INDISCHE PARTIJ 2
-
Upload
mala-syahril -
Category
Documents
-
view
32 -
download
1
Transcript of INDISCHE PARTIJ 2
SEJARAH INDISCHE PARTIJ
OLEH :
Umi Amaliah Ilyas
106404049
Pend. IPS Terpadu
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012-2013
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum wr.wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang atas Berkat,Rahmat,dan Hidayah-Nya,penulis telah menyelesaikan penulisan
makalah tentang sejarah Indische Partij.
Makalah ini dapat membantu anda untuk mengetahui lebih lanjut lagi tentang sejarah
dan peranannya,dengan cara membaca,memahami,dan mendiskusikan bahan yang ada dalam
makalah ini.Dengan melakukan kegiatan ini anda dapat mengalami sendiri,melakukan
sendiri,dan mengonstruksikan sendiri.
Dalam pembahasan makalah ini diharapkan dapat memenuhi harapan semua
orang,yaitu anda dapat memanfaatkan makalah ini dengan sebaik-baiknya dan mudah-
mudahan dapat berguna bagi penulis dan orang yang membacanya.
Penulis mengucapkan terima kasih atas perannya kepada semua pihak,khususnya
penerbit,penulis lain yang naskahnya yang dikutip,dan semua teman-teman.
Akhir kata semoga makalah ini bias bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya,penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah kesempurnaan.
Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.
Takalar, Januari 2012
Penulis
INDISCHE PARTIJ (25 DESEMBER 1912)
Latar Belakang
Indische Partij adalah organisasi modern ketiga yang berdiri setelah Budi Utomo dan
Sarekat Islam (Baca Tulisan saya sebelumnya). Organisasi ini merupakan organisasi pertama
yang secara tegas menyatakan berpolitik. Dengan demikian Indische Partij adalah partai politik
pertama di Indonesia. Indische Partich ingin menggantikan Indische Bond yang berdiri pada
tahun 1899. Indische Bond adalah organisasi kaum Belanda peranakan (Indo) dengan pimpinan
K. Zaalberg, seorang indo. Tujuan organisasi ini adalah untuk memperbaiki kaum Indo. Pada
masa itu kaum Indo menaruh dendam yang tak ada hingganya kepada bangsa Belanda dan
segala sesuatu yang bercorak Belanda. Hal ini disebabkan kaum Indo seolah-olah menjadi
"golongan yang dilupakan" oleh bangsa Belanda.
Douwes Dekker, seorang Indo, berusaha mempengaruhi Indische Bond. Ia insyaf bahwa
segala keluh kesah dan bantahan-bantahan tidak aka nada gunanya. Sumber dari segala
kesukaran itu terletak di dalam ketergantungan, pada pemerintah kolonial. Kam Indo menderita
dan dicampakannya kedalam kubangan kesengsaraan sebagai akibat perbuatannya
Onderneming-onderneming orang Barat yang bercorak penjajahan dan berdasar kepada
perusahaan-perusahaan kolonial.
Pendirian Douwes Dekker ini dipertegas lagi pada sidang Indische Bond di Jakarta tanggal
12 desember 1911, dengan pokok pidato "Gabungan kulit ptih dengan sawo matang". Ia
berkata, bahwa jumlah kaum Indo sangat sedikit, sehingga ia tak mngkin akan memperoleh
keuntungan, jika ia hendak bertindak seorang diri. Salah sat syarat untuk mendapat
kemenangan di dalam pertentangan dengan penjajah bangsa Belanda itu, ialah
menggabungkan diri kepada bangsa Indonesia. Kita berjuang bersama-sama dengan mereka. Di
dalam perjuangan itu, terutama sekali dikehendaki kerjasama yang rapat.
Secara politik, sikap menerima saja segala sesuatunya dengan senang hati adalah sesuatu
yang salah. Karena ia akan membawa kita kepada hidup diperbawah. Di dalam perjuangan
politik hendaklah kita dengan gigih memegang teguh apa yang telah kita peroleh, sambil
mengulurkan tangan untuk merebut hak kita yang belum dimiliki.
Pendapat Douwes Dekker diatas tidak sependapat dengan pendapat Zaanberg,
pemimpin Indische Bond. Ia menerima ketergantungan pada pemerintah kolonial. Di dalam
ketergantungan itu kehendak kaum indo akan berbahagia, asal saja pemerintah dan orang-
orang Eropa lapisan atas suka menolongnya. Zaalberg bsebenarnya ingin mengekalkan
penjajahan. Sedangkan Douwes Dekker ingin menghapuskan penjajahan itu.
Untuk mewujdkan gagasan itu, maka mulai tanggal 15 September sampai dengan 3
oktober 1912, Douwes Dekker mengadakan perjalanan Propaganda, bersama-sama dengan tim
nya. Mereka mengadakan rapat-rapat di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang,
Tegal, Pekalongan dan Cirebon, kemudian diteruskan ke kota-kota di Jawa Barat. Propaganda
Douwes Dekker ini ternyata mendapat sambutan hangat dari golongan intelektual Indonesia di
Pulau Jawa.
Di Surabaya, ia mendapat sokongan dari Dokter Tjipto Mangoen Koesoemo. Di Bandung
ia mendapat sokongan dari R.M. Soewardi Soerjaningrat, ia merupakan "tiga serangkai" yang
sangat ditakuti oleh Belanda. Mereka ialah tokoh-tokoh Indische Partic yang didirikan di
Bandung pada tanggal 25 Desember 1912.
Tujuan Indische Partij
Dalam anggaran dasar indische partij (Pasal 2) dirumuskan tujuan sebagai berikut :
a. Untuk membangun patriotism semua bangsa Hindia kepada tanah air yang telah
member lapangan hidup kepadanya.
b. Menganjurkan kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan.
c. Memajukan tanah air Hindia.
d. Mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Adapun saha-usaha untuk mencapai tujuan itu adalah sebagai berikut :
a. Memelihara Nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan
kebangsaan semua bangsa Hindia, meluaskan pengetahuan umum tentang
sejarah kebudayaan Hindia, menyatupadukan intelek secara bertahap kedalam
golongan-golongan bangsa yang masih hidup bersama dalam keadaan terpisah
karena ras dan ras peralihan masing-masing, menghidpkan kesadaran diri dan
kepercayaan terhadap diri sendiri.
b. Menyingkirkan kesombongan rasial dan keistimewaan ras, baik dalam bidang ke
tatanegaraan maupun dalam bidang kemasyarakatan, melawan usaha untuk
membangkitkan kebencian agama dan sektarisme yang bisa mengakibatkan
bangsa Hindia tidak mengenal satu sama lain, dan memajukan kerjasama
nasional.
c. Memperkuat tenaga bangsa Hindia dengan usaha kemajuan terus menerima dari
individu kearah aktivitas yang lebih besar dalam bidang tehnik dan kearah
penguasaan diri serta pola berfikir dalam bidang kesusilaan.
d. Penghapsan ketidaksamaan hak kaum Hindia.
e. Memperkuat daya pertahanan bangsa Hindia untuk mempertahankan tanah air
dari serangan asing, apabila perlu.
f. Mengusahakan unifikasi, perluasan, pendalaman dan Hindianisasi pengajaran,
yang di dalam semua hal harus ditujukan kepada kepentingan ekonomis Hindia,
dimana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan ras, seks atau kasta
dan harus dilaksanakan sampai tingkat setinggi-tingginya yang bisa di capai.
g. Memperbesar pengaruh Pro-Hindia ke dalam pemerintahan.
h. Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat
yang lemah ekonominya.
Semua usaha-usaha lain yang sah dan dapat dipergunakan untuk memcapai tujuan tersebut.
Keanggotaan
Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa tanpa membedakan
tingkatan kelas, seks atau kasta, golongan bangsa yang menjadi anggotaIndische Partij adalah
golongan bumiputera, golongan Indo, Cina dan Arab.
Keanggotaan Indische Partij tersebar pada 30 cabang dengan jumlah anggota seluruhnya
7.300 orang, sebagian besar golongan Indo. Sedangkan jumlah anggota golongan bumiputera
adalah 1.500 orang, kebanyakan golongan terpelajar. Indische Partij Cabang antara lain adalah
Semarang, dengan jumlah anggota 1.300 orang, Surabaya dengan jumlah anggota 850 orang,
Bandung dengan jumlah anggota 700 orang, Batavia dengan Jumlah anggota 654 orang.
Jika dibandingkan dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam, maka keanggotaan Indische
Partij lebih kecil jumlahnya. Mungkin hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut untuk
memasuki suatu perkumpulan politik. Adanya pasal 111 Regerings-Reglement (RR), yang
berbunyi "Bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan yang membicarakn
soal pemerintahan (politik) atau membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia Belanda".
Pasal ini merupakan tembok penghalang yang sukar ditembus oleh Indische Partij dalam
mengembangkan jumlah Anggotanya.
Perjuangan Indische Partij untuk memperoleh Badan Hukm.
Di dalam rapat pendirian Indische Partij pada tanggal 25 Desember 1912 ditetapkan pula
anggaran dasarnya. Kemdian anggaran dasar itu diberikan kepada pemerintah untuk
mendapatkan pengesahan untuk menjadikan Indische Partij berbadan hukum. Sikap Gubernur
jendral Idenberg terhadap Indische Partij berbeda dengan sikapnya kepada Budi Utomo dan
Sarekat Islam. Sikapnya terhadap Budi Utomo dan Sarekat Islam sangat berhati-hati, tetapi
sikapnya terhadap Indische Partij sangat tegas. Gubernur Jendral Idenberk menolak anggaran
dasar Indische Partij dengan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913. Alas an penolakan
disebutkan "Oleh karena perkumpulan itu berdasar politik dan mengancam hendak merusak
keamanan umum, harus dilarang pendiriannya, menurut pasal 111 RR".
Di dalam rapat tanggal 5 Maret 1913 pucuk pimpinan Indische Partij memutuskan untuk
mengubah bunyi pasal 2 tentang tujuan Indische Partij. Setelah diubah bunyinya menjadi
seperti berikut :
a. Memajukan kepentingan anggota di dalam segala lapangan, baik jasmani
maupun rohani.
b. Menambah kesentosaan kehidupan rakyat di Hindia Belanda.
c. Berdaya upaya menghilangkan segala rintangan dan Undang-undang Negara
yang menghalangi terciptanya tujuan, dan
d. Minta diadakan undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang menunjang
tercapainya tujuan.
Pada tanggal 5 Maret 1913 Indische Partij memajukan lagi untuk kedua kalinya anggaran
dasar agar dapat disahkan oleh pemerintah. Dengan surat keputusan tanggal 11 Maret 1913
Gubernur Jendral menolak anggaran dasar Indische Partij yang baru. Bunyi penolakan itu adalah
sebagai berikut "Menimbang bahwa perubahan yang diadakan pada pasal 2 anggaran dasar itu,
sekali-kali tidak bermaksud merubah dasar dan jiwa organisasi itu yang sebenarnya, sebagai
diterangkan di dalam surat keputusan tanggal 4 Maret 1913 No.1 maka kenyataan itu adalah
jelas daripada keterangan ketua organisasi, atas pertanyaan Cabang Indramayu yang tertulis di
dalam notulen persidangan tanggal 25 Desember 1912 dan dilampirkan di dalam surat
permohonan pcuk pimpinan Indische Partij tanggal 16 Maret 1913. Berhubung dengan itu,
pemerintah Hindia Belanda tetap menguatkan surat keputusan tanggal 4 Maret 1913".
Walaupun kemdian pucuk pimpinan Indische Partij beraudiensi kepada Gubernur
Jendral Idenburg untuk mengulangi permohonan badan hukum itu, tetapi pemerintah Hindia
Belanda tetap pada pendiriannya.
Dengan adanya penolakan itu berarti Indische Partij menjadi parta terlarang dan hanya
berusia 6 Bulan. Meskipun usianya pendek tetapi semangat dan jiwa Indische Partij tetap
mendapatkan tempat pada para pemimpin pergerakan saat itu.
Penangkapan dan Pengasingan
Pemerintah kolonial Belanda ingin merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari
jajahan Perancis pada tahun 1813. Negeri Belanda dikuasai Napoleon Bonaparte kaisar Perancis
(1805). Napoleon Bonaparte menempatkan saudaranya, Louis Napoleon menjadi Raja Belanda.
Melalui perang Koalisi VI (1813-1814) Rusia, Inggris, Australia, Spanyol, Prusia dan Negara-
negara Jerman dapat mengalahkan Napoleon Bonaparte dalam "Pertempuran bangsa-bangsa"
di Leipzig tahun 1813. Dengan runtuhnya kekuasaan Napoleon itu, Belanda menjadi Negara
merdeka, sesuai dengan isi perjanjian Perdamaian Paris I (1814).
Rencana perencanaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda di tanah jajahan ini
menimbulkan perasaan anti pati dan penghinaan terhadap rakyat jajahan. Untuk mengimbangi
niat pemerintah kolonial Belanda itu, didirikanlah di Bandung sebuah Komite yang dikenal
sebagai "Komite Boemi Poetra". Tujuan Komite itu adalah :
a. Mencabut pasal 111 RR.
b. Membentuk majelis perwakilan rakyat sejati.
c. Adanya kebebasan berpendapat di tanah jajahan.
Salah satu pemimpin Komite Boemi Poetra, R.M. Soewardi Soerjaningrat menulis
sebuah risalah dengan judul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya ak seorang Belanda). Di
dalam risalah itu ia menulis antara lain "…Seandainya Aku Seorang Belanda, masih belumlah
saya dapat berlaku sekehendak hati saya. Dengan sesungguhnya saya akan mengharap-harap,
semoga peringatan hari kemerdekaan itu, di pesta seramai-ramainya, tapi saya tidak akan
menyukai, jika anak-anak negeri dari tanah jajahan ini dibawa-bawa larut berpesta. Saya akan
melarang mereka turut bergembira dan bersuka ria di hari-hari keramaian itu, bahkan saya
akan meminta dip agar tempar berpesta, agar tidak ada seorang diantara anak-anak negeri
yang dapat terlihat, secara apa kita beriang-riang dalam memperingati hari kemerdekaan kita
itu.
Sejalan dengan aliran itu, bukan daja tidak adil, tapi terlebih lagi tidak patut, jika anak-
anak negeri disuruh menyumbang uang pula untuk turut membelanjai pesta itu. Jika mereka itu
telah diperhatikan dengan laku mengadakan pesta kemerdekaan untuk negeri Belanda,
sekarang orang bermaksud pula hendak mengosongkan kantong uangnya. Sesungguhnya, suatu
penghinaan lahir dan batin"
Tulisan R.M. Soewardi Soerjaningrat ini mendapat reaksi yang hebat dari pemerintah
kolonial Belanda. Terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan yang intensif terhadap Tiga Serangkai
oleh Kejaksaan. Dengan menggunakan "Hak Luar Biasa" (Exorbitante rechten) Gubernur
Jenderal Idenburg mengeluarkan surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 untuk mengasingkan
ketiga pemimpin Komite Boemi Poetra itu. Beberapa tempat ditunjuk untuk mereka. Kupang
untuk Tjipto Mangoenkoesoemo, Banda untuk R.M. Soewardi Soerjaningrat, dan Bengkulu
untuk Douwes Dekker. Disamping itu ditetapkan pula dalam surat keputusan tanggal 18
Agustus 1913 bahwa mereka bebas berangkat keluar Hindia Belanda. Mereka bertiga memilih
diasingkan di luar negeri, yaitu ke negeri Belanda. Mereka berangkat ke Negeri pengasingan
tanggal 6 September 1913. Hari keberangkatannya ini diproklamasikan sebagai "Hari Raya
Kebangsaan".
Dengan diasingkannya ketiga pimpinan tersebut, maka secara Organisatoris Indische
Partij tidak berperanan lagi di dalam pergerakan nasional Indonesia. Ternyata, pengasingan Tiga
Serangkai ke negeri Belanda berpengaruh amat kuat pada mahasiswa-mahasiswa Indonesia
yang belajar disana.
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Dr. Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai Dr. Danu Dirdjo Setia Budhi,
Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat yang kemudian terkenal dengan
nama Ki Hadjar Dewantara. EFE Douwes Dekker sendiri adalah cucu dari adik d Douwes Dekker
penulis buku yang cukup terkenal “Max Haveelar” yang memuat kisah-kisah penderitaan “Saija
dan Adinda” dengan menggunakan nama samaran Multatuli.
Sedangkan Dr. Cipto adalah anak seorang guru dan pernah dianugerahi bintang jasa
“Ridder in de Orde van Oranje Nassau” oleh Ratu Wilhelmina karena keberaniannya bertugas di
Kepajen dekat kota Malang tatkala berjangkit wabah pes disana. Ia seseorang yang pantang
menyerah dalam menggapai cita-citanya dan terkenal dengan semboyannya “rawe-rawe
rantas, malang-malang putung”. Dan Suwardi Suryaningrat adalah keturunan bangsawan, cucu
dari Sri Paku Alam III. Awalnya bersekolah di STOVIA, namun tidak selesai dan karena bakat
jurnalistiknya ia bersama Douwes Dekker mengasuh majalah “De Express”.
Menurut anggaran dasarnya, Indische Partij bermaksud membangun rasa cinta dalam
setiap hati orang Hindia terhadap bangsa dan tanah airnya. Hal ini dilakukan dengan cara
menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa
kebangsaan atau nasionalisme. Dan dalam hal ini mereka menganjurkan suatu nasionalisme
yang jauh lebih luas dari nasionalisme Boedi Oetomo. Dan cita-cita ini mereka ini
disebarluaskan melalui Harian De Express.
Mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang Hindia itu. Indische Partij berpendapat
bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumi putera saja, tetapi Indo-Belanda, Indo-Cina, Indo-Arab
dan orang-orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya.
Oleh karena itu sejarawan Ricklefs (2006) mengatakan bahwa Indische Partij yang sebagian
besar anggotanya adalah orang-orang Indo-Eropa, merupakan satu-satunya partai yang lebih
banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme (Indonesia) daripada dalam kerangka Islam,
Marxisme ataupun ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit.
Pada tahun 1913, ketika Belanda merayakan seratus tahun kemerdekaannya . Soewardi
Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam Harian De Express (edisi 19 Juli) yang berjudul “Als
ik eens Nerdelander was” (Sekiranya saya menjadi seorang Belanda). Isi tulisan tersebut kurang
lebih sebagai berikut:
“Sekiranya saya seorang Belanda, maka saya tidak akan merayakan pesta-pesta kemerdekaan di
dalam suatu negeri yang kami sendiri tidak sudi memberikan kemerdekaan negeri itu”
Akibatnya, oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur
Jenderal A.F. van Idenburg, artikel itu dianggap menghasut dan akhirnya tiga serangkai
diasingkan ke negeri Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto
tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah” De Indier” yang berupaya menyadarkan
masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.
Para tokoh Indiche Partij kemudian kembali ke Hindia Belanda pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal J.P. Count of Limburg Stirum (1916-1921). Dr. Cipto sendiri telah kembali
pada tahun 1914 karena alasan kesehatan. Setelah kembali, Douwes Dekker bergerak di bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah yang diberi nama “Institut Ksatrian” yang berpusat di
Bandung. Ki Hadjar Dewantara mengikuti jejak Douwes Dekker dengan mendirikan “Taman
Siswa” di Yogyakarta. Sedangkan Dr. Cipto sendiri membuka praktek dokter di Bandung dan
sempat menjadi anggota Volksraad tahun 1918.
Kemudian Indische Partij berubah namanya menjadi “Insulinde”. Dr. Cipto menjadi
anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk
Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk
kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,
kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat
kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Dr. Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula
berjumlah 1.000 orang meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota
Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di
bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919
Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP)
Akan tetapi NIP rupanya tidak mendapat sambutan yang luas di masyarakat bumi putera
karena masih banyak pemuda bumi putera yang takut secara terang-terangan menyatakan
kemerdekaannya dan pihak Indo-Belanda masih ingin mempertahankan hak prerogatifnya
sebagai warga negara kelas satu. Akibatnya banyak orang-orang Indo-Belanda yang keluar dari
NIP dan membentuk partai sendiri yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri yaitu “Indo-
Europeesch Verbong” (IEV).
Meskipun banyak ditinggalkan oleh anggotanya, sepak terjang tiga serangkai tidaklah
surut. Kegiatan-kegiatan dalam bentuk tulisan dan propaganda yang dilakukan oleh ketiganya
memperjuangkan kemerdekaan dan nasionalisme Hindia tetap merupakan ancaman bagi
pemerintah kolonial, sehingga demikian pada tahun 1921 Nationaal-Indische Partij (NIP)
dibubarkan.
DAFTAR PUSTAKA
href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a22ad6b1&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img
src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=471&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a22ad6b1' border='0' alt='' /></a>