indarto1

8
A-1 ISBN 978-979-18342-1-6 PERANAN VARIASI KADAR AIR TERHADAP KESTABILAN STRUKTUR PONDASI DAN GEOTEKNIK Prof. Dr. Ir. Indarto Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ABSTRAK Variasi kadar air dalam tanah dapat terjadi karena adanya perubahan musim kemarau, ataupun musim penghujan. Pada tanah lunak atau pada tanah dimana muka air tanah tidak terlalu dalam, kondisi tersebut dapat menyebabkan variasi muka air tanah akibat adanya pasang surut yang sering juga disebut zone aktif. Pada tanah ekspansif, dimana muka air tanah terletak pada kedalaman yang jauh dari permukaan kondisi variasi kadar air akibat adanya musim kemarau dan hujan dapat mengakibatkan kembang susut atau variasi volume pada tanah, yang juga dibatasi oleh apa yang dinamakan zone aktif. Dalam perspektif mekanika tanah akibat adanya variasi kadar air tersebut telah mengakibatkan adanya variasi parametertanah serta variasi kelakuan tegangan dari tanah. Variasi parameter dan tegangan tanah ini akan memberikan pengaruh pada struktur pondasi atau struktur lain yang memiliki interaksi dengan tanah atau hal-hal yang berkaitan dengan struktur geoteknik. Makalah ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kestabilan suatu struktur pondasi dan geoteknik akibat adanya variasi parameter tanah akibat adanya variasi kadar airselama siklus pengeringan pembasahan. Untuk itu akan dibahas bagaimana kelakuan tanah lunak dan ekspansif saat mengalami pengeringan- pembasahan, kemudian dikorelasikan dengan beberapa kasus yang terjadi dilapangan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa variasi kadar air memeiliki peran yang sangat besar terhadap kestabilan maupun kegagalan struktur pondasi dan geoteknik. Kata kunci : variasi kadar air, pondasi, struktur geotenik, kestabilan PENDAHULUAN Musim kemarau yang silih berganti setiap tahun telah menyebabkan adanya siklus pengeringan-pembasahan yang berarti terjadi variasi kadar air pada tanah. Siklus drying-wetting dari setiap tanah memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Indarto 1991). Cogel dan De Backer (1978) melakukan studi tentang hubungan antara distribusi pori dari suatu miliu poreus dengan kelakuan rembesannya, mereka menyimpulkan bahwa geometri dari miliu poreus sangat menentukan kelakuan rembesan material poreus tersebut. Delage (1988) mencatat bahwa untuk tanah lempung, tegangan air pori negatif dapat mencapai nilai yang tinggi. Menurut Biarez et al (1988), pembebanan suatu tegangan air pori negatif pada suatu benda uji tanah , akan diterjemahkan secara simultan oleh variasi angka porinya, derajat kejenuhannya serta kadar airnya. Tanpa adanya tegangan luar, Biarez et al.(1988), kemudian Fleureau et al. (1990) telah membandingkan percobaan drying-wetting dengan percobaan mekanik kompresi-dekompresi. Mereka menunjukkan bahwa dalam kondisi jenuh terdapat persamaan antara tegangan mekanik yang dikenakan dengan tegangan kapiler.Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk tanah jenuh variasi volume hanya tergantung pada tegangan effektif. Siklus drying-wetting juga sangat mempengaruhi variasi besarnya tegangan geser suatu tanah. Beberapa peneliti memberikan hubungan variasi tegangan geser dengan siklus drying-wetting, Suhartono R dan Suhartono A (2000) untuk tanah ekspansif inisial undisturbed, Yudayana (2001) untuk kaolinit inisial batas cair, sedang Gunawan (2004) kemudian Gani (2008) untuk tanah residual (lanau kelempungan), inisial disturbed dan undisturbed. Secara umum peneliti-peneliti ini menunjukkan penurunan kohesi dan tegangan geser saat tanah mengalami kenaikan kadar air dan derajat kejenuhan. Beberapa evaluasi pengaruh siklus drying-wetting di terhadap kerusakan pondasi diberikan oleh Indarto (2008). Dalam kaitan variasi kadar air dengan kerusakanan pondasi di Amerika, Jones dan Holtz ( 1973) menyatakan bahwa akibat kelakuan kembang susut tanah ekspansif telah menyebabkan kerusakan pondasi dan bangunan senilai $ 2,3 milyar per tahun, dimana nilai ini lebih dari dua kali dari beaya tahunan yang dikeluarkan akibat kerusakan karena banjir, tornado,dan gempa bumi. Indarto (2008) mengungkapkan beberapa kasus kerusakan struktur pondasi dan geoteknik, akibat variasi keberadaan air pada tanah dasar.

description

dfd

Transcript of indarto1

Page 1: indarto1

A-1 ISBN 978-979-18342-1-6

PERANAN VARIASI KADAR AIR TERHADAP KESTABILAN

STRUKTUR PONDASI DAN GEOTEKNIK

Prof. Dr. Ir. Indarto

Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK

Variasi kadar air dalam tanah dapat terjadi karena adanya perubahan musim kemarau, ataupun musim penghujan. Pada tanah

lunak atau pada tanah dimana muka air tanah tidak terlalu dalam, kondisi tersebut dapat menyebabkan variasi muka air tanah

akibat adanya pasang surut yang sering juga disebut zone aktif. Pada tanah ekspansif, dimana muka air tanah terletak pada

kedalaman yang jauh dari permukaan kondisi variasi kadar air akibat adanya musim kemarau dan hujan dapat

mengakibatkan kembang susut atau variasi volume pada tanah, yang juga dibatasi oleh apa yang dinamakan zone aktif.

Dalam perspektif mekanika tanah akibat adanya variasi kadar air tersebut telah mengakibatkan adanya variasi

parametertanah serta variasi kelakuan tegangan dari tanah. Variasi parameter dan tegangan tanah ini akan memberikan

pengaruh pada struktur pondasi atau struktur lain yang memiliki interaksi dengan tanah atau hal-hal yang berkaitan dengan

struktur geoteknik. Makalah ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kestabilan suatu struktur pondasi dan geoteknik

akibat adanya variasi parameter tanah akibat adanya variasi kadar airselama siklus pengeringan –pembasahan. Untuk itu

akan dibahas bagaimana kelakuan tanah lunak dan ekspansif saat mengalami pengeringan- pembasahan, kemudian

dikorelasikan dengan beberapa kasus yang terjadi dilapangan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa variasi kadar air

memeiliki peran yang sangat besar terhadap kestabilan maupun kegagalan struktur pondasi dan geoteknik.

Kata kunci : variasi kadar air, pondasi, struktur geotenik, kestabilan

PENDAHULUAN

Musim kemarau yang silih berganti setiap tahun telah

menyebabkan adanya siklus pengeringan-pembasahan

yang berarti terjadi variasi kadar air pada tanah.

Siklus drying-wetting dari setiap tanah memiliki

karakteristik yang berbeda-beda (Indarto 1991). Cogel

dan De Backer (1978) melakukan studi tentang

hubungan antara distribusi pori dari suatu miliu poreus

dengan kelakuan rembesannya, mereka menyimpulkan

bahwa geometri dari miliu poreus sangat menentukan

kelakuan rembesan material poreus tersebut.

Delage (1988) mencatat bahwa untuk tanah lempung,

tegangan air pori negatif dapat mencapai nilai yang

tinggi.

Menurut Biarez et al (1988), pembebanan suatu

tegangan air pori negatif pada suatu benda uji tanah ,

akan diterjemahkan secara simultan oleh variasi angka

porinya, derajat kejenuhannya serta kadar airnya.

Tanpa adanya tegangan luar, Biarez et al.(1988),

kemudian Fleureau et al. (1990) telah membandingkan

percobaan drying-wetting dengan percobaan mekanik

kompresi-dekompresi. Mereka menunjukkan bahwa

dalam kondisi jenuh terdapat persamaan antara tegangan

mekanik yang dikenakan dengan tegangan

kapiler.Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk tanah

jenuh variasi volume hanya tergantung pada tegangan

effektif.

Siklus drying-wetting juga sangat mempengaruhi

variasi besarnya tegangan geser suatu tanah. Beberapa

peneliti memberikan hubungan variasi tegangan geser

dengan siklus drying-wetting, Suhartono R dan

Suhartono A (2000) untuk tanah ekspansif inisial

undisturbed, Yudayana (2001) untuk kaolinit inisial

batas cair, sedang Gunawan (2004) kemudian Gani

(2008) untuk tanah residual (lanau kelempungan),

inisial disturbed dan undisturbed. Secara umum

peneliti-peneliti ini menunjukkan penurunan kohesi

dan tegangan geser saat tanah mengalami kenaikan

kadar air dan derajat kejenuhan.

Beberapa evaluasi pengaruh siklus drying-wetting di

terhadap kerusakan pondasi diberikan oleh Indarto

(2008).

Dalam kaitan variasi kadar air dengan kerusakanan

pondasi di Amerika, Jones dan Holtz ( 1973)

menyatakan bahwa akibat kelakuan kembang susut

tanah ekspansif telah menyebabkan kerusakan pondasi

dan bangunan senilai $ 2,3 milyar per tahun, dimana

nilai ini lebih dari dua kali dari beaya tahunan yang

dikeluarkan akibat kerusakan karena banjir,

tornado,dan gempa bumi.

Indarto (2008) mengungkapkan beberapa kasus

kerusakan struktur pondasi dan geoteknik, akibat

variasi keberadaan air pada tanah dasar.

Page 2: indarto1

A-2

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009

Gambar 1. Karakteristik global tanah Kaolinite P300 saat pengeringan - pembasahan

Siklus drying –wetting

Kaolinite P 300

wL = 40 %

IP = 20 %

A

B C

D

Page 3: indarto1

A-3 ISBN 978-979-18342-1-6

Gambar 2. Karakteristik global tanah ekspanasif undisturbed Graha Family saat pengeringan - pembasahan

Page 4: indarto1

A-4

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009

Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik

pengaruh tanah saat mengalami siklus drying-wetting

dari tanah lunak dan ekspansif serta mencoba

menghubungkannya terhadap beberapa kasus riil

kerusakan pondasi dan struktur geoteknik.

KARAKTERISTIK SIKLUS PENGERINGAN-

PEMBASAHAN PADA TANAH.

Sebelum melihat kelakuan tanah saat mengalami

pengeringan-pembasahan mungkin perlu

menyeragamkan pengertian tentang istilah

pengeringan dan pembasahan dalam konteks

mekanika tanah sbb:

- Pengeringan adalah pengurangan tegangan air

pori uw yang semakin kecil (atau – uw meningkat)

- Pembasahan adalah penambahan tegangan air

pori uw yang makin lama makin besar (atau – uw

mengecil)

Gambar 1 merupakan hasil percobaan dari kolinite

P300 remolded (Indarto 1991) yang dilakukan pada

benda uji dengan kondisi inisial dengan kadar air 1,5

batas cair. Sedang Gambar 2 adalah hasil percobaan

dari tanah ekspansif Graha Family Surabaya, dari

benda uji undisturbed dengan kondisi inisial kadar air

w adalah 58,7 % (Suhartono et al 2000). Untuk

memperoleh gambaran karakteristik yang jelas saat

pengeringan-pembasahan, hasil percobaan

pengeringan-pembasahan kaolinite P300 dan tanah

ekspansif Graha Family ini,dipresentasikan dalam 5

grafik yang mencerminkan hubungan antara

parameter-parameter kadar air (w), angka pori (e), dan

derajat kejenuhan (Sr) saat mengalami kenaikan atau

penurunan tegangan air pori negatif. Kelima grafik

tersebut adalah ;

1. Kurva hubungan antara angka pori e dan w

2. Kurva hubungan antar angka pori (e) dan

tegangan air pori negatif (-uw)

-uw juga sering tampilkan sebagai pF dimana pF

= log10 uw (dalam cm)

3. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan

kadar air w

4. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan

pF

5. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan

kadar air w

Model penampilan karakteristik global pengeringan-

pembasahan ini dalam 5 grafik diusulkan pertama kali

oleh Biarez et al. (1988), kemudian berturut-turut

digunakan oleh Fleureau et al (1990), Zerhouni

(1991), dan Indarto (1991).

a. Kelakuan Kaolinite P300 saat pengeringan-

pembasahan.

Kaolinite P300 diambil untuk menjelaskan sebagai

contoh kelakuan umum tanah kelempungan saat

mengalami siklus pengeringan- pembasahan.

Meskipun tidak seluruhnya kelakuan global akan

dibahas disini mengingat terbatasnya waktu

Pada alur pengeringan (alur ABC) kaolinite P300 pada

Gambar 1, terlihat bahwa tanah tetap jenuh sampai

tegangan air pori negative yang sangat tinggi (uw>-

1500), dalam kondisi pengeringan ini terlihat adanya

penurunan angka pori yang tampak linier dengan

logarithma dari tegangan air pori. Dalam koordinat e-

w hubungan e = Gs.w/100 membenarkan bahwa pada

interval ini keadaan tanah masih tetap jenuh.

Hal lain yang dapat dilihat dari representasi global

pada saat pengeringan ini adalah :

- Batas susut sebesar 23 %, pada tegangan air pori

negatif sekitar 2000 kPa

- Adanya garis yang paralel antara antara alur

oedometrik dan pengeringan seperti terlihat pada

Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan alur oedometrik dan

pengeringan untuk tanah kaolinite P300

Dalam hal ini berarti saat tanah mengalami

pengeringan maka meski tidak ada beban maka tanah

mengalami pemampatan seperti mendapatkan beban

pada percobaan oedometrik

Disisi lain Yudayana (2001), yang melakukan

percobaan siklus pengeringan-pembasahan untuk

white kaolinite menunjukkan bahwa saat mengalami

pengeringan kohesi tanah mengalami peningkatan.

Pada alur pembasahan ( alur CBD), terdapat beberapa

hal yang bisa kita amati :

- Antara harga pF 7 dan pF 5 terlihat adanya

kenaikan kadar air yang sangat lemah, praktis

hampir tidak terlihat kenaikan angka pori (grafik

dalam hubungan e-w dan Sr-w), dimana variasi

derajat kejenuhan sekitar 0 – 8 %.

- Antara harga pF 4 dan pF 5 meski derajat

kejenuhan naik secara tajam dari 8% sampai

mendekati 95 %

- Untuk tegangan air pori yang lebih tinggi dalam

nilai absolut (pF<4), tampak adanya kenaikan

lebih nyata dari angka pori, diikuti dengan variasi

kadar air yang sama, yang berarti variasi kenaikan

derajat kejenuhan yang sangat kecil.

Kebalikan dari kondisi pengeringan Yudayana (2001)

mencatat bahwa saat pembasahan pada white

kaolinite menunjukkan penurunan yang sangat tajam

khusunya setelah melewati derajat kejenuhan 80 %.

Namun setelah derajat kejenuhan mencapai >95 % ,

variasi tidak terlihat tajam. Hasil lengkap percobaan

tegangan unconfined white kaolinite saat pengeringan

pembasahan ini dapat dilihat pada Gambar 4.a. dan 4.b

Page 5: indarto1

A-5 ISBN 978-979-18342-1-6

(a)

(b)

Gambar 4. Percobaan tegangan unconfined pada white

kaolinite saat pengeringan pembasahan ; (a) hubungan

w- Sr; (b) su =w

b. Kelakuan tanah ekspansif Graha Family

undisturbed saat pengeringan-pembasahan.

Kelakuan tanah ekspansif undisturbed Graha Family

Surabaya pada Gambar 2 adalah hasil percobaan

Suhartono et al. (2000) . hal-hal yang perlu dicatat

disini adalah pada kondisi awal tanah undisturbed

dimana kadar airnya adalah 58.7 %, tanah talah dalam

quasi jenuh atau Sr telah mendekati 100 % dan angka

porinya adalah 1,5, dengan tegangan air pori sekitar

100 kPa. Dalam posisi ini :

- Ketika dilakukan pengeringan ( dari pF 3 sampai

pF 7), perubahan variasi angka pori relatif kecil

dibanding saat pembasahan (dari 1,5- 0,5).

Variasi derajat kejenuhan hampir tidak terlihat

- Sebaliknya saat pembasahan (dari pF 3 sampai pF

1), perubahan angka pori terlihat tajam (dari 1,5 –

sampai lebih dari 3). Dimana kondisi ini

mencerminkan ciri dari tanah ekspansif.

Perubahan derajat kejenuhan Sr terlihat sangat

brutal.

- Dari grafik pF- Sr, terlihat bahwa posisi kondisi

inisial adalah dalam kondisi tegangan desaturasi

- Hal yang sama dengan tanah white kaolinite tanah

ini mengalami kenaikan tengangan geser saat

pengeringan, namun kenaikan tegangan geser

disini terlihat sangat tajam (dari kondisi inisial,

atau sekitar pF=3, su berada sekitar lebih dari 550

kPa sampai pF=7, dimana su mencapai lebih dari

1900 kPa).

- Saat pembasahan terjadi sebaliknya terjadi

penurunan su namun variasi penurunan ini tidak

setajam saat pengeringan khususnya setelah kadar

air lebih dari 75 %, su masih mengalami

penurunan namun variasinya hampir tak terlihat.

Variasi lengkap tegangan geser tanah ekspansif Graha

Family saat pengeringan dan pembasahan ,dapat

dilihat pada grafik dalam Gambar 5.a dan 5.b

(a)

(b)

Gambar 5. Variasi tegangan geser tanah ekspansif Graha Family saat pengeringan –

pembasahan ; a. Variasi su-Sr

b. Variasi su-w

Selain tanah ekspansif dan tanah lunak, tanah residual

juga memilik sifat kemiripan karakteristik, lereng-

lereng alam, dimana sering mengalami mengalami

kelongsoran umumnya merupakan tanah residual.

Sedang percobaan variasi su pengeringan-pembasahan

untuk tanah ekspansif telah dilakukan oleh Gunawan

dan Indarto (2004).

PENGARUH VARIASI KADAR AIR TERHADAP

STRUKTUR GEOTEKNIK

Secara umum karena variasi kadar air memberikan

perubahan sifat fisik dan mekanik, maka kondisi ini

secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap

kestabilan suatu struktur geoteknik ataupun pondasi.

Beberapa kasus dibawah ini adalah contoh – contoh

kasus –kasus riil akibat pengaruh variasi pengeringan –

pembasahan.

Page 6: indarto1

A-6

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009

1. Pengaruh terhadap penggalian

Kondisi pengeringan yang memberikan kondisi tidak

jenuh pada tanah ekspansif seringkali memberikan

beberapa keuntungan saat penggalian karena tingginya

tegangan geser. Misalnya saat suatu perusahaan di

Pasuruan yang ingin mem bangun basement didalam

suatu gedung yang telah jadi. Dalam kondisi ini pihak

pemilik, mencari metode bagaimana dapat menggali

pada kedalaman 4m tanpa menggunakan alat berat

yang tidak dapat masuk kedalam gedung. Namun

dengan kondisi tanah ekspansif unsaturated, ternyata

bahwa penggalian 4 m tanah tersebut tetap stabil dan

tidak mengalami kelongsoran, dan angka keamanan

terhadap sliding lebih dari 10 (indarto 2006).

Sisi lain pengaruh pengeringan ini adalah saat

dilakukan dewatering atau pengeringan di tanah lunak.

Akibat dewatering ini biasanya dapat menimbulkan

penurunan pada bangunan disekitarnya. Mekanisme

penurunan ini dapat dilihat pada Gb. 6

Gambar 6. Skema penurunan suatu pondasi akibat

dewatering

Sebagaimana konsep pengeringan dimana setiap

penambahan tegangan air pori negatip menimbulkan

suatu beban, maka akibat adanya dewatering tanah

dibawah pondasi mengalami penambahan beban

sebesar hw yang dapat memberikan penurunan

pondasi yang telah lama berdiri, kasus-kasus seperti ini

sering terjadi pada beberapa kasus pelaksanaan

dewatering di Jakarta maupun di Surabaya

2. Kerusakan bangunan akibat pengeringan

pembasahan

Pasang surut merupakan fenomena riil dilapangan dari

siklus pengeringan-pembasahan. Sebagaimana

dijelaskan sebelumnya fenomena surut adalah

fenomena pengeringan atau pengurangan tegangan air

pori , fenomena ini seperti fenomena loading pada

tanah. Sebaliknya fenomena pasang adalah fenomena

penambahan tegangan air pori ,fenomena ini seperti

fenomena unloading.

Fenomena pengeringan dapat memberikan

pengurangan angka pori atau penyusutan ketebalan

lapisan pada tanah, khususnya apabila kondisi tanah

tersebut kurang padat.

Suatu contoh yang baik untuk kasus ini asalah adalah

pembangunan gedung pemerintah yang terletak di

lahan rawa di Malinau Kalimantan (Indarto 2007).

Karena saat pembangunan pemadatan urugan untuk

tanah dasar pondasi tidak direncanakan dan

dilaksanakan dengan baik, maka tanah dasar pondasi

yang merupakan tanah kelempungan (wL sekitar 50 %)

memiliki kepadatan yang tidak baik, hal ini

ditunjukkan dengan angka pori yang cukup tinggi

untuk jenis tanah ini.(1,1 -1,4) Karena pada lahan

pada daerah tersebut pasang surutnya tinggi, maka

pada saat surut (drying) tanah tersebut mengalami

“pemadatan” atau penurunan angka pori. Akibatnya

area bangunan termasuk beberapa tangga dan kolom

yang tidak didukung dengan tiang bor sampai ke tanah

keras mengalami penurunan. Demikian juga beberapa

selasar, serambi, koridor serta saluran. Perbaikan

untuk kerusakan bagian gedung tersebut menelan

beaya diatas 3 milyar rupiah. Foto Gambar 7.

menunjukkan salah satu kondisi kerusakan pada

bangunan tersebut

Gambar 7. Kerusakan kolom tangga gedung

pemerintah di Malinau akibat perbedaan

penurunan (Indarto 2007)

Contoh kegagalan struktur lain akibat siklus drying-

wetting adalah kasus pembangunan sheetpile

sepanjang sungai Mahakam di Kotabangun

Kalimantan (Indarto 2007), dimana sheet pile

mengalami kerusakan berat setelah terjadi banjir yang

menenggelamkan sheet pile. Saat banjir pasang

sheetpile masih stabil, tetapi saat banjir surut,

sheetpile mengalami displacement yang besar akibat

adanya perbedaan permukaan air, dimana pada sisi

sungai permukaan air lebih rendah dibanding sisi

darat. Akibat dari kondisi tersebut sisi darat yang

merupakan badan jalan mengalami sliding yang

menghantam sheetpile . Analisa mekanisme sliding

dan displacement dari sheet pile dapat digambarkan

pada Gambar

Kejadian di Kotabangun ini tidak dapat dilepaskan dari

pengaruh wetting terhadap badan jalan - yang

dibangun sepanjang tepi sungai. saat banjir. Meski

sudah jenuh, untuk tanah

kelempungan selama proses wetting masih

berlangsung, penurunan tegangan geser terus terjadi

akibat kenaikan kadar air.

3. Pengaruh pembasahan terhadap kestabilan

struktur geoteknik dan lereng

Kasus-kasus pada tanah ekspansif maupun reidual

biasanya merupakan kasus kelongsoran akibat

penurunan tegangan geser akibat pembasahan.

Di Surabaya kasus tanah ekspansif terjadi pada area

Ciputra world dikawasan Majen Sungkono Surabaya.

dewatering

m.a.t. setelah dewatering

m.a.t . natural

Page 7: indarto1

A-7 ISBN 978-979-18342-1-6

Gambar 8 Analisa mekanisme sliding dan

displacement sheetpile sepanjang

sungai Mahakam di Kota Bangun Ilir

Kaltim (Sumber Indarto 2007)

Pada area dimana akan dibangun suatu bangunan

tinggi akan dibuat diperlukan suatu basement.

Sebelum dibuat basement dibuat suatu struktur

sheetpile sekeliling basement tersebut. Pada sustu

bagian struktur sheetpile yang sejajar dengan jalan

diatasnya terdapat saluran KMS yang lebarnya tidak

kurang dari 2 m. Namun ada bagian dari saluran

tersebut yang bocor tanpa diketahui sebelumnya.

Pada saat hujan, struktur sheetpile yang terletak pada

area yang bocor tadi mengalami kelongsoran.

Sehingga terjadi keruntuhan struktur sheetpile

sepanjang 30 m. Dari perhitungan kembali struktur

sheetpile tersebut menunjukkan bahwa angka

keamanan mengalami penurunan akibat penurunan

tegangan geser tanah saat pembasahan, diisi lain

moment lenur maksimum mengalami kenaikan brutal

akibat softening dari tanah

(a)

Contoh kasus lain struktur pada tanah ekspansif,

adalah rusaknya diding penahan badan jalan setinggi

sekitar 3 m, sepanjang saluran di kawasan perumahan

di Bukitmas Surabaya (Indarto 2007)

(b)

Gambar 9. (a) Penurunan angka keamanan akibat

pembasahan

(b) Kenaikan moment lentur masimum

akibat pembasahan dari struktur sheet

pile dikawasan Ciputra World

Ketika dibangun, berdasarkan penyelidikan tanah

yang ada, dengan derajat kejenuhan antara 92 % -95

%, kohesi tanahnya berkisar antara 10 kPa sampai 24

kPa, dengan sudut geser tanah berkisar 60-8

0.

Dengan kondisi ini kestabilan dining penahan masih

relative besar (>1,5). Namun kondisi ini menurun

drastis saat tanah mengalami wetting yang

diperkirakan kohesi menurun menjadi 5 kPa. Penetrasi

air pada bahu jalan yang terbuka, diduga menjadi

penyebab terjadinya penurunan dan ketidakstabilan

struktur dinding penahan tersebut.

Akibat sliding ini terjadi penurunan bahu jalan sekitar

lebih dari 60 cm, lendutan global dinding penahan

sepanjang badan jalan serta kerusakan ikatan antar

element dinding arf wall yang digunakan.

Untuk contoh kasus tanah lanau atau residual dapat

dilihat kaus villa di kawasan Pandaan (Indarto 2008).

yang berdiri diatas tanah timbunan setinggi sekitar 8

m. Kemiringan tebing sekitar 400

tanpa penahan,

sedangkan lahan rumah dan bangunan memiliki

kemiringan sekitar 50. Tanah timbunan merupakan

tanah lanau residual, dengan kohesi sekitar 20 kPa dan

sudut geser tanah sekitar 150. Data tanah

undisturbed yang diambil saat musim kemarau ini bila

diterapkan dalam perhitungan sliding akan memberi

angka keamanan yang cukup (>1,5). Namun nilai ini

menurun menjadi kurang dari 1 saat kohesi diturunkan

sampai kurang dari 8 kPa. Dan kondisi penurunan

kohesi ini hanya bisa terjadi saat air menetrasi

kedalam timbunan tanah, atau saat musim hujan.

Prediksi ini sesuai dengan informasi pembangun

bahwa kejadian kerusakan terjadi saat musim hujan.

Gambar 10 menunjukkan penurunan angka keamanan

akibat penurunan kohesi saat wetting. Akibat sliding

timbunan ini beberapa rumah dan lahan sepanjang

sekitar lebih dari 5 m kearah tebing, mengalami

penurunan dan tanah batas sliding terbuka yang

menyebabkan keretakan yang besar. Sampai makalah

ini ditulis proses penurunan dan kerusakan terus

bertambah (lihat foto pada Gambar 11).

Kondisi banjir sebelum surut gerakan lateral dimbangi tekanan hidrostatis air

Sheetpile yang miring akibat gerakan lateral tanah

Kondisi banjir setelah surut gerakan lateral tidak ada yang menahan dan menghantam sheetpile

Page 8: indarto1

A-8

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009

Gambar 10. Penurunan angka keamanan dari kestabilan tanah

dibawah rumah di kawasan Pandaan akibat pembasahan

(Indarto 2008)

Gambar 11. Tampak atas keretakan, penampang slope dan salah

satu foto kerusakan dinding rumah akibat

longsor di Pandaan

KESIMPULAN

1. Variasi kadar air saat pengeringan pembasahan

merupakan fenomena yang identik dengan loading-

unloading, khususnya dalam alur oedometrik

2. Variasi kadar air saat pengeringan-dan pembasahan

sangat berpengaruh terhadap kestabilan pondasi dan

geoteknik

3. Akibat variasi kadar air saat pengeringan-

pembasahan angka keamanan suatu struktur geoteknik

tidak pernah konstan,

DAFTAR PUSTAKA

1. Biarez J., Fleureau J.M.,Zerhouni M.I.,Soepandji

B.S.,Variations de volume des sols argileux lors

de cycles de drainage-humidification., Revue

Francaise de Geotechnique, No.41, pp.63-71,

1988.

2. Indarto, Comportement des sols soumis a une

pression interstitielle negative, these de docteur

presente a Ecole Centrale Paris, Septembre 1991

3. Cogel O.et De Backer, Etude des relations entre la

distributions des diameter des pores d’un milieu

poreoux et ses proprietes de tranfert et de

retention, Int.Symp.Fluid mechanics an scale

effect on the the phenomena in porous media

transient,stationery, or permanent flow an time

scale, Thessaloniki,Greece 1978.

4. Delage P, Aspects du comportement des sols non

satures, Revue Francaise de Geotechnique Vol.40,

pp.33-43,1988.

5. Fleureau J.M.,S.Taibi,R.Soemitro,Indarto, Prise

en compte de la pression interstitielle

negativedans l’estimation du gonflement,

colloque de tlemcen Mars 1990

6. Indarto , Evaluasi konstruksi proyek turap di Kota

Bangun Kaltim, Geotechnical Report LPPM ITS,

2007

7. Indarto, Evaluasi penurunan rumah tinggal Blok

U 114 Darmahusada Indah, Geotechnical Report

, C.V. Data Persada Surabaya, 2006

8. Indarto, Evaluasi Kelongsoran Jalan di Area

Prambanan Residence , Geotechnical Report ,

Lisa Concrete, Surabaya 2007

9. Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan

perkantoran Pemda Kantor Bupati Malinau

Kalimantan Timur, Geotechnical Report, P.T.

Pagarsiring Malinau Kaltim, 2007.

10. Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan villa

RH=2/10 di Taman Dayu Pandaan, Geotechnical

Report ,2008

11. Indarto, Evaluasi kestabilan lereng tanah dasar

proyek gudang dan perumahan, Karanglo

Malang,Jawa Timur, Geotechnical Report , Depo

Bangunan Surabaya,2007

12. Indarto Perhitungan galian untuk basement di

tanah ekspansive untuk pembuatan basement

pada perluasan P.T. Nestle Pasuruan, Geotech-

nical report, P.T.Harjaguna Kurniamitra 2006

13. Suhartono R, Suhartono A dan Indarto, Variasi

tegangan geser dalam siklus drying dan wetting

contoh tanah undisturbed, Tugas Akhir

No.1018.S, Jurusan Teknik Sipil FTSP, UK Petra,

2000

14. Yudayana D.P, dan IndartoPengaruh variasi

tegangan air pori negatif terhadap perubahan

tegangan geser pada lempung kaolinite, Tesis

Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program

Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP-

ITS ,2001

15. Gani, Indarto dan Moedaryono Pengaruh

keberadaan rumput gajah terhadap kestabilan

lereng, Tesis Magister Bidang Keahlian

Geoteknik Program Studi Pascasarjana Jurusan

Teknik Sipil FTSP-ITS ,dalam persiapan 2008

16. Gunawan Hendra dan Indarto Pengaruh

perlindungan rumput gajah terhadap penetrasi air

serta peningkatan kuat geser tanah lanau

remolded akibat keberadaan akarnya Tesis

Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program

Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP-

ITS, 2004