Implikasi UU 23 Terhadap Pembangunan KPH

47
i LAPORAN PENELITIAN UTAMA IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU Oleh: 1. Dr. Ir. Eno Suwarno, M.Si / NIDN: 1002086401 (Ketua) 2. Ambar Tri Ratnaningsih, S.Hut, M.Si / NIDN: 1004107701 (Anggota) 3. Enni Insusanty, S.Hut., M.Si / NIDN: 00210681001 (Anggota) Penelitian dibiayai dana RKAT Universitas Lancang Kuning TA 2014/2015 Sesuai Surat Penugasan Penelitian Nomor: 001/Unilak-LPPM/B.07/2015 FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU JUNI 2015 Rumpun Ilmu : 193 / MANAJEMEN HUTAN

description

Berdasarkan UU 23 Tahun 2014 pembentukan KPHL dan KPHP semuanya menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Padahal sebelumnya sudah banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang membentuk lembaga KPHL/KPHP. Penelitian ini mengeksplorasi situasi yang terjadi di Provinsi Riau dalam awal fase transisi ini.

Transcript of Implikasi UU 23 Terhadap Pembangunan KPH

i

LAPORAN PENELITIAN UTAMA

IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23

TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN

PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

Oleh:

1. Dr. Ir. Eno Suwarno, M.Si / NIDN: 1002086401 (Ketua)

2. Ambar Tri Ratnaningsih, S.Hut, M.Si / NIDN: 1004107701 (Anggota)

3. Enni Insusanty, S.Hut., M.Si / NIDN: 00210681001 (Anggota)

Penelitian dibiayai dana RKAT Universitas Lancang Kuning TA 2014/2015

Sesuai Surat Penugasan Penelitian Nomor: 001/Unilak-LPPM/B.07/2015

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU

JUNI 2015

Rumpun Ilmu : 193 /

MANAJEMEN HUTAN

i

ii

RINGKASAN

Diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Oktober 2014 sebagai pengganti UU Nomor

32 tahun 2004 diyakini akan membawa implikasi bagi pelaksanaan pembangunan

KPH di daerah. Oleh karena itu informasi tentang sejauh mana terdapat perubahan

peraturan, serta informasi hasil analisis implikasi dari perubahan tersebut, sangat

diperlukan oleh pemerintah daerah guna menyediakan dasar hukum yang baru bagi

kelanjutan pembangunan KPH di daerah. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perubahan substansi antara isi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan

peraturan-peraturan sebelumnya dalam pengaturan urusan bidang kehutanan; (2) mengkaji

implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan tingkat di bawahnya (PP dan

Permen) yang saat ini menjadi acuan pembangunan KPH; dan (3) mengkaji implikasi

perubahan tersebut terhadap proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau.

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan (Desember 2014 - Mei 2015)

dengan lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Secara garis besar kegiatan penelitian terdiri dari kegiatan (1) pengumpulan dan

analisis peraturan, dan (2) wawancara dengan sejumlah pemangku kepentingan

(Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, KPHP

Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri).

Perubahan substansial dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di

dalam peraturan baru, kewenangan pembentukan institusi KPHL/KPHP semuanya

menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi kewenangan

pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang

ada di wilayahnya. Implikasi dari perpindahan kewenangan, maka peraturan yang

menjadi dasar hukum pembentukan institusi KPHL dan KPHP yaitu PP No.

38/2007 dan Permendagri No. 61/2010 (turunan dari UU No. 32/2004) tidak bisa

diacu lagi. Selain itu perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan

proses-proses pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota mengalami stagnasi.

Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas maka disarankan kepada pemerintah

pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri

(Permen) sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk acuan yang lebih

operasional bagi pemerintah daerah. Bagi Pemerintah Provinsi Riau dan

Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, disarankan segera melakukan

koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan,

sarana-prasarana, dan dokumen (P3D).

PRAKATA

iii

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Pencipta dan Pemelihara

alam semesta, atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat

melakukan penelitian dan menyelesaikan laporan akhir yang berjudul “Implikasi

Terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Terhadap Pembangunan

Kesatuan Pengelolaan Hutan Di Provinsi Riau”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu mulai dari awal hingga selesainya laporan akhir

ini, antara lain kepada Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala Dinas

Kehutanan Kabupaten Kampar, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, Kepala KPHP

Minas Tahura, dan Kepala KPHP Kampar Kiri, kemudian kepada Lembaga

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Lancang Kuning yang

telah membiayai penelitian ini, Dekan dan teman sejawat di Fakultas Kehutanan

Universitas Lancang Kuning dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran

penelitian ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan akhir

ini, oleh karena itu saran dan kritik membangun sangat diharapkan sehingga dapat

menyempurnakan kegiatan ini di masa mendatang. Semoga hasil ini dapat

bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Pekanbaru, Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI

iv

Halaman

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ vi

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 4

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................... 8

BAB IV. METODE PENELITIAN …………….............................. 10

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................………………. 12

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 20

LAMPIRAN ........................................................................................ 22

DAFTAR GAMBAR

v

Halaman

Gambar 1. Road map penelitian bidang tata kelola hutan 2014- 2018 3

Gambar 2. Fishbone Analisis Implikasi Diundangkannya UU Nomor

23 Tahun 2014 Terhadap Pembangunan Kesatuan

Pengelolan Hutan Di Provinsi Riau ..…………………… 11

DAFTAR LAMPIRAN

vi

Halaman

Lampiran 1. Surat penugasan (surat kontrak) pelaksanaan penelitian 23

Lampiran 2. Surat tugas ..……...................................……………… 25

Lampiran 3. Realisasi anggaran ........................................................ 26

Lampiran 4. Dokumentasi ................................................................. 28

Lampiran 5. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian .......... 29

Lampiran 6. Berita acara dan absensi seminar hasil ......................... 30

Lampiran 7. Draft Artikel ................................................................. 32

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pembangunan Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) tengah menjadi program prioritas pemerintah. Hal ini

tergambar dari sasaran strategis yang akan dicapai dalam pelaksanaan Rencana

Stategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yang mentargetkan

ditetapkannya wilayah KPH di setiap provinsi dan terbentuknya 20% kelembagaan

KPH. Pentingnya keberadaan organisasi KPH semakin dirasakan seiring dengan

masih tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Ditinjau dari perspektif

tata kelola, ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak ditengarai sebagai salah

satu penyebab utama tidak dapat diatasinya permasalahan-permasalahan illegal

logging, perambahan hutan, konflik lahan, dan kegagalan program-program

rehabilitasi hutan. Oleh karena itu, pembangunan KPH dimaksudkan untuk

mengatasi kelemahan sistem pengurusan hutan di masa lalu ini, agar keberadaannya

di tingkat tapak dapat menjalankan keseluruhan tugas dan fungsi pengelolaan hutan.

KPH adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan

peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Banyak pihak

meyakini pembentukan KPH merupakan prasyarat terselenggaranya pengelolaan

hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management – SFM) dan berkeadilan.

Pemerintah mencanangkan akan membentuk KPH sekitar 600 unit di seluruh

kawasan hutan negara, dimana pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai

tahun 2009 hingga tahun 2020. Sampai akhir tahun 2014 ditargetkan sebanyak 120

unit KPH sudah operasional (Kemenhut 2010; 2011).

Berdasarkan pengalaman implementasi pembangunan KPH di lapangan,

khususnya dalam pembangunan KPH model, ditemukan sejumlah kendala. Salah

satu isu penting yang sering mencuat dalam berbagai diskusi ─forum sosialisasi,

workshop, rapat kerja, dan sebagainya─ adalah masalah peraturan perundang-

undangan. Dalam hal pembentukan organisasi KPH di daerah, peraturan yang

dijadikan rujukan adalah PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, dan

Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi KPHL dan KPHP di

2

Daerah. Sedangkan pembagian tugas urusan pemerintahan mengacu kepada PP No.

38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Terdapat fenomena umum bahwa pemerintah daerah masih kebingungan dalam

mensikapi peraturan perundang-undangan yang ada tersebut (Kartodihardjo et al.

2011). Secara umum pemerintah daerah memandang bahwa peraturan-peraturan

tersebut selain belum memenuhi harapan dalam distribusi kewenangan, juga masih

mengandung sejumlah kekurangan sebagai acuan pembentukan organisasi KPH.

Misalnya Suwarno et al. (2014) menemukan Norma Standar Prosedur dan Kriteria

(NSPK) di dalam Permendagri No. 61/2010 untuk menyusun organisasi

KPHP/KPHL belum lengkap dan aplikatif. Situasi ini mendorong sebagian besar

pemerintah daerah mengacu langsung kepada PP No.41/2007 yang tidak secara

khusus mengatur tentang pembentukan organisasi KPHL/KPHP.

Di tengah-tengah dinamika fase awal pembangunan KPH dengan segala

permasalahan yang dihadapinya, pada tanggal 2 Oktober 2014 Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini antara lain mengatur pembagian tugas

dan kewenangan bidang kehutanan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan

pemerintah kabupaten/kota, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 32/2004 dan

peraturan turunannya yaitu PP No. 38/2007.

Terbitnya UU No. 23/2014 tentunya menjadi landasan baru bagi

pelaksanaan pembangunan kehutanan dan secara khusus bagi pembangun KPH di

di Provinsi Riau. Oleh karena itu terkait diterbitkannya UU ini, diperlukan suatu

kajian sejauh mana perubahan-perubahan yang terdapat dalam UU baru

dibandingkan dengan UU dan peraturan turunan yang berlaku sebelumnya.

Selanjutnya perlu dilakukan analisis bagaimana implikasinya terhadap proses-

proses pembanguan KPH di Provinsi Riau yang tengah berlangsung saat ini, serta

untuk proses pembangunan KPH tahap berikutnya.

3

1.2. Urgensi Penelitian

Kajian implikasi diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014

terhadap pembangunan KPH di Provinsi Riau memiliki tingkat urgensi yang tinggi,

mengingat keberadaan UU ini akan menjadi aturan kerja (working rules) bagi

pembangunan KPH oleh pemerintah daerah yang saat ini sedang mulai aktif

dilakukan. Menurut Ostrom (2005) aturan kerja adalah seperangkat aturan yang

dijadikan pedoman jika seseorang ditanya oleh orang lain untuk menjelaskan dan

menjustiifikasi keputusan-keputusan yang diambilnya. Dengan diundangkannya

peraturan baru yang sangat terkait, terlebih pada level Undang-Undang, diprediksi

akan sangat berimplikasi terhadap proses-proses yang sedang dan akan

dilaksanakan. Oleh karena itu informasi tentang sejauh mana terdapat perubahan

peraturan, serta informasi hasil analisis implikasi dari perubahan tersebut, sangat

diperlukan oleh pemerintah daerah guna menyediakan dasar hukum yang baru bagi

kelanjutan pembangunan KPH di Provinsi Riau.

Penelitian ini merupakan bagian dari rencana peta jalan (road map) penelitian

bidang tata kelola hutan tahun 2014-2019 yang telah disusun oleh ketua peneliti. Penelitian

ini berada pada bidang penelitian Kebijakan Pengurusan Hutan, pada ruang lingkup Kajian

Kebijakan Nasional. Lebih jelasnya seperti digambarkan pada Gambar 1.

BIDANG

PENELITIAN 2015 2016 2017 2018 2019

Kebijakan

pengurusan

hutan

Kelembagaan

pengelolaan

hutan

Good forest

governance

Pemberdayaan

masyarakat

Gambar 1. Road map penelitian bidang tata kelola hutan 2014-2019

Kajian kebijakan nasional

Organisasi dan kelembagaan KPH pada era otonomi daerah

Penilaian kinerja para pihak sektor kehutanan

Kearifan lokal dan penguatan

posisi masyarakat

Kajian kebijakan daerah

Pendampingan masyarakat

4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep KPH

Pengertian KPH sebagai suatu unit pengelolaan hutan secara formal mulai

muncul di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu

pada penjelasan pasal 17: “Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah

kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang

dapat dikelola secara efisien dan lestari”. Sedangkan Castaneda (2000)

mendefinisikan KPH sebagai unit pengelolaan hutan yang arealnya telah

ditetapkan dengan batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar arealnya ditutupi

oleh hutan, dikelola untuk jangka panjang, dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas

yang dituangkan ke dalam rencana pengelolaan hutan. Dengan demikian maka

KPH adalah strategi manajemen hutan berupa pembagian areal lahan hutan ke

dalam unit-unit wilayah pengelolaan berdasarkan kriteria tertentu.

Luas wilayah satu unit KPH berkisar antara 5000 ha – 700.000 ha (lihat Dir

WP3H 2012). Penetapan luas wilayah KPH tersebut sangat dipengaruhi oleh luas

dan sebaran wilayah hutan yang ada pada masing-masing provinsi dan

kabupaten/kota di Indonesia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007,

KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH

Produksi (KPHP)1. Secara konseptual, menurut Kartodihardjo dan Suwarno

(2014), proses pembangunan KPH sesungguhnya merupakan proses pergeseran

institusi (institutional change), dimana dalam proses pergeseran institusi terdapat

beberapa pokok perubahan fundamental yang menjadi filosofi dasarnya, yaitu: (a)

Perubahan nilai (value system) dan cara berpikir; (b) Perubahan batas yurisdiksi

(jurisdiction boundary); (c) Pengelolaan yang berbasis output secara nyata; dan (d)

Peningkatan transparansi dan akuntabilitas.

1 Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.6 Tahun 2009, Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konservasi (KPHK) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau

didominasi oleh kawasan hutan konservasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) adalah

kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan

lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang

luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi.

5

Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri

Kehutanan (Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah

KPH. Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap,

yaitu: tahap 1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap

2, Arahan pencadangan wilayah KPH oleh Kementerian Kehutanan; tahap 3,

Usulan Penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan

wilayah KPH oleh Menteri Kehutanan.

Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan

organisasi yang akan mengelola KPH. Berdasarkan PP No. 6/2007 jo PP No 3/2008,

organisasi KPHK dibentuk dan ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan

Permendagri No. 61/2010 organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan

ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP

yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan

dengan Peraturan Daerah Provinsi.Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang

wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.

Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Tahun 2008, yang kemudian

dijabarkan dalam Permenhut No. P.6/ 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan

Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, tugas pokok organisasi KPH

adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas di dalam wilayah KPH.

2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk

rencana pengembangan organisasi KPH.

3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan hutan

yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan

kawasan hutan, termasuk dalam bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta

perlindungan hutan dan konservasi alam.

4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan.

5. Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam.

6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan tertentu bagi KPH yang telah

menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

6

7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan

hutan.

8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan

kawasan.

9. Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan

hutan lestari.

Pembangunan KPH di Indonesia saat ini mengacu kepada sejumlah

peraturan perundangan sebagai berikut:

1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provisnsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

4. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan;

5. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah

No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;

6. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah;

7. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang

Pembentukan Wilayah KPH;

8. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma,

Standar, Prosedur, dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP;

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010 tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP;

2.2. Implikasi Perubahan Peraturan

Secara hirarkis Kiser dan Ostrom (1982) membagi peraturan ke dalam tiga

tingkatan, yaitu aturan konstitusional (UUD), aturan pilihan kolektif (UU), dan

aturan operasional (PP, Permen, dst). Secara normatif, aturan yang lebih rendah

7

akan bersarang (mengacu) kepada seperangkat aturan yang lebih tinggi. Dengan

demikian maka perubahan pada satu tingkat peraturan akan sangat ditentukan oleh

batas-batas yang dimungkinkan dari lingkup peraturan di atasnya, sementara

perubahan pada peraturan yang lebih tinggi hampir selalu akan berdampak luas

kepada perubahan peraturan tingkat di bawahnya. Menurut Blomquist (2006),

komponen peraturan berperan dalam membentuk situasi aksi dengan cara

mempengaruhi insentif dan pilihan yang tersedia bagi pada aktor, kemudian aktor

yang rasional akan meresponnya dengan cara berperilaku dan mengadopsi strategi

tertentu, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil. Oleh karena itu menurut

Blomquist, dengan memodifikasi peraturan dapat mendororng aktor untuk

berperilaku dan mengadopsi strategi tertentu sehingga berpotensi menghasilkan

hasil yang berbeda. Menurut Ostrom (2008), modifikasi peraturan pada dasarnya

dimaksudkan untuk menemukan kombinasi yang lebih efektif dibanding kombinasi

yang lainnya.

8

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji perubahan substansi antara isi Undang-Undang Nomor 23 tahun

2014 dengan peraturan-peraturan sebelumnya dalam pengaturan urusan bidang

kehutanan.

2. Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan tingkat di

bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi acuan pembangunan KPH.

3. Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap proses-proses pembangunan

KPH di Provinsi Riau.

3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini terutama bagi pemerintah

daerah, dimana pemerintah daerah Provinsi Riau akan memperoleh gambaran aspek

legal yang baru sebagai landasan hukum bagi keberlanjutan implementasi

pembangun KPH di Provinsi Riau.

3.3.Luaran Yang Diharapkan

Luaran yang akan dihasilkan pada penelitian ini berupa artikel ilmiah yang

ditujukan pada jurnal lokal mengenai implementasi kebijakan pembangunan KPH

di Provinsi Riau dan juga menjadi bahan ajar untuk mata kuliah Kebijakan dan

Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan. Substansi luaran utama dari

penelitian ini berupa informasi dari hasil analisis peraturan tentang:

1. Perubahan-perubahan penting yang terkandung dalam UU 23/2014 yang akan

menjadi dasar hukum baru bagi implementasi kebijakan pembangunan KPH.

2. Gambaran implikasi perubahan tersebut terhadap peraturan-peraturan pada

tingkat di bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi acuan untuk

pembangunan KPH.

9

3. Gambaran implikasi perubahan tersebut terhadap proses-proses pembanguan

KPH di Provinsi Riau yang saat ini tengah berlangsung, serta untuk kelanjutan

pembangunan KPH pada tahap-tahap berikutnya.

Ketiga jenis informasi tersebut sangat penting dan sangat diperlukan oleh

para pemangku kepentingan di daerah, khususnya bagi pemerintah daerah Provisi

Riau yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan KPH.

10

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan penelitian ini akan terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu:

1) Kajian dokumen peraturan, dimana peraturan yang akan dikaji terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provisnsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah

Nomor 6 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP; dan

2) Wawancara terhadap aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Dinas

Kehutanan Kabupaten Kampar, serta tiga KPH di Provinsi Riau yaitu

KPHP Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri.

Aparatur dari Dinas Kehutanan dipilih yaitu Kepala Dinas Kehutanan.

Alasannya, mengingat pejabat tersebut sebagai key informan untuk

implementasi kebijakan pembangunan KPH di daerah tingkat provinsi dan

tingkat kabupaten. Sedangkan aparatur dari ketiga KPH dipilih Kepala

KPH masing-masing, dengan alasan yang sama bahwa mereka sebagai key

informan bagi implementasi kebijakan pembangunan KPH di KPH-nya

masing-masing.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan antara bulan Desember 2014 sampai dengan Mei

2015. Lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

4.3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data

11

Data terkait isi peraturan yang dianalisis dikumpulkan dari internet dengan

cara mengunjungi situs-situs yang menyediakan peraturan yang dibutuhkan. Data

tentang pandangan dan tanggapan aparatur terkait dikumpulkan dengan metode

wawancara semi terstruktur. Analisis peraturan dilakukan dengan metode analisis

isi (content analysis). Substansi yang dianalisis adalah tentang pembagian

kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten /

kota, dan tata hubungan antar tingkatan peraturan Analisis terhadap pandangan dan

tanggapan dari aparatur kehutanan daerah menggunakan analisis deskriptif, yang

menggambarkan aspek pemahaman dan sikap terhadap isi peraturan yang baru.

Gambar 2. Fishbone Analisis Implikasi Diundangkannya UU Nomor 23 Tahun

2014 Terhadap Pembangunan Kesatuan Pengelolan Hutan Di

Provinsi Riau

Implikasi thd proses pembangunan KPH yg sdg berlangsung

Implikasi thp proses pembangunan KPH yg akan datang

Perubahan substasi peraturan dalam UU No. 23//2014

Peraturan-peraturan terdahulu

Kewenangan Tata hubungan antar peraturan

Aspek-aspek yang diatur

Tata hubungan antar peraturan

Aspek-aspek yang diatur

Kewenangan

Keberlanjutan pembangunan KPH di Riau

12

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Peraturan

Analisis peraturan dilakukan terhadap lima buah peraturan, yaitu:

(1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

(2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota;

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor

6 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan

serta Pemanfaatan Hutan; dan

(5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam UU No. 32/2004 pembagian urusan pemerintahan Bidang Kehutanan tidak dirinci namun termasuk ke dalam kelompok yang akan diatur secara khusus

melalui PP (Pasal 14:3).

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Di dalam PP No. 38/2007 sebagai penjabaran dari UU No. 32/2004, pada Pasal 2(4)

dinyatakan bahwa urusan kehutanan adalah urusan pemerintahan yang dibagi

bersama antar tingkatan pemerintahan (konkuren).

Urusan kehutanan termasuk ke dalam kelompok urusan pilihan (Pasal 7:4).

Pada Lampiran Bagian AA poin 8 dinyatakan bahwa: (a) wewenang Pemerintah

adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan

penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan (KPH), penetapan wilayah

KPH dan institusi KPH, serta arahan pencadangan; (b) wewenang Pemerintah

Daerah Provinsi adalah melaksanakan penyusunan rancang bangun, pembentukan

dan pengusulan penetapan KPHL dan KPHP serta pertimbangan teknis institusi

KPHL/KPHP; dan (c) wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah

13

memberi pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan

KPHL dan KPHP, serta institusi KPHL/KPHP.

PP No.6/2007 Jo No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

Di dalam PP No. 6/2007 Jo PP 3/2008 Pasal 8(1) dinyatakan bahwa Menteri

menetapkan organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP. Berdasarkan Pasal 8(2),

Penetapan Organisasi KPHL dan KPHP dilakukan berdasarkan: (a) usulan dari

pemerintah provinsi, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam lintas

kabupaten/kota; (b) usulan dari pemerintah kabupaten/ kota, dalam hal KPHP atau

KPHL berada dalam kabupaten/kota; (c) pertimbangan teknis dari pemerintah

provinsi.

Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan

KPHP di Daerah

Di dalam Permendagri No.61/2010 Pasal 2(2) dinyatakan bahwa pembentukan

KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu

provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi; bunyi ayat (3)

Pembentukan KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian bunyi Pasal 3(1)

KPHL dan KPHP Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah; dan

ayat (2) KPHL dan KPHP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (3) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui

Sekretaris Daerah.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam UU No. 23/2014 Pasal 14(1): Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

bidang kehutanan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi; (2) Urusan

Pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota

menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.

Pasal 404: serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen

(P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat,

daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-

14

Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

Lampiran BB Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, dinyatakan

bahwa pengelolaan hutan oleh Pemerintah meliputi: a. Penyelenggaraan tata hutan;

b. Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan (di dalamnya termasuk pembentukan

wilayah KPH); c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan; d. Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan; e. Penyelenggaraan

perlindungan hutan; f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan;

g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK).

Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Provinsi melipputi: a. Pelaksanaan tata hutan

kesatuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi

(KPHK); b. Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan kecuali

pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); c. Pelaksanaan pemanfaatan

hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, meliputi: (1) Pemanfaatan

kawasan hutan, (2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, (3) Pemungutan hasil

hutan; (4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau

penyerapan karbon; d. Pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara; e.

Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi; f.

Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu; g. Pelaksanaan pengolahan hasil

hutan kayu dengan kapasitas produksi < 6000 m³/tahun; h. Pelaksanaan pengelolaan

KHDTK untuk kepentingan religi.

Keterangan: Semua rincian tugas pengelolaan hutan di atas dilaksanakan oleh

organisasi/institusi KPH (KPHL/KPHP)

Berdasarkan identifikasi terhadap isi peraturan di atas, perubahan-perubahan

mendasar dalam pembagian kewenangan urusan kehutanan (dan secara khusus terkait

pembangunan KPH) adalah sebagai berikut:

1. Di dalam peraturan lama, kewenangan membentuk institusi KPHL dan KPHP,

untuk kawasan hutan lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah

daerah provinsi; dan untuk kawasan hutan dalam satu wilayah kabupaten/kota

menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.

2. Di dalam peraturan baru (UU No.23/2014) kewenangan membentuk institusi

KPHL dan KPHP semuanya menjadi kewenangan pemerintah provinsi; tidak ada

15

lagi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali

pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang ada di wilayahnya.

3. Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D)

sebagai akibat perubahan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah

Pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama 2 (dua)

tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu paling lambat tanggal

2 Oktober 2016.

5.1. Hasil Wawancara

Wawancara dilakukan kepada sejumlah aparatur kehutanan di tingkat provinsi

(Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, dan

Kepala KPHP Minas Tahura) dan di tingkat kabupaten (Sekretaris dan tiga Kepala

Bidang di Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, dan Kepala KPHP Kampar Kiri).

Butir-butir hasil wawancara diangkum sebagai berikut:

Setelah terbitnya UU No. 23/2014, untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan

belum ada pembahasan dan koordinasi antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau

dengan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau.

Dalam merespon UU baru ini secara umum sikap pemerintah daerah (Provinsi

dan Kabupaten/Kota) pada dasarnya taat hukum, dan bersifat menunggu pedoman

implementasinya atau peraturan operasionalnya (PP dan Permen).

KPHP Kampar Kiri sebagai KPH yang dibentuk Pemeritah Kabupaten Kampar

untuk tahun 2015 masih tetap melanjutkan aktivitas sesuai dengan perencanaan

yang sudah dibuat (RKT dan RK-KPH). Namun untuk tahun-tahun selanjutnya

menunggu ketentuan yang akan dibuat pemerintah.

Bila urusan pemerintahan bidang kehutanan semuanya ditarik ke provinsi, kecuali

pengelolaan Tahuran kabupaten/kota, maka keberadaan Dinas Kehutanan

Kabupaten/Kota menjadi tidak urgen lagi. Diperkirakan tahun 2017 Dinas

Kehutanan di Kabupaten Kampar sudah tidak ada lagi.

Bagi KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHP Minas Tahura, diterbitkannya UU No.

23/2014 tidak berpengaruh terhadap kedudukan institusi/kelembagaan yang

sudah ada, mengingat baik institusi maupun personilnya sudah di bawah

Pemdaprov Riau.

16

Bila seluruh KPH di Provinsi Riau (menurut rancang bangun KPH akan dibentuk

32 KPH) menjadi KPH Provinsi, dan semuanya menjadi SKPD, maka hal ini akan

sangat menjadi beban pemerintah daerah Provinsi Riau.

Bila masing-masing menjadi SKPD mandiri dan otonom, maka jumlah SKPD di

provinsi Riau akan menjadi sekitar 90 SKPD. Hal ini menjadi kurang rasional,

mengingat urusan pemerintahan bidang lain hanya diurus oleh 1 atau 2 SKPD,

sementara bidang kehutanan akan diurus oleh 33 SKPD. Maka yang lebih

rasional adalah adanya kesatuan KPH untuk seluruh KPH di provinsi Riau,

dimana insitusi di tingkat Provinsi dapat berupa SKPD eselon 2 yang membawahi

KPH-KPH (eselon 3) di seluruh provinsi Riau.

Merespon Surat Edaran Mendagri No. 120 /25 3 /S j t angga l 16 Januari 2015

tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan UU No. 23

Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemkab Kampar telah melakukan rapat

pada tanggal 16 Maret 2015 yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah.

Keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel,

pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).

Hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa respon pemerintah daerah

Kabupaten Kampar terhadap pengalihan kewenangan urusan kehutanan dari

pemkab/kota kepada pemprov yang diatur dalam UU No. 23/2014 bersikap

menerima. Hal ini sebagai konsekwensi logis dari azas taat hukum terhadap sistem

tata negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap

menerima ini selain dinyatakan secara lisan, juga ditunjukkan dengan langkah-langkah

yang telah ditempuh untuk melaksanakan instruksi SE Mendagri No. 12 0 /253 /S j .

Pemda Kampar t e l ah melakukan rapat pada tanggal 16 Maret 2015 yang

dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Keputusannya antara lain segera membentuk tim

inventarisasi personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).

Implikasi terhadap inisiatif dan proses-proses pembangunan KPHL/KPHP

oleh pemerintah kabupaten/kota lebih bersifat tehnis saja. Tentunya tidak akan ada

inisiatif pembentukan KPHL/KPHP baru, demikian juga alokasi anggaran dan

pemenuhan SDM untuk KPHP yang sudah terbentuk. Baik pemerintah Kabupaten

Kampar maupun pemerintah Provinsi Riau sama-sama menunggu peraturan turunan

untuk menindaklanjuti ketentuan UU No. 23/2014, yaitu berupa PP dan Permen.

17

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

18

Berdasarkan hasil analisis peraturan dan wawancara terhadap aparatur

kehutanan yang relevan di pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah Kabupaten

Kampar, kesimpulan penelitian adalah:

1. Perubahan substansi dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di dalam

peraturan baru, kewenangan pembentukan institusi KPHL/KPHP semuanya

menjadi kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi

kewenangan pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya

(Tahura) yang ada di wilayahnya.

2. Implikasi dari perpindahan kewenangan, maka peraturan yang menjadi dasar

hukum pembentukan institusi KPHL dan KPHP yaitu PP No. 38/2007 dan

Permendagri No. 61/2010 (turunan dari UU No. 32/2004) tidak bisa diacu lagi.

Peraturan tersebut harus segera diganti dengan PP dan Permen baru yang mengacu

kepada UU No. 23/2014. Dalam masa transisi (2 tahun), apabila pemerintah

provinsi akan membentuk institusi KPHL/KPHP, dapat mengacu kepada PP No.

41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

3. Perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan proses-proses

pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota mengalami stagnasi. Antara lain

pada KPHP Kampar Kiri (sebagai KPH Pemdakab Kampar), saat ini sedang dalam

proses penyiapan serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta

dokumen (P3D) kepada Pemprov Riau Sementara pemerintah Provinsi Riau

sendiri masih menunggu pedoman lebih lanjut untuk menindaklanjuti serah-terima

KPH tersebut.

Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas maka diajukan saran-saran sebagai

berikut:

1. Pemerintah Pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan

Menteri (Permen) sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk acuan yang lebih

operasional bagi pemerintah daerah. Dalam hubungannya dengan pembangunan

institusi KPHL dan KPHP di daerah, hal yang paling mendasar adalah menyangkut

tata hubungan kerja antar instansi pemerintah, bentuk organisasi, dan eselonisasi di

dalam organisasi KPHL/KPHP.

19

2. Bagi pemerintah Provinsi Riau dan pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau,

disarankan agar segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah penyiapan

serah terima personil, pendanaan, sarana-prasarana, dan dokumen (P3D).

20

DAFTAR PUSTAKA

Blomquist W. 2006. The Policy Process and Large-N Comparative Studies. In

Sabatier PA, editor. Theories of the Policy Process. Boulder, CO (US):

Westview Press.

Castañeda F. 2000. Why national and forest management unit level criteria and

indicator for sustainable management of the dry forest in Asia?. in: Cheng TL,

Durst PB, editors. Development of national-level criteria and indicator for

sustainable management of the dry forest in Asia: background paper. Rap

Publication, Bangkok, Thailand (TH). 1–22 June 2000.

[Dir WP3H] Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan

Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan (ID). 2012.

Data dan Informasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tahun 2012. Jakarta:

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

Kartodihardjo H, Nugroho B, Putro HR. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan

Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangn dan Implementasi. Jakarta (ID):

Kementerian Kehutanan RI.

Kartodihardjo H, Suwarno E. 2014. Pengarusutamaan Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) dalam Kebijakan dan Pelaksanaan Perizinan Kehutanan. Jakarta (ID):

Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan

Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana

Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011 – 2030.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 51/Menhut-II/2010 jo. P.15/Menhut-

II/2013 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010 – 2014.

Kiser, Larry L., and Elinor Ostrom. 1982. The Three Worlds of Action: A

Metatheoretical Synthesis of Institutional Approaches. In Strategies of Political

Inquiry, ed. Elinor Ostrom, 179-222. Beverly Hills, California (US): Sage.

Ostrom, E. 2008. Institutions and the environment. Economic Affairs. 28(3):24–31

Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princenton

University Press.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan

Wilayah KPH.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.

21

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan

Suwarno E, Kartodihardjo H, Kolopaking LM, dan Soedomo S. 2014. Penggunaan

Konsep Rules In Use Ostrom Dalam Analisis Peraturan Pembentukan Organisasi

Kesatuan Pengelolaan Hutan. Jurnal Analisis Kebijakan 11(2).

22

LAMPIRAN-LAMPIRAN

23

Lampiran 1

24

25

Lampiran 2

26

Lampiran 3. Realisasi Anggaran

I. Honor

No. Jabatan Waktu (jam/ minggu) Minggu Jumlah (Rp)

1 Ketua 6 24 1.000.000

2 Anggota I 4 24 500.000

3 Anggota II 4 24 500.000

Sub Total (Rp)

2.000.000

II. Peralatan Penunjang

No. Material Justfikasi

Pemakaian Kuantitas

Harga

Satuan

(RP)

Jumlah (Rp)

1 ATK Pelaksanaan

kegiatan

1 Paket

300.000

150.000

2 Fotocopy dan print Fotocopy dan print

dokumen

1 Paket

200.000

100.000

3 Pulsa internet Unduh bahan/data

dan literatur 1 Paket 200.000 150.000

Sub Total (Rp) 400.000

III. Perjalanan

No. Kegiatan Justfikasi

Pemakaian Kuantitas

Harga

Satuan

(RP)

Jumlah (Rp)

1 Wawancara responden Biaya transportasi 1 paket 1.500.000 1.200.000

Sub Total (Rp)

1.200.000

IV. Lain-lain

No. Kegiatan Justfikasi

Pemakaian Kuantitas

Harga

Satuan

(RP)

Jumlah (Rp)

1 Diskusi tim Konsumsi diskusi

tim 1 paket

200.000

200.000

2 Pembuatan proposal

Pencarian referensi,

pembuatan dan

penggandaan

1 paket

150.000

150.000

3 Pengolahan data Pengolahan data 1 paket

150.000

150.000

4 Seminar awal Seminar 1 paket

150.000

150.000

27

5

Penggandaan laporan,

banner, dan

pendukungnya

Laporan Akhir 1 paket

350.000

350.000

8 Biaya jurnal Jurnal Ilmiah 1 jurnal 400.000

400.000

Sub Total (Rp)

1.400.000

Total (Rp)

5.000.000

28

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Kegiatan wawancara di KPHP Kampar Kiri

Peta wilayah KPHP Kampar Kiri

Wawancara dengan Kadishut Provinsi Riau

Wawancara dengan pejabat Dishut Kab Kampar

Wawancara dengan KKPH Tasik Besar Serkap

Wawancara dengan KKPH Minas Tahura

29

Lampiran 5

30

Lampiran 6

31

32

Lampiran 7

IMPLIKASI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23

TAHUN 2014 TERHADAP PEMBANGUNAN KESATUAN

PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

(Implications of Publication of The Act No. 23 of 2014 to The Forest Management

Unit Development In Riau Province)

Eno Suwarno1, Ambar Tri Ratnaningsih1, Enni Insusanty1

1Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning, Jln. Yos Sudarso Km.8 Rumbai, Pekanbaru, Riau,

Telp/Fax (0761) 54092

Email : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT

The issuance of the Act No. 23 of 2014 on Regional Government in lieu of Law

No. 32 of 2004 has implications for the development of Forest Management Unit

(FMU) in the district and province level. This study aims to (1) assess changes in the

substance of Law No. 23 of 2014 with the previous regulations in forestry affairs; (2)

assess the implications of changes in the law for the below rules level; and (3) assess

the implications of these changes to the processes of the FMU development in Riau

Province. The research was conducted during the month of December 2014 - May

2015, is located in the city of Pekanbaru and the district of Kampar, Riau Province.

The research activities consist of (1) collecting and analysis of regulations, and (2)

interviews with a number of forestry officials from Riau Forestry Service, Kampar

Forestry Service, Tasik Besar Serkap FMU, Minas Tahura FMU, and Kampar Kiri

FMU.

Substantial changes in the Law No. 23/2014 is the transfer of authority to the

formation of the FMU organization, which at an earlier time there under the authority

of the district / city, forward the authority of the provincial government, except forest

park management (Tahura) in its territory. The implication then PP And Regulation

Government Regulations No. 38/2007 and Minister of Home Affairs Regulatin No.

61/2010 on which to base the legal establishment of the organization FMU in the past

can not be referenced again. Besides the transfer of authority implies initiative and

processes of formation of FMU by regency / city stagnated. It is suggested to the

central government to immediately make government regulation and the minister

regulations as a translation of Law No. 23/2014. For the Riau Provincial Government

and District / City in Riau Province, it is advisable to immediately undertake the

coordination and steps to prepare the handover of personnel, funding, infrastructure,

and documents.

Keywords: Law No. 23 of 2014, the transfer of authority, FMU development

33

ABSTRAK

Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 berimplikasi terhadap

pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di daerah. Penelitian ini bertujuan

untuk (1) mengkaji perubahan substansi UU Nomor 23 tahun 2014 dengan peraturan

sebelumnya dalam urusan kehutanan; (2) mengkaji implikasi perubahan UU tersebut terhadap

peraturan-peraturan tingkat di bawahnya; dan (3) mengkaji implikasi perubahan tersebut

terhadap proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan

selama bulan Desember 2014 - Mei 2015, berlokasi di Kota Pekanbaru dan Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau. Kegiatan penelitian terdiri dari (1) pengumpulan dan analisis

peraturan, dan (2) wawancara dengan sejumlah aparatur kehutanan dari Dinas

Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, KPH-Produksi Tasik

Besar Serkap, KPH-Produksi Minas Tahura, dan KPH-Produksi Kampar Kiri.

Perubahan substansi dalam UU No. 23/2014 adalah pengalihan kewenangan

pembentukan organisasi KPHL/KPHP, dimana pada waktu sebelumnya ada yang

menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, selanjunya menjadi kewenangan

pemerintah provinsi, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) di wilayahnya.

Implikasinya maka PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010 yang menjadi

dasar hukum pembentukan organisasi KPH-Lindung/KPH-Produksi di masa lalu tidak

bisa diacu lagi. Selain itu perpindahan kewenangan berimplikasi kepada inisiatif dan

proses-proses pembentukan KPH oleh pemkab/kota mengalami stagnasi. Disarankan

kepada pemerintah pusat agar segera membuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Menteri sebagai penjabaran dari UU No. 23/2014. Bagi Pemerintah Provinsi Riau dan

Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, disarankan agar segera melakukan

koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan, sarana-

prasarana, dan dokumen (P3D).

Kata kunci: UU Nomor 23 tahun 2014, pengalihan kewenangan, pembangunan KPH

PENDAHULUAN

Pentingnya keberadaan organisasi KPH semakin dirasakan seiring dengan

masih tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Ditinjau dari perspektif tata

kelola, ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak ditengarai sebagai salah satu

penyebab utama tidak dapat diatasinya permasalahan-permasalahan illegal logging,

perambahan hutan, konflik lahan, dan kegagalan program-program rehabilitasi hutan.

Oleh karena itu, pembangunan KPH dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan sistem

pengurusan hutan di masa lalu ini, agar keberadaannya di tingkat tapak dapat

menjalankan keseluruhan tugas dan fungsi pengelolaan hutan.

Berdasarkan pengalaman implementasi pembangunan KPH di lapangan,

khususnya dalam pembangunan KPH model, ditemukan sejumlah kendala. Salah satu

isu penting yang sering mencuat dalam berbagai diskusi adalah masalah peraturan

perundang-undangan. Terbitnya UU No. 23/2014 tentunya menjadi landasan baru bagi

pelaksanaan pembangunan kehutanan dan secara khusus bagi pembangun KPH di di

Provinsi Riau. Oleh karena itu terkait diterbitkannya UU ini, diperlukan suatu kajian

sejauh mana perubahan-perubahan yang terdapat dalam UU baru dibandingkan

dengan UU dan peraturan turunan yang berlaku sebelumnya. Selanjutnya perlu

34

dilakukan analisis bagaimana implikasinya terhadap proses-proses pembanguan KPH

di Provinsi Riau yang tengah berlangsung saat ini, serta untuk proses pembangunan

KPH tahap berikutnya.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengkaji perubahan substansi antara isi

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dengan peraturan-peraturan sebelumnya

dalam urusan bidang kehutanan; (2) Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap

peraturan-peraturan di tingkat di bawahnya (PP dan Permen) yang saat ini menjadi

acuan pembangunan KPH; dan (3) Mengkaji implikasi perubahan tersebut terhadap

proses-proses pembangunan KPH di Provinsi Riau.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep KPH

Pengertian KPH sebagai suatu unit pengelolaan hutan secara formal mulai

muncul di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu

pada penjelasan pasal 17: “Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan

pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

dikelola secara efisien dan lestari”. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2007, KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH

Produksi (KPHP)2.

Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan

(Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH.

Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap, yaitu: tahap

1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap 2, Arahan

pencadangan wilayah KPH oleh Kementerian Kehutanan; tahap 3, Usulan Penetapan

KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan wilayah KPH oleh

Kemenhut.

Setelah penetapan wilayah KPH maka harus segera diikuti dengan penetapan

organisasi yang akan mengelola KPH. KPH dikelola oleh sebuah organisasi

pemerintah yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan hutan di tingkat tapak (site

level). Berdasarkan PP No. 6/2007 jo PP No 3/2008, organisasi KPHK dibentuk dan

ditetapkan oleh Kemenhut, sementara berdasarkan Permendagri No. 61/2010

organisasi pengelola KPHL dan KPHP dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah

Daerah. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas

Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Provinsi.Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu

Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2 Menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.6 Tahun 2009, Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konservasi (KPHK) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau

didominasi oleh kawasan hutan konservasi. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) adalah

kesatuan pengelolaan hutan yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan

lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) adalah kesatuan pengelolaan hutan yang

luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi.

35

Implikasi Perubahan Peraturan

Secara hirarkis Kiser dan Ostrom (1982) membagi peraturan ke dalam tiga

tingkatan, yaitu aturan konstitusional (UUD), aturan pilihan kolektif (UU), dan aturan

operasional (PP, Permen, dst). Secara normatif, aturan yang lebih rendah akan

mengacu kepada seperangkat aturan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka

perubahan pada satu tingkat peraturan akan sangat ditentukan oleh batas-batas yang

dimungkinkan dari lingkup peraturan di atasnya, sementara perubahan pada peraturan

yang lebih tinggi hampir selalu akan berdampak luas kepada perubahan peraturan

tingkat di bawahnya.

METODE PENELITIAN

Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan penelitian ini akan terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu: (1)

kajian dokumen peraturan, dimana peraturan yang akan dikaji terdiri dari 5 (lima)

peraturan, dan (2) wawancara terhadap aparatur Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan

Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, serta tiga KPH di Provinsi Riau yaitu KPHP

Tasik Besar Serkap, KPHP Minas Tahura, dan KPHP Kampar Kiri.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan antara bulan Desember 2014 sampai dengan Mei

2015. Lokasi penelitian di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Data terkait isi peraturan yang dianalisis dikumpulkan dari internet dengan

cara mengunjungi situs-situs yang menyediakan peraturan yang dibutuhkan. Data

tentang pandangan dan tanggapan aparatur terkait dikumpulkan dengan metode

wawancara semi terstruktur. Analisis peraturan dilakukan dengan metode analisis isi

(content analysis). Substansi yang dianalisis adalah tentang pembagian kewenangan

antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten / kota, dan tata

hubungan antar tingkatan peraturan Analisis terhadap pandangan dan tanggapan dari

aparatur kehutanan daerah menggunakan analisis deskriptif, yang menggambarkan

aspek pemahaman dan sikap terhadap isi peraturan yang baru.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Peraturan

Analisis peraturan dilakukan terhadap lima buah peraturan, yaitu (1) Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (3) Peraturan Pemerintah Nomor

38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provisnsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; (4) Peraturan

36

Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008

tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan

Hutan; dan (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2010 tentang

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan KPHP.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam UU No. 32/2004 pembagian urusan pemerintahan Bidang Kehutanan tidak dirinci namun termasuk ke dalam kelompok yang akan diatur secara khusus

melalui PP (Pasal 14:3).

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Pada Lampiran Bagian AA poin 8 dinyatakan bahwa: (a) wewenang Pemerintah

adalah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan

penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan (KPH), penetapan wilayah

KPH dan organisasi KPH, serta arahan pencadangan; (b) wewenang Pemerintah

Daerah Provinsi adalah melaksanakan penyusunan rancang bangun, pembentukan

dan pengusulan penetapan KPHL dan KPHP serta pertimbangan teknis organisasi

KPHL/KPHP; dan (c) wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah

memberi pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan

KPHL dan KPHP, serta organisasi KPHL/KPHP.

PP No.6/2007 Jo No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

Di dalam PP No. 6/2007 Jo PP 3/2008 Pasal 8(1) dinyatakan bahwa Menteri

menetapkan organisasi KPHK, KPHL, dan KPHP. Berdasarkan Pasal 8(2),

Penetapan Organisasi KPHL dan KPHP dilakukan berdasarkan: (a) usulan dari

pemerintah provinsi, dalam hal KPHP atau KPHL berada dalam lintas

kabupaten/kota; (b) usulan dari pemerintah kabupaten/ kota, dalam hal KPHP atau

KPHL berada dalam kabupaten/kota; (c) pertimbangan teknis dari pemerintah

provinsi.

Permendagri No.61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPHL dan

KPHP di Daerah

Di dalam Permendagri No.61/2010 Pasal 2(2) dinyatakan bahwa pembentukan

KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu

37

provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi; bunyi ayat (3)

Pembentukan KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian bunyi Pasal 3(1)

KPHL dan KPHP Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah; dan

ayat (2) KPHL dan KPHP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (3) berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui

Sekretaris Daerah.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Di dalam UU No. 23/2014 Pasal 14(1): Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan

bidang kehutanan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi; (2) Urusan

Pemerintahan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota

menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 404: serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen

(P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat,

daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang diatur berdasarkan Undang-

Undang ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

Berdasarkan identifikasi terhadap isi peraturan yang dikaji, perubahan

mendasar dalam pembagian kewenangan urusan kehutanan (dan secara khusus terkait

pembangunan KPH) adalah sebagai berikut:

4. Di dalam peraturan lama, kewenangan membentuk organisasi KPHL dan KPHP,

untuk kawasan hutan lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah

daerah provinsi; dan untuk kawasan hutan dalam satu wilayah kabupaten/kota

menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.

5. Di dalam peraturan baru (UU No.23/2014) kewenangan membentuk organisasi

KPHL dan KPHP semuanya menjadi kewenangan pemerintah provinsi; tidak ada

lagi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, kecuali

pengelolaan taman hutan raya (Tahura) yang ada di wilayahnya.

6. Serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D)

sebagai akibat perubahan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah

Pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dilakukan paling lama 2 (dua)

38

tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, yaitu paling lambat tanggal

2 Oktober 2016.

Hasil Wawancara

Wawancara dilakukan kepada sejumlah aparatur kehutanan di tingkat provinsi

(Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kepala KPHP Tasik Besar Serkap, dan

Kepala KPHP Minas Tahura) dan di tingkat kabupaten (Sekretaris dan tiga Kepala

Bidang di Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar, dan Kepala KPHP Kampar Kiri).

Butir-butir hasil wawancara diangkum sebagai berikut:

Setelah terbitnya UU No. 23/2014, untuk urusan pemerintahan bidang kehutanan

belum ada pembahasan dan koordinasi antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau

dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dalam merespon UU baru ini secara umum sikap pemerintah daerah (Provinsi

dan Kabupaten/Kota) pada dasarnya taat hukum, dan bersifat menunggu pedoman

implementasinya atau peraturan operasionalnya (PP dan Permen).

KPHP Kampar Kiri sebagai KPH yang dibentuk Pemeritah Kabupaten Kampar

untuk tahun 2015 masih tetap melanjutkan aktivitas sesuai dengan perencanaan

yang sudah dibuat (RKT dan RK-KPH). Namun untuk tahun-tahun selanjutnya

menunggu ketentuan yang akan dibuat pemerintah.

Bagi KPHP Tasik Besar Serkap dan KPHP Minas Tahura, diterbitkannya UU No.

23/2014 tidak berpengaruh terhadap kedudukan organisasi/kelembagaan yang

sudah ada, mengingat baik organisasi maupun personilnya sudah di bawah

Pemdaprov Riau.

Bila seluruh KPH di Provinsi Riau (menurut rancang bangun KPH akan dibentuk

32 KPH) menjadi KPH Provinsi, dan semuanya menjadi SKPD, maka hal ini akan

sangat menjadi beban pemerintah daerah Provinsi Riau.

Bila masing-masing menjadi SKPD mandiri dan otonom, maka jumlah SKPD di

provinsi Riau akan menjadi sekitar 90 SKPD. Hal ini menjadi kurang rasional,

mengingat urusan pemerintahan bidang lain hanya diurus oleh 1 atau 2 SKPD,

sementara bidang kehutanan akan diurus oleh 33 SKPD. Maka yang lebih

rasional adalah adanya kesatuan KPH untuk seluruh KPH di provinsi Riau,

dimana insitusi di tingkat Provinsi dapat berupa SKPD eselon 2 yang membawahi

KPH-KPH (eselon 3) di seluruh provinsi Riau.

39

Merespon Surat Edaran (SE) Mendagri No. 120 /253 /S j t angga l 16 Januari

2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Setelah Ditetapkan UU No.

23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Pemkab Kampar telah melakukan

rapat pada tanggal 16 Maret 2015 yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah.

Keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel,

pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).

Hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa respon pemerintah daerah

Kabupaten Kampar terhadap pengalihan kewenangan urusan kehutanan yang diatur

dalam UU No. 23/2014 bersikap menerima. Hal ini sebagai konsekwensi logis dari

azas taat hukum dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap

menerima ini selain dinyatakan secara lisan, juga ditunjukkan dengan langkah-langkah

yang telah ditempuh untuk melaksanakan instruksi SE Mendagri No. 12 0 /253 /S j .

Pemda Kamp ar t e l ah melakukan rapat tanggal 16 Maret 2015 dengan

keputusannya antara lain segera membentuk tim inventarisasi personel, pendanaan,

sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D).

Implikasi terhadap inisiatif dan proses-proses pembangunan KPHL/KPHP

oleh pemerintah kabupaten/kota lebih bersifat tehnis. Mengingat telah ada pengalihan

kewenangan, maka tidak ada inisiatif pembentukan KPHL/KPHP baru, demikian juga

alokasi anggaran dan pemenuhan SDM untuk KPHP yang sudah terbentuk. Baik

pemerintah Kabupaten Kampar maupun Provinsi Riau sama-sama menunggu

peraturan turunan untuk menindaklanjuti ketentuan UU No. 23/2014.

KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan substansial dari UU No. 32/2004 kepada UU No. 23/2014, di dalam

peraturan baru kewenangan pembentukan organisasi KPHL/KPHP semuanya menjadi

kewenangan pemerintah provinsi, tidak ada lagi yang menjadi kewenangan

pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan taman hutan raya (Tahura) di

wilayahnya. Implikasi dari pengalihan kewenangan ini, maka PP No. 38/2007 dan

Permendagri No. 61/2010 sebagai turunan dari UU No. 32/2004, tidak bisa diacu lagi.

Apabila dalam masa transisi pemerintah provinsi akan membentuk organisasi

KPHL/KPHP, dapat mengacu kepada PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah. Perpindahan kewenangan juga berimplikasi kepada stagnannya inisiatif dan

40

proses-proses pembentukan KPHL/KPHP oleh pemkab/kota. Pemerintah Kabupaten

Kampar saat ini sedang dalam proses penyiapan serah terima personel, pendanaan,

sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) kepada Pemprov Riau Sementara

pemerintah Provinsi Riau sendiri masih menunggu pedoman lebih lanjut untuk

menindaklanjuti serah-terima KPH tersebut.

Berdasarkan butir-butir kesimpulan di atas disarankan kepada pemerintah

pusat agar segera membuat PP dan Permen penjabaran dari UU No. 23/2014 untuk

acuan operasional bagi pemerintah daerah. Dalam hubungannya dengan

pembangunan organisasi KPHL dan KPHP di daerah, hal yang paling mendasar adalah

menyangkut tata hubungan kerja antar instansi pemerintah, bentuk organisasi, dan

eselonisasi struktur organisasi KPHL/KPHP. Adapun saran bagi Pemerintah Provinsi

Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, agar segera melakukan

koordinasi dan langkah-langkah penyiapan serah terima personil, pendanaan, sarana-

prasarana, dan dokumen (P3D).

DAFTAR PUSTAKA

Kiser, Larry L., and Elinor Ostrom. 1982. The Three Worlds of Action: A Metatheoretical

Synthesis of Institutional Approaches. In Strategies of Political Inquiry, ed. Elinor

Ostrom, 179-222. Beverly Hills, California (US): Sage.

Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton (US): Princenton

University Press.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan

Wilayah KPH.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.