Industri Rumah Sakit adalah industri yang sensitif...
-
Upload
nguyenquynh -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of Industri Rumah Sakit adalah industri yang sensitif...
Industri Rumah Sakit adalah industri yang sensitif terhadap perubahan
lingkungan eksternal. Untuk mampu bertahan dan bersaing secara kompetitif, Rumah
Sakit harus fleksibel dalam beradaptasi dan mau berubah sesuai dengan tuntutan dan
tantangan eksternal. Salah satu Rumah Sakit yang sedang berbenah diri untuk mulai
berubah saat ini adalah Rumah Sakit X Yogyakarta. Berdasarkan wawancara dengan
Direktur Operasional RS X, saat ini industri Rumah Sakit di Indonesia mengalami
persaingan yang ketat dengan semakin mudahnya perizinan pendirian Rumah Sakit
swasta. Disamping biaya perawatan dan tenaga medis yang ditawarkan, kualitas
pelayanan juga merupakan hal yang sangat penting dari industri jasa layanan kesehatan.
Rumah Sakit X adalah Rumah Sakit yang mulai beroperasional pada tahun 2007 dengan
menawarkan layanan kesehatan bertaraf internasional, dan memiliki target pasar
masyarakat kelas menengah ke atas.
Untuk menjadi Rumah Sakit berkelas internasional, saat ini Rumah Sakit X
masih menghadapi permasalahan dalam hal kinerja karyawan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Manajer Mutu Rumah Sakit X masalah yang sering dibahas oleh
pihak manajemen adalah ketidaktercapaian target kerja, penggunaan jam kerja yang
kurang efektif dan kurangnya memberikan pelayanan prima pada pasien. Hal ini
menyebabkan komplain pasien yang masuk menjadi tinggi.
Menanggapi permasalahan kinerja karyawan, Rumah Sakit X mulai menyusun
dan menerapkan Key Performance Indicator (KPI) pada semua unit sampai pada level
individu, memperbaiki Performance Appraisal (PA), dan menambah aspek kinerja
sebagai dasar dalam pemberian intensif. Beberapa perubahan dalam pengelolaan sumber
daya manusia tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja karyawan. Porras &
Silver (2005) membagi perubahan organisasi (planned change) menjadi dua bagian,
2
yaitu pengembangan organisasi dan transformasi organisasi. Transformasi organisasi
merupakan generasi kedua dari pengembangan organisasi yang dicirikan dengan
perubahan secara cepat. Transformasi organisasi merupakan suatu proses yang tidak
sederhana, karena melibatkan empat variabel penting, yaitu (1) change intervention, (2)
variabel yang menjadi target perubahan adalah visi organisasi dan work setting
(teknologi, faktor sosial, pengaturan fisik perusahaan), (3) perubahan perilaku sebagai
akibat dari perubahan kognitif, dan (4) hasil yang dicapai oleh transformasi organisasi
dalam bentuk perbaikan kinerja organisasi dan peningkatan pengembangan individual
(Porras & Silver, 2005).
Organisasi membutuhkan kinerja individu yang tinggi dalam rangka memenuhi
tujuannya, untuk memberikan produk dan layanan yang dimiliki, dan pada akhirnya
untuk mencapai keunggulan kompetitif (Sonnentag & Frese, 2002). Dalam hal ini,
tercapainya tujuan organisasi sangat ditentukan oleh kinerja karyawannya (Sabir, 2012).
Studi tentang kinerja menjadi semakin penting karena tingkat globalisasi dan
kompetisi yang semakin tinggi dalam dunia kerja (Nafei, 2013). Seringkali
permasalahan kinerja muncul ketika kinerja yang diberikan oleh karyawan belum sesuai
dengan tuntutan perusahaan. Beberapa penelitian sebelumnya mengupas permasalahan
kinerja di berbagai macam sektor industri, antara lain sektor perbankan (Bhat, 2013;
Hakim, 2011), perusahaan manufaktur (Chen, 2004; Karahan, 2012), maupun industri
Rumah Sakit (Nasirpour, 2009). Karyawan merupakan pemeran utama dalam
melaksanakan tugas-tugas perusahaan dan elemen kunci dari organisasi, sehingga
keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung pada kinerja karyawan (Hameed &
Waheed, 2011). Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa tinggi rendahnya performa
organisasi tergantung pada tingkat kinerja karyawan (Karahan & Tetik, 2012).
3
Menurut Sonmentag & Frese (2002), salah satu konsep kinerja adalah untuk
membedakan antara suatu aspek tindakan (perilaku) dan aspek hasil dari kinerja. Aspek
perilaku mengacu pada apa yang dilakukan seorang individu dalam situasi kerja. Tidak
setiap perilaku dimasukkan di bawah konsep kinerja, tetapi hanya perilaku yang relevan
dengan tujuan organisasi. Aspek hasil mengacu pada konsekuensi atau akibat dari
perilaku individu. Ivancevich (2007) menyatakan bahwa kinerja merujuk
kepada keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan
untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kinerja dapat dinyatakan
baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan
baik.
Hameed & Waheed (2011) menyatakan bahwa kinerja adalah produktivitas dan
output yang dihasilkan oleh karyawan. Kinerja dapat dilihat sebagai perilaku, dan
bagaimana cara seseorang maupun organisasi menyelesaikan pekerjaannya. Dengan
kata lain, kinerja harus dilihat sebagai dua hal yaitu output dan perilaku (Salman, 2011).
Menurut Kahya (2007), kinerja karyawan merujuk pada dua hal yaitu task performance
dan implicit performance. Task performance meliputi perilaku-perilaku yang terlibat
langsung dalam produksi barang atau jasa (Johnson, dkk, 2008) sedangkan implicit
performance didefinisikan sebagai upaya-upaya pribadi yang tidak berkaitan langsung
dengan tugas pekerjaan individu, namun sangat penting karena berkaitan dengan faktor
psikologis dan sosial yang mendukung kinerja (Kahya, 2007). Menurut Sultana dkk
(2012), kinerja karyawan dapat didefinisikan sebagai pencapaian tugas tertentu yang
diukur berdasarkan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan teori
kinerja yang dikemukakan oleh peneliti sebelumnya, maka definisi operasional kinerja
karyawan dalam penelitian ini adalah prestasi kerja, baik kualitas maupun ketepatan
4
target kerja yang dicapai karyawan dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Untuk menghasilkan kinerja yang baik diperlukan alat ukur
yang dapat dijadikan standar karyawan dalam bekerja. Terdapat
beberapa hal yang menjadi aspek dalam kinerja karyawan menurut
Ivancevich (2007) yaitu; (1) Kuantitas Kerja (Quantity of work), yang
dalam hal ini berkaitan dengan hasil jumlah volume kerja yang dapat
diselesaikan karyawan dalam kondisi normal, (2) Kualitas Kerja
(Quality of Work), yang meliputi ketelitian, kerapihan, dan ketepatan
dalam bekerja atau standar mutu yang ditetapkan, (3) Pengetahuan
tentang pekerjaan (Knowledge of Job), yang meliputi pengetahuan yang
jelas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tanggung
jawab pekerjaannya, (4) Kualitas Personal (Personal Qualities) yang
meliputi penampilan, kepribadian, sikap, kepemimpinan, integritas,
dan kemampuan sosial, (5) Kerjasama (Cooperation), yaitu kemampuan
dan keinginan untuk bekerja dengan rekan kerja, atasan serta
bawahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (6) Dapat
dipercaya (Dependability), yang meliputi kesadaran akurasi, menjunjung
tinggi nilai kejujuran, kedisiplinan/tingkat kehadiran, dan (7) Inisiatif
(Initiative), yaitu kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawab, meningkatkan hasil kerja serta memiliki keberanian
untuk bekerja secara mandiri. Adapun elemen-elemen kinerja menurut Mathis
dan Jackson (2006) terdiri dari lima elemen yaitu (1) kualitas hasil, (2) kuantitas hasil,
(3) ketepatan waktu, (4) kehadiran, dan (5) kemampuan bekerja sama.
5
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh
budaya organisasi. Salleh (2008) dan Hakim (2011) menemukan bahwa budaya
organisasi memiliki pengaruh positif terhadap kinerja. Kotter (2012) menyebutkan
bahwa budaya organisasi memiliki potensi untuk meningkatkan kinerja organisasi dan
kepuasan kerja karyawan. Sebuah penelitian kualitatif menemukan bahwa budaya
organisasi secara signifikan mempengaruhi kinerja karyawan, meningkatkan
produktivitas, dan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
mempertahankan keunggulan kompetitif. Dalam penelitian tersebut, karyawan
menganggap norma, perilaku, dan nilai-nilai organisasi sebagai budaya yang harus
diikuti, dimana jika aturan maupun regulasi organisasi didefinisikan dengan kuat, maka
dapat meningkatkan kinerja dan produktifitas karyawan menjadi lebih baik (Luva,
2013). Penelitian lain menemukan bahwa budaya yang kuat dan peran kepemimpinan
dalam sebuah organisasi dapat membantu dalam meningkatkan kinerja, dimana sebuah
organisasi dengan budaya yang kuat akan memungkinkan untuk mengelola sumber daya
manusia secara efektif dan efisien. Hal ini akan memberikan keuntungan bagi organisasi
dalam hal peningkatan kinerja karyawan (Awadh & Saad, 2013).
Menurut Robbins (2006), budaya organisasi adalah nilai-nilai
dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun
kebijaksanaan organisasi terhadap karyawan dan pelanggan, cara
pekerjaan yang dilakukan di tempat itu, asumsi, dan kepercayaan
dasar yang terdapat di antara anggota organisasi. Menurut Lunenburg
(2011), budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang
mempengaruhi cara karyawan berpikir, merasa, dan berperilaku di tempat kerja. Budaya
ditularkan kepada anggota organisasi melalui sosialisasi dan pelatihan, upacara dan
6
ritual, jaringan komunikasi, serta simbol. Budaya organisasi memiliki empat fungsi,
yaitu memberikan identitas bagi anggota organisasi, meningkatkan komitmen,
memperkuat nilai-nilai organisasi, dan berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
perilaku (Nelson & Quick, 2011).
Budaya dalam suatu organisasi seperti kepribadian manusia dan berkaitan
dengan asumsi dasar dan fundamental, keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai yang
merupakan identitas batin suatu organisasi sebagai prinsip budaya yang membedakan
baik dan buruk. Hal ini berarti bahwa budaya organisasi menentukan hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan serta membentuk kerangka perilaku organisasi. Dengan
kehadiran budaya organisasi yang kuat, karyawan tidak hanya menjadi lebih sadar
tentang tujuan dan strategi suatu organisasi, tetapi mereka juga merasa lebih
bertanggung jawab (Nasirpour, Gohari & Moradi, 2009).
Efek budaya organisasi terhadap kinerja dan perilaku karyawan juga dapat
dijelaskan melalui 4 hal (Lunenburg, 2011; Hellriegel & Slocum, 2011). Pertama,
dengan mengetahui budaya organisasi, memungkinkan karyawan untuk memahami
sejarah organisasi dan metode-metode terbaru dalam sistem operasinya. Pandangan ini
memberikan panduan tentang perilaku masa depan yang diharapkan. Kedua, budaya
organisasi dapat menumbuhkan komitmen terhadap filosofi dan nilai organisasi.
Komitmen ini menghasilkan perasaan bekerja bersama menuju tujuan bersama.
Artinya, organisasi dapat mencapai efektivitas hanya ketika karyawan berbagi nilai-
nilai. Ketiga, budaya organisasi, melalui norma-normanya, berfungsi sebagai
mekanisme kontrol untuk menyalurkan perilaku terhadap perilaku yang diinginkan dan
jauh dari perilaku yang tidak diinginkan. Hal ini juga dapat dicapai dengan merekrut,
memilih, dan mempertahankan karyawan yang nilainya paling cocok dengan nilai-nilai
7
organisasi. Akhirnya, beberapa jenis budaya organisasi dapat berhubungan langsung
dengan efektivitas dan produktivitas yang lebih besar daripada yang lain.
Menurut Robbins (2006), budaya menjalankan sejumlah fungsi
didalam organisasi, yaitu; (1) Budaya mempunyai peran menetapkan
tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara
satu organisasi dan yang lain, (2) Budaya memberikan rasa identitas
ke anggota-anggota organisasi, (3) Budaya mempermudah timbulnya
komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
pribadi seseorang, (4) Budaya meningkatkan kemantapan sistem
sosial, (5) Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar
yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh
para karyawan, dan (6) Budaya sebagai mekanisme pembuat makna
dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku para karyawan.
Menurut Robbins (2006), budaya organisasi harus mempunyai
aspek mencolok yang dapat didefinisikan dan diukur. Robbins (2006)
membagi menjadi sepuluh karakteristik utama yang menjadi
pembeda budaya organisasi satu dengan lainnya. Karakteristik
tersebut adalah; (1) Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung jawab,
kebebasan, dan independensi yang dimiliki individu, (2) Toleransi
terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para karyawan
dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan mengambil risiko
dalam pekerjaan, (3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi menciptakan
8
dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi, (4) Integrasi,
yaitu sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja
dengan cara yang terkoordinasi, (5) Dukungan dari manajemen, yaitu
sejauh mana para pimpinan memberi komunikasi yang jelas, bantuan,
serta dukungan terhadap bawahan mereka, (6) Kontrol, yaitu jumlah
peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk
mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan. (7) Identitas, yaitu
sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara
keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja
tertentu atau dengan bidang keahlian profesional, (8) Sistem imbalan,
yaitu sejauh mana alokasi imbalan, seperti kenaikan gaji/promosi
didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai kebalikan dari
senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya, (9) Toleransi terhadap
konflik, yaitu sejauh mana para karyawan didorong untuk
mengemukakan konflik dan ktitik secara terbuka, dan (10) Pola-pola
komunikasi, yaitu sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh
hierarki kewenangan yang formal. Berdasarkan penjelasan teori
mengenai budaya organisasi yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka definisi operasional budaya organisasi dalam penelitian ini
adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang didukung oleh
organisasi dan mempengaruhi cara karyawan berpikir, merasa, maupun berperilaku
di tempat kerja.
Selain budaya organisasi, kepemimpinan juga memiliki peran yang besar pada
kinerja karyawan. Dalam penelitian ditemukan adanya hubungan positif antara gaya
9
kepemimpinan terhadap kinerja (Salman, 2011). Selanjutnya, ketika seorang pemimpin
mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya manusia dengan
menekankan hubungan antar manusia, maka akan meningkatkan dimensi-dimensi dalam
kinerja (Samangooei, 2012).
Pemahaman konsep kepemimpinan dapat berbeda, tetapi konstruk dasar secara
umum kurang lebih sama. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak terhadap pencapaian tujuan, dimana
pemimpin dapat memiliki tanggung jawab manajerial, tetapi kepemimpinan lebih dari
sekedar menjalankan pengelolaan fungsi organisasi (Salman, 2011). Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menangani situasi secara etis dan produktif berdasarkan pada
pengetahuan, keterampilan, keahlian, pengalaman, sensitivitas, dan visi wawasan (Sabir
dkk, 2012).
Perilaku etis dan karakter yang kuat menjadi hal yang sangat penting bagi
kredibilitas seorang pemimpin dan memberikan pengaruh yang sangat berarti (Piccolo,
2010). Etika berkaitan dengan moral dan nilai-nilai yang tepat dan ditemukan oleh
anggota masyarakat atau individu itu sendiri. Etika membantu kita memutuskan apa
yang benar dan salah atau baik dan buruk dalam situasi tertentu. Sehubungan dengan
kepemimpinan, etika akan membahas mengenai siapakah pemimpin itu, karakter yang
dimiliki dan apa yang dilakukannya, serta bagaimana tindakan dan perilaku mereka
(Northouse, 2013).
Etika menjadi masalah yang penting bagi organisasi, dan seorang ethical leader
akan memperjuangkan etika serta memotivasi orang lain untuk bertindak secara etis.
Dalam hal ini, ethical leader mampu menjadi panutan dan menggunakan kekuasaannya
secara positif untuk mempengaruhi orang lain (Butts & Rich, 2008). Pemimpin harus
10
menciptakan lingkungan kerja yang etis dan ramah bagi semua karyawan,
mengkomunikasikan isu-isu berkaitan dengan etika, bertanggung jawab, dan menjadi
panutan bagi karyawan (Bello, 2012).
Moreno (2010) mencatat bahwa seorang ethical leader adalah orang yang
selaras antara tindakan dan kata-kata. Dalam hal ini, ethical leader dapat mempengaruhi
pengikutnya dengan perilaku yang konsisten, tindakan atau moral yang tepat, dan
melakukan apa yang dikatakan. Penelitian Walumbwa, dkk (2010) menunjukkan bahwa
ethical leadership yang dimediasi oleh faktor self efficacy, leader-member exchange
dan identifikasi organisasi memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kinerja
karyawan. Penelitian Piccolo, dkk (2010) memberikan hasil bahwa ethical leadership
yang dimediasi oleh task significance, autonomy, dan effort memiliki hubungan
terhadap kinerja karyawan. Selanjutnya, penelitian Sabir, dkk (2012) menemukan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara ethical leadership dan kinerja karyawan,
dimana ethical leadership yang diterapkan dengan baik bisa memiliki dampak yang
kuat terhadap kinerja karyawan.
Brown, dkk (2005), mendefinisikan ethical leadership sebagai perilaku normatif
yang tepat melalui tindakan pribadi dan hubungan interpersonal, serta menunjukkan
perilaku tersebut kepada bawahan melalui komunikasi, dan pengambilan keputusan dua
arah. Definisi tersebut menunjukkan bahwa ethical leadership dapat menjadi contoh
bagi orang lain dan seorang pemimpin yang memiliki karakter yang kuat serta nilai-nilai
yang tepat (Bello, 2012). Ethical leader adalah seseorang pemimpin yang berusaha
untuk mencapai tujuan, visi, dan nilai-nilai organisasi. Mereka akan menghubungkan
tujuan organisasi dengan karyawan internal dan stakeholders (Bello, 2012).
11
Resick, Hanges, Dickson & Mitchelson (2006) mengidentifikasi enam atribut
utama yang menandai ethical leadership yaitu (1) karakter dan integritas, (2) ethical
awareness (3) berorientasi pada manusia/sosial, (4) memotivasi, (5) mendorong dan
memberdayakan, dan (6) mengatur tanggung jawab etis. Sejalan dengan itu, O’Connell
& Bligh (2009) mengidentifikasi sembilan karakteristik ethical leader dari analisis
sintesis penelitian di masa sebelumnya sebagai berikut; (1) Menggunakan kacamata etis,
(2) Membuat keputusan etis, (3) Mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari
keputusan bisnis, (4) Mempertimbangkan kesejahteraan pada saat membuat keputusan
dan memperlakukan orang lain secara adil, (5) Bertindak secara etis dan menjadi role
model dalam berperilaku, (6) Mengkomunikasikan pentingnya etika (7) Memahami diri
sendiri dan orang lain yang bekerja dengan mereka (8) Bertanggung jawab terhadap
perilaku etis orang lain, dan (9) Menawarkan pelatihan dan memberi dukungan bagi
karyawan untuk bertindak etis di tempat kerja. Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh peneliti sebelumnya, maka definisi ethical leadership dalam penelitian ini adalah
perilaku seorang pemimpin yang konsisten, tindakan atau moral yang tepat, dan
melakukan apa yang dikatakan serta menunjukkan perilaku tersebut kepada bawahan.
Dalam penelitian sebelumnya ditemukan bahwa baik kepemimpinan maupun
budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi dan kinerja karyawan
(Boevink, 2009). Selanjutnya, Sabir (2012) menyatakan bahwa nilai-nilai budaya etika
organisasi dan ethical leadership dapat meningkatkan produktivitas karyawan.
Beberapa penulis berpendapat bahwa kepemimpinan (sebagai human capital) dan
budaya organisasi (sebagai organizational capital) adalah dua hal kompleks yang
berbeda namun menjadi sumber daya yang saling berhubungan dalam memprediksi
keberhasilan organisasi (Tomer, 1999), atau dengan kata lain budaya organisasi dan
12
kepemimpinan dianggap memiliki aspek yang terkait dalam kehidupan organisasi. Para
pemimpin level atas diyakini sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh utama pada
penciptaan dan pengembangan budaya organisasi, dimana peran pimpinan level atas
adalah membangun, mempertahankan, dan merubah isi dari suatu budaya organisasi
(Schein, 2004). Lebih lanjut, secara struktural seorang pemimpin akan terlibat dalam
sebuah perencanaan strategik, sehingga akan berpengaruh terhadap kebijakan, proses
pengambilan keputusan, dan tata aturan yang diberlakukan (Butts & Rich, 2008;
Monica, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, secara teoritis dapat dikatakan bahwa terdapat
pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan. Begitu pula terdapat pengaruh
ethical leadership terhadap kinerja karyawan. Oleh karena itu hipotesa yang diajukan
dalam penelitian ini adalah budaya organisasi dan ethical leadership dapat memprediksi
kinerja karyawan.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat ditunjukkan melalui gambar di
bawah ini:
Gambar 1Kerangka Penelitian
Budaya organisasi akan mengikat karyawan secara mental, emosional, dan
secara fisik dalam kehidupan di tempat kerja agar karyawan bekerja sesuai dengan tata
13
Budaya Organisasi
Ethical Leadership
Kinerja