indarto1
-
Upload
wahyu-hermansyah -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
description
Transcript of indarto1
A-1 ISBN 978-979-18342-1-6
PERANAN VARIASI KADAR AIR TERHADAP KESTABILAN
STRUKTUR PONDASI DAN GEOTEKNIK
Prof. Dr. Ir. Indarto
Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK
Variasi kadar air dalam tanah dapat terjadi karena adanya perubahan musim kemarau, ataupun musim penghujan. Pada tanah
lunak atau pada tanah dimana muka air tanah tidak terlalu dalam, kondisi tersebut dapat menyebabkan variasi muka air tanah
akibat adanya pasang surut yang sering juga disebut zone aktif. Pada tanah ekspansif, dimana muka air tanah terletak pada
kedalaman yang jauh dari permukaan kondisi variasi kadar air akibat adanya musim kemarau dan hujan dapat
mengakibatkan kembang susut atau variasi volume pada tanah, yang juga dibatasi oleh apa yang dinamakan zone aktif.
Dalam perspektif mekanika tanah akibat adanya variasi kadar air tersebut telah mengakibatkan adanya variasi
parametertanah serta variasi kelakuan tegangan dari tanah. Variasi parameter dan tegangan tanah ini akan memberikan
pengaruh pada struktur pondasi atau struktur lain yang memiliki interaksi dengan tanah atau hal-hal yang berkaitan dengan
struktur geoteknik. Makalah ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kestabilan suatu struktur pondasi dan geoteknik
akibat adanya variasi parameter tanah akibat adanya variasi kadar airselama siklus pengeringan –pembasahan. Untuk itu
akan dibahas bagaimana kelakuan tanah lunak dan ekspansif saat mengalami pengeringan- pembasahan, kemudian
dikorelasikan dengan beberapa kasus yang terjadi dilapangan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa variasi kadar air
memeiliki peran yang sangat besar terhadap kestabilan maupun kegagalan struktur pondasi dan geoteknik.
Kata kunci : variasi kadar air, pondasi, struktur geotenik, kestabilan
PENDAHULUAN
Musim kemarau yang silih berganti setiap tahun telah
menyebabkan adanya siklus pengeringan-pembasahan
yang berarti terjadi variasi kadar air pada tanah.
Siklus drying-wetting dari setiap tanah memiliki
karakteristik yang berbeda-beda (Indarto 1991). Cogel
dan De Backer (1978) melakukan studi tentang
hubungan antara distribusi pori dari suatu miliu poreus
dengan kelakuan rembesannya, mereka menyimpulkan
bahwa geometri dari miliu poreus sangat menentukan
kelakuan rembesan material poreus tersebut.
Delage (1988) mencatat bahwa untuk tanah lempung,
tegangan air pori negatif dapat mencapai nilai yang
tinggi.
Menurut Biarez et al (1988), pembebanan suatu
tegangan air pori negatif pada suatu benda uji tanah ,
akan diterjemahkan secara simultan oleh variasi angka
porinya, derajat kejenuhannya serta kadar airnya.
Tanpa adanya tegangan luar, Biarez et al.(1988),
kemudian Fleureau et al. (1990) telah membandingkan
percobaan drying-wetting dengan percobaan mekanik
kompresi-dekompresi. Mereka menunjukkan bahwa
dalam kondisi jenuh terdapat persamaan antara tegangan
mekanik yang dikenakan dengan tegangan
kapiler.Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk tanah
jenuh variasi volume hanya tergantung pada tegangan
effektif.
Siklus drying-wetting juga sangat mempengaruhi
variasi besarnya tegangan geser suatu tanah. Beberapa
peneliti memberikan hubungan variasi tegangan geser
dengan siklus drying-wetting, Suhartono R dan
Suhartono A (2000) untuk tanah ekspansif inisial
undisturbed, Yudayana (2001) untuk kaolinit inisial
batas cair, sedang Gunawan (2004) kemudian Gani
(2008) untuk tanah residual (lanau kelempungan),
inisial disturbed dan undisturbed. Secara umum
peneliti-peneliti ini menunjukkan penurunan kohesi
dan tegangan geser saat tanah mengalami kenaikan
kadar air dan derajat kejenuhan.
Beberapa evaluasi pengaruh siklus drying-wetting di
terhadap kerusakan pondasi diberikan oleh Indarto
(2008).
Dalam kaitan variasi kadar air dengan kerusakanan
pondasi di Amerika, Jones dan Holtz ( 1973)
menyatakan bahwa akibat kelakuan kembang susut
tanah ekspansif telah menyebabkan kerusakan pondasi
dan bangunan senilai $ 2,3 milyar per tahun, dimana
nilai ini lebih dari dua kali dari beaya tahunan yang
dikeluarkan akibat kerusakan karena banjir,
tornado,dan gempa bumi.
Indarto (2008) mengungkapkan beberapa kasus
kerusakan struktur pondasi dan geoteknik, akibat
variasi keberadaan air pada tanah dasar.
A-2
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
Gambar 1. Karakteristik global tanah Kaolinite P300 saat pengeringan - pembasahan
Siklus drying –wetting
Kaolinite P 300
wL = 40 %
IP = 20 %
A
B C
D
A-3 ISBN 978-979-18342-1-6
Gambar 2. Karakteristik global tanah ekspanasif undisturbed Graha Family saat pengeringan - pembasahan
A-4
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik
pengaruh tanah saat mengalami siklus drying-wetting
dari tanah lunak dan ekspansif serta mencoba
menghubungkannya terhadap beberapa kasus riil
kerusakan pondasi dan struktur geoteknik.
KARAKTERISTIK SIKLUS PENGERINGAN-
PEMBASAHAN PADA TANAH.
Sebelum melihat kelakuan tanah saat mengalami
pengeringan-pembasahan mungkin perlu
menyeragamkan pengertian tentang istilah
pengeringan dan pembasahan dalam konteks
mekanika tanah sbb:
- Pengeringan adalah pengurangan tegangan air
pori uw yang semakin kecil (atau – uw meningkat)
- Pembasahan adalah penambahan tegangan air
pori uw yang makin lama makin besar (atau – uw
mengecil)
Gambar 1 merupakan hasil percobaan dari kolinite
P300 remolded (Indarto 1991) yang dilakukan pada
benda uji dengan kondisi inisial dengan kadar air 1,5
batas cair. Sedang Gambar 2 adalah hasil percobaan
dari tanah ekspansif Graha Family Surabaya, dari
benda uji undisturbed dengan kondisi inisial kadar air
w adalah 58,7 % (Suhartono et al 2000). Untuk
memperoleh gambaran karakteristik yang jelas saat
pengeringan-pembasahan, hasil percobaan
pengeringan-pembasahan kaolinite P300 dan tanah
ekspansif Graha Family ini,dipresentasikan dalam 5
grafik yang mencerminkan hubungan antara
parameter-parameter kadar air (w), angka pori (e), dan
derajat kejenuhan (Sr) saat mengalami kenaikan atau
penurunan tegangan air pori negatif. Kelima grafik
tersebut adalah ;
1. Kurva hubungan antara angka pori e dan w
2. Kurva hubungan antar angka pori (e) dan
tegangan air pori negatif (-uw)
-uw juga sering tampilkan sebagai pF dimana pF
= log10 uw (dalam cm)
3. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan
kadar air w
4. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan
pF
5. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan
kadar air w
Model penampilan karakteristik global pengeringan-
pembasahan ini dalam 5 grafik diusulkan pertama kali
oleh Biarez et al. (1988), kemudian berturut-turut
digunakan oleh Fleureau et al (1990), Zerhouni
(1991), dan Indarto (1991).
a. Kelakuan Kaolinite P300 saat pengeringan-
pembasahan.
Kaolinite P300 diambil untuk menjelaskan sebagai
contoh kelakuan umum tanah kelempungan saat
mengalami siklus pengeringan- pembasahan.
Meskipun tidak seluruhnya kelakuan global akan
dibahas disini mengingat terbatasnya waktu
Pada alur pengeringan (alur ABC) kaolinite P300 pada
Gambar 1, terlihat bahwa tanah tetap jenuh sampai
tegangan air pori negative yang sangat tinggi (uw>-
1500), dalam kondisi pengeringan ini terlihat adanya
penurunan angka pori yang tampak linier dengan
logarithma dari tegangan air pori. Dalam koordinat e-
w hubungan e = Gs.w/100 membenarkan bahwa pada
interval ini keadaan tanah masih tetap jenuh.
Hal lain yang dapat dilihat dari representasi global
pada saat pengeringan ini adalah :
- Batas susut sebesar 23 %, pada tegangan air pori
negatif sekitar 2000 kPa
- Adanya garis yang paralel antara antara alur
oedometrik dan pengeringan seperti terlihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan alur oedometrik dan
pengeringan untuk tanah kaolinite P300
Dalam hal ini berarti saat tanah mengalami
pengeringan maka meski tidak ada beban maka tanah
mengalami pemampatan seperti mendapatkan beban
pada percobaan oedometrik
Disisi lain Yudayana (2001), yang melakukan
percobaan siklus pengeringan-pembasahan untuk
white kaolinite menunjukkan bahwa saat mengalami
pengeringan kohesi tanah mengalami peningkatan.
Pada alur pembasahan ( alur CBD), terdapat beberapa
hal yang bisa kita amati :
- Antara harga pF 7 dan pF 5 terlihat adanya
kenaikan kadar air yang sangat lemah, praktis
hampir tidak terlihat kenaikan angka pori (grafik
dalam hubungan e-w dan Sr-w), dimana variasi
derajat kejenuhan sekitar 0 – 8 %.
- Antara harga pF 4 dan pF 5 meski derajat
kejenuhan naik secara tajam dari 8% sampai
mendekati 95 %
- Untuk tegangan air pori yang lebih tinggi dalam
nilai absolut (pF<4), tampak adanya kenaikan
lebih nyata dari angka pori, diikuti dengan variasi
kadar air yang sama, yang berarti variasi kenaikan
derajat kejenuhan yang sangat kecil.
Kebalikan dari kondisi pengeringan Yudayana (2001)
mencatat bahwa saat pembasahan pada white
kaolinite menunjukkan penurunan yang sangat tajam
khusunya setelah melewati derajat kejenuhan 80 %.
Namun setelah derajat kejenuhan mencapai >95 % ,
variasi tidak terlihat tajam. Hasil lengkap percobaan
tegangan unconfined white kaolinite saat pengeringan
pembasahan ini dapat dilihat pada Gambar 4.a. dan 4.b
A-5 ISBN 978-979-18342-1-6
(a)
(b)
Gambar 4. Percobaan tegangan unconfined pada white
kaolinite saat pengeringan pembasahan ; (a) hubungan
w- Sr; (b) su =w
b. Kelakuan tanah ekspansif Graha Family
undisturbed saat pengeringan-pembasahan.
Kelakuan tanah ekspansif undisturbed Graha Family
Surabaya pada Gambar 2 adalah hasil percobaan
Suhartono et al. (2000) . hal-hal yang perlu dicatat
disini adalah pada kondisi awal tanah undisturbed
dimana kadar airnya adalah 58.7 %, tanah talah dalam
quasi jenuh atau Sr telah mendekati 100 % dan angka
porinya adalah 1,5, dengan tegangan air pori sekitar
100 kPa. Dalam posisi ini :
- Ketika dilakukan pengeringan ( dari pF 3 sampai
pF 7), perubahan variasi angka pori relatif kecil
dibanding saat pembasahan (dari 1,5- 0,5).
Variasi derajat kejenuhan hampir tidak terlihat
- Sebaliknya saat pembasahan (dari pF 3 sampai pF
1), perubahan angka pori terlihat tajam (dari 1,5 –
sampai lebih dari 3). Dimana kondisi ini
mencerminkan ciri dari tanah ekspansif.
Perubahan derajat kejenuhan Sr terlihat sangat
brutal.
- Dari grafik pF- Sr, terlihat bahwa posisi kondisi
inisial adalah dalam kondisi tegangan desaturasi
- Hal yang sama dengan tanah white kaolinite tanah
ini mengalami kenaikan tengangan geser saat
pengeringan, namun kenaikan tegangan geser
disini terlihat sangat tajam (dari kondisi inisial,
atau sekitar pF=3, su berada sekitar lebih dari 550
kPa sampai pF=7, dimana su mencapai lebih dari
1900 kPa).
- Saat pembasahan terjadi sebaliknya terjadi
penurunan su namun variasi penurunan ini tidak
setajam saat pengeringan khususnya setelah kadar
air lebih dari 75 %, su masih mengalami
penurunan namun variasinya hampir tak terlihat.
Variasi lengkap tegangan geser tanah ekspansif Graha
Family saat pengeringan dan pembasahan ,dapat
dilihat pada grafik dalam Gambar 5.a dan 5.b
(a)
(b)
Gambar 5. Variasi tegangan geser tanah ekspansif Graha Family saat pengeringan –
pembasahan ; a. Variasi su-Sr
b. Variasi su-w
Selain tanah ekspansif dan tanah lunak, tanah residual
juga memilik sifat kemiripan karakteristik, lereng-
lereng alam, dimana sering mengalami mengalami
kelongsoran umumnya merupakan tanah residual.
Sedang percobaan variasi su pengeringan-pembasahan
untuk tanah ekspansif telah dilakukan oleh Gunawan
dan Indarto (2004).
PENGARUH VARIASI KADAR AIR TERHADAP
STRUKTUR GEOTEKNIK
Secara umum karena variasi kadar air memberikan
perubahan sifat fisik dan mekanik, maka kondisi ini
secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap
kestabilan suatu struktur geoteknik ataupun pondasi.
Beberapa kasus dibawah ini adalah contoh – contoh
kasus –kasus riil akibat pengaruh variasi pengeringan –
pembasahan.
A-6
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
1. Pengaruh terhadap penggalian
Kondisi pengeringan yang memberikan kondisi tidak
jenuh pada tanah ekspansif seringkali memberikan
beberapa keuntungan saat penggalian karena tingginya
tegangan geser. Misalnya saat suatu perusahaan di
Pasuruan yang ingin mem bangun basement didalam
suatu gedung yang telah jadi. Dalam kondisi ini pihak
pemilik, mencari metode bagaimana dapat menggali
pada kedalaman 4m tanpa menggunakan alat berat
yang tidak dapat masuk kedalam gedung. Namun
dengan kondisi tanah ekspansif unsaturated, ternyata
bahwa penggalian 4 m tanah tersebut tetap stabil dan
tidak mengalami kelongsoran, dan angka keamanan
terhadap sliding lebih dari 10 (indarto 2006).
Sisi lain pengaruh pengeringan ini adalah saat
dilakukan dewatering atau pengeringan di tanah lunak.
Akibat dewatering ini biasanya dapat menimbulkan
penurunan pada bangunan disekitarnya. Mekanisme
penurunan ini dapat dilihat pada Gb. 6
Gambar 6. Skema penurunan suatu pondasi akibat
dewatering
Sebagaimana konsep pengeringan dimana setiap
penambahan tegangan air pori negatip menimbulkan
suatu beban, maka akibat adanya dewatering tanah
dibawah pondasi mengalami penambahan beban
sebesar hw yang dapat memberikan penurunan
pondasi yang telah lama berdiri, kasus-kasus seperti ini
sering terjadi pada beberapa kasus pelaksanaan
dewatering di Jakarta maupun di Surabaya
2. Kerusakan bangunan akibat pengeringan
pembasahan
Pasang surut merupakan fenomena riil dilapangan dari
siklus pengeringan-pembasahan. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya fenomena surut adalah
fenomena pengeringan atau pengurangan tegangan air
pori , fenomena ini seperti fenomena loading pada
tanah. Sebaliknya fenomena pasang adalah fenomena
penambahan tegangan air pori ,fenomena ini seperti
fenomena unloading.
Fenomena pengeringan dapat memberikan
pengurangan angka pori atau penyusutan ketebalan
lapisan pada tanah, khususnya apabila kondisi tanah
tersebut kurang padat.
Suatu contoh yang baik untuk kasus ini asalah adalah
pembangunan gedung pemerintah yang terletak di
lahan rawa di Malinau Kalimantan (Indarto 2007).
Karena saat pembangunan pemadatan urugan untuk
tanah dasar pondasi tidak direncanakan dan
dilaksanakan dengan baik, maka tanah dasar pondasi
yang merupakan tanah kelempungan (wL sekitar 50 %)
memiliki kepadatan yang tidak baik, hal ini
ditunjukkan dengan angka pori yang cukup tinggi
untuk jenis tanah ini.(1,1 -1,4) Karena pada lahan
pada daerah tersebut pasang surutnya tinggi, maka
pada saat surut (drying) tanah tersebut mengalami
“pemadatan” atau penurunan angka pori. Akibatnya
area bangunan termasuk beberapa tangga dan kolom
yang tidak didukung dengan tiang bor sampai ke tanah
keras mengalami penurunan. Demikian juga beberapa
selasar, serambi, koridor serta saluran. Perbaikan
untuk kerusakan bagian gedung tersebut menelan
beaya diatas 3 milyar rupiah. Foto Gambar 7.
menunjukkan salah satu kondisi kerusakan pada
bangunan tersebut
Gambar 7. Kerusakan kolom tangga gedung
pemerintah di Malinau akibat perbedaan
penurunan (Indarto 2007)
Contoh kegagalan struktur lain akibat siklus drying-
wetting adalah kasus pembangunan sheetpile
sepanjang sungai Mahakam di Kotabangun
Kalimantan (Indarto 2007), dimana sheet pile
mengalami kerusakan berat setelah terjadi banjir yang
menenggelamkan sheet pile. Saat banjir pasang
sheetpile masih stabil, tetapi saat banjir surut,
sheetpile mengalami displacement yang besar akibat
adanya perbedaan permukaan air, dimana pada sisi
sungai permukaan air lebih rendah dibanding sisi
darat. Akibat dari kondisi tersebut sisi darat yang
merupakan badan jalan mengalami sliding yang
menghantam sheetpile . Analisa mekanisme sliding
dan displacement dari sheet pile dapat digambarkan
pada Gambar
Kejadian di Kotabangun ini tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh wetting terhadap badan jalan - yang
dibangun sepanjang tepi sungai. saat banjir. Meski
sudah jenuh, untuk tanah
kelempungan selama proses wetting masih
berlangsung, penurunan tegangan geser terus terjadi
akibat kenaikan kadar air.
3. Pengaruh pembasahan terhadap kestabilan
struktur geoteknik dan lereng
Kasus-kasus pada tanah ekspansif maupun reidual
biasanya merupakan kasus kelongsoran akibat
penurunan tegangan geser akibat pembasahan.
Di Surabaya kasus tanah ekspansif terjadi pada area
Ciputra world dikawasan Majen Sungkono Surabaya.
dewatering
m.a.t. setelah dewatering
m.a.t . natural
A-7 ISBN 978-979-18342-1-6
Gambar 8 Analisa mekanisme sliding dan
displacement sheetpile sepanjang
sungai Mahakam di Kota Bangun Ilir
Kaltim (Sumber Indarto 2007)
Pada area dimana akan dibangun suatu bangunan
tinggi akan dibuat diperlukan suatu basement.
Sebelum dibuat basement dibuat suatu struktur
sheetpile sekeliling basement tersebut. Pada sustu
bagian struktur sheetpile yang sejajar dengan jalan
diatasnya terdapat saluran KMS yang lebarnya tidak
kurang dari 2 m. Namun ada bagian dari saluran
tersebut yang bocor tanpa diketahui sebelumnya.
Pada saat hujan, struktur sheetpile yang terletak pada
area yang bocor tadi mengalami kelongsoran.
Sehingga terjadi keruntuhan struktur sheetpile
sepanjang 30 m. Dari perhitungan kembali struktur
sheetpile tersebut menunjukkan bahwa angka
keamanan mengalami penurunan akibat penurunan
tegangan geser tanah saat pembasahan, diisi lain
moment lenur maksimum mengalami kenaikan brutal
akibat softening dari tanah
(a)
Contoh kasus lain struktur pada tanah ekspansif,
adalah rusaknya diding penahan badan jalan setinggi
sekitar 3 m, sepanjang saluran di kawasan perumahan
di Bukitmas Surabaya (Indarto 2007)
(b)
Gambar 9. (a) Penurunan angka keamanan akibat
pembasahan
(b) Kenaikan moment lentur masimum
akibat pembasahan dari struktur sheet
pile dikawasan Ciputra World
Ketika dibangun, berdasarkan penyelidikan tanah
yang ada, dengan derajat kejenuhan antara 92 % -95
%, kohesi tanahnya berkisar antara 10 kPa sampai 24
kPa, dengan sudut geser tanah berkisar 60-8
0.
Dengan kondisi ini kestabilan dining penahan masih
relative besar (>1,5). Namun kondisi ini menurun
drastis saat tanah mengalami wetting yang
diperkirakan kohesi menurun menjadi 5 kPa. Penetrasi
air pada bahu jalan yang terbuka, diduga menjadi
penyebab terjadinya penurunan dan ketidakstabilan
struktur dinding penahan tersebut.
Akibat sliding ini terjadi penurunan bahu jalan sekitar
lebih dari 60 cm, lendutan global dinding penahan
sepanjang badan jalan serta kerusakan ikatan antar
element dinding arf wall yang digunakan.
Untuk contoh kasus tanah lanau atau residual dapat
dilihat kaus villa di kawasan Pandaan (Indarto 2008).
yang berdiri diatas tanah timbunan setinggi sekitar 8
m. Kemiringan tebing sekitar 400
tanpa penahan,
sedangkan lahan rumah dan bangunan memiliki
kemiringan sekitar 50. Tanah timbunan merupakan
tanah lanau residual, dengan kohesi sekitar 20 kPa dan
sudut geser tanah sekitar 150. Data tanah
undisturbed yang diambil saat musim kemarau ini bila
diterapkan dalam perhitungan sliding akan memberi
angka keamanan yang cukup (>1,5). Namun nilai ini
menurun menjadi kurang dari 1 saat kohesi diturunkan
sampai kurang dari 8 kPa. Dan kondisi penurunan
kohesi ini hanya bisa terjadi saat air menetrasi
kedalam timbunan tanah, atau saat musim hujan.
Prediksi ini sesuai dengan informasi pembangun
bahwa kejadian kerusakan terjadi saat musim hujan.
Gambar 10 menunjukkan penurunan angka keamanan
akibat penurunan kohesi saat wetting. Akibat sliding
timbunan ini beberapa rumah dan lahan sepanjang
sekitar lebih dari 5 m kearah tebing, mengalami
penurunan dan tanah batas sliding terbuka yang
menyebabkan keretakan yang besar. Sampai makalah
ini ditulis proses penurunan dan kerusakan terus
bertambah (lihat foto pada Gambar 11).
Kondisi banjir sebelum surut gerakan lateral dimbangi tekanan hidrostatis air
Sheetpile yang miring akibat gerakan lateral tanah
Kondisi banjir setelah surut gerakan lateral tidak ada yang menahan dan menghantam sheetpile
A-8
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
Gambar 10. Penurunan angka keamanan dari kestabilan tanah
dibawah rumah di kawasan Pandaan akibat pembasahan
(Indarto 2008)
Gambar 11. Tampak atas keretakan, penampang slope dan salah
satu foto kerusakan dinding rumah akibat
longsor di Pandaan
KESIMPULAN
1. Variasi kadar air saat pengeringan pembasahan
merupakan fenomena yang identik dengan loading-
unloading, khususnya dalam alur oedometrik
2. Variasi kadar air saat pengeringan-dan pembasahan
sangat berpengaruh terhadap kestabilan pondasi dan
geoteknik
3. Akibat variasi kadar air saat pengeringan-
pembasahan angka keamanan suatu struktur geoteknik
tidak pernah konstan,
DAFTAR PUSTAKA
1. Biarez J., Fleureau J.M.,Zerhouni M.I.,Soepandji
B.S.,Variations de volume des sols argileux lors
de cycles de drainage-humidification., Revue
Francaise de Geotechnique, No.41, pp.63-71,
1988.
2. Indarto, Comportement des sols soumis a une
pression interstitielle negative, these de docteur
presente a Ecole Centrale Paris, Septembre 1991
3. Cogel O.et De Backer, Etude des relations entre la
distributions des diameter des pores d’un milieu
poreoux et ses proprietes de tranfert et de
retention, Int.Symp.Fluid mechanics an scale
effect on the the phenomena in porous media
transient,stationery, or permanent flow an time
scale, Thessaloniki,Greece 1978.
4. Delage P, Aspects du comportement des sols non
satures, Revue Francaise de Geotechnique Vol.40,
pp.33-43,1988.
5. Fleureau J.M.,S.Taibi,R.Soemitro,Indarto, Prise
en compte de la pression interstitielle
negativedans l’estimation du gonflement,
colloque de tlemcen Mars 1990
6. Indarto , Evaluasi konstruksi proyek turap di Kota
Bangun Kaltim, Geotechnical Report LPPM ITS,
2007
7. Indarto, Evaluasi penurunan rumah tinggal Blok
U 114 Darmahusada Indah, Geotechnical Report
, C.V. Data Persada Surabaya, 2006
8. Indarto, Evaluasi Kelongsoran Jalan di Area
Prambanan Residence , Geotechnical Report ,
Lisa Concrete, Surabaya 2007
9. Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan
perkantoran Pemda Kantor Bupati Malinau
Kalimantan Timur, Geotechnical Report, P.T.
Pagarsiring Malinau Kaltim, 2007.
10. Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan villa
RH=2/10 di Taman Dayu Pandaan, Geotechnical
Report ,2008
11. Indarto, Evaluasi kestabilan lereng tanah dasar
proyek gudang dan perumahan, Karanglo
Malang,Jawa Timur, Geotechnical Report , Depo
Bangunan Surabaya,2007
12. Indarto Perhitungan galian untuk basement di
tanah ekspansive untuk pembuatan basement
pada perluasan P.T. Nestle Pasuruan, Geotech-
nical report, P.T.Harjaguna Kurniamitra 2006
13. Suhartono R, Suhartono A dan Indarto, Variasi
tegangan geser dalam siklus drying dan wetting
contoh tanah undisturbed, Tugas Akhir
No.1018.S, Jurusan Teknik Sipil FTSP, UK Petra,
2000
14. Yudayana D.P, dan IndartoPengaruh variasi
tegangan air pori negatif terhadap perubahan
tegangan geser pada lempung kaolinite, Tesis
Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program
Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP-
ITS ,2001
15. Gani, Indarto dan Moedaryono Pengaruh
keberadaan rumput gajah terhadap kestabilan
lereng, Tesis Magister Bidang Keahlian
Geoteknik Program Studi Pascasarjana Jurusan
Teknik Sipil FTSP-ITS ,dalam persiapan 2008
16. Gunawan Hendra dan Indarto Pengaruh
perlindungan rumput gajah terhadap penetrasi air
serta peningkatan kuat geser tanah lanau
remolded akibat keberadaan akarnya Tesis
Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program
Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP-
ITS, 2004