Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

36
VOL 2 NOMOR 18 | AGUSTUS 2021 Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq KH. Afifuddin Muhajir: “Pancasila itu lebih baik dari Piagam Jakarta” Wawancara

Transcript of Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

Page 1: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

VOL 2 NOMOR 18 | AGUSTUS 2021

Indonesia

sebagai Dar al-Mitsaq

KH. Afifuddin Muhajir: “Pancasila itu lebih

baik dari Piagam Jakarta”

Wawancara

Page 2: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

1

Daftar Isi

DARI REDAKSI 02

EDITORIAL 03

Kenapa & Untuk Apa Merdeka

RISET REDAKSI 04

Tafsir atas Argumentasi ASWAJA dalam Bernegara

WAWANCARA 12

KH. Afifuddin Muhajir: “Pancasila itu lebih baik dari Piagam Jakarta”

GAGASAN 19

Non-Muslim dalam Konteks Negara Bangsa Titik Temu Islam dan Nasionalisme

HIKMAH 29

Hikmah Kemerdekaan Menurut Islam

ISTILAH 32

• Harbi • Mitsaq • Dzimmi • ‘Ahdi

Page 3: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

2

Agustus adalah bulan bersejarah bagi Indonesia. Pada bulan ini, Indonesia merdeka 76 tahun yang lalu. Untuk ukuran manusia Indonesia, umur 76 tahun sudah memasuki masa senja. Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, 76 tahun bukanlah umur yang panjang.

Masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang perlu segera dituntaskan. Salah satunya adalah ihwal persatuan Indonesia yang berulang kali diuji dengan berbagai gerakan dan gagasan yang menyoal Pancasila sebagai dasar negara.

Padahal, terbentuknya Indonesia merupakan kesepakatan para pendiri bangsa. Ia telah bersepakat tentang Pancasila dan NKRI. Namun, pelan-pelan suara untuk “mengkhianati” kesepakatan tersebut sering muncul. Atas dasar inilah, Islamina mengangkat tema “Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq.

Pada edisi ini, selain menurunkan kajian sebagai sajian utama, Islamina juga berhasil mewawancarai KH. Afifuddin Muhajir, Rais Syuriah PBNU dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak luput juga sejumlah gagasan, hikmah dan istilah turut akan melengkapi wawasan pembaca tentang topik ini.

Akhirnya selamat membaca…!

Dari Redaksi

SUSUNAN REDAKSI

Pemimpin Redaksi: Hatim Gazali

Redaksi: Afif Sholeh, Khoirul Anwar,

Syahril Mubarok, Ronald Gunawan

Administrasi: Rina

Desain/Layout: wahah.studio

Email: [email protected]

Alamat Redaksi: Jl. Jatimakmur Blok E

No25 RT001/RW003 Kelurahan

Jatimakmur, Kecamatan Pondok Gede,

Jawa Barat 17413

No Telp: 087887634552

Page 4: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

3

Agustus merupakan bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, tepatnya tanggal 17, Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka setelah ratusan tahun berada dalam penjajahan. Kini 76 tahun Indonesia merdeka. Berbagai kemajuan dan pembangunan telah dan akan terus terjadi di tanah air ini.

Kemerdekaan Indonesia tak muncul cuma-cuma. Ia diperjuangkan. Nyawa, darah, dan harta dipertaruhkan. Sekat-sekat perbedaan primordial antar anak bangsa disisihkan. Beda agama, suku, dan etnis tak dipersoalkan. Mereka bergerak bersama untuk merebut kemerdekaan. Jika saja para pendiri bangsa hanya berada dalam kotak-kotak perbedaan, tentu kemerdekaan tak terwujud. Sebaliknya, perpecahan akan terus terjadi.

Perbedaan pandangan dan pendirian dalam merumuskan Indonesia Merdeka tentu saja mengemuka. Sebagian ingin memisahkan agama dan negara. Sebagian lainnya hendak menempatkan agama (Islam) di atas segalanya. Argumentasi keduanya sama kuat. Sidang BPUPK pertama tentang dasar Indonesia Merdeka tak membuahkan kata sepakat.

Panitia sembilan pun dibentuk untuk menampung aspirasi dan gagasan tentang dasar negara. Melaluinya disepakati sebuah dokumen yang disebut Moh. Yamin sebagai Piagam Jakarta. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya” adalah titik simpul Panitia Sembilan.

Sehari setelah Indonesia, 18 Agustus 1945, pada sidang PPKI, frasa pertama dalam Piagam Jakarta tersebut berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana bunyi sila kesatu Pancasila. Perdebatan soal ini, khususnya soal relasi Islam-Negara masih sering mengemuka.

Untungnya, Indonesia memiliki tokoh agama berjiwa besar yang lebih menempatkan persatuan Indonesia di atas perdebatan-perdebatan teologis. Karena itu, tokoh-tokoh Muslim dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Alasannya, sila-sila Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan syariat Islam, melainkan juga menjadi ajaran dari Islam itu sendiri. Ketuhanan menggambarkan ajaran tauhid. Islam juga jelas menempatkan kemanusiaan, keadilan, permusyawaratan, persatuan sebagai prinsip-prinsip penting yang harus dijaga.

Kini, kemerdekaan Indonesia telah berumur 76 tahun. Mandat pembukaan UUD 1945 tetap harus dijalankan. Bahwa tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Kenapa & untuk Apa

Merdeka

Editorial

Page 5: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

4

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan sebagai cita-cita bersama lahir atas tujuan menaungi berbagai ras, suku, keyakinan yang dituangkan dalam ideologi Pancasila. Orientasi ini bisa merujuk pada pidato Prof. Soepomo, yang merupakan salah satu dari tiga anggota BPUPKI yang disampaikan pada tanggal 29 Mei 1945.

Dalam pidato itu, Prof. Soepomo menegaskan perlunya negara yang integralistik jika hendak menyesuaikan dengan realitas masyarakat Indonesia. Kemudian dikerucutkan pada dasar-dasar yang diajukan untuk Indonesia merdeka, yang memenuhi kriteria kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah dan keadilan rakyat (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2008).

Kriteria tersebut sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 1 dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Namun di era sekarang ini jika merujuk pada UUD No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, maka Indonesia bisa dikategorikan masuk pada model negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang sentralistik (Mahmuzar, 2020).

Bentuk negara kesatuan ini dulunya dipilih oleh para perintis melalui proses panjang

dalam sidang BPUPKI dan PPKI. Perdebatan tersebut coba membandingkan dengan model federasi yang dipelopori oleh M. Hatta dan kawan-kawan. Namun ketika diambil voting pada sidang yang dilaksanakan pada 11 Juli 1945, terdapat 17 orang yang mendukung model kesatuan, sedangkan hanya 2 orang yang mendukung Indonesia akan jadi negara federal.

Model negara kesatuan yang melekat pada jati diri Indonesia perlu dirawat dengan baik (Anwar, 17). Di satu sisi menjaga esensi negara kesatuan ini sebagai amanat yang harus dijalankan dari para pendahulu, di sisi lain juga sebagai agenda besar yang wajib dilakukan bersama. Itu artinya yang paling penting untuk negeri ini adalah persatuan.

Bukan tanpa alasan bahwa para ulama yang dahulu menjadi garda depan memperjuangkan kemerdekaan juga menginginkan adanya negara perdamaian, aman, makmur dan sejahtera sebagaimana tertuang dalam butir-butir Pancasila, yaitu: adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan (Moesa, 2007).

Butir-butir tersebut diimplementasikan dalam kehidupan bernegara yang menjunjung tinggi perdamaian, kesejahteraan dan kesatuan. Sehingga ketika muncul polemik terkait tujuh kata

Tafsir atas Argumentasi ASWAJA dalam

Bernegara

Riset Redaksi

Oleh: Khoirul Anwar Afa

Page 6: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

5

dalam Sila Pertama, Wahid Hasyim sebagai perwakilan ulama dari Panitia Sembilan berpendirian bahwa tujuh kata tersebut akan mengancam keutuhan NKRI, sehingga ia menerima usulan untuk dihapus (Haidar, 1994).

Dengan melacak fakta sejarah di atas, akan ditemukan potret hubungan para ulama dengan Pancasila yang sangat erat sejak awal mula kemerdekaan, meskipun sering terjadi ketegangan antara umat Islam dan pemerintah. Menurut Ali Maschan Moesa juga mengakui adanya kesalahpahaman (mutual misunderstanding) yang sering terjadi, yang coba membenturkan antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi negara. Namun menurutnya, hal itu lebih didominasi atas kepentingan politik daripada substansinya (Moesa, 2007).

Ambil contoh ketika terjadi gesekan memanas akibat pertentangan antara Pancasila dan Agama pada era orde Baru. Peristiwa itu bermula ketika presiden Soeharto mewajibkan kepada seluruh Ormas dan organisasi lainnya memiliki asas tunggal, yaitu berdasarkan ideologi Pancasila. Gagasan yang dikenal sebagai “Asas Tunggal” ini berhasil diundangkan dalam UU nomor 5/1985 dan UU nomor 8/1985 tentang keharusan mendaftar ulang bagi Ormas dan diberi batas akhir tanggal 17 Juli 1987.

Bagi Ormas yang tidak menerima Asas Tunggal tersebut tidak akan didaftar, dengan konsekuensi dibubarkan. Bagi kelompok Islam, aturan tersebut dinilai menimbulkan masalah dengan kekhawatiran menghapus asas Islam dan dominan menjadikan Pancasila sebagai “agama baru.” Ini fakta sejarah yang tidak dalam rangka memperdebatkan kembali hubungan Pancasila dan agama. Bulletin Islamina edisi 16 secara khusus telah mengupas isu tersebut secara tuntas, rujuklah ke sana.

Kembali pada konteks penerimaan Pancasila, Ormas Islam yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama, merupakan organisasi umat Islam terbesar di Indonesia yang pertama menerima aturan tersebut. Para kiai yang tergabung di Ormas NU sebagian besar berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib (Machfoedz, t.th).

Atas penerimaan itu, NU memperbarui Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa, “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila,” namun juga mengukuhkan bahwa NU adalah organisasi Islam yang mengikuti salah satu dari empat mazhab yang kredibel. Dalam Anggaran Dasar itu juga menyebutkan bahwa NU melaksanakan tujuannya dalam konteks menjaga keutuhan NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Statemen ini dinilai oleh Ricklefs sekaligus sebagai penolakan atas kebutuhan terbentuknya negara Islam (Ricklefs, 2008).

Bukan tanpa alasan bahwa para ulama yang dahulu menjadi garda depan memperjuangkan kemerdekaan juga menginginkan adanya negara perdamaian, aman, makmur dan sejahtera sebagaimana tertuang dalam butir-butir Pancasila, yaitu: adil, beradab, kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan (Moesa, 2007).

Page 7: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

6

Menariknya yang digunakan sebagai landasan para kiai yang tergabung dalam organisasi NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal tersebut adalah paham ASWAJA (ahlussunnah wa al-jama’ah). Dengan demikian mereka beranggapan bahwa masalah asas adalah bentuk kepartaian, sehingga jika Islam dijadikan sebagai ideologi politik justru menjadikan Islam tidak bernilai tinggi. Sebab Islam adalah wahyu sedangkan ideologi adalah hasil pemikiran manusia (Ida, 1996).

Pertautan paham ASWAJA di Indonesia hingga kini terus mengalami dinamisasi. Masalahnya tidak hanya diimplementasikan dalam konteks akidah, syariah dan muamalah, tetapi juga dalam konteks siyasah (perpolitikan).

Implementasi ASWAJA

Kiai Bisyri Musthafa dalam salah satu kitabnya yang berjudul, Risalah ahl al-Sunnah wal Jama’ah menyederhanakan bahwa paham tersebut dalam konteks keimanan mengikuti ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Musa al-Maturidi. Dalam bidang Fiqih menganut empat mazhab, dan dalam bidang tasawuf mengikuti dasar-dasar ajaran Imam Haramain dan Abu Hamid al-Ghazali (Musthafa, 1967).

Dalam karakteristiknya, menurut Kiai Ahmad Siddiq, ada empat pilar utama yang harus dimiliki dalam ber-ASWAJA. Yaitu: tawassuth (moderat), i’tidal (bersikap adil), tawazun (seimbang) dan rahmatan lil ‘alamin (berupaya menyebarkan rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta).

Dari karakteristik tersebut yang mendorong para penganut paham ASWAJA ini lebih mengedepankan nilai-nilai persatuan, keadilan dan kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam butir-butir Pancasila. Karena para kiai yang notabenenya adalah intelektual Islam, mereka tidak lepas dari teks keagamaan yang dijadikan landasan pada semua lini pendapat dan perilakunya. Termasuk dalam konteks bernegara.

Para tokoh agama Islam yang berpaham bahwa menjaga persatuan dalam negara adalah wajib sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad ketika membentuk negara Madinah. Menurut mereka, pada saat itu, Rasulullah berhasil menaungi seluruh masyarakat dari beragam ras, suku dan agama.

Pada saat itu, Madinah tidak hanya dihuni oleh para sahabat Nabi yang datang karena migrasi dari Makah. Tetapi di dalamnya terdapat kelompok yang beragama Yahudi,

Page 8: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

7

Nasrani, musyrikin dan Majusi. Semua kelompok itu disatukan oleh Nabi bukan karena terdapat sentimen agama karena mereka memang sudah memiliki perbedaan keyakinan, dan Nabi sudah paham jika mereka sangat sulit jika disatukan dengan isu agama.

Kenyataan itulah yang mendorong Nabi untuk menyatukan mereka dengan sentimen kepemilikan bersama atas kota yang mereka tempati dan bagaimana strategi mempertahankan kota Madinah dari ancaman yang bisa datang kapan saja dari luar. Dengan demikian seluruh masyarakat Madinah saat itu, khususnya mereka yang minoritas merasa terlindungi (Moesa, 2007).

Athiyyah al-Abrasyi juga menjadikan kebijakan Nabi tersebut sebagai indikator bahwa Islam merupakan agama yang menyeru pada perdamaian dan keamanan (Al-Abrasyi, 2010). Sangat pentingnya menjaga keamanan sehingga siapa pun mereka yang dengan sengaja melanggar perjanjian (mitsaq) damai yang telah disepakati, baik kelompok Islam maupun lainnya, maka akan menjadi musuh Nabi.

Khudari Beik mengungkap bahwa argumen tersebut membuktikan jika mereka yang masih setia dalam kesepakatan damai lebih dihargai meskipun tidak beragama Islam. Dibanding kelompok yang beragama Islam tetapi mereka melanggar kesepakatan damai (Beik, 2000).

Dalam konteks negara Madinah kenapa Islam menjadi subyek? Sebab Islamlah yang menjadi pelopor terbentuknya negara tersebut dengan orientasi sebagai negara yang berperadaban. Sehingga kedatangan Nabi dan para sahabatnya sangat disambut baik oleh orang-orang pribumi yang dalam sejarah mereka disebut sebagai golongan Anshar.

Loyalitas kelompok Anshar ini sebagai bukti atas apresiasi mereka terhadap keharuman nama Nabi Muhammad sebagai pembawa

ajaran Islam sekaligus memiliki misi kenabian yang dinilai berkemanusiaan, menjunjung keadilan, dan lain sebagainya. Dengan dalih seperti ini, digunakan para ulama Indonesia yang merumuskan kemerdekaan sangat membenci adanya penjajahan di muka bumi ini, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam konteks bernegara, ASWAJA yang digunakan para ulama Indonesia juga merupakan tafsiran atas kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad. Di sini yang menjadi titik beda antara ASWAJA atau Sunni dengan Syiah. Kelompok Sunni menafsirkan kewafatan Nabi yang tidak meninggalkan wasiat soal kepemimpinan dimaknai sebagai dorongan untuk berijtihad sesuai kemaslahatan umat.

Ormas Islam yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama, merupakan organisasi umat Islam terbesar di Indonesia yang pertama menerima aturan tersebut. Para kiai yang tergabung di Ormas NU sebagian besar berpendapat bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib

Page 9: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

8

Berbeda dengan kelompok Syiah yang menafsirkan bahwa masalah kepemimpinan sudah didelegasikan melalui wasiat dari Nabi untuk keturunan beliau, yaitu dari anak curu Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Teologi kepemimpinan model seperti ini berimplikasi sangat besar hingga sekarang (Hasan, 2003).

Paham ASWAJA di Indonesia sudah menjadi kultur yang berlangsung sejak era penyebaran Islam pertama kali. Yaitu model ASWAJA yang sudah tidak hanya berbicara soal tauhid, Fiqih dan tasawuf. Tetapi sudah berbicara pada dimensi budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Walisongo di Jawa.

Demikian yang terjadi, sehingga para ulama ketika berbicara mengenai kenegaraan, tidak menafikan adanya pluralitas yang sangat bersinggungan dengan berlangsungnya semua lini kegiatan di masyarakat. Orientasi seperti inilah yang melahirkan usulan untuk mengganti kata kafir dengan non muslim oleh kelompok NU pada Munas Banjar tahun 2019.

Alasan mendasar adanya rekomendasi tersebut karena melihat orang yang bukan Islam sudah tidak tepat lagi disebut dengan identitas kafir serta variannya dalam narasi rujukan kitab-kitab klasik. Oleh sebab itu, yang tepat untuk menyebut orang yang bukan beragama Islam adalah non muslim.

Perdebatan Model Negara

Fakta bahwa umat Islam menduduki posisi terbesar di Indonesia terkadang melahirkan beberapa ambisi yang rentan menimbulkan gesekan dengan minoritas. Salah satunya adalah ambisi mewujudkan negara Islam. Semenjak era reformasi, kelompok yang masuk pada kategori ini semakin berani menampilkan diri.

Ricklefs dalam catatannya di era runtuhnya Orde Baru mengatakan justru kerusuhan terjadi semakin menggila. Kerusuhan antar ras, suku, agama dan pengakuan hak kemerdekaan terjadi di berbagai wilayah. Kerusuhan antar umat Kristen dan Islam di Ambon dan Maluku memantik lahirnya gerakan Islam yang menyerukan jihad membela Islam di Timur. Di antaranya Laskar Jihad yang mendapat dukungan dari kroni-kroni Soeharto hingga Hamzah Haz (Ricklefs, 2008).

Lahirnya kelompok tersebut dibarengi dengan aksi pengeboman gereja di berbagai tempat yang juga dilakukan oleh kelompok milisi yang sama. Di antaranya Laskar Mujahidin pimpinan Abu Bakar Ba’ashyir. Selama kurun waktu 1998-2000 terdapat serangan bom di Hotel dan Mal. Bahkan pada bulan April 1999 masjid Istiqlal di bom dan September 2000 Bursa Efek juga dibom.

Berbarengan dengan isu besar yang digaungkan oleh kelompok jihadis, lahir juga kelompok-kelompok ekstremis seperti FPI yang pada 1998 menjadi garda terdepan menyerukan anti Amerika dan Uni Soviet di Afganistan. Pada Oktober 2002, bom diledakkan oleh kelompok JI di Bali yang

Menariknya yang digunakan sebagai landasan para kiai yang tergabung dalam organisasi NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal tersebut adalah paham ASWAJA (ahlussunnah wa al-jama’ah).

Page 10: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

9

menewaskan hingga 202 orang, dan disusul ledakan di Marriot tahun 2003.

Di balik aksi-aksi keji itu, para pendukung yang berada di parlemen harus menerima kekalahan pada tahun 2002 ketika ambisi mereka untuk mengamandemen UUD gagal. Menurut Ricklefs, kebrutalan mereka pada saat itu persis seperti para kelompok yang menginginkan adanya Piagam Jakarta, kalah pada 1945, 1959 dan 1968 (Ricklefs, 2008)

Selain aksi kejam yang digencarkan, kelompok Islam semacam itu juga menyasar dakwah yang disemarakkan ke beberapa lini strategis. Seperti di Perguruan Tinggi-perguruan Tinggi ternama hingga masyarakat urban yang memiliki modal besar. Bulletin Islamina edisi 10, 11, dan 14 mengupas isu ini secara mendalam. Rujuklah ke sana untuk mendapat gambaran perdebatan akademik terkait tarik menarik antara pengusung negara Islam dan yang meresponsnya.

Di banyak sisi faktanya, perdebatan seperti itu terus terjadi seiring menguatnya politik identitas. Wacana membentuk poros tengah untuk Pemilu 2024 yang merupakan aliansi dari Partai Islam bisa saja menjadi penyebab menguatnya islamisme kembali. Sebab klan-klan sentimen pada agama semakin terbuka seiring ambisi pada pendulangan suara dari masyarakat akar rumput.

Selayaknya amunisi, untuk memenuhi ambisi tersebut dikhawatirkan akan menebar asupan-asupan dengan segala cara yang tidak sesuai dengan misi agama Islam itu sendiri. Bulletin Islamina edisi 14 secara jelas melihat lahirnya teologi kekerasan yang pernah dipakai oleh Sayyid Qutb pada era Mesir yang masih ditiru hingga saat ini untuk pertarungan partai politik.

Sebab Indonesia termasuk negara yang menjadikan agama sebagai pemicu terbentuknya suatu bangsa dan negara. Jika bias terhadap penafsiran terhadap agama itu sendiri terjadi, maka dampaknya semakin panjang. Mengingat realitas Indonesia adalah masyarakat yang plural (plural society), yang sering bermunculan sikap fanatisme dari komunitas bersangkutan.

Namun bukti menariknya, meskipun berangkat dari agama, para ulama justru berhasil membangun pemahaman yang lentur terkait implementasi atas negara bangsa. Dengan landasan ASWAJA yang digunakan oleh para ulama NU pada saat Muktamar ke 11 di Banjarmasin 1936, telah diputuskan bersama bahwa Indonesia adalah Dar Islam (negara damai) bukan Dar al-Harb (negara perang). Keputusan tersebut diambil berdasarkan teks kitab klasik bahwa secara geopolitik suatu wilayah dibagi atas Dar Islam dan Dar al-Harb.

Padahal saat itu, Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Namun ketika dinilai tidak memantik peperangan seperti ketika fatwa itu diimplementasikan pada

Berbarengan dengan isu besar yang digaungkan oleh kelompok jihadis, lahir juga kelompok-kelompok ekstremis seperti FPI yang pada 1998 menjadi garda terdepan menyerukan anti Amerika dan Uni Soviet di Afganistan.

Page 11: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

10

saat Belanda mulai merangsek kembali melalui Surabaya. Ketika itu dinilai membahayakan sehingga muncul fatwa resolusi jihad yang didasarkan dari Munas Banjarmasin tersebut (Moesa, 2007).

Para ulama yang tergabung pada Ormas NU mayoritas tidak tertarik dengan terbentuknya negara Islam (Dar Islam) secara geografis. Sebab menurut mereka yang terpenting adalah kemampuan negara untuk menyejahterakan rakyat (Dar al-Salam). Apalagi jika terlalu berambisi untuk mengonversi negara Pancasila dengan negara Islam, maka umat lain yang ada di Indonesia juga akan berbuat sama, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan keributan.

Atas sebab tersebut, para ulama, khususnya yang tergabung di organisasi NU, lebih mengedepankan menolak adanya kerusakan (demi kemaslahatan universal) daripada harus mengambil kemaslahatan sepihak. Prinsip ini juga yang dijadikan sebagai argumentasi pada saat Munas Banjar 2019 lalu merekomendasikan penghapusan kata kafir untuk sebutan orang yang tidak beragama Islam. Dalihnya, sudah selayaknya siapa pun orangnya yang bukan beragama Islam yang tinggal di Indonesia mendapat perlakuan sama.

Rekomendasi tersebut lahir karena adanya keprihatinan atas menguatnya narasi kebencian terhadap orang yang bukan beragama Islam dengan sebutan kafir. Usulan seperti ini juga pernah disampaikan oleh Amien Rais pada saat terjadi konflik antar etnik, ras, agama yang semakin memanas di awal reformasi. Amien mengajak agar terhindar dari dijadikan kambing hitam, serta mengajak keturunan Cina maupun lainnya agar secara penuh terintegrasi dengan bangsa Indonesia. Amien juga mengusulkan agar tidak ada lagi istilah pribumi dan non pribumi (Ricklefs, 2008).

Poin penting berikutnya adalah menjaga dan merawat kebinekaan yang sudah ada ini dengan baik, untuk mewujudkan negara sejahtera, damai, aman dan sentosa sebagaimana termaktub dalam butir-butir Pancasila yang sebenarnya juga merupakan esensi Islam.

para ulama, khususnya yang

tergabung di organisasi NU, lebih

mengedepankan menolak adanya kerusakan (demi

kemaslahatan universal) daripada

harus mengambil kemaslahatan

sepihak. Prinsip ini juga yang dijadikan

sebagai argumentasi pada saat Munas Banjar 2019 lalu

merekomendasikan penghapusan kata

kafir untuk sebutan orang yang tidak beragama Islam.

Page 12: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

11

DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasyi, M. A. (2010). Ruh al-Islam.

Damaskus: Dar al-Kutub.

Anwar, M. K. (17). “Penguatan Kitab Kuning dan Tahfiz Al-Qur’an sebagai Basis Pendidikan di Madrasah Serta LP Ma’arif NU dalam Lanskap Fikrah Nahdliyah”. ASNA: Jurnal Kependidikan Islam Dan Keagamaan, 2, 30.

Beik, K. (2000). Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Semarang: Toha Putra.

Haidar, M. A. (1994). Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Hasan, M. T. (2003). Ahlu al-Sunnah wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta: Lantabora Press.

Ida, L. (1996). Anatomi Konflik, NU, Elit Islam dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan.

Machfoedz, M. (t.th). Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat.

Mahmuzar. (2020). Model Negara Kesatuan Republik Indonesia di Era Reformasi. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 50, 332.

Moesa, A. M. (2007). Nasionalisme Kiai. Yogyakarta: LKis.

Musthafa, B. (1967). Risalah Ahl al-Sunnah wal Jam’ah. Kudus: Menara Kudus.

Ricklefs. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu.

Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia (Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka.

Page 13: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

12

Mempertentangkan Pancasila dengan Islam semakin marak terjadi, terutama di kelompok tertentu umat Islam. Bukan saja Pancasila dianggap bertentangan dengan Islam, melainkan juga ideologi

negara ini harus diganti dengan Islam. Perdebatan soal relasi Islam-negara ini sudah lama terjadi, bahkan pada sidang BPUPK 1945. Untuk itu, Budi Hartawan dari Islamina melakukan wawancara

virtual kepada KH. Afifuddin Muhajir, wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Bagaimana cara memetakan sekte-sekte Islam dalam memahami sistem politik negara? antara Sunni, Syiah, dan Khawarij, yang terjadi mulai pasca wafatnya Rasulullah SAW?

Seluruh kaum Muslimin (mayoritas) mengatakan kehadiran sebuah negara adalah hal yang wajib. Tentang sebuah bentuk dan sistemnya, tidak ada kesepakatan. Karena negara ini bukan sebuah sarana mencapai tujuan. Tidak ada perbedaan antara Sunni, Syiah, maupun Khawarij. Tetapi ada perbedaan mendasar pada Syi'ah. Mereka berpendapat, Seorang Imam (Pemimpin) adalah bagian dari rukun iman. Sedangkan yang lain berpendapat kehadiran negara merupakan syari'at.

Maka karena itu, kehadiran negara hanya sebagai wasilah, bukan maqashid, dapat dipahami dalam teks-teks Alquran ataupun as-Sunnah, tidak ditemukan dalil yang menjelaskan negara harus terbentuk atau sistemnya. Sepenuhnya diserahkan pada

ijtihad manusia di berbagai tempat dan di berbagai zaman.

Bagaimana latar belakang berdirinya negara Madinah dan implementasinya yang relevan untuk saat ini?

Kehadiran negara Madinah sejarahnya cukup panjang. Bahkan sebelum Rasulullah S.A.W hijrah dari Mekkah ke Madinah. Dulu banyak penduduk Madinah yang Asli (kabilah Khazraj dan Aus), datang ke Mekkah dalam musim Haji. Kehadiran mereka di Mekkah pun tidak disia-siakan oleh Nabi SAW. Kalau Nabi SAW saat itu, dapat dikatakan kurang berhasil untuk mengislamkan orang-orang Mekkah, tetapi sangat berhasil mendekati dan mengislamkan orang-orang Madinah. Sehingga kita kenal dengan Bai'at Aqabah.

Bai'at Aqabah yang pertama adalah janji setia antara kabilah Aus dan Khazraj, mereka benar-benar akan setia kepada Rasulullah S.A.W. dan tunduk pada aturan Islam. Selang tahun-tahun berikutnya, mereka datang ke Mekkah dengan jumlah

KH. Afifuddin Muhajir: “Pancasila itu

lebih baik dari Piagam Jakarta”

Wawancara

Page 14: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

13

yang banyak, lalu menjalankan Bai'at Aqabah yang kedua. Dengan janji setia dan meminta Nabi agar hijrah ke Madinah.

Lalu, ketika Nabi Hijrah, yang dilakukan pertama kali adalah dengan membangun Masjid. Yang kedua Ta'lif, menyatukan hati sahabat-sahabat Ansor (terdiri dari dua suku, Aus dan Khazraj). Dua suku ini sering terjadi konflik berkepanjangan. Akan tetapi menjadi damai setelah kehadiran Islam.

Yang ketiga, Rasulullah melakukan al-Ukhuwwah. Menciptakan persaudaraan antara kaum Ansor dan Muhajirin. Ketika hendak hijrah, kaum Muhajirin mengalami banyak problem. Akan tetapi, kehadiran mereka ke Madinah mendapat sambutan hangat oleh penduduk Madinah. Ini berkat kebijakan Nabi SAW. Sehingga terjadi persaudaraan yang luar biasa yang berbasis

ukhuwwah imaniyah daripada sekedar ukhuwwah nasabiyah. Sebagai contoh, harta kekayaan mereka dibagi, rumah ditempati berdua, bahkan jika punya istri dua, kaum Ansor menalak istrinya. Seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Hasyr ayat 9.

Yang keempat, adalah Mitsaqul Madinah, yang tidak hanya mengatur penduduk dari Ansor dan Muhajirin, tetapi juga kaum Yahudi. Negara Madinah terdiri dari tiga golongan ini.

Menurut pandangan Kyai, bagaimana Islam memandang keberadaan negara? Apakah Islam dapat dijadikan sebagai ideologi negara?

Bisa. Islam itu jāmi'un li kulli khayr (menampung segala kebaikan). Di dalamnya ada akidah, syari'at, dan akhlak. Dapat dikatakan bahwa tiap-tiap sesuatu yang diperintahkan oleh Islam, pasti di dalamnya ada maslahat. Sementara hal-hal yang dilarang, di dalamnya ada mafsadah (kerusakan). Yang sedemikian itulah, Islam sangat layak menjadi ideologi negara.

Ada sekelompok saudara kita, yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia. Lalu mereka selalu mengatakan Madinah menjadi 'role model'. Apakah ini sudah bisa menjadi hujjah yang kemudian diterapkan di Indonesia?

Hal tersebut tidak bisa sepenuhnya. Negara Madinah pada dasarnya merupakan negara demokratis. Rasulullah SAW. setiap ada persoalan yang besar selalu melibatkan sahabat Nabi, sepanjang itu bukan wahyu. Meskipun demikian, tidak ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislative dan yudikatif. Semua kekuasaan itu ada di tangan Rasulullah SAW. Beliau al-Imām al-Akbār (kepala negara), disisi yang lain, legislatif karena aturan-aturan dari Allah SWT. Di satu sisi, beliau juga Qadhi al-Qudhāt (hakim agung). Sudah tentu tidak bisa diterapkan di negara modern.

Dan saya tidak mengerti apa yang disebut dengan negara Islam. Mungkin bisa

Sehingga terjadi persaudaraan yang luar biasa yang berbasis ukhuwwah imaniyah daripada sekedar ukhuwwah nasabiyah. Sebagai contoh, harta kekayaan mereka dibagi, rumah ditempati berdua, bahkan jika punya istri dua, kaum Ansor menalak istrinya. Seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Hasyr ayat 9.

Page 15: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

14

ditanyakan negara Islam itu negara seperti apa? Yang saya yakini adalah Islam harus ditegakkan. Islam dilaksanakan pada setiap orang. an aqīmu ad-dīn wa lā tatafarraqū (tegakkan agama dan janganlah terpecah). Tujuannya yakni untuk setiap Muslim, sekurang-kurangnya melaksanakan kewajiban, dan meninggalkan larangan-Nya. Hal ini yang disebut menegakkan agama.

Kalau ada di suatu negara, di mana ajaran Islam benar-benar ditegakkan oleh kaum Muslim, berarti itu negara Islam.

Bagaimana pandangan Kiai tentang ada sebuah kalimat yang mengatakan "Indonesia termasuk Dār al-Kufr", karena tidak menerapkan sistem Islam?

Istilah Dār al-Islām dan Dār al-Kufr tidak ada dalam Alquran dan as-Sunnah. Istilah-istilah itu datang setelahnya. Kalau tidak salah, yang pertama kali orang yang memunculkan istilah tersebut adalah Imam Abu Hanifah. Dan harus dibedakan antara Dār al-Islām dan Dawlah Islamiyyah.

Dār al-Islām itu bukan berarti negara Islam, tetapi wilayah Islam. Wilayah merupakan unsur dari sebuah negara. Karena rukun-rukun negara itu bukan hanya wilayah, tetapi juga konstitusi dan lainnya.

Oleh karena itu benar, apa yang diputuskan oleh Nahdlatul Ulama di Muktamar Banjarmasin bahwa Indonesia adalah wilayah Islam (Dār al-Islām), bukan negara Islam (Dawlah Islamiyyah)

Dalam sejumlah ayat Alquran, misalnya, tersebutlah bahwa "wa man la yaḥkum bimā anzala Allahu faulāika hum al-kafirūn". Bagaimana Kiai memaknai ayat tersebut?

Untuk memahami ayat ini harus memadukan antara dua kaidah. Yang pertama "ma'rifatu sabāb yūritsu ma'rifat al-musabbab". Artinya kita harus tahu dahulu asbabun nuzul ayat ini. Yang kedua, kaidah yang mengatakan "al-ibratu bi umūmi al-lafẓi la bi ẖuṣuṣi al-sabab". Dua

kaidah ini nampaknya bertentangan. Lalu, bagaimana memadukannya?

Pertama-tama saya mengatakan bahwa ayat ini sangat umum. Letak keumumannya pada kata "man" (barangsiapa). Ini tidak hanya tertuju kepada penguasa atau pemerintah, tetapi juga kepada setiap orang yang memikul amanah, sampai ke level paling kecil, seperti kepala desa, termasuk juga kepala sekolah.

Kemudian melihat asbabun nuzul-nya. Ayat ini turun terkait dengan orang-orang Yahudi. Pada suatu saat, orang Yahudi membawa dua orang yang telah melakukan

Meskipun demikian, tidak ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislative dan yudikatif. Semua kekuasaan itu ada di tangan Rasulullah SAW. Beliau al-Imām al-Akbār (kepala negara), disisi yang lain, legislatif karena aturan-aturan dari Allah SWT. Di satu sisi, beliau juga Qadhi al-Qudhāt (hakim agung). Sudah tentu tidak bisa diterapkan di negara modern.

Page 16: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

15

zina. Meminta keputusan kepada Nabi SAW dan menginginkan putusan yang ringan. Lalu Nabi SAW bertanya kepada orang Yahudi itu, apakah dalam kitab Taurat tidak ada hukum rajam? Mereka menjawab tidak ada. Tetapi ada orang lain yang menyangkal bahwa di dalam kitab Taurat ada hukuman rajam. Maka dari itu turunlah ayat ini.

Sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa barang siapa yang tidak melakukan hukum Allah disertai dengan pembangkangan terhadap hukum Allah, maka ia termasuk kafir.

Yang kedua, kita berbicara hukum taklifi. Hukum taklifi itu meliputi wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Hukum taklifi tidak bisa dipisahkan dengan hukum waḍ'i. Oleh karena itu, setiap aturan tidak bisa dipisahkan dengan kondisi masyarakat, tidak bisa dipisahkan dari definisi orang,

baik secara politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Dengan demikian, sesungguhnya penerapan Islam ini tidak dipaksakan. Karena kondisi manusia ada dua. Ḥāl iẖtiyariyah dan ḥāl iqṭirāriyah (kondisi normal dan kondisi tidak normal). Maka sangat bijak, ulama kita zaman dahulu yang memberikan solusi dalam menerima Pancasila dan menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Ada hasil bahtsul masail NU di Banjar yang mengatakan, 'orang-orang non-Muslim itu al-Muwāṭin'. Kemudian disusul oleh narasi-narasi negatif kepada NU. Lalu bagaimana pandangan Kiai atas hasil bahtsul masail tersebut?

Kita ketahui bersama bahwa negara Indonesia ini disebut negara bangsa. Karena kemerdekaan diwujudkan oleh seluruh komponen bangsa. Bukan hanya umat Islam, tetapi dari agama-agama lain juga. Walaupun tidak bisa diingkari bahwa kontribusi umat Islam paling besar karena memang umat Islam paling banyak. Setiap penganut agama (ketika itu), memilih perang untuk kemerdekaan Indonesia, maka di sini tidak ada warga negara kelas dua atau dulunya disebut "ẓimmy".

Berbicara tentang kafir, di dalam kitab-kitab Fiqih disebut beberapa macam kafir. Ada kafir harbi, kafir musta'man, kafir mu'ahad, dan kafir ẓimmy. Kafir mu’ahad orang kafir yang negaranya melakukan perjanjian dengan negara Islam. Kafir musta’man adalah orang yang kafir memasuki wilayah dengan jaminan tertentu. Sementara kafir zimmy merupakan bagian dari negara Islam dengan ketentuan-ketentuan tersebut, Mereka semua merupakan non-muslim yang wajib dilindungi oleh negara. Selain mereka disebut dengan kafir harbi.

Kemudian muncul pertanyaan, orang-orang Indonesia masuk dalam kategori yang mana?

Dan ternyata tidak ada satu pun yang termasuk dalam golongan-golongan

Dār al-Islām itu bukan berarti negara Islam, tetapi wilayah

Islam. Wilayah merupakan unsur

dari sebuah negara. Karena rukun-rukun

negara itu bukan hanya wilayah, tetapi

juga konstitusi dan lainnya.

Page 17: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

16

tersebut. Dalam bahtsul masa'il NU di Kota Banjar, tidak ada definisi dari klasifikasi fiqh tersebut yang cocok dengan kondisi bangsa Indonesia, maka orang-orang di luar Islam itu disebut Non-Muslim. Jadi, penduduk Indonesia ada dua, Muslimin dan Ghairu al-Muslimin. Kenapa disebut Ghairu al-Muslimin karena tidak masuk dalam klasifikasi musta’man, mu’ahad dan zimmy.

Ada salah satu pendapat ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kafir. Mereka adalah orang-orang yang tidak melaksanakan syari'at disertai dengan pembangkangan. Pendapat lain, ada yang membagi dua, al-kufr al-aṣġār (kufur kecil) dan al-kufr al-akbār (kufur besar). Golongan Ahlussunah wal Jama'ah sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar, tidak menyebabkan orang tersebut kafir.

Jika demikian, apa berarti Pancasila ini sudah sesuai dan relevan dengan Islam itu sendiri?

Saya memiliki beberapa kategori terkait dengan Pancasila dalam kaitannya dengan syariat. Yang pertama, Pancasila sendiri tidak bertentangan dengan syari'at. Yang kedua, Pancasila itu sesuai dengan syari'at. Dan yang ketiga, Pancasila itu syari'at itu sendiri.

Saya memiliki kecenderungan memilih pendapat yang kedua.

Pancasila tidak bertentangan dengan syari'at, karena sila-silanya tidak bertentangan dengan ayat maupun hadits. Kalau kita buka ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi SAW, tidak akan ditemukan dalil yang bertentangan. Sebaliknya, jika kita baca kembali ayat-ayat dan hadits Nabi SAW, ternyata banyak yang bersesuaian dengan Pancasila. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan syariat Islam, tetapi juga sesuai dengan syariat Islam.

Sementara itu, di bagian lain, Pancasila itu merupakan syari'at itu sendiri. Mengapa demikian? Dahulu ada perdebatan di negara Mesir tentang hukum positif yang secara materi sesuai dengan syari'at. Lalu, apakah hukum positif tersebut dapat disebut sebagai syariat? Ada dua pendapat, ada yang mengatakan bisa dikategorikan sebagai syariat sekalipun dirumuskan melalui akal sehat, tidak berdasarkan Alquran dan as-Sunnah tetapi sesuai dengan isi Alquran dan as-Sunnah. Sementara bagi kelompok

Dalam bahtsul masa'il NU di Kota

Banjar, tidak ada definisi dari

klasifikasi fiqh tersebut yang cocok

dengan kondisi bangsa Indonesia,

maka orang-orang di luar Islam itu disebut

Non-Muslim. Jadi, penduduk Indonesia

ada dua, Muslimin dan Ghairu al-

Muslimin. Kenapa disebut Ghairu al-

Muslimin karena tidak masuk dalam

klasifikasi musta’man, mu’ahad

dan zimmy.

Page 18: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

17

kedua mengatakan tidak bisa dianggap sebagai syariat. Karena metode perumusan karena perumusan hukum positif dengan syari'at memiliki metode yang berbeda). Saya memilih yang kedua yang artinya Pancasila sesuai dengan syari'at.

Kiai sangat mengapresiasi para ulama terkait dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Bukankah dengan adanya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, penerapan-penerapan hukum Islam lebih mungkin terjadi dan memberikan dampak berbeda?

Pertimbangan para ulama saat itu yakni "al-aẖḏu bi aẖāfi aḍ-ḍarārayn", mereka dihadapkan kepada dua kerugian. Dihapuskan tujuh kata adalah ḍarār, akan tetapi pemisahan sebagian besar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ḍarār yang lebih besar. Kalau Indonesia bagian timur sampai berpisah, sudah barang tentu orang-orang yang di bagian Tengah

dan Barat tidak mungkin menjalankan amar ma'ruf nahi munkar. Karena itu, kita perlu memilih keburukan yang paling ringan.

Menurut saya, Pancasila yang sekarang, ketuhanan Yang Maha Esa lebih baik daripada Piagam Jakarta. Karena Piagam Jakarta berisi syari'at, sementara 'Ketuhanan Yang Maha Esa' adalah akidah. Tidak ada gunanya syari'at tanpa akidah. Selain itu, Pancasila melalui sila yang pertama itu bukan menjadi māni' (penghalang) diterapkannya Islam. Artinya, pada suatu saat orang-orang Indonesia sepakat untuk menerapkan Islam di negara ini tidak bertentangan dengan Pancasila. Pancasila tidak melarang diterapkannya syariat Islam.

Apa pertimbangan Kiai menjaga keutuhan bangsa lebih penting daripada soal "tujuh kata" ?

Keutuhan bangsa tidak dipisahkan dengan dakwah Islamiyah. Kalau Indonesia bagian timur berpisah dengan NKRI, maka kita tidak bisa menyebarkan Islam ke sana. Contoh di Timor Leste, apakah kita bisa berbuat banyak? Akan tetapi selama bagian negara masih di pangkuan kita, maka kita bisa berdakwah.

Yang Kiai uraikan tadi sudah sesuai dengan syari'at Islam. Namun ada saudara-saudara kita yang terus menerus memproduksi atau kampanye khilafah, syariah Islam, dan lainnya di platform media. Apa yang ingin Kiai sampaikan kepada mereka?

Media harus dilawan dengan media. Kita tidak boleh kalah dengan mereka. Akan tetapi dengan konten baik dan rasional.

Sesungguhnya ada istilah "taṭbīq as-syarī'ah" atau formalisasi syari'ah. Ternyata setelah dicermati, fokus mereka hanya menyangkut hudud dan qishas. Menyangkut penerapan hukuman hudud dan qishas. Akan tetapi, hal itu merupakan bagian kecil daripada syari'at. Syari'at itu bukan hanya memotong tangan pencuri, bukan hanya merajam pezina, dan lainnya. Betul bahwa ini merupakan bagian dari syariat, tetapi ini

Saya memiliki beberapa kategori

terkait dengan Pancasila dalam

kaitannya dengan syariat. Yang

pertama, Pancasila sendiri tidak

bertentangan dengan syari'at. Yang kedua, Pancasila itu sesuai

dengan syari'at. Dan yang ketiga, Pancasila itu syari'at itu sendiri

Page 19: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

18

hanya menjadi bagian terkecil dari syariat itu.

Yang lebih penting dari itu adalah pendidikan. Bagaimana umat Islam tidak melakukan kejahatan, dan dapat berakhlakul karimah. Seandainya, misal terjadi formalisasi syariah di Indonesia dalam pengertian hanya penerapan hudud dan qishas, saya yakin pelaksanaannya tidak banyak berjalan.

Maka pertanyaan selanjutnya, kira-kira jumlah orang yang telah dipotong tangannya sejak masa Rasulullah SAW sampai sekarang? Sebabnya karena hukuman dalam Islam ini alat buktinya sangat sulit. Memang, hukum Islam itu sangat keras, tetapi untuk menjatuhkan sebuah hukuman membutuhkan alat bukti yang tidak mudah dihadirkan dalam persidangan. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan "hukuman dalam Islam itu relatif teoritis, bukan praktis". Karena banyak rambu-rambu yang harus ditaati.

Misalnya, ayat hukum potong tangan yang bersifat qath’I, yang kapanpun tidak bisa diubah dan harus dilaksanakan. Akan tetapi tidak setiap orang yang dituduh melakukan pencurian harus dipotong tangan. Mengapa demikian? Kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa dia mencuri? Dalam kondisi apa dia mencuri? Milik siapa yang dicuri? berapa nominal yang dicuri?. Selama pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab, maka hukum potong tangan tidak bisa dilaksanakan, karena masih ada unsur syubhat di dalamnya.

Contoh lainnya terkait dengan hukuman terhadap perilaku perzinahan yang membutuhkan alat dua bukti: 1) pengakuan, dan 2) kesaksian 4 orang yang berkualitas, memiliki kejujuran. Ini tidak mungkin. Apakah boleh pakai CCTV? Tentu tidak bisa. Karena visi Islam itu bukan untuk mengungkap aib-aib orang, justru bertujuan untuk menutupi aib orang lain. Rasulullah bersabda, barangsiapa yang melakukan aib-aib seperti perzinahan, harap ditutupi, artinya tidak boleh mengakui.

Karena itu, jika kita melakukan tuduhan perzinahan kepada orang lain, justru kita yang menuduh ini yang mendapatkan hukuman. Kalau mau, kita bisa menyampaikan perselingkuhan, sementara hukum perselingkuhan itu berbeda dengan hukum zina.

Andai tidak mungkin diterapkan, lalu apa fungsi syari'at yang ada Alquran karena ketidakmudahan menerapkan hukum potong tangan, misalnya?

Hukuman memotong tangan ada dalam Alquran dan pernah terlaksana. Itu juga hukuman rajam.

Akan tetapi yang ingin saya sampaikan adalah alat buktinya sangat sulit apalagi kondisi sekarang. Di mana kejujuran sudah menjadi makhluk langka. Orang yang bisa diterima sebagai syahid (saksi) adalah orang yang benar kualitas akhlaknya di tengah-tengah masyarakat. Lalu pada ujungnya yang dilakukan adalah hukuman ta'zir atau dipenjara.

Sesungguhnya ada istilah "taṭbīq as-syarī'ah" atau formalisasi syari'ah. Ternyata setelah dicermati, fokus mereka hanya menyangkut hudud

dan qishas. Menyangkut penerapan hukuman hudud dan qishas. Akan tetapi, hal itu merupakan bagian kecil daripada syari'at. Syari'at itu

bukan hanya memotong tangan pencuri, bukan hanya merajam pezina, dan lainnya

Page 20: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

19

Abdul Wahhab Khallaf, seorang Profesor dalam bidang hukum Islam di Universitas Kairo dalam bukunya Ilmu Usul Fiqh Menyebut bahwa hampir semua hal yang muncul dari manusia, baik berupa perkataan, tindakan, dan lain-lain semuanya memiliki dampak hukum dalam Islam. Dalam konteks ini, yang memotret tindak tanduk manusia mukallaf disebut fikih. Selain fikih, Islam memiliki dua segmen lain, yaitu akidah dan tasawuf. Dibanding keduanya, fikih adalah segmen yang paling dirasakan karena ia bersentuhan langsung dengan perilaku dan tingkah laku manusia.

Fikih adalah medan yang amat luas. Ia berbicara mulai hal-hal remeh seperti tata cara bersesuci, cara masuk kamar mandi hingga membedah perkara-perkara rumit dan krusial seperti masalah politik, demokrasi dan konsep tata negara.

Bagian yang membahas tentang politik, tata negara dan yang serupa umumnya disebut dengan fikih muamalah. Di samping bagian lain yang disebut dengan fikih ibadah, yang umumnya membahas masalah ritual-ritual peribadatan. Keduanya di samping memiliki banyak persamaan juga memiliki banyak perbedaan.

Perbedaannya adalah jika fikih ibadah sifatnya tegas, konstan dan apa adanya maka fikih muamalah bersifat lentur, fleksibel dan penuh dengan inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan zaman. Perbedaan karakter ini dipengaruhi dengan bunyi dalil yang mendasari keduanya.

Fikih ibadah umumnya didasarkan pada dalil-dalil yang sifatnya qath’i-juz’i (tegas dan partikular) sementara fikih muamalah terutama terkait dengan tekhnis bukan prinsip, umumnya dilandaskan pada dalil yang sifatnya dzanni-kulli (masih praduga-universal).

Untuk menguatkan tesis di atas, penulis cuplik pandangan seorang sarjana kenamaan yang belakangan disebut-sebut sebagai “bapak” maqasid al-Syariah, Al-Syatibi. Dalam al-Muwafaqat ia menuturkan:

التعبد المكلف إلى بة بالن سأ الأعبادات في ل صأ الأ

الأعادات ل وأصأ الأمعاني، إلى اللأتفات دون

اللأتفات إلى الأمعاني

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah

Non-Muslim dalam Konteks

Negara Bangsa

Gagasan

Oleh: Ahmad Husain Fahasbu

(Alumnus Program Pascasarjana Fiqh-Ushul Fiqh Ma’had Aly Situbondo,

Pengajar Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton Probolinggo)

Page 21: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

20

penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substansi”.

Hal ini dikuatkan dengan kaidah lain yang berbunyi:

ان الله ل يعأبد ال بما شرع

“Sesungguhnya Allah ialah tidak disembah kecuali dengan cara atau mekanisme yang telah ditetapkan”

Sementara yang dijadikan pedoman dasar dalam fikih muamalah adalah kaidah:

دون الأمعاني إلى اللأتفات فيها ل صأ الأ لن

ل فيها صأ ذأن حتى يدل الدليل على التعبد، والأ الأ

خلافه

”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”

Sesuai dengan kaidah di atas:

االمعاملة طلق حتي يعلم المنع

”Fikih muamalah itu bersifat bebas sehingga diketahui sesuatu yang melarang”

Kaidah-kaidah ini memberi pengertian bahwa medan dalam fikih muamalah itu luas tak terbatas. Sekiranya dalam fikih ibadah keabsahan sebuah ibadah haruslah dikonfirmasi langsung, maka dalam fikih muamalah cukup tidak ada dalil yang

melarang (adam al-Dalil atau dalil adami). Bukan hanya itu, jika dalam fikih ibadah yang dilihat adalah bentuk atau format maka dalam fikih muamalah adalah isi dan substansi.

Sementara dalam fikih ibadah medannya sangat sempit. Semua hal menyangkut mekanisme ibadah haruslah dikonfirmasi langsung oleh syar’ī baik dalam Alquran atau al-Sunnah. Poin utamanya adalah adanya dalil yang membolehkan (wujud al-Dalil atau dalil wujudi). Tujuannya agar mekanisme ibadah sesuai dengan ketentuan dari Allah. Karena ibadah-ibadah yang tak mendapat petunjuk langsung maka disebut dengan bidah. Dan hal ini sangat dicela dalam agama.

Dalam diskursus uṣūl fikih, ayat-ayat yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan dimasukkan dalam kategori ayat-ayat muamalah. Menurut Abdul Wahhab Khollaf, hukum-hukum ayat muamalah berupa kaidah-kaidah umum dan berupa prinsip-prinsip dasar

Dengan mengacu keterangan di atas, maka ketentuan mengenai seluk beluk politik dan sistem pemerintahan tidak memerlukan dalil normatif agama secara terperinci dan mendetail. Dasar pembentukan sebuah negara dalam Islam adalah kemaslahatan yang dituangkan secara verbal dalam bentuk dalil kulli-ijmalī berupa prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral di atas. Sementara menyangkut detail-operasionalnya, Islam sengat akomodatif dan kompatibel dengan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan.

Perbedaannya adalah jika fikih ibadah sifatnya tegas, konstan dan apa adanya maka fikih muamalah bersifat

lentur, fleksibel dan penuh dengan inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan zaman.

Page 22: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

21

Bukan tanpa alasan kenapa dalam fikih muamalah dalil dan perangkat operasionalnya tidak disebutkan secara rinci dan mendetail. Ini karena hukum-hukum yang terkait dengan muamalah berkembang sesuai dengan perkembangan waktu, tempat dan kemaslahatan manusia. Dalam konteks ini sabda Nabi Muḥammad Saw. menemukan momentumnya, Nabi bersabda:

. ر دنأياكمأ لم بأمأ أنأتمأ أعأ

“Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.”

Logika berpikir keagamaan seperti di atas yang digunakan oleh banyak tokoh agama di Indonesia ketika memotret bagaimana konsep negara bangsa (nation state) dengan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut mereka, Pancasila sebagai dasar negara adalah sah dan sudah sesuai dengan ajaran Islam sebab dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah tidak ada satupun dalil yang melarang Pancasila bahkan secara substansi Pancasila banyak mengandung ajaran-ajaran agama.

Berangkat dari rumusan jawaban terkait Pancasila di atas lalu muncul rumusan turunan yang menyimpulkan bahwa orang-orang non-muslim di Indonesia tidak bisa disebut kafir karena mereka tidak memenuhi syarat bisa disebut kafir sebagaimana tertera dalam rumusan fikih-fikih terdahulu.

Sekadar catatan selingan: dalam fikih terdahulu ada beberapa istilah kafir untuk mengakomodir penduduk non-muslim yang tinggal di negara Islam. Pertama kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang menjadi bagian warga negara melalui sebuah akad

yang disebut Aqd al-Dzimmah dengan ketentuan yang berlaku, seperti mereka harus membayar jizyah (pajak), patuh dan tunduk pada hukum Islam, secara sosial mereka harus menjadi masyarakat “kelas dua” dalam piramida kehidupan.

Kedua kafir muahad adalah sekelompok orang kafir yang tinggal di daerah perang (Dar al-Harb) yang terikat kontrak damai dengan negara Islam (Dar al-Islam). Ketiga, kafir musta’min/musta’man adalah orang non-muslim yang diperkenankan memasuki daerah Islam karena mereka meminta jaminan keamanan. Keempat, kafir harbi adalah non-muslim bukan yang disebut di atas, bahkan bisa disebut mereka adalah memerangi umat Islam.

Munculnya terminologi dan pembagian kategori non-muslim seperti di atas sangat erat kaitannya dengan sistem kekhalifan zaman dulu dan membagi wilayah kekuasaan menjadi daerah damai (Dar al-Islam) dan daerah perang (Dar al-Harb).

Seiring berjalannya waktu, terutama pasca runtuhnya kekhalifahan terakhir, Turki Ustmani ditambah dengan pesatnya pengetahuan dari berbagai bidang keilmuan, utamanya bidang ketatanegaraan maka kedua terminologi tersebut mulai hilang ditelan zaman. Sehingga menerapkan konsep tersebut di atas tidak relevan untuk kehidupan sosial-politik hari ini.

Dalam diskursus politik Internasional hari ini, sebuah negara dipisah dengan batas teritorial dan wilayah administratif modern yang amat kompleks. Tidak seperti dulu yang hanya membaginya berdasarkan dua

Dengan mengacu keterangan di atas, maka ketentuan mengenai seluk beluk politik dan sistem pemerintahan

tidak memerlukan dalil normatif agama secara terperinci dan mendetail.

Page 23: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

22

wilayah sebagaimana termaktub dalam lembaran fikih.

Dengan demikian, ketika NU dalam rumusan Bahtsul Masail Maudhuiyah pada Munas NU tahun 2019 di Banjar Jawa Barat sebenarnya bukan menghapus kata kafir sebagaimana tuduhan sementara orang akan tetapi NU berusaha memberi pemaknaan ualng dan mendudukkan kembali penggunaan istilah tersebut.

Menurut NU, karena konteks dan latar belakang yang melahirkan terminologi kafir seperti zaman dulu tidak sesuai dengan konteks kehidupan bernegara hari ini maka menyebut non-muslim yang ada di sebuah negara bangsa bukan negara kekhalifan dengan sebutan kafir dzimmi, muahad, musta’man dan harbi tidak sesuai sebab memang kondisinya berbeda secara diametral.

Kondisi sosial-politik, zaman dan keadaan dalam fikih memang diakui bisa mempengaruhi perubahan hukum. Itu yang disebut dengan urf, yakni tradisi bisa mempengaruhi pembentukan hukum. Ibnu Qayyim menyebut:

فإن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والعوائد

والحوال

“Sebab sesungguhnya fatwa hukum bisa berubah sebab perubahan pada zaman, tempat, motif dan keadaan”.

Lebih lanjut, bahkan Ibnu Qayyim melarang seorang mufti (pemberi fatwa) untuk bersikap jumud, rigid dan kaku dengan mengutip bunyi tekstual sebuah pendapat. Ia melanjutkan perkataannya:

الكتب طول عمرك، المنقول في ول تجمد على

يستفتيك فلا إقليمك إذا جاءك رجل من غير بل

بلده عرف عن وسلأه بلدك، ف عرأ على ره تجأ

ره عليه وأفأته به فأجأ

“Jangan bersikap kaku dengan hanya menukil sebuah pendapat dalam sebuah kitab sepanjang umurmu. Bahkan jika ada seseorang ada dari luar daerahmu dan meminta pendapat kepadamu janganlah kamu memberlakukan kebiasaan di daerahmu untuknya akan tetapi tanyalah bagaimana kebiasaan di daerahnya lalu tetapkan dan fatwakan dengan pertimbangan itu.”

Lebih-lebih dalam masalah tata negara dan pemerintahan yang sebagaimana disebut di atas banyak menggunakan dalil-dalil yang sifatnya kulli ijmali (universal), sehingga dengan demikian ajaran Islam tidak ekskulusif dan abai pada perkembangan sistem politik modern dan di sini justru momentum untuk menguji adagium bahwa “Islam sangat kompatibel dengan zaman”.

Sebagai solusi karena mereka tidak bisa disebut kafir dengan berbagai macam

Ini karena hukum-hukum

yang terkait dengan

muamalah berkembang

sesuai dengan perkembangan waktu, tempat

dan kemaslahatan

manusia.

Page 24: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

23

kategori itu maka sebut saja orang-orang yang tidak beragama Islam di Indonesia dengan sebutan non-muslim. Mereka adalah warga negara (muwathinun) yang juga berhak mendapatkan hak-haknya seperti warga negara yang lainnya. .

Dalam sistem negara bangsa non-muslim bukan warga negara kelas dua. Sebab mereka juga ikut serta membangun fondasi bangsa dan yang penting, banyak dari

mereka yang berkorban jiwa untuk kemerdekaan Indonesia. Tentu penyebutan kata non-muslim ini konteksnya dalam ranah muamalah-sosial kebangsaan bukan dalam ranah akidah-spritual.

Penggantian dari terminologi kafir menjadi non-muslim sebenarnya bukan hal baru. Jauh-jauh hari pemikir timur tengah salah satunya Yusuf al-Qaradawi juga membahas masalah ini. lebih lanjut, ia menyebut bahwa di zaman globalisasi mengganti istilah kafir dengan non-muslim untuk menyebut “mereka yang berbeda” termasuk strategi dakwah. Ia menulis:

مة بالأحكأ الدأعوة ومن الأكفار: بدل لميأن الأمسأ غيأر

عظة سن والأموأ بالتي هي أحأ الأحسنة ومن الجدال

ر عصأ في صا وخصوأ لمون الأمسأ بها الأمطالب

الأكفار م باسأ لنا الأمخالفيأن نخاطب ل انأ لمة الأعوأ

مخالفيأنا منأ سيما ول كفأرهمأ نعأتقد كنا ل وان أهأ

الأكتاب

Non-muslim sebagai ganti dari kata kafir: termasuk dakwah yang penuh hikmah, komunikasi yang baik dan polemik yang bermartabat adalah kaum muslimin dituntut lebih-lebih di era globalisasi ini, tidak menyebut orang berbeda dengan kita dengan sebutan kafir sekalipun kita meyakini kekafiran mereka lebih-lebih jika yang berbeda adalah orang ahlul kitab (Yahudi & Nasrani).

Sebagai penutup, saya kira pandangan keagamaan yang digawangi NU terkait dengan konsep negara bangsa dan status non-muslim secara spirit sudah sesuai dengan poin yang disampaikan mendiang Kiai Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU. Menurutnya, diktum-diktum fikih siyasah yang lahir pada zaman sebelum adanya konsep negara bangsa perlu dikontekstualisasi dengan realitas negara bangsa sekarang.[]

Pancasila sebagai dasar negara

adalah sah dan sudah sesuai

dengan ajaran Islam sebab dalam al-Qur’an ataupun

al-Sunnah tidak ada satupun dalil

yang melarang Pancasila bahkan secara substansi

Pancasila banyak mengandung ajaran-ajaran

agama

Page 25: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

24

Sudah jamak diketahui, bahwa ajaran Islam dibangun berdasarkan konstruksi dasar yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Kedua pedoman itulah yang menjadi landasan umat muslim dalam mengejawantahkan segala nilai-nilai keislaman. Setidaknya salah satu dari kedua pedoman tersebut, menjadi rujukan yang valid bagi setiap muslim dalam beragama maupun bernegara.

Islam sebagai ajaran, tentu saja memiliki nilai-nilai yang menopang dan mendukung tegaknya sebuah kesejahteraan serta keadilan dalam bernegara. Bukan hanya itu, bahkan ajakan militansi dan patriotisme untuk mencintai tanah airnya sendiri, sudah terpampang dengan jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Nilai ajaran tersebut menumbuhkan sesuatu yang kita sebut dengan “Nasionalisme”.

Secara universal, Islam terkesan tampak bertentangan dengan nasionalisme. Tetapi sebenarnya, keduanya menemukan titik pertemuan, di mana Islam dapat menunjang perwujudan sifat nasionalisme, dan nasionalisme menunjang implementasi ajaran Islam.

Mengaitkan Islam dengan Nasionalisme dalam bernegara dapat diketahui melalui dua pendekatan. Pertama, secara kesadaran plural dalam persatuan. Misalnya, bersatunya Islam dan Nasionalisme dapat kita lacak sejak zaman Nabi Muhammad

SAW. Tepatnya pada peristiwa yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Konstitusi Madinah). Peristiwa itu memberikan sebuah contoh tatanan sosial-politik dalam berislam dan bernegara.

Konsep yang dibangun dalam konstitusi tersebut berdiri di atas asas-asas kemanusian. Melihat bahwa homogenitas manusia adalah sebuah keniscayaan, tentu menghilangkan Ras diskriminasi dapat menjadi sebuah jalan untuk menciptakan sebuah tatanan persatuan. Piagam Madinah merupakan embrio dari masyarakat madani yang selaras dengan tujuan berdirinya NKRI.

Kedua, secara universal, Islam terkesan bertentangan dengan Nasionalisme. Islam tidak mengenal batas-batas wilayah tertentu, sedangkan Nasionalisme telah menciptakan pemetakan geografis dan pembatasan antar negara. Namun, Islam tidak menolak kenyataan bahwa setiap orang mempunyai afiliasi dan afirmasi terhadap tanah air tertentu. Sehingga adagium yang berbunyi bahwa “mencintai tanah air ialah sebagian dari pada iman” “Hubbu al-Wathon min al-Iman), dapat berjalan linier dengan nasionalisme.

Meskipun perkataan tersebut bukan berasal dari al-Qur’an dan juga hadis, tapi adagium ini sudah banyak mempengaruhi sudut pandang umat muslim. Memang benar, bahwa Islam tidak memiliki tanah air, tapi

Titik Temu Islam dan

Nasionalisme

Gagasan

Oleh : Agus Zehid

Page 26: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

25

orang yang beragama Islam memiliki tanah air.

Berkembangnya jiwa nasionalisme berawal dari keinginan untuk membebaskan manusia dari segala penjajahan dan penindasan. Adanya penindasan yang terjadi kepada masyarakat dan pribumi, memungkinkan untuk menciptakan sebuah perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman.

Semangat anti penindasan ini menjadi sebuah generator yang membangkitkan jiwa-jiwa solidaritas masyarakat yang tertindas, untuk melawan kaum penindas. Inilah yang menjadi titik temu antara Islam dan nasionalisme. Dalam konteks ini, Islam menunjang semangat nasionalisme, dan nasionalisme menjadi sebuah dasar untuk menerapkan ajaran Islam. karena melawan penindasan dan penjajahan, termasuk dalam ajaran Islam.

(alm) K.H Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dikenal dengan sapaan “Gusdur” kerap kali menegaskan kepada umat Islam. bahwa Islam tidak pernah memperkenankan pengikutnya untuk melakukan kekerasan atau peperangan terhadap agama lain, terkecuali umat Islam diusir atau ditindas di tanah airnya sendiri. hal ini sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asr’ari tentang resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap sekutu. Fatwa tersebut merepresentasikan sebuah kecintaan yang mendalam kepada sebuah bangsa, hingga rela mempertaruhkan jiwa dan raganya.

Hadratus Syaikh Hasyim Asr’ari merupakan ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan nasionalisme tidak saling bertentangan. Keduanya seperti dua mata koin yang tidak dapat dipisahkan. Agama membutuhkan tanah air sebagai lahan atau medan dakwah dalam menyiarkan agama Islam, sedangkan tanah air memerlukan siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering. Pemahaman agama yang menegasikan sifat nasionalisme, tentu akan cenderung pada ekstremisme. Begitu pun sebaliknya, nasionalisme yang tidak didampingi oleh agama akan terasa kering.

NASIONALISME ADALAH FITRAH

Prof. Dr. Quraish Shihab menyampaikan, bahwa mencintai tanah air adalah fitrah, naluri manusiawi, dan manifestasi keimanan. Kecintaan terhadap tanah air sendiri, merupakan hal yang wajar dan semistisnya. Ini seperti halnya kita memiliki sesuatu yang telah memberikan sebuah impresi dalam kehidupan. Bahkan nabi pun sangat mencintai tanah kelahirannya yaitu Mekkah. Ibnu Abbas R.A menceritakan bagaimana nabi mengekspresikan kecintaannya kepada tempat kelahirannya. “dari Ibnu Abbas RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri (makkah) dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak

Secara universal, Islam terkesan

tampak bertentangan dengan nasionalisme.

Tetapi sebenarnya, keduanya

menemukan titik pertemuan, di mana

Islam dapat menunjang

perwujudan sifat nasionalisme, dan

nasionalisme menunjang

implementasi ajaran Islam.

Page 27: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

26

mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR. Tirmidzi). Maka kecintaan terhadap tanah air merupakan implementasi dari sunnah Rasulullah SAW.

Tidak hanya itu, Nabi Muhammad pun sangat mencintai kota Madinah. Sebuah kota yang menjadi tempat dakwah ketika beliau terusir dari tanah kelahirannya (mekkah). Rasulullah bersabda “Ya Allah jadikan cinta kami kepada Madinah sebagaimana cinta kami kepada Mekkah atau lebih dari itu.” (HR. Bukhori.) Secara eksplisit Rasulullah mencontohkan kepada umatnya, bahwa mencintai tanah air tentu tidak bertentangan dengan agama. Sebab telah menjadi naluri bagi setiap manusia untuk mencintainya.

Banyak cara untuk mencintai tanah air, dengan menjaga budaya, kekayaan alam, seperti hutan, belajar dengan tekun, menghargai orang lain yang berbeda keyakinan, berusaha menjaga keutuhan negara, tidak menjelekkan mereka yang berbeda, menjunjung tinggi toleransi, menghilangkan sekat-sekat yang tercipta dikarenakan ras diskriminasi, serta berusaha menjadikan diri bermanfaat bagi umat, bangsa dan negara.

KESADARAN SEJARAH Para agamawan talah memiliki andil yang besar dalam mewujudkan semangat nasionalisme. Mereka merasa bertanggung jawab untuk mencerdaskan diri dan bangsa. sehingga pengetahuannya digunakan untuk menunjang masyarakat dalam berislam dan bernegara. Sejak dulu, Indonesia telah menanamkan sifat patriotisme ketika melawan penjajah. Para ulama menamakan perlawanan tersebut sebagai jihad, sehingga orang-orang muslim terdorong untuk ikut andil dalam mengusir penjajah. Dari sinilah, salah satu cara untuk menghidupkan kembali rasa kecintaan terhadap tanah air dan sifat nasionalisme terhadap bangsa adalah melalui kesadaran sejarah.

Kesadaran sejarah harus dihidupkan kembali pada adab dasawarsa 21-an ini. tentang segala perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan bangsa. Jika abad sebelumnya Islam merupakan ikatan alamiah dari rasa kebangsaan, maka pada dasawarsa 21-an ikatan yang sedemikian erat kini mulai memudar. Sebagian masyarakat terus mempertentangkan nasionalisme dan Islam, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh para pahlawan ketika melawan penjajah.

Dalam konteks ini, Islam menunjang semangat nasionalisme, dan nasionalisme menjadi sebuah dasar untuk menerapkan ajaran Islam. karena melawan penindasan dan penjajahan, termasuk dalam ajaran Islam.

Page 28: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

27

Menurut Aman (2011:33) Kesadaran Sejarah itu adalah kondisi kejiwaan yang menunjukkan penghayatan pada makna dan hakikat sejarah pada masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan”. Itulah sebabnya para pendiri bangsa memiliki kesadaran sejarah yang kuat, hingga bisa mengkontruksi negara dan bangsa ini menjadi satu. Sikap nasionalisme itu tumbuh dari penghayatan dan kecintaan kita terhadap negara. Sikap ini akan melahirkan sebuah pembangkit dan penguat, untuk selalu menjaga keutuhan bangsa dari segala penjajah.

Tonggak sejarah berdirinya NKRI tidak pernah terlepas dari peran agama-agama, terkhusus Islam. Sila ke-1 yang berbunyi “Tuhan yang Maha Esa”, merupakan sebuah konsensus dasar untuk merumuskan sebuah persatuan. Sila tersebut memiliki nilai tauhid yang selayaknya dihayati secara mendalam. Dengan meyakini bahwa Tuhan itu esa dan tidak ada yang serupa dengannya. Berimplikasi bahwa tidak ada yang patut disembah dan diagungkan selain-Nya. Hal ini menyiratkan nilai egaliter yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahwa manusia diciptakan sama rata. Sehingga penjajahan terhadap bangsa lain, merupakan upaya merebut hak-hak kemanusiaan orang lain.

Selain itu, penghapusan 7 kata dalam sila 1 merupakan bukti kecintaan umat muslim kepada persatuan sebuah bangsa. Sejalan dengan kaidah fiqh “Mencegah sebuah kerusakan, lebih didahulukan dari pada mengambil sebuah kemaslahatan”. Islam dan nasionalisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Keduanya memiliki pertemuan dalam sifat kepahlawanan (heroism) ketika berjuang melawan kesewanang-wenangan dan kezaliman (depostm).

Penutup Penting diketahui, bahwa mencintai tanah air bukanlah hal yang bertentangan dengan agama. Ini merupakan Sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika mengekspresikan sikap cintanya kepada Mekkah dan Madinah. Nasionalisme bukan hanya lahir dari tabiat, tapi merupakan sebuah representasi dari keimanan. Mempertahankan bangsanya ketika diserang dan marah ketika tanah airnya dijajah, Itu merupakan sebuah tabiat dasar manusia. Sedangkan berjuang untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di tanah air adalah bagian dari ajaran Islam.

Romantisme Islam dan nasionalisme ini terlihat mulai memudar pada abad 21-an. ketika beberapa kelompok menganggap

Banyak cara untuk mencintai tanah air, dengan menjaga budaya, kekayaan alam, seperti hutan, belajar dengan tekun, menghargai orang lain yang berbeda keyakinan, berusaha menjaga keutuhan negara, tidak menjelekkan mereka yang berbeda, menjunjung tinggi toleransi, menghilangkan sekat-sekat yang tercipta dikarenakan ras diskriminasi, serta berusaha menjadikan diri bermanfaat bagi umat, bangsa dan negara

Page 29: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

28

bahwa nasionalisme tidak sejalan dengan agama. Dalam hal ini, ajakan persuasif patut dilakukan melalui lembaga formal pendidikan yaitu, dengan cara menumbuhkan sifat kesadaran terhadap sejarah kepada generasi muda, tentang perjuangan para pahlawan dalam membentuk dan memperjuangkan kesatuan NKRI. Generasi muda harus bisa menyadari tentang kemajemukan bangsa, sehingga sifat menghargai dan menghormati dapat menumbuhkan keharmonisasian dalam bersosial.

Risalah tauhid dalam sila ke-1 menegasikan ketergantungan manusia terhadap animisme dan dinamisme. Bukan hanya itu, nilai yang tersirat pada sila ke-1 menanamkan sikap egalitarianisme antar sesama manusia. Bahwa manusia tidak ada yang lebih unggul dari yang lainnya, baik itu berdasarkan Ras, warna kulit, nasab, ataupun suku. Maka penjajahan dan penindasan secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis- Dr. Muhamad

Hisyam. “Islam dan Nasionalisme” Ensiklopedia tematis dunia Islam jilid 5 “Asia Tenggara”.

Dr. Aman “Kesadaran Sejarah”. Uny.ac.id, Yogyakarta, 2010.

Ahmad Fathoni “Cinta Tanah Air dalam Ajaran Islam”. Nu.or.id, 2018.

Quraish Shihab “Cinta Tanah Air dan Nasionalisme adalah Fitrah Manusia”. Kemenag.go.ig. 2017

Abdurrahman Wahid. “ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA”. The Wahid Institute, 2006.

Selain itu, penghapusan 7 kata dalam sila 1 merupakan bukti kecintaan umat muslim kepada persatuan sebuah bangsa. Sejalan dengan kaidah fiqh “Mencegah sebuah kerusakan, lebih didahulukan dari pada mengambil sebuah kemaslahatan”.

Page 30: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

29

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”merdeka” mempunyai beberapa arti, Pertama berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. Kedua, mempunyai arti tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Dari penjelasan arti yang pertama menjadi jelas bahwa bangsa Indonesia sudah lepas dari penjajahan atau imperialisme dari negara lain. Namun bila ditinjau dari arti yang kedua dan ketiga, dirasa masih sulit menghilangkan bayang-bayang atas ketergantungan terhadap pihak lain, seperti dalam urusan sosial, ekonomi, keamanan, dan sebagainya.

Untuk mewujudkan sebuah kemerdekaan dari penjajahan, membutuhkan pengorbanan, mulai fisik, materi, bahkan nyawa taruhannya. Semua elemen anak bangsa bersatu tanpa memandang ras atau perbedaan kulit, bahkan keyakinan sekalipun, karena mereka merasa memiliki satu bangsa yang sedang dianiaya oleh para penjajah yang tak berperikemanusiaan.

Belajar dari para penjajah yang telah menghancurkan bangsa ini, mereka membuat strategi jitu dengan menerapkan politik pecah belah atau dikenal dengan devide et impera. Strategi ini sangat manjur karena para penjajah sadar bahwa jumlah mereka tak sebanding dengan rakyat yang ia kuasai, serta mereka menggunakan alat

yang lebih canggih sesuai perkembangan zaman.

Lika-liku perjalanan menuju kemerdekaan tak semudah yang dibayangkan, bila dianalisis menggunakan kitab Hikam karya Ibnu Atha'illah al-Iskandari, terutama kaedah yang berbunyi:

م فيأ المنأع صار الأمنأع عيأن متى فتح لك باب األفهأ

األعطاء

Artinya: ketika engkau dibukakan pintu pemahaman tentang hakikat kegagalan, maka kegagalan itu berbuah sebuah kesuksesan atau keberhasilan.

Kaidah ini mengisyaratkan tentang kondisi bangsa kita sebelum merdeka, terpecah belah, kurang bersatu sebagai akibat penjajahan. Maka perjuangan yang tak pernah berhenti menghasilkan sebuah keniscayaan, yaitu terbebas dari penjajahan. Itu semua berkat adanya persatuan, kekompakan semua elemen bangsa.

Misi Islam Menegakkan Keadilan

Misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah untuk menegakkan keadilan serta menghilangkan segala kezaliman di muka bumi ini sehingga tercipta kemerdekaan untuk berpendapat, berekspresi juga terwujud kedamaian, keamanan, ketenteraman, di segala lini kehidupan.

Hikmah Kemerdekaan Menurut Islam

Hikmah

Oleh: Moh Afif Sholeh, M.Ag

Page 31: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

30

Kemerdekaan merupakan hak semua individu maupun bangsa. Tanpa adanya kemerdekaan, sebuah bangsa niscaya akan menjadi terkungkung, terinjak-injak oleh bangsa lain. Dengan demikian, bangsa yang merdeka harus berani bersikap mengambil langkah maju untuk membangun masa depannya serta tak mudah diadu domba oleh bangsa lain.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersatu bahu agar tercipta keadilan yang merata serta tak mudah diadu domba oleh pihak mana pun terutama para penjajah yang hendak mengeksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Hal ini sesuai misi para rasul untuk menegakkan keadilan seperti yang tertuang dalam Al Qur'an yang berbunyi:

رس سلأنا أرأ الأكتاب لقدأ معهم وأنأزلأنا بالأبي نات لنا

فيه وأنأزلأنا الأحديد بالأقسأط والأميزان ليقوم الناس

ينأصره منأ الل وليعألم للناس ومنافع شديد بأأس

قوي عزيز ورسله بالأغيأب إن الل

Artinya:

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al Hadid: 25)

Imam At Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu misi diutusnya para rasul dan diturunkan kitab suci sebagai wahyu agar tercipta keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dari penjelasan ini dapat dipahami, bila sebuah bangsa tidak terwujud keadilan maka akan terjadi

gesekan di antara sesama sehingga mudah diadu domba yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

Kemerdekaan Menurut Pandangan Ulama Bila sebuah bangsa sudah kehilangan jati diri maka akan mudah disusupi oleh berbagai pihak yang berkepentingan maka dari itu nikmat kemerdekaan harus disyukuri dengan cara mendayagunakan segala potensi yang dimiliki dan selalu aktif berperan mengisi dengan hal positif misalnya pejabat harus mengayomi rakyat, para konglomerat membantu orang melarat, orang kaya membantu orang yang kurang biaya.

Imam At Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu misi diutusnya para rasul dan diturunkan kitab suci sebagai wahyu agar tercipta keadilan di tengah-tengah masyarakat

Page 32: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

31

Kemerdekaan merupakan nikmat terbesar bagi sebuah bangsa. Kenapa demikian? Karena bangsa terbebas dari kezaliman dari para penjajah yang selalu mengintimidasi, mengeksploitasi sumber daya alam serta mengungkung segala kebebasan berpendapat maupun aktivitas.

Hal yang terberat bagi generasi penerus bangsa adalah merawat nikmat kemerdekaan ini dengan berupaya menjaga persatuan serta tak mudah diadu domba oleh pihak mana pun. Imam Al Muhasibi dalam Adabun Nufus mengungkapkan kadang kala kenikmatan bisa berubah menjadi sebuah musibah. Sebaliknya kadang kala hal yang menyakitkan bisa berubah menjadi kenikmatan.

Kemerdekaan merupakan roh kehidupan Adanya bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah memberikan daya gedor penyemangat bagi seluruh rakyat untuk bisa merdeka dari segala perbudakan. Kemerdekaan menurut Imam Abu Zahra dalam Mukjizat Al Kubra merupakan sebagai ruh kehidupan sehingga harus selalu dirawat agar tetap selalu lestari.

Untuk mengisi kemerdekaan saat ini dengan cara berupaya memberikan keadilan kepada siapa pun terutama dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Hal ini sesuai pernyataan Imam Mansur Al Faqih yang dikutip oleh imam Al Qusyairi dalam risalahnya

ية في خدمة الفقراءSلحرواعلم أن معظم ا

Ketahuilah bahwasanya kemerdekaan terbesar saat mampu melayani orang-orang fakir.

Penjelasan ini menegaskan bahwa kemerdekaan sebuah bangsa harus mampu mengayomi orang kecil, pejabat tak melupakan rakyat serta selalu memikirkan kemaslahatan mereka. Sedangkan Imam As Syibli memaknai kemerdekaan saat hati tak terbelenggu oleh apa pun sehingga tak terkungkung oleh intervensi siapa pun.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan merupakan anugerah dari Dzat yang Maha Kuasa dengan usaha yang maksimal untuk melawan kezaliman dan pada puncaknya bertujuan untuk menegakkan keadilan di muka bumi ini.

Untuk mengisi kemerdekaan saat ini dengan cara berupaya

memberikan keadilan kepada siapa pun terutama dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.

Page 33: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

32

Harbi

Kata tersebut diambil dari bahasa Arab harbun yang memiliki makna dasar perang atau peperangan. Dalam urutan perubahan katanya, dimulai dari kata haraba, yahrubu, harban. Ada beberapa makna yang menyertai kata tersebut. Di antaranya: merampas hartanya, mengobarkan, memerahkan dan kebinasaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata itu dimaknai “bersifat dapat diperangi.” Makna tersebut menyesuaikan dari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab. Hanya saja dalam kamus Maqayyis al-Lughah karya Ibnu Faris, dituliskan bahwa kata tersebut memiliki tiga makna yang berbeda. Pertama, bermakna merampas. Kedua bermakna alat canggih untuk berperang, dan yang ketiga bermakna beberapa tempat.

Secara istilah kata tersebut bisa diartikan sebagai terjadinya konflik dan peperangan antara dua kelompok. Atau antonim dari kata damai. Namun istilah tersebut akan berbeda ketika kata harbun dan derivasinya bersanding dengan kata yang lain. Misalnya hariba al-Lisshu al-Rajula artinya adalah perampok mengambil semua harta orang.

Berbeda lagi ketika disandingkan dengan kata al-Musafira. Menjadi hariba al-Musafiru yaitu, dia mengambil semua hartanya.

Dalam Al-Qur’an kata itu juga digunakan dalam banyak tempat dengan beberapa derivasi. Hanya saja ketika diambil dari intisari maknanya terdapat beberapa makna. Pertama, bermakna kufur sebagaimana digunakan dalam surah Al-Baqarah ayat 279. Kedua bermakna perang, sebagaimana ditemukan dalam surah Al-Anfal ayat 57. Ketiga, bermakna masjid seperti yang digunakan dalam surah Shad ayat 21. Keempat bermakna kiblat seperti yang ada dalam surah Ali Imran ayat 39.

Dalam hadits, kata harbun dan derivasinya tidak populer di dalam hadits. Karena kata tersebut mengakar pada kata qitalun, yang bermakna perang, dan penggunaannya dalam hadits sangat banyak.

Kata tersebut dalam kitab-kitab klasik sering digunakan untuk menyebutkan varian-varian orang kafir, serta digunakan dalam topik terkait peperangan. Populernya terdapat dalam kitab-kitab bergenre Fiqih

Harbi, Mitsaq, Dzimmi, ‘Ahdi

Istilah

Oleh: Khoirul Anwar Afa

Page 34: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

33

Mitsaq

Kata tersebut diambil dari kata dasar watsiqa, yautsaqu, watsqan yang artinya adalah percaya, kuat, mengesahkan, dan lainnya. Jika diambil benang merahnya dari semua bentuk kata yang dibangun dari huruf waw, tsa’ dan qaf memiliki makna dasar sebagai kalimat yang digunakan untuk akad atau memutuskan suatu perkara.

Sehingga secara istilah kata mitsaq digunakan untuk menunjukan bentuk perjanjian-perjanjian, atau kesepakatan, atau undang-undang. Seperti halnya digunakan dalam memaknai undang-undang yang disepekati oleh para bangsa atau pembuat hukum.

Namun makna yang relevan tentunya mengikuti konteks kata berikutnya. Misalnya mitsaq al-Huquq al-Insan, ini yang dimaksud adalah undang-undang individual yang merupakan ringkasan dari hak-hak asasi manusia. Atau mitsaq al-umam al-muttahidah yang dimaksud adalah perjanjian persatuan antar bangsa.

Dalam Al-Qur’an, kata mitsaq ini digunakan untuk menyebut perjanjian besar. Yang indikatornya disebutkan juga, di antaranya bisa menjaga kemaslahatan masyarakat. Sehingga ketika menyalahi perjanjian tersebut, hukumannya pun sangatlah besar. Seperti digunakan dalam surah an-Nisa ayat 92, dan bahkan disamakan pada konteks perjanjian dengan Allah sebagaimana disebutkan dalam surah al-Ra’ad ayat 20.

Demikian juga penyebutannya dalam hadits. Digunakan untuk menyebut perjanjian besar yang berkaitan antara manusia dengan Allah. Seperti dalam hadits yang populer, bahwa Allah telah mengambil perjanjian di punggung nabi Adam.

Dalam kitab-kitab Fiqih, kata mitsaq umumnya digunakan untuk tema tentang perjanjian. Baik perjanjian dalam konteks muamalah, politik, hingga perjanjian dalam pernikahan yang juga disebut sebagai mitsaqan ghalidhan.

Dzimmi

Dalam bahasa Arab, kata tersebut diambil dari kata dasar dzamma, yadzummu, dzamman, yang artinya adalah mencela, mengeritik, melindungi, dan lainnya. Dari semua derivasi kata tersebut juga ada kata dzimmah yang artinya adalah jaminan yang bentuk pluralnya adalah dzimam. Sehingga ketika berubah menjadi ahlu al-Dzimmah yang dimaksud adalah orang non muslim yang mendapat perlindungan dari pemerintah Islam.

Secara istilah, dzimmi adalah orangnya yang dinisbahkan pada yang mendapat jaminan atau perlindungan sebagaimana diambil

dari makna di atas. Yaitu yang diikat dengan perjanjian untuk mendapatkan keamanan untuk jiwanya, keluarga, hartanya dan lainnya.

Secara eksplisit, kata tersebut tidak ada di dalam Al-Qur’an. Namun kata tersebut sangat populer di dalam hadits, yang secara eksplisit menunjukkan orang yang perlu mendapat jaminan dari Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmirzi, “Ingatlah siapa saja yang memerangi orang yang berada dalam perjanjian, yang ia mendapat jamian dari Allah dan Rasul-Nya,

Page 35: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

34

maka sama saja ia melobangi perlindungan itu.”

Sehingga dalam kitab-kitab Fiqih dari hadits itu kemudian digunakan untuk

menguraikan beberapa ragam orang-orang non muslim, yang dalam kajian-kajian kitab klasik diberikan label kafir. Penggunaannya bisa ditemukan dalam kitab-kitab Fiqih.

‘Ahdi

Kata dasar dari ‘ahdi adalah ‘ahida, ya’hadu, ‘ahdan, yang memiliki makna mengetahui, menjaga, memenuhi dan lainnya. Menurut Ibnu Faris, dari beragam makna tersebut semula berasal dari satu makna, yaitu menjaga sesuatu. Arti ini sesuai sebagaimana perjanjian yang harus dijaga,

Secara itilah Fiqih digunakan untuk menyatakan suatu janji yang disertai dengan menyebut nama Allah bahwa ia akan melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Perjanjian dalam makna ‘ahdun ini juga berlaku untuk memberikan keamanan dan perlindungan kepada orang yang diberikan perjanjian.

Dalam Al-Qur’an kata tersebut beberapa kali disebutkan di banyak tempat. Hanya saja ketika diambil makna-makna intinya bisa diklasifikasikan dalam beberapa makna. Di

antaranya: amanah, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 124. Selanjutnya dapat bermakna perintah, seperti yang terjadi dalam surah Taha ayat 115.

Begitu juga dalam Hadits, kata ‘ahdun juga dapat ditemukan dalam beberapa redaksi hadits tentang perjanjian. Misalnya digunakan dalam redaksi hadis, “Siapa saja yang terikat dalam perjanjian maka sangat dilarang menyalahinya, kecuali jika salah satu dari pihak tersebut menyalahi lebih dulu.”

Dalam kitab-kitab Fiqih, tidak terlalu dibedakan antara ‘ahdun, mitsaq, ‘aqdun, sebab masing-masing digunakan untuk menyatakan perjanjian yang telah disepakati dan tidak perbolehkan dilanggar oleh pihak yang terikat dalam perjanjian itu.

Page 36: Indonesia sebagai Dar al-Mitsaq

35