Informatika Edisi Interaktif Lebaran 1436 H

16

description

Alih-alih mengundang untung, perubahan kebijakan prosedur seringkali mengundang buntung. Apalagi Masisir yang semula menjagokan Temus hanya dari sistem pengundian semata, musti kebakaran jenggot dengan adanya seleksi ujian Temus yang diadakan baik secara lisan maupun tertulis.“Bisa dibilang, KBRI penyebab perubahan prosedur Temus tahun ini, atau pak Fahmi Lukman secara personal yang tidak mau melakukan lobi. Alasannya KBRI hanya menjalankan prosedur yang sudah ditetapkan oleh Konjen dan tidak bisa dilobi lagi, padahal PPI Yordania tetap bisa melaksanakan Temus sesuai dengan tradisi mereka dengan tetap melakukan tes secara prosedural saja,” ujar ketua Tim AD HOC, Alfarabi.

Transcript of Informatika Edisi Interaktif Lebaran 1436 H

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436

    Editorial

    Email: [email protected]

    Telp / Mobile: 01157926958/01142418156

    Alamat Redaksi: Wisma Nusantara, 8 Wahran St. Rabea el-Adawea , Nasr City, Cairo, Egypt.

    Distributor dan Periklanan: Irfan M. Ali: +201100159050 Wasliyah J: +201274944865

    Layouter & Ilustrator: Surya Fajrin/Ahmad Rofiq

    Editor: Fakhri Emil Habib, Miftah Firdaus, Nisaul Mujahidah

    Reporter: Adam Dwi Baskoro, Ahmad Rofiq, Fauzi Zahrul A, Muhammad Daud Farma, Surya Fajrin, Yazid Arif, Afifah N Diyanah, Habibah, Hani Fathiya, Mega Puspita

    Redaktur Ahli: Ahmad Satriawan Hariadi, Hilmy Mubarok, Fitra Yuzarni.

    Penanggungjawab:

    Koordinator Departemen Media dan Komunikasi ICMI Orsat Kairo

    Pengarah:

    Drs. Ahmad Isrona Alfakhri Zakirman, Lc. Indra Gunawan, Lc.

    Pelindung: Ketua Umum ICMI Orsat Kairo

    Informatika

    Dewan Redaksi: Moch Hamam, Nawa Syarif, Laela Nurhi-dayah, Shofuriya, Nurul Aini

    Sekretaris Redaksi: Irfan Muhammad Ali

    Pemimpin Redaksi: M. Fahmi al-Fath

    Pemimpin Usaha: Wasliyah J

    Pemimpin Umum: Rifatud Darojah

    Berpikir bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan serupa dapat mem-buat diri lebih baik sekilas terasa wajar, namun menurut penelitian psikologi justru sebaliknya. Pikiran dan perilaku balas dendam malah bisa membuat kita merasa lebih buruk. Menurut Kristi Poerwandari, hal itu disebabkan adanya peningkatan rasa marah. Yang diberi kesempatan untuk membalas akan mengembangkan ru-minasi, yakni pikiran yang terus beru-lang, obsesi mengenai kejadian telah dicurangi, dan obsesi untuk membalas tindakan curang itu. Sementara yang memaafkan, cenderung lebih mudah melupakan dan tidak dikuasai oleh rasa marah. Dalam Islam, memaafkan adalah pun-cak ketakwaan orang yang disakiti dan dizalimi. Dalam sejarahnya, para pem-besar Islam mampu merebut hati musuh justru bukan dengan bergagah-gagahan, tapi dengan sifat lembut dan mudah memaafkan. Hal itu dicon-tohkan langsung oleh Rasulullah ketika Fathu Makkah, memaafkan kaum kafir Quraisy yang tak berkutik. Dalam bermasyarakat, wajar terjadi gesekan, kesalahpahaman, ngotot

    dengan perbedaan pendapat, sehingga kita bersitegang satu sama lain, tak terkecuali di lingkungan Masisir. Meng-ingat banyaknya permasalahan yang menimpa Masisir beberapa bulan tera-khir. Maka waktu lebaran adalah mo-men yang sangat tepat untuk saling maaf-memaafkan kesalahan. Seperti halnya perubahan prosedur seleksi Temus yang membuat Masisir memanas, kecewa, marah, tapi harus tetap diterima dengan lapang dada. Hal inilah yang menjadi topik pembahasan utama edisi Interaktif ini, selain kami juga menghadirkan rubrik opini, keis-laman dan sastra. Seperti biasa, dalam edisi khusus kita mengajak partisipasi Masisir untuk turut serta mengucapkan selamat hari raya idul fitri dan permohonan maaf, dengan space-space iklan yang telah kami se-diakan. Akhirnya, selamat menikmati hidangan sederhana dari kami, selamat merayakan Idul Fitri, selamat bermaaf-maafan, karena sifat pemaaf adalah

    salah satu puncak ketakwaan.

    Memaafkan

    2

    takwaa

    Foto kopi

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H

    Selengkapnya...Hal 8

    Suara Mayoritas

    A lih-alih mengundang

    untung, perubahan

    kebijakan prosedur

    seringkali mengundang buntung. Apalagi

    Masisir yang semula menjagokan Temus

    hanya dari sistem pengundian semata,

    musti kebakaran jenggot dengan adanya

    seleksi ujian Temus yang diadakan baik

    secara lisan maupun tertulis. Memang

    semula Temus menjadi hak paten presiden

    PPMI dan para ketua kekeluargaan sebagai

    hadiah atas pengabdian mereka selama

    setahun kepada rakyatnya, tetapi pada

    tahun ini, mereka musti bersaing dengan

    seluruh calon partisipan Temus, bahkan

    dengan anggota kekeluargaan mereka

    sendiri.

    Penyebab berubahnya prosedur Temus ini disinyalir karena gagalnya atau bisa dikatakan tidak maunya pihak KBRI melobi Konsulat Jendral (Konjen) agar prosedur Temus bagi Masisir sama seperti tradisi yang telah berlaku. Sebenarnya tes itu sudah menjadi keputusan dari Konjen yang sudah berlaku pada tahun-tahun

    sebelumnya, tapi pihak KBRI dan PPMI selalu bisa melobi sehingga prosedur Temus tetap sesuai dengan tradisi Masisir, hanya dengan pengundian, ujar Alfarabi, ketua tim pengawas hasil keputusan rapat Temus, yang biasa disebut AD HOC. Bisa dibilang, KBRI penyebab perubahan prosedur Temus tahun ini, atau pak Fahmi Lukman secara personal yang tidak mau melakukan lobi. Alasannya KBRI hanya menjalankan prosedur yang sudah ditetapkan oleh konjen dan tidak bisa dilobi lagi, padahal PPI Yordania tetap bisa melaksanakn Temus sesuai dengan tradisi mereka dengan tetap melakukan tes secara prosedural saja, jelasnya. Tidak bisa dipungkiri, perubahan prosedur Temus akan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi Masisir. Salah satunya, beberapa ketua kekeluargaan tidak dapat mengikuti Temus, walau di sisi lain juga mendatangkan dampak positif seperti lebih berkompetennya petugas Temus yang diberangkatkan karena melalui seleksi terlebih dahulu. Alfarabi kembali menjelaskan, Dampak positif dari pengadaan tes ini tentu saja Temus yang

    diberangkatkan lebih berkompeten dan mumpuni karena disaring melalui tes terlebih dahulu. Sedangkan dampak negatifnya, ada ketidakadilan karena beberapa ketua kekeluargaan tidak lulus, sedangkan mereka sudah berkhidmat untuk Masisir tanpa gaji sepeserpun, dan biasanya Temus itulah yang menjadi reward atas pengabdian mereka. Hal ini juga yang akan menyebabkan kemunduran organisasi Masisir, terangnya. Contohnya kekeluargaan KMNTB yang merupakan gabungan dari 3 provinsi yaitu NTT, NTB, dan Bali tidak lulus, dan mereka mengancam akan keluar dari PPMI jika ketua mereka tidak diberangkatkan, lanjut pemuda berkulit sawo matang ini. Di sisi lain, sebenarnya kebijakan Temus tahun ini direspon baik oleh ketua-ketua dan pemangku tanggung jawab Masisir, karena ingin memperbaiki Masisir skala Temus Timur tengah dan mempertahankan Temus untuk kawan-kawan ke depannya. Hanya saja mekanisme yang dijanjikan oleh pihak Atdik tidak seperti hasil

    Temus Wajib Seleksi, Pemimpin Gigit Jari?

    K etika manusia terlahir ke dunia ini, tanpa disadari itu adalah sebuah pilihan.

    Pilihan yang diberikan oleh sang Tuhan untuk terus melanjutkan kehidupan yang sudah ditakdirkan. Tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi esok, bahkan satu menit ke depan. Hidup ini-sudah menjadi takdird alam ketentu-anNya. Tugas manusia adalah me-manfaatkan waktu yang dimilikinya-dengan sebaik-baiknya. Dalam dua-belas bulan yang ada, kita tahu bahwa ada satu bulan yang sangat istimewa. Satu bulan yang selalu di nanti penuh harap. Satu bulan bilamana semua orang berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan mencari pahala di da-lamnya. Dialah Ramadhan, bulan yang penuh dengan ampunan Allah dan ber-laku sebagai tolak ukur penyucian diri setiap insan sampai dipertemukan di awal Syawal nanti, hari kemenangan bagi umat Islam. Hari ketika umat Mus-

    lim mampu mengukur sejauh mana pen-capaian dari 30 hari sebelumnya di-hisab, pun juga ketika mereka saling berlomba untuk mendapatkan Lailatul-Qadr. Satu-satunya malam yang Al-Quran mengistimewakannya sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah: Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan,(Al-Qadr:3). Ramadhan juga memiliki berbagai keutamaan lain, yakni satu-satunya bulan ketika al-Quran diturunk-an. Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkannya al-Quran, (Al-Baqarah: 184). Keistimewaan lainnya, di bulan ini, segala amalan dilipatgandakan pa-halanya. Maka sebaiknya jangan sia-siakan waktu Ramadhan hanya untuk berleha-leha, menonton atau tidur saja. Banyak aktivitas lain yang lebih ber-manfaat untuk mengisi bulan nan pernuh rahmat ini, karena kita tidak mampu memastikan untuk sanggup bertemu dengan bulan penuh ampunan ini sekali lagi atau tidak. Pada bulan ini, umat Muslim tidak hanya dilatih menahan rasa lapar dan haus, akan tetapi dilatih juga untuk

    menahan amarah dan hawa nafsu. Kita ditempa dan diuji agar menjadi insan yang berkualitas, agar pas hari keme-nangan di bulan Syawal nanti, keme-nangan dan kesucian diri yang kita raih itu mutlak, bukan sekadar berkat. Inilah hakikat kemenangan sesungguhnya. Bukan hanya mampu melewati masa satu bulan berpuasa penuh dengan menahan lapar dan da-haga saja. Krusialnya, kita mampu melewati segala ujian dan cobaan serta memaksimalkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya, tentu dengan memper-baiki segala yang kurang dari bulan-bulan sebelumnya. Semoga kita semua bukanlah

    orang-orang yang merasa menang ka-

    rena mampu melewati satu bulan puasa

    dengan menahan haus dan lapar saja,

    akan tetapi kita termasuk golongan

    orang-orang yang benar-benar

    mendapatkan hakikat kemenangan

    sesunguhnya.

    Hakikat Kemenangan

    Gerbang

    Selengkapnya... Hal 4

    . *Keluarga Informatika

    3

    Oleh : Lina Nabila Ahmad*

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436

    kesepakatan, sehingga melahirkan ketimpangan dalam banyak faktor, ungkap Muhibussabri Hamid, ketua KMA periode 2014-2015. Salah satu ketimpangan yang dimaksud adalah perjanjian masa seleksi. Dalam perencanaan sebelumnya, seluruh Timur Tengah serempak akan mengadakan tes pada tanggal 9 atau 10 Juni. Belakangan diketahui, rupanya banyak negara Timur Tengah lainnya sudah mengadakan seleksi tersebut beberapa hari sebelum seleksi Temus di Mesir. Ketimpangan seperti ini dan beberapa isu baru tidak sedap lainnya yang membuat husnudzan para ketua dan stakeholders Masisir ternodai. Kita dari pertama mencoba percaya, tapi pada kali berikutnya, seyogyanya Masisir harus lebih defensif, lanjut kembali mahasiswa Syariah wal Qanun ini dengan penuh rasa kecewa. Ada enam ketua kekeluargaan, beberapa ketua DPD PPMI daerah dan ketua badan otonom Wihdah dinyatakan tidak lulus setelah mengikuti tes Temus. Banyak pihak yang menyatakan kecewa atas kebijakan Atdik yang kurang memperjuangkan anak didiknya, mereka yang telah mengabdikan dirinya kepada Masisir selama satu tahun dan tidak mendapatkan hak seperti yang didapatkan para ketua tahun-tahun sebelumnya. Meski tentu ada juga yang

    berhati lapang, salah satunya Muhib sebagai ketua KMA yang tidak mendapatkan Temus. Dia menyatakan un-tuk tidak terlalu memusingkan hak tersebut, Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing, toh semua sudah terjadi, Insya Allah kalau rezeki kita, Allah akan kasih. Walaupun bukan melalui cara ini, mungkin dengan cara lain, yang penting husnudzon aja sama Dia. Berbeda dengan Husni Mubarak, ketua kekeluargaan Medan (HMM), yang benar-benar berkeberatan atas perubahan prosedural Temus. Kecewa itu pasti, karena dengan diadakan tes bisa jadi ada ketua kekeluargaan yang tidak berangkat. Meski masalah panggilan haji itu berada di tangan Allah SWT, tetap saja hasil kelulusan tes tidak menunjukkan seseorang bisa benar-benar layak untuk menjadi anggota Temus, karena soal-soal yang diujikan biasa-biasa saja dan bisa dipelajari selama 2 hari, ujarnya. Harapan saya tentu saja ingin prosedur Temus kembali seperti tahun-tahun sebelumnya sehingga setiap ketua kekeluargaan bisa dapat Temus tanpa tes sebagai bentuk penghargaan atas khidmat mereka selama menjabat. Para tim pengawas hasil keputusan rapat Temus tidak tinggal diam dengan pelbagai polemik yang mencuat. Mereka berjuang memberikan solusi terbaik untuk para ketua yang belum bisa berangkat Temus tahun

    ini, Hal tersebut menjadi salah satu tugas inti dari tim AD HOC: yang pertama, mengembalikan mekanisme Temus ke pangkuan Masisir dengan asas kearifan lokal dan keadilan. Yang kedua, menjamin kelulusan 23 top leaders secara otomatis. Tugas yang ketiga, top leaders yang tidak berangkat tahun ini akan diusahakan berangkat tahun depan. Jumlah mereka sebanyak sembilan orang dengan rincian sebagai berikut: enam orang ketua kekeluargaan, dua orang ketua DPP dan satu orang ketua Wihdah, jelas Alfarabi selaku ketua Tim AD HOC dengan tegas dan sungguh-sungguh ingin memperjuangkan para top leader Masisir.

    Usaha Tim AD HOC ini disambut

    baik oleh kebanyakan ketua-ketua

    kekeluargaan, salah satunya seperti yang di

    ungkapkan oleh ketua KMA, Kalau bisa

    berharap untuk kembali pada yang tadi,

    kalau memang bisa diusahakan, ya

    alhamdulillah. Kawan-kawan ketua

    sebenarnya sudah cukup berkorban, maka

    husnudzon saja semoga bisa diusahakan

    lagi Temus otomatis, papar mahasiswa

    berambut belah tengah ini setelah

    mendengar tim AD HOC akan

    mengusahakan solusi terbaik bagi mereka.

    (Rifatul Darojah, Irfan Muhammad Ali)

    Sambungan hal. 3I Tanta

    4

    Doc. Google

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H 5 5

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 7 6

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H 6 7

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 8 8

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H 9

    Keislaman

    T erkadang, saya sempat mengambil kesimpulan sendiri, bahwa menjadi

    ulama dan ustad di Indonesia sangatlah mudah. Ulama dalam artian, yang didengar fatwanya, yang dimintai pendapat saat ada perkara agama yang rumit dan butuh analisis mujtahid. Berpakaian takwa dengan sarung dan peci di kepala, rajin membersihkan masjid dan selalu salat di saf depan, punya darah biru, anak kiyai, bahkan sekedar membintangi sinetron ataupun film bertema religi, seseorang sudah dibaiat jadi ulama besar. Saya tidak mengatakan bahwa hal-hal di atas tidak baik. Semuanya adalah hal baik, sangat baik malah. Namun untuk menjadi seorang alim tidak cukup begitu saja. Ada tahapan serta proses yang harus dilalui. BELAJAR dan BERLATIH. Dr. Farid Anshari menjelaskan dalam buku beliau, Mafhmul limiyyah bahwa ada tiga syarat mutlak untuk jadi ulama. Pertama, ilmu agama yang mantap. Kedua, pondasi iman yang kuat. Ketiga, kemampuan kepemimpinan dan bersosial. Ulama dadakan yang kini banyak didengar, pada umumnya hanya memenuhi dua syarat terakhir. Punya iman yang kuat sehingga selalu ada di saf terdepan saat salat serta kemampuan bersosial yang cakap sehingga bisa berbaur dan berbicara di depan umum tanpa gagap. Dua syarat ini akan didapatkan dengan berlatih. Melatih diri untuk berlelah dalam beribadahdan melatih diri untuk bersosial bermasyarakat. Namun bagaimana dengan syarat paling penting, keilmuan yang mantap? Apakah ia juga didapat dari latihan? Tidak. Keilmuan hanya akan didapat dari kegiatan yang disebut belajar, melalui pendidikan sistematis dengan kurikulum berjenjang dan komprehensif dengan bimbingan guru yang bisa diandalkan. Dr. Farid Anshari menjelaskan pula aspek ini secara rinci. Ilmu agama secara garis besarnya terbagi empat; teks wahyu (Alquran dan hadis), ilmu syariat (ilmu Alquran dan ilmu hadis, ilmu fikih dan usul fikih, serta ilmu tauhid dan tazkiyah/tasawuf), Bahasa Arab mantap lisan dan tulisan, dan fiqhu wqi` (memahami medan serta sasaram dakwah). Poin keilmuan di atas tidak akan pernah didapatkan hanya dengan modal latihan, seperti diskusi maupun menulis skripsi. Ia butuh waktu, energi, untuk menghafal, merapal, juga berlelah-lelah duduk

    mendengar setiap huruf yang keluar dari mulut seorang guru agar pemahaman tidak keliru. Di aspek inilah, sistem pendidikan agama yang kita punya mulai membuat khawatir. Masyarakat kita di Indonesia pada umumnya percaya, bahwa pesantren dan perguruan tinggi Islam merupakan pabrik tempat mencetak ulama. Namun bila boleh jujur dan menilai secara objektif, benarkah seluruh institusi sejenis itu kini masih bisa disebut tempat mencetak ulama? Ataukah sudah tidak ada lagi yang ideal kecuali sedikit? Pesantren kini, terutama yang ijazahnya sudah disetarakan, kebanyakan sudah tidak lebih dari sekedar madrasah tsanawiyah dan aliyah swasta disertai asrama. Ilmu agama yang dipelajari di dalamnya hanya sebatas kulit, tak mencakup isi. Fikih yang dipelajari terlalu ringkas, akidah diajarkan hanya sebatas pemikiran, tidak melekat dalam sanubari. Sedangkan tasawuf dan akhlak? Syukur jika masih diajarkan, malah kebanyakan jam pelajarannya sudah dihapuskan karena dianggap tidak urgen dan tidak relevan. Mungkin memang sudah banyak yang menekankan hafalan Alquran serta hadis pilihan, namun pendidikan Bahasa Arabnya memprihatinkan, bahkan bacaan kitab kuning alumninya masih blepotan. Pesantren yang masih mempertahankan pendidikan berbasis kurikulum sistematis dan komprehensif, dengan menekankan kemampuan Bahasa Arab dan pendalaman berbagai cabang ilmu syariat mulai ditinggalkan. Alasannya klise, pesantren macam ini sudah kuno, bahkan ijazahnya saja masih patut dipertanyakan (berdasarkan standar kekinian). Saya akan katakan bahwa pesantren tradisional seperti ini jauh lebih baik dari segi kurikulum, meski mungkin tertinggal dari segi gengsi. Dan saudara, dalam menuntut ilmu agama, tidak ada istilah gengsi-gengsian, yang ada hanyalah apakah apa yang Anda katakan kini, nanti di hadapan Allah bisakah dipertanggungjawabkan? Dalam dunia perkuliahan, khususnya di Indonesia, boleh dikatakan bahwa yang diberikan bukan lagi ilmu, melainkan wawasan. Paradigma para mahasiswa akan semakin dibuka, diperkenalkan dengan pemikiran yang baru. Sistem pembelajaran kebanyakan menggunakan metode diskusi berdasarkan tugas yang sebelumnya diberikan. Nanti di akhir jam pelajaran,

    dosen (atau asdos) akan memberikan masukan. Apakah metode belajar seperti ini salah? Tidak sama sekali, jika para mahasiswa memang mahasiswa yang sudah memiliki ilmu dasar yang matang. Saat keilmuan dan hafalan sudah di kepala, maka para mahasiswa butuh wawasan sebagai pengimbang. Kuliah memberikan syarat ketiga dari tiga syarat menjadi ulama tadi, kemampuan kepemimpinan serta bersosial. Namun lain cerita jika mahasiswa tersebut tidak memiliki dasar yang cukup untuk mencerna wawasan baru yang bangku kuliah sediakan. Wawasan tanpa ilmu hanya akan melahirkan orang bodoh yang lantang bersuara seolah hanya ia seorang yang memegang kebenaran. Dan apakah para mahasiswa memiliki dasar yang cukup? Saya rasa tidak demikian. Tak sedikit, mahasiswa jurusan keagamaan hanya mengecap kulit-kulit keilmuan dasar agama sebelumnya, bahkan tamatan sekolah umum pun ada. Dengan bekal minim bahkan mungkin nihil sama sekali, mahasiswa baru sudah dipaksa menelan wawasan baru, boleh jadi berbahaya. Tak heran jika ujung-ujungnya yang muncul adalah sarjana yang meragukan keberadaan tuhan, atau yang malah menganggap salat cukup dengan beberapa zikir yang dilafazkan. Keadaan bertambah parah, karena beberapa tenaga pengajar juga sama, tidak punya dasar keilmuan yang matang.

    Perlu ada perombakan besar-besaran terhadap pendidikan agama, khususnya di negeri ini jika kita memang ingin adanya kebangkitan ulama serta kokohnya umat pengikut Nabi Muhammad Saw. Terjebak dalam sistem pendidikan yang berkiblat pada system salah hanya akan melemahkan ulama, yang nantinya juga akan berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan agama adalah pendidikan khusus, tidak bisa disamakan dengan pendidikan lainnya yang mungkin punya metode percepatan. Pendidikan agama untuk menggembleng seorang ulama tidak ada jalan pintasnya, karena ia mencakup tiga hal dalam satu waktu sekaligus; ilmu, iman serta kemampuan bersosial. Ia butuh guru yang hebat, murid yang gigih serta system ajar yang bisa diper-tanggungjawabkan. Sudahkah kita mem-

    ilikinya? Wallhu alam.

    Ulama atau Sekedar Sarjana?

    Oleh: Fakhri Emil Habib*

    9

    *Keluarga Informatika

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 0

    Kolom

    Bunga Tidur

    K etika kita mendapatkan sebuah memori memiliki perasaan yang teramat

    menyakitkan untuk dikenang, kesadaran diri akan menekan memori tersebut masuk ke dalam alam bawah sadar sebagai bentuk per-tahanan diri dan kenangan tersebut lambat laun akan terlupakan, tapi tidak hilang seutuhnya. Begitu juga untuk kenangan teramat indah yang mampu memaksa otak untuk memimpikannya berulang-ulang. Menariknya, jika memori secara sadar mampu tertimbun ke dalam alam bawah sadar, apakah mungkin alam bawah sadar memunculkan sebuah ide atau gagasan yang tidak berasal dari kesadaran? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kembali pada tahun 1961. Pada penghujung hidupnya, Carl Gustav Jung menulis sebuah artikel (dicetak pada sebuah bunga rampai pada sebuah buku bertajuk Man and His Sym-bols) yang mengangkat krusialnya fungsi mimpi seorang manusia dalam menentukan jati dirinya. Selama ini mimpi selalu memproyeksikan beberapa simbol, tetapi lantas apakah simbol tersebut bisa serta merta dianalisa hanya dengan mengacu kepada se-buah buku dan mencari kemiripan simbol yang muncul dalam mimpi di buku tersebut? Tentu tidak dan tidak akan bisa. Dalam dunia simbol, kita mengenal simbol kolektif dan simbol individual (pernah saya bahas pada tulisan sebelumnya yang berjudul 'Ikon'). Simbol kolektif tentunya representasi dari kesadaran majemuk dan menyatakan bahwa simbol tersebut memiliki makna umum yang bisa diketahui bersama, seperti: tengkorak sebagai simbol kematian, matahari sebagai simbol kehidupan, dan pelbagai sim-bol lainnya terutama dari pelbagai mitologi kuno. Sedangkan simbol individual ditampil-kan sebagai corak khusus manifestasi diri untuk menunjukkan ego. Contoh paling lugas dan simpelnya, jika sebuah perusahaan mem-butuhkan logo yang unik untuk merepresenta-sikan 'wajah' mereka kepada masyarakat, maka tiap orang memiliki tanda tangan yang baik dari guratan, garis lengkung, tekanan, sudut tajam, dan banyak faktor lain pastinya berbeda antara si A dengan B dan seterusnya (rujuk ke grafologi untuk informasi lebih lanjut) ataupun pelbagai atribut yang melekat pada tubuh yang menandakan bahwa inilah trademark mereka. Maka mimpi, sekali lagi, adalah proyeksi simbolik yang ingin ditunjukkan alam bawah sadar kepada kesadaran. Meski dua orang atau lebih tak saling kenal bermimpi dan terdapat kesamaan simbol di dalamnya misalkan, da-lam mengintepretasikannya musti merujuk ke personalia masing-masing. Setiap individu memiliki pengalaman, kenangan, pembelaja-ran, idealisme dan sisi religius yang berbeda.

    Tidak mungkin kita menafsirkan semua sim-bol kunci dan lubang kunci dengan hasrat seksual seperti yang dikemukakan Freud, tetapi Jung mengembalikan tafsiran mimpi kepada si empunya. Ada titik tolak yang ber-beda untuk setiap personalia. Bisa jadi lam-bang kunci dan lubang kunci menunjukkan satu hasrat seksual untuk mereka yang berlibi-do tinggi, dan bermakna harapan, kesejahter-aan dan kesahajaan untuk lainnya, seperti yang dituangkan Campin dalam lukisannya pada sebuah altar di abad ke-15. Terkadang mimpi juga beralih menjadi sebuah pengingat. Lihat kasus pasien yang mengala-mi gangguan neurotik, disosiatif amnesia misalkan. Mereka mengalami gangguan in-gatan jangka panjang karena suatu trauma atau musibah yang pernah dialaminya, sehing-ga otak akan melakukan apa saja sebagai ben-tuk mekanisme defensif diri untuk menutup akses ke memori tersebut dengan sangat kuat: menguburnya dengan beragam memori yang indah, atau semacamnya. Tetapi ketika dia berada dalam sikon yang sama sesuai dengan pemicu awal amnesianya (kejadian buruk, red.) kesadaran akan tetap memblokir utuh akses ke memori buruk tersebut, tetapi alam bawah sadar akan menuntun si pasien untuk menyelamatkan diri agar tidak terjerembap di situasi yang sama dengan memberikan rambu-rambu. Bisa dengan mimpi, ataupun secara sadar, ketika dia tidak tahu harus melakukan apa tapi secara intuitif tergerak untuk berbuat sesuatu dengan spontan. Dalam keadaan sadar (bukan dalam ketidaksa-daran seperti mimpi), peristiwa ketika seseorang secara alamiah mampu merepresi memori akan suatu hal, bisa disebut dengan 'lupa yang disengaja'. Freud menjelaskannya sebagai kumpulan memori yang benar-benar siap untuk ditanggalkan. Nietzsche juga dengan lugas menggambarkan, 'Where pride is insistent enough, memory prefers to give away.' Para psikolog modern menyebutnya sebagai: a repressed contents; tenggelamnya sebuah ide yang dinilai buruk oleh diri ke dalam alam bawah sadar sebagai mekanisme pertahanan diri. Contoh paling mudah dari keadaan realita sekitar, seperti halnya seorang sekretaris yang iri kepada koleganya. Dalam setiap pesta atau rapat, sekretaris ini seringkali lupa untuk mengundang 'si kolega'. Bahkan ketika dite-gur atau dilabrak, sekretaris ini dengan sim-pelnya berkata 'lupa' atau 'maaf, pikiran saya teralihkan'. Dia hanya enggan atau memang secara tidak sadar tidak ingin mengakui faktor dasar kelupaannya adalah karena iri hati kare-na si kolega tersebut adalah itik emas bos-nya. Begitu pula dalam mimpi. Simbol kolektif mengenal pelbagai simbol dari mitologi kuno, juga banyaknya kemiripan peristiwa yang memiliki gambaran umum yang sama. Mimpi

    -mimpi seperti: jatuh dari tempat tinggi, lari dari sesuatu atau seseorang, lari dengan kencang entah menuju apa, dalam keadaan lemah tak berdaya terjebak di tengah-tengah konflik atau sebuah pertempuran, ber-tempur melawan sesuatu dengan sangat spektakuler, dan sebagainya. Ada kemiripan dari faktor penyebab psikologis di sana akan mengapa dan bagaimana seseorang bermimpi akan salah satu dari kejadian di atas. Semisal, mimpi terjatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi, atau mimpi melayang di udara, baik terbang dengan bebas ataupun terjatuh ke tanah, kemudian terasa sakit atau tidak. Ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan munculnya mimpi ini. Pertama, bisa jadi orang tersebut sedang mengerjakan sebuah perkara dengan ekspektasi melebihi kapasitas yang ia mampu. Kemungkinan kedua, hampir sama dengan kemungkinan pertama, hanya saja hasil yang ditargetkan lebih mendekati mustahil dan benar-benar meninggalkan jejak realistis. Sedangkan kemungkinan ketiga, orang tersebut terlalu berjumawa menganggap diri sendiri lebih tinggi daripada orang di sekitarnya, entah mungkin dalam pekerjaan yang digeluti atau lingkungan sekitarnya, dan dia menganggap bahwa tidak ada yang bisa melebihinya. Tentunya, dalam menganalisa sebuah mimpi, satu dari sekian kemungkinan yang ada mem-iliki probabilitas yang sama dalam skala prior-itas faktor pemicu. Bisa jadi, seseorang yang bermimpi jatuh dari sebuah tempat tinggi, memiliki salah satu dari tiga kemungkinan di atas sebagai pemicu psikologis, atau bisa jadi tidak sama sekali dan penyebab tersebut san-gat berkaitan dengan kehidupan pribadi si pemimpi. Karenanya, Jung selalu mengulang-ulang nasehat berikut kepada para muridnya, "Pelajarilah simbolisme secara totalitas, tetapi dalam menganalisa mimpi pasienmu, sejauh mungkin tinggalkan apa yang telah kamu pelajari dari simbolisme." Dibutuhkan sesi terapi, dialog, rangkaian tes, komunikasi akrab, rasa keterpercayaan, untuk men-imbulkan suatu pemahaman global terhadap personalia pasien secara menyeluruh. Sayangnya, perkembangan manusia menuju arah modernisme, ketika penolakan terhadap agama semakin kentara, dan bahkan dalam post-modernisme dengan pelbagai interpretasi skeptisnya, malah seringkali memisahkan antara kesadaran dengan insting paling dasar pada kejiwaan manusia, baik dari ketakutan (terkadang dibutuhkan agar seseorang tidak berlaku ceroboh), dan beberapa insting lain terutama kehausan spiritual. Tradisi urban menuntut --hingga taraf memaksa-- manusia untuk lebih mengedepankan rasionya, berpikir serba realistis dan pragmatis. Walhasil, krisis

    10

    Oleh: Umar Abdullah*

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H

    yang dipaparkan oleh Jung sebagai 'terciptanya manusia-manusia plastik' yang bahkan karena terlalu lelah bekerja dan pemikiran yang serba sempit dalam memandang sesuatu ini, sanggup memaksa pikiran untuk tidak lagi memproduksi mimpi sebagai pengingat alami-ah dari alam bawah sadar untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kesadaran. Contoh gampangnya, mimpi-mimpi yang telah dijelaskan di atas seperti: jatuh, lari, terbang dan lain sebagainya. Dalam buku The Cam-bridge Companion to Jung, salah satu Jungian bernama Sherry Salman memberi contoh lain dalam kasus analisa mimpi sebagaimana beri-kut: Ada seorang lelaki yang terlibat dalam beberapa pekerjaan 'gelap'. Lambat laun tanpa disengaja, alam bawah sadarnya mengem-bangkan sebuah hasrat kompulsif akut untuk mendaki gunung dengan areal yang sangat terjal dan berbahaya. Pria itu ingin sekali untuk melawan keterbatasan dirinya. Memang, tidak ada yang salah dalam melawan keterbatasan diri, tetapi ketika hasrat tersebut muncul secara spontan, menggebu-gebu, terlalu lepas kendali dan tidak ada pedal untuk men-gerem, hasrat tersebut dapat membunuh diri secara perla-han dalam bentuk yang tak terduga. Pernah pada suatu malam, dia bermimpi men-daki gunung, saat tiba-tiba dia kehilangan pijakan dan jatuh menuju ruang hampa. Saat pria tersebut bercerita kepada psikolognya, Jung sudah menangkap ada indi-kasi berbahaya di sana, dan mewanti-wantinya untuk tidak menuruti egonya. Naas, enam bulan setelah itu, pria tersebut benar-benar 'terjatuh menuju ruang ham-pa' dalam pendakian sebuah gunung yang sangat terkenal akan kecuramannya. Kisah di atas hanya satu dari sekian banyak kasus yang mengindikasikan mimpi sebagai proyeksi sim-bolik yang berfungsi menjadi pengingat bawah sadar kepada diri, Lantas kembali lagi pada pertanyaan paling awal, apakah bisa mimpi memunculkan sebuah ide dari alam bawah sadar semerta-merta? Saya kira hampir kebanyakan orang tidak asing dengan film Inception. Film spektakuler gara-pan Christopher Nolan ini menawarkan banyak hal terkait psikoanalisa, implanting, pola ar-ketipal, pikiran bawah sadar, dan masih banyak lagi. Dalam salah satu misi utama sang protag-onis, Cobb, mewajibkannya untuk me-nanamkan sebuah ide kepada rival bisnis kliennya, Robert Fischer, untuk menghancur-kan dinasti bisnis yang susah-payah dibangun oleh Maurice Fisher, sang ayah dan rival dari Saito, klien Cobb. Tentunya, menanam sebuah ide tidaklah semudah memberi informasi kepa-

    da seseorang. Dibutuhkan konsep paling dasar yang sanggup dikembangkan oleh si empunya kepala. Begitu juga konsep tersebut tidak lantas berkembang dengan sendirinya, dibutuh-kan perekat dan pemersatu ide yang berasal dari kompilasi seluruh peristiwa, kenangan, harapan, pengalaman dan pemikiran dari orang tersebut, dalam film ini: Robert Fischer. Di sinilah Earmes sebagai con-artist profesional, turut mengerahkan kemampuannya untuk men-dekati Fishcher dengan jalan menyamar men-jadi Browning, paman yang sangat ia percaya. Meski film ini cukup menyuguhkan beberapa fakta ilmiah dengan penyajian ide orisinil yang khas (atau tidak? Beberapa mengklaim Nolan mencuri ide dari komik strip Paman Gober berjudul The Dream of Lifetime, garapan Don Rosa pada era 80-an), tetapi mungkin masih belum cukup sebagai bukti keabsahan ter-jadinya Inception dalam kehidupan nyata. Maka ijinkanlah saya mengutip contoh unik lain dari buku fenomenal, Thus Spake Zara-thustra milik Nietzche. Di buku tersebut terdapat bagian kisah yang

    menuturkan akan data perjalanan kapal yang menuliskan sebuah insiden pada tahun 1686. Secara tidak disengaja, Jung pernah membaca kisah tersebut pada sebuah buku yang terbit pada tahun 1835, hampir separuh abad sebelum Nietzche melahirkan magnum opus-nya. Psikolog Jerman ini mulai menyadari ke-janggalan tersebut saat ia menemukan gaya tulisan yang sangat berbeda pada Thus Spake Zarathustra, hanya pada bagian perjalanan kapal di atas. Saat ia mencocokkannya dengan buku miliknya, tulisan yang ada sangatlah mirip, kata demi kata, bak plagiasi. Meskipun Nietzche sama sekali tidak pernah menulis referensi yang merujuk ke buku tersebut, saat Jung mengklarifikasikan hal itu kepada adik dari pencetus ungkapan terkenal 'Gott ist tot!' ini, sang adik mengaku bahwa mereka berdua pernah membaca buku tersebut saat Nietzche

    berumur 11 tahun. Bisa jadi, 50 tahun setelahnya, memori tersebut mencuat dari alam bawah sadar Nietzche saat gelombang sadarnya berada dalam keadaan sangat tenang, antara mimpi dan sadar, dan dia pun menuangkannya pada bukunya. Sungguh dahsyat memang, kehebatan sebuah otak ciptaan Allah SWT yang sebenarnya mampu mengungguli super komputer apapun, ter-gantung si pemakai apakah menggunakann-ya dengan benar atau sekedar menyia-nyiakannya. Maka sebuah mimpi tidak akan hadir tanpa sebuah faedah yang mengiringi, baik proyeksi simbolik sebagai pengingat alam bawah sadar, maupun mimpi sebagai pence-tus ide dari rekaman memori yang pernah ditangkap otak. Mimpi pun bisa hadir se-bagai isyarat Tuhan alias ilham, yang hanya ditangkap oleh para nabi, ulama dan orang-orang saleh pilihan. Islam sama sekali tidak memungkiri hal ini, karena epistemologi menurut para ulama Mantiq, ada tiga: rasio, empirik dan wahyu atau ilham. Banyak kis-

    ah terabadikan dalam al-Quran, seperti mimpi nabi Ibrahim, mim-pi nabi Yusuf, mimpi raja Mesir, mimpi Fir'aun, dan banyak lagi. Dalam penafsiran mimpi yang membawa isyarat ilahi, sepe-nuhnya kembali ke kepribadian dan sisi religius si pemimpi. Tid-aklah mungkin seorang begal yang kesehariannya bermoral hitam, bermimpikan menjadi nabi kecuali mimpi tersebut dibawakan oleh syetan. Bahkan Tafsir al-Ahlam milik Ibn Thulun juga tidak bisa semata-mata menjadi pedoman dalam mengintepresikan mimpi, karenanya jangan heran jika ada seseorang bermimpi A, mengira akan terjadi sesuatu sep-erti deskripsi dari mimpi A, nyatanya tidak.

    Di dalam mimpi, seringkali kita

    berada dalam sebuah peristiwa,

    tanpa pernah mengingat bagaima-

    na mulanya kita bisa sampai di

    sana. Di dalam mimpi, bisa jadi kita menjadi

    seorang manusia superior bak superhero di

    kisah-kisah fiktif, meski di realita hanyalah

    seorang lemah tak berdaya. Mimpi adalah

    sahabat yang acapkali dibenci atau diacuh-

    kan, meski menyikapinya secara berlebihan

    tanpa ilmu yang cukup juga sangat tidak

    baik. Mimpi itu unik, selalu membawa aura

    enigmatis yang sangat khas. Siapa tahu saat

    serentak semua orang memimpikan hal yang

    sama, itu pertanda akan terjadi suatu kejadi-

    an yang bakal mengguncangkan semesta.

    *Keluarga Informatika

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436

    A had (12/7) Informatika me-wawancarai Imdad Aziz salah satu pengurus PPMI

    2014-2015. Ia mengatakan bahwa acara halal bi halal dengan dana 1.000 dolar dari KBRI akan diadakan tanggal 19 juli di hay 6. Sekaligus temukan gendengan dubes kita.Ungkapnya via Whatsapp. Acara dengan tema Eidul Fitri Festival and Games yang digagas PPMI bekerjasama dengan Wihdah dan kekeluargaan, dengan rangkaian acara sebaga iberikut: tanggal 17 juli 2015 sholat

    ied dan ramah tamah di masjid Assalam , dilanjutkan pada tanggal 19 juli 2015 pen-tas seni dan olahraga antar kekeluargaan. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk mensukses-kan acara ini, tutupnya. Informasi Halal bi halal ini juga di-iyakan oleh ketua kekeluargaan KSW ,Ulin.Dana minim karena dari pusat dananya berkurang, itu yang kami tau.Begitu jelasnya ketika kami tanya mengenai jumlah dana lebarantahun ini. Nia,dari pihak KBRI menjelaskan via telepon perihal minimnya dana. Kalian bisa memba-yangkan kurs rupiah -dolar- pound.kecil kemungkinan jika jumlah rupiah menjadi ber-

    tambah.Jelasnya.Beliau juga menjelaskan bah-wa dana Operasional Perwakilan lebih sediki tdibandingkan dengan tahun lalu. Padahal kebu-tuhan kantor seperti listrik, air dan lain se-bagainya perlu untuk dihidupi. Bahkan karena minimnya dana dari pusat,mengantar WNI yang terkena musibah ketanah air pun belum bias mereka tangani. Beliau juga menambahkan dana Halal bi halal

    sengaja mereka sisihkan agar berkumpul dan

    silaturrahmi bersama Masisir terlaksana.Ini

    karena kita sama-sama merindukan tradisi Indo-

    nesia, tutupnya. (Wasliyah J)

    Aktualita

    Suasana Salat Eid di KBRI

    11

    Dana Minim Halal-Bihalal

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H

    T etes demi tetes keringat mulai mengucur dari kulit keriput Mbah Yani yang memerah dijilat

    matahari. Punggung tuanya yang rapuh menggendong keranjang uang. Namun bukan keranjang yang dipenuhi uang, melainkan keranjang sampah yang memberikannya uang untuk menegakkan tulang rusuknya. Sejak pagi ia berkeliling ibukota mencari uang-uang yang berserakan. Ke dusun-dusun, toko-toko hingga rumah-rumah. Tubuh cekingnya seakan berteriak Ampun! Ampun!, tapi Mbah Yani tak menghiraukan. Begitu pula perutnya yang sedari tadi bernyanyi bak kodok di kala hujan, ia nikmati saja alunan suara perut itu. Yang penting ia bisa mendapat uang untuk berbuka dan sahur nanti. Mbah Yani adalah salah seorang pemulung dari kumpulan pemulung lainnya di ibukota yang terlihat indah dan asri dari layar kaca televisi. Gedung-gedung menjulang seakan mencakar langit yang tinggi. Tapi kenapa masih ada profesi seperti Mbah Yani? Mbah Yani! Dapat berapa sore ini, Mbah? tanya Odel menghampiri Mbah Yani yang sedang sibuk menghitung beberapa lembar kertas di tangannya. Ya, segitu-gitu aja, Nak Odel. Sepuluh rebu sampe lima belas rebu doang. Saya mah udah tua, gak bisa ngangkat banyak. Nih liat nih! ujar Mbah Yani sambil menunjukkan lengannya lalu tertawa kecil. Itu mah bukan otot, Mbah. Hehe. Trus ntar buka puasa gimana, Mbah? Nasi bungkus aja harganya kisaran segitu juga lho, Mbah, timpal Odel sembari meletakkan keranjang dan duduk di hadapan Mbah Yani. Ya, kita beli nasi doang trus minta dikit noh kuah gulainya. Gak pake lauk, yang penting kita buka puasa dan sekalian buat sahur, Waduh, lima belas rebu buat buka dan sahur, Mbah? Gak kurang tuh, Mbah? Hmm... Coba aja kalau bulan Ramadan kayak gini ada yang bagi-bagiin makanan, beeuh.. Haha, mana mungkin, Nak Odel. Di negara kayak gini mah, mana mikir masalah perut orang lain. Ya udah, Nak Odel. Saya tak balik dulu, Mbah Yani pamit seraya meninggalkan Odel. Bergegas menuju warung makan untuk membeli makanan untuk berbuka. Ironi memang, bulan Ramadan yang seharusnya menjadi bulan berkah bagi umat Islam, malah biasa-biasa saja, bahkan bulan derita, Karena bahan-bahan pokok melonjak naik. Tapi begitulah realita yang terjadi. Ada

    yang berbuka dengan air putih saja, nasi putih saja, bahkan karena saking susahnya, ada yang berpuasa tapi tak berbuka sama sekali. Padahal memberi makan pada orang puasa untuk berbuka, pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Tapi kemana perginya orang kaya itu? Apakah perkataan Nabi tak lagi membasahi hatinya?

    *** Mentari baru saja kembali dari peraduannya. Subuh yang katanya ditandai dengan berkokoknya ayam, tapi tidak bagi perkampungan sampah ini. Karena jika ada ayam, ayam mau makan apa? Sedangkan manusia saja susah untuk makan. Lalu mau tinggal dimana? Di sekeliling rumah hanya tampak karung-karung berisi botol dan barang bekas yang menggunung. Tak pula suara azan. Karena masjid jauh berdiri dari perkampungan ini. Di sini subuh cukup ditandai dengan suara sampah yang dilindas roda gerobak atau dipijak oleh kaki-kaki manusia. Karena para pemulung sudah mulai berkelana menuju sudut-sudut ibukota. Namun berbeda dengan Mbah Yani. Pria berumur senja ini lebih memilih membiarkan keningnya dikecup bumi. Mengadu pada Tuhan atas keluh kesah dunia. Mengemis agar diberi ampun dan rezeki dengan memuji-muji asma tuhanNya. Apalagi hari ini adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadan yang ia yakini sebagai hari-hari sakral untuk berdoa. Tok..tok.. tok.. Pintu gubuk reyot Mbah Yani diketuk dari luar. "Assalamu'alaikum, Mbah!" terdengar sahutan suara cempreng Odel. Tapi Mbah Yani masih asik duduk bersimpuh bercinta dengan tuhannya. Selang beberapa menit pintu dibuka. "Wa'alaikumsalam. Eh, Nak Odel. Ada apa?" jawab Mbah Yani sambil merapikan sarung. "Ini, Mbah. Tadi ada yang bagi-bagi ini ni," Mbah Yani menerimanya dari tangan Odel. Tampak sebuah bingkisan berisi sirup, wa-fer, dan kue-kue ringan seperti bingkisan-bingkisan hari raya. Lalu ada juga selebaran pamphlet bergambar wajah seseorang ber-dasi dan di atas kepalanya ditulis "Contreng Nomor 3!" "Kamu dapat di mana, Nak Odel?" "Tadi, Mbah di tepi jalan ada yang bagiin pake mobil pikap. Trus orang rame kesana. Yaudah, aku ngikut aja," Jawab Odel polos. "Ooh.. Itumah orang lagi kampanye, Nak Odel. Biasalah, tiga minggu lagi mau pem-ilihan kepala daerah. Mereka bagi-bagi ini ni supaya dapet suara kita. Tapi ntar kita yang

    paling pertama ditinggalin," "Ooh, gitu toh, Mbah. Yaudah, Mbah aku pergi dulu. Assalamu'alaikum!" "Ya, Nak Odel. Makasih ya! Wa'alaikumsalam!"

    *** Setelah beribu langkah kakinya menyelusuri ibukota, terdengar suara azan ashar dari masjid di dekat perumahan yang lumayan elit ini. Mbah Yani segera menuju masjid tersebut untuk menunaikan salat sambil beristirahat sejenak. Seusai melaksanakan salat, Mbah Yani membaringkan tubuhnya di atas tikar mas-jid. Berniat menghilangkan penat sebentar saja lalu pergi ketempat penukaran sampah. Tapi lelah mendatangkan kantuk dan mata pun tak mampu menolaknya. Akhirnya Mbah Yani terlelap di masjid itu. "Mbah, Mbah, bangun, Mbah!" Seorang pria mengguncang-guncang kecil tubuh Mbah Yani. Sedikit terkejut Mbah Yani terjaga dari tidurnya dan segera duduk. "Eh, iya, Dek. Ada apa?" "Ayo, Mbah! Bentar lagi mau buka," jawab pria itu sambil menyodorkan sebuah kotak paket berbuka puasa. Mbah Yani memperhatikan wajah pria itu. Ia merasa pernah melihat wajah tersebut. Tapi dimana ya? Mbah Yani mencoba mengingat. Oh, iya. Pria itu yang ada di pamphlet tadi pagi. "Iya, Dek. Makasih. Eh, kamu yang ada di pamphlet itu bukan?" Tanya Mbah Yani memastikan. "Pamflet yang mana, Mbah?" "Pamflet yang calon wali kota itu loh. Iya, kan?" "Iya, Mbah. Yaudah, Mbah aku kesana dulu, ya! Dinikmati noh, Mbah!" Dengan tersenyum pria itu menjawab lembut dan beranjak dari Mbah Yani. Dilihatnya pria itu membagi-bagikan paket buka puasa pada orang-orang berbaju lusuh sepertinya. Calon walikota itu hanya did-ampingi oleh istri dan anak-anak yang turut membagikan paket-paket tersebut. "Allahuakbar Allahuakbar" terdengar suara azan maghrib menandakan waktu ber-buka. Orang-orang duduk rapi sambil menikmati isi kotak perbukaan yang dibagikan tadi. Tak terkecual isi calon wali-kota. Ia turut duduk bersama orang-orang berbaju lusuh ini dan mengobrol ringan ber-sama mereka. Mbah Yani terheran-heran melihat pria itu.

    Lalu bertanya-tanya dalam hati.Diakah

    orang baik?

    Cerpen Dia Orang Baik (?)

    11

    Oleh Yazid Arif*

    *Kru Informatika

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436

    Kalau kau ingin melihat dunia, membacalah! Kalau kau ingin dilihat

    dunia, menulislah! -Anonim-

    H ari itu di sebuah gua, seorang lelaki yang tak pandai membaca tak bisa

    menulis bergetar hatinya. Tiga kali ia disuruh membaca, tiga kali pula ia menjawab tidak bisa. Hingga yang menyuruh pun merangkulnya, menenangkan gelisah hatinya, lalu berkata, Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. (Q.S Al-Alaq 1-5) Setelah kejadian itu, perlahan-lahan, berangsur-ansur, ayat demi ayat, surat demi surat, wahyu itu tuntas turun ke bumi yang kemudian dikenal sebagai al-Quran, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai bacaan. Sejarah merekam bahwa umat penggem-bala kambing dan penunggang unta yang tak kenal peradaban kota, buta huruf lagi tak pandai membaca, perlahan-lahan mam-pu mendobrak tradisi setelah diturunkann-ya bacaan di tengah-tengah mereka. Kita kemudian menyaksikan umat tersebut mampu mengalahkan dua imperium terbesar saat itu; Romawi dan Persia. Bahkan lebih dari itu, pengaruh bacaan meluas menyeberangi daratan Asia menuju Afrika dan Eropa. Mereka pun menjadi guru semesta. Kebiasaan membaca yang mendarah dag-ing itu, kemudian memunculkan kebiasaan lain; menulis. Mereka sangat sadar, bahwa membaca dan menulis adalah dua pilar penting terhadap majunya sebuah perada-ban dan matangnya sebuah pemikiran. Maka Islam menjadi peradaban ilmiah dengan pena sebagai pilar utamanya. Kita tak boleh lupa, bahwa penyebarluasan bacaan itu juga berkat andil besar perjuangan cerdas para ulama dan keikhlasan para syuhada, yang turun-temurun, percikan semangatnya diwariskan dari Rasullullah Saw dan sahabatnya. Maka tak heran jika kita menemukan ungkapan, Peradaban yang kita saksikan belasan abad, adalah perpaduan agung dari dua warna; merah darah para syuhada dan hitam tinta para ulama. Hari ini, setelah perjalanan panjang yang penuh peluh, air mata bahkan tetesan darah, kita bisa duduk bersantai menikmati karya-karya peninggalan para ulama yang

    luar biasa. Pada senin 16 Mei 2011 sebuah seminar bertajuk Kaifa Nata`mal Ma`a at-Tursts al-Fiqhi (bagaimana berinteraksi dengan kitab klasik fikih) di gelar di Darul Ulum, Kairo. Dr. Muhammad Siraj dalam presentasinya mengungkapkan, Turast (kitab klasik-red) kita yang telah dicetak baru sekitar 5 sampai 7 persen saja,

    Dengan 7 persen itu, kita lihat setiap toko

    buku di sekitar Masjid al-Azhar penuh

    dengan berbagai turats. Lalu bagaimana

    kalau ribuan makhtutat (manuskrip) yang

    belum tertahkik itu dipublikasikan semua?

    Pun itu hanya ilmu fikihnya, bagai mana

    dengan karya di bidang lain?

    Namun sayang sungguh sayang, kebiasaan

    membaca itu sekarang bukan lagi milik

    kita. Sangat jarang kita saksikan orang

    Islam, khususnya orang Indonesia me-

    manfaatkan waktu luangnya dengan mem-

    baca. Jangan tanya kenapa Jepang lebih

    maju dari Indonesia, atau tak perlu jauh-

    jauh, bandingkan dengan negara tetangga

    Singapura, kita masih sangat jauh terting-

    gal.

    Jepang, negara yang paling rugi saat perang dunia pertama, juga berkali-kali hancur terkena bencana, tapi selalu ber-hasil bangkit dan menjadi salah satu negara adidaya. Kenapa? Salah satunya, karena masyarakatnya hobi membaca. Bayangkan! Koran-koran top mereka, sep-erti Asahi Shimbun, oplahnya perhari nyaris mencapai 8 juta eksamplar pada edisi pagi dan 3 juta eksamplar pada edisi sore. Artinya setiap 1000 orang jepang, maka ada 634 koran. Maka bandingkan dengan Informatika yang bahkan diberi secara gratis pun kita malas membaca, entah karena kontennya yang mem-bosankan atau memang karena orangnya yang pemalas. Data jaringan Perpustakaan Nasional Sin-gapura pada 2007 mencatat, ada 37 juta pengunjung sepanjang tahun alias 100.000 lebih pengunjung setiap hari. Artinya da-lam setahun rata-rata penduduk Singapura berkunjung ke perpustakaan nasional mereka sebanyak 7,4 kali. Ini di luar pengunjung toko buku, kafe buku, bacaan internet dan lain sebagainya. Maka jangan ditanya kenapa Singapura termasuk negara maju, bersih, disiplin dan hal-hal keren

    lainnya. Maka bandingkan dengan Indonesia, atau yang lebih dekat dengan kita dan ru-ang lingkupnya lebih kecil, bandingkan dengan Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK). Berapa kali kita ke PMIK setiap minggu? Berapa data pengunjung PMIK setiap tahun? Sejak berdiri tahun 1992 hingga hari ini 2015, tercatat hanya ada 3.122 mahasiswa yang pernah mendaftar dan mempunyai kartu PMIK. Sudah berapa generasi? Su-dah berkali-kali wajah Mahasiswa Indone-sia bergonta-ganti dalam kurun waktu dua dekade lebih itu. Dari jumlah 3.122 mahasiswa itu, hingga pertengahan 2014, hanya ada 90 maha-siswa yang mempunyai kartu perpustakaan aktif. Alias hanya 3% dari seluruh Masisir yang berjumlah sekitar 3000 lebih. Itu artinya setiap 33 orang, hanya ada satu orang yang mempunyai kartu per-pustakaan. Maka jangan tanyakan kenapa Indonesia belum keren-keren juga? Lihatlah, orang-orang keren yang pilihan saja masih malas dengan makhluk yang bernama membaca. Ya Allah, harusnya kebiasaan membaca itu milik kami. Karena membaca adalah hobi orang-orang yang taat beragama. Bukankah perintah pertama di Bukit Cahaya (Jabal Nur) adalah berbunyi, Baca!. Bukankah para pendahulu kami mampu menaklukkan dua imperium besar karena kegigihan mereka membaca? Dan kami juga tahu, bahwa negara-negara maju terbentuk karena mayoritas penduduknya rajin membaca. Kami pun tahu, Ya Allah, bahwa tidak akan rugi orang yang membaca, kalau tid-ak bermanfaat hari ini, esok, lusa atau ka-pan-kapan pasti berguna. Kami tahu, bah-wa kami hanya bisa mencapai tepian-tepian ilmu dengan membaca, bisa menge-tahui pematang-pematang bijak pendahulu kami dengan membaca. Maka sungguh, kenikmatan terbesar kedua setelah nik-matnya iman dan Islam adalah kebiasaan membaca. Maka jangan Kau cabut nikmat

    itu dari kami, ya Allah!

    Hikmah Ibrah Bukit Cahaya

    11

    Oleh : M. Fahmi al-Fath*

    *Pimred Infornatika

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436 H

  • Edisi Interaktif Lebaran 1 Syawal 1436