni.

Sistem alir CaO – SiO2 – H2O

Gambar 2.10. Diagram Fasa hidrasi semen (Taylor, 1997)

Sebagai gambaran proses kimia hidrasi C3S dan C2S sebagai berikut :

2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2

2C3S + 6H C-S-H gel + 3CH

Trikalsium Silikat gel tobermorite Kalsium hidroksida

2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.2H2O + Ca(OH)2

2C2S + 6H C-S-H gel + CH

Dikalsium Silikat gel tobermorite Kalsium hidroksida

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 35: D2054-Moh Azhar.pdf

21

Universitas Indonesia

2.2.3 Hidrasi C3A

Hidrasi C3A terjadi secara mendadak dengan disertai pengeluaran panas

yang banyak. Akan terbentuk kristal kalsium aluminat hidrat yang

menyebabkan pengerasan (hardening) dari pasta semen. Kejadian ini disebut

Flash set atau quick set. Itu sebabnya perlu ditambahkan gypsum pada waktu

penggilingan klinker, untuk memperkecil reaktivitas C3A.

Proses kimia hidrasi C3A sebagai berikut :

3CaO.Al2O3 + 10H2O + CaSO4.2H2O 3CaO.Al2O3.CaSO4.12H2O

Trikalsium aluminat Gypsum Ettringite

3CaO.Al2O3 + 12H2O + Ca(OH)2 3CaO.Al2O3.Ca(OH)2.12H2O

Trikalsium aluminat Kalsium aluminat hidrat

C3A dan gypsum akan bereaksi lebih dahulu, menghasilkan kalsium

sulfoaluminat. Kristal yang berbentuk jarum disebut Ettringite. Ettringite

memblokir air dari permukaan C3A sehingga menunda hidrasi. Setelah gypsum

bereaksi semua, barulah akan terbentuk kalsium aluminat hidrat.

2.2.4 Hidrasi C4AF

Pada tahap awal, C4AF bereaksi dengan gypsum dan kalsium hidroksida

membentuk kalsium sulfo-aluminat hidrat dan kalsium sulfo-ferrit hidrat yang

kristalnya berbentuk jarum, seperti reaksi kimia berikut :

3CaO.Al2O3.Fe2O3 + 10H2O + 2Ca(OH)2 6CaO.Al2O3.Fe2O3.12H2O

Tetrakalsium alumino-ferrit Kalsium Aluminoferrit hidrat

Kecepatan reaksi hidrasi maksimum pada tahap awal dan kemudian

menurun terhadap waktu. Ini disebabkan makin terbentuknya lapisan gel CSH

pada kristal semen. Makin tebal lapisan semakin lambat hidrasi. Secara teoritis,

proses hidrasi akan terhenti apabila tebal lapisan mencapai 25 mikron. Semen

porland pada umumnya memiliki ukuran kristal antara 5 hingga 50 mikron.

Proses hidrasi semen memerlukan air sebanyak 20% dari berat semen (faktor

air- semen : w/c = 0,2) (PB 1989).

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 36: D2054-Moh Azhar.pdf

22

Universitas Indonesia

2.2.5 Kinetika Hidrasi Semen

Studi tentang kinetika hidrasi dari semen ketika dicampur dengan air telah

dilakukan oleh banyak peneliti. Mekanisme kinetika hidrasi dapat di identifikasi

melalui pengukuran selama proses evolusi panas selama hidrasi. Model hidrasi

dari semen Portland dan campuran semen menggunakan suplementary cementing

materials (SCMs) telah banyak dilakukan peneliti (G. De Schutter, 1995, A.K.

Schindler, K.J. Folliard, 2005, Klaus Meinhard, Roman Lackner, 2008, K. Fuji,

W. Kondo, 1974, O. Bernard et al, 2003). Ide dasar dari mekanisme hidrasi semen

adalah sebagai berikut (Judarta Vera Indrawati, 2009):

1. Hidrasi dari semen merupakan proses eksotermis dan melepaskan panas

yang biasa disebut dengan hidrasi panas.

2. Derajat kebebasan dari hidrasi, dibentuk sebagai fraksi dari hidrasi panas

yang telah dilepaskan.

3. Mekanisme hidrasi meliputi empat tahap yaitu: disolusi, induksi, nukleasi,

dan difusi

4. Hidrasi semen Portland umumnya berhubungan dengan hidrasi dari

masing-masing fase mineral semen diantaranya C3S, C2S, C3A, dan C4AF

yang umumnya kalsium silika dan membentuk silika kalsium hidrat

selama proses reaksi.

5. Penggunaan SCMs untuk menghasilkan campuran semen berhubungan

dengan reaksi pozzolanik antara SCMs dan Ca(OH)2 dari hidrasi semen

Portland. Reaksi ini memberikan kontribusi adanya panas spesifik dari

masing-masing SCMs. Berdasarkan SCMs yang ditemukan di Jepang,

Kishi dan Mackawa menyarankan bahwa untuk fly ash (Ca=8.8% dan

CaO=48.1%) adalah 209 J/g, sedangkan untuk blast furnace slag GGBF

(CaO=43.3% dan SiO2=31.3%) adalah 461 J/g.

Model hidrasi dari semen Portland dimulai dengan konsep kontinuitas periode

induksi singkat diikuti dengan nukleasi dan terakhir adalah proses difusi. Proses

nukleasi telah disimulasikan menggunakan model Avrami (Judarta Vera

Indrawati, 2009).

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 37: D2054-Moh Azhar.pdf

23

Universitas Indonesia

Parameter-parameter kinetik diaplikasikan dan diplot menjadi model dari

hidrasi semen. Model teoritis ini sesuai dengan derajat hidrasi yang berasal dari

pengukuran pelepasan panas. Model yang berasal dari hasil eksperimen ini

dihitung berdasarkan x. Nilai dari x sebesar 0,3 dan 0,6 dapat digunakan sebagai

referensi untuk kinetika hidrasi semen. Nilai dari x hasil eksperimen sebesar 0,6

menghasilkan derajat hidrasi maksimum sebesar 0,8. Pengembangan model untuk

semen campuran menghasilkan perbedaan pola morfologi untuk setiap umur

pembuatan. Senyawa Alumunium di dalam tanur bereaksi membentuk produk

alumunium. Pelepasan panas diukur berdasarkan perbedaan laju dari aliran panas.

Pelepasan panas selama hidrasi dari campuran semen tidak hanya berasal dari

mineral klinker tetapi juga senyawa alumunium di dalam slag. Sementara itu

hidrasi semen dibatasi oleh difusi. Semen terhidrasi ditentukan oleh difusi

pelarutan ion melalui lapisan hasil hidrasi yang terbentuk di sekitar klinker. Studi

dari semen hasil slag pada tanur tinggi menyimpulkan bahwa hidrasi slag dibatasi

oleh peluruhan secara eksponensial sebagai fungsi waktu.

Hidrasi semen yang menyebabkan terjadinya filler dengan ukuran besar

(high filler). Isi dari high filler sering digunakan di dalam proses produksi semen.

Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari masalah kelebihan panas selama

proses pengerasan semen. Terdapat dua macam jenis filler, yaitu limestone and

quartz. Secara umum, filler jenis limestone sangat dipengaruhi oleh waktu induksi

sehingga mekanisme hidrasi pun akan terpengaruh. Sedangkan untuk filler jenis

quarsa tidak dipengaruhi oleh waktu induksi. Namun beberapa hasil studi

menunjukan bahwa perubahan mekanisme hidrasi tidak begitu jelas teridentifikasi

(Judarta Vera Indrawati, 2009). Beberapa hasil studi menyatakan bahwa:

1). penambahan material filler khususnya limestone kemampuan kinetis material

akan meningkat, waktu dormant berkurang dan proses hidrasi dalam satu jam

akan mengalami percepatan.

2). partikel-partikel filler bertindak sebagai sites dari nukleasi heterogen untuk

pengendapan lebih atau kurang dari hasil hidrasi yang terkristalisasi, dalam proses

ini hidrasi dapat dipercepat (Judarta Vera Indrawati, 2009).

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 38: D2054-Moh Azhar.pdf

24

Universitas Indonesia

2.3. Abu Sekam Padi (ASP) atau Rice Husk Ask (RHA)

Abu sekam padi dibuat dengan membakar sekam padi dalam tungku suhu

terkontrol untuk mendapatkan bahan pozzolan dengan kandungan tinggi silika

amorf dan jumlah minimum karbon yang tidak terbakar. Umumnya kondisi

pembakaran optimum adalah 500 0C selama 2 jam (AL-Khalaf, M.N., dan Yousif,

H.A., 1984). Sebuah pabrik penggilingan dilakukan penggilingan RHA untuk

jangka waktu 15 jam untuk masing-masing 0,5 kg RHA.

RHA sebagai material tambahan campuran beton memiliki kemampuan

untuk mengurangi kerusakan (cacat) dan segresi, dapat meningkatkan unjuk kerja

secara signifikan (Mehta, P. K., 1983), hal ini terutama disebabkan oleh luas

permukaan RHA yang besar di kisaran 50 sampai 60 m2/g (Mehta, P. K.,1992).

Juga memberikan kontribusi terhadap kekuatan beton komposit pada usia awal 1

dan 3 hari, juga bertindak sebagai akselerator dalam membangun kekuatan.

Sampai dengan 70 persen pengganti semen portland telah dilaporkan tanpa efek

yang merugikan pada kekuatan, 10 sampai 20% pengganti semen bahkan

menunjukkan efek yang menguntungkan pada kekuatan dan peningkatan yang

luar biasa dalam karakteristik permeabilitas klorida dan sifat ketahanan lainnya

dari beton. Juga, semen portland dicampur RHA sebanyak 10% telah terbukti

cukup efektif dalam memerangi ekspansi akibat reaksi alkali agregat. Melalui efek

mengisi pori-pori dan reaksi pozzolanik dari RHA karena luas permukaan yang

tinggi dan struktur selular, permeabilitas beton dapat dikurangi secara signifikan

(Chao Lung Hwang dan Satish Chandra, 1997).

Penambahan pozzolan dapat meningkatkan sifat-sifat dari beton dengan

memodifikasi mikro dan makro-struktur pasta semen. Efek menguntungkan

langsung dari partikel RHA halus dan seluler pada cacat karakteristik dan

pemisahan campuran beton adalah karena kemampuan adsorpsi air besar, luas

permukaan internal yang tinggi, serta partikel mikroporous dan amorf.

Sifat abu sekam padi dapat dilihat pada Gambar 2.11 (Hwang, C. L., and Wu, D.

S., 1989). Penurunan kerusakan dalam zona transisi kuat antara materi padat dan

pasta semen. Hal ini akan menyebabkan beton kedap air yang lebih dan tahan

lama.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 39: D2054-Moh Azhar.pdf

25

Universitas Indonesia

Gambar 2.11 Mikrograf SEM RHA dibakar pada temperatur yang berbeda,

Hwang dan Wu (Hwang, C. L., and Wu, D. S., 1989).

Penambahan sejumlah abu sekam padi mikroporous mengadsorpsi

sebagian besar air yang mengelilingi zat padat, menghasilkan air yang berkurang

untuk rasio pengikat dan menyempurnakan struktur pori. Ini akibatnya

mengurangi permeabilitas beton untuk penetrasi klorida seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 2.6 (Mehta, P. K.,1992). Telah ditemukan bahwa permeabilitas

berkurang secara signifikan setelah 28 hari untuk pencampuran pasta semen

dengan abu sekam padi 10, 20 atau 30 persen (Mehta, P. K.,1992). Permeabilitas

dari pasta semen dengan abu sekam padi diyakini berada di kisaran 1x10-11

cm /

detik.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 40: D2054-Moh Azhar.pdf

26

Universitas Indonesia

Tabel 2.6. Proporsi campuran dan Properties dari RHA pada Beton. Diadaptasi

dari Mehta (Mehta, P. K.,1992).

Mix

No

RHA

(%)

Mix Proportion, kg/m3 Fresh Proporties Compressive strength,

MPa Permeability Coulumbs

C RHA C.A F.A W W/B W/C Air

%

Slump

mm 3-d

7-d

28

-d

1-y

r

28-d 1-yr

1 a 0 392 - 1062 786 128 0.33 0.33 1 200 45 56 65 80 3500 2200

b 9 356 36 1062 786 128 0.36 0.36 1.5 225 42 56 77 86 1260 420

2 a 0 410 - 1044 786 128 0.31 0.31 1 240 47 60 66 80 3260 2200

b 13 356 54 1044 786 128 0.36 0.36 1.5 175 45 60 80 92 870 250

3 a 0 428 - 1026 786 128 0.3 0.3 1.5 225 47 62 70 81 3000 1800

b 17 356 72 1026 786 128 0.3 0.36 1.5 200 46 65 80 92 390 190

All mixtures contained a constant amount of a superplasticizer in order to obtain high consistency.

Coulumbs passed in a 6 hours standard test (AASHTO T-277), based on FHWA Report No. RD-81/119, Aug. 1981.

Penambahan bahan pozzolanik dapat mempengaruhi baik kekuatan dan

permeabilitas dengan memperkuat antar muka (interface) agregat - pasta semen

dan dengan memblokir pori besar di pasta semen terhidrasi melalui reaksi

pozzolanik. Fenomena ini ditunjukkan pada Gambar 2.12. Hal ini diketahui bahwa

reaksi pozzolanik memodifikasi pori-struktur. Hasilnya terbentuk karena reaksi

pozzolanik menempati ruang kosong dalam struktur pori, yang dengan demikian

menjadi padat. Porositas pasta semen berkurang, dan kemudian, pori-pori yang

mengecil. Mehta (Mehta, P. K.,1992) telah menunjukkan penurunan yang

signifikan dalam porositas pasta semen dengan penambahan RHA dan perbaikan

dalam struktur pori.

Gambar 2.12 Mekanisme mengisi kekosongan dan efek transisi zona

Penguatan RHA (Mehta, P. K.,1992)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 41: D2054-Moh Azhar.pdf

27

Universitas Indonesia

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Rosario Madrid, dkk (2012)

ditampilkan pada Gambar 2.13 yang memperlihatkan mikrograf SEM dari sampel

abu sekam padi yang diperoleh, menunjukkan morfologi permukaan sangat

berpori, dengan luas permukaan yang tinggi . Hal ini tampaknya cukup untuk

aplikasi tertentu seperti bahan keramik khusus, dukungan katalis atau bahan

bangunan (Rosario Madrid, dkk, 2012).

Identifikasi fasa dalam RHA diperoleh dengan XRD (Gambar 2.14).

Polanya berupa baris yang sangat luas dan tidak ada puncak, didefinisikan karena

kristalinitas yang ditemui. Juga mewakili posisi teoritis dari reflexions utama dari

fasa kristobalit (SiO2) dan grafit (C) dan tidak ada puncak ditemukan di posisi ini .

Hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa abu yang dihasilkan memiliki struktur

amorph.

Gambar 2.13 Fotomikro SEM dari sampel RHA (Rosario Madrid, dkk,

2012)

Gambar 2.14 Pola XRD dari sampel RHA (radiasi Cu - Kα) (Rosario

Madrid, dkk, 2012)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 42: D2054-Moh Azhar.pdf

28

Universitas Indonesia

Silikon karbida (SiC), juga dikenal sebagai carborundum , adalah senyawa

silikon dan karbon dengan rumus kimia SiC. Hal ini terjadi di alam sebagai

Moissanite mineral sangat langka. Butir-butir SiC dapat terikat bersama oleh

sintering untuk membentuk keramik sangat keras yang banyak digunakan dalam

aplikasi yang memerlukan daya tahan tinggi, seperti rem mobil, kopling mobil

dan piring keramik di rompi anti peluru . SiC dengan luas permukaan yang tinggi

dapat dihasilkan dari SiO2 yang terkandung di bahan sekam padi (X. Zhang, H.

Wang, M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater, 2001). SiC berguna untuk

struktur material pada suhu tinggi, karena kekerasan yang tinggi, ketahanan

oksidasi yang tinggi, juga baik terhadap resistensi thermal kejut. Produksi keramik

kepadatan tinggi oleh sintering solid state sulit karena sifat kovalen yang kuat dari

Si - C obligasi. Sintering solid state SiC dapat dilakukan pada suhu tinggi hingga

2200 0C.

Karena kelangkaan Moissanite alami, SiC biasanya buatan manusia yang

paling sering digunakan sebagai abrasif, dan baru-baru ini sebagai semikonduktor

dan berlian tiruan kualitas permata. Proses manufaktur yang paling sederhana

adalah untuk menggabungkan pasir silika dan karbon di Acheson grafit tungku

listrik pada suhu tinggi, antara 1600 dan 2500 0C (T.D. Shen, C.C. Koch, Acta

Mater, 1996). Partikel SiO2 baik dalam bahan tanaman (misalnya sekam padi)

dapat dikonversi ke SiC dengan pemanasan dalam kelebihan karbon dari bahan

organik. Bahan sekelas ini yang sangat dianjurkan dalam aplikasi yang melibatkan

lingkungan yang sangat agresif memerlukan ketahanan terhadap korosi dan suhu

yang tinggi (yaitu lebih dari 900 °C). Selain karena kekerasan tinggi dan modulus

elastisitas yang relatif tinggi. SiC terdepan di antara berbagai keramik non-oksida

untuk Aplikasi komersial, SiC umumnya diproduksi dalam skala besar baik untuk

digunakan sebagai abrasif atau sebagai keramik kinerja tinggi untuk aplikasi

semikonduktor. Serbuk SiC dapat diproduksi dalam tiga cara utama yaitu pirolisis

senyawa silan, karbonisasi langsung logam Si, dan pengurangan carbothermal

SiO2.

Metode pertama , yang disebut Deposisi uap kimia dari silan, mahal dan

berbahaya bagi sifat prekursor digunakan, sementara karbonisasi yang

menggunakan logam Si sangat tinggi biaya sumber silikon. Kedua metode

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 43: D2054-Moh Azhar.pdf

29

Universitas Indonesia

menghasilkan kemurnian tinggi SiC bubuk untuk aplikasi teknis tertentu dan

digunakan untuk bahan komposit ( yaitu Carbon Serat ) infiltrasi. Metode ketiga

adalah yang termurah, mulai dari yang murah silikon dioksida dan karbon (atau

sumber karbon ) yang biasanya bereaksi pada suhu berkisar antara 1400-2100 0C

untuk memberikan SiC.

Hadirnya oksigen dalam inti elemen bertanggung jawab untuk puncak intens

SiC selama pembentukan. Sekali lagi ukuran kristal meningkat dengan

peningkatan Suhu terutama karena aglomerasi. Analisis fasa SiC telah dihasilkan

dari sekam padi. Angka-angka di bawah ini merupakan hasil uji SiC dengan XRD

sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.15. Dalam pola SiC semua puncaknya

tajam, yakni mewakili SiC dalam bentuk kristal dan ukuran kristal telah dihitung

dengan bantuan modifikasi Rumus Scherrer dan ukuran kristal ditemukan pada

kisaran 118 nm – 50 nm. Selama tahap analisis, ditemukan bahwa semua puncak

tajam adalah SiC (Rosario Madrid, C. A. Nogueira and F. Margarido, 2012)

Gambar 2.15 Pola XRD SiC dari Sekam Padi (Rosario Madrid, C. A. Nogueira

and F. Margarido, 2012)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 44: D2054-Moh Azhar.pdf

30

Universitas Indonesia

2.4. Batu Apung (BA) atau Pumice

Batu apung atau pumice telah digunakan selama berabad-abad oleh manusia.

Agregat batu apung dapat ditemukan di banyak tempat di seluruh dunia di mana

gunung berapi berada. Dewasa ini batu apung sebagai agregat telah banyak

digunakan dan dikembangkan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan beton

ringan, dikarenakan sifatnya yang tangguh dan memiliki daya tahan yang baik

sampai dengan 2000 tahun. Oleh sebab itulah agregat batu apung digunakan

secara meluas dalam industri sipil sebagai materi konstruksi bangunan.

Peningkatan pemanfaatan bahan ringan dalam aplikasi struktur bangunan sipil

yang menyebabkan batu apung menjadi sangat populer untuk bahan baku batu

bata ringan. Kemampuan batu apung salah satunya adalah dibuat produk yang

berbeda-beda baik berdasarkan sifat fisik, kimia dan sifat mekanik. Batu apung

yang digunakan sebagai agregat ringan alami ini memiliki porositas tinggi dan

bobot bulk density yang rendah, sehingga diaplikasikan dalam produksi beton

kekuatan rendah seperti batu-bata untuk tujuan tertentu.

Karakteristik LWC secara umum tergantung kepada kadar air agregat

sebelum pencampuran. Kandungan air yang berlebihan menyebabkan kurangnya

daya rekat antara agregat dan mortar, Sebaliknya kandungan air kurang

menyebabkan agregat menyerap sebagian dari air mortar, sehingga menyebabkan

semen sub-hidrasi dan konskwensinya perubahan kapasitas dari adukan beton.

Kedua kasus diatas mengakibatkan sifat ketahanannya rendah dibandingkan

ketika agregat direndam yang cukup sesaat sebelum persiapan adukan beton.

Agregat pumice yang akan digunakan harusnya direndam dalam air selama 30

menit sebelum dicampur sehingga agregat pumice tidak menyerap air lagi pada

saat dicampur (Gunduz, 2005).

Agregat batu apung yang dikombinasikan dengan Portland semen dan air

menghasilkan LWC tahan panas, kedap suara, dan tahan api untuk dek atap,

sebagai pengisi lantai ringan, isolasi dek lantai struktural, tirai sistem dinding,

blok agregat batu apung dan beragam aplikasi lain untuk isolasi permanen

(Brown dan Skinner, 1990; Failla dkk, 1997; Neville, 1996). Pada batu apung

blok beton ringan atau Pumice Lightweight Concrete Block (PLWCB) yang dibuat

dari campuran agregat batu apung, semen dan air telah diaplikasikan dalam

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 45: D2054-Moh Azhar.pdf

31

Universitas Indonesia

konstruksi non-beban dinding pengisi bantalan dan lempengan. Penggunaan

PLWCB pada sebuah struktur bangunan telah terbukti mungarangi beban mati

pada setruktur bangunan tersebut, dan dalam proses produksinya kepadatan atau

densitasnya dapat dibuat antara 400 kg/m3

sampai 1300 kg/m3.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hanifi Binici (2007) untuk mempelajari

tentang penggunaan limbah industri keramik dan agregat batu apung untuk LWC

dilihat dari sifat kekuatan tekannya. Pada penelitian ini digunakan Portland cemen

ASTM Type I (PC 42,5 MPa), agregat dari batu kali yang kering dan bersih

dengan ukuran maksimum 16 mm, crushed ceramic (CC) dari limbah industri,

dan crused basaltic pumice (CBP). Sifat kimia dan fisik material yang digunakan

dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Sifat kimia dan fisik material yang digunakan pada LWC (Hanifi

Binici, 2007)

Materials Oxides (%)

SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO SO3 LOI

Pc 42,5 19,4 5,5 3,9 63,4 1,8 2,0 -

CC 88,4 7,3 0,5 0,1 0,1 - 0,4

CBP 63,9 15,6 6,3 2,3 2,1 3,2 1,6

Specific Gravity Specific surface Fineness (retained on Vicat time of Compressive strength

(kg/m3) (m3/kg) 90-μm sieve) setting (min) (MPa)

3180 345 8,2 Initial Final 3day 7day 28day

115 200 34,2 37,3 48,6

Terlihat dari Tabel 2.7 diatas bahwa pada material PC 42.5 senyawa yang

dominan adalah CaO, sedangkan senyawa SiO2 lebih kecil. Pada material CC dan

CBP senyawa yang dominan adalah SiO2 dan Al2O3 dengan jumlah yang tidak

besar. Sedangkan Kuat Tekan bertambah besar dengan bertambahnya periode

waktu reaksi.

Untuk sifat fisik pada batu kali sebagai agregat yang digunakan pada

penelitian Hanifi Binici ditampilkan pada Tabel 2.8, sedangkan untuk CC dan

CBP ditampilkan pada Tabel 2.9.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 46: D2054-Moh Azhar.pdf

32

Universitas Indonesia

Tabel 2.8. sifat fisik dari batu kali sebagai agregat (Hanifi Binici, 2007)

Property Fine aggregate Coarse aggregate

Specific gravity (kg/m3) 2,65 2,7

Fineness modulus 2,68 -

Water absorption 24 h (%) 0,75 1,24

Void (%) 46,20 44,25

Maximum size 4 16

Bulk density (kg/m3) 1695 1627

Abrasion value (%) - 26

Soundness test: weight loss - 7,1

after 30 cycles (%)

Tabel 2.9. Sifat fisik dari crushed ceramic (CC) dan crused basaltic pumice

(CBP) (Hanifi Binici, 2007)

Property CC CBP

Specific gravity (kg/m3) 2,44 2,71

Fineness modulus 2,68 3,46

Water absorption 24 h (%) 0,71 0,88

Void (%) 44,2 64,2

Maximum size 4 4

Bulk density (kg/m3) 1395 1401

Abrasion value (%) 28 35

Soundness test: weight loss after 30 cycles (%) 4,2 7,1

Dari kedua Tabel 2.8 dan Tabel 2.9 diatas memperlihatkan bahwa nilai

Specific gravity terkecil didapat dari material CC yaitu sebesar 2,44 kg/m3

kemudian berturut-turut naik nilainya untuk batu kali (Fine aggregate sebesar

2,65 kg/m3 dan Coarse aggregate 2,7 kg/m

3) serta yang paling besar adalah

material CBP sebesar 2,71 kg/m3. Sedangkan Fineness modulus pada Fine

aggregate dan material CC memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 2,68, nilai

terbesar terdapat pada material CBP sebesar 3,46.

Dari hasil penelitian Hanifi Binici (2007) didapatkan grafik kekuatan tekan

pada beberapa variasi sampel yang digunakan terhadap waktu pengerasan yang

ditampilkan pada Gambar 2.16.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 47: D2054-Moh Azhar.pdf

33

Universitas Indonesia

Gambar 2.16. Kekuatan tekan pada campuran beton terhadap waktu

pengerasan (Hanifi Binici, 2007)

Dari Gambar 2.16 pada penelitian ini terlihat bahwa pada sampel M3

dimana kandungan CC (60%) memiliki kekuatan tekan yang paling tinggi (± 55

MPa) dibandingkan dengan sampel M6 (60% CBP) yang hanya memiliki

kekuatan tekan ± 37 MPa. Untuk material CBP yang terbesar adalah pada sampel

M5 (50% CBP) dengan kekuatan tekan sebesar ± 42 MPa. Sedangkan sampel M0

(0% replacement) memiliki kuat tekan paling kecil yaitu sebesar ± 33 MPa.

Penggunaan CBP dalam campuran untuk pembuatan LWC ini perlu

dikombinasikan lagi, baik peningkatan persentase CBP maupun dengan

kombinasi jenis agregat yang lain, sehingga nilai kekuatan tekannya dapat lebih

meningkat (Hanifi Binici, 2007).

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) dalam laporan penelitian

menjelaskan bahwa bahan semen lengkap adalah bahan yang menyediakan bahan

mikro-substrat atau memiliki efek katalitik untuk bahan semen lainnya. Batu

apung dapat dikarakterisasi dengan menganalisis sifat kimia dan fisika, kinetika

hidrasi dan sifat beton campuran yang mengandung batu apung. Lima kombinasi

campuran beton dengan batu apung dicampur dengan Tipe II / V diperiksa.

Campuran kontrol dengan 100% semen, tiga campuran dengan 20% semen

digantikan oleh DS200, DS325 dan Ultrafine dan ketika campuran 30% maka

simbolnya adalah DS325.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 48: D2054-Moh Azhar.pdf

34

Universitas Indonesia

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa batu apung

memiliki kandungan mineral yang berbeda di dalam setiap campuran yang dibuat.

Hasil difraksi sinar X menginformasikan bahwa batu apung merupakan jenis

amorf yang memiliki kualitas berbeda dengan semen murni. Sementara dari uji

fluoresensi sinar X (XRF), komposisi kimiawi dari batu apung dan semen

bervariasi bergantung pada kualitasnya. Tabel 2.10 adalah tabel komposisi

kimiawi dari berbagai tipe campuran batu apung dan semen.

Analisis kimia menunjukkan bahwa komponen dominan dari batu apung

adalah silika (70%) sedangkan semen memiliki kalsium oksida (62%). ASTM C

618 mengklasifikasikan batu apung sebagai pozzolan Kelas N (untuk pozzolan

alam mentah atau dikalsinasi) jika memenuhi persyaratan fisik dan kimia tertentu.

Kelas N pozzolan harus memiliki minimal SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 isi 70%, batu

apung memiliki sekitar 80% dari bahan-bahan tersebut. Kehadiran senyawa

mengandung silika dan alumina jelas dari bahan kimia.

Berdasarkan hasil analisis kimia tersebut jelas bahwa semua nilai dari batu

apung yang terdiri dari kurang lebih sama persentase elemen hanya berbeda dalam

ukuran partikel, yang dapat disimpulkan dari analisis distribusi ukuran partikel

dan pemindaian mikroskop elektron. Dari Tabel 2.10, dapat disimpulkan bahwa

batu apung memiliki silika yang sangat tinggi, kalsium sangat rendah, alumina

dan alkali lebih tinggi dibandingkan dengan jenis semen II.

Tabel 2.10. Hasil uji XRF dari berbagai tipe campuran batu apung

dan semen (Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky, 2012)

Type II DS200 DS325 Ultrafine

SiO2 20.67 69.09 69.16 69.75

Al2O3 3.97 10.63 10.79 11.18

Fe2O3 3.65 1.01 1 1.04

CaO 63.57 0.93 0.93 0.97

MgO 1.55 0.09 0.16 0.25

SO3 2.81 -0.04 -0.04 -0.04

Na2O 0.06 2.49 2.13 2.34

K2O 0.72 4.77 5.08 4.79

Cl 0.018 Nil Nil Nil

Total 98.43 89.12 89.33 90.42

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 49: D2054-Moh Azhar.pdf

35

Universitas Indonesia

Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky juga melaporkan bahwa jenis ultrafine

memiliki tingkat kehalusan yang unggul sementara yang paling kasar adalah jenis

DS200. Jenis ultrafine memiliki tingkat kehalusan empat kali lebih baik

dibandingkan jenis semen portland.

Bahan semen menghasilkan panas melalui reaksi hidrasi eksotermik.

Kinetika reaksi pozzolan dan semen dapat diukur dengan konduksi panas

isotermal kalorimeter. Sebuah kalorimeter konduksi digunakan untuk

menganalisis 8 batu apung yang dikombinasikan dengan semen. 8 kombinasi yang

digunakan adalah 100% semen portland ASTM Tipe II / V; 20 dan 30% DS200;

10, 20, 30% DS325; 20 dan 30% batu apung halus. Masing masing tes dilakukan

pada 21 0C (70

0F) selama 30 hari, dan kombinasi yang dilakukan mengacu pada

massa batu apung yang digunakan.

Gambar 2.17 menunjukkan aliran panas delapan kombinasi selama tujuh

puluh lima jam pertama dan Gambar 2.18 menunjukan aliran panas antara 75-225

jam pada 70 0F. 100% campuran semen menghasilkan panas lebih dibandingkan

dengan campuran yang mengandung batu apung. Dengan meningkatnya konten

pozzolanik, puncak utama aliran panas berkurang. Tergantung pada nilai dari batu

apung, ketinggian puncak utama bervariasi untuk kombinasi persentase yang sama

dari semen dan bahan pozzolan. 70% semen dan 30% DS200 & DS325

menghasilkan aliran panas terendah masing-masing diantara 8 campuran

sedangkan 70% semen dan 30% yang ultrafine menghasilkan panas sebanding

dengan 80% semen dan 20% DS200 & DS325 campuran. 90% semen dan 10%

DS325 menghasilkan aliran panas sebanding dengan 80% semen dan 20% yang

ultrafine. Itu pengujian kalorimeter menunjukkan bahwa ada aktivitas pozzolanik

terbatas 100 jam pertama untuk DS200 atau DS325. Namun ultrafine berdampak

pada karakteristik hidrasi usia dini dan jelas menghasilkan hidrasi lebih daripada

semen portland yang tersisa. Gambar 2.18 menunjukkan bahwa setelah 100 jam,

hidrasi campuran semen 100% mulai menurun sedangkan untuk campuran batu

apung yang mengandung hidrat lebih dari reaksi semen portland. Hal ini

menunjukkan reaksi pozzolan dan efek lengkap nilai yang berbeda dari batu

apung.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 50: D2054-Moh Azhar.pdf

36

Universitas Indonesia

Gambar 2.17. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75

jam pertama (Uma Ramasamy dkk, 2012)

Gambar 2.18. Aliran panas untuk kombinasi campuran yang berbeda selama 75-

225 jam (Uma Ramasamy dkk, 2012)

Peneliti bernama Sancak (E. Sancak, 1998). menggunakan serat baja dengan

rasio 0%, 0,5%, dan 1% volume pada beton agregat ringan batu apung dengan 300

kg/m3 isi semen Portland. Dia menggunakan batu apung sebagai agregat kasar

dalam eksperimennya, melaporkan bahwa kuat tekan spesimen adalah 11, 17, dan

13 MPa, densitas sebesar 1.835, 1.860 dan 1.742 kg/m3. Peningkatan kadar serat

umumnya mengakibatkan penurunan kuat tekan karena penurunan kemampuan

kerja beton. Polymer Lightweight Concrete (PLC) dalam penelitian ini memiliki

nilai kuat tekan dua kali lebih besar pada umur 7-28 hari bila dibandingkan

dengan beton ringan normal atau Normal Lightweight Concrete (NLC) dengan

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 51: D2054-Moh Azhar.pdf

37

Universitas Indonesia

batu apung di dosis 300 kg/m3 (E. Sancak, 1998). Peningkatan kuat tekan PLC

bila dibandingkan dengan NLC terutama tergantung pada kekuatan yang

didapatkan dari epoxy resin (pengikat) sebagai pengeras dan suhu. Pada tahap

pertama dari polimerisasi (yaitu, proses curing), epoxy resin biasanya dalam

keadaan cair. Setelah suhu reaksi tercapai, keadaan fisik senyawa perubahan tiba-

tiba dari cairan menjadi gel dan reaksi silang melambat (G. Martinez-Barrera,

dkk, 2011). Gambar 2.19 struktur berpori setengah terbuka agregat batu apung

sebagian besar dipengaruhi peningkatan kuat tekan dengan meningkatkan kwalitas

epoxy sebagai bahan pengikat dengan agregat. Juga terlihat permukaan sampel

terdapat pori dengan berbagai bentuk dan ukuran bervariasi dengan kerapatan

jumlah yang cukup besar, ini memperlihatkan rendahnya densitas batu apung.

Di sisi lain, karena struktur permukaan setengah terbuka batu apung, semen

portland membutuhkan bahan lebih sebagai epoxy resin dibandingkan dengan

semen portland dengan agregat normal (Tayfun Uygunoglu, dkk, 2013). Tujuan

yang paling penting dari menggunakan beton ringan adalah untuk mengambil

keuntungan dari kepadatannya yang rendah untuk menurunkan beban mati

struktur.

Gambar 2.19 Mikrostruktur dari agregat batu apung (Tayfun Uygunoglu,

dkk, 2013)

Dari hasil rangkuman teoritikal maupun hasil-hasil penelitian yang telah

dilakukan terdahulu pada bab ini, maka dapat dikatakan untuk penelitian dengan

bahan tambah berupa ASP dan BA pada beton ringan dengan komposisi PCC :

Pasir : ASP : BA serta dengan nilai Slump tertentu sesuai dengan rencana dapat

dilaksanakan dan dilanjutkan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 52: D2054-Moh Azhar.pdf

38

Universitas Indonesia

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk mempemudah dalam melakukan penelitian ini dibuat suatu metode

yang akan dilakukan selama proses penelitian berupa pengumpulan material,

preparasi sampel, penyiapan alat-alat, pemeriksaan dan pengujian sampel

sehingga diperoleh data-data hasil yang akan digunakan pada analisa pada bab

selanjutnya.

3.1. Bagan Penelitian

Dasar penelitian dilakukan malalui dua tahap. Pada tahap 1 dilakukan

pengambilan dan pengumpulan bahan-bahan seperti Portland Cement Composite

(PCC), pasir, batu apung (BA), abu sekam padi (ASP), dan air untuk dilakukan uji

fisik, dan preparasi sampel berupa pembuatan kubus beton. Masing-masing

tahapan ini memiliki target pencapaian, pada tahap 1 antara lain untuk

mendapatkan perbandingan yang ideal antara PCC, pasir, BA, ASP, dan air.

Sedangkan pada tahap 2 adalah untuk mendapatkan nilai Slump optimal setelah

diperoleh variasi perbandingan yang ideal pada tahap sebelumnya.

Proses pembuatan pasta semen portland komposit ini dimulai dengan

mempersiapkan variasi komposisi bahan yang terdiri dari semen, agregat halus,

air, abu sekam padi, dan batu apung sebagai agregat kasar. Abu sekam padi

berasal dari proses sisa bahan bakar pembakaran batu bata yang lolos saringan

no.200. Sedangkan batu apung diolah dengan mesin pemecah batu menjadi

agregat kasar. Kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap agregat kasar dan halus

untuk mengetahui karakteristik masing-masing agregat. Setelah itu dilakukan

perhitungan mix design berdasarkan rencana penelitian.

Standar yang digunakan dalam pengujian fisik material beton ringan

diambil dari standar ASTM. Sedangkan metode perhitungan mix design yang

digunakan adalah perhitungan adukan beton berdasarkan pada perbandingan berat

dan penggunaan agregat dalam keadaan kering permukaan dan jenuh dibagian

dalamnya (Saturated Surface Dry = SSD).

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 53: D2054-Moh Azhar.pdf

39

Universitas Indonesia

Pada tahap 2 ini fokus penelitian dilakukan untuk mendapatkan nilai

Slump yang optimal setelah didapatkan perbandingan campuran yang ideal pada

tahap 1, sedangkan diagram alir penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar

3.1 berikut ini

Gambar 3.1 Alur Penelitian

START

TT

Persiapan bahan: PCC,

Pasir, ASP, BA, air

Semen ASP, Ayakan No 200 BA Air

Slump Test

Mix Design

Uji Densitas, Kuat Tekan, SEM, XRD

Sampel kubus

Pembahasan

KESIMPULAN

Slump (cm) 5, 8, 11, 14

Pasir

Uji ,SEM, XRD, XRF, EDX

Uji fisik: Analisa saringan,

kadar lumpur, densitas, kadar

air, penyerapan air

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 54: D2054-Moh Azhar.pdf

40

Universitas Indonesia

Adapun pembagian besarnya diameter agregat akan dilakukan dengan

pengayakan melalui saringan menurut ASTM C125-92, agregat kasar batu apung

adalah porsi dari agregat yang lewat saringan 9,5 mm dan tertahan pada saringan

4,75 mm (saringan No.4 standar ASTM), sedangkan agregat halus adalah agregat

yang hampir seluruhnya melewati saringan 4,75 mm (saringan No.4 standar

ASTM) dan tertahan pada ayakan 75 μm (No. 200).

Setelah diperoleh perbandingan yang ideal pada tahap 1, maka pada tahap 2

selanjutnya dilakukan campuran beton ringan dengan variasi nilai Slump yang

berbeda untuk mendapatkan nilai perbandingan terbesar antara Kuat Tekan Beton

terhadap densitas beton ringan pada nilai slump optimal. Selanjutnya pada beton

ringan berupa kubus dilakukan pengujian kuat tekan, densitas, dan SEM pada

umur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.

3.2. Alat, Bahan Penelitian dan Bentuk Spesimen

Dalam penelitian ini digunakan beberapa alat dan bahan abis pakai yang

diperlukan selama proses persiapan material hingga pada proses uji karakterisasi,

sedangkan bentuk specimen berupa kubus dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm.

3.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan sebagai penunjang terjadinya proses pembuatan dan

memperoleh data diantaranya adalah: a) Timbangan digital yang digunakan untuk

menimbang material beton ringan seperti semen, pasir, abu sekam padi, batu

apung, air, dan kubus beton. b) Saringan atau ayakan untuk memilah besarnya

komopsisi gradasi pasir dan batu apung. c) Los Angeles Machine adalah mesin

pemecah batu sehingga berbentuk split. d) Molen (Mixer) ukuran 0.10 m3 untuk

mengaduk pasta beton. e) Cetakan spesimen berbentuk kubus ukuran 15 x 15 x 15

cm yang terbuat dari bahan baja dengan ketebalan 10 mm fungsinya untuk

mencetak adukan beton ringan. f) Tongkat besi ukuran panjang 600 mm diameter

16 mm yang digunakan untuk mengaduk dan memadatkan adukan beton setelah

dituangkan kedalam cetakan. g) Kerucut abram dan Alat pengukur tinggi slump

yang bersekala untuk mengukur besarnya ketinggian slump setelah dilakukan

pencampuran material beton dalam molen. h) Mesin Uji Kuat Tekan Beton

(Compressive Strength Machine) fungsinya untuk pengujian tekan kubus beton.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 55: D2054-Moh Azhar.pdf

41

Universitas Indonesia

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan habis pakai yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah:

a) Semen Type I yang beredar umum dimasyarakat yaitu Portland Cement

Composite. b) Agregat halus pasir silika yang umumnya diambil dari daerah

Bangka. c) Abu sekam padi sebagai filer diperoleh dari hasil sisa pembakaran

industri genteng dan bata merah didaerah Cianjur. d) Batu apung sebagai agregat

kasar yang diambil dari daerah Sukabumi. Dan terakhir adalah: e) air.

3.2.3. Bentuk Spesimen

Dalam penelitian ini spesimen atau sampel sebagian dalam bentuk padat

(bulk), berbentuk kubus dengan dimensi 15 x 15 x 15 cm, sebagian dalam bentuk

serbuk, serta bentuk adonan beton segar, adapun bentuk spesimen benda uji

sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.2 berikut ini.

15

15

15

Gambar 3.2. Bentuk specimen uji

Sampel berbentuk adonan beton cair untuk uji slump setelah dilakukan

pengadukan dalam molen dalam waktu kurang lebih 30 menit, dalam bentuk

serbuk dan padat untuk uji SEM, EDAX, XRF, dan XRD, sedangkan dalam

bentuk kubus digunakan untuk pengujian kuat tekan beton pada umur 3, 7, 14, 21,

dan 28 hari setelah perendaman.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 56: D2054-Moh Azhar.pdf

42

Universitas Indonesia

3.3. Rencana Adukan Beton

Ada 2 tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu mencari

komposisi material beton ringan yang menghasilkan perbandingan kuat tekan

terhadap densitas terbesar dengan variasi jumlah material pembentuk beton yang

dikombinasikan. Tahap berikutnya adalah melakukan variasi nilai Slump pada

beton yang terpilih pada tahap pertama.

3.3.1. Rencana Adukan Beton Tahap 1

Mix design yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan variasi BA

yang berbeda sebanyak lebih dari 7 kali, tapi yang akan ditampilkan pada

penulisan ini hanya 7 data saja yang dianggap mewakili dari keseluruhannya,

adapun mix proportion PCC, pasir, BA, ASP, dan air seperti pada Tabel 3.1

berikut:

Tabel 3.1. Proporsi Campuran PCC, pasir, BA, ASP, dan air

No Kubus PCC Pasir BA ASP Air (w/c)

1 1,00 1,00 1,00 0,05 0,50

2 1,00 1,00 0,90 0,05 0,50

3 1,00 1,00 0,80 0,05 0,50

4 1,00 1,00 0,70 0,05 0,50

5 1,00 1,00 0,60 0,05 0,50

6 1,00 1,00 0,50 0,05 0,50

7 1,00 1,00 0,40 0,05 0,50

Kemudian dilakukan Slump test pada beton cair, setelah itu dibuatkan

kubus beton dengan ukuran 15 x 15 x 15 cm, setelah 24 jam kubus beton dibuka

dari cetakannya, kemudian kubus ini direndam dalam air dan dilakukan

Compressive Strength Test pada umur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.

3.3.2. Rencana Adukan Beton Tahap 2

Dari hasil uji tahap 1 dipilih nilai terbesar dari hasil perbandingan antara kuat

tekan terhadap densitas, yang akan digunakan pada tahap lanjutan dengan

menggunakan BA sebesar 50% dari PCC, dengan demikian komposisi adukan

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 57: D2054-Moh Azhar.pdf

43

Universitas Indonesia

beton yang akan dipakai pada tahap 2 ini adalah sebagai berikut PCC : Pasir : BA

: ASP = 1,00 : 1,00 : 0,5 : 0,05, adapun variasi volume pemakaian air disesuaikan

dengan besarnya nilai Slump seperti ditampilkan pada Tabel 3.2, hal ini dilakukan

untuk mendapatkan nilai perbandingan kuat tekan terhadap densitas terbesar pada

nilai Slump yang optimal.

Tabel 3.2. Proporsi Campuran PCC, pasir, BA, ASP, Slump dan w/c

No Kubus PCC Pasir BA ASP Slump (cm) Rasio w/c

8 1,00 1,00 0,50 0,05 5 0,40

9 1,00 1,00 0,50 0,05 8 0,46

10 1,00 1,00 0,50 0,05 11 0,52

111 1,00 1,00 0,50 0,05 14 0,58

Pada tahap 2 ini dilakukan Uji SEM, EDAX, XRF, dan XRD pada Abu

Sekam Padi, dan Batu Apung, sedangkan pada kubus beton ringan dilakukan lagi

Uji densitas, kuat tekan, SEM, dan XRD. pada umur 3, 7,14, 21, dan 28 hari.

3.4. Prosedur Penelitian

Mula-mula yang dikerjakan pada prosedur penelitian ini adalah melakukan

pengambilan dan pengumpulan material-material pembentuk beton ringan seperti

semen, air, pasir, dan batu apung. Berikutnya adalah pengujian fisik pasir, batu

apung, dan abu sekam padi untuk mendapatkan besarnya nilai densitas, derajat

kehalusan, dan penyerapan air. Adapun batu apung dan abu sekam padi dilakukan

uji SEM, XRD, XRF, dan EDAX. Selanjutnya dilakukan persiapan pembuatan

adukan beton dengan mengacu pada perbandingan berat sesuai dengan rencana

penelitian tahap 1 yaitu dengan melakukan variasi jumlah batu apung yang

berbeda terhadap persentase berat semen. Langkah berikutnya melakukan

pengadukan beton ringan dalam molen dan diteruskan dengan pembuatan kubus

beton. Pada adonan beton segar dilakukan pengujian Workability untuk

mendapatkan nilai slump. Pada beton keras yaitu berupa Kubus beton dilakukan

uji kuat tekan, dan densitas setelah berumur 3, 7, 14, 21, dan 28 hari.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 58: D2054-Moh Azhar.pdf

44

Universitas Indonesia

3.4.1. Pemeriksaan Air

Dalam pembuatan beton, air diperlukan untuk memicu proses kimiawi

semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton,

kelebihan air akan mengakibatkan beton menjadi bleeding, yaitu air bersama-

sama semen akan bergerak ke atas permukaan adukan beton segar yang baru saja

dituang, hal ini akan menyebabkan kurangnya lekatan antara lapis-lapis beton, air

yang berlebihan juga akan menyebabkan banyaknya gelembung air setelah proses

hidrasi selesai, sedangkan air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses

hidrasi tidak akan selesai sepenuhnya.

Air pada campuran beton pada penelitian ini akan berpengaruh terhadap: a)

Sifat workability adukan beton. b) Besar kecilnya nilai susut beton. c)

Kelangsungan reaksi dengan semen portland sehingga dihasilkan kekuatan setelah

beberapa waktu. d) Perawatan adukan beton guna menjamin pengerasan yang

baik.

Kwalitas air untuk penelitian ini mempunyai pengaruh yang sangat penting

dalam kekuatan dan pelaksanaan beton, air yang digunakan dalam penelitian ini

sudah memenuhi standard ASTM – C109, dan menurut Pedoman Beton 1988

Departemen Pekerjaan Umum.

3.4.2. Pemeriksaan Agregat

Ada beberapa hal yang harus dilakukan pada pemeriksaan agregat, antara

lain: penentuan kadar lumpur, kadar air, berat jenis, penyerapan air, dan analisa

ayakan agregat halus dan kasar.

1. Penentuan Kadar Lumpur Agregat Halus

Pengujian kadar lumpur pada penelitian ini dilakukan dengan 2 cara yaitu

dengan membandingkan berat kering sampel setelah dioven dan sampel yang

telah dicuci bersih. Sampel pasir seberat 1.000 gr dimasukan dalam oven pada

suhu 150 0C selama 24 jam, setelah itu beratnya ditimbang. Langkah selanjutnya

adalah sampel pasir dengan berat yang sama dicuci terlebih dahulu, kemudian

dengan langkah yang sama dimasukan kedalam oven dan setelah 24 jam

ditimbang beratnya.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 59: D2054-Moh Azhar.pdf

45

Universitas Indonesia

Kadar lumpur dihitung berdasarkan persamaan 1:

Kadar Lumpur = [ (A – B) / A ] x 100 % ………. (1)

Dimana ;

A = berat sampel kering oven ( sebelum dicuci )

B = berat sampel kering oven ( sesudah dicuci )

Sedangkan cara kedua adalah cara merendam agregat halus pasir sebanyak

250 ml dalam air pada tabung kaca berdiamater 7 cm yang telah diisi air sebanyak

500 ml dan didiamkan selama 24 jam, setelah itu diukur ketinggian pasir dan

lumpurnya.

Kadar lumpur dihitung berdasarkan persamaan 2:

Kadar Lumpur = [ (hA – hB) / hA ] x 100 % ……….. (2)

Dimana ;

hA = tinggi lumpur akhir

hB = tinggi pasir akhir

Kadar lumpur pada agregat halus berdasarkan syarat SK.SNI. S-04-1989 F

tidak boleh lebih dari 5 %, apabila lebih dari 5 % maka agregat halus tersebut

harus dicuci terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai agregat untuk campuran

beton.

2. Penentuan Kadar Air Agregat Halus

Ada berbagai cara untuk menentukan kadar air, salah satunya adalah

dengan mencari kehilangan massa air pada agregat akibat pemanasan. Dalam

perhitungan dipakai sebagai dasar adalah keadaan kering permukaan jenuh atau

(SSD). Sampel agregat halus pasir seberat 500 gr dimasukan kedalam oven pada

suhu 150 0C selama 24 jam, setelah dikeluarkan dari oven kemudian ditimbang

beratnya.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 60: D2054-Moh Azhar.pdf

46

Universitas Indonesia

Kadar air dapat ditentukan melalui persamaan 3:

Kadar Air = [ (mA – mB) / mA ] x 100 % …………. (3)

Dimana ;

mA = berat sampel sebelum dioven

mB = berat sampel kering oven

3. Berat Jenis & Penyerapan Air Agregat Halus dan Agregat Kasar

Pengujian berat jenis dan penerapan air pada penelitian ini dilakukan dengan

cara sebagai berikut: Ambil sampel benda uji dalam keadaan SSD seberat 500 gr

dimasukan dalam oven pada suhu 150 0C selama 24 jam, setelah dikeluarkan dari

oven beratnya ditimbang. Langkah selanjutnya adalah mengisi Piknometer dengan

air kemudian ditimbang beratnya. Sampel yang sudah disiapkan dimasukan

kedalam Piknometer yang berisi air tadi, kemudian ditimbang beratnya.

Berat jenis kering / butir (bulk dry specific gravity) adalah perbandingan

antara berat agregat kering dengan berat air suling yang isinya sama dengan isi

agregat dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu, ditentukan oleh persamaan 4

(PPB-1989)

Bulk Sp. Gr. = [ Bk / ( Ba + 500 – Bt) ] ………… (4)

Berat jenis kering permukaan jenuh (bulk SSD specific gravity) adalah

perbandingan antara berat agregat kering permukaan jenuh dengan berat air suling

yang isinya sama dengan isi agregat dalam keadaan jenuh pada suhu tertentu

ditentukan oleh persamaan 5 (PPB-1989)

Bulk SSD Sp. Gr. = [ Bj / ( Ba + 500 – Bt) ] ……. (5)

Berat jenis semu (Apparent specific gravity) adalah perbandingan antara

berat agregat kering dengan berat air suling yang isinya sama dengan isi agregat

dalam keadaan kering pada suhu tertentu ditentukan oleh persamaan 6 (PPB-

1989)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 61: D2054-Moh Azhar.pdf

47

Universitas Indonesia

App Sp. Gr. = [ Bk / ( Ba + Bk – Bt) ] ………… (6)

Penyerapan (absorption) adalah persentase berat air yang dapat diserap

oleh pori – pori terhadap berat agregat kering ditentukan oleh persamaan 7 (PPB-

1989)

Penyerapan = [ (500 – Bk) / ( Bk ) x 100 % ] … (7)

Dimana ;

Bt = berat kering permukaan dalam air

Bk = berat kering oven

Bj = berat kering permukaan jenuh

Ba = berat kering permukaan jenuh dalam air

4. Analisa Ayakan Agregat Halus dan Agregat Kasar

Analisa ayakan ini adalah menentukan susunan besar butir serta angka

kehalusan (Finenes Modulus) dari agregat halus dan kasar. Gradasi agregat dapat

diketahui dengan meletakan sejumlah agregat pada satu set saringan dengan

ukuran paling atas 4,75 mm, berikutnya 2,36 mm, 2,00 mm, 0,425 mm, 0,250

mm, 0,106 mm dan yang paling bawah adalah Container yang tidak berlobang

yang kemudian digetarkan. Berat agregat yang tertahan pada tiap saringan

ditimbang kemudian hitung persentase yang tertinggal pada tiap saringan, dan

persentase kumulatif yang lolos dihitung. Adapun perhitungan angka kehalusan

ditentukan oleh persamaan (8)

Finenes Modulus = ( ( ∑ Komulatif ) / 100 ) …… (8)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 62: D2054-Moh Azhar.pdf

48

Universitas Indonesia

3.4.3. Persiapan Pembuatan Adukan Beton

Agar penelitian berjalan dengan baik, maka pembuatan adukan beton

dilakukan berdasarkan perhitungan mix design yang telah dilakukan. Proporsi

takaran campuran beton dilakukan seteliti mungkin dan dipisahkan antara semen,

agregat halus pasir, agregat kasar batu apung, abu sekam padi, dan air pada

loyangnya masing-masing.

Pada saat penuangan bahan ke dalam molen dilakukan dengan urutan agregat

halus, semen dan agregat kasar dimasukkan terlebih dahulu, kemudian dengan

perlahan diaduk ketiga bahan tersebut sampai terlihat kental dan homogen, ketika

nampak sudah menyatu, lalu disiram dengan air sambil tetap memutar molen

sedikit demi sedikit, sehingga jumlah air yang sesuai dengan perhitungan

perencanaan adukan habis.

Sebelum adukan beton segar dimasukan kedalam cetakan kubus, cetakan

diolesi dengan pelumas terlebih dahulu agar memudahkan pada saat pelepasan

kubus beton.

3.4.4. Pengujian Workability

Pengujian workabilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam

penelitian ini, karena dari sinilah akan didapatkan pengaruhnya terhadap kuat

tekan beton. Adapun langkah - langkah pengujian workabilitas adalah campuran

beton tersebut sesegera mungkin dimasukkan kedalam kerucut secara bertahap,

sebanyak 3 lapisan dengan ketinggian yang sama. Setiap lapis dipadatkan dengan

cara ditusuk dengan menjatuhkan secara bebas tongkat baja berdiameter 16 mm,

panjang 600 mm, dilakukan sebanyak 25 kali untuk tiap lapis, kemudian

meratakan adukan pada bidang atas kerucut Abrams dan didiamkan selama 30

detik. Mengangkat kerucut Abrams secara perlahan dengan arah vertikal keatas,

diusahakan jangan sampai terjadi singgungan terhadap campuran beton.

Pengukuran slump dilakukan dengan membalikkan posisi kerucut Abrams di

sebelah adukan, kemudian dilakukan pengukuran penurunan ketinggian dengan

alat ukur slump berskala.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 63: D2054-Moh Azhar.pdf

49

Universitas Indonesia

3.4.5. Pengujian Kuat Tekan dan Densitas Beton

Pengujian kuat tekan dan berat jenis beton (densitas) dilakukan pada umur

beton 3, 7, 14, 21 dan 28 hari, adapun langkah - langkah pengujiannya dilakukan

sebagai berikut: kubus beton diangkat dari rendaman, kemudian dianginkan atau

dilap hingga kering permukaan, lalu ditimbang, diamati apakah terdapat cacat

pada beton.

Kekuatan tekan merupakan salah satu kinerja utama beton, sifat beton pada

umumnya lebih baik jika kuat tekannya lebih tinggi, dengan demikian untuk

meninjau mutu beton biasanya dilakukan dengan meninjau kuat tekannya. Kuat

tekan beton adalah kemampuan beton untuk menerima gaya tekan persatuan luas.

Walaupun dalam beton terdapat tegangan tarik yang kecil, diasumsikan bahwa

semua tegangan tekan didukung oleh beton tersebut. Penentuan kekuatan tekan

dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji tekan dan benda uji berbentuk

silinder dengan prosedur uji ASTM C-39 atau kubus dengan prosedur BS-1881

Part 115, Part 116 pada umur 28 hari.

Untuk menghitung kuat tekan beton dapat ditentukan dengan persamaan 9

(PPB-1989)

Kuat Tekan = (kg/cm2) …………….. (9)

Dimana: P = beban maksimum pengujian (kg)

A = Luas penampang benda uji (cm2)

Untuk menghitung densitas beton dapat dilakukan dengan persamaan 10 (PPB-

1989)

Densitas = (kg/m3) …………….. (10)

Dimana: B = Berat Kubus Beton (kg)

V = Volume Kubus Beton (m3)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 64: D2054-Moh Azhar.pdf

50

Universitas Indonesia

Atau dengan menggunakan persamaan 11:

Densitas = ρa (kg/m3) ……………. (11)

Dimana: Bu = Berat Kubus Beton di Udara (kg)

Ba = Berat Kubus Beton di Air (kg)

ρa = Berat jenis Air (kg/m3)

3.4.6. Pengujian dengan SEM, EDAX, XRF, dan XRD

Pengujian EDAX untuk menganalisa unsur yang tekandung pada material

Abu Sekam Padi dan Batu Apung, Uji SEM ditunjukkan untuk melihat secara

visual morfologi senyawa-senyawa yang terbentuk pada Mikrostruktur permukaan

material, Uji XRF untuk mengetahui senyawa dengan analisa semi kuantitatif

terhadap material, sedangkan Uji XRD adalah untuk mengetahui unsur dengan

analisa kuantitatif.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 65: D2054-Moh Azhar.pdf

51

Universitas Indonesia

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pendahuluan

Beton ringan dalam penelitian ini adalah campuran yang terdiri dari

Portland Cement Composite, pasir silika, abu sekam padi, batu apung, dan air.

Abu sekam padi berfungsi sebagai bahan pengisi (filler), sedangkan batu apung

sebagai agregat ringan.

Masing-masing sifat komponennya akan mempengaruhi sifat akhirnya, baik

langsung maupun tidak langsung. Sifat yang langsung berpengaruh akan

memberikan kontribusi sesuai dengan teori komposit, dimana kwalitas dari

material pembentuk beton ringan sangat menentukan hasil akhir dari nilai

kerapatan dan kuat tekan yang diharapkan. Makin baik nilai kerapatan akan

menghasilkan beton ringan yang makin baik pula kwalitasnya yaitu berupa

kemampuan kekuatan mekaniknya akan meningkat.

Kontribusi tidak langsung yaitu jika terjadi reaksi yang membentuk fasa

baru yang pada akhirnya akan mempengaruhi sifat beton ringannya. Pembentukan

fasa baru ini adalah hasil dari reaksi hidrasi semen ketika dicampur dengan air

yang kemudian mengikat material pasir, abu sekam padi, dan batu apung.

Pengaruh banyaknya air dalam pembentukan adonan beton ringan sangatlah besar,

sehingga harus diperhatikan perbandingan air terhadap semen atau water to

cement ratio (w/c), makin kecil nilai w/c makin kental adonan beton ringan

sehinggal nilai slump juga akan mengecil, begitu juga sebaliknya makin besar

nilai w/c akan makin besar pula nilai slump.

Dalam pembuatan beton, air diperlukan untuk memicu proses kimiawi

semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton.

Kwalitas air untuk penelitian ini mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam

kekuatan dan pelaksanaan beton, air yang digunakan dalam penelitian ini sudah

memenuhi standard ASTM – C109, dan menurut Pedoman Beton 1989

Departemen Pekerjaan Umum.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 66: D2054-Moh Azhar.pdf

52

Universitas Indonesia

4.2. Karakteristik Fisik agregat

Analisa ini dilakukan untuk memastikan bahwa material agregat halus dan

agregat kasar batu apung yang digunakan dalam adukan beton ringan memenuhi

syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada uji material yaitu

mengacu pada standar SK.SNI. S-04-1989 F.

Penentuan kadar air dan kadar lumpur dilakukan sebagai uji awal terhadap

agregat halus. Berdasarkan pengukuran diperoleh bahwa kadar air mencapai

1,60% dan kadar lumpur dengan cara volume sebesar 4,00% dan dengan cara

berat sebesar 4,10%. Berdasarkan hasil ini diperoleh bahwa pengukuran kadar

lumpur cara berat dan cara volume terjadi perbedaan 0,10%, hal ini bisa dianggap

sama karena selisih nilainya sangat kecil dan pengaruhnya tidak signifikan

terhadap campuran beton. Sedangkan kadar airnya 1,60% lebih kecil dari

persyaratan yang dibolehkan < 5% .

Agregat kasar batu apung merupakan bagian yang sangat menentukan

besarnya nilai kuat tekan beton maupun besarnya densitas. Berdasarkan

pengukuran terhadap kadar lumpur diperoleh nilai 2,06 %. Hal ini menunjukan

bahwa kandungan lumpur yang terdapat pada agregat kasar batu apung cukup

kecil, sehingga sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu sebesar < 5%.

Selanjutnya untuk mendukung karakterisasi terhadap sifat agregat halus

pasir dan agregat kasar batu apung dilakukan pengujian kerapatan dan sifat

penyerapan air sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.1. Hal ini dilakukan karena

akan berpengaruh terhadap keseluruhan proses pembuatan adukan beton maupun

hasil uji setelah beton mengeras.

Tabel 4.1 Nilai densitas agregat dihitung berdasarkan SK.SNI. S-04-1989 F

No Parameter Nilai Densitas Agregat

Halus (gr/cm3) Kasar (gr/cm

3)

1 Bulk Sp.Gr 3,05 0,88

2 Bulk SSD Sp.Gr 2,56 1,61

3 App SSD Sp.Gr 2,80 3,31

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 67: D2054-Moh Azhar.pdf

53

Universitas Indonesia

Dari hasil Tabel 4.1 diatas, terlihat densitas agregat halus pasir yang

diperoleh berada diantara 2,25 gr/cm3 sampai 3,25 gr/cm

3 memenuhi kategori

yang dipersyaratkan pada agregat halus untuk pembuatan beton standar,

sedangkan nilai densitas agregat kasar batu apung yang diperoleh berada diantara

0,50 gr/cm3 sampai 3,25 gr/cm

3 memenuhi kategori yang dipersyaratkan pada

agregat kasar batu apung untuk pembuatan beton ringan.

Berdasarkan hasil pengukuran pada agregat halus pasir diperoleh nilai

penyerapan terhadap air sebesar 5,4%. Hal ini menunjukan bahwa kondisi agregat

halus pasir ini cukup kering permukaan jenuh (SSD), sedangkan pada agregat

kasar batu apung besarnya penyerapan air yang diperoleh adalah 83,60%. Hal ini

menunjukan bahwa agregat kasar batu apung memiliki kemampuan penyerapan

airnya jauh lebih besar dibandingkan dengan sifat penyerapan air agregat halus

pasir.

Untuk menentukan sifat agregat halus berikutnya dilakukan pengujian

terhadap sifat Finenes Modulus (angka kehalusan). Dari hasil uji yang telah

dilakukan diperoleh nilai Finenes Modulus untuk agregat halus sebesar 3,73 dan

untuk agregat kasar batu apung didapatkan nilai Finenes Modulus sebesar 4,36.

Parameter Finenes Modulus ini dapat menunjukan tingkat kehalusan dari kedua

material diatas sebagai bahan pengisi pada pembuatan beton, makin besar nilai

Finenes Modulus berarti makin halus material tersebut.

Berdasarkan uji karakterisasi yang dilakukan terhadap agregat halus pasir

dan agregat kasar batu apung bahwa kedua jenis agregat tersebut dapat digunakan

sebagai material pembuatan beton ringan jika mengacu pada aturan standar

SK.SNI. S-04-1989 F.

4.3 Karakteristik Abu Sekam Padi

Ada empat jenis uji yang dilakukan pada Abu Sekam Padi yaitu uji EDAX

untuk menganalisa unsur, untuk melihat Mikrostruktur permukaan sampel berupa

foto SEM, analisa semi kuantitatif dengan XRF untuk mengetahui senyawa yang

terjadi, dan analisa kuantitatif dengan XRD untuk mengetahui senyawa yang

terkandung pada material.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 68: D2054-Moh Azhar.pdf

54

Universitas Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa abu sekam padi yang

dimaksud adalah hasil pembakaran sekam padi yang selanjutnya digunakan

sebagai bahan tambah pada pembuatan LWC. Maka beberapa karakteristik abu

sekam padi perlu diketahui untuk memahami perannya dalam LWC.

Pada Gambar 4.1 ditampilkan sederatan fotomikro dari abu sekam padi untuk

pembesaran 200 x, 5.000 x, dan 20.000 x. Morfologi material tidak menunjukan

morfologi kristalin, mungkin dikarenakan mayoritas komponen material adalah

fasa amorph.

Gambar 4.1. Fotomikro SEM Abu Sekam Padi dengan pembesaran 100x (a),

5000x (b), 20000x (c).

Fotomikro memperlihatkan permukaan yang berongga dan tidak padat.

Terlihat dari Gambar 4.1 ini tampak bentuknya berbulir dan menggumpal seperti

awan, hal ini menyebabkan abu sekam padi cukup banyak menyerap air,

karenanya kebutuhan air akan lebih besar dibandingkan dengan beton

konvensional agar proses hidrasi berjalan dengan normal, sehingga proses

penguatan beton ringan berjalan sesuai pertambahan waktu.

Pola difraksi abu sekam padi ditampilkan pada Gambar 4.2. Melihat pola

difraksi tersebut dimana tidak tampak jelas puncak-puncak difraksinya, melainkan

pucak-puncak difraksi dengan intensitas yang rendah dan melebar, serta intensitas

background yang cukup lebar pada rentang sudut 150-35

0. Pola difraksi semacam

ini mengindikasikan sebagian besar fraksi fasa dalam material adalah fasa

omorph. Hal ini sesuai dengan hasil analisa kuantitatif material melalui penerapan

perangkat analisa yang disajikan dalam Tabel 4.2. Hasil ini menunjukan bahwa

a c b

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 69: D2054-Moh Azhar.pdf

55

Universitas Indonesia

53,65% material terdiri dari fasa amorph. Tentu saja hasil dalam Tabel 4.2

tersebut tidak bersifat absolut karena pola difraksi yang kurang tepat. Namun hasil

analisa kuantitatif ini paling tidak memastikan bahwa abu sekam padi

mengandung fasa amorph dengan kuantitas yang besar. Kehadiran fasa amorph

dalam abu sekam padi juga telah dilaporkan oleh berbagai peneliti diantaranya

adalah Rosario Madrid, C. A. Nogueira dan F. Margarido, melaporkan bahwa pola

fasa berupa baris yang sangat luas dan tidak ada puncak yang tajam ditemukan,

disimpulkan bahwa abu yang dihasilkan memiliki struktur amorph.

Gambar 4.2. Hasil XRD Abu Sekam Padi

Tabel 4.2. Hasil uji mineralogi Abu Sekam Padi

Mineral Jumlah (%)

Kaolinite Al2 Si2 O5 (OH)4 0,00

Amorphous

53,65

Quartz SiO2 1,74

Cristobalite SiO2 3,95

Tridymite SiO2 0,96

Hematite Fe2 O3 2,74

Rutile TiO2 0.00

Chlorite Mg2.96 Fe1.55 Fe0.14 Al1.28 (Si2.62 Al1.38 010) (OH)8 0,07

Labradorite Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8 3,36

Diaspore Al O OH 1,85

Calcite CaCO3 8,68

Magnesite MgCO3 3,24

Thermonarite Na2CO3 H2O 7,87

Silimanite Al2SiO5 2,17

Titanite CaTi(SiO4)O 9,72

Total 100,00

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 70: D2054-Moh Azhar.pdf

56

Universitas Indonesia

Tabel 4.3 meringkas hasil pengujian menggunakan XRF. Sebagaimana

diketahui bahwa perangkat ini sebenarnya adalah penganalisa unsur-unsur yang

terkandung dalam material. Dengan perkataan lain, perangkat XRF sesungguhnya

tidak mampu mengidentifikasi senyawa material. Namun, dalam Tabel 4.3

tersebut telah tetap jenis senyawanya, ini hanyalah bersifat anggapan saja yang

mengambil senyawa oksida stabilnya dari hasil identifikasi unsur kimia yang

terdeteksi. Hasil dalam Tabel 4.3 menunjukan bahwa senyawa SiO2 adalah

senyawa material dengan fraksi terbesar dalam material yaitu mencapai 78,92%.

Jadi bila dikaitkan dengan hasil analisa kuantitatif XRD dari Tabel 4.2 maka

dapat disimpulkan bahwa fasa amorph sebesar 53,65% yang dimaksud dalam

Tabel 4.2 tersebut adalah fasa amorph SiO2. Hal ini menjadi lebih pasti dengan

hasil analisa mikro menggunakan EDAX sebagaimana dirangkum dalam Tabel

4.4. Analisa EDAX ini memiliki prinsip kerja yang mirip dengan analisa XRF,

hanya saja perangkat EDAX membawa informasi berskala mikro, tidak terlalu

tepat untuk menentukan komposisi fasa material.

Tabel 4.3. Komposisi senyawa kimia Abu Sekam Padi dengan XRF

No Senyawa Abu Sekam Padi

(%)

1 LOI 6,61

2 SiO2 78,92

3 Al2O3 6,69

4 Fe2O3 3,81

5 CaO 1,01

6 MgO 0,72

7 SO3 0,02

8 K2O 1,45

9 Na2O 0,01

10 TiO2 0,47

11 Mn2O3 0,29

12 TA 0,96

Total 100,00

Berdasarkan hasil pada Tabel 4.4 yang berdasarkan pengambilan foto EDAX

seperti ditampilkan pada Gambar 4.3 dimana untuk memastikan pemerataan

kandungan unsur yang ada pada material dilakukan dengan 3 posisi yang berbeda,

terlihat bahwa unsur dalam material dengan fraksi terbesar adalah Karbon (C) dan

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 71: D2054-Moh Azhar.pdf

57

Universitas Indonesia

Oksigen (O) dengan nilai rata-rata masing-masing sebesar 39,70% dan 38,92%

dan disusul oleh unsur Silika (Si) dengan fraksi mencapai nilai rata-rata 20,03%.

Dalam hal hasil analisa mikro ini, menarik untuk diperhatikan adanya Karbon

dengan fraksi terbesar yaitu 39,70%, mengindikasikan kemungkinan adanya fasa

material – SiC mengingat sifat fisik dari abu sekam padi yang keras dan tajam,

merupakan ciri khas dari Karbida yaitu dalam hal ini SiC. Hadirnya SiC dalam

abu sekam padi yang mengalami perlakuan pembakaran telah dilaporkan oleh

berbagai peneliti. Namu, hampir semua peneti melaporkan bahwa pembentukan

SiC memerlukan perlakuan dengan kondisi khusus. Misalnya X. Zhang, H. Wang,

M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater, memperoleh fasa SiC dari

pembakaran sekam padi dalam kondisi atmosfir pada temperatur 2200 0C.

Kehadiran SiC dalam material sekam padi dapat dimengerti karena sekam

padi adalah material berbasis organik antara lain tersusun oleh rantai hidro Karbon

(C-H). Apabila pembakaran sekam padi dilakukan dalam suasana kaya Oksigen,

maka Karbon yang terkandung dalam sekam padi dapat teroksidasi menjadi CO2

pada temperatur 450 0C. Oleh karena itu, bila Karbida SiC menjadi objek tujuan

pembahasan sekam padi menjadi abu sekam padi, maka diperlukan kondisi

khusus untuk pencapaiannya.

Gambar 4.3 Hasil EDAX Abu Sekam Padi beupa grafik, tabel komposisi unsur,

dan pengambilan foto permukaan

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 72: D2054-Moh Azhar.pdf

58

Universitas Indonesia

Tabel 4.4 Hasil EDAX Abu Sekam Padi diambil dari 3 posisi

TEST C (%) O (%) Al (%) Si (%) K (%)

1 36,01 39,94 0,73 22,14 1,19

2 38,19 39,37 0,34 21,36 0,74

3 44,91 37,44 0,34 16,60 0,71

Rata-Rata 39,70 38,92 0,47 20,03 0,88

Hasil EDAX ini bersifat analisa mikro sehingga hadirnya C dalam hasil

pembakaran udara terbuka ini mengindikasikan fasa SiC tetap ada dalam abu

sekam padi meskipun dibakar dalam kondisi udara terbuka (open atmosphere).

Maka, hasil serentetan analisa dengan perangkat XRD, XRF, dan EDAX

terhadap abu sekam padi dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa abu sekam

padi hasil pembakaran terdiri dari fasa amorph berbasis Silika (Si) sebagai

komponen material terbesar dalam abu sekam padi. Fasa Karbide SiC juga diduga

hadir dalam material dengan terdeteksinya atom-atom Karbon dalam abu sekam

padi meskipun telah melalui tahapan pembakaran pada udara terbuka. Namun

demikian hasil analisa EDAX bersifat mikro sehingga hasil ini hanya dapat

memastikan akan kehadirannya saja. Kehadiran fasa amorph Silika telah

dilaporkan oleh banyak peneliti diantaranya Rosario Madrid, C. A. Nogueira dan

F. Margarido, untuk mempermudah terbentuknya fasa CSH yang berperan

penting dalam meningkatkan kekuatan beton ketika proses hidrasi berlangsung.

4.4 Karakteristik Batu Apung

Sebagaimana pada abu sekam padi, batu apung juga ada empat jenis uji yang

dilakukan yaitu untuk melihat Mikrostruktur permukaan sampel berupa foto SEM,

uji EDAX untuk menganalisa unsur, analisa semi kuantitatif dengan XRF, dan

analisa kuantitatif dengan XRD untuk mengetahui unsur yang terkandung pada

material.

Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa batu apung yang

dimaksud adalah hasil sedimentasi akibat letusan gunung berapi yang selanjutnya

digunakan sebagai pengganti agregat kasar pada pembuatan beton ringan. Maka

beberapa karakteristik batu apung perlu juga diketahui untuk memahami perannya

dalam beton ringan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 73: D2054-Moh Azhar.pdf

59

Universitas Indonesia

Mikrostruktur permukaan sampel batu apung berupa foto SEM ditunjukkan

Secara visual sebagaimana pada Gambar 4.4 yaitu sederatan fotomikro dari batu

apung untuk pembesaran 100 x - 5.000 x.

Gambar 4.4. Fotomikro SEM Batu Apung dengan pembesaran 100x (a), 200x (b),

500x (c), 1.000x (d), 2.000x (e), dan 5.000x (f).

Memperhatikan fotomikro SEM pada Gambar 4.4 terlihat permukaan sampel

terdapat sejumlah besar pori beraturan dan terstruktur memanjang ke permukaan

dalam. Ukuran pori bervariasi secara tidak signifikan dengan kerapatan jumlah

pori yang relatif besar. Hal ini mengindikasikan batu apung memiliki densitas

massa yang rendah. Peneliti lain seperti Tayfun Uygunoglu, Witold Brostow,

Osman Gencel, dan Ilker Bekir Topcu (sebagai referensi), juga melaporkan hal

yang sama tentang mikrostruktur batu apung, yaitu struktur berpori setengah

terbuka agregat batu apung sebagian besar dipengaruhi peningkatan kuat tekan

dengan meningkatkan epoxy resin sebagai bahan pengikat dengan agregat. Juga

terlihat permukaan sampel terdapat pori dengan berbagai bentuk dan ukuran

bervariasi dengan kerapatan jumlah yang cukup besar, ini sekali lagi

memperlihatkan rendahnya densitas batu apung.

a

d

b

e

c

f

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 74: D2054-Moh Azhar.pdf

60

Universitas Indonesia

Berikut ini diestimasi kerapatan pori yang terdapat dalam material batu

apung, mekanisme analisa fraksi jumlah pori pada batu apung melalui data hasil

foto SEM dengan mengambil sampel segi empat berukuran 1,00 cm x 1,00 cm.

Dari hasil hitungan manual pada luas (A) 1 cm2

atau 106μm

2 terdapat 3500 buah

pori (N). Secara umum pori berbentuk lingkaran, segi tiga, dan empat persegi, hal

ini diambil untuk mempermudah dalam menghitung luas pori tersebut, adapun

yang berbentuk lingkaran berjumlah 1000 buah (N1) dengan diameter (d) rata-rata

10 μm. Berbentuk segi tiga 1100 buah (N2) dengan rata-rata ukuran tinggi (t) 9

μm, alas (b) 10 μm. Berbentuk empat persegi sebanyak 1400 buah (N3) dengan

rata-rata berukuran panjang (p) 25 μm, lebar (l) 15 μm. Dengan demikian dapat

dilakukan perhitungan Luas total Pori (aiTotal ) sebagai berikut:

1. Berbentuk Lingkaran: ai = d2 (N1)

= (10)2 (1.000)= 78500 μm

2

2. Berbentuk Segi Tiga: ai = b. t (N2)

= (10) (9) (1.100)= 49500 μm2

3. Berbentuk Empat Persegi: ai = p. l (N3)

= (25) (15) (1.400)= 525000 μm2

Jadi Jumlah Total Luas Pori:

aiTotal = 78500 + 49500 + 525000

= 653000 μm2

Dengan demikian Fraksi Pori = aiTotal x 100 %

= x 100 %

= 65,3 %

Hasil estimasi terhadap rongga yang terdapat dalam batu apung menunjukkan

lebih 65% material batu apung berisikan pori atau ruang kosong. Jadi dapat

dimengerti bila material ini merupakan material ringan atau memiliki densitas

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 75: D2054-Moh Azhar.pdf

61

Universitas Indonesia

massa yang rendah. Keberadaan pori yang merupakan pori tertutup menyebabkan

material ini dapat mengapung dipermukaan air karena gaya Archimedes (gaya

angkat yang tinggi).

Pada Gambar 4.5 adalah foto difraksi material batu apung. Mirip dengan pola

difraksi Sinar X abu sekam padi dimana terlihat pola difraksi material juga

mengandung fasa amorph. Namun pada material batu apung puncak-puncak

difraksi terlihat jelas dan tajam. Jadi dipastikan batu apung merupakan campuran

antara material fasa amorph dan fasa kristalin.

Gambar 4.5.Hasil XRD Batu Apung

Tabel 4.5.Hasil uji mineralogi Batu Apung

Mineral Jumlah (%)

Amorphous

71,89

Quartz SiO2 0,03

Cristobalite SiO2 0,15

Andesine Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5 O8 2,12

Labradorite Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8 18,14

Anorthite Ca Al2 Si2 O8 6,56

Albite Na Al Si3 O8 0,59

Calcite CaCO3 0,06

Anatase TiO2 0,15

Penkvilksite H4 Na2 O13 Si4 Ti 0,31

Total

100,00

Rwp

3,94

GOF

1,48

DW 1,04

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 76: D2054-Moh Azhar.pdf

62

Universitas Indonesia

Hasil analisa kuantitatif terhadap pola difraksi material batu apung diringkas

dalam Tabel 4.5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hampir 72% kandungan

material terdiri dari fasa amorph, selebihnya adalah fasa kristalin dari berbagai

senyawa oksida, umumnya mengandung unsur Silika. Fasa terbesar kedua adalah

Labradorite mencapai 18,14% diikuti dengan fasa Anorthite sebesar 6,56%.

Kedua fasa juga mengandung unsur Si. Hal ini juga diperkuat oleh hasil analisa

unsur XRF sebagaimana diringkas dalam Tabel 4.6 yaitu senyawa oksida berbasis

Silika merupakan senyawa dengan fraksi terbesar yakni mencapai 60,73% dan

diikuti berturut-turut oleh senyawa Al2O3, Fe2O3 sebagai fasa major lainnya

dengan fraksi massa masing-masing 16,73% dan 5,32%. Memperhatikan hasil

analisa kuantitatif XRD dimana fasa amorph dari material mencapai fraksi massa

hampir 72%, maka dapat diduga bahwa fasa amorph dalam batu apung

mengandung unsur Si.

Tabel 4.6. Komposisi senyawa kimia Batu Apung dengan XRF

No Senyawa Batu Apung

(%)

1 LOI 2,63

2 SiO2 60,73

3 Al2O3 16,73

4 Fe2O3 5,32

5 CaO 4,14

6 MgO 1,77

7 SO3 0,01

8 K2O 2,98

9 Na2O 4,68

10 TiO2 0,77

11 Mn2O3 0,23

12 TA 6,65

Total 100,00

Beberapa peneliti seperti Uma Ramasamy dan Paul Tikalsky (2012) juga

melaporkan hal yang sama terhadap hasil analisa batu apung, yang menyimpulkan

bahwa batu apung memiliki SiO2 yang sangat tinggi, Al2O3 lebih rendah, dan CaO

sangat rendah.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 77: D2054-Moh Azhar.pdf

63

Universitas Indonesia

Bila saja densitas batu apung tanpa pori diketahui maka fraksi pori batu

apung dapat ditentukan dari pengukuran massa dan volumenya. Berikut ini

dilakukan perhitungan pendekatan untuk menentukan fraksi pori batu apung.

Sampel batu apung dibuat dengan dimensi 20 x 20 x 20 mm3 atau memiliki

volume 8000 mm3. Massa sampel batu apung adalah 4,835 gram. Sehingga

densitas massanya (ρS) = 604,4 kg/m3. Namun nilai ini tidak menggambarkan

densitas massa batu apung karena volume batu apung sebesar 8000 mm3 adalah

volume bila batu apung bebas pori. Oleh karena itu fraksi pori batu apung hanya

dapat ditentukan bila densitas massa batu apung diketahui. Untuk maksud tersebut

maka densitas batu apung bebas pori atau disebut sebagai densitas teori (ρth)

diestimasi dari fraksi volume senyawa yang ada dalam sampel batu apung

berdasarkan persamaan berikut ini:

ρth = I . ρi

Dimana Vi = Fraksi volume fasa ke i batu apung

ρi = Densitas teoritik fasa ke i

Berdasarkan hasil identifikasi fasa sampel batu apung dengan XRD

sebagaimana tertera dalam Tabel 4.5 diketahui bahwa fasa yang ada adalah

sebagai berikut

1. Andesine (Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5O8 ), fraksi Volume ν1 = 2,12%

2. Labradorite (Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8), fraksi Volume ν2 = 18,14%

3. Anorthite (Ca Al2 Si2O8), fraksi Volume ν3 = 6,56%

4. Cristobalite (SiO2) fraksi Volume ν4 = 71,89%

Dengan mengetahui nilai massa jenis senyawa yang menyusun masing-

masing sampel sebagai berikut: ρ1 (Andesine) = 2670 kg/m3; ρ2 (Labradorite) =

2700 kg/m3; ρ3 (Anorthite) = 2750 kg/m

3; ρ4 (Cristobalite) = 1956 kg/m

3 maka

dengan menggunakan persamaan diatas diperoleh massa jenis teoritik sebesar

(ρth) = 2133 kg/m3. Nilai ini ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai

densitas sampel berdasarkan pengukuran yaitu 604,4 kg/m3.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 78: D2054-Moh Azhar.pdf

64

Universitas Indonesia

Jadi faktor kepadatan sampel atau Packing density (P) = ρS / ρth ≈ 0,29.

Nilai ini menunjukkan fraksi pori dalam sampel adalah 0,71 atau 71%. Bila kita

kembali lagi kepada evaluasi fraksi pori berdasarkan pengamatan foto SEM

didapatkan nilai fraksi pori pada batu apung sebesar 65,3%, sedang dengan

menggunakan hitungan hasil XRD fraksi pori adalah sebesar 71%, hal ini bisa

dianggap nilainya mendekati sama dengan nilai yang dievaluasi dari foto SEM,

mengindikasikan bahwa nilai fraksi pori batu apung hasil foto SEM dapat

diterima sebagai patokan.

Untuk menghitung persentase senyawa SiO2 hasil XRD (kuantitatif)

dibandingkan dengan hasil XRF (semi kuantitatif) dapat dilakukan dengan

mengambil hasil Tabel 4.5 (hasil XRD) dibandingkan dengan hasil Tabel 4.6

(hasil XRF) batu apung, kemudian dilakukan analisa Berat Molekul mineral yang

persentase kandungannya terbesar hasil XRD seperti Andesine, Labradorite, dan

Anorthite dibandingkan dengan senyawa SiO2 hasil XRF. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui seberapa besar selisih hasil analisa semi kuantitatif XRF dibanding

hasil analisa kuantitatif XRD. Dari analisa menggunakan hasil XRD didapatkan

nilai Berat Molekul (Wt SiO2) adalah sebesar 13,42% jauh lebih kecil

dibandingkan dengan hasil XRF sebesar 60,73%. Ini mengindikasikan bahwa

pada fraksi massa fasa Amorph yang mencapai 71.89% hasil XRD didominasi

senyawa SiO2.

Pada Gambar 4.6 hasil foto EDAX dengan 3 kali posisi pengambilan berbeda,

dilakukan tabulasi seperti ditampilkan dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa unsur dalam

material dengan fraksi terbesar adalah Oksigen (O) dan Silika (Si) dengan nilai

rata-rata masing-masing sebesar 39,47% dan 33,38% dan disusul oleh unsur

Karbon (C) dengan fraksi mencapai nilai rata-rata 8,34%, dan Aluminium (Al)

sebesar 7,78%. Hal ini sesuai dengan hasil analisa dengan XRD dan analisa

dengan XRF sebelumnya bahwa batu apung paling banyak mengandung senyawa

oksida Silika.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 79: D2054-Moh Azhar.pdf

65

Universitas Indonesia

Gambar 4.6 Hasil EDAX Batu Apung brupa grafik, tabel komposisi, dan posisi

pengambilan Foto

Tabel 4.7 Hasil EDAX Batu Apung pada 3 posisi

TEST C

(%)

O

(%)

Na

(%)

Al

(%)

Si

(%)

K

(%)

Ca

(%)

Fe

(%)

1 8,15 39,50 3,71 7,87 32,87 2,15 1,80 3,95

2 8,68 39,92 3,92 7,73 33,56 1,85 1,50 2,83

3 8,19 38,99 3,79 7,73 33,70 2,17 2,02 3,41

Rata2 8,34 39,47 3,81 7,78 33,38 2,06 1,77 3,40

Dari hasil serentetan analisa dengan perangkat XRD, XRF, dan EDAX

terhadap batu apung dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa batu apung terdiri

dari fasa amorph berbasis oksida Silika (SiO2) sebagai komponen material

terbesar dalam batu apung dan juga terdapat sebagian kecil fasa kristalin.

4.5 Kuat Tekan Beton Ringan

Setelah mengetahui masing-masing spesifikasi dari agregat halus, abu

sekam padi, dan agregat kasar batu apung, berikutnya dilakukan uji kuat tekan

sebagai parameter utama untuk menentukan kualitas beton ringan yang dibuat.

Dari hasil data percobaan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.8 dilakukan

analisa dan perhitungan nilai densitas dan kuat tekan beton ringan.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 80: D2054-Moh Azhar.pdf

66

Universitas Indonesia

Tabel 4.8 Densitas dan Kuat Tekan beton umur 3-28 hari kubus 1-7

Kubus

Umur

(hari)

Densitas

(γ) (kg/m

3)

Kuat Tekan

(σ) (MPa)

1

3

7

14

21

28

1363,8

1366,2

1374,8

1383,7

1389,6

6,7

8,0

8,9

10,2

11,1

2

3

7

14

21

28

1397,0

1408,9

1434,1

1448,9

1452,2

8,8

10,2

11,2

12,3

13,3

3

3

7

14

21

28

1549,6

1561,5

1570,4

1582,2

1591,1

10,1

11,7

13,0

14,4

15,6

4

3

7

14

21

28

1673,3

1679,3

1688,2

1697,3

1699,4

11,1

14,1

15,6

16,9

17,8

5

3

7

14

21

28

1700,7

1715,6

1727,0

1737,4

1748,9

12,0

15,9

17,8

19,1

20,0

6

3

7

14

21

28

1717,1

1730,7

1752,4

1768,1

1780,6

12,9

18,5

20,0

21,3

22,7

7

3

7

14

21

28

1841,9

1848,5

1863,7

1878,5

1890,5

13,4

18,9

20,7

21,8

23,2

Pada sampel kubus 1 sampai 7 dilakukan tabulasi hasil uji untuk

mendapatkan nilai densitas dan kuat tekan beton pada umur 3, 7, 14, 21, dan 28

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 81: D2054-Moh Azhar.pdf

67

Universitas Indonesia

hari, pada Tabel 4.8 sampel kubus 1 sampai 7 sesuai dengan komposisi yang

tertera pada Tabel 3.1 yaitu nomor sampel kubus membedakan rasio batu apung

tehadap abu sekam padi (BA/ASP) menurun dari 20 (kubus 1) menjadi 8 (kubus

7). Kemudian dibuatkan grafik perbandingan antara densitas dan rasio batu apung

dengan abu sekam padi seperti pada Gambar 4.7 (a), grafik perbandingan kuat

tekan terhadap densitas ditampilkan pada Gambar 4.7 (b), dan diagram batang

perbandingan kuat tekan beton ketujuh sampel tersebut pada umur 28 hari

sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.8.

Penggunaan batu apung dan abu sekam padi dengan rasio yang meningkat

(8 sampai dengan 20) menunjukan nilai densitas yang cenderung mengecil untuk

berbagai durasi perendaman. Namun untuk keseluruhan sampel, makin lama

waktu perendaman meningkatkan densitas sampel, meskipun peningkatan densitas

tidak terlalu signifikan. Misalnya saja pada kubus nomor 7 dimana memiliki rasio

batu apung terhadap abu sekam padi sebesar 8, hanya terjadi peningkatan sebesar

2,7% bila dibandingkan densitas kubus pada umur 3 hari dan 28 hari. Demikian

juga pada kubus nomor 1 dengan nilai rasio terbesar (20) hanya terjadi

peningkatan sebesar 2%. Namun, bila dibandingkan densitas hasil kubus nomor 1

dan 7 untuk umur 28 hari terdapat kenaikan densitas 36%. Jadi nilai rasio batu

apung terhadap abu sekam padi sangat mempengaruhi densitas. Peningkatan

densitas sampel kubus ternyata, memberikan peningkatan kekuatan beton yang

signifikan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.7 (b) yang membandingkan

kekuatan beton umur 28 hari dari berbagai sampel beton dengan rasio batu apung

terhadap abu sekam padi yang berbeda. Misalnya kekuatan kubus 1 (ρ = 1389,6

kg/m3) adalah 11,1 MPa meningkat menjadi 23,2 MPa yaitu menjadi lebih dua

kalinya pada kubus nomor 7 (ρ = 1890,5 kg/m3). Kedua sampel ini (kubus no 1

dan 7) memiliki perbedaan densitas 36%.

Dengan demikian, hasil evaluasi pengujian terhadap ke 7 sampel

sebagaimana diringkas pada Gambar 4.7 (a) dan Gambar 4.7 (b) menyimpulkan

bahwa pada beton ringan densitas beton juga sangat menentukan kekuatan beton.

Dalam hal ini penggunaan batu apung dan abu sekam padi dengan rasio terendah

(kubus 7) menghasilkan kekuatan beton dengan nilai tertinggi (23,2 MPa).

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 82: D2054-Moh Azhar.pdf

68

Universitas Indonesia

Densitas sampel beton sangat ditentukan oleh massa total sampel dan value

sampel beton. Kehadiran batu apung dan proses hidrasi yang belum optimal akan

meninggalkan pori terbuka dan pori tertutup. Baik batu apung maupun abu sekam

padi keduanya memiliki densitas massa yang relatif rendah dibandingkan dengan

densitas massa material lainnya penyusun beton seperti semen dan pasir. Dengan

demikian perbedaan massa dari sampel 1 sampai dengan 7 yang memiliki

komposisi berbeda tersebut adalah tidak signifikan. Namun value sampel

dipastikan dipengaruhi oleh banyaknya pori tertutup terutama berasal dari batu

apung. Secara kuantitatif, penggunaan batu apung dengan fraksi yang besar, akan

cukup memiliki value sampel dengan fraksi value pori yang besar, karenanya

densitas sampel sesungguhnya akan cenderung rendah. Hal inilah yang

menjelaskan mengapa sampel kubus 7 dapat memperoleh nilai kekuatan tertinggi.

Gambar 4.7 Grafik Densitas terhadap Rasio BA/ASP (a) dan Grafik Kuat Tekan

terhadap Densitas sampel kubus 1-7 pada umur beton 28 hari (b)

1300

1400

1500

1600

1700

1800

1900

6 8 10 12 14 16 18 20

Den

sita

s (k

g/m

3)

Rasio BA/ASP (a)

Umur 3 Hari

Umur 14 Hari

Umur 28 hari

Kubus 111.1

Kubus 213.3

Kubus 315.6

Kubus 417.8

Kubus 520

Kubus 622.7

Kubus 723.2

10

12

14

16

18

20

22

24

1350 1450 1550 1650 1750 1850 1950

Kuat

Tek

an (

MPa

)

Densitas (kg/m3) (b)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 83: D2054-Moh Azhar.pdf

69

Universitas Indonesia

Terlihat dari Gambar 4.7 (b) kubus 1 memiliki densitas terkecil (1389,6

kg/m3), dan menghasilkan kuat tekan beton terkecil pula (11,1 MPa). Pada kubus

beton 1 sampai 7 terjadi kenaikan kuat tekan beton diiringi pula kenaikan

densitasnya, sedangkan kubus 7 diperoleh nilai kuat tekan beton yang paling besar

(23,2 MPa) dan densitas yang relatif lebih besar pula (1890,5 kg/m3), namun

masih masuk kategori beton ringan dimana densitasnya < 1900 kg/m3 sedangkan

densitas beton normal/standar = 2400 kg/m3.

Pada Gambar 4.8 berikut terlihat bahwa besar nya nilai kuat tekan pada

sampel kubus 1 adalah yang terkecil yaitu sebesar 11,1 MPa masih jauh dari nilai

kuat tekan yang memenuhi suatu spesifikasi. Pada kubus 5 nilai kuat tekannya

sudah mencapai 20,0 MPa namun masih lebih kecil dari nilai spesifikasi. Pada

sampel kubus 6 didapatkan nilai kuat tekan sebesar 22,7 MPa. Sedangkan sampel

kubus 7 diperoleh nilai kuat tekan terbesar yaitu 23,2 MPa. dari Tabel 4.8 juga

terlihat adanya kenaikan kuat tekan seiring dengan bertambahnya umur beton.

Selanjutnya untuk memilih variasi campuran yang akan dipakai pada penelitian

tahap 2 adalah diambil berdasarkan nilai terbesar perbandingan antara nilai kuat

tekan terhadap nilai densitas pada sampel kubus 6 dan sampel kubus 7.

Gambar 4.8. Diagram batang Kuat tekan beton pada umur 28 hari dari kubus 1

sampai kubus 7

0

5

10

15

20

25

1 2 3 4 5 6 7

11.113.3

15.617.8

20.022.7 23.2

Kuat

Tek

an (

MP

a)

Nomor Kubus

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 84: D2054-Moh Azhar.pdf

70

Universitas Indonesia

Untuk menentukan kubus beton yang akan dipilih adalah ditentukan oleh

perbandingan antara besarnya nilai kuat tekan beton terhadap nilai densitas. Dari

hasil Tabel 4.8 diambil nilai kuat tekan dan nilai densitas pada umur 28 hari, dari

perbandingan ini akan dipilih nilai perbandingan yang terbesar untuk jadi

pedoman pada penelitian tahap 2. Adapun rasio kuat tekan terhadap densitas

ditampilkan dalam Tabel 4.9, yang selanjutnya dibuatkan grafik perbandingan

antara keduanya seperti ditampilkan pada Gambar 4.9.

Tabel 4.9. Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas (σ/ρ) sampel 1-7

umur 28 hari

Kubus 1 2 3 4 5 6 7

σ/ρ

799

916

980

1047

1144

1275

1227

Pada Gambar 4.9 terlihat nilai rasio kuat tekan terhadap densitas dari kubus

1 sampai kubus 6 terjadi kenaikan, namun pada kubus 7 grafik berbalik arah

kebawah, dengan demikian kubus 6 merupakan patokan untuk penelitian tahap

selanjutnya.

Gambar 4.9 Grafik perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap densitas sampel

kubus 1 sampai 7 umur 28 hari

799

916

980

1047

1144

12751227

700

900

1100

1300

0 1 2 3 4 5 6 7

σ /

ρ

Nomor Kubus

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 85: D2054-Moh Azhar.pdf

71

Universitas Indonesia

Sebagaiman sudah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian pada tahap 2 ini

didasarkan pada hasil penelitian tahap 1 yaitu mengambil variasi campuran beton

pada sampel kubus 6 dengan variasi nilai slump yang berbeda untuk mendapatkan

rasio nilai terbesar perbandingan antara kuat tekan terhadap densitas pada nilai

slump yang optimal. Selanjutnya data hasil uji sampel kubus 8, 9, 10 dan 11

dilakukan tabulasi pada nilai slump masing-masing 5, 8, 11, dan 14 cm, hasil ini

ditampilkan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Densitas, Slump dan Kuat Tekan Beton umur 3-28 hari kubus 8-11

Kubus Umur

(hari)

Slump

(cm)

Densitas

(kg/m3)

Kuat Tekan

(MPa)

8

3

5

1702,4 12,6

7 1721,4 17,5

14 1734,9 19,0

21 1754,4 20,0

28 1769,6 20,8

9

3

8

1720,4 13,1

7 1731,4 18,8

14 1754,9 19,9

21 1769,4 21,9

28 1789,6 23,0

10

3

11

1705,6 13,0

7 1728,0 18,3

14 1743,0 19,4

21 1764,0 21,2

28 1774,6 22,0

11

3

14

1701,4 12,1

7 1711,2 16,4

14 1723,1 17,2

21 1730,5 18,4

28 1750,6 19,5

Dari Tabel 4.10 ini dibuatkan grafik perbandingan kuat tekan beton keempat

sampel tersebut pada umur 3 sampai 28 hari sebagaimana ditampilkan pada

Gambar 4.10. Juga dibuat Grafik antara nilai Slump terhadap nilai kuat tekan

beton seperti ditampilkan pada Gambar 4.11.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 86: D2054-Moh Azhar.pdf

72

Universitas Indonesia

Gambar 4.10. Grafik Kuat tekan beton pada umur 3 sampai 28 hari pada

proses pengerasan beton kubus 8-11

Terlihat dari Gambar 4.10 diatas sampel kubus 11 menghasilkan kuat

tekan beton terkecil yaitu sebesar 19,5 MPa. Pada kubus 9 diperoleh nilai Kuat

tekan beton yang paling besar yaitu 23,0 MPa. Pada Gambar 4.11 terlihat bahwa

nilai kuat tekan terbesar terjadi pada nlai Slump 8 cm, sehingga pada Slump 8 cm

adalah yang optimal.

Gambar 4.11 Grafik nilai slump terhadap Kuat Tekan Umur 28 hari

Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa untuk menentukan mana

kubus beton yang akan dipilih adalah ditentukan oleh perbandingan antara

besarnya nilai kuat tekan beton terhadap nilai densitas. Dari hasil Tabel 4.10

diambil nilai Kuat Tekan dan nilai densitas pada umur 28 hari seperti ditampilkan

12.6

17.5 1920

20.8

13.1

18.819.9

21.923,0

13

18.319.4

21.2 22,0

12.1

16.4 17.218.4

19.5

0

5

10

15

20

25

0 5 10 15 20 25 30

Kuat

tek

an (

MPa

)

Umur Beton (Hari)

Kubus 8

Kubus 9

Kubus 10

Kubus 11

20.8

23,0

22,0

19.6

19

20

21

22

23

24

0 5 10 15

Kuat

tek

an (

MPa

)

Slump (cm)

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 87: D2054-Moh Azhar.pdf

73

Universitas Indonesia

pada Tabel 4.11, sehingga diperoleh rasio antara kedua nilai tersebut, dari

perbandingan ini akan dipilih nilai yang terbesar, maka dapat dikatakan itulah

beton ringan yang akan dipilih.

Tabel 4.11. Rasio antara Kuat Tekan terhadap Densitas sampel 8-11 umur

28 hari

Kubus 8 9 10 11

σ/ρ

1175

1285

1240

1114

Untuk lebih jelasnya Tabel 4.11 dibuatkan grafik perbandingan antara rasio

kuat tekan terhadap densitas pada umur beton 28 hari seperti pada Gambar 4.13

berikut ini.

Gambar 4.12 Perbandingan nilai Kuat Tekan terhadap Densitas pada kubus

8-11 umur beton 28 hari

Dari Gambar 4.12 terlihat bahwa sampel kubus 11 memiliki rasio paling kecil

yaitu sebesar 1114, sedangkan rasio terbesar didapatkan pada sampel kubus 9 dengan

nilai 1285. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa dari 11 sampel kubus beton

hasil penelitian ini diambil angka rasio yang terbesar yaitu dengan nilai 1285 yang

didapat pada sampel kubus 9.

Dari serentetan hasil analisa uji kekuatan mekanik beton ringan diatas maka

dapat dimengerti bahwa mekanisme penguatan beton ringan adalah apabila terjadi

peningkatan kekuatan tekan beton akan selalu diikuti pula kenaikan nilai

densitasnya, namun hal ini tidak selalu diikuti oleh nilai slumpnya.

1175

1285

1240

1114

1100

1150

1200

1250

1300

0 1 2 3 4

σ /

ρ

Nomor Kubus8 10 11 9

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 88: D2054-Moh Azhar.pdf

74

Universitas Indonesia

Mikrostruktur permukaan sampel Beton Ringan berupa foto SEM

ditunjukkan untuk melihat secara visual morfologi senyawa-senyawa yang

terbentuk. Pada Gambar 4.13 berikut terlihat hasil foto SEM Beton Ringan Umur

7, 14, 21, dan 28 hari Pembesaran 20000 x

Gambar 4.13 Foto SEM Beton Ringan Umur 7 hari (A), 14 hari (B), 21 hari (C),

dan 28 hari (D) pembesaran 20000 x

Pada Gambar 4.13 foto SEM terlihat bahwa beberapa kemungkinan yang

terjadi pada permukaan material komposit, dimana sebagian semen mengisi

rongga atau pori pada batu apung saat terjadi proses hidrasi semen, hal ini

menyebabkan terjadinya penguatan selama proses berlangsung seiring

bertambahnya waktu. Adanya korelasi antara kecepatan hidrasi dan panas hidrasi,

pada awalnya reaksi hidrasi semen cukup cepat namun kemudian semakin lambat.

Sejalan dengan itu kekuatan berkembang dengan cepat pada awalnya, lalu seiring

dengan bertambahnya waktu kecepatan peningkatan kekuatan menurun.

Peningkatan kekuatan ini terjadi secara berkesinambungan untuk jangka waktu

yang lama.

Semen ketika bereaksi dengan air adalah sebagai material pengikat untuk

membentuk struktur dominan yang terdiri dari Kalsium Silikat Hidrat (CSH).

Pada tahap awal proses hidrasi, struktur masih belum begitu padat, yang ditandai

A B

C D

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 89: D2054-Moh Azhar.pdf

75

Universitas Indonesia

oleh adanya pori-pori. Mekanisme hidrasi dapat dianalisis melalui pertumbuhan

strukturmikro pasta semen pada waktu yang berbeda selama proses hidrasi.

Porositas berkurang seiring bertambahnya waktu hidrasi, hal tersebut dikarenakan

adanya pertumbuhan kristalit CSH seiring bertambahnya waktu hidrasi.

Hasil foto SEM menunjukkan bahwa struktur CSH mulai mengembang atau

tumbuh pada waktu awal dan terus berkembang sampai struktur lebih padat

sampai umur 28 hari. CSH merupakan produk utama dari proses hidrasi pada

semen portland komposit, dimana senyawa ini betanggung jawab penuh dan

memiliki peranan penting terhadap pengaturan sifat mekanik dan fisik seperti

kekuatan tekan setelah pasta semen mengeras.

Pada Gambar 4.14 adalah foto difraksi beton ringan. Terlihat pola difraksi

sudah didominasi fasa kristalin, beberapa puncak-puncak difraksi terlihat jelas dan

tajam, puncak yang tertinggi diprediksi adalah fasa quartz (SiO2), sedangkan

puncak-puncak yang lebih rendah kemungkinan adalah fasa Andesine,

Portlandite, C4AF, C3S-M3, dan Calcite. Jadi diperkirakan beton ringan

merupakan campuran antara fasa kristalin dan ada sedikit fasa amorph.

Gambar 4.14 Hasil uji XRD pola difraksi Beton Ringan umur 28 hari

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 90: D2054-Moh Azhar.pdf

76

Universitas Indonesia

Pada Tabel 4.12 diringkas hasil uji XRD kuantitatif terhadap beton pada

berbagai umur. Pengujian ini termasuk identifikasi fasa yang ada dalam sampel

maupun evaluasi fraksi fasanya yaitu perubahan komposisi.

Tabel 4.12 Hasil uji mineralogi Beton Ringan umur 3-28 hari

NO Mineral Nilai (%) pada Umur (hari)

3 7 14 21 28

1 C3S-M3 5,76 1,40 1,97 3,52 7,47

2 Kaolinite 0,00 0,00 0,00 0,00 0,44

3 Amorphous 5,54 4,67 4,92 8,46 7,36

4 C3S-M1 2,93 5,51 3,45 2,62 0,00

5 C2S-beta 1,84 1,88 3,38 1,29 0,81

6 C3A-cubic 1,11 0,58 0,67 0,26 0,23

7 C3A-ortho 0,94 0,89 0,98 1,06 1,27

8 C4AF 4,56 4,38 3,98 4,43 5,65

9 Lime 0,02 0,00 0,00 0,00 0,08

10 Periclase 0,03 0,02 0,00 0,00 0,00

11 Portlandite 5,65 7,15 6,74 7,21 9,80

12 Quartz 54,93 52,92 53,36 48,77 37,66

13 Arcanite 0,15 0,64 0,71 0,77 1,03

14 Langbeinite 2,24 2,27 2,18 1,75 2,35

15 Aphthitalite 0,18 0,44 0,59 0,44 0,64

16 Gypsum 1,32 1,24 1,06 1,44 0,75

17 Bassanite 0,83 0,50 0,79 0,95 0,61

18 Calcite 1,12 1,76 2,14 3,34 3,30

19 Dolomite 0,43 0,85 0,94 0,53 0,93

20 Tridymite 0,90 0,05 0,36 0,28 0,43

21 Cristobalite 0,49 0,68 0,50 0,68 0,98

22 Sanidine 1,75 1,95 2,14 2,58 1,02

23 Andesine 6,76 8,02 7,36 7,13 8,96

24 Ettringite 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00

25 Tubermorite 0,48 1,23 1,20 1,84 8,14

26 Monosulphate 0,03 0,96 0,58 0,65 0,10

27 Total 99,99 99,99 100,01 100,00 100,01

28 Rwp 5,78 5,29 5,27 5,33 6,03

29 GOF 1,50 1,38 1,38 1,39 1,45

30 DW 1,08 1,16 1,21 1,20 1,06

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 91: D2054-Moh Azhar.pdf

77

Universitas Indonesia

Bila diperhatikan Tabel 4.12 pada fasa amorph hanya mencapai antara

4,67% - 8,46% terjadi penurunan yang drastis dibandingkan dengan fasa amorph

material pembentuk beton abu sekam padi dan batu apung, tentu hal ini berkaitan

dengan pembentukan fasa kristalin selama proses hidrasi. Berdasarkan hasil

pengujian beberapa peneliti sebelumnya seperti Taylor (1997) dan Vera (2009),

selama proses hidrasi, terbentuk fasa kristalin terutama fasa yang berbasis silikat.

Bila diperhatikan data pada Tabel 4.12 tersebut, dengan berjalannya waktu fasa-

fasa material mengalami perubahan. Jadi proses hidrasi selama 3 sampai 28 hari

telah menyebabkan perubahan komposisi fasa beton terutama fasa amorph, dan

Andesine yang mengalami pertambahan persentase volume fraksi fasanya,

sedangkan fasa quartz justru berkurang sejalan dengan pertambahan waktu

pengerasan beton.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 92: D2054-Moh Azhar.pdf

78

Universitas Indonesia

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Batu apung dan abu sekam padi yang merupakan bagian dari material

pembentuk beton ringan adalah material berbasis silika amorph yang

memiliki densitas lebih rendah dibandingkan dengan material pembentuk

beton lainnya seperti semen dan pasir.

2. Baik densitas dan kekuatan tekan beton ringan ditentukan oleh rasio batu

apung dibanding abu sekam padi, ditemukan rasio terkecil yaitu 8

menghasilkan nilai densitas dan kekuatan tekan optimal, masing-masing pada

usia beton 28 hari sebesar 1890,5 kg/m3 dan 23,2 MPa.

3. Nilai optimal yang diperoleh pada beton ringan yang terbaik dari hasil

penelitian ini diperoleh dari beton ringan dengan komposisi campuran PCC

(1,00) : Pasir (1,00) : ASP (0,05) : BA (0,50) sampel beton nomor 6 dengan

nilai Slump 8 cm yang ditandai oleh nilai rasio kuat tekan berbanding densitas

tertinggi yaitu sebesar 1285.

5.2. Saran

Penelitian dimasa akan datang pada beton ringan adalah pengembangan

lebih lanjut abu sekam padi sebagai material pengganti sebagian semen (Bio

Semen), dan batu apung sebagai material pengganti agregat halus dan pengganti

sebagian semen.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 93: D2054-Moh Azhar.pdf

79

Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

A.K. Schindler, K.J. Folliard, Heat of hydration models for Cementitious

Materials, ACI Materials Journal (2005), Title No. 102-M04

A. Manaf, and V. Indrawati, Portland-Blended Cement with Reduced CO2 using

Trass Pozzolan, Journal of the Korean Chemical Society, 2011, Vol. 55, No. 3.

Printed in the Republic of Korea. DOI 10.5012/jkcs.2011.55.3.000

ACI Committee 213R-87, (1999), Guide for Structural Lightweight Aggregate

Concrete, ACI Committee 213, American Concrete Institute

Al-Jabri KS. Hago AW, Al-Nuaimi AS, Al-Saidy AH. Concrete blocks for

thermal insulation in hot climate. Cem Concr Res 2005;35: 1472-1479.

AL-Khalaf, M.N., and Yousif, H.A., "Use of rice husk ash in concrete",

theinternational Journal of cement Composites and lightweight concrete, Vol.6,

No.4, Nov, pp. 241-248,.1984.

Asgeirsson H, Lettsteypur ur vikri. Leghtweight pumice concrete, IBRI; 1984.

ASTM C567-91, (1996), Test Method for Unit Weight of Structural Lightweight

Concrete, ASTM Standards: Concrete and Aggregates, V.04.02., Philadelphia

Babu DS, Babu KG, Wee TH. Properties of lightweight expanded polystyrene

aggregate concretes containing fly ash. Cem Concr Res 2005;35: 1218-1223.

Brown BJ, Skinner M, Report on concrete mix design for lightweight masonry

units using yali pumice coarse and fine aggregates. Report No: 89/3408D/2923,

STATS Scotland Ltd., East Kilbride, Scotland, UK; 1990.

Chandra Satish and Berntsson Leif, (2002), Lightweight Aggregate Concrete:

Science, Technology and Applications, Chalmers University of Technology,

Goteborg, Sweden, William Andrew Publishing, Norwich,New York, USA

Chao Lung Hwang and Satish Chandra, The use of rice husk ash inconcrete,

Edited by Satish Chandra Division of Concrete Structures Chalmers University of

Technology Goteborg, Sweden (1997).

Chi. J.M., Huang. R., Yang, C.C.,Chang, J.J., Effect of aggregate properties on

the strength and stiffness of lightweight concrete. Cem. Concr Compos 2003;

25(2): 197-205.

Dionisius Tripriyo, dkk., Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-

Bali, 2-3 Juni 2010.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 94: D2054-Moh Azhar.pdf

80

Universitas Indonesia

E. Sancak, The Effect of the Use of Steel Fibres on Mechanical Properties of

Lightweight Aggregate Concrete Blocks, Suleyman Demirel University, Natural

Science Institute, Master Thesis, Isparta, 79 pages, 1998.

Failla A, Mancuso P, Miraglia N, Ruisi V. Experimental-theoretical study on

pumice aggregate lightweight concrete. Technical report, the instuto di scienza

delle costruzioni, facolta di ingegneria, Palermo; Published by minestero della

publica instuzione, Palermo, Italy; 1997. P. 3-22.

G. De Schutter, General hydration model for Portland Cement and blast furnace

slag cement, Cement and Concrete Recearch 25 No. 3 (1995) 593-604

G. Martinez-Barrera, E. Vigueras-Santiago, O. Gencel, and H.E. Hagg-Lobland, J.

Mater. Ed., 33, 37, 2011

Gunduz L, Ugur I. The effects of different fine and coarse pumice

aggregate/cement ratios on the structural concrete properties without using any

admixtures. Cem Concr Res 2005; 35: 1859-1864.

Gunduz, L. A technical report on lightweitht aggregate masonry block

manufacturing in Turkey. Suleyman Damirel University, Isparta, Turkey; 2005. P.

1-110.

Gunduz, L. The effects of pumice aggregate/cement ratios on the low-strength

concrete properties. Construction and building Materials 22 (2008) 721-728.

Hanifi Binici., Effect of crushed ceramic and basaltic pumice as fine aggregates

on concrete mortars properties, constructions and building materials; 21 : 1191-

1197.

Hwang, C. L., and Wu, D. S., Properties of Cement Paste Containing Rice

Husk Ash, ACI SP-114 (Editor: V. M. Malhotra), pp. 733-765 (1989).

Joedono, ejournal ftunram, vol 2 no 3 Desember 2006.

Judarta Vera Indrawati, Dissertation, Mechanical strength improvement of

Portland blended cement by mechanical and chemical activations. Materials

Science, University of Indonesia, 2009

K. Fuji, W. Kondo, Kinetics of the hydration of tricalcium Silicate, Journal of the

American Ceramic Society 57 (1974) 492-502

Kawkab H. Al-Rawi, Mazin T. Al-Kuttan, and Rawa'a A. Al-Niemey, Some

Mechanical Properties of Pumice Lightweight Aggregate Concrete Incorporating

Rise Husk Ash, Received on: 8/7/2006 , Accepted on: 13/2/2008

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 95: D2054-Moh Azhar.pdf

81

Universitas Indonesia

Ke Y, Beaucour AL, Ortola S, Dumontet H, Cabrillac R. Influence of volume

fraction and characteristics of lightweight aggregates on the mechanical properties

of concrete. Constr Build Mater 2009; 23: 2821-8.

Klaus Meinhard, Roman Lackner, Multiphase hydration model for prediction of

hydration heat release of blended cement, Cement and Concrete Recearch 38

(2008) 794-802

Kornev NA, Kramar VG, Kudryavtsev AA. Design peculiarities of prestressed

supporting constructions from concretes on porous aggregates. Lancester, London,

New York, UK: The concrete society, The Construction Press; 1980. P. 141-152.

Lydon FD., Concrete mix design. 2nd

ed. London: Applied Science Publishers;

1982.

Mehta, P. K., Pozzolanic and Cementitious By-products as Mineral Admixtures

for Concrete-A Critical Review, ACI SP-79, Detroit, MI pp. 1-46 (1983).

Mehta, P. K., Rice Husk Ash-A Unique Supplementary Cement Material,

Advances in Concrete Technology, Ed. by Malhotra, CANMET, Ottawa,

Canada (1992).

Mulyono T., Teknologi Beton, Edisi II, Penerbit ANDI, Jogjakarta, 2005

Nawy, Edward G., Reinforce Concrete a Fundamental Approach, Terjemahan,

Cetakan Pertama, Bandung: PT. Eresco, 1990.

Neville AM. Properties of concrete. 4th

and final edition. Harlow (UK): Addison-

Wesley/Longman limited; 1996.

O. Bernard et al, A multiscale micromechanics-hydration model for the early age

elastic properties of cement-based materials, Cement and Concrete Recearch 33

(2003) 1293-1309

Ricard Ylmen, Ulf Jaglid, Britt-Marie Steenarid, Itai panas, Early hydration and

setting of Portland cement monitored by IR, SEM and Vicat technicues, Cement

Concrete Research 39 (2009) 433-439

Rosario Madrid, C. A. Nogueira and F. Margarido, Production and

Characterisation of Amorphous Silica From Rice Husk Waste, 4th

International

Conference on Engineering for Waste and Biomass Valorisation September 10-

13, 2012 – Porto, Portugal

T.D. Shen, C.C. Koch, Acta Mater. 44 (1996) 753.

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 96: D2054-Moh Azhar.pdf

82

Universitas Indonesia

Tayfun Uygunoglu, Witold Brostow, Osman Gencel, Ilker Bekir Topcu, Bond

Strength of Polymer Lightweight Aggregate Concrete. POLYMER

COMPOSITES—2013. DOI 10.1002/pc. 2131.

Uma Ramasamy dkk, evaluation report of hess pumice, June 11, 2012

Wasserman R, Bentur A, Effect of lightweight fly ash aggregate microstructure on

the strength of concrete, Cement Concrete Research 1997; 27(4) : 525-537.

X. Zhang, H. Wang, M. Kassem, J. Narayan, C.C. Koch, J. Mater.Res. 16 (2001)

3485.

Yang CC, Huang R. Approximate strength of lightweight aggregate using

micromechanics method. Adv Cem Based Mater 1998; 7(3-4): 133-8.

Zhang MH, Gjorv OE. Characteristics of lightweight aggregates for high-strength

concrete, ACI Mater J, 1991 (March-April) : 150-158.

Zhang MH., Microstructure and properties of high strength lightweight concrete.

Div Build Mater. Trondheim, Norway: Norwegian Institute of Technology; 1989

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 97: D2054-Moh Azhar.pdf

83

Universitas Indonesia

LAMPIRAN

PUBLIKASI :

1. Farusi Agusten, Moh Azhar, Studi,Kuat Tekan Beton dengan Menggunakan

Pasir Bangka pada Campuran Beton, Jurnal Teknik Sipil C-Line, Volume 1,

No. 2, Desember 2011.

2. Dede Hartanto, Moh Azhar, Pengaruh Admixtures Superplasticizer Terhadap

Kuat Tekan Beton, Jurnal Teknik Sipil C-Line, Volume 2, No. 1, Juli 2012.

3. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Rice Husk Ash and Pumice

in Lightweight Concrete of Engineering Materials to Improve Mechanical

Strength Portland Cement Composites, International Conference: Innovation

Research for Science, Technology and Culture, 19-20 Nov 2013

4. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Rice Husk Ash and Pumice

in Lightweight Concrete of Engineering Materials to Improve Mechanical

Strength Portland Cement Composites, International Journals of Engineering &

Sciences, Volume: 14, Issue: 03, June 2014.

5. Moh Azhar, Azwar Manaf, Bambang Soegijono, Vera Indrawati Judarta,

Rekayasa Nilai Slump untuk Mendapatkan Kuat Tekan Terbesar pada Beton

Ringan yang Menggunakan Material Abu Sekam Padi dan Batu Apung,,

Seminar Nasional MIPAnet 2014: Innovative Science for Better Nation:

Revisiting the Role of Science, 2-3 Desember 2014

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 98: D2054-Moh Azhar.pdf

84

Universitas Indonesia

DATA-DATA PENELITIAN DAN HASIL PERHITUNGAN :

Tabel L.1. Data hasil uji Kadar Lumpur Agregat Halus Cara Volume

Tinggi Sampel Awal (ml) 250

Tinggi Air Awal (ml) 500

Tinggi Lumpur Akhir (ml) = A 250

Tingg Pasir Akhir (ml) = B 240

Kadar Lumpur (%) 4 .0

Tabel L.2. Data hasil uji Kadar Lumpur Agregat Halus Cara Berat

Berat Container (gr) 157

Berat Contoh Bahan Alami (gr) 1000

Berat Sample Kering Oven seblm dicuci = A (gr) 974

Berat Sample Kering Oven setlh dicuci = B (gr) 234

Kadar Lumpur (%) 4,1

Tabel L.3. Data hasil uji Kadar Air Agregat Halus

Berat Container (gr) 107

Berat Contoh Bahan Alami (gr) 500

Berat Sample Kering Oven (gr) 492

Kadar Air (%) 1,6

Suhu Ruangan (0 c) 25

Tabel L.4. Data hasil uji Density & Penyerapan Air Agregat Halus

Suhu Ruangan (0 c) 25

Berat Benda Uji Kering Permukaan Jenuh (Bj)(gr) 500

Berat Benda Uji Kering Oven (Bk) (gr) 474

Berat Piknometer & Isi Air (Ba) (gr) 653

Berat Piknometer + Benda Uji Air (Bt) (gr) 998

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 99: D2054-Moh Azhar.pdf

85

Universitas Indonesia

Tabel L.5. Data hasil Analisa Ayakan Pasir ( 1500 gr )

Ayakan Perc. I

Perc. II

tertinggal lolos Komulatif tertinggal

No/mm Berat (gr)

Gr Gr Gr % Gr % %

4/4.75 424 439 449 15 1 1485 99 1

8/2.36 350 431 458 94.5 6.3 1390.5 92.7 7.3

16/2.00 333 402 412 74 4.93 1316.5 87.8 12.23

30/0.425 311 1025 1056 730 48.64 587 39.1 60.87

50/0.250 297 780 745 466 31.03 121.5 8.1 91.9

100/0.106 275 391 377 109 7.27 12.5 0.83 99.17

Container 276 298 279 12.5 0.83 0 0 100

Jumlah 1500 100 372.47

Finenes Modulus = 3.7247 Tabel L.6. Data hasil Analisa Ayakan Batu Apung ( 500 gr )

Ayakan Perc. I

Perc. II

tertinggal lolos Komulatif tertinggal

No/mm Berat (gr)

Gr Gr Gr % Gr % %

4/4.75 424 488 480 60 12 440 88 12

8/2.36 350 487 469 128 25.6 312 62.4 37.6

16/2.00 333 368 365 33.5 6.7 278.5 55.7 44.3

30/0.425 311 426 439 122 24.3 157 31.4 68.6

50/0.250 297 358 379 71.5 14.3 85.5 17.1 82.9

100/0.106 275 310 314 37 7.4 48.5 9.7 90.3

Container 276 329 320 48.5 9.7 0 0 100

Jumlah 500 100 435.7

Finenes Modulus = 4.3570

Tabel L.7. Data hasil uji Density & Penyerapan Air Batu Apung

Berat Tempat (Keranjang) (gr) 1144

Berat Sampel Kering Oven (Bk) (gr) 1000

Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh +Tempat (gr) 2980

Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh (Bj) (gr) 1836

Berat Sampel Kering Permukaan Jenuh Dlm Air (Ba) (gr) 698

Berat Keranjang Dalam Air (gr) 1017

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 100: D2054-Moh Azhar.pdf

86

Universitas Indonesia

Perhitungan Densitas dan Penyerapan Air pada agregat halus pasir sebagai

berikut:

Bulk Sp. Gr = = = 3,05 gr/cm3

Bulk SSD Sp. Gr = = = 2,56 gr/cm3

App SSD Sp. Gr = = = 2,80 gr/cm3

Penyerapan = x 100 = = 5,4 %

Perhitungan Densitas dan Penyerapan Air pada agregat kasar batu apung sebagai

berikut:

Bulk Sp. Gr = = = 0,8787 gr/cm3

Bulk Sp. Gr (SSD) = = = 1,6134 gr/cm3

App Sp. Gr = = = 3,3113 gr/cm3

Penyerapan = x 100% = = 83,60 %

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 101: D2054-Moh Azhar.pdf

87

Universitas Indonesia

Gambar L.1. Hasil EDAX Abu Sekam Padi berupa grafik, tabel komposisi

unsure, dan pengambilan photo posisi 2

Gambar L.2. Hasil EDAX Abu Sekam Padi berupa grafik, tabel komposisi

unsur, dan pengambilan Photo posisi 3

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 102: D2054-Moh Azhar.pdf

88

Universitas Indonesia

Gambar L.3. Hasil EDAX Batu Apung 2 pada grafik, tabel komposisi, dan

posisi pengambilan Photo

Gambar L.4. Hasil EDAX Batu Apung 3 pada grafik, tabel komposisi, dan posisi

pengambilan Photo

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 103: D2054-Moh Azhar.pdf

89

Universitas Indonesia

Mencari nilai Berat Molekul (BM), untuk menghitung persentase senyawa

yang terjadi pada hasil XRD (kuantitatif) dibandingkan dengan hasil XRF (semi

kuantitatif).

1. Andesine (Na0.5 Ca0.5 Al1.5 Si2.5 O8) = 2.12 %

MR = 0.5 ANa + 0.5 ACa + 1.5 AAl + 2.5 ASi + 8 AO

= 0.5 (22.9998) + 0.5 (40.08) + 1.5 (26.9815) + 2.5 (28.085) + 8 (15.9994)

= 11.4999 + 20.04 + 40.4723 + 70.2125 + 127.9952

= 270.2201

Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)

Wt Si = (2.12 %)

= (2.12 %) = 0.5508 %

MR SiO2 = ASi + 2 AO

= 28.085 + 2 (15.9994) = 60.0838

Wt SiO2 = Wt Si

= x 0.5508 % = 1,18 %

2. Labradorite (Na0.35 Ca0.65 Al1.65 Si2.35 O8) = 18.14%

MR = 0.35 ANa + 0.65 ACa + 1.65 AAl + 2.35 ASi + 8 AO

= 0.35(22.9998)+0.65(40.08)+1.65(26.9815)+2.35(28.085) + 8(15.9994)

= 8.0499 + 26.052 + 44.5195 + 65.9998 + 127.9952

= 272.6164

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 104: D2054-Moh Azhar.pdf

90

Universitas Indonesia

Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)

Wt Si = (18.14 %)

= (18.14 %) = 4.3917 %

MR SiO2 = 60.0838

Wt SiO2 = Wt Si

= x 4.3917 % = 9,40 %

3. Anorthite (Ca Al2 Si2 O8) = 6.56 %

MR = ACa + 2 AAl + 2 ASi + 8 AO

= 40.08 + 2 (26.9815) + 2 (28.085) + 8 (15.9994)

= 40.08 + 53.963 + 56.17 + 127.9952

= 278.2082

Mencari Berat Molekul (Wt SiO2)

Wt Si = (6.56 %)

= (6.56 %)

= 1.3245 %

MR SiO2 = 60.0838

Wt SiO2 = Wt Si

= x 1.3245 % = 2,84 %

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 105: D2054-Moh Azhar.pdf

91

Universitas Indonesia

Tabel L.8 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton dengan variasi Abu Sekam

Padi (ASP) : 0% - 20%

Variasi

Campuran

Umur

Hari

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

(MPa) (MPa)

0%

3 15,0

13,6 3 13,2

3 12,6

5%

3 13,3

12,6 3 11,5

3 13,0

10%

3 10,2

11,9 3 12,9

3 12,6

15%

3 8,3

8,4 3 8,4

3 8,5

20%

3 8,1 8,0

3 8,0

3 7,9

0%

14 20,2

20,6 14 20,0

14 21,6

5%

14 20,8

19,0 14 18,2

14 18,0

10%

14 20,8

18,5 14 17,3

14 17,4

15%

14 14,2

14,7 14 14,0

14 15,9

20%

14 12,8

13,8 14 14,2

14 14,4

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 106: D2054-Moh Azhar.pdf

92

Universitas Indonesia

Variasi

Campuran

Umur

Hari

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

(MPa) (MPa)

0%

28 23,3

23,6 28 23,6

28 23,9

5%

28 22,6

22,5 28 22,2

28 22,7

10%

28 20,9

21,5 28 22,2

28 21,4

15%

28 19,7

21,0 28 20,9

28 22,4

20%

28 17,9

17,3 28 16,9

28 17,1

Tabel L.9 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 1 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 1,00 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

1

14

3

6,7

6,7

1360,2

1363,9 6,5 1364,8

6,8 1366,7

7

8,1

8,0

1360,1

1366,2 8,0 1364,3

7,9 1374,2

14

8,8

8,9

1372,4

1374,8 9,0 1381,4

8,9 1370,6

21

10,3

10,2

1391,5

1383,7 10,2 1378,9

10,1 1380,7

28

11,2

11,1

1398,9

1389,6 11,1 1383,2

11,0 1386,7

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 107: D2054-Moh Azhar.pdf

93

Universitas Indonesia

Tabel L.10 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 2 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,90 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

2

14

3

8,8

8,8

1394,2

1397,0 8,9 1390,0

8,7 1406,8

7

10,3

10,2

1415,8

1408,9 10,1 1400,2

10,2 1410,7

14

11,1

11,2

1430,1

1434,1 11,2 1426,5

11,3 1445,7

21

12,4

12,3

1460,9

1448,9 12,2 1440,2

12,3 1445,6

28

13,3

13,3

1448,3

1452,2 13,2 1442,5

13,4 1465,8

Tabel L.11 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 3 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,80 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

3

14

3

10,0

10,1

1538,6

1549,6 10,2 1567,3

10,1 1542,9

7

11,6

11,7

1550,2

1561,5 11,7 1575,0

11,8 1559,3

14

13,1

13,0

1564,7

1570,4 13,0 1581,2

12,9 1565,3

21

14,5

14,4

1591,6

1582,2 14,3 1574,9

14,4 1580,1

28

15,6

15,6

1603,8

1591,1 15,7 1580,9

15,5 1588,6

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 108: D2054-Moh Azhar.pdf

94

Universitas Indonesia

Tabel L.12 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 4 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,70 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

4

15

3

11,2

11,1

1667,8

1673,3 11,0 1679,3

11,1 1672,8

7

14,2

14,1

1686,2

1679,3 14,0 1668,9

14,1 1682,8

14

15,7

15,6

1680,9

1688,2 15,5 1693,8

15,6 1689,9

21

16,8

16,9

1693,9

1697,3 16,9 1690,7

17,0 1707,3

28

17,9

17,8

1702,4

1699,4 17,7 1705,6

17,8 1690,2

Tabel L.13 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 5 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,60 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

5

11

3

11,9

12,0

1692,3

1700,7 12,1 1711,0

12,0 1698,8

7

16,0

15,9

1708,6

1715,6 15,8 1712,9

15,9 1725,3

14

17,7

17,8

1725,9

1737,0 17,9 1730,3

17,8 1754,8

21

19,2

19,1

1775,2

1757,4 19,1 1750,5

19,0 1746,5

28

20,0

20,0

1771,0

1760,9 20,1 1751,8

19,9 1759,9

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 109: D2054-Moh Azhar.pdf

95

Universitas Indonesia

Tabel L.14 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 6 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

6

10

3

13,0

12,9

1710,1

1717,1 12,8 1714,6

12,9 1726,6

7

18,4

18,5

1719,8

1730,7 18,6 1726,8

18,5 1745,5

14

19,9

20,0

1760,6

1752,4 20,1 1746,8

20,0 1749,8

21

21,4

21,3

1772,1

1768,1 21,3 1765,3

21,2 1766,9

28

22,6

22,7

1792,3

1780,6 22,7 1776,4

22,8 1773,1

Tabel L.15 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 7 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,40 : 0,05), w/c = 0,50

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

7

12

3

13,3

13,4

1839,2

1841,9 13,4 1842,1

13,5 1844,4

7

19,0

18,9

1852,1

1848,5 18,9 1847,8

18,8 1845,6

14

20,8

20,7

1872,1

1863,7 20,6 1860,4

20,7 1858,6

21

21,7

21,8

1879,4

1878,5 21,9 1875,3

21,8 1880,8

28

23,1

23,2

1895,3

1890,5 23,3 1888,9

23,2 1887,3

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 110: D2054-Moh Azhar.pdf

96

Universitas Indonesia

Tabel L.16 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 11 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 5), w/c = 0,40

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

8

5

3

12,5

12,6

1697,9

1702,4 12,6 1700,1

12,7 1709,2

7

17,6

17,5

1717,3

1721,4 17,5 1720,6

17,4 1726,3

14

19,1

19,0

1729,8

1734,9 19,0 1732,9

18,9 1742,0

21

19,9

20,0

1752,9

1754,4 20,0 1750,2

20,1 1760,1

28

20,7

20,8

1776,9

1769,6 20,8 1767,4

20,9 1764,5

Tabel L.17 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 8 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 8), w/c = 0,46

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

9

8

3

13,2

13,1

1721,5

1720,4 13,0 1715,9

13,1 1723,8

7

18,7

18,8

1726,4

1731,4 18,8 1730,1

18,9 1737,7

14

19,6

19,5

1758,0

1754,9 19,4 1747,5

19,5 1759,2

21

21,8

21,9

1765,8

1769,4 21,9 1766,3

22,0 1776,1

28

22,9

23,0

1786,3

1789,6 23,1 1792,3

23,0 1790,2

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 111: D2054-Moh Azhar.pdf

97

Universitas Indonesia

Tabel L.18 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 9 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 11), w/c = 0,52

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

10

11

3

12,9

13,0

1703,4

1705,6 13,1 1702,3

13,0 1711,1

7

18,4

18,3

1723,2

1728,0

18,3 1726,7

18,2 1734,1

14

19,6

19,7

1739,3

1743,0

19,8 1749,6

19,7 1740,1

21

21,3

21,2

1762,3

1764,0 21,1 1760,6

21,2 1769,1

28

21,9

22,0

1771,2

1774,6 22,0 1779,4

22,1 1773,2

Tabel L.19 Data Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Kubus 10 (PCC : Pasir : BA :

ASP = 1,00 : 1,00 : 0,50 : 0,05; Slump = 14), w/c = 0,56

No

Slump

(cm)

Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Density Density

Rata-Rata

Kubus (MPa) (MPa) (kg/m3) (kg/m

3)

11

14

3

12,1

12,1

1707,4

1701,4 12,0 1699,3

12,2 1697,5

7

16,5

16,4

1709,4

1711,2

16,4 1708,2

16,3 1716,0

14

17,3

17,2

1723,0

1723,1 17,2 1720,9

17,1 1725,4

21

18,5

18,4

1727,8

1730,5

18,3 1729,7

18,4 1734,0

28

19,6

19,5

1747,6

1750,6 19,4 1755,3

19,5 1748,9

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 112: D2054-Moh Azhar.pdf

98

Universitas Indonesia

Tabel L.20. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 12, Pasta Semen, w/c = 0,45

No Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Kubus (MPa) (MPa)

12

3

15,6

15,6 15,7

15,5

7

18,1

18,0 18,0

17,9

14

23,6

23,7 23,8

23,7

21

26,2

26,1 26,0

26,1

28

28,9

29,0 29,1

29,0

Tabel L.21. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 13, Pasta Semen + Abu Sekam Padi

(1,00 : 0,05) w/c = 0,45

No Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Kubus (MPa) (MPa)

13

3

14,9

14,8 14,7

14,8

7

17,2

17,1 17,1

17,0

14

22,1

22,1 22,0

22,2

21

24,8

24,7 24,6

24,7

28

27,6

27,5 27,4

27,5

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 113: D2054-Moh Azhar.pdf

99

Universitas Indonesia

Tabel L.22. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 14, Pasta Semen + Batu

Apung (1,00 : 0,50) w/c = 0,45

No Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Kubus (MPa) (MPa)

14

3

10,3

10,2 10,1

10,2

7

14,1

14,1 14,2

14,0

14

16,5

16,4 16,3

16,4

21

18,6

18,5 18,4

18,5

28

20,2

20,1 20,1

20,0

Tabel L.23. Data hasil Uji Kuat Tekan kubus 15, Pasta Semen + Pasir

(1,00 : 1,00), w/c = 0,40.

No Umur

(hari)

Kuat

Tekan

Kuat Tekan

Rata - Rata

Kubus (MPa) (MPa)

15

3

16,8

16,8 16,9

16,7

7

23,3

23,2 23,1

23,2

14

31,7

31,6 31,6

31,5

21

34,1

34,0 33,9

34,0

28

35,9

36,0 36,0

36,1

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 114: D2054-Moh Azhar.pdf

100

Universitas Indonesia

Photo SEM Beton Ringan Umur 3-28 hari Pembesaran 1000 x - 10000 x

Gambar L.5 Photo SEM Beton Ringan umur 3 hari pembesaran 1000x

(A), 5000x (B), dan 10000x (C)

Gambar L.6 Photo SEM Beton Ringan Umur 7 hari pembesaran1000x

(A), 5000 x (B), dan 10000x (C)

Gambar L.7 Photo SEM Beton Ringan Umur 14 hari pembesaran1000x

(A), 5000x (B), dan 10000x (C)

Gambar L.8 Photo SEM Beton Ringan Umur 21 hari pembesaran1000x

(A), 5000x (B), dan 10000x (C)

Gambar L.9 Photo SEM Beton Ringan Umur 28 hari pembesaran1000x

(A), 5000x (B), dan 10000x (C)

A C B

C A B

A C B

B A C

A C B

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 115: D2054-Moh Azhar.pdf

101

Universitas Indonesia

PHOTO ALAT-ALAT DAN SAMPEL PENELITIAN :

Alat Uji Kuat Tekan Beton (Compressive Strength Machine)

Mixer

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.

Page 116: D2054-Moh Azhar.pdf

102

Universitas Indonesia

Slump Cube

Sieve Balance & Los Angeles Machine

Rekayasa material..., Moh Azhar, FMIPA UI, 2015.