Indepth report belajar dari kasus lapindo

7
Indepth Report Belajar dari Kasus Lapindo Oleh: Firdaus Cahyadi Yayasan SatuDunia

description

 

Transcript of Indepth report belajar dari kasus lapindo

Page 1: Indepth report belajar dari kasus lapindo

Indepth Report

Belajar dari Kasus Lapindo

Oleh: Firdaus Cahyadi Yayasan SatuDunia

Page 2: Indepth report belajar dari kasus lapindo

Kasus Lapindo setelah Enam Tahun

April 2011, adalah bulan yang

mungkin tidak bisa dilupakan oleh

keluarga Khoirul Adib. Bulan itu bayi

perempuannya, Aulia Nadira Putri,

meninggal dunia. Bayi mungil usia 3,5

bulan itu harus meninggal dunia karena

diduga terlalu banyak menghirup gas

metan dari lumpur Lapindo.

Kematian Aulia Nadira Putri jelas merupakan takdir. Namun, menghirup udara

beracun dari semburan lumpur Lapindo jelas karena kerusakan lingkungan hidup. Dan

kerusakan lingkungan hidup bukanlah takdir.

Lumpur Lapindo terus saja menyisakan duka. Sebelumnya 4 September 2008

silam. Tangisan Pak Hari Suwandi memecah kesunyian kantor LSM Komite untuk

Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta. Pak Suwandi, begitu ia akrab

dipanggil, tak mampu menahan perihnya perasaan saat menceritakan penderitaannya

selama dua tahun menjadi korban Lapindo.

Sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan kampungnya, Pak Suwandi adalah

seorang pengrajin kulit. Hidupnya cukup makmur dengan industri rumah tangganya itu.

Namun, tiba-tiba lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya. Alat-alat produksinya

pun ikut terendam lumpur.

Page 3: Indepth report belajar dari kasus lapindo

Belajar dari Kasus Lapindo

Pertanyaan berikutnya tentu saja

adalah pelajaran apa yang dapat

dipetik dari kejadian tersebut di

atas? Setidaknya ada empat hal

yang dapat dijadikan pelajaran bagi

kita atas kejadian-kejadian pilu yang

menimpa korban lumpur Lapindo itu.

Pertama, hilangnya hak atas informasi warga sejak dalam proses eksplorasi

migas di Sidoarjo. “Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah

hak atas informasi,” ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi

Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia

pada tahun 2009 silam,”Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan

mengenai kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan pengeboran,”

Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue,

sampai kini di dalam dokumen tata ruang Sidoarjo itu

tidak dikenal Blok Brantas.

“Tragisnya Imam Utomo Gubernur Jawa Timur

saat itu pernah menyatakan tidak perlu merubah tata

ruang untuk memberikan ijin pengeboran di blok

Brantas,” katanya, “Padahal dalam setiap pengeboran

itu memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya

kecelakaan dan resiko itu tidak diinformasikan ke masyarakat,”

Page 4: Indepth report belajar dari kasus lapindo

Jika sejak awal warga Porong

diberikan informasi yang benar

besar kemungkinan tidak

pernah muncul semburan

lumpur Lapindo karena

masyarakat di sekitar sumur

Banjar Panji-1 dapat menolak

pengeboran jika berpotensi

membahayakan kehidupan mereka. “Dalam temuan Tim Investigasi Komnas HAM pun

dengan jelas menyebutkan adanya indikasi kuat dugaan pelanggaran hak atas

informasi public dalam kasus Lapindo,” jelasnya.

Tidak adanya informasi yang akurat mengenai resiko terjadinya kecelakaan

industri pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan bahwa

berdasarkan hasil penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pemboran diketahui

bahwa PT. Lapindo Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko

kemungkinan terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo.

Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail

sesar di permukaan Banjar Panji (BJP)-1 pada bulan Agustus 2006. Interpretasi

pemetakan sesar tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana

yang sirkuler mengelilingi titik semburan.

Adanya potensi risiko pemboran akan menembus gunung lumpur dan adanya

sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pemboran maupun evaluasi

Page 5: Indepth report belajar dari kasus lapindo

pemboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pemboran

hanya memasukkan aspek risiko pemboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout.

Singkat kata, tidak ada

informasi yang mencukupi

mengenai kondisi geologi

yang beresiko menimbulkan

bencana ekologi jika dilakukan

pengeboran di wilayah

Porong. Kondisi geologi

mengenai adanya potensi

bencana justru baru dipetakan

dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.

Kedua, ketika terjadi sebuah kecelakaan industri seperti pada kasus lumpur

Lapindo, persoalan ganti rugi terhadap korban tidak bisa direduksi menjadi sekedar

persoalan jual beli asset. Terlebih bila asset korban itu dibatasi hanya sekedar rumah

dan tanah.

Hilangnya pekerjaan dan meningkatnya resiko keselamatan jiwa akibat

lingkungan hidup yang sudah hancur wajib diperhitungkan dalam skema ganti rugi.

Ketika skema ganti rugi telah direduksi menjadi sekedar jual beli asset, maka tidak ada

yang merasa bertangungjawab atas hilangnya sumber-sumber kehidupan dan

meningkatnya biaya kesehatan korban.

Ketiga, perlunya semua pihak untuk mematuhi ketentuan mengenai tata ruang

wilayah yang telah menjadi sebuah keputusan bersama antara pemerintah dan wakil

Page 6: Indepth report belajar dari kasus lapindo

rakyat. Semua kisah pilu korban Lapindo di atas tidak akan pernah ada jika dari awal

tidak ada pelanggaran terhadap tata ruang.

Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Kabupaten Sidoarjo tahun 2003-2013 dengan jelas menyatakan bahwa kawasan

Porong, khususnya wilayah Siring, Renokenongo dan Tanggulangin adalah wilayah

pemukiman dan budidaya pertanian.

Namun dengan berbagai argumentasi yang seakan-akan ilmiah dan masuk akal

dari para konsultan perusahaan tambang, RTRW Kabupaten Sidoarjo itu pun dilanggar.

Ijin untuk melakukan eksplorasi pertambangan di kawasan padat penduduk pun

dikeluarkan.

Akibatnya, bukan gas yang keluar namun justru semburan lumpur panas yang

muncul. Kini semburan lumpur itu selain telah menenggelamkan sebagian Sidoarjo juga

telah menimbulkan pencemaran air sumur dan polusi udara dengan jangkauan yang

makin meluas.

Keempat, perlunya

pengawasan yang ketat terhadap

industri-industri yang beresiko tinggi

seperti industri pertambangan. Awal

dari semua cerita semburan lumpur

Lapindo adalah lemahnya

pengawasan pemerintah terhadap industri tambang.

Pelanggaran tata ruang wilayah dan juga pengeboran pada kedalaman tertentu

tanpa selubung pengaman harusnya tidak terjadi jika pemerintah benar-benar

Page 7: Indepth report belajar dari kasus lapindo

melakukan pengawasan terhadap industri tambang secara benar dan ketat sejak dalam

tahap perencanaan hingga operasional di lapangan.

Godaan untuk dapat mencapai target angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi

rupanya telah memperdaya pemerintah. Akibatnya, tugas pengawasan terhadap

industri tambang tidak menjadi hal yang penting bagi pemerintah.

Bahkan tidak jarang aturan-aturan terkait dengan persoalan lingkungan sengaja

diperlemah agar industri-industri pertambangan bisa leluasa mengeksploitasi sumber

daya alam yang ada di perut bumi kita.

Dari sisi kebijakan publik, kasus semburan lumpur Lapindo adalah cermin dari

buruknya pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Jika hal itu terus dipelihara maka

bukan tidak mungkin akan segera muncul kecelakaan-kecelakaan industri tambang

lainnya yang lebih mematikan daripada kecelakaan industri tambang Lapindo di

Sidoarjo. Semoga kita semua mau belajar!