Indikator Dalam Proses Keperawatan Komunitas(2).Docfix
-
Upload
muhammad-reza-arif-rahman -
Category
Documents
-
view
71 -
download
3
description
Transcript of Indikator Dalam Proses Keperawatan Komunitas(2).Docfix
-
INDIKATOR DALAM PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS
No. Topik Masalah
Keperawatan
Indikator
Daerah/ Kabupaten Malang Nasional Internasional
1. Kesehatan
Remaja
Indikator Kesehatan Remaja
Kota Malang:
Cakupan pelayanan
kesehatan remaja (80%)
Upaya penyuluhan P3
NAPZA oleh petugas
kesehatan ( 15%)
Puskesmas yang memiliki PKPR memberikan
layanan baik di dalam maupun di luar gedung
yang ditujukan bagi kelompok remaja berbasis
sekolah ataupun masyarakat. Hal ini dilakukan
agar layanan yang diberikan dapat menjangkau
semua kelompok remaja (10-19 tahun). Kriteria
yang ditetapkan bagi Puskesmas yang mampu
laksana PKPR yaitu:
1. Melakukan pembinaan pada minimal 1
sekolah (sekolah umum, sekolah berbasis
agama) dengan melaksanakan kegiatan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) di
sekolah binaan minimal 2 kali dalam
setahun;
2. Melatih Kader Kesehatan Remaja di
sekolah minimal sebanyak 10% dari jumlah
murid di sekolah binaan; dan
3. Memberikan pelayanan konseling pada
semua remaja yang memerlukan konseling
Berdasarkan WHO, indikator kesehatan
remaja bisa dilihat dari MDG`s poin 6, yang
meliputi :
Target 6A :
6.1 Prevalensi HIV diantara populasi yang
berusia 15-24 tahun.
6.2 Penggunaan kondom diantara kelompok
seks risiko tinggi.
6.3 Proporsi populasi berusia 15-24 tahun
dengan pengetahuan komprehensiv yang
tepat mengenai HIV/AIDS.
6.4 Rasio kehadiran sekolah anak yatim
sampai kehadiran sekolah anak tidak yatim
usia 15-24 tahun.
Target 6B :
6.5 Proporsi populasi dengan HIV lanjutan
dengan akses ke obat antiretroviral.
-
yang kontak dengan petugas PKPR.
Berdasarkan target tahun 2012 yang
ditentukan oleh program yaitu 70%
2. Kesehatan
Anak Usia
Sekolah
Meningkatnya pelayanan
kesehatan anak pra sekolah dan
usia sekolah, dengan indikator
sasaran sebagai berikut :
a. Meningkatnya deteksi dini
tumbuh kembang anak balita
dan pra sekolah 90%.
b. Meningkatnya pemeriksaan
kesehatan siswa SD dan
setingkat oleh tenaga
kesehatan atau tenaga
terlatih/guru UKS / dokter
kecil 100%.
c. Meningkatnya pemeriksaan
kesehatan siswa SD dan
setingkat kelas 1 oleh tenaga
kesehatan atau tenaga
terlatih/guru UKS / dokter
kecil 80%.
d. Meningkatnya pelayanan
Upaya kesehatan pada kelompok ini yang
dilakukan melalui penjaringan kesehatan
terhadap murid SD/MI kelas I juga menjadi
salah satu indikator yang dievaluasi
keberhasilannya melalui Renstra Kementerian
Kesehatan. Melalui kegiatan penjaringan
kesehatan diharapkan bisa mengatasi
permasalahan kesehatan pada anak usia
sekolah yaitu pelaksanaan Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS) seperti menggosok
gigi dengan baik dan benar, mencuci tangan
menggunakan sabun, karies gigi, kecacingan,
kelainan refraksi/ketajaman penglihatan dan
masalah gizi.
Kegiatan penjaringan kesehatan ini terdiri dari :
1. Pemeriksaan kebersihan perorangan
(rambut, kulit dan kuku)
2. Pemeriksaan status gizi melalui
pengukuran antropometri
Memastikan pada 2015 semua anak
dimanapun, laki-laki maupun perempuan,
dapat menyelesaikan seluruh pendidikan
dasar
1. Angka Partisipasi Murni Sekolah Dasar
(APM SD)
2. Angka Partisipasi Murni di Sekolah
Menenga Pertama (APM-SMP)
3. Proporsi Murid Kelas 1 yang Berhasil
Mencapai Kelas 5
4. Proporsi Murid Kelas 1 yang Berhasil
Menamatkan Sekolah Dasar
5. Proporsi Murid Kelas 1 yang Berhasil
Menyelesaikan Sembilan Tahun
pendidikan Dasar
6. Angka Melek Huruf (AMH) Penduduk
Usia 15-24 tahun
-
kesehatan remaja.
Cakupan pemeriksaan
kesehatan siswa SD dan
setingkat oleh tenaga kesehatan
atau tenaga terlatih / guru
UKS/Dokter Kecil (100%)
3. Pemeriksaan ketajaman indera
(penglihatan dan pendengaran)
4. Pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut
5. Pemeriksaan laboratorium untuk anemia
dan kecacingan
6. Pengukuran kebugaran jasmani
7. Deteksi dini masalah mental emosional.
Melalui penjaringan kesehatan diharapkan
siswa SD/sederajat kelas 1 yang memiliki
masalah kesehatan mendapatkan penanganan
sedini mungkin. Penjaringan kesehatan dinilai
dengan menghitung persentase SD/MI yang
melakukan penjaringan kesehatan terhadap
seluruh SD/MI yang menjadi sasaran
penjaringan. Cakupan SD atau sederajat yang
melaksanakan penjaringan kesehatan untuk
siswa kelas 1 target Renstra 2012 sebesar
92%.
Dalam bidang kesehatan, tindakan kekerasan
melakukan intrevensi dalam bentuk
penyediaan akses pelayanan kesehatan bagi
-
korban kekerasan pada anak yang terdiri dari
pelayanan di tingkat dasar melalui puskesmas
mampu tatalaksana kekerasan terhadap anak
dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di rumah
sakit untuk penanganan kasus rujukan.
Puskesmas yang mampu tatalaksana
kekerasan terhadap anak memberikan
pelayanan penanganan gawat darurat,
konseling, medikolegal dan rujukan (medis dan
psikososial). Rumah sakit sebagai penyedia
pelayanan kesehatan rujukan juga memiliki
peran terhadap penatalaksanaan kasus
kekerasan terhadap anak melalui pelayanan
terpadu. Pelayanan terpadu di Rumah Sakit
memberikan pelayanan spesialistik, IGD,
perawatan, medikolegal dan psikososial
(bantuan hukum dan perlindungan sosial
bagi anak melalui panggilan telepon pada
saat diperlukan).
Puskesmas mampu tatalaksana kasus
kekerasan terhadap anak memiliki 2 kriteria
yaitu :
-
1. Memiliki tenaga kesehatan terlatih
/terorientasi tata laksana kasus KtA
2. Melaksanakan rujukan medis maupun
psikososial
Persentase kabupaten/kota dengan minimal 2
Puskesmas mampu tatalaksana KtA di
Indonesia pada tahun 2012 sebesar 71,63%.
3. Kesehatan Ibu
dan Anak
Pelayanan kesehatan Ibu dan
Bayi :
Cakupan kunjungan Ibu hamil
K4 (95%) pada tahun 2015
Cakupan pertolongan
persalinan oleh Bidan atau
tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi
kebidanan (90%)
Ibu hamil risiko tinggi yang
dirujuk (100%)
Cakupan kunjungan neonatus
(90%)
Cakupan kunjungan bayi
(90%)
Indikator Kesehatan Ibu:
- Cakupan ibu hamil yang mendapatkan
pelayanan antenatal pertama (K1) 89,54%
- Cakupan ibu hamil yang mendapatkan
pelayanan antenatal 4x (K4) 95%
- Persalinan yang di tolong oleh tenaga
kesehatan (PN) 80%
- Cakupan Kunjungan Nifas (NF) 90%
- Komplikasi Obstetrik (PK) 100%
- kematian ibu dan cakupan peserta KB aktif
70%
- cakupan pelayanan kesehatan dasar
masyarakat miskin 100%
- cakupan desa siaga aktif 80%
Indikator Kesehatan Anak:
MDGs
Goal 4: Menurunkan Angka Kematian
Anak
Target 4a: Mengurangi 2/3 angka kematian
balita dalam kurun waktu 1990 dan 2015.
Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000
kelahiran hidup 1991:68%, 2007:34%,
2015:23%
Kematian bayi adalah kematian yang
terjadi antara saat setelah bayi lahir
sampai bayi belum berusia tepat satu
tahun. Banyak faktor yang dikaitkan
dengan kematian bayi. Secara garis
besar, dari sisi penyebabnya, kematian
bayi ada dua macam yaitu endogen dan
-
Cakupan bayi berat lahir
rendah / BBLR yang ditangani
(100%)
Desa/ Kelurahan Universal
Child Immunization (UCI)
(100%)
Cakupan ibu hamil mendapat
90 tablet Fe (90%)
Akses terhadap ketersediaan
darah dan komponen yang
aman untuk menangani
rujukan ibu hamil dan
neonatus (80%)
Ibu hamil risiko tinggi/
komplikasi yang ditangani
(80%)
Neonatal risiko tinggi/
komplikasi yang ditangani
(80%)
Cakupan Komplikasi
Kebidanan : 80 %
Cakupan Pelayanan Nifas
- Angka kematian balita per 1.000
kelahiranhidup
- Angka kematian bayi (AKB) per 1.000
kelahiran hidup
Cakupan Neonatus dengan komplikasi
yang ditangani 80%
- Cakupan Kunjungan Bayi 90%
- Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child
Imunization 100%
- Persentase anak usia 1 tahun yang
diimunisasi campak 99,3%
- Cakupan Kunjungan Bayi 90%
( SPM yang ditentukan Depkes PP 65/2005)
Beberapa indikator pemantauan program KIA
yang dipakai untuk PWS KIA meliputi indikator
yang dapat menggambarkan keadaan dalam
program pokok KIA sebagai, antara lain :
Akses pelayanan antenatal (K1)
Adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali
mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga
kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun
eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum
disebut dengan kematian neonatal;
adalah kematian bayi yang terjadi pada
bulan pertama setelah dilahirkan, dan
umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
yang dibawa anak sejak lahir, yang
diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian
post neo-natal, adalah kematian bayi
yang terjadi setelah usia satu bulan
sampai menjelang usia satu tahun yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang
bertalian dengan pengaruh lingkungan
luar.
Salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi atau rendahnya angka kematian
bayi di suatu daerah adalah tersedianya
fasilitas kesehatan bagi masyarakatnya.
Penurunan AKB tersebut antara lain
disebabkan oleh peningkatan cakupan
imunisasi bayi, peningkatan cakupan
-
90% waktu tertentu. Indikator akses ini digunakan
untuk mengetahui jangkauan pelayanan
antenatal serta kemampuan program dalam
menggerakkan masyarakat.
Pelayanan antenatal diupayakan agar
memenuhi standar kualitas 7 T, yaitu :
1. Penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan;
2. Pengukuran tekanan darah;
3. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus
uteri);
4. Penentuan status imunisasi tetanus dan
pemberian imunisasi tetanus toksoid
1. sesuai status imunisasi;
5. Pemberian tablet tambah darah minimal 90
tablet selama kehamilan;
6. Pelaksanaan temu wicara (pemberian
komunikasi interpersonal dan konseling,
2. termasuk keluarga berencana); serta
7. Pelayanan tes laboratorium sederhana,
minimal tes hemoglobin darah (Hb) dan
3. pemeriksaan golongan darah (bila belum
pernah dilakukan sebelumnya).
persalinan oleh tenaga kesehatan,
penempatan bidan di desa dan
meningkatnya proporsi ibu dengan
pendidikan yang tinggi.
Angka Kematian Balita (AKBA) per 1000
kelahiran hidup 1991:97%, 2007:44%,
2015:32%
Angka Kematian Balita adalah jumlah
kematian anak berusia 0-4 tahun selama
satu tahun tertentu per 1000 anak umur
yang sama pada pertengahan tahun itu
(termasuk kematian bayi).
Angka Kematian Neonatal per 1000
kelahiran hidup 1991:32%, 2007:19%
Proporsi anak-anak berusia 1 tahun
diimunisasi campak 1991:44.5%,
2007:67%
Proporsi anak usia 12-23 bulan yang
telah diimunisasi campak 1991:57.5%,
2007:76.4%
Goal 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target 5A: Menurunkan Angka Kematian
-
Target Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan sebesar 90%
Cakupan pelayanan ibu hamil (K4)
Adalah cakupan ibu hamil yang telah
memperoleh pelayanan antenatal sesuai
dengan standar, paling sedikit empat kali
dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester
ke-1, 1 kali pada trimester ke2 dan 2 kali pada
trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat
diketahui cakupan pelayanan antenatal secara
lengkap (memenuhi standar pelayanan dan
menepati waktu yang ditetapkan), yang
menggambarkan tingkat perlindungan ibu
hamil di suatu wilayah, di samping
menggambarkan kemampuan manajemen
ataupun kelangsungan program KIA.
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
(PN)
Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
Ibu hingga dalam Kurun Waktu
1990-2015
Angka Kematian Ibu per 100.000
kelahiran hidup 1991:390, 2007:228,
2015:102
Kematian ibu adalah kematian
perempuan pada saat hamil atau
kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak
terminasi kehamilan tanpa memandang
lamanya kehamilan atau tempat
persalinan, yakni kematian yang
disebabkan karena kehamilannya atau
pengelolaannya, tetapi bukan karena
sebab-sebab lain seperti kecelakaan,
terjatuh dll.
Salah satu faktor penting untuk
menciptakan sumber daya perempuan
yang berkualitas adalah dengan
meningkatkan derajat kesehatan
perempuan itu sendiri, pembangunan di
bidang kesehatan khususnya pelayanan
untuk kaum perempuan, seharusnya tidak
boleh tertinggal dibandingkan
-
yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu
wilayah kerja dalam kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diperkirakan
proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga
kesehatan dan ini menggambarkan
kemampuan manajemen program KIA dalam
pertolongan persalinan sesuai standar.
Target Renstra Kementerian Kesehatan
sebesar 88%.
Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga
kesehatan (KF3)
Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada
masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca
bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali
dengan distribusi waktu 6 jam 3 hari, 8 14
har dan 36 42 har setelah bersalin di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan menggunakan indikator tersebut,
dapat diketahui cakupan pelayanan nifas
secara lengkap (memenuhi standar pelayanan
dan menepati waktu yang ditetapkan), yang
menggambarkan jangkauan dan kualitas
pembangunan di sektor lain. Secara
nasional, permasalahan kesehatan
perempuan masih sangat menonjol.
Salah satu indikator yang dapat dijadikan
alat untuk mengukur kualitas kesehatan
perempuan adalah dengan Angka
Kematian Ibu atau Maternal Motality Rate
(MMR) sangat erat hubungannya dengan
tingkat kesadaran prilaku hidup sehat,
status gizi dan kesehatan ibu serta tingkat
pelayanan kesehatan ibu terutama pada
saat ibu hamil, bersalin dan masa nifas.
Apabila dilihat dari tahun ketahun angka
kematian ibu menunjukan hasil yang baik,
sebab adanya penurunan yakni tahun
2004 berjumlah 53, untuk tahun 2005
turun menjadi 40 orang, dan berdasarkan
laporan yang masuk tahun 2006 adalah
49 orang.
Proporsi Kelahiran yang ditolong tenaga
kesehatan terlatih 1994:47.2%,
2009:77.4%, 2014:90%
Dalam usaha peningkatan derajat
-
pelayanan kesehatan ibu nifas, di samping
menggambarkan kemampuan manajemen
ataupun kelangsungan program KIA.
Jenis pelayanan kesehatan ibu nifas yang
diberikan meliputi :
a. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah,
nadi, nafas, dan suhu);
b. Pemeriksaan tinggi puncak rahim (fundus
uteri);
c. Pemeriksaan lokhia dan cairan per vaginam
lain;
d. Pemeriksaan payudara dan pemberian
anjuran ASI eksklusif;
e. Pemberian komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) kesehatan ibu nifas dan bayi
b. baru lahir, termasuk keluarga berencana;
a. Pelayanan keluarga berencana pasca
persalinan.
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
(SPM) menetapkan target pelayanan nifas
pada tahun 2015 sebesar 90%.
Cakupan pelayanan neonatus pertama (KN
kesehatan terutama dalam program
peningkatan kesehatan ibu dan anak,
tenaga terlatih yang menjadi penolong
atau penyedia layanan kesehatan
merupakan kewajiban yang harus
disiapkan pemerintah. Melalui
serangkaian program pemerintah, usaha
menyiapkan tenaga kesehatan mulai dari
perawat, bidan dan dokter sudah
dilakukan dengan optimal. Tenaga
penolong kelahiran merupakan prioritas
pertama untuk meningkatkan kualitas
sekaligus usaha menekan angka
kematian ibu dan anak pada saat
melahirkan. Namun dalam
masyarakat,terdapat beberapa sosok
yang dikenal sebagai tenaga penolong
persalinan, mulai dari sosok yang terdidik
seperti dokter kandungan, bidan,
perawat, sampai tenaga yang bukan
terdidik seperti dukun beranak yang
menggunakan metode tradisional.
Penolong persalinan bayi dapat dijadikan
-
1)
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan
pelayanan sesuai standar pada 6 48 jam
setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat
diketahui akses/jangkauan pelayanan
kesehatan neonatal.
Cakupan pelayanan neonatus Lengkap (KN
Lengkap).
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan
pelayanan sesuai standar sedikitnya tiga kali
yaitu 1 kali pada 6 48 jam, 1 kali pada hari ke
3 har ke 7 dan 1 kal pada hari ke 8 har ke
28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini
dapat diketahui efektifitas dan kualitas
pelayanan kesehatan neonatal.
Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh
Masyarakat
Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko
atau komplikasi yang ditemukan oleh kader
salah satu indikator kesehatan, terutama
dalam hubungannya dengan tingkat
kesejahteraan ibu dan pelayanan
kesehatan secara umum. Dilihat dari
kesehatan ibu, persalinan oleh tenaga
medis seperti dokter atau bidan dapat
dianggap lebih baik daripada penolong
kelahiran yang lain.
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan
reproduksi bagi semua pada tahun 2015
Tingkat pemakaian kontrasepsi/
Contraceptive Prevalence Rate (CPR)
1991:49.7%, 2007:61.4%
Program Keluarga Berencana (KB) yang
mempunyai slogan 2 Anak Cukup!
Dicanangkan pemerintah sebagai usaha
untuk mengendalikan pertumbuhan
penduduk serta meningkatkan kesehatan
ibu dan anak. Dengan KB, keluarga
Indonesia atau pasangan usia subur
didorong untuk merencanakan
kehamilan/kelahiran, menjarangkan
-
atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk
ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu. Indikator ini
menggambarkan peran serta dan keterlibatan
masyarakat dalam mendukung upaya
peningkatan kesehatan ibu hamil, bersalin dan
nifas.
Cakupan Penanganan komplikasi Obstetri
(PK)
Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi
kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu yang ditangani secara definitif
sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan
kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan
rujukan. Penanganan definitif adalah
penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk
menyelesaikan permasalahan setiap kasus
komplikasi kebidanan. Indikator ini mengukur
kemampuan manajemen program KIA dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara professional kepada ibu hamil bersalin
dan nifas dengan komplikasi.
kelahiran agar kualitas kesehatan anak,
ibu dan keluarga mencapai hasil
maksimal.
CPR cara modern pada wanita usia
15-49 tahun 1991:47.1%, 2007:57.4%
Tingkat kelahiran pada remaja per 1000
perempuan usia 15-19 tahun 1991: Kota
(39), Desa (82); 2007: Kota (26), Desa
(74)
Cakupan Pelayanan Antenatal (K1 dan
K4) 1995: K1 (85%), K4 (64.8%); 2007:
K1 (92.7%), K4 (86%)
Unmet need KB 1991: 12.7%, 2007:
9.1%
-
Neonatus dengan komplikasi yang
ditangani
Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi
yang ditangani secara definitif oleh tenaga
kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan
dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu. Penanganan definitif
adalah pemberian tindakan akhir pada setiap
kasus komplikasi neonatus yang pelaporannya
dihitung 1 kali pada masa neonatal. Kasus
komplikasi yang ditangani adalah seluruh
kasus yang ditangani tanpa melihat hasilnya
hidup atau mati. Indikator ini menunjukkan
kemampuan sarana pelayanan kesehatan
dalam menangani kasus kasus
kegawatdaruratan neonatal, yan kemudian
ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya,
atau dapat dirujuk ke tingkat pelayanan yang
lebih tinggi.
Cakupan kunjungan bayi (29 hari 11 bulan)
Adalah cakupan bayi yang mendapatkan
-
pelayanan paripurna minimal 4 kali yaitu 1 kali
pada umur 29 hari 2 bulan 1 kal pada umur 3
bulan, dan satu kali pada umur 6 8 bulan
dan 1 kal pada umur 9 11 bulan sesuai
standar di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat
diketahui efektifitas, continuum of care dan
kualitas pelayanan kesehatan bayi.
Cakupan pelayanan anak balita (12 59
bulan).
Adalah cakupan anak balita (12 59 bulan)
yang memperoleh pelayanan sesuai standar,
meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x
setahun, pemantauan perkembangan minimal
2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x setahun
Sedangkan data yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan PWS KIA menurut
Pedoman Pengawasan Wilayah Setempat
Kesehatan Ibu dan Anak ( PWS KIA (2009),
meliputi data sasaran (jumlah ibu hamil, jumlah
ibu bersalin, jumlah ibu nifas, jumlah bayi,
jumlah anak balita, jumlah Wanita Usia Subur)
-
dan data pelayanan KIA. Setiap bulan bidan di
desa mengolah data yang tercantum dalam
buku kohort dan register kemudian dijadikan
sebagai bahan laporan bulanan KIA. Langkah
pengolahan data meliputi pembersihan data
(melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian
formulir yang tersedia), validasi (melihat
kebenaran dan ketepatan data) dan
pengelompokan (sesuai dengan kebutuhan
data yang harus di laporkan).
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2010-2014, ditargetkan pada
akhir tahun 2014 di setiap kabupaten/kota
terdapat minimal 4 (empat) Puskesmas
rawat inap mampu PONED dan 1 (satu)
Rumah Sakit Kabupaten/Kota yang mampu
melaksanakan PONEK
4. Gizi Balita Indikator Gizi Balita tingkat
Kabupaten Malang:
1. Cakupan balita mendapat
kapsul vitamin A 2 kali per
tahun (90%);
23 per 1.000 kelahiran hidup di tahun 2015.
Millenium Development Goals (MDGs)
menetapkan nilai normatif AKABA, yaitu
sangat tinggi dengan nilai > 140 per 1.000
kelahiran hidup, tinggi dengan nilai 71-140
MDGs
Goal 1: Memberantas Kemiskinan dan
Kelaparan
Target 1a: Menurunkan % penduduk yang
-
2. Cakupan ibu hamil mendapat
90 tablet Fe (90%);5
3. Cakupan pemberian
makanan pendamping ASI
pada bayi Bawah Garis
Merah dari keluarga miskin
(100%);
4. Balita gizi buruk mendapat
perawatan (100%).
5. Balita yang naik berat
badannya 80%.
6. Balita bawah garis merah
-
Z-score yaitu :
a. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan indikator
BB/U :
Gizi Buruk : Zscore < -3,0
Gizi Kurang : Zscore >= -3,0 s/d Zscore <
-2,0
Gizi Baik : Zscore >= -2,0 s/d Zscore 2,0
b. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan
indikator TB/U:
Sangat Pendek: Zscore < -3,0
Pendek : Zscore >=- 3,0 s/d Zscore <
-2,0
Normal : Zscore >= -2,0
c. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan
indikator BB/TB:
Sangat Kurus : Zscore < -3,0
Kurus : Zscore >= -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore >= -2,0 s/d Zscore <
=2,0
Gemuk : Zscore > 2,0
-
d. Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan
gabungan indikator TB/U dan BB/TB:
Pendek-Kurus : Zscore TB/U < -2,0 dan
ZScore BB/TB < -2,0
Pendek- Normal : Zscore TB/U < -2,0
dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
Pendek- Gemuk : Zscore TB/U < -2,0
dan Zscore BB/TB > 2,0
TB Normal- Kurus : Zscore TB/U > =
-2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
TB Normal - Normal : Zscore TB/U >=
-2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d
2,0
TB Norma l- Gemuk : Zscore TB/U >=
-2,0 dan Zscore BB/TB > 2,0
( Riskesdas, 2010 ) 2.1
2) Indikator status gizi balita
1. cakupan balita mendapat kapsul vitamin
A 2 kali per tahun (90%)
2. cakupan pemberian makanan
pendamping ASI pada bayi gizi kurang
dari keluarga miskin(100%)
-
3. balita yang naik berat badannya (80 %)
4. balita Bawah Garis Merah (< 15 %)
5. balita gizi buruk mendapat perawatan
sesuai dengan standar tata laksana gizi
buruk (100%)
6. balita ditimbang (D/S)
7. balita gizi buruk
berdasarkan indeks Berat Badan
menurut Panjang Badan (BB/PB) atau
Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB) dengan nilai Z score < - 3 SD
dan/atau terdapat tanda klinis gizi buruk
lainnya. Tanda klinis gizi buruk yaitu
kwarshiorkor, marasmus dan
kwarshiorkor-marasmus
8. cakupan ASI Eksklusif
9. anak 6 24 bulan gizi kurang
10. balita gizi kurang
11. gizi buruk ditangani
12. vitamin A 6 59 bulan
jumlah bayi usia 6 11 bulan yang
mendapat 1 (satu) kapsul vitamin A yang
mengandung vitamin A dosis tinggi, yaitu
-
100.000 satuan Internasional (SI) untuk
bayi.
13. anak 6 24 bulan gizi kurang dapat MP
ASI
14. konsumsi garam beryodium
( Depkes, 2012 )
5. Penyakit TB 1. Kesembuhan penderita TBC
bta positif >85%
2. Persentase kasus baru TB
Paru (BTA positif) yang
disembuhkan 90%
( SPM yang ditentukan Depkes
PP 65, 2005 )
Indikator :
Angka kejadian tuberkulosis (insiden
semua kasus/ 100.000 penduduk/ tahun)
Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang
terdeteksi dalam program DOTS (CDR
70%)
Proporsi angka kesembuhan penderita
(cure rate 85%)
Proporsi kasus Tuberkulosis yang berhasil
diobati dalam program DOTS (success
rate 96%)
Persentase kasus baru TB Paru (BTA
positif) yang disembuhkan 90,2%
Jumlah kasus TB per 100.000 penduduk
187
Proporsi Jumlah kasus TB yang terdeteksi
WHO menetapkan standar angka
penemuan kasus sebesar 70%.
Angka keberhasilan pengobatan (SR) ini
juga telah memenuhi target keberhasilan
pengobatan yang distandarkan oleh
WHO yaitu minimal 85%.
MDGs
Goal 6: Mengendalikan HIV dan AIDS,
Malaria dan Penyakit Menular Lainnya
(TB)
Target 6C: Mengandalikan penyebaran dan
mulai menurunkan jumlah kasus baru
Malaria dan penyakit utama lainnya
(Tuberculosis) hingga tahun 2015.
Angka kejadian Tuberculosis (semua
-
dalam program DOTS 84.40%
( Kemenkes RI, 2013 )
1. Angka Penjaringan
Adalah jumlah suspek yang diperiksa
dahaknya diantara 100.000 penduduk
pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun.
Angka ini digunakan untuk mengetahui
akses pelayanan dan upaya penemuan
pasien dalam suatu wilayah tertentu,
dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan). Jumlah suspek yang
diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar
suspek UPK yang tidak mempunyai
wilayah cakupan penduduk, misalnya
rumah sakit, BP4 atau dokter praktek
swasta, indikator ini tidak dapat dihitung
Rumus :
x 100.000
2. Proporsi pasien TB BTA Positif Suspek
Proporsi Pasien BTA (+) adalah
persentase pasien BTA positif yang
ditemukan diantara seluruh suspek yang
kasus/ 100.000 penduduk/ tahun)
1990:343, saat ini:228
Tingkat prevalensi Tuberkulosis (per
100.000 penduduk) 1990:443, saat
ini:224
Tingkat kematian karena Tuberculosis
per 100.000 penduduk 1990:92, saat
ini:39
Proporsi kasus TB yang ditemukan
melalui DOTS 2000:19.7%, saat ini:70%
Proporsi kasus TB yang disembuhkan
melalui DOTS (cure rate) 2000:71.6%,
saat ini:80.9%
-
diperiksa dahaknya. Angka ini
menggambarkan mutu dari proses
penemuan sampai diagnosis pasien, serta
kepekaan menetapkan kriteria suspek
Rumus :
x 100%
3. Proporsi pasien TB paru BTA Positif
diantara semua pasien TB paru tercatat
Adalah persentase pasien Tuberkulosis
paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini
menggambarkan prioritas penemuan
pasien Tuberkulosis yang menular
diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru
yang diobati.
Rumus :
x 100%
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari
65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah dan kurang
memberikan prioritas untuk menemukan
pasien yang menular (pasien BTA Positif).
4. Proporsi pasien TB anak diantara
-
seluruh pasien TB
Adalah persentase pasien TB anak (
-
kecenderungan keberhasilan pengobatan
dan untuk mengetahui apakah
pengawasan langsung menelan obat
dilakukan dengan benar.
Rumus :
x 100%
Angka minimal yang harus dicapai adalah
80 %. Angka konversi yang tinggi akan
diikuti dengan angka kesembuhan yang
tinggi pula. Selain dihitung angka konversi
pasien baru TB paru BTA positif, perlu
dihitung juga angka konversi untuk pasien
TB paru BTA positif yang mendapat
pengobatan dengan kategori dua.
6. Angka kesembuhan (Cure rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang
menunjukkan persentase pasien TB BTA
positif yang sembuh setelah selesai masa
pengobatan, diantara pasien TB BTA
positif yang tercatat. Angka kesembuhan
dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA
positif yang mendapat pengobatan
kategori 1/pasien BTA positif pengobatan
-
ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung
untuk mengetahui keberhasilan program
dan
masalah potensial, dengan rumus:
Rumus :
x 100%
7. Kesalahan Laboratorium
Indikator kesalahan laboratorium
menggambarkan mutu pembacaan
sediaan secara mikroskopis langsung
laboratorium pemeriksa pertama
Pada dasarnya kasalahan laboartorium
dihitung pada masing-masing laboratorium
pemeriksa, di tingkat kabupaten/kota.
Kabupaten/kota harus menganalisa jumlah
laboratorium pemeriksa yang ada di
wilayahnya yang melaksanakan uji
silang, disamping menganalisa kesalahan
pembacaan sediaan setiap laboratorium
baik pada PRM/PPM/RS/BP4 maupun
UPK yang lain, supaya dapat mengetahui
mutu pemeriksaan sediaan dahak secara
mikroskopis. Bagi laboratorium yang
-
memiliki kesalahan yang tidak dapat
diterima, maka perlu dilakukan tindakan
perbaikan.
8. Angka notifikasi kasus
Adalah angka yang menunjukkan jumlah
pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu
wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan
kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ke tahun di wilayah tersebut, dengan
rumus:
Rumus :
x 100%
Angka ini berguna untuk menunjukkan
"trend" atau kecenderungan meningkat
atau menurunnya penemuan pasien pada
wilayah tersebut.
9. Angka penemuan kasus
Adalah persentase jumlah pasien baru
BTA positif yang ditemukan dibanding
jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
-
Case Detection Rate menggambarkan
cakupan penemuan pasien baru BTA
positif pada wilayah tersebut,dengan
rumus:
Rumus :
x 100%
Target Case Detection Rate Program
Penanggulangan Tuberkulosis Nasional
minimal 90%.
10. Angka keberhasilan pengobatan
Angka kesembuhan adalah angka yang
menunjukkan persentase pasien TB BTA
positif yang menyelesaikan pengobatan
(baik yang sembuh maupun pengobatan
lengkap) diantara pasien TB BTA positif
yang tercatat. Dengan demikian angka ini
merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
6. Penyakit DBD Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit
Demam Berdarah Dengue
(DBD) :
Target rencana strategi Kementerian
Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun
2014 sebesar
-
- Penderita DBD yang
ditangani (80%).
- Angka kesakitan penderita
DBD per 100.000 penduduk
22%
- Rumah/bangunan bebas
jentik nyamuk Aedes
(>95%)1
- Incident Rate DBD (per
100.000) < 20
- CFR/Angka Kematian DBD
(per 100.000) < 2
Upaya pengendalian penyakit DBD secara
umum terdiri dari :
1. Peningkatan kegiatan surveilans penyakit
dan surveilans vektor;
2. Diagnosis dini dan pengobatan dini; dan
3. Peningkatan upaya pemberantasan vektor
penular penyakit DBD.
Upaya pemberantasan vektor dilakukan
melalui kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). Kegiatan ini dilakukan melalui
pengasapan dengan insektisida dalam 2
siklus. Pada siklus pertama semua nyamuk
yang mengandung virus dengue dan
nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Namun,
akan muncul nyamuk-nyamuk baru yang
berasal dari jentik yang memang tidak dapat
dibasmi pada siklus pertama. Oleh karena itu
perlu dilakukan penyemprotan siklus kedua.
Penyemprotan yang kedua dilakukan 1 minggu
sesudah penyemprotan yang pertama agar
nyamuk yang baru tersebut akan terbasmi
sebelum sempat menularkan kepada orang
lain. Untuk mengetahui efektivitas PSN maka
25% pada tahun 2020.
3. Memperkirakan beban penyakit akibat
DBD pada tahun 2015.
-
dilakukan pemeriksaan jentik berkala (PJB).
Kegiatan PJB menghasilkan indikator
Angka Bebas Jentik (ABJ) yang
menggambarkan kepadatan jentik. Capaian
ABJ pada tahun 2012 mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2011 yaitu dari 76,2%
menjadi 79,3%.
7. Penyakit
Hipertensi
- Menurunnya angka kematian
(mortalitas) penderita
(Penyakit Tidak Menular)
PTM utama.
- Menurunnya angka
kesakitan (morbiditas)
penderita PTM utama.
- Menurunnya angka
kecacatan (disabilitas)
penderita PTM utama.
- Menurunnya angka faktor
risiko bersama PTM utama.
- Penurunan 3 faktor risiko
utama PTM (merokok,
kurang aktifitas fisik dan
konsumsi rendah serat).
PEDOMAN SURVEILANS :
1. Terbentuknya jaringan kerja yang berfungsi
dalam surveilans faktor risiko, penyakit dan
registri kematian akibat PJK dan Hipertensi
di daerah
2. Tersedianya metodeinstrumen standar
untuk surveilans faktor risiko penyakit dan
registri kematian akibat PJK dan Hipertensi.
3. Terbentuknya unit yang bertanggung
jawabsurveilans PJK dan Hipertensi di
daerah.
4. Tersedianya informasi faktor risiko, angka
kesakitan, angka kecacatan dan angka
kematian akibat PJK dan Hipertensi.
PEDOMAN PROMOSI DAN PENCEGAHAN
PENYAKIT
Beberapa rekomendasi terbaru JNC 8
antara lain :
1. Pada pasien berusia 60 tahun , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik 150mmHg atau diastolik
90mmHg dengan target terapi untuk
sistolik < 150mmHg dan diastolik <
90mmHg .
2. Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan
darah diastolik 90mmHg dengan target
< 90mmHg .
3. Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik 140mmHg dengan target
terapi < 140mmHg .
-
- Penurunan proporsi
penduduk yang mengalami
obesitas, penyalahgunaan
alkohol dan BBLR.
- Peningkatan kebijakan dan
regulasi lintas sector yang
mendukung penanggulangan
PTM.
- Peningkatan bina suasana
melalui kemitraan dalam
pemberdayaan potensi
masyarakat.
- Tersedianya model-model
intervensi yang efektif dalam
promosi dan pencegahan
PTM.
- Peningkatan pelaksanaan
promosi dan pencegahan di
institusi pelayanan
1. Adanya kebijakan publik yang mendukung
kegiatan pengendalian PJK dan Hipertensi.
2. Menurunnya faktor risiko penyebab
kejadian PJK dan Hipertensi.
3. Meningkatnya kualitas dan kuantitas
kemampuan tenaga dalam melakukan
promosi pencegahan PJK dan Hipertensi.
4. Terbentuknya kemitraan dalam
pemberdayaan
MANAJEMEN PELAYANAN
1. Penerapan standar dan pedoman
penemuan dan tata laksana kasus.
2. Meningkatnya pelatihan berbasis
kompetensi dalam pengendalian PJK dan
Hipertensi.
3. Tersedianya obat-obatan dan terapi dalam
pengendalian PJK dan Hipertensi.
4. Terintegrasinya pelaksanaan promosi
pencegahan PJK dan Hipertensi.
5. Terbentuknya jaringan kerja sama dengan
berbagai institusi pendidikan, organisasi
profesi dan masyarakat di bidang
pelayanan PJK dan Hipertensi.
4. Pada pasien berusia 18 tahun dengan
penyakit ginjal kronis , mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik
140mmHg atau diastolik 90mmHg
dengan target terapi sistolik < 140mmHg
dan diastolik < 90mmHg
5. Pada pasien berusia 18 tahun dengan
diabetes , mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik
140mmHg atau diastolik BP 90mmHg
dengan target terapi untuk sistolik gol BP
< 140mmHg dan diastolik gol BP <
90mmHg .
6. Pada populasi umum bukan kulit hitam,
termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus
mencakup diuretik tipe thiazide, CCB ,
ACE inhibitor atau ARB Rekomendasi ini
berbeda dengan JNC 7 yang mana panel
merekomendasikan diuretik tipe thiazide
sebagai terapi awal untuk sebagian
besar pasien .
7. Pada populasi umum kulit hitam ,
-
6. Tersedianya pelayanan PJK dan Hipertensi
berbasis masyarakat.
termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus
mencakup diuretic tipe thiazide atau
CCB .
8. Pada penduduk usia 18 tahun dengan
penyakit ginjal kronis , pengobatan awal
atau tambahan antihipertensi harus
mencakup ACE inhibitor atau ARB untuk
meningkatkan outcome ginjal .
9. Jika target tekanan darah tidak tercapai
dalam waktu satu bulan pengobatan,
tiingkatkan dosis obat awal atau
menambahkan obat kedua dari salah
satu kelas dalam Rekomendasi 6 . Jika
target tekanan darah tidak dapat
dicapai dengan dua obat , tambahkan
dan titrasi obat ketiga dari daftar yang
tersedia. Jangan gunakan ACEI dan
ARB bersama-sama pada pasien yang
sama . Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai hanya dengan
menggunakan obat-obatan dalam
Rekomendasi 6 karena kontraindikasi
-
atau kebutuhan untuk menggunakan
lebih dari 3 obat untuk mencapai target
tekanan darah, maka obat antihipertensi
dari kelas lain dapat digunakan .
8. Penyakit DM - Menurunnya angka kematian
(mortalitas) penderita
(Penyakit Tidak Menular)
PTM utama.
- Menurunnya angka
kesakitan (morbiditas)
penderita PTM utama.
- Menurunnya angka
kecacatan (disabilitas)
penderita PTM utama.
- Menurunnya angka faktor
risiko bersama PTM utama.
- Penurunan 3 faktor risiko
utama PTM (merokok,
kurang aktifitas fisik dan
konsumsi rendah serat).
- Penurunan proporsi
penduduk yang mengalami
obesitas, penyalahgunaan
Ruang lingkup pengendalian penyakit diabetes
melitus dan penyakit metabolik yang ditangani
oleh Subdirektorat Pengendalian Diabetes
Melitus dan Penyakit Metabolik
adalah : diabetes melitus, obesitas, gangguan
kelenjar tiroid, dislipidemia, gangguan
metabolisme kalsium, gangguan sekresi
korteks adrenal, dan gangguan kelenjar
hipotalamus.
Kegiatan pengendalian diabetes melitus dan
penyakit metabolik yang dilaksanakan
terdiri dari pokok-pokok kegiatan yaitu :
1. Penyusunan pedoman
Tahun 2010 telah disusun 7 pedoman dengan
revisi sebanyak 3 kali. Pada tahun 2012
dilakukan penyusunan tiga Pedoman
Pengendalian DM yaitu : Pengendalian DM
Tipe 1 di Puskesmas, Pedoman Pengendalian
Berdasarkan Standards of Medical Care in
Diabetes 2013, berikut ini adalah ringkasan
beberapa kriteria dan monitoring untuk
diabetes tersebut sbb:
A1C > 6,5 %
FPG > 126 mg/dL (7 mmol/L), puasa
didefinisikan tidak adanya ambilan kalori
sedikitnya selama 8 jam
2 jam glukosa plasma > 200 mg/dL (11,1
mmol/L) selama OGTT dengan asupan
glukosa sebanding dengan 75 glukosa
anhydrous yang dilarutkan
Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia
atau krisis hiperglikemia dengan glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Pemeriksaan diabetes pada pasien
asimtomatik
Pemeriksaan untuk mendeteksi diabetes
-
alkohol dan BBLR.
- Peningkatan kebijakan dan
regulasi lintas sector yang
mendukung penanggulangan
PTM.
- Peningkatan bina suasana
melalui kemitraan dalam
pemberdayaan potensi
masyarakat.
- Tersedianya model-model
intervensi yang efektif dalam
promosi dan pencegahan
PTM.
- Peningkatan pelaksanaan
promosi dan pencegahan di
institusi pelayanan
DM Gestasional di Puskesmas dan Petunjuk
Teknis Pengendalian DM di Puskesmas.
2. Peningkatan kapasitas SDM.
Upaya ini telah dilakukan melalui TOT deteksi
dini dan tatalaksana diabetes melitus dan
penyakit metabolik di 16 provinsi. Selain itu
juga dilaksanakan pelatihan terhadap 180
dokter spesialis penyakit dalam dan 180 dokter
umum di 6 kota, yaitu Medan, Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan
Makassar.
3. Menjalin kemitraan
Upaya lain terkait pencegahan dan
penanggulangan faktor risiko adalah menjalin
kemitraan dengan lintas program/lintas sektor
melalui pembentukan jejaring
kelompok kerja diabetes melitus,
pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pengendalian diabetes dan penyakit metabolik
di 33 provinsi, serta pengembangan
Forum Diabetes Melitus di Indonesia. Pada
tahun 2010 di bentuk Project Partnership
Agreement (PPA) antara Kementerian
tipe 2 pada pasien asimtomatik dilakukan
pada setiap usia jika berat badan berlebih
atau obesitas (BMI > 25 kg/m2) dan dengan
satu atau lebih faktor risiko diabetes lainnya.
Jika tanpa risiko pemeriksaan dapat dimulai
pada usia 45 tahun.
Jika pemeriksaan normal, pemeriksaan
kembali dilakukan dalam interval 3 tahun.
Pemeriksaan deteksi diabetes asimtomatik
adalah A1C, FPG atau OGTT 2 jam (75 g).
Deteksi dan Diagnosis Diabetes
Gestasional
Skrining diabetes gestasional dengan
analisa faktor risiko dan OGTT
Pasien diabetes gestasional dilakukan
skrining diabetes 6-12 minggu pasca
kelahiran dan dilakukan pemeriksaan
berkelanjutan sebagai skrining diabetes.
Monitoring kadar glukosa
Monitoring kadar gula darah secara
mandiri/self monitoring of blood glucose
-
Kesehatan Republik Indonesia melalui
Ditjen PPPL dengan World Diabetes
Foundation (WDF) yaitu lembaga swasta
dunia yang berdedikasi dalam pencegahan dan
pengobatan diabetes melitus di
negara berkembang. Tujuan dari kerja sama ini
adalah melakukan intervensi pada
masyarakat dalam rangka pencegahan dan
pengendalian diabetes melitus beserta
faktor risikonya.
(SMBG) harus dilakukan 3 atau beberapa
kali sehari pada pasien yang menggunakan
injeksi suntikan multipel atau pompa terapi
insulin.
Pada pasien yang menggunakan insulin
dengan masa kerja panjang, terapi non
insulin atau terapi nutrisi tunggal, SMBG
menjadi alat untuk menilai keberhasilan
terapi.
Untuk mencapai target glukosa darah
postprandial, pemeriksaan SMBG
postprandial perlu dilakukan.
A1C
Lakukan pemeriksaan A1C sedikitnya 2
x/tahun pada pasien dengan tujuan terapi
yang telah dicapai
Lakukan pemeriksaan A1C setiap 3 bulan
pada pasien yang mengalami perubahan
terapi atau tujuan glikemik tidak tercapai
Gunakan hasil pemeriksaan A1C untuk
menentukan perubahan terapi yang
digunakan
-
Tujuan terapi glikemik pada pasien
dewasa
Menurunkan kadar A1C di bawah atau
sekitar 7 %, kadar tsb telah menurunkan
komplikasi mikrovaskuler dan neuropati
pada diabetes tipe 1 dan 2, sehingga target
A1C pada pasien dewasa nonpregnant
untuk mencegah mikrovaskuler adalah <
7 %
Pada diabetes tipe 1 dan 2 dalam masa uji
klinik yang dilakukan secara acak, kontrol
glikemik standar atau intensif tidak secara
bermakna menurunkan risiko CVD
(cerebrovascular disease), tetapi dalam
follow up jangka panjang, mencapai target
A1C di bawah atau sekitar 7% segera
setelah diagnosis diabetes menurunkan
risiko CVD. Hingga didapatkan bukti lebih
lanjut, tujuan A1C di bawah 7% menjadi
alasan rasional menurunkan risiko
komplikasi makrovasular.
.