INDRIANA KARTINI - Naskah Seminar Klaster UGM 26-08-2008

download INDRIANA KARTINI - Naskah Seminar Klaster UGM 26-08-2008

of 15

Transcript of INDRIANA KARTINI - Naskah Seminar Klaster UGM 26-08-2008

EKSTRAK KLOROFIL ALGA SEBAGAI SENSITISER SEL SURYA TITANIA TERSENSITISASI PIGMEN ALGA (TIPA)I. Kartini1*), S. Wahyuningsih2), T. D. Wahyuningsih1), dan Chotimah3)1) 2)

Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta 3) Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 *) corresponding author : [email protected] Disajikan pada Seminar Hasil Penelitian Klaster Sains dan Teknologi, 26 Agustus 2008, LPPM UGM, YogyakartaAbstrak Kajian penggunaan ekstrak klorofil alga yang diambil dari pantai Krakal, Yogyakarta sebagai sensitiser (pemeka) titania (TiO2) pada sel surya fotoelektrokimia telah dilakukan. Lapis tipis TiO2 dibuat dengan teknik slip-coating pada permukaan kaca konduktif menggunakan prekursor suspensi asam serbuk TiO2 P25 buatan Degussa (Jerman). Ekstraksi klorofil 5 spesies alga dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol. Serapan elektronik ekstrak klorofil dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Interaksi antara lapis tipis titania dengan ekstrak klorofil dikaji berdasarkan karakter spektra inframerah (IR) padatan. Kinerja sel surya sistem fotoelektrokimia berbasis titania tersensitisasi klorofil ditentukan melalui analisis kurva arus (I) dan tegangan (V) yang dihasilkan oleh sistem konstruksi sel surya fotoelektrokimia TiO2 tersensitisasi pigmen alga (TIPA). Spesies alga yang memiliki kemampuan serapan cahaya tampak terbesar adalah spesies alga coklat Sargassum mcclurei Setchell. Meskipun demikian, berdasarkan hasil pengukuran arus-tegangan (I-V) sistem sel surya, alga merah Hypnea esperi Bory yang memiliki pergeseran merah terbesar menghasilkan efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan sistem sel surya alga coklat Sargassum mcclurei Setchell. Efisiensi sistem sel surya alga Hypnea esperi Bory dan Sargassum mcclurei Setchell berturut-turut sebesar 4,43x10-5 % dan 9,00x10-6 %. Abstract Chlorophyll extracts of various algae from Krakal beach, Yogyakarta have been explored as sensitizer for sensitized-TiO2 solar cells. Titania film was prepared by slip-coating acidic suspension of TiO2 P25 (Degussa, Germany) on conducting glasses. Chlorophylls of 5 algae were extracted by methanol extraction. The electronic spectra of the chlorophyll extracts were characterized by UV-Vis spectrophotometer. Infrared spectra of sensitized-TiO2 films were analyzed to predict the interaction between TiO2 and the sensitizers. The solar cell performance of the sandwich constructed of sensitizedTiO2 and the counter electrode was analyzed through their I-V (current-voltage) curves. It was found that brown algae species (Sargassum mcclurei Setchell) was the algae dye which has the highest extinction coefficient. From the I-V measurement, the red algae, Hypnea esperi Bory, which has the biggest red shift, produced higher efficiency of the conversion of solar energy into electricity than brown algae, Sargassum mcclurei Setchell. Global efficiencies of Hypnea esperi Bory and Sargassum mcclurei Setchell dye sensitized solar cells are 4.43x10-5 % and 9.00x10-6 %, respectively. Keywords: chlorophyll algae, sensitizer, natural-dye sensitized solar cell, TiO2

Pendahuluan Satu diantara sumber energi alternatif yang sangat potensial bagi Indonesia adalah cahaya matahari. Dalam rangka pemecahan masalah yang mendukung kebijakan pemerintah dalam bidang energi alternatif, pada penelitian ini diajukan perancangan sistem baru konversi energi surya menjadi energi listrik. Sel surya berbasis lapis tipis semikonduktor titania yang dikenal dengan sistem dye-sensitized solar cell (DSSC) merupakan generasi ketiga sistem sel surya yang sangat potensial setelah sel surya berbasis silikon (ORegan dan Gratzel, 1991). Sistem ini berpotensi menghasilkan daya lebih ekonomis dibandingkan divais fotovoltaik konvensional dengan menerapkan pemisahan material yang berfungsi menyerap radiasi (sensitiser) dan pembangkit muatan (semikonduktor celah lebar). Selain itu, fabrikasi sistem ini tidak memerlukan tingkat kemurnian bahan yang tinggi sebagaimana sistem sel surya berbasis silikon, sehingga penyerapan kapital tidak bersifat signifikan. Sampai saat ini, sistem sel surya tersebut menggunakan senyawa kompleks Ruthenium(II) sebagai zat pemeka (sensitiser). Pigmen dengan karakter serapan elektronik yang lebar di daerah cahaya tampak dari spektrum cahaya matahari secara teoritis akan menyerap radiasi matahari dalam jumlah lebih banyak dan merupakan sensitiser yang baik. Ruthenium kompleks merupakan pigmen sintetik yang proses pembuatannya membutuhkan skill sintesis cukup tinggi dan dalam aplikasinya dibutuhkan tingkat kemurnian hasil yang cukup tinggi pula untuk memperoleh kinerja sel surya yang optimum. Oleh karena itu, dalam rangka kemandirian bangsa dan pemanfaatan potensi hayati maka pada makalah ini diusulkan untuk memanfaatkan pigmen alam potensi bahan alam Indonesia. Alga merupakan salah satu potensi bahari Indonesia yang potensial digunakan sebagai pigmen. Tumbuhan berklorofil ini kaya warna yang bersumber dari empat suku rumput laut, yaitu Rhodophyceae (alga merah), Phaephyceae (alga coklat), Chlorophyceae (alga hijau), dan Cyanophyceae (alga biru-hijau). Sesuai dengan namanya, alga tersebut mempunyai warna yaitu merah, coklat, hijau, dan biru-hijau. Pemanfaatan rumput laut di Indonesia sendiri sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1920. Sampai tahun 1990-an, penelitian telah berhasil mengembangkan pemanfaatan 61 jenis dari 27 marga rumput laut (Anonim, 2003). Pemanfaatan tersebut masih terbatas untuk makanan dan obat. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikaji penggunaan ekstrak pigmen alga sebagai sensitiser divais sistem sel surya fotoelektrokimia. Pigmen alam umumnya mempunyai sifat rentan terhadap fotodegradasi. Namun demikian, beberapa pigmen alam berbasis sianin beserta derivatnya telah terbukti mempunyai kestabilan yang cukup baik dibandingkan pigmen sintetik yang biasa digunakan dalam sistem DSSC (Sirimanne dkk., 2006). Ekstrak zat warna alam yang biasa dipakai sebagai pewarna batik juga telah terbukti mampu berfungsi sebagai sensitiser dalam sistem DSSC, meskipun arus yang dibangkitkan relatif masih kecil (Heriyanti dan Kartini, 2006; Kartini dkk., 2007). Pada

makalah ini akan dikaji ekstensifikasi ide penggunaan pigmen alam dengan memanfaatkan pewarna alam dari spesies laut Indonesia (alga) yang memberikan warna dalam spektrum cahaya matahari. Pigmen alga telah terbukti mampu digunakan sebagai pewarna tekstil dan mempunyai ketahanan terhadap photobleaching (Anonim, 2003). Sementara itu, pemanfaatan pigmen dari alga untuk sistem divais DSSC sepanjang penelusuran yang dilakukan peneliti belum pernah dilakukan. Kajian pigmen alga sebagai sensitizer DSSC pada makalah ini akan dibahas berdasarkan karakteristik serapan elektroniknya di daerah spektrum cahaya tampak serta kemampuannya mensensitisasi TiO2 dan membangkitkan arus listrik.

Metode Penelitian

Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima jenis alga yang diambil dari perairan pantai Krakal Yogyakarta yang diambil pada bulan September 2007, bahan kimia dengan kualitas pro analysis dari Merck yaitu n-heksana, aseton dan asetil aseton, metanol teknis (Merck), pelat KLT silika gel 60 G F254, aluminium foil, natrium sulfat (Na2SO4) anhidrat, TiO2 P25 (Degussa), Triton X100, larutan elektrolit (campuran yod, I2; potassium iodide, KI dan Tetra Etil Ammonium Iodida, TEAI dalam pelarut asetonitril), logam Au (emas), substrat kaca berkonduksi ITO (Indium doped Tin Oxide) R ~ 25-27 cm-2, dan isolasi transparan Scott 3M.Ekstraksi pigmen alga Lima jenis alga yang diperoleh dari perairan pantai Krakal Yogyakarta dibersihkan dengan cara dicuci dengan menggunakan air. Sebagian dari masing-masing alga kemudian diambil untuk dilakukan determinasi taksonomi alga di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi UGM. Kelima jenis alga yang telah dicuci kemudian dikering-anginkan. Alga kering sebanyak 1,25 g dipotong-potong halus kemudian dimaserasi dalam 25 mL pelarut metanol selama 24 jam sambil digojog. Larutan disaring dengan kertas saring dan filtrat yang diperoleh dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Setiap ekstrak zat warna dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis pada kisaran panjang gelombang 200-700 nm. Ekstrak metanol yang diperoleh diuapkan pada suhu kamar. Pembuatan lapis tipis TiO2 Sebanyak 1 gram serbuk TiO2 P25 (Degussa) dimasukkan ke dalam lumpang porselen dan ditambahkan beberapa tetes larutan asetil aseton serta Triton X100 dengan perbandingan 1:6 sambil diaduk dan dihaluskan menggunakan alu porselen sedemikian rupa sehingga terbentuk suspensi yang homogen, tidak terlalu encer dan tidak bergelembung. Kemudian, disiapkan kaca konduktif ITO yang telah dicuci dengan detergen menggunakan alat ultrasonic cleaner dan dibilas secara berturut-turut menggunakan aseton dan etanol. Ketiga tepi kaca diberi

isolasi sehingga menyisakan daerah yang tidak diberi isolasi seluas 1 cm2. Suspensi TiO2 diteteskan pada satu ujung tepi isolasi dan diratakan menggunakan batang gelas pengaduk ke seluruh bagian kaca yang tidak tertutup isolasi. Lapis tipis yang diperoleh dibiarkan sebentar di udara terbuka agar mengering kemudian isolasi dilepas. Selanjutnya kaca konduktif berlapis TiO2 dipanaskan dalam furnace pada suhu 450 oC selama 1 jam. Kajian sensitisasi lapis tipis TiO2 oleh ekstrak pigmen alga Ekstrak metanol masing-masing alga dibuat dengan konsentrasi (mg alga kering/mL metanol) bervariasi (25; 12,5 dan 6,25 mg/mL). Karakter serapan elektronik setiap ekstrak metanol alga (sebelum dan sesudah pengenceran) serta sistem lapis tipis TiO2 - ekstrak metanol alga dianalisis dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis untuk sistem larutan dan UV-Vis reflektansi (Specular Reflectance, SR) pada panjang gelombang 200-800 nm. Setelah pemanasan, pelat lapis tipis TiO2 didiamkan di dalam furnace sehingga mencapai suhu 70 oC kemudian direndam ke dalam ekstrak metanol masing-masing alga selama 22 jam. Penentuan arus dan tegangan sistem sel surya Elektroda kerja dibuat dari lapis tipis TiO2 pada substrat kaca ITO yang telah mengadsorp ekstrak alga. Elektroda lawan dibuat menggunakan teknik evaporasi vakum emas murni (sputtering) pada substrat kaca ITO di Laboratorium Fisika Zat Padat FMIPA UGM. Emas yang digunakan untuk deposisi 8 substrat kaca ITO seberat 0,5 gram, dengan waktu deposisi selama 1 menit, arus yang mengalir sebesar 35 A dan tekanan vakum sebesar 8x10-3 Pa. Konstruksi sel surya yang digunakan adalah sistem sandwich dengan urutan: elektroda kerja, larutan elektrolit (Larutan yang terbuat dari 0,4 g KI, 0,25 g Gambar 1 Konstruksi sel surya untuk penentuan arus (I) dan tegangan (V) TEAI dan 0,25 g I2 yang masing-masing telah dilarutkan dalam 10 mL asetonitril) dan elektroda lawan. Setelah elektroda kerja dan lawan dilekatkan dengan dibatasi oleh suatu jendela polimer (mylar spacer), konstruksi sel dijepit dengan menggunakan penjepit kertas. Kemudian, larutan elektrolit diinjeksikan melalui sisi sambungan kaca dengan menggunakan jarum injeksi. Kontak pada konstruksi sel surya melalui penjepit buaya pada tepi elektroda lawan dan elektroda kerja sebagaimana ilustrasi yang disajikan pada Gambar 1. Kinerja sel surya lapis tipis TiO2 berbasis sensitiser zat warna ditentukan melalui pengukuran arus dengan variasi tegangan (-200 mV sampai +200 mV). Rangkaian pengukuran pada konstruksi sel surya sistem sandwich dilakukan menggunakan power supply DC, multimeter digital dan lampu halogen yang memiliki intensitas 50 mW/cm2 dengan jarak lampu ke sel uji 5 cm. Pada pengukuran ini tegangan yang masuk ke sel divariasi

dan arus yang terbaca pada ampermeter dicatat. Pengukuran dilakukan pada kondisi gelap (tanpa cahaya) dan dengan cahaya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Sel surya berbasis lapis tipis titania (TiO2) tersensitisasi zat warna (Dye-Sensitised Solar Cells, DSSC) merupakan divais untuk konversi cahaya tampak menjadi energi listrik berdasarkan konsep sensitisasi bahan semikonduktor celah lebar (wide bandgap semiconductors). Konsep sensitisasi memungkinkan diperolehnya arus listrik dengan memanfaatkan energi yang lebih rendah dari energi celah bahan semikonduktor yaitu bagian cahaya tampak sinar matahari. Sistem sel surya ini pertama kali ditemukan oleh peneliti Swiss (ORegan & Gratzell, 1991) dengan menggunakan kompleks ruthenium sebagai zat warna. Sel surya berbasis konsep fotoelektrokimia ini tersusun atas 3 bagian yaitu elektroda kerja, elektroda lawan (counter electrode) dan elektrolit. Kompleks ruthenium diadsorpsikan pada lapis tipis bahan semikonduktor berpori, seperti titania dan berperan sebagai elektroda kerja. Sedangkan kaca konduktif berlapiskan platinum digunakan sebagai elektroda lawan. Sementara itu, pasangan sistem oksidasi-reduksi larutan I3/I- berperan sebagai larutan elektrolit. Prinsip kerja sel surya sistem DSSC disajikan pada Gambar 2.

TCO Semiconductor oxide3e-

Dye2

D*9

Redox couples Counter electrode Pt/TCO

-3.8EF

4

CB7

-5.0 -5.6

8

1h

5

E Redox

e-

6

I -/I-3

D/D +

-7.0VB

E vs vacuum (eV)

e

-

External load

e

-

1-2-3-4-5-6 desired pathway

7 8 9 recombination pathways

Gambar 2 Prinsip kerja sel surya fotoelektrokimia berbasis lapis tipis oksida semikonduktor (contoh: titania, seng oksida) menggunakan komplek ruthenium (D) sebagai sensitiser (diambil dari Kartini, 2004).

Alga yang diambil dari pantai Krakal, Yogyakarta berdasarkan analisis taksonominya

termasuk kelompok alga merah (Rhodophyceae) yaitu alga A, B, D dan E dan alga coklat (Phaeophyceae) yaitu alga C. Ekstraksi pigmen alga dilakukan dengan cara maserasi alga kering dalam pelarut metanol. Ekstrak metanol mengandung komponen

senyawa baik senyawa non polar maupun senyawa polar. Pada ekstrak ditambahkan Na2SO4 anhidrat untuk membebaskannya dari air. Ekstrak yang diperoleh berwarna hijau yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan klorofil di dalamnya. Ekstrak metanol selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis untuk mengetahui secara kualitatif kandungan zat warna utama pada alga tersebut. Karakter serapan elektronik lima ekstrak alga sebelum dan sesudah diadsorpsikan pada lapis tipis TiO2 disajikan secara berurutan pada Gambar 3 dan 4. Berdasarkan spektra absorpsi UV-Vis ekstrak metanol alga pada Gambar 3, nampak bahwa spektra lima jenis alga menunjukkan karakter 2 serapan utama di daerah cahaya tampak, yaitu di daerah sekitar 416-422 nm dan 660-666 nm. Menurut Harborne (1987), ekstrak

pigmen tumbuhan yang mempunyai serapan di daerah 400-450 nm dan 650-700 nm menyatakan keberadaan klorofil a. Hasil tersebut bersesuaian dengan hasil Kay dan Gratzel (1993) yang telah melakukan ekstraksi klorofil a dan b dari bayam menggunakan pelarut metanol. Kemampuan absorpsi cahaya tampak untuk masingmasing ekstrak metanol alga dapat dikaji dengan menentukan koefisien serapan cahaya larutan. Pada kajian ini, koefisien serapan cahaya ditentukan dengan mengukur serapan ekstrak metanol alga dengan konsentrasi yang berbeda. Kemudian koefisien absorbsinya dapat ditentukan dengan menerapkan hukum Lambert-Beer (A=a.b.c, dengan A adalah absorbansi, a adalah koefisien absorbsi, b adalah ketebalan sampel dan c adalah konsentrasi larutan). Konsentrasi ekstrak alga yang bukan merupakan ekstrak murni suatu pigmen dinyatakan dalam konsentrasi berat ekstrak terhadap volum pelarutnya (mg/L), sehingga a juga dinyatakan dalam mg-1 mL cm-1. Data penentuan a disajikan pada kolom terakhir Tabel 1. Berdasarkan harga a, nampak bahwa ekstrak metanol alga C (Sargassum mcclurei Setchell) mempunyai kemampuan menyerap cahaya tampak paling besar, sedangkan alga B (Gigartina harveyana (Kutzing) Setchell & Gardner) dan D (Hypnea esperi Bory) mempunyai kemampuan menyerap cahaya lebih kecil. Harga a bersifat karakteristik dan menyatakan sifat intrinsik spesies kimia untuk menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu. Berdasarkan spektra elektronik ekstrak metanol alga pada Gambar 3 dapat dinyatakan bahwa komponen pigmen utama alga adalah klorofil a. Konsentrasi klorofil a (Ca) dapat dihitung menggunakan persamaan Ca=12,21 A663-2,81 A646 (Harborne, 1987). Ternyata diperoleh fakta bahwa harga a juga sejalan dengan konsentrasi klorofil yang terkandung pada ekstrak metanol alga. Secara berurutan Ca alga C, B dan D adalah 2,59; 0,26 dan 0,96 mg/L. Berdasarkan karakter serapan cahaya tampak, alga C mempunyai karakter yang paling baik sebagai sensitizer DSSC.

A

B

C

D

E

Gambar 3

Lima spesies alga yang diambil dari pantai Krakal pada bulan September 2007 serta hasil determinasi taksonomi di LaboratoriumTaksonomi Tumbuhan Fakultas Biologi UGM dan serapan elektronik ekstrak alga dalam metanol : (A) Amphiroa foliacea Lamoroux, (B) Gigartina harveyana (Kutzing) Setchell & Gardner, (C) Sargassum mcclurei Setchell, (D) Hypnea esperi Bory, dan (E) Halymenia agardhii De Toni

Gambar 4 Spektra serapan elektronik ekstrak metanol alga dan sistem lapis tipis TiO2 ekstrak metanol alga A, B, C, D dan E

Zat warna yang baik digunakan sebagai sensitiser sel surya DSSC selain mempunyai kemampuan menyerap cahaya tinggi juga mampu menghasilkan pergeseran merah pada pola serapan elektronik sistem TiO2zat warna (Garcia, 2003). Fenomena pergeseran merah menyatakan pergeseran harga serapan maksimum (max) dan atau serapan tepi (tepi) sistem zat warna teradsorpsi pada suatu bahan semikonduktor terhadap sistem larutannya menuju ke harga panjang gelombang lebih besar (ke daerah serapan warna merah). Fenomena pergeseran serapan tersebut juga dikenal dengan istilah sensitisasi yaitu pemekaan respon TiO2 terhadap cahaya tampak (Garcia, 2003). Adanya pergeseran merah ini menunjukkan terjadinya interaksi antara pigmenlapis tipis TiO2 yang memicu terjadinya injeksi elektron dari keadaan tereksitasi pigmen menuju pita konduksi TiO2. Karakter serapan elektronik ekstrak metanol alga serta sistem lapis tipis TiO2 ekstrak metanol alga disajikan secara kuantitatif pada Tabel 1. Tabel 1 Karakter serapan elektronik ektrak metanol alga dan TiO2 tersensitisasiSerapan ekstrak dalam metanol tepi max (nm) (nm) 418 416 662 413 414 685 700 690 685 690 Serapan pada lapis tipis TiO2 tepi max (nm) (nm) 444 428 670 535 465 790 790 790 790 790 Pergeseran serapan max tepi (nm) (nm) 26 12 8 122 51 105 90 100 105 100 a (koefisien absorpsi ekstrak alga dalam metanol, mg-1 mL cm-1) 0,01067 0,00243 0,02742 0,00646 0,01851

Alga

Warna larutan

A B C D E

Hijau muda Hijau muda Coklat hitam kekuningan Hijau muda Hijau muda

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekstrak metanol alga merah D adalah spesies yang memberikan pergeseran merah (max) terbesar. Semakin besar pergeseran merah yang dihasilkan, maka terjadinya transfer elektron dari keadaan tereksitasi zat warna menuju ke pita konduksi TiO2 akan semakin mudah sehingga konversi energi cahaya menjadi energi listrik akan semakinH2C CH Me

besar dan memberikan efisiensi sel surya yang terbaik. Transfer elektron tersebut diperkirakanEt N Mg N N Me N

Me

dipicu

melalui

pembentukan

kelat

gugus

fungsional pigmen dengan Ti(IV) pada lapis tipis TiO2. Berdasarkan data pada Tabel 1 diperoleh fenomena umum bahwa semua ekstrak pigmen alga dapat menyebabkan pergeseran merah pada spektra serapan elektronik sistem lapis tipis TiO2O

Me H H2C CH2 CO2Fitil H MeO2C

ekstrak pigmen. Sensitisasi pigmen juga dapat dipelajari dengan mengkaji spektra IR sistem lapis tipis

Gambar 5 Struktur klorofil a (Harborne, 1987)

TiO2zat warna, untuk mengetahui kemungkinan terjadinya ikatan antara zat warna dengan

lapis tipis TiO2. Terjadinya ikatan dapat diperkirakan jika spektra IR sistem TiO2 zat warna menunjukkan munculnya puncak baru atau pergeseran serapan gugus fungsional yang signifikan jika dibandingkan dengan spektra zat warna maupun spektra lapis tipis TiO2. Sensitisasi yang efisien dapat terjadi melalui pembentukan ikatan antara zat warna dengan TiO2. Beberapa zat warna meskipun berwarna tidak akan membentuk kelat dengan TiO2. Zat warna seperti ini kurang efisien jika digunakan sebagai sensitiser sel surya. Pembentukan kelat dengan TiO2 umumnya terjadi jika struktur zat warna sebagai sensitiser memiliki gugus karboksil dan karbonil yang mampu membentuk kelat dengan situs Ti(IV) pada permukaan TiO2 (Sayama dkk, 2003). Semua ekstrak zat warna alga yang digunakan dalam penelitian ini mengandung gugus karboksil dan karbonil karena semuanya mengandung senyawa klorofil. Struktur klorofil a disajikan pada Gambar 5. Gugus karboksil pada klorofil terletak pada rantai-rantai sampingnya, salah satunya adalah yang berikatan dengan gugus fitil. Pembentukan kelat dalam hal ini dimungkinkan dapat terjadi pada gugus karbonil klorofil dengan permukaan lapis tipis TiO2. Spektra inframerah lapis tipis TiO2 dan sistem lapis tipis TiO2 ekstrak alga C disajikan pada Gambar 6. Spektra IR pada Gambar 6 menunjukkan spektra yang karakteristik untuk sistem lapis tipis TiO2. Keduanya memiliki puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3448,5 cm-1 yang merupakan vibrasi rentang OH baik dari uap air bebas maupun air yang terikat pada TiO2 (Nyquist, 1997). Puncak serapan pada daerah 1639,4 cm-1 merupakan puncak vibrasi tekuk OH dari H2O (Nyquist, 1997), yang mengindikasikan adanya H2O pada permukaan TiO2. Serapan ini teramati untuk kedua spektra IR karena serbuk TiO2 bersifat higroskopis sehingga sangat mudah menyerap molekul H2O. Sedangkan serapan lebar pada daerah 900-400 cm-1 merupakan serapan karakteristik untuk TiO2 (TiOTi) (Kartini, 2004). Spektra inframerah sistem lapis tipis TiO2 ekstrak alga C memperlihatkan munculnya puncak serapan baru pada daerah 1033,85 cm-1. Puncak tersebut diperkirakan dihasilkan dari ikatan antara gugus pada zat warna dalam ekstrak alga C dengan TiO2. Puncak tersebut adalah karakteristik untuk gugus CO pada ester, yang memiliki daerah serapan antara 1300-1000 cm-1. Apabila ikatan yang terjadi merupakan ikatan antara zat warna klorofil dengan TiO2, maka pada spektra IR akan menghasilkan serapan tajam pada daerah 1685 cm-1 (serapan gugus karbonil yang memiliki sistem terkonjugasi). Puncak tersebut muncul pada spektra lapis tipis TiO2ekstrak klorofil alga C berupa serapan bahu dan tidak tajam. Hal ini memberikan indikasi terjadinya ikatan kelat antara gugus karboksil dari klorofil dengan TiO2 namun ikatan tersebut bersifat relatif lemah. Lemahnya serapan tersebut diperkirakan karena sedikitnya jumlah gugus karboksil bebas (yang tidak terikat dengan fitil) yang mampu membentuk kelasi dengan TiO2. Kay dan Gratzel (1993) menyatakan bahwa gugus karboksil bebas dapat diperoleh melalui hidrolisis ikatan ester fitil dalam larutan asam encer. Keasaman sistem TiO2 pada lapis tipis diperkirakan berasal dari prekursor pembuatan lapis tipis yang merupakan suspensi TiO2 yang

bersifat asam. Oleh karena itu, karboksil bebas yang diinduksi oleh keasaman permukaan TiO2 juga relatif sedikit. Munculnya serapan pada daerah 2924 cm-1 yang merupakan vibrasi C-H, juga memberikan indikasi bahwa yang berarti bahwa zat warna telah menempel pada lapis tipis TiO2.

Lapis Tipis TiO2

Lapis tipis TiO2 ekstrak klorofil alga C

bilangan gelombang (cm-1)Gambar 6 Spektra inframerah (IR) lapis tipis TiO2 dan sistem lapis tipis TiO2 ekstrak klorofil alga C

Efek sensitisasi zat warna terhadap kinerja sel surya dapat dianalisis secara kuantitatif melalui pengukuran arus yang dihasilkan sistem konstruksi sel surya pada berbagai variasi tegangan. Konstruksi sel surya dibuat dengan sistem sandwich dengan urutan elektroda lawan larutan elektrolit pada media mylar spacer elektroda kerja dengan luas aktif sel surya 1x1 cm2. Arus yang terbaca hasil variasi tegangan dibuat kurva I vs V untuk mengetahui kinerja sel surya. Hasil pengukuran I-V sistem sel surya ekstrak alga C dan alga D yang dilakukan pada kondisi gelap dan terang disajikan pada Gambar 7.

AI (A)0.04 0.03 0.02 0.01 0 -15 -5 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04 -0.05 -0.06 5 15 25 35 45 55 65 75gelapterang0.4 0.35 0.3gelapterang

B

gelap

0.25 0.2 0.15 0.1

gelap

terang

V (mV)

0.05 0 -15 -10 -5 0 -0.05 -0.1 -0.15 -0.2

5

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

terang

V (mV)

Gambar 7

Kurva I-V sel surya TiO2 tersensitisasi ekstrak alga C Sargassum mcclurei Setchell (A) dan alga D Hypnea esperi Bory (B)

Sistem sel surya dikatakan mati apabila arus yang dihasilkan sistem pada saat tegangan nol (Isc) bernilai nol. Dalam sistem sel surya DSSC, hal ini berarti bahwa dalam sistem tersebut tidak terjadi aliran elektron dari keadaan tereksitasi zat warna menuju ke pita konduksi TiO2 yang dapat menghasilkan arus listrik. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya interaksi/ikatan antara zat warna dengan TiO2 sehingga proses injeksi elektron menjadi sulit. Sistem sel surya juga dapat dikatakan mati karena terjadinya short pada sistem akibat kontak langsung elektroda kerja (working electrode) dan elektroda lawan (counter electrode). Hal ini dapat terjadi apabila larutan elektrolit tidak terdistribusi secara merata pada seluruh permukaan kontak elektroda kerja elektroda lawan, atau apabila larutan elektrolit terlalu menyebar ke seluruh permukaan elektroda kerja maupun elektroda lawan (tidak hanya sebatas daerah kontak), sehingga pengaturan tegangan menjadi sulit karena menjadi tidak stabil, begitu pula dengan arus yang terbaca. Berdasarkan kurva I-V pada Gambar 7, baik ekstrak alga C dan D yang diuji untuk sensitisasi sel surya memberikan efek fotovoltaik yang dinyatakan oleh adanya kurva di daerah kuadran IV. Sedangkan parameter sel surya yang dihasilkan sel uji secara kuantitatif disajikan pada Tabel 2. Nampak bahwa luasan kurva yang merupakan indikasi besarnya parameter sel FF (fill factor) untuk sensitizer alga D lebih luas dari alga C. Demikian pula halnya dengan arus yang dihasilkan. Tabel 2 Parameter sel surya TiO2 tersensitisasi pigmen alga (TIPA)

Alga Alga C Alga D

Jsc (mA/cm2)x 10-5 3 13

Voc (mV) 60 55

FF 0,25 0,31

(%) 9,00x10-6 4,43x10-5

Ekstrak alga C merupakan zat warna yang memiliki nilai koefisien ekstingsi terbesar namun menghasilkan pergeseran merah terkecil, sedangkan ekstrak alga D memiliki nilai koefisien ekstingsi yang rendah namun menghasilkan pergeseran merah terbesar. Zat warna yang memiliki pergeseran merah yang besar tidak selalu menghasilkan efisiensi sel yang lebih besar, begitu pula dengan zat warna yang memiliki nilai koefisien ekstingsi yang besar (Sayama dkk, 2003). Efek sensitisasi terhadap kinerja sel surya oleh zat warna terlihat dengan dihasilkannya arus listrik pada kondisi terang yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan arus listrik yang dihasilkan pada kondisi gelap. Pada kondisi terang, sistem sel surya alga C menghasilkan arus listrik (Isc) sebesar 0,03 A, sedangkan pada kondisi gelap hanya dihasilkan arus listrik (Isc) sebesar 0,01 A. Dilihat dari arus yang dihasilkan tersebut maka perbedaan kondisi gelap dan terang pada alga C tidak menghasilkan perbedaan arus yang cukup signifikan, yaitu hanya sebesar 3x. Selain itu arus listrik yang dihasilkan juga sangat kecil. Pada kondisi terang untuk sistem sel surya alga D menghasilkan arus listrik (Isc) sebesar 0,13 A, sedangkan pada kondisi gelap hanya dihasilkan arus listrik (Isc) sebesar 0,01 A. Perbedaan arus listrik yang dihasilkan untuk alga D ini lebih besar dibandingkan alga C, yaitu sebesar 13x. Meskipun demikian, arus listrik yang dihasilkan alga D tetap kecil. Kecilnya arus yang dihasilkan memberikan konsekuensi kecilnya efisiensi global () konstruksi sel surya. Hal tersebut diperkirakan karena dua hal, yang pertama adalah faktor intrinsik karakter sensitizer dan konstruksi sel surya yang digunakan dan yang kedua adalah akurasi alat ukur. Klorofil sebagai komponen utama zat warna pada alga secara struktur tidak mempunyai gugus karboksil bebas yang penting keberadaannya sebagai agen kelasi terhadap TiO2 yang memungkinkan terjadinya transfer elektron yang efisien dari zat warna menuju semikonduktor TiO2. Modifikasi dengan melakukan hidrolisis terhadap gugus keton-fitil klorofil telah terbukti meningkatkan sensitisasi klorofil terhadap TiO2 (Kay dan Gratzel, 1993). Pada aspek konstruksi penggunaan sistem sandwich yang merupakan sistem sel uji yang bersifat sementara membuat komponen larutan elektrolit yang bersifat volatil mudah menguap, akibatnya siklus efisien transfer elektron sistem redoks elektrolit kepada molekul zat warna tereksitasi tidak berlangsung. Secara umum, sistem sandwich telah banyak dipakai sebagai sistem uji kinerja DSSC (ORegan dan Gratzel, 1991; Nazeeruddin dkk., 1993), namun sistem ini memerlukan alat ukur yang akurat dan mempunyai respon yang cepat sehingga waktu pengukuran tidak mencapai keadaan larutan elektrolit menguap.

Kesimpulan dan Saran Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak klorofil alga dapat mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sensitizer DSSC. Meskipun demikian kinerja sel surya yang dihasilkan masih relatif kecil. Modifikasi terhadap struktur klorofil sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja sel surya sehingga terjadi transfer elektron yang efisien melalui ikatan

kelat gugus karboksil-TiO2. Spesies alga merah Hypnea esperi Bory yang menghasilkan pergeseran merah terbesar memberikan sensitisasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies alga coklat Sargassum mcclurei Setchell yang memiliki koefisien ekstingsi terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan ikatan untuk diperolehnya sistem transfer elektron yang efisien lebih penting dibandingkan kemampuan penyerapan cahaya tampak untuk pigmen yang sejenis. Efisiensi konversi energi cahaya menjadi energi listrik yang dihasilkan sistem sel

surya TIPA merah Hypnea esperi Bory sebesar 4,43.10-5 %, sedangkan untuk sistem sel surya TIPA coklat Sargassum mcclurei Setchell sebesar 9,00.10-6 %.Ucapan Terimakasih Penelitian ini terselenggara atas dukungan dana riset Dirjen DIKTI dalam bentuk hibah riset Hibah Bersaing 2008 melalui DIPA Nomor SP: 323/SP2H/PP/DP2M/III/2008 dengan nomer kontrak LPPM-UGM/705/2008. Terimakasih yang tak terhingga kami sampaikan pula kepada Istiqomah dan Cahyani Handayani yang telah melaksanakan eksperimen di laboratorium serta Ari Nugraheni, S.Si. yang telah membuat setting dan memandu pengukuran sel uji di Laboratorium Fisika Zat Padat FMIPA UGM. Daftar PustakaAnonim, 2003, https://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/23/bahari/431127.htm Rabu 23 Juli 2003 diakses 27 Feb 2006 Garcia, C.G., Polo, A.S. and Murakami Iha, N.Y., 2003, Photoelectrochemical Solar Cell Using Extract of Eugenia Jambolana Lam as a Natural Sensitizer, An. Acad. Braws. Cienc., 75(2), 163-165. Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia, Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan, kedua (diterjemahkan oleh : Padmawinata, Kosasih), Penerbit ITB, Bandung. terbitan

Heriyanti, S.I. dan Kartini, I., 2006, The Study of Natural Dye Sensitization of TiO2 Films for Dye Sensitized Solar Cells (DSSC), Proceeding of the 2006 Seminar on Analytical Chemistry, Chemistry Department UGM, 9 March 2006, Quality Hotel, Yogyakarta, Indonesia Kartini, I., 2004, PhD Thesis, Synthesis and Characterisation of Mesostructured Titania for Photoelectrochemical Solar Cells, The University of Queensland, Australia Kartini, I., Heriyanti, S.I., Arryanto, Y., Chotimah, 2007, Sensitization of TiO2 Films by Indonesian Natural 'Batik' Dyes for Dye Sensitized Solar Cells (DSSC), Proceeding of International Conference on Chemical Sciences (ICCS-2007), Yogyakarta 24-26 May 2007. Kay, A. and Gratzel, M., 1993, Artificial Photosynthesis. I. Photosensitization of TiO2 Solar Cells with Chlorophyll Derivatives and Related Natural Porphyrins, J. Phys. Chem., 97, 6272-6277. Nazeeruddin, M.K., A. Kay, I. Rodicio, R. Humphry-Baker, E. Muller, P. Liska, N. Vlachopoulos, and M. Gratzel, 1993, Conversion of Light to Electricity by cis-X2Bis(2,2'-bipyridil-4,4'dicarboxylate)ruthenium(II) Charge-Transfer Sensitizers (X=Cl-, Br-, I-, CN, and SCN-) on Nanocrystalline TiO2 Electrodes. J. Am. Chem. Soc., 115, 6382-6390 Nyquist, R.A., 1997, Infrared and Raman Spectral Atlas of Inorganic Compounds and vol.3, Academic Press, London. Organic Salts,

O'Regan, B. and M. Gratzel, 1991, A low-cost, high-efficiency solar cell based on dye-sensitized colloidal TiO2 film, Nature, 353, 737-739

Sayama, K., Tsukagoshi, S., Mori, T., Hara, K., Ohga, Y., Shinpou, A., Abe, Y., Suga, S. and Arakawa, H., 2003, Efficient Sensitization of Nanocrystallin TiO2 Films with Cyanine and Merocyanine Organic Dyes, Sol. Energy Mater. Sol. Cells, 80, 47-71. Sirimanne, P.M., Senevirathna, M.K.I., Premalal, E.V.A., Pitigala, P.K.D.D.P., Sivakumar, V., Tennakone, K., 2006, Utilization of natural pigment extracted from pomegranate fruits as sensitizer in solid state solar cells, J. Photochem. Photobiol. A: Chem., 177, 324-327